View
725
Download
19
Category
Preview:
DESCRIPTION
gwt
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Kegawatdaruratan merupakan kondisi yang membutuhkan penanganan segera
untuk menyelamatkan pasien. Pada kasus kali ini didapatkan kegawatdaruratan yang
kemuningkinan akibat ketosis diabetik, pasien tidak sadar, dan syok sepsis yang
membutuhkan penanganan segera. Ketosis diabetik merupakan komplikasi dari
diabetes melitus yang tidak diterapi atau pada kasus penghentian terapi diabetes.
Diabetes juga dapat menyebabkan gangguan pada sistem imun sehingga
memudahkan pasien terjangkit penyakit. Pasien tidak sadar juga bisa diakibatkan
oleh hipetermia yang terjadi pada pasien.
Skenario 1
Penurunan Kesadaran
Seorang laki-laki berusia 65 tahun diantar oleh anak laki-lakinya yang
serumah dengannya ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Tipe D karena tidak
sadar. Dari alloanamnesis didapatkan informasi 5 jam sebelum masuk rumah saki
tpasien diketahui oleh anak kandungnya itu tidak sadar. Bisa dibangunkan tetapi
kemudian tidur lagi dan diajak bicara tidak menyambung. Dari keterangan anaknya,
sejak 3 hari penderita panas mual disertia muntah, sering kencing, nyeri pinggang
dan urin berwarna keruh. Penderita hanya makan dan minum sedikit selama 3 hari
terakhir. Ada riwayat Diabetes Mellitus dan Hipertensi sejak 5 tahun yang lalu
dengan riwayat terapi insulin rapid 6-6-4 dan Captopril 3 x 25 mg, diketahui
penderita jarang kontrol dan tidak suntik insulin 2 hari sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan : sakit berat, somnolen, GCS E3V4M5,
tekanan darah 80/40 mmHG, suhu 38oC, laju pernafasan 32 kali permenit, nadi 128
kali/menit, lemah. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan honki di kedua lapang
paru. Refleks fisiologis dalam batas normal, refleks patologis (-). Pemeriksaan
laboratorium : Hb 13 g%, Lekosit 25.000/mm3, trombosit 350.000/mm3, GDS 600
mg/dl, ureum 60 mg/dl, kreatinin 1 mg/dl, kalium 4,5 mmol/L/ pemeriksaan urin
rutin dan gas darah masih menunggu hasil. Setelah dijelaskan dan mendapatkan
persetujuan keluarga dengan menandatangani informed consent, diberikan infus
Ringer Laktat 2 jalu, tetesan cepat dan bolus insulin 0,1 unit/KgBB.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Klarifikasi Istilah
Beberapa istilah yang telah kami klarifikasi yaitu:
1. Rumah sakit tipe D
2. Insulin rapid 6-6-4
3. Somnolen
4. Captopril
5. Refleks patologis
6. Ureum
7. Infus ringer laktat 2 jalur
8. Bolus insulin
B. Menetapkan dan Mendefinisikan masalah
Pada skenario ini ada beberapa masalah yang kami tetapkan sebagai bahan
diskusi, yaitu:
1. Tipe rumah sakit rujukan
2. Kapan pasien harus dirujuk?
3. Penyebab penurunan kesadaran
4. Patofisiologi mual, muntah, sering kencing, nyeri pinggang, dan urin keruh
5. Hubungan DM-hipertensi dengan keluhan
6. Hubungan tidak makan dengan keluhan
7. Akibat tidak rutin kontrol dan suntik insulin
8. Interpretasi hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan
9. Prosedur pemeriksaan reflex fisiologis dan reflex patologis
10. Farmakodinamik, farmakokinetik, indikasi, kontraindikasi, dosis, dan efek
samping dari captopril dan insulin
11. Indikasi pemberian infus ringer laktat dan bolus insulin
12. Indikasi pemeriksaan urin rutin dan analisa gas darah
13. Informed consent, medikolegal dan etik pada kasus kegawatan
14. Kriteria kasus kegawatdaruratan
15. Diagnosis banding
a.Syok
b. Syok sepsis
c.Hipertensi
d. Diabetes Mellitus
e.Ketoasidosis
f. Hiperglikemia Hiperosmolar
C. Analisis Masalah (Menjawab, Membahas, dan Melaporkan Hasil Diskusi
Masalah yang Ada)
1. Tipe rumah sakit rujukan
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 986/Menkes/Per/11/1992 pelayanan
rumah sakit umum pemerintah Departemen Kesehatan dan Pemerintah
Daerah diklasifikasikan menjadi kelas/tipe A,B,C,D dan E (Azwar,1996):
a.Rumah Sakit Kelas A
Rumah Sakit kelas A adalah rumah sakit yang mampu memberikan
pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas oleh pemerintah,
rumah sakit ini telah ditetapkan sebagai tempat pelayanan rujukan tertinggi
(top referral hospital) atau disebut juga rumah sakit pusat.
