View
220
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
KAJIAN KEDAULATAN PANGAN
BERBASIS TANAMAN LOKAL
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan YME, karena laporan Kajian Kedaulatan Pangan Berbasis
Tanaman Lokal dapat diselesaikan dengan baik. Buku laporan ini merupakan bentuk
pertanggung jawaban secara administratif dan secara ilmiah salah satu kegiatan DIPA tahun
anggaran 2017 di Bidang Penelitian, Pusat Penelitian Promosi dan Kerja Sama, Badan
Informasi Geospasial
Buku ini memuat laporan pelaksananan kegiatan yang meliputi tahapan dan waktu
pelaksanaan kegiatan, personilal yang terlibat serta output dan outcome dari kegiatan Kajian
Kedaulatan Pangan Berbasis Tanaman Lokal.
Sedangkan Laporan Ilmiah menyajikan tiga sub judul dari Kajian Kedaulatan Pangan
Berbasis Tanaman Lokal, yaitu :
1. Deteksi Genangan Banjir Pada Lahan Pertanian Menggunakan Citra Landsat Temporal
Di Kab. Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan (Penulis : Munawaroh, Irmadi Nahib,
Ibnu Sofian, Intan Pujawati, Aninda W. Rudiastuti)
2. Analisis Perubahan Lahan Sawah di Kabupaten Banyuasin (Penulis : Intan Pujawati,
Ellen Suryanegara, Irmadi Nahib, Rizka Windiastuti, Priyadi Kardono
3. Peluang Pengembangan dan Karakteristik Usaha Tani Padi Sawah Rawa Lebak, di
Kabupaten Banyuasin (Penulis : Ellen Suryanegara, Aninda W. Rudiastuti, Intan
Pujawati, Munawaroh, Maslahatun N., Irmadi Nahib)
Kami ucapkan terimakasih kepada tim peneliti dari Badan Informasi Geospasial, yang telah
melakukan tahapan kegiatan mulai dari kegiatan interprepretasi citra, survei lapangan dan
penyusunan laporan ini. Kami juga menucapakn terima kasih kepada pemerintah daerah
Provinsi Sumatera Selatan telah memberikan data dan pendampingan saat pelaksanaan survei
lapangan.
Semoga laporan hasil penelitian ini bermanfaat bagi banyak pihak, baik oleh instansi
pemerintah pusat dan daerah, maupun bagi pihak swasta.
Cibinong, Desember 2017 Pusat Penelitian Promosi dan Kerja Sama
Kepala,
Dr. Wiwin Ambarwulan
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... 3
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................. 4
I. LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN ..................................................................................... 5
A. Latar Belakang ................................................................................................................................ 5
B. Tujuan ............................................................................................................................................. 6
C. Tahapan pelaksanaan kegiatan ...................................................................................................... 6
D. Waktu Pelaksanaan Kegiatan........................................................................................................ 12
E. Personil ......................................................................................................................................... 13
F. Luaran (Output) ............................................................................................................................ 13
G. Dampak (Outcome) ....................................................................................................................... 14
II. LAPORAN ILMIAH PENELITIAN ............................................................................................ 15
A. Deteksi Genangan Banjir Pada Lahan Pertanian Menggunakan Citra Landsat Temporal di Kab.
Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan ............................................................................................ 15
B. Analisis Perubahan Lahan Sawah di Kabupaten Banyuasin .......................................................... 23
C. Peluang Pengembangan dan Karakteristik Usaha Tani Padi Sawah Rawa Lebak, di Kabupaten
Banyuasin ...................................................................................................................................... 33
4
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rincian Kegiatan Rapat Koordinasi. ................................................................................... 7
Tabel 2. Rincian Inventarisasi Data Kajian Kedaulatan Pangan Berbasis Tanaman Lokal. .................... 9
Tabel 3. Metode Pengumpulan Data Lapangan ............................................................................. 10
Tabel 4. Hasil Survey Lapangan .................................................................................................... 11
Tabel 5. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan .......................................................................................... 12
Tabel 6. Personil Kegiatan Kajian Kedaulatan Pangan Berbasis Tanaman Lokal ............................... 13
5
I. LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki bagi penduduk suatu
Negara, khususnya Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 yang telah
mengamanatkan kewajiban Negara dalam pemenuhan hak rakyat atas pangan dan
mengupayakan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi penduduk. Pemenuhan atas kewajiban
tersebut selaras dengan kekuasaan Negara atas sumber daya alam untuk digunakan sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat (UUD 1945 pasal 33 ayat 3).
Saat ini banyak istilah terkait kata “pangan” seperti Ketahanan Pangan, Kemandirian
Pangan, dan Kedaulatan Pangan. Secara definisi, Ketahanan Pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan individu, yang tercermin dari tersedianya
Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, merata, dan terjangkau
serta sesuai dengan keyakinan, dan budaya, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan (revisi UU7/1996). Sedangkan “Kemandirian Pangan” lebih
menitikberatkan pada kemampuan produksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri
yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat individu,
baik jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang sesuai dengan potensi
dan kearifan lokal (UU 41/2009). Istilah Kedaulatan Pangan lebih menunjuk pada penentuan
kebijakan pangan secara mandiri yang merupakan hak dari suatu negara (bangsa), yang
menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, serta memberikan hak bagi masyarakatnya untuk
menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal (UU 41/2009).
kedaulatan pangan tidak bertentangan dengan ketahanan pangan, karena kadang-kadang
digambarkan di tempat lain, namun seharusnya dipahami terutama sebagai alat retoris untuk
memperkuat peran dan fungsi negara dan untuk memperkuat asosiasi yang ada antara
ketahanan pangan, kontrol negara, dan swasembada pangan skala nasional (Neilson dan
Wright, 2017). Mengacu pada definisi diatas serta mengingat beragamnya potensi
sumberdaya lokal dari berbagai pelosok di Indonesia, maka Kajian Kedaulatan Pangan
berbasis Tanaman Lokal perlu dilakukan.
Sistem pangan masih mengacu pada konsep ketahanan pangan. Pemerintah tak memiliki
kapasitas mengintervensi langsung ke pasar. Stok pangan yang dikuasai pemerintah hanya 6-
9 persen dan itu pun hanya beras (Kementan, 2013). Beras merupakan produk tanaman local
yang menjelma sebagai produk pangan nasional masyarakat Indonesia. Karakteristik
geografis Indonesia yang beragam mulai dari dataran tinggi hingga ke wilayah pasang surut
menjadikan terdapat banyak jenis usaha sawah.
6
Permasalahan yang paling mendasar dari sektor pertanian ini adalah semakin menyusutnya
lahan pertanian akibat alih fungsi lahan. Lahan merupakan faktor utama dalam
pengembangan pertanian. Dengan lahirnya Undang-Undang No.41/2009 tentang Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), diharapkan dapat menahan laju konversi lahan sawah
khususnya sawah dengan irigasi teknis sehingga dapat menopang ketahanan pangan nasional
dan Indonesia memiliki lahan pertanian abadi. Di provinsi Sumatera Selatan, Kab. Ogan
Komering Ulu Timur terpilih menjadi salah satu lokasi LP2B. Pemenuhan kebutuhan beras
tidak dapat terlepas dari ketersediaan lahan sawah, yang secara spasial dapat dikuantifikasi.
Hal ini merupakan sebuah usaha untuk menjawab kapasitas produksi nasional guna
pemenuhan kebutuhan pangan. Analisis spasial khususnya untuk lahan sawah menjadi sangat
penting mengingat tingginya tingkat ketermenarikan konversi lahan sawah menjadi lahan
terbangun (Hartrisari et al., 2017).
B. Tujuan
Analisis berbasis spasial dan sosial ekonomi untuk mengkaji perubahan luas lahan sawah
yang terjadi dalam satu dekade dan dampak perubahan iklim terhadap produktivitas sawah,
serta peluang pengembangan usaha pada lahan sawah di Prov. Sumatera Selatan.
C. Tahapan pelaksanaan kegiatan
Kajian Kedaulatan Pangan dilaksanakan dalam beberapa tahapan kegiatan, antara lain
menyiapkan dan menyusun rencana kerja penelitian, menyusun dan mengembangkan
metodologi, melaksanakan survei/uji lapangan, melakukan pengolahan data dan analisa,
melakukan evaluasi dan menyusun laporan hasil penelitian.
Pelaksanaan tahapan kegiatan tersebut dilaksanakan dalam bentuk kegiatan berikut:
1. Rapat
Rapat koordinasi pembahasan kegiatan kajian kedaulatan pangan dilaksanakan sebanyak
6 kali. Tujuan, ringkasan hasil rapat dan dokumentasi kegiatan dapat dilihat pada Tabel 1.
7
Tabel 1. Rincian kegiatan Rapat Koordinasi.
No. Tanggal Tujuan Ringkasan Hasil
Rapat Dokumentasi
1. 5 Juni 2017
Perubahan Rencana Kajian
Lokasi dipindahkan ke Kalimantan Selatan & Sumatera Selatan, apabila terlalu luas berfokus pada penyebaran ubi nagara Untuk Sumsel kajian fisik dan geografi cukup bagus di Deptan, namun belum pernah melakukan analisa spasialnya. Untuk Kalsel, Berdasarkan data statistik perlu dilihat lagi apakah perserbaran tanaman lokalnya ada di seluruh kabupaten
2. 13 Juli 2017
Pembagian tugas kajian
NDWI : Munawaroh Markov Chain : Irmadi Collecting Data : Florence & Intan Revisi POK terkait perubahan lokasi : Ika
3. 2 Agustus 2017
Pembahasan Rencana Survey Lapangan & Rencana Publikasi
Tema kajian: Analisis Spasial Perubahan Lahan Sawah Analisis Ekonomi Lahan Sawah Dampak Perubahan Iklim/Kekeringan Terhadap Ketahanan Pangan/ Produksi Padi. Rencana Publikasi: Flood Risk Assesment due to La Nina & EL Nino event, Case study:
8
No. Tanggal Tujuan Ringkasan Hasil
Rapat Dokumentasi
Paddy Field in Musi Watershed, South Sumatera Paddy Fields Changes in Musi Downstream Area Water Feature Extraction Using Landsat 8 : Case Study of MUSI Watershed, South Sumatera Productivity Comparation of Irrigated and Non-Irrigated Paddy Fields in South Sumatera
4. 15 Agustus 2017
Persiapan Survey Lapangan Sumatera Selatan
Kegiatan survey akan melingkupi: Validasi lokasi sawah (irigasi, tadah hujan, pasang surut, dll), lokasi produksi bahan pangan lainnya, dan lokasi prioritas untuk produksi pangan di provinsi terkait Pengumpulan data sosial ekonomi terkait biaya produksi, distribusi dan fluktuasi harga beras, serta bahan pangan pokok lainnya (lokasi pasar) Validasi kondisi ketahanan pangan terkait fenomena kebencanaan (banjir) Perijinan dan Pengumpulan data sekunder (Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas PU).
9
No. Tanggal Tujuan Ringkasan Hasil
Rapat Dokumentasi
5. 27 September 2017
Tindak lanjut hasil inventarisasi data
Data citra SPOT 6 & 7 Tahun 2015, 2016, 2017 dalam kondisi tidak lengkap seluruh provinsi SumSel Data Landsat telah diolah dengan transformasi citra NDWI untuk mengetahui hasil lokasi lahan sawah tergenang.
6. 11 Oktober 2017
Metode Pengolahan Data dan Analisis Lanjutan
Pembahasan oleh masing- masing anggota terkait: 1. Metode tema ekonomi (Ellen) 2. Metode tema kekeringan (Ninda) 3. Metode perubahan sawah (Intan) 4. Metode analisis citra (Ika)
2. Inventarisasi Data Penelitian
Tabel 2. Rincian Inventarisasi Data Kajian Kedaulatan Pangan berbasis Tanaman Lokal.
