View
180
Download
19
Category
Preview:
DESCRIPTION
Faktor–faktor yang mempengaruhi penawaran rokok kretek di Indonesia
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan jangka panjang (PJP II) Mengamanatkan bahwa
pembangunan industri harus terus ditingkatkan dan diarahkan agar sektor
industri menjadi penggerak utama ekonomi. Dengan sasaran, terwujudnya
sektor industri yang kuat dan maju sehingga mampu menunjang terciptanya
perekonomian yang mandiri dan handal (GBHN, 1993). Agar terciptanya dan
tercapainya sasaran pembangunan industri, maka prioritas pengembangan
industri mengarah kepada agroindustri.
Salah satu agroindustri yang sangat strategis dalam perekonomian
nasional adalah industri rokok. Industri rokok kretek baik di sisi hulu maupun
hilir telah terbukti memiliki peran yang strategis dalam perekonomian
nasional. Efek pelipatgandaan yang ada di dalam rantai panjang mulai dari
hulu ke hilir telah menciptakan aliran ekonomi yang besar. Beberapa indikator
penting yang dapat digunakan untuk mengukur tentang besarnya peranan dan
kontribusi sektor agroindustri ini misalnya dapat dilihat dari sumbangan
devisa hasil eksport, sektor cukai pita rokok, pembayaran berbagai pajak,
jumlah tenaga kerja yang dapat diserap serta bentuk–bentuk sumbangan
pembangunan dan kontribusi yang bersifat sosial lainnya. Sehingga baik
secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi peta perekonomian
nasional.
1
1
1
Rokok kretek ini merupakan industri yang sangat khas dan spesifik.
Dapat dikatakan tidak satupun negara yang memiliki jaringan industri rokok
kretek setua dan seluas Indonesia. Rokok kretek ini produk industri yang
terbukti tangguh mampu bersaing dengan rokok putih yang buatan luar negeri.
Produksi rokok kretek selama enam tahun terakhir selalu mengalami
peningkatan. Pada tahun 1995 produksi rokok kretek sebanyak 162,619 milyar
batang, kemudian pada tahun 1996 produksi meningkat sebesar 170,436
milyar batang. Kemudian tahun 1997 meningkat menjadi 179,051 milyar
batang. Pada tahun 1998 kembali mengalami peningkatan menjadi 188,265
milyar batang. Sedangkan tahun 1999 meningkat menjadi 198,995 milyar
batang dan tahun 2000 kembali meningkat menjadi 203,103 milyar batang.
Hal tersebut dapat di lihat pada tabel. 1.1 di bawah ini :
Tabel .1.1 Jumlah Produksi Rokok kretek Indonesia tahun1995 -2000No Tahun Jumlah Produksi yang di hasilkan1.2.3.4.5.6.
199519961997199819992000
162,619 milyar batang170,436 milyar batang179,051 milyar batang198,265 milyar batang198,995 milyar batang203,103 milyar batang
Sumber : Jurnal Pasar Modal Indonesia April 2000
Sebagai suatu industri, sumbangan rokok kretek terhadap perekonomian
tidak kecil, terutama dari pembelian pita cukai dan penyerapan tenaga kerja.
Cukai rokok telah menjadi salah satu sumber penerimaan negara yang
potensial. Bahkan dibandingkan pajak lainnya, cukai rokok memiliki proporsi
menentukan dalam penerimaan negara di luar minyak bumi dan gas alam.
2
Selain cukai, sumbangan industri rokok juga diperoleh dari ekspor
rokok. Perkembangan ekspor rokok kretek ini terus meningkat sesuai dengan
permintaan dan mulai diterimanya produk rokok kretek di dunia internasional.