b. Rumah Sakit Kelas B
Rumah Sakit kelas B adalah rumah sakit yang mampu memberikan
pelayanan kedokteran medik spesialis luas dan subspesialis terbatas.
Direncanakan rumah sakit tipe B didirikan di setiap ibukota propinsi
(provincial hospital) yang menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit
kabupaten. Rumah sakit pendidikan yang tidak termasuk tipe A juga
diklasifikasikan sebagai rumah sakit tipe B.
c.Rumah Sakit kelas C
Rumah sakit kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan
pelayanan kedokteran subspesialis terbatas. Terdapat empat macam
pelayanan spesialis disediakan yakni pelayanan penyakit dalam, pelayanan
bedah, pelayanan kesehatan anak, serta pelayanan kebidanan dan
kandungan. Direncanakan rumah sakit tipe C ini akan didirikan di setiap
kabupaten/kota (regency hospital) yang menampung pelayanan rujukan
dari puskesmas.
d. Rumah Sakit Kelas D
Rumah Sakit ini bersifat transisi karena pada suatu saat akan ditingkatkan
menjadi rumah sakit kelas C. Pada saat ini kemampuan rumah sakit tipe D
hanyalah memberikan pelayanan kedokteran umum dan kedokteran gigi.
Sama halnya dengan rumah sakit tipe C, rumah sakit tipe D juga
menampung pelayanan yang berasal dari puskesmas.
e.Rumah Sakit Kelas E
Rumah sakit ini merupakan rumah sakit khusus (special hospital) yang
menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja. Pada
saat ini banyak tipe E yang didirikan pemerintah, misalnya rumah sakit
jiwa, rumah sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit jantung, dan rumah
sakit ibu dan anak.
2. Kapan pasien harus dirujuk?
Apabila fasilitas medik di tempat kasus diterima tidak memadai untuk
menyelesaikan kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka kasus
harus dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang lebih lengkap. Sebaiknya
sebelum pasien dirujuk, fasilitas kesehatan yang akan menerima rujukan
dihubungi dan diberitahu terlebih dahulu sehingga persiapan penanganan
ataupun perawatan inap telah dilakukan dan diyakini rujukan kasus tidak
akan ditolak.
3. Penyebab penurunan kesadaran
a.Penyebab Metabolik atau Toksik pada Kasus Penurunan Kesadaran
No Penyebab metabolik Keterangan
atau sistemik
1 Elektrolit imbalans Hipo- atau hipernatremia, hiperkalsemia, gagal
ginjal dan gagal hati.
