View
68
Download
5
Category
Preview:
Citation preview
GENETIK ABORSI SPONTAN
PENDAHULUAN
Faktor genetik adalah penyebab yang paling umum dari aborsi spontan. Dari 50%
sampai 80% pada aborsi trimester pertama menunjukkan kelainan kromosom. Selain itu, ada
penyebab genetik lain yang berbeda dari kelainan kromosom. Kelainan pada gen tunggal
hampir belum diselidiki pada kelainan spontan, meskipun cacat gen tunggal pada lahir hidup
dibandingkan kelainan kromosom. Banyak penyebab dari aborsi berulang yang umumnya
diklasifikasikan sebagai 'non-genetik’ sebenarnya hasil dari gangguan dari produk gen seperti
faktor V Leiden, dan gen lain yang terkait dengan tromboemboli, dan kehilangan aloimun
selama kehamilan ( yang mungkin melibatkan molekul antigen leukosit manusia (HLA).
Dalam bagian ini, kita akan membatasi diskusi untuk frekuensi dan penyebab genetik yang
paling umum aborsi sporadic dan berulang.
Kelainan Pada Kromosom Embrio Praimplantasi
Frekuensi kegagalan pada embrio praimplantasi manusia sangat tinggi. Hal ini
tercermin dari angka kehamilan yang kurang dari 25-35% per transfer embrio dibantu dengan
teknologi reproduksi (ART), bahkan di tangan berpengalaman. Morfologi embrio normal,
lebih dari 25% menunjukkan kelainan kromosom (aneuploidi atau poliploidi). Hal ini
didasarkan pada studi yang menggunakan hibridisasi in situ fluoresensi (FISH) dengan
kromosom-spesifik probe hanya tujuh sampai sembilan kromosom, tingkat pasti akan lebih
tinggi jika secara rutin melakukan kariotipe lengkap atau analisis microarray pada blastomer.
Tingkat aneuploidi 25% pada morfologi embrio normal sesuai dengan aneuploidi 6% dalam
sperma laki-laki yang seolah-olah normal dan dalam 20% pada oosit. Peningkatan aneuploidi
dalam embrio dan oosit sesuai dengan meningkatnya usia ibu.
Kelainan kromosom lebih sering pada morfologi embrio abnormal. Menggunakan
FISH dengan kromosom-spesifik probe, tingkat kelainan 50-75% dapat diamati, bahkan
ketika tidak semua kromosom diuji.
1
Kelainan Kromosom: Penjelasan Aborsi Spontan yang paling sering diakui secara
klinis
Frekuensi
Lebih dari 50% dari kegagalan kehamilan klinis diakui menunjukkan kelainan
kromosom. Angka ini didasarkan pada analisis produk spontan dikeluarkan. Jika sampling
villus korion (CVS) dilakukan setelah diagnosis USG dari kematian janin, frekuensi adalah
75-90%. Perbandingan genomik hibridisasi (CGH, analisis microarray) juga mengungkapkan
kelainan pada abortus yang tidak terbukti dengan kariotipe. Menggunakan mikroarray
kromosom, kelainan tambahan dapat dideteksi. Schaeffer et al melakukan CGH
menggunakan microarray pada 41 abortus yang sebelumnya telah dianalisis dengan kariotipe.
Analisis Array mengungkapkan kelainan sampai sekarang belum diakui dalam 4 dari 41
kasus.
Pada trimester kedua, frekuensi kelainan kromosom berkurang. Frekuensi yang
sebenarnya tidak pasti, karena banyak abortus diakui pada trimester kedua yang absen aborsi
disimpan dalam rahim setelah kematian trimester pertama. Telah lama diakui bahwa
kematian janin mendahului persalinan spontan hasil konsepsi dalam beberapa minggu.
Anomali terlihat pada aborsi trimester kedua yang serupa dengan yang diamati pada bayi-
bayi yang baru lahir; trisomi 13, 18,21; monosomi X; dan polisomi kromosom seks.
Frekuensi dari anomali ini diperkirakan dapat mencapai 15 %.
Pada trimester tiga, frekuensi dari kelainan kromosom ialah sekitar 5 %. Insidensinya
berkurang dari penelitian terhadap arbotus sebelumnya, akan tetapi lebih besar 0,6 %
ditemukan pada kelahiran hidup. Masalah utama dalam menilai frekuensi dari kelainan
kromosom adalah bahwa kelelahan terjadi segera setelah kematian janin, biasanya dalam
hitungan hari setelah kelahiran. Hefler menemukan bahwa 63% dari 139 kematian pada
trimester tiga mengalami kelelahan, sehingga menghambat akurasi dari penelusuran secara
morfologi maupun sitogenetik. Pada akhirnya, banyaknya jenis dari kelahiran mati yang
dipelajari dengan analisis microarray (dari susunan terkecil) dapat menjadi sangat informatif.
2
SPEKTRUM DARI KELAINAN KROMOSOM
Trisomi Autosom
Trisomi autosom mencakup kurang lebih 50 % dari kelainan sitogenetik abnormal
pada aborsi. Trisomi pada setiap kromosom untuk saat ini telah diteliti. Tabel 3.1.
menunjukan frekuensi pada satu seri dimana didapatkan bahwa yang tersering mengalami
trisomi adalah 16, 22, 21, 15, 13, dan 14. Trisomi 16 jarang ditemukan, jikapun ada, biasanya
terdapat pada kelairan hidup dengan bentuk non-mosaik dan merupakan penyimpangan
tersering pada abortus. Keenam kromosom ini (16, 22, 21, 15, 13, 14) jika dijumlahkan, akan
menjadi 70% dari keseluruhan trisomi, yang sangat perlu dipertimbangkan dalam memilih
penyelidikan untuk mengecualikan aneuploidi pada diagnosis genetik preimplantasi.
