View
361
Download
7
Category
Preview:
DESCRIPTION
Pasien dengan hernia Discharge Planning
Citation preview
Pengaruh discharge planning oleh perawat terhadap kesiapan pasien post herniorafi menghadapi pemulangan
Latar Belakang
Hernia merupakan produksi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau
bagian yang lemah dari dinding rongga bersangkutan. Dinding perut terdiri dari beberapa
lapis atau bagian dari luar ke dalam yaitu lapisan kutis dan subkutis, lemak subuktan dan
fasia superfisial, kemudian setelahnya ada lapisan otot muskuloaponeurosis yang dibagi jadi
3 otot dinding perut, kemudian terakhir lapisan jaringan peritoneum. Lapisan otot perut
sendiri yaitu muskulo-aponeurosis memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas isi
abdomen, dan fungsi utama otot perut ini juga untuk menjaga seseorang menderita hernia
bawaan maupun hernia yang didapat. Pada penderita hernia isi perut (usus) keluar dari
dinding abdomen sehingga terlihat adanya penonjolan dan menyebabkan terjadinya bagian-
bagian hernia yang terdiri dari: cincin, kantung dan isi hernia (Sjamsuhidajat dan Dejong,
2005).
Hernia ini tidak terlalu menjadi masalah apabila isi dari hernia ini masih bisa keluar
masuk kantung hernia, tidak menempel, tidak menyebabkan nyeri dan gangguan mobilisasi.
Akan tetapi jika hernia sudah bertambah parah maka pada kebanyakan kasus akan terjadi
proses inkarserata (terperangkapnya isi hernia di kantung hernia) dan strangulasi (tercekiknya
isi hernia). Pada keadaan ini isi hernia tidak dapat kembali lagi dan akan mengakibatkan
gejala-gejala gangguan vaskularisasi mulai dari bendungan ringan hingga nekrosis jaringan.
Gejala yang timbul juga sudah mulai dirasakan seperti nyeri yang disertai mual atau muntah,
kembung, obstipasi, nyeri hebat dan kontinyu, daerah benjolan menjadi merah, pasien
menjadi gelisah, dan akan mengakibatkan kesulitan untuk berjalan atau berpindah sehingga
aktivitas terganggu. Apabila gejala sudah seperti ini maka tindakan salah satunya adalah
dengan pembedahan Herniorafi bisa ditegakkan (Syamsuhidajat dan Dejong, 2005).
Tindakan operasi atau pembedahan merupakan suatu pengalaman yang sulit bagi
kebanyakan pasien. Resiko maupun komplikasi yang timbul dari tindakan pembedahan bisa
saja terjadi dan membahayakan pasien, oleh karena itu diperlukan peran perawat dalam
tindakan pembedahan dengan memberikan intervensi keperawatan yang tepat untuk
mempersiapkan pasien baik dari segi fisik maupun psikologis pasien (Rodhianto, 2008).
Pembedahan sendiri didefinisikan sebagai cabang kedokteran yang menangani
penyakit, luka dan deformitas dengan cara manual atau operasi. Pembedahan ditujukan untuk
mempertahankan, atau mengangkat dengan resiko minimal, organ, jaringan, atau ekstremitas
yang mengalami kecelakaan atau luka ( Kamus kedoketaran Dorland, 1998).
Pembedahan dibagi dalam tiga tahap, yaitu preoperatif, intraoperatif, dan
pascaoperatif. Ketiga tahap ini disebut periode perioperatif. Untuk fase preoperatif sendiri
dimulai ketika keputusan diambil untuk melaksanakan intervensi pembedahan. Kegiatan-
kegiatan yang seharusnya dilaksanakan oleh perawat dalam tahap ini adalah pengkajian dan
persiapan preoperasi mengenai status fisik dan psikologi pasien, serta memberikan intervensi
perawatan agar pasien siap untuk menjalani operasi. Tahap ini berakhir ketika pasien diantar
ke kamar operasi dan diserahkan ke perawat bedah untuk perawatan selanjutnya (Baradero
M, 2008, hlm.11).