No. Nama Data
Tipe Data
Sumber Lokasi Tahun Tanggal
Inventarisasi
1. Penutup Lahan & Sistem Lahan
Vektor (shp) Skala 1:250.000
(One Map Penutup Lahan Nasional) PPIT; KLHK
Sumatera Selatan
PL = 2016 SisLah = 2011
29 Mei 2017
2. Peta Tanah Semi Detil
Vektor (shp) 1:50.000
Kementerian Pertanian
Indonesia 2016 29 Mei 2017
3. Citra SPOT 6 dan 7
Raster LAPAN Sumatera Selatan
2015 - 2017
31 Juli 2017 & 10 Agustus 2017
4. Peta Lahan Sawah
Vektor (shp) 1:50.000
Kementerian Pertanian; BPN
Sumatera Selatan
2014 2 Oktober 2017
5. Landsat Raster USGS Sumatera Selatan
2005 - 2015
Juli 2017
10
No. Nama Data
Tipe Data
Sumber Lokasi Tahun Tanggal
Inventarisasi
6. Statistik Lahan Sawah
Tabel Survey Lapangan
Sumatera Selatan
2014 - 201
Agustus 2017
3. Survey Lapangan
Survey lapangan dilaksanakan di Provinsi Sumatera Selatan yaitu di 5 kabupaten/kota,
antara lain: Kota Palembang, Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Banyuasin (Kecamatan Rantau
Bayur), Kabupaten Musi Banyuasin, dan Kabupaten Ogan Komering Ilir. Survey dilaksanakan
selama 7 (tujuh) hari, yaitu pada tanggal 24-30 Agustus 2017. Metode pengumpulan data
lapangan dapat dilihat pada Tabel 3, sementara untuk hasil survey lapangan dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 3. Metode Pengumpulan Data Lapangan
No. Jenis Data Proses Dokumentasi
1. Data Spasial Lahan Sawah
Klasifikasi data lahan sawah dari data Penutup Lahan (PL), RBI, dan Interpretasi visual dari Citra
Peta Kerja Terlampir
Identifikasi jenis sawah di Sumatera Selatan groundtruthing. Hal ini disebabkan jenis sawah masih sulit dibedakan berdasarkan data citra melalui interpretasi visual, khususnya sawah lebak.
Verifikasi lokasi lahan sawah dan data atributnya (jenis, system tanam, masa tanam, dan lainnya)
marking posisi & dokumentasi.
2. Data Sosial
Ekonomi In Depth Interview terhadap 20 Responden: Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara menggunakan pedoman wawancara terstuktur pada para perwakilan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang memiliki lahan sawah rawa lebak. Data sekunder berasal dari studi literatur dan data dari instansi terkait
11
No. Jenis Data Proses Dokumentasi
Pengisian Kuesioner (terlampir)
3. Data Sekunder Pengumpulan data sekunder
(statistik, deskripsi lahan, data spasial irigasi (shp)) dilaksanakan melalui koordinasi dengan Pemda Sumatera Selatan.
Tabel 4. Hasil Survey Lapangan
No. Data Primer/ Sekunder Sumber Keterangan
1. Dokumen Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Sumatera Selatan Renstra Dinas Pertanian TPH 2013-2018 Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2015 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2013-2018 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Sumatera Selatan 2005-2025
BAPPEDA Prov. SUMSEL
2. Deskripsi Jenis Sawah di Sumatera Selatan Data Kelompok Tani Sumatera Selatan Data Pendukung Penyusunan Rencana RPJMD TP Data Pendukung Penyusunan Rencana RPJMD Laporan Tahunan Data Rekap ALSIN 2014-2017 Data Rekap Jaringan
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan
Jenis sawah yang ada di wilayah Sumatera Selatan yaitu sawah irigasi teknis, tadah hujan, pasang surut, dan rawa lebak. Khusus Rawa lebak ini mungkin hanya di temukan di Sumatera Selatan. Untuk wilayah Banyuasin banyak potensi pasang surut dan tadah hujan, wilayah Muara Telang dan Air Saleh banyak sawah pasang surut, Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir potensi terbesar rawa lebak
12
No. Data Primer/ Sekunder Sumber Keterangan
3. Titik Groundcheck: Merah mata, Banyuasin, Sumatera Selatan Sawah berbatasan dengan area terbangun (perumahan)
4. Tanjung Lago, Banyuasin, Sumatera Selatan Dalam periode 1 tahun, pola tanam yang digunakan adalah polikultur, dimana terdapat 4 bulan lahan digunakan sebagai sawah (pasang surut) dan sisa bulan lainnya ditanami jagung dengan masa panen 1-2 kali setahun.
5. Desa Gelebak Dalam, Sumatera Selatan Siklus tanam hanya bisa dilakukan 1 kali dalam setahun dengan periode tanam kurang lebih selama 100 hari (3-4 bulan). Hal ini dikarenakan wilayah lebak dalam hanya bisa mulai ditanami saat bulan kering (musim kemarau), biasanya dimulai pada bulan Juni (bulan November-Januari masih masa banjir besar, bulan April mulai surut dan baru bisa dilakukan pengolahan lahan).
6. Jl. Tj. Api- Api Non lahan sawah. Kenampakan pada citra merepresentasikan semak belukar dan sawit dalam kenyataan dilapangan.
D. Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan dilaksanakan pada periode Januari-Desember 2017. Secara garis besar
kegiatan yang tercakup dalam penelitian digambarkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan Jan-Feb Mar-Apr Mei-Jun Jul-Ags Sep-Okt Nov-Des
Persiapan dan
Penyusunan Rencana Kerja Penelitian
13
Kegiatan Jan-Feb Mar-Apr Mei-Jun Jul-Ags Sep-Okt Nov-Des
Penyusunan dan Pengembangan
Metodologi
Pelaksanaan
Survei/uji lapangan
Pengolahan data dan
analisa
Evaluasi dan
Pelaporan Hasil Penelitian
E. Personil
Personil kegiatan kajian kedaulatan pangan berbasis tanaman lokal ini terdiri atas Kepala
Bidang Penelitian yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan penelitian
ini. Sementara peran Ketua dipegang oleh Peneliti Utama dan anggota terdiri atas beberapa
peneliti utama dan peneliti muda serta peneliti pertama. Pembagian tugas tersebut
menyesuaikan ruang lingkup tugas pokok masing-masing jenjang. Rincian nama personil
beserta perannya dapat dilihat pada
Tabel 6. Personil Kegiatan Kajian Kedaulatan Pangan berbasis Tanaman Lokal
No. Peran Nama Personil Jabatan
1. Penanggung Jawab Kegiatan
Ibnu Sofian Kepala Bidang Penelitian
2. Ketua Irmadi Nahib Peneliti Utama
3. Anggota Soeharto Widjojo Peneliti Utama
4. Anggota Priyadi Kardono Peneliti Utama
5. Anggota Rizka Windiastuti Peneliti Muda
6. Anggota Ellen Suryanegara Peneliti Pertama
7. Anggota Munawaroh Peneliti Pertama
8. Anggota Intan Pujawati Peneliti Pertama
9. Anggota Maslahatun Nashiha Peneliti Pertama
10. Anggota Aninda Wisaksanti Peneliti Pertama
11. Anggota Utami Yulaila Teknisi Litkayasa Penyelia
F. Luaran (Output)
Output dalam Kajian Kedaulatan Pangan berbasis Tanaman Lokal ini adalah dihasilkannya
3 publikasi dalam bentuk KTI Nasional, dengan tema sebagai berikut
1. Deteksi genangan banjir pada lahan pertanian menggunakan citra landsat temporal di
Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.
2. Analisis perubahan lahan sawah di Kabupaten Banyuasin
14
3. Peluang pengembangan dan karakteristik usaha tani padi sawah rawa lebak, di
Kabupaten Banyuasin.
G. Dampak (Outcome)
Outcome dari kegiatan Kajian Kedaulatan Pangan berbasis Tanaman Lokal ini adalah
memberikan informasi baru terkait data spasial sawah yang dapat dimanfaatkan oleh
pemerintah daerah terutama dalam pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan terkait
lahan sawah. Dinas terkait tersebut antara lain adalah Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Provinsi Sumatera Selatan, dan Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Sumatera Selatan.
Secara khusus, kajian ini memberikan updating informasi spasial terkait tema kajian berikut:
1. Ancaman bencana banjir yang dapat melanda beberapa lahan produktif seperti sawah
lebak di Kabupaten Ogan Ilir.
2. Besaran konversi lahan sawah menjadi lahan terbangun dalam periode dua dekade
3. Contoh pengelolaan rawa menjadi lahan produktif (pemanfaatan rawa lebak) dan
potensi secara sosial ekonominya.
15
II. LAPORAN ILMIAH PENELITIAN
A. Deteksi Genangan Banjir Pada Lahan Pertanian Menggunakan Citra
Landsat Temporal di Kab. Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan
Munawaroh, A.W.Rudiastuti, Intan Pujawati, E. Suryanegara, I. Nahib, I. Sofian
Badan Informasi Geospasial
Email : munawaroh@big.go.id
Abstrak
Ancaman banjir terhadap lahan pertanian berpotensi menurunkan produktivitas lahan yang berimbas
pada kedaulatan pangan, khususnya pada daerah tersebut. Sumatera Selatan memiliki beberapa tipe
sawah sesuai dengan bentang alamnya, antara lain sawah pasang surut, lebak, tadah hujan, dan sawah
irigasi teknis. Sawah lebak memiliki karakteristik unik sebagai lahan basah yang tergenang pada musim
tertentu, yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Jenis sawah lebak ini mendominasi salah
satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu Kabupaten Ogan Ilir. Teknologi penginderaan jauh
menjadi alat yang efektif untuk analisis geospasial genangan banjir multiskala. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mendeteksi genangan banjir pada lahan pertanian dengan menggunakan NDWI
(Normalized Difference Water Index). Metode NDWI digunakan untuk mengidentifikasi daerah
genangan dan non-genangan banjir. Dalam kajian ini citra Landsat 8 digunakan untuk mengestimasi
genangan banjir dengan transformasi citra menggunakan NDWI. Citra periode 5 tahunan selama 2005
- 2015 digunakan untuk melihat perubahan genangan banjir khususnya pada lahan pertanian di Kab.
Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genangan banjir terluas
terjadi pada tahun 2010 dan menggenangi lahan pertanian seluas 13.965, 98 hektar. Hal tersebut
berkorelasi positif dengan fenomena La Nina dan adanya anomali positif yang berdampak pada
tingginya curah hujan berdasarkan data Southern Oscillation Index tahun 2010.
Kata kunci: NDWI, Landsat, Banjir, Pertanian, Sawah
Abstract
The threat of flooding on agricultural land has the potential to reduce the productivity of land that
affects food sovereignty, especially in the area. South Sumatra has several types of rice fields by the
landscape, including tidal rice fields, lebak, rainfed, and technical irrigation rice fields. Rice fields have
unique characteristics as wetlands that are flooded during certain seasons, which can be utilized as
agricultural land. This type of rice field dominates one of the regencies in South Sumatra Province,
namely Ogan Ilir Regency. Remote sensing technology becomes a useful tool for the analysis of
geospatial floods of multiscale floods. The purpose of this study was to detect flooding in agricultural
land using NDWI (Normalized Difference Water Index). The NDWI method is used to identify areas of
inundation and non-inundation flooding. In this research, Landsat 8 imagery is used to estimate flood
inundation with image transformation using NDWI. Multitemporal imagery during 2005 - 2015 is used
to see the changing of flood inundation especially on farmland in Kab. Ogan Ilir, South Sumatera
Province. The results showed that the most significant flooding inundation occurred in 2010 and
inundated 13,965, 98 hectares of agricultural land. It is positively correlated with the La Nina
phenomenon and the presence of positive anomalies that impact on high rainfall based on Southern
Oscillation Index data in 2010.
