View
980
Download
4
Category
Preview:
Citation preview
BAB 1 : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang
bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pembangunan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia, baik
masyarakat, swasta, maupun pemerintah.1
Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan diperlukan
dukungan sistem kesehatan nasional (SKN) yang tangguh. SKN adalah suatu
tatanan yang menghimpun berbagai upaya bangsa Indonesia secara terpadu dan
saling mendukung guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti yang dimaksud pembukaan UUD
1945.1
Berbagai upaya dilakukan pemerintah agar terselenggaranya pembangunan
nasional salah satunya dengan berkomitmen memberikan jaminan kesehatan bagi
setiap warga Negara. Berbagai teknologi baru bermunculan. Riset-riset untuk
menghasilkan inovasi baru harus terus dilakukan. Semua itu memerlukan biaya
yang tidak sedikit. Ditambah lagi, persaingan di dunia kesehatan yang makin
ketat. Banyak institusi pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit dan klinik, yang
bermunculan. Kehadiran institusi-institusi tersebut, tidak hanya didasari semangat
untuk menolong, tapi juga memiliki sisi bisnis yang tidak bisa dikesampingkan.
Tentu saja, dalam bisnis, segelintir pihak mengharapkan keuntungan dari bisnis
yang mereka jalani tersebut.
Masalahnya, upaya mencari keuntungan tersebut dilimpahkan kepada
masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan. Itu artinya, institusi
pelayanan bergantung pada uang yang dibayarkan masyarakat atas jasa yang telah
mereka berikan. Semakin banyak uang yang dibayarkan, semakin besar pula
keuntungan yang didapat. Akibatnya, banyak institusi pelayanan medis yang
mengambil jalan pintas dengan menentukan tarif pelayanan medis secara
sembarangan. Ini disebabkan tidak adanya standar baku yang berlaku secara
nasional untuk menghitung dan mengevaluasi pelayanan medis yang harus
dikenakan pada masyarakat. Itu sebabnya, sering terjadi perbedaan biaya pada
institusi pelayanan kesehatan yang berbeda, walaupun diagnosis yang dilakukan
sama. Akibatnya, banyak pengguna jasa pelayanan kesehatan merasa ditipu.
Namun, masyarakat tidak mampu melakukan perlawanan karena tidak adanya
patokan yang bisa dijadikan dasar untuk melakukan klarifikasi.
Ketiadaan standar ini memang sangat merugikan konsumen jasa pelayanan
kesehatan, terlebih lagi bagi golongan masyarakat miskin. Umumnya, masyarakat
miskin tidak memiliki banyak pilihan dalam hidup mereka. Selain itu,
pengetahuan serta akses mereka menuju pelayanan kesehatan yang murah dan
memadai juga terbatas, sehingga, mereka dengan mudah menerima apa pun yang
dikatakan atau disarankan oleh dokter atau rumah sakit. Akibatnya, ketika mereka
mengetahui jumlah kewajiban yang harus mereka lunasi, mereka tidak berdaya.
Akhimya, mereka lebih memilih untuk menjauhi institusi pelayanan kesehatan
karena merasa takut dengan biaya yang mahal.
Untuk itu perlu dicari suatu solusi untuk mengendalikan biaya pelayanan
di rumah sakit melalui mekanisme pembayaran pra-upaya (Prospective Payment
System) dalam bentuk tarif Paket Pelayanan Esensial (PPE). Analisis biaya
pelayanan berbasis aktivitas dan tarif PPE ini telah berkembang menjadi tarif
paket dengan model Diagnosis Related’s Group (DRG) yang di Indonesia
dinamakan Indonesia Diagnosis Related’s Group (INA-DRG).2
Lisensi INA-DRG yang merupakan software grouper dari PT. 3M
Indonesia berakhir pada tanggal 1 Oktober 2010 (expired). Selanjutnya,
Indonesia menggunakan INA-CBGs dengan sistem yang sama seperti INA-DRG
dengan beberapa peningkatan. INA-CBGs merupakan suatu sistem klasifikasi
kombinasi dari beberapa jenis penyakit/ diagnosa dan prosedur/ tindakan
pelayanan di Rumah sakit yang dikaitkan dengan pembiayaan dengan tujuan
meningkatkan mutu dan efektifitas pelayanan.3
INA-CBGs termasuk ke dalam sistem Casemix yaitu salah satu metode/
alat yang memungkinkan upaya menetapkan ekuiti, efisiensi, dan kualitas suatu
rumah sakit dengan melakukan identifikasi dari seluruh sumber daya yang
digunakan. Oleh karena itu, jika kita berbicara tentang INA-CBGs tentu tidak
akan terlepas dari sistem Casemix begitu pun sebaliknya.3
Centre for Casemix adalah sebuah wadah yang dibentuk Depkes RI, yang
bertugas mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data dan informasi mengenai
pelaksanaan Casemix di 15 rumah sakit yang telah ditunjuk pemerintah sebagai
tempat uji coba sistem Casemix. Berbekal data yang dikirimkan dari rumah sakit-
rumah sakit tersebut Centre for Casemix menyusun daftar tarif INA-CBGs.
Adapun rumah sakit yang berpartisipasi dalam kerja sama ini salah satunya adalah
RSUP Dr. M. Djamil Padang.4
RSUP Dr. M. Djamil Padang merupakan salah satu rumah sakit umum tipe
B di Kota Padang yang telah menggunakan suatu sistem pembayaran dengan
berdasarkan Indonesia Case Base Groups (INA-CBG’s) untuk pasien rawat inap
kelas 3 (tiga) dengan jaminan asuransi Jamkesmas. Pada tahun 2012 sebanyak
7.151 pasien (17,18%) pada Instalasi Rawat Inap dan 34.469 pasien (82,82%)
pada Instalasi Rawat Jalan. 5
Pemerintah melakukan segala cara untuk mengatasi masalah pembiayaan
kesehatan salah satunya dengan menggunakan sistem Costing INA-CBGs. Sistem
ini sangat bermanfaat bagi nakes sebagai penyedia layanan kesehatan maupun
bagi pasien sendiri sebagai penerima layanan kesehatan. Sistem Costing INA-
CBGs sendiri berdasarkan pengelompokkan beberapa kasus dengan diagnosa dan
ciri klinis yang sama, sehingga pasien dapat mengetahui berapa biaya yang akan
mereka keluarkan/ bayarkan kepada rumah sakit untuk menerima pelayanan
kesehatan. Selain itu, Costing INA-CBGs ini juga dapat mengurangi moral
hazard sehingga kontrol biaya dan kontrol mutu dapat dilaksanakan.
