View
19
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
JURNAL
KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG POLIS ASURANSI JIWA
PADA PERUSAHAAN ASURANSI YANG PAILIT
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
untuk mencapai derajat S-1 pada
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh :
AHMAD SAPRIADI
D1A 012 023
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2017
LEMBAR PENGESAHAN
KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG POLIS ASURANSI JIWA
PADA PERURAHAAN ASURANSI YANG PAILIT
Oleh :
AHMAD SAPRIADI
D1A 012 023
Menyetujui,
Pembimbing Utama
Dr. Hj. Sumiati Ismail, SH., MM, MH.
NIP. 195404081988032001
KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG POLIS ASURANSI JIWA
PADA PERUSAHAAN ASURANSI YANG PAILIT
AHMAD SAPRIADI
D1A012023
Fakultas Hukum Universitas Mataram
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan upaya yang dapat ditempuh oleh pemegang
polis pada asuransi yang pailit. Adapun metode yang digunakan adalah normatif. Upaya hukum
yang dapat ditempuh oleh pemegang polis untuk memperoleh haknya apabila perusahaan
asuransi dinyatakan pailit sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU adalah dengan mengajukan permohonan pembayaran
klaim asuransi kepada kurator, karena dengan adanya pernyataan pailit, segala hak dan
kewajiban perusahaan asuransi menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 40
Tahun 2014 tentang Peransuransian dan isi perjanjian dalam polis telah diambil alih oleh kurator.
Kata kunci : perlindungan, pemegang polis, pailit
JURIDICAL OF LEGAL PROTECTION OF POLICYHOLDERS LIFE INSURANCE ON A
BANKRUPTY INSURANCE COMPANY
ABSTRACT
This study aims to explain the efforts that can be taken by policyholders on insolvent
insurance. The method used is normative. Legal remedies which can be taken by the policyholder
to obtain their rights if the insurer is declared bankrupt in accordance with the provisions of
Article 26 paragraph (1) of Law no. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU is to apply for
payment of insurance claim to the curator, because with the existence of bankrupt statement, all
rights and obligations of insurance company according to the provisions of article 1 paragraph
(1) of Law no. 40 Year 2014 on the Insurance and the contents of the agreement in the policy has
been taken over by the curator.
Keywords: protection, policyholder, bankruptcy
i
I. PENDAHULUAN
Kedudukan para nasabah asuransi, khususnya mengenai perlindungan
hukum terutama berkaitan dengan klaim mereka, dapat diperhatikan melalui
perjanjian asuransi. Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian,
oleh karena itu sendiri perjanjian itu perlu dikaji sebagai acuan menuju pada
pengertian perjanjian asuransi. Perjanjian asuransi itu diadakan dengan maksud
untuk memperoleh suatu kepastian atas kembalinya keadaan (ekonomi) sesuai
dengan semula sebelum terjadi peristiwa.1
Ketidakjelasan mengenai pengaturan kedudukan pemegang polis dalam
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, apakah sebagai kreditur preferen atau
sebagai kreditur konkuren. Sebab dalam Pasal 137 ayat (2) menyatakan:
“Semua piutang yang dapat ditagih dalam waktu 1 (satu) tahun setelah
putusan pernyataan pailit diucapkan, wajib diperlakukan sebagai piutang yang dapat
ditagih pada tanggal tersebut”.
Ini terlihat bahwa pemegang polis yang mana jatuh tempo atau resiko yang
menjadi objek pengalihan dalam perjanjian asuransinya itu terjadi dalam waktu 1
(satu) tahun setelah tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan dapat digolongkan
sebagai kreditur preferen. Sedangkan dalam Pasal 137 ayat (3) menyatakan: “Semua
piutang yang dapat ditagih setelah lewat 1 (satu) tahun setelah tanggal putusan
pernyataan pailit diucapkan”. Maka terlihat bahwa pemegang polis yang mana jatuh
1 Isnandar Syahputra Nasution, Kewenangan Pengajuan Permohonan Pailit Terhadap
Perusahaan Asuransi, Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hlm.
20
ii
tempo atau resiko yang menjadi objek pengalihan dalam perjanjian asuransinya itu
terjadi setelah lewat 1 (satu) tahun setelah tanggal putusan pernyataan pailit
diucapkan dapat digolongkan sebagai kreditur konkuren.
