View
230
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1996301
Evaluasi Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia: Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
Priadi Asmanto
Agustus, 2008
Abstraksi The objectives from this paper are an evaluation of human development in gender sector and linkage of millennium development goals, especially third goal of MDGs in Indonesia. Analysis also instructed to know how comparison attainment third target of MDGS between provinces in Indonesia according to its attainment indicators. The analysis use qualitative descriptive approach as according data available and relevant to be used. The analysis result shows several conclusions. First, attainment of human resource development (HDI) still can’t follow of gender development attainment (GDI), that way also gender empowerment measurement (GEM). The region/province with good economic growth and good human development, in the reality can’t abolish inequality of gender development and gender empowerment measurement. Some example of this case is DKI Jakarta, East Kalimantan and Riau. Second, in cumulative, third goal attainment of Millennium Development Goals in education sector relative have reached efficacy. Promote gender inequality and empower women in primary education, secondary education and tertiary education sector fully have been reached in the year 2005, according to target of MDGS. Third, Attainment of literate by regions not yet succeeded to reach balance point. But that way, not yet succeeded of attainment on the third MDGs target in literate women have been kept positive correlate every year, where literate level productive age of woman tend to increase from year to year. Fourth, There are inequality of economic participation either from side human development (HDI, GDI, GEM) and also inequality of interregional development one with other area. Fifth, Woman participation in the field politics a long way off than minimum quota which have been determined, goodness in political of local politics and also national politics. With quota equal to 30% in the reality not yet can stimulate involvement of woman in the field of politics, which is only 11.6% in national politics and 6.7% in local politics. Kata Kunci : Gender, Human Development Index, Gender Development Index, Gender Empowerment Measurement Index, Millenium Development Goals, 1. Pendahuluan
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang
sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi
Milenium. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin dunia yang
tidak pernah ada sebelumnya untuk menangani isu perdamaian, keamanan,
Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1996301
2
pembangunan, hak asasi dan kebebasan fundamental dalam satu paket. Dalam konteks
inilah, negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan Pembangunan
milenium (Millennium Development Goals/MDGs). Setiap tujuan memiliki satu atau
beberapa target beserta indikatornya. MDG menempatkan pembangunan manusia
sebagai fokus utama pembangunan, memiliki tenggat waktu dan kemajuan yang
terukur. MDG didasarkan pada konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan
tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka,
sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.
Adapun tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan pembangunan
milenium (MDG) tersebut diantaranya : 1) Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan.
2) Mencapai Pendidikan Untuk Semua; 3) Mendorong Persamaan Gender dan
Pemberdayaan Perempuan; 4) Menurunkan Angka Kematian Anak; 5) Meningkatkan
Kesehatan Ibu; 6) Memerangi Hiv/Aids, Malaria, dan Penyakit Lainnya; 7)
Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup; dan Membangun Kemitraan Global untuk
Pembangunan
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa diantara tujuan-tujuan
tersebut diatas memiliki satu atau lebih target yang ingin dicapai, adapun target-target
sesuai dengan tujuan MDGs diatas adalah sebagai berikut : 1) Menurunkan proporsi
penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1 dolar AS, menjadi setengahnya
antara tahun 1990 – 2015. 2) Menurunkan proporsi penduduk yang menderita
kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990 – 2015. 3) Menjamin bahwa sampai
dengan tahun 2015, semua anak, di manapun, laki-laki dan perempuan, dapat
menyelesaikan sekolah dasar (primary schooling). 4) Menghilangkan ketimpangan
gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua
jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015. 5) Menurunkan Angka Kematian Balita
sebesar dua-pertiganya, antara tahun 1990 dan 2015. 6) Menurunkan angka kematian
ibu antara tahun 1990 dan 2015 sebesar tiga-perempatnya. 7) Mengendalikan
penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015. 8)
Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan
penyakit lainnya pada tahun 2015. 9) Memadukan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber
daya lingkungan yang hilang. 10) Penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa
3
akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas
sanitasi dasar pada 2015. 11) Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan
penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2020.
Berdasarkan atas uraian dalam latar belakang diatas dapat dikemukakan
beberapa perumusan masalah sebagai berikut : 1) Bagaimanakah keterkaitan antara
pencapaian pembangunan sumberdaya manusia, pembangunan gender dan
pembangunan pemberdayaan perempuan di Indonesia? 2) Bagaimanakah
perkembangan pencapaian tujuan ke-3 MDGs di Indonesia jika dilihat dari indikator
pendidikan? 3) Bagaimanakah perkembangan pencapaian tujuan ke-3 MDGs di
Indonesia jika dilihat dari indikator keaksaraan? 4) Bagaimanakah perkembangan
pencapaian tujuan ke-3 MDGs di Indonesia jika dilihat dari indikator ekonomi? 5)
Bagaimanakah perkembangan pencapaian tujuan ke-3 MDGs di Indonesia jika dilihat
dari indikator peranan politik oleh perempuan?
2. Kajian Pustaka
2.1. Human Development Index (HDI)
Human Development Index (HDI) adalah ukuran pembangunan yang
menitikberatkan pada pembangunan manusia. Sebagiman pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan perkapita yang digunakan untuk mengetahui bagaiman perkembangan
pembangunan ekonomi dalam suatu daerah, HDI juga digunakan untuk mengetahui
bagaiman ukuran keberhasilan pembangunan suatu daerah namun dengan
menggunakan pendekatan sumberdaya manusia.
Tabel 2.1. Pola Penghitungan Human Development Index (HDI)
Sumber : Laporan Pembangunan Manusia Indonesia – BPS, Bappenas dan UNDP
Sebagaimana diagram diatas yang menunjukkan bagaimana nilai HDI di
hasilkan. Pada dasarnya nilai HDI berasal dari indikator indikator penting yaitu angka
4
harapan hidup bayi, angka melek huruf penduduk usia dewasa, rata-rata masa
pendidikan yang pernah ditempuh serta Purchasing Power Parity (PPP) per individu
yang diukur menggunakan pendekatan pengeluaran perkapita. Keempat indikator
tersebut selanjutanya masuk dalam dimensi indek yang berbeda-beda yaitu indeks
harapan hidup (angka harapan hidup bayi), indek pendidikan (angka melek huruf dan
masa pendidikan) serta indeks pendapatan (PPP-pengeluaran riil).
Tabel 2.2. Nilai Standar untuk Indikator HDI dan GDI
Komponen HDI Nilai Max Nilai Min.
Angka Harapan Hidup 85 25 Agka Melek Huruf 100 0 Rata-rata Masa Pendidikan 15 0 Purchasing Power Parity 737,720 300,000
Sumber : United Nation Developmet Programe
2.2. Gender-related Developmet Index (GDI)
Gender-related Development Index (GDI) adalah ukuran yang digunakan untuk
mengetahui pembangunan manusia. GDI sama dengan Human Development Index
(HDI) yang mengukur bagaimana keberhasilan pembangunan manusia dengan
memperhitungkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. GDI adalah HDI yang
disesuaikan dengan adanya kesenjangan gender. Kesenjangan gender dapat dilihat dari
selisih antara HDI dan GDI. Semakin kecil selisih antara HDI dan GDI dapat diartikan
bahwa kesenjangan pembangunan antara perempuan dan laki-laki juga semakin kecil.