2 Endokrin Hipoglikemia, ketoasidosis diabetic
3 Vaskular Ensefalopati hipertensif
4 Toksik Overdosis obat, gas karbonmonoksida (CO)
5 Nutrisi Defisiensi vitamin B12
6 Gangguan metabolik Asidosis laktat
7 Gagal organ Uremia, hipoksemia, ensefalopati hepatic
b. Penyebab Struktural pada Kasus Penurunan Kesadaran
No Penyebab struktural Keterangan
1 Vaskular Perdarahan subarakhnoid, infark batang kortikal
bilateral
2 Infeksi Abses, ensefalitis, meningitis
3 Neoplasma Primer atau metastasis
4 Trauma Hematoma, edema, kontusi hemoragik
5 Herniasi Herniasi sentral, herniasi unkus, herniasi singuli
6 Peningkatan tekanan
intrakranial
Proses desak ruang
4. Patofisiologi mual, muntah, sering kencing, nyeri pinggang, dan urin
keruh
a. Mual dan muntah
Salah satu komplikasi dari diabetes mellitus adalah gastroparesis
diabetika. Gejala gastroparesis diabetika adalah mual, muntah, nyeri
abdomen, rasa cepat kenyang, rasa tidak enak di perut bagian atas, rasa
terbakar di dada (heart burn), regurgitasi asam, sendawa, halitosis dan
penurunan berat badan. Keadaan hiperglikemia merupakan factor penting
yang menyebabkan terjadinya gastroparesis. Fischer dkk menunjukkan
bahwa hiperglikemia post prandial pada penderita diabetes menyebabkan
terjadinya penurunan aktivitas mioelektrik lambung, pengurangan aktivitas
motorik antrum dan keterlambatan pengosongan lambung. (Sutadi, 2003).
Terjadinya keterlambatan pengosongan lambung liquid maupun solid
pada penderita diabetes berkaitan dengan terjadinya penurunan aktivitas
motorik lambung proksimal, penurunan kativitas motorik lambung distal
berupa hipomotilitas antrum post prandial, terjadinya peningkatan aktifitas
motorik pylorus serta terganggunya koordinasi dari motilitas
antropyloroduodenal. Hal tersebut disebabkan karena neuropati diabetikum
yang ditandai dengan adanya penurunan densitas serabut myelinated vagus
dan degenerasi serabut unmyelinated. (Sutadi, 2003).
b. Sering kencing
Pada penderita diabetes mellitus, kadar glukosa dalam darah
meningkat, disebut keadaan hiperglikemia. Salah satu efek dari
hiperglikemia adalah peningkatan ambang batas (threshold) ginjal untuk
melakukan reabsorbsi sehingga terjadi glukosuria. Selanjutnya, glukosuria
akan menginduksi diuresis osmotik sehingga terjadi poliuria. (Kumar et.al.,
2007).
c.Nyeri pinggang dan urin keruh
Salah satu komplikasi vaskular jangka panjang diabetes mellitus
adalah terjadinya nefropati diabetik. Komplikasi ini terjadi akibat adanya
mekanisme pembentukan AGEs (Advanced Glycation End Products), yaitu
proses perlekatan glukosa ke gugus amino bebas pada protein tanpa bantuan
enzim. Mekanisme ini menyebabkan penebalan membran basal glomerulus
ginjal dan menjadi bocor.
Defisiensi insulin pada diabetes mellitus menyebabkan ginjal bekarja
hiperfungsi sehingga ginjal menjadi hipertrofi dan terjadi peningkatan
tekanan intra kapiler glomerulus yang menyebabkan terjadinya
glomeruloskerosis. Glomerulosklerosis menyebabkan gagalnya fungsi
filtrasi ginjal sehingga urin menjadi keruh. Glomerulosklerosis progresif
juga menyebabkan terjadinya gagal ginjal yang ditandai dengan adanya
nyeri pada pinggang. (Dewi, 2012).
5. Hubungan DM-hipertensi dengan keluhan
Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak lima tahun yang lalu.
Diabetes melitus yang tidak diterapi atau pada pasien yang tiba-tiba
menghentikan terapi akan berakibat pada ketoasidosis diabetik. Pasien pada
kasus tidak menyuntikan insulin selama dua hari sebelumnya yang
merupakan faktor resiko terjadi ketoasidosis diabetik. Hal ini dikarenakan
tubuh tidak dapat menghasilkan energi dari pemecahan glukosa pada pasien
diabetes melitus sehingga memecah lemak sebagai kompensasinya. Hasil
akhir dari pemecahan lemak adalah benda keton yang bersifat asam. Hal ini
ditandai dengan pernafasan pasien yang meningkat sebagai kompensasi
mengeluarkan asam pada tubuh (Sudoyo, 2009).
Pada pasien diabetes melitus juga terjadi penurunan sistem
imun dimana sel polimorfonuklear mengalami penurunan mobilisi dan
kemotaksis sehingga tidak dapat menjalani fungsi nya dengan maksimal.
