View
35
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
Gagasan dan Simbol Sufistik dalam Cerpen-cerpen Mohammad Fudoli Zaini
Zeni Afifah, Maman S Mahayana
Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424,
Indonesia
Email: afifahzeni@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini membahas gagasan dan simbol-simbol sufistik dalam enam cerpen M. Fudoli Zaini. Untuk menganalisis gagasan sufistik digunakan konsep maqam dan untuk menganalisis simbol sufistik digunakan konsep simbol dari penyair-penyair sufi Parsi dan Melayu. Sumber data yang digunakan yaitu enam cerpen berjudul “Rindu Hujan”, “Burung Putih”, “Batu-batu Setan”, “Burung Kembali ke Sarang”, “Kemarau”, dan “Pintu Gerbang”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cerpen-cerpen Fudoli Zaini mengandung ajaran-ajaran tasawuf yang terdiri dari delapan maqam, yaitu tobat (taubat), melawan nafsu (mujahadah), tawakal (tawakkal), zuhud (zuhd), sabar (shabr), syukur (syakara), cinta (mahabbah), dan penyatuan (ittihad). Selain itu, cerpen-cerpen Fudoli Zaini juga banyak memunculkan simbol berupa tokoh, peristiwa, dan benda-benda yang secara simbolis menyampaikan serta menguatkan gagasan tasawuf tersebut. Kata kunci: tasawuf, sastra sufistik, simbol sufistik, Fudoli Zaini
Ideas and Sufism Symbols in Mohammad Fudoli Zaini’s Short Story Collections
Abstract
This research deals with ideas and sufism symbols in six short stories of M. Fudoli Zaini’s. Theory and approach that be used on analyzing ideas sufism is mysticism theories which are maqam and sufism symbols used concept of a symbol of Persian Sufi poets and Malay. Data that be used are sourced from six short stories each of them titled “Rindu Hujan”, “Burung Putih”, “Batu-batu Setan”, “Burung Kembali ke Sarang”, “Kemarau”, and “Pintu Gerbang”. The results shows that Fudoli Zaini’s six short stories contained mysticism theories that consists of eight maqams, they are repentance (taubat), against lust (mujahadah), tawakal (tawakkal), zuhud (zuhd), patience (shabr), gratitude (syakara), love (mahabbah), and fusion (ittihad). Moreover, Fudoli Zaini’s short stories are also providing symbols such as characters or figures, occurrence, objects that symbolically conveyed and strengthened those mysticism theories. Keywords: mysticism, sufism literature, sufism symbols, Fudoli Zaini
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
2
1. Pendahuluan
Salah satu fondasi sufisme adalah pengenalan diri sebagai basis mengenal Tuhan.
Rasulullah SAW menyatakan: Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu. Artinya, “Barang siapa
yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya” (Mahatma, 2010: ix). Kata sufisme
dan tasawuf sering kali dianggap sebagai sesuatu yang berbeda, padahal sebenarnya tidak
demikian. Menurut Syaikh Abdul Qadir Isa (2014: 5) kata tasawuf berkembang di dunia Arab,
sedangkan kata sufisme lebih populer di Barat, yang dikaitkan dengan seorang pelaku tasawuf,
yaitu sufi. Mahatma (2010: 1) juga mengungkapkan bahwa tasawuf dan sufisme sama-sama
menekankan pada kematangan spiritualitas melalui sumbu dalam diri manusia, yakni hati.
Keduanya senantiasa bersandar pada pencerahan pikir dan tata laku keagamaan dengan proses
penyucian hati dan pembakaran sifat kebinatangan dalam setiap diri manusia.
Pada perkembangannya, tasawuf tidak hanya erat hubungannya dengan unsur-unsur
keagamaan tetapi juga memiliki peran yang sangat besar dalam bidang seni dan ilmu
pengetahuan. Sayyid Husein Nasr (1985: 12-13) mengungkapkan bahwa hampir dalam setiap
bentuk seni, mulai dari puisi sampai arsitektur, memperlihatkan perpaduan yang jelas dengan
unsur tasawuf. Hal ini terlihat dari banyaknya kesusastraan Islam Arab dan Parsi yang lahir
menyuarakan semangat tasawuf melalui lirik-lirik lokal dan sajak-sajak epik sampai pada karya-
karya didaktik dan mistik yang dimensinya sangat universal. Kebanyakan karya tersebut
berbentuk prosa dan puisi.
Menurut Braginsky (1993: xi) tasawuf mulai memainkan peran penting dalam sejarah,
agama, dan budaya, di kawasan Melayu-Indonesia sejak akhir abad ke-14, dan berkembang pada
abad ke-16 hingga abad ke-17. Menurut Abdul Hadi W.M. (1999: 92) Hamzah Fansuri menjadi
salah satu penyair sufi yang sangat berpengaruh pada abad ke-16. Bahkan, kepenyairan Hamzah
Fansuri dianggap memiliki kesinambungan dengan karya-karya penulis Indonesia abad ke-20.
Kesinambungan tersebut tampak dalam wawasan estetik dan puitika dua penyair Pujangga Baru,
yaitu Sanusi Pane dan Amir Hamzah.
Tidak hanya syair dan puisi, sebagai hasil kreativitas, karya sastra termasuk cerpen juga
merupakan ekspresi seni yang paling fleksibel. Karya sastra termasuk salah satu media yang
paling mudah dimasuki sekaligus menyerap bidang lain, seperti sejarah, pendidikan, agama,
filsafat, dan politik. Di sisi lain, sastra merupakan wujud kontemplasi dan pergulatan batin
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
3
seorang pengarang tentang kehidupan manusia yang bersifat dialektis. Tidak heran jika karya
sastra dapat menyelami jiwa manusia yang paling dalam. Hal itu membuat karya sastra sarat
dengan berbagai nilai dan pesan yang dapat dijadikan sebagai sumber pengilhaman. Sebagai
contoh cerpen-cerpen Indonesia yang kental diwarnai berbagai unsur nilai; sosial, politik, dan
agama. Yang menarik adalah ketika nilai-nilai agama, terutama Islam menjadi sumber inspirasi
bagi sebagian besar sastrawan muslim Indonesia. Mereka kemudian menjadikan cerpen sebagai
salah satu media mengungkapkan gagasan mengenai agama kepada para pembaca.
Cerpen-cerpen yang lahir dari tangan cerpenis muslim Indonesia pada tahun 1970-an
dikenal sebagai gerakan “kembali ke akar tradisi”, yang oleh Danarto disebut sebagai gerakan
“kembali ke sumber”. Gerakan ini juga lazim disebut “sastra sufistik” karena sejak awal
semangat dan pandangan dunia yang melatari kemunculannya mempunyai pertalian dengan
tasawuf dan sastra sufistik. Sejak awal pula, para pendukungnya menjadikan tasawuf dan karya
para penulis sufi sebagai salah satu sumber ilham penulisan karya-karya mereka. Di antara
penulis sufi yang memberi mereka ilham ialah, Jalaluddin Rumi, Rabi’ah al-Adawiyah, Mansur
al-Hallaj, Fariduddin Attar, Ibn Arabi, Hafiz, Sa’di, Hamzah Fansuri, dan Mohammad Iqbal
(Hadi, 1999: 21).
