View
237
Download
2
Category
Preview:
DESCRIPTION
sabtu
Citation preview
PRESENTASI KASUS
“MOLAHIDATIDOSA DAN HIPERTIROID”
Disusun Oleh :
Nisa Ul Husna, S.Ked
1102011195
Pembimbing :
Dr. Zainuri Miltas, Sp.OG
Presentasi kasus ini diajukan sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu
kebidanan dan kandungan
pada
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KOTA CILEGON
2015
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, penulis menampilkan presentasi
kasus yang berjudul MOLAHIDATIDOSA DAN HIPERTIROID. Adapun presentasi
kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di
bagian obstetri dan ginekologi RSUD Cilegon.
Terwujudnya presentasi kasus ini berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak.
Penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Ida Winarti, Sp.OG,
dr.Zainuri Miltas, Sp.OG dan dr. Indiarto W, Sp.OG selaku pembimbing dan konsulen, yang
telah meluangkan waktu dalam membimbing dan memberi masukan-masukan kepada penulis
dan rekan-rekan calon sejawat kepaniteraan dibagian obsgyn atas segala bantuan dan
dukungan.
Penyusun menyadari presentasi kasus ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif sehingga presentasi
kasus ini dapat menjadi lebih baik dan sesuai dengan hasil yang diharapkan.
Akhir kata dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalui meridhoi
kita semua dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Cilegon, September 2015
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................................1
Kata Pengantar…………………………………………………………………………. 2
Daftar isi..........................................................................................................................3
Laporan kasus
1. Identifikasi..............................................................................................................5
2. Anamnesis..............................................................................................................5
3. Pemeriksaan Fisik...................................................................................................6
4. Diagnosis................................................................................................................8
5. Rencana terapi........................................................................................................8
6. Prognosis................................................................................................................9
7. Follow up................................................................................................................9
Diskusi Kasus................................................................................................................16
Tinjauan Pustaka
1. Definisi Molahidatidosa.......................................................................................19
2. Epidemiologi Molahidatidosa...............................................................................19
3. Etiologi Molahidatidosa.......................................................................................20
4. Klasifikasi Molahidatidosa...................................................................................21
5. Patofisiologi Molahidatidosa................................................................................23
6. Manifestasi Klinis Molahidatidosa.......................................................................25
7. Diagnosa Molahidatidosa.....................................................................................26
8. Tatalaksana Molahidatidosa.................................................................................28
9. Komplikasi Molahidatidosa..................................................................................30
3
10. Prognosis Molahidatidosa...................................................................................30
Hipertiroid.....................................................................................................................30
Hipertiroid pada molahidatidosa...................................................................................31
Tatalaksana Hioertiroid Pada Molahidatidosa..............................................................33
Daftar Pustaka...............................................................................................................36
4
PRESENTASI KASUS
DEPARTEMEN ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
Tanggal masuk RSUD : 11 Agustus 2015
Jam : 18.30 WIB
LAPORAN KASUS
I. Identifikasi
Nama Nn. H
Jenis Kelamin Perempuan
Umur 19 tahun
Pendidikan SMP
Pekerjaan Tidak bekerja
Status Pernikahan Belum menikah
Agama Islam
Alamat Link Rungung Putih RT 02 RW 02 Kelurahan
Gedong dalam Kecamatan Jombang
Tanggal Masuk RS 11 Agustus 2015
Tanggal Keluar RS 25 Agustus 2015
No. CM 830XXX
II. Anamnesis
3.1 Keluhan Utama
Sesak nafas sejak 2 minggu SMRS
3.2 Keluhan Tambahan
Batuk darah dan haid terakhir sejak bulan Mei
3.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang ke IGD RSUD Cilegon dengan keluhan sesak nafas sejak 2 minggu
sebelum masuk rumah sakit disertai batuk berdarah. Os mengaku terakhir
5
menstruasi sejak bulan mei dan nyeri perut bagian bawah sejak 1 minggu yang lalu
disertai keluarnya darah dari vagina ±30cc. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
3.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit hipetensi, jantung, DM, asma, alergi,
dan TB
3.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit hipetensi, jantung, DM, asma, alergi,
dan TB
3.6 Riwayat Haid
Usia Menarche : 15 tahun
Siklus Haid : 1 bulan
Lama haid : 7 hari
Jumlah darah : 3x ganti pembalut
Dismenorhoe : (+)
HPHT : 12 Mei 2015
3.7 Riwayat Pernikahan, Kehamilan dan Persalinan Dahulu
Status : Belum Menikah
Riwayat kehamilan : G1P0A0
3.8 Riwayat Kontrasepsi
Pasien mengaku tidak pernah menggunakan KB
III. Pemeriksaan Fisik
I. Status Tanda Vital
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tek. Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 120x/menit, reguler
Pernafasan : 40x/menit, reguler
6
Suhu : 36,40C
II. Status Generalis :
Kepala : Normosefali, rambut sebagian hitam & putih, tipis
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sclera ikterik (-/-) pandangan kabur
Telinga : Simetris kanan dan kiri, hiperemis (-), serumen (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), trakea ditengah
Mulut : Bibir tidak kering, uvula tidak deviasi, caries gigi (-) gigi
tanggal (-)
Thorax
A. Dada
Payudara simetris, tidak terdapat sikatriks dan massa
B. Jantung
Iktus kordis tidak terlihat, pulsasi iktus kordis teraba, dan bunyi jantung I&II reguler. Murmur (-), Gallop (-)
C. Paru
Suara nafas utama vesikuler, Ronki (+/+), Wheezing (-/-)
Fremitus vokalis dan fremitus taktil dada kiri tertinggal
Abdomen : Perut tampak buncit simetris, bising usus (+), pembesaran
hepar, lien (-)
Genitalia : Perdarahan pervaginam (+)
Ekstremitas : Akral hangat, Edema tungkai -/-
III. Status ObstetrikTFU: 22cm Ballotement: (-)DJJ: (-)
IV. Status Ginekologi
Pada pemeriksaan inspekulo tidak dilakukan
Pemeriksaan VT tidak dilakukan
V. Pemeriksaan Laboratorium
Natrium : 137,7mmol/L
Kalium : 4,12 mmol/L
7
Chlorida : 104 mmol/L
Ureum : 17 mg/dl
Creatinin : 0,5 mg/dl
SGOT : 108 U/L
SGPT : 140 U/L
GDS : 87 mg/dl
Hemoglobin : 8,9 g/dl
Hematokrit : 27,6 %
Leukosit : 6.860 /µl
Trombosit : 183.000 /µl
Gol Darah : B / Rhesus positive
VI. Pemeriksaan Penunjang
USG :
PP test: (-)
IV. Diagnosis Kerja
- Anemia
- Hemaptoe ec susp TB paru
- Massa intra abdomen susp mioma
V. Rencana Penatalaksanaan
Perbaiki keadaan umum
Observasi keadaan umum, tanda-tanda vital, dan perdarahan per vaginam
Memberi support mental dan menjaga kehigienitas diri
Melakukan pemasangan infus (+)
8
VI. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
VII. Follow Up
Pra Operasi
18 Agustus 2015
Jam 19.30
S : Os datang pindahan dari ruang alamanda, keluhan sesak sudah
berkurang
O : KU baik, KS CM, aminotebar terpasang (+), GCS 15
Hb: 10 g/dl, Leukosit: 19.400/ul, Trombosit: 210.000/ul, Ht:
24,9%, APTT: 27,9, Protombine Time: 11,9, Hepatitis C:
Negatif, HbsAg: N reaktif, HIV: Non Reaktif
Hasil Biomed:
T4: > 25,0 4 g/dl
TSH: < 0,05 5U/ ml
Beta hcg kuantitatif serum menyusul 2-3 hari
Ro. Thorax pertama kesan: Bronchitis
Ro. Thorax kedua kesan: dibandingkan foto lama perbaikan
Ro. Abdomen 3 posisi kesan: tak tampak kelainan pada foto
abdomen 3 posisi saat ini.
