View
238
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
64
KONSTRUKSI MAKNA TOLERANSI BERAGAMA DAN
IDEOLOGI PLURALISME FILM HARMONI DALAM “?”
Muhamad Husni Mubarok
Pogram Studi Ilmu Komunikasi Universitas Buddhi Dharma
mohammed.nie@gmail.com
ABSTRAK
Film Harmoni dalam “?” mengangkat peristiwa sehari-hari yang
bersinggungan dengan toleransi beragama di Indonesia. Film ini pun
mengandung pesan-pesan yang tersembunyi didalamnya. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui makna dibalik simbol toleransi beragama
dalam film. Harmoni dalam “?” adalah film yang mengangkat tema
religi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menelaah penelitian ini,
penulis menggunakan metode kualitatif dengan analisis semiotika
Roland Barthes. Penulis meneliti lima scene dalam film yang
menggambarkan toleransi beragama.
Berdasarkan analisis denotasi dan konotasi, penulis menemukan
mitos yaitu tokoh masyarakat penting sebagai peredam konflik,
makanan halal di restoran Cina tidak laku dijual, perceraian dan pindah
keyakinan adalah kesalahan fatal, kebebasan seni tidak dapat dibatasi,
dan umat Islam selalu menghargai umat lain. Hasilnya menunjukkan
bahwa simbol toleransi beragama tidak lepas dari sebuah ideologi yakni
pluralisme. Penulis menyimpulkan bahwa pembuat film mengajak
penontonnya untuk melihat bahwa pluralisme berguna untuk membina
kerukunan beragama di Indonesia.
Kata Kunci: Komunikasi Massa, Simbol, Semiotika, Toleransi,
Pluralisme.
ABSTRACT
Film Harmony in " ? " elevates the phenomenon in society which
intersect the religious tolerance in Indonesia . This film also contains
hidden messages in it. The aim of this research is to find out the
meaning which is hidden in the symbols of religious tolerance in the
film. Harmoni dalam “?” is a movie with religious theme which is
applied in social life. In discussing the matter, the writer used
qualitative method with semiotic analysis of Roland Barthes. The writer
analyzed five scenes which described the symbols of religious
tolerance.
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
65
Based on the process of denotation and connotation, the myths
were identified that public figure was an important person who can
solve the conflict, “halal” food, which was available in Chinese
restaurant, would not be sold out, divorce and apostate were fatal
error, artistic freedom couldn’t be limited and Moslem would always
bore mutual respect to the other religion. The result showed those
symbols was influenced by an ideology, which was pluralism. He
concludes that the film maker encourages the audience that pluralism
is useful to build inter religion relationship in Indonesia.
Keywords: Mass Communication, Symbols, Semiotic, Tolerance,
Pluralism.
PENDAHULUAN
Fenomena komunikasi dewasa ini tidak terlepas dari peranan
media. Media massa menampilkan diri dan turut berpartisipasi dalam
pembentukan dinamika masyarakat. Film merupakan salah satu jenis
media massa yang menggunakan ranah publik dan memiliki posisi yang
signifikan. Tak hanya sekedar hiburan, film juga syarat akan informasi,
ide dan kebudayaan. Film juga berperan sebagai integritas sosial yang
mampu menjembatani masyarakat dalam pertukaran ide, pikiran dan
gagasan sehingga terjalin kerjasama yang baik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Oleh karena itu, film juga
mampu memantapkan dan mengembangkan nilai-nilai budaya sehingga
film berfungsi sebagai pengemban budaya bangsa.
Film yang bermutu tentunya film yang mengangkat ide cerita
berdasarkan karakter dan budaya bangsa. Dalam hal ini, film dipahami
sebagai produk budaya yang digunakan sebagai cerminan untuk
mengaca atau melihat bagaimana budaya bekerja atau hidup di dalam
suatu masyarakat. Melalui film, seseorang banyak belajar tentang
beragam budaya di mana seseorang hidup di dalamnya, atau bahkan
budaya yang sama sekali asing bagi dirinya. Sehingga siapapun dapat
mengenal budaya masyarakat tertentu melalui film. Oleh karenanya,
pembuatan film cerita diperlukan proses pemikirian dan proses teknik.
Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan, atau cerita yang akan
digarap, sedangkan proses teknis berupa keterampilan artistik untuk
mewujudkan segala ide, gagasan, atau cerita menjadi film yang siap
ditonton. Oleh karena itu, film cerita dapat dipandang sebagai wahana
penyebaran nilai-nilai.” (Sumarno, 1996 : 13)
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
66
Dengan demikian, film belum bisa dikatakan bagus apabila hanya
mengusung ide cerita yang menarik. Elemen-elemen dalam film seperti
adegan, dialog, kejadian, konflik, tokoh, karakter, dan setting menjadi
hal yang penting supaya menarik perhatian publik untuk menyaksikan
film tersebut. Bagi penikmat film, menonton film merupakan wujud
relaksasi, terlebih lagi jika film tersebut mampu menginspirasi hidup
mereka. Oleh karena itu elemen-elemen tersebut saling memiliki
ketergantungan. Dalam penyajiannya, film maker harus
memperpadukan elemen-elemen tersebut dengan baik agar pesan yang
ditampilkan dapat tersampaikan dengan jelas bagi penikmat film.