Kolerasi antara kelainan morfologi plasenta dengan trisomi tertentu sedang
diusahakan pembuktiannya, akan tetapi masih belum ditemukan ketetapannya. Usaha-usaha
tersebut terkendala oleh adanya perubahan nonspesifik pada vili-vili yang diikuti kematian
janin in utero. Dengan demikian, terdapat sedikit perkiraan pada pemeriksaan histoogi
plasenta, yang digunakan untuk membedakan aneuploid dengan abortus euploid. Beberapa
kolerasi memang telah terbukti. Janin dengan trisomi inkompatibel dengan hidup, lebih
lambat pertumbuhannya dibandingjanin trisomi kompatibel dengan hidup ( trisomi 13, 18,
21). Dengan perbandingan, panjang kaki-bokong (crown-rump-length) untuk yang trisomi
kompatibel dengan hidup adalah 20,65mm, sedangkan yang trisomi inkompatibel dengan
hidup 10,66mm. Janin dengan nonletal trisomi hidup lebih panjang dibanding yang letal
trisomi, atau janin dengan trisomi yang letal menunjukkan angka kejadian retardasi
pertumbuhan intrauterine (IUGR) yang cukup besar, atau bahkan keduanya. Abortus yang
disebabkan oleh trisomy non-letal (13, 18 dan 21) cenderung menunjukkan suatu anomali
yang konsistens dimana ditemukan pada bayi cukup bulan yang mengalami trisomi
kongenital. Malformasi yang terjadi bahkan dapat lebih buruk dibandingkan dengan
malformasi yang ditemukan pada kasus abortus yang diinduksi yang terdeteksi setelah
diagnosis prenatal.
Sebagian besar trisomi, menunjukkan efek pada usia ibu, tetapi efeknya bervariasi
antara kromosom. Usia ibu berkorelasi positif dengan kesalahan pada tahap meiosis I, yang
merupakan penjelasan sitologi paling umum untuk trisomi. Proporsi trisomi yang muncul
pada miosis I jika dibandingkan dengan miosis II bervariasi antara aneuploidie. Hampir
semua kasus trisomi 16 berhubungan dengan factor ibu, dan muncul pada meiosis I. Pada
3
trisomie 13 dan 21, 90% yang disebabkan factor ibu, biasanya timbul pada meiosis I. Pada
trisomi 18, namun, dua- pertiga dari 90% dari kasus maternal origin timbul pada meiosis II.
Kesalahan meiosis ibu berkorelasi tidak hanya dengan ibu usia lanjut, tetapi juga dengan
penurunan atau ketidakadaan rekombinasi miosis. Mekanisme untuk menjelaskan hubungan
ini adalah hipotesis line-product. Oosit yang berovulasi lebih awal diyakini menjadi lebih
mungkin mengalami kekurangan rekombinasi genetic dan oleh sebab itu pula cenderung
untuk lebih mudah mengalami non-disjunction. Lokasi terjadinya rekombinan adalah pada
kromosome dan sifat yang tepat dari rekombinasi itu sendiri penting, seperti yang dibahas
sebelumnya.
Kesalahan dalam meiosis ayah sekitar 10% dari akrosentrik (13,14,15,21, dan 22)
trisomies. Pada non- acrocentric trisomi kesalahan dalam meiosis ayah sama- sama
cenderung muncul pada meiosis I atau II. Kesalahan miosis ayah adalah sebesar 10% dari
kasus trisomi21 , untuk beberapa kasus trisomi 2 abortus. Namun demikian kesalahan dalam
miosis ayah ini jarang ditemukan pada trisomi abortus lainnya.
Kemampuan untuk menganalisa polar body (1 dan 2) untuk PGD telah menghasilkan
informasi baru tentang meiosis ibu. Topik ini berada di luar lingkup bab ini, dan masih
belum jelas apakah kelainan yang terjadi pada polar body tersebut dapat langsung
diaplikasikan untuk mengenali secara klinis tanda abourtus sebagaimana dapat menjelaskan
masalah embrio sebelum implantasi. Studi tentang polar body ini telah mengungkapkan
bahwa tingkat kesalahan meiosis I secara marginal lebih tinggi (41,7% vs 35,2%)
dibandingkan kesalahan meiosis II, ataupun kesalahan yang terjadi akibat kesalahan dalam
miosis I dan II yang tidak biasa. Distribusi relative kesalahan tersebut yang menyebabkannya
berbeda dari hasil pengamatan yang dilakukan pada proses pemulihan trisomi menjelang
akhir kehamilan.
