View
227
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
HAK MEMILIH AGAMA BAGI ANAK DARI PASANGAN BEDA AGAMA
DALAM PERSEPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk memenuhi syarat-syarat mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh :
Azazi
104044101394
Di Bawah Bimbingan
Dr. Jaenal Arifin, MA.
NIP. 150 289 202
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1429 H / 2008 M
HAK MEMILIH AGAMA BAGI ANAK DARI PASANGAN BEDA AGAMA
DALAM PERSEPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Oleh :
Azazi
104044101394
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul HAK MEMILIH AGAMA BAGI ANAK DARI PASANGAN
BEDA AGAMA DALAM PERSEPEKTIF HAK ASASI MANUSIA telah diujikan
dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 September 2008. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
pada Program Studi Ahwal Syakhshiyah.
Jakarta, 23 September 2008
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA,
MM.
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA.
(………………..)
NIP. 150 169 102
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH.
(………………..)
NIP. 150 285 972
3. Pembimbing : Dr. Jaenal Aripin, MA.
(………………..)
NIP. 150 289 202
4. Penguji I : Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
(…………….....)
NIP. 150 210 422
5. Penguji II : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA.
(………………..)
NIP. 150 169 102
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirahim
Alhamdulillah kita panjatkan syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa yang
telah memberikan karunia dan nikmat akal, sehingga kita dapat menuntut ilmu,
menambah wawasan melalui ilmu-ilmu yang Allah telah berikan. Dengan rasa
bahagia, penulis juga mengucapkan Alhamdulillah, karena telah menyelesaikan judul
skripsi ini.
Shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kepada kebaikan, kita dapat membedakan baik dan buruk. Beliau sebagai
tauladan kita dan menjadikan Beliau sebagai landasan dalam menjalani hidup.
Dengan penuh kerendahan hati, bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini,
terdapat pihak-pihak yang telah membantu, untuk itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, yaitu :
1. Bpk Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bpk Dr. Jaenal Aripin, MA., dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, selama membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi
3. Bpk Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA., Ketua Studi Ahwal Syakhshiyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Bpk Kamarusdiana, S.Ag, MH., Sektretaris Program Studi
Ahwal Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Segenap Bapak dan Ibu dosen atau staf pengajar pada jurusan al-Ahwal
Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis selama duduk di bangku kuliah
5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Fakultas Syariah dan Hukum,
kepala Perpustakaa Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi sebagai bahan
rujukan skripsi
6. Sahabat-sahabat seperjuangan Konsentrasi Peradilan Agama Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
angkatan 2004
Sekian dari penulis sampaikan, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
kepada kita semua. Masih banyak banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini,
oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis perlukan untuk kesempurnaan skripsi
ini.
Jakarta, 12 September 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………1
B. Batasan dan Rumusan Masalah……………………………………….8
C. Tujuan dan Manfaat…………………………………………………...9
D. Metode Penelitian…………………………………………………….10
E. Sistematika Penulisan………………………………………………...12
BAB II HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA
A. Pengertian……………………………………………………………14
B. Pernikahan Pria dengan Wanita Ahli Kitab…………………………17
C. Pernikahan Pria dengan Wanita Musyrik……………………………26
D. Pernikahan Wanita Muslim dengan Pria Non Muslim……………....29
E. Akibat Hukum Pernikahan Beda Agama…………………………….31
BAB III KONSEP HAM DALAM KEBEBASAN BERAGAMA
A. Pengertian dan Perbedaannya Menurut Islam dan Barat……………..40
B. Hak Kebebasan Beragama dalam Konsep Islam…………………….48
C. Hak Kebebasan Beragama dalam Konsep Barat (UDHR)…………..52
D. Hak Kebebasan Beragama dalam Konstitusi (UUD 1945)…………..53
BAB IV HAK ANAK MENURUT HAM DALAM MEMILIH AGAMA
A. Kedudukan Agama Anak Menurut Agama-agama di Indonesia……..58
B. Kepemilikan Hak Bagi Anak dalam Memilih Agama………………..66
C. Hak Anak Menurut HAM dalam Memilih Agama……..……………70
D. Analisis……………………………………………………………….79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………...82
B. Saran-saran…………………………………………………………...84
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………86
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………………89
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tanga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Jalan yang dipilih Allah
SWT untuk melestarikan keturunan. Dikeluarkannya Adam dan Hawa dari Syurga
untuk kemudian ditempatkan di bumi dapat dikatakan sebagai cikal bakal penciptaan
manusia. Manusia menurut ajaran agama Islam adalah makhluk yang paling mulia
di antara makhluk-makhluk lainnya. Manusia adalah sebagai pemimpin atau wakil
Tuhan di muka bumi. Dalam istilah agama fungsi manusia yang demikian disebut
“Khalifah”. Misi manusia sebagai khalifah pada pokoknya adalah memelihara dan
menciptakan kemaslahatan manusia dalam hubungannya dengan alam semesta.2 oleh
karena itu, untuk menjaga kemulian, akhlak, dan kesusilaan, diaturlah bagi diri
manusia dengan pernikahan.
Sayyid Sabiq menulis dalam bukunya fikih sunnah : Perkawinan adalah suatu
cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang
biak dan melestarikan hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan
1 Depag RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan
Agama, (Jakarta, 2001), h. 131
2 Q.S. Al-Isra’ ayat 70
peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan”. Tuhan tidak mau
menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti
nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarki. Demi menjaga
kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah SWT membuat hukum sesuai
dengan martabatnya.3
Masalah pernikahan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, sebagai unifikasi hukum dan menghapus peraturan atau
Undang-Undang Perkawinan sebelumnya. Peraturan yang mengatur perkawinan
yang telah diatur dalam Undang-Undang ini tidak berlaku lagi. Sebagaimana pasal
66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. “Untuk perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka
dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesiers S. 1993
No. 74), peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemangde Huwelijken S.
1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Permasalahan akan muncul apabila ada manusia yang ingin melaksanakan
pernikahan tetapi berbeda agama, karena Undang-Undang ini tidak mengatur
pernikahan beda agama, tapi dalam Undang-Undang ini hanya memungkinkan bagi
3 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah. (Bandung : PT. Alma’arif, 1980), Jilid 6, Cet 15, h. 8
mereka yang ingin melaksanakan pernikahan beda agama untuk dapat
melangsungkan pernikahannya selama dibolehkan oleh agamanya masing-masing.
Sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. “Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan pria dan wanita
yang sama aqidah, akhlak dan tujuanya. Dibawah naungan itu suami dan istri akan
tentram, penuh cinta dan kasih sayang. Keluarga akan bahagia dan anak-anak akan
sejahtera. Kehidupan seperti tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami
istri berpegang kepada agama yang sama. Jika agama keduanya berbeda akan timbul
berbagai kesulitan dilingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadat, pendidikan
anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi kegamaan, dan lain-lain.4
Pada dasarnya seluruh agama menghendaki umatnya menikah dengan
seiman, karena untuk menjaga keturunan dan menjaga keyakinan agama kepada
penerusnya. Semua agama menitikberatkan pernikahan kepada keturunan yang akan
dihasilkan, kedua orang tua ingin memberikan apapun yang terbaik kepada anaknya.
Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting
kedudukannya dalam suatu keluarga. Sebagai amanah Allah SWT, maka orang tua
mempunyai tanggung jawab untuk mengasuh, mendidik dan memenuhi
keperluannya sampai dewasa.
4 H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam
Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 9
Anak mempunyai hak terhadap orang tuanya, yaitu orang tua berkewajiban
memelihara dan mendidik. Pemeliharaan anak artinya tanggung jawab orang tua
untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan
hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan
berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat
kontinu sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa
yang telah mampu berdiri sendiri. Dan pendidikan anak artinya kewajiban orang tua
untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak tersebut
manjadi manusia yang mempunyai kemampuan dan kecakapan sesuai dengan
pembawaan bakat anak tersebut yang akan dikembangkannya di tengah-tengah
masyarakat sebagai landasan hidup dan penghidupannya setelah ia lepas dari
tangung jawab orang tua. 5
Tentu suatu pernikahan beda agama akan mengakibatkan perbedaan dalam
pemeliharaan dan pendidikan anaknya, khususnya dalam pendidikan agama
anaknya. Perebutan antara suami dan istri memberikan efek pendidikan yang buruk
terhadap anaknya. Ketika salah satu orang tua memberikan pilihan masing-masing
agama, maka anak akan merasa bingung dan kehilangan kebebasannya untuk
menentukan pilihan agamanya.6 Hal itu akan mempengaruhi dalam pertumbuhan
5 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), h. 283-284
6 Basiq Djalil, Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI, (Jakarta: Qalbun
Salim, 2005), h. 167
pribadi anak, karena berlainannya pendidikan yang diberikan. Sikap orang tua yang
berbeda akan menyebabkan si anak terombang-ambing diantara dua kekuatan yang
berpengaruh. Pertanyaan yang akan selalu ada dipikiran anak adalah dia akan
mengikuti agama siapa? ayah atau ibunya, ia akan merasa kebingungan terhadap
keputusan yang akan ambil.
Bagitu juga bagi suami istri yang memberikan pilihan agama pada si anak,
besar kemungkinan anak akan menjadi korban, mereka sulit memilih pada agama
siapa ia berpijak. Membiarkan anak memilih akan bermasalah jika tidak bijaksana,
karena keyakinan agama ditentukan oleh pendidikan sejak kecil, bahkan sangat
membahayakan anak karena dapat menjadi atheis.7
Sebagai orang tua sudah menjadi kewajiban memberikan hak-hak anak
tersebut, orang tua pasti ingin memberikan pemeliharaan dan pendidikan yang
terbaik untuk anaknya, dan kemungkinan besar menginginkan anaknya mengikuti
agama mereka. Maka orang tua yang berbeda agama sudah tentu memberikan
pendidikan agama terhadap anaknya dengan cara berbeda, di sinilah penulis ingin
bahas, seorang anak yang dihadapkan dua pilihan dalam menentukan agamanya.
apakah anak mempunyai hak bebas memilih atau apakah orang tua memberikan hak
kebebasan sepenuhnya kepada anaknya atau kedua orang tua memaksa anaknya
untuk mengikuti salah satu agama.
7 Ibid, h. 168
Sebagai contoh penulis kemukakan keluarga yang saat ini menjalani rumah
tangga dengan perbedaan agama, penulis akan menggambarkan secara umum
tentang keluarga ini dalam membina rumah tangganya.
“Seorang perempuan muslim bernama Sriastuti menikah dengan seorang
laki-laki yang bernama Basuki yang saat ini beragama Kristen. Ketika melakukan
akad Basuki telah mengucapkan syahadat dan beragama Islam kemudian
melaksanakan pernikahan di KUA Bogor pada bulan Desember tahun 1997. Dari
hasil pernikahan itu Sriastuti dan Basuki mempuyai tiga orang anak, yang pertama
berumur sepuluh tahun, yang kedua berumur tujuh tahun dan yang ketiga baru
berumur satu tahun. Karena faktor ekonomi tidak mencukupi kebutuhan keluarga
dan Basuki sering mendapat bantuan dari gereja dan ikut kegiatan ibadah agama
Kristen, Basuki akhirnya pindah ke agama Kristen. Kemudian Basuki ingin
mengajak anaknya yang pertama yaitu Agus Wiyanto ikut agama Kristen dengan
selalu mengajak ke gereja setiap hari minggu. Kalau Agus tidak mau, Basuki sering
memaksa dan memukul lalu Agus menangis. Karena Agus sudah mengerti, ia ingin
ikut pendidikan agama Ibunya. Karena teman-temanya juga beragama Islam, ia ingin
belajar mengaji bersama teman-temanya, tapi kalau ketahuan Basuki ia dilarang dan
dimarahi. Karena Basuki suka emosi, maka Sriastuti memberikan pendidikan agama
Islam secara sembunyi-sembunyi kepada Agus”8
8 Ibu Sriastuti, Wawancara pribadi, Tangerang , 25 Juni 2008
Agus Wiyanto sering ditanya di sekolahnya oleh ibu Guru, apa agamamu?
Agus sering menjawab agamanya adalah Islam, tapi Agus juga menanyakan, kenapa
saya tidak diberi buku agama. Agus juga takut kalau ketahuan ayahnya. Agus merasa
dipaksa oleh ayahnya kelau diajak ke gereja untuk beribadah sampai-sampai ia
sering menangis. Agus merasa tertekan oleh ayahnya, karena ayahnya suka marah-
marah, sedangkan ibunya tidak dapat berbuat apa-apa. Agus sering disuruh ibunya
belajar mengaji bersama teman-temanya dengan sembunyi-sembunyi, tanpa
sepengetahuan ayahnya.9
Cerita di atas adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa
anaklah yang menjadi obyek yang dirugikan oleh posisi kedua orang tua yang
berbeda keyakinan, baik kedua orang tua yang berebut atas status agama anaknya
maupun salah satu memaksakan kehendaknya. Inilah yang akan menyebabkan anak
akan merasa bingung dan tidak baik bagi perkembangan jiwa anak.
Maka berkaitan dengan hal di atas, maka penulis ingin menulis dalam
skripsi ini dengan judul “HAK MEMILIH AGAMA BAGI ANAK DARI
PASANGAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA”
9 Agus Wiyanto, anak dari ibu Sriastuti dan Pak Basuki, Wawancara Pribadi, Tangerang, 25
Juni 2008
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam skripsi ini penulis membatasi permasalahanya sebagai berikut :
a. Kebebasan beragama menurut agama-agama di Indonesia.
b. Kepemilikan hak bagi anak dalam memilih agama dari pasangan beda agama
c. Hak bagi anak dalam memilih agama dari pasangan beda agama dalam
perspektif Hak Asasi Manusia
2. Perumusan Masalah
Semestinya anak mempunyai hak kebebasan dalam memilih agama sekalipun
orang tuanya berbeda agama atau keyakinan, tapi dalam kenyataannya terjadi
penekanan atau deskriminasi terhadap anak sehingga ia tidak mempunyai kebebasan
dalam memilih agama. Hal inilah yang ingin penulis telusuri dalam skripsi ini.
Rumusan diatas dapat dirinci dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikit :
a. Bagaimana Kebebasan beragama menurut agama-agama di Indonesia?
b. Apakah anak dari pasangan beda agama memiliki hak memilih agama?
c. Bagaimana hak memilih agama bagi anak dari pasangan nikah beda agama
dalam perspektif Hak Asasi Manusia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai melalui penulisan skripsi ini
adalah:
1. Untuk mengetahui pandangan agama-agama tentang Kebebasan beragama
2. Untuk mendapatkan informasi yang faktual berkaitan dengan hak memilih
bagi anak dalam memilih agama
3. Untuk mengetahui hak memilih agama bagi anak dalam perspektif Hak Asasi
Manusia.
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah:
1. Dapat memberikan pemahaman tentang kebebasan beragama menurut
masing-masing agama
2. Dapat mendeskripsikan permasalahan tentang hak bagi anak memilih agama
dari pasangan beda agama
3. Dapat memberikan wacana dan pemahaman terhadap bagi anak memilih
agamanya dalam perspektif Hak Asasi Manusia
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan
Dalam pendekatan penulis menggunakan pendekatan secara emperis, yaitu
memperhatikan dan memahami secara langsung keadaan keluarga yang menjalani
kehidupan rumah tangga yang berbeda agama kemudian dikaitkan dengan
penelaahan sumber-sumber yang relevan dengan tema penelitian
2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif: ucapan atau tulisan dan
perilaku yang dapat diamati dari orang-orang itu sendiri, atau penelitian yang lebih
banyak menggunakan kualitas subjektif. Mencakup penelaahan dan pengungkapan
berdasarkan persepsi untuk memperoleh pemahaman terhadap fenomena sosial dan
kemanusian.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data penulis menggunakan dua cara, yaitu
pengumpulan data kepustakaan (Library Research) dan lapangan (Field Research).
Adapun dalam pengumpulan data kepustakaan penulis mengambil dari berbagai
literatur atau sumber-sumber bacaan yang ada, seperti peraturan perundang-
undangan, buku-buku, dan sumber lain yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
Sedangkan dalam pengumpulan data lapangan penulis mengadakan wawancara
mendalam (Deep Interview). Wawancara dilakukan terhadap keluarga Bapak Basuki
dan Ibu Sriastuti yang saat ini masih berbeda agama, dan kepada Agus Wiyanto
sebagai anak dari pasangan beda agama.