Adapun pesan-pesan dalam film ditampilkan ke dalam simbol-simbol.
Perbedaan film dengan media massa lainnya ialah film
menyimbolkannya dengan tanda-tanda yang tersebar dalam audio-
visual. Tanda-tanda dalam audio visual tak hanya menampilkan gambar
melainkan suara. Sebuah ucapan atau dialog dalam film dapat menjadi
sebuah simbol verbal yang edukatif, impulsif bahkan juga provokatif.
Simbol muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan
untuk berbagai tujuan (Sobur, 2006:43).
Ide film Harmoni dalam ‘?” berangkat dari berbagai krisis yang
menimbulkan sensitifitas dan disharmonisasi umat beragama di
Indonesia. Mulai dari aksi anarkis kelompok fundamentalis agama
tertentu seperti kekerasan dan perusakan tempat hiburan hingga
serangan teror ledakan bom yang menelan korban jiwa. Meskipun aksi
teror cenderung menurun dari tahun ke tahun, namun akar dari
terorisme, yakni radikalisme agama tetap tumbuh subur di sebagian
masyarakat. Peristiwa tersebut telah mencederai bangsa Indonesia yang
terkenal sebagai negara yang multietnis, multikultur dan juga
multiagama. Sutradara film ini berupaya untuk mengangkat kejadian-
kejadian tersebut dengan segala keanekaragaman masyarakat Indonesia
dan disimilaritas aspek sosial, ekonomi, budaya dan agama. Film ini
juga memfokuskan kepada tiga agama di Indonesia yakni Islam,
Katolik, dan Konghuchu. Didalamnya berisi wacana kehidupan sehari-
hari dan dikemas lebih kreatif dengan memadukan tema percintaan,
kemanusiaan, serta persoalan menyangkut kerukunan beragama dalam
masyarakat multikultur.
Film ini menjadi menarik untuk diteliti karena konten yang
ditawarkan hingga kini masih relevan dengan situasi yang terjadi di
Indonesia. Tercatat, terdapat dua kasus besar radikalisme agama
sepanjang tahun 2015 yakni kasus penyerangan dan pembakaran masjid
di Tolikara, Papua dan pengusiran jemaah gereja di Aceh Singkil, dan
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
67
yang masih hangat terjadi di awal tahun 2016, serangan teror yang
diwarnai ledakan bom dan baku tembak di Sarinah, Jakarta Pusat. Film
ini sudah mengalami pergantian judul dari film sebelumnya “?” (tanda
tanya) yang sempat menduduki peringkat 6 besar dalam perolehan
jumlah penonton bioskop pada tahun 2012 sebelum akhirnya harus
ditarik kembali dari peredaran karena timbulnya pro-kontra dari
berbagai lapisan masyarakat, terutama MUI dan FPI yang menilai
bahwa film ini merusak aqidah. Padahal pada saat itu, film bertema
religi dan budaya seperti “?” (Tanda Tanya), Ayat-ayat Cinta dan
Laskar Pelangi sedang booming dan berhasil menggeser film berbau sex
komedi.
Dengan mengusung keragaman dan kemajemukan masyarakat
Indonesia, film ini hendak menyampaikan pesan-pesan tertentu. Setiap
pesan tentunya memiliki tujuan tersendiri, maka kandungan atau isi
pesan dalam film ini juga syarat akan makna. Sesuai dengan yang
dikemukakan Fiske (1990) bahwa komunikasi tidak dilihat hanya
sebagai transmisi pesan, melainkan juga pada produksi dan pertukaran
pesan, yaitu dengan memperhatikan bagaimana suatu pesan atau teks
berinteraksi dengan masyarakat yang bertujuan memproduksi makna.
Dalam kata lain, seberapa baik makna tersebut mampu di
interpretasikan oleh masing–masing individu. Karena pada dasarnya
komunikasi adalah suatu usaha untuk memperoleh makna. Jika makna
sudah diperoleh, maka proses komunikasi dapat berlangsung dengan
lancar.
Oleh karenanya, peneliti tertarik untuk mengungkapkan makna
yang terkandung dalam film ini. Berdasarkan latar belakang yang sudah
dipaparkan, maka dapat ditarik rumusan: apakah makna dibalik simbol
toleransi beragama dalam film “Harmoni dalam “?”. Tujuan yang
hendak dicapai adalah ingin mengetahui makna dibalik simbol dalam
film “Harmoni dalam “?”” tentang toleransi beragama.
KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tidak disadari
komunikasi adalah bagian dari kehidupan manusia itu sendiri, paling
tidak sejak ia dilahirkan sudah berkomunikasi dengan lingkungannya.
Pada dasarnya komunikasi adalah proses pernyataan kepada orang lain.