Kategori pembedahaan dibagi berdasarkan alasan pembedahan, urgensi pembedahan,
tingkat resiko, letak anatomi, dan tingkat operasi yang diperlukan. Tujuan utama pembedahan
dibagi menjadi lima sub-kategori : diagnostik, kuratif, restoratif, paliatif, dan kosmetik.
Operasi paliatif ditujukan untuk membuat pasien lebih nyaman, dan operasi kosmetik
ditujukan untuk merekontruksi kulit dan jaringan dibawahnya. Urgensi pembedahan terbagi
menjadi tidak mendesak, mendesak, dan sangat mendesak. Dan tingkat resiko operasi dibagi
menjadi minor dan mayor. Letak anatomi berdasarkan area tubuh yang akan dioperasi
(operasi abdominal, operasi intracranial, dan operasi jantung) (Ignatavicius & Workman
2006).
Salah satu tindakan pemebedahan adalah herniorafi. Umumnya terapi operasi pada
hernia merupakan terapi satu-satunya yang rasional, dan operasi ini termasuk indikasi operasi
elektif. Herniorafi sendiri merupakan prosedur operasi yang dilakukan pada pasien hernia
dengan melakukan pembebasan cincin dari hernia. Umumnya operasi dilakukan dengan
membuka bagian abdomen, kemudian bagian cincin dibebaskan dari kantung hernia
kemudian direposisikan dan bagian dinding perut yang melemahnya dijahit (Syamsuhidajat
dan Dejong, 2005). Akan tetapi setiap prosedur operasi pasti terdapat resiko yang
ditimbulkan juga. Komplikasi operasi hernia dapat berupa cedera v.femoralis, hematoma
(perdarahan), infeksi luka (Syamsuhidajat dan Dejong, 2005). Penelitian juga telah
menunjukkan bahwa komplikasi dari operasi ini masih terbilang tinggi seperti infeksi,
perdarahan, tromboflebitis, emboli paru, perforasi usus, dan yang paling merugikan adalah
terjadinya hernia berulang sehingga harus dioperasi lagi sebesar 30% angka kejadian
(Vidovic, et all, 2006).
Setelah tindakan pembedahan, pasien menjadi rentan terhadap infeksi karena
terjadinya stress yang serius pada tubuh, seperti terputusnya kontinuitas jaringan dan adanya
port de entry. Selain itu turunnya status imunitas pada tubuh pasien menyebabkan pasien
sangat rentan terkena infeksi (Healthnotes.com, 2004). Andra (2007) menyatakan
menyatakan pada pasien pasca operasi abdomen dengan non etiologi infeksi insiden
terjadinya peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan pembedahan) yang terjadi kurang
dari 2%, sedangkan pada pasca pembedahan pasien dengan penyakit inflamasi tanpa perforasi
(apendisitis, divertikulitis, kolesititis) resiko untuk terjadinya peritonitis sekunder dan abses
peritoneal kurang dari 10%, sedangkan pada pasien pasca pembedahan kolong gangren dan
perforasi visceral resiko terjadinya peritonitis sekunder dan abses meningkat hingga 50%.
Oleh karena itu pasien perlu di berikan pendidikan kesehatan agar pasien mampu mandiri
dalam melakukan perawatan luka yang benar sebelum pulang ke lingkungan rumah.
Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dari postoperasi ditentukan pada saat
preoperasi. Oleh karena persiapan preoperasi haruslah benar-benar siap. Pemeriksaan fisik,
emosional, resiko bedah, diagnostik, tindakan-tindakan persiapan operasi harus dilakukan
dengan baik ketika preoperasi (Potter and Perry, 2006). Fisik pasien harus dipersiapkan
dengan baik mengingat prosedur operasi merupakan prosedur yang memiliki resiko. Sebagai
contoh, penelitian terhadap 43 persiapan operasi yang sebelumnya dilakukan pencukuran
rambut area operasi dan melakukan personal hygiene berupa memandikan pasien terlebih
dahulu menunjukan dapat mengurangi resiko infeksi area operasi sebelum dan sesudah
operasi (Dizer, et all, 2009).