4. Sumber Data
Sumber data yang diperoleh, penulis kwalifikasikan menjadi dua, yaitu data
primer dan data sekunder. Adapun data primer diperoleh langsung dari wawancara
dengan keluarga yang menjalani rumah tangga yang berbeda agama, sedangkan
data sekunder dipeoleh dari literatur, yaitu buku-buku, Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tantang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan
buku-buku yang memuat keterangan dan penjelasan seputar tema dan pokok
penelitian.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam skripsi ini adalah Deskriptif
Kualitatif. Digunakan untuk menuturkan, menafsirkan dan menguraikan data yang
bersifat kualitatif, baik data yang diperoleh dari literatur-literatur maupun data yang
dperoleh dari wawancara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku pedoman
penulisan skripsi, tesis, Disertasi UIN Syarif Hidayatullah. Penulisan dengan
ketentuan sebagai berikiut:
1. Terjemahan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits dalam penulisannya diketik satu
spasi walaupun kurang dari enam baris
2. kutipan dari buku-buku yang masih dalam ejaan lama disesuaikan dengan
ejaan yang disempurnakan (EYD)
3. Dalam daftar pustaka al-Qur’an ditulis pada urutan pertama, kemudian
sumber lainya
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi di bagi atas lima bab, tiap-tiap bab terdiri dari
sub-sub bab. Perincian sistemetika tersebut adalah sebagai berikut:
Bab I. Pendahuluan; yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode pembahasan, dan sistematika
penulisan.
Bab II. Hukum pernikahan beda agama; membahas masalah pernikahan pria
dengan wanita ahli kitab, pernikahan pria dengan wanita musyrik, pernikahan wanita
dengan pria non muslim, dan akibat hukumnya
Bab III. Konsep HAM dalam kebebasan beragama, mencakup pengertian
HAM dan perbedaannya menurut Islam dan Barat, hak kebebasan beragama dalam
konsep Islam, hak kebebasan beragama dalam konsep barat (UDHR), dan hak
kebebasan beragama dalam konstitusi (UUD 1945)
Bab IV. Hak anak menurut HAM dalam memilih agama, dengan pembahasan
kebebasan beragama menurut agama-agama di Indonesia, kepemilikan hak bagi anak
dalam memilih agama, hak memilih agama bagi anak menurut hak asasi manusia,
dan analisis
Bab V. Penutup, bagian akhir dari skripsi ini yang berisikan kesimpulan dan
saran-saran.
BAB II
HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA
A. Pengertian
Pernikahan adalah sunnatullah, yang dilakukan oleh manusia, hewan atau
tumbuhan. Manusia adalah makhluk yang paling mulia diantara yang ada di dunia,
maka dari itu Allah meletakkan aturan pernikahan khusus bagi mereka, tidak seperti
makhluk lain, yang aturan-aturan itu tidak boleh dilanggar.
Secara bahasa nikah adalah Ad-dhammu dan Al-wath’u yang berarti
berkumpul dan bersetubuh. Sedangkan secara syara’ nikah adalah akad yang
mengandung kebolehan untuk bersetubuh dengan lafadz Inkah dan Tazwij.
Dikalangan ahli fiqih tidak ada perbedaan yang signifikan dalam definisi pernikahan,
kecuali pada redaksi saja. Mereka sepakat bahwa nikah adalah akad yang diatur oleh
agama untuk memberikan kepada pria hak untuk memilliki penggunaan terhadap
faraj perempuan dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.10
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
10 Ahmad Sukardja dan Bakri A. Rahman, Hukum Perkawinan Menurut Islam, UU
Perkawinan, dan Hukum Perdata/BW, ( Jakarta: Hidayah Karya Agung, 1981), h. 11-12
Sedangkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Adapun agama-agama yang dimaksud adalah agama yang mempunyai kitab
yang jelas diberikan oleh Allah SWT, seperti agama Islam, Yahudi, dan Nasrani dan
ada pula agama yang mempunyai kitab yang mirip dengan kitab (wahyu) seperti
agama Zoroaster (Majusi) dan mani.11
Selain itu agama yang disebut dalam al-
Qur’an, tetapi beberapa agama dalam al-Qur’an tersebut bukan berarti dapat
dikatakan pemberian legitimasi atas keabsahan eksistensi agama tersebut.
Diantaranya adalah QS. al-Baqarah ayat (62), QS. al-Maidah ayat (69), QS. al-Hajj
ayat (17).
Dilihat secara global dari penjelasan al-Qur’an, dari kepercayaan yang dianut
oleh manusia ada empat kelompok, yaitu: Pertama, Allazina amanu (yaitu orang-
orang beriman pengikut Nabi Muhammad SAW; Kedua, Allazina hadu (yaitu
pengikut Nabi Musa a.s.); Ketiga, Wa al-Nashara (yaitu pengikut Nabi Isa a.s.);
Keempat, As-sabi’in (orang-orang yang keluar dari kelompok yahudi dan nasrani dan
mereka menyembah Malaikat).12
11 Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, terj. Asywadie Syukur, (Surabya: Bina Ilmu,
2006), h. 29
12 Basiq Djalil, Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI, h. 111-114
Menurut penelitian Taib Taher Abdul Muin, orang-orang Yahudi atau Bani
Isra’il di sekitar Palestina mempunyai kitab suci yang disebut Taurat, yang
diturunkan kepada Nabi Musa di gunung Tursina. Mereka terus menerus berselisih
karena perubahan kitab suci, sehingga menjadi terpecah-pecah. Adapun agama
Nasrani, agama yang diamanatkan kepada Nabi Isa dan diturunkan di Palestina
ketika agama yang dibawa Nabi Musa telah diselewengkan. Kitab yang dibawa Nabi
Isa adalah Injil. Sepeninggal Nabi Isa, agama Nasrani mengalami perubahan
berangsu-angsur, sehingga menimbulkan beberapa golongan. Hampir dari semua
golongan mengakui bahwa setelah Nabi Isa bangkit dari kubur ia mi’raj ke langit.
Sejak itulah kaum Nasrani berbeda pendapat tentang sifat ketuhanan dan
kemanusiaan dalam diri al-Masih. Salah satu penyimpangan agama Nasrani sampai
sekarang adanya pembangkangan terhadap agama monoteis yang menjadi ciri-ciri
agama samawi saat ini, yaitu paham trinitas yang diyakini kaum Nasrani saat ini.
Selain itu ada juga agama Hindu. Hindu adalah agama yang mempercayai tiga Tuhan
yang dianggap suci. Ketiganya bersatu dan tidak dapat dipisahkan, karena asal
kejadiannya satu, tapi mereka tetap berpendapat bahwa tiga itu adalah satu.13
Hakikat agama yang diwahyukan adalah monoteisme atau bertauhid kepada
Allah, baik itu Yahudi, Nasrani maupun Islam. Walaupun ada yang memasukkan
agama Hindu sebagai agama monoteisme, tapi tidak satu rumpun seperti ketiga
agama di atas. Dalam perjalanannya agama yang masih menjaga keesaan Tuhan
13 Ibid., h. 114-120
tersebut hanya dipegang oleh agama Islam dan Yahudi. Sedangkan Kristen dan
Hindu dengan paham trinitas dan tiga dalam satu tidak dapat dikatakan agama
monoteisme.14
Maka yang dimaksud dengan pernikahan beda agama di sini adalah
perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita).
Mengenai masalah ini Islam membedakan hukumnya sebagai berikut : Pernikahan
antar seorang pria muslim denga wanita ahli kitab, Pernikahan antar seorang pria
muslim dengan wanita musyrik; perkawinan antar wanita muslimah dengan pria non
muslim.15
B. Pernikahan Pria dengan Wanita Ahli Kitab
Dalam masalah pernikahan pria muslim dengan wanita ahli kitab terdapat
perbedaan di kalangan ulama. Perbedaan pendapat itu disebabkan karena perbedaan
pendapat tentang kedudukan wanita ahli kitab.
Menurut Syaikh Hasan Ayyub kaum musyrikin terdiri dari tiga macam:
Pertama, yang mempunyai kitab. Kedua, yang tidak mempunyai kitab. Ketiga, yang
diduga mempuyai kitab. Ulama sepakat yang mempnyai kitab adalah Yahudi dan
Nasrani. Sedangkan mereka yang tidak mempunyai kitab adalah para penyembah
14 Harun Nasution, Islam Ditijau dari Berbagai Aspek, Jil. 1, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1979), h. 12-16
15 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, cet, X, (Jakarta: Gunung Agung), 1997), h. 4
berhala, batu-batuan, binatang, matahari, bulan, dan lain sebagainya. Mereka yang
diduga mempunyai kitab adalah para penganut Majusi.16
Nikah dengan wanita ahli kitab merdeka dan tidak berzina, berdasar atas
zahir ayat adalah halal, baik ahli kitab dzimmiyyah maupun harbiyyah. Lafadz al-
Musyrikin tidak mencakup ahli kitab. Kehalalan nikah dengan wanita ahli kitab
adalah takhsis (kekhususan) atau istisna (pengecualian) dari larangan nikah dengan
wanita-wanita musyrik pada umumnya.
Imam-imam madzhab empat pada prinsipnya mempunyai pandangan yang
sama, yaitu wanita ahli kitab boleh dinikahi, sekalipun berkeyakinan bahwa Isa
adalah Tuhan atau meyakini kebenaran trinitas. Hal terakhir ini syirik yang nyata,
tetapi karena mereka mempunyai Kitab Samawi mereka halal dinikahi sebagai
takhsis dari Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman (Q.S. al-Baqarah: 221). Pentakhsisnya ialah “Dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan (al-muhsanat) di antara orang-orang yang diberi al-Kitab
sebelum kamu” (Q.S. al-Maidah: 5).17
16 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Penerjemah, M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka
Al-Kaitsar, 2006), h. 142-144
17 H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h. 19
Maka dalam hal ini terdapat perbedaan para ulama atas tiga golongan:18
1. Golongan pertama berpendirian bahwa menikahi wanita ahli kitab (Yahudi
atau Nasrani) halal hukumnya. Termasuk dalam golongan ini adalah jumhur
ulama’. Golongan ini berdasarkan kepada firman Allah SWT Q.S. al-Maidah
ayat 5 :
Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu,
dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik….. (Q.S. al-Maidah : 5)
Alasan kedua pada golongan ini adalah melihat kepada sejarah yang telah
menunjukkan bahwa beberapa sahabat Nabi pernah menikahi wanita ahli
18 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan dalam masalah Pernikahan, Jil. I. (Jakarta: Pustaka
Pirdaus, 2003), h. 287
kitab. Hal mana menunjukan bahwa menikahi wanita ahli kitab itu halal
hukumnya.
Menurut mereka dari ayat di atas dapat ditarik dua argument. Pertama, ayat
ini dengan tegas membolehkan orang muslim memakan makanan orang ahli kitab
(kecuali jenis yang diharamkan) dan membolehkan menikahi wanita-wanita ahli
kitab yang muhsanat; Kedua, dari sisi kronologisnya ayat ini termasuk rangkaian
ayat-ayat madaniah, yang turunya sesudah hijrah. Hal ini memperkuat penunjukan
ayat ini terhadap hukum.19
Selain berdasarkan kepada Q.S. al-Maidah ayat 5, juga berdasarkan Sunnah
Nabi, dimana Nabi pernah menikah dengan wanita ahli kitab, yakni Mariah al-
Qibtiyyah (Kristen). Demikian pula sahabat Nabi termasuk senior bernama
Hudzaifah bin al-Yaman pernah nikah dengan seorang wanita Yahudi, sedang para
sahabat tidak ada yang menentangnya.20
2. Golongan kedua berpendirian bahwa menikah dengan wanita ahli kitab
hukumnya haram. Yang termuka dari kalangan sahabat dari golongan ini
adalah Ibnu Umar. Ketika Ibnu Umar ditanya tentang nikah dengan wanita
Yahudi dan Nasrani, ia menjawab “sesungguhnya Allah mengharamkan
wanita-wanita musrik bagi kaum muslimin. Aku tidak tahu syirik, syirik
manakah yang lebih besar daripada seorang perempuan yang berkata bahwa
19 Basiq Djalil, Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI, h. 130
20 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, h. 6
Tuhannya adalah Isa, sedangkan Isa adalah seoarang di antara hamba Allah.
Pendapat ini menjadi pegangan Syi’ah Imamiyah.21
adapun dalil dipegang
oleh golongan ini adalah firman Allah SWT Q.S. al-Baqarah ayat 221:
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman”. (Q.S. al-Baqarah: 221)
Dan firman Allah SWT Q.S. al-Mumtahanah ayat 10 :
Artinya: “Janganlah kamu pegang (yakni, ceraikanlah) perempuan-
perempuan kafir yang kamu nikahi” (Q.S. al-Mumtahanah: 10)
Ayat di atas melarang menikahi wanita-wanita kafir. Ahli kitab termasuk
golongan orang kafir musyrik, karena orang Yahudi menuhankan Uzair dan orang
Nasrani menuhankan Isa Ibnu Maryam, sedangkan dosa syirik tidak diampuni oleh
Allah SWT. Jika mereka tidak bertaubat kepada Allah SWT sebelum mereka mati.
Adapun lafadz muhsanat menurut golongan ini di-istimal-kan kepada
perempuan ahli kitab yang telah masuk Islam, atau di-istimal-kan kepada pengertian
21 H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h. 22
bahwa kebolehan menikahi perempuan ahli kitab itu adalah masa (keadaan)
perempuan-perempuan Islam sedikit jumlahnya.22
3. Golongan ketiga berpendirian bahwa menikahi wanita ahli kitab itu halal
hukumya, tapi karena situasi dan kondisi menghendaki ketentuan lain.
Pandangan ini berdasarkan bahwa sayyidina Umar penah menyuruh sahabat
untuk menceraikan wanita ahli kitab. Selain itu, kekhawatiran kaum laki-laki
akan terikat hatinya pada istrinya, apalagi setelah mendapatkan keturunan.
Dan dikhawatirkan pula ketentraman dan kenyamanan dalam rumah tangga
yang menjadi tujuan tidak dapat tercapai.23
Adapun Hanafiah berpendapat, menikahi wanita ahli kitab yang berada
Darul Harbi, merupakan pembuka pintu ‘fitnah”. Mendahulukan nikah dengan
mereka adalah makruh tahrim, karena membawa kepada mafasid, nikah dengan
wanita Dzimmiyah yang tunduk kepada Undang-Undang Islam adalah makruh
tanzih. Di kalangan Malikiyah ada dua pendapat. Pertama, nikah dengan wanita ahli
kitab makruh mutlak, baik dzimmiyah maupun harbiyah. Kedua, tidak makruh secara
mutlak, karena ayat telah membolehkan secara mutlak.24
22 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan dalam masalah Pernikahan, h. 289 23 Basiq Djalil, Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI, h. 136
24 H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h. 23-24
Menurut Imam Syafi’I mengatakan dihalalkan menikahi wanita-wanita ahli
kitab bagi setiap muslim, karena Allah SWT menghalalkan mereka tanpa
pengecualian. Wanita-wanita ahli kitab yang merdeka dan boleh dinikahi adalah
pengikut dua kitab yang Masyhur (yakni Taurat dan Injil), dan mereka adalah
Yahudi dan Nasrani, adapun Majusi tidak termasuk. Dihalalkan pula menikahi
wanita-wanita dari golongan Shabi’un dan Samirah dari kalangan Yahudi dan
Nasrani yang dihalalkan mengawini wanita mereka. Namun bila diketahui bahwa
mereka menyelisihi orang-orang yang menghalalkan apa yang dihalalkan dalam al-
Kitab dan mengharamkan apa yang diharamkannya, maka pada kondisi demikian
diharamkan menikahi wanita-wanita mereka sebagaimana diharamkan menikahi
wanita Majusi.25
Imam Syafi’I juga menjelaskan bahwa kebolehan laki-laki
mengawini wanita ahli kitab, apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil
sebelum diturunkannya al-Qur’an. Namun setelah diturunkannya al-Qur’an mereka
tetap beragama menurut kitab-kitab tersebut, tidak termasuk ahli kitab. Berbeda
dengan imam-imam yang lain yang membolehkan mengawini ahli kitab secara
mutlak.26
25 Imam Syaf’I, Ringkasan Kitab Al-Umm, Penerjemah: Imron Rosadi dan Imam Awaludin,
Jilid II, Cet. 2. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), h. 351
26 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h.