Klien post transfuse PRC 3 kolf
R/ tra nsfusi PRC lagi untuk persiapan kuretase
Infus: RL + ondan 8mg: Aminolebar “(2:1) 20 tpm
A: Molahidatidosa + Bronchitis
P: mengobservasi k/u, TTV, memberikan support mental
Th dr. Rizki, Sp.P :
Cefotaxime 2x1
MP 2x62,5
Ranitidine 2x1 amp
Asam Tranexamat 3x500 mg
9
Vit. K 3x1 amp
Mantoux test (-)
Th dr. H. Alan, Sp.PD
Cetirizine 2x1
Codein 10 mg 3x10 mg
Hemafort 2x1
Retapyl 2x1
Curcuma 3x1
Urdahex 3x1
Th. Dr. indiarto, Sp.OG
USG (+) : rencana kuret
Perbaikan k/u
Rencana transfuse 3 kolf untuk persiapan kuretase
TPRS (20.00)
TD : 120/60, N : 88x/menit, RR : 24x/menit, S : 36,5 °C
18 Agustus 2015
Jam 21.00
S : Os mengeluh sesak sudah berkurang
O : KU baik, KS CM, IVFD +, ondancetron 8 mg, GCS 15
Hb 10 g/dl, Leukosit 19.400 /ul, tromb. 210.000 /ul, Ht 29,9%,
protrombin time 11,9, hep. C -, HbsAg –
Hasil biomed :
T4 : >25,0
TSH : <0,05
A : Molahidatidosa + bronchitis
P : Observasi TPRS, PPV, KU
Memberi support mental
Terapi dilanjutkan
19 Agustus 2015
Jam 00.00
S : Os mengeluh nyeri dibagian perut
Konsul dokter jaga
Instruksi dokter jaga : Asam Mefenamat extra
10
19 Agustus 2015
Jam 06.00
S : Os mengeluh nyeri perut dan mual
O : KU baik, KS CM
TD : 120/80 mmHg, N : 88 x/menit, S 36,5 C, RR 24x/menit
A : Molahidatidosa + bronchitis
RENCANA KURETASE DITUNDA
- Visite dr. Tati, Sp.An : Konsul terlebih dahulu untuk terapi
hipertiroid
19 Agustus 2015
Jam 11.00
S : Os mengeluh nyeri perut
O : KU baik, KS CM, IVFD +, ondancetron 8 mg, GCS 15
Hb 10 g/dl, Leukosit 19.400 /ul, tromb. 210.000 /ul, Ht 29,9%,
protrombin time 11,9, hep. C -, HbsAg –
T4 : >25,0
TSH : <0,05
A : Molahidatidosa, bronchitis, hipertiroid
P : Terapi dr. Rizki, Sp.P dan dr. H. Alan, Sp.PD dilanjutkan
Dr. Tati, Sp.An : Konsul Sp.PD untuk hipertiroid dan kuret
ditunda
20 Agustus 2015
Jam 05.00
S : Os mengeluh nyeri perut
O : KU baik, KS CM, IVFD +, ondancetron 8 mg, GCS 15
Hb 10 g/dl, Leukosit 19.400 /ul, tromb. 210.000 /ul, Ht 29,9%,
protrombin time 11,9, hep. C -, HbsAg –
TD : 120/80, N : 88x/menit, RR : 20x/menit, S : 37,1
T4 : >25,0
TSH : <0,05
A : Molahidatidosa, bronchitis, hipertiroid
P : Th Sp.OG : rencana kuretase
Th Sp.PD + dr. H. Alan, Sp.PD : PTU 3x1 tab
Kalau tidak sesak, propranolol 3x1 tab
Terapi dilanjutkan
21 Agustus 2015
Jam 05.30
S : Os mengeluh sesak
O : KU baik, KS CM, TD : 140/90, N : 88x/menit, RR : 29x/menit,
S : 36,1
11
A : Molahidatidosa, bronchitis, hipertiroid
P : Rencana kuretase
KURETASE
21 Agustus 2015
Jam 12.45
- POST KURETASE -
S : Os mengeluh masih lemas dan pusing
O : KU sedang, KS CM, IVFD +, DC +, PPV +, 02 3 lt +
Jaringan di PA +, hasil -
A : Post kuret a/i molahidatidosa + hipertiroid + bronchitis
P : Mengobservasi KU, TTV, PPV
Memberi support mental
Th/ Sp.OG : ceftriaxone 1x1 gr, PTU 2x200 mg
Th/ Sp.PD dan Sp.P dilanjutkan
Jam 13.00 lapor dr. indiarto, sp.og
TD : 120/70, N : 92, RR : 30, S: 37
Guyur RL
21 Agustus 2015
Jam 14.00
S : Os mengeluh darah yang keluar dari kemaluan sedikit
O : KU sedang, KS CM, IVFD +, DC +, PPV +, 02 3 lt +
TD : 120/80, N : 80, RR : 20, S : 36,5
A : Post kuret a/I molahidatidosa + hipertiroid + bronchitis
P : Mengobservasi KU, TTV, PPV
Terapi dilanjutkan
21 Agustus 2015
Jam 19.45
S : Os mengeluh dada terasa berat
O : KU baik, KS CM, saturasi O2 86, 02 3 lt +
Saturasi ulang 96
A : Post kuret a/I molahidatidosa + hipertiroid + bronchitis
P : Mengobservasi KU, TTV, PPV
Transfusi 1 kolf
22 Ag ustus 2015
Jam 05.30
S : Os mengatakan pusing dan nyeri pinggang sejak malam
O : KU sedang, KS CM, saturasi O2 96
TD : 140/90 mmHg, N : 91 x/menit, S 37,2 C, RR 36x/menit
12
Jam 06.30
A : Post kuret a/I molahidatidosa + hipertiroid + bronchitis
P : inj. Ranitidine 1 amp, cetirizine, curcuma, urdahex, codein
Konsul dr. jaga mengenai ttv
Instruksi : inj. Furosemide 1 amp/iv
Bila TD 120/80, darah dimasukkan, transfusi ditunda, ttv ulang
TD 140/90, N : 92, RR : 36, S : 36, saturasi 95
I : 1110 O : 1000
22 Agustus 2015
Jam 09.30
S : Os mengeluh sesak
O : KU sedang, KS CM
TD : 150/80 mmHg, N : 88 x/menit, S 36 C, RR 36-40x/menit
Saturasi O2 90-92
A : Post kuret a/i molahidatidosa + hipertiroid + bronchitis
P : co sp.p dan sp.pd
Instruksi sp.pd : cek ulang T4 dan free TSH
Instruksi dr. indiarto, sp.og : ceftriaxone 1x1/24 jam, MP
125mg/12jam, azitromisin 1x500 mg
Cek AGD cito
Instruksi dr. lulu sp.p : nebu ventolin 2x selang 10 menit,
furosemide 1 amp iv extra, MP 125g/ 12jam.