Keywords: NDWI, Landsat, Inundation, Agriculture, Rice field
16
Pendahuluan
Banjir merupakan salah satu bencana yang sering melanda banyak wilayah di Indonesia,
terutama pada musim penghujan. Bencana ini membawa dampak negatif dan kerugian
terutama secara fisik, ekonomi. Khususnya apabila banjir melanda lahan produktif yang
menjadi sumber pangan suatu daerah seperti lahan sawah. Di wilayah Sumatera Selatan,
banjir merupakan bencana periodik yang kerap melanda. Bencana banjir terhitung terjadi
pada tahun 2000, 2010, 2015, dan 2016. Hadi dalam Kompas (2011) menyatakan bahwa
penyebab utama seringnya terjadi banjir adalah penyusutan jumlah rawa di Palembang akibat
konversi lahan rawa menjadi lahan terbangun. Di lain pihak, masalah konversi sawah di
Indonesia tetap menjadi perhatian utama terkait peningkatan jumlah penduduk dan fungsi
kontrol kecepatan yang mengancam stabilitas pangan nasional. Mengembangkan sawah baru
agar bisa berkembang. Luas sawah sulit dilaksanakan karena beragamnya sumber daya tanah
Ketersediaan irigasi, dan budidaya budidaya padi terkonsentrasi hanya di beberapa daerah di
Indonesia (Santosa et al., 2015).
Lahan produktif di Sumatera Selatan yakni lahan sawah terdiri atas beberapa jenis
sesuai dengan bentang alamnya, antara lain sawah pasang surut, lebak, tadah hujan, dan
sawah irigasi teknis. Jenis sawah yang unik dan ditemui dalam luasan besar pada Kabupaten
Ogan Ilir adalah sawah lebak. Sawah lebak merupakan jenis sawah yang memanfaatkan rawa
dengan variasi kedalaman sebagai lokasi penanaman padi. Jenis sawah lebak merupakan
salah satu sumber daya alam potensial untuk pembangunan pertanian, dan kegiatan
pemanfaatan lahan rawa menjadi lahan pertanian tersebut telah berlangsung cukup lama
(Waluyo & Suparwoto, 2014). Sebagai lahan marjinal namun berpotensi besar, hanya
sebagian kecil dari rawa lebak di Sumatera Selatan yang dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian. Berdasarkan tipologi dan distribusi airnya, lahan rawa dikelompokkan menjadi
lahan rawa pasang surut dan lahan rawa non pasang surut (lebak). Dan berdasarkan volume
air yang ditampungnya, Lebak terbagi atas 3 bagian, yaitu: (1) Lebak dangkal, bila genangan
airnya kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan; (2) Lebak tengahan, bila genangan
airnya antara 50 – 100 cm selama 3 – 6 bulan; dan (3) Lebak dalam, bila genangan airnya
lebih dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan (Sudana, 2005).
Aliran permukaan yang berlebihan dapat menyebabkan banjir, genangan, dan
kerusakan lahan pertanian (Kurnia, 2004). Ancaman banjir terhadap lahan pertanian
berpotensi menurunkan produktivitas lahan sawah yang berimbas pada ketersediaan pangan
beras, untuk itu perlu dilakukan pendeteksian luas sawah yang tergenang banjir. Seiring
berkembangnya teknologi khususnya dalam dunia penginderan jauh, maka persebaran
wilayah yang terkena banjir dapat diketahui dengan lebih cepat, tepat, dan akurat.
Pemanfaatan teknologi Inderaja di Indonesia perlu lebih dikembangan dan diaplikasikan untuk
mendukung efisiensi pelaksanaan inventarisasi sumberdaya lahan/tanah dan identifikasi
penyebaran karakteristik lahan pertanian (lahan sawah, lahan kering, lahan rawa, lahan tidur,
lahan kritis, estimasi produksi) terutama pada wilayah sentra produksi pangan (Martono,
2008). Citra satelit penginderaan jauh merupakan sumber data yang dapat dimanfaatkan
untuk deteksi banjir. Sebagai lahan basah, pendeteksian genangan banjir pada rawa dapat
dilakukan dengan memanfaatkan NDWI atau Normalized Differential Water Index (Wiweka,
Suwarsono, & Nugroho, 2014). Penggunaan kanal SWIR berkaitan dengan jumlah air
terkandung dalam struktur daun internal dan reflektansi SWIR berhubungan negatif dengan
kandungan air daun (Tucker, 1980).
17
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mendeteksi genangan banjir pada lahan
pertanian sawah lebak di Kab. Ogan Ilir dengan menggunakan NDWI. Pemantauan kondisi
banjir di lahan sawah secara kontinyu dapat digunakan dalam manipulasi metode tanam guna
mencapai keberhasilan panen tanaman pangan (Zubaidah, Dirgahayu, Pasaribu, &
Lingkungan, 2013).
Metodologi
2.1 Area Kajian
Wilayah kajian mengambil lokasi pada Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan
(Gambar 1). Provinsi Sumatera Selatan merupakan daerah agraris dan berperan sebagai
lumbung nasional, sehingga penjaminan ketersediaan lahan guna mendukung pangan
berkelanjutan tidak dapat terelakkan sebagaimana diamanatkan dalam PERDA Provinsi
Sumatera Selatan No. 21 Tahun 2014. Kabupaten Ogan Ilir sebagai bagian dari provinsi
Sumatera Selatan dipilih karena secara sumberdaya lahan, rawa lebak terluas berada di
Kabupaten Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir, dimana rawa sebagai lahan basah memiliki
potensi tergenang lebih tinggi.
Gambar 1. Lokasi penelitian
2.2 Metode
Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk memantau kejadian banjir khususnya
pada lahan sawah telah umum dilakukan, seperti halnya menggunakan citra MODIS, Landsat,
18
SPOT, DEM dan TRMM (Febrianti & Domiri, 2012; Haryani, Zubaidah, Dirgahayu, Yulianto, &
Pasaribu, 2012; Zubaidah et al., 2013), maupun dengan data hasil pemodelan (Marfai,
Mardiatno, Cahyadi, Nucifera, & Prihatno, 2013).
Pendeteksian genangan banjir secara dijital melalui transformasi citra dengan
memanfaatkan sensifitas kanal NIR dan Green, dengan mengikuti pedoman pendeteksian
daerah tergenang (inundated area) dari LAPAN (2015). Transformasi NDWI memiliki sifat tidak
berdimensi dan bervariasi antara -1 sampai +1, tergantung pada kandungan air daun tetapi
juga pada jenis vegetasi dan penutup. Nilai tinggi NDWI (berwarna biru) sesuai dengan
kandungan air vegetasi tinggi dan penutupan fraksi vegetasi yang tinggi. Nilai NDWI rendah
sesuai dengan kandungan air vegetasi rendah dan penutupan fraksi vegetasi rendah. Ekstraksi
nilai NDWI Mcfeeters (1996) menggunakan band hijau dan inframerah dekat (NIR) band 2
dan band 4 (Persamaan 1), yakni:
𝑁𝐷𝑊𝐼 =𝜌𝐺𝑅𝐸𝐸𝑁− 𝜌𝑁𝐼𝑅
𝜌𝐺𝑅𝐸𝐸𝑁+𝜌𝑁𝐼𝑅 (1)
Pemanfaatan NDWI modifikasi dari Mc Feeters (1996) pada saat banjir cenderung
mengalami peningkatan baik untuk obyek vegetasi, lahan terbuka maupun gabungan
keduanya. Transformasi citra dilakukan untuk semua data citra, baik pada saat (NDWIpre)
maupun setelah (NDWIpost) kejadian banjir dan kemudian dilihat perubahannya (Persamaan
2) sebagai indikator piksel tergenang. Adapun data yang digunakan dalam kajian tertuang
dalam Tabel 1 dan langkah- langkah pengolahan data dalam kajian ini dituangkan dalam
Gambar 2.
∆𝑁𝐷𝑊𝐼 = 𝑁𝐷𝑊𝐼 𝑝𝑟𝑒 − 𝑁𝐷𝑊𝐼 𝑝𝑜𝑠𝑡 (2)
Tabel 1. Data kajian
Jenis Data Sumber Tahun
Landsat 5, Landsat 7ETM+,
Landsat 8
USGS 2000, 2010, 2015
Batas Wilayah Administrasi Peta RBI Sumatera Selatan
1:50.000
2014
Lahan Sawah KSP (1:50.000)
RBI (1:50.000)
Data Penutup Lahan - KLHK
2014
2014
1990 - 2016
Southern Oscillation Index
(SOI)
National Center for
Environmental Information
(www.ncdc.noaa.gov)
2000 - 2015
19
Gambar 2. Diagram alir penelitian
Hasil dan Pembahasan
Secara umum, berdasarkan citra Landsat multitemporal dalam kurun waktu 2005 – 2015 menunjukkan perbedaan hasil NDWI yang signifikan (Gambar 3). Citra Landsat yang diambil untuk analisis adalah perekaman pada musim penghujan. NDWI dari citra Landsat tahun 2015 menunjukkan bahwa di Kabupaten Ogan Ilir tidak terjadi genangan banjir, sedangkan pada tahun 2005 genangan yang terjadi pada area persawahan lebih meluas khususnya pada areal persawahan di bagian utara Kab. Ogan Ilir. Puncak genangan terluas terjadi pada tahun 2010, dimana hal ini berkorelasi dengan anomali cuaca yakni La Nina (Gambar 4). La Nina membawa dampak curah hujan tinggi dan banjir, dan dapat berakibat pada rawan pangan karena gagal panen (Tjasyono, Lubis, Juaeni, Harijono, & others, 2008). kejadian La Nina, ketersediaan air dapat menjadi berlebihan dan menyebabkan banjir sehingga tanaman mengalami gagal panen. Kedua kejadian anomali iklim tersebut diketahui telah membuat kerusakan pada tanaman padi di Indonesia (Utami, Jamhari, & Hardyastuti, 2011). Gambar 4 menunjukkan fluktuasi data SOI dimana nilai positif berkorelasi dengan episode La Nina, dimana pada tahun 2010 indeks yang ditunjukkan lebih tinggi dari tahun 2005 dan 2015.
Peta RBI
Pra Pemrosesan citra:
1. Koreksi Radiometrik
2. Penajaman Citra
Clip & Masking Citra
Citra
(Landsat
Multitemporal)
𝑁𝐷𝑊𝐼𝑝𝑟𝑒&𝑝𝑜𝑠𝑡
=𝜌𝐺𝑅𝐸𝐸𝑁 − 𝜌𝑁𝐼𝑅
𝜌𝐺𝑅𝐸𝐸𝑁 + 𝜌𝑁𝐼𝑅
∆𝑁𝐷𝑊𝐼 = 𝑁𝐷𝑊𝐼 𝑝𝑟𝑒 − 𝑁𝐷𝑊𝐼 𝑝𝑜𝑠𝑡
Analisis spasial (overlay)
Genangan pada Lokasi
Sawah
Plotting Data SOI
Data Southern
Osscilation
Index
Lokasi sawah lebak
tergenang periode
2000 – 2015 (ha)
20
Gambar 3. Hasil ∆NDWI berdasarkan citra Landsat multitemporal tahun 2005, 2010, dan 2015 di
Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan
21
Gambar 4. Indeks Osilasi Selatan (SOI) periode 2000 - 2016
Luas sawah keseluruhan di Kab. Ogan Ilir diperkirakan mencapai ±34.601,12 ha, di mana
sekitar 13.965, 98 ha lahan sawah yang sebagian besar merupakan jenis sawah lebak
mengalami penggenangan akibat banjir di tahun 2010.
Gambar 5. Sebaran genangan (inundation) pada lahan sawah di Kab. Ogan Ilir
Kesimpulan
Selama periode 2000 – 2015, hasil analisis NDWI menunjukkan genangan banjir
signifikan pada tahun 2010, dimana 49,03% dari total luas sawah di Kab. Ogan Ilir terendam
genangan banjir.