Penelitian case control terhadap 38 pasien yang dipuasakan sebelum operasi
menunjukan penurunan resiko terjadinya aspirasi selama periode intraoperatif sehingga
meunurunkan pula resiko terjadinya komplikasi intraoperasi dan pascaoperasi (Brady, 2010).
Hasil penelitian menunjukan pula pengaruh pemberian nutrisi yang adekuat pada fase
preoperasi dapat meningkatkan kesiapan pasien dalam menghadapi operasi dan berpengaruh
terhadap hasil pada postoperasi dengan mengurangi resiko komplikasi seperti infeksi
postoperasi dan memperpendek waktu perawatan di rumah sakit (Akbarshahi, et all, 2008).
Tidak hanya persiapan fisik saja, mental pasien pun harus dipersiapkan. Pemberian
informasi yang adekuat terhadap pasien akan berpengaruh terhadap berkurangnya kecemasan
pasien, pasien akan lebih siap dalam menjalani operasi dan akan meningkatnya kepuasan
pasien dan akan mempengaruhi waktu pemulangan pasien (Garretson, 2004).
Sebelum pemulangan pasien, pasien dan keluarganya harus mengetahui bagaimana
cara melakukan perawatan secara mandiri di rumah (Potter & Perry, 2005). Ketidaksiapan
pasien dalam melakukan perawatan secara mandiri bisa terjadi karena pasien tidak dipersiapkan
untuk mandiri saat menjalani perawatan di rumah sakit atau bisa terjadi karena pasien terlalu cepat
dipulangkan sehingga pasien beresiko menjalani hospitalisasi ulang (Torrance, 1997). Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan Williams (2006) didapatkan bahwa pasien pasca bedah yang
mendapatkan pendidikan tentang nyeri dan manajemen luka, kebutuhan nutrisi dan komplikasi
pada umunya akan mengalami kekhawatiran dan menyebabkan mereka akan melakukan
kunjungan kembali ke fasiltas kesehatan setelah dipulangkan. Vaughan dan Taylor (1998 dalam
Torrance, 1997) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa pasien pasca bedah abdomen
mengalami defisiensi dalam hal mandi, berpakaian, diet, buang air besar, serta dalam aktifitas
seksual.
Oleh karena itu sebelum dipulangkan, pasien perlu dipersiapkan untuk menghadapi
pemulangan. Orem (1985 dalam Alligood & Tomey, 2006) menyatakan bahwa intervensi
keperawatan dibutuhkan karena adakanya ketidakmampuan klien dalam melakukan perawatan diri
secara mandiri disebabkan adanya keterbatasan. Salah satu intervensi keperawatan yang digunakan
adalah discharge planning (Perencanaan pulang pasien) untuk meningkatkan dan mempertahankan
tingkat kemandirian pasien, teman-teman, dan keluarga dengan menyediakan memandirikan
aktifitas perawatan diri (The Royal Mardsen Hospital 2004). Kesuksesan dischare planning dapat
menjamin pasien untuk melakukan perawatan secara mandiri dan menjamin keamanan pasien
setelat meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006).
Discharge planning adalah suatu proses dimana mulainya pasien mendapatkan
pelayanan kesehatan yang diikuti dengan kesinambungan perawatan baik dalam proses
penyebuhan maupun dalam mempertahankan derajat kesehatannya sampai pasien merasa siap
untuk kembali ke lingkungannya. Discharge planning menunjukan beberapa proses formal
yang melibatkan team atau memiliki tanggung jawab untuk mengatur perpindahan
sekelompok orang ke kelompok lainnya (RCP, 2001).
