View
224
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM i
PRASYARAT GELAR ii
LEMBAR PENGESAHAN iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT v
UCAPAN TERIMA KASIH vi
ABSTRAK ix
ABSTRACT x
RINGKASAN xi
DAFTAR ISI xiii
DAFTAR SINGKATAN xvii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 11
1.3 Orisinalitas Penelitian 11
1.4 Tujuan Penelitian 13
1.4.1 Tujuan Umum 13
1.4.2 Tujuan Khusus 13
1.5 Manfaat Penelitian 13
1.5.1 Manfaat Teoritis 14
1.5.2 Manfaat Praktis 14
1.6 Landasan Teoritis 15
1.7 Metode Penelitian 26
1.7.1 Jenis Penelitian 26
xiii
1.7.2 Jenis Pendekatan 27
1.7.3 Sumber Bahan Hukum 28
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum 30
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum 31
BAB II TEORI DAN KONSEP MENGENAI PERUSAHAAN 33
2.1 Teori Tentang Subjek Hukum 33
2.2 Teori Tentang Badan Hukum 37
2.2.1 Teori Fiksi 38
2.2.2 Teori Harta Kekayaan Bertujuan 38
2.2.3 Teori Organ 39
2.2.4 Teori Kekayaan Bersama 40
2.2.5 Teori Kenyataan Yuridis 41
2.2.6 Teori dari Leon Duguit 41
2.3 Konsep Tentang Perusahaan 50
2.3.1 Pengertian Tentang Perusahaan 50
2.3.2 Bentuk-Bentuk Perusahaan 54
2.3.3 Sumber Pengaturan Hukum Perusahaan 90
2.4 Konsep Tentang Perusahaan Grup 92
2.4.1 Pengertian Tentang Perusahaan Grup 92
2.4.2 Pengertian Tentang Perusahaan Induk 96
2.4.3 Pengertian Tentang Anak Perusahaan 99
BAB III PENGATURAN HUBUNGAN PERUSAHAAN INDUK BERBENTUK
PERSEROAN TERBATAS DENGAN ANAK PERUSAHAANBERBENTUK
PERSEKUTUAN KOMANDITER 100
xiv
3.1 Ruang Lingkup Hubungan Hukum Perusahaan Induk dengan Anak Perusahaan
100
3.1.1 Pengakuan Yuridis terhadap Perusahaan Grup Menurut Hukum Positif di
Indonesia 102
3.1.2 Hubungan Perusahaan Induk dengan Anak Perusahaan Menurut UU No. 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 106
3.1.3 Hubungan Perusahaan Induk dengan Anak Perusahaan Menurut Doktrin
109
3.2 Kerangka Pengaturan Hubungan Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas
dengan Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer
117
3.3 Hubungan Hukum antara Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas dengan
Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer
126
3.3.1 Pengawasan Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas terhadap Anak
Perusahaan Berbentuk
Persekutuan Komanditer 128
3.3.2 Pengaruh Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas terhadap terhadap
Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer
130
BAB IV KONSEKUENSI YURIDIS YANG DITIMBULKAN DARI HUBUNGAN
HUKUM ANTARA PERUSAHAAN INDUK BERBENTUK PERSEROAN
TERBATAS DENGAN ANAK PERUSAHAAN BERBENTUK
PERSEKUTUAN KOMANDITER
134
4.1 Tanggung Jawab Perusahaan Grup Sebagai Kesatuan
Ekonomi 135
4.1.1 Hubungan Antara HAM Ekonomi Dan Pengendalian Perusahaan Induk
Terhadap Anak Perusahaan Dalam Mewujudkan Kesatuan Ekonomi
137
xv
4.1.2 Penerapan Prinsip Good Corporate Governance Dalam Langkah Mewujudkan
Kesatuan Ekonomi Pada Perusahaan Grup 143
4.2 Tanggung Jawab Hukum Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas terhadap
Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer
148
4.2.1 Dualitas Antara Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas terhadap
Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer Berdasarkan Prinsip
Limited Liability 151
4.2.2 Akibat Hukum Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas terhadap Anak
Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer dalam Hubungannya dengan
Pihak Ketiga 153
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan 166
5.2 Saran 167
DAFTAR PUSTAKA
xvi
ABSTRAK
HUBUNGAN HUKUM PERUSAHAAN INDUK BERBENTUK PERSEROAN
TERBATAS DENGAN ANAK PERUSAHAAN BERBENTUK PERSEKUTUAN
KOMANDITER
Kepemilikan perusahaan induk atas saham pada anak perusahaan dalam jumlah tertentu
memberi kewenangan kepada perusahaan induk untuk bertindak sebagai pimpinan sentral yang
mengendalikan anak perusahaan. Namun hal ini menjadi permasalahan apabila bentuk anak
perusahaan bukan berstatus sebagai badan hukum, yaitu Persekutuan Komanditer.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian
ini adalah (1) Apakah yang menjadi dasar timbulnya hubungan hukum antara perusahaan induk
yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan
Komanditer, dan (2) Bagaimanakah konsekuensi yuridis dari hubungan hukum antara
perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk
Persekutuan Komanditer.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif yang berangkat dari adanya
kekosongan norma pada Pasal 84 ayat (2) huruf b UUPT terbaru. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa (1) dasar timbulnya hubungan hukum antara perusahaan induk yang
berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer
terjadi karena adanya kepemilikan saham Persekutuan Komanditer oleh perusahaan induk yang
berbentuk Perseroan Terbatas, sehingga Perseroan Terbatas dapat menggunakan hak suaranya
dalam RUPS untuk menetapkan kebijakan bagi Persekutuan Komanditer sebagai anak
perusahaan, mengangkat anggota direksi/dewan pengawas dalam Perseroan Terbatas sebagai
perusahaan induk sebagai sekutu komanditer atau sekutu komplementer dalam Persekutuan
Komanditer, melakukan perjanjian hak bersuara dengan Persekutuan Komanditer dan melakukan
kontrak kendali terhadap Persekutuan Komanditer sebagai anak perusahaan; dan (2) konsekuensi
yuridis dari hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas
dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer apabila ditinjau dari prinsip
limited liability yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT terbaru, maka dominasi antara
Perseroan Terbatas terhadap Persekutuan Komanditer tidak melahirkan tanggung jawab hukum
bagi Perseroan Terbatas dalam hubungan hukum yang terjadi dengan pihak ketiga, namun
apabila Perseroan Terbatas terbukti melakukan indikasi-indikasi penyimpangan pada laporan
keuangan dalam hubungan hukumnya dengan Persekutuan Komanditer sebagai anak perusahaan,
maka Perseroan Terbatas dapat dikenakan sanksi berupa denda atau pidana.