Onong Uchana Effendy dalam Bungin (2001:44) menyatakan bahwa
model komunikasi terdiri dari empat elemen yaitu komunikator, pesan,
medium, komunikan. Agar komunikasi dapat berlangsung secara
efektif, gagasan, ide, maupun opini akan di-encode atau diterjemahkan
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
68
menjadi pesan yang dapat dimengerti oleh pihak lain. Meng-encode
berarti merubah suatu makna ke dalam simbol atau kode oleh
komunikator. Penerima yang meng-encode pesan merupakan fase
penerjamahan pesan yang diterima kedalam suatu makna yang
ditafsirkan.
Komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, dengan
melalui tatap muka (face to face) ataupun komunikasi secara tidak
langsung yang dapat menggunakan perantara. Komunikasi tidak
langsung lebih sering dikenal dengan komunikasi massa. Komunikasi
massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia yang lahir seiring
dengan penggunaan alat-alat mekanik yang mampu melipatgandakan
pesan-pesan komunikasi. Berlo dalam Wiryanto (2005) menyatakan
bawa kata massa dalam komunikasi massa dapat diartikan lebih dari
sekedar orang banyak. Massa diartikan sebagai meliputi orang yang
menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa atau orang-orang pada
ujung lain dari saluran.
Massa disini bukan sekedar orang banyak di suatu lokasi yang
sama. Mereka dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi, yang
dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh
pesan komunikasi yang sama. Dalam sejarah publisistik, komunikasi
massa dimulai satu setengah abad setelah mesin cetak ditemukan oleh
Johan Gutenberg. Pada dekade sebelum abad 20, alat-alat mekanik yang
menyertai lahirnya komunikasi massa adalah alat-alat percetakan yang
menghasilkan surat kabar, majalah, tabloid, buku, brosur, dan materi
cetakan lainnya. Gejala ini makin meluas pada dasawarsa pertama abad
20, ketika film dan radio mulai digunakan secara luas. Kemudian
disusul televisi pada decade berikutnya. Kini memasuki era
telekomunikasi, komunikasi, dan informasi menggunakan sistem satelit
ruang angkasa, serat optik dan jaringan computer muncul media online.
Komunikasi massa melibatkan banyak komunikator, berlangsung
melalui sistem bermedia dengan jarak fisik yang rendah (jauh),
memungkinkan penggunaan satu atau dua saluran indrawi (penglihatan,
pendengaran) dan biasanya tidak memungkinkan umpan balik segera.
Demikian pentingnya penggunaan media, komunikasi massa dapat
diartikan sebagai jenis komunikasi yang menggunakan media massa
untuk pesan-pesan yang disampaikan. Dengan kata lain, komunikasi
massa merupakan proses organisasi media dan menyebarkan pesan-
pesan kepada masyarakat luas dan proses pesan tersebut dicari,
digunakan, dipahami, dan dipengaruhi oleh audiens. Lasswell (1948)
menyusun bagian-bagian sistem komunikasi massa dengan
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
69
mengidentifikasi fungsi-fungsi utama media komunikasi, termasuk
pengamatan (surveillance), memberikan informasi tentang lingkungan;
memberikan pilihan untuk memecahkan masalah, atau hubungan
(correlation); dan sosialisasi serta pendidikan yang dikenal dengan
transmisi (transmission).
Oleh karena itu, pokok penting dari komunikasi massa adalah
media itu sendiri. Organisasi media menyebarkan pesan yang
mempengaruhi dan menggambarkan budaya masyarakat, dan media
memberikan informasi kepada audiens yang heterogen, menjadikan
media sebagai bagian dari kekuatan instutusi masyarakat. Media massa
tidak hanya sebagai alat untuk menyebarkan informasi di seluruh
bagian bumi, tetapi juga alat untuk menyusun agenda, serta
memberitahu kita apa yang penting untuk dihadiri. Garbner (1967)
menegaskan bahwa media massa memiliki peranan penting karena
memiliki kemampuan untuk menciptakan masyarakat, menjelaskan
masalah, memberikan informasi, memberikan referensi umum, dan
memindahkan perhatian dan kekuasaan.
Penelitian ini mengkaji makna dalam media massa berupa film
yang dianalisis menggunakan semiotika. Kata semiotika berasal dari
kata Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotika mempelajari
struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya
di dalam masyarakat. Semiotika mempelajari relasi diantara komponen-
komponen tanda, serta relasi antar komponen-komponen tersebut
dengan masyarakat penggunanya. Semiotika adalah cabang ilmu yang
berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang
berlaku bagi penggunaan tanda. (Zoest, 1993:1).
Tanda-tanda dalam film yang dianalisis dengan semiotika ini bisa
berupa pergerakan kamera, teknik editing, pencahayaan, ilustrasi
musik, teks naskah dan lainnya. Teknik pengambilan gambar ini
memiliki makna tersendiri dan dapat memberikan efek tertentu dalam
sebuah adegan. Model semiotika Roland Barthes mengembangkan dua
tingkatan pertandaan (staggered systems), yang memungkinkan untuk
dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat
denotasi dan konotasi (Piliang, 2012;309).
Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam
tingkatnya, tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang
berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes,
adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya
arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah. Berbagai
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
70
pertandaan ini sangat penting dalam penelitian desain, oleh karena ia
dapat digunakan sebagai model dalam membongkar berbagai makna
yang berkaitan secara implisit dengan nilai-nilai ideologi, budaya,
moral, spiritual (Piliang, 2010:353).
METODE
Objek penelitian disini merupakan aspek sinematografis yaitu
tanda-tanda audio visual, maka metode penelitian ini menggunakan
analisis semiotik yang digunakan untuk mengetahui makna yang
terkandung dibaliknya. Analisis semiotika adalah ilmu yang
mempelajari tentang tanda beserta maknanya. Dalam penelitian media
melibatkan penjelajahan: konotasi objek-objek dan fenomena simbolis
serta aksi-aksi dan dialog diantara karakter dalam teks-sehingga makna
disini dimiliki khalayak-dan mencoba makna tersebut untuk lingkup
yang lebih luas seperti sosial, kultural, ideologi dan pokok perhatian
yang lain. Oleh karenanya, metode analisis semiotika Roland Barthes
dipandang mampu membedah sebuah objek lebih mendalam hingga
pada tataran ideologi dan mitos karena pada dasanya Barthes
mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu
tingkat denotasi dan konotasi. Sehingga peneliti lebih leluasa untuk
mengungkap isi teks yang terdapat dalam simbol-simbol yang melekat
dalam film.
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
dengan observasi (pengamatan secara mendalam) melalui DVD film
Harmoni dalam Tanda Tanya. Dokumentasi berupa data-data yang
diperoleh dari berbagai sumber baik dari buku teks, berita dari berbagai
media baik cetak maupun online, serta artikel-artikel pendukung juga
dilakukan sebagai bahan pengayaan penelitian ini.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah berdasarkan pada scene
yang ada dalam DVD, dalam pengambilan sampel, peneliti
menggunakan purposive sampling technique yakni teknik penentuan
sampel dengan pertimbangan tertentu hanya scene-scene tertentu yang
dianggap peneliti telah mewakili tanda-tanda audio dan visual yang
mengacu pada pemaknaan toleransi beragama dalam film. Dalam hal
ini, peneliti akan mengkaji beberapa hal yakni:
1. Aspek perilaku pembentuk tanda yang dilihat dari gesture
individu-individu dalam film ini.
2. Unsur intristik film seperti setting dan penataan music.
3. Aspek visual pembentuk tanda (dalam hal ini, sinematografi)
seperti ukuran pengambilan gambar, gerak kamera dan
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
71
pergantian gambar. Arthur Asa Berger (1998) menerangkan
ukuran pengambilan gambar dengan memakai tabel sistem
pertandaan yang digunakan gambar bergerak seperti film
sebagai berikut:
Gerak kamera dan Pergantian Gambar
Penanda
(Pengambilan
Gambar)
Definisi Petanda
Close-up
Medium shot
Long shot
Full shot
Pan down
Pan up
Dolly in
Fade in
Fade out
Cut
Wipe
Hanya wajah
Hampir seluruh tubuh
Setting dan karakter
Seluruh tubuh
Kamera mengarah ke
bawah
Kamera mengarah ke
atas
Kamera bergerak ke
dalam
Gambar terlihat pada
layar kosong
Gambar di layar
menjadi hilang
Pindah dari satu
gambar ke yang lain
Gambar terhapus dari
layar
Keintiman
Hubungan personal
Konteks, scope,
jarak public
Hubungan pribadi
Kekuatan,
kewenangan
Kelemahan,
pengecilan
Observasi, focus
Permulaan
Penutupan
Kebersambungan,
menarik
“Penentuan”
kesimpulan
Teknik-teknik pengambilan gambar dan
maknanya
Ukuran
Pengambilan
gambar
Signifier (Penanda) Signified
(Penanda)
Big Close up
Frame subjek dari dahi
hingga dagu
Emosi, drama,
peristiwa penting
Close up
Frame subjek dari kepala
hingga leher
Keintiman
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
72
Medium Close Up
Fame subjek dari kepala
hingga pinggang
Merangsang,
menimblkan
reaksi
Medium shot
Frame subjek dari kepala
hingga pinggang
memperlihatkan latar
belakang
Hubungan
personal dengan
subjek
Knee long shot (3/4
shot)
Frame subjek dari kepala
hingga betis
memperlihatkan latar
belakang
Hubungan social
Full shot
Frame subjek dari kepala
hingga kaki
Hubungan social
Long shot
Frame subjek dari kepala
hingga kaki dengan
memperlihatkan latar
belakang (lokasi secara
jelas)
Konteks, jarak
public
PEMBAHASAN
Scene Perkelahian di Pasar
Visual
Audio Pemuda-pemuda Muslim: “ngopo ndhelok2!
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
73
Hendra : “ yo ben to!!”
Pemuda-pemuda Muslim: “Ahh sipittt!!!
Pemuda-pemuda Muslim: ‘ Ngomong opo kowe!
Woo…teroris asuuu!! “njaluk mati kowe! Edhan!
