View
226
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
8/3/2019 Indonesia Di Penyingkul
1/4
Bukti Praktek Jurnalisme Orang Biasa
SEJAK tahun 1997 Nursyiah, akrab dipanggil Daeng Siah, bekerja sebagai tukang becak. Sebagaiseorang ibu dengan 8 anak, Nursyiah dipaksa keadaan untuk bekerja keras. Penghasilan suaminya,sebagai penjaga malam di Pusat Dakwah Muhammadiyah di Kota Makassar, tidaklah seberapa. Membelisabun, gula, garam dan kebutuhan sehari-hari lainnya, sudah melenyapkan begitu saja seluruh gajisuaminya. Jadi agar keluarganya bisa makan, Nursyiah harus mencarinya sendiri.
Kutipan di atas adalah leadatau teras berita laporan Diah Mashita, yang berjudul
Nursyiah Mengayuh Becak sampai Tua. Laporan feature human interest itu, bertutur
tentang kehidupan seorang ibu dengan delapan anak yang
selama 11 tahun terakhir harus bekerja keras menjadi pengayuh
becak. Tulisan cukup detil, menyerobot perhatian pembaca
dengan mengetengahkan fakta mulai kisah tentang hanya satu
anak Nursyiah yang tamat SMA, sedangkan tujuh lainnya SD
pun tidak tamat, becak yang dipakai bekerja sampai sekarang
ternyata masih menyewa, hingga penghasilan yang hanya Rp
10.000 per-hari.
Meski laporan itu sudah dibalut dengan penuturan berkaidah karya jurnalisme,
tapi bukanlah karya jurnalis profesional, dan oleh karenanya tidak dimuat di suratkabar
atau majalah. Karya itu ditayangkan pada situs www.panyingkul.com 20 April 2008,
sebuah situs yang menampung karya jurnalisme yang dibuat oleh kalangan non-
jurnalis, atau orang biasa. Tulisan Diah merupakan salah satu dari 38 karya jurnalisme
orang biasa yang termuat dalam buku yang dibuat dalam rangka menyambut ulang
tahun kedua panyingkul!.
Lantas, siapakah yang disebut orang biasa dalam praktek jurnalisme? Seperti
apakah jurnalisme orang biasa? Jawaban atas dua pertanyaan itu bisa ditemukan
dalam buku ini.
8/3/2019 Indonesia Di Penyingkul
2/4
Inilah buku yang seluruhnya ditulis oleh mereka yang disebut sebagai orang
biasa itu. Artinya, para penulis adalah mereka yang memang bukan berprofesi sebagai
jurnalis. Mereka adalah orang biasa, dari berbagai latarbelakang, pelajar SMA
mahasiswa, peneliti, pekerja profesional dan orang biasa lainnya. Mereka menulis
tentang apa saja. Dalam pengertian sekarang, mereka adalah para citizen reporter
yang mengembangkan praktek citizen journalism, jurnalisme warga. Buku ini
merupakan bukti praktek jurnalisme orang biasa, yang tentu saja berbeda dengan apa
yang dilakukan dalam praktek jurnalisme mainstream.
Adalah panyingkul!sebuah situs di internet dengan alamat www.panyingkul.com,
yang bereksperimen dalam pengembangan jurnalisme warga sejak 2006. Memang,
berkat perkembangan teknologi masa kini, internet sebagai new mediamemungkinkan
siapa saja melakukan dokumentasi dan translasi atas apa saja.
Dengan internet, sebagaimana dipaparkan pada kata pengantar, kesadaran
manusia atas segala peristiwa yang terjadi tidak bisa lagi menjadi eksklusif. Peran
tradisional para editor di media mainstream pun semakin dipertanyakan justifikasi
eksistensialnya. Sebab, setiap orang, dengan perangkat-perangkat teknologi informasi
telah dimungkinkan melaksanakan hal serupa. Slogan setiap orang adalah reporter,
bukanlah kemuskilan berlebihan. Jurnalisme pada akhirnya tidak bisa lagi dibekukan ke
dalam relasi kaku antara peristiwa-wartawan-narasumber dengan atribut resmi. Sebab
yang resmi dalam hubungan ketiganya pada akhirnya adalah setiap orang.
Demikianlah, sebanyak 38 tulisan yang mewakili jurnalisme warga, dikumpulkan
dalam buku ini. Tulisan-tulisan karya para citizen jurnalis itu sebelumnya sudah
ditayangkan pada situs www.panyingkul.com . Sebagian besar fakta dan peristiwa yang
dituliskan, berada atau terjadi di wilayah Sulawesi Selatan, kota Makassar padakhususnya.
Beragam tema, maupun gaya bahasa terjumpai dalam buku ini. Perspektif yang
ingin dikembangkan panyingkul! adalah berbagi kabar, terbebas dari berbagai kontrol
segelintir elit seperti yang dianut jurnalisme media mainstream.
