View
268
Download
2
Category
Preview:
DESCRIPTION
gvd
Citation preview
Diskusi Kelompok
EPISTAKSIS
Penyaji:
Arif Sangjaya, S.Ked (04053100002)
Agustina, S.Ked (04033100050)
Marissa Sylvia Regina, S.Ked (04033100059)
Dewi Rosariah Ayu (04053100069)
Sulistiansyah (04053100111)
Penyanggah:
Athia Asparini
Dellyza Pusvarini
Nelly Oktriyani
Rizky Ramadantie
Pembimbing:
Dr. Denny Satria Utama, Sp.THT-KL,M.Si.Med
BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER/ DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG
TENGGOROK
RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN
1
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2011
LEMBARAN PENGESAHAN
Makalah dengan judul:
EPISTAKSIS
Disusun oleh :
Arief Sangjaya, S.Ked (04053100002)
Agustina, S.Ked (04033100050)
Marissa Sylvia Regina, S.Ked (04033100059)
Dewi Rosariah Ayu (04053100069)
Sulistiansyah (04053100111)
Yang akan dipresentasikan pada tanggal 23 Februari 2011
Telah disahkan sebagai syarat dalam menyelesaikan KKS di Bagian Ilmu Penyakit
Telinga-Hidung-Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode :
14 Februari 2011 – 14 Februari 2011.
Palembang, Februari 2011
Dr. Denny Satria Utama, Sp.THT-KL,M.Si.Med
2
BAB I
PENDAHULUAN
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang penyebabnya bisa lokal
atau sistemik; merupakan suatu tanda atau keluhan bukan penyakit. Perdarahan bisa
ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Faktor
etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif.
Epistaksis berat, walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa
pasien, bahkan dapat berakibat fatal, bila tidak segera ditolong.1
Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat
berhenti spontan atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien sendiri
dengan jalan menekan hidungnya. Di Amerika, epistaksis dilaporkan terjadi pada
60% populasinya. Namun jarang sekali menyebabkan kematian. Distribusinya
bermacam-macam dengan insiden terbanyak pada usia kurang dari 10 tahun dan lebih
dari 50 tahun. Kasus ini terbanyak terjadi pada laki-laki dibanding wanita.2,3
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan
bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari
arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri
sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Kasus- kasus epistaksis kebanyakan
terjadi pada daerah anterior septum nasi, dan dapat diatasi dengan kauterisasi.
Namun, epistaksis posterior lebih memerlukan pendekatan yang lebih agresif
termasuk metode posterior nasal packing dan endoscopic cauterization.1,3
Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga
sedikit dan berhenti sendiri. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu
memanggil dokter. Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan kembali.
Pengobatan yang tepat pada kasus epistaksis adalah dilakukan penekanan pada
pembuluh darah yang berdarah. Sangat penting penatalaksanaan yang tepat pada
3
kasus epistaksis agar tidak terjadi komplikasi atau bahkan kematian. Karena itu akan
kita bahas mengenai epistaksis pada makalah ini.
BAB II
ISI
2.1 ANATOMI
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis yaitu arteri karotis eksterna
dan karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada
cavum nasi melalui :
1) Arteri Sphenopalatina
Cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen sphenopalatina
yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.
2) Arteri palatina desenden
Memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan melalui kanalis incisivus
palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi. Sistem karotis
interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan
posterior yang memperdarahi septum dan dinding lateral superior.
Gambar 1. Anatomi vaskuler supplai darah septum nasi.
4
2.2 DEFINISI EPISTAKSIS
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau
keluhan bukan penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat
menjengkelkan dan mengganggu, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi
harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis
secara efektif.
2.3 ETIOLOGI
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya,
kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh
kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Perdarahan hidung diawali oleh
pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen
perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus
Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan
mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis sering kali
timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh
sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik. Secara Umum penyebab
epistaksis dibagi dua yaitu :
1) Lokal
a) Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin, atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai
akibat trauma yang lebih hebat seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain
itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga
menyebabkan epistaksis.
b) Infeksi
5
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik,
seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.
c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah,
Hemongioma, karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis
berat.
d) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's
disease). Juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.
e) Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum.
Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi
perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau
perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung
mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha
melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta
berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian
perdarahan.
Dikutip dari: http://www.ajonline.org/cgi/contents/FIG.html
6
Gambar 2. Gambaran sagital MR pada solitary fibrous tumor dengan masa tumor
dan epistaksis dan Gambaran angiogram angiofibroma juvenil dengan
obstruksi hidung dan epistaksis.
f) Pengaruh lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau
lingkungan udaranya sangat kering.