Discharge planning bertujuan untuk meningkatkan kontinuitas perawatan,
meningkatkan kualitas perawatan dan memaksimalkan manfaat sumber pelayanan kesehatan.
Discharge planning dapat mengurangi hari rawatan pasien, mencegah kekambuhan,
meningkatkan perkembangan kondisi kesehatan pasien dan menurunkan beban perawatan
pada keluarga dapat dilakukan melalui Discharge Planning (Naylor, 1990). Dan menurut
Mamon et al (1992), pemberian dischage planning dapat meningkatkan kemajuan pasien,
membantu pasien untuk mencapai kualitas hidup optimum sebelum dipulangkan, beberapa
penelitian bahkan menyatakan bahwa discharge planning memberikan efek yang penting
dalam menurunkan komplikasi penyakit, pencegahan kekambuhan, dan menurunkan angka
mortilitas dan morbiditas (Leimnetzer et al, 1993: Hester, 1996)
Perawat adalah salah satu anggota team discharge planner, dan sebagai discharge
planner perawat mengkaji setiap pasien dengan menggumpulkan dan menggunakan data yang
berhubungan untuk mengidentifikasi masalah aktual dan potensial, menentukan tujuan dengan
atau bersama pasien dan keluarga, memberikan tindakan khusus untuk mengajarkan dan
mengkaji secara individu dalam mempertahankan atau memulihkan kembali kondisi pasien
secara optimal dan mengevaluasi kesinambungan Asuhan Keperawatan. Merupakan usaha
perawat demi mencegah dan meningkatkan kondisi kesehatan pasien , dan sebagai anggota
tim kesehatan, perawat berkolaborasi dengan tim lain untuk merencanakan, melakukan
tindakan, berkoordinasi dan memfasilitasi total care dan juga membantu pasien memperoleh
tujuan utamanya dalam meningkatkan derajat kesehatannya.
Di indonesia semua pelayanan keperawatan di rumah sakit telah merancang berbagai
bentuk format discharge planning namun discharge planning kebanyakan hanya dipakai
dalam bentuk pendokumentasian resume pasien pulang, berupa informasi yang harus
disampaikan pada pasien yang akan pulang seperti intervensi medis dan non medis yang
sudah diberikan, jadwal kontrol, gizi yang harus dipenuhi setelah dirumah. Cara ini
merupakan pemberian informasi yang sasarannya ke pasien dan keluarga hanya untuk sekedar
tahu dan mengingatkan, namun tidak ada yang bisa menjamin apakan pasien dan keluarga
mengetahui faktor resiko apa yang dapat membuat penyakitnya kambuh, penanganan apa
yang dilakukan, oleh karena itu discharge planning sangat penting dimana akan memberikan
proses deep-learning pada pasien hingga terjadinya perubahan perilaku pasien dan
keluarganya dalam memaknai kondisi kesehatannya. Melihat pentingnya dischage planning
terhadap proses penyembuhan pasien post operasi herniorafi peneliti merasa tertarik untuk
menyelidiki bagaimana pengaruh discharge planning oleh perawat terhadap tingkat kemandirian
pasien.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Melihat latar belakang tersebut secara khusus peneliti ingin meneliti “bagaimana Pengaruh discharge planning oleh perawat terhadap kesiapan pasien post herniorafi menghadapi pemulangan”
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 TUJUAN UMUM
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh discharge planning yang
dilakukan oleh perawat terhadap tingkat kemandirian pasien menghadapai pemulangan.
1.3.2 TUJUAN KHUSUS
Penelitian ini memiliki tujuan khusus untuk mengidentifikasi :
1.3.1.1 Tingkat kemandirian pasien pasca operasi herniorafi menghadapi pemulangan sebelum
diberikan discharge planning.