344-345
Menjawab pertanyaan tentang menikahi Nasraniah dan Yahudiah, Ibnu
Taimiah menjawab, nikah dengan wanita ahli kitab boleh, berdasarkan Q.S. al-
Maidah ayat 5, ini pendapat jumhur salaf dan khalaf dari imam-imam madzhab
empat. Ahli kitab tidak termasuk musyrikin. Ayat al-Baqarah umum, ayat al-Ma’idah
khusus. Dapat juga dikatakan ayat al-Maidah nasikh dari ayat al-Baqarah.27
Menurut Qaul Mu’tamad dalam Madzhab Syafi’I, wanita ahli kitab yang
halal dinikahi oleh orang muslim ialah wanita yang menganut agama Nasrani atau
Yahudi sebagai agama keturunan dari orang-orang (nenek moyang mereka) yang
menganut agama tersebut semenjak masa sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi
Rosul (yakni sebelum al-Qur’an diturunkan) tegasnya, orang yang menganut agama
Nasrani atau Yahudi sesudah al-Qur’an diturunkan, mereka itu tidaklah dianggap
ahli kitab, karena terdapat perkataan min qoblikum (dari sebelum kamu) dalam surat
al-Maidah ayat (5). perkataan min qoblikum menjadi qayd bagi ahli kitab yang
dimasksud. Jalan fikiran madzhab Syafi’I ini mengakui bahwa ahli kitab itu bukan
karena agamanya, melainkan karena menghormati asal keturunannya.28
Yusuf Qardhawi menatarjih pendapat jumhur, sebenarnya kebolehan
mengawini wanita ahli kitab adalah benar, karena surat al-Ma’idah ayat 5
tersebut adalah ayat yang turun terakhir sebagaimana disebut dalam Hadits. Adapun
surat al-Baqarah ayat (221) adalah umum dan ditakhsis oleh ayat tersebut . menurut
27 H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h. 20
28 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan dalam masalah Pernikahan, h. 290-291
Yusuf Qardhawi asal hukum nikah tersebut adalah mubah, dengan tujuan
menimbulkan keinginannya memeluk agama Islam, mendekatkan hubungan Islam
dan ahli kitab, dan melonggarkan toleransi antara keduanya. Namun, dengan
kemubahan ini terikat dengan beberapa aturan yang pokok , antara lain:
a. Harus dapat dipercaya wanita ahli kitab tersebut benar-benar beriman
kepada agama samawi, seperti Yahudi dan Nasrani, artinya secara
garis besar beriman kepada Allah SWT, beriman kepada Rosul SAW
dan beriman kepada Hari Akhir.
b. Wanita tersebut adalah wanita yang menjaga kehormatannya, karena
Allah tidak sembarang membolehkan menikah dengan ahli kitab,
bahkan menjadi syarat, sebagaimana dalam ayat pembolehannya. Dan
wanita yang menjaga kehormatannya adalah wanita yang menjaga
dirinya dari perbuatan zina, sebagaimana yang diungkapkan Ibnu
Katsir.
c. Wanita tersebut bukan dari golongan yang memerangi dan memusuhi
umat Islam. Terhadap dzimmiyah fuqoha membolehkannya,
sedangkan harbiyyah tidak boleh. Pendapat ini dikemukakan Ibnu
Abbas.
d. Dibalik perkawinan ini tidak terdapat fitnah atau mudharat yang
diperkirakan pasti terjadi atau diduga kuat akan terjadi. Bila secara
umum mudharat akan terjadi, maka pelarangannya secara umum,
namun bila mudharat secara khusus maka pengharamannya pada
situasi tertentu saja. Diantara mudharatnya adalah pernikahan dengan
wanita ahli kitab menjadi tersebar dan sering dilakukan, sementara
wanita-wanita muslimah yang lebih layak terkesampingkan.29
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam mengawini wanita non muslim, baik
ahli kitab maupun bukan, tidak diperbolehkan, yang telah dirumuskan pada pasal 40
(c). Larangan ini lebih mengambil kepada pendapat sebagian madzhab Syafi’I yang
melihat keberadaan kitab mereka dinasakh oleh kehadiran al-Qur’an dan kajian
empiris, bahwa perkawinan antar pemeluk agama banyak menimbulkan persoalan.
Selain itu juga mengambil para pendapat Majelis Ulama Indonesia yang melarang
perkawianan antar pemeluk agama.30
C. Pernikahan Pria dengan Wanita Musyrik
Islam melarang pernikahan antara seorang pria muslim dengan wanita
musyrikah, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 221:
Artinya:“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman….. “(Q.S. Al-Baqarah: 221)
29 Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid I, Penerjemah: As’ad Yasin, (Jakarta:
Gema Insani Pers, 1996), h. 587-590
30 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 345
Fuqaha sepakat bahwa seorang muslim tidak boleh nikah dengan wanita yang
tidak beragama samawi, yaitu agama yang mempunyai kitab yang diturunkan Tuhan
melalui Nabi yang namanya disebut dalam al-Qur’an. Setiap wanita yang tidak
beragama samawi, tidak halal dinikahi. Mereka tergolong musyrikah yang termasuk
ke dalam larangan umum.31
Hanya dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah
yang haram dinikahi itu? menurut Ibnu Jarir al-Thabari, seorang ahli tafsir, bahwa
musyrikah yang dilarang untuk dinikahi ialah musyrikah dari Bangsa Arab saja,
karena Bangsa Arab pada waktu turunnya al-Qur’an memang tidak mengenal kitab
suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang muslim
boleh kawin dengan wanita musyrik dari non-Arab, seperti wanita Cina, India, yang
diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci, seperti pemeluk agama
Budha, Hindu, yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya hidup
sesudah mati, dan sebagainya. Muhammad Abduh juga sepakat dengan pendapat
ini.32
31 H.Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h. 18
32 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, h. 4
Jumhur berpendapat bahwa musyrikah adalah mereka yang beragama selain
dari agama Islam, Yahudi, Nasrani di luar atau dalam arab, jadi hukum pernikahan
terhadap mereka juga haram.33
Adapun menurut Yusuf Qardhawi, selain ayat diatas, dia menambahkan surat
al-Mumtahanah ayat 10 :
Artinya:“……..Janganlah kamu pegang (yakni, ceraikanlah) perempuan-perempuan
kafir yang kamu nikahi……” (Q.S. al-Mumtahanah: 10)
Konteks ayat ini beserta asbabun nuzul-nya, al-Kawafir adalah musyrikah,
yakni al-Wastaniyah atau penyembah berhala. Hikmah pengharaman ini jelas, yaitu
ketidak mungkinan bertemunya dengan keberhalaan. Selanjutnya penyembah berhala
tidak mempnyai kitab suci yang mu’tabar dan tidak mempunyai Nabi yang dikenal
dan diketahui. Dengan demikian, menurut Hardhawi al-Wasthaniyah dan Islam ada
pada dua kutub yang saling bertentangan. Maka hukum menikahi wanita musyrikah
haram, ditetapkan berdasarkan Ijma’ dan Nash yang jelas, sebagaimana dijelaskan
oleh Ibnu Rusyd pada Bidayatul Mujtahid.34
Sedangkna menurut Abu A’la al-
Maududi, larangan tersebut karena hubungan dalam pernikahan ini, karena
33 Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta:
Gema Insani Pers, 2003), h. 260
34 Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, h. 580
perbedaan agama dan kebudayaan antara keduanya, membuat hubungan itu hanya
hubungan fisik saja, bukan menjadi hubungan yang membudaya yang menjadi azas
pernikahan dalam Islam.35
D. Pernikahan Wanita Muslimah dengan Pria Non Muslim
Ulama telah sepakat, bahwa haram hukumnya pernikahan seorang wanita
muslimah dengan pria non muslim, baik calon itu termasuk pemeluk agama yang
mempuyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi, atupun pemeluk agama yang
mempuyai kitab serupa kitab suci. Termasuk pula disini penganut animisme,
ateisme, polotiesme dan sebagainya.36
Landasan pengharaman pernikahan wanita muslimah dengan non muslim
adalah surat al-Baqarah ayat 221:
Artinya: “…Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mu'min) sebelum mereka beriman”. (Q.S. al-Baqarah: 221)
Imam Syafi’I berkata: apabila seorang wanita masuk Islam atau dilahirkan
dalam keadaan Islam, atau salah seorang dari kedua orang tuanya masuk Islam
35 Abu A’la al-Maududi, Kawin Cerai Menurut Islam, Penerjemah: Ahmad Rais, (Jakarta:
Gema Insani Pers, 1995), h. 20
36 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, h. 6
sementara ia masih anak-anak dan belum mencapai usia baligh, maka haram atas
setiap laki-laki musyrik. Ahli kitab atau penyembah berhala untuk menikahinya
dalam segala keadaan. Apabila kedua orang tuanya musyrik, lalu disebutkan
kepadanya sifat-sifat Islam dan ia memahaminya, maka Imam Syafi’I melarang
wanita dinikahi oleh laki-laki musyrik. Namun bila disebutkan kepadanya sifat-sifat
Islam tapi ia tidak memahimnya, maka Imam Syafi’I lebih menyukai jika orang
musyrik dilarang untuk menikahiya.37
Diantara hikmah yang dikemukakan adalah kekhawatiran kehilangan
kebebasan beragama dan kerena lemahnya pendirian sehingga dapat mudah terseret
kepada murtad. Demikian juga dengan keturunan, dominan akan mengikuti agama
bapaknya. Dalam hal ini ada banyak fakta kasus pemurtadan dengan cara-cara
pernikahan.38
Selain itu menurut pangamatan Masjfuk Zuhdi, pernikahan antar
agama menjadi salah satu sumber konflik rumah tangga yang dapat mengancam
keutuhan dan kelaggengan rumah tangga.39
Dan dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur pada pasal 44, yaitu:
“seorang wanita muslim dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam”
37 Imam Syaf’I, Ringkasan Kitab Al-Umm., h. 350
38 Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, h. 259
39 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, h. 9
E. Akibat Hukum Pernikahan Beda Agama
1. Kewarisan
Suatu permasalahan yang akan muncul, akibat dari pernikahan beda agama
yaitu masalah kewarisan. Bagaimana penyelesaian pembagian harta waris dari orang
tua beda agama, khususnya antara agama Islam dan bukan Islam. karena hanya
agama Islam yang mengatur secara jelas mengenai pembagian harta waris. Adapun
agama lain tidak mengatur secara jelas. Dalam agama Kristen Protestan dan Katolik,
mereka memandang bahwa perbedaan agama tidak menghalangi seorang anak untuk
mendapatkan harta waris dari orang tuanya, karena bagaimanapun anak yang telah
lahir tidak dapat dibebankan sangsi tidak mendapat harta waris yang memang
menjadi milikya hanya karena perbedaan agama dengan orang tuanya. Bagitu juga
dengan agama Budha dan Hindu, dua agama ini menyerahkan kepada hukum
Negara. Tapi menurut agama Hindu jika perkawinan beda agama dilakukan oleh
kedua orang tuanya itu tidak sah secara agama, maka si anak yang dilahirkan pun
akan jatuh hina, karena tidak diakui sebagai pewaris sah dari orang tuanya.
Adapun Kewarisan dalam Islam dikenal dengan istilah Fara’id, yaitu
ketentuan-ketentuan tentang siapa saja yang termasuk ahli waris yang berhak
mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapatkan warisan, dan
berapa bagian yang harus didapat oleh mereka.40
berbicara hukum Islam berarti
aturan tersebut mempunyai sumber hukum yang jelas dan ditetapkan semenjak awal
40 Ahmad Rapiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 3
mula turunnya Islam. dasar tersebut adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Ijtihad.41
Dalam aturan tersebuit pula dibahas tentang syarat bagi ahli waris yang bisa
menerima warisan, diantaranya karena hubungan kekarabatan baik darah atau
perkawinan, atau karena memerdekakan hamba, dan ahli waris benar-benar dalam
keadaan hidup. Ada syarat lain yang harus terpenuhi, yaitu diantara pewaris dan ahli
waris tidak ada halangan untuk saling mewarisi.42
Diantara halangan pewarisan tersebut adalah adanya perbedaan agama antara
pewaris dan penerima waris, yaitu bila antara salah satu pewaris atau ahli waris
beragama selain Islam. mengenai kedudukan berlainan agama sebagai penghalang
pewarisan telah menjadi Ijma’seluruh umat Islam.43
hal ini dikarenakan Hadits
Rasulullah SAW :
��ث : �� ا���� �� ز�� ر�� ا� ان ا���� ��� ا� �� و��� ��ل
ا�"!�� ا�$�#� و ��ث ا�$�#� ا�"!��
Artinya: Tidaklah saling mewarisi sesuatu di antara dua orang yang berlaianan
agama. Orang Islam tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir pun tidak
mewarisi orang Islam” (H.R. Bukhari dan Muslim).
41 Ibid, h. 22-26 42 Ibid, h. 29
43 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2002), h. 38
Hadits ini juga dikuatkan oleh firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat
141:
Artinya: “….. dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang
kafir (untuk menguasai orang-orang yang berima”. (QS.an-Nisa’:141)
Selain itu Rosulullah SAW juga pernah mempraktekan pembagian warisan,
bahwa perbedaan agama menyebabkan antara mereka tidak saling mewarisi, yaitu
pada saat Abu Thalib meninggal dunia. Abu Thalib belum masuk Islam dan
meninggalkan empat orang anak. Uqail dan Talib yang belum masuk Islam, Ali
serta Ja’far telah masuk Islam. Oleh Rosulullah SAW harta warisan diberikan kepada
Uqail dan Talib. Ini menunjukkan bahwa perbedaan agama, menjadi penghalang
saling mewarisi.44
Menurut Hadits di atas ulama-ulama termasyhur dari golongan sahabat,
tabi’in, dan imam-imam madzhab bahwa perbedaan agama mutlak menjadi
penghalang pewarisan. Jadi seorang muslim tidak dapat mewarisi ahli warisnya yang
non-muslim, begitu juga sebaliknya. Namun demikian, Mu’adz, Muawiyah, Ibn al-
Musayyab, Masruq, dan an-Nakha’I, berpendapat bahwa penghalang pewarisan
karena perbedaan agama, tidak termasuk bagi orang muslim untuk mewarisi harta
peninggalan ahli waris yang non muslim. Hal ini dilihat dari pendapat mereka:
44 Ahmad Rafiq, Fiqih Mawaris., h. 405
sesungguhnya seorang muslim dapat mewarisi harta seorang ahli warisnya yang
kafir, tetapi tidak sebalikya, seperti halnya seorang laki-laki muslim mengawini
wanita kafir, sedangkan laki-laki kafir tidak boleh mengawini wanita muslim.45
Para ulama madzhab sepakat bahwa non-muslim tidak bisa mewarisi muslim,
tetapi mereka berbeda pendapat apakah non-muslim bisa mewarisi muslim?
imamiyah berpendapat bolehnya mewarisi non-muslim kepada muslim, sedangkan
Madzhab yang empat tidak.46
Bila merujuk kepada yang pertama, memungkikan
terjadinya murtad seorang muslim dari agama Islam, berarti untuk ayah dan
anakanya yang beragama Islam ia tidak lagi mewarisi, maka dalam kasus kedua
boleh jadi dalam keluarga seorang yang bukan Islam, seperti anak laki-laki, masuk
Islam, maka bagi golongan Sunni hubungan kewarisan tetap terputus, sedangkan
bagi syiah Imamiyah ia tetap berhak untuk mewarisi orang tuanya yang kafir tanpa
berhak untuk diwarisi.47
Berdasarkan Hadits dan keterangan fiqih mawaris yang telah disepakati di
atas, bahwa perbedaan agama, walaupun ada hubungan kekerabatan karena
mushaharah, tidak dapat saling mewarisi. Perbedaan hukum waris itu berlaku pula
pada anak-anakya, seperti yang dijangkau oleh Hadits. Oleh karena itu, pasangan
45 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, h. 38
46 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, penerjemah: Masykur dkk,
(Jakarta: Lentera Basritama, 2000), h. 541
47 Sukris Sarnadi, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transfrmatif, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997), h. 29
suami istri yang berlainan agama, kemungkinan mengalami benturan dalam hal
kewarisan, karena pasangan suami istri tidak tunduk pada hukum yang sama.48
Meskipun ada yang berpendapat bahwa umat Islam bisa menerima pusaka
dari kafir zimmi, sebagaimana yang diulas oleh Muhammad Amin Suma, dalam
pemikiran Ibnu Taimiyah, Islam boleh menerima warisan dari kerabat (ahli waris)
yang kafir zimmi, tetapi tidak sebaliknya. Ada pula diantara mereka menggunakan
analogi kebolehan laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab atau sebaliknya.
