View
15
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
-
PENGESAHAN PA-NITIA UJIAN
Skripsi yang beIjudul "Kesepakatan Suami Ism dalam pengasuhan Anak Perspektif
Teori Ma#,,~ah Mursul"h" (Studi Putusan Nomor 638 K1Ag/2015) te1ah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 30 Agustus 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SaIjana Hukum (SH) pada Program Studi HuklJIIl Keluarga.
Dr, B.A:hillad ThoJabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.M., M.A. NIP. 197608072003]21001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua : Dr. Mesraini, M.Ag. NIP. 197602132003122001
Sekretaris : Ahmad Chairul Hadi, MA. NIP. 197205312007101002
Pembimbing : Hotnidah Nasution, MA. NIP. 197106301997032002
Penguji I : Dr. H. Muchtar Ali, M. Hum. NIP. 195704081986031002
Penguji II : Afwan Faizin, MA. NIP. 197210262003121001
. ,
III
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya ash saya yang diajukan untuk memenum
persyaratan memperoleh gelar Strata-1 (Sl) di Universitas Islam Negeri
(DIN) SyarifHidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (DIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (DIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 15 Agust _0 I
Lutfi zakaria Mubarok 11150 0000040
IV
v
ABSTRAK
Lutfi Zakaria Mubarok, NIM 11150440000040, Kesepakatan Suami Istri
dalam Pengasuhan Anak Perspektif Teori Maṣlaḥah Mursalah (Studi Putusan Nomor
638 K/Ag/2015). Skripsi, Program Studi Hukum Keluarga. Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019
M.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam
penentuan hak asuh anak (hadhānah) pada putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk,
kemudian Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan Nomor 638 K/Ag/2015, kemudian
hasil putusan tersebut dianalisis menggunakan perspektif teori Maṣlaḥah Mursalah.
Jenis penelitian yang penulis gunakan yaitu jenis penelitian kualitatif. Sumber
data diperoleh dari Putusan Pengadilan Agama Depok, Pengadilan Tinggi Agama
Bandung, dan Mahkamah Agung. Pendekatan yang penulis gunakan yaitu pendekatan
normatif yuridis, teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka. Metode
menganalisanya menggunakan metode analisis deskriptif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Majelis Hakim Tingkat Pertama
membatalkan kesepakatan perdamaian antara suami istri, khususnya pada poin 4
terkait dengan hak pengasuhan anak dilakukan secara bersama-sama secara
permanen, karena bertentangan dengan Pasal 41 huruf a Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 105 huruf a dan b Kompilasi Hukum Islam,
serta fakta hukum bahwa antara suami istri tersebut akan bercerai.
Di Tingkat Banding Majelis Hakim berpendapat bahwasanya kesepakatan
perdamaian poin 4 pada dasarnya tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang disebutkan Majelis Hakim Tingkat Pertama.
Di Tingkat Kasasi Majelis Hakim memandang bahwa kesepakatan tersebut adalah
tidak sah karena diantara butir-butir kesepakatan yang tercantum tidak memenuhi
syarat-syarat sebuah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 jo. 1337 KUH Perdata.
Dalam putusan ini Majelis Hakim Tingkat Kasasi memberikan hak pengasuhan anak
(hadhānah) kepada sang ibu.
Jika penulis amati dari ketiga putusan tersebut, maka yang lebih maslahat
adalah putusan Tingkat Kasasi Nomor 638/K/Ag/2015. Kemudian implikasi dari
putusan Nomor 638/K/Ag/2015 yang memberikan hak pengasuhan anak (hadhānah)
kepada sang ibu tentu membuat hak anak-anak menjadi terjamin, diantaranya hak
untuk diasuh dan bertempat tinggal. Karena dengan kondisi kedua anak yang masih
dalam usia belia, hal tersebut tentu saja membuat anak-anak masih membutuhkan
perhatian secara khusus dari orang tua.
Kata Kunci : Kesepakatan, Hadhānah, Maṣlaḥah Mursalah.
Pembimbing : Hotnidah Nasution, M.A.
Daftar Pustaka : 1972 s.d. 2019
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum dapat
diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
vii
T te dengan garis bawah ط
Z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ؼ
Q Qo ؽ
K Ka ؾ
L El ؿ
M Em ـ
N En ف
W We ك
H Ha ق
Apostrop ˋ ء
Y Ya ي
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal atau
monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau
monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
َ A Fathah
viii
ِ I Kasrah
ُ U Dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
Ai a dan i ي
Au a dan u ك
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
 a dengan topi di
atas
Î i dengan topi di
atas
Û u dengan topi di
atas
d. Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam (اؿ),
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf
qomariyyah. Misalnya: al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة ,al-ijtihâd = اإلجتهاد
e. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
ix
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: الشفعة = al-syuf‟ah
tidak ditulis asy-syuf‟ah.
f. Ta Marbutah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbȗtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t”
(te) (lihat contoh 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
syarî‟ah شريعة 1
al-syarî‟ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسالمية 2
muqâranat al-madzâhib مقارنة املذاىب 3
g. Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika
nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.
Contoh: البخاري = al-Bukhâri tidak ditulis Al-Bukhâri. Beberapa ketentuan lain
dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan
mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan
nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan
tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab,
Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
x
h. Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan diatas:
No Kata Arab Alih Aksara
الضركرة تبيح احملظورات .1al-darûrah tubîhu al-
mahzûrât
al-iqtisâd al-islâmî االقتصاد اإلسالمي .2
usûl al-fiqh أصوؿ الفقو .3
األصل يف األشياء اإلابحة .4al-„asl fî al-asyya َal-
ibâhah
املصلحة املرسلة .5al-maslahah al-
mursalah
xi
KATA PENGANTAR
بسمميحرلا نمحرلا هللا
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
begitu banyak karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik
dan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang karenanya kita dibimbing hingga masuk kepada zaman yang
penuh akan khazanah ilmu pengetahuan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam proses penyusunan skripsi ini, baik dorongan yang bersifat moril
maupun materiil. Oleh karena itu, penulis secara khusus menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Ibu Prof. Dr.
Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., MA.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, MA., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Dr. Mesraini, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan
Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga.
4. Bapak K.H. Dr. Ahmad Juaini Syukri Lc, M.A., selaku dosen pembimbing
akademik yang selalu menasehati dan membimbing selama penulis menjalani
proses perkuliahan.
5. Ibu Hotnidah Nasution, M.A., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu
menasehati dan membimbing selama penulis menyusun skripsi ini.
6. Seluruh Dosen, Staf Karyawan, Staf Tata Usaha, Staf Perpustakaan dan
seluruh Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak pernah lelah memberikan ilmu
dan membantu hingga penulis dapat sampai pada tahap ini.
xii
7. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Drs. H. Ayip, M.H., dan Ibu Cucu
Sumiati, S.Pd.I., kakak dan adik-adik penulis beserta keluarga besar penulis
yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan dan semangat.
8. Senior-senior penulis, Ka Purba Indah, Bang Sabil Mokodenseho, Bang Satria
Erlangga, Bang Riyadh Ashomady, Bang Muhammad Sidik, Bang Rifqi Al-
Buchori, Bang Muhammad Ilham Ramadhan, terima kasih atas segala
bimbingan dan nasehat yang telah diberikan selama ini. Juga teruntuk
sahabat-sahabat penulis yang telah menemani penulis berjuang di medan
perantauan khususnya kepada Ilham Ramdani Rahmat, Muhammad Helmi
Damas, Irwan Hidayat, Megat Ahmad Najeeb, Iqbal Farisi, Nurdiana
Ramadhan, Khoerul Ilham Rosyadi, Luthfi Ardiansyah, Maulvi Muhammad
Ikhwan, Muhammad Syarifuddin Amarullah, Mohammad Zakky Mubarok,
Kisai Khalaf Muhammad, Khairunnisa Fahmiyanti, Vania Utami Fijriyah,
Elliani Fikriyah, Fatma Hidayah Fathuri, Defanti Putri Utami, Ana Eka
Fitriani, Windia Indri Firsada, Siti Dzul Rahmat Al-Istiqlali, Suci Nurindah,
Sayyidati Nurmuhallilah.
9. Keluarga Besar Hukum Keluarga angkatan 2015. Semoga kita semua
senantiasa diberikan kesuksesan.
10. Rekan-rekan pengurus HMPS Hukum Keluarga periode 2016, DEMA
Fakultas Syariah dan Hukum 2017, HMPS Hukum Keluarga 2018, juga
Lembaga Kajian Mahasiswa Ahwal Al-Syakhsiyyah (Elkamasy). Terima
kasih telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk senantiasa
beraktualisasi selama penulis berada di kampus .
11. Himpunan Mahasiswa Islam Fakultas Syariah dan Hukum (Komfaksy).
Terima kasih telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk terus
berproses serta meng-upgrade intelektual dan organisasi.
12. Teman-teman KKN 146 Merpati Gunung, Andi Sangkawana, Thohir
Anwaruddin, Risman, Fahrizal Haris, Laila Farhanah, Ghiska Primayana
xiii
Mufhtih, Qonita, Dita Ahdiani, Seli Nursolihat, Khilda Miftahul Millati,
Nisrina Afifah, Yunita Anggi, Gina Agiana, Indriyani, Shofiya Arrahmani,
Lutfiatul Insiah, Anita Rahayu, Auliatunnisa Nurul. Terima kasih atas satu
bulan lamanya tinggal bersama. Momen yang tak akan pernah terlupakan,
begitu penuh tawa dan drama yang menguras air mata.
