View
154
Download
10
Category
Preview:
Citation preview
PENGATURAN PROTEIN PADA PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIS
Pembimbing:
Prof. Dr. dr. Harun Al Rasjid, Sp.PD, Sp.GK
Oleh:
Alfina Rahmina R.D. 080100052
Sheila Nabila Asepty 080100116
Ardiana Annisa 080100171
Dira Wahyuni Siregar 080100174
Shalini Shanmugalingam 080100402
DEPARTEMEN ILMU GIZI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012
KATA PENGANTAR
ii
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia
dan rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang
pengertian gagal ginjal kronis, cara mendiagnosa, serta tatalaksana pasien dengan
gagal ginjal terutamanya pengaturan diet protein yang optimal bagi para
penderita.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff pengajar Departemen
Ilmu Gizi terutama Prof. Dr. dr. Harun Al Rasjid, Sp.PD, Sp.GK atas segala
bantuan yang telah diterima selama penyusunan makalah ini. Penulis menyadari
bahwa penulisan makalah ini masih memiliki kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karenanya,
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.
Medan, 13 Juni 2012
Penulis
DAFTAR ISI
iii
KATA PENGANTAR.......................................................................................................iii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................6
1.1. Latar Belakang......................................................................................6
1.2. Tujuan Penulisan...................................................................................7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................8
2.1. Gagal ginjal kronis................................................................................8
2.1.1. Definisi................................................................................................8
2.1.3. Klasifikasi...........................................................................................8
2.1.4. Etiologi.....…………………………………………………......9
2.1.5. Patogenesis.........................................................................................9
2.1.6. Gejala Klinis.......................................................................................11
2.1.7. Patofisiologi.....................................................................................11
2.1.8. Diagnosa …………………………………………....................13
2.1.9. Terapi Diet Rendah Protein...........................................................16
2.1.10. Prognosis........................................................................................19
BAB 3 KESIMPULAN & SARAN.................................................................................20
3.1. Kesimpulan.........................................................................................20
3.2. Saran....................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................22
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi
yang progresif dan irreversible karena kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit
(Siregar, 2011 ). Penyakit ini merupakan sindrom klinis yang terjadi pada stadium
gagal ginjal yang dapat mengakibatkan kematian kecuali jika dilakukan terapi
pengganti (Soeparman, 2003). Meningkatnya angka kegemukan, diabetes dan
tekanan darah tinggi sangat mempengaruhi peningkatan resiko gagal ginjal.
Pasien didiagnosa gagal ginjal kronis di seluruh dunia diestimasi sebanyak 1,1
juta setiap tahun dan jumlah ini meningkat sebanyak 7% setiap tahun (Mahon A.,
2006). Jika angka kejadian gagal ginjal kronis berterusan seperti ini, angka
kejadian gagal ginjal kronis akan melebihi 3 juta sebelum tahun 2015 (Xue J.,
2001) dan (Kua H.W., 2007). Penyebab paling sering gagal ginjal kronis adalah
diabetik nefropati (Mahon A., 2006). Menurut data National Kidney Foundation
yang dirilis pada tahun 2008 menyatakan insidensi dan pervalansi gagal ginjal
kronis di seluruh dunia dan Amerika semakin meningkat dan pasien gagal ginjal
kronis sangat membutuhkan terapi diet protein berbanding terapi farmakologi
karena terapi farmakologi hanya dapat menterapi simptomatik pasien gagal ginjal
kronis.
Menurut Annual Data Report United States Renal Data System yang dirilis pada
tahun 2009, memperkirakan prevalensi gagal ginjal kronis mengalami
peningkatan hampir dua kali lipat dalam kurun waktu tahun 1998-2008. Hal
5
tersebut juga terjadi di Indonesia yaitu diperkirakan mengalami peningkatan
sebesar 8 % tiap tahun. Data yang diterima dari RSU dr. Soetomo Jakarta pada
tahun 2004-2006, diperkirakan tiap tahun ada 2.000 pasien baru dengan kasus
gagal ginjal. Dari data tersebut didapat bahwa sekitar 60-70% dari pasien tersebut
berobat dalam kondisi sudah masuk tahap gagal ginjal terminal sehingga pasien
harus bergantung pada mesin cuci darah (hemodialisis) seumur hidup (Winata,
2007).
Berdasarkan hasil survei Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
tahun 1990 sampai 1992 menunjukkan bahwa 13% dari sekitar 50.000 orang
pasien rawat inap di rumah sakit di seluruh Indonesia menderita gagal ginjal.