-40
-30
-20
-10
0
10
20
302
00
00
1
20
00
07
20
01
01
20
01
07
20
02
01
20
02
07
20
03
01
20
03
07
20
04
01
20
04
07
20
05
01
20
05
07
20
06
01
20
06
07
20
07
01
20
07
07
20
08
01
20
08
07
20
09
01
20
09
07
20
10
01
20
10
07
20
11
01
20
11
07
20
12
01
20
12
07
20
13
01
20
13
07
20
14
01
20
14
07
20
15
01
20
15
07
20
16
01
20
16
07
20
17
01
20
17
07
SOI
22
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan,
khususnya Bappeda Provinsi Sumatera Selatan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan, Pemerintah Kabupaten Banyuasin, serta Gabungan
Kelompok Tani Kabupaten Banyuasin yang telah memberikan bantuan berupa data,
narasumber, dan dukungan pada saat pengambilan data lapangan.
Daftar Pustaka
Kompas 2011. Banjir Sumsel semakin sering terjadi. [diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2011/02/22/18051725/ tanggal 11 Desember 2017]
Febrianti, N., & Domiri, D. (2012). Analisis Potensi Banjir Di Sawah Menggunakan Data Modis Dan Trmm
( Studi Kasus Kabupaten Indramayu ) ( Analysis of Potential Flood in Paddy Field Using Modis and Trmm Data ( Case Study : Indramayu Districts )). Jurnal Penginderaan Jauh, 9(1), 17.
Haryani, N. S., Zubaidah, A., Dirgahayu, D., Yulianto, H. F., & Pasaribu, J. (2012). Flood Hazard Model Using Remote Sensing Data in Sampang District. Jurnal Penginderaan Jauh, 9(1), 52–66.
Kurnia, U. (2004). Prospek pengairan pertanian tanaman semusim lahan kering. Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 130–138.
Marfai, M. A., Mardiatno, D., Cahyadi, A., Nucifera, F., & Prihatno, H. (2013). Pemodelan Spasial Bahaya
Banjir Rob Berdasarkan Skenario Perubahan Iklim dan Dampaknya di Pesisir Pekalongan. Jurnal Bumi Lestari, 13(2), 244–256.
Martono, D. N. (2008). Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh Dan Uji Validasinya Untuk Deteksi
Penyebaran Lahan Sawah Dan Penggunaan/Penutupan Lahan. In Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2008 (SNATI 2008) (Vol. 13, pp. 745–769).
Santosa, S., Rustiadi, E., Mulyanto, B., Murtilaksono, K., Rachman, N. F., Resources, L., & Sciences, C. (2015). Modeling on Establishment of Sustainable Paddy Field Zone in Bekasi Regency ,
Indonesia, 5(5), 79–90. Sudana, W. (2005). Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi pertanian. Analisis
Kebijakan Pertanian, 3, 141–151.
Tjasyono, H. K., Lubis, A., Juaeni, I., Harijono, W. B., & others. (2008). Dampak Variasi Temperatur Samudera Pasifik dan Hindia Ekuatorial Terhadap Curah Hujan di Indonesia. Jurnal Sains Dirgantara, 5(2), 83–95. Retrieved from http://www.jurnal.lapan.go.id/index.php/jurnal_sains/article/view/338%5Cnhttp://www.jurnal.l
apan.go.id/index.php/jurnal_sains/article/viewFile/338/291
Tucker, C. J. (1980). Remote sensing of leaf water content in the near infrared. Remote Sensing of Environment, 10(1), 23–32.
Utami, A. W., Jamhari, J., & Hardyastuti, S. (2011). El Nino , La Nina , Dan Penawaran Pangan Di Jawa Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 12(2), 257–271.
Waluyo, W., & Suparwoto, S. (2014). Karakteristik dan Masalah Sistem Produksi Usahatani Padi Secara Tradisional Lahan Rawa Lebak di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan Characteristics and
Production System Problems In Traditional Rice Farming in the swap land Lebak Ogan Ilir
Regency , Suma. In Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Lampung (pp. 77–86).
Wiweka, W., Suwarsono, S., & Nugroho, J. T. (2014). Pengembangan Model Identifikasi Daerah Tergenang. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014, 381–391.
Zubaidah, A., Dirgahayu, D., Pasaribu, J. M., & Lingkungan, B. (2013). Menggunakan Data
Penginderaan Jauh ( Modis ) Di Provinsi Jawa Timur Dan Bali. Jurnal Ilmiah Widya, 1, 78–84.
23
B. Analisis Perubahan Lahan Sawah di Kabupaten Banyuasin
Intan Pujawati, Aninda W. Rudiastuti, Ellen Suryanegara, Rizka Windiastuti, Irmadi Nahib Badan Informasi Geospasial
ABSTRAK
Seiring dengan pesatnya pembangunan wilayah, kebutuhan lahan pertanian menjadi salah satu aspek
yang penting untuk diperhatikan. Ketersediaan lahan pertanian khususnya lahan sawah merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya menjaga ketahanan pangan nasional. Perubahan
penutupan/penggunaan lahan sawah dapat terjadi karena beberapa faktor antara lain faktor sosial,
politik, ekonomi, budaya, alam, dan teknologi. Sistem Informasi Geografi (SIG) dapat digunakan untuk melihat perubahan tersebut dan kaitannya dengan faktor-faktor pendorong perubahan yang terjadi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan penutupan/penggunaan lahan sawah di Kabupaten Banyuasin periode tahun 1990 hingga 2003 dan 2015 serta memprediksikannya pada tahun
2040 dengan pendekatan Markov Chain. Perubahan penutupan/penggunaan lahan sawah diinterpretasi dari data spasial penutup lahan tahun 1990 dan 2003, kemudian divalidasi dengan penutup lahan tahun
2015. Pemodelan perubahan penggunaan lahan sawah menggunakan software Idrisi TerrSet 18.08.
Variabel faktor pendorong perubahan yang dipakai adalah jarak ke jalan dan jarak ke sungai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan sawah di Kabupaten Banyuasin mengalami penurunan terluas
sebesar 2.863,80 ha dan mengalami peningkatan terluas sebesar 14.463,45 ha pada periode 1990-2003. Pada 2040, diperkirakan luas sawah sebesar ... ha. Faktor pendorong perubahan penggunaan
lahan sawah di wilayah penelitian lebih disebabkan oleh jaringan jalan.
Kata Kunci: prediksi, perubahan lahan sawah, model Markov Chain, land change modeler
ABSTRACT
Along with the rapid development of the region, the need for agricultural land is one important aspect to be noted. The availability of agricultural land especially paddy fields is an integral part in efforts to maintain national food security. Changes in landcover/landuse can occur due to several factors including social, political, economic, cultural, natural, and technological factors. Geographic Information Systems (GIS) can be used to view these changes and their relation to the drivers of change. The purpose of this research is to discover the change of paddy field landcover in Banyuasin Regency for the period of 1990-2003 and 2015, and to predict it in 2040 with Markov Chain approach. Changes in paddy field landcover are interpreted from 1990 and 2003 landcover spatial data, then validated with landcover data in 2015. Modeling of landcover change using software Idrisi TerrSet 18.08. Variable factors driving the changes used are the distance to the road and the distance to the river. The results showed that paddy field landcover in Banyuasin Regency experienced the largest decrease of 2,863.80 ha and experienced the largest increase of 14,463.45 ha. By 2040, it is estimated that the area of paddy field landcover in Banyuasin Regency is ... ha. The factors driving the change of paddy field landcover in the research area is more caused by the road network. Keywords: prediction, paddy field landcover, Markov Chain model, land change modeler
PENDAHULUAN
Lahan merupakan bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidriologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia. Perubahan pemanfaatan lahan pertanian dapat berimplikasi serius terhadap produksi pangan, lingkungan fisik, serta kesejahteraan masyarakat pertanian. Perkembangan pembangunan nasional dalam kurun tiga hingga empat dekade terakhir ditandai dengan semakin rendahnya kontribusi ekonomi sektor pertanian terhadap total GDP (Gross domestic product). GDP nasional sebesar 47,2% pada 1970 turun menjadi 24,8% pada 1980 dan hanya 17,6% pada tahun 1990 (ADB, 1994). Penurunan andil ini berbanding terbalik dengan peningkatan tekanan penduduk terhadap sumber daya lahan dan air. Tekanan ini
24
telah menunjukkan sejumlah dampak seperti perubahan penggunaan lahan yang signifikan. Menurut Hidayat (2008), lahan pertanian memiliki manfaat sosial, ekonomi, serta lingkungan. Konversi lahan sawah merupakan ancaman yang serius bagi ketahanan pangan nasional, mengingat konversi lahan tersebut sulit dihindari sementara dampak yang ditimbulkan terhadap masalah pangan bersifat permanen, kumulatif, dan progresif (Irawan, 2005). Ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan persediaan pangan. Produksi pangan selama ini didominasi oleh hasil dari tanaman padi yang ditanam di lahan sawah dibandingkan dengan tanaman padi yang ditanam di ladang (Hidayat, 2008). Hingga kini, ketahanan pangan masih menjadi pokok permasalahan di Indonesia dalam penyediaan bahan makanan pokok, khususnya beras. Lahan sawah merupakan penghasil utama beras di Indonesia. Sebagai gambaran, pada tahun 2014 lahan sawah nasional telah menghasilkan 70.846.465 ton gabah (BPS, 2016) yang dihasilkan dari 8.111.593 ha luas panen padi di Indonesia (BPS, 2017).
Berdasarkan sebarannya, luas sawah di Pulau Sumatera tahun 2014 mencapai 27,35% dari total sawah di Indonesia (BPS, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa Pulau Sumatera merupakan salah satu sentra produksi beras yang penting di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari Program Lumbung Pangan Nasional yang didukung oleh potensi sumber daya lahan yang cukup variatif. Kabupaten Banyuasin merupakan penopang terbesar lumbung padi nasional di Provinsi Sumatera Selatan. Potensi lahan pertanian tanaman pangan Kabupaten Banyuasin mencapai 1.170.022 ha; terdiri dari 204.125 ha (17%) sawah pasang surut dan 96.5897 ha (83%) lahan daratan. Kecamatan Muara Telang, Banyuasin Dua, Pulau Rimau, dan Rantau Bayur adalah sentra penghasil padi di Kabupaten Banyuasin (Wijaksono & Navastara, 2012). Tanaman pangan yang diproduksi oleh Kabupaten Banyuasin antara lain padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar dan kacang hijau. Sedangkan produksi tanaman padi di Kabupaten Banyuasin meliputi padi ladang, padi pasang surut dan padi lebak. Jenis padi pasang surut memiliki produksi terbesar dengan total produksi 682.786,8 ton di tahun 2010. Produksi terkecil yaitu jenis padi lebak yaitu sebesar 107.708,1 ton (Pokja PTGL-EHKB Kabupaten Banyuasin, 2016). Kegiatan intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian masih perlu dilakukan untuk meningkatkan hasil produksi padi di Kabupaten Banyuasin. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Banyuasin No. 24 Tahun 2012 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, disebutkan bahwa pemerintah daerah setempat perlu mengupayakan terwujudnya kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan di daerah dalam rangka mendukung kebutuhan pangan nasional.
Perkembangan sosial, politik, ekonomi, budaya, teknologi, dan keadaan alam menyebabkan terjadinya perubahan penutupan/penggunaan lahan. Perubahan penutupan/penggunaan lahan ini dapat menuju ke arah yang positif yaitu pembangunan yang sesuai dengan perencanaan dan daya dukung lahan namun juga dapat menuju ke arah yang negatif seperti polusi udara, air, perubahan iklim lokal, dan hilangnya biodiversitas (Hu et al., 2008). Salah satu alternatif perencanaan tata guna lahan yaitu dengan pendekatan model dinamika perubahan lahan yang dikombinasikan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Hal ini dilakukan karena SIG dapat digunakan untuk mengamati perubahan penutupan/penggunaan lahan dan menghubungkan faktor-faktor pemicu dengan perubahan yang terjadi (Santosa dkk., 2014). Adapun pemodelan yang berbasis spasial dan bersifat dinamis dalam waktu, dapat dilakukan dengan pendekatan Markov Chain (MC). Pemodelan yang bersifat dinamis ini dapat memprediksi keadaan yang akan datang (Munibah, 2008) secara spasial. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan penelitian untuk mengkaji dan memetakan prediksi perubahan penggunaan lahan sawah di Kabupaten Banyuasin. METODE
Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2017, dengan mengambil studi kasus Kabupaten Banyuasin yang merupakan penopang terbesar lumbung padi nasional di Provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran Kabupaten Musi Banyuasin yang secara yuridis disahkan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2002.