Data yang didapat pada Instalasi Rawat Jalan yaitu sebesar
Rp.2.312.606.351,- cost dari rumah sakit untuk klaim Program Jamkesmas dari
tarif INA CBGs yaitu sebesar Rp.7.910.604.396,-. Terdapat kelebihan biaya
sebesar Rp.5.597.998.045,- . Sedangkan, pada Instalasi Rawat Inap sejumlah
Rp.32.290.111.340,- biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit untuk pasien
Jamkesmas dari tarif INA-CBGs yaitu sebesar Rp. 23.943.093.043,-. Terdapat
selisih biaya yaitu sebesar Rp. 8.347.018.297,-. Jika dijumlahkan selisih dari Cost
yang dikeluarkan rumah sakit dengan tarif INA-CBGs yang telah ditetapkan,
terdapat selisih sebesar Rp. 2.749.020.252,- yang menunjukkan cost yang
dikeluarkan rumah sakit lebih besar dari tarif INA-CBGs yang telah ditetapkan.
Hal ini berarti efektifitas dan efisiensi belum dilakukan oleh pihak rumah sakit.
Dengan kata lain kendali biaya dan kendali mutu rumah sakit masih belum
optimal. 5
Sistem Costing di RSUP Dr. M. Djamil Padang untuk pasien Jamkesmas
belum menggunakan sistem Costing INA-CBGs yaitu sistem perhitungan biaya
dengan mengelompokkan penyakit dengan diagnosa dan ciri klinis yang sama,
melainkan masih menggunakan sistem Costing secara umum yang sesuai dengan
kebutuhan Kemenkes guna penentuan tarif. Sedangkan, idealnya Costing INA-
CBGs dilakukan berdasarkan pengelompokkan penyakit dengan diagnosa dan ciri
klinis yang sama bukan secara umum sesuai dengan kebutuhan untuk pengiriman
data kepada Kemenkes saja. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis
bagaimana sistem Costing dalam implementasi INA-CBGs di RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada tahun 2013.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
1.2.2 Tujuan Khusus
1.3 Manfaat
1.4 Ruang Lingkup
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DRG’s (Diagnnostic Related Group)
Diagnostic Related Group (DRG) berasal dari Amerika Serikat, dimana
DRG dikembangkan pada akhir tahun 1960-an oleh Prof. Bob Fetter di
Universitas Yale. Sistem DRG didesain untuk mengelompokkan secara bersama
pasien rawat inap akut yang secara klinis mirip dan memiliki kesamaan pola
penggunaan sumber daya. DRG menyediakan cara yang bermakna secara klinis
untuk menghubungkan jumlah dan tipe pasien yang dirawat dengan sumber daya
yang digunakan. Kelompok DRG dihasilkan dari data diagnostik, prosedur, dan
demografis yang secara rutin dikumpulkan pada lembar rekam medis pasien rawat
inap. Motivasi awal dari pengembangan DRG adalah menciptakan sebuah
kerangka kerja untuk memantau kualitas pelayanan dan utilisasi pelayanan di
rumah sakit, serta sebagai suatu cara untuk mengukur dan mengevaluasi keluaran
(output) sektor pelayanan kesehatan.6
DRG’s sendiri merupakan suatu cara untuk mengidentifikasikan pasien
yang mempunyai kebutuhan dan keperluan sumber-sumber yang sama di rumah
sakit kemudian dikelompokkan ke dalam kelompok yang mudah dikelola
kebutuhannya. Australian Refined Diagnosis Related Group (AR-DRG)
mendefinisikan DRG sebagai a patient classification system that provides a
clinically meaningful way of relating the types of patients treated in hospital to
the resources required by the hospital. DRG’s dalam bahasa Indonesia diartikan
sebagai pengelompokkan penyakit menurut diagnosis.2
Motivasi utama untuk mengembangkan DRG adalah untuk menciptakan
framework yang efektif untuk memonitor penggunaan pelayanan dalam rumah
sakit. Sementara itu tujuan awal pembuatan DRG’s adalah untuk menggabungkan
casemix dengan kebutuhan sumber daya dengan biaya rumah sakit. DRG’s
terutama berfokus kepada intensitas sumber daya. DRG’s dan clinical pathway
merupakan cikal bakal dari casemix yang merupakan sistem klasifikasi pasien
yang dikombinasikan dengan jenis penyakit yang dihubungkan dengan biaya
selama perawatan.2
Depkes sudah mencoba memulainya dengan menerapkan Paket pelayanan
Esensial (PPE) sebagai jembatan menuju DRG’s dan memperkenalkan konsep ini
ke berbagai rumah sakit sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, implementasinya
terasa sangat sulit sekali hingga pada awal September 2005 tim dari Universitas
Kebangsaan Malaysia dengan didampingi tim dari UGM dan UI diminta Depkes
untuk men-support perencanaan Depkes dengan uji coba pada 15 RSUP di
Indonesia dengan model pendekatan yang paling mungkin bisa dilaksanakan.
Pemerintah, berdasarkan keputusan Mentri Kesehatan RS No. 989/ Menkes/ SK/
IX/ 2007 berencana akan memberlakukan INA DRG mulai 1 September 2007
untuk kelas III di RS Pemerintah di seluruh Indonesia.2
INA-DRG adalah suatu sistem klasifikasi kombinasi dari beberapa jenis
penyakit/ diagnosa dan prosedur/ tindakan pelayanan di rumah sakit dan
pembiayaannnya yang dikaitkan dengan mutu serta efektifitas pelayanan terhadap
pasien. INA DRG merupakan sistem pemerataan, jangkauan, dan berhubungan
dengan mutu pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam
pembiayaan kesehatan. Selain itu sistem ini juga dapat digunakan sebagai salah
satu standar penggunaan sumber daya yang diperlukan dalam pemberian
pelayanan kesehatan di rumah sakit.(2,3,5)
2.1.1 Tujuan Diagnostic Related Group (DRG)
Tujuan dari pelaksanaan Diagnosis Related Group (DRG) antara lain:
a. Kontrol biaya
Jika biaya ditetapkan secara prospektif dan dibayar dengan tanpa melihat
lama tinggal pasien, rumah sakit didorong untuk menghindari biaya yang tidak
penting, khususnya jika ekses dari angka pembayaran melebihi biaya aktual yang
optimal. Berdasarkan indeksasi, metode per diem yang ada dari pembayaran tetap
kecuali bahwa biaya yang reasonable disesuaikan dengan jumlah kompleksitas
casemix.7
b. Jaminan mutu
Program jaminan mutu dijalankan terutama melalui pemanfaatan/
utilization. Melalui data DRG yang berguna untuk evaluasi perawatan medis. Data
akan memungkinkan bagi komite yang sesuai untuk membuat perbandingan untuk
pembiayaan, beban/ongkos (charge), dan lama tinggal, dan pelayanan individual
menurut kelompok penyakit antar rumah sakit. Permasalahan yang dicurigai dapat
diuji lebih lanjut dengan informasi yang dibutuhkan, yang diperoleh melalui
diagnosis dalam DRG.7
c. Perencanaan
Informasi berdasarkan DRG dapat berguna untuk berbagai macam
keperluan/ tujuan. Dalam beberapa hal, DRG dapat digunakan untuk
mengantisipasi kebutuhan staf tenaga medik dalam kasus-kasus tertentu akibat
dari perubahan volume bauran casemix. Data DRG juga bisa digunakan sebagai
informasi bagi pihak ketiga sebagai payer untuk membandingkan provider mana
yang menghasilkan pelayanan pada unit cost yang paling rendah.7
2.1.2 Syarat dalam Keberhasilan Implementasi DRG
Data yang harus ada dalam Diagnostic Related Group (DRG) yang
menjadi syarat dalam keberhasilan implementasi DRG tergantung pada 3 C
(coding, costing, dan clinical pathway).