Trisomi Ganda ( Double Trisomy)
Frekuensi dari trisomy ganda pada abortus lebih sering dari pada yang diharapkan
secara kebetulan. Frekuensi lebih bervariasi untuk kelainan kromosom lainnya, yang mana
merefleksikan perubahan- perubahan kebudayaan (kegagalan) atau perbedaan karakteristik
sampel ( usia ibu atau gestasional). Tabel 3.1 ( berdasarkan pada seri yang dikumpulkan
sampai dengan tahun 1987) menunjukkan trisomi ganda berkontribusi sebesar 0,7% dari
seluruh kejadian abortus yang ada. Sebuah prevalensi yang sama yang diamati dalam data
yang ditabulasi pada tahun 1987 oleh Reddy. Namun demikian, sebuah laporan yang lebih
4
baru melaporkan dari 517 abortus yang terjadi ditemukan trisomi ganda sebesar 2,2% dari
321 abortus karyotype yang berhasil. Trisomies ganda paling sering melibatkan kromosom
X, tetapi mungkin saja melibatkan kromosom Y atau autosom 21, 18, 16, 22, 13, 8, 2 dan 15
dalam urutan menurun ( Tabel 3.2). Diego Alvarez et al telah menggambarkan kombinasi
yang tepat dari 178 dilaporkan trisomies ganda. Pada lahir hidup, sekitar 50 trisomi ganda
telah dilaporkan. Pada lahir hidup, biasanya terdapat tambahan pada salah satu kromosom X
dan yang lainnya adalah pada kromosom 13, 18, atau 21.
Usia kehamilan adalah 8,7 ± 2,2 minggu pada aborsi oleh trisomi ganda dalam seri
yang dibuat oleh Reddy itu, sedangkan10,1 ± 2,9 minggu pada trisomi tunggal. Dalam seri
yang dibuat oleh Diego Avarez et al s, usia kehamilan adalah 8,2 ± 1,7 untuk trisomies ganda.
Sedangkan rasio seks rata- ratanya adalah 1dalam kedua seri.
Pemeriksaan Morfologi biasanya memperlihatkan kantung kosong dan hanya embrio sekali-
sekali.
Tabel 3.2 kromosom yang terlibat dalam abortus trisomi ganda
Dalam satu studi, 5 dari 7 trisomies ganda menunjukkan tidak adanya detail morfologi,
salah satunya adalah anembryonic dan lainnya (48, XXX, +18) menunjukkan hidrops fetalis.
Ibu lanjut usia adalah fitur yang mencolok. Dalam rangkaian Diego-Alvarez et al, usia
rata-rata ibu hamil adalah 39,7 ± 3,4 tahun. Hampir semua kasus dianalisis berasal darii
meiosis ibu. Seperti yang diharapkan, tahap kesalahan meiosis konsisten dengan yang
diharapkan untuk trisomies tunggal. Dengan demikian, trisomi ganda yang melibatkan
kromosom 18 lebih mungkin untuk menunjukkan kesalahan meiosis II dari 48, XX, +16, +21
POLYPLOID
Dalam polyploidi, terdapat lebih dari dua kromosom haploid komplemen. Mosaik
triploidy Non (3n = 69) dan tetraploidy (4n = 92) tidak umum di abortus (tabel (tabel 3.1) .
Diploid / mosaicism triploid ditemukan pada sekitar 30% dari kista blast. Namun, mosaicism
plasenta jenis ini diperkirakan melibatkan trophoectoderm daripada embrio per se (massa sel
dalam), dan karenanya tidak akan dibahas di sini. Unutk kepentingan umum, bagaimanapun,
5
Kromosom 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 X / Y Total
Jumlah kasus 0 15 0 5 4 3 7 18 5 2 1 2 18 7 13 37 2 44 0 8 66 20 79 360
yaitu hubungan antara diandric (warisan ayah) triploidy dan hydatiditiform mole. A 'mol
parsial' ada jika molar tissue dan bagian janin hidup berdampingan. Partial (triploid) mol
harus dibedakan dari mole lengkap biasa dan hidatidosa mole biasa yaitu 46, XX, eksklusif
asal androgenetic, dan jaringan eksklusif vili.
Temuan plasenta pada plasenta triploids diandric termasuk kantung kehamilan tidak
proporsional besar, focal (parsial) degenerasi hidropik dari Vili plasenta, dan hiperplasia
throfoblast. Perubahan hidropik plasenta bersifat progresif, dan karenanya sulit untuk
mengidentifikasi pada awal kehamilan. Terlepas dari status kromosom, Vili plasenta juga
menjalani non Hanges degenerasi hidropik spesifik berikut kematian janin. Hal ini membuat
cirrections histologis dan sitogenetika menjadi sulit. Malformasi embrio / janin terkait dengan
abortuses triploid termasuk cacat tabung saraf dan omphaloceles - anomali mengingatkan
mereka yang conceptuses triploid bertahan untuk jangka panjang. Fasia dysmorphia dan
ekstremitas kelainan juga telah dilaporkan. Tidak ada hubungan antara morfologi embrio dan
asal patental (diandry atau digyny).
Abortuses triploid biasanya 69, XXY atau 69, XXX. penyebabnya telah lama diduga
karena dispermy, dan ini telah diverifikasi. Triploidy dapat mengikuti fertilisasi baik oleh dua
sperma haploid atau fertilisasi oleh sperma diploid tunggal
TETRAPLOIDY
Tetraploidy (4n = 92) adalah jarang, jarang berkembang melampaui 2-3 minggu
kehidupan embrio. kelainan kromosom ini dapat dikaitkan dengan penyakit tromphoblastic
persisten, dan dengan demikian perlu diidentifikasi dalam rangka memberikan tindak lanjut
yang tepat. Tetraploidy dalam jaringan embrio harus dibedakan dari, sel-sel trofoblas
prsisten, dan temuan klinis signifikan tetraploid ditemukan dalam cairan ketuban. Walaupun
jarang, tetraploidy janin yang benar-benar ada, dan mungkin timbul dari kegagalan
sitokinesis. Kegagalan sitokinesis telah disimpulkan berdasarkan complement kromosom (92,
XXXX o 92, XXYY dan lebih baru-baru ini dikonfirmasi oleh studi molekuler.