25
Secara geografis Kabupaten Banyuasin terletak antara 1°37’32,12”-3°09’15,03” LS dan 104°02’21,79”-105°33’38,5” BT, dengan luas areal 1.183.299 ha atau sekitar 12,18% dari luas Provinsi Sumatera Selatan (Pokja PTGL-EHKB Kabupaten Banyuasin, 2016). Peta lokasi penelitian tersaji pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data spasial penutup lahan tahun
1990, 2003, dan 2015 (skala 1:...); yang diperoleh dari ...; data spasial jaringan jalan dan sungai diperoleh dari Peta Rupa Bumi Indonesia (skala 1:50.000) wilayah Kabupaten Banyuasin dari Badan Informasi Geospasial. Data penelitian kemudian dianalisis menggunakan perangkat keras komputer, beserta perangkat lunak pengolah data spasial berbasis raster, yaitu modul Land Change Modeler (LCM). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan penutupan/penggunaan lahan sawah di Kabupaten Banyuasin periode tahun 1990 hingga 2003 dan 2015 serta memprediksikannya pada tahun 2020 dan 2025 dengan pendekatan Markov Chain.
Algoritma Markov Chain dapat memprediksi kejadian mendatang dengan menggunakan probabilitas yang telah muncul di masa lalu dan keadaan saat ini (Januarto, 2016). Dalam teori probabilitas statistik, proses Markov menganalisis fenomena yang berubah terhadap waktu secara acak untuk keadaan tertentu (Baja, 2012). Menurut Abdurachman (1999), jika Xn = i, maka proses dikatakan berada pada state-i. Misalkan ketika proses pada state-i akan berpindah ke state-j dengan peluang pij, dimana pij tidak tergantung pada n (n=0,1,2,...). Dengan perkataan lain, untuk semua state i0, i1, ..., in-1, i, j , dan semua n ≥ 0, jika P(Xn+1) = j/Xn=i, Xn-1=in-1, ..., X1=i1, X0=i0 (Persamaan 1) = P (Xn+1=j/Xn=i) = pij maka proses tersebut disebut Markov Chain Stationer.
Persamaan 1 tersebut dapat diinterpretasikan; untuk suatu Markov Chain, peluang bersyarat kejadian yang akan datang Xn+1, hanya tergantung pada kejadian sekarang Xn. Hal ini disebut Markovian, karena peluang dimulai non-negatif dan proses harus melakukan transisi ke berbagai state, maka: pij µ 0, i,j µ 0 ; ∑ 𝑝𝑖𝑗 = 1𝑗=1 , i=0,1,2, ... (Persamaan 2)
26
Untuk melakukan estimasi pij dapat menggunakan metode kemungkinan maksimum (maximum likelihood estimation) berikut
𝑝𝑖𝑗 =(𝑎𝑖𝑗)
∑ 𝑎𝑖𝑗𝑗 (Persamaan 3)
dimana aij adalah banyaknya perpindahan dari state-i ke state-j pada periode pengamatan tertentu.
Penelitian ini diawali dengan mempersiapkan peta penutup lahan dan faktor-faktor pendorong perubahan lahan. Kemudian pemodelan perubahan lahan dijalankan menggunakan aplikasi LCM dengan tiga tahapan (Kubangun dkk., 2016), yakni: 1. Tahap analisis perubahan
Tahap ini menganalisis masukan data penutup lahan dari tahun 1990 hingga 2003. Data tersebut kemudian direklasifikasi menjadi 2 kelas penutup lahan yaitu sawah dan non-sawah.
2. Tahap potensi transisi. a. Tiap kelas perubahan penutupan lahan dimodelkan untuk memprediksi lokasi yang
berpotensi berubah menjadi penutupan lahan yang lain. b. Data spasial jarak dari jalan dan jarak dari sungai dibuat dengan menjalankan modul
Euclidean Distance yakni jarak dari satu objek ke objek yang lain. Variabel faktor pendorong tersebut dimasukkan dalam tahap ini.
c. Pemodelan ini menghasilkan peta peluang perubahan lahan (Potential Transition Map) yang memiliki nilai peluang antara 0-1, yakni semakin mendekati nilai 1, maka lokasi tersebut berpeluang besar untuk berubah menjadi penggunaan lain. Peta faktor pendorong yang menjadi masukan dalam pemodelan tahap ini, disajikan pada Gambar 2.
(a)
(b)
Gambar 2. Faktor Pendorong; (a) Jarak dari Jalan; (b) Jarak dari Sungai 3. Tahap pemodelan dan prediksi penggunaan lahan sawah
a. Proyeksi penggunaan lahan sawah ke depan menggunakan metode Markov Chain dengan asumsi bahwa perubahan yang terjadi di masa depan memiliki pola dan peluang serupa dengan pola perubahan yang terjadi selama periode data yang digunakan.
b. Matriks transisi akan dihasilkan pada tahap ini sebagai dasar untuk membuat peta prediksi.
27
c. Hasil prediksi model tahun 2015 divalidasi dengan peta penggunaan lahan aktual di tahun yang sama. Uji validasi diukur dengan Kappa Index of Agreement (Prabowo, 2017), yaitu dengan cara membuat matriks perbandingan kelas lahan hasil pemodelan dengan kelas penutupan/penggunaan lahan eksisting, berdasarkan nilai Kappa.
d. Setelah model dinyatakan valid, maka tahap berikutnya adalah pemodelan untuk prediksi penggunaan lahan di tahun 2040.
e. Hasil dari tahap ini dapat dijadikan acuan dasar pengambilan kebijakan tentang tata guna lahan. Keseluruhan tahap pemodelan hingga menghasilkan proyeksi penggunaan lahan sawah tersebut tersaji pada Gambar 3 berikut ini.
Gambar 3. Alur Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Perubahan Lahan Sawah
Lahan sawah memegang urgensi sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan masyarakat. Seiring dengan pesatnya pembangunan di berbagai sektor, lahan sawah mengalami berbagai dinamika. Luas lahan sawah di beberapa daerah di Indonesia ada yang cenderung mengalami penurunan. Namun di beberapa daerah seperti di wilayah penelitian, Kabupaten Banyuasin, luas lahan sawah justru mengalami peningkatan. Hal ini sejalan dengan laporan Iqbal (2007) yang menyatakan bahwa alih fungsi lahan di Provinsi Sumatera Selatan tidak semarak fenomena alih fungsi lahan sawah yang terjadi di Pulau Jawa.
Data Spasial Penutup Lahan
Peta Penutup Lahan (2 kelas: Sawah dan Non-Sawah)
Tahun 2000 Tahun 2006 Tahun 2015
Land Change Modeler (I)
Euclidean Distance
Jarak terhadap
Jalan
Jarak terhadap
Sungai
Input Models (II)
Peta Sungai Peta Jalan
Tahap Analisis Perubahan Tahap Potensi Transisi
Tahap Pemodelan & Prediksi Penggunaan Lahan Sawah
Running
Models
Validasi Model;
Menggunakan Peta PL 2015
Transisi
Peta Prediksi Penggunaan
Lahan Sawah Tahun 2015
Prediksi Penutupan/Penggunaan
Lahan Sawah Tahun 2040
28
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Peta Penggunaan Lahan Sawah Kabupaten Banyuasin Tahun; (a) 1990; (b) 2003; (c) 2015
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa dalam rentang
dua dekade (1990-2015), telah terjadi peningkatan luas lahan sawah sebesar 5,03% atau seluas 60.863,87 ha. Penambahan luas lahan sawah tersebut sebagian besar tersebar di wilayah selatan hingga tenggara Kabupaten Banyuasin, dimana daerah tersebut dipengaruhi oleh adanya aliran sungai Musi. Secara umum, tipologi lahan sawah di Provinsi Sumatera Selatan dicirikan oleh luasnya lahan sawah pasang surut, lebak, dan tadah hujan dibandingkan dengan luas lahan sawah irigasi (Iqbal, 2007). Hal ini berbanding lurus dengan hasil penelitian yang menunjukkan adanya perluasan lahan sawah tipe pasang surut di sekitar bantaran sungai Musi, yang menjadi sumber pengairannya. Hasil tabulasi data luas lahan sawah di lokasi penelitian pada tahun 1990, 2003, dan 2015 tersaji pada Tabel 1.
29
Tabel 1. Luas Lahan Sawah dan Non-Sawah Tahun 1990, 2003, dan 2015
Kelas Penutup Lahan
1990 2003 2015
Luas Area (ha)
Persentase (%)
Luas Area (ha)
Persentase (%)
Luas Area (ha)
Persentase (%)
Sawah 152.964,50 12,64 164.562,37 13,60 213.828,37 17,43
Non-Sawah
1.056.770,48 87,36 1.045.172,62 86,40 1.012.693,59 82,57
Penambahan luas area lahan sawah dari tahun 1990, 2003, dan 2015 tidak lepas dari
adanya Perda Kabupaten Banyuasin No. 24 Tahun 2012 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dari 15 kabupaten dan kota di Sumatera Selatan, baru dua kabupaten yang telah memiliki regulasi khusus terkait perlindungan lahan pertanian pangan. Kabupaten tersebut antara lain Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur dan Banyuasin (Kompas, 2012). Pemerintah daerah Banyuasin melakukan perlindungan serta pelarangan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan secara ketat, kecuali dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau bencana alam. Selain itu, pemerintah juga berkewajiban melindungi dan memberdayakan petani, kelompok tani, koperasi petani, dan asosiasi petani. Hal inilah yang mendukung berkembangnya sektor pertanian di Kabupaten Banyuasin. Model Perubahan Lahan Sawah antara Tahun 1990 dan 2003
Hasil simulasi pemodelan lahan sawah antara tahun 1990 dan 2003 menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan luas lahan untuk kelas sawah dan non-sawah. Peningkatan luas lahan sawah sebesar 14.463,45 ha, sedangkan perubahan lahan sawah menjadi lahan non-sawah sebesar 2.863,80 ha (Gambar 5). Hal ini memperlihatkan adanya konversi lahan non-sawah menjadi lahan sawah yang cukup signifikan. Perubahan lahan ini terjadi pada lokasi yang berbeda.
Gambar 5. Analisis Perubahan Lahan Sawah antara Tahun 1990 dan 2003
Peta lokasi perubahan lahan sawah dan non-sawah dihasilkan dari pemodelan tahap ini, seperti disajikan pada Gambar 6. Hasil simulasi menunjukkan adanya dominansi perubahan lahan non-sawah menjadi lahan sawah. Lahan non-sawah yang berubah menjadi lahan sawah tersebar di Kecamatan Pulaurimau, Tanjunglago, Talangkelapa, Muaratelang, Makartijaya, Airsaleh, Banyuasin Dua, dan Muarapadang. Sedangkan lahan sawah yang terkonversi menjadi lahan non-sawah terdapat di Kecamatan Sumbermargatelang dan Muaratelang. Kelas lahan lainnya pada peta tidak terindikasi mengalami perubahan lahan.