Penulis berharap semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat bagi
para pembaca, khususnya mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Demikianlah pengantar yang dapat penulis sampaikan, akhir kata
penulis memohon maaf jika terdapat kesalahan dalam skripsi ini.
Jakarta, 30 Agustus 2019
Lutfi Zakaria Mubarok
xiv
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................ iv
ABSTRAK ........................................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN.. .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................................ 4
C. Batasan Masalah ................................................................................................. 5
D. Rumusan Masalah ............................................................................................... 5
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 5
F. Kajian Studi Terdahulu ....................................................................................... 6
G. Metode Penelitian ............................................................................................... 9
H. Sistematika Penulisan ......................................................................................... 11
BAB II HADHĀNAH, MAṢLAḤAH MURSALAH DAN KONSEP
KESEPAKATAN ................................................................................................................ 12
A. Hadhānah ............................................................................................................ 12
1. Pengertian Hadhānah .................................................................................... 12
2. Dasar Hukum Hadhānah .............................................................................. 13
3. Syarat-Syarat Hadhānah ............................................................................... 15
4. Pihak-pihak yang Berhak atas Hadhānah ..................................................... 18
5. Masa Hadhānah ............................................................................................ 23
xv
B. Maṣlaḥah Mursalah ............................................................................................ 25
1. Pengertian Maṣlaḥah Mursalah .................................................................... 26
2. Sumber dan Dasar Hukum Maṣlaḥah Mursalah .......................................... 28
3. Macam-Macam Maṣlaḥah ............................................................................ 35
4. Kedudukan Maṣlaḥah Mursalah ................................................................... 40
5. Urgensi Maṣlaḥah sebagai Metode Ijtihad dalam Hukum Islam .................. 40
C. Perjanjian ............................................................................................................ 44
1. Pengertian Perjanjian .................................................................................... 44
2. Asas-Asas Hukum Perjanjian ....................................................................... 47
3. Dasar Hukum Perjanjian ............................................................................... 50
4. Syarat Sah Perjanjian .................................................................................... 51
BAB III STUDI PUTUSAN NOMOR 343/PDT.G/2014/PA.DPK, PUTUSAN
NOMOR 227/PDT.G/2014/PTA.BDG, DAN PUTUSAN NOMOR 638
K/AG/2015 ........................................................................................................................... 55
A. Deskripsi Putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk ........................................... 55
1. Posisi Kasus .................................................................................................. 55
2. Duduk Perkara .............................................................................................. 55
3. Amar Putusan ................................................................................................ 60
B. Deskripsi Putusan Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg ........................................ 62
1. Posisi Kasus .................................................................................................. 62
2. Duduk Perkara .............................................................................................. 62
3. Amar Putusan ................................................................................................ 65
C. Deskripsi Putusan Nomor 638/K/Ag/2015 ......................................................... 67
1. Posisi Kasus .................................................................................................. 67
2. Duduk Perkara .............................................................................................. 67
3. Amar Putusan ................................................................................................ 76
xvi
BAB IV PENENTUAN HADHĀNAH YANG DIDASARKAN PADA
KESEPAKATAN SUAMI ISTRI PERSPEKTIF TEORI MAṢLAḤAH
MURSALAH PADA PUTUSAN NOMOR 343/PDT.G/2014/PA.DPK, NOMOR
227/PDT.G/2014/PTA/BDG, NOMOR 638/K/AG/2015 ................................................. 79
A. Perbandingan Pertimbangan Hakim pada Putusan Nomor
343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan Nomor
638/K/Ag/2015 .................................................................................................. 79
1. Putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk ..................................................... 79
2. Putusan Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg ................................................... 84
3. Putusan Nomor 638/K/Ag/2015 ................................................................... 87
B. Analisis Perbandingan Putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Nomor
227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan Nomor 638/K/Ag/2015 Serta Implikasi
Putusan Nomor 638/K/Ag/2015 Ditinjau dari Perspektif Maṣlaḥah
Mursalah ............................................................................................................ 92
BAB V PENUTUP ............................................................................................................... 103
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 103
B. Saran ................................................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 106
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan dalam Islam ditempatkan pada posisi yang sangat penting,
agung, dan kokoh (mītṡāqan ghalīẓā).1 Tidak hanya sebagai hubungan
keperdataan saja, tetapi lebih daripada itu dianggap sebagai perbuatan yang
bernilai ibadah. Namun, pada kenyataannya tujuan dari perkawinan2 tidak
jarang berakhir di tengah jalan,3 sehingga tidak sedikit pula banyak pasangan
yang gagal mempertahankan mahligai rumah tangganya hingga berujung
kepada perceraian.4
Perceraian seringkali terjadi karena kehidupan rumah tangga yang
tidak harmonis. Penyebabnya tentu beragam, diantaranya komunikasi yang
tidak berjalan dengan baik, perselisihan yang berlangsung terus menerus dan
faktor-faktor lain yang menyebabkan tidak tercapainya kebahagiaan, sehingga
pada akhirnya mengakibatkan suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan
lagi. Meskipun negara menghendaki adanya perceraian, namun sebisa
mungkin hal tersebut hanyalah sebagai pintu darurat yang dilakukan setelah
upaya-upaya perdamaian dilaksanakan, dimana tidak ada jalan lain yang dapat
ditempuh selain jalur perceraian.5 Banyak ahli hukum berpendapat bahwa
mereka tidak puas akan prospek perceraian, karena terkadang hanya
1 Mītṡāqan ghalīẓā adalah perjanjian suci antara suami-istri yang diliputi cinta dan kasih
sayang. Oleh karena itu kedua belah pihak berkewajiban menjaga kesucian dan kelanggengan
perjanjian tersebut. Lihat Siti Robikah, “Shifting Paradigm dalam Tafsir al-Qur‟an: Analisis Terhadap
Perkembangan Tafsir Feminis di Indonesia”, Jurnal Tafsere, vol. 7, no. 2, (2019), h. 59. 2 Tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. 3 Lina Kushidayati, “Legal Reasoning Perempuan dalam Perkara Gugat Cerai di Pengadilan
Agama Kudus”, Jurnal Yudisia, vol. 6, no. 1, (Juni 2015), h. 144. 4 Dakwatul Chairah, “Rekonstruksi Makna Perceraian Perspektif Masyarakat Muslim di
Kabupaten Malang”, Islamica: Jurnal Studi Keislaman, vol. 10, no. 2, (Maret 2016), h. 492. 5 Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), cet. 2, h. 30.
2
mengedepankan aspek materiil, tidak menjangkau hal-hal yang bersifat moral
dan etika.6
Pada prinsipnya perceraian tidak sesuai dengan tujuan perkawinan,
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa, “Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”7
Karena tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip-
prinsip yang mempersulit terjadinya perceraian. Untuk mengajukan
perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di depan sidang
pengadilan.8
Dalam banyak kasus perceraian, setelah pengadilan memutuskan
untuk mengabulkan gugatan atau permohonan perceraian, biasanya selain
menentukan pembagian harta bersama, maka turut pula ditentukan perihal hak
asuh anak (hadhānah) jika pasangan tersebut mempunyai keturunan dari hasil
pernikahannya.
Hak asuh anak atau dalam bahasa Undang-Undang Perlindungan Anak
disebut sebagai kuasa asuh,9 atau dalam literatur hukum Islam disebut dengan
hadhānah, merupakan kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik,
memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak, sesuai
dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.10
6 Judith E. Tucker, Women, Family, and Gender in Islamic Law, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2008), h. 87. 7 Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
8 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia: Telaah Syariah dan Qanuniah,
(Ciputat: Lentera Hati, 2015), h. 28. 9 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagai perubahan atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 10
Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007), h. 109-110.
3
Para ulama fiqh mendefinisikan hadhānah sebagai pemeliharaan
terhadap anak-anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan, atau
yang sudah besar tetapi belum mumayyiz,11
menyediakan sesuatu untuk
kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang membahayakan, mendidik
jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup
dan memikul tanggung jawab.12
Sedangkan menurut Amir Syarifuddin,
hadhānah ialah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya
perceraian atau putusnya perkawinan.13
Hadhānah yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah kewajiban
orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-
baiknya. Pemeliharaan ini tentu mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan
segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.14
Sebagai upaya memberikan kemaslahatan pada anak, ketentuan-
ketentuan hukum positif telah memberikan perlindungan hukum terhadap
masalah pemeliharaan anak, baik yang telah terakomodasi dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan yang terdapat
dalam Hukum Islam yang terakomodasi dalam Kompilasi Hukum Islam
(Inpres No. 1 Tahun 1991) maupun yang bersumber dari nash-nash al-Qur‟ān
dan hadis, serta aturan-aturan fiqh yang telah mengatur masalah pemeliharaan
anak (hadhānah).15
Berdasarkan uraian di atas, hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut
oleh penulis adalah mengenai adanya perbandingan putusan hakim tentang
11
Mumayyiz adalah anak yang mampu dan memahami suatu pembicaraan dan mampu
menjawab pertanyaan dari lawan bicaranya. Lihat Al-Imam al-Nawawi, Taḥrir Lughat al-Tanbīh, (Lebanon: Dar al-Kotob Al-Ilmiyah, 2010), h. 116.
12 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma‟arif, 2007), h. 173.