Namun pendapat tersebut bertentangan dengan jumhur ulama’. 49
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak menegaskan secara
eksplisit perbedaan agama antara ahli waris dan pewaris sebagai penghalang
mewarisi. KHI hanya menegaskan bahwa ahli waris beragama Islam pada saat
meninggalnya pewaris, yaitu pada pasal 171 huruf (c): “ahli waris adalah orang
yang pada saat meninggal dunia mempuyai hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”
2. Perwalian dalam Pernikahan
Perwalian dalam pernikahan pada hakikatnya hanya pada agama Islam, selain
agama Islam memadang perwalian anak dalam pernikahan hanya sebagai pelengkap,
48 Basiq Djalil, Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI, h. 173
49 Ibid, h. 174
bukan syarat sah pernikahan. Sedangkan dalam agama Islam perwalian dalam
pernikahan merupakan hal yang terpentig.
Sebagian besar fuqaha sepakat bahwa wali masuk dalam rukun pernikahan,
hanya Hanafi mengatakan wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih
sendiri suami dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik perawan maupun
janda.50
Hal ini mengisyaratkan bahwa tanpa wali yang sah, maka pernikahan
seseorang dapat dipertanyakan.
Aturan ini didasarkan pada Hadits Rosulullah SAW :
ا��اة ن$,+ �*� اذن و�'� #�$�)'� ��&% ا�"�
Artinya: “barang siapa diantara perempuan menikah tanpa seizin walinya, maka
pernikahannya batal”. (HR Empat Ahli Hadits keculai Nasa’I)
Hadits lain Rosulullah SAW bersabda:
ن$�ح ا ���2 و�1ه�ي ��ل
Artinya: “ tidak sah nikah itu tanpa wali dan dua orsang saksi”. (HR. Ahmad)51
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya (pasal 19 KHI).
Apabila tidak dipenuhi maka status perkawinannya tidak sah, ketentuan ini
50 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h. 345
51 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), h. 67
berdasarkan Hadits diatas.52
karena keberadaan wali menjadi salah satu rukun
nikah, maka ada syarat wali yang harus terpenuhi untuk sahnya sebuah perwalian,
diantaranya adalah Islam, Baligh, berakal, laki-laki, adil, dan tidak sedang ihram atau
umrah.53
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 20 ayat (1) dirumuskan: “yang
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.”
Yang menjadi syarat wali disebutkan adalah muslim, maka orang tua yag non
muslim tidak dapat menikahkan anak perempuanya yang muslim. Sangat
disangsikan orang yang bukan Islam dapat bertindak menjadi wali dalam pernikahan
seorang perempuan yang Islam.54
Hal serupa juga ditegaskan oleh Sayyid Sabiq,55
bahwa syarat Islam ditambahkan jika menikah adalah Islam. Sedangkan untuk selain
Islam tidak boleh menurut syara’, sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’
ayat 141:
Artinya: “….. dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang
kafir (untuk menguasai orang-orang yang beriman.)
52 Ahmad Rafiq, Fiqih Mawaris., h. 83
53 Ahmad Sukardja dan Bakri A. Rahman, Hukum Perkawinan Menurut Islam, UU
Perkawinan, dan Hukum Perdata/BW,h. 28 54 Asaf A.A. Fyzee dkk, Pokok-Pokok Hukum Islam I, penejemah: Arifin Bey, (Jakarta: Tinta
Mas, 1959), h. 272
55 Sayyid Sabiq, fiqih Sunnah, Jilid II, (Semarang: Toha Putra), h. 111
Menurut kesepakatan para ulama, diantaranya Imam Malik, Syafi’I, Abu
Ubaid, Ahmad, dan para penganut Madzhab Hanafi, seorang kafir sama sekali tidak
diperbolehkan menikahkan seorang muslimah, dan tidak pula seorang muslim boleh
menikahkan wanita kafir, kecuali jika orang muslim itu seorang hakim atau tuan dari
budak wanita kafir. Adapun seorang hakim, ia mempunyai hak perwalian atas ahlu
dzimmah (wanita kafir yang tinggal di negri Islam) yang tidak mempunyai wali,
karena perwaliannya bersifat umum bagi penduduk Darul Islam, dan ahlu dzimmah
itu termasuk dari penduduk dari penduduk Darul Islam, sehingga ia ditetapkan bagi
hakim hak perwalian atasnya, sebagaimana atas wanita muslimah. Sedangkan
seorang majikan muslim mempunyai hak atas budak wanita kafir untuk
menikahkannya, karena wanita kafir itu tidak boleh dinikahkan oleh muslim. Jika
seorang muslim menikahi wanita dzimmi, maka wali dari wanita adalah orang
kafir.56
Apabila terjadi perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim,
maka sang ayah tidak punya hak perwalian terhadap anak perempuan dalam
pernikahan. Karena melihat esensi dari pentingnya wali sebagai pengarah dan
pemberi tanggung jawab kepada calon suami serta melihat syarat yang telah
disepakati oleh ulama- ulama jumhur dan pasal 20 ayat (1) KHI, maka seorang ayah
non muslim bukan termasuk wali yang ditetapkan.
56 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarg, h. 55-56
Dalam hal ini, berarti perwalian sesuai dengan kedekatan hubungan dengan
calon perempuan, atau sampai akirnya harus memakai wali hakim, sesuai dengan
Pasal 21, 22, 23 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
BAB III
KONSEP HAK ASASI MANUSIA DALAM KEBEBASAN
BERAGAMA
A. Pengertian HAM, Perbedaannya Menurut Islam dan Barat
Hak asasi manusia (HAM) pada awalnya merupakan terjemahan dari kata
“droits de I’homme” (Prancis), yang terjemahan harfiahnya ialah hak-hak manusia,
yaitu suatu hak-hak manusia dengan warga Negara yang dikeluarkan di Prancis
dalam tahun 1789.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menggunakan kata tersebut di dalam bahasa
inggrisnya disebut pada mulanya dengan istilah Fundamental human Rights,
kemudian disingkat Human Rights. Sementara HAM dalam Islam dikenal dengan
isltilah Huquq al-Insan ad-Dhoruriyah dan huquq Allah, dalam Islam Huquq al-
Insan ad-Dhoruriyah dan huquq Allah tak dapat dipisahkan atau berjalan sendiri
tanpa ada keterkaitan satu dengan yang lain.57
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, hak asasi di artikan sebagai hak dasar
atau pokok, seperti hak mendapatkan hidup dan hak mendapatkan perlindungan.
57 Pendidikan Kewarnageraan (Civic Education) Demokrasi, HAM, dan Masayarakat
Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), h. 200
Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kondratnya,
yang tak dapat dipisahkan dari pada hekekatnya dan karena bersifat suci. Sementara
itu, Jan Materson, seperti dikutip Baharudin Lopa mengartikan hak-hak asasi
manusia sebagai hak yang melekat pada manusia, yang tanpa denganya manusia
mustahil hidup sebagai manusia. Tapi Baharudin Lopa mengomentari bahwa kalimat
mustahil dapat hidup sebagai manusia hendaklah diartikan mustahil dapat hidup
sebagai manusia di samping mempunyai hak juga harus bertanggung jawab atas
segala yang dilakukannya 58
Selanjutnya John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-
hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai hak yang kodrati.
Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya.
Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1
disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pasa
hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlidungan harkat dan martabat manusia”59
Pengertian HAM juga dapat ditinjau dari dua sudut pandang, yakni sudut
pandang HAM sebagai substansi dan HAM sebagai wacana. Sebagai substansi hak
58 Ahmad Kosasih, HAM Dalam perspektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), h. 18
59 Pendidikan Kewarnageraan (Civic Education), Demokrasi, HAM, dan Masayarakat
Madani, h. 200
asasi manusia adalah modal hidup manusia yang dimiliki oleh setiap individu sejak
ia lahir. Rumusan yang lebih baku seperti yang diungkapkan Yusril Ihza Mahendra
yang senada dengan Barudin Lopa. Yusril mengungkapkan bahwa hak asasi manusia
adalah hak dasariah yang dimiliki manusia karena kemanusianya. Dari defenisi
Baharudin Lopa dan Yusril Ihza Mahendra dapat dipahami bahwa hak asasi manusia
sebagai substansi adalah modal dasar yang dimiliki oleh setiap individu sejak lahir
atau secara kodrati (tanpa usaha). Dalam pandangan orang yang menganut
kepercayaan, hak itu diakui sebagai pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa,
sedangkan dalam pandangan kaun animis dan filosof hukum kodrat hak-hak tersebut
dianggap sebagai pemberian alam (given of nature). Dengan demikian, manusia
diasumsikan tidak mempunyai perbedaan antara satu sama lain.60
Menurut Al-Maududi hak-hak tersebut adalah pemberian Tuhan kepada
seorang semenjak lahir ke alam dunia. Sebab, kalau hak itu dianggap pemberian
manusia, ia dapat ditarik kembali dengan cara yang sama ketika hak itu diberikan.
Karena hak asasi datangnya dari Tuhan, maka tak satupun lembaga atau perorangan
di dunia ini berhak mencabut atau membatalkannya.
Hak-hak asasi yang dianggap sebagai hak yang dibawa sejak lahir ke dunia
itu sebenarnya adalah anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa (hak yang bersifat
kodrati). Karenanya tidak ada satu kekuasaanpun di dunia dapat mencabutnya.
Meskipun demikian, menurut Baharudin Lopa, bukan berarti menusia dengan hak-
60 Kumpulan Hasil Penelitian 2002, Hak Asasi Manusia dalam Tinjauan Islam Dan
Implementasi di Indonesia, oleh Jainal Aripin, Dkk. h. 150
haknya itu dapat berbuat semena-mena. Sebab, apabila seseorang melakukan sesuatu
yang dapat dikategorikan memperkosa hak asasi orang lain, maka ia harus
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Jadi hak asasi mengandung kebebasan
secara mutlak tanpa mengindahkan hak-hak dan kepentingan orang lain. Karena itu
HAM atas dasar yang paling fundamental, yaitu hak kebebasan dan hak
persamaan.61
Rumusan tentang hak hak-hak asasi manusia yang dianggap legal dan
dijadikan standar pada saat ini adalah yang diterbitkan oleh Badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa, yang dideklarisakan pada 10 Desember 1948 dan lebih dikenal
dengan “The Universal Declaration Of Human Rights” (Deklarasi semesta tentang
hak-hak asasi manusia), disingkat dengan UDHR. Rumusan ini terdiri dari 30
pasal.62
Pertimbangan-pertimbangan dideklerasikan hak asasi manusia ini adalah
untuk menghargai harkat dan martabat alami manusia, sehingga dengan demikian ia
bisa hidup bebas dan menigkatkan taraf hidupnya itu secara layak.63
Nagara-negara
maju (barat) pada umumnya mengacu kepada HAM yang dideklarasikan oleh Majlis
PBB. Walaupun hampir diterima seluruh anggota PBB, tapi hak-hak asasi tersebut
61 Ahmad Kosasih, HAM Dalam perspektif Islam, h. 19
62 Ibid, h. 24
63 Kumpulan Hasil Penelitian 2002, Hak Asasi Manusia dalam Tinjauan Islam Dan
Implementasi di Indonesia, oleh Jainal Aripin, Dkk h. 147
belum tuntas disepakati dan belum dapat mengakomodasi keinginan bangsa-bangsa
di dunia yang amat beragam latar belakang budaya dan agamanya.64
Ada tiga pandangan dari kelompok agama, termasuk umat Islam terhadap
HAM yang dideklarasikan itu, yaitu: Pertama, mereka yang menerima tanpa reserve
dengan alasan bahwa HAM itu sudah sejalan dengan ajaran Islam. Kedua, mereka
yang menilai bahwa konsep HAM tersebut bertolak belakang dengan ajaran Islam.
Ketiga, posisi kelompok moderat yang mengambil sikap hati-hati, yakni menerima
dengan beberapa perubahan dan modifikasi seperlunya.65
Islam memandang rumusan-rumusan HAM yang terdapat dalam UDHR, ada
permasalahan yang prinsipil yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti pasal 16
mengenai perkawinan antar umat yang berbeda agama dan pasal 18 tentang hak
kebebasan keluar masuk agama. Dalam pandangan Islam, perkawinan seorang
muslim dengan non muslim terlarang (haram), sedangkan kebebasan keluar masuk
agama adalah suatu kemurtadan. Atas dasar ini maka negara-negara yang tergabung
dalam Organisasi Konferensi Islam sedunia (OKI) membuat suatu rumusan tentang
HAM berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang dideklarasikan di Kairo, Mesir
tanggal 5 Agustus 1990. Rumusan ini terdiri dari 25 pasal, kemudian di sebut dengan
Cairo Declaration, disingkat dengan CD. Dekalarasi Kairo tidaklah membentuk
64 Ahmad Kosasih, HAM Dalam perspektif Islam, h. 24
65 Ibid, h. 25
rumusan HAM yang baru sama sekali tapi mengoreksi pasal-pasal yang dianggap
menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Islam, sedangkan pada pasal yang tidak
bertentangan dengan prinsip ajaran Islam diberi landasan Al-Qur’an dan Sunnah.66
Terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar antara konsep HAM dalam
Islam dan HAM dalam konsep barat, antara lain:
1. HAM dalam Islam bersumber pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Dasar
HAM dalam Al-Qur’an dalam surat al-Hujurat ayat 13:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal…..”
Dimana dikatakan bahwa manusia hidup bersuku-suku dan berbangsa-
bangsa adalah untuk saling mengenal, artinya supaya manusia saling
berhubungan dan saling membantu serta saling memberi manfaat, tidak
mungkin terjadi hubungan yang serasi kalau tidak terpelihara hak persamaan
dan kebebasan. Bagaimana bisa kita berhubungan dengan seorang kalau ia
ditekan atau dianggap berstatus lebih tinggi rendah dari pada kita. Sedangkan
66 Ibid, h. 20
HAM Barat (UDHR) bersumber pada pemikiran filosofis semata, karena
sepenuhnya produk otak manusia.
2. HAM dalam Islam bersifat Theosentrik, artinya manusia dalam hal ini dilihat
hanya sebagai Makhluk yang dititipi hak-hak dasar oleh Tuhan, bukan
sebagai pemilik mutlak. Oleh karena itu wajib memeliharanya sesuai dengan
aturan Tuhan. Dalam penegakkan, selain untuk kepentingan kemanusian juga
didasari atas kepatuhan dan ketaatan melaksanakan perintah Tuhan dan
dalam mencari keridhoannya. Maka di dalam penegakkan HAM itu tidak
boleh berbenturan dengan ajaran syari’at secara komprehensif. Sedangkan
HAM Barat lebih bersifat antrofosentrik, maksudnya ialah manusialah yang
menjadi fokus perhatian utama. manusia dilihat sebagai pemilik sepenuhnya
hak tersebut.
3. HAM dalam Islam mengutamakan keseimbagan antara hak dan kewajiban
pada seseorang. Karena itu, kepentingan sosial sangat diperhatikan.