Industri rokok kretek merupakan industri yang mempunyai rantai
produksi yang panjang. Penyerapan tenaga kerja pada industri hasil tembakau
dan rokok kretek dapat di pilah menjadi dua bagian. Pertama, penyerapan
tenaga kerja langsung (agribisnis primer) kurang lebih 3,5 juta orang bekerja
di sektor perkebunan (tembakau dan cengkeh) mulai dari penanaman,
pengolahan, dan sortasinya. Kedua penyerapan tenaga kerja tidak langsung
(agribisnis sekunder) di industri hilirnya mulai dari produksi (buruh pabrik
rokok kretek) sebanyak 226.175 orang pada tahun 1997, pemasaran (pedagang
dan pengecer lainnya) lebih dari satu juta tenaga kerja, sampai kepada
transportasi dan tenaga kerja di bidang periklanan lebih dari 500 tenaga kerja.
Industri rokok kretek sampai saat ini masih menjadi sandaran akhir bagi
petani tembakau dan cengkeh untuk menampung hasil jerih payahnya. Sebab
selama ini hampir seratus persen produksi tembakau, cengkeh rakyat diserap
untuk industri tersebut, yang merupakan bahan baku utama. Menurut ketua
umum Gappri, Ismanu Sumiran, setiap tahunnya pabrik rokok di Indonesia
yang berjumlah hampir 150 pabrik, rata–rata memproduksi rokok kretek
mencapai 120 miliar batang, dengan kebutuhan tembakau dan cengkeh tidak
kurang dari 200.000 ton dan 100.000 ton.
Dengan sumbangan ekonomi dan sosial seperti tersebut di atas, sulit
untuk dibantah bahwa industri rokok kretek telah berkembang menjadi
industri yang mapan. Kepulan asap di atas cerobong dan di ujung rokok kretek
3
bukan sekedar asap semata, melainkan telah menjadi saksi tentang peran
industri rokok di dalam pembangunan ekonomi baik di daerah maupun pada
skala nasional.
Industri rokok kretek di Indonesia selain menjadi suatu industri yang
mempunyai peran besar dalam perekonomian, terutama penerimaan
pemerintah dari cukai, devisa dari ekspor, juga dalam penyerapan tenaga
kerja. Tetapi pada sisi lain komoditi rokok, termasuk rokok kretek adalah
merupakan suatu komoditi yang merugikan kesehatan, baik bagi perokok
maupun bagi orang lain yang ada di sekitarnya.
Dalam mengembangkan usahanya rokok kretek tidak lepas dari ancaman
yang menghadang. Seperti gerakan anti rokok yang sedang gencar di
laksanakan baik oleh pemerintah maupun kelompok–kelompok yang
mendukung ini. Gemuruh gelombang anti rokok yang terus mencoba
menghempaskan industri rokok diberbagai belahan dunia, agaknya tetap
menjadi arus yang sangat besar. Dengan di komandani oleh WHO, gelombang
anti rokok terus mencoba menyudutkan industri rokok. Berbagai laporan
kesehatan dikeluarkan untuk memperkuat argumentasi tentang buruknya
rokok bagi kesehatan. Selain itu langkah–langkah pembatasan rokok
dilakukan untuk mereduksi konsumsi rokok di masyarakat luas.
Negara–negara industri maju merupakan sponsor utama kampanye anti
penggunaan produk rokok ini. Kampanye ini akhirnya juga di ikuti oleh
negara–negara berkembang melalui tekanan–tekanan yang dilakukan oleh
WHO.
4
Ada berbagai cara yang dilakukan di beberapa negara untuk membatasi
laju pertumbuhan rokok. Diantaranya dengan menaikkan harga penjualan
rokok, cara yang efektif lain dengan cara membatasi promosi dan iklan rokok
di sejumlah media, pembatasan lainnya adalah dengan mempersempit ruang
gerak penjualan rokok, hal tersebut efektif untuk menghindarkan perluasan
konsumsi rokok. Selain itu pencantuman tanda peringatan bahaya merokok
pada bungkus rokok maupun iklan dan promosi. Meskipun gerakan anti rokok
ini di Indonesia masih lemah, tetapi dampaknya setidaknya mengurangi
kesempatan para konsumen rokok. Di masa–masa yang akan datang gerakan
ini akan terus.