6
MONOSOMY X
Monosomi X menyumbang 15-20% dari spesimen kromosom abnormal. Monosomi
autosomal tampaknya mematikan sebelum atau hanya di luar implantasi, dan dengan
demikian tampaknya tidak bertahan untuk pengakuan klinis. Awal monosomi X abortuses
biasanya terdiri dari hanya tunggul cod pusar. Jika hidup berlanjut sampai akhir kehamilan,
anomalis karakteristik syndrom Turner dapat dilihat. Ini termasuk hygromas kistik, edema
umum, dan cacat jantung. Tidak seperti individu 45x lahir hidup, 45X abortus menunjukkan
sel-sel germinal, namun, sel-sel germinal jarang berkembang melampaui tahap primordial.
Patogenesis dari kegagalan germ cell 45 X tampaknya menjadi gesekan cepat germ cell,
daripada kegagalan pembangunan germ cell. Gesekan cepat sel germinal menjelaskan
kehamilan yang jarang tetapi didokumentasikan dengan baik yang terjadi pada individu 45
X. Mosaicism (45, X / 46 XX) tidak perlu selalu dipanggil sebagai mekanisme yang
menjelaskan kehamilan. Sekitar 80% dari monosomi X terjadi sebagai akibat dari hilangnya
kromosom seks ayah.Akibatnya terdapat kekurangan pengaruh umur ibu pada 45,X.
Sebaliknya pengaruh umur telah dilaporkan.
POLISOMI KROMOSOM SEX (X atau Y)
Komplemen 47,XXY dan 37,XYY masing-masing terjadi sekitar 1 per 800 kelahiran
hidup bayi laki-laki; 47,XXX terjadi sekitar 1 per 800 kelahiran hidup bayi perempuan.
Polisomi X atau Y sedikit (10%) lebih sering pada abortus daripada kelahiran hidup.
ANEUPLOIDY REKUREN
Apakah ada aneuploidy rekuren?
Pada aborsi trimester pertama, aneuploidi rekuren terjadi lebih sering dari pada yang
diperkirakan. Bagaimanapun kelemahan dari konsensus yang telah ada dimana abnormalitas
kromosom secara numerik menjelaskan kehilangan rekuren. Menurut pandangan saya,
aneuploidi rekuren merupakan penjelasan tersering paling tidak sampai jumlah
kehilangannya melebihi 4. Alasan ini didasarkan pada observasi bahwa komplemen
kromosom dari abortus. Itulah mengapa komplemen dari abortus pertama abnormal, maka
peningkatan komplemen dari abortus kedua juga akan abnormal. Rekurensi bisanya
7
melibatkan trisomi. Percabangan menjadi signifikan dengan mematuhi manajemen terapi.
Beberapa distribusi non random merefleksikan peningkatan insiden aneuplodi seiring
peningkatan umur ibu. Pencocokan perhitungan umur ibu untuk beberapa distribusi non
random dan dalam opini Warburton et al,menghalangi hubungan. Studi oleh Warburton et al
menyatukan kasus dari sampel di kota New York dan Hawai. Bagaimanapun, yang
mengacaukan adalah kasus di kota NewYork termasuk kriteria pemanjangan sampai gestasi
28 minggu; kasus ini diprediksi mempunyai angka aneuploidi yang lebih rendah dari pada
sampel gestasi yang lebih muda dari Hawai. Oleh karena itu, aneuploidi rekuren yang
sebelumnya nampak lebih jelas ada di sampel Hawai dari Hassold et al, tetapi tidak
dikonfirmasi secara statistik oleh Warburton et al. Studi aneuploidi rekuren pada
preimplantasi embrio telah diyakinkan Warburton.
Pendekkatan berbeda yang juga mendukung konsep aneuploidi rekuren adalah
kalkulasi dari kejadian aneuploidi pada sampel diagnosis prenatal, dalam perbandingan
dengan hasil kehamilan sebelumnya. Bianco et al meneliti 46939 wanita dengan diagnosis
genetik prenatal (CVS atau amniosentesis). Prevalensi dari aneuplodi meningkat secara
progresif karena meningkatnya abortus spontan sebelumnya (Tabel 3.4) : 1.39% tanpa
abortus sebelumnya, 1.67 % setelah satu kali, 1.84% setelah 2 kali dan 2.18 setelah 3 kali
abortus.
Tabel 3.3 Aneuploidi rekuren : Hubungan antara kariotip dari abortus suksesif
Kompleme
n dari
abortus
pertama
Komplemen dari abortus kedua
Normal Trisomi Monosomi Triploid Tetraploid Penyusunan
kembali De
novo
Normal 142 18 5 7 3 2
Trisomi 31 30 1 4 3 1
Monosomi
X
7 5 3 3 0 0
Triploid 7 4 1 4 0 0
Tetraploid 3 1 0 2 0 0
Penyusunan
kembali De
1 3 0 0 0 0
8
Novo
Tabel 3.4 Resiko dari aneuploidi dengan jumlah sebelum keguguran; dikelompokkan
berdasarkan sesuai usia Ibu. Perbandingan dengan wanita tanpa aborsi spontan,
mengendalikan paritas dan indikasi untuk diagnosis prenatal.