Penggunaan hak-hak pribadi di dalam Islam tidak boleh merugikan atau
mengabaikan kepentingan orang lain. apabila seseorang melakukan perbuatan
sebagai haknya, tapi perbuatannya merugikan orang lain maka haknya boleh
dibatasi. Sedangkan HAM barat lebih mengutamakan hak dari pada
kewajiban, karena itu ia lebih terkesan individualistik. Dalam hal ini,
penggunaan hak oleh seseorang kurang memperhatikan kewajiban
memelihara hak orang lain.67
Jadi dapat disimpulakan bahwa HAM menurut barat adalah semata-mata
hasil otak manusia, yang lebih mengutamakan manusia untuk melakukan kebebasan
tanpa ada batasan-batasan. Sedangkan HAM dalam Islam merupakan salah satu
bagian dari pola umum syari’at. Hak-hak ini sesuci hukum-hukum syari’at lainnya
dan dengan demikian hak-hak ini harus diindahkan sesuai dengan syari’at. Tidak ada
ketetapan Allah yang dapat dikurangi ataupun dibatasi demi hak-hak manusia. Jadi
semua hukum yang telah ditetapkan syari’at itu membatasi ruang lingkup hak-hak
manusia.68
Menurut Alwi Sihab, HAM dalam perspektif barat menempatkan manusia
dalam suatu seting di mana hubungannya dengan Tuhan sama sekali tidak disebut.
Hak asasi manusia dinilai sebagai perolehan alamiah sejak kelahiran. Sedangkan
HAM dalam perspektif Islam, menganggap dan meyakini bahwa hak-hak manusia
merupakan anugrah Tuhan oleh karenanya setiap individu akan merasa bertanggung
jawab kepada Tuhan.
Pada hakikatnya, HAM terdiri dari dua Hak fundamental, yaitu hak
persamaan dan hak kebebasan, dari kedua hak ini lahir hak-hak yang lain. Adapun
hak yang dikenal saat ini adalah meliputi segala hak-hak dasar, yaitu hak hidup, hak
67 Ibid, h. 36-37
68 Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Penerjemah: Abdul Rochim,
(Jakarta: Gema Insani press, 1996), h. 100
berpendapat, hak beragama, hak penghidupan yang layak, hak persamaan di muka
hukum, hak milik, hak memperoleh kecerdasan intelektual dan sebagainya.
Dan dalam sekripsi ini hanya membahas hak kebebasan memilih agama,
selanjutnya akan dijelaskan konsep hak kebebasan dalan konsep Islam dan Barat,
serta dalam Konstitusi.
B. Hak Kebebesan Beragama Dalam Konsep Islam
Agama Islam memberikan hak kebebasan memilih agama dan kepercayaan
kepada seluruh umat manusia.69
Sehubungan dengan ini Al-Qur’an menyebutkan
antara lain:
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang
siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
(Q.S. al-Baqarah: 256)
69 Ibid, h. 74
Artinya: “Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir……". (Q.S. al-Kahfi; 29)
Artinya:“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang
di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”.
(Q.S. Yunus: 99)
Al-Qur’an secara tegas menentang pemaksaan agama dan menekankan
bahwa iman dan kafir, petunjuk yang benar dan kesesatan merupakan hak Allah
untuk memberi atau menahannya. Prinsip ini secara jelas ditujukan kepada Nabi
Muhammad yang tecantum dalam surat Yunus ayat 99. Prinsip kebebasan memilih
berkenaan dengan keyakinan pribadi ditentukan oleh kekuasaan dan pengetahuan
Allah yang abadi dan mutlak. Namun demikian, bahwa kekuasaan Allah dibatasi
keadilan-Nya sehingga berimplikasi pada kebebasan mutlak manusia untuk memilih.
Manusia diberi kebebasan untuk beriman atau kafir seperti pada surat al-Kahfi ayat
29, tapi dengan keadilan Allah maka yang beriman baginya pahala yang abadi dan
yang kafir baginya hukuman yang kekal. Kebebasan untuk beriman atau kafir setelah
mengetahui kebenaran, menyiratkan adanya kebebasan beragama dan tanggung
jawab pribadi. Ini juga ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 256. Tapi kebebasan
beragama tidak berarti anarki religius yang tak bertanggung jawab, lanjutan ayat ini
menyatakan “sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah”.
Dan konsekuensi dari ini dijelaskan pada akhir ayat, “karena itu barang siapa yang
ingkar pada taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. 70
Pada piagam madinah juga dijelaskan pada pasal 25, disebutkan “bagi orang-
orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang Islam agama mereka”. Pasal ini
memberikan jaminan kebebasan beragama. Diantara wujud kebebasan beragama
adalah beribadat menurut ajaran agama masing-masing. Dalam kehidupan bersama
dengan orang-orang Islam, komunitas Yahudi bebas dalam melaksanakan agama
mereka. Islam memang menunjukan sikap toleran terhadap agama lain. 71
Umat Islam diperbolehkan mengajak orang-orang non muslim untuk menuju
jalan Islam, tapi tidak boleh mempengaruhi dengan cara melakukan tekanan-tekanan
social dan politik. Nabi Muhammad diutus untuk menyampaikan petunjuk Allah,
Beliau menyadari tidak akan memaksa seorangpun untuk mengikuti agama Islam.
70 Mahmoud Mustafa Ayoub, Mengurai Konflik Muslim-Kristen, Penterjemah: Ali Noer
Zaman, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h. 299 71 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan tentang dasar hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk, (Jakarta: UI-Press,
1995), h. 124
sepanjang hidup Beliau menganut prinsip kebebasan hati nurani dan keyakinan. 72
Nabi Muhammad tidak memaksa rakyatnya untuk mengubah agama, ia hanya
mendakwahkan Islam, soal konversi ke agama Islam tergantung kepada kesadaran
mereka. Disebutkan dalam piagam madinah bahwa orang-orang musyrik yang hidup
pada masa beliau tidak dinyatakan sebagai musuh-musuh orang Islam. Kepada
mereka disampaikan dakwah tidak dengan paksaan. Adapun tindakan kekerasan dan
perang yang dilakukan Nabi Muhammad terhadap orang-orang musyrik bukan
karena perbedaan agama atau mereka menyembah berhala tapi karena penghianatan
politik dan pembunuhan yang mereka lakukan terhadap utusan Nabi Muhammad
untuk mengajarkan agama.73
Berdasarkan ayat-ayat dan keterangan-keterangan di atas, jelaslah bahwa
masalah menganut suatu agama atau kepercayaan diserahkan kepada manusia itu
sendiri untuk memilihnya, tidak ada paksaan-paksaan dalam memilih agama dari
siapapun. Islam hanya menyuruh untuk berda’wah, menyeruh, mengajak dan
memimbing kepada kebenaran. Dengan tidak ada paksaan dalam beragama akan
menimbulkan sikap tolerans terhadap penganut agama-agama lain untuk hidup
berdampingan, bekerjasama, dan berlaku adil, selama mereka tidak mengganggu
ketentraman umat Islam.74
72 Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, h. 74 73 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan tentang dasar hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk, h. 126
74 Ahmad Kosasih, HAM Dalam perspektif Islam, h. 60-61
Untuk mengimplementasikan pesan-pesan dari ayat-ayat di atas guna
terciptanya suatu kerukunan hidup antar umat beragama dalam suatu Negara,
Deklearasi Kairo (CD) menegaskan prinsipnya sebagaimana tercantum dalam pasal
10 berikut:
“Islam adalah agama yang murni ciptaan alam (Allah YME). Islam
melarang melakukan paksaan dalam bentuk apapun atau untuk mengeksploitasi
kemiskinan atau ketidak tahuan seseorang untuk mengubah agamanya atau menjadi
atheis”.
C. Hak Kebebasan Beragama Dalam Konsep Barat (UDHR)
Hak kebebasan beragama dalam konsep Barat telah dideklarasikan dalam
The Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) pada pasal 18, yaitu:
“Setiap orang berhak untuk bebas berpikir, bertobat dan beragama; hak ini
meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaanya dan kebebasan untuk
menyatakan agama atau kepercayaannya dalam bentuk beribadat dan menepatinya,
baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik ditempat
umum maupun tersendiri”
Sehubungan dengan hak kebebasan memilih agama pada pasal di atas, yakni
semua orang memiliki hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak
ini mencakup kebebasan memeluk agama dan kepercayaan sesuai pilihannya,
kebebasan baik secara individual maupun bersama-sama, baik di tempat umum
maupun privat untuk menyatakan agama atau kepercayaan dalam pemujaan,
pelaksanaan perintah agama, praktik dan pengajaran.
Pada awalnya pasal ini tidak mendapat pertentangan, kontroversi baru timbul
saat ada usaha untuk mendefinisikin isinya, yaitu kebebasan berganti atau berpindah
agama atau kepercayaan. Ini akan dapat mengakibatkan salah tafsir, terutama pada
pribadi yang tidak berdasarkan kesadaran. Oleh karena itu, Negara-negara muslim
mengusulkan agar klausul ini dihapus. Dan pada akhirnya, kompromi yang diterima
adalah pengakuan atas hak individu untuk “memeluk atau menganut agama atau
kepercayaan sesuai dengan pilihannya”.75
D. Hak Kebebesan Beragama Dalam Konstitusi (UUD 1945)
Sebelumnya terjadi perdebatan antara para tokoh nasional tentang HAM
(Hak Asasi Manusia) yang diakomodasi dalam konstitusi. Satu pihak yang diwakili
Soekarno dan Soepomo memandang bahwa Indonesia sebagai Negara yang
menjunjung tinggi asas kekeluargaan tidak mungkin mengakomodasi HAM di dalam
konstitusi, karena konsep tersebut lahir dari ideology liberalisme dan individualisme.
Sedangkan di pihak lain yaitu Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin,
75 Syari’ah Islam dan HAM, Dampak Perda Syari’ah terhadap Kebebasan Sipil, hak-hak
perempuan, dan Non-Muslim, (Jakarta: Center for the study of Religion and Culture UIN Syahid,
2007), h. 15
berpendapat bahwa HAM harus dituangkan dalam konstitusi, karena kekhawatiran
akan munculnya otoritarianisme dan kesewenang-wenangan penguasa. Walaupun
adanya pertentangan diantara keduabelah pihak, akhirnya HAM dimuat dalam
konstitusi. 76
Mengenai hak-hak asasi manusia telah disempurnakan dalam Undang-
Undang Dasar 1945 dan telah diatur secara rinci seiring dengan bergulirnya
reformasi yang terjadi pada tahun 1998, karena munculnya kesadaran bangsa yang
sedemikian kuat untuk menghargai dan menghormati nilai-nilai kemanusian dan
menjadi pedoman bagi seluruh kekuatan bangsa Indonesia untuk berprilaku sesuai
dengan nilai-nilai peradaban manusia yang ideal sehingga kita bisa mensejajarkan
diri di antara bangsa-bangsa beradab. Sebelumnya mengenai hak asasi manusia
diatur pada pasal 27 dan pasal 28. Setelah UUD 1945 diamandemen, mengenai hak-
hak asasi manusia secara tekhnis dijelasakan lebih lanjut dan ditambahkan BAB X A
pasal 28A sampai dengan pasal 28J.77
Kita mengetahui bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa ber-bhineka.
Kemajemukannya antara lain terletak pada keyakinan dan agama. Kemajemukan
masyarakat dalam hal agama tersebut merupakan sumber kerawanan sosial apabila
pembinaan kehidupan beragama tidak tertata dengan baik. Agama adalah masalah
76 Kumpulan Hasil Penelitian 2002, Hak Asasi Manusia dalam Tinjauan Islam Dan
Implementasi di Indonesia, oleh Jainal Aripin, Dkk., h. 151
77 Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di
Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 30-31
yang peka, yang jika tidak tertanam saling pengertian dan toleransi diantara pemeluk
agama yang berbeda-beda, akan mudah menimbulkan pertentangan, bentrokan,
bahkan permusuhan. Oleh karena itu, Negara memberikan kebebasan beragama, agar
terciptanya perdamaian dan toleransi antara pemeluk agama.78
Secara konstitusional,
kehidupan beragama di Indonesia telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar
1945 pasal 29 ayat (1) dan (2), berbunyi:
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.
Memeluk suatu agama yang diyakini seseorang adalah sesuatu yang bersifat
hakiki. Kebebasan beragama adalah merupakan salah satu hak yang paling asasi di
antara hak-hak asasi lainnya, karena hak ini langsung berkaitan dengan martabat
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.79
Selanjutnya dalam
Undang-Undang Dasar 1945 juga dijelaskan mengenai kebebasan beragama pada
pasal 28E ayat (1) dan (2), berbunyi:
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
78 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan tentang dasar hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk,, h. 167
79 Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di
Indonesia, h. 28
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Suatu usaha pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama di seluruh
Negara Indonesia. Pemerintah menjamin kebebasan tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan sekaligus
menjamin, melindungi, membina, mengembangkan serta memberikan bimbingan
dan pengarahan agar kehidupan beragama lebih berkembang dan serasi dengan
kebijaksanaan pemerintah dalam membina kehidupan berbangsa dan bernegara.80
80 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan tentang dasar hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk, h. 168
BAB IV
HAK ANAK MENURUT HAM DALAM MEMILIH AGAMA
Pada dasarnya seluruh agama tidak menghendaki terjadinya perkawinan beda
agama, karena menyangkut aqidah ataupun keyakinan seseorang dan juga generasi
penerusnya. Agama Islam tidak menghendaki terjadinya perkawinan beda agama,
baik laki-laki maupun perempuan sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 221,
namun kemudian ada pengecualian bagi-bagi laki-laki muslim untuk dapat menikah
dengan wanita ahli kitab sebagaimana pada surat al-Maidah ayat 5. Kemudian dalam
perkembangannya terdapat perbedaan pendapat para ulama-ulama mengenai
siapakah ahli kitab yang boleh dinikahi. Namun ulama-ulama Indonesia sepakat
untuk menjaga kemaslahatan, maka perkawinan antara laki-laki muslim dan wanita
ahli kitab diharamkan. terdapat pada pasal 40 jo. Pasal 44 KHI, dan kumpulan fatwa
MUI. Juga dengan agama-agama lain, tidak menghendaki terjadinya perkawinan
beda agama, kecuali tepenuhinya syarat-syarat yang telah ditentukan.
Namun pada abad modern ini terjadinya kelonggaran aqidah di kalangan
umat Islam, sehingga banyak terjadi perkawinan beda agama di masyarakat muslim.
hal ini karena dipicu munculnya paham sinkretis dan pluralis serta yang paling parah
efek globalisasi dan liberalisasi dari dunia barat. Kemudian tidak dapat dipungkiri
kemajemukan agama di Indonesia memberi peluang kepada masyarakat untuk
melakukan perkawinan beda agama.81
Akan menjadi persoalan apabila terjadi perkawinan beda agama terhadap
status agama anak, akan ikut agama siapa?. Hal ini penting untuk dibahas, karena
kaitannya dengan dampak terhadap perkembangan anak. Untuk lebih jelas penulis
akan menjelaskan terlebih dahulu hak kebebasan atau memilih agama menurut
agama selain agama Islam yang ada di Indonesia. Adapun dalam Islam telah
dijelaskan pada bab sebelumnya dalam konsep hak kebebasan.