Dalam sastra Indonesia, sastrawan yang muncul pada tahun 1970-an dengan
kecenderungan sastra sufistik adalah M. Fudoli Zaini, Danarto, Kuntowijoyo, Taufiq Ismail,
Emha Ainun Najib, D. Zawawi Imron, dan Sutardji Calzom Bachri. Dari beberapa penulis sastra
sufistik tersebut, Fudoli Zaini dapat dikatakan sebagai salah satu sastrawan yang produktif
menulis cerpen-cerpen dengan tema sufistik. Menurut Mahayana (2014: 51) di tengah banyaknya
cerpen-cerpen Indonesia mutakhir yang muncul dengan tema kritik sosial, Fudoli Zaini justru
mengangkat kisah-kisah sufistik yang kuat, dan pengetahuannya tentang filsafat, tasawuf, dan
dunia sufisme membantunya menyelusupkan metafora dan simbol sufistik yang—menurut Abdul
Hadi W.M.—unik dan segar.
Meskipun demikian, nama Fudoli Zaini ternyata kurang dikenal dibandingkan dengan
penulis sastra sufistik lainnya. Padahal sumbangan berupa hasil karya sastra yang dilahirkan
Fudoli Zaini menjadi karya yang cukup banyak mendapat penghargaan. Kritikus sastra lain juga
tidak banyak yang menulis ulasan tentang kepengarangan atau karya-karya Fudoli Zaini. Hanya
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
4
ada beberapa orang saja yang menulis ulasan, seperti Abdul Hadi W.M. dan Maman S.
Mahayana.
Berdasarkan uraian di atas, pemilihan cerpen-cerpen Fudoli Zaini sebagai objek penelitian
karena cerpen-cerpen tersebut dianggap banyak mengandung pesan dan pencerahan bagi
pembacanya sehingga dapat menjadi bacaan yang selalu aktual dan relevan di tengah-tengah
kehidupan masyarakat yang serba hedonis dan individualis. Dengan demikian, penelitian
terhadap cerpen-cerpen sufistik karya Fudoli Zaini menjadi penting dilakukan untuk mengetahui
dan memahami gagasan dan simbol sufistik serta mengambil ajaran dan pesan yang terdapat di
dalamnya. Di samping itu, penelitian ini juga menjadi salah satu usaha untuk mengangkat
kembali nama Fudoli Zaini sebagai sastrawan sufistik yang cenderung terlupakan.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, pokok masalah yang akan
diteliti dapat dirumuskan dalam pertanyaan berikut.
1. Bagaimana gagasan sufistik diintegrasikan dalam cerpen-cerpen M. Fudoli Zaini?
2. Bagaimana makna simbol-simbol sufistik dilibatkan dalam cerpen-cerpen M. Fudoli
Zaini?
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan gagasan sufistik diintegrasikan dalam cerpen-cerpen M. Fudoli Zaini.
2. Menjelaskan makna simbol-simbol sufistik dilibatkan dalam cerpen-cerpen M. Fudoli
Zaini.
2. Cerpen-cerpen Mohammad Fudoli Zaini
Fudoli Zaini menjadi salah satu sastrawan sufistik yang dalam cerpen-cerpennya kerap
diwarnai simbol-simbol untuk mewakili suatu konsep yang berkaitan dengan ajaran tasawuf. Hal
itu terlihat dari tiga antologi cerpennya yaitu, Potret Manusia (1983), Batu-batu Setan (1994),
Rindu Ladang Padang Ilalang (2002). Dari ketiga antologi cerpen tersebut memang tampak
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
5
hampir sebagaian besar cerpennya mengandung ajaran tasawuf dan simbol yang digunakannya
untuk menguatkan ajaran tasawufnya.
Dalam antologi cerpen Potret Manusia, Fudoli Zaini cenderung mengangkat kehidupan
sehari-hari dengan latar timur tengah. Latar tersebut menjadi salah satu penunjang untuk
mengungkapkan ajaran-ajaran tasawufnya. Begitu pula dalam dua antologi cerpen terakhirnya,
yaitu Batu-batu Setan dan Rindu Ladang Padang Ilalang. Fudoli Zaini menampakkan
kepiawaiannya dalam mengemas simbol dan ajaran tasawuf melalui cerita-cerita yang juga sangat
sederhana. Meskipun begitu, secara simbolis ajaran-ajaran tasawuf tetap terlihat melalui peristiwa
dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpennya.
Dari ketiga antologi cerpen tersebut, dipilih enam cerpen yang dianggap kuat dan
mewakili gagasan tasawuf serta simbol-simbolnya. Simbol-simbol yang terdapat dalam cerpen-
cerpen tersebut sangat beragam, yaitu mencakup simbol peristiwa, tokoh, dan benda. Gagasan-
gagasannya mewakili ajaran tasawuf mengenai maqam atau persinggahan, yaitu jalan yang harus
ditempuh seorang sufi untuk sampai kepada Tuhan.
Keenam cerpen tersebut, yaitu “Rindu Hujan”, “Burung Putih”, “Batu-Batu Setan”,
“Burung Kembali ke Sarang”, “Kemarau”, dan “Pintu Gerbang”. Cerpen-cerpen tersebut,
sebagian besar berkisah mengenai kehidupan keseharian. Permasalahan yang diangkat pun cukup
sederhana yaitu hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Meskipun begitu, muaranya tetap sama, yaitu untuk memperoleh kedekatan dengan Tuhan.
3 Gagasan dan Simbol Sufistik dalam Cerpen-cerpen M. Fudoli Zaini
Dari keenam cerpen Fudoli Zaini, semuanya mengandung gagasan berupa konsep maqam
yang terdiri dari delapan tingkatan yaitu tobat, mujahadah, tawakal, zuhud, sabar, syukur,
mahabbah, hingga ittihad (penyatuan). Selain itu, simbol-simbol sufistik berupa peristiwa, benda,
dan tokoh, juga disisipkan untuk menguatkan gagasan mengenai maqam-maqam tersebut.
3.1 Tobat (Taubat)
Menurut Syaikh Abdul Qadir Isa (2014: 194) tobat adalah kembali dari segala sesuatu
yang tercela dalam pandangan syariat kepada segala sesuatu yang terpuji dalam pandangannya.
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
6
Tobat merupakan prinsip pokok dalam kegiatan spiritual para sufi, kunci kebahagiaan oleh para
murid, dan syarat sahnya perjalanan menuju Allah.