(Brengsek mati lu! Gila!)
Hendra: “cocotmuu!!” (Bacot lu!)
____****______
Ustadz: ono opo iki! (Ada apa ini!)
Pemuda-pemuda Muslim: Dia yang mulai duluan
ustadz
Denotasi Konotasi Mitos
Tiga
pemuda
muslim
berpapas
an
dengan
Hendra
(Ping
Hen)
yang
sedang
jalan
menuju
arah yang
berlawan
an
dengan
posisi
tegap dan
menatap
mereka.
Sempat
terjadi
adu
mulut
Agama mayoritas
memegang dominasi di
masyarakat.
Meski demikian secara
kultur Jawa mereka
senantiasa mematuhi
sosok/tokoh yang
memiliki wibawa dan
dianggap berpengaruh
bagi masyarakat.
Ustad disini menjadi
tokoh yang mampu
melerai percekcokan.
Perkelahian yang
melibatkan dua kelompok
masyarakat hanya mampu
dilerai oleh tokoh
masyarakat yang dianggap
bersih dan baik. Tokoh
masyarakat memiliki
kekuatan untuk meredam
pertikaian yang muncul
antara dua kelompok
masyarakat.
Baik dari Cina identik
dengan tutur kata yang
kasar sementara orang
Islam identik dengan
mudah tersulut emosi.
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
74
yang
mengakib
atkan
percekco
kan dan
perkelahi
an.
Sesaat itu
juga,
sang
ustadz
yang
melintas,
melerai
perkelahi
an
tersebut.
Scene Jual Beli di Restoran Tan Kat Sun
Visual
Audio Calon Pembeli: Babi semua yah
Menuk: Nggak kok bu, disini ada ayam juga
Calon Pembeli: Tapi pancinya sama kan? Sama yang
dibuat masak babi
Menuk: Nggak bu, disni panci, penggorengan…
semuanya dipisah bu, nggak jadi satu
Calon Pembeli: Nggak deh disini babi semua
Tan Kat Sun: Nggak apa-apa nuk. Yang lain sudah solat
tuh, kamu solat gih
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
75
Denotasi Konotasi Mitos
Pembeli
(muslim)
ragu
karena
restoran
Tan Kat
Sun
menjual
babi
hingga
akhirnya si
pembeli
urung
melanjutka
n niatnya
membeli
makanan
di restoran
tersebut.
Menuk
solat
mengarah
ke tempat
sembahyan
g istri Tan
Kat Sun
Makanan bersih dan halal
menjadi tidak lazim bila
dijual di restoran Cina.
Solat dapat dilakukan
dimana saja asalkan
menghadap kiblat dan
terhalang dari benda yang
dikultus-kan.
Kehalal-an sebuah
makanan menjadi penting
di Indonesia sehingga
mitos yang muncul di
scene ini adalah tidak
mungkin makanan halal
dijual di restoran Cina.
Meskipun makanan halal
dijual, kemungkinan besar
tidak laku dijual.
Solat adalah kewajiban
bagi umat Islam. Maka
sebuah restoran ang
memperkerjakan karyawan
yang islam perlu
memeberikan ruang
ibadah.
Scene Rika membujuk Abi yang sedang marah dan curhat ke
Surya
Visual
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
76
Audio Rika: Abi buka dong pintunya
Rika: Abi kenapa sih begini sama ibu
Rika: Jadi kamu belum putusin dia mas?
Mantan Suami Rika: Aku mencintainya seperti aku
mencintaimu
Rika: Aku gak bisa
********************************************
Rika: Aku tuh gak mau kalau Abi tuh punya pikiran
bahwa ibunya tuh salah
Surya: Memangnya seorang ibu gak boleh salah?
Rika: Lha memang aku salah apa tho?
Surya: Mungkin saja kamu sudah dianggap mengkhianati
dua hal yang dianggap baik. Pernikahan dan Allah
Rika: Aku cerai dari mas panji bukan karena aku
mengkhianati kesucian perkawinan. Dan aku pindah
agama bukan karena aku mengkhianati tuhan.
Denotasi Konotasi Mitos
Abi
meluapkan
kemarahanny
a dengan tidak
mau
membuka
pintu untuk
Rika. Rika
pun mencoba
membujuk
Abi untuk
menceritakan
apa yang
terjadi.
Namun Abi
enggan
membukanya.
Dalam scene
ini juga
menampilkan
sisipan
Meski dalam berbangsa
dan beragama seseorang
bebas menentukan pilihan,
namun pindah agama
masih dipandang negaif.
Rika akhirnya sangat
sensitive dan tersudut
terlebih status janda yang
melekat pada dirinya
semakin terasingkan.
Poligami memiliki dampak
yang sangat besar bagi
seorang istri, dapat berakhir
dengan perceraian ataupun
pindah keyakinan. Agama
dan pernikahan adalah
sesuatu yang sakral di
Indonesia. Ketika seseorang
pindah agama ataupun
bercerai, seseorang
dianggap sudah menghapus
kesucian atau kesakralan
ibadah yang selama ini ia
lakukan.