Kata Kunci: Perusahaan Induk, Anak Perusahaan, Hubungan Hukum.
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penulisan latar belakang ini dilandasi oleh permasalahan tentang penerapan pengaturan
kebijakan perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas terhadap anak perusahaan yang
berbentuk Persekutuan Komanditer. Pada konstruksi perusahaan grup, dimana Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT terbaru) yang telah
menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya
disebut UUPT terdahulu) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUHPdt) sangat sedikit memuat tentang ketentuan yang mengatur hubungan khusus antara
perusahaan induk dengan anak perusahaan.
Ketentuan Pasal 84 ayat (2) huruf b UUPT terbaru dipaparkan sebagai berikut :
Hak suara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku untuk saham induk
perusahaan yang dikuasai oleh anak perusahaannya secara langsung atau tidak langsung.
Merujuk pada kepemilikan saham pada perusahaan induk sebagaimana yang ditentukan dari isi
pasal tersebut, maka dapat diperoleh gambaran secara implisit mengenai bentuk dari perusahaan
induk pada konstruksi perusahaan grup saat ini harus berbentuk Perseroan Terbatas. Sedangkan
terhadap bentuk dari anak perusahaan, Pasal 29 bagian memori penjelasan UUPT terdahulu
menjabarkan tentang definisi dari anak perusahaan sebagai :
Anak perusahaan adalah perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan perseroan
lainnya yang terjadi karena : (1) Lebih dari 50 % (lima puluh persen) sahamnya dimiliki
oleh induk perusahaannya, (2) Lebih dari 50 % (lima puluh persen) suara dalam RUPS
dikuasai oleh induk perusahaannya, dan atau (3) Kontrol atas jalannya perseroan,
pengangkatan, dan pemberhentian direksi dan komisaris sangat dipengaruhi oleh induk
perusahaannya.
1
Ketentuan pada UUPT terdahulu secara langsung menyatakan bahwa anak perusahaan
harus berbentuk perseroan. Namun, sejak diundangkannnya UUPT terbaru itu, maka ketentuan
yang terdapat dalam pasal-pasalnya itu secara langsung dinyatakan sudah tidak berlaku lagi,
sebagaimana yang dijabarkan dalam isi Pasal 160 UUPT.
Ketentuan dalam UUPT terbaru yang berlaku saat ini tidak ada yang memberikan batasan
mengenai bentuk dari anak perusahaan seperti halnya yang pada UUPT terdahulu, sehingga
secara tidak langsung memberikan keleluasaan terhadap bentuk dari anak perusahaan sebagai
badan usaha yang dapat berwujud badan hukum maupun bukan hukum. Begitu pula terhadap
peraturan lain yang terkait, seperti halnya Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1998 Tentang
Pemakaian Nama Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1998 Tentang
Pengabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas, dan Peraturan Pemerintah No
57 Tahun 2010 Tentang Pengabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham
Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI No. M.01. HT. 01. 10 Tahun 2007 tanggal
21 September 2007 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan
Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar, Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran
Dasar, dan Perubahan Data Perseroan, dan Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI No. M.02.
HT. 01. 10 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pengumuman Perseroan Terbatas dalam Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia, tidak memuat mengenai terminologi dari anak perusahaan
pada perusahaan grup yang akhirnya memunculkan suatu celah hukum terkait dengan
kekosongan norma (vacum of norm) dalam hal pelaksanaan penerapan kebijakan dari perusahaan
induk yang berstatus sebagai badan hukum, yaitu Perseroan Terbatas terhadap anak perusahaan
yang berbentuk bukan badan hukum, yaitu Persekutuan Komanditer.
Perlunya pengaturan terhadap anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer
dari perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas pada konstruksi perusahaan grup
merupakan permasalahan yang sangat menarik untuk diangkat menjadi suatu karya tulis ilmiah.
Adapun yang melandasi sebagai pertimbangan-pertimbangan dari penulisan ini adalah :
Pertama, pada prinsipnya, perusahaan adalah suatu kegiatan dalam menjalankan usaha
dengan tujuan untuk mencari keuntungan (profit oriented) dan merupakan pilar pembangunan
perekonomian nasional. Pengertian perusahaan dapat ditemukan dalam Pasal 1 Undang-Undang
No 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan yang menyatakan bahwa, “perusahaan adalah
setiap bentuk badan usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap serta terus
menerus didirikan, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Indonesia dengan tujuan
memperoleh keuntungan/laba.” Pengaturan tentang perusahaan secara umum dimuat dalam
KUHPdt (Burgelijk Wetbook), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetbook van
Koophandel), maupun peraturan perundang-undangan lainnya menggolongkan perusahaan
menjadi tiga jenis, yaitu perusahaan perseorangan, perusahaan persekutuan badan hukum dan
perusahaan persekutuan bukan badan hukum. Perusahaan persekutuan yang berbentuk badan
hukum terdiri dari Perseroan Terbatas (Naamloze Vennotschap), Koperasi dan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), sedangkan perusahaan persekutuan bukan badan hukum terdiri dari
Persekutuan Perdata, Firma (Vennotschap onder Firma) dan Persekutuan Komanditer
(Commanditaire Venootschap) yang akan dijabarkan selanjutnya.
Perseroan Terbatas adalah bentuk perusahaan yang paling digemari karena tanggung
jawab yang terbatas pemegang saham, mudah mendapatkan tambahan modal, kelangsungan
hidup Perseroan Terbatas lebih terjamin sebab pemiliknya berganti-ganti, dan terdapat efisiensi
pengelolaan sumber dana dan efisiensi pimpinan karena pimpinan yang kurang cakap dapat
diganti dengan yang lebih cakap. Ketentuan tentang Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-
Undang No. No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai UUPT terbaru. Istilah
perseroan dalam Perseroan Terbatas menunjuk kepada modalnya yang terdiri atas sero (saham).
Sedangkan kata terbatas menunjuk kepada tanggung jawab pemegang saham yang tidak melebihi
nilai nominal saham yang diambil bagian dan dimilikinya.