13 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Kencana:Prenada Media, 2006), h. 327. 14
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 1998), h. 235. 15
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 114-115.
4
pengasuhan anak (hadhānah) akibat adanya kesepakatan perdamaian,
sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor
343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor
227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 638
K/Ag/2015. Disini penulis menemukan adanya kekhilafan hakim di Tingkat
Pertama dan Tingkat Banding dalam penentuan hak asuh anak (hadhānah).
Dimana di Tingkat Pertama dan Tingkat Banding hakim tidak mencantumkan
kesepakatan perdamaian dalam pertimbangan maupun amar putusan yang
berimplikasi pada ketidakjelasan penentuan hak asuh anak (hadhānah)
sehingga mengakibatkan tidak adanya objek yang dapat di eksekusi.
Kemudian Majelis Hakim Tingkat Pertama dan Tingkat Banding berbeda
pendapat dalam menafsirkan akta perdamaian perihal penentuan hak asuh
anak (hadhānah). Di Tingkat Kasasi Majelis Hakim membatalkan Putusan
Tingkat Pertama dan Tingkat Banding. Atas dasar tersebut penulis ingin
menganalisis atas dasar pertimbangan apa Majelis Hakim Tingkat Kasasi
membatalkan putusan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding dalam penentuan
hak asuh anak (hadhānah), dan bagaimana implikasi putusan Nomor
638/K/Ag/2015 terhadap pemeliharaan anak (hadhānah) ditinjau dari
perspektif teori Maṣlaḥah Mursalah .
Beranjak dari latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik
untuk mengangkat sebuah judul “Kesepakatan Suami Istri dalam Pengasuhan
Anak Perspektif Teori Maṣlaḥah Mursalah (Studi Putusan Nomor 638
K/Ag/2015)”.
B. Identifikasi Masalah
1. Apa dasar pertimbangan Hakim Tingkat Pertama yang menyetujui hak
pengasuhan anak (hadhānah) dilakukan secara bersama-sama secara
permanen dalam putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk?
5
2. Apa dasar hukum yang digunakan dalam perkara Pengadilan Agama
Depok dalam putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk?
3. Bagaimana ketentuan hak asuh anak (hadhānah) dalam perspektif hukum
Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia?
4. Apa dasar pertimbangan Hakim Tingkat Banding yang menguatkan
putusan Hakim Tingkat Pertama dalam penentuan hak asuh anak
(hadhānah) dalam putusan Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg?
5. Apa dasar pertimbangan Hakim Tingkat Kasasi yang membatalkan
putusan Hakim Tingkat Pertama dan Tingkat Banding dalam penentuan
hak asuh anak (hadhānah) dari hasil putusan Nomor 638 K/Ag/2015?
C. Batasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan yang berkenaan dengan putusan di
lingkungan Peradilan Agama, maka disini penulis hanya membatasi pada
putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg,
dan secara lebih khusus berfokus pada putusan Nomor 638/K/Ag/2015.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perbandingan pertimbangan hakim dalam hal penentuan hak
asuh anak (hadhānah) yang didasarkan pada kesepakatan suami istri
dalam putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Nomor
227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan putusan Nomor 638/K/Ag/2015?
2. Bagaimana analisis perbandingan putusan hakim dalam putusan Nomor
343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan putusan
Nomor 638/K/Ag/2015 serta implikasi putusan Nomor 638/K/Ag/2015
terhadap pemeliharaan anak (hadhānah) ditinjau dari perspektif teori
Maṣlaḥah Mursalah?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
6
Sesuai dengan rumusan masalah yang penulis paparkan sebelumnya, maka
dapat dipahami bahwa tujuan yang ingin penulis capai adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui perbandingan pertimbangan hakim dalam hal
penentuan hak asuh anak (hadhānah) dalam Putusan Nomor
343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan
Nomor 638/K/Ag/2015.
b. Untuk mengetahui implikasi putusan Nomor 638/K/Ag/2015
terhadap pemeliharaan anak (hadhānah) ditinjau dari perspektif
Maṣlaḥah Mursalah.
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu :
a. Memberikan sumbangan pemikiran dan ilmu pengetahuan dalam
perkembangan ilmu hukum perkawinan pada umumnya dan konsep
hak asuh anak (hadhānah) pada khususnya.
b. Menjadi rujukan bagi akademisi tentang bagaimana analisa secara
mendalam mengenai hak pengasuhan anak (hadhānah).
c. Selanjutnya sebagai bahan tambahan bagi mahasiswa yang akan
melakukan penelitian berkaitan dengan hak asuh anak (hadhānah).
F. Kajian Studi Terdahulu
Berdasarkan hasil penelusuran yang penulis lakukan, ada beberapa
penelitian yang membahas berkaitan dengan tema hak asuh anak (hadhānah).
Penelitian tersebut dipublikasikan dalam bentuk jurnal maupun skripsi.
Jurnal yang berujudul “Hak Hadhanah bagi Anak yang Belum
Mumayyiz kepada Ayah (Studi Analisis Putusan Nomor
1235/pdt.g/2017/PA.Srg)” yang ditulis oleh Jumroh.16
Hasil penelitian ini
16
Jumroh, “Hak Hadhanah bagi Anak yang Belum Mumayyiz kepada Ayah (Studi Analisis
Putusan Nomor 1235/pdt.g/2017/PA.Srg)”, Jurnal Syakhsia: Jurnal Hukum Perdata Islam, vol. 17, no.
1, (2018).
7
menunjukkan bahwa Majelis Hakim dalam pertimbangannya menggunakan
hukum positif dan memberikan hak asuh anak (hadhānah) kepada sang ayah.
Jurnal yang berjudul “Hak Hadhanah dalam Perceraian karena Pindah
Agama Perspektif Hukum Islam” yang ditulis Ramdan Fawzi.17
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa jumhur ulama mensyaratkan keislaman
bagi seseorang yang hendak melakukan hadhanah demi tercapainya maksud
syariah yaitu menjaga agama (hifzh ad-dīn) dan menjaga keturunan (hifzh al-
nasl).
Skripsi yang berjudul “Hadhānah Terhadap Anak Akibat Perceraian
(Studi terhadap Pemikiran Mazhab Syafii dan Relevansinya dengan Hukum
Keluarga di Indonesia)” yang ditulis oleh Rohadi.18
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa dalam penentuan hak asuh anak (hadhānah) mazhab
syafi‟i mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak untuk bisa
menentukan kepada siapa hak asuh anak (hadhānah) akan diberikan. Mazhab
syafi‟i juga menentukan bahwa agama menjadi syarat mutlak dalam
penentuan hak asuh anak (hadhānah).
Skripsi yang berjudul “Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat
Perceraian menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 349/
K/Ag/2006)” yang ditulis Diana Yulita Sari.19
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa hak hadhānah atau pemeliharaan anak dalam hukum
perkawinan di Indonesia pada dasarnya tidak menentukan siapa yang lebih
17
Ramdan Fauzi, “Hak Hadhanah dalam Perceraian karena Pindah Agama Perspektif Hukum
Islam”, Jurnal Tahkim: Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, vol. 1, no. 2, (Oktober, 2018). 18
Rohadi, “Hadhanah Terhadap Anak Akibat Perceraian (Studi terhadap Pemikiran Mazhab
Syafii dan Relevansinya dengan Hukum Keluarga di Indonesia)”. (Skripsi UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Tahun 2016). 19
Diana Yulita Sari, “Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Perceraian menurut Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Analisis Putusan Perkara Mahkamah
Agung Nomor 349/ K/Ag/2006)”. (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2010).
8
berhak dalam hak hadhānah. Hal tersebut dikembalikan kepada kepentingan
terbaik anak yang didasarkan pada putusan pengadilan.
Skripsi yang berjudul “Hadhanah Akibat Perceraian dalam Hukum
Keluarga di Indonesia dan Maroko” yang ditulis Mutia Wardah.20
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa persamaan hadhānah akibat perceraian
antara Indonesia dan Maroko diantaranya adalah mengenai kewajiban
pengasuhan anak, upah pengasuh, dan biaya akomodasi anak. Perbedaan
hadhānah akibat perceraian antara Indonesia dan Maroko secara umum
adalah peraturan di Maroko lebih terperinci, sedangkan di Indonesia peraturan
tentang hadhānah belum se-progresif peraturan di Maroko. Seperti orang-
orang yang diberi hak asuh dan batas usia anak.
Skripsi yang berjudul “Hak Hadhanah Terhadap Ibu Wanita Karir
(Analisis Putusan Perkara Nomor 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama
Depok)” yang ditulis oleh Mochammad Ansory.21
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Majelis Hakim memberikan hak pengasuhan anak kedua
anak kepada sang ibu, namun dalam kenyataannya sang ibu mengalihkan
pemeliharaan anak kepada neneknya atau orang tua perempuan dari ibu
dikarenakan ibu dari kedua anak tersebut merupakan seorang wanita karir
yang bekerja pada 2 (dua) tempat yakni Yayasan Sosial dan Hotel Anggrek di
daerah Tangerang.