2.863,80 14.463,45
2.863,80 14.463,45
30
Gambar 6. Peta Lokasi Perubahan Lahan Berdasarkan Simulasi Pemodelan
Penutup Lahan Sawah dan Non-Sawah Tahun 1990 dan 2003 Proses Transisi
Pemodelan perubahan lahan sawah pada tahap ini dilakukan dengan memasukkan faktor pendorong perubahan lahan, yaitu jarak dari jalan dan jarak dari sungai. Jalan merupakan faktor pendorong perubahan lahan dari segi ekonomi, terutama karena tingginya land rent daerah yang dekat dengan jalan (Kubangun, 2016). Keberadaan akses jalan di suatu daerah cenderung menjadi faktor pendorong adanya lahan terbangun, dengan perubahan lahan ke arah yang tidak dapat kembali seperti semula. Aliran sungai merupakan faktor pendorong perubahan lahan dari segi kondisi fisik lahan. Hal ini berhubungan erat dengan fungsi sungai sebagai salah satu sumber pengairan bagi lahan sawah. Selain itu, tipologi sawah pasang surut dan rawa lebak yang cukup dominan menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara sungai dengan usaha pertanian di Kabupaten Banyuasin. Prediksi Perubahan Lahan Sawah Tahun 2015
Pada tahapan ini dilakukan uji analisis data spasial penutupan/penggunaan lahan tahun 1990 hingga tahun 2003 untuk prediksi tahun 2015. Uji ini berfungsi agar peta hasil prediksi tahun 2015 dapat divalidasi dengan peta penutup lahan tahun 2015. Jika hasil prediksi valid, maka akan dilanjutkan dengan prediksi lahan sawah pada tahun 2040, yakni dengan asumsi pola perubahan lahan yang diprediksi (tahun 2040) berasal dari rentang input tahun yang sama (tahun 1990-2015).
31
Validasi
Peta prediksi yang telah dihasilkan, kemudian divalidasi dengan peta penutup lahan eksisting tahun 2015. Untuk mengetahui akurasi dari prediksi ini digunakan metode Kappa yang memperhitungkan semua elemen pada baris dan kolom dari matriks pengujian... Peta prediksi penutupan/ penggunaan lahan pada tahun 2040 UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, khususnya Bappeda Provinsi Sumatera Selatan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan, Pemerintah Kabupaten Banyuasin, serta Gabungan Kelompok Tani Kabupaten Banyuasin yang telah memberikan bantuan baik data maupun dukungan selama survey lapangan. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, E. 1999. Konsep Dasar Markov Chain serta kemungkinan penerapannya di Bidang
Pertanian. Journal Informatika Pertanian, 8:499-505. ADB (Asian Development Bank). 1994. Climate Change in Asia: Indonesia. Regional Study on Global
Environmental Issues. Manila. Baja, S. 2012. Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah. Penerbit ANDI,
Yogyakarta. BPS (Badan Pusat Statistik). 2016. Produksi Padi Menurut Provinsi (ton), 1993-2015. Diakses dari
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/865 [11 Desember 2017]
BPS (Badan Pusat Statistik). 2017. Luas Lahan Sawah Menurut Provinsi (ha), 2003–2014. Diakses dari https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/895 [11 Desember 2017]
BPS (Badan Pusat Statistik). 2013. Sensus Pertanian 2013. Momentum Menuju Swasembada Pangan Demi Masa Depan Petani dan Masyarakat yang Lebih Baik. Diakses dari
http://sulteng.bps.go.id/index.php/beritaartikel/artikel/543-ab.html
Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air. 2008. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Rapat Koordinasi Penataan Ruang Pusat dan Daerah. Gorontalo.
Hidayat, S.I. 2008. Analisis Konversi Lahan Sawah di Provinsi Jawa Timur. J-SEP, 2(3):48-58. Hu D, Yang G, Wu Q, Li H, Liu X, Niu X, Wang Z, Wang Q. 2008. Analyzing land use changes in the
metropolitan jilin city of Northeastern China Using Remote Sensing and GIS. Sensors, 8:5449-
5465. Iqbal, M. 2007. Alih Fungsi Lahan Sawah dan Strategi Pengendaliannya di Provinsi Sumatera Selatan.
ICASEPS Working Paper No. 92. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 23(1):1-18.
Januarto, H. 2016. Algoritma Markov Chain untuk Pembentukan Gatra pada Gendhing Lancaran Slendro Pathet Manyura [Skripsi]. Universitas Dian Nuswantoro. Semarang.
Kelompok Kerja (Pokja) PTGL-EHKB Kabupaten Banyuasin, 2016. Perencanaan Tata Guna Lahan untuk
Mendukung Pembangunan Rendah Emisi di Kabupaten Banyuasin, Pangkalan Balai, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.
Kompas. 2012. Baru Dua Kabupaten di Sumsel Lindungi Lahan Pertanian.
http://regional.kompas.com/read/2012/12/05/2308057/Baru.Dua.Kabupaten.di.Sumsel.Lindungi.Lahan.Pertanian [diakses pada 19 Desember 2017]
Kubangun, S.H., O. Haridjaja, & K. Gandasasmita. 2016. Model Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan untuk Identifikasi Lahan Kritis di Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten
Sukabumi. Majalah Ilmiah Globë, 18(1):21-32. Munibah, K. 2008. Model Penggunaan lahan berkelanjutan di DAS Cidanau, Kabupaten Serang, Propinsi
Banten [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuasin No. 24 Tahun 2012 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
32
Prabowo, D.P., S. Bachri, & B.S. Wiwoho. 2017. Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan dan Pola
Berdasarkan Citra Landsat Multiwaktu dengan Land Change Modeler (LCM) Idrisi Selva 17 : Studi Kasus SubDAS Brantas Hulu. Jurnal Pendidikan Geografi, 22(1):32-47.
Ridwan, F., M. Ardiansyah, & K. Gandasasmita. 2017. Pemodelan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Dengan Pendekatan Artificial Neural Network Dan Logistic Regression (Studi Kasus: Das
Citarum, Jawa Barat). Buletin Tanah dan Lahan, 1 (1):30-36.
Rustiadi, E. & Wafda, R. 2008. Urgensi Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Abadi dalam Perspektif Ketahanan Pangan, dalam Arsyad Sinatala, Rustiadi Ernan. Penyelamatan Tanah Air dan
Lingkungan. Crestpen Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Santosa, S., E. Rustiadi, B. Mulyanto, K. Murtilaksono, Widiatmaka, & N.F. Rachman. 2014. Pemodelan
Penetapan Lahan Sawah Berkelanjutan Berbasis Regresi Logistik dan Evaluasi Lahan Multikriteria di Kabupaten Sukabumi. Majalah Ilmiah Globe, 16(2):181-190.
Wijaksono, R.R. & A.M. Navastara. 2012. Pengendalian Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian
Tanaman Pangan di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Untuk Mendukung Program Lumbung Pangan Nasional). Jurnal Teknik ITS, 1(1):C52-C57.
33
C. Peluang Pengembangan dan Karakteristik Usaha Tani Padi Sawah Rawa
Lebak, di Kabupaten Banyuasin
Ellen Suryanegara, Aninda W. Rudiastuti, Intan Pujawati, Munawaroh, Maslahatun Nashiha, Irmadi Nahib Badan Informasi Geospasial Email: ellen.suryanegara@big.go.id
ABSTRAK
Peranan lahan rawa lebak terhadap ketahanan pangan nasional, terutama pada sektor pertanian di
Indonesia masih cukup terbatas. Marginalisasi fungsi lahan rawa lebak ini berdampak pada tingginya
tingkat konversi lahan menjadi lahan sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), maupun lahan non pertanian lainnya. Padahal lahan rawa mempunyai potensi besar untuk dikembangkan menjadi salah
satu sentra produksi pertanian nasional. Berdasarkan hasil pemetaan Balitbang Pertanian, luas lahan rawa di seluruh Indonesia cukup besar, yakni sekitar 33,43 juta ha. Salah satu wilayah yang memiliki
potensi lahan rawa lebak cukup tinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan data BPS tahun 2015, Sumatera Selatan menyumbang sebesar 5,6% produksi beras nasional yaitu sebesar 4.247.922
ton. Hal ini menjadikan Sumatera Selatan sebagai sentra produksi beras urutan kelima terbesar di
Indonesia. Oleh karena itu kajian ini ingin menggambarkan peluang pengembangan serta memperoleh informasi yang lebih mendetail mengenai karakteristik usahatani padi sawah di lahan rawa lebak. Lokasi
penelitian adalah di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara (indepth interview) menggunakan pedoman wawancara terstuktur pada para
perwakilan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang memiliki lahan sawah rawa lebak. Data sekunder
berasal dari studi literatur dan data dari instansi terkait. Hasil penelitian menunjukan bahwa usahatani padi sawah di lahan rawa di Kabupaten Banyuasin cukup baik untuk dikembangkan lebih lanjut, memiliki
potensi pasar yang cukup luas, serta dapat meningkatkan produksi beras secara nasional. Berdasarkan analisis usaha tani produksi padi menguntungkan dan layak diusahakan. Hal ini terlihat dari nilai rasio
penerimaan terhadap biaya (R/C) rata-rata sebesar 3,65 dan B/C Ratio sebesar 2,65 dengan produksi
rata-rata 5-7 ton/ha/musim.
Kata kunci: usahatani, sawah lebak, analisa usaha
PENDAHULUAN
Laju pertambahan penduduk di Indonesia yang semakin meningkat dari tahun ke
tahun, mengakibatkan kebutuhan pangan yang semakin besar. Berdasarkan hasil Survei
Penduduk Antas Sensus (SUPAS) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, jumlah penduduk
Indonesia saat ini adalah sebanyak 255.182.144 jiwa dengan laju pertambahan penduduk di
Indonesia mencapai 1,38% per tahun. Artinya, penduduk Indonesia bertambah sekitar 3,5
juta jiwa setiap tahun. Tingginya laju pertumbuhan penduduk tersebut membutuhkan
penambahan produksi beras yang sangat tinggi, yakni sekitar 2 juta ton per tahun.
Sementara itu, berbagai penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim telah
berdampak pada penurunan produktivitas padi di berbagai wilayah sentra pangan. Selain itu,
tingginya konversi lahan irigasi ke non pertanian juga semakin menurunkan produksi padi di
berbagai daerah. Haryono (2013) menyebutkan bahwa telah terjadi perubahan tata guna
lahan sawah menjadi areal perkebunan karet dan kelapa sawit secara besar-besaran di Pulau
Sumatra dan Kalimantan. Konversi serupa juga terjadi di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara
dengan jenis peruntukan yang berbeda. Lahan sawah semakin menciut akibat beralihnya
fungsi menjadi kawasan permukiman, perkantoran, industri, jalan raya, dan lain-lain.
Kementerian Pertanian mencatat, saat ini laju konversi lahan sawah menjadi nonsawah di
34
Jawa mencapai 100.000 ha per tahun. Angka penyusutan ini tentu saja tidak sebanding
dengan penambahan lahan sawah yang baru. Sementara itu pencetakan lahan sawah baru
oleh pemerintah hanya sekitar 37.000 - 45.000 hektar per tahun, padahal Pulau Jawa
merupakan wilayah produksi beras terbesar di Indonesia.
Hal ini menuntut alternatif lahan yang potensial untuk dikembangkan, salah satunya
adalah lahan rawa, terutama rawa lebak yang tersebar di beberapa pulau besar di Indonesia.
Menurut Muhammad Noor dalam bukunya Lahan Rawa (2004), rawa adalah kawasan
sepanjang pantai, aliran sungai, danau, atau lebak yang menjorok masuk (intake) ke
pedalaman sampai sekitar 100 km atau sejauh dirasakannya pengaruh gerakan pasang. Jadi,
lahan rawa dapat dikatakan sebagai lahan yang mendapat pengaruh pasang surut air laut
atau sungai di sekitarnya. Di Indonesia telah disepakai istilah rawa dalam dua pengertian,
yakni rawa pasang surut dan rawa lebak. Rawa pasang surut diartikan sebagai daerah rawa
yang mendapatkan pengaruh langsung atau tidak langsung oleh ayunan pasang surut air laut
atau sungai di sekitarnya. Sedangkan rawa lebak adalah daerah rawa yang mengalami
genangan selama lebih dari tiga bulan dengan tinggi genangan terendah 25 – 50 cm (Haryono,
2013).