Bila tidak ada batuk darah, stop inj. asam tranexamat dan vit k
22 Agustus 2015
Jam 10.30
S : os mengatakan sesak berkurang dan nyeri perut
O : KU sedang, KS CM, IVFD +, DC +, PPV +, ma/mi +, mob <<,
sesak +, 02 +
Hb 10,2 g/dl, leukosit 13.050, trombosit 153.000, ur/cr 24/0,5
I : 1260 O : 1800
A : Post kuret a/I molahidatidosa + hipertiroid + bronchitis
P : terapi dilanjutkan
Aminoleban +
22 Agustus 2015
Jam 15.00
Setelah diberikan terpai oral, propranolol, codein, curcuma, dan
urdanex pasien mengeluh kram perut, dilakukan TPRS
TD: 150/60 mmHg, N: 91x/memit, RR: 25x/menit, S: 36,6°C
Setelah beberapa menit (± 5menit) kram menghilang
Lapor dr. Indirarto, instruksi: PTU 3x2, Nrm 8 Lpm, konsul Sp.An
13
20.07
Balasan dr. Dublianus Sp.An: jika ingin pro icu konsul dr. Tati
Sp.An
Konsul dr. Tati
Lapor ulang dr. Indiarto: pro ICU
23 Agustus 2015
Jam 19.00
S: Os datang dari pindahan ICU, keluhan sesak sudah berkurang
O: KU baik, KS CM, IVFD RL (+) kedua, DC(+)
TD: 133/80, N:80x/menit, RR: 24x/menit, S: 36,7°C
Sat O2 99%, GCS: 4/6/5
A: Post kuretase a/i molahidatidosa + bronchitis + hipertiroid
P:Mengobservasi k/u, TTV, sesak
Memberi support mental
Th. SpPD: PTU 3x1 tab, propranolol 2x1 tab, hemafort 1x1 tab,
curcuma 3x1 tab, urdanex 3x1 tab
Th. SpP: Retapyl 2x1
Th. SpOG: Ceftriaxone img 1x2gr, metilprednisolon 2x125 mg,
azitromicyn 1x500 tab
Infus: RL 20 tpm: aminoleban 2:1
21.00 TPRS
TD: 120/60 mmHg, N: 88x/menit, RR:26 x/menit, T: 36,4°C
Input: 350 Output: 450
25 Agustus 2015
Jam 10.00
S: Os mengatakan tidak ada keluhan
O: Ku baik, KS CM, Infus (+) DC(-) mob (+) ma/mi (+)
Hb: 10,2, leukosit: 13.050, Ht: 29,5, Trombosit: 153.000, HbsAg
negative, Ro thorax (+), EKG (+)
A: Post kuret a/i molahidatidosa, hipertiroid, bronchitis
P: Obsrvasi k/u, ttv
Menciptakan lingkungan yang nyaman
Kolab spog (+)inst: cefixim 2x200 mg, BLPL
Visite dr. Rizky SpP inst: metapril 2x1, Boleh RJ
Visited r.Alan SpPD : PTU 3x1, propranolol 3x10, hemafort 1x1,
curcuma 3x1, urdanex 3x1
12.15 Os ingin pulpak, surat pulpak (+), adm (+)
14
Laporan Kuretase :
1) Pasien berbaring dengan posisi litotomi dan anastesi TIVA
2) Dilakukan tindakan aseptic dan antiseptic pada daerah vulva vagina dan sekitarnya
3) Dipasang speculum cocor bebek dan diliat perdarahannya
4) Portio ditampakkan dan diidentifikasi arah perdarahannya
5) Dilakukan kuretase searah jarum jam
6) Dikeluarkan jaringan dan darah ± 3liter
7) KU ibu s/s/s tiud baik
8) Operasi selesai
Obat :
Ceftriaxone inj 1 x1 gr/IV
PTU 200 mg
15
DISKUSI KASUS
1.1. IDENTIFIKASI
Os datang ke IGD RSUD Cilegon dengan keluhan sesak nafas sejak 2 minggu
sebelum masuk rumah sakit disertai batuk berdarah. Os mengaku terakhir
menstruasi sejak bulan Mei dan nyeri perut bagian bawah sejak 1 minggu yang
lalu disertai keluarnya darah dari vagina ±30cc. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit hipetensi, jantung, DM, asma, alergi,
dan TB.
1.2. PEMBAHASAN
TEORI KASUSApakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?
Adanya mola hidatidosa harus dicurigai bila ada perempuan dengan amenorea, perdarahan pervaginam, uterus yang lebih besar dari tuanya kehamilan dan tidak ditemukan tanda kehamilan pasti seperti balotemen dan detik jantung janin. Untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan kadar Human Chorionic Gonadotropin (hCG) dalam darah atau urin, baik secara bioasay, immunoasay, maupun radio-immunoasay. Bila belum jelas dapat dilakukan pemeriksaan USG, di mana kasus mola menunjukkan gambaran yang khas, yaitu berupa badai salju (snow flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb)
Diagnosis yang paling tepat bila kita telah melihat keluarnya gelembung mola. Namun, bila kita menunggu sampai gelembung mola keluar biasanya sudah terlambat karena pengeluaran gelembung umumnya disertai perdarahan yang banyak dan keadaan umum pasien menurun. Terbaik ialah bila dapat mendiagnosis mola sebelum keluar.
Diagnosis awal pada pasien ini adalah : Molahidatidosa, bronchitis, hipertiroidAnamnesis :
- Didapatkan adanya amenorrhea 3bulan
- Perdarahan pervaginam (+)
Pemeriksaan Fisik:- TFU: 22cm- Terdapat detak jantung janin (-)- Ballotement (-)- TTV: RR: 40x/mnt, Nadi:
120x/menit
Pemeriksaan VT dan inspekulo tidak dilakukan
Pemeriksaan Penunjang- Adanya hasil USG yang
menunjukan gambaran khas yaitu, berupa badai salju ( snow flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb).
- PP test (-)- Rencana kuretase untuk dilakukan
pengambilan jaringan sebagai bahan biopsy patologi anatomi
- Pemeriksaan TSH=0,05 dan T4=25
16
Sehingga diagnosis akhir pada pasien ini adalah : Molahidatidosa + hipertiroid
Apakah tatalaksana pada pasien ini sudah tepat?Penatalaksaan pada molahidatidosa terdiri dari:
1. Perbaikan keadaan umum: disini maksudnya pemberian transfuse darah untuk memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeklamsi atau tirotoksikosis
2. Pengeluaran jaringan mola: vakum kuretase atau histerektomi
3. Pemeriksaan tindak lanjut: Tes hCg
4. Pemberian ceftriaxone berguna untuk mencegah terjadinya infeksi post kuretasePemberian PTU berguna untuk menghambat sintesis hormone tiroid sehingga dapat menurunkan kadar hormon T3 dan T4
Berdasarkan hasil follow up pasien, tatalaksana yang diberikan pertama kali adalah memperbaiki keadaan umum, mempersiapkan transfusi darah, dan rencana dilaukan kuretase.
Kemudian pada hari ke-1 setelah kuretase pasien diberikan ceftriaxone 1x1 gr, PTU 2x200 mg
Tindakan penghentian perdarahannya sudah tepat dengan melakukan kuretase.
Apakah prognosis pada pasien ini?Kematian pada mola hidatidosa disebabkan oleh perdarahan, infeksi, payah jantung, dan tirotokoksikosis.Sebagian dari pasien mola akan segera sehat kembali setelah jaringannya dikeluarkan, tetapi ada kelompok perempuan yg menderita degenerasi keganasan.
Setelah melakukan kuretase, pasien mengatakan darah yang keluar sedikit serta mengeluh adanya pusing,dan lemas.
Secara keseluruhan dari hasil followup pasien ini termasuk dubia ad bonam
Mengapa hasil PP test negative pada mola hidatidosa?HCG biasanya digunakan sebagai penanda penyakit trofoblastik pada kehamilan. Konsentrasi hCg yang tinggi bisa memberikan hasil yang tidak maksimal, dimana sensivitas tes hCg untuk kehamilan adalah 27.300 sampai 233000 pada minggu ke 8-11 kehamilan.
Ketika kadar hcg tinggi, baik antibody penangkap maupun penanda mengalami saturasi, dan respon sinyal menurun. Hook effect terjadi ketika antibody penanda yang bukan sandwich terbuang bersama material yg berlebih dan memberikan hasil negatif palsu
Pada pemeriksaan didapatkan hasil pp test (-)
17
Apakah hubungan hipertiroid dengan molahidatidosa?HCG terdapat pada plasenta tersusun dari sub unit alfa yang mirip dengan sub unit alpha hormom pituitary glikoprotein seperti LH, FSH, dan TSH, dan sub unit pada beta hCg memiliki struktur 85% yang hampir sama pada 114 asam amino dan 12 residual sistein pada sub unit dari TSH. Karna struktur yang hampir mirip tersebut dari hCG dengan TSH menyebabkan hCg dapat merangsang stimulasi reseptor TSH dalam menghasilkan hormone hCg.Peningkatan estrogen dan peningkatan hormone tirotropin oleh jaringan mola menyebabkan terjadinya peningkatan hCg, terjadi peningkatan ikatan molekul hCg pada reseptor TSH yang menyebabkan hiperfungsi kelenjar tiroid
Pada pasien ini terdapat gejala hipertiroid yang ditandai dengan keluhan sesak nafas, dan nadi teraba cepat didukung dengan hasil lab Pemeriksaan TSH=0,05 dan T4=25
18
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Mola Hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar di mana tidak
ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan berupa degenerasi
hidropik. Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung-
gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari
beberapa milimeter sampai 1 atau 2 cm (Hadijanto B, 2010).