Tabel 2.3.
Pola Penghitungan Gender Development Index (GDI)
Sumber : Laporan Pembangunan Manusia Indonesia – BPS, Bappenas dan UNDP
5
Dimensi antara perempuan dan laki laki merupakan indek dimesional yang
terkandung setelah indikator harapan hidup, pendidikan dan pendapatan didapatkan.
Sehingga untuk mendapatkan GDI, distribusi indeks yang menentukan secara langsung
angka indeks GDI. Sebagaimana nilai standar yang digunakan untuk menilai HDI, nilai
standar yang digunakan untuk menentukan GDI tetap berpatokan dalam nilai HDI
seperti dalam tabel 2.1. diatas, namun yang berbeda antara HDI dan GDI tetap sesuai
dengan penjelasan sebelumnya, yaitu memasukkan dimensi gender yang membedakan
antara laki-laki dan perempuan.
2.3. Gender Empowerment Measurement (GEM)
Gender Empowerment Measurement (GEM) yang dapat diartikan sebagi
indeks pemberdayaan perempuan adalah ukuran pembangunan manusia yang
menitikberatkan pada ketimpangan antara peran laki-laki dan perempuan dalam bidang
ekonomi, politik, dan pengambil kebijakan. Ukuran ekonomi yang dipergunakan
adalah distribusi perempuan yang bekerja disektor pertanian beserta perbandingan upah
yang diperoleh dibanding laki-laki. Ukuran politik adalah keterlibatan perempuan
dalam parlemen (DPR, MPR, DPRD). Sedangkan ukuran pengambil keputusan adalah
perempuan yang bekerja profesional, pejabat tinggi, manajer dan lain-lain. Tabel 2.4.
Pola Penghitungan Gender Empowerment Measurement Index (GEM)
Sumber : Laporan Pembangunan Manusia Indonesia – BPS, Bappenas dan UNDP
Pola penghitungan GEM merupakan pola penghitungan yang berbeda dengan
pola sebelumnya (HDI dan GDI). Dalam GEM yang dihitung adalah bagaimana
partisipasi perempuan dalam politik, ekonomi dan penentuan keputusan. Indikator yang
dipakai untuk menilai hal tersebut adalah jumlah laki-laki dan perempuan dalam
parlemen/DPR/MPR/DPRD (partisipasi politik), jumlah laki-laki dan perempuan yang
bekerja profesional tingkat atas (partisipasi penentu keputusan) dan perkiraan
6
pendapatan laki-laki dan perempuan (partisipasi ekonomi). Nilai-nilai tersebut diatas
selanjutnya dikombinasikan dalam EDEP (Equally Distributed Equivalent Percentage)
yang dihitung berdasarkan persentase distribusi laki-laki dan perempuan untuk
mendapatkan nilai keberdayaan laki-laki dan perempuan di masing-masing bidang.
Nilai paling relevan untuk EDEP adalah 50 (maksimum), dimana nilai tersebut
berdasarkan atas peran yang sama antara laki-laki dan perempuan di masing-masing
bidang.
2.4. Indikator Pengukuran Keberhasilan MDGs
PBB telah berkomitmen untuk mewujudkan tujuan ke tiga dari MDGs yaitu
Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada
tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015. Berkaitan
dengan hal tersebut, PBB melalui UNDG bersama dengan UNDP, UNPF dan
Department of Economic and Social Affairs–Statistics Division pada tahun 2003 telah
meluncurkan indikator pengukuran keberhasilan pencapaian MDGs yang dinamakan
dengan Indicators for Monitoring the Millennium Development Goals : Definitions,
Rationale, Concepts and Sources.
Dalam indikator tersebut termuat indikator-indikator baku yang digunakan untuk
mengukur tingkat pencapaian 8 tujuan MDGs. Hal terpenting dengan kajian ini adalah
indicator yang digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan ketiga dari
MDGs.indikator-indikator yang digunakan diantaranya : rasio antara perempuan dan
laki-laki dalam pendidikan dasar, rasio angka melek huruf perempuan dengan laki-laki
(umur 15 -24 tahun), rata-rata gaji pekerja perempuan di sektor non-pertanian dan
proporsi perempuan terahadap laki-laki dalam parlemen (DPR, MPR dan DPRD).
Dari ukuran-ukuran tersebut diatas, pada dasarnya kembali merujuk pada ukuran
yang digunakan GDI dan GEM. Dapat dikatakan bahwa jika pembangunan manusia
khususnya yang mengukur ketimpangan antara laki-laki dan perempuan (GDI) dan
keberdayaan perempuan (GEM) memiliki tingkat keberhasilan, maka dengan sendirinya
pencapaian tujuan ketiga MDGs juga memiliki hasil yang memuaskan. Terdapat
integrasi antara GDI, GEM dan Goals 3 of MDGs.
3. Temuan Empiris
3.1. Pembangunan Manusia, Gender dan Keberdayaan Perempuan
7
Sebagaimana pertumbuhan ekonomi, PDRB serta pendapatan perkapita yang
merupakan ukuran pembangunan di suatu wilayah/negara, indek pembangunan
manusia (HDI), indeks pembangunan gender (GDI), serta indek pemberdayaan
perempuan (GEM) juga merupakan salah satu ukuran pembangunan di suatu
wilayah/negara. Pembangunan dibidang ekonomi dengan indikator pendapatan
perkapita dan pertumbuhan ekonomi secara teoritis mempengaruhi pembangunan
manusia (HDI, GDI dan GEM), dimana masing masing indeks tersebut didalamnya
terdapat indikator ekonomi sebagai ukuran.
Daerah-daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan
perkapita dibawah rata-rata memiliki indek pembangunan manusia yang juga dibawah
rata-rata nasional diantaranya : Propinsi Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan
Nusa Tenggara Barat. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah dengan kapasitas
perekonomian yang relatif rendah cenderung mengalami perkembangan pembangunan
manusia yang juga cukup rendah pula. Dapat dikatakan ketiga daerah pada tingkat
kewajaran.