8/3/2019 Indonesia Di Penyingkul
3/4
Maka, muncullah berbagai tema yang kesemuanya tergali dari realitas kehidupan
warga. Barangkali sebagian tema dinilai sebagai hal remeh-temeh jika masuk dalam
ranah jurnalisme mainstream. Namun, tidak demikian halnya pada praktek jurnalisme
warga atau jurnalisme orang biasa ini. Sebut misalnya kisah tentang asal mula
makanan Coto, laporan kunjungan ke rumah komunitas pemulung, kisah tentang
tukang cuci foto kilat, soal minuman tuak dan komunitas peminumnya, sampai kisah
tentang seorang bissu yang tertusuk badiknya sendiri.
Laporan-laporan itu dikelompokkan menjadi lima bagian, yakni Kabar dari
Makassar berisi 11 laporan, Kabar dari Pelosok Sulawesi Selatan enam tulisan, Kabar
dari Laut dan Pulau lima tulisan, Kabar dari Nusantara delapan tulisan dan Kabar
Sejarah dan Budaya 7 tulisan.
Pilihan dan gaya penulisan yang digunakan dengan demikian telah memperkaya
pembaca. Tidak lagi seperti biasa ditemui pada media mainstreamyang newsroomnya
sudah mempunyai kaidah penulisan baku dan menjadi warna media itu. Ciri penulisan
tiap jurnalis dalam media mainstreamkadang hilang atau melebur, karena yang muncul
adalah gaya media itu, baik suratkabar atau majalah. Peran atau posisi editor sangatlah
menentukan.
Namun, pada laporan yang ditayangkan panyingkul!, setiap orang bebas menulis
tentang apa saja dan seperti apa dia hendak melaporkannya. Pertemuan jurnalisme
dan teknologi masa kini dengan hadirnya internet, membebaskan jurnalisme dari kontrol
segelintir elit.(hal vii).
Dengan sentuhan para pengelola situs dan para editornya, laporan dalam buku
ini menjadi tertata, tanpa menghilangkan kekhasan sebagai laporan jurnalisme orang
biasa. Artinya, bagaimana para citizen reporter itu sudah berupaya menampilkan
kekhasan mereka masing-masing, masih tetap tampak jelas.
Tentu saja, jika dinilai dengan ukuran jurnalisme profesional, masih saja terdapat
kekurangan di sana-sini. Ada kalimat yang intinya justru menilai atau ragu-ragu ketika
8/3/2019 Indonesia Di Penyingkul
4/4
sebenarnya si jurnalis ingin mendeskripsikan fakta yang ditemuinya. Sekilas, kondisi
rumah mereka sangat memprihatinkan. Rasa-rasanya tidak layak huni (hal. 25).
Padahal, sebelum dan sesudah kalimat itu, si jurnalis mampu mendeskripsikan fakta
rumah yang dia sebut memprihatinkan dan rasa-rasanya tidak layak huni itu dengan
baik.
Ada pula laporan yang pengkisahan atau metode penulisannya melompat-
lompat. Misalnya dalam tulisan tentang Ramallang (hal. 4). Sebenarnya fakta yang
hendak disampaikan menarik. Bertutur tentang pria yang banyak menghasilkan medali
ketika menjadi atlet balap sepeda, tapi kini menjadi penyapu halaman sebuah benteng
di Makassar. Banyak fakta penting dijejalkan dalam satu alinea, atau kadang struktur
tulisan tidak terjaga. Akibatnya fokus kisah sang tokoh menjadi tidak terkontrol arahnya,
dan menjadi kurang nyaman dibaca.
Namun, kita juga perlu memahami bahwa itu semua adalah karya para jurnalis
warga biasa. Selebihnya, khalayak justru disuguhi beragam tema, juga beragam pilihan
dan gaya penulisan. Dari sanalah pengkayaan bagi khalayak menjadi lebih banyak lagi,
karena beragam tema itu juga membawa konsekuensi lahirnya beragam pilihan lead
atau teras berita. Sungguh sebuah fakta mengagetkan bahwa ternyata para citizen
reporter itu mampu mengekspresikan realitas didahului dengan pilihan leadyang kuat.
Adalah lead, yang bertugas mengantar seluruh isi laporan itu sehingga menarik untuk
terus dibaca hingga selesai. Karena banyak pilihan fakta yang ditampilkan, banyak pula
ragam lead dijumpai. Ada laporan dengan lead bertanya, deskriptif, juga ada lead
kutipan.
Sesuai dengan judul buku: pilihan kabar orang biasa 2007-2008, seluruh tulisan
dibuat setidaknya sudah dilandasi dengan semangat tidak lagi berdebat soal layak jualseperti halnya paham yang dianut media mainstream. Oleh karenanya, pilihan tema
yang disuguhkan telah menjadi kekayaan tersendiri. Dengan demikian, seiring dengan
perkembangan teknologi saat ini, setiap orang menjadi jurnalis untuk menjadikan dunia
lebih baik, adalah keniscayaan.(Agoes Widhartono)
Recommended