Koperasi merupakan bentuk badan hukum lainnya yang ketentuannya diatur pada
Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (selanjutnya disebut UU Koperasi)
serta berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang dimuat dalam
isi Pasal 2 Undang-undang ini. Pengertian koperasi berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Koperasi
adalah :
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum
koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus
sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Koperasi memiliki beberapa prinsip dasar yang terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 UU Koperasi, yaitu
:
a. Keanggotaan koperasi bersifat sukarela dan terbuka;
b. Pengelolaan koperasi dilakukan secara demokratis;
c. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan adil dan sebanding dengan besarnya jasa usaha
masing-masing anggota;
d. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;
e. Kemandirian.
Prinsip demokrasi menunjukkan bahwa pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan
keputusan para anggota. Para anggota itulah yang memegang dan melaksanakan kekuasaan
tertinggi dalam koperasi. Pembagian sisa hasil usaha kepada anggota dilakukan tidak semata-
mata berdasarkan modal yang dimiliki seseorang dalam koperasi, tetapi juga berdasarkan
pertimbangan jasa anggota terhadap koperasi. Ketentuan yang demikian ini merupakan
perwujudan nilai kekeluargaan dan keadilan. Modal dalam koperasi pada dasarnya digunakan
untuk kemanfaatan anggota dan bukan untuk seedar mencari keuntungan. Oleh karena itu, balas
jasa terhadap modal yang diberikan kepada para anggota juga terbatas dan tidak didasarkan
semata-mata atas besarnya modal yang diberikan.
Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN) berdasarkan batasan definisi
yang dipaparkan oleh Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
740/KMK/00/1989 adalah, “badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara atau badan
usaha yang tidak seluruh sahamnya tidak dimiliki oleh negara tetapi statusnya disamakan dengan
badan usaha milik negara.” Pengaturan tentang BUMN diatur dalam Undang-Undang No. 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Pada intinya, pengurusan BUMN dilakukan
oleh direksi yang dalam melaksanakan tugasnya harus mematuhi anggaran dasar dan peraturan
perundang-undangan, sedangkan dalam hal pengawasan dilakukan oleh komisaris dan pengawas.
Setiap anggota direksi, komisaris dan dewan pengawas dilarang mengambil keuntungan pribadi
secara langsung maupun tidak langsung atas kegiatan BUMN dan dapat mewakili BUMN di
dalam maupun di luar pengadilan.
Persekutuan Perdata diatur dalam Buku III Bab VIII Pasal 1618 s/d Pasal 1652 KUHPdt.
Pada bentuk perusahaan ini terdapat beberapa orang yang mengadakan persetujuan bersama-
sama yang tidak terlihat secara langsung dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan berupa
benda. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka masing-masing anggotanya berjanji akan
menyerahkan uang atau barang-barang maupun tenaga kerjanya. Meskipun bersifat money
oriented, namun persekutuan perdata tidak wajib untuk memberikan pemberitahuan terhadap
pihak ketiga yang terlibat di dalamnya. Persekutuan Perdata yang bukan berbentuk badan hukum
tidak memiliki harta kekayaan sendiri, harta yang ada adalah harta tersendiri dari anggota satu
sama lainnya yang tidak dapat dibagi-bagi tanpa izin dari seluruh anggotanya.
Firma merupakan bentuk persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan
perusahaan dengan nama bersama yang terdiri dari dua orang atau lebih sebagaimana yang
dipaparkan pada Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHD).
Pendirian firma sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 s/d KUHD harus dituangkan dalam
akta otentik yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat untuk
diumumkan dalam Berita Negara. Dalam firma tidak ada pemisahan harta kekayaan antara
persekutuan pribadi antar sekutu, dimana masing-masing sekutu bertanggung jawab secara
pribadi untuk keseluruhan perbuatan hukum dari firma tersebut.
Persekutuan Komanditer (Commanditaire Venootschap) atau yang disebut sebagai CV,
pengaturannya dimuat di dalam Pasal 19 s/d Pasal 21 KUHD, dimana pada dasarnya Persekutuan
Komanditer ini terdiri dari dua macam sekutu, yaitu sekutu komanditer dan sekutu
komplementer. Persekutuan Komanditer pada dasarnya merupakan persekutuan firma yang
mempunyai satu atau lebih sekutu komanditer. Sekutu komanditer adalah sekutu yang hanya
menyerahkan uang atau barang sebagai pemasukan (inbreg) pada persekutuan, namun tidak turut
serta dalam pengurusan atau penguasaan dalam persekutuan tersebut atau disebut juga sebagai
sekutu pasif. Sekutu komplemeter ialah sekutu yang ikut serta dalam mengurus persekutuan,
sekutu komplementer ini juga sering disebut sebagai sekutu aktif. Di dalam Persekutuan
Komanditer terdapat dua jenis hubungan hukum, yaitu hubungan hukum kedalam dan hubungan
hukum keluar, dimana pengaturan tentang hubungan hukum ini dimuat pada ketentuan Pasal
1624 s/d Pasal 1641 KUHPdt. Hubungan hukum kedalam meliputi hubungan kerja antara sekutu
komplemeter dan sekutu komanditer, sedangkan hubungan hukum ke luar meliputi hubungan
hukum antara para sekutu dengan pihak ketiga. Persekutuan Komanditer merupakan bentuk
perusahaan bukan berbadan hukum yang saat ini sedang digemari oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia, karena segala keuntungan ataupun kerugian yang merupakan tanggung
jawab dari masing-masing sekutu dapat dipikul secara bersama antara sekutu komplementer
dengan sekutu komanditer, meskipun tanggung jawab sekutu komanditer hanya sebatas pada
modal yang dimasukkan ke dalam Persekutuan Komanditer tersebut.
Berdasarkan hal yang telah dipaparkan di atas, PT memiliki unsur-unsur yaitu, struktur
organisasi yang teratur dan memiliki tugas serta kewenangan masing-masing, yaitu Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) yang terdiri dari para pemegang saham pada Perseroan Terbatas,
direksi serta komisaris yang ditunjuk langsung oleh para pemegang saham. Selain itu Perseroan
Terbatas juga memiliki harta kekayaan tersendiri yang berupa modal yang dapat berupa uang
maupun bentuk lainnya, memiliki direksi yang dapat melakukan hubungan hukum kedalam
maupun keluar Perseroan Terbatas serta memiliki tujuan untuk memperoleh laba. Konstruksi
Perseroan Terbatas ini memiliki kemiripan dengan Persekutuan Komanditer, dimana Persekutuan
Komanditer memiliki pembagian terhadap sekutunya masing-masing, yaitu sekutu
komplementer dan sekutu komanditer yang berkaitan dengan batasan tanggung jawab masing-
masing sekutu, dapat melakukan hubungan hukum kedalam dan keluar serta memiliki tujuan
untuk memperoleh laba, selain itu Persekutuan Komanditer dapat berubah menjadi Perseroan
Terbatas apabila telah melakukan pendaftaran di pengadilan. Oleh karena kemiripan bentuk
struktur perusahaan tersebut, maka konstruksi perusahaan grup dengan anak perusahaan
berbentuk Persekutuan Komanditer memberikan kemudahan terhadap pelaksanaan penerapan
dari keputusan perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas berdasarkan RUPS.