Tabel 3.1. Kondisi HDI, GDI, GEM, Pendapatan Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi Propinsi-
propinsi di Indonesia Tahun 2005
Propinsi HDI GDI GEM Percapita Growth Propinsi HDI GDI GEM Percapita Growth
NAD 66.0 62.1 55.5 8,384 20.07 Nusa Tenggara Barat 57.8 51.6 47.2 3,639 3.51 Sumatera Utara 68.8 61.5 48.4 7,06 4.56 Nusa Tenggara Timur 60.3 56.3 46.2 2,286 4.88 Sumatera Barat 67.5 60.7 54.2 6,386 4.69 Kalimantan Barat 62.9 57.0 47.9 5,787 4.55 Riau 69.1 56.9 40.4 17,314 2.64 Kalimantan Tengah 69.1 60.9 43.4 7,29 5.30 Jambi 67.1 53.3 46.8 4,788 5.86 Kalimantan Selatan 64.3 56.6 57.5 6,568 3.66 Sumatera Selatan 66.0 55.5 56.9 7,318 3.08 Kalimantan Timur 70.0 53.4 41.1 32,852 1.74 Bengkulu 66.2 59.2 51.1 4,027 4.73 Sulawesi Utara 71.3 62.1 55.1 5,987 3.32 Lampung 65.8 57.0 50.3 4,121 5.62 Sulawesi Tengah 64.4 60.3 59.1 5,111 5.62 Bangka Belitung 65.4 47.7 38.9 7,883 6.85 Sulawesi Selatan 65.3 56.9 45.6 4,85 4.09 DKI Jakarta 75.6 66.7 50.3 33,404 4.89 Sulawesi Tenggara 64.1 56.8 48.0 4,089 6.66 Jawa Barat 65.8 56.3 43.6 6,308 3.94 Gorontalo 64.1 52.7 51.4 2,196 6.45 Jawa Tengah 66.3 58.7 51.0 4,473 3.55 Maluku 66.5 62.6 51.8 2,604 2.87 D. I. Yogyakarta 70.8 65.2 56.1 5,066 4.50 Maluku Utara 65.8 55.0 31.2 2,53 2.44 Jawa Timur 64.1 56.3 54.9 7,064 3.80 Papua 60.1 54.3 49 11,858 5.13 Banten 66.6 54.9 48.6 6,436 4.11 Bali 67.5 61.2 42.3 6,228 3.04 INDONESIA 66.2 57.7 48.8 7,796.9 4.9
Sumber : Biro Pusat Statistik, diolah kembali. Keterangan : - Percapita = Pendapatan Perkapita (000), - Growth = Pertumbuhan Ekonomi Regional (Propinsi)
Daerah dengan pendapatan perkapita yang relatif rendah dan berada dibawah
nilai pendapatan perkapita rata-rata nasional, cenderung memiliki tingkat
8
pembangunan manusia yang juga relatif rendah. Terjadi ketidakseimbangan
pembangunan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia pada propinsi-
propinsi tersebut. Keterlambatan pembangunan di bidang pembangunan manusia dan
pembangunan ekonomi terjadi pada propinsi NTB, Sulawesi Tenggara, NTT, dan
Kalimantan Barat.
Hanya terdapat 2 propinsi yang memiliki tingkat pendapatan perkapita yang
tinggi dan pembangunan manusia juga tinggi, yaitu NAD dan DKI Jakarta. Namun
beberapa daerah yang memiliki tingkat pendapatan perkapita rendah, pertumbuhan
ekonomi tetapi memiliki tingkat konsistensi dalam pembangunan manusia di propinsi
tersebut. Propinsi-propinsi tersebut yaitu : Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, DI Yogyakarta, Bengkulu dan Maluku. Rendahnya pendapatan perkapita di
beberapa daerah tersebut tidak menyurutkan pembangunan di bidang sumberdaya
manusia. Hal inilah yang perlu dijadikan contoh untuk daerah-daerah lainnya.
Pembangunan manusia dengan indikator HDI tidak selalu berbanding lurus
dengan pembangunan gender (GDI) dan pembangunan pemberdayaan perempuan.
Hanya terdapat beberapa daerah yang tingkat pembangunan manusianya rendah,
dengan pembangunan gender dan pemberdayaan perempuan yang juga rendah.
Sedangkan secara mayoritas daerah-daerah di Indonesia cenderung timpang antara
pembangunan manusia (HDI) dengan pembangunan gender (GDI) dan pembangunan
pemberdayaan perempuan (GEM).
Secara umum dapat dilihat dari nilai nasional, yang mana HDI > GDI > GEM,
yaitu 66.2 > 57.7 > 48.8. Artinya terjadi ketimpangan antara pembangunan manusia
terhadap pembangunan gender sebesar 8.5 (HDI–GDI), ketimpangan sebesar 17.4 pada
pembangunan manusia dengan pembangunan keberdayaan perempuan (HDI–GEM).
Dan ketimpangan sebesar 8.7 pada pembangunan gender terhadap pembangunan
keberdayaan perempuan (GDI-GEM). Secara teoritis dinyatakan bahwa jika selisih
antara ketiga indek tersebut (HDI, GDI dan GEM) cukup besar berarti terdapat
ketimpangan yang sangat besar pada pembangunan manusia dalam satu wilayah
tertentu. Terdapat ketidakseimbangan pembangunan jika hal tersebut terjadi, artinya
pembangunan sumberdaya secara umum belum mampu mengikutsertakan peranan
perempuan dalam pembangunan, demikian pula fokus utama pembangunan gender.
9
Kecenderungan adanya ketimpangan antara pembangunan manusia dengan
pembangunan pemberdayaan gender (HDI-GEM) juga masih sangat tinggi di beberapa
propinsi di Indonesia. Ketimpangan antara HDI dan GEM paling mencolok terjadi di
propinsi Maluku Utara dengan nilai ketimpangan sebesar 34.6%. Sebagaimana
diketahui sebelumnya, bahwa ketimpangan HDI-GEM cenderung lebih tinggi jika
dibandingkan dengan ketimpangan HDI-GDI. Hal ini merupakan masalah serius pada
kondisi pembangunan manusia di Indonesia. Beberapa propinsi yang nilai ketimpangan
pembangunan manusia dengan pembangunan pemberdayaan perempuan paling tinggi
diantaranya Banten, Sulawesi Selatan, Jambi, Sumatera Utara, Jawa Barat, Bali, DKI
Jakarta, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Riau, dan Kalimantan Timur.
Sedangkan ketimpangan antara HDI dan GEM paling rendah terjadi di propinsi
Sulawesi Tengah. Permasalahan budaya dan adat istiadat sangat mempengaruhi besar
kecilnya ketimpangan antara pembangunan manusia dengan pembangunan
pemberdayaan gender.
