View
14
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014
(UU-JPH)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
ALFIDA MIFTAH FARHANAH
11150490000096
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2019 M
v
ABSTRAK
Alfida Miftah Farhana, NIM 11150490000096 “Kewenangan BPJPH
dan MUI dalam Sertifikasi Halal berdasarkan Undang-undang Nomor 33
Tahun 2014 (UU-JPH)”. Skripsi, Program Studi Hukum Ekonomi Syariah,
Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta 1441 H/ 2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan perubahan kewenangan BPJPH
dan MUI dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal sebelum dan sesudahnya
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. dan
efektifitas sertifikasi halal yang dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 33
Tahun 2014 ketika saatnya tiba bahwa Undang-undang ini akan sepenuhnya
dilaksanakan pada 17 Oktober 2019.
Metode yang digunakan adalah jenis penelitian yuridis normatif dan
library reaserch dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-
undangan, buku-buku, jurnal, dan kitab-kitab yang berkaitan dengan skrispi.
Teknik pengumpulan data melalui dokumentasi dan wawancara. Data yang
terkumpul diolah serta dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan melakukan
wawancara kepada pihak terkait dan menggunakan buku, jurnal dan hasil
penelitian sebelumnya.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa (1) Menunjukan perubahan
kewenangan bahwa pengaturan kewenangan penerbitan sertifikat jaminan produk
halal setelah dibentuk BPJPH pengajuan sertifikat jaminan produk halal diajukan
ke BPJPH yang sebelumnya di ajukan ke MUI, Penelitian menunjukan bahwa
mekanisme yang akan dijalani oleh pelaku usaha baik produk makanan lokal
maupun impor untuk mendapatkan sertifikat halal diawali dengan pengajuan
Sertifikat Halal kepada BPJPH. (2) Hasil dari makalah ini menunjukkan bahwa
UU Jaminan Produk Halal memiliki banyak masalah sebelum diterapkan
sepenuhnya pada Oktober 2019. Pertama, struktur Undang-undang ini tidak siap
untuk menjalani sistem proses halal. Kedua, substansi Undang-undang Jaminan
Produk Halal itu memberatkan dan agak membebani dan tidak lengkap karena ada
banyak peraturan pendukung yang belum disahkan.
Kata kunci : Kewenangan, BPJPH, MUI, Sertifikasi Halal
Pembimbing : Mu’min Roup, M.A
Dr. Alimin, M.Ag
Daftar Pustaka : 1999 s.d 2016
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbal‘alamiin puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat serta taufik hidayahnya sehingga penyusun bisa
menyelesaikan tugas akhir dalam menempuh studi di Jurusan Hukum Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, yang telah menyampaikan risahlahnya kepada umat manusia
di seluruh dunia dari zaman kebodohan hingga zaman modern seperti sekarang
ini, pendobrak revolusi dalam peradaban sosial kehidupan kita yang kita harapkan
syafaatnya kelak di akhirat.
Selanjutnya dalam proses penyusunan skripsi ini, penyusun tidak berdiri
sendiri. Dalam arti, penyusun banyak mendapatkan kontribusi dari pihak-pihak
lain. Untuk itu, penyusun menghaturkan ribuan terima kasih kepada:
1. Allah SWT dan Rasul Nya yang selalu memberikan nikmat dan hidayah-
Nya kepada seluruh hamba nya, serta menjadi tauladan bagi ummat Nya.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH., M.A., M.H. selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak AM. Hasan Ali, M.A., dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku
Kepala Jurusan dan Sekretaris Jurusan Hukum Ekonomi Syariah yang
telah membantu banyak hal kepada penulis.
4. Bapak Mu’min Roup, M.A. dan Dr. Alimin selaku Dosen pembimbing
dalam penyusunan skripsi ini, yang telah memberikan banyak masukan
dan arahan kepada penulis, serta Ikhlas meluangkan waktunya untuk
membimbing serta memberikan arahan dan masukan yang bersifat
vii
membangun kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Semoga apa
yang telah diberikan dapat bermanfaat dan mendapat ganjaran dari Allah
SWT, aamiin yaa rabbal’alamiin.
5. Pimpinan, Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan Fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi
kepustakaan.
6. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, para Guru, Asatidz wal
Asatidzah yang tidak bias saya sebutkan satu persatu, namun tidak
mengurangi rasa hormat penulis kepada beliau-beliau selaku pendidik
kami yang telah mendidik penulis baik secara langsung atau tidak,
terimakasih telah membantu pemahaman penulis selama study.
7. Bapak Aminudin Yakub selaku Anggota Komisi Fatwa MUI yang telah
meluangkan waktu serta memberi kemudahan penulis untuk melakukan
Tugas Akhir ini.
8. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis, ayahanda Wawan Gunawan
dan Ibunda Siti Maqbulah beserta Kaka tercinta Arini Dini Farhanah dan
kedua adik ku tercinta (Aliza Maulida Farhanah dan Ahmad Alfarizi
Farhan), serta saudara dan semua keluarga besar penulis Di Bekasi,
terima kasih atas Do’a dan dukungan serta motivasi nya yang baik secara
moril maupun materil. Dengan Do’a yang kalian panjatkan akhirnya
penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik.
9. Kepada sahabat-sahabat perjuanganku Ukhti Ahsanti Salsabila, Rizki
Amalia, Adinda Fajri Aulia, Dhea Surya Adhi Putri, Rifka Anistiani dan
Syafira Zein yang telah memberikan support kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
viii
10. Kepada Naylul, Zibon, Adul, Tia, Gojin dan kepada Hasbialloh yang
selalu menghibur dan memberi semangat serta do’a yang tak pernah
bosan kepada penulis.
11. Kepada Maya, Sari, Fira, Lili dan juwita dan koprs Berkah yang selalu
menghibur dan memberi semangat serta do’a yang tak pernah bosan
kepada penulis.
12. Kepada teman-teman Jurusan Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2015,
terimakasih atas bantuan, doa serta dukungan untuk penulis, terimakasih
atas kebersamaan dan waktu yang telah kita alami bersama selama di
bangku perkuliahan, semoga di masa yang akan datang kita dapat meraih
apa yang kita harapkan.
13. Kepada teman-teman KKN INFINITY 2015 khususnya Suci Gusrianti
Hasani, Raghda Na’im, Zhia Aulia Nazafi, Boim, Ali Indra dan Adit
yang telah memberikan support dan berbagi cerita serta kesan-kesan
selama melaksanakan KKN di Gunung Mulya.
14. Kanda-kanda dan Yunda-yunda seluruh anggota organisasi penulis yaitu
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat Fakultas Syari’ah dan
Hukum yang telah mengenalkan arti dari pentingnya berproses di sebuah
organsisasi serta mengajarkan penulis untuk selalu menjadi Insan yang
Akademis.
15. Kepada Abang Mpok Forum Komunikasi Mahasiswa Attaqwa (FKMA)
Jakarta Raya. Terimakasih telah memberi semangat kepada penulis
dalam menyelesaikan tulisan ini dari kalian saya belajar arti
kekeluargaan. Semoga Allah mengizinkan semua mimpi-mimpi kita
menjadi nyata, dan semoga kita dipertemukan di mana tempat dan
suasananya yang berbeda, Aamiin yaa rabbal’alamiin.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang
telah membantu menyelesaikan skripsi ini dengan melimpahkan rahmat dan
ix
karunia-Nya. Semoga karya penelitian tugas akhir ini dapat memberikan manfaat
dan kebaikan bagi banyak pihak demi kemaslahatan bersama serta bernilai ibadah
di hadapan Allah SWT. Aamiin.
Billahi Taufiq Wal Hidayah...
Jakarta, November 2019
Alfida Miftah Farhana
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii
PENGESAHAN PENGUJI ................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 6
C. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................................... 7
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ........................................ 8
E. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................... 9
F. Metode Penelitian............................................................................. 11
G. Sitematika Penulisan ........................................................................ 17
H. Kerangkat Teori ............................................................................... 18
I. Kerangka Konseptual ....................................................................... 19
BAB II KAJIAN TEORI
A. Penjelasan Kewenangan ................................................................... 20
B. Sertifikasi Halal ................................................................................ 24
BAB III TINJAUAN UMUM PROFIL LEMBAGA40
A. Gambaran Umum Tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH) ................................................................... 39
B. Gambaran Umum Tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI) .......... 45
C. Sertifikasi Halal di Indonesia ........................................................... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN54
A. Analisis Kewenangan BPJPH dan MUI dalam Sertifikasi Halal
berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 ...................... 53
xi
B. Analisis Efektifitas Penerapan Sertifikasi Halal setelah
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 ...................... 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 77
B. Saran ................................................................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 79
LAMPIRAN
xii
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1.1 Daftar Nama Sebagai Sumber Data Wawancara ...................... 15
2. Gambar 2.1 Skema Fungsi Pemerintah ........................................................ 23
3. Gambar 3.1 Struktur BPJPH ........................................................................ 43
4. Gambar 3.2 Lembaga-lembaga Sertifikasi Halal ......................................... 49
5. Gambar 4.1 Tabel Perubahan BPJPH .......................................................... 57
6. Gambar 4.2 Tabel Perubahan MUI .............................................................. 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan, manusia membutuhkan makanan sehari-harinya.
Mereka membutuhkan makanan untuk kebutuhan dan kesehatan jasmani
serta rohaninya. Sejak dulu ummat dan bangsa-bangsa ini berbeda-beda
dalam persoalan makanan dan minuman, apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh.1 Dalam memilih makanan yang baik, hendaknya sebagai
ummat muslim memilih makanan yang sehat menurut Islam. Dalam
ajaran Islam banyak peraturan yang berkaitan dengan “makanan”, dari
mulai mengatur makanan yang halal dan haram, etika makanan, sampai
mengatur identitas dan kuantitas di dalam perut.2
Halal dan haram merupakan hal yang paling penting dalam syariat
Islam, karena merupakan bagian substansi dari hukum Islam. Perintah
mengkonsumsi makanan halal dalam Al-Qur’an menjadi dasar bagi
setiap muslim untuk memperhatikan dan memilih dalam mengkonsumsi
makanan halal saja. Sebagaimana firman Allah SWT;
كنتم إياه ت عبدون يا أي ها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزق ناكم واشكروا للو إن
Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa
yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah
kepada Allah yang kamu beriman kepadanya” (QS Al-
Baqarah: 172).3
Ayat tersebut memberikan perintah yang jelas untuk memilih
makanan dengan kriteria yang halal dan thoyyib. Kehalalan suatu
makanan minimal dapat di nilai dari beberapa aspek, yaitu: pertama,
halal dalam cara memperolehnya, yaitu diperoleh dari rezeki yang halal
1 Yusuf Qaradhawi, “Halal dan Haram” (Jakarta: Rabbani Pers, 2002), hal. 45
2 M. Ade Setiawan Putra, konsentrasi perbandingan hukum, fakultas syariah dan hukum,
2015. “Kewenangan LPPOM MUI Dalam penentuan Sertifikasi Halal Pasca Berlakunya UU
No. 33 Tahun 2014”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015). h. 2 3 QS. Al-Baqarah ayat : 172
2
dan dibenarkan dalam Syariat Islam. Kedua, halal zat atau bahan
dasarnya. Pada dasarnya seluruh yang ada di alam ini halal untuk
dikonsumsi kecuali beberapa jenis hewan dan tumbuhan yang
diharamkan dalam Al-Qur’an, yaitu: bangkai, darah, daging babi,
sembelih atas nama selain Allah, dan hewan yang tercekik, yang dipukul,
yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas kecuali yang
sempet disembelih.
Dan jenis nabati yang diharamkan adalah khamr. Ketiga, halal
dalam proses pengolahan. Dalam proses pengolahannya tidak bercampur
dengan benda atau hewan yang diharamkan. Bahan baku, bahan
tambahan, dan bahan penolong harus halal yang diproses secara higienis
dan memenuhi prosedur pembuatan makanan yang baik, serta produksi
harus terjamin halal secara shar’i. Keempat, halal proses pengemasan.
Makanan harus dikemas dengan bahan halal dan higienis. Proses
penyimpanan harus mengikuti standar shar’i.4
Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi terbesar di
dunia dan lebih dari 87% penduduknya adalah ummat muslim. Dengan
demikian, Indonesia menjadi negara dengan populasi ummat muslim
terbesar dalam hal menganut Islam. Isu makanan halal menjadi isu yang
sensitif bagi masyarakat. Selain itu, Indonesia juga merupakan pasar
konsumen muslim yang sangat potensial. Pemerintah memiliki tanggung
jawab besar melindungi masyarakat serta keseluruhan, terutama
konsumen atas kehalalan produk-produk yang beredar dan dipasarkan.
Mengonsumsi makanan halal merupakan kewajiban agama yang
bernilai ibadah, memberikan kebaikan bagi kehidupan di dunia dan
akhirat dan manifestasi dari rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat-
Nya. Sebaliknya, mengonsumsi makanan haram merupakan kemaksiatan,
4
Muahmmad Aziz, “Perspektif Maqashid Al-Syariah Dalam Penyelenggaraan Jaminan
Produk Halal Di Indonesia Pasca Berlakunya Undangundang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal”, AL-HIKMAH Jurnal Studi Keislaman, Volume 7, Nomor 2, (September,
2017), h.4.
3
mendatangkan keburukan, dan bentuk ketundukan kepada setan.5
Makanan memberikan pengaruh baik secara fisik dan psikis manusia. Hal
tersebut karena makanan yang dikonsumsi akan dicerna oleh tubuh,
diserap gizinya, dan diedarkan ke seluruh tubuh manusia. Ini berarti,
makanan yang telah diproses sistem pencernaan akan mengalir dari ujung
rambut ke ujung kaki menjadi energi yang menggerakkan aktivitas
manusia.
Konsumsi produk halal merupakan kewajiban setiap muslim,
dalam persoalan ini juga aktif hadir berkontribusi menyediakan produk
halal melalui berbagai instrumen regulasi. Hal ini terjadi sebelum
lahirnya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal (UU-JPH) ada banyak peraturan yang tersebar seperti pada undang-
undang pangan, undang-undang kesehatan, undang-undang perlindungan
konsumen dan peraturan-peraturan di bawah undang-undang.
Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan
kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam.6 Sertifikat halal ini
merupakan syarat untuk mencantumkan label halal sehingga suatu
produk layak untuk dikonsumsi oleh konsumen muslim. Pelaku usaha
harus memenuhi syarat tertentu dan melewati serangkaian proses yang
telah ditetapkan oleh MUI untuk memperoleh sertifikat halal. Setelah
memperoleh sertifikasi halal, pelaku usaha memperoleh label dari MUI
untuk kemudian dicantumkan pada label produknya. Sertifikat halal ini
hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu dan pelaku usaha harus
melakukan perpanjangan untuk memperoleh sertifikasi kehalalan
produknya kembali.
5 Memakan makanan yang halal merupakan wujud syukur atas nikmat Allah sebagaimana
disebut dalam QS. Al-Nahl [16]: 114 6 Wiku Adi Sasmito, “Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam
Labeling Obat dan Makanan”, Case Study: Analisis Kebijakan Kesehatan, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008, hlm. 14.
4
Pengaturan pemeriksaan sertifikasi halal pada awalnya merupakan
keuntungan dari Kementerian Agama. Kementerian Agama telah
mengeluarkan Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang
pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal.
Selanjutnya ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama No 519
Tahun 2001 Tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksa Pangan Halal.
Kenyataan yang demikian itu dalam implementasi sehari-hari, bagi
umat Islam di Indonesia, butuh jaminan atas makanan yang ia konsumsi.
Jaminan yang dimaksud adalah usaha yang terstruktur dan sistematis agar
makanan yang dikonsumsi tersebut terjamin halal, baik dari aspek
dzatnya, proses dan tambahannya. Dalam rangka mewujudkan jaminan
kehalalan atas makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat, negara
menerbitkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal (UUJPH).
Dalam perkembangannya pengaturan sertifikasi halal selama ini
masih terkesan sektoral, tidak sistematik dan sukarela (voluntary), yang
mengakibatkan sertifikasi halal belum mempunyai legitimasi hukum
yang kuat, dan masih banyak produk yang beredar di masyarakat belum
semua terjamin kehalalannya, sehingga memerlukan pengaturan yang
komprehensif yang meliputi produk barang dan jasa. Berdasarkan
alasannya tersebut maka penyelenggaraan sertifikasi halal kemudian
diatur secara khusus dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal.7
Berdasarkan pasal 5 UUJPH penyelenggaraan jaminan produk
halal merupakan tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini dilaksanakan
7 Susilowati Suparto, “Harmonisasi Dan Sinkronisasi Pengaturan Kelembagaan
Sertifikasi Halah Terkait Perlindungan Konsumen Muslim Indonesia”, (Fakultas
Hukum Universitas Padjajaran, Bandung Jalan Dipati Ukur Nomor 35 Bandung, Jawa
Barat), Jurnal MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, h.428
5
oleh Kementrian Agama.8 Untuk melaksanakan penyelenggaraan jaminan
produk halal tersebut pemerintah membentuk Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kementerian Agama. BPJPH dalam
penyelenggaraan jaminan produk halal diberikan kewenangan untuk
menerbitkan dan mencabut sertifikasi halal dan label halal pada suatu
produk, yang mana kewenangan ini sebelumnya dilaksanakan oleh
LPPOM-MUI.
Selanjutnya dengan adanya pemberlakuan UUJPH ini, secara
kelembagaan yang pada awalnya penerbitan sertifikasi halal merupakan
tanggung jawab LPPOM-MUI, kini menjadi tanggung jawab BPJPH.
Sertifikasi halal merupakan pengakuan kehalalan suatu produk yang
dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang
dikeluarkan oleh MUI. BPJPH sampai saat ini belum terbentuk, karena
UUJPH menentukan bahwa BPJPH ini harus dapat berdiri paling lambat
tiga tahun semenjak diundangkannya UUJPH. Hal ini sesuai Pasal 64
UUJPH yang mengamanatkan bahwa pembentukan BPJPH dibentuk
paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UUJPH diundangkan, yakni 17
Oktober 2017.
Pembentukan BPJPH sebagai upaya perlindungan konsumen
terhadap konsumen sebagai suatu sistem. Hukum sebagai sistem
merupakan suatu tatanan atau kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian
atau unsur-unsur yang saling berkaitan, saling berinteraksi satu sama lain,
yang terorganisasi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan itu.9
8 Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604) 9 Sudikno Mertokusumo, 2006, “Penemuan Hukum : Sebuah Pengantar”,
Liberty, Yogyakarta, h.18.
6
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis ingin
memaparkan tentang undang-undang sertifikasi halal yang sudah di
sahkan oleh pemerintah, Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal (UU JPH). Serta kewenangan lembaga penjamin
produk halal menurut ketentuan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014.
Maka permasalahan yang diambil berjudul: “Kewenangan BPJPH dan
MUI dalam Sertifikasi Halal Berdasarkan Undang-undang Nomor 33
Tahun 2014 (UU-JPH)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis
dapat menidentifikasi beberapa permasalahan dalam hal Efektivitas
BPJPH dalam Melaksanakan Kewenangan Sertifikasi Halal setelah
diberlakukannya Undang-undang No. 33 Tahun 2014. Adapun masalah
yang penulis identifikasi dari latar belakang di atas adalah sebagai
berikut :
1. Jaminan kehalalan atas makanan yang di konsumsi oleh masyarakat,
2. Syarat dan prosedur pelaku usaha dalam sertifikasi halal.
3. Penerbitan Peraturan Pemerintah dalam pembentukan BPJPH.
4. Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
5. Prosedur sertifikasi halal BPJPH.
6. Kewenangan BPJPH dan MUI dalam Sertifikasi Halal berdasarkan
UU-JPH.
7. Efektifitas penerapan sertifikasi halal setelah Undang-undang Nomor
33 Tahun 2014.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
7
Untuk menghindari terlalu luasnya pembahasan dalam
penelitian ini, maka penulis memandang permasalahan penelitian ini
perlu dibatasi. Oleh karena itu penulis hanya memfokuskan pada
masalah Undang-undang Sertifikasi halal yang sudah di sahkan di
DPR RI pada tahun 2014 dalam kajian hukum Islam dan
kewenangan BPJPH dan MUI dalam penentuan sertifikasi halal
berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2014 berlaku, serta
bagaimana prospek sertifiksai halal pada BPJPH.
2. Rumusan Masalah
Oleh karena itu rumusan masalah yang dikaji dalam perumusan
masalah penelitian adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana kewenangan BPJPH dan MUI dalam penyelenggara
Jaminan Produk Halal sebelum dan sesudahnya Undang-undang
Nomor 33 Tahun 2014?
b. Bagaimana Efektifitas Penerapan Sertifikasi Halal Setelah
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014?