Kedua, dalam perkembangannya, perusahaan bertumbuh dalam bentuk yang semakin
heterogen karena dipengaruhi oleh berbagai motif, yaitu antara lain adalah penciptaan nilai
tambah melalui sinergi dari beberapa perusahaan, upaya perusahaan untuk mencapai keunggulan
kompetitif yang melebihi perusahaan lainnya, motif jangka panjang untuk mendayagunakan
dana-dana yang telah dikumpulkan ataupun perintah dari peraturan perundang-undangan, dimana
bentuknya ini disebut sebagai perusahaan grup. Keberadaan perusahaan grup mengacu pada
realitas bisnis tergabungnya perusahaan-perusahaan yang berada di bawah kendali induk
perusahaan, dimana induk perusahaan bertindak sebagai pimpinan sentral yang mengarahkan
kegiatan usaha anak perusahaan untuk mendukung kepentingan perusahaan grup sebagai
kesatuan ekonomi. Seperti halnya pada Grup Astra, Grup Bakrie maupun Grup Semen Gresik.
Ketiga, UUPT memberikan legitimasi kepada suatu Perseroan untuk memiliki saham
pada perseroan lain. Pasal 7 ayat (1) UUPT terbaru mengatur “Perseroan didirikan oleh 2 (dua)
orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia”. Kemudian dalam
penjelasan pasal ini, yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan, baik warga
negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing.” Penjelasan Pasal 7 ayat
(1) UUPT memang tidak ditujukan secara khusus sebagai bentuk pengaturan antara perseroan
induk dan perseroan anak, namun ketentuan tersebut berimplikasi terhadap keterkaitan pada
kepemilikan saham antara perusahaan induk terhadap anak perusahaan khususnya dalam hak
suara dalam menentukan anggaran dasar bagi perusahaan induk dalam perusahaan grup yang
berdampak kepada anak perusahaan sebagaimana yang dimuat dalam ketentuan Pasal 84 UUPT
terbaru.
Keempat, Dalam konstruksi perusahaan grup, kepemilikan perusahaan induk atas saham
pada anak perusahaan dalam jumlah tertentu memberi kewenangan kepada perusahaan induk
untuk bertindak sebagai pimpinan sentral yang mengendalikan anak perusahaan melalui RUPS
anak perusahaan, dimana perusahaan induk dapat menetapkan hal-hal strategis yang mendukung
pencapaian perusahaan induk sebagai kesatuan ekonomi. Namun hal ini menjadi permasalahan
apabila bentuk anak perusahaan bukan berstatus sebagai badan hukum, karena dalam UUPT
maupun peraturan pendukung lainnya belum menjabarkan adanya keterkaitan pada penerapan
hasil keputusan dalam perusahaan induk maupun penempatan direksi atau komisaris dalam
perusahaan induk ke anak perusahaan yang berstatus bukan badan hukum, seperti halnya
Persekutuan Komanditer.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa perlu untuk mengangkat permasalahan
ini sebagai pokok penelitian dalam penulisan yang dapat menjadi sarana pengembangan terhadap
bidang Ilmu Hukum, khususnya dalam hukum bisnis, dengan judul, “Hubungan Hukum
Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas dengan Anak Perusahaan Berbentuk
Persekutuan Komanditer”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya di atas, maka
dapat ditarik dua rumusan masalah, yaitu :
1. Apakah yang menjadi dasar timbulnya hubungan hukum antara perusahaan induk yang
berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan
Komanditer ?
2. Bagaimanakah konsekuensi yuridis dari hubungan hukum antara perusahaan induk yang
berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan
Komanditer ?
1.3 Orisinalitas Penelitian
Penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti lainnya sebagaimana yang
dapat disimak dari hasil penelusuran penelitian sebagai berikut:
1. Tesis Tri Julyanto, NIM 0906498023, Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Tahun
2011. Judul tesisnya adalah Analisis Yuridis Penerapan Charter Hubungan Korporasi
Dengan Dan Antar Anak Perusahaan. Adapun yang menjadi rumusan masalahnya adalah
apakah dasar pembenaran penerapan charter hubungan korporasi dengan dan antar anak
perusahaan, bagaimana kekuatan hukum mengikat charter hubungan korporasi dengan dan
antar anak perusahaan terhadap anak-anak perusahaan dan bagaimana implikasi hukumnya,
dan bagaimana tanggung jawab direksi, dewan komisaris, dan pemegang saham dengan
adanya charter hubungan korporasi dengan dan antar anak perusahaan yang berkaitan
dengan doktrin ultra vires, intra vires, dan piercing corporate veil;
2. Tesis I Gede Willy Pramana, NIM 1292462016, Magister Kenotariatan Universitas
Udayana, Tahun 2015. Judul tesisnya adalah Status Hukum Perjumpaan Utang Diantara
Perseroan Induk (Parent Company) dengan Perseroan Anak (Subsidiary Company).
Adapun yang menjadi rumusan masalahnya adalah mengapa terjadi utang piutang diantara
perseroan induk dengan perseroan anak, bagaimana keabsahan perjumpaan utang diantara
perseroan induk dengan perseroan anak dan apa akibat hukum yang ditimbulkan dari
perjumpaan utang diantara perseroan induk dengan perseroan anak.
Setelah melakukan beberapa penelusuran penelitian-penelitian yang terkait seperti di atas
menunjukkan judul dan permasalahan penelitian ini tidak terdapat kesamaan. Oleh karena itu
orisinalitas penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan.
1.4 Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas sebagai pedoman dalam penulisan karya
ilmiah sekaligus memperlihatkan kualitas dari penelitiannya. Pada dasarnya tujuan penelitian ini
dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus yang dijabarkan
sebagai berikut.