Dari beberapa kajian terdahulu di atas, ada perbedaan yang signifikan
dengan penelitian yang hendak penulis kaji. Yaitu penelitian ini lebih
menganalisis terhadap perbandingan pertimbangan hakim dalam hal
penentuan hak asuh anak (hadhānah) pada Putusan Nomor
343/Pdt.G/2014/PA.Dpk., Putusan Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan
20
Mutia Wardah, “Hadhanah Akibat Perceraian dalam Hukum Keluarga di Indonesia dan
Maroko”. (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2018). 21
Mochammad Ansory, “Hak Hadhanah Terhadap Ibu Wanita Karir (Analisis Putusan
Perkara Nomor 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok)”. (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2010).
9
Putusan Nomor 638/K/Ag/2015, kemudian dianalisis melalui perspektif
Maṣlaḥah Mursalah.
G. Metode Penelitian
Dalam membahas penelitian ini, diperlukan suatu penelitian untuk
memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-masalah yang akan
dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat.
Ada beberapa metode yang akan penulis gunakan, antara lain:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu
jenis penelitian yang bertujuan untuk menemukan konsep dan teori,
dengan menggunakan studi kepustakaan (library research), yaitu
melakukan telaah terhadap putusan Pengadilan Agama Depok Nomor
343/Pdt.G/2014/PA.Dpk, Pengadilan Tinggi Agama Bandung
227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan Mahkamah Agung Nomor 638/K/Ag/2015
kemudian mengkajinya secara mendalam dengan mengambil referensi
dari berbagai kitab, buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, serta
tulisan-tulisan para sarjana yang erat kaitannya dengan masalah yang
diteliti.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini pendekatan
normatif-yuridis atau yang biasa dikenal dengan penelitian hukum
doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti dokumen yang kemudian akan dianalisis. Menurut Peter
Mahmud Marzuki, segala penelitian yang berkaitan dengan hukum (legal
research) adalah normatif.
3. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
10
Data primer yaitu data yang berkaitan langsung dengan hak
asuh anak (hadhānah) yaitu putusan Nomor 343/Pdt.G/2014/PA.Dpk,
227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg, dan putusan Nomor 638/K/Ag/2015.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal,
artikel, serta tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang
menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini.22
Oleh karena itu,
umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat
dipergunakan dengan segera, dan salah satu ciri dari data sekunder
tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.23
4. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan studi pustaka terhadap bahan-bahan
hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan
hukum tersier. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan
dengan cara membaca, melihat, mendengar, maupun dengan penelusuran
melalui media internet atas segala hal yang berkaitan dengan tema
penelitian.
5. Metode Analisis Data
Analisa data merupakan bagian penting dalam metode ilmiah.
Analisis data memberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan
masalah penelitian. Metode analisis data yang sesuai dengan penelitian ini
adalah dengan menggunakan metode analisis deskriptif dengan tujuan
untuk mengetahui secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-
fakta hukum yang dimaksud.24
6. Teknik Penulisan
22
Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), cet. 3, h. 43. 23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), h.
11. 24
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 18.
11
Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang di terbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM)
Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2017.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini dibagi
atas lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.
Bab Pertama, berisikan Pendahuluan yang berhubungan erat dengan
permasalahan yang akan dibahas. Latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian dan sitematika penulisan.
Bab Kedua, mengulas gambaran umum tentang hak pengasuhan anak
(hadhānah) dan teori Maṣlaḥah Mursalah, mulai dari konsep hadhānah
sampai konsep Maṣlaḥah Mursalah.
Bab Ketiga, memaparkan pertimbangan hukum Hakim Tingkat
Pertama, Tingkat Banding, dan Tingkat Kasasi dalam hal penentuan hak asuh
anak (hadhānah).
Bab Keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi
ini. Yaitu analisis pertimbangan hukum Hakim Tingkat Pertama, Tingkat
Banding pada umumnya dan Tingkat Kasasi pada khususnya dalam hal
penentuan hak asuh anak (hadhānah) kemudian dianalisis menggunakan teori
Maṣlaḥah Mursalah.
Bab Kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari
penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun
bagi penyempurnaan penelitian ini.
12
BAB II
AH MURSALAH ḤLAṢNAH, MAĀHDHA
DAN KONSEP KESEPAKATAN
A. Hadhānah
1. Pengertian Hadhānah
Secara etimologi حضانة (hadhānah) adalah bentuk jamak dari kata
(hidhn) حضن hudhun) yang berasal dari kata) حضن ahdhān) atau) احضاف
yang berarti anggota badan yang berada di bawah ketiak.1 Sedangkan
menurut terminologi, definisi hadhānah cukup beragam, seperti yang
dijelaskan beberapa ulama berikut ini:2
Menurut Sayyid Sabiq hadhānah adalah suatu sikap pemeliharaan
terhadap anak kecil yang belum dapat membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk, juga belum mampu mengurus dirinya sendiri. Usaha
untuk menjaga, mendidik dan mengasuhnya, baik secara fisik, mental
maupun akal, agar mampu menjalankan kehidupan yang sempurna dan
bertanggung jawab.3
Ulama Hanafiah memberikan pengertian hadhānah sebagai usaha
mendidik anak4 yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai hak
mengasuh. Sementara ulama Syafi‟iyah mendefiniskan hadhānah yaitu
dengan mendidik orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk
1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1984), h. 296. 2 Achmad Muhajir, “Hadhanah dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor Pendidikan
Rumah)”, Jurnal SAP, vol. 2, no. 2 (Desember 2017), h. 166. 3 Hasnatul Mahmudah, Juhriati, Zuhrah, “Hadhanah Anak Pasca Putusan Perceraian (Studi
Komparatif Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia”, Sangaji: Jurnal Pemikiran Syariah dan
Hukum, vol. 2, no. 1, (Maret 2018), h. 62. 4 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Pasal 1 ayat (1): “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan definisi anak menurut WHO, batasan usia
anak adalah sejak anak berada dalam kandungan sampai usia 19 tahun. Lihat Buletin Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehehatan RI (Kondisi Pencapaian Program Kesehatan Anak Indonesia),
Juli 2014.
13
mengurus dirinya sendiri, sebagai upaya menjamin kemaslahatan bagi
dirinya dan memeliharanya dari segala hal yang dapat membahayakan,
meskipun orang tersebut telah dewasa. Seperti membantu dalam hal
membersihkan badannya, memberikan makan, menyucikan pakaian, dan
lain-lain.
Dalam literatur fiqh pengasuhan anak digunakan dalam dua kata
namun dimaksudkan untuk makna yang sama yaitu kaffalah5 dan
hadhānah. Maksud dari hadhānah atau kaffalah dalam arti sederhana ialah
“pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih lengkap
hadhānah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya
putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena praktis ketika
antara suami dan istri bercerai anak-anak memerlukan pengasuhan dan
perlindungan dari ayah atau ibunya.6
2. Dasar Hukum Hadhānah
Para ulama telah sepakat bahwa hukum hadhānah adalah wajib
dan kewajiban tersebut merupakan kewajiban bagi ayah dan ibunya. Dasar
argumentasi kewajiban hadhānah terdapat dalam QS. al-Baqarah [2] :
(233) yang berbunyi:7
5 Kaffalah dalam literatur inggris disebut juga dengan Islamic Law Concept of Foster Care.
Lihat Azizah Mohd dan Nadhilah A. Kadir, “Children Foster Care Law and Practice: What Malaysian
Can Learn From Foster Care (Ihtidhan) in Jordan”, IIUM Law Jurnal, vol. 22, no. 2, (2014), h. 295. 6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 327-
328. 7 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Surabaya: Fajar Mulya, 2012), h.
37.
14
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
8 selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan,maka tidak ada dosa atas keduanya. dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan.”
QS. An-Nisa‟ [4] : (9):
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.
8 Al-Qurthūbiy berpendapat bahwa bahwasanya kata “yurḍi‟na” merupakan kalimat khabar
yang mengandung makna hukum amr/kewajiban atas sebagian ibu-ibu, dan hukum sunnah terhadap
ibu-ibu yang lain. Alasan Qurthūbiy menyatakan sunnah dikarenakan kemungkinan adanya udzur
syar‟i. Sedangkan Imam Mālik berpendapat menyusukan anak adalah sesuatu yang wajib bagi seorang
ibu yang masih berstatus istri. Adapun ibu yang sudah ditalak ba‟in tidaklah berkewajiban
menyusukan anaknya, sebab kewajiban tersebut sudah dipikulkan kepada sang ayah. Lihat Masrul
Isroni Nurwahyudi, “Konsep Raḍā‟ah dalam al-Qur‟ān (Kajian Tafsir Tematik Ayat-Ayat tentang
Menyusui Bayi dalam Perspektif Mufassir dan Sains), Jurnal Qof, vol. 1, no. 2, (Juli 2017), h. 109.
15
Juga tercantum dalam QS. At-Tahrim [66] : (6)9
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka.”10
Ayat-ayat di atas merupakan dasar hukum yang kuat dan tegas
tentang kewajiban orang tua dalam mendidik, menafkahi agar terhindar
dari generasi yang lemah, baik iman, ilmu, ekonomi, fisik dan lain
sebagainya.
3. Syarat-syarat Hadhānah
Pemeliharaan atau pengasuhan anak (hadhānah) itu berlaku antara
dua unsur yang menjadi rukun di dalamnya, yaitu orang tua sebagai
pengasuh (hadhīn) dan anak yang diasuh (mahdhūn). Kedua unsur
tersebut harus ada dengan syarat yang ditentukan agar sahnya pengasuhan
itu. Namun jika bertentangan, maka yang didahulukan adalah orang yang
dipelihara.11
Sayyid Sabiq12
memberikan syarat bagi hadhīn yang menangani
dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang akan diasuhnya itu
harus memiliki kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan ini
9 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Surabaya: Fajar Mulya, 2012), h.