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari sebuah penelitian ialah mengungkapkan secara jelas
sesuatu yang hendak dicapai pada penelitian yang akan dilakukan. Dari
pemahaman tersebut, maka tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis kewenangan BPJPH dan MUI dalam
penyelenggara Jaminan Produk Halal sebelum dan sesudahnya
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014.
2. Untuk Menjelaskan Efektifitas Penerapan Sertifikasi Halal Setelah
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
8
Sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai, demikian
pula dengan penelitian yang penulis adakan ini diharapkan dapat
bermanfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi atau ilmu
pengetahuan bagi kalangan akademisi institusi tentang sertifikasi
halal yang berkaitan dengan produk halal setelah berlakunya undang-
undang jaminan produk halal.
2. Bagi penulis
Untuk menerapkan dan mempersembahkan sebuah karya tulis
terhadap ilmu yang telah didapat selama perkuliahan dan memperluas
wawasan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada bidang kajian
Hukum Ekonomi Syariah.
3. Manfaat Praktisi
Untuk mengetahui batasan-batasan pengkonsumsian yang benar dan
halal untuk menambah keyakinan kepada konsumen terutama
terhadap ummat Islam dalam mengkonsumsi sesuatu.
4. Manfaat Teoritis
Untuk mengatahui Kewenangan BPJPH dalam Penentuan Sertifikasi
Halal Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor. 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal.
5. Manfaat Adjukasi
Memberikan sebuah arah kebijakan kepada pemerintah terkait
Undang-undang Jaminan Produk Halal.
9
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Dalam penelusuran awal, sampai saat ini penulis menemukan
beberapa penelitian yang hampir sama dengan penelitian yang penyusun
kaji tentang penyelenggara produk halal. Akan tetapi belum ada sama
sekali yang membahas secara spesifik tentang praktek dan konsep yang
sama pada penelitian ini. Berikut adalah beberapa tulisan yang
membahas tentang jaminan produk halal:
1. Jurnal yang ditulis oleh Susilowati Suparto, Konsentrasi Departemen
Hukum Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran Bandung
Tahun 2016. “harmonisasi dan sinkronisasi pengaturan kelembagaan
sertifikasi halal terkait perlindungan konsumen muslim di Indonesia.
Jurnal ini membahas perkembangan pengaturan sertifikasi halal
selama ini masih terkesan sektoral dan sukarela, yang meng-
akibatkan sertifikasi halal belum mempunyai legetimasi hukum yang
kuat. Dengan hasil bahwa pengaturan yang terkait dengan kewajiban
sertifikasi halal sifatnya sukarela. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan
Pasal 10 ayat (1) peraturan pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang
label dan iklan pangan yang menyatakan bahwa setiap orang yang
memproduksi atau memasukan pangan yang dikemas ke Indonesia
dan menyatakan pangan tersebut halal wajib bertanggung jawab atas
kebenaran pernyataan dan wajib mencantumkan ket-erangan atau
tulisan halal.10
2. Penelitian yang dilakukan oleh KN Sofyan Hasan, Konsentrasi Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya Palembang Tahun
2014. “kepastian hukum dan sertifikasi lebelisasi halal produk
pangan”. Jurnal ini membahas bahwa proses sertifikasi halal yang
selama ini dilakukan oleh MUI melalui Lembaga Pengkajian Pangan,
10 Susilo Suparto, “Harmonisasi Dan Sinkronisasi Pengaturan Kelembagaan
Sertifikasi Halal Terkait Perlindungan Konsumen Muslim Indonesia”. Fakultas Hukum,
Unuversitas Padjajaran, Bandung. 2016.
10
Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. (LPPOM
MUI). dan Komisi Fatwa dan Labelisasi Halal yang dikelola oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah sangat tepat dan
memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum produk
pangan halal sebagimana prosedur yang ada, namun ketika hal
tersebut dikaitkan dengan UU RI No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Menunjukan bahwa regulasi yang ada
masih bersifat sektoral, karena sertifikasi halal masih bersifat
sukarela bagi pelaku usaha, bukan hal yang wajib. Maka sertifikasi
halal dapat dikatakan belum mempunyai legitimasi hukum yang
kuat.11
3. Lalu jurnal dengan judul “ presfektif Maqasid syariah dalam
penyelenggara Jaminan Produk Halal di Indonesia pasca berlakunya
Undang-undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal”.
Oleh Muhammad Azis, Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hikmah
Tuban AL HIKMAH Jurnal Studi Keislaman, Volume 7, Nomor 2,
September 2017. Jurnal ini membahas yang berfokus pada kehalalan
makanan sehari-hari. Dengan hasilnya ialah Kenyataan yang
demikian itu dalam implementasi sehari-hari, bagi umat Islam di
Indonesia, butuh jaminan atas makanan yang ia konsumsi sesuai
dengan mqasid syariah. Jaminan yang dimaksud adalah usaha yang
terstruktur dan sistematis agar makanan yang dikonsumsi tersebut
terjamin halal, baik dari aspel dzatnya, proses dan tambahannya.
Dalam rangka mewujudkan jaminan kehalalan atas makanan yang
dikonsumsi oleh masyarakat, negara menerbitkan UU No 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal.12
11 KN. Sofyan Hasan, Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk
Pangan, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2 (Mei, 2014), hlm. 229. 12 Muhammad Azis, “Perspektif Islam pada penyelenggara jaminan produk halal
sesuai Undang Undang No.33 Tahun 2014”, AL HIKMAH Jurnal Studi Keislaman,
Volume 7, Nomor 2, September 2017.
11
4. Skripsi M. Ade Setiawan Putra, konsentrasi perbandingan hukum,
fakultas syariah dan hukum, 2015 “Kewenangan LPPOM MUI
Dalam penentuan Sertifikasi Halal Pasca Berlakunya UU No. 33
Tahun 2014”. Membahas mengenai perubahan wewenang LPPOM
MUI sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang No.33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal. Sebelum berlakunya Undang-
undang jaminan produk halal atau selama berlakunya 23 tahun
semenjak berdirinya LPPOM MUI, LPPOM MUI berwenang penuh
atas penetapan sertifikasi halal namun setelah berlakunya Undang-
undang No. 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal maka
LPPOM MUI tidak lagi memiliki hak penuh atas pengeluaran dan
penetapan sertifikasi halal, melainkan hanya sebagai mitra.13
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian ini adalah penelitian Hukum Normatif Tertulis
adalah metode penelitian hukum terhadap aturan hukum yang
tertulis. Pada penelitian hukum normatif, peraturan perundangan
yang menjadi objek penelitian menjadi sumber data primer dalam
penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian hukum tertulis yang
dilakukan peneliti adalah mengumpulkan bahan-bahan yang
terpublikasi atau tidak yang berkenan dengan bahan hukum
positif yang dikaji dengan terkumpulnya bahan-bahan tersebut
maka akan mudah melakukan sistematisasi dan analisis
selanjutnya.
13M. Ade Setiawan Putra, konsentrasi perbandingan hukum, fakultas syariah dan
hukum, 2015. “Kewenangan LPPOM MUI Dalam penentuan Sertifikasi Halal Pasca
Berlakunya UU No. 33 Tahun 2014”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015).
12
Bahan pustaka lain yang merupakan berhubungan dengan
tema walaupun menjadi dasar yang dalam ilmu hukum
digolongkan sebagai data skunder. Data skunder tersebut
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi
surat-surat pribadi, buku-buku harian, UU JPH, SK Kemenag,
BPJPH, UU Perlindungan Konsumen, buku –buku yang berkenan
tentang halal dalam Islam, Pedoman Skripsi, sampai pada
dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah
adapun data skunder sebagai berikut:
1) Surat kabar
2) Opini yang berhubungan tentang Jaminan Produk halal di
Indonesia
3) BPJPH
b. Sifat penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum
yuridis normatif, jenis penelitian ini menggunakan penelitian
kepustakaan (library research) yang bersifat deskriptif-analitis.
Penelitian ini juga menggunakan metode penelitian kualitatif
yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan informasi
dari lembaga yang terlibat dalam objek penelitian. Jenis pelaporan
yang digunakan adalah metode deskriptif analisis, yaitu penulis
menggambarkan permasalahan dengan didasari pada data yang
ada lalu dianalisis lebih lanjut untuk kemudian diambil suatu
kesimpulan. Proses analisa dimulai dari membaca, mempelajari
dan menelaah data yang didapat secara seksama, selanjutnya dari
proses analisa tersebut penulis mengambil kesimpulan dari
masalah yang bersifat umum kepada masalah yang bersifat
khusus.
2. Metode Pengumpulan Data
Penelitian kepustakaan (library research), penulis mengadakan
penelitian terhadap beberapa literatur yang ada kaitannya dengan
13
penulisan skripsi ini. Literatur itu berupa buku, majalah, surat kabar,
artikel, jurnal, dan lain sebagainya. Langkah dalam melaksanakan
studi pustaka ini adalah dengan cara membaca, mengutip, serta
menganalisa dan merumuskan hal-hal yang dianggap perlu dalam
memenuhi penelitian ini.
3. Data dan Sumber Data
Yang dimaksud sumber data disini adalah subyek dari mana data
diperoleh.14
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber
pertama dengan melalui sumber lapangan atau lembaga penelitian
yang memberikan informasi langsung kepada peneliti. Perolehan
data primer dari penelitian dilapangan dapat dilakukan dengan
cara wawancara atau interview, panduan daftar pertanyaan. Data
primer ini hanya bersifat pendukung untuk melengkapi data
sekunder.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang lebih dahulu dikumpulkan
dan data yang diperoleh dari studi kepustakaan (Library
Research). Data ini diperoleh dengan cara mempelajari,
membaca, mengutip literatur-literatur atau peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan penelitian
ini.
Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan
bahan hukum dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan
sebagai bahan hukum sekunder. Dalam melakukan penelitian ini
penulis pertama-tama memerlukan data atau
14 Winarno Surakhmad, “Pengantar Penelitian Ilmiah (Dasar, Metode dan
Teknik)”, (Bandung:Tarsindo, 1999), h. 134.
14
keterangan-keterangan yang terkait dengan permasalahan
pada penelitian. Sedangkan data yang dipergunakan penelitian ini
berasal dari :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum bersifat mengikat.
Dalam penulisan ini, bahan hukum primer yang digunakan
adalah:
1) Undang-Undang Dasar 1945.
2) Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal.
3) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan.
4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
5) Instruksi Presiden RI Nomor 2 Tahun 1991 tentang
Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan
Peredaran Makanan Olahan.
6) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana
Pemeriksaan Pangan Halal.
7) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
518 Tahun 2001 tentang Pedoman Dan Tata Cara
Pemeriksaan Dan Penetapan Pangan Halal.
8) Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan Atas
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan
Halal pada Label Makanan.
9) SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor: 427/Menkes/SKB/VIII/1985 - No. 68
Tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada
15
Label Makanan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer
seperti berupa buku cetakan penerbit, hasil penelitian,
makalah dan jurnal serta literaatur lainnya yang relevan
dengan permasalahan penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang
memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, antara lain Kamus hukum,
ensiklopledia dan lain-lain.15
Berikutnya, untuk validasi data, peneliti menggunakan
metode wawancara untuk menggali data dari sumber seorang
tokoh yang kompeten dalam bidang jaminan produk halal, yaitu:
No. Nama
Tokoh
Jabatan Data yang diambil
1.
Aminudin
Yakub,
M.Ag
Anggota Komisi
Fatwa MUI
1. Sejarah sertifikasi
halal di Indonesia
2. Prosedur JPH
sebelum dan sesudah
disahkannya UU No.
33 Tahun 2014
3. Perubahan
kewenangan MUI
dan Sertifikasi Halal
15
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Noormatif
(Malang : Bayu Media Publishing, 2008), h.294
16
Tabel 1.1 Daftar nama tokoh sebagai sumber data
wawancara16
4. Analisis Data
Data yang diperoleh baik data primer maupun data skunder
dikelompokkan kemudian diolah dan disusun secara sistematis
melalui tahapan-tahapan :
a. Klasifikasi Data yaitu penempatan data dan pengelompokan data
atau penggolongan data sesuai dengan pokok bahasan yang akan
dibahas dalam penelitian.
b. Editing yaitu memeriksa dan mengoreksi kembali data yang
berguna atau tidak sehingga data yang telah terkumpul benar-
benar bermanfaat untuk menjawab permasalahan yang relevan
dengan tujuan penelitian.
c. Penyusunan data yaitu data yang telah diperiksa dan telah
diklasifikasikan dan kemudian disusun secara sistematis sesuai
urutannya sehingga mempermudah dalam pembahasan, analisis
dan interpretasi terhadap pokok bahasan dalam penelitian.
d. Analisa data yaitu setelah data terkumpul secara keseluruhan
baik yang diperoleh dari hasil studi pustaka, kemudian dianalisis
secara yuridis kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan
permasalahan berdasarkan penelitian dan pembahasan dalam
bentuk penjelasan atau uraian kalimat yang disusun secara
sistematis.
5. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan masalah yang berpacu kepada
pendekatan normatif, karena dalam penelitian ini terdapat aturan-
16
Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi
Fatwa MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019.
17
aturan tertentu dan ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap
kewenangan badan jaminan produk halal (BPJPH).
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara umum dari penelitian ini
secara menyeluruh perlu adanya sistematika penulisan yang dibuat oleh
penulis. Dengan demikian, sistematika penulisan yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
BAB I Dalam bab ini merupakan gambaran umum secara
keseluruhan serta bentuk metodologis dari penulis yang
meliputi : latar belakang masalah, identifikasi masalah,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan
kerangka konsep.
BAB II Dalam bab ini penulis akan membahas konsep sertifikasi
halal meliputi kewenangan BPJPH dan MUI dalam
penentuan sertifikasi halal.
BAB III Dalam bab ini penulis akan memberikan gambaran
umum yang berkaitan dengan objek penelitian dimulai
dengan sejarah tentang BPJPH, MUI, struktur dan visi-
misi BPJPH, pelaksanaan pendaftaran sertifikasi halal,
Tinjauan Umum Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal
BAB IV Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai hasil dan
analisa dari penelitian.
BAB V Pada bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran
yang dapat diberikan dari hasil penelitian.
H. Kerangka Teori
Teori Sistem Hukum Lawrence M Frieman
Dalam penelitian ini teori sistem hukum Lawrence M Friedman
digunakan untuk melihat problematika dari implementasi UU JPH. Dalam
18
teorinya Lawrence M Friedman mengatakan bahwa dalam sistem hukum
ada 3 elemen yang perlu diperhatikan yaitu struktur, substansi, dan budaya
hukum. Berikut akan dibahas pentingnya menggunakan pendekatan 3
elemen sistem hukum dari Lawrence M Friedman ini untuk melihat
problematika sistem hukum dari pelaksanaan jaminan produk halal.
1. Elemen pertama yang terdapat dalam sebuah sistem hukum adalah
struktur (structure). Sistem itu secara konstan terus berubah, namun
bagian-bagian dari sebuah sistem berubahnya memiliki dimensi waktu
yang berada. Struktur termasuk elemen dari sistem hukum yang paling
lama berubah. Struktur adalah kerangka dari sebuah sistem.
Struktur hukum dalam hal ini adalah perangkat hukum yang berisi
jumlah dan ukuran pengadilan di suatu negara. Struktur juga dapat
diartikan sebagai bagaimana legislator diorganisasikan. Selain aparat
hukum, struktur hukum juga dapat diartikan sebagai kesiapan
infrastruktur penunjang aparat hukum bekerja.
2. Elemen kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum yang ada.
Hal ini dimaksudkan sebagai actual rules, norma-norma hukum.
Substansi hukum dapat diartikan sebagai hasil atau produk yang
dihasilkan orang-orang yang ada dalam sebuah sistem hukum
(legislator). Substansi juga bisa diartikan sebagai hukum yang hidup
di masyarakat tidak hanya hukum yang ada dalam perundang-
undangan.
Dikarenakan pembahasan pada elemen sistem hukum kedua yaitu
substansi hukum menyentuh pada hukum yang hidup di masyarakat
hukum yang dalam buku, maka pernyataan tadi membawa kita kepada
3. Elemen ketiga yaitu budaya hukum. Lawrence M Friedman
menerangkan bahwa budaya hukum adalah sikap masyarakat terhadap
hukum dan sistem hukum. Budaya hukum juga bisa diartikan sebagai
climate of social thought (iklim dari pikiran masyarakat) dan juga
social force (kekuatan sosial) yang menentukan bagaimana hukum itu
digunakan, dihindarkan, atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum,
19
sistem hukum adalah bangkai, seperti ikan yang tidak bisa berenang
bebas di dalam lautan.17
I. Kerangka Konseptual
17
Lawrence M. Friedman & Grant M. Hayden, 2017. American Law: An Introduction. 3rd
Edition. New York. Oxford University Press. hal.5-7.
Pelaku Usaha
BPJPH
Kemenag
LPH
MUI
Undang-Undang
Nomor 33 Tahun
2014 (UU-JPH)
20
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Penjelasan Kewenangan
1. Pengertian Kewenangan
Berbicara tentang kewenangan maka terdapat dua jenis
kewenangan, yaitu kewenangan formal dan informal. Kewenangan
informal yaitu kewenagan yang dimiliki oleh seseorang karena
berbagai sebab seperti : kharisma, kekayaan, kepintaran, ataupun
kelicikan. Sedangkan kewenangan yang bersifat formal adalah
kewenangan pemerintah sebagai penyelenggara administrasi negara. 1
Dalam hal ini, penulis membahas tentang kewenangan formal
yang terkait kewenangan pemerintah sebagaimana disebut dalam
peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Pasal 1 Ayat (3) yaitu
kewenangan adalah hak dan kekuasaan pemerintah untuk menentukan
atau mengambil kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintah.
Seiring dengan prinsip utama dalam penyelenggaraan negara hukum
adalah asas legalitas, maka kewenangan dari pemerintah untuk
melaksanakan tugasnya dalam pemerintahan berasal dari peraturan
perundang-undangan yang ada, oleh karena itu pemerintah tidak boleh
menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintah dan
tidak boleh berbuat seseuatu selain yang telah ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku.2
Pengertian kewenangan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) adalah kekuasaan membuat keputusan, memerintah
dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Sedangkan
menurut wiktionary adalah kekuasan yang dimiliki oleh suatu pihak
1 Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjahmada University Press, 2005), hlm. 25 2 Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjahmada University Press, 2005), hlm. 26
21
berdasarkan (i) tatanan moral atau kebiasaan yang berlaku, (ii) undang-
undang atau peraturan, atau ijin/lisensi yang diterbitkan oleh suatu
badan pemerintah untuk melakukan suatu usaha, kegiatan, aktifitas.3
Menurut P. Nicholai disebutkan bahwa kewenangan adalah
kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu
tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat
hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum
tertentu. Hak berisi kebebasan untuk atau tidak melakukan tindakan
tertentu atau menurut keharusan untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan tertentu.4
Mengenai wewenangan, H.D Stout mengatakan bahwa
kewenangan adalah pengertian yang berasal dari hukum pemerintahan,
yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang
berkenan dengan perolehan-perolehan dan penggunaan kewenangan
dari pemerintah oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum
piblik. Lebih lanjut Stout juga menyetir pendapat Goorden, bahwa
wewenang adalah keseluruhan hak dan kewajiban yang secara eksplisit
diberikan oleh pembuat undang-undang kepada subjek hukum publik.
Sedangkan menurut F.P.C.L Tonnaer, mengartikan kewenangan
pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan, untuk
melaksanakan hukum positif dan dengan begitu, dapat diciptakan
hubungan hukum antara pemerintah dengan warga.
Selain itu, Ferrazi mendefinisikan kewenangan sebagai hak
untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen yaitu meliputi
pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi), dan
pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu.
3 Kewenangan, https://id.wiktionary.org, diakses pada tanggal 12 Oktober
2019 pukul 13.48. 4 Ridwan HR,” Hukum Administrasi Negara” (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2016), h. 97-98.
22
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kewenangan sangat
erat kaitannya dengan penyelenggaraan administrasi negara, yaitu
pemerintah. Di dalamnya mengandung hak dan kewajiban pejabat
adminstrasi negara dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintah dengan mengambil kebijakan-kebijakan yang bersifat
terikat sesuai syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang. Karena
kewenangan bersumber dari peraturan penundang-undangan.
2. Kedudukan Kewenangan
Kewenangan terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen
yaitu (1) pengaruh, (2) dasar hukum, dan (3) konformitas hukum.
Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang
dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum. Komponen
dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus selalu dapat ditunjuk
dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung
adanya satndard wewenang yaitu standard hukum (semua jenis
wewenang) serta standard khusus (untuk jenis wewenang jenis
tertentu).