Di Indonesia, pemerintah melalui regulasi–regulasinya yang meliputi
hampir seluruh proses produksi rokok, seperti dalam hal pengenaan harga pita
cukai rokok, pengadaan bahan baku cengkeh, penetapan harga jual eceran
(HJE), penentuan pemakaian mesin dan lainnya. Regulasi–regulasinya
pemerintah ini sering berganti–ganti, sehingga hal ini menyulitkan industri
rokok kretek, karena rokok kretek mempunyai karakteristik pasar yang
spesifik dan sensitif.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dalam
penelitian ini saya tertarik untuk mengadakan penelitian dengan mengambil
judul “ANALISIS FAKTOR–FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENAWARAN ROKOK KRETEK DI INDONESIA PERIODE
1990–2000 “.
5
B. Perumusan Masalah
Dalam penulisan skripsi di atas serta telah dikemukakan latar belakang
masalah, maka timbullah beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Seberapa besar pengaruh input (biaya yang dikeluarkan untuk tenaga
kerja, harga tembakau dan harga cengkeh) terhadap jumlah rokok kretek
yang ditawarkan ?
2. Seberapa besar pengaruh kebijaksanaan pemerintah terhadap jumlah rokok
kretek yang ditawarkan ?
3. Seberapa besar pengaruh teknologi terhadap jumlah rokok kretek yang
ditawarkan ?
4. Diantara variabel input (biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja, harga
tembakau, harga cengkeh), Kebijaksanaan Pemerintah dan Teknologi,
(model regresi dalam penelitian ini) Manakah yang paling dominan
berpengaruh terhadap penawaran rokok kretek ?
Penelitian menggunakan data sekunder, tahun yang diambil antara
tahun 1990–2000. Rentang waktu tersebut diambil untuk mengetahui kondisi
penawaran rokok kretek di Indonesia dari masa sebelum krisis ekonomi dan
memasuki krisis ekonomi.
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang
faktor–faktor yang mempengaruhi penawaran rokok kretek di Indonesia.
Setelah mengetahui latar belakang dan permasalahan yang dikemukakan di
atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
6
1. Untuk mengetahui pengaruh input (biaya tenaga kerja, harga tembakau
dan harga cengkeh) terhadap jumlah rokok kretek yang ditawarkan.
2. Untuk mengetahui pengaruh kebijaksanaan pemerintah terhadap jumlah
rokok kretek yang ditawarkan.
3. Untuk mengetahui pengaruh teknologi terhadap jumlah rokok kretek yang
ditawarkan.
4. Untuk mengetahui variabel input (biaya yang dikeluarkan untuk tenaga
kerja, harga tembakau, harga cengkeh), kebijaksanaan pemerintah dan
teknologi yang paling dominan berpengaruh terhadap penawaran rokok
kretek.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
sebagai pertimbangan :
1. Bagi Produsen rokok kretek .
Menentukan kebijaksanaan dalam menentukan produksi.
2. Bagi Petani Cengkeh dan Tembakau.
– Sebagai acuan untuk meningkatkan kualitas hasil tembakau.
Mengetahui harga cengkeh dan tembakau.
3. Bagi Pemerintah
Berguna menentukan kebijaksanaan yang banyak memainkan peran
bagi industri tersebut.
7
E. Kerangka Pemikiran
Harga Tenaga Kerja (P1)
Harga Tembakau (Pt)
Harga Cengkeh (Pc)
Kebijaksanaan Pemerintah (D)
Gambar.1.1. Kerangka Pemikiran
Dari teori dan model yang digunakan di atas, maka dapat di buat suatu
kerangka pemikiran penawaran rokok kretek di Indonesia, seperti pada
gambar1.1. Pada gambar tersebut dijelaskan jika harga input yang terdiri dari
biaya atau harga tenaga kerja, harga tembakau dan harga cengkeh mengalami
kenaikan maka jumlah rokok yang ditawarkan akan berkurang. Sedangkan
jika kebijaksanaan pemerintah dan teknologi mengalami kenaikan maka
jumlah rokok yang ditawarkan (Qs) akan meningkat. Jadi faktor yang
mempengaruhi jumlah rokok yang ditawarkan (Qs) yaitu biaya atau harga
tenaga kerja (P1), harga tembakau (Pt) dan harga cengkeh (Pc), kebijaksanaan
pemerintah (D) dan teknologi (T).