Gagasan mengenai pertobatan terdapat dalam cerpen “Burung Putih”. Dalam cerpen ini
tobat digambarkan Fudoli Zaini sebagai bentuk pengakuan dosa manusia kepada Tuhan.
“Pelan-pelan lelaki yang tak bisa bersuara satu patah pun itu dibawa ke langgar. Ia memeluk sang Kiai sambil matanya meleleh. Sang Kiai menyuruhnya ambil air sembahyang, kemudiaan salat sunat dua rakaat. Habis salat, sang Kiai menghapus-hapus kepala lelaki itu beberapa kali. Tiba-tiba lelaki itu membuka mulutnya dan bersuara. “Mohon ampun, Pak Kiai, mohon ampun yang sebesar-besarnya.” “Tidak apa-apa, saya telah memaafkan Bapak. Mohon ampunlah selalu kepada Tuhan.” (Burung Putih, 75).
Gagasan mengenai tobat karena dosa yang tergambar pada kutipan tersebut menunjukkan
bahwa proses pertobatan identik dengan pengakuan dosa. Orang yang melakukan tobat adalah
orang-orang yang dianggap telah melakukan sesuatu hal yang tercela atau melanggar perintah
Tuhan. Itu artinya, tobat selalu dilakukan sebagai bentuk penghapusan dosa. Kutipan tersebut
juga mengandung gagasan bahwa tobat adalah proses penyucian hati. Melalui gagasan tersebut,
Fudoli Zaini menunjukkan bahwa proses pertobatan yang sungguh-sungguh tidak dapat hanya
dilakukan secara lisan verbal tetapi juga harus dibarengi dengan ketulusan hati dan proses
pembersihan dosa, seperti melakukan salat ataupun zikir yang banyak dilakukan kaum sufi. Salat
dan zikir dapat dipercaya sebagai obat hati yang paling mujarab bagi seorang yang tengah sakit
hatinya—penuh rasa dengki dan perilaku-perilaku yang tercela.
Proses penyucian hati yang digambarkan Fudoli Zaini melalui tokoh lelaki tersebut sama
seperti anjuran Rasulullah SAW yang juga melakukan istigfar dalam proses pertobatan untuk
membersihkan hatinya.
Diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Demi Allah saya beristigfar dan memohon ampun kepada Allah serta bertobat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.” (Hadis Riwayat Bukhari).
3.2 Melawan Nafsu (Mujahadah)
Menurut Schimmel (2000: 142-144) perjuangan melawan nafsu merupakan topik yang
digemari oleh kaum sufi; mereka tidak bosan untuk memperingatkan para muridnya terhadap
muslihatnya, bukan hanya dalam bentuk kasar seperti kelobaan indrawi tetapi juga dalam bentuk
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
7
samaran kemunafikkan dan kesalahan semu yang harus diawasi dan dibersihkan dengan tekun.
Para sufi percaya bahwa perjuangan melawan nafsu menjadi hal utama untuk mencapai tingkatan
rohani yang lebih tinggi.
Gagasan mengenai mujahadah tampak dalam cerpen Fudoli Zaini berjudul “Batu-batu
Setan.”
“Kita makan minum sepuas kita?” Tanyaku lagi. Grenengan macam bunyi lebah makin meninggi “Kita pesta pora sepuas-puas kita?” “Setujuuu!” teriak jubalan orang-orang di sebelah kiri, di susul jubalan di sebalah kanan dan kemudian tengah. Betul juga pikirku. Memang ternyata paling gampang menggelitik manusia melalui naluri-naluri jasmaniahnya.” (Batu-batu Setan, 11).
Dalam kutipan tersebut, Fudoli Zaini menunjukkan bahwa nafsu yang paling utama
menggoda manusia adalah nafsu jasmaniah. Nafsu jasmaniah menjadi musuh utama yang harus
dilawan untuk mencapai tingkatan rohani yang lebih tinggi. Nafsu jasmaniah yang tampak dalam
kutipan tersebut adalah nafsu berupa makanan dan minuman yang juga dapat membuat manusia
terlena dan melupakan syariat agama. Maka, di sini Fudoli Zaini menekankan pentingnya lapar
untuk melawan hawa nafsu. Hal tersebut seperti pandangan Sa’id Hawwah (1998: 163).
Menurutnya, lapar merupakan salah satu rukun dalam mujahadah. Dalam Islam, makan dan
minum sejauh tidak keluar dari ‘batasan’ kenyang adalah boleh. Namun jika berlebih-lebihan
adalah haram hukumnya. Seperti firman Allah SWT, “Makan dan minumlah dan janganlah
berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS
Al-A’raf: 31).
Melalui kutipan tersebut, sesungguhnya Fudoli Zaini secara tidak langsung ingin
menegaskan bahwa puasa merupakan salah satu cara yang penting dalam mujahadah, seperti
yang banyak dilakukan kaum sufi. Rasa lapar akan membuat manusia lebih mudah untuk melatih
hawa nafsunya, sedangkan makanan dan minuman yang berlebihan dapat membawa manusia
menjadi rakus dan tamak. Gagasan Fudoli Zaini tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah SAW.
“Kalian wajib susah, karena susah itu merupakan kunci hati.” Mereka bertanya, “Bagaimana susah itu wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Tundukkanlah hawa nafsu kalian dengan lapar dan jadikan ia dahaga!” (HR. Thabrani).
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
8
Bagi para sufi, tiga unsur penting yang harus dijalankan sufi adalah qillat at-ta’am, qillat
al-manam wa qillat al-kalam, yaitu “sedikit makan, sedikit tidur, dan sedikit bicara.” Para sufi
percaya bahwa keadaan lapar adalah jalan terbaik untuk mencapai kehidupan rohani, seperti yang
dikatakan Rumi, “Lapar adalah makanan Tuhan; dengan lapar ia menggerakkan tubuh orang yang
benar.” Selain itu, Rumi juga mengatakan, “Dapatkah suling menyanyi jika perutnya terisi?”
(Schimmel, 2000: 146). Maksudnya, manusia hanya dapat menerima napas ilham hanya jika ia
membiarkan dirinya lapar dan kosong.
Dalam kutipan berikut muncul simbol kerikil yang diciptakan Fudoli Zaini sebagai lawan
dari batu besar.
“Sebutlah dan serulah nama Tuhan dengan penuh penghayatan dalam kalbumu, buyung.” Aku menyebut dan menyeru nama Tuhan: Allahu Akbar! Namun suaraku hampir-hampir saja tak terdengar. Kulemparkan kerikil-kerikil itu satu persatu. Tenagaku seperti hampir habis. Kuseru lagi nama Tuhan dan kulempar! Sekali lagi! Lagi! Lagi! Tiba-tiba kulihat batu yang mencuat besar itu retak sedikit demi sedikit.” (Batu-batu Setan, 16).