Jadi kedudukan kewenangan dalam penyelenggaraan
administrasi negara adalah sebagai dasar hukum (legalitas) sebuah
organisasi atau pemerintah dalam menjalankan fungsinya untuk
bertindak dan mengambil kebijakan dan keputusan dalam memerintah,
melakukan pembinaan dan memberikan pengayoman serta
perlindungan hukum kepada rakyat sehingga tujuan pokok dan fungsi
suatu organisasi atau pemerintah tersebut dapat tercapai.5
5 Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjahmada University Press, 2005), hlm. 27
23
Gambar 2.1. Skema Fungsi Pemerintah
Dari skema tersebut dapat digambarkan bahwa antara
penguasa/ pemerintah dengan rakyat memiliki hubungan timbal
balik. Pihak pemerintah dengan kegiatan yang disebut memerintah,
melakukan pembinaan dan memberikan pengayoman serta
perlindungan hukum kepada rakyat. Sebaliknya rakyat
mendapatkan perlindungan hukum dan memiliki kewajiban
partisipasi terhadap aktivitas pemerintah dengan kewajiban
mematuhinya. Sementara kewajiban pemerintah adalah mematuhi
atasan wewenang yang diberikan.
Maka dapat disimpulkan bahwa wewenang terdiri atas
sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu (1) pengaruh, (2) dasar
hukum, dan (3) konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah
bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan
perilaku subyek hukum (rakyat), komponen dasar hukum ialah
bahwa wewenang itu harus selalu dapat ditunjuk dasar hukumnya,
dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard
wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta
standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu).
Pembinaan
Pengayoman
partisipasi
Pemerintah Rakyat
24
Jadi kedudukan wewenang atau kewenangan dalam
penyelenggaraan administrasi negara adalah sebagai dasar hukum
(legalitas) sebuah organisasi atau pemerintah dalam menjalankan
fungsinya untuk bertindak dan mengambil kebijakan dan
keputusan dalam memerintah, melakukan pembinaan dan
memberikan pengayoman serta perlindungan hukum kepada rakyat
sehingga tujuan pokok dan fungsi suatu organisasi atau pemerintah
tersebut dapat tercapai.6
B. Sertifikasi Halal
1. Pengertian Sertifikasi Halal
Sertifikasi halal terdiri atas dua kata yaitu sertifikasi dan halal.
Kata “sertifikasi” berasal dari bahasa inggris “certificate” yang
mempunyai tiga arti yaitu akte, surat keterangan, diploma atau ijazah.
Kata “certificate” kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia
menjadi “sertifikat” yang merupakan kata benda. Dalam “Kamus Besar
Bahasa Indonesia” dijelaskan bahwa sertifikat itu berarti tanda atau
surat keterangan atau pernyataan tertulis atau tercetak yang
dikeluarkan oleh pihak yang berwenang yang dapat digunakan sebagai
bukti. Sementara itu, sertifikasi berarti kegiatan penyertifikatan atau
proses menjadi sertifikat.7
Sementara itu, kata “halal” berasal dari bahasa Arab yang
berkaitan dengan hukum halal dan haram. Menurut Ibn Manzur, halal
itu berasal dari kata “al-hillu” yang berarti tidak terikat (al-thalaq).
Oleh karena itu, al-muhillu berarti orang kafir yang boleh diperangi
karena tidak terikat perjanjian damai kita. Lafazh halal merupakan
lawan dari kata “haram” , sedangkan lafazh “haram” itu pada asalnya
6 Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
(Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 2005), hlm. 28 7 Sopa, “Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan kosmetika”, Gaung Persada Press Group Jakarta. Desember
2013 Cet. Pertama h.12
25
berarti mencegah atau merintangi (al-man’u). Oleh karena itu, setiap
yang diharamkan (al-muhrimu) itu menjadi tercegah atau terlarang.
Lafazh al-muhrimu merupakan lawan dari lafazh al-muhillu yang
berarti orang kafir yang berarti tidak boleh diperangi karena terikat
perjanjian damai dengan kita.8
Selanjutnya, Ibn Manzhur menjelaskan bahwa haram itu berarti
segala sesuatu yang diharamkan Allah.9 Atas dasar itu, al-Munawi
memberikan definisi halal sebagai “sesuatu yang tidak diharamkan”.
Maka, didalamnya terkandung sesuatu yang dimakruhkan dan yang
tidak dimahruhkan atau diperbolehkan. Definisi ini masih kabur karena
belum memberikan batasan yang jelas dan spesifik.
Sopa mengutip menurut Qal‟aji dan Qunaibi, lafazh halal itu
berasal dari halla al-syay’i apabila sesuatu itu telah menjadi mubah.
Oleh karena itu, pengertian halal identik dengan “mubah”10
yang
terdapat dalam ahkam al-khamsah. Atas dasar itu, maka wajar apabila
al-Qardlawi secara eksplisit mengidentikkan keduanya seperti
tercemin dalam definisi halal yang diberikannya yaitu “sesuatu yang
mubah yang diizinkan oleh syari‟ untuk dikerjakan.
Dalam definisi yang dikemukakan oleh al-Qardlawi tersebut
terdapat dua unsur. Pertama, sesuatu yang mubah yang terdapat dalam
dzat atau „ain. Dengan demikian, secara substantive benda tersebut
dzatnya adalah mubah. Kedua, “yang diizinkan oleh Syari‟ untuk
dikerjakan” berkaitan dengan perbuatan mukallaf yaitu mengerjakan
(fi’l al-mukallaf). Oleh karena itu, cakupan “mengerjakan” itu sangat
luas termasuk di dalamnya mengonsumsi pangan dalam upaya
memenuhi kebutuhan jasmani mukallaf.
8 Ibn Manzhur, lisan arab, juz XV, h. 11
9 Ibn Manzhur, lisan arab, juz XV, h.9
10 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, Juz II, h.72
26
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa sertifikat halal itu merupakan proses kegiatan pembuatan surat
keterangan halal (Fatwa Halal) atas suatu produk pangan yang dibuat
secara tertulis yang dikeluarkan oleh MUI sebagai fisik yang
berwenang mengeluarkan fatwa di Indonesia. Maka, sebagai hasilnya
adalah Sertifikasi Halal yang dapat dijadikan bukti bagi perusahaan
untuk mendapatkan izin percantuman lebel halal pada kemasan
produknya dari instansi pemerintah yang berwenang dalam halal ini
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM).11
2. Urgensi Sertifikasi Halal
Allah SWT melalui berbagai firman-Nya menyuruh kita untuk
selalu mengonsumsi pangan yang halal dan thayyib. Perintah tersebut
terdapat dalam Q.s. al-Mai‟dah [5] : 88:
ون ن م ؤ م ه ب م ت ن أ ي لذ ا ه ل ل ا وا ق ت وا ا با ي ط لا ل ح ه ل ل ا م ك رزق ما وا ل وك
Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa
yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah
kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Q.S
Al-Maidah : 88).
Dan surat al-baqarah [2] : 168
ن ا ط ي ش ل ا ت وا ط خ وا ع ب ت ت ول ا با ي ط لا ل ح لرض ا ف ما وا ل س ك نا ل ا ا ه ي أ ا ي
ين ب م و د ع م ك ل نه إ
Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi
baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
11Sopa, “Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI
terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan kosmetika”, Gaung Persada Press Group
Jakarta. Desember 2013 Cet. Pertama h.12.
27
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.”(Q.S al-baqarah : 168).
Berdasarkan ayat tersebut, terdapat dua kriteria pangan yang kita
konsumsi yaitu halal dan thayyib. Cakupan “halal” dalam ayat tersebut
meliputi halal dari segi dzatnya yaitu pangan yang tidak termasuk yang
diharamkan dan halal dari segi cara memprosesnya. Sementara selain
itu, yang dimaksud thayyib dalam ayat tersebut menurut Ibnu Katsir
adalah pangan yang dzatnya baik dan tidak membahayakan badan serta
akal manusia. Menurut Rasyid Ridla, thayyib berarti lezat yaitu setiap
pangan yang dikehendaki oleh fitrah manusia yang sehat. Sementara
itu, menurut al-Qurthubi, lafzah thayyib dalam al-Qur‟an yang
berkaitan dengan pangan yang dikonsumsi manusia mempunyai tiga
arti diantaranya adalah sesuatu yang terasa lezat oleh yang
memakannya atau meminumnya.12
Bersamaan dengan itu, Allah juga melarang kita untuk
mengonsumsi pangan dari hasil usaha yang haram yang oleh al-Qur‟an
disebuut “al-bathil” sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah
dalam al-nisa’ [4] : 29.13 Menurut Al-Qurtubi, yang dimaksud “al-
bathil” dalam ayat tersebut adalah “tanpa haq” yang kemudian
dijelaskan oleh Ibn Katsir sebagai usaha-usaha yang diharmkan oleh-
oleh hukum Syara‟ seperti riba, judi, dan sebagainya. Usaha-usaha
tersebut dilarang hukum Syara‟ karena termasuk cara peroleh harta
yang dilakukan tanpa imbalan dan kerelaan para pihak.
Dengan demikian, kita diperinthakan untuk mengonsumsi
pangan yang halal (menurut hukum agama), dan bergizi (menurut ilmu
Kesehatan) serta diperoleh dari usaha yang halal. Bersamaan dengan
itu, kita juga dilarang mengonsumsi pangan yang diperoleh dari usaha
12
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‟li Ahkam al-
Qur‟an, Juz VI, h.45 13
Al-Baqarah [2] : 168 dan . al-Mai‟dah [5] : 88
28
yang tidak halal (pangan yang haram). Oleh karena itu, pangan yang
kita konsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup kita harus dipastikan
sengai pangan yang halal, bukan pangan yang haram. Sebab, apabila
pangan yang dikonsumsi itu adalah pangan yang haram, maka hal itu
akan berpengaruh buruk pada jasmani dan ruhaninya.14
Quraish Shihab setelah mengutip pendapat Alexis Carel,
pemenang hadiah Nobel Kedokteran, yang menyatakan perasaan
manusia sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan yang
dikonsumsinya, menegaskan, “Agaknya melalui kata “rijsun”, ayat ini
(al-Maidah [5]: 90) bermaksud menjelaskan salah satu hikmah
pengaharaman babi atau apa yang telah disebutkan karena makanan
tersebut berdampah buruk pada jiwa dan perilaku manusia”.15
Menurut Rasyid Ridla, kata “rijsun” itu digunakan untuk
menjelaskan sesuatu yang kotor baik secara lahiriah (hissiyyah)
maupun secara maknawiyah (ma’nawiyyah). Arti yang pertama kita
dapatkan dari surat al-An‟am [6] : 145, sedangkan arti kotor secara
maknawiyah adalah apabila sesuatu itu membahayakan bagi manusia.
Atas dasar itu, maka pangan yang diharamkan itu pasti membahayakan
manusia apabila dikonsumsi seperti babi, bangkai dan darah.
Tidak hanya sampai di situ, ternyata pangan yang kita konsumsi
itu mempengaruhi hubungan manusia dengan Tuhannya
(hablumminallah). Pangan yang haram atau yang diperoleh secara
haram akan menjadi penghalang diterimanya ibadah dan
dikabulkannya do‟a. Dengan demikian, jelaslah bahwa pangan yang
haram itu akan membahayakan bagi manusia yang mengonsumsinya
baik terhadap jasmaninya maupun ruhaninya. Sebaliknya, pangan yang
halal itu akan memeberi manfaat bagi manusia yang mengonsumsinya.
14 Sopa, “Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI
terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan kosmetika”, Gaung Persada Press Group
Jakarta. Desember 2013 Cet. Pertama h.15. 15 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah., Jilid IV, h.316
29
Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhan hidup ini kita harus
berusaha maksimal untuk mendapatkan pangan yang halal dan
menjauhi pangan yang haram. Hal ini telah diperintahkan oleh
Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh
al-Thabrani dari Anas bin Malik r.a yang memerintah kita untuk
senantiasa mencari yang halal.
Agar dapat melaksanakan perintah Rasul tersebut dengan baik,
maka kita harus mnegetahui dan memebedakan mana yang haram dan
mana yang halal. Oleh karena itu, pengetahuan tentang halal dan
haram itu sangat penting karena pengetahuan tersebut merupakan
modal utama agar kita tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang
haram termasuk di dalamnya konsumsi pangan yang haram
sebagaimana telah diisyaratkan oleh hadis Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Nu‟man bin Basyir,
maka, tidak berlebihan apabila sebagian ulama menyatakan “hukum
Islam (fiqh) itu adalah pengetahuan tentang halal dan haram,16
Pada dasarnya, semua jenis pangan itu halal kecuali yang secara
tegas dinyatakan keharamannya baik dalam al-Qur‟an maupun al-
Sunnah. Dengan perkataan lain, selain dari yang diharamkan itu
hukumnya halal. Jumlah dan jenis pangan yang diharmkan dalam
kedua sumber hukum Islam tersebut sangatlah sedikit bila
dibandingkan dengan yang halal. Oleh karena itu, sebenarnya yang
dibutuhkan penjelasan dan perinciannya adalah pangan yang haram.
Dengan demikian, yang dibutuhkan oleh umat Islam itu sebenarnya
bukanlah “Sertifikat Halal”, tetapi “Sertifikat Haram”. Akan tetapi,
dalam kenyataannya di lapangan, hal tersebut tidak dapat diwujudkan.
Sebab, “Sertifikat Haram” tersebut berdampak serius baik secara
ekonomis maupun politis seperti dalam kasus Ajinomoto. Oleh karena
itu, yang diberlakukannya adalah Sertifikat Halal. Yang terakhir ini,
16
Ahmad Hushari. Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Bairut: Dar al-Jil, 1991), h.10
30
ternyata tidak menimbulkan kegoncangan bahkan dapat menentramkan
hati umat Islam.
Di samping itu, era perdagangan bebas juga telah membuka
lebar-lebar peluang ekspor produk dalam negeri kita termasuk di
dalamnya pangan olahan, obat-obatan dan kosmetika. Peluang ekspor
tersebut harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para
pengusaha kita. Dengan demikian, peluang memasuki pasar
internasioanl semakin terbuka. Hanya saja, untuk memasuki pasar
tersebut para pengusaha dituntut untuk memenuhi beberapa standar
internasional di antaranya labelisasi halal yang sedang dibahas di
Codec Alimentarius Commision (CAC).17
Ketentuan ini umumnya menjadi tuntutan di negara-negara
tujuan ekspor yang berpenduduk muslim seperti Saudi Arabia, Suria,
Libanon, Mesir, dan sebagainya. Bahkan bisa jadi ketentuan ini
menjadi tuntutan juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat.
Sebab, menurut Rhenald Kasali, konsumen di Amerika baik yang
muslim maupun non-muslim menginginkan makanan yang betul-betul
sehat dan aman bagi kesehatannya. Hal tersebut mereka dapatkan pada
makanan yang sudah berlabel halal atau kosher walaupun terdapat
perbedaan yang prinsipil antara keduanya.
Label halal berpedoman pada kaidah-kaidah hukum Islam,
sedangkan label kosher berpedoman pada kaidah-kaidah hukum
Yahudi. Hukum Islam mengharamkan konsumsi alkohol, anggur, dan
gelatin, sedangkan yang kedua justru membolehkannya. Sementara itu,
Hukum Islam memperbolehkan kelinci, unggus liar, ikan yang tidak
bersirip atau berisik, sedangkan hukum Yahudi Melarangnya.18
Berdasarkan hal tersebut di atas, diperlukan adanya jaminan
halal dalam bentuk Sertifikat Halal yang dapat melindungi umat Islam
17 Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji,
“Pedoman Labelisasi Halal”, (Jakarta, 2003), h.13-14 18
LPPOM MUI. “Halal dan Haram Pada Produk Sehari-Sehari”, (Pustaka Jurnal Halal,
2007), h.32-34
31
sebagai konsumen dari mengonsumsi pangan yang haram. Jaminan
tersebut tidak dapat diterima apabila dibuat dan dihasilkan pihak
produsen yang memproduksi produk pangan tersebut karena syarat
dengan berbagai kepentingan bisnis sehingga membuka peluang lebar-
lebar terjadinya manipulasi, tetapi harus dari pihak yang berkompeten
yang terjaga kredibilitas dan integritasnya seperti Majelis Ulama
Indonesia.19
3. Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Umat Islam
Menurut ajaran Islam, penentuan kehalalan atau keharaman
sesuatu tidak dapat didasarkan hanya pada asumsi atau rasa suka rasa
tidak suka. Sebab, tindakan demikian dipandang sebagai tidakan
membuat hukum tahakkum dan pembuatan dusta atas nama Allah yang
sangat dilarang Agama. Perhatikan firman Allah berikut:
ثن والبغي بغير الحق ها وها بطي وال م ربي الفىاحش ها ظهر ه قل إوا حر
ها ل تعلوىى ل به سلطاا وأى تقىلىا على الل ها لن يز وأى تشركىا بالل
artinya: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan
dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan
sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu
dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui".(Q.S al-a’raf: 33)
Allah ta‟ala mmerintahkan kepada hamba-hambanya agar
memakan rezekinya yang halal lagi baik dan mensyukurinya.
Selanjutnya Allah Ta‟ala menrangkan makanan yang diharamkan
kepada mereka karena membahayakan mereka, baik bahaya yang
19
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan kosmetika. Gaung Persada Press Group Jakarta. Desember
2013 Cet. Pertama hal. 20
32
menyangkut agama maupun dunia. Makanan yang diharmkan itu
diantara nya bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih
dengan menyebut nama selain Allah.
Kemudian Allah melarang hambanya untuk menghalalkan dan
mengharamkan makanan hanya berdasarkan penjelasan mereka
semata dan mengharamkan makanan hanya berdasarkan penjelasan
mereka dan mengharamkan nama-nama yang mereka istilahkan
sendiri, seperti bahirah, sa’ibah, washilah dan haam yang mereka
ciptakan pada masa jahiliah. Maka Allah berfirman “dan janganlah
kamu mengatakan terhadap apa yang disebut sebut oleh lidahmu
secara dusta, ini halal ini haram”, untuk mengadakan kebohongan
terhadap Allah. Termasuk dalam kategori ini maka apa yang mereka
ciptakan sebagai bid‟ah dengan Menghalalkan yang haram dan
Mengharamkan yang halal.20
Atas dasar itu pennetuan halal haram hanyalah hak prerogatif
Allah. Dengan kata lain, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu
termasuk bidang pangan, harus didasarkan pada Al-Qur‟an, sunnah
dan kaidah-kaidah hukum. Dari sini timbul pertanyaan, dapatkan
setiap orang mengetahui mana pangan yang halal dan mana pangan
yang haram dengan hanya mencukupkan diri merujuk pada Al-Qur‟an
dan sunnah?. Jika pada saat ini kehalalan pangan merupakan suatu
persoalan yang rumit, karena jenis dan bahan pangan yang halal dan
mudah dikenali, serta cara prosesnya pun bermacam-macam.
Produk-produk pangan olahan, dengan menggunakan bahan dan
peralatan yang canggih, kiranya dapat dikategorikan kedalam
kelompok pangan yang tidak mudah diyakini kehalalannya. Apalagi
jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas
non-muslim, sekalipun bahan bakunya berupa bahan suci atau
20
Muhammad Nasib ar-Rifa‟I “Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir Ibnu
Katsir”, jilid 2”(Gema Insani Press, 1999), h.1073-1074
33
tercampur, menggunakan atau bersentuhan dengan bahan-bahan yang
tidak suci atau tercampur dengan bahan haram.
Dari paparan diatas kiranya tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa tidak setiap orang (muslim) akan dengan mudah
mengetahuinya secara pasti halal tidaknya suatu produk pangan, obat-
obatan maupun kosmetika. Karena untuk mengetahui hal tesebut
diperlukan pengetahuan yang cukup memadai tentang pedoman atau
kaidah-kaidah syariah Islam. Dijelaskan hadits populer:
ن ن وإن الرام ب ي إن اللل ب ي
Artinya: “Halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah
jelas”.
Hadis ini menunjukan bahwa segala sesuatu itu ada yang sudah
jelas kehalalannya dan ada pula yang sudah jelas keharamkannya.
Disamping itu, dalam hadis tersebut disebutkan juga cukup banyak hal
yang samar-samar (syubhat) status hukumnya, apakah ia halal ataukah
haram, tidak diketahui oleh banyak orang. Bagi umat Islam, hal
tersebut yakni hal atau pangan kategori syubhat, tidak dipandang
sebagai persoalan yang mendapat perhatian besar dan serius.
Oleh karena tidak setiap orang dapat dengan mudah mengetahui
kehalalan atau keharaman suatu pangan sebagiamana dikemukakan
diatas, maka peranan ulama sebagai kelompok orang yang dipandang
memiliki pengetahuan memadai tentang hal tersebut sangat diperlukan
untuk memberikan penjelasan (fatwa) kepada masyarakat luas
mengenai status hukum pangan tersebut.