1.3.1.2 Tingkat kemandirian pasien pasca operasi herniorafi menghadapi pemulangan setelah
diberikan discharge planning.
1.3.2.3 Perbedaan tingkat kemandirian pasien pasca bedah herniorafi menghadapi pemulangan
dengan pemberian discharge planning oleh perawat.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1.4.1 Bagi Profesi Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan evaluasi bagi perawat mengingat
hasil dari penelitian ini terlihat keadaan nyata dilapangan tentang proses discharge planning,
sehingga bisa menjadi acuan perawat untuk meningkatkan kualitas dan performa dalam
pemberian discharge planning.
1.4.2 Bagi Institusi Rumah Sakit
Hasil penelitian pengaruh dischrage planning pada pasien hernia ini bisa dijadikan
acuan bagi rumah sakit untuk mengurangi resiko kekambuhan pada pasien, meningkatkan
keamanan pasien serta meningkatkan mutu dan pelayanan rumah sakit. Hasil penelitian ini
diharapkan bisa menjadi referensi untuk meningkatkan kinerja perawat-perawat di rumah
sakit khususnya yang bekerja di ruang rawat inap bedah dengan pasien post herniorafi.
1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil rumusan dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi yang dapat
digunakan sebagai informasi awal untuk penelitian berikutnya yang terkait dengan proses
pelaksanaan preoperasi pasien hernia. Bagi penelitian ke depannya mungkin saja bisa
dikembangkan untuk meneliti “ faktor-faktor yang mempengaruhi proses discharge
planning pada pasien pasca bedah herniorafi ”.
1.5 KERANGKA PENELITIAN
Operasi pembedahan merupakan suatu prosedur yang beresiko. Operasi akan
menghasilkan respon yang unik untuk setiap pasien, bergantung pada faktor psikososial dan
fisiologis yang ada pada diri pasien. Respon-respon umum yang terjadi akibat dari
pemebedahan ini umumnya yaitu respon neuroendokrin seperti:denyut jantung meningkat
dan tekanan darah tinggi dan respon psikologis (BaraderoM, 2008, hlm. 74). Hal ini juga
umumnya lazim terjadi pada pasien penderita hernia.
Hal ini berlaku terhadap operasi herniorafi. Operasi herniorafi meskipun masih
dianggap sebagai operasi yang umum pada penderita hernia masih memunculkan berbagai
komplikasi yang nyata. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa komplikasi dari
operasi ini masih terbilang tinggi seperti infeksi, perdarahan, tromboflebitis, emboli paru,
perforasi usus, dan yang paling merugikan adalah terjadinya hernia berulang sehingga harus
dioperasi lagi sebesar 30% angka kejadian. Oleh karena itulah dalam proses operasi hernia
haruslah berjalan dengan lancar dari mulai preoperasi sampai dengan postoperasi (Vidovic d
et all. 2006).
Tidak hanya persiapan fisik saja, mental pasien pun harus dipersiapkan. Pemberian
informasi yang adekuat terhadap pasien akan berpengaruh terhadap berkurangnya kecemasan
pasien, pasien akan kebih siap dalam menjalani operasi dan akan meningkatnya kepuasan
pasien dan akan mempengaruhi waktu pemulangan pasien (Garretson, 2004).
Setelah tindakan pembedahan, pasien menjadi rentan terhadap infeksi karena
terjadinya stress yang serius pada tubuh, seperti terputusnya kontinuitas jaringan dan adanya
port de entry. Selain itu turunnya status imunitas pada tubuh pasien menyebabkan pasien
sangat rentan terkena infeksi (Healthnotes.com, 2004). Andra (2007) menyatakan
menyatakan pada pasien pasca operasi abdomen dengan non etiologi infeksi insiden
terjadinya peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan pembedahan) yang terjadi kurang
dari 2%, sedangkan pada pasca pembedahan pasien dengan penyakit inflamasi tanpa perforasi
(apendisitis, divertikulitis, kolesititis) resiko untuk terjadinya peritonitis sekunder dan abses
peritoneal kurang dari 10%, sedangkan pada pasien pasca pembedahan kolong gangren dan
perforasi visceral resiko terjadinya peritonitis sekunder dan abses meningkat hingga 50%.