Kerikil atau batu-batu kecil dapat ditafsirkan sebagai simbol dari tasbih. Obat mujarab
bagi penyakit hati adalah zikir. Maka dari itu, Fudoli Zaini menggunakan simbol batu besar dan
dan kerikil sebagai bentuk perlawanan nafsu dengan zikir. Dengan zikir dan terus menyebut
nama Allah, maka hati akan dipenuhi dengan rasa cinta kepada Allah sehingga tidak ada lagi
tempat bagi nafsu untuk tinggal. Rasa cinta kepada Allah (mahabbah) inilah yang akan
membawa manusia kepada penyatuan diri dengan Tuhan (ittihad). Tidak heran jika dari beberapa
versi cerita seringkali muncul cerita mengenai sufi yang yang tiba-tiba memperoleh kasyf ketika
sedang khusyuk berzikir. Simbol yang diciptakan Fudoli Zaini tersebut memiliki kesejajaran
dengan gagasan yang diungkapkan Ghazzali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulum ad-Din berikut:
“Sesungguhnya kesucian hati dan penglihatannya dapat dicapai dengan zikir. Dan ini tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang bertakwa. Takwa adalah pintu zikir. Zikir adalah pintu kasyf. Dan kasyf adalah pintu kemenangan terbesar, yaitu bertemu dengan Allah” (Isa, 2015: 296).
3.3 Tawakal (Tawakkal)
Tawakal berarti percaya penuh serta pasrah kepada-Nya. Tawakal dipandang berbeda-
beda oleh para ahli mistik pada masa itu. Menurut batasan-batasan tauhid, tawakal berarti Tuhan
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
9
dalam kemutlakan-Nya adalah satu-satunya pelaku; karena itu manusia harus sepenuhnya
mengandalkan Dia. Atau dengan gambaran lain: karena kekuatan Illahi mencakup segalanya,
manusia harus percaya penuh kepada kekuatan-Nya (Schimmel, 2000: 149).
Gagasan mengenai tawakal sebagai bentuk usaha secara maksimal diungkapkan Fudoli
Zaini melalu tokoh lelaki dalam cerpen “Rindu Hujan”, seperti berikut:
“Tak apalah tak jadi beli rumah di gunung. Hanya ia selalu berharap dan berdoa agar hujan segera turun. Kalau bisa, tak usahlah kemarau terlalu panjang begini. Satu atau dua bulan saja sudah cukup. Selebihnya hujan setiap hari, yang sedang-sedang saja agar tidak terjadi banjir. Namun, tentu saja ia tidak akan bisa mengatur turunnya hujan itu. Itu sekadar hanya harapan-harapannya atau katakanlah angan-angannya“ (Rindu Hujan, 11).
Melalui kutipan tersebut, terlihat adanya usaha yang dilakukan tokoh lelaki dalam
tawakal. Jadi, sebelum menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan, manusia harus terlebih
dulu berusaha, seperti pandangan-pandangan tentang tawakal yang telah diungkapkan di atas.
Tokoh lelaki dalam cerpen “Rindu Hujan” telah mengamalkan sikap tawakalnya setelah ia
berusaha. Keinginannya merasakan hujan telah dibarengi dengan usahanya untuk mencari rumah
di gunung, meskipun usahanya itu telah gagal karena ia tidak mendapatkan rumah yang
diinginkan, tetapi harapannya kepada Tuhan untuk menurunkan hujan tidak pernah putus. Ia
percaya bahwa Tuhan Maha Bijaksana mengatur turun dan berhentinya hujan, termasuk rezeki
bagi manusia—misalnya pun itu tidak sesuai dengan keinginanya—Tuhan Maha Mengetahui
yang terbaik untuk hambanya.
Gagasan Fudoli Zaini mengenai tawakal sebagai melakukan usaha secara maksimal,
sejalan dengan hadis Rasulullah SAW. “Wahai Rasulullah, apakah aku boleh melepaskan untaku,
lalu aku bertawakal?” Rasulullah SAW menjawab, “Ikatlah dia (terlebih dahulu), lalu
bertawakallah” (HR. Tirmidzi).
Melalui Cerpen “Rindu Hujan” tersebut, Fudoli Zaini juga mengungkapkan gagasan
tawakal sebagai jalan menuju makrifat. Gagasan tersebut digambarkan Fudoli Zaini secara
simbolis melalui perjalanan ke puncak gunung yang dilakukan oleh tokoh lelaki untuk mencari
rumah.
“Mereka berjanji akan bertemu esok harinya. Ia dan istinya akan ke rumah teman itu dulu di lereng bukit, kemudian sama-sama naik lagi ke atas gunung sampai di tempat yang dituju. Ternyata jalan di atas gunung ini cukup lebar dan bagus, dengan pemandangan yang begitu asri dan segar” (Rindu Hujan, 7).
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
10
Melalui kutipan tersebut, Fudoli Zaini juga memunculkan simbolisme yang
menggambarkan pendakian sufi menuju makrifat. Kerinduan suami kepada hujan membuatnya
berusaha keras untuk mencari rumah di atas gunung agar ia bisa merasakan hujan. Hal tersebut
dapat dimaknai sebagai usaha pendakian seorang sufi untuk mencapai makrifat agar dapat
bertemu dengan Tuhan. Jadi, simbolisme yang diciptakan Fudoli Zaini tersebut dapat ditafsirkan
seperti rindu suami kepada hujan merupakan bentuk kerinduannya kepada Tuhan, usaha suami
mencari rumah di atas gunung sebagai pendakian sufi menuju makrifat, dan rumah di atas
gunung adalah makrifat tersebut, yaitu tempat seorang sufi dapat melihat wajah Tuhan.
3.4 Zuhud (Zuhd)
Menurut Syaikh Abdul Qadir Isa (2014: 240) zuhud berarti mengosongkan hati dari cinta
kepada dunia dan semua keindahannya, serta mengisinya dengan cinta kepada Allah dan makrifat
kepada-Nya. Apabila hati terlepas dari ketergantungan terhadap perhiasan dunia dan
kesibukannya, maka itu akan menambah cinta kepada Allah, menghadap kepada-Nya,
muraqabah (pengawasan) dan makrifat. Oleh karena itu, para ahli makrifat menganggap zuhud
sebagai perantara untuk mencapai Allah dan syarat untuk mendapatkan cinta dan rida-Nya, bukan
sebagai tujuan.
Gagasan Fudoli Zaini mengenai zuhud sebagai meninggalkan bentuk kemewahan dunia
terdapat dalam cerpen “Burung Putih” yang terlihat melalui dua kutipan berikut:
“Ia berjalan meninggalkan halam itu. Orang-orang pada mengantarnya sampai di luar. Sengaja ia memang mau pulang jalan kaki. Ia menolak untuk di antar dengan dokar. Kemarin, waktu ia kemari, ia memang dijemput dengan dokar dan ia tidak menolak. Namun sekarang ini ia ingin jalan kaki saja. Sudah biasa ia jalan kaki dalam jarak yang cukup jauh” (Burung Putih, 68).