Fatwa produk halal adalah fatwa yang ditetapkan oleh komisi
fatwa MUI mengenai produk pangan, minuman, obat-obatan dan
kosmetika. Fatwa tersebut ditetapkan setelah dilakukan serangkaian
pembahasan dalam rapat komisi fatwa yang didahului dengan laporan
hasil auditing oleh LPPOM. jika rapat memandang bahwa produk
dimaksud tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, baik dari aspek
34
bahan maupun dalam proses produksinya. Setelah akan ditetapkan
kehalalannya, serta dibuat satu keputusan fatwa untuk produk-produk
yang diputuskan dalam rapat secara tertulis. Selanjutya, untuk setiap
produk dari suatu produsen dibuatlah satu sertifikat yang disebut
dengan sertifikat halal.
Sertifikat halal ini berlaku untuk jangka waktu dua tahun dengan
syarat produk tersebut tetap memenuhi standar atau kriteria
sebagaimana dilaporkan pada saat rapat komisi fatwa. Setelah dua
tahun, atau jika ada perubahan bahan, produk bersangkutan harus
diproses kembali untuk memperoleh setifikat baru. Hal ini demi
terciptanya kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi suatu
produk makanan minuman dan obat obatan. Semua peraturan yang
ada untuk kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk.
Sebagaimana dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
pada Bab III pasal 4 ayat (a). bahwa pengkonsumsi makanan,
minuman dan obat-obatan mempunyai hak dilindungi, memiliki hak
kenyamanan dalam mengkonsumsi suatu produk, khususnya
masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama islam. Oleh sebab itu,
bagaimana sinergisitas antara pemerintah dan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dapat berjalan beriringan untuk mengontrol pelaku
usaha yang ada di Indonesia.
Telaah atas perlindungan konsumen muslim atas produk barang
dan jasa menjadi sangat penting setidaknya disebabkan oleh beberapa
hal, antara lain: Pertama, bahwa konsumen Indonesia mayoritas
merupakan konsumen beragama Islam yang sudah selayaknya
mendapatkan perlindungan atas segala jenis produk barang dan dan
jasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah dalam hukum Islam.
Berdasarkan hal tersebut, maka konsumen muslim harus
mendapatkan perlindungan atas kualitas mutu barang dan jasa serta
tingkat kehalalan suatu barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku
usaha. Kedua, bahwa Pemerintah Indonesia sudah harus melakukan
35
upaya aktif untuk melindungi konsumen- konsumen yang mayoritas
beragama Islam. Perlindungan konsumen merupakan hak warga
negara yang pada sisi lain merupakan kewajiban negara untuk
melindungi warga negaranya khususnya atas produk yang halal dan
baik.21
4. Pengawasan Sertifikasi Halal
Selanjutnya, setelah memperoleh Sertifikasi Halal, perusahaan
harus mengangkat Internal Halal Auditor yang bertugas mengawasi
sistem produksi halal pada produk mereka. Auditor tersebut haruslah
berasal dari karyawan tetap perusahaan dan berasal dari bagian yang
terkait dengan proses produksi seperti bagian QA/QC, R&D,
Purcashing, produksi dan pergudangan. Di samping itu, ia juga harus
beragama Islam dan taat dalam mengamalkan ajaran Islam. Lebih dari
itu, ia juga memahami betul titik kritis keharaman produk secara
keseluruhan baik ditinjau dari bahan yang digunakan maupun pada
proses produksinya. Oleh karena itu, ia harus memiliki bekal
pengetahuan keislaman yang memadai terutama dalam masalah
kehalalan pangan.
Pengawasan produk halal pertama dilakukan secara internal. Hal
ini memerlukan tekad dan komitmen serta dukungan dari perusahaan
untuk merealisasikannya. Di samping itu, ketersediaan SDM yang
kualified juga tidak kalah pentingnya. Sebab, menurut Aisyah
Gerindra, mantan direktur LPPOM MUI, keterbatasan SDM sangat
mempengaruhi pelaksanaan Sitem Jaminan Halal terutama pada
perusahaan kecil dan perusahaan tradisional.
21
M. Ade Setiawan Putra, konsentrasi perbandingan hukum, fakultas syariah dan hukum,
2015. “Kewenangan LPPOM MUI Dalam penentuan Sertifikasi Halal Pasca Berlakunya UU
No. 33 Tahun 2014”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015). h.37
36
Ternyata pengawasan yang dilakukan secara internal ini cukup
efektif. Hal ini terbukti pada kasus Ajinomoto yang telah memperoleh
Sertifikat Halal. Kemudian perusahaan tersebut merubah proses
produksi dengan menggunakan bactosoyton yang dicurigai berasal dari
pangkreas babi tanpa melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan
pihak LPPOM MUI. Akibatnya, MUI membatalkan Sertifikat Halal
yang telah dikeluarkannya dan mengeluarkan “Fatwa Haram” terhadap
produk Ajinomoto yang menggunakan bactosoyton dalam proses
produksinya. Adanya perubahan proses produksi tersebut diketahui
oleh MUI berdasarkan laporan dari Auditor Internal Halal perusahaan
Ajinomoto.
Di samping itu, perusahaan juga wajib menandatangi perjanjian
untuk menerima Tim Sidak (inspeksi Mendadak) LPPOM MUI yang
akan melakukan inspeksi mendadak bila diperlukan. Juga, perusahaan
berkewajiban menyerahkan laporan audit internal setiap enam bulan
setelah terbitnya Sertifikasi Halal. Dengan demikian, pengawasan yang
dilakukan LPPOM MUI dilakukan secara berlapis. Selain melalui
laporan rutin yang disampaikan oleh auditor halal perusahaan, juga
melalui sidak yang dilakukan sewaktu-waktu bila diperlukan.
Pengawasan oleh Badan POM dapat dilakukan sebelum
berproduksi dengan cara regulasi dalam bentuk peraturan-peraturan
dan standarisasi yang berkaitan dengan sertifikasi dan label halal.
Kemudian dilanjutkan dengan cara memeberikan pembinaan dan
penyuluhan kepada perusahaan-perusahaan dalam rangka sosialisasi.
Pengawasan dapat juga dilakukan pasca produksi. Pengawasan pasca
produksi dapat dilakukan apabila terjadi pelanggaran dengan
melakukan penyidik kasus. Hal tersebut dapat dilakukan melalui
pengambilan sampling dan pengujian laboratorium atau bahkan
pemeriksaan sarana produksi dan distribusi sesuai dengan kasus
pelanggaran yang terjadi. Hasilnya kemudian disampaikan kepada
masyarakat sebagai publik warning dan advokasi di samping dapat
37
diproses ke pengadilan bila menyangkut unsur pidana. Akan tetapi,
menurut Zain Saidi, pengawasan pasca produksi tersebut tidak efektif.
Sebab, sertifikasi dan labelisasi halal itu bersifat sukarela sehingga
menyulitkan pengawasannya di lapangan.22 Oleh karena itu, sertifikasi
halal itu perlu ditingkatkan statusnya dari sukarela menjadi wajib agar
dapat dilakukan pengawasan secara efektif.
5. Aspek Kehalalan Produk
Kehalalan suatu makanan minimal dapat dilihat dari empat
aspek, yaitu: pertama, halal dalam cara memperolehnya, yaitu
diperoleh dari rezeki yang halal dan dibenarkan dalam Islam. Kedua,
halal zat/bahan dasarnya. Seluruh yang ada di alam ini halal untuk
dikonsumsi kecuali beberapa jenis hewan dan tumbuhan yang
diharamkan dalam Al-Qur‟an, yaitu: bangkai, darah, daging babi,
sembelihan atas nama selain Allah, dan hewan yang tercekik, yang
dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas
kecuali yang sempat disembelih. Adapun jenis nabati yang diharamkan
adalah khamr. Ketiga, halal dalam proses pengolahan. Dalam proses
pengolahannya tidak bercampur dengan benda atau hewan yang
diharamkan. Bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong harus
halal yang diproses secara higienis dan memenuhi prosedur pembuatan
makanan yang baik, sarana dan prasarana serta proses produksi harus
terjamin halal secara shar’i. Keempat, halal proses pengemasan.
Makanan harus dikemas dengan bahan halal dan higienis. Proses
penyimpanan harus mengikuti standar shar’i.
Kriteria thayyib meliputi; makanan berkualitas dan bermutu,
tidak basi, tidak kadaluarsa, tidak rusak, tidak beracun, aman dan tidak
tercemar bakteri/virus yang berbahaya dan tidak palsu. Makanan
mengandung nutrisi dan gizi yang berguna bagi tubuh. Dengan empat
aspek tersebut, setiap muslim jadikan panduan untuk memperoleh dan
mengkonsumsi setiap asupan dan makan akan dia konsumsi.
22
Jurnal halal, No.2/1/15, edisi Nopember 1995-15 Januari 1995, h. 37-37
38
Mengonsumsi makanan halal merupakan kewajiban agama yang
bernilai ibadah, memberikan kebaikan bagi kehidupan di dunia dan
akhirat dan manifestasi dari rasa syukur kepada Allah atas segala
nikmat-Nya. Sebaliknya, mengonsumsi makanan haram merupakan
kemaksiatan, mendatangkan keburukan, dan bentuk ketundukan
kepada setan. Makanan memberikan pengaruh baik secara fisik dan
psikis manusia. Hal tersebut karena makanan yang dikonsumsi akan
dicerna oleh tubuh, diserap gizinya, dan diedarkan ke seluruh tubuh
manusia. Ini berarti, makanan yang telah diproses sistem pencernaan
akan mengalir dari ujung rambut ke ujung kaki menjadi energi yang
menggerakkan aktivitas manusia.
Kenyataan yang demikian itu dalam implementasi sehari-hari,
bagi umat Islam di Indonesia, butuh jaminan atas makanan yang ia
konsumsi. Jaminan yang dimaksud adalah usaha yang terstruktur dan
sistematis agar makanan yang dikonsumsi tersebut terjamin halal, baik
dari aspel dzatnya, proses dan tambahannya. Dalam rangka
mewujudkan jaminan kehalalan atas makanan yang dikonsumsi oleh
masyarakat, negara menerbitkan UU No 33 tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal.23
23 Muhammad Aziz, Perspektif Maqashid Syariah Dalam Penyelenggara
Jaminan Produk Halal Di Indonesia Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. AL-HIKMAH Jurnal Studi Keislaman ,
Volume 7 Nomor 2, September 2017, h.79
39
BAB III
TINJAUAN UMUM PROFIL LEMBAGA
A. Gambaran Umum Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal (BPJPH)
Kementerian Agama (Kemenag) meresmikan Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal (BPJPH) pada Rabu (11/10). BPJPH merupakan
badan baru di Kemenag yang berwenang mengeluarkan sertifikasi halal
dan melakukan pengawasan terhadap setiap produk yang diberi sertifikat
halal, setelah sebelumnya berada di bawah Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Dengan hadirnya BPJPH sebagai badan baru di Kemenag sesuai
amanat Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal, menjadi sebuah perubahan besar yang baik akan terjadi, khususnya
pada industri produk halal.
Kepala BPJPH, Sukoso menjelaskan bahwa lembaga yang
dipimpinnya berwenang untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan
JPH, menetapkan JPH, menerbitkan atau mencabut sertifikat halal,
melakukan registrasi produk halal impor, melakukan pembinaan auditor
halal, melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal. BPJPH
juga menjamin proses sertifikasi produk Halal hanya membutuhkan waktu
tidak lebih dari 60 hari keja. KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia, mengungkapkan bahwa dengan adanya BPJPH,
pengurusan jaminan produk halal akan menjadi lebih baik dari sebelumnya
karena telah didukung oleh UU JPH sehingga wajib dilakukan MUI
selama 28 tahun hanya secara sukarela. Namun, standarisasi halal yang
dilakukan MUI banyak diadopsi oleh negara-negara Islam di dunia. Lebih
dari 50 Lembaga sertifikasi halal di seluruh dunia memperoleh pengakuan
dari MUI.
40
Selain itu Kemenag Lukman menyatakan bahwa kehadiran BPJPH
diharapkan menjadi stimulan untuk membangkitkan bisnis halal Indonesia,
sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di Dunia.1
1. Sejarah BPJPH
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) masih
seumuran jagung. Lahir tanggal 11 Oktober 2017, BPJPH ini langsung
dipaksa berlari untuk mengemban tugas berat menyelenggarakan
jaminan produk halal di Indonesia. Sebagai anak kandung kemenag
RI, BPJPH sejatinya melanjutkan estafet perjuangan halal yang
kurang lebih 30 tahun dilaksanakan oleh MUI bersama LPPOM-MUI
(Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika).
Karenanya, kurang bijak jika menilai dan berharap lebih terkait
dengan JPH otomatis berjalan seperti sediakala.
Perpindahan pengelolaan dari MUI ke BPJPH perlu masa
transisi yang cukup dan diatur secara smooth dan wise. Insfrastuktur
halal dan sumberdaya yang dimiliki MUI sebagai modal, tapi tak bisa
dialihkan begitu saja dan tiba-tiba. Ketegangan psikologis tak bisa
dipungkiri muncul jua. Struktur organisasi dan manejemen pastilah
berubah senafas dengan bisnis proses yang berbeda. Lingkupan
strategis dan tantangan yang dihadapi BPJPH tentu berbeda dengan
MUI saat mulai pelayanan halal 30 tahun lalu. Kompleksitas
masalahnya juga unik, tidak bisa disamakan. Lebih-lebih ketika
jabang bayi bernama BPJPH lahir di saat perkembangan teknologi,
perubahan sosial, dan kesadaraan publik terhadap hal makin membaik.
Di samping itu, ekspektasi masyarakat sudang kadung besar
kehadiran BPJPH diangankan sebagai era baru penyelenggaraan halal
di Indonesia. BPJPH juga mengambil peran historis dengan
mentransformasi pemberlakuan penyelenggaraan halal di Indonesia
1Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Diresmikan Kemenag diakses di
https://www.kompasiana.com/advertorial/59e05033486932140056902/badan-penyelenggara-
jaminan-produk-halal-bpjph-diresmikan-kementerian-agama-sebagai-badan-sertifikasi-halal (pada 12 Oktober 2019 pukul 20.21).
41
dari semula bersifat sukarela (voluntary) menjadi kewajiban
(mandatory); dari semula dilaksanakan oleh ormas keagamaan Islam
beralih menjadi tanggung jawab negara. Dalam peran krusial ini,
BPJPH menjadi jembatan penghubung relasi agama dan negara yang
secara eksperiensial telah berhasil dilaksanakan oleh umat Islam
Indonesia. Kementerian Agama yang mengusung moderasi beragama
menjadi representasi kemampuan Islam Indonesia mengakomodasi
sekaligus menemukan jalan keluar terbaik bagaimana Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Bagi umat Islam, persoalan halal bukan semata soal produk,
tapi berkaitan dengan spiritualitas karena merupakan perintah agama.
Al-Qur’an menyebut perintah mengkonsumsi makanan yang halal dan
baik (halalan thayyiban). Sekian hadits bicara soal pentingnya
konsumsi halal yang berimplikasi pada pembentukan karakter muslim.
Halal dalam prespektif ushuliyah merupakan kebutyuhan dasar
manusia (ad-dharuriyat al-khamsah) untuk menjaga kelangsungan
hidup.
Pada saat yang sama, penyelenggaraan halal menemukan
pijakan kuat pada konstitusi Indonesia, yakni UUD RI 1945, terutama
pasal 29 ayat 2 yang mengamanatkan “negara menjamin kemerdekaan
tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama
dan kepercayaannya itu”. Untuk menjamin itu, negara berkewajiban
memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang
dikonsumsi dan digunakan masyarakat atas amar inilah, lahir Undang-
undang Nomor 33 Tahun 2014 yang menyebutkan tujuan
penyelenggaraan JPH adalah 1) memberikan kenyamanan, kemanan,
keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat
dalam mengonsumsi dan menggunakan produk; dan 2) meningkatkan
nilai tambah bagi pelaku usaha untuk menproduksi dan menjual
produk halal.
42
Kini, produk halal telah menjadi kesadaran global bahkan gaya
hidup (halal life style). Karenanya mengelola halal meliputi mata
rantai yang panjang, dari hulu ke hilir. Halal-value chain. Halal juga
berkaitan dengan multi-stakeholders. Penetapan kehalalan produk
perlu peran institusi lain: otoritas keagamaan (MUI), lembaga
pemeriksa dan pengujian produk (LPH), pengawas produk (BPOM),
peredaran barang atau produk dari dalam dan luar negeri (kementerian
perindustrian, perdagangan, bea cukai), hubungan luar negeri,
kerjasama internasional dengan lembaga halal negeri (kemenlu),
hingga akreditasi (KAN, BSN). Belum lagi pelaku usaha yang terdiri
atas perusahaan besar, menengah, kecil dan mikro di bawah kordinasi
dan pembinaan kementerian atau lembaga lain (Kemenkes, Kemenkop
UKM, Pemda dan Kemendag). Dan juga banyak pihak yang konsen
dengan halal. Presiden, Wapres, MUI, Para Menteri, Perguruan
Tinggi, Pemda Ormas Keagamaan, Para Pelaku Usaha, Dan Dunia
Bisnis. Untuk memastikan layanan sertifiasi halal disiapkan dengan
optimal, konsolidasi internal dan kordinasi serta komunikasi lintas
instansi mesti harus tempuh. Kepalang tanggung. Amanat Undang-
undang mesti dijalankan. 2
2. Visi dan Misi BPJPH
Visi dan Misi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
a. Visi
“Visinya adalah sebagai lembaga bagaimana menyediakan
kesadaran halal terhadap masyarakat ini diimplementasikan
dalam kinerja”
2Kewajiban Bersertifikasi Halal, diakses di http://sulteng.kemenag.go.id/berita/detail/17-
oktober-2019-selamat-datang-kewajiban-bersertifikat-halal (pada 12 Oktober 2019 pukul 19.44)
43
b. Misi
“Misinya adalah mewujudkan sistem layanan registrasi dan
sertifikasi halal, pembinaan dan pengawasan, kerjasama
lembaga dan standarisasi, dan manajeman organisasi.3
3. Struktur
Bagan : Struktur BPJPH
Gambar 3.1 Struktur BPJPH
Sumber : Dipresentasikan dalam seminar di Universitas Diponegoro
3BPJPH Awali Sosialisasi Sertifikasi Halal dan Pengenalan Badan diakses di
https://kliklegal.com/bpjph-awali-sosialisasi-sertifikasi-halal-dan-pengenalan-badan-/ (pada 13
Oktober pukul 12.37).
KEPALA BPJPH
Prof. Ir. SUKOSO, M.SC., Ph.D
SEKRETARIS
Dr. ABDURRAHMAN, M.Ag
Bag Perencanaan dan Sistem
Instrumen
Bag Organisasi, Kepegawaian
Dan Hukum
Bagian Keuangan Dan
Umum
KEPALA PUSAT
KERJASAMA
DAN
STANDARISASI
Dr. NIFASRI, M.Pd
KEPALA PUSAT
PEMBINAAN
DAN
PENGAWASAN
Drs. H. Abd AMRI SIREGAR, M. Ag
KEPALA PUSAT
REGISTRASI DAN
SERTIFIKASI
HALAL
Hj. SITI AMINAH, S.ag, M.Pd
Bidang Sertifikasi
Bidang Registrasi
Halal
Bidang Verifikasi
Bidang Pengawasan
Bidang Pembinaan
Bidang Standarisasi
Bidang Kerjasama
44
BPJPH merupakan Unit Esselon 1 di Kementerian Agama
Republik Indonesia. BPJPH dipimpin oleh kepala BPJPH membawahi 4
Esselon 2 (1 sekretaris dan 3 kepala pusat). BPJPH memiliki 3 kepala
pusat yaitu Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, Kepala Pusat
Pembinaan dan Pengawasan, serta Kepala Pusat Kerjasama dan
Standarisasi.
a. Sekretaris BPJPH adalah Abdurrahman. Sekretaris memiliki
kewenangan pada bagian perencanaan dan sistem kepegawaian dan
hukum serta bertanggung jawab pada bagian keuangan dan umum.
b. Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal dipimpin oleh Siti
Aminah. Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal memiliki
tanggung jawab pada bidang sertfikasi, bidang registrasi halal, dan
bidang verifikasi.
c. Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan dipimpin oleh Abd. Ammri
siregar. Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan bertanggung jawab
pada bidang pembinaan dan bidang pengawasan.
d. Kepala Pusat Kerjasama dan Standarisasi dipimpin oleh Nifasri.
Kepala Pusat Kerjasama dan Standarisasi bertanggung jawab pada
bidang Kerjasama dan bidang standarisasi.