Gambaran histopatologik yang khas dari mola hidatidosa ialah edema stroma vili, tidak
ada pembuluh darah pada vili/degenerasi hidropik dan proliferasi sel-sel trofoblas (Hadijanto
B, 2010).
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin jika
dibandingkan dengan negara-negara barat. Di negara-negara barat dilaporkan 1:200 atau
2000 kehamilan, sedangkan di negara-negara berkembang sebesar 1:100 atau 600 kehamilan.
Soejoenoes dkk (1967) melaporkan 1 : 85 kehamilan; RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
1:31 persalinan dan 1:9 kehamilan; Lust A. Siregar (Medan) tahun 1982 : 11-16 per 1000
kehamilan. Biasanya dijumpai lebih sering pada umur reproduksi (15-45 tahun) dan pada
multipara. Jadi dengan meningkatkan paritas kemungkinan menderita mola lebih besar
(Fitriani R, 2009).
Pada pasien dengan mola hidatidosa, 20% kasus berkembang menjadi keganasan
trophoblastik. Setelah mola sempurna berkembang, invasi uterus terjadi pada 15% pasien dan
metastasis terjadi pada 4% kasus. Tidak ada kasus koriokarsinoma yang dilaporkan berasal
dari mola parsial, walaupun pada 4% pasien, mola parsial dapat berkembang menjadi
penyakit trofoblastik gestasional persisten nonmetastatik yang membutuhkan kemoterapi
(Rauf et al, 2011).
Insiden kehamilan mola beragam diantara kelompok-kelompok etnis dan biasanya
tertinggi pada negara-negara Amerika Latin, Timur Tengah, dan Asia Timur. Mola hidatidosa
biasanya lebih sering dijumpai pada wanita usia reproduksi, yakni usia 15 hingga 45 tahun, di
19
mana wanita pada umur remaja muda atau premenopausal yang paling beresiko. Wanita
dengan umur 35 tahun keatas memiliki peningkatan resiko 3 kali lipat. Wanita dengan usia
lebih dari 40 tahun mengalami peningkatan sebanyak 7 kali lipat jika dibandingkan dengan
wanita yang lebih muda. Peran graviditas, paritas, faktor reproduksi lain, status estrogen,
kontrasepsi oral, dan faktor makanan dalam resiko penyakit trofoblastik gestasional masih
belum jelas. Kekambuhan mola hidatidosa dijumpai pada sekitar 1 – 2% kasus. Dalam suatu
kajian terhadap 12 penelitian yang total mencakup hampir 5.000 persalinan, frekuensi mola
rekuren adalah 1,3% (Chhabra S et al, 2007).
ETIOLOGI
Penyebab pasti mola hidatidosa tidak diketahui, tetapi faktor-faktor yang mungkin
dapat menyebabkan dan mendukung terjadinya mola, antara lain (Prawirohadjo S et al,
2010):
1. Faktor ovum
Di mana ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat dikeluarkan.
Spermatozoa memasuki ovum yang telah kehilangan nukleusnya atau dua serum
memasuki ovum tersebut sehingga akan terjadi kelainan atau gangguan dalam
pembuahan.
2. Umur dibawah 20 tahun dan diatas 40 tahun
3. Imunoselektif dari trofoblast
4. Keadaan sosioekonomi yang rendah dan defisiensi gizi
Dalam masa kehamilan keperluan zat-zat gizi meningkat. Hal ini diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan janin, dengan keadaan sosial
ekonomi yang rendah maka untuk memenuhi zat-zat gizi yang diperlukan tubuh kurang
sehingga mengakibatkan gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan janinnya.
5. Paritas tinggi
Ibu multipara cenderung beresiko terjadi kehamilan mola hidatidosa karena trauma
kehamilan atau penyimpangan transmisi secara genetik yang dapat diidentifikasikan dan
penggunaan stimulan drulasi seperti klomifen atau menotropiris (pergonal).
6. Kekurangan protein
Protein adalah zat untuk membangun jaringan-jaringan bagian tubuh sehubungan dengan
pertumbuhan janin, pertumbuhan rahim dan buah dada ibu, keperluan akan zat protein
20
pada waktu hamil sangat meningkat apabila kekurangan protein dalam makanan
mengakibatkan bayi akan lahir lebih kecil dari normal.
7. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas
Infeksi mikroba dapat mengenai semua orang termasuk wanita hamil. Masuk atau adanya
mikroba dalam tubuh manusia tidak selalu akan menimbulkan penyakit. Hal ini sangat
tergantung dari jumlah mikroba (kuman atau virus) yang masuk virulensinya serta daya
tahan tubuh.
KLASIFIKASI
Mola hidatidosa dapat dibagi menjadi dua kategori, antara lain mola hidatidosa komplit
dan mola hidatidosa parsial. Mola hidatidosa komplit tidak berisi jaringan fetus, di mana 90%
biasanya terdiri dari kariotipe 46,XX dan 10% terdiri dari kariotipe 46,XY. Semua
kromosomnya berasal dari sisi paternal. Ovum yang tidak bernukleus akan mengalami
fertilisasi oleh sperma haploid yang kemudian berduplikasi sendiri, atau satu telur dibuahi
oleh dua sperma. Pada mola yang komplit, vili korialis memiliki ciri seperti buah angur, dan
terdapat hiperplasia tropoblastik. Sedangkan, pada mola hidatidosa parsial, terdapat jaringan
fetus. Eritrosit fetus dan pembuluh darah di vili korialis masih sering didapatkan. Vili korialis
terdiri dari berbagai ukuran dan bentuk dengan stroma tropoblastik yang menonjol dan
berkelok-kelok (Cunningham FG, 2005).
a. MOLA HIDATIDOSA KOMPLIT
Mola hidatidosa komplit hanya mengandung DNA paternal sehingga bersifat
androgenetik tanpa adanya jaringan janin. Hal ini terjadi karena satu sel sperma membawa
kromosom 23, X- melakukan fertilisasi terhadap sel telur yang tidak membawa gen maternal
(tidak aktif), kemudian mengalami duplikasi membentuk 46XX homozigot. Namun,
fertilisasi juga dapat terjadi pada dua spermatozoa yang akan membentuk 46XY atau 46XX
heterozigot. Secara makroskopik, pada kehamilan trimester dua mola hidatidosa komplit
berbentuk seperti anggur karena vili korialis mengalami pembengkakan secara menyeluruh.
Pada kehamilan trimester pertama, vili korialis mengandung cairan dalam jumlah lebih
sedikit, bercabang dan mengandung sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas hiperplastik dengan
banyak pembuluh darah (Schorge JO et al, 2008; Tidy JA et al, 2004; Seckl MJ, 2004).
Villi korionik berubah menjadi suatu massa vesikel-vesikel jernih. Ukuran vesikel
bervariasi dari yang sulit dilihat, berdiameter sampai beberapa sentimeter dan sering
21
berkelompok-kelompok menggantung pada tangkai kecil. Temuan Histologik ditandai oleh
adanya, antara lain (Tanto, 2014):
a. Degenerasi hidrofobik dan pembengkakan stroma vilus
b. Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak
c. Proliferasi epitel tropoblas dengan derajat bervariasi
d. Tidak adanya janin dan amnion
Gambar 1. Kehamilan Molahidatidosa Komplit
b. MOLA HIDATIDOSA PARSIAL
Mola hidatidosa parsial merupakan triploid yang mengandung dua set kromosom
paternal dan satu set kromosom maternal, tetapi pada triploid akibat dua set kromosom
maternal tidak menjadi mola hidatidosa parsial. Pada mola hidatidosa parsial, seringkali
terdapat mudigah atau jika ditemukan sel darah merah berinti pada pembuluh darah vili
korialis (Seckl MJ, 2004).