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk pengembangan terhadap konsep, asas dan
teori secara umum tentang hukum perusahaan, khususnya terhadap pengaturan tentang
perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas terhadap anak perusahaan yang berbentuk
Persekutuan Komanditer dalam konstruksi perusahaan grup.
1.4.2 Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan yang menjadi dasar timbulnya
hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan
anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis konsekuensi yuridis dari hubungan antara
perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang
berbentuk Persekutuan Komanditer.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian tentang, “Hubungan Hukum
Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas dengan Anak Perusahaan Berbentuk
Persekutuan Komanditer” ini berdasarkan pokok permasalahan yang dijabarkan sebelumnya di
atas adalah :
1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran teoritis dalam
pengembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan hukum bisnis khususnya terhadap pengaturan
hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas terhadap anak
perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer yang tidak diatur mengenai hubungan
hukumnya dalam UUPT terbaru ataupun peraturan perundang-undangan lainnya, serta secara
keilmuan dapat membantu memberikan kepastian hukum bagi para pihak maupun bagi Notaris.
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan sumbangan pemikiran dalam
ilmu hukum, khususnya bidang hukum bisnis maupun bagian kenotariatan, serta dapat
dipergunakan sebagai pedoman dalam penyelesaian permasalahan mengenai pengaturan tentang
induk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas terhadap anak perusahaan yang berbentuk
Persekutuan Komanditer dalam konstruksi perusahaan grup yang dialami oleh para pihak yang
terkait, yaitu Organ dalam Perseroan Terbatas, Sekutu komanditer dan Sekutu komplemeter
dalam CV, Notaris, serta segenap jajaran dalam Kementrian Hukum dan HAM.
1.6 Landasan Teoritis
Dalam bagian landasan teoritis ini dideskripsikan pemikiran-pemikiran teoritis dan
konsep yang berhubungan dengan objek penelitian.
Adapun teori, konsep dan asas-asas hukum yang digunakan dalam penelitian dan
penulisan ini adalah :
* Teori Badan Hukum
* Teori Perjanjian
* Konsep Perusahaan Induk dan Anak Perusahaan
* Asas Konsesualisme (Consesualisme)
* Asas Kekuatan Mengikat (Verbindendekracht Der Overeenkomst)
* Asas Itikad Baik (Good Faith)
* Asas Kepastian Hukum
1. Teori Badan Hukum
Relevansi dari Teori Badan Hukum dengan penelitian ini adalah untuk membahas
rumusan masalah pertama, yaitu tentang pengaturan yang menjadi dasar timbulnya hubungan
hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan
yang berbentuk Persekutuan Komanditer.
Teori Badan Hukum pertama kali berkembang di Inggris pada masa revolusi industri.
Teori badan hukum dipelopori oleh sarjana Jerman, Friedrich Carl von Savigny (1779 – 1861),
tokoh utama aliran atau mazhab sejarah pada permulaan abad ke – 19. Dalam bahasa Belanda,
Teori Badan Hukum disebut sebagai Rechtpersoon Theorie. Badan Hukum atau Rechtpersoon
adalah himpunan orang sebagai perkumpulan, perkumpulan diadakan atau diakui oleh pejabat
umum, maupun perkumpulan itu didirikan untuk maksud tertentu yang tidak bertentangan
dengan undang-undang dan kesusilaan.1
1HS Salim, 2010, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.25
Berititik tolak dari pendapat yang telah dijabarkan sebelumnya di atas, maka relevansi
dari istilah badan hukum ini adalah untuk menggambarkan bentuk subjek hukum lainnya, yang
mana badan hukum itu adalah beberapa subjek hukum yang tergabung secara bersama-sama
dalam suatu kehendak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Sehingga teori badan hukum
memiliki relevansi yang erat dengan penulisan dan penelitian ini, yaitu terhadap penunjukkan
suatu bentuk bidang usaha yang berlandaskan hukum didalam UUPT terbaru, yang mana terkait
dengan penelitian ini secara implisit mengharuskan bentuk dari perusahaan induk adalah
Perseroan Terbatas.
Teori Badan Hukum dibagi menjadi beberapa pembagian, yaitu :
1. Teori Fiksi
2. Teori Organ
3. Teori Leer van het ambtelijk vermogen,
4. Teori Kekayaan Bersama
5. Teori Kekayaan Bertujuan
6. Teori Kenyataan Yuridis
7. Teori dari Leon Duguit.2
Bertitik tolak dari pembagian Teori Badan Hukum ini, menurut hemat saya pembagian ini
memiliki relevansi terhadap penelitian dan penulisan, karena memberikan pandangan mengenai
bentuk dan pelaksanaan dari suatu badan hukum. Berdasarkan pembagian dari teori badan
hukum yang telah dipaparkan sebelumnya di atas, maka teori yang relevan untuk digunakan
dalam penelitian ini, yaitu Teori Fiksi.
Teori Fiksi ini dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny, yang menjelaskan bahwa
badan hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau Negara. “Terkecuali Negara, badan
hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya
2 Chidir Ali, 2011, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal.31-40
dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal”.3 Bertitik tolak dari pendapat tersebut,
maka relevansi teori ini dengan penelitian dan penulisan adalah berhubungan dengan
pelaksanaan kegiatan dari Perseroan Terbatas, karena Perseroan Terbatas sebagai perusahaan
dengan statusnya sebagai badan hukum hanya merupakan wadah yang bertujuan untuk
menjalankan kegiatan organ perusahaan yang berstatus sebagai subyek hukum dengan perbuatan
hukum yang hanya dapat dilaksanakan oleh tiap-tiap subyek hukum di dalamnya. Badan hukum
dalam hal ini hanya semata-mata bentukan pemerintah saja namun apabila tidak ada subyek
hukum di dalamnya, maka badan hukum itu tidak dapat lagi disebut sebagai badan hukum.
Terkait dengan rumusan masalah pertama, yaitu mengenai pengaturan yang menjadi dasar
timbulnya hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan
anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer, teori ini memberikan landasan bahwa
suatu hubungan hukum antara perusahaan induk terhadap anak perusahaan hanya dapat terjadi
apabila perusahaan induk berstatus badan hukum, karena terciptanya suatu hubungan hukum
dalam wadah hukum hanya dapat dilakukan apabila ada aturan hukum yang jelas mengaturnya,
dalam hal ini yaitu UUPT.