560. 10
Secara bahasa, kalimat qū anfusakum terdiri dari dua kata, yaitu kata qū yang berbentuk
amr lil jama‟ (kata perintah bentuk plural) yang berasal dari waqā yang berarti jagalah oleh kalian, dan
kata anfusakum yang berarti diri kalian. Dalam ayat ini Allah memerintahkan orang-orang yang
beriman agar menjaga diri beserta mereka agar terhindar dari api neraka dengan cara taat dan patuh
akan perintah-perintah Allah SWT. Lihat Fakhrurrazi, “Potret Pendidikan Keluarga dalam Al-Qur‟an”,
Jurnal At-Tibyan, vol. 3, no. 2, (Desember 2018), h. 190. 11
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Depok: Gema Insani, 2010), Jilid 10, h. 60. 12
Sayyid Sabiq mempunyai nama lengkap Sayyid Sabiq Muhammad al-Tihamy. Beliau lahir
pada tahun 1915 M di desa Istanha, distrik al-Baqhur, provinsi al-Munufiah, Mesir. Ia merupakan
pengarang dari kitab yang sudah masyhur kita kenal; Fiqh Sunnah yang berjumlah 14 juz yang mana
dicetak dalam bentuk 3 juz besar. Sayyid Sabiq meninggal dunia pada tanggal 21 Dzulqa‟dah 1420 H
bertepatan dengan tanggal 27 Februari 2000 M. Lihat Slamet Arofik, “Pengasuhan Anak (Hadhanah)
Perspektif Sayyid Sabiq dan Wahbah Zuhaily”, Jurnal Usratuna, vol. 2, no. 1, (Desember 2018), h. 3.
Lihat juga Yusuf Qardhawi, Selamat Jalan Pejuang, Terj. Abdul Hayyie Kattani dan Mujiburrahman
Subadi, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 138-143.
16
memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini satu saja
tidak terpenuhi, maka gugur kebolehan menyelenggarakan hadhānah.
Syarat-syarat hadhīn menurut Sayyid Sabiq adalah sebagai
berikut:13
a. Berakal Sehat
Berangkat dari syarat pertama ini maka orang idiot maupun orang
gila tidak boleh mengasuh anak karena untuk mengurusi urusannya
sendiri saja tidak sanggup apalagi untuk mengurusi orang lain
b. Baligh
Anak-anak yang belum baligh, walaupun sudah tamyiz tetap
membutuhkan orang yang dapat mengurusnya dan mengasuhnya.
Sehingga dia tidak dapat mengurus orang lain.
c. Mampu Mendidik
Orang yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang
melemahkan jasmaninya tidak boleh menjadi pengasuh untuk
menangani urusan anak asuh. Juga tidak berusia lanjut, yang bahkan
dia sendiri perlu diurus, juga bukan orang yang mengabaikan urusan
rumah tangga, sehingga merugikan anak kecil yang diurusinya, atau
bukan pula orang yang tinggal bersama orang yang suka marah pada
anak-anak, sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri sehingga akibat
kemarahannya itu ia tidak bisa memperhatikan kepentingan si anak
secara sempurna dan menciptakan suasana yang nyaman.
d. Amanah dan Berbudi
Seorang yang fasiq14
tidak bisa dipercaya untuk mengasuh anak
kecil, karena apabila seseorang yang seperti itu menjadi pengasuh
13
Slamet Arofik, “Pengasuhan Anak (Hadhanah) Perspektif Sayyid Sabiq dan Wahbah
Zuhaily”, Jurnal Usratuna, vol. 2, no. 1, (Desember 2018), h. 11-13. 14
Kata fasiq berasal dari kata الفسق (al-Fisq) atau الفسوك (al-Fusuq) yang mempunyai makna keluar dari sesuatu. Sedangkan secara istilah menurut Ibnu Manzur dalam kitabnya Lisān al-Arab fasiq
memiliki makna maksiat, yaitu meninggalkan terhadap segala perintah Allah Swt., dan penyimpangan
17
bagi anak, maka bisa jadi anak akan tumbuh dengan mengikuti gaya
hidupnya, atau beretika sebagaimana etika pengasuhnya.
e. Islam
Anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan
muslim. Hal ini karena hadhānah berkaitan dengan masalah
perwalian, sedangkan Allah Swt tidak membolehkan orang mukmin
berada di bawah perwalian orang kafir. Sayyid Sabiq menganggap
bahwa hadhānah itu seperti perwalian pernikahan atau harta benda.
Dikhawatirkan anak kecil yang diasuhnya dididik dengan tradisi
agamanya sehingga sulit bagi anak untuk meninggalkan agamanya
ini.
f. Merdeka
Hadhānah tidak boleh diserahkan kepada seorang budak,15
karena
seorang budak sibuk dengan urusan-urusan tuannya sehingga ia
tidak mempunyai waktu untuk mengasuh anak kecil.
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhūn) itu
adalah:16
1. Berada dalam usia anak-anak dan belum mandiri dalam mengurus
hidupnya sendiri
terhadap jalan yang benar yang telah ditunjukkan Allah Swt. Lihat Fauziah Nasution, “Kepribadian
Terbelah dalam Perspektif Al-Qur‟an (Studi Tematik: Konsep Fasiq dalam Tafsir Al-Misbah)”, al-
Irsyad: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, vol. 1, no. 1, (Juni 2019), h. 38. 15
Di dalam al-Qur‟ān, ditemukan beragam terminologi yang merujuk kepada makna budak,
khususnya budak perempuan. Term-term tersebut memiliki penekanan makna tersendiri. Diantaranya
adalah term „abd. Kata „abada, ya‟budu, ibadat berarti menyembah, mengabdi atau menghinakan diri.
Kata benda abd-„ibad berarti budak atau hamba sahaya, penyembah sesuatu. Dalam pemahaman
masyarakat jahiliyyah, „abd dikonotasikan sangat negatif dan merendahkan karena seorang „abd
berada dalam kepemilikan dan penguasaan tuannya secara mutlak. Mereka tidak memiliki hak apapun,
kecuali memiliki kewajiban sesuai perintah tuannya. Lihat Rosmini, “Misi Emansipatoris al-Qur‟an
dalam Relasi Seksual Antara Majikan dan Budak Perempuan”, Jurnal al-Daulah, vol. 4, no. 1, (Juni
2015), h. 158. 16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 330.
18
2. Berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya. Oleh karena itu,
tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang
idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak
boleh berada di bawah pengasuhan siapapun.
4. Pihak-pihak yang Berhak atas Hadhānah
Hadhānah merupakan bentuk keagungan ajaran Islam dalam
menjaga dan melindungi anak.17
Seorang anak pada awal mula
kehidupannya sampai pada usia tertentu memerlukan orang lain untuk
membantu kehidupannya, seperti makan, berpakaian, membersihkan
badannya, bahkan sampai kepada pengaturan bangun tidur. Karena itu
perlu orang yang menjaganya yang mempunyai rasa kasih sayang,
kesabaran, dan keinginan agar anak tersebut menjadi anak yang baik di
kemudian hari. Di samping itu, orang yang mengasuh harus mempunyai
waktu yang cukup untuk melakukan tugasnya tersebut. Karena itu agama
menetapkan wanita (idealnya) sebagai orang yang masuk dalam syarat-
syarat tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadis:
! ِإفه اِْبِِن ُ َعنػُْهَما : أَفه اِْمَر أًَة قَاَلْت: ََي َرُسْوَؿ اَّللِه َىَذا َكاَف بَْطِِن َلُو ِك َعْن َعْبِد َاَّللِه ْبِن َعْمِر َرِضَي َاَّلله
تَ ِز َعُو ِمِنِّ فَػَقاَؿ ََلَا َرُسْوُؿ َاَّللِه َعاًء, َكثَْدِيي َلُو ِسَقاًء, َكِحْجرِي َلُو ِحَواًء, َكِإْف َأاَبُه طَلهَقِِن, َكأَرَاَد أَْف يَػنػْ
ُ َعَلْيِو َكَسلهَم أَْنِت َأَحقُّ بِِو, َما َلَْ تَػْنِكِحي (َرَكاُه َأْْحَُد, َكأَبُػْو َداُكَد, َكَصحهَحُو َاْْلَاِكمُ )َصلهى َاَّلله
“Dari Abdullah bin Umar bahwasanya seorang wanita berkata: “Ya
Rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya,
asuhankulah yang mengawasinya dan air susukulah minumannya.
Bapaknya hendak mengambilnya dariku. Maka berkatalah Rasulullah:
17
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil, (Jakarta:
Darus Sunnah Press, 2010), h. 1077.