Mola hidatidosa parsial memiliki perubahan vili yang bersifat fokal, kurang
berkembang, dan mungkin tampak sebagai jaringan janin. Perkembangannya berlangsung
lambat pada sebagian villi yang biasanya avaskular, sementara villi-villi berpembuluh lainnya
dengan sirkulasi janin plasenta yang masih berfungsi tidak terkena. Pasien dengan mola
parsial tidak memiliki manifestasi klinis yang sama pada mola sempurna. Pasien ini biasanya
datang dengan tanda dan gejala yang mirip dengan aborsi inkomplit atau missed abortion
yakni perdarahan vagina dan hilangnya denyut jantung janin, Pada mola parsial, jaringan
fetus biasanya didapatkan, eritrosit dan pembuluh darah fetus pada villi merupakan penemuan
yang seringkali ada. Komplemen kromosomnya yaitu 69,XXX atau 69,XXY. Ini diakibatkan
dari fertilisasi ovum haploid dan duplikasi kromosom haploid paternal atau akibat
pembuahan dua sperma. Tetraploidi juga biasa didapatkan. Ditemukan jaringan trofoblastik
hyperplasia dan pembengkakan villi chorionic (Cunningham FG, 2005).
22
Gambar 2. Kehamilan Molahidatidosa Parsial
PATOFISIOLOGI
Untuk menahan ovum yang telah dibuahi selama perkembangan sebutir ovum, sesudah
keluar dari ovarium diantarkan melalui tuba uterin ke uterus (pembuahan ovum secara normal
terjadi dalam tuba uterin) sewaktu hamil yang secara normal berlangsung selama 40 minggu,
uterus bertambah besar, tapi dindingnya menjadi lebih tipis tetapi lebih kuat dan membesar
sampai keluar pelvis, masuk ke dalam rongga abdomen pada masa fetus (Mochtar R, 1998).
Pada umumnya setiap kehamilan berakhir dengan lahirnya bayi yang sempurna. Tetapi
dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Sering kali perkembangan kehamilan mendapat
gangguan. Demikian pula dengan penyakit trofoblast, yang merupakan kegagalan reproduksi.
Di sini kehamilan tidak berkembang menjadi janin yang sempurna, melainkan berkembang
menjadi keadaan patologik yang terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan, berupa
degenerasi hidrofik dari jonjot karion, sehingga menyerupai gelembung yang disebut ”mola
hidatidosa”. Sebagian dari villi berubah menjadi gelembung-gelembung berisi cairan jernih
merupakan kista-kista kecil seperti anggur dan dapat mengisi seluruh cavum uteri. Secara
histopatologik kadang-kadang ditemukan jaringan mola pada plasenta dengan bayi normal.
Bisa juga terjadi kehamilan ganda mola, yaitu satu jenis tumbuh dan yang satu lagi menjadi
mola hidatidosa. Gelembung mola besarnya bervariasi, mulai dari yang kecil sampai yang
berdiameter lebih dari 1 cm 5. Pada umumnya penderita ”mola hidatidosa akan menjadi baik
kembali, tetapi ada diantaranya yang kemudian mengalami degenerasi keganasan yang
berupa karsinoma (Mochtar R, 1998)
Teori terjadinya penyakit trofoblas ada 2, yaitu teori missed abortion dan teori
neoplasma. Teori missed abortion menyatakan bahwa mudigah mati pada kehamilan 3-5
minggu (missed abortion) karena itu terjadi gangguan peredaran darah sehingga terjadi
penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah gelembung-
gelembung. Teori neoplasma menyatakan bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas dan
juga fungsinya dimana terjadi resorbsi cairan yang berlebihan ke dalam villi sehingga timbul
23
gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah (Fitriani
R, 2009).
Stadium pertumbuhan mola yang dini terdapat beberapa ciri khas yang membedakan
dengan kehamilan normal, namun pada stadium lanjut trimester pertama dan selama trimester
kedua sering terlihat perubahan sebagai berikut:
Perdarahan
Perdarahan uterus merupakan gejala yang mencolok dan bervariasi mulai dari spoting
sampai perdarahan yang banyak. Perdarahan ini dapat dimulai sesaat sebelum abortus
atau yang lebih sering lagi timbul secara intermiten selama berminggu-minggu atau
setiap bulan. Sebagai akibat perdarahan tersebut gejala anemia ringan sering dijumpai.
Anemia defisiensi besi merupakan gejala yang sering dijumpai.
Ukuran uterus
Uterus yang lebih sering tumbuh lebih besar dari usia kehamilan yang sebenernya.
Mungkin uterus lewat palpasi sulit dikenali dengan tepat pada wanita multipara, khusus
karena konsistensi tumor yang lunak di bawah abdomen yang kenyal. Ovarium
kemungkinan mempunyai konsistensi yang lebih lunak.
Aktivitas janin
Meskipun uterus cukup membesar mencapai bagian atas sympisis, secara khas tidak akan
ditemukan aktivitas janin, sekalipun dilakukan test dengan alat yang sensitive sekalipun.
Kadang-kadang terdapat plasenta yang kembar pada kehamilan mola hidatidosa komplit.
Pada salah satu plasentanya sementara plasenta yang lainnya dan janinnya sendiri terlihat
normal. Demikian pula sangat jarang ditemukan perubahan mola inkomplit yang luas
pada plasenta dengan disertai janin yang hidup.
Embolisasi
Trofoblas dengan jumlah yang bervariasi dengan atau tanpa stroma villus dapat keluar
dari dalam uterus dan masuk aliran darah vena. Jumlah tersebut dapat sedemikian banyak
sehingga menimbulkan gejala serta tanda emboli pulmoner akut bahkan kematian.
Keadaan fatal ini jarang terjadi. Meskipun jumlah trofoblas dengan atau tanpa stroma
villus yang menimbulkan embolisasi ke dalam paru-paru terlalu kecil untuk
menghasilkan penyumbatan pembuluh darah pulmoner namun lebih lanjut trofoblas ini
dapat menginfasi parenkin paru. Sehingga terjadi metastase yang terbukti lewat
pemeriksaan radiografi. Lesi tersebut dapat terdiri dari trofoblas saja (corio carsinom
metastasik) atau trofoblas dengan stroma villus (mola hidatidosa metastasik). Perjalanan
24
selanjutnya lesi tersebut bisa diramalkan dan sebagian terlihat menghilang spontan yang
dapat terjadi segera setelah evakuasi atau bahkan beberapa minggu atau bulan kemudian.
Sementara bagian lainnya mengalami proliferasi dan menimbulkan kematian wanita
tersebut tidak mendapatkan pengobatan yang efektif.
Ekspulsi spontan
Kadang-kadang gelembung hidatidosa sudah keluar sebelum mola tersebut keluar
spontan atau dikosongkan dari dalam uterus lewat tindakan. Ekspulsi spontan paling
besar kemungkinannya pada kehamilan sekitar 16 minggu dan jarang lebih dari 28
minggu.
MANIFESTASI KLINIS
Pada permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan kehamilan
biasa yaitu mual, muntah, pusing dan lain-lain, hanya saja derajat keluhannya sering lebih
hebat. Selanjutnya perkembangan lebih pesat, sehingga pada umumnya besar uterus lebih
besar dari umur kehamilan. Ada pula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besar
walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan jaringan trofoblas
tidak begitu aktif sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya jenis dying mole
(Hadijanto B, 2010).
Perdarahan merupakan gejala utama mola. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara
bulan pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat perdarahan bisa
intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian.
Karena perdarahan ini umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan anemia
(Hadijanto B, 2010).
Seperti juga pada kehamilan biasa, mola hidatidosa bisa disertai dengan preeklampsia
(eklampsia), hanya perbedaannya ialah bahwa preeklampsia pada mola terjadinya lebih muda
daripada kehamilan biasa. Penyulit lain yang akhir-akhir ini banyak dipermasalahkan ialah
tirotoksikosis. Maka, Martaadisoebrata menganjurkan agar tiap kasus mola hidatidosa dicari
tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif seperti selalu mencari tanda-tanda preeklampsia pada
tiap kehamilan biasa. Biasanya pasien meninggal karena krisis tiroid (Hadijanto B, 2010).