Sedangkan dalam ketentuan UU Peransuransian (UU No. 40 Tahun 2014)
pada Pasal 52 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: 1. Dalam hal Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi
Syariah dipailitkan atau dilikuidasi, hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta
atas pembagian harta kekayaannya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari
pada pihak lainnya. 2. Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
dipailitkan atau dilikuidasi, Dana Asuransi harus digunakan terlebih dahulu untuk
memenuhi kewajiban kepada para Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak lain
yang berhak atas manfaat asuransi.
Menurut ketentuan di atas, jelas bahwa kedudukan pemegang polis baik
yang polisnya telah jatuh tempo (telah terjadi evenemen) atau yang polisnya belum
jatuh tempo (belum terjadi evenemen) sama-sama berkedudukan sebagai kreditur
preferen. Dari ketentuan Pasal 137 ayat (2) dan (3) UUK jelas terjadi pertentangan
norma dengan Pasal 52 ayat (1) dan (2) UU Peransuransian mengenai kedudukan
pemegang polis dalam hal perusahaan asuransi dinyatakan pailit oleh Pengadilan
Niaga.
iii
Maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana
pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian Asuransi Jiwa? 2.
Bagaimana upaya hukum yang dapat ditempuh pemegang polis untuk memperoleh
hak-haknya? 3. Bagaimana perlindungan pemegang polis asuransi jiwa pada
Perusahaan Asuransi yang pailit? Untuk menjelaskan pengaturan hak dan kewajiban
para pihak dalam perjanjian Asuransi Jiwa. Untuk menjelaskan upaya hukum yang
dapat ditempuh pemegang polis untuk memperoleh hak-haknya. Untuk menjelaskan
perlindungan pemegang polis pada Perusahaan asuransi yang pailit. Untuk
menghasikan jawaban yang sesuai dengan permasalahan di atas, maka jenis
penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian normatif, di mana penelitian
normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal.2
2 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Raneka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 33
iv
II. PEMBAHASAN
Pengaturan Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Asuransi jiwa
Dalam Pasal 255 KUHD disebutkan bahwa: “suatu pertanggungan harus
dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis.” Ketentuan tersebut
memberikan kesan seolah-olah perjanjian asuransi jiwa harus dibuat secara tertulis
sebagai syarat mutlak. Padahal polis bukanlah syarat mutlak adanya perjanjian
asuransi jiwa, tetapi hanyalah merupakan alat bukti adanya perjanjian.
Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 257 KUHD, yang menyatakan bahwa:
“perjanjian pertanggungan diterbitkan setelah ia ditutup, hak-hak dan
kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggung mulai
berlaku semenjak itu, bahkan sebelum polis ditandatangani.”
Dalam hal ini berarti bahwa walaupun tidak ada polis (polis belum terbit),
perjanjian asuransi jiwa tetap berlaku apabila telah ditutup (telah ada persesuaian
kehendak), telak melaksanakan hak dan kewajiban dan dapat dibutikan dengan
bukti-bukti lain, misalnya dengan kwitansi pembayaran premi.3
Dalam perjanjian asuransi jiwa para pihak yaitu pemegang polis,
penanggung dan tertunjuk (penikmat asuransi) mempunyai hak dan kewajiban
masing-masing. Adapun hak dan kewajiban yang dimaksud antara lain sebagai
berikut:
3 Arthur Samosir, Kekuatan Hukum Polis Asuransi Jiwa Perorangan Pada Asuransi Jiwa
Bumi Asih Jaya Cabang Medan, Skripsi Fak. Hukum Sumut, Medan, 2009, hlm. 61
v
Hak dan Kewajiban Pemegang Polis
Hak-hak dari pemegang polis antara lain:4
Hak untuk mendapatkan ganti kerugian apabila terjadi evenemen. Menurut
Pasal 1 ayat (1) (huruf b) UU No. 40 Tahun 2014 menyatakan:
“memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya
tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung
dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada
hasil pengelolaan dana.”
Berdasarkan ketentuan tersebut pembayaran uang santunan kepada pemegang
polis atau tertunjuk wajib dilaksanakan oleh penanggung apabila telah terjadi
evenemen (meninggalnya tertanggung) sebagai timbal balik atas premi yang
dibayarkan oleh pemegang polis.