2) Sistemik
a) Kelainan darah
Misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
b) Penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti
pada aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus
dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat,
sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
c) Infeksi sistemik akut
Demam berdarah, demam typhoid, influenza, morbili, demam tifoid.
d) Gangguan endokrin
Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis,
kadang-kadang beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari hidung
menyertai fase menstruasi.
2.4 ANAMNESA DAN PEMERIKSAAN FISIK
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan
belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya
perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.
Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya
perdarahan, frekuensi, lamanya perdarahan, dan riwayat perdarahan hidung
sebelumnya. Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yang
7
berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan juga
megenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan dengan perdarahan
misalnya riwayat darah tinggi, arteriosclerosis, koagulopati, riwayat perdarahan yang
memanjang setelah dilakukan operasi kecil, riwayat penggunaan obat-obatan seperti
koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlodipin, serta kebiasaan merokok
dan minum-minuman keras.
Pada pemeriksaan fisik, epistaksis seringkali sulit dibedakan dengan
hemoptysis atau hematemesis untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus
ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja..
Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua
kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku;
sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat
dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan
kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau
larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adre-nalin 1/1000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga
perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10-15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
8
Gambar 3. Obat-obat dan alat-alat yang diperlukan untuk tatalaksana epistaksis
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung
yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien
dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan
perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
a) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha
inferior harus diperiksa dengan cermat.
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung.
2.5 PATOFISIOLOGI
Secara anatomi, perdarahan hidung berasal dari arteri karotis interna yang
mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya menyuplai
bagian superior hidung. Suplai vaskular hidung lainnya berasal dari arteri karotis
eksterna dan cabang-cabang utamanya. Arteri sfenopalatina membawa darah untuk
separuh bawah dinding hidung lateral dan bagian posterior septum. Semua pembuluh
darah hidung ini saling berhubungan melalui beberapa anastomosis. Suatu pleksus
vaskular di sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa menggabungkan sebagian
anastomosis ini dan dikenal sebagai little area atau pleksus Kiesselbach. Karena ciri
vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini merupakan objek trauma fisik dan
lingkungan berulang maka merupakan lokasi epistaksis yang tersering.
9
Semua pendarahan hidung disebabkan lepasnya lapisan mukosa hidung yang
mengandung banyak pembuluh darah kecil. Lepasnya mukosa akan disertai luka pada
pembuluh darah yang mengakibatkan pendarahan.
2.6 PENATALAKSANAAN
Aliran darah akan berhenti setelah darah berhasil dibekukan dalam proses
pembekuan darah. Sebuah opini medis mengatakan bahwa ketika pendarahan terjadi,
lebih baik jika posisi kepala dimiringkan ke depan (posisi duduk) untuk mengalirkan
darah dan mencegahnya masuk ke kerongkongan dan lambung.
Pertolongan pertama jika terjadi mimisan adalah dengan memencet hidung
bagian depan selama tiga menit. Selama pemencetan sebaiknya bernafas melalui
mulut. Perdarahan ringan biasanya akan berhenti dengan cara ini. Lakukan hal yang
sama jika terjadi perdarahan berulang, jika tidak berhenti sebaiknya kunjungi dokter
untuk bantuan. Untuk pendarahan hidung yang kronis yang disebabkan keringnya
mukosa hidung, biasanya dicegah dengan menyemprotkan salin pada hidung hingga
tiga kali sehari.
Jika disebabkan tekanan, dapat digunakan kompres es untuk mengecilkan
pembuluh darah (vasokonstriksi). Jika masih tidak berhasil, dapat digunakan tampon
hidung. Tampon hidung dapat menghentikan pendarahan dan media ini dipasang 1-3
hari.
10
Gambar 4. Penanganan awal epistaksis
Tujuan pengobatan epistaksis adalah:
- Menghentikan perdarahan.
- Mencegah komplikasi
- Mencegah berulangnya epistaksis
Hal-hal yang penting adalah :
1. Riwayat perdarahan sebelumnya.
2. Lokasi perdarahan.
3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar
dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak.
4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya
5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
6. Hipertensi
7. Diabetes melitus
8. Penyakit hati
9. Gangguan koagulasi
10. Trauma hidung yang belum lama
11
11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon
Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah dalam keadaan akut
atau tidak.
1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali
bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
2. Menghentikan perdarahan
a. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit.
b. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah
dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/lidokain, serta bantuan alat penghisap
untuk membersihkan bekuan darah.
c. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas,
dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat
10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal
terlebih dahulu.
3. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang
diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai
tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar
kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak
rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan
dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.
12
Gambar 5. kauterisasi sumber perdarahan
Gambar 5. Tampon anterior
4. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon
Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3 x 2 x 2 cm dan mempunyai
3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya.
Tampon harus menutup koana (nares posterior)
Untuk memasang tampon Bellocq:
- Dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring dan
kemudian ditarik ke luar melalui mulut.
- Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi
tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung.
13
- Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk
tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring.
- Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior,
kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung
sehingga tampon posterior terfiksasi.
- Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak
boleh terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk
menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan
tampon Bellocq harus dirawat.
Gambar 6. Tampon Bellocq
5. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon.
Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air. Teknik sama
dengan pemasangan tampon Bellocq.
14
Gambar 7. Balon intranasal untuk mengontrol epistaksis
6. Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat hemostatik. Akan
tetapi ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit sekali manfaatnya.
7. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi
dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah
sakit.
15
Gambar 8, Metode pemasangan tampon posterior.
2.6 KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau sebagai
akibat dari penanganan yang kita lakukan. Akibat dari epistaksis yang hebat dapat
terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah yang mendadak dapat menimbulkan
iskemi cerebri, insufisiensi koroner dan infarkmiocard, hal-hal inilah yang
menyebabkan kematian. Bila terjadi hal seperti ini maka penatalaksaan terhadap syok
harus segera dilakukan.
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium
sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara
retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon
posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan
sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.
16
BAB III
DISKUSI
PERTANYAAN
1. Apakah epistaksis dimasukkan kedalam deretan penyakit di bidang THT ?
2. Apakah yang menyebabkan epistaksis ?
3. Bagaimana cara menanggulanginya ?
4. Bagaimana tindakan kita agar epistaksis tidak berulang ?
PEMBAHASAN
1. Epistaksis bukan merupakan suatu penyakit, namun merupakan gejala dari suatu
kelainan atau penyakit baik dalam bidang THT maupun non THT.
2. Penyebab Epistaksis terdiri dari penyebab lokal dan penyebab sistemik.
A. Penyebab lokal
1. Trauma terdiri dari trauma ringan seperti mengeluarkan ingus
dengan kuat, bersin, mengorek hidung dan trauma berat seperti terpukul,
jauth, kecelakaan lalu lintas, benda asing di hidung dan trauma pada
pembedahan
2. Infeksi: Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis,
sinusitis, dan granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra. Adanya
17
sinusitis, infeksi saluran nafas atas bahkan alergi dapat merusak epitel
pernafasan.
3. Tumor: hemangioma, karsinoma, angiofibroma, dan polip.
Tumor dapat menyebabkan epistaksis dikarenakan tumor mengerosi struktur
normal dan biasanya epistaksisnya bersifat unilateral.
4. Lingkungan: bahan-bahan iritan (asap, zat kimia, gas) dan
perubahan lingkungan misalnya perubahan tekanan atmosfer mendadak
seperti pada penebang dan penyelam (caisson disease atau lingkungan yang
sangat dingin)
5. Kongenital: kelainan kongenital yang sering menyebabkan
epistaksis adalah telangiektasis hemoragik herediter.
6. Idiopatik: merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak
dan remaja.
B. Penyebab sistemik
1. Kelainan darah
Misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
2. Penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti
pada aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus
dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat,
sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
3. Infeksi sistemik akut
Demam berdarah, demam typhoid, influenza, morbili, demam tifoid.
4. Gangguan endokrin
Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis,
kadang-kadang beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari
hidung menyertai fase menstruasi.
3. Cara menanggulangi epistaksis :
18
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.Pada
kasus gawat darurat, tindakan pertama yang dilakukan yaitu tindakan pembebasan
jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi (ABC).
Epistaksis anterior :
Upaya vasokonstriksi dilakukan dengan aplikasi topical
menggunakan kapas yang diberi lidokain 4% dan epinefrin topical 1:10.000, yang
dimasukkan ke dalam rongga hidung dan dipertahankan selama 10-15 menit.
Kemudian inspeksi ulang
Jika tidak berhasil dapat dilakukan aplikasi
menggunakan kauterisasi secara kimia dengan tampon nitras argenti 20-30% atau
asam trikloroasetat 10%, oleskan pada lokasi perdarahan selama 30 detik. Untuk
perdarahan akibat pembuluh darah yang besar dapat digunakan kauterisasi
elektrik. Tindakan harus dilakukan secara hati-hati, dan tidak boleh dilakukan
pada kedua rongga hidung karena dapat menyebabkan perforasi septum.