Berdasarkan pendapat yang telah dipaparkan sebelumnya di atas, maka menurut hemat
saya, penggunaan Teori Badan Hukum dengan pembagiannya, yaitu Teori Fiksi sangat relevan
untuk memecahkan permasalahan dalam rumusan masalah pertama pada penelitian ini.
2. Teori Perjanjian
Relevansi dari Teori Perjanjian dengan penelitian ini adalah untuk membahas rumusan
masalah kedua, yaitu akibat hukum dari hubungan antara perusahaan induk yang berbentuk
3 Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Munir Fuady I), hal.157
Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer. Akibat
hukum yang ditimbulkan membawa dampak bagi induk perusahaan, anak perusahaan maupun
pihak ketiga yang terikat dengan perjanjian dengan induk perusahaan ataupun anak perusahaan
yang terhubung dengan induk perusahaan.
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, perjanjian didefiniskan sebagai,
“Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum”. Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu
perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan
adalah suatu perjanjian yang ditimbulkan oleh hak kebendaan, karena adanya kesepakatan dari
dua pihak atau yang lebih yang saling mengikatkan diri, dan ditujukan atau menimbulkan,
beralih, berubah, atau berakhirnya hak kebendaan. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang
ada setelah mengikuti dari perjanjian sebelumnya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian
menurut teori hukum baru yaitu :
1. Tahap pracontractual yaitu adanya penawaran dan penerimaaan.
2. Tahap contractual yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.
3. Tahap post contractual yaitu pelaksanaan perjanjian.4
Berdasarkan pendapat dari Van Dunne ini, maka menurut hemat saya pendapat ini hanya
dapat digunakan untuk perjanjian tertulis saja, adapun tahapan-tahaapan yang diberikan
bertujuan untuk mengikatkan kehendak dari para pihak, sehingga perjanjian tersebut dapat
memberikan akibat hukum bagi para pihak yang terlibat di dalamnya.
Terkait dengan penelitian dan penulisan ini, khususnya pada rumusan masalah kedua
yang bertujuan untuk mencari konsekuensi yuridis dari hubungan hukum antara perusahaan
induk yang berbentuk Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan
Komanditer ialah bahwa suatu perjanjian tentunya membawa akibat hukum bagi pihak yang
4 Ibid
terlibat dalam isi perjanjian tersebut yang dalam hal ini adalah organ perseroan dan sekutu aktif
maupun sekutu pasif pada Persekutuan Komanditer.
Selain teori hukum, penelitian dan penulisan ini juga menggunakan beberapa konsep
hukum, yaitu :
3. Konsep Perusahaan Induk dan Anak Perusahaan
Pengaturan mengenai perusahaan induk dan anak perusahaan sangat sedikit ditemukan
dalam peraturan perundang-undangan Konsep dalam UUPT terbaru ini tidak lengkap
mencantumkan mengenai penjelasan dari perusahaan induk dan anak perusahaan, ketidak jelasan
tersebut dikarenakan UUPT terbaru hanya memuat mengenai batasan dari bentuk perusahaan
induk saja sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 84 ayat 2 huruf b yaitu, “Hak suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk saham induk perseroan yang dikuasai
oleh anak perusahaannya secara langsung atau tidak langsung.” Berdasarkan isi dari pasal ini,
maka secara eksplisit bentuk perusahaan induk pada konstruksi perusahaan grup adalah harus
berbentuk perseroan.
Untuk memberikan kejelasan dan konsepsi pada perusahaan induk yang harus berbentuk
perseroan, Sulistiowati memberikan batasan definisi terhadap hal tersebut yaitu, “perseroan
induk adalah perusahaan yang berbentuk persero menjalankan pimpinan sentral pada perusahaan
grup untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan anak perusahaan, sehingga tidak terbatas
pada kepemilikan saham pada anak perusahaan saja”.5 Berdasarkan pendapat tersebut, maka
5Sulistiowati, 2013, Tanggung Jawab Hukum Pada Perusahaan Grup di Indonesia, Erlangga, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Sulistiowati II), hal. X
menurut saya, pendapat Sulistiowati memiliki relevansi dengan penelitian ini. Karena konsep
dari perusahaan induk yang dipergunakan dalam penulisan dan penelitian ini adalah sebagai
pimpinan yang mengendalikan serta pihak yang berwenang untuk membuat peraturan yang harus
dipatuhi bagi anak-anak perusahaannya, namun mengenai koordinasi dari perusahaan induk
terhadap anak perusahaan, sejauh mana koordinasi dari perusahaan induk dapat dijalankan oleh
anak perusahaan, maka hal ini harus dikaji terlebih dahulu.
Mengenai konsep dari anak perusahaan semenjak diberlakukannya Undang-Undang No.
40 Tahun 2007 sebagai UUPT yang terbaru, anak perusahaan tidak memiliki gambaran yang
jelas karena tidak dipaparkan mengenai batasan bentuknya dalam undang-undang ini maupun
peraturan perundang-undangan lainnya. Padahal dalam UUPT terdahulu, yaitu Undang-Undang
No. 1 Tahun 1995 yang telah dicabut keberlakuannya, dijelaskan secara eksplisit bahwa anak
perusahaan harus berbentuk perseroan, namun UUPT terbaru justru menghilangkan eksistensi
dari anak perusahaan pada konstruksi perusahaan grup, sehingga memberikan kemungkinan bagi
anak perusahaan untuk berbentuk badan hukum maupun bukan berbentuk badan hukum.
Beranjak dari hal yang dipaparkan sebelumnya di atas, maka persoalan tersebut sulit untuk
menjamin kepastian hukum bagi perusahaan induk maupun anak perusahaan, sehingga berakibat
adanya kevakuman hukum dalam penelitian ini.
Selain teori dan konsep hukum, maka digunakan pula asas hukum dalam penulisan dan
penelitian ini yang selanjutnya akan dipaparkan sebagai berikut :
4. Asas Konsesualisme (Consesualisme)
Asas ini digunakan untuk mendukung pemecahan dari rumusan masalah pertama dalam
penelitian ini, yang mana relevansinya terkait dengan perumusan perjanjian antara perusahaan
induk dan anak perusahaan yang hanya dapat dikatakan sah apabila telah diperoleh kata sepakat
dari kedua belah pihak, yang dalam hal ini adalah perusahaan induk yaitu Perseroan Terbatas dan
anak perusahaan yaitu Persekutuan Komanditer.