8
Teknologi (T)
Jumlah yang ditawarkan(Qs)
F. Hipotesis
Untuk mengetahui faktor–faktor yang mempengaruhi penawaran rokok
kretek di Indonesia diajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Diduga input (harga atau biaya tenaga kerja, harga tembakau, harga
cengkeh) mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah
rokok kretek yang ditawarkan.
2. Diduga kebijaksanaan pemerintah mempunyai pengaruh positif dan
signifikan terhadap jumlah rokok kretek yang ditawarkan.
3. Diduga teknologi mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
jumlah rokok kretek yang ditawarkan.
4. Diduga diantara variabel input (biaya yang digunakan untuk tenaga kerja,
harga tembakau, harga cengkeh), kebijaksanaan pemerintah dan teknologi
yang paling dominan berpengaruh adalah variabel harga tembakau.
G. Metode Penelitian
1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bersifat analisis deskritif dengan cara mengumpulkan data,
mengklasifikasikan data kemudian menginterprestasikan. Dalam hal ini
penulis mengambil lokasi seluruh Indonesia. Metode yang penelitian ini
adalah data sekunder dari tahun1990–2000.
2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari
tahun 1990 sampai 2000, dan sumber yang diambil dari:
a. Badan Pusat Statistik (BPS).
9
b. Gabungan Perusahaan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI).
c. Departemen Pertanian dan Departemen Perdagangan serta
Perindustrian.
d. Jenis data yang digunakan data sekunder dari tahun 1990 sampai 2000.
3. Definisi Operasional Variabel
Variabel–variabel yang akan digunakan untuk penelitian secara
operasional dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Harga atau biaya tenaga kerja (P1) adalah besarnya pengeluaran yang
dikeluarkan oleh produsen untuk biaya tenaga kerja pada industri besar
dan sedang dalam satuan rupiah.
b. Harga input tembakau (Pt) adalah tingkat harga tembakau pada
perdagangan besar di propinsi seluruh Indonesia dalam satuan rupiah
per ton.
c. Harga input cengkeh (Pc) adalah tingkat harga cengkeh pada
perdagangan besar di propinsi seluruh Indonesia dalam satuan rupiah
per ton.
d. Kebijaksanaan Pemerintah (D) adalah suatu kebijaksanaan dimana
pemerintah melalui regulasinya dalam produksi rokok, untuk
menentukan cukai rokok dalam satuan rupiah.
e. Teknologi (T) adalah suatu alat proses produksi dimana perusahaan
tersebut menggunakan teknologi mesin dalam satuan unit.
10
f. Jumlah rokok kretek yang ditawarkan (Qs) adalah banyaknya rokok
kretek yang ditawarkan oleh perusahaan di Indonesia selama kurun
waktu tahun 1990 sampai dengan tahun 2000 dan dinyatakan dalam
satuan batang.
4. Metode Analisis Data
Dalam melakukan penelitian ini dilakukan beberapa tahapan analisis data,
yaitu :
a. Mengumpulkan data–data yang menjadi obyek penelitian.
b. Menentukan bentuk persamaan yang digunakan untuk penawaran
rokok kretek di Indonesia.
c. Melakukan analisis data.
d. Mengevaluasi dan menganalisa model yang dihasilkan dari analisis
data.
Evaluasi model dalam penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dan kuantitatif. Analisa kualitatif dimaksudkan untuk memberi
gambaran lebih jelas tentang perkembangan industri rokok kretek di
Indonesia dan faktor–faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan analisa
kuantitatif dengan model ekonometrik dimaksudkan untuk mengetahui
hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini
sebagai variabel terikatnya adalah variabel jumlah rokok yang ditawarkan
dimana satuan yang digunakan yaitu satuan batang. Sedangkan untuk
variabel bebas dalam penelitian ini adalah variabel input (biaya yang
digunakan untuk tenaga kerja, harga tembakau dan harga cengkeh),
kebijaksanaan pemerintah dan teknologi.