19
“Engkau lebih berhak atasnya (anak itu) selama engkau belum nikah
(dengan laki-laki yang lain)”. (HR. Abu Daud).18
Menurut riwayat Imām Mālik19
dalam kitabnya al-Muwaththa‟20
dari Yahya bin Sa‟id berkata Qasim bin Muhammad bahwa Umar bin
Khattab mempunyai seorang anak, namanya Ashim bin Umar, kemudian
ia bercerai. Pada suatu waktu Umar pergi ke Quba dan menemui anaknya
itu sedang bermain-main di dalam masjid. Umar mengambil anaknya itu
dan meletakkan di atas kudanya. Kemudian datanglah ibu si anak. Umar
berkata “anakku”. Wanita itu berkata pula “anakku”. Maka dibawalah
perkara itu kepada khalifah Abu Bakar. Abu Bakar memberi keputusan
bahwa anak Umar itu ikut ibunya, dengan dasar yang dikemukakannya: األم اعطف والطف وارحم وااحين وأخري وأرأف وىي أحّق بولدىا
“Ibu lebih cenderung (kepada anak), lebih halus, lebih pemurah, lebih
penyantun, lebih baik dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya
selama ia belum kawin (dengan laki-laki lain)”.21
Menurut hadis-hadis di atas, maka dapatlah ditetapkan bahwa si
ibu dari anak adalah orang yang paling berhak melakukan hadhānah, baik
masih terikat perkawinan atau ia dalam masa iddah talak raj‟i22
, talak
18
Abu Dawud, Sunan Abī Dāwud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Bab tentang Talāq, Bābu Man
Ahaqqu bi al-Walad, nomor hadis 2278, juz II, h. 251. 19
Imām Mālik bernama lengkap Abu Abdullah Malik Ibn Anas ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn
Amr Ibn Haris. Ia lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Al-Dzahabi menyebut
bahwa kelahiran Imām Mālik secara pasti yaitu pada tahun 93 H. Lihat Masykur, Berguru Adab
Kepada Imam Malik, (Sukabumi: CV Jejak, 2018), h. 40. 20
Kitab al-Muwaththa‟ adalah kitab hadis yang susunannya bernuansa fiqh. Berdasar kitab
yang di tahqiq Muhammad Fu‟ad „Abd. al-Baqy, kitab al-Muwaththa‟ terdiri atas dua juz, 61 kitab
(bab) dan 1824 hadis. Lihat Indo Santalia, “Al-Muwaththa‟ Imam Malik dan Pengaruhnya Terhadap
Pemikiran Hadis”, Jurnal Tahdis, vol. 6, (Januari 2019), h. 48. 21
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Cairo: Dar al-Fath, 1990), Juz II, h. 218. 22
Talak raj‟i adalah talak yang dimana suami boleh merujuk isterinya pada waktu iddah.
Talak raj‟i ini ialah talak satu atau talak dua yang tidak disertai uang iwadh dari pihak istri. Lihat
20
bain23
atau telah habis masa iddahnya, tetapi ia belum kawin dengan laki-
laki lain.
Dalam menentukan siapa yang lebih berhak melakukan hadhānah,
harus dibedakan antara anak yang belum mumayyiz dan anak yang sudah
mumayyiz. Anak dianggap sudah mumayyiz apabila telah mampu makan,
minum, buang air kecil dan besar sendiri. Ada yang memberikan sampai
umur 7 (tujuh) tahun. Pada tahap perkembangan ini (mumayyiz), orang tua
diperintahkan menyuruh anaknya melakukan shalat supaya di usia dewasa
(mukallaf atau baligh) menjadi terbiasa dan terlatih. Pasal 105 huruf a
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan, dalam hal terjadi perceraian,
pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua
belas) tahun adalah hak ibunya.24
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 156, dijelaskan
bahwa anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhānah dari
ibunya. Bila ibunya meninggal, kedudukannya digantikan oleh:
a. Perempuan-perempuan dalam garis lurus ke ibu
b. Ayah
c. Perempuan-perempuan dalam garis lurus ke atas dari ayah
d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
e. Perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari
ibu
f. Perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari
ayah.
Dhevi Nayasari, “Pelaksanaan Ruju‟ Pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Lamongan”, Jurnal
Independent, vol. 2, no. 1, h. 78. 23
Talak ba‟in adalah talak yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami
kembali kepada istrinya kecuali dengan akad baru. Lihat Muslim Zainuddin dan Syab‟ati Asyarah
Agustina, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perubahan Talak Tiga Menjadi Talak Satu (Analisis
Terhadap Putusan Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh No. 0163/Pdt.G/2016/Ms.Bna)”, Samarah:
Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, vol. 2, no. 1, (Januari-Juni 2018), h. 128. 24
Wahyu Kuncoro, Tips Hukum Praktis: Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga,
(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2010), h. 66-67.
21
Kedua pasal di atas menempatkan posisi anak pada dua keadaan;
Pertama, ketika anak belum berumur 12 tahun atau belum mumayyiz,
maka diberikan kepada ibunya. Kedua, ketika anak tersebut sudah
mumayyiz pilihan ditentukan oleh anak sendiri, apakah ingin mengikuti
ayah atau ibunya.25
Mengingat pengaruh pengasuh sangat besar terhadap jasmani dan
rohani anak, maka Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa
apabila pemegang hadhānah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhānah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan
agama dapat memindahkan hak hadhānah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhānah.26
Pemegang hadhānah harus memenuhi beberapa persyaratan
diantaranya:27
a. Beragama Islam apabila anaknya muslim
b. Al-iffah dan al-amanah (tidak fasik)
c. Tidak bepergian
d. Tidak bersuami lagi
e. Tidak mengidap penyakit berbahaya yang bisa mengganggu kegiatan
hadhānah, seperti buta maupun tuli.
Berdasarkan keterangan di atas, hak asuh ibu didahulukan atas
ayah. Hal ini disamping bersandar kepada dalil naqli juga diperkuat
25
Khairul Nasri, “Penerapan Asas Ius Contra Legem dalam Penyelesaian Sengketa
Hadhanah”, Jurnal Ijtihad: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, vol. 34, no. 2, (November 2018),
h. 120. 26
Pasal 156 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 27
Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bagho, Al-Fiqh Al-Manhaji‟ Ala Mazhab Al-Imam Al-Syafii, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2008), cet. VIII, h. 186.
22
dengan dalil aqli,28
karena sumber hukum Islam dapat diketahui
diantaranya melalui sumber naqliyyat dan „aqliyyat.29
Dalam satu hadis dari Abdullah Ibn Umar, diriwayatkan bahwa
Rasulullah didatangi oleh seorang perempuan, kemudian ia berkata
“sesungguhnya ini adalah anakku, perutku yang mengandungnya, susuku
yang dia minum, dan di rumahku tempat berkumpulnya (bersamaku), dan
sesungguhnya bapaknya telah menceraikanku dan ingin mengambil
dariku”. Mendengar pengaduan itu Rasulullah Saw memberi keputusan
seraya berkata, “kamu lebih berhak atas anak itu selama engkau tidak
menikah lagi.”
Di samping hadis tersebut, ibu dianggap lebih berhak untuk
memelihara anak dengan pertimbangan kasih sayang („athifah al-
umumah) yang pada umumnya lebih besar dari ayah, juga hubungan batin
ibu dengan anak lebih kuat. Anak membutuhkan ASI dan hanya dimiliki
ibu. Perempuan juga lebih sabar dan lembut sehingga lebih cakap untuk
mengasuh dan merawat anak.
Apabila anak sudah mumayyiz, maka ia memiliki hak untuk
memilih untuk ikut ayah atau ibunya.30
Setelah mumayyiz, anak relatif
lebih mandiri, dan ketergantungannya kepada ibu berkurang. Pada saat
yang sama, ia telah mampu membuat penilaian dan keputusan mengenai
apa yang terbaik bagi dirinya dalam hal-hal tertentu. Ia sudah bisa
memilih mana yang lebih baik antara hidup bersama ayah atau ibu.
Kelihatannya, hak memilih antara ayah dan ibu ini sederhana, tetapi
mengandung nilai pendidikan demokrasi yang luar biasa.
28
Dalil „aqli yaitu dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional, sedangkan dalil naqli ialah
dalil yang bersumber dari al-Qur‟an dan hadis. Lihat Munawir, “Aswaja NU Center dan Perannya
sebagai Benteng Aqidah”, Jurnal Shahih, vol. 1, no. 1, (Januari-Juni 2016), h. 64. 29
Wahyu Wibisana, “Konsekuensi Logis Qiyās Terhadap Kemaslahatan Umat”, Jurnal
Pendidikan Agama Islam – Ta‟lim, vol. 11, no. 2, (2013), h. 96. 30
Pasal 156 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
23
Satu hal yang seringkali dilupakan, ketika anak berada di bawah
pengasuhan ibu maka semua biaya hadhānah dan nafkah anak tetap
menjadi tanggun jawab ayahnya menurut kemampuan. Jadi tidak
dibenarkan apabila ayah secara sengaja dan tidak bertanggung jawab atas
urusan nafkah anak, karena hal itu tentu akan memberatkan sang ibu.31
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang
memiliki hak hadhānah tersebut, baik hak hadhānah milik wanita (ibu
atau yang mewakilinya) atau hak anak yang diasuh. Ibnu Rusyd32
mengatakan bahwa hadhānah diatur tertibnya menurut konsep kedekatan
dalam kelemah lembutan, bukan dengan dasar kekuatan perwalian, seperti
nikah, mawali, shalat jenazah, wala‟, dan warisan. Bisa saja orang yang
tidak mewarisi tetapi berhak hadhānah seperti orang yang diberi wasiat,
adik perempuan ayah, adik perempuan ibu, anak saudara laki-laki dan
saudara perempuan. Bisa saja orang yang mewarisi tetapi tidak berhak
hadhānah seperti suami istri orang yang mengasuh, dan perwalian karena
memerdekakan budak.33
5. Masa Hadhānah
Fase kehidupan awal dari anak-anak sampai masa dewasa
melewati dua masa, yaitu sebagai berikut:
Periode pertama, dimulai sejak kelahirannya, dan berakhir pada
saat sampainya ia pada masa kedewasaan, yakni tahun-tahun ketika ia
tidak lagi memerlukan bantuan kaum wanita. Pada usia belum dewasa ini,
31
M. Cholil Nafis dan Abdullah Ubaid, Keluarga Maṣlaḥah: Terapan Fikih Sosial Kiai
Sahal, (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2010), h. 240-242. 32
Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibnu Rusyd lahir di
Cordova pada 1126 dan mengenyam pendidikan bahasa Arab, fiqh, kalam, dan kedokteran dari
sejumlah guru hingga berusia empat puluh tahun. Ibnu Rusyd menulis banyak kitab, diantaranya empat
karya penting yang menurut pandangan penulis masuk dalam kategori magnum opus yaitu: Bidayatul
Mujtahid, Faslul Maqal, Manahij al-Adillah, Tahafut at-Tahafut. Zaprulkhan, Pengantar Filsafat
Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), h. 74-75. 33
Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia: Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan
Hukum Materiil, (Pamulang: Yasmi, 2018), h. 250.