Usia Ibu < 35 tahun
No. sebelum aborsi
spontan
Sesuai OR untuk Trisomy 13, 18, or
21
Sesuai OR untuk semua
aneuploidi
0
1
2
≥3
1.00
1.27
1.31
1.36
1.00
1.19
1.21
1.41
Usia Ibu > 35 tahun
No. sebelum aborsi spontan Sesuai OR untuk Trisomy 13,
18, or 21
Sesuai OR untuk semua
aneuploidi
0
1
2
≥3
1.00
1.23
1.34
1.56
1.00
1.23
1.30
1.68
Frekuensi dari abnormal kromosom yaitu 71% berbanding 45 respektif. Pada kasus,
Munne et al, menemukan perbandingan menjadi 37% dengan 21% pada wanota berusia
dibawah 35 tahun., dan 34% dengan 31,5% pada wanita usia lebih 35 tahun.
Konsekuensi untuk Konseling Genetik
9
Jika pasangan ada prediposisi untuk terjadinya aneuploidi, mereka mungkin menjadi
peningkatan resiko tidak hanya aneuploid abortus, tetapi juga untuk kelahiran hidup dengan
aneuploidi.
Berdasarkan dari trisomi pada trimester I, yang mana ada kemungkinan selamat atau
tidak selamat, Snidjers dan nicholades melaporkan rataan pengulangan diikuti trisomi 21
0,7% dan pengulangan diikuti trisomi 18 0,7%.Bianco et al menjelaskan akibat dari aborsi
sebelumnya yang tidak diketahui kariotipenya.Apabila aborsi berulang terjadi tapi tidak aada
kelainan ditemukan dari status kromosomnya. Rataan kelainan atau rumus yang dibuat oleh
Bianco et al dapat digunakan untuk memperlihatkan resiko spesifik dari pasien. Contohnya,
jika resiko down syndrome adalah 1 dalam 300, maka wanita dengan resiko yang telah
dihitung setelah mengalami 3x aborsi adalah 1/300 x 1,5 atau 1/200.
Kariotipe yang diharapkan pada aborsi berulang
Konsep dari aneuploidi berulang memiliki akibat bagian tertentu, salah satunya
menjadi subjek yang controversial. Mengingat keadaan dari aneulpoidi berulang dan 50%
dari seluruh keguguran adalah ketidaknormalan citogenic, aneuploidi seharusnya dapat
diditeksi di kejadian keguguran berulang seperti pada abortus sporadic. Ini telah dibuktikan
kebenarannya di sebagian besar series. Stern et al menemukan 57% dari kejadian
ketidaknormalan kromosom dari keguguran dialami oleh wanita yang keguguran berulang.
Identik antara abortus sporadik dengan aborsi pada wanita.Antara 420 abortus yang
didapat dari wanita dengan aborsi berulang,Stephenson et al55 menemukan40% kelainan
kromosom,315 dari sampel asli adalah trisomi.Perbandingan mereka pada kumpulan data
yang tidak dipilih,menunjukkan 48% dari abortus adalah abnormal, 27% dari sampel asli
adalah trisomi.
Penulis lain menyimpulkan bahwa abortus berulang cenderung bersifat citogenik yang
normal,sedangkan abortus sporadik akan bersifat citogenetik abnormal. Casp at all
menemukan bahwa diantara wanita yang mengalami 3 atau lebih abortus kemungkinan
karyotip abnormal sebesar 29%. Setelah abortus aneuploidi kemungkinan kelahiran
berikutnya adalah 68% (13 dari 19 ).Jika abortus adalah euploidi angka kelahiran berikutnya
adalah 41% (16 dari 39). Satu penjelasan untuk perbedaan pada penelitian ini dengan
keterangan diatas mungkin memiliki pola yang berbeda.Sebagai contoh pada kasus autoimun.
Kemungkinan kedua hanyalah sejumlah kecil dari masing-masing subgrup. Yang ketiga dan
10
selanjnya kemungkinan peningkatan usia kehamilan pada sampel ini. Hanya 25% dari abortus
pada penelitian carp et all56 yang kromosom abnormalnya mengandung kriteria inklusi
mencapai 20 minggu usia kehamilan.ada sedikit alasan untuk mengharapkan aneuploidi pada
trimester kedua mengingat frekuensi rendah (15% dari kelainan kromosom pada trimester
kedua) . Kemungkinan keempat mempunyai rata-rata yang tinggi pada keguguran kehamilan
sebelumya,berdasarkan penelitian carp et all56.
Hubungan antara aneuploidi berulang dengan kejadian abortus
Meskipun aneuploidi berulang muncul dengan 2-3 abortus inini tidak berlaku untuk
abortus tingkat tinggi.Ini tampaknya bersifat citogenetik normal. Faktor maternal menjadi
penjelasan yang masuk akal ketika kejadian berkembang menjadi keempat kalinya.abortus
yang berurutan menunjukkan penjelasan non aneupoidi karena tidak setiap abortus bisa
dijelaskan denagn aneuploid
Konsekuensi Pada manajemen klinik
Jumlah keguguran pada An euploidi berulang tidak bisa dijelaskan karena sebab
genetik maupun nongenetik. Seringkali tidak ada informasi mengenai status kromosom pada
abortus sebelumnya. Namun ,blok parafin dari produk konsepsi sesuai dengan analisis FISH
pada umumnya merupakan trisomi (13,14,16,18,21,22). Kromosom mikroarray mungkin juga
meemberi informasi pada spesimen blok parafin. Jika tidak ada informasi yang
didapatkan ,diagnosis prenatal genetik menjadi salah satu pilihan. Namun risiko aneuploidi
pada keturuna berikutnya tetap meningkat . Risiko kecil dari amniosintesis atau CVS
khusus bagi pasangan yang mempunyai maslah dalam mempertahankan kehamilan.