11
Untuk membuktikan hipotesis yang telah diuraikan di atas maka
akan digunakan model regresi Double Log. Model tersebut merupakan
pengembangan dari fungsi Cobb–Douglas. Fungsi Cobb–Douglas adalah
suatu fungsi persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel dependen
(merupakan variabel yang dijelaskan yaitu: Variabel Y) dan yang lain
disebut variabel independen (merupakan Variabel yang menjelaskan yaitu
Variabel X). Penyelesaian hubungan antara Y dan X adalah biasanya
dengan cara regresi dimana variasi dari variabel Y akan dipengaruhi
variasi dari variabel X. Bila fungsi Cobb–Douglas tersebut dinyatakan
oleh hubungan Y dan X maka :
Y = f (X1, X2, X3,…….Xn).
Adapun model fungsi Cobb–Douglas secara matematis dapat
dituliskan sebagai berikut : (Soekartawi, 1990 : 160)
Y = aX1b1, X2
b2, X3b3,…….Xn
bn…..en
Dimana :
Y = Variabel yang dijelaskan
X = Variabel yang menjelaskan
a, b = Besaran yang akan diduga
u = Kesalahan (disturbance term)
e = Logaritma Natural
Selanjutnya bentuk persamaan tersebut diubah menjadi bentuk
persamaan linier melalui transformasi logaritma sebagai berikut :
Dimana :
12
Y = Ln α0 + B1 Ln X1+ B2 Ln X2+ B3 Ln X3+ Bn Ln Xn+ ei
Y = Out put
Xn = Input
α0 = Konstanta atau intersep
B1, B2, ….., Bn = Koefisien regresi
ei = Variabel penganggu
Sedangkan dalam penelitian ini model yang digunakan adalah
sebagai berikut :
Dimana : Qs = Jumlah rokok kretek yang ditawarkan (batang)
α0 = Konstanta atau intersep
B1, B2, B3 ,B4, B5 = Koefisien regresi yang ditransformasikan dalam bentuk
logaritma masing–masing variabel, menunjukkan
elastisitas dari masing–masing variabel X terhadap
variabel Y .
P1 = Biaya upah tenaga kerja yang dikeluarkan (Rp)
Pt = Harga input tembakau (Rp/ton).
Pc = Harga input cengkeh (Rp/ton).
D = Kebijaksanaan Pemerintah (Rp).
T = Teknologi (Unit).
ei = Kesalahan Penganggu.
Jenis data yang digunakan untuk mengetahui hubungan variabel–
variabel tersebut di atas adalah data sekunder, dari tahun 1990 sampai
dengan tahun 2000.
13
Qs = Ln α0 + + B1 Ln P1 + B2 Ln Pt + B3 Ln Pc + B4 Ln D + B5 Ln T + ei
Dalam analisa regresi yang ditransformasikan dalam bentuk
logaritma kita mengenal variabel dependent dan variabel independen.
Penilaian terhadap variabel independen dapat dilihat dari besarnya
koefisien regresi yang ditransformasikan dalam bentuk logaritma. Semakin
besar koefisiennya maka semakin besar pengaruh masing–masing variabel
independen terhadap variabel dependen, atau sebaliknya.
Untuk mengetahui persamaan di atas benar–benar signifikan antara
variabel dependen dan variabel independen maka diperlukan uji statistik
yaitu: t–test dan F–test, selain itu akan di uji dengan uji asumsi klasik
antara lain uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas dan uji
autokorelasi. Serta di interprestasikan koefisien determinasi. Hal ini akan
diuraikan sebagai berikut:
1. Uji – t
T–test digunakan untuk menguji signifikansi koefisien secara
individu (dimana n ≤ 30). Pengujian ini dimaksudkan untuk
mengetahui apakah masing–masing variabel independen berpengaruh
signifikan atau tidak terhadap variabel dependen. Dengan langkah–
langkah pengujiannya sebagai berikut:
1. Ho : ßı = 0
Ha : βı ≠ 0
2. Nilai t tabel t = α / 2 (N – K)
di mana :
N = Jumlah data yang diobservasi
K = Jumlah parameter dalam model termasuk intersep
14
3. Daerah kritis
Hо ditolak Hο ditolak
Hο diterima
(-α/2; n–k) (α/2;n–k)
Gambar 1.2. Daerah kritis Uji – t
4. t–hitung
Rumus :
βi
t = Se(βi)
Di mana :
ı = koefisien regresi
Sе(βı) = Standart error koefisien regresi
5. Kriteria pengujian
a) .Apabila nilai t hitung < t tabel, maka Hо diterima. Artinya
variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen
secara signifikan.