Penderita gagal ginjal akhir/terminal di Indonesia bertambah sekitar 100 orang
pasien setiap 1 juta penduduk/tahun dan hanya 3000 orang yang menjalani terapi
dialisis dari 150 ribu orang penderita gagal ginjal di Indonesia saat ini (Sapri,
2004).
Penyakit ginjal tahap akhir biasanya ditandai dengan test klirens kreatinin rendah.
Penderita dengan test klirens kreatini <15 ml/menit dianjurkan untuk menjalani
terapi pengganti, salah satunya adalah dengan dialisis. Tindakan dialisis
merupakan salah satu cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup pasien
bertujuan menurunkan kadar ureum, kreatinin dan zat toksik lainnya dalam darah
(Siagian, 2010).
Penanganan penyakit gagal ginjal seperti sebuah tindakan dalam fungsinya, yang
umumnya tidak hanya satu, tetapi banyak komponen nutrisi yang perlu dikontrol
(Siagian, 2010).Salah satunya pengaturan pola makan atau diet pada penderita
gagal ginjal. Pengobatan ini merupakan anjuran yang harus dipatuhi oleh setiap
penderita gagal ginjal selain terapi dialisis/cuci darah atau transplantasi ginjal.
Pentingnya pengaturan pola konsumsi pangan penderita gagal ginjal dilakukan
6
untuk membantu mengurangi kerja ginjal yang tidak dipatuhi dapat meningkatkan
angka mortalitas pasien gagal ginjal (Lumenta, 1992).
Terapi nutrisi pada penderita gagal ginjal dapat digunakan sebagai terapi
pendamping (komplementer) utama dengan tujuan mengatasi racun tubuh,
mencegah terjadinya infeksi dan peradangan, dan memperbaiki jaringan ginjal
yang rusak. Caranya adalah diet ketat rendah protein dengan kalori yang cukup
untuk mencegah infeksi atau berkelanjutannya kerusakan ginjal. Kalori yang
cukup agar tercapainya asupan energi yang cukup umtuk mendukung kegiatan
sehari-hari, dan berat badan normal tetap terjaga (Siagian, 2010).
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat
kelulusan di dalam Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Selain itu, makalah ini juga dapat digunakan sebagai panduan klinisi dalam
mengidentifikasi, mendiagnosa terutamanya terapi diet protein pada pasien
dengan gangguan ginjal kronis.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali
dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan
cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau
produksi urin ( Siregar, 2010).
Menurut Brunner & Suddath (2001), gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap
akhir merupakan gangguan funggsi renal yang progresif dan irreversible. Dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan
cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam tubuh).
Klasifikasi
The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) mengklasifikasikan
gagal ginjal kronis sebagai berikut :
Stadium 1 : kerusakan masih normal (GFR >90 mL/min/1.73 m)
Stadium 2 : ringan (GFR 60-89 mL/min/1.73 m)
Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 mL/min/1.73 m)
Stadium 4 : gagal berat (GFR 15-29 mL/min/1.73 m)
Stadium 5 : gagal ginjal terminal (GFR <15 mL/min/1.73 m)
Pada gagal ginjal kronis tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan
ginjal termasuk komposisi darah yang abnormal atau urin yang abnormal
(Arora, 2009).
8
Etiologi
Angka perjalanan ESRD hingga tahap terminal dapat bervariasi dari 2-3 bulan
hingga 30-40 tahun. Penyebab gagal ginjal kronik yang tersering dapat dibagi
menjadi tujuh kelas seperti table berikut ini ( Brunner & Suddarth, 2001).
No Klasifikasi Penyakit Penyakit
1 Penyakit infeksi tubule interstitial Pielonefritis kronis dan refluks nefropati
2 Penyakit peradangan Glomerulonefritis
3 Penyakit vascular hipertensi Nefrosklerosis benign, Nefrosklerosis maligna
dan stenosis arteri renalis
4 Gangguan congenital dan
herediter
Penyakit ginjal polikistik dan asidosis tumulus
ginjal
5 Penyakit metabolic Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme dan
amiloidosis
6 Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesic dan nefropati timah
7 Nefropati obstruktif Batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal,
hipertropi prostat, striktur urethra
Patogenesis
Gagal ginjal kronis adalah kehilangan progresif diassosiasi dengan penyakit
sistemik seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit ginjal intrinsik
termasuk glomerulonefritis, pielonefritis kronik, uropati obstruksi atau
gangguan vaskuler (Hueter S.E., 2010) dan ( Bargman J.M., 2008).