Tabel 3.2. Kondisi Ketimpangan Pembangunan Manusia (HDI-GDI-GEM) Propinsi-propinsi di Indonesia
Tahun 2005
No Propinsi HDI -GDI
HDI-GEM
GDI-GEM No Propinsi HDI -
GDI HDI-GEM
GDI-GEM
11 NAD 3.9 10.5 6.6 52 Nusa Tenggara Barat 6.2 10.6 4.4 12 Sumatera Utara 7.3 20.4 13.1 53 Nusa Tenggara Timur 4.0 14.1 10.1 13 Sumatera Barat 6.8 13.3 6.5 61 Kalimantan Barat 5.9 15.0 9.1 14 Riau 12.2 28.7 16.5 62 Kalimantan Tengah 8.2 25.7 17.5 15 Jambi 13.8 20.3 6.5 63 Kalimantan Selatan 7.7 6.8 (0.9) 16 Sumatera Selatan 10.5 9.1 (1.4) 64 Kalimantan Timur 16.6 28.9 12.3 17 Bengkulu 7.0 15.1 8.1 71 Sulawesi Utara 9.2 16.2 7.0 18 Lampung 8.8 15.5 6.7 72 Sulawesi Tengah 4.1 5.3 1.2 19 Bangka Belitung 17.7 26.5 8.8 73 Sulawesi Selatan 8.4 19.7 11.3 31 DKI Jakarta 8.9 25.3 16.4 74 Sulawesi Tenggara 7.3 16.1 8.8 32 Jawa Barat 9.5 22.2 12.7 75 Gorontalo 11.4 12.7 1.3 33 Jawa Tengah 7.6 15.3 7.7 81 Maluku 3.9 14.7 10.8 34 D. I. Yogyakarta 5.6 14.7 9.1 82 Maluku Utara 10.8 34.6 23.8 35 Jawa Timur 7.8 9.2 1.4 94 Papua 5.8 11.1 5.3 36 Banten 11.7 18.0 6.3 51 Bali 6.3 25.2 18.9 INDONESIA 8.5 17.4 8.9
Sumber : Biro Pusat Statistik, diolah kembali. Ketimpangan antara pembangunan gender dengan pembangunan pemberdayaan
gender pada dasarnya harus lebih kecil jika dibandingkan dengan ketipangan
pembangunan manusia dengan pembangunan gender dan pembangunan pemberdayaan
gender. Suatu pembangunan manusia diwilayah tertentu dapat dikatakan sukses jika
pembangunan gender dan pemberdayaan gender diwilayah tersebut semakin kecil.
Namun yang terjadi di Indonesia ketipangan HDI-GDI masih lebih kecil jika
10
dibandingkan dengan ketimpangan GDI-GEM, dimana rata-rata nasional sebesar 8.7%.
Ketimpangan GDI-GEM tertinggi terdapat pada propinsi Maluku Utara dengan derajat
ketimpangan sebesar 23.8%. hal ini menujukkan bahwa pembangunan dibidang gender
masih belum bisa diikuti dengan pembangunan dibidang pemberdayaan gender.
Besarnya sumberdaya manusia yang telah dibangun sedemikian rupa masih
belum bisa dimanfaatkan untuk diberdayakan sebagai individu-individu yang aktif.
Permasalahan budaya dan adat istiadat memungkinkan hal tersebut bisa terjadi,
disamping juga permasalahan kesempatan antara perempuan dan laki-laki yang masih
timpang. Beberapa daerah yang nilai ketimpangan HDI-GDI-GEM memiliki nilai yang
sama-sama tinggi menujukkan bahwa pembangunan manusia di daerah tersebut kurang
berhasil. Daerah-daerah yang kurang berhasil jika dilihat dari sudut pandang HDI-GDI-
GEM dengan derajad ketimpangan yang relatif sama-sama tinggi diantaranya : DKI
Jakarta, Jawa Barat, Maluku Utara, Riau, dan Kalimantan Timur. Dari propinsi-
propinsi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa besarnya pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan perkapita, tingginya indeks pembangunan manusia (HDI), pembangunan
gender (GDI), pembangunan pemberdayaan gender (GEM) belum mampu menjamin
adanya keseimbangan pembangunan manusia dan pembangunan ekonomi.
3.2. Pencapaian di Bidang Pendidikan
Pencapaian dibidang pendidikan dasar merupakan fokus dan indikator utama
dari tujuan ke-3 MDGs. Rasio antara perempuan terhadap laki-laki dalam memperoleh
pendidikan dasar dan menengah merupakan indikator yang dipakai untuk mengetahui
keberhasilan di bidang pendidikan. Target yang digunakan oleh MDGs adalah
menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan menengah pada
tahun 2005, dan menghilangkan ketimpangan gender pada semua tingkat pendidikan
pada tahun 2015.
Gambar 3.1. Rasio Proporsi Perempuan Terhadap Laki-laki di Berbagai Jenjang Pendidikan di Indonesia
Tahun 1991 - 2006
11
Sumber : Biro Pusat Statistik
Jika dilihat dari data pendidikan secara nasional, sejak tahun 1991 – 2006
menujukkan bahwa ketimpangan gender secara rata-rata sudah terhapuskan pada
jenjang pendidikan dasar, menengah namun untuk jenjang pendidikan tingkat atas dan
tinggi masih mengalami kecenderungan fluktuatif setiap tahunnya. Meskipun demikian
secara parsial untuk tahun 2006 semua jenjang pendidikan tidak mengalami
ketimpangan antara proporsi perempuan terhadap laki-laki. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa upaya dibidang pendidikan mengalami keberhasilan dalam mencapai target ke-3
dari MDGs.
Kecenderungan keberhasilan pembangunan gender dalam rangka pencapaian
tujuan ke-3 dari MDGs juga ditunjukkan dari proporsi perempuan dalam menempuh
pendidikan profesional. Hal tersebut dapat dilihat melalui proxy sekolah kejuruan
sebagai obyek analisis. Jika dilihat dari pendidikan profesional, rata-rata mengalami
peningkatan. Pada tahun 2002/2003 proporsi perempuan dalam pendidikan kejuruan
semakin meningkat. Pilihan pendidikan profesional bagi perempuan masih mengalami
kecenderungan pada bidang-bidang profesional yang non teknis dilapangan.
Perempuan lebih memilih pendidikan profesional yang tidak terlalu memberatkan,
meskipun sebenarnya hal tersebut relatif tergantung pada tingkat kemampuan individu
masing-masing. Gambar 3.2.
Proporsi Perempuan Terhadap Laki-laki di Jenjang Pendidikan Profesional Tahun 2002/2003
12
Sumber : Biro Pusat Statistik dan UNESCO
3.3. Pencapaian di Bidang Keaksaraan
Indikator keberhasilan pencapaian tujuan ketiga dari MDGs adalah dibidang
keaksaraan penduduk perempuan usia dewasa produktif (15 – 24 tahun). Keberhasilan
tersebut dikur dengan menggunakan rasio keaksaraan perempuan terhadap laki-laki.
Dibutuhkan keseimbangan antara rasio perempuan terhadap laki-laki, demikian pula
sebaliknya. Jika hal tersebut terpenuhi, maka dapat dikatakan pencapaian tujuan MDGs
yang ke-3, khususnya dibidang keaksaraan telah berhasil. Jika dilihat secara nasional,
pencapaian dibidang keaksaraan belum berhasil mencapai titik keseimbangan. Namun
demikian, belum berhasilnya pencapaian tujuan ke-3 tersebut telah diikuti
perkembangan yang positif setiap tahunnya, dimana tingkat keaksaraan penduduk
perempuan usia produktif cenderung meningkat dari tahun 1999 yang sebesar 88.4%
berkembang menjadi 90.9% pada tahun 2005.