Pada penderita diabetes melitus juga mengalami penurunan jumlah sel
monosit juga kemampuan deteksi terhadap membran mikroorganisme
menurun. Hal ini mengurangi kemampuan fagosit dari monosit (Manaf,
2008).
6. Hubungan tidak makan dengan keluhan
Pasien hanya makan dan minum sedikit sejak 3 hari terakhir,
akibatnya tidak ada asupan glukosa yang masuk ke dalam tubuh. Tidak
adanya intake glukosa menyebabkan mekanisme glikolisis tidak terjadi
sehingga tubuh melakukan kompensasi berupa mekanisme glikogenolisis
dan glukoneogenesis untuk menghasilkan energi. Walaupun kadar glukosa
darah tinggi, namun glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat pasien tidak
suntik insulin selama 2 hari. Kurangnya intake glukosa kedalam sel
menyebabkan metabolisme sel terganggu sehingga pasien lemah dan terjadi
penurunan kesadaran.
7. Akibat tidak rutin kontrol dan suntik insulin
Penyakit Diabetes Mellitus disebabkan oleh karena gagalnya hormon
insulin. Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi
glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi.
Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk
gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka
ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam
darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua
kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan
keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang disebut
poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intraselluler, hal ini akan
merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus
sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi.
Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya
transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan
simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena
digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan
merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia.
Terlalu banyak lemak yang dibakar maka akan terjadi penumpukan asetat
dalam darah yang menyebabkan keasaman darah meningkat atau asidosis.
Zat ini akan meracuni tubuh bila terlalu banyak hingga tubuh berusaha
mengeluarkan melalui urine dan pernapasan, akibatnya bau urine dan napas
penderita berbau aseton atau bau buah-buahan. Keadaan asidosis ini apabila
tidak segera diobati akan terjadi koma yang disebut koma diabetik (Price,
1995).
8. Interpretasi hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan
a. Pemeriksaan fisik
i. Keadaan umum
a. Sakit berat : keadaan umum saat pemeriksaan fisik, pasien
mengalami penurunan kesadaran.
b. Somnolen : merupakan salah satu hasil pemeriksaan kesadaran
secara kualitatif. Pasien dalam keadaan mengantuk. Kesadaran
dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen disebut juga
sebagai letargi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya
pasien dibangungkan, mampu memberi jawaban verbal dan
menangkis rangsang nyeri. Pada alloanamnesis, pasien bisa
dibangunkan tetapi kemudian tidur lagi dan diajak bicara tidak
menyambung.
c. GCS (Glasgow Comma Scale) : merupakan pemeriksaan
kesadaran secara kuantitatif. E (eye) 3: membuka mata dengan
rangsang suara (suruh pasien membuka mata), V(verbal) 4:
bingung; berbicara mengacau (sering berulang-ulang);
disorientasi tempat dan waktu, M (motoric) 5: melokalisasi nyeri
(menjangkau dan menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri).
ii. Tanda vital
a. Tekanan darah 80/40 mmHg : hipotensi
b. Suhu 38oC : demam
c. RR 32 kali/menit : takipneu
d. Nadi 128 kali/menit : takikardi
Berdasarkan tekanan darah dan denyut nadi, pasien mengalami
syok derajat III.
iii. Rhonki di kedua lapang paru (-)
Auskultasi pada kedua lapang paru tidak ditemukan bunyi napas
tambahan rhonki. Bila ditemukan rhonki, maka ada sekret dalam
saluran nafas yang besar, misalnya pada syok kardiogenik atau pada
pasien pneumonia.
iv. Refleks fisiologis dalam batas normal, refleks patologis (-)
Refleks fisiologis merupakan refleks yang normal pada orang sehat,
sedangkan refleks patologis ditemukan pada orang yang mengalami
gangguan pada sistem sarafnya..