Penyulit lain yang mungkin terjadi ialah emboli sel trofoblas ke paru-paru. Sebetulnya
pada tiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke paru-paru tanpa memberikan gejala
25
apa-apa. Akan tetapi, pada mola kadang-kadang jumlah sel trofoblas ini sedemikian banyak
sehingga dapat menimbulkan emboli paru-paru akut yang bisa menyebabkan kematian
(Hadijanto B, 2010).
Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein, baik unilateral maupun bilateral.
Umumnya kista ini menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan, tetapi ada juga kasus-
kasus di mana kista lutein baru ditemukan pada waktu follow up. Dengan pemeriksaan klinis
insidensi kista lutein lebih kurang 10,2%, tetapi bila mengguanakan USG angkanya
meningkat sampai 50%. Kasus mola dengan kista lutein mempunyai risiko 4 kali lebih besar
untuk mendapat degenerasi keganasan di kemudian hari daripada kasus-kasus tanpa kista
(Hadijanto B, 2010).
DIAGNOSIS
Adanya mola hidatidosa harus dicurigai bila ada perempuan dengan amenorea,
perdarahan pervaginam, uterus yang lebih besar dari tuanya kehamilan dan tidak ditemukan
tanda kehamilan pasti seperti balotemen dan detik jantung janin. Untuk memperkuat
diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan kadar Human Chorionic Gonadotropin (hCG) dalam
darah atau urin, baik secara bioasay, immunoasay, maupun radio-immunoasay. Peninggian
hCG, terutama dari hari ke-100, sangat sugestif. hCG biasanya digunakan sebagai penanda
penyakit trofoblastik pada kehamilan. Konsentrasi hCG yang tinggi bisa memberikan hasil
yang tidak maksimal, dimana sensivitas tes hCG untuk kehamilan adalah 27.300 sampai
233000 pada minggu ke 8-11 kehamilan. Ketika kadar hcg tinggi, baik antibody penangkap
maupun penanda mengalami saturasi, dan respon sinyal menurun. Hook effect terjadi ketika antibody
penanda yang bukan sandwich terbuang bersama material yg berlebih dan memberikan hasil negatif
palsu Bila belum jelas dapat dilakukan pemeriksaan USG, di mana kasus mola menunjukkan
gambaran yang khas, yaitu berupa badai salju (snow flake pattern) atau gambaran seperti
sarang lebah (honey comb) (Hadijanto B, 2010).
Diagnosis yang paling tepat bila kita telah melihat keluarnya gelembung mola. Namun,
bila kita menunggu sampai gelembung mola keluar biasanya sudah terlambat karena
pengeluaran gelembung umumnya disertai perdarahan yang banyak dan keadaan umum
pasien menurun. Terbaik ialah bila dapat mendiagnosis mola sebelum keluar (Hadijanto B,
2010).
26
Pada kehamilan trimester I gambaran mola hidatidosa tidak spesifik, sehingga sering
kali sulit dibedakan dari kehamilan anembrionik, missed abortion, abortus inkompletus atau
mioma uteri. Pada kehamilan trimester II gambaran mola hidatidosa umumnya lebih spesifik.
Kavum uteri berisi massa ekogenik bercampur bagian-bagian anekoik vesikular berdiameter
antara 5-10 mm. Gambaran tersebut dapat dibayangkan seperti gambaran sarang lebah (honey
comb) atau badai salju (snow storm). Pada 20-50% kasus dijumpai adanya masa kistik
multilokuler di daerah adneksa. Massa tersebut berasal dari kista teka-lutein (Hadijanto B,
2010).
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan antara lain kadar beta HCG yang normal.
Bila didapatkan > 100.000 mIU/mL merupakan indikasi dari pertumbuhan trofoblastik yang
banyak sekali dan kecurigaan terhadap kehamilan mola harus disingkirkan. Anemia
merupakan komplikasi yang sering terjadi disertai dengan kecenderungan terjadinya
koagulopati. sehingga pemeriksaan darah lengkap dan tes koagulasi dilakukan. Dilakukan
juga pemeriksaan tes fungsi hati, BUN dan kreatinin serta thyroxin dan serum inhibin A dan
activin (Prawirohadjo S et al, 2010).
Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan standar untuk mengidentifikasi
kehamilan mola. Dari gambaran USG tampak gambaran badai salju (snowstorm) yang
mengindikasikan vili korialis yang hidropik. Dengan resolusi yang tinggi didapatkan massa
intra uterin yang kompleks dengan banyak kista yang kecil-kecil. Bila telah ditegakkan
diagnosis mola hidatidosa, maka pemeriksaan rontgen pulmo harus dilakukan karena paru -
paru merupakan tempat metastasis pertama bagi PTG (Prawirohadjo S et al, 2010).
Pemeriksaan histologis memperlihatkan pada mola komplet tidak terdapat jaringan
fetus, terdapat proliferasi trofoblastik, vili yang hidropik, serta kromosom 46,XX atau 46,XY.
Sebagai tambahan pada mola komplet memperlihatkan peningkatan faktor pertumbuhan,
27
termasuk c-myc, epidermal growth factor, dan c-erb B-2, dibandingkan pada plasenta yang
normal. Pada mola parsial terdapat jaringan fetus beserta amnion dan eritrosit fetus
(Prawirohadjo S et al, 2010)
Histopatologik
Dari gelembung-gelembung yang keluar, dikirim ke laboratorium PA (Mansjoer A, 2001).
DIAGNOSA BANDING
1. Abortus iminens
2. Hidroamnion
3. Kario karsinoma
(Cuninngham FG, 2006)
TATA LAKSANA
Tindakan yang lebih diutamakan adalah menegakkan diagnosa mola hidatidosa
sebelum gelembung mola (hamil anggur) dikeluarkan, sehingga perdarahan yang timbul pada
waktu mengeluarkan mola dapat dikendalikan. Pada kasus dengan gelembung mola keluar
spontan, sebagian wanita datang dalam keadaan syok dan anemis sehingga memerlukan
perbaikan keadaan umum dengan pemberian tranfusi darah yang cukup banyak.
Langkah pengobatan mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap sebagai berikut (Manuaba et
al, 2010):
1. Perbaiki Keadaan Umum
Pengeluaran gelembung mola yang disertai perdarahan memerlukan transfusi, sehingga
penderita tidak jatuh dalam keadaan syok dan dapat menjadi penyebab kematian. Di
samping itu, setiap evakuasi jaringan mola dapat diikuti perdarahan sehingga persiapan
darah, menjadi program vital terapi mola hidatidosa. Pada waktu mengeluarkan mola
dengan kuretase d idahului pemasangan infus dan uterotonika, sehingga pengecilan
rahim dapat mengurangi perdarahan.
2. Pengeluaran Jaringan Mola Hidatidosa
Menghadapi kasus mola hidatidosa terdapat beberapa pertimbangan berkaitan dengan
usia penderita dan paritas. Pada mola hidatidosa dengan usia muda dan jumlah anak
sedikit maka rahim perlu diselamatkan dengan melakukan tindakan:
28
a. Evakuasi jaringan mola hidatidosa. Evakuasi jaringan mola hidatidosa dilakukan
dengan kuretase atau dengan vakum kuretase, yaitu alat pengisap listrik yang kuat
sehingga dapat mengisap jaringan mola dengan cepat. Penggunaan alat vakum listrik
mempunyai keuntungan, yaitu jaringan mola dengan cepat dapat diisap dan
mengurangi perdarahan. Evakuasi jaringan mola dilakukan sebanyak dua kali dengan
interval satu minggu dan jaringan diperiksa kepada ahli patologi anatomi.
b. Histerektomi. Dengan pertimbangan usia yang relatif tua (di atas 35 tahun) dan
paritas lebih dari 3, penderita mola hidatidosa mendapat tindakan radikal
histerektomi. Pertimbangan ini didasarkan kemungkinan keganasan korio karsinoma
menjadi lebih tinggi. Hasil operasi diperiksakan kepada ahli patologi anatomi.