Dengan sudah dibentuknya struktur organisasi, BPJPH telah
mengambil beberapa langkah yang telah diambil oleh BPJPH untuk
memepersiapkan pelaksanaan penerbitan sertifikat jaminan produk halal:
a. Memfinalkan penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Agama
(RPMA), sekaligus Rancangan Keputusan Menteri Agama
(RPMA/RKMA) terkait pelaksanaan Undang-Undang RPP JPH.
b. Menyelesaikan masalah finalisasi regulasi penetapan tarif dan
penyusanan daftar rincian tarif layanan BPJPH melalui mekanisme
Badan Layanan Umum (BLU).
c. Menyusun pembentukan struktur perwakilan di seluruh provinsi
termasuk penyiapan sistem aplikasi dan informasi manajemen halal
45
yang memadai dalam hal fasilitas penyelenggaraan jaminan produk
halal.
d. Menjalin sinergi dengan Komite Nasioanal Keuangan Syariah
(KNKS) Bappenas dan Departemen Ekonimi dan keuangan syariah
Bank Indonesia dalam upaya pengembangan industri halal untuk
mendorong pertumbuhan perekonomian nasional.4
B. Gambaran Umum Tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI)
1. Tentang MUI
MUI adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,
zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan
langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita
bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri, pada Tanggal, 7 Rajab 1395
H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari
pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang
datang dari berbagai penjuru tanah air. Antara lain meliputi dua puluh
enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang
ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat,
yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah,
Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang
ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang
tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.5
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan
untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama
dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam
4Anis Saul Fatimah, murni penerbitan sertifikat jaminan produk hslsl pasca dibentuk
badan penyelenggara Jaminan Produk Halal. Jurnal, Simposium Hukum Indoneisa.Volume 1
Nomor 1 Tahun 2019. 5Sejarah MUI diakses di http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html,
(Rabu, 02 Oktober 2019, Pukul 21.50)
46
Berdirinya MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah
yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama Indonesia.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia
tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka,
di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik
kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani
umat. Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah
pewaris tugas-tugas para Nabi, maka mereka terpanggil untuk berperan
aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang
pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penjajahan dan
perjuangan kemerdekaan. Disisi lain umat Islam Indonesia menghadapi
tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang
dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang
didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa
nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta
meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.
Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun MUlI sebagai
wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim
berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam
dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang
diridhoi Allah swt memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah
keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat,
meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan
kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan
kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama, pemerintah
dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna
mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta
kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin
dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat
47
khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi
secara timbal balik
C. Sertifikasi Halal di Indonesia
1. Pengaturan Sertifikasi Halal
Pengaturan sertifikasi Halal berdasarkan Undang-undang
Jaminan Produk Halal (UU JPH) bukan Pengambil alihan akan tetapi
penguatan sertifikasi halal yang sudah berjalan selama ini oleh MUI,
maka pengaturan sertifikasi halal tersebut di atur dalam dua periode:
a. Periode sebelum UU JPH:
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
konsumen.
2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan.
3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 69 tentang Label dan Iklan
Pangan.
5) Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang
Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan
Panganan Halal.
6) Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang
Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal.
b. Setelah UU JPH:
1) Undang Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal.
48
2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 31 Tahun
2019 Tentang Jaminan Produk Halal.
3) Peraturan Menteri Agama RI6
2. Ketentuan tentang Produk yang Harus Disertifikasi Halal
a. Pasal 1 UU JPH:
Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan,
minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi,
produk rekayasa genetik, serta barang bangunan yang dipakai,
digunakan, atau dimanfaatkan oleh masayarakat.
b. Pasal 4 UU JPH:
Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah
Indonesia wajib bersertifikasi halal.
c. Pasal 2 PP JPH:
(1) Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di
wilayah Indonesia wajib bersertifikasi halal.
(2) Produk yang berasal dari Bahan yang diharamkan
dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal.
(3) Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
diberikan keterangan tidak halal.
(4) Pelaku Usaha wajib mencantumkan keterangan tidak halal
pada produk sebagaimana dimaksud pada aya (3).
3. Prinsip Dasar Sertifikasi Halal
a. Kemampuan Telusur
Tujuan: Mengetahui dengan pasti dimana produk diproduksi,
bagaimana proses produksinya, apa bahan yang
6Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan undang-undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, Jurnal Keislaman dan Ilmu PendidikaN, Volume 1, Nomoe 2, Juli 2019, h.120
49
digunakan, dari produsen mana dan bagaimana status
kehalalannya.
Cara: Melakukan audit untuk memeriksa bahan, formula,
fasilitas, dokumen pendukung, dan sistem
manajemen.
b. Autentikasi
Tujuan: Untuk memastikan tidak terjadi pemalsuan produk
halal dengan produk haram, tidak terjadi percampuran
bahan haram dalam produk halal dan tidak terjadi
kontaminasi bahan haram ke dalam produk halal.
Cara: Analisis Laboratorium
4. Lembaga-lembaga penyelenggara sertifikasi halal
Digambarkan pada Segitiga Emas Sertifikasi Halal
Gambar 3.2 Lembaga-lembaga penyelenggara sertifikasi halal
BPJPH
MUI LPH
50
a. Tiga institusi yang terlibat dalam penyelenggara sertifikasi halal:
1) Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah
Kementerian Agama.
2) Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Didirikan oleh Universitas,
Yayasan/ Perkumpulan Islam.
3) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
b. Kerjasama BPJPH dan MUI (Pasal 10)
1) Sertifikasi Auditor Halal
2) Penetapan Fatwa Kehalalan Produk
3) Akreditasi LPH
c. yang mendirikan LPH (Pasal 12)
1) Pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan LPH.
2) LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
kesempatan yang sama dalam membantu BPJPH melakukan
pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.
d. Syarat Mendirikan LPH (Pasal 13)
1) Memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;
2) Memiliki akreditasi dari BPJPH;
3) Memiliki auditor halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan
4) Memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan
lembaga lain yang memiliki laboratorium.
e. Syarat Auditor Halal (Pasal 14)
1) Diangkat dan diberhentikan oleh LPH.
2) Memenuhi syarat :
a) Warga Negara Indonesia;
b) Beragama Islam;
51
c) Minimal S1 (Bidang pangan, kimia, biokimia, teknik
industri, biologi, atau farmasi);
d) Memahami dan memiliki wawasan luas mengenai
kehalalan produk menurut syariat Islam ;
e) Mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan
pribadi dan/atau golongan; dan
f) Memperoleh sertifikat dari MUI.
f. Tugas Auditor Halal (Pasal 15)
1) Memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;
2) Memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;
3) Memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;
4) Meneliti lokasi Produk;
5) Meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;
6) Memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;
7) Memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan
8) Melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.
g. Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam Peraturan
Pemerintah
Halal Center Perguruan Tinggi Negeri
Bidang pengabdian pada masyarakat tentang produk halal.
1) Bidang yang melakuan penelitian (interdisipliner) terhadap
masalah produk halal.
2) Bidang yang membina masyarakat tentang pemahaman dan
implementasi produk halal.
3) Berkoordinasi dalam APKAHI (Asosiasi Pusat Kajian Halal
Indonesia)
5. Pembiayaan Sertifikasi Halal
Biaya sertifikasi halal dilakukan melalui akad biaya yang
mencakup biaya pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat
auditor dan rapat komisi fatwa, serta penerbitan sertifikat halal.
Pembiayaan sertifikasi halal ditetapkan berdasarkan suatu pedoman
52
yang sudah sangat jelas, sehingga tidak dimungkinkan adanya
pembiayaan lain yang tidak jelas (invisibility cost).
Pembiayaan sertifikat halal didasarkan pada banyaknya produk,
bahan dan fasilitas produksi yang akan disertifikasi. Pembiayaan
dikenakan sekali saat pendaftaran, Persoalan pembiayaan adalah
masalah krusial yang jika tidak seimbang akan menjadi konflik,
menurut penulis ada baiknya jika pembiayaan tidak disesuaikan
dengan banyaknya produk yang akan di produksi, akan tetapi
mencakup biaya pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat
auditor dan rapat komisi fatwa saja.
4. Sistem Jaminan Halal
Tujuan: Untuk mendapatkan jaminan bahwa selama masa
berlakunya sertifikat halla proses produksi halal akan
dijaga kesinambungannya.
Cara: Mempersyaratkan perusahaan untuk mengembangkan
dan menerapkan Sitem Jaminan Halal, kemudian
Penerapannya dinilai.
53
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Kewenangan BPJPH dan MUI dalam Sertifikasi Halal
berdasakan Undang-undang Nomor. 33 Tahun 2014
1. Kewenangan BPJPH dalam sertifikasi halal
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal, bahwa BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh
Pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH)
terhadap sejumlah produk yang dikonsumsi masyarakat.
Penyelenggaraan Jaminan Produk halal tersebut dalam Pasal 3
bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan
kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam
mengonsumsi dan menggunakan produk dan meningkatkan nilai
tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk
halal.1
Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah
Indonesia wajib bersertifikat halal. Sertifikat halal tersebut merupakan
pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH
berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.
Adapun kewenangan BPJPH adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH.
2. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH.
3. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada
Produk.
1 Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi Fatwa
MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019.
54
4. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri.
5. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal.
6. Melakukan akreditasi terhadap LPH.
7. Melakukan registrasi Auditor Halal.
8. Melakukan pengawasan terhadap JPH.
9. Melakukan pembinaan Auditor Halal.
10. Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di
bidang penyelenggaraan JPH.2
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud diatas
BPJPH bekerja sama dengan kementerian dan atau lembaga terkait
LPH dan MUI. bidang Kerja sama BPJPH dengan MUI adalah
mengenai sertifikasi Auditor Halal, penetapan kehalalan produk dan
akreditasi LPH.3 Dalam melaksanakan wewenang, BPJPH bekerja
sama dengan: a. kementerian dan/atau lembaga terkait; b. LPH; dan c.
MUI.Kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait
dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau
lembaga terkait.Kerja sama BPJPH dengan LPH dilakukan untuk
pemeriksaan dan/atau pengujian Produk.4 Kerjasama BPJPH dengan
MUI dilakukan dalam bentuk: a. sertifikasi Auditor Halal; b.
penetapan kehalalan Produk; dan c. akreditasi LPH.
2 Pasal 6 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
3 Mengenal Kewenangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Diakses di
http://www.gresnews.com/berita/tips/60181-mengenal-kewenangan-badan-penyelenggara-
jaminan-produk-halal/0/ (20 Oktober 2018 Pukul 16.04). 4 Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal
55
Penetapan kehalalan Produk dikeluarkan MUI dalam bentuk
Keputusan Penetapan Halal Produk.5 BPJPH menetapkan LPH untuk
melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.6 LPH
menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk
kepada BPJPH. BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau
pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk memperoleh
penetapan kehalalan Produk.7 Penetapan kehalalan Produk dilakukan
oleh MUI.Penetapan kehalalan Produk dilakukan dalam Sidang Fatwa
Halal.
Keputusan Penetapan Halal Produk disampaikan kepada BPJPH
untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.8 Dalam hal Sidang
Fatwa Halal menetapkan halalpada Produk yang dimohonkan Pelaku
Usaha,BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.9 Undang-undang JPH
mewajibkan semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan
di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, sehingga jaminan
produk halal yang awalnya bersifat sukarela (voluntary) berubah
menjadi wajib (mandatory).
Mulai terbentuknya BPJPH pada tahun 2017 hingga saat ini
belum menunjukkan fungsinya sebagai penyelenggara jaminan produk
halal. BPJPH masih mempersiapkan diri menjalankan amanat
Undang-undang JPH. BPJPH akan mulai berfungsi dengan baik
menjalankaan kewenangannya setelah peraturan pelaksana Undang-
5 Lihat Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014tentangJaminan Produk Halal 6 Lihat Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014tentangJaminan
Produk Halal 7 Lihat Pasal 32 ayat (1), dan (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014tentangJaminan Produk Halal 8 Lihat Pasal 33 ayat (1), (2), dan (6) Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014tentangJaminan Produk Halal 9 Lihat Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014tentangJaminan
Produk Halal
56
undang JPH terbit. Peraturan pelaksana tersebut berupa Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan menteri.
Setelah diresmikan oleh Kementerian Agama pada tanggal 11
Oktober 2017, BPJPH resmi menjalankan fungsi Kementerian Agama
sebagai penyelenggara jaminan produk halal. Undang-undang RI
Nomor 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal ini menjadi dasar
hukum (legalitas) BPJPH dalam menjalankan wewenangnya untuk
bertindak dan mengambil kebijakan dan keputusan dalam memerintah,
melakukan pembinaan dan memberikan pengayoman serta
perlindungan hukum kepada rakyat sehingga tujuan pokok dan fungsi
BPJPH sebagai penyelenggara produk halal dapat terpenuhi.
Wewenang BPJPH dalam penyelenggaraan jaminan produk halal
diperoleh secara Atribusi yang bersifat asli yang berasal dari
perundang-undangan.10
Untuk itu wewenang BPJPH tersebut bersifat Terikat karena
dalam UU JPH tersebut menentukan dengan jelas kapan dan dalam
keadaan bagaimana wewenang dapat digunakan atau peraturan dasar
dalam UU JPH tersebut menentukan tentang isi dari keputusan yang
harus diambil secara terinci. Berbeda dengan sebelumnya,
kewenangan BPJPH bersifat Fakultatif, terjadi dalam hal badan atau
pejabat tata usaha negara diberikan pilihan dalam menerapkan
wewenangnya.11
Perubahan-perubahan BPJPH yang dibawah
Kementerian Agama dapat digambarkan dalam tabel sebgai berikut:
10
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016),
h.105. 11
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016),
h.108.
57
Tabel 4.1 Perubahan BPJPH
No. Katagori
Wewenang
Kewenangan BPJPH
Sesuai UU JPH
Kewenangan BPJPH
Sebelum UU JPH
1. Legalitas UU Nomor 33 Tahun
2014 tentang Jaminan
Produk Halal
PP Nomor 69 Tahun
1999 tentang Label dan
Iklan Pangan
2. Sumber Atribusi (asli dari UU
JPH)
Atribusi (asli dari PP 69
tahun 1999)
3. Sifat Terikat Fakultatif
4. Isi a. Merumuskan dan
menetapkan
kebijakan JPH*)
b. Menetapkan
norma, standar,
prosedur, dan
kriteria JPH*)
c. Menerbitkan dan
mencabut Sertifikat
Halal dan Label
Halal pada
produk***)
d. Melakukan
registrasi Sertifikat
Halal pada produk
luar negeri*)
e. Melakukan
sosialisasi, edukasi,
dan publikasi
produk halal***)
a. Menetapkan
pedoman dan tata
pemeriksaan pangan
halal.
b. Menetapkan
lembaga pemeriksa
pangan halal.
c. Pembinaan dan
perlindungan
terhadap masyarakat
di bidang produk
halal.
d. Pengawasan atas
peredaran produk
pangan berlabel
halal.
e. Menerima laporan
pelaksanaan tugas
dari LPH yang
ditunjuk.
58
f. Melakukan
akreditasi terhadap
LPH*)
g. Melakukan
registrasi Auditor
Halal*)
h. Melakukan
pengawasan
terhadap JPH**)
i. Melaukuan
pembinaan Auditor
Halal*)
j. Melakukan kerja
sama dengan
lembaga dalam dan
luar negeri di
bidang
penyelenggaraan
JPH***)
Keterangan:
*) : Wewenang baru
**) : Wewenang lama
***) : Pelimpahan wewenang dari lembaga pemegang pemengang
sebelumnya.
Disini dapat kita lihat bahwa terdapat perubahan kewenangan
sertifikasi halal yang siginitifkan jika dibandingkan dengan wewenang
sebelumnya disahkannya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal. Yang dulunya berperan hanya sebagai
pembuat kebijakan, sosialisasi, edukasi dan pembinaa, namun saat ini
59
BPJPH adalah penerima wewenang penyelenggara jaminan produk
halal secara penuh mulai dari persoalan regulasi, sosialisasi, edukasi,
sertifikasi, labelisasi, akreditasi, registrasi, pengawasan dan pembinaan.
Walupun dalam pelaksanaannya, BPJPH harus bekerjasama dengan
Kementerian dan atau lembaga terkait, LPH dan MUI. Dari semua
kewenangan tersebut, terdapat beberapa wewenang yang sejak dulu
adalah wewenang Kementerian Agama, yaitu regulasi dan edukasi,
namun juga terdapat wewenang yang berasal dari pengalihan dari
lembaga pelaksanaan sebelumnya, seperti sertifikasi dan labelisasi. Di
samoping itu, juga terdapat wewenang yang di katagorikan baru yang
tidak ada dalam proses penyelenggaraan jaminan produk halal
sebelumnya, yaitu sertifikasi LPH, akreditasi dan pembinaan Auditor
Halal.12
Melihat kewenangan BPJPH saat ini yang memiliki kekuatan
hukum lebih dibandingkan dengan yang dulu, diharpakan dapat
memenuhi harapan masyarakat muslim agar penyelenggaraan Jaminan
Produk Halal dapat lebih terorganisasi dengan asas perlindungan,
keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas
dan efisiensi dan profesional.
2. Kewenangan MUI dalam Sertifikasi Halal
Seperti diketahui MUI adalah pemegang otoritas
penyelenggaraan Sertifikasi Halal sebelum disahkannya UU RI NO. 33
Tahun 2014. Wewenang ini diberikan dalam proses regulasi yang
cukup panjang hingga akhirnya legalitas akhirnya diperoleh di Tahun
2001 dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Agama (KMA)
Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan
Pangan Halal. Dalam KMA tersebut Departemen Agama
mendelegasikan kewenangannya kepada MUI untuk melaksanakan
12
Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi
Fatwa MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019.
60
tugas sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan halal.
Selanjutnya, MUI menyampaikan Mandat kepada LPPOM MUI untuk
menjalankan fungsinya dalam pemeriksaan kehalalan produk-produk
yang beredar di masyarakat sedangkan kewenangan berupa pemberian
Fatwa Halal tetap dipegang oleh Komisi Fatwa MUI.13
Dalam hal pelimpahan wewenang ini, sebagaimana teori
Philipus M. Hadjon tentang sumber wewenang, maka pendelegasian
wewenang dari organ pemerintah kepada organ/ lembaga lain berakibat
hukum beralih pula tanggung jawab delegans dan tangung gugat
kepada delegataris. Artinya dalam pelaksanaan Sertifikasi Halal yang
dilaksanakan oleh MUI, maka tanggung jawab dan tanggung gugat
berada pada MUI sebagai pelaksana wewenang tersebut. Sementara
Mandat yang diberikan oleh MUI kepada LPPOM MUI merupakan
perintah dari atasan kepada organisasi di bawahnya untuk
melaksanakan fungsi Sertifikasi Halal, sementara tanggung jawab dan
tanggung gugat tetap pada pemberi mandat.14 Adapun perbedaan
kewenangan BPJPH dan MUI dapat digambarkan dalam tabel sebagai
berikut.
Tabel: Perbedaan dan Persamaan kewenangan LPPOM MUI dan
kewenangan BPJPH.
LPPOM MUI BPJPH
Perbedaan Menjalankan kewenangan
dalam penerbitan sertifikat
jaminan produk halal
sebelum terbitnya Undang-
undang JPH dan sebelum
Menjalankan penerbitan
sertifikat jaminan produk
halal pasca terbitnya
Undang-undang JPH.
13
Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi
Fatwa MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019. 14
Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016),
hlm. 107.
61
BPJPH siap menjalankan
kewenangannya.
Menyelenggarakan
penerbitan sertifikat
jaminan produk halal
berdasarkan Surat
Keputusan Majelis Ulama
Indonesia Nomor:
Kep./18/MUI/I/1989 yang
membahas permasalahan
hukum halal dan haram
Menyelenggarakan
penerbitan sertifikat jaminan
produk halal berdasarkan
Surat Keputusan Majelis
Ulama Indonesia Nomor:
Kep./18/MUI/I/1989 yang
membahas permasalahan
hukum halal dan haram
Sebelum beralihnya
kewenangan penerbitan
sertifikat jaminan produk
halal kepada BPJPH,
LPPOM MUI merupakan
satusatunya lembaga yang
menyelenggarakan
penerbitan sertifikat
jaminan produk halal.
Setelah BPJPH menjalankan
kewenangan penerbitan
sertifikat jaminan produk
halal, Bentuk kerjasama
dengan LPPOM MUI adalah
sertifikasi auditor halal,
penetapan kehalalan produk,
dan akreditasi LPH
Setelah BPJPH resmi
menjalankan kewenangan
dalam penerbitan sertifikat
jaminan produk halal,
keterlibatan LPPOM MUI
hanya sebagai mitra
kerjasama BPJPH.
Setelah resmi menjalankan
kewenangannya, yang
berwenang menerbitkan dan
mencabut sertifikat jaminan
produk halal adalah BPJPH.