b. Pemeriksaan laboratorium
i. Hb 13 g % : normal (N : 13-18 g %)
ii. Leukosit 25.000 / mm3 : leukositosis (N : 4.000-11.000)
iii. Trombosit 350.000 / mm3 : normal (N : 150.000-400.000)
iv. GDS 600 mg / dL : hiperglikemia (N : 140-200 mg / dL )
v. Ureum 60 mg / dL : hiperurisemia (N : 15-40 mg / dL )
vi. Kreatinin 1,0 mg / dL : normal (N : 0,5-1,5 mg / dL)
vii. Kalium 4,5 mmol / L : normal (N : 3,5-5,0 mg / dL)
Berdasarkan hasil pemeriksaan ureum yang naik dan kreatinin
normal, maka pasien menderita gangguan prerenal, gangguan tersebut
diakibatkan oleh gangguan pembuluh darah sebelum masuk ke ginjal. Gula
darah sewaktu tinggi karena penderita jarang kontrol dan dua hari
sebelumnya tidak suntik insulin. Selain itu, pemeriksaan urin rutin dan gas
darah masih menunggu hasil. Kedua pemeriksaan ini dilakukan karena
sesuai dengan kondisi pasien, di mana salah satu indikasi pemeriksaan gas
darah adalah pada pasien dengan syok dan pemeriksaan urin dilakukan
karena pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tidak terkontrol serta hasil
pemriksaan leukosit tinggi dengan adanya kemungkinan infeksi saluran
kemih.
9. Prosedur pemeriksaan reflex fisiologis dan reflex patologis
a. Refleks fisiologis
i. Refleks Biceps : Pasien dalam keadaan duduk dan relaks. Lengan
pasien harus relaks dan sedikit ditekuk pada siku dengan telapak
tangan mengarah ke bawah. Letakkan siku padien dalam
lengan/tangan pemeriksa. Letakkan ibu jari pemeriksa untuk menean
tendon biceps pasien. Dengan menggunakan palu refleks, pukul ibu
jari anda (yang menekan tendon tadi) untuk memunculkan refleks
biceps. Reaksi pertama adalah kontraksi dari otot biceps dan
kemudian fleksi pada siku.
ii. Refleks Triceps : Pasien diminta untuk duduk dalam posisi yang
relaks. Letakkan lengan pasien pada lengan/tangan pemeriksa. Posisi
pasien sama seperti saat pemeriksaan refleks biceps. Pasien diminta
untuk me-relaks-kan lengannya. Saat lengan pasien sudah benar-
benar relaks, pukul tendon triceps yang melalui fossa olecranii.
Reaksinya adalah kontraksi otot triceps dan sedikit terhentak. Rekasi
ini dapat terlihat ataupun dirasakan oleh lengan pemeriksa yang
menahan lengan pasien.
iii. Refleks Patella : Pasien duduk dengan posisi tungkai menggantung.
Lakukan palpasi pada sisi kanan dan sisis kiri tendon patella. Tahan
daerah distal paha dengan menggunakan satu tangan, sedangkan
tangan yang lain memukul tendon patella untuk memunculkan
refleks. Tangan pemeriksa yang menahan bagian distal paha akan
merasakan kontraksi otot quadriceps dan pemeriksa mungkin dapat
melihat gerakan tiba-tiba dari tungkai bagian bawah.
iv. Refleks Achilles : Pasien diminta untuk duduk dengan satu tungkai
menggantung, atau berbaring dengan posisi supine, atau berdiri
dengan bertumpu pada lutut dimana bagian bawah tungkai dan kaki
berada di luar meja pemeriksaan. Tegangkan tendon achilles dengan
cara menahan kaku di posisi dorsofleksi. Pukul tendon Achilles
dengan ringan dan cepat untuk memunculkan refleks Achilles yaitu
fleksi kaki yang tiba-tiba.
b. Refleks patologis
i. Reflek hoffmann tromer : Tangan pasien ditumpu oleh tangan
pemeriksa, kemusian ujung jari tangan pemeriksa yang lain
disentilkan ke ujung jari tengah tangan penderita. Kita lihat respon
jari tangan penderita, yaitu fleksi jari-jari yang lain, aduksi dari ibu
jari. Reflek positif bilateral bisa dijumpai pada 25 % orang normal,
sedangkan unilateral hoffmann indikasi untuk suatu lesi UMN .
ii. Grasping reflek : Gores palmar penderita dengan telunjuk jari
pemeriksa diantara ibu jari dan telunjuk penderita. Maka timbul
genggaman dari jari pendeirta, menjepit jari pemeriksa. Jika reflek ini
ada maka penderuta tidak dapat membebaskan jari pemeriksa.