24
anak-anak memerlukan bantuan kaum wanita lebih banyak daripada kaum
pria. Sebab, kaum wanita lebih mampu memelihara dan mengasuh serta
mendidik anak-anak pada masa tersebut.
Periode kedua, mendapatkan pendidikan, pengajaran, dan
pembinaan akhlak. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, laki-laki lebih
mampu daripada wanita. Periode ini berakhir dengan tumbuhnya
kedewasaan yang disertai kesempurnaan akal, serta berani mandiri
sehingga tidak banyak memerlukan bimbingan dari wali (orangtuanya).
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai umur ketika anak-anak
mulai tidak memerlukan lagi peran serta yang banyak dari kaum wanita.
Secara garis besarnya mereka dikelompokkan kepada empat kelompok
pendapat:34
Fuqaha Hanafiyah berpendapat bahwa masa pengasuhan anak
(hadhānah) untuk anak laki-laki berakhir ketika ia mencapai umur tujuh
tahun atau menurut sebagian lagi, sembilan tahun. Sedang masa hadhānah
untuk anak wanita berakhir ketika anak itu mencapai umur sembilan tahun
atau menurut sebagian lagi, sebelas tahun. Setelah itu, maka ayah lebih
berhak dari keduanya.
Imām Mālik berkata, “Masa hadhānah anak laki-laki itu berakhir
dengan ihtilah (mimpi). Sedang masa hadhānah untuk anak perempuan
berakhir dengan sampainya ia pada usia menikah. Jika ia sampai pada
umur menikah sedang ibu dalam masa iddah, maka ia lebih berhak
terhadap anak putrinya sampai ia menikah (lagi). Jika tidak dalam kondisi
demikian, maka anak tersebut dapat dititipkan kepada ayahnya, atau jika
ayahnya tidak ada, maka ia dapat dititipkan kepada wali-walinya.35
34
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik
Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktivitas Anak, (Jakarta: Al-Mawardi Prima,
2004), 108-114. 35
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktivitas Anak, h. 115.
25
Imam Syafi‟i36
berpendapat bahwa masa hadhānah anak-anak,
baik pria maupun wanita berakhir ketika sampai usia tujuh tahun atau
delapan tahun. Jika pada usia tersebut ia termasuk yang berakal sehat,
maka yang bersangkutan berhak memilih kepada ayah atau ibunya ia akan
ikut.
Imam Ahmad bin Hanbal37
dalam riwayatnya yang masyhur
menyatakan bahwa hadhānah anak berakhir sampai ia berumur tujuh
tahun. Jika ia anak laki-laki dan telah mencapai usia tersebut, maka ia
diperbolehkan untuk memilih di antara kedua orang tuanya. Namun jika ia
perempuan, maka ayahnya lebih berhak atasnya, dan tidak ada hak
baginya untuk memilih.
B. Maṣlaḥah Mursalah
Secara umum, fondasi hukum Islam itu mengacu kepada al-Qur‟ān,
sunnah, qiyās dan ijma‟. Meskipun keempat sumber ini adalah sumber yang
otoritatif, tetapi dalam praktek kehidupan sehari-hari manusia tidak pernah
terlepas dari kebutuhan yang selalu bergerak dinamis.38
Dalam menggali dan
mengkonstruksi suatu hukum dibutuhkan serangkaian konsep argumentasi
lain guna memperluas jangkauan untuk pengambilan suatu keputusan, salah
satunya adalah maṣlaḥah mursalah.39
36
Imam Syafi‟i mempunyai nama lengkap Abu Abdillah Muhammad Ibn Idris al-Syafi‟i.
Lahir pada tahun 150 H bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Sejak kecil ia terkenal
cerdas, kuat hafalannya, dan gigih menuntut ilmu. Menjelang umur 9 tahun ia telah hafal 30 juz al-
Qur‟ān dan usia 10 tahun ia telah menguasai pramasastra Arab dengan baik. Imam Syafi‟i wafat pada
29 Rajab tahun 204 H. Lihat Abdul Karim, “Pola Pemikiran Syafi‟i dalam Menetapkan Hukum Islam”,
Jurnal Adabiyah, vol. XIII, no. 2, (2013), h. 188. 37
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Asad bin Idris bin
Abdullah bin Hasan As-Syaibany. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Robi‟ul Awal tahun 164
H. Lihat Husnul Khatimah, “Sejarah Pemikiran Hukum Ahmad bin Hanbal”, Jurnal Lisan Al-Hal, vol.
11, no. 1, (Juni 2017), h. 160. 38
Ahmad Hasan Ridwan, Dasar-Dasar Epistemologi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
cet. 1, h. 91. 39
Khaled Abou El Fadl, Reasoning with God: Reclaiming Shari‟ah in the Modern Age,
(Maryland: Rowman & Littlefield, 2014), h. xxxiv-xxxv.
26
1. Pengertian Maṣlaḥah Mursalah
Maṣlaḥah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya
merupakan bentuk sifat-maushūf, atau dalam bentuk khusus yang
menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al-maṣlaḥah. Al-maṣlaḥah
merupakan bentuk mufrad (tunggal),40 sedangkan bentuk (املصلحة)
jamaknya (plural) adalah al-masālih (41.(املصاحل Al-maṣlaḥah bisa dimaknai
sebagai kebaikan,42
kemanfaatan, kepantasan, keselarasan dan kepatutan.
Kata al-maṣlaḥah adakalanya dilawankan dengan kata al-mafsadah, juga
dilawankan dengan kata al--maḍarrah, yang mengandung arti kerusakan.
Secara terminologi, para ulama ushul fiqh memberikan makna kata
al-maṣlaḥah secara beragam. Al-Ghazālī misalnya, mengatakan bahwa
makna asli dari maṣlaḥah adalah menarik atau mewujudkan kemanfaatan
dan menyingkirkan atau menghindari kemudaratan (jalb al-manfa‟ah wa
daf‟ al-maḍarrah).43
Menurut al-Ghazālī, yang dimaksud maṣlaḥah dalam
arti pengertian syar‟i adalah memelihara dan mewujudkan tujuan syara‟
yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta
kekayaan. Secara tegas al-Ghazālī menyatakan bahwa segala sesuatu yang
dapat menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal tersebut
dikualifikasikan sebagai maṣlaḥah. Sebaliknya, segala sesuatu yang dapat
mengganggu dan merusak kelima hal tersebut dinilai sebagai mafsadah.44
Jika maṣlaḥah bertentangan dengan nash, maka maṣlaḥah mentakhsis
40
Usman, Rekonstruksi Teori Hukum Islam (Membaca Ulang Pemikiran Reaktualisasi
Hukum Islam Muwawir Sjadzali), (Yogyakarta: LKiS, 2015), h. 86. 41
Muhammad Yusuf, Pendekatan Al-maṣlaḥah Al-Mursalah dalam Fatwa MUI tentang
Pernikahan Beda Agama, Jurnal Ahkam, vol. XIII, no. 1, (Januari, 2013), h. 100. 42
Ibnu Manzur, Lisān al-„Arab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), h. 348. 43
Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana Khusus
di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia, 2010), h.
35. Lihat juga Imran Ahsan Khan Nyazee, Outline of Islamic Jurisprudence, (Islamabad: Advanced
Legal Studies Institute, 2016), cet. 6, h. 205. 44
Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maṣlaḥah”, Salam: Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum,
vol. 12, no. 2, (Desember 2014), h. 314.
27
(mengkhususkan) nash dengan berpijak kepada hadis “la darara wala
dirar” sebagai basis argumentasi.45
Sedangkan al-mursalah ( سلةاملر ) adalah isim mafū‟l (objek) dari fi‟il
madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf), yaitu
.ارسل dengan penambahan huruf “alif” di awalnya, sehingga menjadi ,رسل
Secara etimologis artinya “terlepas” atau dalam arti مطلقة (bebas). Kata
“terlepas” dan “bebas”,46
apabila dihubungkan dengan kata maṣlaḥah
maksudnya adalah terlepas dari dalil-dalil al-Qur‟ān, as-sunnah dan ijma‟,
akan tetapi tetap terikat kepada maqāṣid al-syari‟ah atau tujuan-tujuan
syara‟, dengan kata lain terlepas atau terbebas dari keterangan yang
menunjukkan boleh atau tidak bolehnya sesuatu dilakukan.47
Jadi secara sederhana maṣlaḥah mursalah dapat dipahami sebagai
suatu ketetapan hukum yang diambil berdasarkan kemaslahatan manusia
karena tidak terdapat dalil-dalil syara‟ yang menetapkan boleh atau
tidaknya sesuatu hal dilakukan.48
Untuk lebih jelasnya definisi di atas, bahwasanya pembentukan
hukum dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia.