b). Apabila nilai t hitung > t tabel, maka Hо ditolak. Artinya variabel
independen mampu mempengaruhi variabel dependen secara
signifikan.
15
2. Uji – F
Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui secara serentak
variabel independent berpengaruh terhadap variabel dependent secara
signifikan atau tidak. Dimana langkah–langkah pengujian adalah :
1. Hо : β0 = β1 = β2 = β 3 = β 4 = β 5 = 0
Ha : β0 ≠ β1 ≠ β2 ≠ β 3 ≠ β 4 ≠ β 5 ≠ 0
2. Nilai F tabel
F = α ,( N – k ) ;( k – 1 )
Dimana :
N = jumlah data yang di observasi
k = jumlah parameter dalam model termasuk intersep
3. Daerah Kritis
Hoditolak
Ho diterima Ho ditolak
0 α,(n-k);(k-1)
gambar .1.3. Daerah Kritis Uji F
4. F–hitung
Rumus : R2 / ( k – 1) F =
( 1 – R2 ) / ( N – k )
Di mana:
R2 = koefisien determinasi berganda
N = jumlah data yang diobservasi
16
k = jumlah parameter dalam model termasuk intersep
5 . Kriteria Pengujian
a). Apabila nilai F hitung < F tabel, maka Ho diterima, artinya
variabel independen secara serentak tidak mempengaruhi
variabel dependen dengan signifikan.
b). Apabila nilai F hitung > F tabel, maka Ho ditolak, artinya
variabel independen secara serentak mempengaruhi
variabel dependen dengan signifikan.
3. Koefisien Determinasi (R2)
Analisis koefisien determinasi dilakukan untuk mengukur
kebaikan sesuai goodness of fit dari model yang digunakan untuk
proporsi variasi independen. Nilai R2 yaitu angka yang menunjukkan
besarnya kemampuan menerangkan dari variabel independen
terhadap variabel dependen dalam suatu model regresi. Nilai R2 yaitu
angka yang menunjukkan besarnya kemampuan menerangkan dari
variabel independen terhadap variabel dependen dalam suatu model
regresi. Atau dengan kata lain untuk melengkapi analisa regresi
berganda, digunakan analisa korelasi berganda yaitu untuk mengukur
derajat hubungan antara variabel dependen dan variabel independen,
nilai R2 berkisar antara 0<R2<1 dan kecocokan model dikatakan lebih
baik kalau nilai R2 mendekati 1, bila R2 = 1 berarti prosentase
sumbangan variabel X1, X2, X3, terhadap variabel Y adalah 100%.