Normal masih terdapat pada anak kecil. jika positif ada pada dewasa,
maka kemungkinan terdapat lesi di area premotorik cortex.
iii. Reflek palmomental : Garukan pada telapak tangan pasien
menyebabkan kontraksi muskulus mentali ipsilateral. Reflek
patologis ini timbul akibat kerusakan lesi UMN di atas inti saraf VII
kontralateral.
iv. Reflek snouting / menyusu : Ketukan hammer pada tendo insertio m.
Orbicularos oris, maka akan menimbulkan reflek menyusu.
Menggaruk bibir dengan tingue spatel maka akan timbul reflek
menyusu. Normal pada bayi, jika positif pada dewasa menandakan
lesi UMN bilateral.
v. Mayer reflek : Fleksikan jari manis di sendi metacarpophalangeal,
cecara firmly normal akan timbul adduksi dan aposisi dai ibu jari.
Absennya respon ini menandakan lesi di tractus pyramidalis.
vi. Reflek Babinski : Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit
ke arah jari melalui sisi lateral, orang noramla akan memberikan
respon fleksi jari-jari kaki dan penarikan tungkai. Pada lesi UMN
maka akan timbul respon jempol kaki akan dorsofleksi, sedangkan
jari-jari lain akan menyebar atau membuka. Normal pada bayi masih
ada.
vii. Reflek Oppenheim : Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan
tuilang tibia dari atas ke bawah, dengan kedua jari telunjuk dan
tengah., jika posistidf maka akan timbul reflek seperti babinski
viii. Reflek gordon : Lakukan goresan / memencet otot gastrocnemius .
jika posistif maka akan timbul reflek seperti babinski
ix. Reflek schaefer : Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika
positif maka akan timbul reflek seperti babinski
x. Reflek chaddock : Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung
kaki di luar telapak kaki, dari tumit ke depan. Jika posistif maka akan
timbul reflek seperti babinski
xi. Reflek Rossolimo : Pukulkan hammer reflek pada dorsal kaki pada
tulang cuboid. Reflek akan terjadi fleksi jari-jari kaki.
xii. Reflek Mendel-Bacctrerew : Pukulan telapak kaki bagian depan akan
memberikan respon fleksi jari-jari kaki
10. Farmakodinamik, farmakokinetik, indikasi, kontraindikasi, dosis, dan efek
samping dari captopril dan insulin
a. Captopril
i. Farmakodinamik
ACE inhibitor memiliki mekanisme aksi menghambat sistem renin-
angiotensin-aldosteron dengan menghambat perubahan Angiotensin I
menjadi Angiotensin II sehingga menyebabkan vasodilatasi dan
mengurangi retensi sodium dengan mengurangi sekresi aldosteron.
Oleh karena ACE juga terlibat dalam degradasi bradikinin maka ACE
inhibitor menyebabkan peningkatan bradikinin, suatu vasodilator kuat
dan menstimulus pelepasan prostaglandin dan nitric oxide.
Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah
dari ACE inhibitor.
ii. Farmakokinetik
Captopril diabsorbsi dengan baik pada pemberian oral dengan
bioavaliabilitas 70 – 75 %. Pemberian bersama makanan mengurangi
absorbsi sekitar 30% maka diberikan 1 jam sebelum makan.
Captopril mengalami metabolisme di hati dan eliminasi melalui
ginjal.
iii. Indikasi
a. Hipertensi esensial (ringan sampai sedang) dan hipertensi yang
parah.
b. Hipertensi berkaitan dengan gangguan ginjal (renal
hypertension).
c. Diabetic nephropathy dan albuminuria.
d. Gagal jantung (Congestive Heart Failure).
e. Postmyocardial infarction
f. Terapi pada krisis scleroderma renal.
iv. Kontraindikasi
a. Hipersensitif terhadap ACE inhibitor.
b. Kehamilan.
c. Wanita menyusui.