Asas konsesualitas ini merupakan unsur yang paling utama dan mutlak menjadi syarat
dalam perjanjian. Asas ini memiliki arti yang terpenting karena untuk membentuk sebuah
perjanjian adalah cukup dengan dicapainya sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian
tersebut dan bahwa perjanjian tersebut beserta pula perikatan yang ditimbulkan maka sudah lahir
pada saat disepakatinya perjanjian tersebut dengan pembubuhan tanda tangan.6 Berdasarkan
pemapaparan tentang asas konsesualitas tersebut, maka menurut hemat saya penggunaan asas ini
memiliki relevansi di dalam penelitian dan penulisan, karena tanpa adanya kata sepakat dari
kedua belah pihak yang membuat perjanjian, dalam penelitian ini adalah oleh Perseroan Terbatas
terhadap Persekutuan Komanditer. Apabila salah satu pihak, yaitu anak perusahaan atau
perusahaan induk tidak menyepakati salah satu hal di dalam perjanjian yang dirumuskan
tersebut, maka perjanjian itu tidak dapat terjadi, sehingga tidak menimbulkan hubungan hukum
di antara keduanya.
5. Asas Kekuatan Mengikat (Verbindendekracht Der Overeenkomst)
Asas ini digunakan untuk mendukung terhadap pemecahan masalah pada rumusan
masalah kedua pada penelitian, bahwa suatu perjanjian yang telah dibuat dan disepakati
selanjutnya akan mengikat hak dan kewajiban kedua belah pihak di dalam perjanjian tersebut,
sehingga pelaksanaan perjanjian itu akan menimbulkan konsekuensi yuridis bagi anak
perusahaan maupun perusahaan induk.
6 Ibid.
Prinsip bahwa di dalam sebuah persetujuan orang menciptakan sebuah kewajiban hukum
dan bahwa pihak yang mengadakan perjanjian terikat pada janji-janji kontraktualnya dan harus
memenuhi janji-janji tersebut. Janji terhadap kata yang diucapkan sendiri adalah mengikat,
paling tidak secara lisan telah ada tanggung jawab moril terhadap yang dikatakannya.
Persetujuan ini pada hakikatnya diletakkan kepada para pihak-pihak bersangkutan.7 Pendapat ini
memiliki relevansi dengan penelitian dan penulisan. Karena pemenuhan pelaksanaan perjanjian
harus memiliki tanggung jawab hukum bagi para pihak. Esensi dari asas kekuatan mengikat ini
tercermin dalam Pasal 1338 KUHPdt dimana keterikatan suatu perjanjian terkandung di dalam
janji yang dilakukan oleh para pihak sendiri, yang dalam hal ini yaitu antara anak perusahaan
terhadap perusahaan induk yang telah sepakat untuk mengikatkan perusahaannya dalam suatu
bentuk perusahaan grup, sehingga membawa konsekuensi hukum bahwa anak perusahaan harus
menjalankan setiap keputusan yang diberikan oleh perusahaan induk. Perusahaan indukpun harus
mengetahui setiap kegiatan yang dilakukan oleh anak perusahaan dan bertanggung jawab sebatas
yang diperjanjikan di dalam perjanjian yang telah dirumuskan oleh keduanya.
6. Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas ini memiliki keterkaitan yang erat untuk memecahkan rumusan masalah pertama,
yaitu dasar timbulnya hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk Perseroan
Terbatas dengan anak perusahaan yang berbentuk Persekutuan Komanditer. Bahwa asas iktikad
baik ini tercermin dalam perumusan perjanjian maupun penerapan pelaksanaan perjanjian oleh
kedua belah pihak.
Hugo Grotius dalam risalahnya De Lure Belli ac Pacis mengatakan bahwa eksistensi
hukum kodrati merupakan landasan semua hukum positif atau hukum tertulis. Sepanjang abad
7 Ibid.
ke-17, pandangan hukum kodrati model Grotius terus disempurnakan dan pada akhirnya berubah
menjadi teori hak kodrati. Melalui teori inilah hak-hak individu yang subyektif diakui. Menurut
hukum alam, hak kodrat ( hak asasi manusia ) melekat sejak manusia dilahirkan. Hak-hak kodrat
itu meliputi hak untuk hidup, hak kemerdekaan dan hak harta benda, hak untuk menikah, hak
persamaan di depan hukum, kebebasan beragama, kebebasan berkumpul dan mengeluarkan
pendapat.8 Bertitik tolak dari pendapat Grotius ini, maka relevansi penggunaan teori ini memiliki
keterkaitan dengan asas iktikad baik, yang mana yaitu hak kebebasan berkumpul dan
mengeluarkan pendapat dan hak harta benda. Karena dalam teori Grotius ini menjunjung tinggi
hak-hak individu subjetif, sehingga memiliki keterkaitan erat dengan asas iktikad baik, bahwa
suatu iktikad baik pastilah menghargai hak individu manusia, khususnya terkait dengan isi
perjanjian antara kedua belah pihak.
Itikad baik atau good faith merupakan asas yang sangat penting dalam terjadinya suatu
perikatan dan tercermin di dalam Pasal 1338 KUHPdt. Sebelum terjadinya perikatan haruslah
didasarkan atas itikad baik dari pembuat perjanjian. Perikatan yang tidak berlandaskan atas itikad
baik di kemudian hari akan memunculkan konflik. Menurut Pasal 1963 KUHPdt, adalah
kemauan baik atau kejujuran orang itu pada saat ia mulai menguasai barang, dimana ia mengira
bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas barang itu telah
dipenuhi. Iktikad baik semacam ini juga dilindungi oleh hukum dan itikad baik sebagai syarat
untuk mendapatkan hak milik ini tidak bersifat dinamis, melainkan bersifat statis.9 Relevansi
dari asas ini terkait dengan penelitian dan penulisan adalah bahwa persetujuan dapat terjadi
karena persesuaian kehendak para pihak. dengan mengacu pada Pasal 1320 KUHPdt yang
8 Yohanes Usfunan, 2012, HAM Politik Kebebasan Berpendapat di Indonesia, Udayana University Press,
Denpasar, hal.56-57 9Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial),
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.140
memuat tentang syarat sahnya suatu atau sebuah perjanjian yaitu, “Untuk sahnya sebuah
perjanjian diperlukan empat syarat : Sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk
membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.” Keempat syarat tersebut
merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa syarat-
syarat tersebut maka perjanjian dianggap tidak pernah ada.