62
Prosedur penerbitan
sertifikat jaminan produk
halal secara umum pelaku
usaha dapat melakukan
pendaftaran online melalui
websiteLPPOM MUI.
Prosedur penerbitan sertifikat
jaminan produk halal, pelaku
usaha mengajukan
permohonan sertifikat halal
secara tertulis kepada
BPJPH.
Dalam menyelenggarakan
jaminan produk halal,
LPPOM MUI bertanggung
jawab kepada MUI.
Dalam menyelenggarakan
jaminan produk halal, BPJPH
bertanggung jawab kepada
Kementerian Agama.
Persamaan Berwenang dalam
menyelenggarakan
penerbitan sertifikat
jaminan produk halal.
Berwenang dalam
menyelenggarakan
penerbitan sertifikat jaminan
produk halal.
Sumber: Dianalisis berdasarkan kewenangan LPPOM MUI dan
BPJPH.15
Selanjutnya, sesudah disahkannya UU JPH, MUI memperoleh
kewenangan secara Atribusi dari peraturan perundang-undangan, yaitu
Pasal 10, UU RI Nomor 33 Tahun 2014 yakni: Sertifikasi Auditor
Halal, Penetapan kehalalan produk, dan Akreditasi LPH. Sertifikasi
Auditor Halal dan Akreditasi LPH adalah wewenang baru yang
merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014,
sedangkan Penetapan kehalalan produk adalah wewenang lama yang
masih dipercayakan kepada MUI sebagai wadah para ulama, zu’ama
dan cendekiawan muslim Indonesia untuk memberikan fatwa
kehalalan produk melalui Komisi Fatwa. Maka dari itu perubahan-
perubahan kewenangan MUI dapat digambarkan dalam tabel sebagai
berikut:
15
Anis Saul Fatimah, Penerbitan Sertifikat Jaminan Produk Halal Pasca Dibentuk
BPJPH, Jurnal Simposium Hukum Indonesia 2019, h.58.
63
Tabel 4.2 Perubahan Kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
No. Kategori
Wewenang
Kewenangan MUI
berdasarkan UU
JPH
Kewenangan MUI
sebelum UU JPH
1. Legalitas UU Nomor 33 Tahun
2014 tentang JPH
KMA Nomor 519
Tahun 2001
2. Sumber Atribusi (asli dari UU
JPH)
Delegasi (dari
Depertemen Agama)
3. Sifat Terikat Fakultatif
4. Isi a. Sertifikasi Auditor
Halal*)
b. Penetapan
Kehalalan
Produk**)
c. Akreditasi LPH*)
Pelaksanaan
pemeriksaan pangan
yang dinyatakan
halal yang dikemas
untuk
diperdagangkan di
Indonesia.
Keterangan:
*) : Wewenang baru
**) : Wewenang lama
Melihat perubahan kewenagan tersebut dapat disimpulkan
bahwa pemerintah tidak mengalihkan sepenuhnya wewenang MUI
pada kementerian Agama dalam Sertifikasi Halal, tetapi justru
difokuskan pada porsinya sebagai kumpulan para ulama pemberi
fatwa dalam penetapan kehalalan produk melalui Sidang Fatwa Halal
bekerjasama dengan pakar dan kementerian atau lembaga terkait.
Wewenang MUI juga lebih diperluas dengan melakukan Sertifikasi
64
Auditor Halal dan Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang
akan didirikan. Sementara LPPOM MUI berkedudukan sebagai salah
satu dari LPH. Jadi apabila dahulu lembaga yang berwenang
memeriksa kehalalan produk (dari aspek ilmianya) hanya LPPOM
MUI, sekarang lembaga-lembaga pemeriksa halal lain dapat memiliki
kewenangan tersebut apabila memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan.16
3. Analisis Pengaturan Penerbitan Sertifikat Jaminan Produk Halal
Setelah dibentuk BPJPH
Indonesia dalam kondisi penduduknya merupakan penduduk
Muslim yang mayoritas beragama Islam, maka tidak ada larangan jika
Agama Islam digunakan sebagai tolok ukur dalam hal ibadah maupun
kegiatan perekonomian dengan menganut sistem ekonomi islam.
Sistem ekonomi islam adalah penerapan ilmu ekonomi yang
dilaksanakan dalam praktik kehidupan sehari-harinya bagi individu,
keluarga, kelompok masyarakat maupun pemerintah/penguasa dalam
rangka mengorganisasi faktor produksi, distribusi, dan pemanfaatan
barang dan jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturan/perundang-
undangan Islam (sunnatullah).17
Sehingga apa yang kita kerjakan dalam memenuhi segala
kebutuhan yang berkaitan dengan perekonomian harus sesuai dengan
Hukum Islam. Halal merupakan bagian dari Hukum Islam yang bebas
dari larangan Hukum Islam. Artinya, halal merupakan bagian
terpenting dalam Agama Islam. Agama Islam selalu mengajarkan
bahwa segala sesuatunya harus halal, termasuk berbagai jenis produk
yang kita konsumsi maupun kita gunakan. Perkembangan mengenai
jaminan produk halaldi Indonesia mulai mendapatkan tanggapan serius
16
Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi
Fatwa MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019.
17
Suhrawardi K. Lubis & Farid Wajdi, “Hukum Ekonomi Islam”, Jakarta Timur:Sinar
Grafika, 2012, h.15
65
oleh pemerintah melalui diterbitkannya Undangundang Nomor 33
Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal selanjutnya disebut
Undang-undang JPH.
Jaminan produk halal adalah sesuatu yang dapat membuktikan
melalui sertifikat jaminan produk halal bahwa produk tersebut halal
untuk di konsumsi oleh konsumen, khususnya konsumen muslim.
Permasalahan halal dan haram suatu produk bukan merupakan
persoalan yang sederhana, karena masalah ini bukan hanya
menyangkut hubungan antar sesama manusia, tetapi menyangkut
hubungan manusia dengan Allah SWT. Seseorang mengkonsumsi
produk halal dan menjauhi yang haram merupakan bentuk ketaatan
konsumen muslim terhadap perintah Allah SWT.
Beberapa faktor penting yang mempengaruhi terbitnya Undang-
undang JPH antara lain adalah bahwa Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.Setelah Undang-undang JPH terbit, maka
memperkuat dan mengatur berbagai regulasi halal yang sebelumnya
tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Undang-
undang JPH merupakan payung hukum bagi pengaturan jaminan
produk halal.
Undang-undang JPH mencakup produk berupa barang dan/atau
jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetika, produk
kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan
yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.18 Untuk
menjangkau kehalalan suatu produk maka perlu proses produk halal.
Produk halal adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan
produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan,
18 Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal
66
pengemasan, pendistribusian, penjualan dan peyajian produk.19 Dengan
demikian, proses produk halal penting diterapkan agar suatu produk
dapat dinyatakan halal dari bahan hingga pengemasannya dan layak
untuk mendapatkan label halal sebagai sertifikat jaminan produk halal.
Dengan demikian masa berlaku tersebut dapat berubah apabila
terdapat penambahan atau pengurangan bahan terhadap suatu produk.
Sampai dengan BPJPH dibentuk, MUI tetap menjalankan tugasnya
dibidang sertifikasi halal.20 Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan
Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi oleh
Auditor Halal. Dengan demikian, dapat dilakukan pengujian di
laboratorium apabila dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana
dimaksud terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya. Sebelum
dibentuk BPJPH proses sertifikasi oleh LPPOM MUI adalah 75 (tujuh
puluh lima) hari dengan melalui beberapa proses yaitu proses selesai
upload sampai pre audit 20 (dua puluh) hari termasuk proses
persetujuan akad, proses selesai pre audit sampai audit 15 (lima belas)
hari, proses audit sampai rapat komisi fatwa 15 (lima belas) hari dan
proses rapat komisi fatwa sampai terbit sertifikat halal 25 (dua puluh
lima) hari.
Penerbit fatwa halal dilakukan oleh MUI. LPPOM MUI
bekerjasama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan
POM), Kementerian Agama, Kementerian Pertanian, Kementerian
Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah Perguruan Tinggi
antara lain Institusi Pertanian Bogor (IPB), Universitas Djuanda, dan
lain sebagainya. Dengan demikian dalam menyelenggarakan
19 Pasal 1 Angka 3 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal 20 Pasal 60 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal
67
penerbitan sertifikat jaminan produk halal LPPOM MUI bekerjasama
dengan beberapa Kementerian dan/atau lembaga terkait. Sesudah
BPJPH menerima pendaftaran penerbitan sertifikat jaminan produk
halal diserahkan ke LPH, kemudian LPH menyerahkan hasil
pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk kepada BPJPH
untuk disampaikan kepada MUI guna untuk mendapatkan penetapan
terhadap kehalalan suatu produk. Kemudian MUI menggelar sidang
fatwa halal paling lama 30 (tiga puluh hari) kerja untuk menetapkan
kehalalan produk.21
Keputusan penetapan kehalalan suatu produk akan disampaikan
MUI kepada BPJPH utuk menjadi acuan dalam penerbitan sertifikat
produk halal. Apabila dalam sidang fatwa halal menyatakan produk
tidak halal, maka BPJPH berhak mengembalikan permohonan
sertifikat produk halal kepada pelaku usaha. Sedangkan yang sudah
dinyatakan halal oleh sidang fatwa halal MUI akan menjadi acuan
BPJPH untuk menerbitkan sertifikat produk halal paling lama 7 (tujuh)
hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan produk diterima dari
MUI.22 Untuk melaksanakan wewenangnya, BPJPH bekerja sama
dengan kementerian terkait dan/atau lembaga terkait, LPH dan MUI.23
Kementerian dan/atau lembaga terkait tersebut bekerja sesuai dengan
tugasnya masingmasing. Kementerian dan/atau lembaga yang terkait
antara lain adalah kementerian dan/atau lembaga yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian,
perdagangan, kesehatan, pertanian, standarisasi dan akredatasi,
koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, serta pengawas obat
dan makanan.
21 Pasal 33 ayat (4) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal. 22 Pasal 35 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal. 23 Pasal 7 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
68
a. Masa Berlaku Sertifikat Halal dalam Pasal 42 UU JPH
1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak
diterbitkan oleh BPJPH, kevuali terdapat perubahan komposisi
Bahan.
2) Sertifikat halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan
mengajukan pembaharuan Sertifikat Halal paling lambat 3
(tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaharuan Sertifikat Halal
diatur dalam Peraturan Menteri.
B. Analisis efektifitas penerapan sertifikasi halal setelah pelaksanaan
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014
1. Problematika penerapan Sertifikasi Halal di Indonesia setelah
berlaku UU Jaminan Produk Halal
Problematika yang menarik untuk dibahas adalah terkait dengan
kesiapan UU JPH untuk berlaku secara penuh pada bulan Oktober
2019. Mengingat sesuai dengan Pasal 67 ayat (1) yang berbunyi
“Kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan
diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang
ini diundangkan.”24
UU JPH diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014, dengan
demikian Oktober 2019 menjadi titik waktu mulainya UU JPH berlaku
secara penuh. Pada subbab ini akan dibahas kesiapan UU JPH pada
Oktober 2019 nanti. Apakah UU JPH akan dapat berjalan dengan
efektif sebagaimana dicita-citakan oleh pembuat Undang-Undang, atau
24
Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan undang-undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, Jurnal Keislaman dan Ilmu PendidikaN, Volume 1, Nomoe 2, Juli 2019, h.125
69
justru akan menjadi tidak efektif mengingat ketidaksiapan dari UU
JPH itu sendiri.25
Hal pertama yang menjadi pekerjaan rumah besar dari kesiapan
UU JPH ini adalah terkait dengan kerangka peraturan penunjang UU
JPH yang memainkan peran besar terkait efektivitas UU JPH. Dalam
hal ini ada banyak sekali ketentuan derivatif di dalam UU JPH yang
semuanya dapat dirangkum dalam 2 bentuk ketentuan, yaitu Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Menteri.
Pertama, Peraturan Pemerintah. Ketentuan turunan dari UU JPH
yang berbentuk Peraturan Pemerintah telah diamanatkan dalam Pasal
11, Pasal 16, Pasal 21 ayat (3), Pasal 44 ayat (3), pasal 46 ayat (3),
Pasal 47 ayat (4), Pasal 52, Pasal 67 ayat (3). Pasal 65 UU JPH
menyebutkan bahwa “Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang
ini diundangkan,” yang berarti seharusnya pada tahun 2016 sudah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah dimaksud. Namun, faktanya
Peraturan Pemerintah yang dimaksud baru keluar pada tanggal 3 Mei
2019, berbarengan dengan penulisan makalah ini.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (selanjutnya disebut PP
UU JPH) ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 April 2019 dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 2019.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa PP UU JPH
keluar terlambat jauh mundur 3 tahun dari amanat Pasal 65 UU JPH.
Hal ini berarti pemerintah dalam hal ini telah tidak tertib hukum atau
melanggar asas tertib hukum penyelenggaraan pemerintahan yang
baik. Padahal apabila PP UU JPH dapat keluar pada tahun 206 maka
pemerintah punya lebih banyak waktu yaitu sekitar 3 tahun untuk
25
Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan undang-undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, Jurnal Keislaman dan Ilmu PendidikaN, Volume 1, Nomoe 2, Juli 2019, h.126
70
menyelesaikan persiapan lain yang dibutuhkan. PP UU JPH faktanya
keluar pada tanggal 3 Mei 2019, sedangkan UU JPH memberi batas
per Oktober 2019 untuk implementasi jaminan produk halal. Hanya 5
bulan waktu tersisa untuk melakukan persiapan.
Memang PP UU JPH keluar sebelum kewajiban implementasi
halal berlaku pada 17 Oktober 2019. Namun, bukan berarti PP UU
JPH dalam sendirinya kemudian otomatis paripurna, siap, dan
sempurna. Beberapa Pasal dalam PP UU JPH juga tengah
dipermasalahkan oleh beberapa pihak, diantarnya yaitu:
a. Kementerian Kesehatan. Berkaitan dengan Pasal 74 (saat RPP
masih Pasal 71) yaitu tentang obat yang jika tidak dikonsumsi akan
berakibat pada keselamatan jiwa pasian. Apakah harus
dikecualikan dari sertifikasi halal atau tidak, hal ini membutuhkan
ketetapan dari Menteri Agama.
b. Kementerian Perindustrian. Menteri Perindustrian menganggap
bahwa implementasi jaminan produk halal yang tertuang dalam
UU JPH dan PP UU JPH ini memberatkan dunia usaha dan sulit
diterapkan dan berpotensi mengganggu iklim investadi di Tanah
Air. Salah satu poin yang perlu direvisi adalah kewajiban
sertifikasi halal pada produk farmasi. Selama ini, obat dan vaksin
menggunakan bahan baku kimia dari berbagai negara, kondisi ini
akan menyulitkan Lembaga penerbit sertifikikat halal dalam
melakukan verifikasi.
c. Kementerian Agama. Sementara dari sisi kemenag ada 2 pasal
yang masih membutuhan pendalaman, yakni terkait Pasal 2 yang
menegaskan agar setiap produk wajib bersertifikat halal.
Kedua, Peraturan Menteri. UU JPH juga mengamanatkan agar
peraturan Menteri dikeluarkan untuk menunjang implementasi jaminan
produk halal, hal ini terlihat dalam Pasal 22 ayat (2), Pasal 28 ayat (4),
Pasal 29 ayat (3), Pasal 30 ayat (3), Pasal 40, Pasal 41 ayat (2), Pasal
42 ayat (3), Pasal 45 ayat (2), Pasal 48 ayat (2), Pasal 55. Bahkan PP
71
UU JPH pun juga masih memerlukan Peraturan Menteri sebagai
peraturan turunan untuk menunjang PP UU JPH.26
2. Hambatan dan Kendala pada aspek ketentuan teknis sertifikasi
halal
Kementerian Agama menandatangani nota kesepahaman
layanan sertifikasi halal dengan 10 kementerian atau lembaga.
Kerjasama itu dalam rangka menyambut pemberlakuan sertifikat halal
yang mulai efektif berlaku kamis, 17 oktober 2019. Kewajiban produk
sertifikasi halal dilakukan secara bertahap. Akan dilakukan dimulai
dari produk makanan dan minuman. Tahap selanjutnya selain
makanan dan minuman (Berdasarkan) Permenag Nomor 26 tahun
2019, penyelenggara jaminan produk halal, penahapan sertifikasi halal
dimulai tanggal 17 Oktober 2019 sampai Oktober 2024.
Kewajiban sertifikasi halal selain makanan dan minuman,
produk-produk yang wajib disertifikasi halal hingga 5 tahun kedepan
mencakup industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah
Potong Hewan (RPH), hingga restoran. Paparan diatas merupakan
pesan dari Undang-undang Nomor 33 tahun 2104 tentang Jaminan
Produk Halal setelah tanggal 17 Oktober 2019 awal proses sertifikasi
sampai selama lima tahun nanti dibina. Untuk persoalan hambatan
Peraturan Menteri Agama (PMA) sebagai beleid yang mengatur teknis
pelaksanaan wajib sertifikasi halal saat ini masih dalam tahap
harmonisasi. Meski demikian ia memastikan hal itu tidak akan
menjadi hambatan bagi proses sertifikasi halal yang dimulai 17
Oktober 2019.
Kendala pada saat ini untuk memberikan jaminan halal kepada
konsumen muslim, pemerintah diminta segera menyelesaikan
26
Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan undang-undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, Jurnal Keislaman dan Ilmu PendidikaN, Volume 1, Nomoe 2, Juli 2019, h.127
72
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Jaminan Produk Halal (JPH).
Dan BPJPH disarankan segera menyiapkan sistem, lemba pemeriksa
halal (LPH) dan insfrastrukturnya, dan sebaiknya BPJPH kerjakan apa
yang bisa dikerjakan sambil menunggu RPP dan JPH selesai. Hal ini
menyampaikan BPJPH juga membutuhkan LPH untuk menasertifikasi
halal, artinya harus ada sumber daya manusia, Prosedur Operasional
Standar (SOP) dan Insfrastruktur.27
3. Analisis alasan Di Indonesia Mayoritas Penduduk Islam
Berlakunya Sertifikasi Halal Tidak Ada Sertifikasi Haram
Adanya sertifikasi halal diberbagai negara, baik itu negara Islam
atau non Islam, saat ini tidak lagi sebatas upaya perlindungan bagi
umat Islam terhadap zat halal dan haram, tetapi melebar menjadi
komoditas dagang. Perlindungan dalam hukum formal menunjukkan
kandungan hukum yang dibuat oleh agama telah tereduksi dan kurang
kuat dalam mengatur hubungan yang lebih nyata dalam kehidupan
bernegara. Tentunya fenomena tersebut bisa disebabkan oleh beberapa
hal. Misalnya di negara-negara sekuler, nilai-nilai yang terkandung
dalam agama tidak lagi menjadi pertimbangan dalam perumusan
kebijakan atau undang-undang. Sebab agama menjadi urusan personal
atau urusan warga negaranya secara perorangan.28
Namun nyatanya di negara-negara sekuler atau negara non Islam
dalam beberapa tahun terakhir telah mencantumkan label halal pada
produk-produknya. Sebut saja Australia, New Zealand, Singapura,
Thailand, Perancis, Jepang, Kanada, Amerika Serikat, dan beberapa
negara lain. Tentu saja negara Islam seperti Arab Saudi dan negara-
negara di Timur Tengah, Malaysia, dan Brunei Darussalam telah lama
melakukan proteksi melalui sertifikasi halal.29
27
https://m.republika.co.id/amp/pf36p6370 28
Lies afroniyati, analisis ekonomi politik sertifikasi halal oleh majelis ulama indonesia,
jurnal kebijakan & administrasi poilitik JKAP Vol 18 No 1 Mei 2014, h.38 29
(http://www.mui. or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=94:pusat-
islam-thailand-kunjungi-mui&catid =1:beritasingkat&Itemid=50).
73
Selanjutnya sertifikasi halal melebar menjadi komoditas dagang.
Pertama, sertifikasi halal tidak bisa lagi berupa “bentuk kepercayaan”
semata. Dengan kata lain, sertifikasi halal tidak lain adalah upaya
antisipasi terhadap bentuk-bentuk penipuan atas kandungan halal
dalam suatu produk. Misalnya dalam produk olahan daging yang
sebagian oleh masyarakat muslim dianggap halal. Namun ketika
diteliti lebih lanjut, daging olahan tersebut ternyata mengandung
bahan atau proses yang tidak halal. Maka, dalam hal ini negara
bertindak sebagai pengawas dengan menjadikan sertifikasi sebagai
sarana yang diwajibkan kepada pengusaha.
Negara melaksanakan penertiban umum (law and order) untuk
mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam
masyarakat. Dapat dikatakan, negara bertindak sebagai stabilisator.