d. Angioneurotic edema yang berkaitan dengan penggunaan ACE
inhibitor sebelumnya.
e. Penyempitan arteri pada salah satu atau kedua ginjal.
v. Dosis
a. Dosis inisial : 6,25-12,5mg 2-3 kali/hari dan diberikan dengan
pengawasan yang tepat. Dosis ini perlu ditingkatkan secara
bertingkat sampai tercapai target dosis.
b. Target dosis : 50mg 3 kali/hari (150mg sehari)
vi. Efek samping
a. Batuk kering
b. Hipotensi
c. Pusing
d. Disfungsi ginjal
e. Hiperkalemia
f. Angioedema
g. Ruam kulit
h. Takikardi
i. Proteinuria
b. Insulin
i. Farmakodinamik
ii. Farmakokinetik
iii. Indikasi
iv. Kontraindikasi
v. Dosis
vi. Efek samping
11. Indikasi pemberian infus ringer laktat dan bolus insulin
a. Infus ringer laktat
Tujuan dari resusitasi cairan adalah mempertahankan distribusi oksigen ke
jaringan. Besar volum cairan yang hilang serta jenis cairan yang digunakan
mempengaruhi jumlah cairan yang diberikan. Perbandingan cairan
kristaloid dengan volum cairan yang hilang adalah 3:1. Sedangkan
perbandingan cairan koloid dengan volum cairan yang hilang adalah 1:1.
Lebih dianjurkan cairan yang diberikan ialah garam seimbang seperti
Ringer’s laktat (RL) 2-4 L dalam 20-30 menit.
Indikasi penggantian cairan:
Indikasi pen
b. Bolus insulin
Pada prinsipnya, pasien penyakit berat atau kritis yang dirawat di rumah
sakit memerlukan terapi insulin. Sebagian besar dari mereka membutuhkan
Perdarahan Tiap 1 mL darah yang hilang digantikan dengan 3
mL cairan kristaloid isotonis seimbang atau 1 mL
cairan koloid/darah
Third space losses Digantikan dengan cairan kristaloid isotonis
seimbang (contoh: Ringer Laktat)
Keringat berlebihan Digantikan dengan D5W ¼ NS dengan 5 mEq KCl/L
Gastric and colonic
losses
Digantikan dengan D5W ½ NS dengan 30 mEq
KCl/L
Bile, pancreas, and
small bowel losses
Digantikan dengan cairan kristaloid isotonis
seimbang (contoh: Ringer Laktat)
terapi insulin yang diberikan secara infus intravena, misalnya pada pasien
kritis/akut, seperti :
- hiperglikemia gawat darurat
- infark miokard akut
- stroke
- fraktur
- infeksi sistemik
- syok kardiogenik
- pasien transplantasi organ
- edema anasarka
- kelainan kulit yang luas
- persalinan, pasien yang mendapat terapi glukokortikoid dosis tinggi,
- pasien pada periode perioperatif.
12. Indikasi pemeriksaan urin rutin dan analisa gas darah
a. Pemeriksaan urin rutin
Indikasi dilakukannya pemeriksaan urin rutin yaitu:
i. Mendiagnosis dan memantau kelainan ginjal/saluran kemih termasuk
kecurigaan dan pemantauan infeksi saluran kemih (ISK)
ii. Mendeteksi penyakit metabolik dan sistemik
b. Analisa gas darah
Indikasi dilakukannya pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) yaitu :
i. Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik, seperti bronchitis
kronis dan emfisema
ii. Pasien dengan edema pulmo
iii. Pasien akut respiratori distress sindrom (ARDS)
iv. Infark miokard
v. Pneumonia
vi. Pasien syok
vii. Post pembedahan coronary arteri baypass
viii. Resusitasi cardiac arrest
13. Informed consent, medikolegal dan etik pada kasus kegawatan
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik,
pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas
dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1)
dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien
dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan
kedokteran”.
Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No
209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan
informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di
tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar
atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal
dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin
kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini
berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan
gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan
penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.