Keputusan seseorang pindah
keyakinan ataupun bercerai
dinilai masyarakat sebagai
kejanggalan dan kesalahan
fatal.
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
77
adegan
kekecewaan
Rika terhadap
mantan
suaminya.
Akhirnya
Rika curhat
kepada Surya.
Namun tiba-
tiba Rika
tersinggung
Scene Surya ditawarkan audisi dan konsultasi ke Ustad
Visual
Audio Rika : Ikut aku ke gereja yukk? Jangan negative dulu…
dikit lagi kan paskah… biasanya kan kalo di jumat agung
itu ada pementasan drama… aq udah bilang panitianya trus
nawarin kamu casting.
Surya : Casting jadi penjahat lagi?
Rika : Jangan negative ahhh… bayarannya mahal lho…
Surya : Nggak Mbak ah, takut… takut apa? Apa kata
orang-orang
Rika : Kamu tuh yah seneng banget dengerin orang-
orang… lihat aja aku, aku akhir-akhir ini melakukan hal di
luar batas, gak normal gak wajar, Tapi itu setidaknya jujur
dari hatiku sendiri.
----------------------------------------------------------------------
Ustad : Nggak ada salahnya sih kamu coba Sur?
Surya : Berarti saya masuk gereja tad…?
Ustad : Itu kan hanya fisikmu hanya tubuhmu… meskipun
kamu berada di negeri yang zalim sekalipun asalkan
hatimu… keimananmu hanya untuk Allah SWT… Insya
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
78
Allah aku yakin tidak ada apa-apa… Tanya sik hatimu
(tanya pada hatimu)
----------------------------------------------------------------------
Rika : gimana?
Surya : Percaya gak mba? Saya diterima
Rika : Sebagai?
Surya : Peran utama
Rika : Yesus!
Surya : Ssshhhhh
Rika : Kamu gak apa-apa?
Surya : Biasanya selama ini kalau dapat peran kan jadi
penjahat kalo gak figuran. Sekali-kalinya dapat peran jadi
gak ada salahnya saya terima
Rika : Makasih yah
Surya : saya yang makasih, mbak
Denotasi Konotasi Mitos
Rika
menawarkan
Surya untuk
mengikuti
audisi dalam
pementasan
drama di gereja
dalam acara
jumat agung.
Surya yang
awalnya
menolak,
akhirnya
berkonsultasi
dengan ustads.
Setelah
berkonsultasi,
Surya pun
mengikuti
audisi dan
Ber-kesenian tidak terbatas
tergantung dirinya menilai
seni itu sendiri. Meski
demikian hal ini akan
bersinggungan dengan
norma social yang ada
apabila dipandang tidak
sesuai dengan
kebiasaan.Terkait dengan
keimanan kepada Tuhan
Yang Maha Esa adalah
urusan pribadi yang tidak
seorang pun bisa
mengintervensi.
Mitos yang muncul dalam
scene ini seseorang bebas
mengekspresikan sebuah
seni namun dipandang
konyol bila tidak sesuai
nilai-nilai luhur yang sudah
mengakar di masyarakat.
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
79
hasilnya, Surya
pun lolos
audisi dan
mendapatkan
peran utama
Scene Soleh berdebat dengan Komandannya
Visual
Audio Komandan Banser: Tegang banget kenapa kamu?
Soleh: Kita sebagai orang islam kok jaga gereja
mas? Kan gak boleh masuk kedalam ?
Komandan Banser: Yang bilang gak boleh siapa?
Soleh: Lho ya haram tho Mas
Komandan Banser: Nggak ada yang haram leh.
Kamu denger gak, rangkaian berita bom gereja
yang dilakukan teroris itu?
Soleh: Dengar
Komandan Banser: Kita sebagai umat Islam
menjadi jelek gara-gara berita itu. Kita sebagai
ormas Islam terbesar menolak pandangan seperti itu
dengan menjaga gereja ini, dan ini jihad
Soleh: Berarti harus siap hadapin bom?
Komandan: Ya iya.. berani gak?
Soleh: iya dan
Komandan: wani ora?
Soleh: Iya berani
Komandan: Ya udah jaga disitu
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
80
Denotasi Konotasi Mitos
Soleh
mempertanyakan
tujuan mereka
(Banser) turut
serta menjaga
gereja. Soleh
yang selalu taat
pada agamanya
nampak
canggung saat
menjaga gereja.
Lebih lanjut ia
bertanya dengan
simpulan masuk
gereja itu haram.
Soleh
beranggapan
bahwa masuk
gereja itu haram.
Soleh akhirnya
terlibat diskusi
dengan
komandannya.
Dengan tegas
komandannya
mengatakan
bahwa hal
tersebut
bukanlah sesuatu
yang
diharamkan.
Keterwakilan Banser yang
terlibat dalam penjagaan gereja
merupakan kepatuhan terhadap
ulil amri (pemerintah) demi
mendukung jalannya
kedamaian dankerukunan umat
beragama. Hal ini
menunjukkan umat Islam
menghargai segala bentuk
ibadah umat lain.