Jika pengobatan di atas gagal, dilakukam tampon pada
kavum nasi anterior, mulai dari bagian posterior ke anterior menggunakan tampon
pita yang telah diberi salep antibiotik. Setelah tampon dimasukkan ke kavum nasi
basahi dengan sedikit cairan vasokonstriktor topikal. Selama proses insersi
tampon dapat diberikan cairan saline untuk mendapatkan ekspansi yang optimal.
Epistaksis Posterior.
Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon
posterior atau tampon Bellocq yaitu berupa tampon yang mempunyai 3 utas
benang, satu utas di tiap ujung dan satu utas di tengah dan dibuat dari kassa padat
berbentuk bulat atau kubus dengan diameter kurang lebih 3 cm. Dapat pula diolesi
dengan salep antibiotika topikal untuk mengurangi insidensi infeksi.
19
Tampon ini dipasang dengan memasukkan kateter karet melalui kedua nares
anterior sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Kedua
ujung kateter dikaitkan masing-masing pada 2 benang yang terdapat pada tampon
Bellocq, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung. Kedua ujung benang
yabg sudah keluar melalui nares anterior kemudian ditarik dan dengan bantuan
jari telunjuk tampon itu didorong ke nasofaring. Kedua benang yang keluar dari
nares anterior ini kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kassa di depan
rongga hidung supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang
yang ada di rongga mulut terikat pada sisi lain tampon Bellocq, dilekatkan pada
pipi pasien, berguna untuk menarik tampon keluar setelah 2-3 hari.
Jika dianggap perlu, dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum
nasi.
Sebagai pengganti tampon posterior dapat juga dipakai kateter folley dengan
balon.
Pada pasien dengan tampon posterior harus dirawat dan tampon dikeluarkan
dalam waktu 2-3 hari setelah pemasangan.
Dapat diberikan antibiotika spektrum luas sebagai profilaksis, analgesik atau
sedativa yang tidak menyebabkan depresi pernafasan.
Bila pendarahan anterior dan posterior tetap berlangsung meskipun tel;ah
dipasang tampon perlu dilakukan kauteriasasi langsung pada sumber perdarahan.
Untuk mengetahui sumber perdarahan dilakukan endoskopi
4. Tindakan untuk mencegah berulangnya epistaksis
Tindakan untuk mencegah berulangnya epistaksis adalah dengan cara
mengatasi penyebab terjadinya epistaksis. Jika penyebabnya trauma maka atasi
traumanya dan cegah terjadinya trauma berulang. Jika diketahui penyebabnya
infeksi maka diberikan pengobatan pada infeksinya.
20
Pada epistaksis yang disebabkan kelainan sistemik seperti penyakit
kardiovaskular misalnya hipertensi, arteriosklerosis hepatik dan diabetes melitus,
maka perlu diberikan terapi penyakit-penyakit tersebut.
Jika penyebabnya belum diketahui, pemeriksaan penunjang sebaiknya
dilakukan misalnya pemeriksaan darah untuk mengetahui apakah ada kelainan
pada proses pembekuaan darahnya. Biopsi pada kasus-kasus tertentu yang
dicurigai keganasan.
Terakhir, hal yang penting adalah edukasi tentang epistaksis ini kepada
penderita. Dokter perlu menjelaskan pada penderita hal apa saja yang menjadi
kemungkinan penyebab epistaksisnya dan bagaimana cara menghindari dan
penyebabnya.
21
DAFTAR PUSTAKA
American Family Physician® > Vol. 71/No. 2 (January 15, 2005)
http://www.aafp.org/afp/20050115/contents.html
Corry JK, Timothy C. Management of Epistakxis, 2005.
In: http://www.aafp.org/afp/20050115/contents.html
Elsie K, Vincent I, Nolan J. Epistaksis,Vaskular Anatomy, Origins and
Endovaskular Treatment, 1999. In : http://www.ajonline.org/cgi/contents.html
Iskandar M : Teknik Penatalaksanaan Epistaksis. In: Cermin Dunia
Kedokteran No. 132, 2001. pp. 43-46
Nguyen Q. Epistaxis, 2005. In : http://www.emedicine.com/ent/NASAL_
AND_ SINUS_ DISEASES.html
Nuty WN, Endang M. Epistaksis. In: Soepardi EA, Iskandar N (eds). Buku
ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. 5 th Ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2001.pp.125-29.
Soepardi EA. Iskandar HN. Editor. Buku Ajar Ilmu Kehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. 2007. Balai Penerbit FK UI. Jakarta: Indonesia
22
Recommended