Hak untuk mendapatkan jumlah pertanggungan apabila tidak terjadi
evenemen dalam masa asuransi. Pada masa asuransi jiwa berakhir tanpa terjadi
evenemen, pemegang polis atau tertunjuk berhak mendapatkan pengembalian
sejumlah uang tertentu dari penanggung sesuai dengan perjanjian dalam polis.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b UU No. 40 Tahun 2014
yang menyatakan:
“……memberikan pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung
dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan atau didasarkan atass
hasil pengelolaan dana”.
Sedangkan kewajiban-kewajiban dari pemegang polis atau pengambil
asuransi antara lain: 1). Kewajiban membayar premi kepada penanggung. Ketentuan
4 Ibid, hlm. 72
vi
mengenai kewajiban membayar premi bagi pemegang polis asuransi kepada
penanggunng diatur dalam Pasal 246 KUHD dan Pasal 1 ayat (1) UU
Peransuransian. Premi merupakan kewajiban pemegang polis untuk membayarnya
kepada penanggung sebagai kontraprestasi dari ganti kerugian atau uang santunan
yang akan penanggung berikan padanya, premi merupakan syarat esensial dalam
perjanjian asuransi.5 2). Kewajiban untuk memberikan keterangan-keterangan yang
diperlukan oleh penanggung dengan iktikad baik. Adanya ketentuan yang
mewajibkan kepada pemegang polis supaya memberitahukan tentang keadaan objek
yang akan diasuransikannya dengan dilandasi iktikad baik dapat disimpulkan dari
Pasal 251 KUHD, yang berbunyi:6
“Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak
memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh tertanggung, betapapun itikad
baik ada padanya, yang demikian sifatnya sehingga seandainya penanggung
telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak dapat ditutup
atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya
asuransi.”
Hak dan Kewajiban Penanggung
Hak-hak penanggung antara lain:7 a. Menuntut pembayaran premi kepada
pemegang polis sesuai dengan perjanjian (Pasal 1 ayat (1) UU Peransuransian). b.
Meminta keterangan yang benar dan lengkap kepada pemegang polis/tertanggung
yang berkaitan dengan objek yang diasuransikan kepadanya (Pasal 251 KUHD). c.
5 Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Cet. 2,
Alumni, Bandung, 2003, hlm. 32 6 Ibid, hlm. 44 7 Ibid, hlm. 22
vii
Melakukan asuransi kembali kepada penanggung yang lain, dengan untuk membagi
risiko yang dihadapinya.
Sedangkan yang menjadi kewajiban penanggung antara lain:8 1. Membayar
uang pertanggungan kepada pemegang polis apabila telah berakhir masa asuransi
dan kepada pihak yang tertunjuk dalam polis apabila si tertanggung meninggal
dunia. 2. Menandatangani dan menyerahkan polis kepada pemegang polis (Pasal
259, 260 KUHD)
Hak Tertunjuk
Dalam perjanjian asuransi jiwa, tertunjuk adalah orang yang ditunjuk oleh
pemegang polis dan tercantum namanya dalam polis sebagai orang yang berhak
menerima pembayaran uang pertanggungan dalam hal terjadi evenemen. Apabila
terjadi evenemen tertunjuk berhak mengajukan klaim kepada penanggung untuk
menerima manfaat asuransi berupa santunan sejumlah uang sesuai dengan jumlah
manfaat yang sudah ditentukan dalam polis.
Upaya Hukum Yang Dapat Ditempuh Oleh Pemegang Polis Untuk
Memperoleh Hak-haknya Dalam Hal Kepailitan Perusahaan Asuransi
Dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi, permohonan pernyataan pailit
hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Pengadilan Niaga sesuai
ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Peransuransian. Terhitung sejak
kepailitan diputuskan, debitur pailit tidak lagi berhak melakukan pengurusan atas
harta kekayaannya. Oleh karena itu, untuk melidungi kepentingan baik debitur pailit
8 Arthur Samosir, Op.cit, hlm. 74-75
viii
itu sendiri maupun pihak ketiga yang berhubungan hukum dengan debitur pailit
sebelum pernyataan pailit dijatuhkan, Undang-Undang Kepailitan dan PKPU telah
menunjuk Kurator sebagai satu-satunya pihak yang akan menangani seluruh
kegiatan pemberesan termasuk pengurusan harta pailit. Secara umum hal tersebut
dinyatakan dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan
PKPU yang berbunyi:
“Tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit harus
diajukan oleh atau terhadap Kurator”.9
Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU
tersebut, upaya hukum yang dapat ditempuh pemegang polis apabila perusahaan
asuransi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga untuk mendapatkan hak-haknya
berupa pembayaran dari piutangnya, yaitu pemegang polis asuransi dapat menuntut
hak yang menyangkut harta pailit dengan mengajukan klaim asuransi kepada
kurator yang tata caranya sama seperti pengajuan klaim pada perusahaan asuransi
karena adanya pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga atas permohonan Otoritas
Jasa Keuangan mengakibatkan segala hak dan kewajiban perusahaan asuransi untuk
melaksanakan perjanjian menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Peransuransian dan
ketentuan dalam polis asuransi telah diambil alih oleh kurator.