Artinya, mendatangkan kemanfaatan, menolak kemudaratan dan
menghilangkan kesulitan dari mereka. Sesungguhnya kemaslahatan
manusia tidak berhenti pada teks-teks keagamaan yang terbatas (an-
nushūsh ad-dīniyyah al-mutanāhiyah), tetapi akan selalu hidup dan
berdialektika dengan problematika kekinian yang terus berkembang dan
tidak terbatas (al-waqāi‟ allā mutanāhiyah). Pensyariatan hukum
45
Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan
Amerika, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2007), h. 41. 46
Amir Syarifudin, Ushul Fiqih Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 354. 47
Nur Asiah, “Istislah dan Aplikasinya dalam Penetapan Hukum Islam”, Jurnal Hukum
Diktum, vol. 14, no. 2, (Desember 2016), h. 150.
28
adakalanya mendatangkan kemanfaatan pada suatu masa akan tetapi pada
masa yang lain tidak lagi relevan untuk digunakan.49
2. Sumber dan Dasar Hukum Maṣlaḥah Mursalah
Dasar para ahli hukum Islam mempergunakan maṣlaḥah mursalah
sebagai dalil hukum dan hujjah syariah adalah sebagai berikut:
a. Perintah Allah dalam surat Al-Nisa‟ [4]: 5950
“Hai orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (Al-Qur‟an) dan
Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari akhir. Yang beriman itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.”
Adanya perintah ini yaitu untuk mengembalikan persoalan yang
diperselisihkan kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah, dengan wajh al-istidāl,51
sebab mungkin perselisihan itu diakibatkan persoalan baru yang tidak
ditemukan dalam al-Qur‟an dan as-sunnah. Untuk menyelesaikan
persoalan ini, selain dapat ditempuh dengan menggunakan metode qiyās,
dapat juga diselesaikan dengan metode lain seperti istislah atau maṣlaḥah
mursalah.
49
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Dina Utama, 2014), h.139. 50
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Surabaya: Fajar Mulya, 2012), h.
87. 51
Wajh al-istidāl adalah dasar alasan pengambilan dalil atau hukum. Lihat Walter Edward
Young, The Dialectical Forge: Judicial Disputation and The Evolution of Islamic Law, (New York:
Springer, 2016), h. 371. Lihat juga Ajub Ishak, “Daya Serap Lembaga-Lembaga Fatwa di Indonesia
Terhadap Masalah Hukum Kontemporer”, Jurnal Al-Mizan, vol. 11, no. 1, (Juni 2015), h. 107.
29
b. Hadits Mu‟adz bin Jabal52
َرِة ْبنِ َحده ثَػَنا َحْفُص ْبُن ُعَمُر، َعْن ُشْعَبَة، َعْن َأِب َعْوٍف، َعِن اْْلَاِرِث ْبِن َعْمرِك أْبِن َأِخي اْلُمِغيػْ
ُشْعَبَة، َعْن أَََنٍس ِمْن أَْىِل ِْحٍْص، ِمْن َأْصَحاِب ُمَعاِذ ْبِن َجَبٍل، َأفه رَ ُسْوَؿ هللِا َصلهى هللاُ َعَلْيِو َك
َعَث ُمَعاًذا ِإََل اْلَيَمْن قَاَؿ : َكْيَف تَػْقِضي ِإَذا َعَرَد َلَك َقَضاٌء؟ قَاَؿ : أَْقضِ ي َسلهَم َلمها أَرَاَد أَْف يَػبػْ
ِبِكَتاِب هللِا، قَاَؿ فَإْف َلَْ َتَِْد يِف ِكَتاِب هللِا؟ قَاَؿ : فَِبُسنهِة َرُسْوِؿ هللاِ َصلهى هللاُ َعَلْيِو َك َسلهَم ، قَاَؿ
: فَِإْف ََلْ َتَِْد يِف ُسنهِة َرُسْوِؿ هللِا َصلهى هللِا َعَلْيِو َك َسلهَم، َكاَل يف ِكَتاِب هللِا؟ قَاَؿ : َأْجَتِهدُ رَأِْيي،
َكاَل آُلو َفَضَرَب َرُسْوُؿ هللِا َصلهى هللاُ َعَلْيِو َك َسلهَم َصْدَرهُ ، َكقَاَؿ : اْْلَْمُد هلِل الهِذي َكفهَق َرُسْوَؿ،
َرُسْوِؿ هللِا ِلَما يُػْرِضي َرُسْوَؿ هللاِ
Telah menceritakan hafsah bin Umar bahwa ia telah menerima
riwayat dari Syu‟bah dari Abi Aun dari Harist bin Amr bin saudara
Mughirah bin Syu‟bah dari seorang laki-laki penduduk Hamsy
teman Mu‟adz bin Jabal menceritakan bahwa Nabi Muhammad
ketika mengutus Mu‟adz ke Yaman beliau berkata: “Bagaimana
engkau (Mu‟adz) mengambil suatu keputusan hukum terhadap suatu
persoalan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab Mu‟adz. “Saya
akan mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah
(Al-Qur‟an). “Kalau kamu tidak mendapatkannya dalam kitab
Allah? Jawab Mu‟adz. “Saya akan mengambil keputusan
52
Nama lengkapnya adalah Muadz Ibn Jabal Ibn „Amr Ibn Awus Ibn „Ᾱ‟iz Ibn „Udẓ Ibn
Ka‟ab Ibn „Amr Ibn Udi Ibn Sa‟ad Ibn „Alẓ Ibn Asad Ibn Sāridah Ibn Tazẓd Ibn Jasym Ibn al-Khazraj
al-Ansharẓ al-Khazrajẓ. Muaz dikenal juga dengan subutan (kunyah) Abū „Abd al-Rahmān al-Ansharẓ
dan termasuk golongan Banẓ Salmah melalui jalur „Udẓ, karena „Udẓ merupakan saudara Salmah Ibn
Sa‟ad yang merupakan salah satu suku yang menjadi nasab golongan Anshar. Lihat Nofialdi,
“Pengaruh Faktor-Faktor Sosial Terhadap Ijtihad Sahabat Mu‟āz Ibn Jabal”, Jurnal Istinbάth, vol. 15,
no. 1, (Juni 2016), h. 111.
30
berdasarkan atas Sunnah Rasul.” Selanjutnya Nabi bertanya, jika
engkau tidak menemukannya dalam as-Sunnah?Jawab Mu‟adz.
“Saya akan berijtihad dan saya tidak akan menyimpang
daripadanya.” Lalu Rasulullah menepuk dada Mu‟adz seraya
mengatakan. “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq
urusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan Rasul-
Nya.”53
Dalam hadis di atas, Rasulullah Saw. membenarkan dan memberi
restu kepada Mu‟adz bin Jabal untuk melakukan ijtihad54
apabila masalah
yang akan diputuskan hukumnya tidak terdapat dalam al-Qur‟ān dan as-
Sunnah. Dalam berijtihad banyak metode yang dapat digunakan, bisa
dengan metode qiyās, karena ada illat yang mempertemukannya. Apabila
dengan metode qiyās tidak dapat diterapkan, maka dapat dipergunakan
metode lain seperti istislah atau maṣlaḥah mursalah untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi. Dengan demikian, restu Rasulullah Saw
kepada Mu‟adz untuk melakukan ijtihad dapat dijadikan dalil untuk
menetapkan suatu hukum.
Demikian pula ijtihad dalam “Hadis „Amr bin „Ash” menunjukkan
hal yang sama, meskipun dalam skala yang lebih kecil, namun bersifat
53
Abu Dawud, Sunan Abī Dāwud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Juz III, h. 295. Lihat juga
Muhammad Taufiq, “Validitas Hadits tentang Pengutusan Muaz ke Yaman (Kajian Takhrij Hadis)”,
Jurnal Al-Hurriyah, vol. 11, no. 1 (Januari-Juni 2010), h. 71. Meskipun keshahihah hadis ini masih
diperdebatkan para ulama mengenai kualitasnya tetapi hadis ini dapat dijadikan penopang tentang
anjuran dan kebolehan berijtihad. Penulis menyebutkan kualitas hadis tersebut karena penelitian
terhadap hadis Nabi merupakan sebuah upaya dalam melestarikan dan memelihara orisinalitas hadis
Nabi. Lihat Nor Salam, Hadis Ahwal Syakhsiyyah: Konsep, Metodologi Kajian dan Identifikasinya
dalam Kutub al-Sittah, (Malang: Literasi Nusantara, 2019), h. 67. 54
Ijtihad adalah masdar dari fi‟il madhi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta‟ pada kata ja-
ha-da menjadi ijtahada pada wazan if-ta-a‟-la berarti bermakna “usaha itu lebih sungguh-sungguh”.
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqh Islam)
untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara‟ (agama). Lihat Rachmat
Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 98-99.
Recommended