a. Coding
Proses terbentuknya tarif DRG tidak terlepas dari adanya peran dari sistem
informasi klinik rekam medis. Tujuan rekam medis untuk menunjang tercapainya
tertib administrasi dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Tertib administrasi adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
pelayanan kesehatan di rumah sakit, sehingga keberhasilan pelaksanaan DRG pun
sangat tergantung dengan data pada rekam medis.7
Data dasar dalam INA-DRG terdiri dari 16 variabel, yaitu : 8
1) Nama RS
2) Kelas RS
3) Nomor Rekam Medis
4) Kelas Perawatan
5) Total biaya
6) Jenis perawatan
7) Tanggal masuk rumah sakit
8) Tanggal keluar rumah sakit
9) Lama hari rawatan
10) Umur ketika masuk rumah sakit (dalam satuan tahun)
11) Jenis kelamin
12) Cara pulang
13) Berat badan baru lahir
14) Diagnosa dan Prosedur
15) Hasil grouping
16) Identitas pasien (Nama pasien, No. SKP, Dokter Penanggung Jawab dan
tanda tangan, data alat/ bahan medic habis pakai)
b. Costing
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam menentukan
pembiayaan untuk DRG, yaitu : 7
1) Top Down Costing
2) Activity Based Costing (ABC)
c. Clinical Pathway
Clinical Pathway adalah dokumen perencanaan pelayanan kesehatan
terpadu yang merangkum setiap langkah yang dilakukan pada pasien berdasarkan
standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan, dan standar pelayanan
tenaga kesehatan lainnya.7
2.1.3 Mekanisme Pembayaran Berdasarkan DRG
Hendrartini menyebutkan mekanisme pembayaran berdasarkan Diagnosis
Related Group’s (DRG’s) adalah suatu sistem imbalan jasa pelayanan pada
Prospective Payment Sistem (PPS)/ suatu sistem pembayaran pada pemberian
pelayanan kesehatan, baik rumah sakit atau dokter dalam jumlah yang ditetapkan
sebelum suatu pelayanan di berikan tanpa memperhatikan tindakan yang
dilakukan atau lamanya perawatan. Sedangkan Hartono menyatakan bahwa
mekanisme pembayaran berdasarkan DRG adalah suatu mekanisme pembayaran
yang ditetapkan berdasarkan pengelompokkan diagnosa, tanpa memperhatikan
jumlah/pelayanan yang diberikan.(9,10)
Hartono menyebutkan pentingnya mengontrol pembayaran melalui
mekanisme berbasis DRG, meskipun belum di terapkan di Indonesia. beliau
menyebutkan adanya perbedaaan tarif yang di keluarkan oleh Rumah Sakit untuk
kasus yang sama dengan kriteria yang sama karena ada perbedaan tindakan yang
di lakukan dan diagnostik yang di kerjakan sehingga terdapat kecenderungan
peningkatan tarif yang di bebankan kepada pasien.10
Mekanisme untuk penyusunan pembayaran berdasarkan DRG adalah :
a. Melengkapi data pasien
DRG membutuhkan data-data yang dikumpulkan secara rutin oleh rumah
sakit seperti : Identitas pasien, tanggal masuk dan keluar rumah sakit,lama
hari rawat, umur, jenis kelamin, status keluar rumah sakit, BB baru lahir
(jika neonatal), diagnosis utama, diagnosis sekunder dan prosedur
pembedahan.10
b. Analisis pengkelasan dan hasil grouping DRG sesuai dengan ICD 10 yang
diterbitkan oleh WHO
Kewajiban rumah sakit untuk memberikan kode sesuai dengan ICD 10
(Klasifikasi internasional untuk penyakit).10
c. Analisis biaya pasien ( DRG Cost)
. Berdasarkan laporan pertama proyek nasional, “Case Costing in Swedish
Health and Medical Care” mendeskripsikan proses pembiayaan kasus
dalam empat langkah: 11
1) Mengidentifikasi total biaya secara akurat
2) Mengalokasikan biaya-biaya tak langsung ke dalam pusat-pusat
penyerapan dana.
3) Mengidentifikasi produk-produk intermediate dan menghitung biaya-
biayanya.
4) Membagi biaya-biaya tersebut kepada pasien.
2.1.4 Casemix dan INA CBGs
Casemix merupakan salah satu metode atau alat yang memungkinkan
upaya menetapkan ekuiti, efisiensi dan kualitas suatu rumah sakit dengan
melakukan identifikasi dari bauran dan jenis kasus/ pasien yang dirawat dan
identifikasi dari seluruh sumber daya yang digunakan. Berdasarkan hasil
penelitian Ronnie, Diagnosis Related Group selanjutnya disebut DRG adalah
suatu cara mengidentifikasi pasien yang mempunyai kebutuhan dan sumber yang
sama dirumah sakit kemudian dikelompokkan kedalam kelompok yang sama.
Sistem ini didasarkan pada keadaan yang menggambarkan berbagai tipe (“mix”)
kondisi pasien atau penyakit (“cases”) selama berobat/ dirawat di rumah sakit.