3. Pengobatan Profilaksis dengan Sitostatikan (kemoterapi)
Mola hidatidosa merupakan penyakit trofoblas yang dapat berkelanjutan menjadi korio
karsinoma (65 sampai 75%). Untuk menghindari terjadinya degenerasi ganas, penderita
mola hidatidosa diberikan profilaksis dengan sitostatika (kemoterapi) Methotraxate
(MTX) atau Actinomycin D. Pengobatan profilaksis atau terapi sitostatika memerlukan
perawatan dan pengawasan di rumah sakit.
4. Pemeriksaan tindak lanjut
Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah
molahidatidosa. Tes hCG harus mencapai nilai normal 8minggu setelah evakuasi.
Lama pengawasan berkisar satu tahun. Untuk tidak hamil dulu dengan menggunakan
kondom, pantang berkala.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pengawasan post-mola hidatidosa adalah:
a. Melakukan pemeriksaan dalam dengan pedoman “Trias Acosta Sison: HBSL” yaitu
History : post-mola hidatidosa
Post-abortus : post partum
Bleeding : terjadi perdarahan berkelanjutan
Softeness : perlunakan rahim
Enlargement : pembesaran rahim
Dengan evaluasi berdasarkan Trias Acosta Sison kemungkinan degenerasi ganas
secara klinis dapat ditegakkan.
b. Pemeriksaan hormon
Sebelum dapat ditentukan dengan pemeriksaan canggih, mola hidatidosa ditetapkan
dengan melakukan pemeriksaan Galli Mainini. Pemeriksaan alat canggih dilakukan
untuk menetapkan kadar hormon gonadotropin.
29
c. Pemeriksaan foto toraks.
Pemeriksaan foto toraks dilakukan karena kemungkinan metastase ke paru-paru
dengan gejala batuk-batuk disertai dahak berdarah, dapat menimbulkan akumulasi
cairan di dalam pleural.
d. Mencari metastase
Degenerasi ganas mola hidatidosa bila dijumpai metastase bintik kebiruan pada
vagina yang merupakan tanda khas korio karsinoma.
KOMPLIKASI
1. Perdarahan yang hebat sampai syok
2. Perdarahan berulang-ulang yang dapat menyebabkan anemia
3. Infeksi sekunder
4. Perforasi karena tindakan atau keganasan
5. Penyakit trofoblast ganas seperti mola destruens atau koriokarsinoma
(Fox H, 2007)
PROGNOSIS
Kematian pada molahidatidosa disebabkan oleh perdarahan, infeksi, payah jantung atau
tirotoksikosis. Di negara maju kematian karena mola hampir tidak ada lagi. Akan tetapi, di
negara berkembang masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 2,2% dan 5,7%. Sebagian dari
pasien mola akan segera sehat kembali setelah jaringan dikeluarkan, tetapi ada sekelompok
perempuan yang kemudian menderita degenerasi keganasan menjadi koriokarsinoma.
Presentase keganasan yang dilaporkan oleh berbagai klinik sangat berbeda-beda, berkisar
antara 5,56%. Bila terjadi keganasan, maka pengelolaansecara khusus pada devisi Onkologi
Ginekologi (Hadijanto B, 2010).
HIPERTIROID
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering meningkat (10%),
namun gejala hipertiroid jarang muncul. Terjadinya tirotoksikosis pada mola hidatidosa
berhubungan erat dengan besarnya uterus. Makin besar uterus makin besar kemungkinan
terjadi tirotoksikosis. Oleh karena kasus mola dengan uterus besar masih banyak ditemukan,
maka dianjurkan agar pada setiap kasus mola hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis
secara aktif dan memerlukan evakuasi segera karena gejala-gejala ini akan menghilang
30
dengan menghilangnya mola. Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang
lebih buruk, baik dari segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya
penderita meninggal karena krisis tiroid. Peningkatan tiroksin plasma mungkin karena efek
dari estrogen seperti yang dijumpai pada kehamilan normal. Serum bebas tiroksin yang
meningkat sebagai akibat thyrotropin – like effect dari Chorionic Gonadotropin Hormon.
Terdapat korelasi antara kadar hCG dan fungsi endogen tiroid tapi hanya kadar hCG yang
melebihi 100.000 iu/L yang bersifat tirotoksis. Sekitar 7 % mola hidatidosa komplit datang
dengan keluhan seperti hipertensi, takikardi, tremor, hiperhidrosis, gelisah emosi labil dan
warm skin.
Hipertiroid Pada Mola Hidatidosa
Selama kehamilan, beberapa perubahan fisiologik yang terjadi pada fungsi tiroid yaitu
peningkatan 2-3 kali lipat konsentrasi Thyroxine Binding Globulin (TBG), peningkatan 30-
100% konsentrasi T3 total dan T4, peningkatan serum tiroglobulin, peningkatan kliren
yodium pada ginjal dan stimulasi kalenjar tiroid oleh Human Chorionic Gonadotropin (hCG).
Kehamilan umumnya menghasilkan peningkatan aktivitas tiroid yang membuat individu
untuk mempertahankan diri pada kondisi eutyroid. Akan tetapi, baik hiper maupun hipo bisa
terjadi pada kehamilan. Penilaian fungsi tiroid pada kehamilan sangat penting untuk
mencegah komplikasi ibu dan bayi berupa peningkatan risiko abortus spontan, kelahiran
prematur, berat badan bayi lahir rendah, kematian janin dalam kandungan, dan preeklampsia
(Moeller LK, 2009).
Tabel 1. Fungsi tiroid selama kehamilan
31
Gejala klinis hipertiroid dengan Mola hidatidosa sering tidak ada gejala atau sangat
sedikit ditemukan, gejala ini berbeda dengan penyakit graves pada kehamilan dimana
biasanya sering disertai dengan pembesaran kalenjar tiroid dan exoptalmus. Frekuensi gejala
klinis wanita dengan hipertiroid tidak ditemukan secara pasti. Higgin dkk menemukan bukti
klinis hipertiroid pada 9 dari 14 pasien. Galton dkk menemukan peningkatan fungsi tiroid
pada semua pasien yang diteliti, tapi tidak ditemukan gejala klinik pada grup ini (Chaniwala
NU et al., 2008)
Gambar 1. Algoritme evaluasi hipertiroid selama kehamilan.
Ada dua kondisi spesifik pada kehamilan yang menyebabkan hipertiroid yaitu
hiperemesis gravidarum dan penyakit trophoblastik. Hiperemesis gavidarum dikaitkan
dengan hCG yang mengiduksi peningkatan kadar estradiol, akan tetapi hubungan antara
hiperemesis dan hipertiroid masih belum sepenuhnya dipahami. Akan tetapi baik
hiperememis gravidarum maupun mola hidatidosa ini perlu diidentifikasi segera karena
pengobatan penyakit dasar akan mengatasi kondisi hipertiroidnya (Albaar MT, 2009;
Meister LHF et al., 2005)
32
Human Chorionic Gonadotropin terdapat pada plasenta tersusun dari sub unit alpha
yang mirip dengan sub unit alpha hormon pituitary glycoprotein seperti LH, FSH dan
TSH, dan sub unit b pada hCG memiliki stuktur 85% yang hampir sama pada 114 asam
amino dan 12 residual sistein pada sub unit b dari TSH (Albaar MT, 2009; Fantz CR et
al., 1999). Karena struktur yang hampir mirip tersebut dari hCG dengan TSH
menyebabkan hCG dapat merangsang stimulasi reseptor TSH (TSHr) dalam
menghasilkan hormon tiroid seperti hormon TSH pada umumnya. Ini dapat dibuktikan
pada suatu penelitian sel tiroid pada tikus, yang menghasilkan peningkatan ambilan
yodium dan produksi cAMP setelah diberikan hCG. Pada kultur folikel tiroid pada
manusia didapatkan stimulasi ambilan yodium, organifikasi dan sekeresi dari T3 (Albaar
MT, 2009). Studi lain yang dilakukan oleh Herschman dan Higgins menujukkan bahwa
hCG memiliki aktifitas menstimulasi tiroid dan ditemukan bahwa adanya suatu hubungan
yang erat diantara kadar serum hCG yang diukur dengan radioimmunoassay, molar TSH
yang diukur dengan bioassay dan T3. 11 Pada trimester pertama kehamilan, hCG
mencapai konsentrasi tertinggi, ini membuat stimulasi pada kalenjar tiroid untuk
menghasilkan hormon tiroid dan menekan kadar TSH. Pada trimester kedua dan ketiga,
konsentrasi TSH akan meningkat secara bertahap karena penurunan kadar hCG.