National Kidney Foundation mendefinisikan gagal ginjal apabila filtrasi
glomerulus sudah kurang dari 60ml/min/1.73 m2 untuk 3 bulan atau lebih
(Alpers. C. E., 2010) dan (Yaqoob M., 2005). Gagal ginjal kronis penurunan
filtrasi glomerulus dan fungsi tubular dengan perubahan dimanifestasi
seluruh sistem organ (Bargman J.M., 2008).
9
Hipertensi dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis dimana kondisi
hipertensi dapat merusak langsung nefron karena kondisi hipertensi akan
menyebabkan perfusi ke ginjal berkurang sehingga menyebabkan iskemia
(Hueter S.E., 2010), (Yaqoob M., 2005) dan (Bargman J.M., 2008).
Kehilangan nefron akan menyebabkan peningkatan angiotensin II akibat
kurang perfusi akan menyebabkan sel juxtaglomerulus untuk mengeluarin
renin yang akan mengaktifkan angiontensin II (Hueter S.E., 2010) dan
(Bargman J.M., 2008). Semua ini akan menyebabkan hipertensi kapilari
glomerulus dan menyebabkan peningkan filtrasi dan permeabilitas di
glomerulus sehingga dapat menyebabkan proteinuria (Hueter S.E., 2010) dan
(Bargman J.M., 2008). Kondisi proteinuria akan meningkatkan reabsorpsi
protein di tubular yang akan menyebabkan inflammasi dan fibrosis
tubulointerstitial (Hueter S.E., 2010) dan (Bargman J.M., 2008). Semua ini
akan menyebabkan jaringan parut di ginjal dan jika kondisi ini tidak dirawat
akan menyebabkan filtrasi glomerulus menurun (Hueter S.E., 2010) dan
(Bargman J.M., 2008).
Diabetes mellitus adalah kondisi hiperglikemia dimana tubuh akan
menggantikan jalur metabolisme glukosa karena kadar glukosa yang tinggi
dalam darah dan ketidakmampuan untuk metabolisme glukosa mengikut jalur
glikolisis (Alpers. C. E., 2010) dan (Bargman J.M., 2008). Glukosa
dimetabolisme melalui beberapa jalur, namun metabolisme melalui beberapa
jalur ini akan menyebabkan peningkatan radikel bebas sehingga menyebabkan
terjadi arterioskelerosis di pembuluh darah terutamanya pembuluh darah kecil
di mata dan di ginjal sehingga dapat menyebabkan hipertensi kapilari
glomerulus juga ( Hueter S.E., 2010) dan (Alpers. C. E., 2010).
Penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis, pielonefritis kronik,
uropati obstruksi atau gangguan vaskuler dapat menyebabkan gagal ginjal
10
kronik karena semua ini dapat menyebabkan hipertensi kapilari glomerulus
(Hueter S.E., 2010), (Ortega L.M., 2010) dan (Bargman J.M., 2008).
Gejala klinis
Gejala klinis gagal ginjal kronis (GGK), dari bagian otak gagal ginjal kronis
dapat menyebabkan letargi, kejang, koma (Hueter S.E., 2010), (Bargman
J.M., 2008), (Sakai N, 2010) dan (Ortega L.M., 2010). Manakala pada mata
akan muncul gejala mata merah pada pasien GGK (Hueter S.E., 2010) dan
(Bargman J.M., 2008). Gejala dari hidung dapat timbul pada pasien GGK
adalah epistaksis (Hueter S.E., 2010) dan (Bargman J.M., 2008). Manakala
pada kulit pasien GGK biasa kelihatan pigmentasi sallow, petekie dan
eksoriasi akibat gatal-gatal di kulit(Hueter S.E., 2010) dan (Bargman J.M.,
2008) . Pasien GGK juga akan terjadi pernafasan Kussmaul (Hueter S.E.,
2010) dan (Bargman J.M., 2008). Pasien GGK juga akan mengeluhkan
kelemahan otot serta bengkak pada ekstremitas (Hueter S.E., 2010). Pasien
juga akan kelihatan pucat dan lelah (Robinson B.E., 2006) dan (Hueter S.E.,
2010).
Patofisiologi
Letargi, kejang dan koma terjadi pasien GGK karena uremik ensefalopati
dimana terjadi gangguan filtarsi ureum sehingga ureum yang tinggi didalam
darah yang melewati sawar otak karena ureum (Hueter S.E., 2010), (Bargman
J.M., 2008), (Sakai N, 2010) dan (Ortega L.M., 2010) .