Tabel 3.3. Rasio Melek Huruf Perempuan Terhadap Laki-laki
Provinsi Rasio Melek Huruf
Provinsi Rasio Melek Huruf
1999 2002 2004 2005 1999 2002 2004 2005 11. NAD 93.1 95.8 95.7 96.0 52. Nusa Tenggara Barat 72.8 77.8 78.3 78.8 12. Sumatera Utara 95.8 96.1 96.6 97.0 53. Nusa Tenggara Timur 81.2 84.1 85.2 85.6 13. Sumatera Barat 94.7 95.1 95.7 96.0 61. Kalimantan Barat 83.2 86.9 88.2 89.0 14. Riau 95.5 96.5 96.4 97.8 62. Kalimantan Tengah 94.8 96.4 96.2 97.5 15. Jambi 93.7 94.7 95.8 96.0 63. Kalimantan Selatan 92.8 93.3 94.8 95.3 16. Sumatera Selatan 93.4 94.1 95.7 95.9 64. Kalimantan Timur 93.5 95.2 95.0 95.3 17. Bengkulu 92.7 93.0 94.2 94.7 71. Sulawesi Utara 97.2 98.8 99.1 99.3 18. Lampung 91.8 93.0 93.1 93.5 72. Sulawesi Tengah 92.6 93.3 94.4 94.9 19. Bangka Belitung 91.7 93.5 95.4 73. Sulawesi Selatan 83.2 83.5 84.5 84.6 20. Kepulauan Riau 94.7 96.0 74. Sulawesi Tenggara 87.1 88.2 90.7 91.3 31. DKI Jakarta 97.8 98.2 98.3 98.3 75. Gorontalo 95.2 94.7 95.0 32. Jawa Barat 92.1 93.1 94.0 94.6 76. Sulawesi Barat 82.9 83.4
13
33. Jawa Tengah 84.8 85.7 86.7 87.4 81. Maluku 95.8 96.3 97.8 98.0 34. D. I. Yogyakarta 85.5 85.9 85.8 86.7 82. Maluku Utara 95.8 95.2 95.2 35. Jawa Timur 81.3 83.2 84.5 85.8 91 Papua Barat 85.1 85.4 36. Banten 93.8 94.0 95.6 94. Papua 71.2 74.4 74.2 74.9 51. Bali 82.7 84.2 85.5 86.2 INDONESIA 88.4 89.5 90.4 90.9
Sumber : Biro Pusat Statistik
Jika dilihat secara regional propinsi, pembangunan kesetaraan gender dibidang
keaksaraan menunjukkan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda antar daerah.
Terdapat kecenderungan yang berbeda antara pencapaian keasraan perempuan di
Indonesia bagian timur dan barat. Diwilayah timur, kecenderungan rasio keaksaraan
perempuan usia dewasa lebih rendah jika dibanding dengan pencapaian diwilayah
barat. Pada tahun 1999 rata-rata keaksaraan perempuan usia produktif wilayah timur
dan barat masing-masing sebesar 86.8% dan 91.7%, sedangkan pada tahun 2005
masing-masing sebesar 90% dan94.2%. Dari data tersebut dapat diketahui terdapat
ketimpangan dibidang penghapusan buta aksara antara wilayah timur dan wilayah barat
masing masing sebesar 4.9% dan 4% pada tahun 1999 dan 2005.
Ketimpangan paling tinggi dalam pembangunan keaksaraan penduduk
perempuan usia produktif mayoritas terdapat di Indonesia bagian timur. Pada tahun
2005, Propinsi Papua (74.9), NTB (78.8), Sulawesi Barat (83.4), Sulawesi Selatan
(84.6), Papua Barat (85.4) dan NTT (85.6) merupakan propinsi-propinsi di wilayah
indonesia bagian timur yang memiliki angka keaksaraan perempuan usia produktif
paling rendah diantara daerah lainnya. Artinya diwilayah-wilayah tersebutsemkain
banyak ditemukan ketimpangan antara pendidikan bagi perempuan dengan laki-laki
usia produktif. Untuk daerah-daerah tersebut pencapaian tujuan ke-3 MDGs dapat
dikatakan kurang berhasil dibandingkan daerah-daerah lain dalam wilayah yang sama.
Fakta yang paling menyedihkan adalah masuknya Jawa Timur dan DIY sebagai
propinsi yang tingkat keaksaraan penduduk perempuan usia produktif paling rendah di
wilayah Indonesia barat. Meskipun daerah-daerah ini merupakan daerah yang berada di
pulau jawa dengan fasilitas pendidikan yang memadai, ternyata masih belum mampu
meningkatkan angka keaksaraan perempuan. Faktor budaya dan adat istiadat sangat
memungkinkan hal tersebut terjadi, dimana perempuan masih dianggap sebagai
individu yang kurang perlu untuk mendapatkan kesempatan membuka wawasannya
dengan kemampuan baca tulis yang baik.
3.4. Pencapaian Penghargaan Perempuan di Sektor Non Pertanian
14
Penghargaan ekonomi yang dimaksud dalam tujuan ketiga MDGs adalah
penghargaan berupa upah/gaji kepada perempuan dan memiliki jabatan penting dalam
organisasi usaha. Sudah menjadi rahasia umum jika terdapat gap antara penghargaan
yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan dalam hal pemberian gaji dengan
tingkatan pekerjaan yang sama. Demikian pula dengan jabatan penting dalam
organisasi usaha seperti manajer, direktur maupun jabatan profesional lainnya. Peran
perempuan dalam kegiatan usaha memang masih lebih kecil jika dibanding perempuan,
masalah budaya dan adat istiadat memungkinkan hal ini bisa terjadi.
Pencapaian penghargaan terhadap partisipasi perempuan dibidang ekonomi
masih belum tercapai dalam skala nasional, terutama hingga akhir tahun 2002. Jika
diasumsikan bahwa tahun 1999 adalah periode terakhir pembangunan sentralisasi dan
tahun 2002 merupakan periode pembangunan terdesentralisasi maka ditemukan hal
menarik bahwa penghargaan terhadap peran perempuan dalam jabatan profesional dan
penghargaan berupa upah mengalami kemunduran pad tahun 2002 dibandingkan
dengan tahun 1999. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem desentralisasi
pembangunan terdesentralisasi tidak sepenuhnya lebih baik jika dibandingkan dengan
periode sentralisasi. Penghargaan terhadap perempuan pada dua periode berbeda ini
mengalami penurunan, dimana peran perempuan pada periode tahun 1999 memiliki
nilai 44.76 sedangkan pada tahun 2002 peran perempuan memiliki nilai hanya 41.05.
Tabel 3.4.