“Ia mempercepat jalannya sekarang. Sarungnya yang putih berkotak-kota hitam tipis, baju lengan panjangnya yang juga putih dan serbannya yang putih berkibar-kibar oleh angin. Seperti seekor burung putih ia meluncur cepat di tanah yang datar itu” (Burung Putih, 71)
Melalui tokoh sang Kiai, Fudoli Zaini menggambarkan sikap zuhud sebagai
meninggalkan kemewahan dan hidup sederhana. Sebagai seorang yang disegani di
lingkungannya, sang Kiai tidak lantas memanfaatkan apa-apa yang diberikan kepadanya. Ia justru
tetap berperilaku zuhud dan menikmati kehidupannya dalam kesederhanaan.
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
11
Dari kutipan tersebut juga terdapat simbol burung putih. Burung memang menjadi salah
satu simbol yang cukup banyak digunakan oleh penyair-penyair sufistik sejak dahulu. Simbol
burung putih dipilih dalam cerpen tersebut sebagai gambaran manusia yang telah meninggalkan
keterikatannya dengan kemewahan dunia. Manusia yang telah berperilaku zuhud berarti telah
siap melepaskan diri dari segala hal yang berkaitan dengan harta dunia. Bisa jadi Fudoli Zaini
memilih simbol burung sebagai representasi sang Kiai untuk menunjukkan kesucian dan
kebersihan jiwa manusia yang berperilaku zuhud.
Perilaku sang Kiai yang lebih memilih berjalan kaki daripada menaiki dokar, seperti
gambaran seorang musafir yang sedang melakukan perjalanannya sendirian menuju Tuhan tanpa
menggunakan apapun atau meminta bantuan dari siapapun karena meyakini hanya Tuhan sebagai
penolongnya. Ia tidak membutuhkan apapun kecuali jalan kebenaran yang membawanya sampai
pada tujuan makrifat Tuhan. Pakaian serba putih yang digunakan pun menunjukkan bahwa sang
Kiai telah meninggalkan segala gemerlap dan kemewahan dunia. Warna putih identik dengan
penyucisan diri dan kebersihan hati dari segala nafsu duniawi.
3.5 Sabar (Shabr)
Mengenai sabar terdapat berbagai pandangan dari kaum sufi namun pandangan-
pandangan tersebut tidak jauh berbeda. Pertama, Dzunnun al-Mishri berpendapat bahwa sabar
adalah menghindarkan diri dari hal-hal yang menyimpang, tetap tenang sewaktu tertimpa ujian,
dan menampakkan kekayaan di kala ditimpa kefakiran dalam kehidupan. Kedua, Raqhib al-
Asfahani berpendapat bahwa sabar adalah menahan diri berdasarkan apa yang diharuskan oleh
akal dan syariat, atau menahan diri dari apa yang diharuskan oleh keduannya untuk ditahan.
Ketiga, al-Jurjani berpendapat bahwa sabar adalah meninggalkan keluh kesah kepada selain
Allah tentang pedihnya suatu cobaan. Berdasarkan pendapat tersebut, berarti berkeluh kesah
kepada Allah tidaklah bertentangan dengan konsep sabar. Yang bertentangan dengannya adalah
mengeluhkan Allah kepada selain-Nya (Isa, 2014: 225).
Gagasan sabar sebagai menerima apapun garis takdir Tuhan terlihat dalam cerpen
“Kemarau”, yang terwakili oleh tokoh Ustad Somad, seperti berikut:
“Betul. Selain mereka mencap ustad pendusta dan palsu, mereka juga mengancam akan membakar langgar atau merusak rumah ustad kalau dalam satu minggu hujan belum juga turun. Oya, ini yang ingin saya sampaikan kepada ustad dari tadi.”
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
12
Ustad Somad terdiam sebentar kemudian tersenyum” (Kemarau, 95).
Ciri khas Ustad Somad yang selalu tersenyum dalam menghadapi segala cobaan, baik itu
menyenangkan, menyedihkan, ataupun ketika tertimpa musibah, menunjukkan bahwa Ustad
Somad adalah hamba Tuhan yang selalu bersikap sabar dan menerima apa pun garis takdir
Tuhan. Apapun musibah yang datang selalu diterimanya dengan sabar. Ia tidak pernah sekalipun
menyalahkan Tuhan meskipun terkadang hal-hal buruk menghampirinya. Seperti musibah
kemarau panjang yang menimpa desanya dan ujian berupa fitnah yang dituduhkan kepadanya.
Ustad Somad lebih memilih untuk berlapang dada. Melalui gagasan tersebut terlihat adanya
kesamaan pandangan mengenai sabar antara Fudoli Zaini dan syaikh Abdul Qadir Isa (2014:
228) berikut.
“Sabar merupakan separuh dari iman, rahasia kebahagiaan manusia, sumber kekuatan di kala tertimpa cobaan, bekal seorang mukmin saat terjadi beragam bencana dan fitnah yang berkelanjutan, dan senjata seorang sufi dalam melawan hawa nafsunya, membawanya untuk konsisten dalam menjalankan syariat Allah, dan menjaganya dari keterjerumusan ke dalam jurang kebinasaan dan kesesatan.”
Melalui tokoh Ustad Somad dalam kutipan tersebut, Fudoli Zaini juga memperlihatkan
gagasannya yang lain yaitu ujian merupakan bentuk penghapusan keburukan-keburukan manusia.
Fudoli Zaini memperlihatkan bahwa seorang mukmin sejati akan menghadapi semua ujian dan
cobaan dengan sabar dan pasrah bahkan dengan rida dan senang hati. Sebab, dia mengetahui
bahwa musibah itu tidak ditimpakan kepada dirinya oleh penciptanya melainkan untuk
mengampuni dosa-dosa dan menghapus keburukan-keburukannya.
3.6 Syukur (Syakara)
Menurut Syaikh Abdul Qadir Isa (2014: 269) syukur dibagi menjadi tiga, yaitu syukur
lisan dengan membicarakan nikmat Allah, syukur perbuatan dengan bekerja hanya untuk Allah,
syukur hati dengan mengakui bahwa segala nikmat yang ada berasal hanya dari Allah. Ia juga
membagi tingkatan orang-orang bersyukur. Pertama, orang awam hanya bersyukur kepada Allah
atas nikmat. Kedua, orang khawwash bersyukur atas nikmat dan musibah. Ketiga, orang
khawwashulkhawwash tidak memandang nikmat dan musibah tetapi melihat kepada sang
pemberi nikmat.