Gejala mata merah dan epistaksis adalah akibat kegagalan aggregasi platelet
di endothelium vasuler karena kadar uremia dalam daerah (Hueter S.E.,
2010), (Filiopoulos V., 2009), (Bargman J.M., 2008) dan (Robinson B.E,
2006)
11
Penurunan filtrasi glomerulus ginjal 25 % atau lebih akan menyebabkan
gangguan metabolisme kalsium dan fosfat (Hueter S.E., 2010), (Chonchol
M.B., 2006) dan (Bargman J.M., 2008). Sintesa 1,25-vitamin D3 (calcitriol)
yang meurun akan menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di intestinal
serta terjadi peningkatan serum fosfat yang akan berikatan kalsium akibat
penurunan filtrasi glomerulus ginjal (Hueter S.E., 2010) dan (Choncol M.B.,
2006). Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya hipokalsemia dimana terjadi
peningkatkan stimulasi sekresi hormon paratirioid untuk memobilisasi
kalsium dari tulang (Hueter S.E., 2010), (Chonchol M.B., 2006) dan
(Bargman J.M., 2008). Kondisi hiperparatirioid dan defisiensi vitamin D
dapat menyebabkan osteomalascia dan fibrosa osteitis dimana terjadi
peningkatan faktor resiko terjadinya fraktur (Hueter S.E., 2010) dan
(Chonchol M.B., 2006). Kondisi ini juga dapat menyebabkan nyeri tulang
karena osteomalascia yaitu perlunakkan tulang sehingga dapat menyebabkan
kelemahan otot (Hueter S.E., 2010) dan (Chonchol M.B., 2006) Residue
hiperparatirioid dan ureum yang disebut sebagai uremic frost akan
menyebabkan iritasi pada nociceptor sehingga impuls dihantar ke talamus
melewati syaraf C dan diinterpretasi di somatosensensori sebagai rasa gatal
(Hueter S.E., 2010) dan (Bargman J.M., 2008). Ureum juga akan
berakumulasi di kulit membentuk urokrom sehingga menyebabkan pigmentasi
sallow pada kulit pasien GGK (Hueter S.E., 2010) dan (Bargman J.M., 2008).
Pada pasien GGK terjadi asidosis metabolik karena kadar ureum yang tinggi
sehingga ini akan dikompensasi oleh tubuh dengan menurunkan kadar CO2 di
dalam darah maka pusat pernafasan akan merangsang otot pernafasan untuk
meningkatkan kontraksi sehingga terjadi pernafasaan cepat dan dangkal yaitu
pernafasan Kussmaul (Hueter S.E., 2010) dan (Bargman J.M., 2008) .
Bengkak atau edema pada ekstremitas terjadi akibat penurunan filtrasi
glomerulus sehingga ekskresi natrium juga menurun ini akan menyebabkan
12
tekanan osmotik meningkat sehingga menyebabkan cairan dari pembuluh
darah keluar ke interstitial dan edema ini lebih parah pada ekstremitas bawah
karena dipengaruhi tekanan gravitas (Hueter S.E., 2010), (Filiopoulos V.,
2009) dan (Bragman J.M., 2008).
Gagal ginjal kronik akan menyebabkan kegagalan produksi hormon
eritropoetin sehingga sum-sum tulang tidak dirangsang untuk produksi
eritrosit dan kondisi ini dapat menyebabkan anemia (Bragman J.M., 2008) dan
(Robinson B.E., 2006).
Diagnosa
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus
(Fritiwi, 2010).
Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan menanyakan keluhan pasien, biasanya pasien
GGK mengeluhkan nafsu makan menurun, sesak sepanjang hari dan tidak
dipengaruhi oleh cuaca atau aktivitas (Bragman J.M., 2008). Pada anamnesis
juga perlu ditelurusi riwayat hipertensi, diabetes mellitus, preeclampsia serta
riawayat penggunaan obat-obatan harus ditelerusi (Hueter S.E., 2010). Obatan
yang dapat menyebabkan gangguan ginjal adalah seperti golongan NSAID,
antimikroba, antiviral, PPI, lithium, penicillamine (Bragman J.M., 2008).
Evaluasi sindroma uremik harus ditelerusi tentang nafsu makan, penurunan
berat badan, mual, edema perifer, spasme otot, gatal-gatal di kulit (Bragman
J.M., 2008).