7. Asas Kepastian Hukum
Asas ini memiliki relevansi terhadap penelitian, karena penulisan ini mengangkat tolak
ukur permasalahan yang beranjak dari adanya kekosongan norma. Budiman Ginting menyatakan
bahwa, “ kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum disamping kemanfaatan dan
keadilan bagi setiap manusia selaku anggota masyarakat tanpa membedakan asal usulnya.”10
Berdasarkan pendapat tersebut, maka kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin hak-
hak sosial manusia di dalam kehidupannya bermasyarakat.
Terkait dengan penelitian dan penulisan, maka relevansi asas kepastian hukum ini adalah
untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum
dan membawa akibat hukum dari perbuatannya tersebut yang timbul dari adanya kekosongan
norma pada peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah UU No 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
1.7 Metode Penelitian
Dalam pembahasan permasalahan terhadap materi penulisan ini, penulis
menggunakan metode sebagai berikut :
10
Budiman Ginting, 2008, Kepastian Hukum dan implementasinya Terhadap Pertumbmuhan Investasi di
Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Sumatera Utara, hal.1
1.7.1. Jenis Penelitian Penelitian ini
merupakan penelitian hukum normatif yang berusaha mencari jawaban atas terjadinya
kekosongan norma dengan menggunakan analogi dalam hal Hubungan Hukum Perusahaan Induk
Berbentuk Perseroan Terbatas dengan Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer,
karena UUPT tidak mengatur tentang keterkaitan pelaksanaan kebijakan antara induk
perusahaan yang berbentuk badan hukum yaitu Perseroan Terbatas dengan anak perusahaan
yang bukan berbentuk badan hukum, yaitu Persekutuan Komanditer.
1.7.2 Jenis Pendekatan Penelitian hukum
menurut Peter Mahmud Marzuki pada umumnya terdiri dari 5 (lima) jenis pendekatan, yaitu:
a) Pendekatan kasus (the case approach);
b) Pendekatan perundang-undangan (the statue approach);
c) Pendekatan analisis konsep hukum (the analytical & conceptual approach);
d) Pendekatan sejarah (the historical approach);
e) Pendekatan perbandingan (the comparative approach). 11
Dalam penelitian ini akan digunakan jenis pendekatan perundang-undangan (The
Statute Approach) dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 sebagai UUPT terbaru dan
pendekatan analisis konsep hukum (Analytical and Conceptual Approach).
Menurut Peter Mahmud Marzuki Pendekatan Perundang-undangan (The Statute
Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.12
Menurut hemat saya, pendapat
Peter Mahmud Marzuki ini bertujuan untuk memberikan kejelasan mengenai batasan
permasalahan dalam penelitian maupun terhadap konsepsi jawaban dari permasalah
11
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal.93 12
Ibid.
penulisan penelitian karya ilmiah dengan cara mengkaji isi dari perundang-undangan yang
digunakan dalam penelitian.
Sedangkan Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analytical and Conceptual
Approach) menurut Peter Mahmud Marzuki ialah pendekatan yang beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan
ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-
asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam
membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu uang dihadapi.13
Pendapat
Peter Mahmud Marzuki tersebut memiliki relevansi terhadap penelitian dan penulisan ini.
Karena pendekatan analisis konsep hukum menghasilkan suatu argumentasi hukum yang
selanjutnya dijabarkan pada bagian pembahasan penelitian, dengan terlebih dahulu
mengkaji pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum sesuai dengan
permasalahan yang diangkat dalam penelitian.
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Dalam melakukan penelitian hukum normatif, sumber yang digunakan yaitu sumber bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan sumber bahan hukum tertier. Ketiga sumber
hukum itu adalah sebagai berikut :
1. Bahan Hukum Primer
13
Ibid.
Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma/kaidah
dasar, yaitu pembukaan Undang-Undang dasar, peraturan dasar, serta peraturan perundang-
undangan. Dalam penelitian ini digunakan sumber hukum primer berupa :
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
b) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
c) Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
d) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4756).
e) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Pemakaian Nama Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 39).
f) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 Tentang Pengabungan, Peleburan, dan
Pengambilalihan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 40).
g) Peraturan Pemerintah No 57 Tahun 2010 Tentang Pengabungan atau Peleburan Badan
Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 98).
h) Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI Nomor M.01. HT. 01. 10 Tahun 2007 tanggal 21
September 2007 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum
dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar, Penyampaian Pemberitahuan Perubahan
Anggaran Dasar, dan Perubahan Data Perseroan;
i) Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI Nomor M.02. HT. 01. 10 Tahun 2007 Tentang
Tata Cara Pengumuman Perseroan Terbatas dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi literatur-
literatur, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum, atau pandangan ahli hukum yang
berkaitan dengan Hukum Perjanjian maupun yang berkaitan dengan Perusahaan khususnya
Perseroan Terbatas dan Persekutuan Komanditer.
3. Bahan Hukum Tertier
Bahan Hukum Tertier yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder. Bahan hukum tertulis yang diperlukan dalam penelitian ini berupa kamus
hukum, ensiklopedia, dan internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam pengumpulan bahan hukum ini harus ditegaskan permasalahan mengenai jenis,
sifat dan kategori bahan hukum serta perlakuan terhadap bahan hukum yang dikumpulkan,
dengan tujuan agar pengumpulan bahan hukum dan penganalisaaan terhadap badan hukum
sesuai dengan tujuan dari penelitian.
Adapun teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan sistem kartu (card system), yakni dengan cara mencatat dan memahami isi
dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan-bahan hukum primer, sekunder maupun
tertier.
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data, melainkan melalui bahan
hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat kaitannya antara metode analisis dan
pendekatan masalah. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan
dilakukan secara deskriptif, interpretatif, evaluatif, sistematif dan argumentatif.
1. Teknik deskriptif, yaitu teknik yang dimaksudkan untuk memaparkan secara apa adanya
tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum.14
2. Teknik interpretatif, berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti
penafsiran historis, sistematis, dan lain-lain. Selanjutnya badan hukum tersebut dianalisis dengan
menggunakan teknik evaluatif, sistematis dan argumentatif.
3. Teknik evaluatif, yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan, proporsi, pernyataan,
rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam baik dalam hukum primer maupun dalam
hukum sekunder.
4. Teknik sistematif, berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum atau konsep hukum
antara perundang-undangan yang sederajat maupun tidak sederajat.
5. Teknik argumentatif, tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus
didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. 15
14
I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Prenada Media Group, Jakarta,
hal.152 15
Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Program Studi Magister
Hukum, hal.14
Recommended