Pendekatan non invasif mungkin menjadi pilihan utama,tapi sensitivitas untuk mendeteksi
aneupoidi tidak lebih dari 85-95%.PGD adalah pilihan lainnya.Transfer selektif dari embrio
euploid menurunkan aborsi klinis pada pasangan dengan RPL. Penelitian sedang dilakukan
untuk memverifikasi peningkatan kelhiran bayi.
Penyusunan Ulang Struktur Kromosom :Translokasi
Penyusunan ulang struktur Kromosom merupakan faktor penting dari aborsi
berulang ,tapi presentasenya hnaya 1,5 % dari semua aborsi.Adanya keseimbangan
penyusunan kembali pada salah satu orang tua akan menghasilkan translokasi yang tidak
seimbang pada keturunannya.Konsekuensi fenotip bergantung kepada duplikasi spesifi atau
segmen kromosom defisiensi.
11
Frekuensi
Translokasi yang seimbang ditemukan pada 4-5% pasangan yang mengalami abortus
berulang.individu-individu ini normal secara fenotip,Tapi pada keturunnya (yang abortus atau
yang lahir normal) bisa menunjukkan duplikasi kromosom atau defisiensi sebagai hasil.
Frekuensi dari translokasi seimbang lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki,
dan jika ada riwayat keluarga yang dilahirkan abnormal.
Kemungkinan deteksi translokasi heterozigot tidak begitu mempertimbangkan umur
ibu,begitu juga pada pendeteksian keseimbangan translokasi tidak dibedakan pada
miscarriages yang pertama,kedua atau ketiga. Penelitian Simpson dkk, kelainan ini terdeteksi
pada kehilangan kandungan yang ke 2,3,4,dan 5 pada perempuan adalah 0.8%, 1.7% ,2.3%,
dan 2.9%. sedangkan pada laki-laki angkanya 1.2% , 1.9% ,2.4% , 0. Pada penelitian Goddjin
dkk ratio ditemukannya translokasi setelah 2,3,4,atau lebih keguguran adalh 1.4%, 2.2% ,
2.1%.
Kemungkinan kelahiran bayi yang abnormal
Terdapat dua tipe translokasi : Robertsonian dan reciprocal. Robertsorian translokasi
melibatkan fusi sentral dari kromosom akrosentrik (13,14,15,21,22). Secara teori, orang tua
dengan t(14q;21q) berisiko mempunyai anak dengan syndrom down adalah 33%. Namun ,
secara empiris, risiko ini hanya sedikit. Resikonya 2 % jika si Ayah merupakan karier
translokasi kromosom 21 dan 10% jika Ibu memiliki karier tersebut. Robert sonian (fusi
sentral) translokasi yang melibatkan selain kromosom 21 menunjukkan resiko empiris yang
lebih rendah. Pada t(13q;14q) resiko trisomy 13 pada bayi baru lahir adalah 1% atau lebih
sedikit.
Pada resiprokal translokasi,pertukaran muncul antara dua atau lebih kromosom
metasentrik. Data empiris untuk translokasi spesifik biasanya tidak tersedia, dan generalisasi
khususnya dibuat berdasarkan data yang disatukan dari berbagai translokasi yang berbeda.
Sama seperti robertsonian translokasi, resiko teorikal dari keturunan abnormal lebih besar
dari resiko empiris. Perbedaan sex lebih sedikit muncul. Resikonya sebesar 12% untuk
keturunan dari perempuan heterozigot ataupun laki-laki heterozigot.
Cara untuk pemastian lebih penting pada konseling. Frekuensi dari
ketidakseimbangan fetus lebih rendah jika keseimbangan translokasi orangtua sudah pasti
12
melalui aborsi berulang (3%) daripada melalui anomali pada bayi baru lahir (mendekati
20%). Kemungkinan, ketidakseimbangan produk yang berat (seperti pemisahan 3:1) lebih
besar pada yang terdahulu. Penelitian terhadap endeteksian penyusunan ulang kromosom
pada orangtua yang jelas-jelas menyebabkan prenatal cytogenetik harus dilakukan.
Bahkan ,jika terdapat transmisi normal dari kromosom pada suatu translokasi, kromosom
yang berbeda bisa menjadi aneuploid (efek interkromosom).
Kemungkinan subsekuen aborsi
Kemungkinan ketidakseimbangan pemisahan berbeda dengan kemungkinan
kuantitatif subsekuen aborsi. Perbedaan ini dilihat dari 65-70% angka kelahiran yang
diharapkan yang siobservasi pada populasi general dengan kehilangan kehamilan berulang.