13
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus fokus pada tekanan darah dan organ target yang rusak
akibat hipertensi (Bragman J.M., 2008). Pemeriksaan fisik dimulai dengan
inspeksi, palpasi dan perkusi (Bragman J.M., 2008). Pada inspeksi pasien
GGK, akan didapati mata merah, pasien kelihatan pucat, pasien kelihatan
lemah, adanya pigmentasi sallow di kulit, ada petekie, pernafasaan cuping
hidung, retraksi dada, bengkak pada ekstremitas bawah (Bragman J.M., 2008).
Pada palpasi pasien GGK dapat ditemukan adanya pitting edema (Bragman
J.M., 2008). Pada perkusi pasien GGK akan didapati hasil yang normal
(Bragman J.M., 2008).
Tanda Karakteristik :
-Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) selama periode mulai dari jam
hingga hari.
-Kegagalan mengekskresikan produk limbah nitrogen
-Kegagalan untuk menjaga cairan dan elektrolit homeostasis
(Dursun, Edlestein, 2005)
Penilaian dimulai dari anmnesis lengkap baik auto maupun allo-anamnesis,
ditanyakan bukan hanya keluhan utama penyakit tetai juga riwayat penyakit
yang pernah diderita, riwayat obat-obatan yang digunakan, riwayat
perjalanannya atau lingkungannya, riwayat makan atau minum sebelumnya
dan riwayat kenapa sampai terjadi adanya infeksi ini. Yang tak kalah penting
juga perlu ditanyakan pemakaian prothese seperti katup jantung, kapsul sendi,
lensa tanam, pacu jantung, graft pembuluh darah dan lain-lain. Hal ini karena
sering terjadi interaksi antara benda asing tersebut dengan bakteri maupun
antibodi usila yang menimbulkan infeksi misalnya pada endokarditis
bakterial, artritis terinfeksi. (Sudoyo, 2009).
14
Pemeriksaan fisis lengkap perlu dilakukan organ-perorgan secara teliti,
termasuk keadaan gigi, hidung, telinga dan tenggorokan sampai colok dubur
atau vagina pada wanita. (Sudoyo, 2009).
Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat
penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan
penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup
memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK).
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis.
3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit.
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin,
dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk
faal ginjal (LFG).
Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,
yaitu:
1) Diagnosis etiologi GGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut,
ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi
antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).
15
2) Diagnosis pemburuk faal ginjal.
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan
ultrasonografi (USG). (Fritiwi, 2010).
Pencitraan
Pencitraan yang penting untuk pasien GGK adalah ultrasound (USG)
ginjal, dengan menentukan apakah kedua ginjal simetris, saiz ginjal,
apakah ada massa di ginjal dan apakah adanya obstruksi (Bragman
J.E., 2008). Pada pasien GGK, akan terjadi atropi ginjal dan jika saiz
masih normal berarti masih penyakit gagal ginjal akut (Bragman J.E.,
2008). Namun pada pasien GGK yang disebabkan oleh diabetik
nefropati, terjadi pembesaran ginjal sebelum terjadi GGK dan
kemudian terjadi penurunan filtrasi glomerulus dan pada kondisi GGK
saiz ginjal adalah normal (Alpers C.E., 2010). Pemeriksaan CT Scan,
MRI dapat dilakukan jika dicurigai adanya massa di ginjal namun
harus dielakkan pemakaian kontras karena ini dapat memperburukan
kondisi gagal ginjalnya (Alpers C.E., 2010).
Biopsi ginjal
Biopsi ginjal ini dilakukan biasanya dengan bantuan USG dan indikasi
biopsi ginjal apabila nefritis interstitial, penurunan filtrasi glomerulus
secara cepat serta jika adanya massa di ginjal (Alpers C.E., 2010).
Terapi diet rendah protein
Diet rendah protein ditujukan untuk mencapai imbangan nitrogen yang
positip. Metabolisme protein dapat disokong dengan pemberian protein yang
mengandung asam amino essensial secara cukup. Pemberian asam amino
essensial dapat dilakukan dengan diet protein nilai biologik tinggi atau
pemberian substitusi semi sintetik. Di samping itu harus diberi kalori yang
16
cukup, yang pada umumnya dapat diberi dalam bentuk glukosa cair (Sidabutar
R.P., 2002).