(12,13)
Ibrahim juga menyatakan bahwa casemix ditetapkan sebagai ilmu untuk
mengklasifikasikan dan menilai kuantitas dari sumber daya pelayanan kesehatan
di rumah sakit. Sistem casemix adalah solusi terbaik untuk pengendalian biaya
kesehatan karena berhubungan dengan mutu, pemerataan, jangkauan dalam sistem
kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam pembelanjaan kesehatan serta
mekanisme pembayaran untuk pasien berbasis kasus campuran.7
Menurut Hosizah, sistem Casemix tersebut merupakan suatu cara
mengelola sumber daya rumah sakit seefektif mungkin dalam memberikan
layanan kesehatan yang terjangkau kepada masyarakat berdasarkan
pengelompokkan spektrum diagnosis penyakit yang homogen dan prosedur
tindakan yang diberikan. Secara umum sistem casemix digunakan dalam hal
Quality Assurance Program, komunikasi dokter – direktur RS dan staf medical
record, perbaikan proses pelayanan, anggaran, profilling, brenchmarking, quality
control, dan sistem pembayaran.14
Sistem Casemix merupakan suatu sistem pengelompokkan pasien
berdasarkan kemiripan karakteristik klinis dan homogenitas sumber daya yang
digunakan, dimana sistem ini dinilai mampu mengestimasi untuk menyediakan
pelayanan kesehatan di rumah sakit sesuai dengan kondisi pasien secara efektif
dan efisien. Sistem ini akan menghindari penggunaan alat kedokteran canggih
secara berlebihan, serta pemberian obat-obat yang tidak perlu. Dengan sistem
yang berbasis teknologi informasi ini diharapkan dapat memberikan keadilan dan
transparansi bagi pihak pemberi dan pengguna jasa pelayanan kesehatan, terutama
pelayanan di rumah sakit yang bekerjasama menyelenggarakan Jamkesmas.(3,4)
Implementasi Casemix di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2006
dengan nama INA-DRG (Indonesia Diagnosis Related Group), berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1633/Menkes/SK/XII/2005 tanggal 23
Desember 2005 tentang uji coba penerapan Sistem DRG Casemix. Dimana pada
tahap awal implementasi tersebut melibatkan 15 rumah sakit pilot project yang
terdiri dari rumah sakit vertical. Kementerian Kesehatan RI menjajaki kerjasama
dengan United Nation University-International Institute for Global Health (UNU-
IIGH) di Malaysia. Dengan terjadinya pergantian ini maka terjadi pula perubahan
nama dari INA-DRG menjadi INA-CBG’s (Indonesia-Case Based Group’s). 15
Bentuk kerjasama antara Kementerian Kesehatan RI dan UNU-IIGH
adalah serangkaian kegiatan teknis untuk pengembangan dan implementasi sistem
Casemix di Indonesia hingga terciptanya “local norm”, yang nantinya mutlak
menjadi milik Kementerian Kesehatan RI. INA-DRG adalah variasi sistem
casemix untuk Indonesia yang disusun berdasarkan data dari 15 rumah sakit
vertikal, mempergunakan ICD 10 untuk diagnosis dan ICD 9 CM untuk prosedur
tindakan serta biaya berdasarkan tarif yang berlaku pada waktu tersebut. Kunci
Utama dalam pelaksanaan INA DRG adalah :12
a. Tulis selengkapnya oleh tenaga medis/ paramedis mengenai:
1) Diagnosis Utama
2) Diagnosis Komplikasi
3) Diagnosis Penyakit Penyerta
b. Tulis Kodefikasi Diagnosis diatas berdasarkan ICD 10 dan prosedur
tindakan yang diberikan sesuai ICD 9 CM
c. Ketersediaan dan kesiapan petugas koder dan IT dalam menerapkan
software Grouper
Kajian dari sistem casemix yang menjadi perhatian adalah bauran kasus,
yaitu apakah diagnosis utama yang ditegakkan pasien serta komplikasi apa yang
mungkin terjadi akibat diagnosis utama tersebut. Diagnosis utama itulah yang
dijadikan acuan untuk menghitung biaya pelayanan. Penghitungan biaya berfokus
pada variabel tersebut, sehingga rumah sakit tidak akan mencantumkan hal-hal
yang tidak seharusnya dalam pembayaran dan penghitungan biaya menjadi lebih
mudah dan tepat. Prioritas pelayanan pasien akan diberikan sesuai dengan tingkat
keparahan, dan tidak dilakukan secara sembarangan. Ini tentunya dapat menekan
biaya pelayanan kesehatan yang kerap menjadi masalah bagi masyarakat,
khususnya masyarakat miskin.12
Ronnie menyatakan bahwa pembayaran perawatan di rumah sakit
berdasarkan DRG adalah cara pembayaran perawatan di rumah sakit berdasarkan
diagnosis, bukan berdasarkan utilisasi pelayanan medis maupun nonmedis yang
diberikan kepada seorang pasien dalam rangka penyembuhan suatu penyakit.
Besarnya pembayaran/ tarif per diagnosis telah ditetapkan sebelumnya, sehingga
bila biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit lebih kecil dari tarif yang telah
disepakati maka selisihnya merupakan keuntungan bagi rumah sakit, tetapi bila
biaya yang dikeluarkan rumah sakit lebih besar daripada tarif yang telah
disepakati maka selisihnya merupakan kerugian bagi rumah sakit.16
Johari menyatakan selain memberikan fokus dalam masalah penghitungan
biaya, casemix juga memberikan standar nasional mengenai berapa biaya yang
harus dikenakan untuk diagnosis tertentu. Hal ini memberikan kepastian sekaligus
transparansi pada masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan.
Sehingga biaya dapat diprediksi, dan keuntungan yang diperoleh rumah sakit pun
dapat lebih pasti.17
2.1.5 Manfaat INA-CBGs
Manfaat yang dapat kita peroleh dari penerapan kebijakan program
Casemix INA CBGs secara umum adalah secara medis dan ekonomi. Dari segi
medis, para klinisi dapat mengembangkan perawatan pasien secara komprehensif,
tetapi langsung kepada penanganan penyakit yang diderita oleh pasien. Secara
ekonomi, dalam hal ini keuangan (costing) jadi lebih efisien dan efektif dalam
penganggaran biaya kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan akan mengitung
dengan cermat dan teliti dalam penganggarannya.18
1) Bagi pasien 18
a. Adanya kepastian dalam pelayanan dengan prioritas pengobatan
berdasarkan derajat keparahan
b. Dengan adanya batasan pada lama rawat (length of stay) pasien
mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan medis dari para petugas
rumah sakit, karena berapapun lama rawat yang dilakukan biayanya sudah
ditentukan
b. Pasien menerima kualitas pelayanan kesehatan yang lebih baik
c. Mengurangi pemeriksaan dan penggunaan alat medis yang berlebihan oleh
tenaga medis sehingga mengurangi resiko yang dihadapi pasien
2) Bagi rumah sakit 18
a. Rumah Sakit mendapat pembiayaan berdasarkan kepada beban kerja
sebenarnya
b. Dapat meningkatkan mutu & efisiensi pelayanan Rumah Sakit
c. Bagi dokter atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk
kualitas pelayanan lebih baik berdasarkan derajat keparahan,
meningkatkan komunikasi antar spesialisasi atau multidisiplin ilmu agar
perawatan dapat secara komprehensif serta dapat memonitor QA dengan
cara yang lebih objektif
d. Perencanaan budget anggaran pembiayaan dan belanja yang lebih akurat
e. Dapat untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh masing-
masing klinisi
f. Keadilan (equity) yang lebih baik dalam pengalokasian budget anggaran
g. Mendukung sistem perawatan pasien dengan menerapkan Clinical
Pathway
3) Bagi penyandang dana pemerintah (provider) 18
a. Dapat meningkatkan efisiensi dalam pengalokasian anggaran pembiayaan
kesehatan
b. Dengan anggaran pembiayaan yang efisien, equity terhadap masyarakat
luas akan akan terjangkau
c. Secara kualitas pelayanan yang diberikan akan lebih baik sehingga
meningkatkan kepuasan pasien dan provider/ Pemerintah
d. Penghitungan tarif pelayanan lebih objektif dan berdasarkan kepada biaya
yang sebenarnya
2.2 Rumah Sakit dengan sistem Casemix
Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang
pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya.