Setelah adanya putusan pailit dari Pengadilan Niaga, kurator akan
menentukan pembagian pembayaran utang-utang Debitur pailit kepada Kreditur
menurut besar kecilnya jumlah piutang masing-masing. Pembayaran utang-utang
9 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Pailit, Cet.1, Gorum Sahabat,
Jakarta, 2009, hlm. 87
ix
tersebut akan dibayar menurut kedudukannya berdasarkan sifat piutang masing-
masing Kreditur, baik Kreditur preferen, Kreditur konkuren, maupun Kreditur
separatis.
Perlindungan Hukum Pemegang polis Asuransi Jiwa Dalam Kasus Kepailitan
Dalam hal kepailitan Perusahaan Asuransi, jaminan perlindungan terhadap
pemegang polis asuransi telah diatur secara tegas dalam UU Peransuransian (UU
No. 40 Tahun 2014) pada Pasal 52 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
(1) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi syariah, Perusahaan
Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah dipailitkan atau dilikuidasi, hak
Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta atas pembagian harta kekayaannya
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada pihak lainnya.
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dipailitkan atau
dilikuidasi, Dana Asuransi harus digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi
kewajiban kepada para Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak lain yang
berhak atas manfaat asuransi.
Menurut ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU Peransuransian, kedudukan para
pemegang polis asuransi dalam memperoleh pembayaran piutang menjadi tegas
yaitu pemegang polis berkedudukan sebagai kreditur preferen yang artinya dalam
pembagian harta kekayaan, pemegang polis mendapatkan pelunasan terlebih dahulu
dari pada kreditur lainnya.
Menurut ketentuan Pasal 52 ayat (2) UU Peransuransian, dana asuransi yaitu
kumpulan dana yang berasal dari premi yang dibentuk untuk memenuhi kewajiban
yang timbul dari polis yang diterbitkan atau dari klaim asuransi. Ketika perusahaan
asuransi dipailitkan maka pembagian dana asuransi harus digunakan terlebih dahulu
x
untuk memenuhi kewajiban pembayaran klaim kepada pemegang polis yang berhak
atas manfaat asuransi.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) dan (2) UU Kepailitan tersebut,
dalam hal terjadi kepailitan pada perusahaan asuransi ini pemegang polis yang
berhak atas manfaat asuransi dijamin dengan polis asuransi yang mana pada isi
polis tersebut telah memuat banyak hal terkait pelaksanaan hak dan kewajiban
terutama mengenai pembayaran ganti kerugian dan pembayaran sejumlah uang
kepada pemegang polis.
Bila merujuk pada ketentuan di atas jelaslah bahwa UU Peransuransian dan
polis asuransi telah memberikan perlindungan hukum yang tegas dan jelas karena
telah menempatkan pemegang polis pada kedudukan yang lebih tinggi dari pada
pihak lain yaitu sebagai kreditur istimewa (preferen) dalam hal memperoleh
pelunasan piutang pada mekanisme pembagian harta kekayaan perusahaan asuransi
yang pailit. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam polis asuransi jiwa yang
tertuang pada syarat-syarat umum polisnya bahwa pembayaran manfaat asuransi
kepada pemegang polis harus segera dilakukan setelah pemegang polis mengajukan
klaim.
Keberadaan Pasal 52 ayat (1) dan (2) yang mengatur perihal kepailitan
perusahaan asuransi ini tidak perlu dipertentangkan lagi dengan UU Kepailitan. Hal
ini sejalan dengan asas hukum yang berlaku, yakni asas lex specialis derogat lex
generalis, di mana ketentuan Pasal 52 ayat (1) dan (2) UU Peransuransian sebagai
xi
ketentuan atau aturan hukum khusus harus dikedepankan pelaksanaannya dengan
cara mengabaikan (mengenyampingkan) ketentuan hukum umum yang tertuang
dalam UU Kepailitan, karena UU Peransuransian sendiri secara khusus telah
mengatur dan menempatkan kedudukan pemegang polis secara tegas sebagai
kreditur yang diutamakan atau didahulukan pembayaran hak-haknya (preferen).