Umat Islam
menghargai
ibadah umat lain
dan memerangi
orang yang
bertindak terror.
Meski demikian
aktifitas menjaga
gereja masih
menjadi pro
kontra dalam
masyarakat.
Dalam menganalisis scene-scene yang berhubungan dengan
simbol toleransi beragama peneliti terkesan dengan visual-visual yang
melodramatis. Melodrama yang berarti cerita lakon (sandiwara atau
gambar hidup) yang sangat menggerakkan hati, namun yang
dimaksudkan peneliti disini adalah adanya penekanan makna penting
lewat visualisasi berupa sudut pengambilan gambar serta adegan yang
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
81
mencolok, bahkan pengaitan fakta secara tak langsung melalui aspek
visual yang disajikan. Hal ini tersaji dari visual dalam film, sutradara
mengaitkan dengan penokohan yang kontras dari masing-masing
karakter, memiliki agama berbeda namun visual tempat ibadah ataupun
simbol ibadah menjadi latar belakang dalam setiap adegan,
penggambaran umat Islam yang kaku dan hidup dibawah garis
kemiskinan, keangkuhan orang Cina, serta sentimen umat Katolik
terhadap umat lain, juga romantika percintaan dari agama yang berbeda.
Semua itu dikemas dan menjadi sajian menarik dalam film ini. Hal ini
juga menunjukkan bahwa kemiskinan, kekakuan, keangkuhan dan
sentimen merupakan awal terjadinya konflik.
Dalam scene pertama, peneliti menemukan pemuda yang
mengenakan sarung, baju koko dan peci yang menjadi ciri umat Islam
serta kata-kata sipit dan teroris yang merujuk kepada sebuah
penghinaan yang menjadi teka-teki dalam makna konotasi yang sudah
dibahas di atas. Adegan perkelahian pun membuka insinuasi peneliti
bahwa kejadian tersebut dapat juga berlangsung dalam kehidupan
sehari-hari. Adapun makna konotasi yang diperoleh adalah agama
mayoritas (Islam) memegang dominasi di masyarakat. Meski demikian
secara kultur Jawa mereka senantiasa mematuhi sosok/tokoh yang
memiliki wibawa dan dianggap berpengaruh bagi masyarakat.Ustad
disini menjadi tokoh yang mampu melerai percekcokan. Sedangkan
mitosnya adalah perkelahian yang melibatkan dua kelompok
masyarakat hanya mampu dilerai oleh tokoh masyarakat yang dianggap
bersih dan baik. Tokoh masyarakat memiliki kekuatan untuk meredam
pertikaian yang muncul antara dua kelompok masyarakat. Baik dari
Cina identik dengan tutur kata yang kasar sementara orang Islam
identik dengan mudah tersulut emosi.
Sementara dalam scene kedua, peneliti menemukan visual kepala
babi dan ayam dalam sebuah dapur restoran yang merujuk kepada
makanan halal dan haram bagi umat Islam, serta visual Menuk solat
menghadap berhala menjadi teka-teki untuk menganalisis makna
konotasi.Begitu pun adegan saat Menuk bersusah payah meyakinkan
pembeli muslim bahwa restorannya menjual masakan halal menjadi
adegan yang penuh perjuangan.
Adapun makna konotasi yang diperoleh adalah :
1. Makanan bersih dan halal menjadi tidak lazim bila dijual di
restoran Cina. Kalaupun dijual hasilnya akan tidak laku.
2. Solat dapat dilakukan dimana saja asalkan menghadap kiblat
dan terhalang dari benda yang dikultus-kan.
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
82
Sedangkan mitos yang ditemukan adalah :
1. Kehalal-an sebuah makanan menjadi penting di Indonesia
sehingga mitos yang muncul di scene ini adalah
ketidakmungkinan makanan halal dijual di restoran Cina.
Meskipun makanan halal dijual, kemungkinan besar tidak laku
dijual.
2. Solat adalah kewajiban bagi umat Islam. Maka sebuah restoran
yang memperkerjakan karyawan yang islam perlu
memeberikan ruang ibadah.
Selanjutnya dalam scene ketiga, peneliti menemukan visual salib
dan kaligrafi “Allah” yang disejajarkan menjadi pertanyaan besar yang
perlu dikaitkan dengan scene sebelum dan sesudahnya. Adegan Rika
yang sedang memangku anak sambil menangis membuat alur cerita
semakin dramatis. Adapun makna konotasi yang diperoleh adalah
walaupun dalam berbangsa dan beragama seseorang bebas menentukan
pilihan, namun pindah agama masih dipandang negatif. Rika akhirnya
sangat sensitive dan tersudut terlebih status janda yang melekat pada
dirinya semakin terasingkan. Sedangkan mitosnya adalah poligami
memiliki dampak yang sangat besar bagi seorang istri, dapat berakhir
dengan perceraian ataupun pindah keyakinan. Agama dan pernikahan
adalah sesuatu yang sakral di Indonesia. Ketika seseorang pindah
agama ataupun bercerai, seseorang dianggap sudah menghapus
kesucian atau kesakralan ibadah yang selama ini ia lakukan. Keputusan
seseorang pindah keyakinan ataupun bercerai dinilai masyarakat
sebagai kejanggalan dan kesalahan fatal.