Fungsi rumah sakit merupakan pusat pelayanan rujukan medik spesialistik dan
sub spesialistik dengan fungsi utama menyediakan dan menyelenggarakan upaya
kesehatan yang bersifat penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitasi)
pasien.(19,20)
Tahap awal implementasi sistem Casemix di Indonesia melibatkan 15
Rumah Sakit sebagai pilot project yang terdiri dari: 21
1) RSU H. Adam Malik, Medan
2) RSUP Dr. M. Djamil, Padang
3) RSUP Dr. M. Hoesin, Palembang
4) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
5) RSUP Fatmawati, Jakarta
6) RSUP Persahabatan, Jakarta
7) RS Anak Bunda Harapan Kita, Jakarta
8) RS Jantung & Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta
9) RS Kanker Dharmais, Jakarta
10) RSUP Hasan Sadikin, Bandung
11) RSUP Dr. Kariadi, Semarang
12) RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
13) RSUP Sanglah, Denpasar
14) RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar
15) RSUP Dr. R. D. Kandou, Manado
Data yang lengkap dan akurat dari sistem casemix dapat berfungsi untuk
memajukan rumah sakit dalam melakukan penilaian terhadap berbagai pelayanan
yang telah diberikan. Sehingga efektivitas pelayanan kesehatan dapat terkontrol
dan dievaluasi serta rumah sakit memiliki acuan yang jelas dalam usaha
meningkatkan mutu pelayanan mereka.14
Pelaksanaan sistem casemix tidak terlepas dari berbagai kendala, salah
satunya adalah kendala dalam melakukan diagnosa dan pengkodeannya. Sampai
saat ini, selain ke-15 rumah sakit berpartisipasi, rumah sakit di Indonesia banyak
yang belum mulai menggunakan pengkodean medis. Padahal, kunci sukses dari
penyusunan casemix adalah pada diagnosa dan pengkodean yang teliti sehingga
Costing dari setiap kelompok penyakit dengan diagnosa yang sama dapat
diterapkan.14
2.3 Jamkesmas
Jamkesmas adalah bentuk belanja bantuan sosial untuk pelayanan
kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini diselenggarakan
secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan
kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin.22
Tujuan Umum dari Jamkesmas adalah meningkatkan akses pelayanan
kesehatan sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal secara efektif dan
efisien bagi seluruh peserta Jamkesmas. Sedangkan, tujuan khusus dari
Jamkesmas antara lain: 23
a. Memberikan kemudahan dan akses pelayanan kepada peserta di seluruh
jaringan PPK Jamkesmas.
b. Mendorong peningkatan pelayanan kesehatan yang terstandar bagi peserta,
tidak berlebihan sehingga terkendali mutu dan biayanya.
c. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel.
Sasaran program adalah masyarakat miskin dan tidak mampu di seluruh
Indonesia sejumlah 76,4 juta jiwa, tidak termasuk yang sudah mempunyai
jaminan kesehatan lainnya.22
2.4 Utilisasi Program Jamkesmas RSUP Dr. M. Djamil Padang 5
Tabel 2.1. Jumlah Pasien Program Jamkesmas
di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012 (Per Oktober 2012)
No. Jenis Rawatan Freq %
1 Rawat Jalan 34.469 82,82
2 Rawat Inap 7.151 17,18
Total 41.620 100
Sumber: Presentasi Seminar Nasional “Pembiayaan Kesehatan berbasis Case Based Group (INA-CBGs ) dalam Mendukung Pelaksanaan Universal Coverage tahun 2014”
Dari tabel di atas, jumlah pasien Program Jamkesmas pada tahun 2012
(sampai bulan Oktober 2012) di RSUP Dr. M. Djamil Padang adalah 41.620
pasien.
Tabel 2.2. Jumlah Pasien Program Jamkesmas Berdasarkan Tingkat
Keparahan Penyakit di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012
(per Oktober 2012)
No. Severity Level Freq %
1 I 3.755 52,51
2 II 1.922 27,86
3 III 1.401 19,59
4 Error 3 0,04
Total 7.151 100
Sumber: Presentasi Seminar Nasional “Pembiayaan Kesehatan berbasis Case Based Group (INA-CBGs ) dalam Mendukung Pelaksanaan Universal Coverage tahun 2014”
Tabel diatas menunjukkan tingkat keparahan penyakit terbanyak pada
pasien Jamkesmas di RSUP Dr. M. Djamil Padang adalah penyakit dengan level I
(ringan) yaitu sebanyak 3.755 kasus penyakit.
Tabel 2.3. Jumlah pasien program jamkesmas berdasarkan cara
pulang di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012 (per Oktober 2012)
No. Cara Pulang Freq %
1 Sembuh 40.196 96,58
2 Dirujuk 1 0,00
3 Pulang paksa 716 1,72
4 Meninggal 699 1,68
5 Tidak tahu 8 0,02
Total 41.620 100
Sumber: Presentasi Seminar Nasional “Pembiayaan Kesehatan berbasis Case Based Group (INA-CBGs ) dalam Mendukung Pelaksanaan Universal Coverage tahun 2014”
Tabel di atas menunjukkan bahwa cara pulang terbanyak di RSUP Dr. M.
Djamil Padang Tahun 2012 (per Oktober 2012) adalah dengan cara sembuh yaitu
sebanyak 40.196 kasus.