Apabila sumbangan R2 = 0 berarti tidak dapat digunakan untuk
17
membuat ramalan. Definisi koefisien determinasi (Damodar
Gujarat,1995: 10)
ESS RSS R2 = atau R2 = 1 ─
TSS TSS
Σ eı R2 = 1 ─
Σ yı2
Keterangan :
ESS = Explained Sum of Square (jumlah kuadrat yang di
jelaskan)
TSS = Total Sum of Square
RSS = Residual Sum of Square (jumlah kuadrat residual)
4. Uji Penyimpangan Asumsi
Agar penelitian dapat dipakai sebagai bahan informasi, maka
diharapkan koefisien–koefisien yang diperoleh menjadi penaksir
terbaik dan tidak bisa (BLUE = Best Linier Unbias Estimat). Hal
tersebut hanya dapat terjadi bila dalam pengujian tidak melanggar uji
asumsi klasik, yaitu :
1) Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah keadaan di mana satu variabel atau lebih
variabel independen terdapat kolerasi atau hubungan dengan
variabel independen lainnya, di samping itu masalah ini juga
timbul bila antara variabel independen berkolerasi dengan
18
variabel pengganggu. Multikolinearitas sendiri diartikan sebagai
suatu keadaan dimana satu atau lebih variabel independen
mempunyai suatu fungsi linier dari variabel independen yang
lain. Menurut L.R. Klein, masalah multikolinearitas baru menjadi
masalah apabila derajatnya lebih tinggi di bandingkan dengan
kolerasi di antara seluruh variabel secara serentak. Metode Klein
membandingkan nilai (r2), X1, X2, X3, ….Xn dengan nilai R2
(Adjusted R Square). Apabila R2 > (r2) berarti tidak ada gejala
multikolinearitas. Apabila R2 < (r2) berarti ada gejala
multikolinearitas (Damodar Gujarati, 1991:157 – 168).
2) Pengujian Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah keadaan di mana faktor pengganggu
bervarian tidak sama, E(eı2) ≠ e ini ditunjukkan dengan nilai F
yang relatif kecil. Apabila hal ini terjadi maka akibatnya prediksi
akan menjadi salah (bias). Untuk menguji ada tidaknya
heteroskedastisitas dalam model.
3) Pengujian autokorelasi
Autokorelasi adalah keadaan di mana faktor pengganggu eı pada
model dalam periode tertentu berkorelasi dengan kesalahan
pengganggu sebelumnya hal ini mengakibatkan terjadinya
autokorelasi maka kita akan memperoleh nilai bias dalam
mengestimasikan (α) ditunjukan adanya varian yang besar alat
yang digunakan adalah uji Durbin Watson test (DW) untuk
menguji gejala autokorelasi lebih dulu ditentukan nilai kritis dL
19
dan dU berdasarkan jumlah observasi dan banyaknya variabel
bebas. Jika Ho diterima baik positif maupun negatif maka tidak
ada autokorelasi. Pengujian dengan uji Durbin Watson yaitu nilai
Durbin Watson dihitung dan dibandingkan dengan nilai Durbin
Watson tabel, pada derajat kebebasan (N,k – 1) dan tingkat
signifikansi tertentu. Angka dalam Durbin Watson menunjukkan
nilai distribusi antara batas bawah (dL) dan batas atas (dU).
(Damodar Gujarati,1991:201 – 218)
Adapun langkah–langkah pengujiannya adalah sebagai berikut:
1. Lakukan regresi OLS dan dapatkan residual eı
2. Hitung nilai d
d = Σ(et – et – 1)
Σet2
Di mana:
et = Simpangan pada variabel independen
3. Dapatkan nilai kritis dL, dan dU, yang lebih dahulu
menentukan nilai k terlebih dahulu.
4. Merumuskan Hipotesis, yaitu :
a). Jika hipotesa Ho tidak ada serial korelasi positif :
d < dL = menolak Ho
d > dU = tidak menolak Ho
d ≤ d ≤ dU = pengujian tidak meyakinkan.
b). Jika hipotesis Ho tidak ada serial korelasi negatif :
d > 4 – dl = menolak Ho
d < 4 – dU = tidak menolak Ho
20
4 – dU ≤ d ≤ 4 – dL = pengujian tidak meyakinkan
c). Jika hipotesa Ho tidak ada serial autokorelasi positif
ataupun negatif :
d < dL = menolak Ho
d > 4 – dL = menolak Ho
dU < d < 4 – dU = menerima Ho
dL ≤ d ≤ dU = pengujian tidak meyakinkan
4 – dU ≤ d ≤ 4 – dL = pengujian tidak meyakinkan
menol
ak Ho bukti daerah daerah Menolak H*o
autokorelasi Keragu- menerima Ho atau Keragu- bukti autokorelasi
positif raguan H*o atau kedua-duanya raguan negatif d
0 dL dU 2 4 – dU 4 – dL 4
Gambar 1.4. Pengujian Autokorelasi
21
Recommended