Asupan protein disesuaikan dengan derajat ganguan fungsi ginjal/ laju filtrasi
glomerulus kurang dari 25%, berdasarkan berbagai hasil- hasil penelitian di
dapatkan bahwa pada GGK di perlukan peranan asupan protein sampai 0,5-
0,6 gr/kg BB/hari, rata- rata 0,5 gr / kg BB/ hari agar tercapai keseimbangan
metabolisme protein yang optimal. Dari protein 0,5 gr/kg BB/hari ini
hendaknya diusahakan sekurang-kurangnya 60% atau 0,35 gr/kg BB/ hari
berupa protein dengan nilai biologik tinggi. Protein dengan nilai biologik
tinggi adalah protein dengan susunan asam amino yang menyerupai aturan
amino essensial dan pada umumnya berasal dari protein hewani (susu, telur,
ikan, unggas, daging tidak berlemak) (Sunita A., 2004).
Pada stadium IV dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang berat tetapi
belum menjalani terapi pengganti dialisis biasa disebut kondisi pre dialisis.
Umumnya pasien diberikan terapi konservatif yang meliputi terapi diet dan
medikamentosa dengan tujuan mempertahankan sisa fungsi ginjal yang secara
perlahan akan masuk ke stadium V atau fase gagal ginjal. Status gizi kurang
masih banyak dialami pasien GGK. Faktor penyebab gizi kurang antara lain
adalah asupan makanan yang kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan,
mual dan muntah (Kresnawan T., 2008).
Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian
melalui monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh
tim kesehatan. Pada dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri
dari dokter, perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan lain diperlukan agar
terapi yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care)
betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi
optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangan cairan dan
17
elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik
(Kresnawan T., 2008).
Protein dibuat dari 20 asam amino penyusun protein, 11 diantaranya dapat
disintesis oleh tubuh, dan 9 sisanya disebut asam amino esensial yang
diperoleh dari bahan makanan, yaitu Leusin, Isoleusin, Valin, Triptofan,
Fenilalanin, Metionin, Treonin, Lisin dan Histidin. Dari asam amino, 8
diantaranya dibutuhkan oleh orang dewasa, sedangkan Histidin dibutuhkan
oleh anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Bahan makanan yang
mengandung semua asam amino disebut lengkap protein, seperti telur, daging,
ikan, susu, unggas, keju. Oleh karena itu, protein hewani biasa disebut sebagai
protein bernilai biologi tinggi. Bahan makanan nabati, misalnya beras dan
kacang-kacangan, mengandung asam amino esensial yang terbatas atau tidak
lengkap. Oleh karena itu, dikatakan mengandung protein bernilai biologi
rendah (Kresnawan T., 2008).
Metode penilaian kualitas protein dahulu menggunakan Protein Efficiency
Ratio (PER) yang berdasarkan respon pertumbuhan pada pemberian sejumlah
protein. Saat ini, penilaian mutu protein digunakan Protein Digestibility
Corrected Amino Acid Score (PDCAAS) yang menggambarkan jumlah asam
amino dari protein dan tingkat daya cernanya pada manusia. Sumber protein
dari kacang-kacangan dan produk kedelai, seperti tempe, tahu, susu acang
juga mengandung kalium dan fosfor yang cukup tinggi, sehingga untuk
mencegah hiperkalemia dan hiperfosfatemia tetap dibutuhkan pengikat fosfor
dan kalium yang adekuat. Produk kedelai cukup aman untuk selingan
pengganti protein hewani sebagai variasi menu dengan jumlah sesuai anjuran.
Akan tetapi tidak untuk suplemen atau tambahan sehingga melebihi
kebutuhan. Susu kacang kedelai dapat pula digunakan sebagai pengganti susu
sapi. Hal positif yang didapat dari protein nabati adalah mengandung
18
phytoestrogen yang disebut isoflavon yang memberikan banyak keuntungan
pada GGK (Sunita A., 2004).
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan didapati protein dari kedelai dapat
menurunkan proteinuria, hiperfiltrasi, dan proinflamato cytokines yang
diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi ginjal lebuh lanjut.
Penelitian lain mengenai diet dengan protein nabati pada pasien GGK adalah
dapat menurunkan ekresi urea, serum kolesterol total dan LDL sebagai
pencegah kelainan pada jantung yang sering dialami pada pasien GGK
(Kresnawan T., 2008).