Potensi lahan rawa (lahan sub optimal) yang banyak tersebar di Pulau Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan jumlah tambahan
produksi beras nasional. Saat ini, peranan lahan rawa lebak terhadap ketahanan pangan
nasional, terutama pada sektor pertanian di Indonesia dapat dikatakan masih cukup terbatas.
Kontribusi pertanian di lahan rawa terhadap produksi nasional masih rendah. Kementerian
Pertanian (2009) mencatat, dari total produksi nasional sebesar 62,56 juta ton gabah kering
panen (GKP), kontribusi dari lahan rawa hanya mencapai 1-1,5%. Artinya, produksi gabah
dari lahan rawa sekitar 600.000-700.000 ton per tahun. Marginalisasi fungsi lahan rawa lebak
ini berdampak pada tingginya tingkat konversi lahan menjadi lahan sawit, Hutan Tanaman
Industri (HTI), maupun lahan non pertanian lainnya. Padahal lahan rawa mempunyai potensi
besar untuk dikembangkan menjadi salah satu sentra produksi pertanian nasional.
Lahan rawa lebak merupakan salah satu sumber daya alam potensial untuk
pembangunan pertanian di masa kini dan masa akan datang. Usaha pemanfaatan lahan ini
sesungguhnya bukan hal yang baru, namun telah berlangsung cukup lama. Ekstensifikasi atau
pembukaan lahan rawa pertama kali dilakukan di daerah aliran Sungai Pawan, Kalimantan
Barat pada abad ke-13, jauh sebelum kolonial Belanda menguasai Tanah Air. Kini, seluas
sekitar 3,8 juta ha lahan rawa (gambut, pasang surut, dan lebak) telah dibuka untuk kegiatan
pertanian. Tak ada catatan yang pasti kapan persisnya pembukaan lahan rawa untuk kegiatan
pertanian di Indonesia dimulai. Bahkan berdasarkan catatan Muhammad Noor dan Jumber
(2007), ekstensifikasi lahan rawa untuk pertanian telah dibuka semasa Kerajaan Majapahit
pada abad ke-13.
Berdasarkan hasil pemetaan Balitbang Pertanian, luas lahan rawa di seluruh Indonesia
cukup besar, yakni sekitar 33,43 juta ha. Salah satu wilayah yang memiliki potensi lahan rawa
lebak cukup tinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan. Lahan rawa lebak merupakan lahan
marjinal yang mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan di Sumatera Selatan,
tetapi baru sebagian kecil yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Di Sumatera Selatan
35
potensi pengembangan cukup luas mencapai 2,98 juta ha namun yang sudah dimanfaatkan
untuk tanaman padi baru seluas 0,37 juta ha, yang terdiri dari 0,07 juta ha lebak dangkal;
0,13 juta ha lebak tengahan, dan 0,17 juta ha lebak dalam.
Berdasarkan data BPS tahun 2015, Sumatera Selatan menyumbang sebesar 5,6%
produksi beras nasional yaitu sebesar 4.247.922 ton. Hal ini menjadikan Sumatera Selatan
sebagai sentra produksi beras urutan kelima terbesar di Indonesia. Selain itu, Kementrian
Pertanian RI telah memutuskan dan memilih Kabupaten Banyuasin sebagai daerah penyangga
lumbung pangan nasional. Kabupaten Banyuasin juga dipilih Kementerian Pertanian menjadi
salah satu lokasi panen raya yang digelar serentak di Indonesia pada tahun 2016.
Kabupaten Banyuasin memiliki total lahan sawah seluas 226.518 Ha, luas lahan sawah
ini terdiri dari lahan pasang surut seluas 184.701 Ha dan sawah lebak seluas 41.817 Ha. Luas
lahan sawah pasang surut terbesar terdapat di Kecamatan Muara Sugihan yaitu 27.400 Ha.
Sawah lebak berada di Kecamatan Rantau Bayur, Banyuasin III, Betung, Suak Tapeh,
Banyuasin I dan Rambutan (www.simbangda.banyuasinkab.go.id). Pada tahun 2015, tercatat
bahwa luas rawa lebak yang ada di Banyuasin adalah 14.635, lahan tersebut masih berpeluang
untuk ditingkatkan lebih lanjut. Tulisan ini membahas peluang peningkatan produksi padi di
lahan rawa lebak di Banyuasin. Oleh karena itu kajian ini ingin menggambarkan potensi dan
peluang pengembangan pertanian rawa lebak di Kecamatan Rambutan, Kabupaten
Banyuasin, serta bagaimana kesesuaiannya dengan peruntukan lahan berdasarkan Peraturan
Daerah terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin. Selain itu dilihat
juga informasi yang lebih mendetail mengenai karakteristik usahatani padi sawah di lahan
rawa lebak.
METODE PENELITIAN
Pada dasarnya dengan adanya metodologi sebuah pengetahuan akan menjadi sesuatu
yang scientific (ilmiah), baik itu pengetahuan sosial maupun pengetahuan alam (Neuman,
2004). Berdasarkan teknik pengumpulan datanya, penelitian ini termasuk penelitian dengan
menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif. Penentuan lokasi dilakukan secara secara
sengaja (purposive sampling). Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Banyuasin, Sumatera
Selatan. Kriteria lokasi yang dijadikan studi kasus berdasarkan bahwa Kabupaten Banyuasin,
khususnya di Kecamatan Rambutan merupakan salah satu wilayah yang memiliki lahan rawa
lebak yang cukup besar dan sebagian besar belum dimanfaatkan secara maksimal.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara (indepth interview) menggunakan
pedoman wawancara terstuktur pada para perwakilan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)
yang memiliki lahan sawah rawa lebak di Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin. Data
sekunder berasal dari studi literatur dan data dari instansi terkait.
(Tambah Metode Analisis Spasial)
Penelitian ini merupakan descriptive research. Menurut Neuman, descriptive research
berusaha memberikan deskripsi untuk kemudian muncul penjelasan alasan suatu gejala sosial
muncul (Neuman, 2004). Penelitian ini mencoba memberikan deskripsi mengenai potensi dan
peluang pengembangan pertanian rawa lebak di Kecamatan Rambutan serta karakteristik
36
usahatani padi sawah di lahan rawa lebak dengan analisis sosial ekonomi menggunakan
perhitungan B/C Ratio (Benefit Cost Ratio) dan R/C Ratio (Revenue Cost Ratio).
Jika B/C ratio > 1 maka usaha layak dilaksanakan
Jika B/C ratio < 1 maka usaha tidak layak
Jika nilai R/C > 1 maka usaha efisien/menguntungkan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Lahan Pertanian Rawa Lebak di Kabupaten Banyuasin
Kabupaten Banyuasin secara geografis mempunyai letak yang strategis yaitu terletak
di jalur lintas antar provinsi juga mempunyai sumberdaya alam melimpah. Kabupaten
Banyuasin mempunyai wilayah seluas 11.832,69 km2 dan trebagi menjadi 19 kecamatan.
Kabupaten Banyuasin memiliki topografi 80% wilayah datar berupa lahan rawa pasang surut
dan rawa lebak, sedangkan yang 20% lagi berombak sampai bergelombang berupa lahan
kering dengan sebaran ketinggian 0-40 meter di atas permukaan laut.
B/C ratio = Jumlah Pendapatan (B) / Total Biaya Produksi (TC)
R/C ratio = Total Penerimaan (R) / Total Biaya Produksi (TC)
37
Lahan rawa lebak terdapat di Kecamatan Rantaubayur, sebagian Kecamatan
Rambutan, sebagian kecil di Kecamatan banyuasin I. Sedangkan lahan kering dengan
topografi agak bergelombang terdapat di sebagian besar Kecamatan Betung, Banyuasin III,
Talang Kelapa dan sebagian kecil Kecamatan. Beberapa sungai besar seperti Sungai Musi,
Sungai Banyuasin, Sungai Calik, Sungai Telang, Sungai Upang dan yang lainnya berperan
sebagai sarana transportasi air di sepanjang garis pantai lebih dari 150 km. Pola aliran air di
wilayah ini terutama di daerah rawa-rawa dan pasang surut umumnya rectangular Rambutan
(BPS Banyuasin, 2017).
(Tambah Peta Eksisting dan Potensi Rawa Lebak)
Luas Lahan Sawah Rawa Lebak Kabupaten Banyuasin Tahun 2015
No. KECAMATAN
REALISASI DALAM SATU TAHUN
JUMLAH Ditanami Padi Tidak ditanami padi
Satu kali Dua kali Ditanami tanaman lainnya
Tidak ditanami apapun
1 Rantau Bayur 10,244 8,386 235 135 19
2 Betung 160 0 172 50 382
3 Suak Tapeh 395 0 0 0 395
4 Pulau Rimau 0 0 0 0 0
5 Tungkal Ilir 0 0 0 0 0
6 Banyuasin III 1,4 0 500 985 2,885
7 Sembawa 0 0 0 0 0
8 Talang Kelapa 0 0 0 0 0
9 Tanjung Lago 0 0 0 0 0
10 Banyuasin I 2,38 585 1,21 345 4,52
11 Air Kumbang 0 0 0 0 0
12 Rambutan 7,084 1,01 0 6,541 14,635
13 Muara Padang 0 0 0 0 0
14 Muara Sugihan 0 0 0 0 0
15 Makarti Jaya 0 0 0 0 0
16 Air Salek 0 0 0 0 0
17 Banyuasin II 0 0 0 0 0
18 Muara Telang 0 0 0 0 0
19 Sumber Marga Telang 0 0 0 0 0
JUMLAH
21,663 9,981 2,117 8,056 41,817
Penggunaan Lahan Sawah di Kabupaten Banyuasin Tahun 2015
Penggunaan Lahan
Realisasi Dalam Satu Tahun
Jumlah Ditanami Padi Tidak ditanami padi
Satu kali Dua kali ≥ Tiga kali Ditanami tanaman lainnya
Tidak ditanami apapun
Lahan Sawah a. Irigasi 0 0 0 0 0 0
b. Tadah hujan 0 0 0 0 0 0
c. Rawa pasang surut 86,79 79,527 0 13,479 4,905 184,701
d. Rawa lebak 21,663 9,981 0 2,117 8,056 41,817
Jumlah Lahan Sawah 108,453 89,508 0 15,596 12,961 226,518
(Tambah Analisis kesesuaian dengan RTRW)
Tidak semua jenis lahan rawa cocok digunakan untuk kegiatan budidaya pertanian.
Bagi lahan rawa yang masih berselimutkan hutan primer, hutan sekunder dan hutan gambut
38
tidak perlu di konversi dikarenakan di ekosistem lahan rawa tersebut menyimpan
keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi. Lahan rawa yang akan dikonversi menjadi
kawasan pertanian diprioritaskan pada lahan rawa yang ditumbuhi semak belukar yang secara
ekologi cocok untuk kegiatan budidaya pertanian.
Karakteristik Pertanian Rawa Lebak di Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan
Berdasarkan Kecamatan Rambutan dalam Angka tahun 2017 diketahui bahwa jumlah
penduduk yang berprofesi sebagai petani/peternak adalah sebanyak 25.961 orang. Khusus di
Desa Gelebak Dalam penduduk dengan profesi sebagai petani/pekebun adalah sebanyak
1.428 orang. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa rata-rata tenaga kerja yang
terlibat dalam proses produksi di lahan sawah rawa lebak di Desa Gelebak Dalam berkisar dari
3-20 orang.
Keputusan petani dalam menentukan cara pembiayaan dan pengelolaan usahataninya
dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi petani, yaitu umur, tingkat pendidikan,
pengalaman atau lamanya petani melakukan usahatani, luas lahan, dan jumlah tanggungan
keluarga (Sinaga, 2009). Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa rata-rata petani rawa
lebak di Desa Gelebak Dalam telah memiliki pengalaman usaha di bidang pertanian sekitar 20
hingga 40 tahun. Diketahui pula bahwa selain menjadi petani padi, rata-rata memiliki
pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan, petani karet, dan berdagang.