Oleh karena itu pasien perlu di berikan pendidikan kesehatan agar pasien mampu mandiri
dalam melakukan perawatan luka yang benar sebelum pulang ke lingkungan rumah.
Oleh karena itu sebelum dipulangkan, pasien perlu dipersiapkan untuk menghadapi
pemulangan. Orem (1985 dalam Alligood & Tomey, 2006) menyatakan bahwa intervensi
keperawatan dibutuhkan karena adakanya ketidakmampuan klien dalam melakukan perawatan diri
secara mandiri disebabkan adanya keterbatasan. Salah satu intervensi keperawatan yang digunakan
adalah discharge planning (Perencanaan pulang pasien) untuk meningkatkan dan mempertahankan
tingkat kemandirian pasien, teman-teman, dan keluarga dengan menyediakan memandirikan
aktifitas perawatan diri (The Royal Mardsen Hospital 2004). Kesuksesan dischare planning dapat
menjamin pasien untuk melakukan perawatan secara mandiri dan menjamin keamanan pasien
setelat meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006)
Discharge planning bertujuan untuk meningkatkan kontinuitas perawatan,
meningkatkan kualitas perawatan dan memaksimalkan manfaat sumber pelayanan kesehatan.
Discharge planning dapat mengurangi hari rawatan pasien, mencegah kekambuhan,
meningkatkan perkembangan kondisi kesehatan pasien dan menurunkan beban perawatan
pada keluarga dapat dilakukan melalui Discharge Planning (Naylor, 1990). Dan menurut
Mamon et al (1992), pemberian dischage planning dapat meningkatkan kemajuan pasien,
membantu pasien untuk mencapai kualitas hidup optimum sebelum dipulangkan, beberapa
penelitian bahkan menyatakan bahwa discharge planning memberikan efek yang penting
dalam menurunkan komplikasi penyakit, pencegahan kekambuhan, dan menurunkan angka
mortilitas dan morbiditas (Leimnetzer et al, 1993: Hester, 1996)
Seorang dischare planner bertugas membuat rencana, mengkoordinasikan dan
memonitor dan memberikan tindakan dan proses kelanjutan perawatan (Powell,1996).
Discharge planning itu menempatkan perawat pada posisi yang penting dalam proses
pengobatan pasien dan dalam team discharge planner rumah sakit, pengetahuan dan
kemampuan perawat dalam proses keperawatan dapat memberikan kontinuitas perawatan
melalui proses dischare planning (Naylor,1990). Perawat dianggap sebagai seseorang yang
memiliki kompetensi lebih dan punya keahlian dalam melakukan pengkajian secara akurat,
mengelola dan memiliki komunikasi yang baik dan menyadari setiap kondisi dalam
masyarakat (Harper,1998).
Apabila persiapan-persiapan discharge planning seperti beberapa poin yang dijelaskan
diatas dilakukan dengan baik maka kemungkinan besar pasien herniorafi dapat menjadi
mandiri serta kesiapan pasien secara fisik maupun mental padaa saat akan dipulangkan lebih
baik, dan setelah dipulangkan pasien akan cepat sembuh tidak terjadi komplikasi dan waktu
pemulangan pasien dari rumah sakit bisa lebih singkat. Tingkat keefektifan dan keadekuatan
dischage planning mungkin berpengaruh pada tingkat kemandirian pasien pasca bedah
herniorafi . Akan tetapi dalam kenyataannya di lapangan sering sekali persiapan-persiapan
seperti ini jarang dilakukan secara teratur oleh perawat. Oleh karena itu peneliti merasa perlu
sekali meneliti pengaruh discharge planning pada tingkat kemandirian post operasi herniorafi
menghadapi pemulangan.