Prognosis
Angka kematian gagal ginjal kronis setiap tahun di seluruh dunia 100,000 dari
1 juta penderita gagal ginjal kronis (Bragman J.M., 2008). Prognosis gagal
ginjal kronis tergantung pada penyakit penyerta namun kematian pasein gagal
ginjal kronis bukan karena filtrasi ginjal yang menurun karena pasien fungsi
filtrasi ginjal dapat diganti oleh dialysis (Yaqoob M., 2005). Prognosis gagal
ginjal kronis juga bergantung pada usia pasien serta kondisi ginjalnya sendiri
(Levey A.S., 2010). Kebanyakkan pasien gagal ginjal kronis mati disebabkan
imun tubuh rendah dan pasien mendapat infeksi nasokomial sehingga menjadi
sepsis (Levey A.S., 2010). Semua pasien gagal ginjal kronis tidak dapat
kembalikan fungsi ginjalnya seperti normal dan hanya bisa melakukan
dialysis untuk menggantikan fungsi ginjalnya (Bragman J.M., 2008).
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
19
Kesimpulan
Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali
dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan
cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau
produksi urin ( Siregar, 2010). Gagal ginjal kronis adalah kehilangan progresif
diassosiasi dengan penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, hipertensi,
penyakit ginjal intrinsik termasuk glomerulonefritis, pielonefritis kronik, uropati
obstruksi atau gangguan vaskuler (Hueter S.E., 2010) dan ( Bargman J.M.,
2008). The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI)
mengklasifikasikan gagal ginjal kronis 5 stadium yaitu; stadium 1 : kerusakan
masih normal (GFR >90 mL/min/1.73 m), stadium 2 : ringan (GFR 60-89
mL/min/1.73 m), stadium 3 : sedang (GFR 30-59 mL/min/1.73 m), stadium 4 :
gagal berat (GFR 15-29 mL/min/1.73 m), stadium 5 : gagal ginjal terminal (GFR
<15 mL/min/1.73 m). Gejala klinis pada pasien GGK adalah letargi, kejang,
penurunan kesadaran, mata merah, epistaksis, gatal-gatal di kulit, pigmentasi
sallow di kulit, nafas yang berbau, pucat, mudah lelah, pernafasaan Kussmaul,
kelemahan otot, dan bengkak pada ekstremitas (Bragman J.M., 2008). Diagnosis
GGK yang dilakukan adalah anamesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, pencitraan dan biopsi ginjal dan yang penting menegakkan
diagnosis GGK adah tes kliren kreatinin (TKK) itu seharusnya kurang dari 25
ml/menit (Hueter S.E., 2010). Terapi konservatif diberikan pada pasien gagal
ginjal kronis yaitu diet dan obat diberikan jika TKK < 25 ml/menit (stadium IV)
(Kresnawan T., 2008). Diet yang diberikan adalah rendah protein dan cairan
serta elektrolit harus disesuaikan dengan pasien (Kresnawan T., 2008) . Diet
rendah protein , sumber protein sebagai lauk pauk tidak hanya bersumber dari
protein hewani, dapat digunakan hasil olahan kedelai untuk pengganti sumber
protein hewani sebagai variasi menu (Kresnawan T., 2008). Asupan protein yang
20
konsisten dan terkendali adalah penting untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien (Kresnawan T., 2008).
Saran
Pasien harus segera melakukan pemeriksaan jika pengeluran urin sudah mulai
kurang walaupun intake banyak. Pasien gagal ginjal kronik yang diterapi
dengan diet protein rendah harus mengikutin diet tersebut supaya kualitas
hidup pasien dapat tingkatkan. Pasien gagal ginjal kronis juga harus
membatasi garam dan air supaya tidak menyebabkan komplikasi gagal
ginjalnya. Pasien gagal ginjal kronis juga harus mengambil suplemen
piridoksin, asam folat, vitamin C dan vitamin D supaya dapat memperbaiki
kualitas hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
21
Alpers. C. E., 2010. The Kidney. In: Kumar V., Abbas A.K., Fausto N., Aster J.C.,
Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease 8th edition.
Philadelphia:Elsevier Saunders, 904-935.
Arora, P., 2009. Chronic Renal Failure. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview [10 Juni 2012].
Bargman J.M., Skorecki K., 2008. Chronic Kidney Disease. In: Fauci A.S., Braunwal
E., Kasper D.L., Hauser S.L., Longo D.L., Jameson J.L., Loscalzo J.,
Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th edition. New York: Mc Graw-
Hill, 1761-1781.
Brunner & Suddarth., 2001. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah (terjemahan,
volume II). Jakarta : ECG.
Chonchol M.B., 2006. Secondary Hyperparathyroidism in Chronic Kidney Disease.
US Renal & Genito-urinary Disease. 3(1): 11-15.
Dursun, B., Edelstein, C.L. Acute Renal Failure. Core Curicullum in Nephrology.