Perbandingan HDI, GDI, GEM, Peranan Perempuan di Bidang Ekonomi dan Rasio Peran Perempuan terhadap Laki-laki Tahun 1999 dan 2002
Propinsi HDI GDI GEM Economy Rasio (P/L)
1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002 N.A.D 65.3 66.0 59.0 62.1 52.4 55.5 54.4 45.3 119.30 82.82 Sumatera Utara 66.6 68.8 61.2 61.5 47.3 48.4 53.8 50.4 116.45 101.61 Sumatera Barat 65.8 67.5 60.7 60.7 51.5 54.2 58.8 58.3 142.72 139.81 Riau 67.3 69.1 53.1 56.9 38.1 40.4 43.2 42.5 76.06 73.91 Jambi 65.4 67.1 54.6 53.3 46.8 46.8 37.5 40.7 60.00 68.63 Sumatera Selatan 63.9 66.0 52.4 55.5 41.7 56.9 52.4 49.9 110.08 99.60 Bengkulu 54.8 66.2 59.4 59.2 56.5 51.1 45.5 39.8 83.49 66.11 Lampung 63.0 65.8 57.0 57.0 48.2 50.3 46.1 49.2 85.53 96.85 Bangka Belitung
65.4
47.7
38.9
45.2
82.48
DKI Jakarta 72.5 75.6 61.2 66.7 46.4 50.3 34.9 35.9 53.61 56.01 Jawa Barat 64.6 65.8 54.6 56.3 47.7 43.6 36.0 37.4 56.25 59.74 Jawa Tengah 64.6 66.3 57.4 58.7 51.2 51.0 44.7 42.8 80.83 74.83 D. I. Yogyakarta 68.7 70.8 66.4 65.2 58.8 56.1 46.7 37.4 87.62 59.74 Jawa Timur 61.8 64.1 53.2 56.3 54.4 54.9 45.9 38.9 84.84 63.67 Banten
66.6
54.9
48.6
33.0
49.25
Bali 65.7 67.5 60.4 61.2 50.5 42.3 35.5 31.4 55.04 45.77 Nusa Tenggara Barat 54.2 57.8 45.9 51.6 46.2 47.2 37.2 33.5 59.24 50.38
15
Nusa Tenggara Timur 60.4 60.3 56.8 56.3 46.4 46.2 35.7 34.4 55.52 52.44 Kalimantan Barat 60.6 62.9 55.7 57.0 52.2 47.9 43.2 38.9 76.06 63.67 Kalimantan Tengah 66.7 69.1 57.9 60.9 43.5 43.4 46.3 36.5 86.22 57.48 Kalimantan Selatan 62.2 64.3 56.9 56.6 55.1 57.5 47.1 40.5 89.04 68.07 Kalimantan Timur 67.8 70.0 53.5 53.4 49.3 41.1 39.2 36.2 64.47 56.74 Sulawesi Utara 67.1 71.3 53.9 62.1 45.1 55.1 54.9 46.6 121.73 87.27 Sulawesi Tengah 62.8 64.4 54.1 60.3 50.0 59.1 47.4 43.3 90.11 76.37 Sulawesi Selatan 63.6 65.3 53.3 56.9 43.9 45.6 47.7 46.2 91.20 85.87 Sulawesi Tenggara 62.9 64.1 57.4 56.8 46.0 48.0 40.2 34.8 67.22 53.37 Gorontalo
64.1
52.7
51.4
55.3
123.71
Maluku 67.2 66.5 61.0 62.6 52.7 51.8 55.3 54.5 123.71 119.78 Maluku Utara
65.8
55.0
31.2
22.1
28.37
Papua 58.8 60.1 55.7 54.3 47.7 49 34.2 30.6 51.98 44.09 INDONESIA 64.3 65.8 56.64 59.2 48.83 48.79 44.76 41.05 84.17 72.95
Sumber : Biro Pusat Statistik, diolah kembali.
Pencapaian tujuan ke-3 MDGs jika dilihat secara propinsi-propinsi di Indonesia
menunjukkan fenomena yang beragam, meskipun secara nasional belum sepenuhnya
tercapai. Penghargaan terhadap perempuan dan peranan perempuan di bidang ekonomi
di beberapa propinsi pada tahun 1999 menunjukkan keseimbangan antara penghargaa
serta peran laki-laki dan perempuan bahkan memiliki nilai di atas 50%. Diantara
propinsi-propinsi tersebut yaitu Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (54.4), Sumatera
Barat (58.8), Maluku (55.3), Sulawesi Utara (54.9), Sumatera Utara (53.8), dan
Sumatera Selatan (52.4). Untuk hal yang sama, ternyata ditemukan bahwa terdapat
kemunduran dalam peran dan penghargaan terhadap perempuan pada tahun 2002.
Adapun propinsi-propinsi yang telah berhasil memberikan peran dan penghargaan
terhadap perempuan yang lebih baik diantaranya : Propinsi Sumatera Barat (58.3),
Gorontalo (55.3), Maluku (54.5), Sumatera Utara (50.44) dan Sumatera Selatan
(49.99). Terdapat perubahan formasi dari tahun 1999 ke tahun 2002, yaitu masuknya
Propinsi Gorontalo dan keluarnya Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (45.3) dengan
rata-rata penurunan nilai peranan dan penghargaan terhadap perempuan mengalami
penurunan ditiap propinsi seperti halnya yang terjadi secara nasional.
Terdapat hal menarik yang perlu dicermati, bahwa diantara propinsi-propinsi
yang telah berhasil sejak dini mencapai tujuan ke-3 MDGs tidak terdapat satupun
propinsi yang ada di pulau jawa. Meskipun konsentrasi berbagai kegiatan ekonomi
berada di pulau jawa. Hal yang juga menarik untuk dicermati adalah tidak
seimbangnya antara peranan dan penghargaan perempuan terhadap GEM (Gender
Empowerment Measurement Index) maupun terhadap GDI (Gender Development
Index), dimana nilai peranan perempuan memiliki nilai yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan GDI maupun GEM. Hal ini menunjukkan adanya adanya
16
ketimpangan dalam penghargaan dan peranan perempuan dibidang ekonomi, baik
ketimpangan antar daerah maupun ketimpangan dalam unsur pembangunan manusia
sendiri (GDI dan GEM).
3.5. Pencapaian Keterlibatan Politik
Sebagaimana yang telah diungkapkan dalam bagian awal bahwa keterlibatan
perempuan dalam bidang politik masih sangat rendah, dengan kuota yang telah
ditentukan minimal sebesar 30% di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) partisipasi
perempuan dalam bidang politik hanya sebesar 12% (tahun 1992 – 1997), sedangkan
pada periode 1999-2004 adalah 9,9%, dan pada periode 2004 – 2009 adalah 11,6%.
keterwakilan perempuan di DPD (yang dibentuk pada tahun 2004) juga masih rendah
yaitu 19,8%. Hal ini menunjukkan bahwa memang peranan perempuan dalam bidang
politik masih sangat perlu untuk ditingkatkan. Dalam kenyataannya, meskipun telah
dirangsang dengan kuota 30% ternyata perempuan hanya mampu memenuhi separo dari
kuota yang telah ditentukan.