A. Memilih Agama menurut Agama-Agama di Indonesia
Sehubungan dengan kebebasan beragama, setiap agama mengajarkan supaya
setiap orang bebas memilih, menentukan dan menganut serta menghayati salah satu
agama yang memang sungguh-sungguh sesuai dengan hati nurani, dengan kata lain
tidak ada paksaan. Sebagai dasar perlu adanya kebebasan beragama bahwa manusia
harus mempertenggungjawabkan perbuatannya kepada Tuhan secara pribadi. Semua
agama mengajarkan bahwa manusia harus mempertanggungjawabkan segala tingkah
81 Budi Hadrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Khairul
Bayaan, 2003), h. 34
laku, segala amal baiknya, serta segala perbuatannya tidak kepada seseorang tertentu
atau pejabat Negara, tetapi langsung kepada Tuhan. Karena agama itu adalah sesuatu
yang bersifat individual semata-mata
1. Menurut Agama Kristiani (Katolik)
Bagi umat Katolik melalui Konsili Vatikan II, kebebasan beragama telah
mempunyai dasar yang cukup jelas terdapat dalam deklarasi tentang kebebasan
beragama (Libertate Religiosa). Kesadaran akan martabat pribadi manusia makin
hari makin bertambah besar dalam hati nurani manusia zaman sekarang, serta
menimbulkan tuntutan yang semakin mendesak agar manusia hendaknya bertindak
atas pertimbangan dan keputusan sendiri, dengan mengenyami dan menggunakan
kebebasan yang bertanggung jawab, bukannya didorong oleh paksaan melainkan
digerakkan oleh kesadaran dan kewajiban. Konsili Vatikan mengakui bahwa ke atas
hati nurani manusia jualah jatuhnya kewajiban-kewajiban ini beserta kekuatannya
yang mengikat dan bahwa kebenaran tidak dapat timbul dengan sendirinya kecuali
berkat jasa kebenaran itu sendiri, yang menembusi pikiran manusia dengan dayanya
yang sekaligus lembut dan kuat.82
Konsili Vatikan menyatakan bahwa pribadi manusia mempunyai hak atas
kebebasan beragama. Kebebasan ini berarti bahwa semua orang harus kebal terhadap
82 . Budiyono HD, Membina Kerukunan hidup Antar Umat Beriman, (Yogyakarta: Kanisus,
1983), h. 227
paksaan, baik dilakukan oleh orang-orang perorangan, sesuatu golongan, maupun
kekuasaan. Sehigga dalam urusan-urusan keagamaan tiada seorang pun boleh
dipaksa untuk bertindak dengan cara yang bertentangan dengan keyakinannya
sendiri, atau dihalang-halangi untuk bertindak menurut keyakinannya.83
Hak atas kebebasan beragama sesungguhnya berakar di dalam martabat
pribadi manusia sendiri seperti yang dikenal melaui sabda Allah yang diwahyukan
dan oleh akal budi sendiri. Sesuai denga martabatnya sebagai pribadi, yaitu makhluk-
makhluk yang dianugrahi akal budi dan kehendak bebas dan karenanya mempunyai
hak istimewa untuk memikul tanggung jawab pribadi, maka semua orang didorong
oleh kodratnya dan sekaligus juga terikat oleh kewajiban moral untuk mencari
kebenaran, terutama kebenaran agama. Kebenaran itu harus dicari melaui cara yang
sesuai dengan martabat pribadi manusia dan kodrat sosialnya. Ini berarti pencarian
itu harus bebas, dijalankan dengan bantuan pengajaran dan pendidikan. Pertukaran
pendapat dan dialog, di dalam mana manusia saling menjelaskan kepada satu sama
lain kebenaran yang telah mereka temukan, agar dengan demikian dapat saling
membantu dalam mencari kebenaran itu. Apabila kebenaran itu telah ditemukan
maka manusia harus meganutnya dengan setia atas persetujuan pribadi tanpa ada
paksaan. Deklerasi Konsili Vatikan tentang hak manusia atas kebebasan beragama
berdasarkan martabat pribadi, yang eksigensinya makin lebih sempurna diketahui
oleh akal budi manusia melalui pengalaman. Lebih lebih lagi, karena doktrin
83
Ibid, h. 229
kebebasan ini berakar di dalam wahyu Ilahi, maka orang Kristen wajib
mengindahkannya dengan segala kesadarannya. Salah satu dalil dari ajaran Katolik
ialah bahwa jawaban manusia kepada Allah di dalam perkara iman harus bebas, oleh
sebab itu tiada seorang pun boleh dipaksa untuk memeluk agama melawan
kemauannya sendiri.84
Adapun ibadat iman itu pada hakekatnya adalah suatu tindakan yang bebas.
Manusia yang ditebus oleh kristus, juru selamat, dan oleh Yesus Kristus telah
dijadikan anak angkat Allah, tidak dapat menyangkutkan dirinya kepada Allah yang
mewahyukan diri-Nya sendiri, selain ditarik oleh bapa, dan ia pun memberi kepada
Allah ketaklukan imannya secara bebas lagi masuk akal. Oleh sebab itu, sesuai
benarlah dengan hakekat iman bahwa di dalam urusan-urusan keagamaan setiap cara
paksaan dari pihak manusia harus dijauhkan.
Apa yang menjadi pilihan manusia dari apa yang ia lakukan, hanya tanggung
jawab pribadi manusia kepada Tuhan. Oleh karena itu manusia tidak dapat
menghakimi manusia yang lain. Dalam ajaran Kristiani dapat dilihat dalam Al-kitab,
antara lain:
“janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Dan
janganlah kamu menghukum, maka kamu tidak akan dihukum; …” (Lukas 6:37-38)
“karena itu, hai manusia, siapa pun juga engkau, yang menghakimi orang
lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab dalam menghakimi orang lain,
84 Ibid, h. 231-234
engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain,
malakukan hal-hal yang sama. Tetapi kita tahu bahwa hukuman Allah berlangsung
secara jujur atas mereka yang berbuat demikian. …….” (Rm 2:1-11)
2. Menurut Agama Budha
Menurut ajaran agama Budha, mengenai kebebasan beragama dan sikap
terhadap agama lain menyebutkan bahwa umat Budha Indonesia menyadari bahwa
keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah pribadi yang paling
dalam bagi seseorang, yang merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara
hak-hak asasi manusia, yang tidak dapat ditiadakan atau dicampuri oleh siapa pun
juga. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila di tanah air di Indonesia terdapat
berbagai agama dan kepercayaan. Menyadari kenyataan demikian di dalam
masyarakat, maka umat Budha Indonesia memupuk sikap menghormati kebebasan
setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaannya yang diyakininya dan untuk
beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Umat Budha Indonesia
tidak sekali-kali ingin memaksaan keyakinannya dengan cara-cara apapun kepada
orang yang memeluk agama yang berbeda, sehingga dapat selalu terbina kerukunan
hidup beragama.85
Sikap hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk-pemeluk
agama yang berbeda itu merupakan sikap umat Budha di seluruh dunia sejak zaman
85 Ibid, h. 236
dahulu. Hal itu terbukti dengan adanya prasasti Batu Kalinga No. XXII dari Raja
Asoka (aba ketiga sebelum masehi) yang berbunyi antara lain:
“…..janganlah kita menghormati agama (Mazhab) sendiri dan mencela
agama orang lain tanpa sesuatu dasar yang kuat….sebaliknya, agama orang lain
pun hendaknya dihormati atas dasar tertentu. Dengan berbuat demikian, kita telah
membantu agama kita sendiri untuk berkembang, disamping menguntungkan pula
agama orang lain. dengan berbuat sebaliknya, maka kita telah merugikan agama
kita sendiri, disamping merugikan agama orang lain. Oleh karena itu, barang siapa
menghormati agamanya sendiri dan mencela agama orang lain semata-mata karena
terdorong oleh rasabakti kepada agamanya sendiri,dengan berfikir, “bagaimana
aku dapat memuliakan agamaku sendiri, dengan berbuat demikian ia malah amat
merugikannya sendiri. Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan dengan
pengertian bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia
medengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain.86
86 Pedoman Penghayatan dan Pembabaran Agama Budha Mazhab Theravada di Indonesia, h.
13-14
3. Menurut Agama Kong Hu Chu
Dalam agama Kong Hu Chu juga memberikan kebebasan kepada umatnya
untuk memilih agama.87
Hal ini dapat di kutip dalam kitabnya di antaranya adalah:
“Cu-k’ong bertanya tentang bersahabat, Guru menjawab: “(Bila kawan
bersalah), dengan setia berilah nasehat agar dapat kembali ke jalan yang suci.
Kalau dia tidak mau menurut janganlah mendesaknya, itu hanya akan memalukan
diri sendiri.” (Lungi XII: 23)
“Orang yang berperi cinta kasih itu mencintai sesame manusia. Yang
berkesusilaan itu menghormati sesama manusia. Yang mencintai sesama manusia
niscaya selalui dicintai orang. Yang menghormati sesama manusia, niscaya akan
selalui dihormati orang” (Bingcu IVB 28/2,3)
“Bersikap keras kepada diri sendiri dan bersikap lunak kepada orang lain,
akan menjauhkan sesalan orang” (Sabda Suci XV: 21)
‘Seorang panglima yang mengepalai tiga pasukan masih dapat ditawan,
tetapi cita/keyakinan/iman seorang rakyat jelata tidak dapat dirampas (Sabda Suci
IX : 26)
Demikianlah menurut beberapa agama yang ada tentang kebebasan beragama
dan berlandaskan kepada kutipan kitab suci masing-masing yang mengajarkan
tentang kebebasan memilih, menganut agama sesuai dengan keyakinannya sehingga
87 AP. Budiyono HD, Membina Kerukunan hidup Antar Umat Beriman., h. 229
tidak boleh memaksakan kepada orang lain, karena masalah iman itu bukan usaha
manusia dan bukan hasil penalaran, tetapi merupakan rahmat Tuhan.
Kebebasan beragama yang diberikan pada setiap agama dapat menimbulkan
perdamaian antar umat beragama, baik di masyarakat luas maupun dalam keluarga.
Salah satu tidak memaksakan kehendak dan tidak mengaku yang lebih benar.
Pemerintah telah mejamin kepada warga Negara untuk memeluk agama sesuai
dengan keyakinannya, tidak mendeskriminisaikan kelompok minoritas. Tentu dalam
hal ini pemerintah mempunyai tujuan yaitu menjaga perdamaian dan kerukunan.
Mengutip dari karangan Sayyid Sabiq dalam Anashirul qauwati fil Islam,
ciri-ciri dan unsur-unsur yang esensial dari kebebasan agama ada lima macam:
a. Tidak boleh memaksa seseorang supaya keluar dari agama yang
dipeluknya atau memaksanya menganut aqidah yang tertentu
b. Tidak boleh menggangu kebebasan penganut-penganut agama lain
dalam melaksanakan ibadah dan syiar-syiar keagamaan
c. Memberikan kebebasan kepada penganut-penganut agama lain untuk
mengerjakan hal-hal yang diharuskan menurut agama mereka
d. Memberikan kebebasan kepada penganut-penganut agama lain untuk
menjalankan hukum-hukum privat menurut ajaran mereka
e. Memelihara hak-hak dan kehormatan pemeluk-pemeluk agama lain
dan memberikan kebebasan kepada mereka menyelesaikan sengketa-
sengketa intern mereka.
B. Kepemilikan Hak Bagi Anak Memilih Agama
Hubungan antara anak dan orang tua mempunyai hak dan kewajiban. Hak-
hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua adalah merupakan kewajiban, orang tua
berkewajiban terhadap anaknya sesuai dengan kadar kemampuannya yaitu,
memelihara, mengasuh, mendidik, menjaga dan melindunginya.
Menurut Abdur Rozak anak mempunyai hak-hak,88
yaitu:
1. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan.
2. Hak anak dalam kesucian keturunannya.
3. Hak anak dalam menerima pemberian nama yang baik.
4. Hak anak dalam menerima susuan.
5. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan.
6. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi
kelangsungan hidupnya.
7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Adapun dalam Undang-Undang Nomor 39 Iahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, diatur secara khusus mengenak hak-hak anak, terdapat pada bab ketiga,
bagian kesepuluh dari pasal 52 sampai pasal 66. Salah satu di antara hak-hak anak
yang terpenting untuk dipenuhi adalah pendidikan dan pengajaran, hal itu karena
agar anak mampu megembangkan pemikirannya sampai dewasa dan dapat
88
Abdur Rozak Husein, Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta : Fikahati Aneska, 1992), h. 21
15
menentukan langkah hidupnya sesuai dengan hati nuraninya untuk mencapai
kebahagiannya.
Prinsip orang tua dalam mendidik anak-anaknya menentukan segalanya.
Segala arus pemikiran yang muncul dewasa ini menawarkan berbagai alternatif sikap
dan tindakan. Prinsip orang tua yang sama akan berjalan dengan seimbang terhadap
pemikiran anak tanpa ada pertentangan antar keduanya. Anak sebagai generasi
penerus tentu akan mengikuti apa yang dilakukan kedua orang tuanya, apapun yang
diajarkan oleh kedua orang tuanya senantiasa diterima dengan sepenuh hati. Hal ini
dapat mudah terjadi apabila keyakinan kedua orang tua sama, ketika orang tua
berbeda keyakinan dan memberikan pendidikan yang berbeda serta menjadikan
perebutan terhadap status agama anak, akan menimbulkan ketidak seimbangan
pemikiran terhadap anak dan tidak sepenuh hati menerima ajaran dari salah satu dari
kedua orang tua. Oleh karena itu, diperlukan hak kebebasan bagi anak sesuai hati
nuraninya untuk memilih.
Kedua orang orang tua yang berbeda keyakinan menerapkan suatu ideologi
yaitu kebebasan, maka memiliki tolak ukur tentang benar-salah dan baik-buruk yang
sesuai dengan ideologi kebebasan. Penerapan prinsip ini dalam jiwa anak-anak yang
sedang tumbuh berkembang, tentu merupakan pendidikan yang amat berkesan pada
mereka, segala yang mengarahkan kepada kebebasan berpikir, berbicara,
berkehendak dan berbuat tertanam sejak dini pada diri anak.
Orang tua memberikan keteladanan terhadap anak dalam menerapkan prinsip
kebebasan tersebut, yaitu dengan memberikan contoh yang baik dalam perkataan
maupun perbuatan, karena anak biasanya akan meniru apa yang dilakukan orang
tuanya. Jadi kedua orang tua tidak perlu memaksa dan memperebutkan anak tentang
status agamanya, karena akan berdampak buruk kepada keadaan anak, cukup dengan
memberikan pendidikan dan ketauladan yang baik kemudian memberikan hak
kebebasan sepenuhnya untuk menentukan pilihan agama sesuai hati nuraninya.
Keterangan dalam surat al-Baqarah ayat 256, dalam salah satu riwayat ayat
tersebut turun disebabkan karena ada seorang wanita anshar berjanji kepada dirinya,
apabila anaknya lahir dia akan menjadikan anaknya yahudi. Tatkala Bani Nadhir
diusir dan diantara mereka ada anak-anak kaum anshar, maka kaum anshar berkata,
kami tidak akan membiarkan anak kami manjadi Yahudi, maka Allah menurunkan
ayat ini. diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abbas.89
Keterangan di atas menunjukan bahwa orang tua tidak ada hak untuk
memaksa anaknya dalam mengikuti agamanya. artinya orang tua yang berbeda
agama juga tidak dapat memaksa anaknya untuk mengikuti agamanya masing-
masing, apalagi sampai adanya perebutan yang menimbulkan dampak yang tidak
baik bagi anak itu sendiri. Maka sebaiknya orang tua hanya dapat memberikan
pendidikan agama dengan cara bijaksana dan contoh yang baik kepada anak,
89 Muhammad Nasab Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jil. I, Penerjemah:
Syahibudin, (Jakarta: Gema Insani Pres, 1999), h. 427
sedangkan untuk memilih agama siapa yang ia inginkan diberikan hak sepenuhnya
untuk memilih sesuai hati nuraninya.
Adapun dalam pada pasal 55 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, anak mempunyai hak untuk beribadah menurut agamanya, yaitu
“setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi
sesuai dengan tingkat intelektualitasnya dan biaya di bawah bimbingan orang tua
dan atau wali”.
Dan pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yaitu: “setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya,
berpikir dan berekpresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam
bimbingan orang tua”
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada anak dalam
rangka mengembagkan kreativitas dan intelektualitasnya sesuai dengan tingkat usia
anak. Ketentuan pasal ini juga menegaskan bahwa pengembangan tersebut masih
tetap harus berada dalam bimbingan orang tua. Setiap anak mendapatkan
perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. Dengan demikian, anak dapat
menentukan pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab
serta memenuhi agama yang dipilihnya.
Telah jelas bahwa anak yang mempunyai orang tua yang berbeda agama,
ketika telah mampu berpikir dapat menentukan pilihan agama dari orang tuanya
yang berbeda agama. Orang tua memberikan hak tersebut dan masih dalam
bimbingannya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, seorang anak yang
mempunyai orang tua yang berbeda agama, memiliki hak untuk memilih agama
sesuai hati nuraniya. Hak memilih agama itu beriringan dengan hak mendapatkan
pendidikan khususnya pendidikan agama, karena pendidikan itu adalah merupakan
sarana dalam mendapatkan pengetahuan-pengetahuan sehingga tercapailah suatu
kebenaran itu dengan yakin dan sesuai hati nurani tanpa ada paksaan-pakasaan.