Available from:
http://www.uphs.upenn.edu/renal/renal%20curr%20pdfs/ARF.pdf [Accessed
on 10 juni 2012].
Filiopoulos V., Vlassopoulos D., 2009. Inflammatory Syndrome in Chronic Kidney
Disease: Pathogenesis and Influence on Outcomes. Journal Inflammation &
Allergy-Drug Targets. 8(1): 369-382.
Fritiwi., 2010. Hubungan Kepatuhan Pasiaen Hemodialisa dengan Perilaku
Terhadap Penyakit Gagal Ginjal. Universitas Sumatera Utara. Available
22
from: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16742/.../Chapter%20II.pdf
[Accessed on 05 Juni 2012].
Huether S.E., Forshee B.A., 2010. Alterations of renal and urinary tract function. In:
McCance K.L., Huether S.E., Brashers V.L., Rote N.S., Pathophysiology the
biologic basis for disease in Adults and Children 6th Edition. Philadelphia:
Elsevier Mosby, 1389-1396.
K/DOQI., 2009. The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the
National Kidney Foundation (NKF). Diunduh dari:
http://www.kdigo.org/guidelinescompare/kdoqi.html [10 Juni 2012].
Kuo W.H., Tsai S.S., Tiao M.M., Yang C.Y., 2007. Epidemiological Features of
CKD in Taiwan. American Journal of Kidney Disease. 49(1): 46-55.
Levey A.S., Jong P.E., Coresh J., Nahas M.E., Astor B.C., Matsushita K., et.al.,
2010.The definition, classification and prognosis of chronic kidney disease: a
KDIGO Controversies Conference report. Journal International Society of
Nephrology. 7(1): 1-12.
Lumenta., Nico., et al. 1992. Penyakit Ginjal. Penerbit PT. BPK Gunung Mulia.
Mahon A., 2006. Epidemiology and Classification of Chronic Kidney Disease and
Management of Diabetic Nephropathy. Journal European Endocrine Review.
3(2): 33-36.
Ortega L.M., Fornoni A., 2010. Role of cytokines in the pathogenesis of acute and
chronic kidney disease, glomerulonephritis, and end-stage kidney disease.
International Journal of Interferon, Cytokine and Mediator Research. 2(1):
49-62.
23
Robinson B.E., 2006. Epidemiology of Chronic Kidney Disease and Anemia.
Journal American Medical Directors Association. 7(1): 53-56.
Sakai N., Furuichi K., Shinozaki Y., Yamauchi H., Toyama T., Kitajima S., et.al.,
2010. Fibrocyte are involved in the pathogenesis of human chronic kidney
disease. Journal of Human Pathology. 41(5): 672-678.
Sapri, A., 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan dalam Mengurangi
Asupan Cairan pada Penderita GGK yang menjalani Hemodialisa di RSUD
Dr. H. Abdul Moelek Bandar Lampung. Diunduh dari:
http://www.dostoc.com/docs/6849068/Asuhan-Gagal-Ginjal-Kronik [10 Juni
2012].
Siagian., Albiner., et all. 2010. Gambaran Pola Makan Pasien Gagal Ginjal Kronis
yang Menjalani Hemodialisa Rawat Jalan di RSUD Dr. Pirngadi Medan
Tahun 2009. Diunduh
dari: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/17722 [10 Juni 2012].
Siregar, C., 2010. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien
Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Terapi Hemodialisa di RSUP Haji Adam
Malik Medan. Diunduh
dari: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/20218 [10 Juni 2012].
Siregar, C., 2011. Hubungan Peran Perawatan Pelaksana dengan Kualitas Hidup
Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Terapi Hemodialisa di RSUP
Haji Adam Malik Medan. Diunduh
dari: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27526 [10 Juni 2012].
Soerparman. 2003. Ilmu Penyakit Dalam JiliD II. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
24
Sudoyo, W.A., 2009. Gagal Ginjal Dalam : Sudoyo W.A., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing:
886-887.
Winata, S., 2007. Informasi Penyakit Ginjal. Diunduh dari:
http://www.geocities.com/sonnywinata/informasi_ginjal.html [10 Juni 2012].
Xue J., Ma J., Chin Y.E., Wong S.H., Tai T., 2007. A forecast of numbers of
patients with end-stage renal disease in the United States to the year 2010,
Journal Am. Soc. Nephrol. 12(3): 2753-2758.
Yaqoob M.,2005. Renal Disease In: Kumar P., Clark M., Kumar & Clark Clinical
Medicine 6th Edition. London: Elsevier Sauders. 665-681.
25
Recommended