Namun perlu diingat bahwa kedudukan pemegang polis yang dimaksud di
atas tentu saja sebagai kreditur preferen yang istimewa (privilege), bukan kreditur
preferen yang separatis, karena pemegang polis bukan pemegang jaminan
kebendaan seperti, gadai, hipotik, atau fidusia. Jadi ketentuan KUHPerdata dan UU
Kepailitan harus tunduk kepada ketentuan Pasal 52 ayat (1) dan (2) UU
Peransuransian bila terjadi kepailitan suatu perusahaan asuransi.
xii
III. PENUTUP
Simpulan: Berdasarkan dari hasil pembahasan di atas, maka penulis dapat menarik
suatu simpulan sebagai berikut: (1) Pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian asuransi jiwa menurut hukum positif di Indonesia, diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Peransuransian. Selain itu juga terdapat pengaturan yang diatur secara
lebih khusus dan rinci dalam perjanjian asuransi jiwa yang dicantumkan pada polis
asuransi. (2) Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pemegang polis untuk
memperoleh haknya apabila perusahaan asuransi dinyatakan pailit sesuai dengan
ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan PKPU adalah dengan mengajukan permohonan pembayaran klaim asuransi
kepada kurator, karena dengan adanya pernyataan pailit, segala hak dan kewajiban
perusahaan asuransi menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 40
Tahun 2014 tentang Peransuransian dan isi perjanjian dalam polis telah diambil alih
oleh kurator. (3) Perlindungan yang diberikan kepada pemegang polis asuransi jiwa
dalam kasus kepailitan yaitu dijaminnya kedudukan pemegang polis dalam hal
terjadi kepailitan terhadap perusahaan asuransi yang telah diatur secara tegas di
dalam Pasal 52 ayat (1) dan (2) UU Peransuransian yaitu, pemegang polis
berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan (preferen) dalam hal memperoleh
pengembalian premi dari harta kekayaan perusahaan asuransi yang pailit dan
xiii
terlebih lagi bagi para pemegang polis yang berhak atas manfaat asuransi dijamin
dengan polis asuransi untuk memperoleh pembayaran klaim mereka.
SARAN: (1) Untuk memberikan perlindungan yang optimal kepada pemegang
polis, maka disarankan kepada perusahaan asuransi untuk menjelaskan isi polis
kepada pemegang polis. Dan disarankan juga kepada pemegang polis untuk
membaca dengan teliti isi polis agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian
hari. (2) Mengenai upaya hukum pemegang polis dalam hal terjadi kepailitan
asuransi yang di dalam UU Kepailitan dan UU Peransuransian belum diatur secara
jelas dan tegas, untuk kedepannya diharapkan pemerintah membuat aturan yang
lebih eksplisit lagi yang mengatur mengenai upaya hukum bagi pemegang polis
dalam kepailitan asuransi. (3) Perlindungan terhadap pemegang polis untuk
mendapatkan hak-haknya pada kepailitan perusahaan asuransi ini, hendaknya
kurator sebagai orang yang berwenang mengurus semua harta kekayaan perusahaan
asuransi harus memperhatikan isi perjanjian dalam polis asuransi supaya
pelaksanaan kewajiban perusahaan asuransi kepada pemegang polis bisa terlaksana
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ashshofa ,Burhan, Metode Penelitian Hukum, Raneka Cipta, Jakarta, 2010.
Nasution, Isnandar Syahputra, Kewenangan Pengajuan Permohonan Pailit
Terhadap Perusahaan Asuransi,Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas
Diponogoro, Semarang, 2009.
Samosir, Arthur, Kekuatan Hukum Polis Asuransi Jiwa Perorangan Pada
Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya Cabang Medan, Skripsi Fakultas Sumut,
Medan, 2009.
Sastrawidjaja, Man Suparman dan Endang, Hukum Asuransi, Cet. 2, Alumni,
Bandung, 2003.
Widjaja, Gunawan, Resiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Pailit, Ce. 1, Gorum
Sahabat, Jakarta, 2009.
Recommended