Sumber modal usaha rata-rata berasal dari modal pribadi serta pinjaman dari pemilik
modal (pabrik penggilingan, pemilik kios sarana produksi pertanian/kios saprotan, atau dari
petani lainnya). Modal tersebut dipergunakan untuk biaya pembelian input produksi,
pengolahan lahan, maupun biaya tenaga kerja. Afriyatna (2014) dalam penelitiannya
menyatakan apabila tidak memiliki cukup modal untuk memulai kegiatan usahataninya,
sebagian petani membeli input produksi dengan menggunakan sistem yarnen, atau dibayar
sesudah panen. Mereka meminjam uang kepada penyedia dana dan membayarnya sesudah
menerima hasil panen. Pembayaran input produksi sesudah panen dilakukan sesuai harga
yang disepakati kedua belah pihak. Modal/input produksi yang dipinjam oleh petani tidak
dikembalikan dalam bentuk uang, melainkan dalam bentuk gabah kering panen sebanyak 1:8
hingga 1:10 dari panen yang dihasilkan.
Pengembangan sistem usahatani di lahan rawa lebak juga dihadapkan pada masalah
modal usaha, rendahnya tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti petani, belum berdiri
dan atau berfungsinya lembaga-lembaga pedesaan yang mendukung bagi pengembangan
sistem usahatani seperti KUD dan kios-kios sarana produksi serta aktivitas pengelolaan
usahatani masih dilakukan sendiri-sendiri. Rata-rata penguasaan lahan oleh masing-masing
petani adalah 1-2 hektar dan merupakan lahan yang diwariskan secara turun-temurun. Rawa
lebak yang ada di Desa Gelebak Dalam dibedakan menjadi 3 kategori yaitu: Lebak Dalam,
Lebak Tengahan dan Lebak Dangkal. Lebak dangkal dicirikan oleh kedalaman genangan air <
50 cm selama < 3 bulan. Waktu tanam padi bulan Maret-April. Lebak tengahan dicirikan oleh
39
kedalaman genangan air antara 50-100 cm selama < 6 bulan dengan waktu tanam padi Mei-
Juni. Sedangkan lebak dalam dicirikan oleh kedalaman air > 1 meter selama < 6 bulan dengan
waktu tanam padi Juli-Agustus. Usahatani padi di lahan lebak, terutama lebak dalam, hanya
dilakukan satu kali musim tanam dalam setahun.
Lahan sawah lebak dalam di Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan
Hal yang unik dari usaha pertanian di lahan rawa lebak yaitu adalah dilakukannya
persemaian terapung atau dengan bahasa lokal disebut sebagai jambangan. Persemaian
terapung dilakukan dengan membuat rakit dari bambu atau batang pisang yang disusun dan
diberi hamparan tanah atau lumpur. Rakit berukuran masing-masing 1x2 m2 dan ditempatkan
di atas permukaan air.
Rata-rata produksi padi di lahan rawa lebak adalan 5-7 ton gabah per hektar. Kegiatan
usahatani di lahan rawa lebak pada daerah ini sudah memanfaatkan kemajuan teknologi,
diantaranya penggunaan handtractor dalam pengolahan lahan agar menjadi lahan siap tanam
serta penggunaan Mesin Combine Harvester untuk memanen padi. Lahan rawa lebak perlu
dibantu dengan penggunaan teknologi karena topografi lahan rawa lebak yang tidak merata
perlu dibantu traktor untuk meratakan tanah akibat pengaruh aliran air sungai. Alat-alat
teknologi pertanian tersebut biasanya disewa oleh para petani agar dapat melakukan kegiatan
usahatani dengan lebih efisien dan produktif.
Mesin Combine Harvester yang digunakan untuk memanen
padi di lahan rawa lebak Desa Gelebak Dalam
40
Analisa Kelayakan Usaha Petani Rawa Lebak di Desa Gelebak Dalam
Usaha produksi pertanian, seperti layaknya usaha lainnya dalam pelaksanaannya
untuk menghasilkan produksi, pendapatan dan keuntungan, diperlukan biaya. Biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk usaha pertanian rawa lebak disebut sebagai biaya produksi. Biaya
produksi adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani mulai dari persiapan lahan sampai dengan
pemanenan. Biaya tetap (Fix cost) adalah biaya yang tidak habis pakai yang dikeluarkan petani
untuk satu kali musim tanam. Biaya variabel/tidak tetap (Variable Cost). adalah biaya yang
harus dikeluarkan petani selama satu musim tanam yang besarnya senantiasa berubah-ubah
sesuai dengan skala produksi. Biaya tetap diantaranya adalah biaya pembelian lahan,
pembangunan gubuk/rumah Jaga, alat-alat pertanian), biaya operasional terdiri dari
pembelian bibit, pupuk, obat rumput dan hama upah tenaga kerja, dan BBM, serta biaya tetap
yaitu pajak lahan dan retribusi lahan. Penggunaan input produksi yang berkualitas akan
berpengaruh terhadap keberhasilan usahatani.
Pendapatan dalam melakukan suatu usaha, adalah tujuan utama bagi pelaku usaha,
agar usaha yang dijalankan terus dapat berkembang dan maju. Pendapatan yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah pendapatan bersih usahatani, yaitu selisih antara penerimaan
dengan total biaya produksi yang dikeluarkan selama kegiatan usahatani berlangsung.
Pendapatan yang diterima petani bergantung pada besarnya penerimaan dan biaya yang
dikeluarkan. Oleh karena itu bagi pelaku usaha penerapan prinsip ekonomi dalam
menjalankan usahanya harus dijalankan. Pengertian prinsip ekonomi dalam menjalankan
usaha adalah bagaimana cara menjalankan usaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-
besarnya dengan biaya yang dikeluarkan sekecil-kecilnya. Untuk itu agar usaha pertanian
terus dapat berkembang dan maju, maka perlu penerapan prinsip-prinsip ekonomi bagi para
pelaku usaha serta penting untuk mengalalisa kelayakan usahanya agar dapat dikembangkan
lebih lanjut.
Analisa kelayakan usaha petani rawa lebak di Desa Gelebak Dalam menggunakan
perhitungan B/C Ratio (Benefit Cost Ratio) dan R/C Ratio (Revenue Cost Ratio). Hasil
penelitian menunjukan bahwa usahatani padi sawah di lahan rawa di Kabupaten Banyuasin
cukup baik untuk dikembangkan lebih lanjut, memiliki potensi pasar yang cukup luas, serta
dapat meningkatkan produksi beras secara nasional. Berdasarkan analisis usaha tani produksi
padi menguntungkan dan layak diusahakan. Hal ini terlihat dari perhitungan nilai rasio
penerimaan terhadap biaya (R/C) dan B/C Ratio pada tabel berikut berdasarkan nilai rata-rata
dari hasil survey dan wawancara terhadap petani di lapangan.
Tabel Struktur Biaya Analisa Usaha Pertanian Rawa Lebak di Desa Gelebak Dalam
No Investasi Sat Vol Umur
Ekonomis (thn)
Harga Satuan (Rp) Biaya/ Tahun (Rp)
a. Lahan Unit Warisan turun-temurun -
b. Gubuk/Rumah Jaga Unit 1 20 2.000.000 100.000
c. Cangkul Unit 2 4 135.000 67.500
d. Parang Unit 2 2 35.000 35.000
e. Alat Tunjam (Untuk
Tanam) Unit 2 4 70.000 35.000
f. Sabit/Arit Unit 2 3 25.000 16.667
g. Alat Semprot Aki Unit 1 10 750.000 75.000
41
No Investasi Sat Vol
Umur
Ekonomis (thn)
Harga Satuan (Rp) Biaya/ Tahun (Rp)
h. Alat Semprot manual Unit 2 10 200.000 40.000
Total Biaya Investasi/Tahun 369.167
No Biaya Operasional Sat Vol Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
a. Bibit kg 50 7.500 375.000
b. Pupuk Urea kg 130 2.000 260.000
c. Pupuk SP-36/TSP kg 125 2.100 262.500
d. Pupuk NPK Phonska kg 100 2.500 250.000
e. Obat rumput (DMA) liter 2 35.000 70.000
f. Obat hama liter 2 35.000 70.000
g. Obat-obatan lain liter 2 77.000 154.000
h. Upah Pengolahan Lahan
ha 1 350.000 350.000
i. Upah Membuat Jambangan
Orang 2 80.000 160.000
j. Upah Menyemai Orang 3 50.000 150.000
k. Upah Tanam Orang 10 150.000 1.500.000
l. Upah Semprot Orang 2 120.000 240.000
m. Upah Menggiling Padi
kg 2196 500 1.098.000
n. Solar liter 10 8.000 80.000
Total Biaya Operasional/Tahun 5.019.500
No Biaya Tetap Sat Vol Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
a. Pajak lahan Ha/Tahun 1 30.000 30.000
b. Retribusi - - - -
Total Biaya Tetap/Tahun 30.000
No Penerimaan Sat Vol Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
a. Konsumsi Pribadi kg 1000 - -
b. Gabah Kg 833 4.000 3.332.000
c. Padi Giling Kg 2.196 7.500 16.469.250
Total Penerimaan/Tahun (Rp) 19.801.250 TOTAL BIAYA (Rp) 5.418.667 TOTAL PENDAPATAN (Rp) 14.382.583 R/C RATIO 3,65 B/C RATIO 2,65
Berdasarkan perhitungan di atas, terlihat bahwa nilai rasio penerimaan terhadap biaya
(R/C) rata-rata sebesar 3,65 dan B/C Ratio sebesar 2,65 dengan produksi rata-rata 5-7
ton/ha/musim. Hal ini berarti bahwa usaha pertanian rawa lebak di Desa Gelebak Dalam layak
dilaksanakan serta usaha tersebut juga terhitung efisien/menguntungkan. Nilai R/C ratio
menunjukan bahwa setiap penambahan biaya sebesar Rp.1000,- maka akan diperoleh
tambahan penerimaan sebesar Rp.3.650,-. Dengan demikian, pada usaha budidaya tersebut
bisa dikatakan sangat layak untuk diusahakan dan dikembangkan lebih lanjut.
DRAFT KESIMPULAN
Pemahaman tentang pengelolaan dan pengembangan lahan rawa sebagai lahan pertanian
yang baik dirasakan perlu untuk disebarluaskan pada lokasi potensial lainnya yang sesuai
mengingat terdapat kurang lebih 150 kabupaten/kota rawa di Indonesia
42
DAFTAR PUSTAKA
Afriyatna, Sisvaberti. 2014. Analisis Pendapatan Pada Usahatani Padi Sawah Lebak dengan Sistem Yarnen dan Tunai di Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin. Jurnal Societa Vol. III - 2: 64
– 68, Desember 2014.
Aryani, Desi, Oktarina, Selly, dan Henny Malini. 2014 Pola Usahatani, Pendapatan dan Ketahanan
Pangan Rumah Tangga Petani Padi Lahan Rawa Lebak di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 . Hal 462-471
Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyuasin. 2017. Kabupaten Banyuasin dalam Angka Tahun 2017.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyuasin. 2017. Kecamatan Rambutan dalam Angka Tahun 2017.
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Banyuasin. 2015. Luas Lahan Sawah Kabupaten Banyuasin
Tahun 2015. Diakses dari laman http://simbangda.banyuasinkab.go.id/pages/distanak/ pada tanggal 8 November 2017
Haryono. 2013. Lahan Rawa: Lumbung Pangan Masa Depan Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian
Rini Andriani. Inovasi Pertanian Di Lahan Rawa. Diakses dari laman
http://nad.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/info-teknologi/779-inovasi-pertanian-di-lahan-rawa pada 19 September 2017
Suyamto, dkk. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu/PTT Padi Lahan Rawa Lebak, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Tahun 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Waluyo dan Suparwoto. 2014. Karakteristik dan Masalah Sistem Produksi Usahatani Padi Secara Tradisional Lahan Rawa Lebak di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Prosiding Seminar
Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Lampung.
Recommended