Peran stabilisator ini dilakukan melalui instrumen sertifikasi halal
yang diberlakukan pada dunia usaha. Kedua, melihat pemberlakuan
sertifikasi halal di negara-negara non-Islam tentu mengundang
pertanyaan. Apakah fungsi sertifikasi halal di negara-negara non-
Islam, jika umat Muslim di negara tersebut hanyalah kelompok
minoritas? Jawabannya bisa dilihat dari berbagai perspektif. Namun
kita tahu, bahwa negara-negara non Islam sebagian besar justru adalah
negara-negara maju yang terletak di benua Eropa, Amerika Utara, dan
Asia Timur.
Produk-produk dan hasil industri lebih banyak dipasarkan di
negara-negara berkembang, yang sebagian besar adalah negara-negara
Islam. Bila kemudian diketahui produk yang ditawarkan mengandung
zat-zat haram, tentu akan ditolak mentah-mentah oleh umat Muslim.
Di titik ini, pencantuman sertifikasi halal pada produk-produk dari
negara maju dapat dikatakan sebagai upaya dari strategi perdagangan.
Hal ini juga dilakukan sebagai upaya pertahanan atau memperbanyak
jumlah konsumen di negara-negara yang dijadikan pemasaran. Ketiga,
adanya motif untuk mendapat keuntungan dari pemasaran produk
74
halal.30
Menurut perkiraan Direktur Global Food Research and
Advisory Sdn Bhd, Irfan Sungkar, di Kuala Lumpur, seperti dilansir
dalam situs halalguide.info pada tahun 2007, industri halal dunia
mencapai nilai lebih dari 600 miliar dolar AS dengan populasi pasar
penduduk Muslim sendiri (captive market) sekitar 1,6 miliar orang.31
Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk
produksi dan distribusi barangbarang halal. Hal ini tidak terlepas dari
jumlah umat muslim terbesar di dunia. Survei yang dilakukan oleh
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia (LP POM MUI) pada 2010 lalu menunjukkan bahwa
kepedulian masyarakat terhadap produk halal meningkat. Tahun 2009
adalah sebesar 70 persen, lalu meningkat menjadi 92,2 persen di tahun
2010.32
Maka, sertifikasi halal di Indonesia tampak sebagai suatu
kewajiban yang harus dipenuhi dan sebagai simbol untuk memenuhi
kepentingan mayoritas umat Muslim.
4. Respon Non Muslim dalam menghadapi Undang-undang Nomor
33 Tahun 2014
Contoh dalam penerapan agama Budha yang dimana
membutuhkan simbiosis mutualisme mengapa pemerintah Budha
mendukung sertifikasi halal, alasan terpenting bahwa kepentingan
ekonomilah yang mendorong pemerintah begitu bersemangat
mendukung program-program yang berkaitan dengan sertifikasi halal.
Selanjutnya keuntungan ekonomi yang seperti apa yang diperoleh oleh
agama budha dengan adanya sertifikat halal.33
Keuntungan ekonomi
yang di peroleh agama budha salah satunya negara Thailand, dengan
adanya sertifikasi halal negara Thailand posisinya sebagai salah satu
30
Lies afroniyati, analisis ekonomi politik sertifikasi halal oleh majelis ulama indonesia,
jurnal kebijakan & administrasi poilitik JKAP Vol 18 No 1 Mei 2014, h.39 31
Firmansyah, 2010, http://sacafirmansyah. wordpress.com 32
Puji, 2011, www.republika.co.id 33
Muh. Zumar Aminudin, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia dan
Thailand, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, jurnal shahih vol. I, Nomor I, Januari-juni
2016, h. 34
75
10 negara-negra ekspirtir terbesar di dunia, mau tidak mau Thailand
harus berhubungan dengan negara-negara muslim untuk kepentingan
ekspornya.
Sedangkan untuk kepentingan dalam negeri, Thailand adalah
salah satu tujuan wisata dan pengobatan orang-orang dari luar. Mereka
yang datang dari Asia Tenggara, sebagai tentangga terdekat mayoritas
muslim. Thailand memproyeksikan pertumbuhan yang kuat pada
pengunjung dari negara-negara Muslim, khususnya Indonesia dan
Malaysia, terutama setelah Masyarakat Ekonomi ASEAN berlaku.
Pengunjung dari Uni Emirat Arab, Qatar dan Kuwait merupakan
negara termasuk katagori tertinggi wisatawan Muslim yang
berkunjung ke Thailand. Mereka juga memainkan peran utama dalam
meningkatkan jumlah pengunjung ke negeri gajah putih ini.34
Sedangkan bagi umat Islam Thailand, keuntungan adanya
sertifikasi halal setidaknya ada dua. Pertama, secara praktis, umat
Islam membutuhkan produk-produk yang terjamin kehalalannya.
Kedua, untuk menunjukan keagunan syari’at Islam melalui teknologi
tinggi. Artinya sertifikasi halal itu merupakan minoritas tetapu penting
bagi negara Thailand. Sertifikasi halal dalam persoalan bukan negara
agama, meskipun didominasi oleh Islam namun Indonesia bukanlah
negara Islam. Demikian juga Thailand, meskipun didominasi oleh
Budha, Thailand juga bukan negara Budha. Indonesia adalah negara
republik yang dipimpin oleh seorang presiden, bukan kholifah atau
ulama. Sedangkan Thailand adalah negara kerajaan. 35
Serifikasi halal dalam peran negara di Indonesia maupun
thailand pada awalnya merupakan gerakan civil society. Namun dalm
perkembangan terakhir Indonesia mengalami pergeseran. Jika selama
34
Muh. Zumar Aminudin, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia dan
Thailand, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, jurnal shahih vol. I, Nomor I, Januari-juni
2016, h. 35 35
Muh. Zumar Aminudin, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia dan
Thailand, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, jurnal shahih vol. I, Nomor I, Januari-juni
2016, h. 36
76
ini sertifikasi halal ditangani oleh LPPOM MUI yang merupakan
lembaga swadaya masyarakat, sejak lahirnya Undang-Undang
jaminan produk halal, penanganan sertifikasi menjadi wewenang
negara melalui badan penyelenggara jaminan produk halal (BPJPH)
yang merupakan lembaga negara. Hal ini berarti peran civil society
berkurang, bahkan terpinggirkan. MUI memnag masih memiliki
kewenangan untuk menetapkan halal dan haram. Tetapi proses
formalnya, baik pemeriksaan sintifiknya maupun dikeluarkannya
sertifikat menjadi wewenang BPJPH. Meskipun sampai saat ini belum
terealisasi, namun pada saat nya akan terwujud. 36
36
Muh. Zumar Aminudin, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia dan
Thailand, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, jurnal shahih vol. I, Nomor I, Januari-juni
2016, h. 37
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perubahan Kewenangan Sertifikasi Halal
Pengaturan kewenangan penerbitan sertifikat jaminan produk halal
setelah dibentuk BPJPH, pengajuan sertifikat jaminan produk diajukan
ke BPJPH yang sebelumnya diajukan ke LPPOM MUI. BPJPH
bekerjasama dengan kementerian terkait dan/atau lembaga terkait,
LPH dan MUI.Berbeda dengan sebelum dibentuk BPJPH, LPPOM
MUI bekerjasama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(Badan POM), Kementerian dan/atau lembaga terkait. Proses
sertifikasi sebelum dibentuk BPJPH relatif lama namun setelah
dibentuk BPJPH proses sertifikasi relatif cepat. BPJPH melaksanakan
kewenangannya berdasarkan Undang-undang JPH.
Setelah dibentuk BPJPH, BPJPH belum dapat melaksanakan
kewenangannya dalam penerbitan sertifikat jaminan produk halal.
Dengan adanya beberapa kendala seperti belum terbitnya peraturan
pelaksana dari Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal. BPJPH membutuhkan 20 (duapuluh) peraturan
pelaksana tambahan diantaranya, 1 (satu) Peraturan Presiden, 8
(delapan) Peraturan Pemerintah, dan 11 (sebelas) Peraturan Menteri.
Penerbitan sertifikat jaminan produk halal masih pada Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) dibawah
naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Beberapa kendala seperti
belum adanya peraturan pelaksana tambahan, juga belum ada BPJPH
yang berada ditingkat provinsi. Tidak adanya sosialisasi secara
menyeluruh kepada pelaku usaha juga menyebabkkan BPJPH belum
diakui eksistensinya sebagai penyelenggara jaminan produk halal oleh
pelaku usaha. Sehingga banyak pelaku usaha yang tidak mengetahui
perkembangan sistem jaminan produk halal.
78
2. Efektifitas Penerapan sertifikasi halal di Indonesia
penerapan UU JPH secara penuh pada Oktober 2019 nanti dapat
dikatakan belum siap. UU JPH masih mempunyai beberapa masalah
yang perlu diselesaikan. Lebih lanjut, berdasarkan efektivitas fungsi
dari sistem hukum Lawrence M. Friedman, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa UU JPH sebagai sistem hukum tidak akan dapat
berjalan secara efektif, dikarenakan elemen-elemen (struktur dan
substansi hukum) dari sistem hukum jaminan produk halal masih
menjadi masalah.
B. Saran
Penyelenggaraan jaminan produk halal oleh BPJPH harus disesuaikan
dengan Undang-undang JPH agar keseluruhan yang berkaitan dengan
penerbitan sertifikat jaminan produk halalyang telah diatur dalam Undang-
undang JPH dapat diterapkan secara efisien.
1. Kepada BPJPH di bawah Kementeriaan Agama sebagai penyelenggara
JPH diharapkan dapat segera menuntaskan penyusunan peraturan-
peraturan turunan dari UU RI Nomor 33 Tahun 2014, sehingga dapat
segera diimplementasikan.
2. Kepada Majelis Ulama Indonesia, sebagai mitra kerja Kementerian
Agama diharapkan dapat bekerjasama dalam rangka
menyelenggarakan Sertifikasi Halal sesudah berlakunya UU JPH
secara efektif di Tahun 2019
3. Kepada Kementerian/ lembaga terkait diharapkan dapat bekerjasana
dengan Kementerian Agama dalam penyusunan peraturan turunan
sehingga tercipta harmonisasi yang mendukung implementasi UU JPH.
4. Kepada masyarakat muslim Indonesia, diharapkan dapat berperan serta
dalam mendukung proses penyelenggaran Jaminan Produk Halal.
79
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Al-Qur’anul karim, (Bandung, Sygma: 2009)
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’li Ahkam
al-Qur’an, Juz VI,
Ahmad Hushari. Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Bairut: Dar al-Jil, 1991
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji,
Pedoman Labelisasi Halal, (Jakarta, 2003),
Hadjon M. Philipus, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
(Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 2005).
Hayden M Grant & Friedman M. Lawrence, American Law: An Introduction.
3rd Edition. New York. Oxford University Press. 2017.
HR Ridwan, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2016).
HR. Ridwan. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2016),
Ibn Manzhur, lisan arab, juz XV
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah., Jilid IV, h.316
Mertokusumo Sudikno, Penemuan Hukum : Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 2006.
Muhammad Nasib ar-Rifa’I Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir Ibnu Katsir,
jilid 2 (Gema Insani Press, 1999
Qaradhawi Yusuf, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers, 2002)
Sasmito Adi Wiku, Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam
Labeling Obat dan Makanan, Case Study: Analisis Kebijakan Kesehatan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008.
80
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI
terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan kosmetika, Gaung Persada
Press Group Jakarta. Desember 2013
Surakhmad Winarto, Pengantar Penelitian Ilmiah (Dasar, Metode dan Teknik),
(Bandung:Tarsindo, 1999).
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, Juz II
Wajdi Farid & Lubis K. Surahwardi, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta Timur:Sinar
Grafika, 2012
JURNAL DAN SKRIPSI
Afroniyati Lies, analisis ekonomi politik sertifikasi halal oleh majelis ulama
indonesia, jurnal kebijakan & administrasi poilitik JKAP Vol 18 No 1 Mei
2014.
Aminudin Zumar. Muh, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia
dan Thailand, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, jurnal shahih vol. I,
Nomor I, Januari-juni 2016
Aziz Muhammad, Perspektif Maqashid Al-Syariah Dalam Penyelenggaraan
Jaminan Produk Halal Di Indonesia Pasca Berlakunya Undangundang
Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, AL-HIKMAH
Jurnal Studi Keislaman, Volume 7, Nomor 2, (September, 2017)
Fatimah Saul Anis, murni penerbitan sertifikat jaminan produk hslsl pasca
dibentuk badan penyelenggara Jaminan Produk Halal. Jurnal, Simposium
Hukum Indoneisa.Volume 1 Nomor 1 Tahun 2019.
Hasan Sofyan Kn, Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk
Pangan, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2 (Mei, 2014)
Kusnadi. Moh, Problematika Penerapan undang-undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, Jurnal Keislaman dan Ilmu PendidikaN, Volume 1, Nomoe 2,
Juli 2019
Setiawan Putra Ade, konsentrasi perbandingan hukum, fakultas syariah dan
hukum, 2015. Kewenangan LPPOM MUI Dalam penentuan Sertifikasi
Halal Pasca Berlakunya UU No. 33 Tahun 2014, (Skripsi S-1 Fakultas
81
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2015).
Suparto Susilowati, Harmonisasi Dan Sinkronisasi Pengaturan Kelembagaan
Sertifikasi Halah Terkait Perlindungan Konsumen Muslim Indonesia,
(Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung Jalan Dipati Ukur
Nomor 35 Bandung, Jawa Barat), Jurnal MIMBAR HUKUM Volume 28,
Nomor 3, Oktober 2016,
WAWANCARA
Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi Fatwa MUI, Di Gedung
Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019.
UNDANG-UNDANG
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
WEBSITE
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Diresmikan Kemenag
diakses di
https://www.kompasiana.com/advertorial/59e05033486932140056902/bada
n-penyelenggara-jaminan-produk-halal-bpjph-diresmikan-kementerian-
agama-sebagai-badan-sertifikasi-halal (pada 12 Oktober 2019 pukul 20.21).
BPJPH Awali Sosialisasi Sertifikasi Halal dan Pengenalan Badan diakses di
https://kliklegal.com/bpjph-awali-sosialisasi-sertifikasi-halal-dan-
pengenalan-badan-/ (pada 13 Oktober pukul 12.37).
Kewajiban Bersertifikasi Halal, diakses di
http://sulteng.kemenag.go.id/berita/detail/17-oktober-2019-selamat-datang-
kewajiban-bersertifikat-halal (pada 12 Oktober 2019 pukul 19.44)
Kewenangan, https://id.wiktionary.org, diakses pada tanggal 12 Oktober 2019
pukul 13.48.
Mengenal Kewenangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Diakses di
http://www.gresnews.com/berita/tips/60181-mengenal-kewenangan-badan-
penyelenggara-jaminan-produk-halal/0/ (20 Oktober 2018 Pukul 16.04).
82
Proses sertifikasi halal BPJPH diakses di
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4087877/begini-alur-pengajuan-
sertifikasi-halal-produk-ke-bpjph (22 Oktober 2019, pukul 11.15).
Sejarah MUI diakses di http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-
mui.html, (Rabu, 02 Oktober 2019, Pukul 21.50).
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. PEDOMAN WAWANCARA
1. Bagaimana bentuk kordinasi BPJPH dan MUI dalam sertfikasi
halal?
Nah ketika sertifikat halal ini sudah berjalan 20 (dua puluh) tahunan
lebih selama itukan sertifikat halal sifatnya vooluntary (sukarela)
artinya perusahaan mau dateng atau mendaftarkan sertifikat halal
boleh, tidak dateng juga tidak apa-apa tidak ada kewajiban. Kemudian
karna tidak ada kewajiban akhirnya perusahaan ada yang sukarela
mendaftarkan sertifikasi halal, dan ada yang tidak sama sekali,
sementara tugas fungsi peran MUI riayadhul ummah aqidatan
wasyariatan. Dengan barang exspor impor makin banyak beredar
makin banyak beraneka ragam, masyarakat makin ragu akan
kehalalannya, makan dengan konteks melindungi syariat ummat
islam, MUI bersama kemenag kemudian menegaskan perlunya ada
UUJPH, inti perjuangan MUI cuma satu, "supaya halal ini tidak lagi
vooluntary, tapi mandatory (wajib), ketika akan diwajibkan, berarti
suatu produk akan disertifikasikan banyak, siapa yang bisa menangani
sesuatu yang besar ini, negaralah yang bisa melakukan itu, maka
UUJPH diamanatkan dibentuk yang namanya BPJPH dibawah
kemenag, tetapi masalah halal haram menjadi otoritas ulama MUI,
nah karna nanti banyak yang akan diaudit, pastinya ada lembaga
auditnya, melibatkan LPH, LPPOM, nah LPH ini klo satu nanti
keberatan, maka di undang-undang dibukalah kemungkinan
perguruan tinggi islam atau ormas islam untuk membuat LPH, jadi
dalam hal sertifikasi ada 3 (tiga) lembaga :ada BPJPH ada LPH dan
MUI.1
1 Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub Selaku Angota Komisi Fatwa MUI,
di Gedung Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, 21 Oktober 2019.
2. Bagaimana bentuk Wewenang BPJPH saat ini?
Dalam melaksanakan wewenang, BPJPH bekerja sama dengan: a.
kementerian dan/atau lembaga terkait; b. LPH; dan c. MUI.Kerja
sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait dilakukan
sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga
terkait.Kerja sama BPJPH dengan LPH dilakukan untuk pemeriksaan
dan/atau pengujian Produk.2 Kerjasama BPJPH dengan MUI
dilakukan dalam bentuk: a. sertifikasi Auditor Halal; b. penetapan
kehalalan Produk; dan c. akreditasi LPH. Penetapan kehalalan Produk
dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal
Produk.3BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan
dan/atau pengujian kehalalan Produk.4 LPH menyerahkan hasil
pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH.
BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
kehalalan Produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan
kehalalan Produk.5 Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh
MUI.Penetapan kehalalan Produk dilakukan dalam Sidang Fatwa
Halal. Keputusan Penetapan Halal Produk disampaikan kepada
BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal. Dalam hal ini
Sidang Fatwa Halal menetapkan halalpada Produk yang dimohonkan
Pelaku Usaha,BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.6
2 Lihat Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014tentangJaminan Produk Halal 3 Lihat Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014tentangJaminan Produk Halal 4 Lihat Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014tentangJaminan
Produk Halal 5 Lihat Pasal 32 ayat (1), dan (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014tentangJaminan Produk Halal
3. Bagaimana pelaku usaha dalam menajalnkan sertifikasi halal?
pelaku usaha pemula yang belum memiliki sertifikat jaminan produk
halal dan melakukan pengajuan awal belum memahami mengenai
adanya Undang-undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan tidak
mengetahui bahwa Pemerintah sudah membentuk lembaga jaminan
produk halal yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH) serta tidak pernah mendapatkan sosialisasi mengenai
bagaimana cara memperoleh sertifikat jaminan produk halal. Dengan
demikian, menyebabkan BPJPH belum banyak diketahui oleh pelaku
usaha.Untuk pelaku usaha yang sudah menjalankan usahanya relatif
lama dan memahami mengenai prosedur penerbitan sertifikat jaminan
produk halal serta pentingnya jaminan produk halal maka akan
berusaha mengikuti regulasi mengenai jaminan produk halal.
Sebagian pelaku usaha yang sudah sering mendaftarkan produknya
untuk mendapatkan sertifikat jaminan produk halal sudah
mendapatkan sosialisasi mengenai bagaimana cara memeperoleh
sertifikat halal dan mengetahui adanya BPJPH sebagai lembaga
penerbitan sertifikat jaminan produk halal. Sehingga kemudian pelaku
usaha tahu kemana akan mendaftarkan dan/atau memperpanjang
sertifikat jaminan halal produknya. Oleh karena itu, terkait dengan
keadaan tersebut akan memudahkan BPJPH untuk menjalankan
kewenangannya.
4. Lembaga-lembaga apa saja yang dapat berpartisipasi dalam posisi
atau wewenang BPJPH, dan bagaimana proses sertifikasi halal?
a. Tiga institusi yang terlibat dalam penyelenggara sertifikasi
halal:
1) Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah
Kementerian Agama.
2) Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Didirikan oleh Universitas,
Yayasan/ Perkumpulan Islam.
3) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
b. Kerjasama BPJPH dan MUI (Pasal 10)
1) Sertifikasi Auditor Halal
2) Penetapan Fatwa Kehalalan Produk
3) Akreditasi LPH
c. yang mendirikan LPH (Pasal 12)
1) Pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan LPH.
2) LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
kesempatan yang sama dalam membantu BPJPH melakukan
pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.
d. Syarat Mendirikan LPH (Pasal 13)
1) Memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;
2) Memiliki akreditasi dari BPJPH;
3) Memiliki auditor halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan
4) Memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan
lembaga lain yang memiliki laboratorium.
e. Syarat Auditor Halal (Pasal 14)
1) Diangkat dan diberhentikan oleh LPH.