Tabel 3.5. Perbandingan HDI, GDI, GEM, Partisipasi Politik dan Rasio Partisipasi Politik terhadap Kuota
Minimal Tahun 1999 dan 2002
Kode Propinsi HDI GDI GEM Political Quota Ratio1 1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002
11 N.A.D 65.3 66.0 59.0 62.1 52.4 55.5 8.3 9.1 27.67 30.33 12 Sumatera Utara 66.6 68.8 61.2 61.5 47.3 48.4 2.8 3.6 9.33 12.00 13 Sumatera Barat 65.8 67.5 60.7 60.7 51.5 54.2 6.1 9.1 20.33 30.33 14 Riau 67.3 69.1 53.1 56.9 38.1 40.4 2.0 1.8 6.67 6.00 15 Jambi 65.4 67.1 54.6 53.3 46.8 46.8 8.0 8.9 26.67 29.67 16 Sumatera Selatan 63.9 66.0 52.4 55.5 41.7 56.9 3.2 14.7 10.67 49.00 17 Bengkulu 54.8 66.2 59.4 59.2 56.5 51.1 10.0 6.7 33.33 22.33 18 Lampung 63.0 65.8 57.0 57.0 48.2 50.3 4.5 6.7 15.00 22.33 19 Bangka Belitung n.a 65.4 n.a 47.7 n.a 38.9 n.a 4.4 n.a 14.67 31 DKI Jakarta 72.5 75.6 61.2 66.7 46.4 50.3 7.9 7.1 26.33 23.67 32 Jawa Barat 64.6 65.8 54.6 56.3 47.7 43.6 7.8 3.0 26.00 10.00 33 Jawa Tengah 64.6 66.3 57.4 58.7 51.2 51.0 6.7 6.3 22.33 21.00 34 D. I. Yogyakarta 68.7 70.8 66.4 65.2 58.8 56.1 7.8 9.1 26.00 30.33 35 Jawa Timur 61.8 64.1 53.2 56.3 54.4 54.9 11.1 11.0 37.00 36.67 36 Banten n.a 66.6 n.a 54.9 n.a 48.6 n.a 9.3 n.a 31.00 51 Bali 65.7 67.5 60.4 61.2 50.5 42.3 6.1 - 20.33 - 52 Nusa Tenggara Barat 54.2 57.8 45.9 51.6 46.2 47.2 6.1 5.5 20.33 18.33 53 Nusa Tenggara Timur 60.4 60.3 56.8 56.3 46.4 46.2 2.1 3.6 7.00 12.00 61 Kalimantan Barat 60.6 62.9 55.7 57.0 52.2 47.9 6.3 3.6 21.00 12.00 62 Kalimantan Tengah 66.7 69.1 57.9 60.9 43.5 43.4 2.5 2.2 8.33 7.33 63 Kalimantan Selatan 62.2 64.3 56.9 56.6 55.1 57.5 8.7 12.7 29.00 42.33 64 Kalimantan Timur 67.8 70.0 53.5 53.4 49.3 41.1 12.5 6.7 41.67 22.33 71 Sulawesi Utara 67.1 71.3 53.9 62.1 45.1 55.1 7.5 11.1 25.00 37.00 72 Sulawesi Tengah 62.8 64.4 54.1 60.3 50.0 59.1 7.5 11.1 25.00 37.00 73 Sulawesi Selatan 63.6 65.3 53.3 56.9 43.9 45.6 3.8 2.7 12.67 9.00 1 Quota ratio adalah rasio antara persentase partisipasi politik perempuan terhadap kuota yang telah ditentukan. Dalam kasus ini diasumsikan bahwa kuota yang ditentukan sebesar 30%.
17
74 Sulawesi Tenggara 62.9 64.1 57.4 56.8 46.0 48.0 2.5 6.7 8.33 22.33 75 Gorontalo n.a 64.1 n.a 52.7 n.a 51.4 n.a 11.1 n.a 37.00 81 Maluku 67.2 66.5 61.0 62.6 52.7 51.8 7.5 4.5 25.00 15.00 82 Maluku Utara n.a 65.8 n.a 55.0 n.a 31.2 n.a n.a n.a n.a 94 Papua 58.8 60.1 55.7 54.3 47.7 49 2.7 6.7 9.00 22.33
INDONESIA 64.3 65.8 56.64 59.2 49.5 54.6 6.2 6.6 20.8 22.1 Sumber : Biro Pusat Statistik, diolah kembali. Keterangan : na = data tidak tersedia
Berbeda dengan partisipasi perempuan di bidang politik nasional, partisipasi
politik perempuan secara regional justru memiliki kontribusi yang sangat rendah.
Beberapa propinsi malah tidak terdapat partisipasi perempuan dalam DPRD seperti
Propinsi Bali pada tahun 2002. Partispasi perempuan dalam politik lokal (propinsi)
hanya sebesar 6.2% (1999) dan meningkat sedikit pada tahun 2002 menjadi 6.6%. jika
dilihat dari rasio antara persentase partisipasi perempuan dalam politik dengan kuota
yang telah ditentukan sebesar 30%, menunjukkan bahwa partisipasi politik oleh
perempuan hanya sebesar 20.8% (1999) dan 22.1% (2002) dari kuota minimal sesuai
undang-undang yang ada.
Hanya terdapat beberapa daerah yang mampu menyumbang partisipasi
perempuan dalam politik lokal diatas rata-rata pada tahun 2002. Adapun propinsi-
propinsi tersebut antara lain : Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, Gorontalo, Jawa Timur, Banten, NAD, Sumatera Barat, DIY, Jambi,
DKI, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan Papua.
Sedangkan daerah lainnya, partisipasi perempuan dalam politik lokal masih sangat
rendah. Untuk pencapaian tujuan ke-3 dari MDGs terdapat indikasi bahwa partisipasi
perempuan dalam politik lokal tidak memiliki arah hubungan positif dengan GEM,
GDI maupun HDI. Hal ini semakin mempersulit pencapaian tujuan ke-3 dari MDGs
yang telah dipatok terealisasi pada tahun 2015 atau paling lambat 2025.
4. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan atas pembahasan dan kajian dalam bagian-bagian sebelumnya
dapat disimpulkan bahwa :
1. Keberhasilan pembangunan dibidang sumberdaya manusia (HDI) masih belum
mampu diikuti pertumbuhan pembangunan yang proporsional di bidang gender
(GDI), bahkan dibidang pemberdayaan gender (GEM). Kecenderungan
pembangunan sumberdaya manusia memiliki ketimpangan yang cukup besar
terhadap pembangunan pemberdayaan perempuan (HDI-GEM), dan tidak
18
terlalu kecil ketimpangannya terhadap pembangunan gender (HDI-GDI). Hal
tersebut terjadi hampir merata ditiap-tiap propinsi di Indonesia. Daerah yang
memiliki kegiatan ekonomi yang cukup baik, kondisi pembangunan manusia
yang juga cukup baik belum mampu menghapuskan ketimpangan terhadap
pembangunan gender dan pembangunan pemberdayaan gender. DKI Jakarta,
Kalimantan Timur dan Riau adalah sebagian dari contoh fenomena tersebut.