Begitu pula dalam scene keempat, adegan dimana Surya ditawari
audisi di gereja dengan latar belakang masjid dan scene kelima, dimana
peneliti menemukan visual umat Islam yang menjaga gereja. Visual
yang kontras yang dilakukan oleh film maker (pembuat film). Adapun
makna konotasi dalam scene keempat adalah berkesenian tidak terbatas
tergantung dirinya menilai seni itu sendiri. Meski demikian hal ini akan
bersinggungan dengan norma social yang ada apabila dipandang tidak
sesuai dengan kebiasaan.Terkait dengan keimanan kepada Tuhan Yang
Maha Esa adalah urusan pribadi yang tidak seorang pun bisa
mengintervensi. Sedangkan mitos yang muncul dalam scene ini adalah
seseorang bebas mengekspresikan sebuah seni namun dipandang
konyol bila tidak sesuai nilai-nilai luhur yang sudah mengakar di
masyarakat.
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
83
Adapun makna konotasi dalam scene adalah keterwakilan Banser
yang terlibat dalam penjagaan gereja merupakan kepatuhan terhadap
ulil amri (pemerintah) demi mendukung jalannya kedamaian
dankerukunan umat beragama. Hal ini menunjukkan umat Islam
menghargai segala bentuk ibadah umat lain. Sedangkan mitos yang
muncul dalam scene ini adalah umat Islam menghargai ibadah umat lain
dan memerangi orang yang bertindak terror. Meski demikian aktifitas
menjaga gereja masih menjadi pro kontra dalam masyarakat.
Peneliti akhirnya mengidentifikasi adanya pesan dari pembuat
film agar penonton film ini dapat mempelajari dan memahami
pluralisme yang mampu membuka diri dengan budaya, dan nilai dari
masing-masing agama. Berdasarkan subjektifitas pembuat film,
pluralisme adalah solusi demi terjalinnya kerukunan umat beragama di
Indonesia. Oleh karenanya, sosok intelektual agama dalam hal ini tokoh
masyarakat seperti ustad, pendeta memiliki andil besar untuk
menyampaikan pluralisme kepada umatnya.
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa film “Harmoni dalam
tanda tanya” garapan sutradara Hanung Bramantyo tidak terlepas dari
sebuah ideologi dominan yakni pluralisme. Penemuan ini berdasarkan
penelitian proses dua tahap penandaan dan analisis mitos yang
ditemukan dalam film diantaranya:
1. Mitos ustad sebagai pemuka agama yang mampu meredam
terjadinya konflik merupakan contoh sikap terbuka seorang
pemuka agama.
2. Mitos ketidakmungkinan makanan halal dijual di restoran
Cina. Ingin menunjukkan sikap eklusivisme yang kalah dari
seorang pembeli yang tidak bisa terbuka dalam memandang
sesuatu.
3. Mitos kebebasan seni dan berekspresi mengindikasikan
keimanan tidak dapat diintervensi siapapun.
4. Mitos perceraian sebagai dampak seorang suami
berpoligami menjadi pengukuh teks bahwa agama adalah
pilihan.
5. Mitos umat Islam menghargai ibadah umat lain dan
memerangi orang yang bertindak terror dengan penjagaan
gereja.
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2016
84
Dalam hal ini, sutradara film ingin memberikan penalarannya atas
kerukunan umat beragama dengan sisi pluralisme yang dipandang
sesuai dengan keberagaman agama di Indonesia. Penonton juga diajak
untuk mempelajari pluralisme lebih jauh karena keterkaitan dengan
toleransi yang mendalam. Adapun konflik antar agama terjadi didasari
oleh kemiskinan, kekakuan, keangkuhan dan sentimen yang merusak
kerukunan beragama. Oleh karena itu, masyarakat pluralis dituntut
memiliki intelektualitas yang tinggi terhadap agama, agar mampu
memahami ajaran agamanya dengan baik dan benar serta tidak
menerima begitu saja pemahaman yang sudah ada. sehingga mampu
hidup berdampingan dengan damai. Peran pemimpin agama juga sangat
penting untuk menjalin kerukunan umat beragama.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2001. Imaji Media Massa: Kontruksi dan Makna
Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik.
Yogyakarta:Jendela
Fiske, John.1990. Cultural & Communication Studies. Bandung:
Jalasutra
Piliang, Yasraf Amir. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung:
Matahari
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk
Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta :
Grasindo
Warsito, 2005, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Wurtzel &Acker (1989). Television Production. Singapore: Mc.Graw-
Hill Bokk.
Zamroni. 2011. Pendidikan Demokrasi Pada Masyarakat
Multikultural. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama
Zoest., V. Aart. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan
Apa yang Kita Lakukan Dengannya (ed.1). Jakarta: Yayasan
Sumber Agung
Piliang, Yasraf Amir. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika; Kode, Gaya
dan Matinya Makna. Jakarta:Serambi
Recommended