2) Memenuhi syarat :
a) Warga Negara Indonesia;
b) Beragama Islam;
c) Minimal S1 (Bidang pangan, kimia, biokimia, teknik
industri, biologi, atau farmasi);
d) Memahami dan memiliki wawasan luas mengenai
kehalalan produk menurut syariat Islam ;
e) Mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan
pribadi dan/atau golongan; dan
f) Memperoleh sertifikat dari MUI.
f. Tugas Auditor Halal (Pasal 15)
1) Memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;
2) Memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;
3) Memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;
4) Meneliti lokasi Produk;
5) Meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;
6) Memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;
7) Memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan
8) Melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada
LPH.
g. Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam
Peraturan Pemerintah
Halal Center Perguruan Tinggi Negeri
Bidang pengabdian pada masyarakat tentang produk halal.
1) Bidang yang melakuan penelitian (interdisipliner) terhadap
masalah produk halal.
2) Bidang yang membina masyarakat tentang pemahaman dan
implementasi produk halal.
3) Berkoordinasi dalam APKAHI (Asosiasi Pusat Kajian Halal
Indonesia)
Dokumentasi saat wawancara
Wawancara bersama Bapak Aminudin Yakub. M.Ag Anggota Komisi
Fatwa MUI
SALINAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2014
TENTANG
JAMINAN PRODUK HALAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya
itu;
b. bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk
beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara
berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan
tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan
digunakan masyarakat;
c. bahwa produk yang beredar di masyarakat belum
semua terjamin kehalalannya;
d. bahwa pengaturan mengenai kehalalan suatu produk
pada saat ini belum menjamin kepastian hukum dan
perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-
undangan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d perlu membentuk Undang-Undang tentang Jaminan
Produk Halal;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J, dan
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan . . .
- 2 -
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait
dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk
kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik,
serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh masyarakat.
2. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan
halal sesuai dengan syariat Islam.
3. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH
adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin
kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.
4. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk
membuat atau menghasilkan Produk.
5. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya
disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap
kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan
Sertifikat Halal.
6. Badan . . .
- 3 -
6. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang
selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang
dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan
JPH.
7. Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya
disingkat MUI adalah wadah musyawarah para
ulama, zuama, dan cendekiawan muslim.
8. Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat
LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan
pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan
Produk.
9. Auditor Halal adalah orang yang memiliki
kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan
Produk.
10. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu
Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan
fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.
11. Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk.
12. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau
badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan
badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan
usaha di wilayah Indonesia.
13. Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap PPH.
14. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan
hukum.
15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang agama.
Pasal 2 . . .
- 4 -
Pasal 2
Penyelenggaraan JPH berasaskan:
a. pelindungan;
b. keadilan;
c. kepastian hukum;
d. akuntabilitas dan transparansi;
e. efektivitas dan efisiensi; dan
f. profesionalitas.
Pasal 3
Penyelenggaraan JPH bertujuan:
a. memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan,
dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi
masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan
Produk; dan
b. meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha
untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.
Pasal 4
Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di
wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
BAB II
PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) Pemerintah bertanggung jawab dalam
menyelenggarakan JPH.
(2) Penyelenggaraan . . .
- 5 -
(2) Penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk
BPJPH yang berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri.
(4) Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk
perwakilan di daerah.
(5) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan
organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
Pasal 6
Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
JPH;
c. menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan
Label Halal pada Produk;
d. melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk
luar negeri;
e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi
Produk Halal;
f. melakukan akreditasi terhadap LPH;
g. melakukan registrasi Auditor Halal;
h. melakukan pengawasan terhadap JPH;
i. melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
j. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan
luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
Pasal 7 . . .
- 6 -
Pasal 7
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan:
a. kementerian dan/atau lembaga terkait;
b. LPH; dan
c. MUI.
Pasal 8
Kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau
lembaga terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf a dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi
kementerian dan/atau lembaga terkait.
Pasal 9
Kerja sama BPJPH dengan LPH sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b dilakukan untuk pemeriksaan
dan/atau pengujian Produk.
Pasal 10
(1) Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam
bentuk:
a. sertifikasi Auditor Halal;
b. penetapan kehalalan Produk; dan
c. akreditasi LPH.
(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dikeluarkan MUI dalam bentuk
Keputusan Penetapan Halal Produk.
Pasal 11 . . .
- 7 -
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketiga
Lembaga Pemeriksa Halal
Pasal 12
(1) Pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan
LPH.
(2) LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai kesempatan yang sama dalam
membantu BPJPH melakukan pemeriksaan
dan/atau pengujian kehalalan Produk.
Pasal 13
(1) Untuk mendirikan LPH sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan:
a. memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;
b. memiliki akreditasi dari BPJPH;
c. memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga)
orang; dan
d. memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja
sama dengan lembaga lain yang memiliki
laboratorium.
(2) Dalam hal LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh
lembaga keagamaan Islam berbadan hukum.
Pasal 14 . . .
- 8 -
Pasal 14
(1) Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf c diangkat dan diberhentikan oleh LPH.
(2) Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. berpendidikan paling rendah sarjana strata 1
(satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik
industri, biologi, atau farmasi;
d. memahami dan memiliki wawasan luas
mengenai kehalalan produk menurut syariat
Islam;
e. mendahulukan kepentingan umat di atas
kepentingan pribadi dan/atau golongan; dan
f. memperoleh sertifikat dari MUI.
Pasal 15
Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
bertugas:
a. memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;
b. memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;
c. memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;
d. meneliti lokasi Produk;
e. meneliti peralatan, ruang produksi, dan
penyimpanan;
f. memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;
g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan
h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
kepada LPH.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB III . . .
- 9 -
BAB III
BAHAN DAN PROSES PRODUK HALAL
Bagian Kesatu
Bahan
Pasal 17
(1) Bahan yang digunakan dalam PPH terdiri atas
bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan
bahan penolong.
(2) Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal
dari:
a. hewan;
b. tumbuhan;
c. mikroba; atau
d. bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi,
proses biologi, atau proses rekayasa genetik.
(3) Bahan yang berasal dari hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a pada dasarnya halal,
kecuali yang diharamkan menurut syariat.
Pasal 18
(1) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)
meliputi:
a. bangkai;
b. darah;
c. babi; dan/atau
d. hewan yang disembelih tidak sesuai dengan
syariat.
(2) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.
Pasal 19 . . .
- 10 -
Pasal 19
(1) Hewan yang digunakan sebagai bahan Produk wajib
disembelih sesuai dengan syariat dan memenuhi
kaidah kesejahteraan hewan serta kesehatan
masyarakat veteriner.
(2) Tuntunan penyembelihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
(1) Bahan yang berasal dari tumbuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b pada
dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau
membahayakan kesehatan bagi orang yang
mengonsumsinya.
(2) Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang
dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi,
atau proses rekayasa genetik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan huruf
d diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau
pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau
terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan.
(3) Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri
berdasarkan fatwa MUI.
Bagian Kedua
Proses Produk Halal
Pasal 21
(1) Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan
dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk
tidak halal.
(2) Lokasi . . .
- 11 -
(2) Lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib:
a. dijaga kebersihan dan higienitasnya;
b. bebas dari najis; dan
c. bebas dari Bahan tidak halal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, tempat, dan
alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi,
tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis; atau
b. denda administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif diatur dalam
Peraturan Menteri.
BAB IV
PELAKU USAHA
Pasal 23
Pelaku Usaha berhak memperoleh:
a. informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem
JPH;
b. pembinaan dalam memproduksi Produk Halal; dan
c. pelayanan untuk mendapatkan Sertifikat Halal
secara cepat, efisien, biaya terjangkau, dan tidak
diskriminatif.
Pasal 24 . . .
- 12 -
Pasal 24
Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat
Halal wajib:
a. memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;
b. memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara
Produk Halal dan tidak halal;
c. memiliki Penyelia Halal; dan
d. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada
BPJPH.
Pasal 25
Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal
wajib:
a. mencantumkan Label Halal terhadap Produk yang
telah mendapat Sertifikat Halal;
b. menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh
Sertifikat Halal;
c. memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat
pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara
Produk Halal dan tidak halal;
d. memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku
Sertifikat Halal berakhir; dan
e. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada
BPJPH.
Pasal 26
(1) Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan
yang berasal dari Bahan yang diharamkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20
dikecualikan dari mengajukan permohonan
Sertifikat Halal.
(2) Pelaku . . .
- 13 -
(2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada
Produk.
Pasal 27
(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai
sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif; atau
c. pencabutan Sertifikat Halal.
(2) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)
dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis; atau
c. denda administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 28
(1) Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 huruf c bertugas:
a. mengawasi PPH di perusahaan;
b. menentukan tindakan perbaikan dan
pencegahan;
c. mengoordinasikan PPH; dan
d. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat
pemeriksaan.
(2) Penyelia Halal harus memenuhi persyaratan:
a. beragama Islam; dan
b. memiliki wawasan luas dan memahami syariat
tentang kehalalan.
(3) Penyelia . . .
- 14 -
(3) Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan
dan dilaporkan kepada BPJPH.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal
diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB V
TATA CARA MEMPEROLEH SERTIFIKAT HALAL
Bagian Kesatu
Pengajuan Permohonan
Pasal 29
(1) Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku
Usaha secara tertulis kepada BPJPH.
(2) Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi
dengan dokumen:
a. data Pelaku Usaha;
b. nama dan jenis Produk;
c. daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
d. proses pengolahan Produk.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengajuan permohonan Sertifikat Halal diatur
dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Penetapan Lembaga Pemeriksa Halal
Pasal 30
(1) BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan
pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.
(2) Penetapan . . .
- 15 -
(2) Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)
hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dinyatakan lengkap.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penetapan LPH diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan dan Pengujian
Pasal 31
(1) Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
dilakukan oleh Auditor Halal.
(2) Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi
usaha pada saat proses produksi.
(3) Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang
diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian
di laboratorium.
(4) Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha
wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.
Pasal 32
(1) LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau
pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH.
(2) BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau
pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk
memperoleh penetapan kehalalan Produk.
Bagian . . .
- 16 -
Bagian Keempat
Penetapan Kehalalan Produk
Pasal 33
(1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.
(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.
(3) Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mengikutsertakan pakar, unsur
kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait.
(4) Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil
pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari
BPJPH.
(5) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh MUI.
(6) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH
untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.
Bagian Kelima
Penerbitan Sertifikat Halal
Pasal 34
(1) Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menetapkan halal
pada Produk yang dimohonkan Pelaku Usaha,
BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.
(2) Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menyatakan
Produk tidak halal, BPJPH mengembalikan
permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha
disertai dengan alasan.
Pasal 35 . . .
- 17 -
Pasal 35
Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1) diterbitkan oleh BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak keputusan kehalalan Produk
diterima dari MUI.
Pasal 36
Penerbitan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 wajib dipublikasikan oleh BPJPH.
Bagian Keenam
Label Halal
Pasal 37
BPJPH menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku
nasional.
Pasal 38
Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal
wajib mencantumkan Label Halal pada:
a. kemasan Produk;
b. bagian tertentu dari Produk; dan/atau
c. tempat tertentu pada Produk.
Pasal 39
Pencantuman Label Halal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak
mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 41 . . .
- 18 -
Pasal 41
(1) Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 dan Pasal 39 dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis; atau
c. pencabutan Sertifikat Halal.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Pembaruan Sertifikat Halal
Pasal 42
(1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun
sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat
perubahan komposisi Bahan.
(2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku
Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat
Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa
berlaku Sertifikat Halal berakhir.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan
Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 43
Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses
JPH wajib menjaga kerahasiaan formula yang tercantum
dalam informasi yang diserahkan oleh Pelaku Usaha.
Bagian . . .
- 19 -
Bagian Kedelapan
Pembiayaan
Pasal 44
(1) Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku
Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat
Halal.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro
dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi
oleh pihak lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi
halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
(1) BPJPH dalam mengelola keuangan menggunakan
pengelolaan keuangan badan layanan umum.
(2) Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan BPJPH
diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VI
KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 46
(1) Pemerintah dapat melakukan kerja sama
internasional dalam bidang JPH sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kerja sama internasional dalam bidang JPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berbentuk pengembangan JPH, penilaian
kesesuaian, dan/atau pengakuan Sertifikat Halal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama JPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 47 . . .
- 20 -
Pasal 47
(1) Produk Halal luar negeri yang diimpor ke Indonesia
berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
(2) Produk Halal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak perlu diajukan permohonan Sertifikat Halalnya
sepanjang Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga
halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama
saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (2).
(3) Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib diregistrasi oleh BPJPH sebelum Produk
diedarkan di Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai tata cara registrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3)
dikenai sanksi administratif berupa penarikan
barang dari peredaran.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 49
BPJPH melakukan pengawasan terhadap JPH.
Pasal 50 . . .
- 21 -
Pasal 50
Pengawasan JPH dilakukan terhadap:
a. LPH;
b. masa berlaku Sertifikat Halal;
c. kehalalan Produk;
d. pencantuman Label Halal;
e. pencantuman keterangan tidak halal;
f. pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara
Produk Halal dan tidak halal;
g. keberadaan Penyelia Halal; dan/atau
h. kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.
Pasal 51
(1) BPJPH dan kementerian dan/atau lembaga terkait
yang memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat
melakukan pengawasan secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama.
(2) Pengawasan JPH dengan kementerian dan/atau
lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
BAB . . .
- 22 -
BAB VIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 53
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam
penyelenggaraan JPH.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berupa:
a. melakukan sosialisasi mengenai JPH; dan
b. mengawasi Produk dan Produk Halal yang
beredar.
(3) Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk
dan Produk Halal yang beredar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b berbentuk
pengaduan atau pelaporan ke BPJPH.
Pasal 54
BPJPH dapat memberikan penghargaan kepada
masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan
JPH.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta
masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam
Peraturan Menteri.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 56
Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk
yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
Pasal 57 . . .
- 23 -
Pasal 57
Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses
JPH yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang
tercantum dalam informasi yang diserahkan Pelaku
Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 58
Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum
Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku
sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersebut berakhir.
Pasal 59`
Sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau
perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan
tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku
sebelum Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 60
MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi
Halal sampai dengan BPJPH dibentuk.
Pasal 61
LPH yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini
berlaku diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan
dengan ketentuan dalam Pasal 13 paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak BPJPH dibentuk.
Pasal 62 . . .
- 24 -
Pasal 62
Auditor halal yang sudah ada sebelum Undang-Undang
ini berlaku diakui sebagai Auditor Halal dan wajib
menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 14 dan
Pasal 15 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 63
Penyelia Halal perusahaan yang sudah ada sebelum
Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai Penyelia Halal
dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal
28 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 64
BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 65
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 66 . . .
- 25 -
Pasal 66
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur
mengenai JPH dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 67
(1) Kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang
beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku
5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
(2) Sebelum kewajiban bersertifikat halal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku, jenis Produk yang
bersertifikat halal diatur secara bertahap.
(3) Ketentuan mengenai jenis Produk yang bersertifikat
halal secara bertahap sebagaimana diatur pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 68
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 26 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 295
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2014
TENTANG
JAMINAN PRODUK HALAL
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan
menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan
pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang
dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk
Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan,
keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi,
efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu,
jaminan penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan
kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan
Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan
menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi
Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.
Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan
kosmetik berkembang sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara
nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku
untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta Produk
lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi
pengolahan . . .
- 2 -
pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu
pengetahuan. Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan percampuran
antara yang halal dan yang haram baik disengaja maupun tidak
disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan
kesucian suatu Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang
membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di
bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi,
dan pemahaman tentang syariat.
Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang
beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya.
Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang
memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum
memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat
muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai JPH perlu diatur
dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup
Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan
makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk
biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang
dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini antara
lain adalah sebagai berikut.
1. Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan
produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari
bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang
dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses
rekayasa genetik. Di samping itu, ditentukan pula PPH yang
merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan
Produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan
penyajian Produk.
2. Undang . . .
- 3 -
2. Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha
dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang
memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang
diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas
keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian
tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah
terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Produk.
3. Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah
bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH yang
pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH. Dalam menjalankan
wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian
dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH.
4. Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan
permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH.
Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan
dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk
dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi
dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI. Penetapan kehalalan
Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI
dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang
ditandatangani oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal
berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI
tersebut.
5. Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang
mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka
memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, Undang-
Undang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah
melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah
daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah,
perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan
komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku
usaha mikro dan kecil.
6. Dalam . . .
- 4 -
6. Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH,
BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku
Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman Label Halal;
pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat
dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal
dan tidak halal; keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan
lain yang berkaitan dengan JPH.
7. Untuk menjamin penegakan hukum terhadap pelanggaran
Undang-Undang ini, ditetapkan sanksi administratif dan sanksi
pidana.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas “pelindungan” adalah bahwa
dalam menyelenggarakan JPH bertujuan melindungi
masyarakat muslim.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas “keadilan” adalah bahwa dalam
penyelenggaraan JPH harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas “kepastian hukum” adalah
bahwa penyelenggaraan JPH bertujuan memberikan
kepastian hukum mengenai kehalalan suatu Produk yang
dibuktikan dengan Sertifikat Halal.
Huruf d . . .
- 5 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas “akuntabilitas dan
transparansi” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan penyelenggaraan JPH harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas “efektivitas dan efisiensi” adalah
bahwa penyelenggaraan JPH dilakukan dengan berorientasi
pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna serta
meminimalisasi penggunaan sumber daya yang dilakukan
dengan cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau
terjangkau.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas “profesionalitas” adalah bahwa
penyelenggaraan JPH dilakukan dengan mengutamakan
keahlian yang berdasarkan kompetensi dan kode etik.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7 . . .
- 6 -
Pasal 7
Huruf a
Kementerian dan/atau lembaga terkait antara lain
kementerian dan/atau lembaga yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perindustrian, perdagangan,
kesehatan, pertanian, standardisasi dan akreditasi, koperasi
dan usaha mikro, kecil dan menengah, serta pengawasan
obat dan makanan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 8
Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian
misalnya dalam hal pengaturan serta pembinaan dan pengawasan
industri terkait dengan bahan baku dan bahan tambahan pangan
yang digunakan untuk menghasilkan Produk Halal.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan
misalnya dalam pembinaan kepada Pelaku Usaha dan
masyarakat, pengawasan Produk Halal yang beredar di pasar,
serta perluasan akses pasar.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan
misalnya dalam hal penetapan cara produksi serta cara distribusi
obat, termasuk vaksin, obat tradisional, kosmetik, alat kesehatan,
perbekalan kesehatan rumah tangga, makanan, dan minuman.
Bentuk . . .
- 7 -
Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian
misalnya dalam hal penetapan persyaratan rumah potong
hewan/unggas dan unit potong hewan/unggas, pedoman
pemotongan hewan/unggas dan penanganan daging hewan serta
hasil ikutannya, pedoman sertifikasi kontrol veteriner pada unit
usaha pangan asal hewan, dan sistem jaminan mutu dan
keamanan pangan hasil pertanian.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang standardisasi
dan akreditasi misalnya dalam hal persyaratan untuk
pemeriksaan, pengujian, auditor, lembaga pemeriksa, dan
lembaga sertifikasi dalam sistem JPH sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi,
usaha mikro, kecil, dan menengah misalnya dalam hal
menyiapkan Pelaku Usaha mikro dan kecil dalam sosialisasi dan
pendampingan sertifikasi kehalalan Produk.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan
obat dan makanan misalnya dalam hal pengawasan produk
pangan, obat, dan kosmetik dalam dan luar negeri yang
diregistrasi dan disertifikasi halal.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12 . . .
- 8 -
Pasal 12
Ayat (1)
LPH yang didirikan pemerintah antara lain LPH yang
didirikan oleh kementerian dan/atau lembaga atau LPH yang
didirikan oleh perguruan tinggi negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21 . . .
- 9 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keterangan tidak halal” adalah
pernyataan tidak halal yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Produk. Keterangan dapat berupa gambar,
tanda, dan/atau tulisan.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29 . . .
- 10 -
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39 . . .
- 11 -
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kriteria “usaha mikro dan kecil” didasarkan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang usaha
mikro dan kecil.
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain Pemerintah
melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah
daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah,
perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi,
dan komunitas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 45 . . .
- 12 -
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 13 -
Huruf b
Pengawasan Produk dan Produk Halal yang beredar
antara lain pengawasan terhadap masa berlaku
Sertifikat Halal, pencantuman Label Halal atau
keterangan tidak halal, serta penyajian antara Produk
Halal dan tidak halal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61 . . .
- 14 -
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5604
Recommended