2.5 Analisa Costing (biaya) di Rumah Sakit
2.5.1 Jenis Biaya
Definisi dasar biaya adalah semua pengorbanan yang dikeluarkan untuk
memproduksi dan mengkonsumsi suatu komoditi tertentu. Dengan demikian
pengertian biaya meliputi semua jenis pengorbanan, bisa dalam bentuk uang,
barang, waktu yang hilang, kesempatan yang hilang dan bahkan kenyamanan
yang terganggu. 24
Biaya adalah harga perolehan yang dikeluarkan atau digunakan untuk
menghasilkan suatu produksi (output) atau untuk mengkonsumsi suatu produk
bisa berupa uang atau jasa pelayanan. Biaya pelayanan kesehatan ialah besarnya
dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan atau memanfaatkan
berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perseorangan, keluarga,
kelompok, dan masyarakat
Biaya juga didefinisikan sebagai penggunaan sumber-sumber ekonomi
yang diukur dengan satuan uang, yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi
untuk objek atau tujuan tertentu. Biaya dapat diklasifikasikan berdasarkan dapat
atau tidaknya biaya tersebut diidentikasikan terhadap objek biaya. Objek yang
dimaksud disini adalah produk, jasa, fasilitas, dan lain-lain.25
Witjaksono memberikan definisi biaya lebih singkat dan sederhana, biaya
didefinisikan sebagai suatu pengorbanan sumberdaya untuk mencapai tujuan
tertentu. Mulyadi membedakan pengertian kos (cost), biaya (expence), dan
kerugian (loss). Kos (cost) adalah kas atau nilai setara kas yang dikorbankan
untuk memperoleh barang dan jasa yang diharapkan akan membawa manfaat
sekarang atau dimasa depan bagi organisasi. Biaya (expence) adalah kos
sumberdaya yang telah atau akan dikorbankan untuk mewujudkan tujuan tertentu.
Kerugian (loss) adalah kos yang akan dikorbankan namun pengorbanan tersebut
tidak menghasilkan pendapatan sebagaimana yang diharapkan. Tetapi dalam
pengertian sehari-hari kos dan biaya seringkali diartikan sama.25
Ada beberapa cara klasifikasi biaya, seperti diuraikan berikut ini: 24
a. Berdasarkan sifat kegunaannya
i. Biaya investasi, adalah biaya yang manfaatnya dapat dipergunakan
selama lebih dari satu tahun. Patokan satu tahun didasarkan pada
kalaziman bahwa perencanaan anggaran biasanya dilakukan setiap
tahun. Termasuk dalam klasifikasi biaya investasi adalah biaya
gedung, biaya alat medis, dan biaya alat nonmedis.
ii. Biaya pemeliharaan, adalah biaya yang fungsinya untuk
mempertahankan atau memperpanjang kapasitas barang investasi.
Dengan demikian klasifikasinya mengikuti klasifikasi biaya
investasi, yaitu biaya gedung, biaya alat medis, dan biaya alat
nonmedis.
iii. Biaya operasional, adalah biaya yang diperlukan untuk
memfungsikan atau mengoperasikan barang investasi. Termasuk
dalam klasifikasi ini adalah biaya personel (gaji), biaya obat dan
bahan, biaya makan, biaya ATK, dan biaya umum (listrik, air,
telepon, perjalanan,dan lain-lain).
b. Berdasarkan hubungannya dengan jumlah produk (output)
i. Biaya tetap (fix cost), adalah biaya yang besarnya relatif tidak
dipengaruhi oleh jumlah output atau produksi yang dihasilkan.
Termasuk dalam klasifikasi ini adalah barang-barang investasi
yang disebutkan di atas.
ii. Biaya semivariabel (semivariable cost), adalah biaya yang
sebetulnya tidak mengoperasionalkan barang investasi, akan tetapi
besarnya tidak terpengaruh oleh banyaknya produksi. Termasuk
dalam klasifikasi ini adalah biaya gaji pegawai tetap.
iii. Biaya variable (variable cost), adalah biaya yang besarnya
dipengaruhi oleh banyaknya produksi. Misalnya biaya jarum suntik
dalam pelayanan.
c. Berdasarkan fungsinya dalam proses produksi
i. Biaya langsung (direct cost), adalah biaya yang manfaatnya
langsung merupakan dari produk atau barang yang dihasilkan.
Misalnya biaya jarum suntik.
ii. Biaya tak langsung (indirect cost), adalah biaya yang manfaatnya
tidak menjadi bagian langsung dalam produk, akan tetapi
merupakan biaya yang diperlukan untuk menunjang unit-unit
produksi.
2.5.2 Pusat Biaya
Pusat biaya adalah unit fungsional dimana biaya-biaya tersebut
dipergunakan. Untuk rumah sakit pusat biaya tersebut secara garis besar dapat
dibagi dua, yaitu (1) pusat biaya penunjang, yaitu unit-unit yang tidak langsung
memproduksi produk rumah sakit dan (2) pusat biaya produksi, yaitu unit-unit
dimana pelayanan rumah sakit dihasilkan.24
Yang termasuk pusat biaya penunjang misalnya adalah unit pimpinan dan
tata usaha, unit pemeliharaan, unit CSSD/ Laundry, unit dapur, dan lain-lain.
Yang termasuk pusat biaya produksi misalnya adalah laboratorium klinik,
laboratorium patologi anatomi, bagian radiologi, unit rawat jalan, unit gawat
darurat, unit ICU/ ICCU, unit bedah, unit rawat inap, unit rehabilitasi medis, unit
kamar jenazah, dan lain-lain.24
2.5.3 Distribusi Biaya
Dalam analisa biaya rumah sakit telah dikembangkan beberapa metode
untuk melakukan distribusi biaya tersebut yaitu metode distribusi sederhana
(simple distribution method), metode distribusi anak tangga (step down method),
metode distribusi ganda (double distribution method), dan metode distribusi
multiple (multiple distribution method).24
2.6 Analisa Biaya
Analisis biaya adalah suatu proses mengumpulkan dan mengelompokkan
data keuangan rumah sakit untuk memperoleh dan menghitung biaya output dan
jasa pelayanan rumah sakit. Tujuan analisis biaya adalah:
a. Untuk mendapatkan informasi biaya total rumah sakit dan sumber
pembiayaan serta komponennya
b. Untuk mendapatkan info tentang biaya satuan layanan rumah sakit
c. Untuk dapat menggunakan biaya sebagai salah satu informasi dalam
menetapkan tarif layanan rumah sakit
Dari beberapa uraian di atas, bahwa kegiatan analisis biaya (cost analysis)
sebetulnya merupakan kegiatan yang mencakup analisis jumlah, output pelayanan,
sumber dan komponen biaya, pengalokasian biaya, dan penentuan biaya satuan
yang akan dibayar oleh pasien. Hasil dari analisis biaya tersebut dapat digunakan
sebagai berikut:
a. Analisa biaya memungkinkan perhitungan biaya satuan di berbagai
unit produksi rumah sakit. Informasi ini diperlukan dalam perencanaan
anggaran rumah sakit
b. Sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan, yaitu
sehubungan dengan derajat profitability pada cost centre atau revenue
center tertentu
c. Untuk menentukan tarif yang ditentukan oleh unit produksi
d. Untuk bahan pegangan bagi manajemen rumah sakit negosiasi dengan
pihak ketiga dalam hal penagihan atau reimbursement
e. Sebagai bahan bagi humas rumah sakit dalam menjelaskan situasi
biaya rumah sakit kepada pihak yang membutuhkan
f. Sebagai bahan bagi pihak manajemen rumah sakit untuk disampaikan
kepada pihak pemilik, pemerintah, dan lain-lain
2.6.1 Metode atau teknik analisis biaya rumah sakit
Salah satu kegiatan pokok analisis biaya adalah melakukan distribusi
(alokasi) biaya investasi dan operasional yang dikeluarkan pada unit penunjang ke
unit produksi. Beberapa teknik analisis biaya yang dikembangkan antara lain:
a. Distribusi sederhana (simple distribution)
Teknik ini sangat sederhana yaitu melakukan distribusi biaya-biaya
yang dikeluarkan di pusat biaya penunjang langsung ke pusat-pusat
produksi. Kelebihan cara ini adalah kesederhanannya sehingga mudah
dilakukan. Kelemahannya adalah asumsi bahwa dukungan fungsional
hanya terjadi antara unit penunjang dengan unit produksi. Padahal
dalam praktek dapat diketahui bahwa antar sesama unit penunjang
biaya terjadi transfer jasa. Misalnya direksi mengawasi dapur, unit
dapur yang member makan direksi, staf, tata usaha, dan lain-lain.