Sedikit Prognosis yang baik telah dilaporkan. Penelitian oleh Sugiora-Ogasawara dkk, angka
keguguran adalah 61% pada pasangan yang pasangan laki-lakinya memiliki translokasi dan
72,4% jika pasangan perempuannya yang memiliki translokasi. Dari 1184 pasangan yang
pernah mengalami dua atau lebih keguguran yang memiliki karyotip normal,angka keguguran
hanya 28.3%. pada tahun 2004, Carp dkk melaporkan bahwa 45.2% kehamilan dari
pasangan yang memiliki translokasi heterozigot berhasil melahirkan , dibandingkan dengan
55,3% pasangan tanpa translokasi. pada penelitian selanjutnya grup ini menemukan
persentase yang sama dari karyotip yang normal dan seimbang pada embrio dari translokasi
heterozigot maupun embrio dari pasangan tanpa translokasi. carp dkk menyimpulkan bahwa
ada penurunan angka kelahiran bayi yang disebabkan bukan karena ketidakseimbangan
kromosom. Hasil yang berbeda telah dilaporkan oleh yang lain. Goddjin,dkk melaporkan
hanya 26% miscarriages yang terjadi pada 43 kehamilan dengan 25 pasangan yang karier.
Namun,hampir separuh dari pasien pada penelitian ini yang mengalami dua kali miscarriages,
hasil yang terbaik. stephenson dan sierra mempelajari 1893 pasangan, yang 40 diantaranya
mempunyai translokasi yang seimbang (28 resiprok dan 12 robertsonian). diantara 35 wanita
hamil yang dimonitor dalam kelompok translokasi resiprok, rata-rata angka kelahirannya
ialah 63% (22/35); sedangkan dalam kelompok translokasi Robertsonian, didapatkan angka
69% (9/13). data ini sebanding dengan translokasi RPL. sedangkan proporsi dari abortus yang
tidak seimbang meningkat. diantara abortus dari pasangan heterozygot yang mengalami
translokasi, 13 dari 36 (36%) data yang ada tidak seimbang, 11 dari 36 (30%) adalah
aneuploidi untuk kromosom yang lain (efek interkromosomal), dan hanya 12 dari 36 (30%)
yang normal.
13
Translokasi jarang terjadi pada bayi yang lahir normal. hal ini hanya terjadi pada
kromosom translokasi homolog akrosentrik (misalnya pada t(13q;13q) atau t(21q;21q)).
kemungkinan untuk menjadi normal hanyalah adalah jika penyelamatan trisomi terjadi.
tambahan kromosom dikeluarkan dari nukleus untuk menjadi kromosom yang normal dengan
sifat 1 kromosom homolog. jika sang ayah membawa struktur homolog yang disusun ulang,
inseminasi buatan mungkin bisa cocok. jika sang ibu membawa susunan ulang, donor oosit
atau donor embryo harus dipertimbangkan.
Kesimpulannya, ketika translokasi seimbang dideteksi pada pasangan yang
mengalami aborsi berulang, maka prognosis terjadinya kelahiran hidup menjadi tidak pasti
jika dibandingkan dengan keadaan yang translokasinya tidak terdeteksi. menurut pendapat
saya, peningkatan frekuensi dari kehilangan PGD menunjukkan angka 80-100% dari embryo
menjadi non-viabel. strateginya ialah untuk mengidentifikasi dan mentransfer embryo yang
seimbang. sedangkan penurunan ini juga menunjukkan angka aborsi.
INVERSI
Dalam sebuah inversi, urutan dari gen dibalik. konsekuensu klinisnya analog dengan
sebuah translokasi, dalam artian individual heterozygot untuk sebuah inversi adalah normal,
tetapi gen tersebut disusun ulang. selanjutnya individu tersebut menderita kegagalan
reproduksi sebagai akibat dari fenomena miotik normal. sedangkan crossing over yang
mencakup segmen yang terbalik mungkin.akan.memproduksi gamet-gamet yang tidak
seimbang. duplikasi akan terjadi pada beberapa region dan akan menyebabkan kekurangan
pada bagian yang lain. ada 2 jenis dari inversi. pada paracentrik inversi, kerusakan terjadi
pada tangan yang sama. frekuensi dari inversi pada pasangan yang mempunyai aborsi yang
repetitif adalah kurang dari 1%.
KEMUNGKINAN KELAHIRAN HIDUP ABNORMAL
Wanita dengan inversi pericentrik mempunyai risiko 7% dari kelahiran abnormal.;
laki-laki membawa risiko sekitar 5%. inversi paracentrik menegaskan bahwa fenotip normal
biasanya akan menghasilkan bayi lahir yang abnormal. perluasan dari gen yang mengalami
crossing diantara segmen yang mengalami inversi mempengaruhi kemungkinan anomali
fetus. hasil klinisnya biasanya paradoksikal. inversi mencakup hanya bagian yang kecil dari
semua panjang kromosom yang biasanya lethal karena ketika rekombinan naik, mereka tidak
sanggup untuk berduplikasi dalam jumlah yang luas sehingga mengalami defisiensi.
14
sebaliknya, produk dari inversi dalam jumlah yang besar, yang mencakup 30-60% total
panjang kromosom, biasanya lebih tinggi kemungkinannya untuk survive. pada tingkat
molekuler, inversi yang kurang dari 100Mbp biasanya tidak memberikan hasil yang
bermakna. tidak ada rekombinan dalam suatu tabulasi ketika inversi terjadi kurang dari 50
Mbp (40% dari kromosom). angka kejadian lebih tinggi terjadi jika inversi lebih tinggi dari
100Mbp.
Data yang terkait paracentrik inversi dibatasi pada risiko kejadian berulang. secara
teoritis, seharusnya terdapat risiko yang lebih rendah pada produk yang tidak seimbang
sebagai manifestasi klinis jika dibandingkan dengan inversi paracentrik, karena semua
paracentrik rekombinan seharusnya mati. bagaimanapun juga baik aborsi maupun kelahiran
abnormal kelahiran hidup telah diamati dalam keluarga yang sama. Risiko keturunan layak
secara tidak seimbang telah ditabulasikan menjadi 4%.