2. Secara komulatif, pencapaian pembangunan manusia dan tujuan ke-3 dari
MDGs di bidang pendidikan relatif telah mencapai keberhasilan. Rasio antara
perempuan terhadap laki-laki diberbagai jenjang pendidikan telah mencapai
angka diatas 100% pada tahun 2006. Penghapusan ketimpangan gender pada
pendidikan dasar dan lanjutan sepenuhnya telah tercapai pada tahun 2005,
sesuai target dari tujuan ke-3 MDGs. Demikian pula target penghapusan
ketimpangan gender dijenjang pendidikan menengah dan tinggi, yang secara
komulatif telah tercapai pada tahun 2006, dengan nilai rasio diatas 100% pada
kedua jenjang pendidikan tersebut.
3. Jika dilihat secara nasional, pencapaian dibidang keaksaraan belum berhasil
mencapai titik keseimbangan. Namun demikian, belum berhasilnya pencapaian
tujuan ke-3 tersebut telah diikuti perkembangan yang positif setiap tahunnya,
dimana tingkat keaksaraan penduduk perempuan usia produktif cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Terdapat ketimpangan pencapaian keaksaraan
perempuan di Indonesia bagian timur dan barat. Diwilayah timur,
kecenderungan rasio keaksaraan perempuan usia dewasa lebih rendah jika
dibanding dengan pencapaian diwilayah barat.
4. Penghargaan dan peranan perempuan dibidang ekonomi masih relatif lebih
rendah jika dibanding dengan pencapaian HDI, GDI maupun GEM. Terdapat
ketimpangan dalam hal partisipasi ekonomi baik dari sisi pembangunan
manusia (HDI, GDI, GEM) maupun ketimpangan pembangunan antar daerah
satu dengan daerah lainnya. Terdapat penurunan partisipasi perempuan dalam
bidang ekonomi, hal ini mengindikasikan semakin susah pencapaian tujuan ke-
3 dari MDGs jika kondisi semakin turun tiap tahun terjadi dimasa yang akan
datang
19
5. Partisipasi perempuan dalam bidang politik masih jauh lebih rendah daripada
kuota minimal yang telah ditentukan, baik dalam tataran politik nasional
maupun politik lokal propinsi. Partisipasi perempuan dalam politik lokal
memiliki nilai yang jauh lebih rendah jika dibanding dengan politik nasional.
Dengan kuota sebesar 30% ternyata belum bisa merangsang keterlibatan
perempuan dalam bidang politik, yaitu hanya 11.6% dalam politik nasional dan
6.7% dalam politik lokal.
4.2. Kebijakan yang Diperlukan dalam Pengembangan Kesetaraan Gender dan
Partisipasi Perempuan
Pengarusutamaan gender di seluruh bidang dan kegiatan pembangunan
telah ditetapkan sebagai salah satu prinsip pengarusutamaan dalam perencanaan
jangka menengah dan tahunan. Kebijakan pembangunan yang akan dilakukan
ditahun-tahun depan sebaiknya diarahkan untuk:
1. Meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan di segala bidang
pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan
pengambilan keputusan (politik);
2. Menyempurnakan perangkat hukum untuk melindungi setiap individu dari
berbagai tindak kekerasan, ekspolitasi, dan diskriminasi. Merevisi peraturan
perundang-undangan yang bias gender dan/atau diskriminatif terhadap
perempuan; meningkatkan kesempatan kerja dan partisipasi perempuan dalam
pembangunan politik;
3. Memperkuat kelembagaan, koordinasi, dan jaringan pengarusutamaan gender
dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari berbagai
kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan di segala bidang, termasuk
pemenuhan komitmen-komitmen internasional, penyediaan data dan statistik
gender, serta peningkatan partisipasi masyarakat.
4. Untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih
berkualitas, kebijakan diarahkan pada penyelenggaraan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, penurunan secara signifikan jumlah
penduduk yang buta aksara, dan peningkatan keadilan dan kesetaraan
pendidikan antarkelompok masyarakat termasuk antara penduduk laki-laki dan
perempuan.
20
5. Melaksanakan strategi pengarusutamaan gender di seluruh tahapan
pembangunan dan di seluruh tingkat pemerintahan (nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota). Program-program pembangunan jangka menengah dan
tahunan terus dikembangkan agar responsif gender. Program-program tersebut
ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan perlindungan perempuan,
terutama dibidang pendidikan, kesehatan, hukum, ketenagakerjaan, sosial,
politik, lingkungan hidup dan ekonomi. Program lain yang dilakukan adalah
memperkuat kelembagaan pengarusutamaan gender, terutama ditingkat
kabupaten/kota.
Daftar Kepustakaan
Asian Development Bank. 1998. “Kebijakan ADB Mengenai Gender dan Pembangunan”. Asian Development Bank Indonesia : Jakarta.
Badan Pusat Statistik. “Survey Sosial Ekonomi Sosial Nasional”. Berbagai Edisi
Penerbitan. Badan Pusat statistik : Jakarta. Badan Pusat Statistik, BAPPENAS dan UNDP. 2004. “Indonesia Human Development
Report 2004 : The Economics of DemocracyFinancing Human Development in Indonesia ”. Badan Pusat Statistik, Bappenas dan UNDP Indonesia : Jakarta.
Badan Pusat Statistik, BAPPENAS dan UNDP. 2005. “Indonesia Human Development
Report 2005 : International Cooperation at a Crossroads Aid, Trade and Security in an Unequal World ”. Badan Pusat Statistik, Bappenas dan UNDP Indonesia : Jakarta.
Badan Pusat Statistik, BAPPENAS dan UNDP. 2006. “Indonesia Human Development
Report 2006 - Beyond Scarcity : Power, Poverty and Global Water Crisis”. Badan Pusat Statistik, Bappenas dan UNDP Indonesia : Jakarta.
BAPPENAS. 2004. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Milenium Indonesia Tahun 2004. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional : Jakarta
BAPPENAS. 2005. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Milenium Indonesia Tahun 2005. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional : Jakarta.
DPR RI. 2003. Naskah Akademis Rencana Undang-undang tentang Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia : Jakarta
21
Sondakh, Angelina. 2005. Perempuan Indonesia dalam Era Otonomi Daerah.
http://www.angelinasondakh.com. United Nation Development Group, 2003. Indicators for Monitoring the Millennium
Development Goals : Definitions, Rationale, Concepts and Sources. United Nation Development Group led by United Nation Development Programe, United Nation Population Fund and Department of Economic and Social Affairs–Statistics Division : New York
.
Recommended