Gagasan mengenai syukur terdapat dalam cerpen “Kemarau” seperti berikut,
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
13
“Ustad Somad terdiam sebentar. Dalam sujudnya tadi tatkala sembahyang tak dapat ia menahan airmatanya yang tercucur membasahi pipinya. Terlalu besar rasa nikmat Tuhan yang telah dilimpahkan kepadanya. Seorang cucu mungil, yang pada gilirannya akan menggantikannya mengemban amanat hidup ini. Sehabis sembahyang memanjatkan doa yang tanpa disadarinya cukup panjang, tak kuasa juga ia menahan air matanya (Kemarau, 92).
Ustad Somad mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah melalui salat dan doa. Salat
bagi kaum sufi bukan sekadar bentuk ketaatan kepada Tuhan, tetapi semacam kenaikan ke surga,
sebagai mikraj yang membawa mereka dalam kehadiran Tuhan secara langsung. Mereka
menyebut salat dengan kata wasala yang artinya “tiba, bersatu” (Schimmel, 2000: 190).
Melalui tokoh Ustad Somad, Fudoli Zaini mengungkapkan bahwa manusia diciptakan
untuk memuja Tuhan. Maka manusia yang ingin memiliki kedekatan khusus dengan Tuhan serta
membuktikan ketaatan cintanya pasti akan mementingkan salat. Air mata yang mengalir
menunjukkan bahwa Ustad Somad merasa sedang berada di hadapan Tuhan, seperti yang
digambarkan Rumi sebagai berikut:
Ketika mendirikan salat (mereka) berjajar di hadapan Tuhan bagaikan di Hari Kebangkitan, sepenuhnya mawas diri dan dalam bakti. Berdiri di hadirat Tuhan dan berurai air mata, bagaikan seorang yang bangun tegak di (hari) kebangkitan dari kematian (Schimmel, 2000: 193).
3.7 Cinta (Mahabbah)
Menurut Al-Junaid cinta adalah kecenderungan hati, berarti bahwa hati cenderung kepada
Tuhan dan apa yang berhubungan dengan Tuhan, tanpa dipaksa. Sedangkan Abu Abdillah Al-
Nijabi mengatakan bahwa cinta adalah kesenangan jika itu ditujukan kepada makhluk, dan
pembinasaan jika itu ditujukan kepada Pencipta (Kalabadzi, 2002: 107). Yang dimaksud dengan
“pembinasaan” adalah tidak adanya minat pribadi pada diri manusia yang tinggal, cinta semacam
itu terjadi tanpa sebab, dan si pencinta bertahan hanya karena cintanya kepada Tuhan meskipun
tanpa imbalan apapun—tidak melihat surga dan neraka.
Gagasan Fudoli Zaini mengenai cinta sejati adalah cinta kepada Tuhan terlihat dalam
cerpen “Pintu Gerbang” seperti pada kutipan berikut:
“Ia merasa bahwa kata-kata yang seringkali diucapkan orang dalam setiap kotbah itu tak lain adalah mengenai kecintaan, kepasrahan, dan kemesraan kepada-Nya. Dan bahwa kata-kata itu bukanlah momok menakutkan yang dapat membelenggu sekujur tubuh. Ia
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
14
hanya pelahiran isi hati nurani yang bersih, semacam kesetiaan yang sungguh-sungguh dan manis kepada seorang kekasih yang jauh” (Pintu Gerbang, 98).
Melalui kedua kutipan tersebut Fudoli Zaini menggambarkan perasaan cinta hamba
kepada Tuhan melalui tokoh Doli. Bukti kecintaan itu terlihat pada sikap Doli yang selalu
mengutamakan apa-apa yang dicintai Allah atas apa-apa yang dicintainya, baik dalam lahirnya
ataupun dalam batinnya termasuk melawan hawa nafsunya kepada manusia dan hanya
mempersembahkan cinta satu-satunya kepada Tuhan. Ia percaya bahwa cinta kepada sesuatu
selain Allah hanya akan membelenggu jiwa manusia sedangkan mahabbah akan mendekatkan
dirinya kepada Allah dan juga sebaliknya. Maka dalam setiap hal yang dilakukan Doli tidak
pernah sekalipun mengosongkan hatinya dari cinta kepada Allah. Mengenai perasaan saling cinta
antara Tuhan dan hambanya terlihat dalam hadis berikut.
“Jika seorang hamba mendekaatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya sehasta. Jika dia mendekatkan dirinya kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya sedepa. Dan jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan kaki, maka Aku datang kepadanya berlari” (HR. Bukhari).
Melalui tokoh Doli, Fudoli Zaini juga menunjukkan gagasannya bahwa bagi seorang yang
telah sampai pada tahap mahabbah akan membuat manusia lupa mengenai hakikat pahala dan
dosa. Itu artinya, seorang pecinta sejati akan ikhlas mencintai Kekasihnya meski tanpa adanya
imbalan surga. Adanya surga dan neraka sebagai konsekuensi yang harus diperoleh seorang
pecinta sebagai balasan atas cinta kepada-Nya dianggap sebagai sesuatu yang justru dapat
membuat cinta kehilangan kemurniannya. Karena cinta yang sungguh-sunggu tidak akan
mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya. Kondisi kecintaan tanpa pamrih yang
ditunjukkan Fudoli Zaini melalui tokoh Doli, mengingatkan kepada kisah Rabiah al-Adawiyah,
yang mengungkapkan cintanya kepada Tuhan seperti berikut:
Tuhanku, bila aku mengabdi-Mu, karena takut neraka-Mu, campakkanlah aku ke sana. Andaikata aku mengabdi-Mu hanya karena mengejar surga-Mu, jangan beri aku surga. Tapi wahai Tuhanku, bila ternyata aku menyembah-Mu hanya karena kasihku pada-Mu, janganlah tutup wajah-Mu dari pandanganku” (Siregar, 1999: 125).
Cerpen “Pintu Gerbang” juga merupakan simbol yang diciptakan Fudoli Zaini untuk
menunjukkan keimanan seorang pecinta Tuhan.
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
15
“Hari itu ia pergi ke universitas. Di depan pintu masjid, ia berbisik dalam hatinya, “janganlah pintu gerbang dalam dadaku ini runtuh, karena ia adalah gerbang yang telah kubina sejak bertahun-tahun menuju kebahagiaanku” (Pintu Gerbang, 105).
Melalui pintu gerbang sebenarnya ada suatu kekuatan besar yang ingin diperlihatkan
Fudoli Zaini, yaitu kekuatan iman seorang yang telah sampai pada taraf mahabbah. Jika
seseorang telah sampai kepada mahabbah, itu artinya ia telah melaksanakan hakikat. Tinggkat
keimanan seorang yang telah sampai kepada hakikat tentu berbeda dengan tingkat keimanan
seorang yang baru sampai kepada syariat. Maka inilah alasan mengapa Fudoli Zaini lebih
memilih menggunakan simbol pintu gerbang dibandingkan pintu yang lain. Sebab, pintu gerbang
biasanya menggambarkan sesuatu yang besar, megah, dan kokoh, seperti itulah gambaran
kekuatan iman seorang pecinta Tuhan. Selain itu, pintu gerbang juga dapat dimaknai sebagai
batas antara dunia nyata dan alam rohani yang ingin ditempuh seorang pecinta. Cinta atau
mahabbah itu sendiri merupakan pintu gerbang menuju makrifat. Itu artinya, seorang yang telah
sampai pada taraf mahabbah berarti telah sangat dekat dengan makrifat atau penglihatan tentang
Tuhan sedekat jika ia membuka pintu gerbang tersebut.