KEMUNGKINAN ABORSI SELANJUTNYA
Sedikit data yang ada pada kemungkinan aborsi setelah deteksi inversi di salah satu
orang tua. Dalam rangkaian Stephenson dan Sierra, ada 7 operator inversi dengan 35
kehamilan, 31% adalah kelahiran hidup dan keguguran 69% (24/35). Dalam rangkaian Carp
et al, 8 dari 15 kehamilan (53%) adalah kelahiran hidup. Hasil ini kurang menguntungkan
dibandingkan pada populasi umum, tetapi data jarang ditemukan.
PERKEMBANGAN GEN: MENDELIAN DAN POLIGENIK / MULTIFAKTORIAL
Dari 50% sampai 80% dari trimester pertama abortus menunjukkan kelainan
kromosom. Pemotongan kasual mungkin akan membawa kita untuk menyimpulkan bahwa
20-50% lainnya tidak mungkin memiliki etiologi genetik. Namun, ini tidak benar, karena
gangguan Mendelian dan poligenik / multifaktorial menunjukkan kelainan kromosom.
Memang, kondisi ini jauh lebih sering menjelaskan anomali bawaan pada kelahiran hidup
daripada kelainan kromosom. Dengan demikian, itu akan sangat naif untuk mengasumsikan
bahwa faktor-faktor Mendel dan poligenik / multifaktorial tidak memainkan peran penting
dalam kematian embrio. Kesulitannya adalah bahwa beberapa dari banyak gen yang
diperlukan untuk diferensiasi telah diidentifikasi, meskipun ada segudang gen kandidat
potensial. Sebagai salah satu contoh, Baek menyebutkan lebih dari 30 gen kandidat yang
15
sangat masuk akal. Banyak gen pada hewan yang dikenal untuk menghasilkan letalitas,
seperti yang ditunjukkan oleh mutan nol (knock-out) pada tikus. Pada embrio manusia,
letalitas diakui untuk gen tertentu (misalnya, OCT4), namun studi pada embrio yang bertahan
sampai trisemester pertama terbatas.
Embrio yang dibatalkan karena faktor Mendel atau poligenik mungkin atau mungkin
tidak menunjukkan anomali struktural. Namun, anomali struktural yang ditemukan di aborsi
memiliki pelengkap kromosom normal masih dapat menunjukkan etiologi genetik.
Kurangnya data sitogenetika pada contoh spesimen telah membuatnya menjadi sulit untuk
menentukan peran yang tepat pada mekanisme perkembangan embrio yang non-sitogenetik.
Phillip dan Kalousek berusaha untuk mengatasi hal ini dengan menghubungkan status
sitogenetika missed abortions dengan kelainan morfologi dan diamati di embryoscopy.
Embrio dengan kelainan kromosom biasanya menunjukkan satu atau lebih kelainan eksternal,
tetapi beberapa embrio euploid juga menunjukkan kelainan anatomi.
Bukti tidak langsung poin lebih lanjut untuk etiologi Mendelian dalam abortuses
manusia. Mosaicism dapat dibatasi ke plasenta, embrio per se yang normal. Mosaicism
disebut plasenta terbatas, fenomena ini memiliki konsekuensi Uniparental Disomy (UPD).
Dalam UPD, kedua homolog untuk kromosom tertentu berasal dari orang tua tunggal. UPD
diduga terjadi akibat penyingkiran kromosom dari zigot trisomi (‘trisomic rescue’). Meskipun
kariotipe akan jadi euploid (46, XX atau 46, XY), gen pada kromosom yang terlibat memiliki
1 dalam 3 kemungkinan memiliki kontribusi genetik dari satu orangtua tunggal. Memang,
disomy uniparental untuk kromosom 21 telah dideteksi pada abortus embrio. Letalitas akan
terjadi jika kromosom yang berisi gen yang diperlukan dicantumkan dalam herited dari
orangtua yang kromosom dikeluarkan. (Masalah yang sama dapat terjadi pada trisomic rescue
melibatkan translokasi robertsonian.) Mekanisme lain melibatkan mutan heterozigot yang
menjadi homozigot (sebenarnya hemizigot ganda) melalui trisomic rescue.
Mekanisme lain secara tidak langsung menunjuk ke keberadaan gen mutan menjadi
X-inaktivasi yang bias. Di antara 48 perempuan yang memiliki dua kerugian sebelumnya
tanpa penjelasan yang jelas, 7 (14,6%) mempunyai X-inaktivasi yang bias seperti yang
didefinisikan oleh 90% dari kromosom X mereka berasal dari satu orang tua (diperkirakan
50%), hanya 1 dari 67 kontrol (1,5 %) menunjukkan X-inaktivasi yang bias. Distribusi non-
acak dapat dijelaskan oleh letalitas untuk gen terkait-X pada kromosom X dari orang tua
tunggal. Dengan demikian, keturunan laki-laki dari seorang wanita dengan X-inaktivasi yang
16
bias istimewa mungkin dibatalkan. Kerugian bisa menjadi hasil spesifik dari UPD per se, atau
bisa mencerminkan kontribusi tunggal oleh orang tua tunggal yang memiliki gen letal
(heterozigositas). Silsilah konsisten dengan hipotesis ini telah dilaporkan.
17
Recommended