C. Hak Anak Menurut HAM dalam Memilih Agama
Seorang anak dalam keluarga sangat penting, karena anak adalah sebagai
penerus keluarga. Harus diberikan hak-haknya agar terjamin kebahagiannya,
terutama dalam pendidikan. Sesuai dengan keterangan di atas bahwa anak
mempunyai hak dalam memilih agama dari orang tuanya yang berbeda agama. Anak
akan memperhatikan apa yang dilakukan orang tuanya dalam segala hal, terutama
dalam hal beribadah. Kemungkinan orang tua tidak memberikan kebebasan bagi
anak untuk memilih agamanya sesuai yang ia inginkan itu ada, karena kebanyakan
setiap orang tua menginginkan anaknya untuk mengikuti agamanya dan dengan cara
pendidikan sesuai agamanya. Dengan macam cara yang dilakukan orang tua tentu
akan mengakibatkan dampak buruk terhadap anak. Banyak penelitian yang
dilakukan, apabila terjadi perkawinan beda agama, menimbulkan permasalahan,
khususnya dampak kepada anak tentang pendidikan dan agamanya. Sebagian orang
ada juga untuk tidak melakukan perkawinan beda agama karena binggung dalam
mendidik dan menentukan agama anak-anaknya.90
Penulis menemukan keluarga berbeda agama, yaitu keluarga antara Basuki
yang beragama Kristen dan Sriastuti yang beragama Islam. Basuki yang ingin
menghendaki anaknya beragama Kristen, sedangkan anaknya ingin beragama Islam,
sehingga Basuki selalu melakukan pemaksaan dan memukul serta marah apabila
Sriastuti mengajarkan tentang agama Islam kepada anaknya. Tentu hal ini tidak baik
kepada perkembangan anak, karena selalu mendapatkan tekanan-tekanan dari orang
tuanya.91
Penulis juga mengambil contoh kasus yang diambil dari laporan penelitian
oleh Bapak Nooryamin Aini, yaitu perkawinan beda agama yang dilakukan pria
muslim dari Malaysia dengan wanita Kristren warga Australia. Ini terjadi pada tahun
1994, anak menjadi objek yang menjadi pokok permasalahan, dimana ayahnya
sebagai seorang muslim dituntut untuk agar anaknya dididik secara Islami,
sedangkan ibunya menghendaki anaknya dididik secara Kristen. Kemudian kasus ini
menjadi memanas, dan akhirnya perlu campur tangan pemerintah kedua Negara,
karena mereka berbeda kewarganegaraan. Pada akhirnya kasus ini berakhir dengan
keberhasilan ayah membawa pulang kedua anaknya ke Malaysia melalui kerja keras
90 R.I. Suhartin. C, Cara Mendidik Anak dalam Keluarga Masa Kini, (Jakarta: Bharata Karya
Aksara, 1986), h. 32
91 Wawancara Pribadi
yang telah dilakukan. Sebuah alasan yang sederhana mengakibatkan hancurnya
rumah tangga, yaitu ayah merasa dituntut dan diwajibkan oleh ajaran agama untuk
membesarkan dan mendidik keturunannya secara Islami.92
Hal di atas menggambarkan bahwa perkawinan beda agama menimbulkan
ketidakseimbangan dalam menjalaninya, maka suatu perkawinan yang dilandasi
agama yang sama secara potensial akan lebih stabil dalam menjalaninya.93
Tentu
anak akan menjadi korban, apabila pasangan yang berbeda agama memaksakan
kehendak untuk mengikuti salah satu agamanya. Tapi tidak menutup kemungkinan
perkawinan beda agama akan berjalan dengan utuh, yaitu apabila dalam keluarga
ditumbuhkan cinta kasih, toleransi yang tinggi dan khususnya terhadap anak,
diberikan hak kebebasan dalam memilih agamanya dan bijaksana dalam memberikan
pendidikan.
Anak mempunyai hak sebagai manusia. Hak bagi anak dalam masyarakat
internasional didefinisikan sebagai “hak asasi manusia untuk anak” dimana hak
tersebut melekat pada diri manusia dan tanpa hak-hak itu kita tidak dapat hidup
sebagai manusia yang sempurna.94
Hak anak adalah hak kodrat yang dimiliki sejak
dalam kandungan.
92 Nooryamin Aini, Affiliasi Agama Anak dari keluarga Berbeda Agama, (Jakarta: Laporan
Penelitian, 1997), h. 3 93 Ibid, h. 31
94 Rusjdi Ali Muhammad, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Syari’at Islam; Mengenal
Jati Diri Manusia, (Jakarta: Arraniri Pres, 2004), h. xxxiii
Memberikan hak kebebasan kepada anak untuk memilih agama sesuai hati
nuraninya merupakan solusi agar tidak berdampak negatif terhadap jiwa anak. Setiap
menusia diberikan hak berkebebasan dalam menjalani hidup dengan menggunakan
akal pikirannya yang telah diberikan Tuhan. Maka seorang anak mempunyai hak
kebebasan sebagai hak kodrat yang dimilikinya, diberikan hak kebebasan memilih
agamanya. Dengan melalui pendidikan dan pengetahuan yang telah didapat, akan
mampu berpikir untuk menentukan pilihannya. Suatu contoh kasus penulis
kemukakan, seorang anak yang diberikan kebebasan dalam menentukan pilihan
agamanya dan menjalani hidup tanpa ada beban sedikitpun walaupun kedua orang
tuanya berbeda agama.
Seorang anak gadis yang bernama Luci Septiana, yang akan menginjak
dewasa hasil dari perkawinan beda agama. Ia mengaku tidak merasa tidak
terbebankan oleh keadaan orang tuanya yang berbeda agama. Ia mengatakan bahwa
kedua orang tuanya memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak-anaknya,
apakah ia mau masuk Islam maupun agama katolik. Ayahnya yang beragama katolik
tidak seikitpun mempangaruhi anak-anakya untuk seagama dengan ayahnya, selain
itu ayahnya juga jarang bicara tentang agamanya, karena kedua orang tua ayah dari
Luci (kakek nenek) sudah berbeda agama, dan hanya ayahnya saja beragama
Katolik, sedang lainnya beragama Islam. Begitu juga dengan keluarga Luci, dari
empat saudara hanya satu yang beragama Katolik, itupun karena kasihan melihat
ayahnya selalu sendirian jika pergi ke gereja untuk kebaktian dan bukan karena
pengaruh ayahnya.
Ini menunjukan kebebasan memilih agama adalah merupakan bagian dari hak
asasi bagi anak yang harus diberikan, agar terpenuhinya kerukunan dalam menjalani
keluarga dan tidak menjadikan beban bagi anak itu sendiri dalam menentukan
pilihannya.
Hak asasi manusia yang paling dasar adalah kebebasan, dengan kebebasan itu
akan dapat menentukan apa yang ingin diperbuat. Tapi yang perlu diperhatikan
bahwa kebebasan yang dalam Islam adalah hak yang diberikan Tuhan, maka apa
yang telah diperbuat harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, artinya
kebebasan itu dibatasi oleh perintah dan larangan Tuhan. Begitu juga dengan agama-
agama lain yang percaya adanya Tuhan. Berbeda dengan kebebasan yang dicetuskan
oleh barat, kebebasan sepenuhnya dari manusia tanpa ada pertanggungjawaban
kepada Tuhan tapi kepada manusia itu sendiri yang memegang hak sepenuhnya.
Hak asasi bagi anak dalam memilih agama dari pasangan beda agama sesuai
hati nuraninya, mau ikut agama ayahnya, atau ikut agama ibunya?. dalam Islam hak
anak ini didasarkan pada premis bahwa aktivitas manusia sebagai khalifah Allah di
muka bumi. Seorang anak akan mempertanggungjawabkan apa yang menjadi
pilihannya di hadapan Allah. Inilah konsekuensi yang harus diterima, karena telah
dijelaskan bagi setiap manusia yang diberikan akal untuk mengetahui kebenaran itu
yang tercantum dalam al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan dalam konsep barat bahwa
tingkah laku semata-mata hanya ditentukan oleh hukum-hukum Negara atau
sejumlah otoritas resmi untuk tercapainya aturan-aturan public yang aman dan
sejahtera. Jadi semua tingkah laku tidak ada pertanggungjawaban di hadapan Tuhan,
karena hak itu hanya berlandaskan kepada pemikiran manusia sepenuhnya.
Pemahaman akidah dalam Islam, bahwa manusia sebelum dilahirkan ke
dunia sebenarnya telah mengakui keesaan Allah. Jiwa manusia telah bersaksi bahwa
Tuhan adalah Allah yang Maha Esa. Sebagaimana terdapat dalam surat al-A’raf ayat
172 :
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab:
"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Q.S. al-A’raf : 172)
Ayat ini menjelaskan behwa setelah dilahirkan manusia dalam keadaan
tauhid (Islam) sesuai dengan fitrahnya. Maka ketika manusia menyimpang dari
tauhid itu dan mempersekutukan Tuhan, mereka tidak dapat dapat mengatakan
bahwa bapak-bapak mereka dahulu telah mempersekutukan Tuhan, sedang mereka
tidak tahu-menahu bahwa mempersekutukan Tuhan itu salah, tak ada jalan bagi
mereka, hanyalah meniru orang-orang tua mereka, karena itu mereka menganggap
bahwa tidak patut disiksa karena kesalahan orang-orang tua mereka itu.95
Ada Hadits Rosulullah SAW :
��ل ر�2ل ا� ��� ا� �� و��� �� : �� ا�� ه���ة رر�� ا� �� ��ل
�2�2د ا ���2 ��� ا�:9�ت #��2ا7 �'2دان و��5�ان و�"4!�ن ��
Artinya:“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu suci bersih. Kedua
orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”
(HR. Bukhori dan Muslim)
Seorang anak akan mengetahui agamanya setelah orang tua memberikan
pendidikan agama, pendidikan orang tua sangat berperan dalam membentuk
kepribadian anak, orang tua adalah wakil lingkungan sosial budaya sekitar, yang
melalui mereka seorang anak dapat bersinggungan, berkenalan dan kemudian
menyertai pola-pola kehidupan, tapi hal itu belum tentu sesuai dengan fitrah. Agama
anak sesuai dengan agama kedua orang tuanya. Maka orang tua yang Kristen
biasanya anak menjadi Kristen, dan orang tua Yahudi anak biasanya akan menjadi
yahudi, ataupun orang tua yang berbeda agama anak akan mengikuti salah satu
agamanya. Tentu sesuai dengan penjelasan ayat di atas dan dikaitkan dengan Hadits,
bahwa anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah dengan ketauhidannya, dengan
kefitrahannya itu dan petunjuk dari Tuhan bahwa agama tauhid (Islam) akan mudah
95 Departemen Agama RI, Al-Qur’an tan terjemahnya, (Semarang: PT Karya Toha Putra),
h. 250
diterima secara akal. Selanjutnya ketika ada penyimpangan tauhid walaupun karena
pendidikan orang tua, karena apa yang diajarkan belum tentu sesuai dengan fitrah,
maka tetap tidak lepas dari pertanggung-jawaban yang telah dilakukannya di akhirat.
Dalam Islam anak-anak mempunyai hak asasi, sesuai dengan tujuan
disyari’atkan hukum Islam yaitu yang disebut dengan Dhoruriyah Khomsah atau
lima hak asasi yang harus dipelihara, diselenggarakan dan mutlak harus terpenuhi
seperti halnya hak asasi semua manusia. Dari lima hak asasi itu adalah menjaga
agama (Hifzuddin) atau hak beragama. Beragama merupakan dimensi yang paling
utama pusat dari segala upaya untuk memanusiakan manusia. Menyerahkan hidup
menuju totalitas yang sempurna, diciptakan untuk kemudian kembali kepada sang
kholik dengan kesucian jiwa. Memelihara dan menjalankan agama suatu kewajiban.
Hidup yang inheren dalam diri manusia dengan seperangkat aturan (syariat) secara
otonom menusia bebas dan berhak menentukan pilihan untuk memperoleh hakiki jati
diri kemanusiannya. Demikianlah bagi seorang anak, ia berhak memperoleh harkat
kemanusiannya melalui penanaman keagamaan sebagai landasan. Bertolak dalam
menjalankan hidupnya sebagai manusia penanaman akidah menjadi penting untuk
perkembangan jiwa anak.
Ada kemungkinan orang tua yang berbeda agama membiarkan anakanya
memilih pada agama siapa ia berpijak akan bermasalah jika tidak bijaksana, ia bisa
menjadi athies atau tanpa agama, karena keyakinan agama itu ditentukan dengan
pendidikan sejak kecil. Tapi hal itu tidak akan terjadi, apabila kedua orang tua
memberikan pendidikan agama itu sejak kecil sampai ia dapat berpikir dan
menentukan pilihannya. Kedua orang tua mempunyai sifat toleransi dan bijaksana
satu sama lain dalam mendidik, apalagi kalau orang tua mengarahkan dengan satu
agama. Dengan pendidikan agama itu anak akan mengetahui dan mampu berpikir
dan akan lebih mudah untuk memilih keyakinan agama sesuai hati nuraninya tanpa
ada paksaan-paksaan dan tekanan-tekanan, seperti yang di alami keluaraga Luci
Septiana yang mampu menjalani keluarga dengan baik, walaupun kedua orang
tuannya berbeda agama.
Orang tua dan keluarga adalah lingkungan pertama yang diterima oleh anak,
oleh karena itu kehormatan dan ketentraman dalam keluarga merupakan faktor
penting dan harus diperhatikan dalam rangka keberhasilan pengasuhan dan
pengembangan anak. Orang tua dan keharmonisan keluarga merupakan faktor paling
penting dan pengaruh paling kuat dalam membentuk sikap, perilaku dan akhlak.
Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa anak
mendapatkan perlindungan dalam memeluk agamanya, meliputi pembinaan,
pembimbingan dan pengajaran yang harus dijamin oleh Negara, Masyarakat,
keluarga, orang Tua dan lembaga sosial. Sesuai dengan pasal 1 ayat (12) Undang-
Undang No. 23 tahun 2002 “bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan
negara”.
Hak anak memeluk agama sesuai dengan hati nurani dan intelektual
kecerdasannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
terutama orang tua yang berhubungan langsung dengan anak.
D. Analisis
Setiap agama tidak memaksakan kehendak orang lain untuk mengikuti
agamanya, memberikan hak kepada setiap orang untuk kebebasan beragama, dan
Negara telah menjamin warganegaranya bebas untuk memeluk agamanya sesuai hati
nurani. Hal ini untuk mengembangkan kehidupan yang damai antar pemeluk agama.
Anak sebagai manusia mempunyai hak-hak kodrat yang dimilikinya. Dalam
Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah
mengatur hak-hak anak yang harus dijamin oleh Negara, khususnya orang tua yang
berhubungan langsung dengan anak. Salah satu haknya yang harus dijamin adalah
masalah ibadahnya sesuai agama yang ia anut. Tentu bagi pasangan yang berbeda
agama untuk memberikan hak itu sesuai agama yang anak pilih, agama ayah atau
agama ibunya.
Agama anak dapat ditentukan oleh agama orang tua, karena anak biasanya
mengikuti perilaku orang tua. Anak yang mempunyai orang tua yang berbeda agama
tentu melihat perilaku orang tua dengan berbeda, khususnya dalam beribadah. Oleh
karena itu sesuai dengan ketentutan Undang-Undang anak mempunyai hak untuk
beribadah sesuai agamanya, artinya anak dapat menentukan agama pilihannya dari
salah satu agama orang tuanya dan beribadah sesuai agama yang dipilihnya.
Pendidikan agama yang diberikan orang tua tentu berbeda, tapi perbedaan-
perbedaan itu dapat menambah pengetahuan bagi anak. Ketika anak telah mampu
berpikir ia dapat menentukan pilihan agamanya tanpa ada paksaan dari salah satu
orang tuanya. Dengan kebebasan yang diberikan untuk memilih dan bijaksana dalam
memberikan pendidikan serta toleransi yang tinggi antara satu sama lain merupakan
cara untuk membentuk keluarga yang damai.