Bagan Kerangka Pemikiran Pengaruh Discharge Planning Terhadap Tingkat Kemandirian Pasien Dalam Perawatan Kolostomi
Pasien dengan post operasi herniorafi
Proses Pemberian Discharge Planning Pada Pasien Kolostomi oleh perawat :
Tahap Persiapan :
Pengkajian Fisik: melakukan anamnesa pasien,mengkaji keluhan utama pasien, mengkaji riwayat penyakit, melakukan pemeriksaan fisik.
Pengkajian Psikologis: kaji keadaan psikologis dan pengetahuan pasien akan penyakit
Tahap Perencanaan :
Memprediksi permasalahan klien saat akan dipulangkan Melakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lain Menentukan rencana perawatan untuk mempersiapkan perawatan kesehatan klien
sesuai kebutuhan klien Mencatat perencanaan/intervensi sesuai kebutuhan klien dalam pedokumentasian
Tahap pelaksanaan :
Perawat menjelaskan konsep penyakit, perawatan berkelanjutan di rumah, pemberian obat, diet sesuai, pentingnya kontrol ulang, tanda-tanda memburuknya kondisi, dan cara merawat luka post op
Tahap Evaluasi :
Perawat menilai respon klien dan keluarga terhadap penkes yang diterima Perawat menilai kemampuan keluarga
Pengetahuan Perawat
DILAKSANAKAN :
Semua Aspek Discharge Planing Dilaksanakan
TIDAK DILAKSANAKAN :
Semua Aspek Discharge Planning Tidak Dilaksanakan
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen
yaitu desain yang digunakan untuk mengungkapkan kemungkinan adanya pengaruh
discharge planning yang dilakukan oleh perawat terhadap tingkat kemandirian pasien
post operasi herniorafi dalam menghadapi pemulangan. Rancangan penelitian yang
digunakan yaitu one group pre and posttest design, yang melibatkan satu kelompok
subyek serta melakukan pengukuran tingkat kesiapan pasien menghadapi pemulangan
sebelum pemberian intervensi yang memungkinkan peneliti dapat menguji perubahan-
perubahan yang terjadi setelah adanya intervensi (discharge planning) (Notoatmodjo,
2005).
Populasi dan Sampel
Populasi
Dalam penelitian ini yang menjadi populasinya yaitu pasien yang akan menjalani
operasi herniorafi di ruang bedah soka RSUD Sumedang. Tercatat selama tahun 2011
terdapat 123 pasien yang menjalani operasi herniorafi, kemudian ditarik rata-rata nya per
bulan maka jumlah populasinya yaitu sebanyak 11 pasien.
Sample
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling,
yaitu menetapkan sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi. Adapun yang menjadi kriteria
inklusi sampel dalam penelitian ini antara lain : pasien pasca bedah herniorafi, telah
menjalani perawatan di ruang rawat inap lebih dari 2 hari, pria/wanita berusia 18-50 tahun,
memiliki kesadaran penuh sehingga tidak memiliki halangan untuk belajar, tidak memiliki
penyakit komplikasi, dan bersedia menjadi responden penelitian.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang didasarkan
pada tinjauan pustaka. Kuesioner terdiri dari 2 bagian, yaitu data demografi dan data
tingkat kesiapan pasien pasca bedah herniorafi menghadapi pemulangan.
Kuesioner
Data Demografi
Terdiri dari jenis kelamin, usia, hari post ke berapa post operasi, alasan
diagnosa penyakit, dan pengalaman hospitalisasi sebelumnya. Data demografi
ini bertujuan untuk mengetahui karakterstik pasien dan mendeskripsikan
distribusi frekuensi dan presentasi demografi pasien.
Data Kesiapan Pasien Dalam Menghadapi Pemulangan pre dan post
Dishchage Planning
Recommended