3.8 Penyatuan (Ittihad)
Paham ittihad adalah keadaan yang menunjukkan seorang sufi dapat menyatu dengan
Tuhan. Di dalam penyatuan tersebut ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang
berasal dari tuhan. Proses ini berangkat dari pembebasan diri alam lahiriah atau dari peniadaan
pribadi dari kesadarannya sebagai insan yang membuat manusia memperoleh jalan kembali
kepada sumber asalnya yaitu Tuhan. Pada poisis ini manusia akan menyatu padu dengan Yang
Tunggal, yang dilihat dan dirasakan hanya satu yaitu Tuhan. Bayazid menyebut keadaan seperti
ini dengan tajrid fana at-tauhid, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun
(Siregar, 1999: 152-153).
Gagasan mengenai ittihad, terlihat pada cerpen “Burung Kembali ke Sarang” seperti
kutipan berikut:
“Meja-meja itu tiba-tiba saja seperti berdebu. Tembok kelabu. Kursi-kursi tegak kaku. Dan di lantai itu, terserak, ia melihat mainan-mainan-Nya. Pada tik-tik air kran ia mendengar bisik-bisik-Nya. Pada judul buku-buku itu, ia melihat nama-Nya. Di cermin itu ia melihat wajah-Nya. Di mata istrinya, ia melihat wajah-Nya. Di tempat tidur ia
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
16
melihat wajah-Nya. Di atas kursi ia melihat wajah-Nya. Dan di bayangannya sendiri ia melihat wajah-Nya! Manakah engkau kasihku?! (Burung Kembali ke Sarang, 34).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa si suami telah sampai pada ittihad atau penyatuan
diri dengan Tuhan yang tergambar jelas dalam kalimat “Di cermin itu ia melihat wajah-Nya. Di
mata istrinya, ia melihat wajah-Nya. Dan di bayangannya sendiri ia melihat wajah-Nya!” itu
menandakan Tuhan berada sangat dekat denganya bahkan ada dalam dirinya. Hal ini tentu sejalan
dengan firman Tuhan, yang berbunyi: “Kemanapun engkau berpaling, di situ wajah Tuhan”
(surah 2: 109).
Gagasan Fudoli Zaini tersebut sejalan dengan paham wahdat al-wujud yang dibawa oleh
Ibn Arabi. Para sufi menggunakan paham tersebut untuk mengungkapkan bahwa antara manusia
dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Menurut paham ini tiap-tiap yang ada
mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar yang disebut al-khalq (makhluk) dan aspek dalam yang
disebut al-haqq (Tuhan). Selanjutnya, paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari kedua
aspek tersebut yang sebenarnya ada dan yang terpenting adalah aspek batin atau al-haqq
sedangkan aspek luar atau al-khalq hanyalah bayangan dari al-haqq (Nata, 1997: 248).
Hal tersebut kemudian menimbulkan paham bahwa antara manusia dan Tuhan sebenarnya
adalah satu kesatuan dari wujud Tuhan, sedangkan wujud manusia adalah fotocopy dari wujud
Tuhan. Jadi, dalam diri manusia ada unsur lahir dan batin, dan pada Tuhan pun demikian. Unsur
lahir manusia adalah wujud fisiknya yang tampak sedangkan wujud batinnya adalah roh atau
jiwanya yang tidak tampak yaitu pancaran atau bayangan Tuhan.
4. Penutup
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis mengenai cerpen-cerpen Fudoli Zaini, terlihat bahwa Fudoli Zaini
menggunakan cerpen sebagai media untuk menyampaikan gagasan tasawuf. Cerpen-cerpen
tersebut lahir dari wujud kontemplasi dan pergulatan batinnya yang mengandung nilai dan pesan
yang dapat dijadikan sumber pengilhaman tentang ajaran tasawuf. Hal ini terlihat dari keenam
cerpen Fudoli Zaini, yaitu “Rindu Hujan”, “Burung Putih”, “Batu-batu Setan”, “Burung Kembali
ke Sarang”, “Kemarau”, dan “Pintu Gerbang”, yang mengandung delapan gagasan sufistik yang
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
17
mengacu pada konsep maqam atau jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk sampai pada
kehidupan rohani. Tahapan-tahapan tersebut terdiri dari tobat, mujahadah, tawakal, zuhud, sabar,
syukur, mahabbah, hingga ittihad (penyatuan). Selain itu, Fudoli Zaini juga menggunakan
simbol-simbol sufistik untuk menguatkan gagasannya mengenai konsep maqam tersebut.
Gagasan serta simbol-simbol yang terdapat dalam keenam cerpen Fudoli Zaini merupakan
salah satu usaha pengarang untuk mengungkapkan pengalaman rohaninya. Hal yang juga banyak
dilakukan oleh pengarang lainnya dengan cara yang berbeda-beda. Pengalaman rohani yang
berbeda-beda tersebut membuat usaha pengungkapan gagasan serta makna di balik simbol-
simbol tidak dapat dipandang sebagai hasil akhir karena sesunggunya makna itu sangat luas dan
dalam, seperti berada di tengah-tengah samudera luas tak bertepi.
4.2 Saran
Diharapkan adanya penelitian lain atas cerpen-cerpen Fudoli Zaini dari berbagai
perspektif atau kemungkinan lain dengan melakukan analisis cerpen menggunakan tasawuf
sebagai alat analisis. Sebenarnya, masih banyak cerpen Fudoli Zaini yang menarik, namun belum
banyak dikaji secara mendalam. Oleh karena itu, penulis mengharapkan peneliti lain untuk
melakukan penelitian terhadap cerpen-cerpen Fudoli Zaini sebagai usaha pengungkapan unsur-
unsur yang terkandung di dalamnya, dan di sisi lain sebagai usaha memperkenalkan sastrawan
yang tidak banyak dikenal tersebut. Selain cerpen Fudoli Zaini, juga masih banyak cerpen
sufistik yang dapat dijadikan bahan penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat
menjadi pintu keluar agar mampu menarik minat peneliti lain untuk melakukan analisis sejenis
terhadap cerpen sufistik lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku
Attar, Fariduddin. 2015. Musyawarah Burung. Terj. Rizal Qomaruddin Azizi. Yogyakarta:
Penerbit Titah Surga.
Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia. Jakarta: Penerbit Kencana
Prenadamedia Group.
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
18
Baqir, Haidar. 2015. Semesta Cinta: Pengantar Kepada Pemikiran Pemikiran Ibn Arabi.
Jakarta: Penerbit Mizan.
Baqir, Haidar. 2015. Belajar Hidup dari Rumi: Serpihan-serpihan Puisi Penerang Jiwa.
Jakarta: Penerbit Mizania.
Braginsky, L. 1993. Tasawuf dan Sastera Melayu: Kajian dan Teks-teks. Jakarta: Pusat
Pembina dan Pengembangan Bahasa dan Universitas Leiden.
Braginsky, V.I. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal. Sejarah Sastra Melayu dalam Abad
7-19. Jakarta: INIS.
Dewan Kesenian Jakarta. 1983. Malam Rumi: Malam Pembacaan Puisi Jalaluddin Rumi
Penyair Tasawuf Terbesar Persia (1207-1273). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Hadi W.M, Abdul. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan
Sufistik. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus.
Hawwa, Sa’id. 1998. Jalan Ruhani: Bimbingan Tasawuf untuk Para Aktivis Islam. Terj.
Khairul Rafie M dan Ibnu Thaha Ali. Bandung: Penerbit Mizan.
Isa, Abdul Qadir. 2014. Hakekat Tasawuf. Terj. Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis.
Jakarta: Qisthi Press.
Kalabadzi, Abu Bakar. 2002. Menggapai Kecerdasan Sufistik: Belajar dari 33 Prinsip Kaum
Sufi. Terj. Rahmani Astuti dan Muhamad Muhajirin. Jakarta: Penerbit Hikmah.
Mahatma, Masmuni. 2010. Bulan di Atas Ka’Bah: Sufistika Jeihan. Bandung: Jeihan Institue.
Mahayana, Maman S. 2015. Kitab Kritik Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Nasr, Sayyid Husein. 1985. Tasauf Dulu dan Sekarang. Terj. Abdul Hadi WM. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Nata, Abuddin. 1997. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nurwahidin. 2011. Tasawuf For All: Kajian Tasawuf Sederhana, Ringkas, untuk Segala
Kalangan. Jakarta: Midada Rahmat Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Saridjo, Marwan. 2006. Sastra dan Agama: Tinjauan Kesusastraan Indonesia Modern
Bercorak Islam. Jakarta: PT Penamadani.
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
19
Schimmel, Annemarie. 2000. Dimensi Mistik dalam Islam. Terj. Sapardi Djoko Damono dan
Achadiati Ikram. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Siregar, H.A. Rivay. 1999. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Zaini, M. Fudoli. 2002. Rindu Padang Ladang Ilalang. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.
Zaini, M. Fudoli. 1994. Batu-Batu Setan. Jakarta: PT Pustaka Firdaus.
Zaini, M. Fudoli. 1983. Potret Manusia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Zazuli, Mohammad. 2011. Syekh Siti Jenar: Mengungkap Misteri dan Rahasia Kehidupan.
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Sumber Artikel
Arfan, Wawan Hamzah. 1991. “Perjalanan Tasauf dalam Kesusasteraan” dalam Harian
Terbit. No. 2921 Th. 12. 5 September.
Damono, Sapardi Djoko. 1983. “Orang-orang Sarungan: Resensi Lagu dari Jalanan” dalam
Tempo. No. 17 Th. XIII. Juni.
Hadi WM, Abdul. 2008. “Sastra Sufi Melayu dan Gemanya dalam Sastra Modern Indonesia”
dalam Horison No.3 Th. XLII.
Herfanda, Ahmad. Y. 1988. “Catatan untuk DR. A. Teeuw: Imaji dan Simbol dalam Lirik-
lirik Sufistik Abdul Hadi WM” dalam Berita Buana No. 164 Th. 16. 1 Maret.
Saroso HN, Oyos. 1994. “Upaya Kembali ke Akar: Resensi Batu-batu Setan” dalam Kompas.
No. 65 Th. 30. 6 September.
Setiawan ZS, Isbedi. 1998. “Sastra Sufistik Menolak Sekularisme: Wawancara dengan Abdul
Hadi WM” dalam Tamtama. No. 29 Thn. 20. 1 Agustus.
Sumber Penelitian
Etir, Masnoddin Sungin B. 1996. Analisis Tema dan Amanat Cerita Pendek dalam Kumpulan
Cerpen Potret Manusia Karya Mohammad Fudoli Zaini sebagai Upaya Pemilihan
Bahan Pengajaran Apresiasi Sastra di SMU. Jakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, FPBS, IKIP.
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
20
Hamzah, Moh. 2008. Dimensi Sufistik dalam Kumpulan Cerpen Batu-batu Setan Karya M.
Fudoli Zaini: Sebuah Kajian Struktural-Hermeneutik. Jakarta: Program Pascasarjana
Universitas Negeri Jakarta.
Maharddhika. 2012. Metafora Sufistik dalam Kacapiring Karya Danarto. Depok: Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Sumber Internet
Anshori, Ahmad. 2014. “Hikmah Melempar Jumrah Adalah Melempar Setan” dalam
https://muslim.or.id/22744-hikmah-melempar-jumrah-adalah-melempar-setan.html (25
September) diakses pada tanggal 17 Mei 2016 pukul 23:00 WIB.
KH. Yafie, Ali. “Syari’ah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah” dalam
http://media.isnet.org/kmi/islam/Paramadina/Konteks/TasawufAY.html diakses pada
tanggal 24 April 2016 pukul 08:02 WIB.
Nasution, Harun. “Tasawuf” dalam
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/TasawufHN1.html diakses pada
tanggal 19 April 2016 pukul 23:38 WIB.
Romdlon, Nur. 2015. “Sejarah Melempar Jumrah Perlawanan Keluarga Ibrahim Terhadap
Setan” dalam https://www.brilio.net/news/sejarah-melempar-jumrah-perlawanan-
keluarga-ibrahim-terhadap-setan-150924d.html (24 September) diakses pada tanggal 17
Mei 2016 pukul 23:25 WIB.
Salim, Hairus. 2012. “Mohammad Fudoli dari Pesantren ke Cerpen” dalam
http://www.nu.or.id/post/read/35892/Mohammad-fudoli-dari-pesantren-ke-cerpen (17
Januari) diakses pada 22 Maret 2016 pukul 10.00 WIB.
Wicaksono, Amanullah Ginanjar. 2015. “Syekh Siti Jenar: Sufi, Syiah, atau Korban Salah
Paham?” dalam http://koranopini.com/sandrela/religi/membongkar-identitas-syekh-siti-
jenar (8 Mei) diakses pada 25 April 2015 pukul 09:52 WIB.
Gagasan dan ..., Zeni Afifah, FIB UI, 2016
Recommended