Hak anak memilih agama merupakan bagian dari hak asasi manusia yang ia
miliki. Terdapat dua pandangan dalam hal ini; dalam Islam bahwa hak-hak itu
dibatasi oleh perintah dan larangan Tuhan, artinya semua pola tingkah laku manusia
mempunyai konsekuensi. Agama apa yang dipilih seorang anak, ia akan
mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan, karena ini berkaitan langsung
dengan Tuhan. Sedangkan dalam HAM konsep Barat yang dituangkan dalam
UDHR, bahwa hak itu sepenuhnya milik manusia tanpa ada batasan-batasan, artinya
anak dapat memilih agamanya bahkan dapat berganti agama sesuai kehendak
hatinya.
Dapat disimpulkan kedua pandangan ini, baik HAM dalam Islam maupun
HAM yang dituangkan dalam UDHR, bahwa kebebasan memilih agama adalah hak
yang dimiliki anak. Pasangan yang berbeda agama tidak boleh memaksa kehendak
anaknya untuk memilih agama, tapi hanya dapat memberikan pendidikan,
pengajaran, bimbingan dan tauladan yang baik, karena masalah keyakinan ini besifat
individual. Perbedaan kedua pandangan terletak pada yang memberikan hak itu dan
konsekusensinya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan bab-bab di atas penulis dapat simpulkan:
1. Pada dasarnya seluruh agama tidak menghendaki terjadinya pernikahan beda
agama, karena menyangkut keyakinan seseorang dan juga generasi
penerusnya. Majelis Ulama Indonesia telah memfatwakan bahwa pernikahan
beda agama adalah haram begitu juga dalam Kompilasi Hukum Islam.
Sedangkan dalam agama lain mempunyai syarat-syarat tertentu
dibolehkannya pernikahan beda agama. Tapi dengan perbedaan-perbedaan
ulama-ulama Islam dahulu tentang boleh dan tidak bolehnya menikahi ahli
kitab, pemikiran-pemikiran barat yang telah mempengaruhi masyarakat
Indonesia, dan kemajemukan agama yang ada di Indonesia masih ada
kemungkinan besar terjadinya pernikahan beda agama saat ini.
2. Untuk menjaga keutuhan rumah tangga dari pernikahan beda agama
diperlukan toleransi yang tinggi, mengambil keputusan yang bijaksana
diantara keduanya dan menerapkan ideologi kebebasan terhadap anaknya
untuk memilih agama
3. Kebabasan memilih agama merupakan hak yang paling asasi diantara hak-
hak asasi lainnya, karena hak ini bersifat individual dan langsung berkaitan
dengan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
4. Hak bagi anak dalam memilih agamanya merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang dimilikinya yang harus dilindungi sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Orang
tua yang berhubungan langsung dengan anak harus memenuhi hak tersebut
dengan masih dalam bimbingan, pendidikan dan pengajaran sampai ia
mampu menentukan agama pilihannya..
5. Orang tua yang berbeda agama memberikan hak kebebasan kepada anak
untuk memilih agamanya dengan melalui bimbingan dan pendidikan agama
sampai ia dapat menentukan pilihannya sepenuh hati tanpa ada paksaan-
paksaan. Hal ini agar tidak berdampak buruk terhadap jiwa anak, karena
agama apapun yang ia pilih diterima dengan sepenuh hati, akan merasa
nyaman dan bahagia tanpa ada beban dan menjalani kehidupan keluarganya
dengan baik.
6. Hak kebebasan bagi anak, dalam Islam merupakan pemberian dari Tuhan
sebagai makhluk yang paling mulia (Khalifah) di muka bumi, diberikan akal
untuk menggunakan hak kebebasannya. Karena hak itu dari Tuhan maka
semua tingkah lakunya di batasi aturan Tuhan dan dipertanggungjawabkan di
hadapan-Nya. Berbeda dengan Barat, pola tingkah laku ditentukan semata-
mata oleh penguasa.
B. Saran-saran
1. Hendaknya bagi masyarakat yang ingin melaksanakan perkawinan, terlebih
dahulu mengerti dan memahami makna perkawinan itu sendiri. Jika telah
memahami, mereka dapat mempersiapkannya dengan baik. Mereka benar-
benar memilih mana yang terbaik baginya. Adapun jika berbeda agama
denganya, maka ada baiknya mempertimbangkan dampak-dampak dari
perkawinan tersebut.
2. Pernikahan sebaiknya dilakukan dengan sesama aqidah, karena akan lebih
mudah menjalani rumah tangga dan untuk menjaga keturunan. kalaupun
terjadi pernikahan beda agama harus ditanamkan toleransi yang tinggi,
memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih agamanya agar tidak
menimbulkan kebingungan pada anak, dan bijaksana dalam memberikan
bimbingan dan pendidikan agama.
3. Kepada anak-anak yang orang tuanya berbeda agama, hendaknya memahami
dan mengerti betul dari ajaran agama yang dianut kedua orang tua anda.
Mengetahui dampak-dampak yang terjadi akibat perkawinan yang dilakukan
orang tua anda. Jika orang tua anda tipe orang tua yang tertutup dan bahkan
memaksa kepada keinginan mereka, maka anda harus menjadi orang yang
pintar untuk memilih jalan hidup sendiri tanpa ada paksaan dari pihak
manapun.
4. Peraturan Perundang-undangan telah menjelaskan bahwa hak kebebasan anak
beragama harus dilindungi dan sesuai dengan tujuan syari’at yaitu untuk
menjaga agama atau hak beragama. Maka kepada orang tua yang berbeda
agama agar sungguh-sungguh dalam memberikan hak itu dan pendidikan
sampai ia dewasa sehingga terjamin kebahagian (kemaslahatan) anak
5. Kepada seorang anak, dengan hak yang ada pada diri anda, apapun
pendidikan agama orang tua berikan dapat anda cerna. Allah telah
memberikan akal untuk berpikir, dengan memikirkan apa-apa yang ada di
sekitar lingkungan anda, akan mampu mencapai keyakinan itu dan dapat
menentukan agama pilihan anda sesuai dengan keyakinan.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur’an al-Karim
Handrianto, Budi, Perkawinan Beda Agama dalam Syari’at Islam, Jakarta : Khaerul
Bayan, 2003
Aini, Nooryamin, Afiliasi Agama Anak dari Keluarga Berbeda Agama, Jakarta:
Laporan Penelitian, 1997
Sukrdja, Ahmad, Perkawinan Beda Agama menurut Hukum Islam, Jakarta : LSIK,
1999
Djalil, Basiq, Pernikahan Lintas Agama dalam Persepektif Fiqh dan KHI, Jakarta:
Qalbun Salim, 2005
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyyah, Jakarta : Gunung Agung, 1997
Budi, Utomo, Setiawan, Fiqih Aktual, Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,
Jakarta : Gema Insani, 2003
Nuruddin, Amiur, dan Akmal, Tarigan, Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai
KHI, Jakarta : Kencana, 2004
Lopa, Baharuddin, Al-Qur’an dan Hak Azasi Manusia, Jakarta : Dana Bakti, 1996
Syaukat, Hussain, Syeikh, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Jakarta : Gema Insani
Press, 1996
Hasan, Ayyub, Fikih Keluarga, Penerjemah : M. Abdul Ghoffar, Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar, 2006
Nasab Ar-Rifa’I, Muhammad, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jil. I, Penerjemah,
Syahibudin, Jakarta: Gema Insani Pres, 1999
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Jilid 6, Bandung : PT. Alma’arif, 1980,
Yanggo, H.Chuzaimah T., dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum
Islam Kontemporer,, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002
Sukardja, Ahmad dan Bakri Rahman, A., Hukum Perkawinan Menurut Islam, UU
Perkawinan, dan Hukum Perdata/BW, Jakarta: Hidayah Karya Agung,
1981
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, terj. Asywadie Syukur, Surabya: Bina Ilmu,
2006
Nasution, Harun, Islam Ditijau dari Berbagai Aspek, Jil. 1, Jakarta: Universitas
Indonesia, 1979
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyyah, cet, X, Jakarta: Gunung Agung, 1997
Hosen, Ibrahim, Fiqih Perbandingan dalam masalah Pernikahan, Jil. I. Jakarta:
Pustaka Pirdaus, 2003
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000
Qardhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid I, terj. As’ad Yasin, Jakarta:
Gema Insani Pers, 1996
al-Maududi, Abu A’la, Kawin Cerai Menurut Islam, terj. Ahmad Rais, Jakarta:
Gema Insani Pers, 1995
Rapiq, Ahmad, Fiqih Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
Usman, Suparman dan Somawinata, Yusuf, Fiqih Mawaris, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002
Jawad Mughniyah, Muhammad, Fiqih Lima Madzhab, terj. Masykur dkk, Jakarta:
Lentera Basritama, 2000
Sarnadi, Sukris, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transfrmatif, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1997
Abidin, Slamet, dan Aminiddin, Fiqih Munakahat I, Jakarta: Pustaka Setia, 1999
Asaf A.A. Fyzee dkk, Pokok-Pokok Hukum Islam I, penejemah: Arifin Bey, Jakarta:
Tinta Mas, 1959
Sabiq, Sayid, fiqih Sunnah, Jilid II, Semarang: Toha Putra
Pendidikan Kewarnageraan, (Cicic Education) Demokrasi, HAM, dan Masayarakat
Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003
Kosasih, Ahmad, HAM Dalam perspektif Islam, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003
Jainal Aripin, Dkk, Hak Asasi Manusia dalam Tinjauan Islam Dan Implementasi di
Indonesia, Kumpulan Hasil Penelitian, 2002
Mustafa, Ayoub, Mahmoud, Mengurai Konflik Muslim-Kristen, Penterjemah, Ali
Noer Zaman, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan tentang dasar hidup bersama dalam masyarakat yang
majemuk, Jakarta: UI-Press, 1995
Syari’ah Islam dan HAM, Dampak Perda Syari’ah terhadap Kebebasan Sipil, hak-
hak perempuan, dan Non-Muslim, Jakarta: Center for the study of Religion
and Culture UIN Syahid, 2007
Bisri, Ilhami, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di
Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004
AP. Budiyono, HD, Membina Kerukunan hidup Antar Umat Beriman, Yogyakarta:
Kanisus, 1983
Rozak Husein, Abdur,Hak Anak Dalam Islam, Jakarta : Fikahati Aneska, 1992
15
R.I. Suhartin. C, Cara Mendidik Anak dalam Keluarga Masa Kini, Jakarta: Bharata
Karya Aksara, 1986
Ali Muhammad, Rusjdi, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Syari’at Islam;
Mengenal Jati Diri Manusia, Jakarta: Arraniri Pres, 2004
Budi Hadrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, Jakarta: PT. Khairul
Bayaan, 2003
LAMPIRAN I
NAMA: Sriastuti (Wanita Muslim yang suamianya beragama Kristen)
1. Kapan Ibu menikah dengan pak Basuki?
• Saya menikah pada Bulan Desember tahun 1997
2. Apakah Ibu tahu agama pak Basuki yang sebenarnya pada waktu itu?
• Ya, saya tahu, agamanya nasrani, tapi karena ketika menikah dia mau dengan
cara Islam dan menyatakan masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimah
syahadat di depan seorang penghulu dan Akhirnya saya mau.
3. Di mana Ibu menikah dan siapa yang menjadi wali Ibu?
• Saya menikah di KUA Bogor, dan yang menjadi wali saya adalah seorang
Hakim
4. Berapa jumlah anak ibu sekarang ini?
• Anak saya sekarang berjumlah tiga orang; anak pertama berumur sepuluh
tahun (kelas lima SD), anak kedua berumur tujuh tahun (kelas 2 SD) dan
anak ketiga berumur satu tahun
5. Apakah Ibu tahu akibat-akibat hukum dalam Islam dari pernikahan
dengan Pak Basuki sebelumnya terhadap anak-anak?
• Tidak tahu, tapi saya hanya menghawatirkan bagaimana agama anak-anak
6. Sekarang apakah anak ibu yang pertama sudah mengerti tentang
agamaya?
• Ya, ia sudah mengerti, ia sering menanyakan agamanya, karena ia selalu
melihat teman-temannya belajar membaca Al-Qur’an dan di sekolah bersama
teman-temannya belajar tentang agama Islam, tapi ia tidak punya buku
tentang agama Islam karena dilarang oleh ayahnya (pak Basuki).
7. Kalau anak Ibu ditanya, ia mau ikut agama Ibu atau Agama pak
Basuki?
• Anak saya itu cendrung mau ikut agama saya (Islam), karena dekat dengan
saya dan ia sering bergaul dengan teman-temannya yang beragama Islam
8. Ketika menikah dengan Ibu pak Basuki beragama Islam, kenapa
sekarang pak Basuki pindah agama lagi?
• Karena keluarga kami tidak mencukupi dalam keuangan, suami saya (pak
Basuki) hanya seorang kuli bangunan yang penghasilan tidak menentu. Suatu
saat ia bertemu teman lamanya yang beragama Kristen, kemudian setiap hari
minggu mengajaknya pergi ke gereja. Dan gereja selalu memberikan
sembako dan uang tapi dengan syarat mengajak saya dan anak-anak
beragama Kristen
9. Apakah Ibu dan anak-anak mau diajak pak Basuki pindah ke agama
Kristen?
• Kalau saya masih berkeyakinan dengan agama Islam dan anak saya yang
pertama (Agus Wiyanto) juga ingin ikut agama saya, tapi suami saya selalu
memaksa Agus ke gereja dengan paksa. Kalau tidak mau suami saya
memukul dan Agus menangis, karena ia sering tidak mau
10. Bagaimana keadaan Agus sekarang ini?
• Agus setelah pulang sekolah hanya di rumah saja, karena dilarang oleh
ayahnya untuk bermain dengan teman-temanya. Ia sering merasa minder. Ia
ingin belajar sholat dan membaca al-Qur’an, tapi ia tidak berani karena takut
ketahuan ayahnya
11. Apa yang ibu lakukan terhadap Agus?
• Agus sangat dekat dengan saya, ia ingin ikut agama saya, tapi kalau saya
mengajarkan tentang agama Islam suami saya sangat marah. Maka saya
mengajarkannya tentang agama Islam dengan diam-diam
Yang Diwawancara
Sriastuti
LAMPIRAN II
NAMA: Agus Wiyanto (anak pertama dari Ibu Sriastuti dan pak Basuki)
1. Apakah agus tahu agama ayah dan Ibumu?
• Ya, saya tahu, ayah beragama Kristen dan Ibu beragama Islam
2. Bagaiamana kedua orang tuamu mengajarkan agama kepadamu?
• Ayah sering mengajakku setiap hari minggu ke gereja, kata ayah untuk
beribadah. Sedangkan Ibu menyuruhku untuk belajar membaca Al-Qur’an
bersama teman-temanku, tapi sembunyi-sembunyi dari ayah karena ayah
sering marah kalau saya belajar tentang agama Islam.
3. Agus sekarang memilih Agama siapa? Ikut agama ayahmu atau Agama
Ibumu?
• Sebenarnya Saya ingin ikut agama Ibu, tapi ayah saya sangat marah-marah
dan memaksa bahkan sering memukul kalau saya tidak mau ke gereja
sehingga saya sering menangis. Ayah melarang untuk bermain keluar rumah.
4. Apakah Ibu Agus juga memaksa apabila menyuruh belajar membaca
Al-Qur’an?
• Tidak, karena saya ingin sekali belajar pelajaran agama Islam dan membaca
Al-Qur’an seperti teman-teman saya. Ibu hanya menyuruh saja tapi tidak
memaksa seperti memaksa.
5. Bagaimana keadaan Agus sekarang dengan perbedaan agama orang
tua?
• Sekarang saya bingung dan merasa tertekan oleh ayah, maka sekarang saya
kalau diajak ayah ke gereja saya ikut walaupun dengan keadaan terpaksa.
Dan kalau di sekolah saya belajar membaca al-Qur’an dan Sholat juga
bersama teman-teman.
Yang Diwawancara
Agus Wiyanto
Recommended