b. Distribusi anak tangga (stepdown method)
Dalam metode ini dilakukan distribusi biaya unit penunjang kepada
unit lain dan unit produksi. Distribusi dilakukan secara berturut-turut
dari unit penunjang terbesar kepada unit-unit (penunjang dan produksi
yang relevan). Setelah selesai kemudian dilakukan distribusi dari unit
penunjang lain yang biayanya nomor dua terbesar. Proses ini terus
dilaksanakan sampai semua biaya dari unit penunjang habis
didistribusikan ke unit produksi. Kelebihan pada metode ini adalah
sudah dilakukannya distribusi dari unit penunjang ke unit lainnya.
Tetapi kelemahannya adalah distribusi hanya terjadi sepihak padahal
kenyatannya hubungan terjadi secara timbale balik.
c. Distribusi ganda (double distribution method)
Pada metode ini tahap pertama dilakukan distribusi biaya yang
dikeluarkan di unit penunjang ke unit penunjang lain dan unit
produksi. Hasilnya, sebagian biaya dari unit penunjang sudah
didistribusikan ke unit produksi. Artinya masih ada biaya yang
tertinggal pada unit penunjang yaitu biaya yang diterimanya dari unit
penunjang lain. Biaya yang masih berada pada unit penunjang ini
selanjutnya didistribusikan ke unit produksi. Sehingga tidak ada lagi
biaya yang tersisa pada unit penunjang. Biaya satuan yang didapat dari
metode ini dapat memperinci komponen-komponan biaya dalam biaya
satuan tersebut atau beberapa persen biaya investasi, biaya operasional
dan lain-lain pada biaya satuan tersebut.
d. Multiple distribution
Dalam metode ini distribusi biaya dilakukan secara lengkap, yaitu
antar sesama unit penunjang dari unit penunjang ke unit produksi dan
antar sesama unit produksi. Metode ini jarang dipakai karna
perhitungannya sulit untuk dilakukan dan diperlukan catatan hubungan
kerja antara unit-unit produksi yang sangat banyak. Kegiatan analisis
biaya merupakan suatu hal yang cukup kompleks pelaksanaannya
terutama dalam hal penghitungan pengalokasiannya, nemun dengan
menggunakan personal computer hal ini tidak lagi merupakan suatu
hambatan yang perlu dikhawatirkan.
e. Activity based costing (ABC)
Metode ini merupakan system informasi biaya berdasarkan aktivitas
yang digunakan untuk memotivasi personil dalam melakukan
pengurangan biaya dalam jangka panjang melalui pengelolaan
aktivitas. Dasar perhitungan ABC adalah bahwa setiap pusat biaya
akan melakukan aktifitas dan setiap aktifitas membutuhkan sumber
daya. Sumber daya ini dihitung sebagai cost.
f. Metode real cost
Metode ini sebenarnya mengacu pada konsep ABC dengan berbagai
perubahan karena adanya kendala system. Karena itu metode ini
menggunakan asumsi yang sesedikit mungkin.
2.6.2 Pengumpulan data biaya total
Pengumpulan data biaya total merupakan pengumpulan berbagai data yang
diperlukan, yaitu biaya investasi dan biaya operasional masing-masing unit
selama satu tahun anggaran. Lakukan identifikasi semua komponen biaya yang
ada (cost item) pada masing-masing unit tersebut. Untuk biaya investasi atau
biaya tetap dibuat daftar semua inventaris rumah sakit seperti gedung, alat medis,
alat nonmedis, dan kendaraan. Masing-masing item dicatat harga pengadaannya,
waktu pembelian atau pengadaan, dan masa pakainya. Untuk biaya operasional
atau biaya variable, biaya ini dikumpulkan untuk masa satu tahun seperti:
a. Obat dan bahan medis
b. Bahan habis pakai
c. Bahan makanan
d. Bahan rumah tangga
e. Laundri
f. Biaya pemeliharaan
g. Biaya listrik, air, telpon
2.6.3 Cost of treatment
Cost of treatment merupakan perhitungan biaya yang terkait dengan biaya
langsung dan tidak langsung yang dibutuhkan untuk melakukan perawatan/
tindakan layanan kesehatan per penyakit terhadap pasien yang sesuai dengan
clinical pathwaynya. Secara teknis perhitungan biaya tersebut akan
mempergunakan activity based costing untuk biaya langsungnya yang
dimodifikasi dengan simple distribution method untuk biaya tidak langsungnya.
Tabel 2.1. Cost of treatment (cost/ DRG/ Casemix)
No.Cost of treatment/
activity based costing
Direct cost Indirect cost
Investasi Operasional Pemeliharaan
1. Admission
2. Diagnostic
3. Pra therapy
4. Therapy
5. Follow up
6. Discharge
Sumber: Depkes RI 2007, “Pedoman tarif INA-DRG”, Jakarta
Surat keputusan mentri keuangan nomor 298/ MK.02/ 2005 tentang
peralihan status rumah sakit perusahaan jawatan menjadi instansi pemerintah
pengelola keuangan badan layanan umum (BLU) yang menerapkan pola
pengelolaan keuangan badan layanan umum. Pengelola keuangan rumah sakit
BLU yang efektif dan efisien adalah melalui system cost of DRGs atau cost of
treatment. Cost of DRGs atau cost of treatment adalah keseluruhan biaya mulai
dari pasien masuk melakukan pendaftaran, penegakan diagnosa, terapi, dan
pulang semuanya terangkum dalam suatu alur perawatan atau integrated clinical
pathway.
Clinical pathway di rumah sakit merupakan pedoman yang mencakup
semua aktifitas dari pasien masuk hingga keluar rumah sakit. Pedoman ini
berguna untuk meningkatkan mutu pelayanan dan pengendalian biaya pelayanan.