Mekanisme ini menghasilkan kurva seperti cermin. Beberapa hasil penelitian melaporkan
bahwa setiap 10.000 mIU/L peningkatan hCG akan diikuti dengan peningkatan 0,6
pmol/L ( 0,1 ng/dL kadar FT4 dan menurunkan kadar TSH 0,1mIU/L. Peningkatan FT4
pada trimester pertama diduga dapat diketahui bila kadar hCG 50.000 – 75.000 mIU/L
bertahan sampai lebih dari 1 minggu (Albaar MT, 2009).
Pada pasien hiperthiroid yang disebabkan oleh penyakit tropoblastik akan terjadi
peningkatan FT4 dan konsentrasi T3, penurunan TSH, dan peningkatan hCG secara
signifikan. Selain Mola Hydatidosa menyebabkan hipertiroid, peningkatan kadar hCG
juga dihubungkan penyakit tropoblastik yang lain seperti koriokarsinoma, embrional sel
karsinoma, teratokarsinoma dan testicular karsinoma. HCG menginduksi hipertiroid tanpa
proses neoplasma secara terbatas pada trimester pertama dan jika diperlukan dapat
diberikan pengobatan standar antitiroid seperti PTU (Meister LHF, 2005).
Pada pasien dengan hCG yang meningkat oleh karena proses neoplasma sering
memerlukan tindakan kemoterapi selain tindakan pembedahan.
Penatalaksanaan hipertiroid pada Mola Hidatidosa
Penatalaksanaan pada Mola Hidatidosa terdiri dari dua fase yaitu evakuasi mola
segera dan tindak lanjut untuk mendeteksi proliferasi trofoblas persisten atau perubahan
33
keganasan. Mola harus dikeluarkan biasanya dilakukan melalui tindakan dilatasi dan
kuretase atau lebih dikenal sebagai kuret (Syafii et al., 2006). Sebagai alternatif dapat
digunakan oksitosin atau prostaglandin untuk membuat rahim berkontraksi dan
mengeluarkan isinya . Pada tahap pra bedah adalah mempersiapkan penderita menjadi
eutiroidi untuk mencegah terjadinya krisis tiroid, digunakan kombinasi obat yaitu PTU
200 mg. Obat tersebut memiliki efek menghambat reaksi autoimun pada proses
pembentukan hormon tiroid dan mencegah sintesis hormon tiroid sehingga dapat
menurunkan kadar hormon T3 dan T4. Pemberian obat Propiltiourasil (PTU) pada wanita
hamil dalam dosis 3 x 50-100 mg per hari.
Penelitian yang dilakukan oleh Adam (2011) menyatakan bahwa pada 13 wanita
hamil dengan hipertiroid selama kehamilan tidak menemukan kelainan pada bayi yang
dilahirkan setelah pemberian Propiltiourasil (PTU) dalam dosis 3 x 50-100 mg per hari.
Apabila Propiltiourasil (PTU) diberikan pada dosis yang melebihi 3 x 50-100 mg per hari
akan memiliki efek samping yaitu kerusakan pada organ ginjal, organ hati. (Karena
perjalanan penyakit hipertiroidi dapat berlangsung sangat cepat, dianjurkan untuk
memberikan OAT kepada setiap penderita dengan fungsi tiroid yang meningkat,
walaupun tidak disertai hipertiroidi klinis (Gunawan GS, 2007).
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Albaar MT, Adam JM. 2009. Gestational Transient Thyrotoxicosis: Clinical Practice.
Acta Med Indones - Indones J Intern Med. 41(2) : 99-104
2. Chaniwala NU, Woolf PD, Bruno CP, Kaur S, Spector H, Yacono K. 2008. Thyroid
Storm Caused by a Partial Hydatidiform Mole Thyroid 16(4). 479-480
3. Chhabra S, Qureshi A. 2007. Gestational trophoblastic neoplasms with special
reference to invasive mole. Obstet Gynecol India. 57(2): 124-7.
4. Cuninngham. F.G. dkk. 2006. Mola Hidatidosa. Penyakit Trofoblastik Gestasional
Obstetri Williams. Edisi 21. Vol 2. Hal 930-938. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGG.
5. Cunningham FG, Lenevo KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III L, Wenstrom KD.
2005. Gestational trophoblastic disease. In: Seils A, Edmonson KG, Davis K, editor.
Williams Obstetrics. 22 nd ed. Hal: 273-284. New York: McGraw-Hill.
6. Fitriani, Rini. 2009. Mola Hidatidosa. Jurnal Kesehatan. Vol II No. 4
7. Fox, Harold. 2007. Gestational Trophoblastic disease. Available at www.bmj.com
8. Gestational Trophoblastic Disease in : Berek & Novak's Gynecology 14th ed. Chapt
37, Lippincott Williams & Wilkins, 2007
9. Gestational Trophoblastic Disease in : Williams Gynecology, Sec.4, Chapt.37, The
McGraw-Hill Companies, Inc, New York, 2008
10. Gunawan GS. 2007. Propiltiourasil (PTU). Farmakologi dan Terapi. Edisi V.
Departemen Farmakologi dan Teurapetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 441-442 hal.
11. Hadijanto, B. 2010. Perdarahan pada Kehamilan Muda. Ilmu Kebidanan. Hal: 488-
490. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo.
12. Tanto Chris, I Putu Gede Kayika . 2014. Mola Hidatidosa. Kapita Selekta
Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid I. Hal 424-425. Jakarta:
Media Aesculapius.
13. Manuaba et al. 2010. Penyimpangan Tumbuh-Kembang Hasil Konsepsi. Ilmu
kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. ECG.
14. Meister LHF, Hauck PR, Graf H, Carvalho GA. 2005. Hyperthyroidism Due to
Secretion of Human Chorionic Gonadotropin in a Patient With Metastatic
Choriocarcinoma. Arq Bras Endocrinol Metab. 49(2). 319 – 322
35
15. Mochtar. R. 1998. Penyakit Trofoblas. Sinopsis Obstetri. Jilid I. Edisi2. Hal. 238-243.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. ECG.
16. Nodler L. James, Kenneth H. Kim, Ronald D. Alvarez. 2011. Abnormally low hCG in
a complete hydatidiform molar pregnancy: The hook effect . Gynecologic Oncology
Reports 1 (2011) 6–7
17. Prawirohadjo, S. & Wiknjosastro, H. 2010. Mola Hidatidosa. Ilmu Kandungan. Hal.
208-217. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo.
18. Rauf S, Riu DS, Sunarno I. 2011. Gangguan Bersangkutan dengan Konsepsi. Ilmu
Kandungan. Hal: 211-213. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo.
19. Soetedjo Nanny Natalia Mulyani dan Sri Hartini KS Kariadi. 2011. Tinjau Ulang
Nilai Faktor Penduga dan Rumus Diskriminan untuk Mendiagnosis Hipertiroid pada
Mola Hidatidosa. MKB, Volume 43 No. 1
20. Tidy J, Sheffield and BW Hancock, Sheffield. 2010. The Management of Gestational
Trophoblastic Disease.Royal College of Obstetricians and Gynaecologists
21. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. 2008. Gangguan Bersangkutan
Dengan Konsepsi. Dalam : Ilmu Kandungan. Edisi II, Cetakan VI. PT.Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: Hal 247-266
36
Recommended