Clinical pathway dapat dipergunakan sebagai alat evaluasi untuk pelayanan medic
yang bermutu dan untuk menghindari tindakan dan aktifitas yang tidak
diperlukan. Hal ini merupakan pedoman dasar perhitungan biaya pelayanan,
supaya pasien mendapatkan kepastian biaya dari upaya penyembuhan
penyakitnya.
Penetapan biaya berdasarkan diagnosis related group’s harus
memperhitungkan factor-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya rawat inap
seperti Kardmaji (1986) mengatakan bahwa biaya rawat inap dipengaruhi oleh
biaya obat, biaya operasi, tindakan bedah, dan kelas rawatan.
Diagnosa utama adalah alasan utama pasien rawatan yang ditulis dokter
pada rekam medis. Ketepatan diagnosa utama oleh dokter dapat dilihat dari
diagnosa masuk dan diagnosa pada saat pasien pulang. Berdasarkan penelitian
Ali, W (1997) bahwa diagnosa sangat berhubungan dengan lama hari rawat dan
biaya yang harus dikeluarkan pasien serta akan menentukan jenis tindakan dan
lama hari rawat. Diagnosa penyerta (komplikasi) dan pemberat (kombiditi)
berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya rumah sakit (casemix).
2.7 Costing INA CBGs
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam menentukan
pembiayaan untuk DRG, yaitu : 26
1) Top Down Costing
Metode ini menggunakan informasi utama dari rekening atau data
keuangan rumah sakit yang telah ada. Langkah pertama adalah mengidentifikasi
pengeluaran-pengeluaran rumah sakit yang terkait dengan penyediaan layanan
rawat inap. Langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikan pengeluaran-
pengeluaran tersebut ke masing-masing cost center seperti bangsal rawat inap
(wards), gaji dan jasa medis tenaga medis dan paramedis (medical salaries),
ruang operasi (operating room), bahan dan barang farmasi (pharmacy), radiologi
(radiology), patologi (pathology), dan pekerja sosial serta unit-unit biaya lain
yang terkait dengan penyediaan layanan kesehatan.26
2) Activity Based Costing (ABC)
ABC adalah suatu metodologi pengukuran biaya dan kinerja atas aktivitas,
sumber daya, dan objek biaya. ABC memilik dua elemen utama, yaitu pengukuran
biaya (cost measures) dan pengukuran kinerja (performance measures). Sumber
daya-sumber daya ditentukan oleh aktivitas-aktivitas yang dilakukan, sedangkan
aktivitas-aktivitas ditentukan berdasarkan kebutuhan yang digunakan oleh objek
biaya. Konsep dasar ABC menyatakan bahwa aktivitas mengkonsumsi sumber
daya untuk memproduksi sebuah keluaran (output), yaitu penyediaan layanan
kesehatan. Melalui pemahaman konsep ABC tersebut di atas, keterkaitan antara
service lines, tarif, sumber daya, dan biaya yang dikeluarkan penyedia sumber
daya dalam kerangka interaksi antara pengguna layanan, rumah sakit, dan
penyedia sumber daya.26
3) Casemix Costing
Casemix Costing adalah metode yang menggabungkan antara Top-Down
Costing dan Activity-Based Costing. Dengan mengkombinasikan metode tersebut,
informasi yang dihasilkan lebih akurat dan stabil. Dengan begitu, jelaslah kiranya
bahwa Case-Mix sangat diperlukan oleh rakyat Indonesia dalam mengambil
keputusan mengenai pelayanan kesehatan. 26
Tariff determinanr per DRGs
Margin
Tariff
Cost/ DRGs
Unit Cost
OK
Unit Cost
MED SUPPLIES
Unit Cost
LAB
Unit Cost
DRUGS
Unit Cost
ROOM & BOARD
QTotal Cost
ACTIVITY BASED COSTING + SIMPLE DISTIBUTION
2.8 Costing INA-CBGs di RSUP Dr. M. Djamil Padang
Sistem INA-CBGs sudah digunakan di RSUP. Dr. M. Djamil Padang pada
pasien Jamkesmas (Kelas 3). Rencananya, pada tanggal 1 Januari 2014 sesuai
dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka menyongsong
Universal Coverage, sistem ini akan digunakan untuk setiap kelas di RSUP Dr.
M. Djamil Padang. Implementasi Costing INA-CBGs di RSUP Dr. M. Djamil
Padang sudah ada namun masih secara umum, bukan sesuai diagnosa kelompok
penyakit yang sama. Idealnya sistem Costing INA-CBGs ini menggunakan sistem
Costing per diagnosa kelompok penyakit yang sama. Sementara itu, Costing
pasien jamkesmas di RSUP Dr. M. Djamil Padang dalam rangka implementasi
INA-CBGs masih secara umum sesuai dengan kebutuhan data yang diperlukan
Kemenkes (Lihat Lampiran 1). RSUP Dr. M. Djamil Padang masih dalam
perencanaan untuk mengaplikasikan Costing per diagnosa kelompok penyakit
yang sama sesuai dengan implementasi INA CBGs. (Lihat lampiran 2)
2.9 Kerangka Konsep
BAB 3 : METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan rancangan
croosectional retrospective dimana variabel independen dan dependen diukur pada
saat bersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
pembiayaan costing INA-CBGs pada pasien Jamkesmas di RSUP Dr. M. Djamil
padang tahun 2013.
3.2 `Waktu dan Tempat
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2013 di RSUP
DR.M.Djamil Padang.
3.3 Populasi dan sampel penelitian
Populasi penelitian ini adalah semua rekap pembiayaan pasien Jamkesmas
di RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2013 selama kurun waktu 1 minggu masa
penelitian. Sampel penelitian ini adalah semua kasus pasien Jamkesmas yang
terjadi pada kurun waktu yang telah ditentukan yang memenuhi kriteria sesuai
template costing yang dibutuhkan.
3.4 Instrumen Penelitian
Instrument atau alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah seluruh data pembiayaan rumah sakit yang dibutuhkan seperti data
rekapitulasi pembiayaan pasien jamkesmas, data kegiatan penderita rawat inap
dan rawat jalan, data jumlah tempat tidur, data realisasi anggaran dana sendiri,
data pendidikan terakhir, jumlah, dan tempat tugas pegawai, data alat kesehatan,
rekapitulasi pembayaran jasa pelayanan, data APBN, dan data-data lain yang
dirasa perlu dalam membantu penelitian ini.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menghitung seluruh kasus pasien
Jamkesmas selama 1 minggu waktu penelitian yang dianggapn dapat mewakili
dalam perhitungan costing pasien Jamkesmas berdasarkan implementasi INA-
CBGs. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan secara retrospektif (tahun anggaran
sebelumnya) untuk perhitungan biaya umumnya.
Adapun proses dalam pengumpulan data terdiri dari beberapa tahap antara lain:
Tahap I
Tahap II
Tahap III
Tahap IV
3.6 Pengolahan data
Recommended