14. Kriteria kasus kegawatdaruratan
Menurut BPJS (2014), kriteria kegawatan sesuai indikasi medis, yaitu:
1. Kecelakaan/Ruda Paksa yang bukan kecelakaan kerja, contoh kasus:
Trauma kepala, patah tulang terbuka/tertutup, luka robekan/sayatan pada
kulit/otot
2. Serangan jantung, contoh kasus: henti irama jantung, irama jantung yang
abnormal, nyeri dada akibat penyempitan/penutupan pembuluh darah
jantung
3. Panas tinggi diatas 39 derajat Celsius atau disertai kejang demam, contoh
kasus: kejang demam
4. Perdarahan hebat, contoh diagnosis: Trauma dengan perdarahan hebat,
muntah/berak darah, abortus (keguguran) , Demam Berdarah Dengue
Grade dengan komplikasi perdarahan
5. Muntaber disertai Dehidrasi sedang s/d berat, contoh kasus: Kholera,
Gastroenteritis akut dengan dehidrasi sedang/berat, mual dan muntah
pada ibu hamil disertai dehidrasi sedang/berat
6. Sesak Napas, contoh kasus: Asma sedang/berat dalam serangan, infeksi
paru berat
7. Kehilangan kesadaran, contoh kasus: Ayan/epilepsy, Syok/pingsan
akibat kekurangan cairan, gangguan fungsi jantung, alergi berat, infeksi
berat
8. Nyeri kolik, contoh kasus: kolik abdomen, kolik renal, kolik ureter, kolik
uretra
9. Keadaan gelisah pada penderita gangguan jiwa
15. Diagnosis banding
a. Syok
i. Pengertian
Syok adalah suatu keadaan dimana pasokan darah tidak
mencukupi untuk kebutuhan organ-organ di dalam tubuh. Shock juga
didefinisikan sebagai gangguan sirkulasi yang mengakibatkan
penurunan kritis perfusi jaringan vital atau menurunnya volume darah
yang bersirkulasi secara efektif.
ii. Tipe syok
Syok secara klasik dibagi menjadi tiga katagori, yaitu
kardiogenik, hipovolemik, dan distributif syok. Syok kardiogenik
terjadi apabila jantung gagal berfungsi sebagai pompa untuk
mempertahankan curah jantung yang memadai. Disfungsi dapat
terjadi pada saat sistole atau diastole atau dapat merupakan akibat
dari obstruksi. Kegagalan sistole atau pengaliran darahdapat
diakibatkan oleh kardiomiopati terkembang (dilated cardiomyopathy)
yang menyebabkan buruknya kontraktilitas, atau toksin/obat yang
menyebabkan depresi atau kerusakan miokardium. Kegagalan
diastole atau pengisian jantung dapat diakibatkan oleh kardiomiopati
hipertropik yang mengakibatkan buruknya preload, regurgitasi seperti
pada cacat katup, tamponad atau fibrosis perikardiaum yang
mengakibatkan rendahnya preload, atau aritmia parah yang
mengakibatkan buruknya preload dan kontraktilitas takefisien.
Syok hipovolemik terjadi apabila ada defisit volume darah
≥15%, sehingga menimbulkan ketidakcukupan pengiriman oksigen
dan nutrisi ke jaringan dan penumpukan sisa-sisa metabolisme sel.
Berkurangnya volume intravaskular dapat diakibatkan oleh
kehilangan cairan tubuh secara akut atau kronik, misalnya karena
oligemia, hemoragi, atau kebakaran.
Syok distributif disebabkan oleh maldistribusi aliran darah
karena adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang
bersirkulasi secara efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan.
Vasodilatasi perifer menimbulkan hipovelemia relatif. Contoh klasik
dari syok distributif adalah syok septik. Akan tetapi, keadaan
vasodilatasi akibat faktor lain juga dapat menimbulkan syok
distributif, seperti pacuan panas (heat stroke), anafilaksis, syok
neurogenik, dan systemic inflamatory response syndrome (SIRS).
Syok septik merupakan komplikasi umum yang dijumpai pada
praktik hewan kecil dan dilaporkan merupakan penyebab kematian
yang paling umum pada unit perawatan intensif bukan kardium.Tipe-
tipe syok tersebut bervariasi dalam etiologi, tanda klinik, dan
penanganan. Seringkali terjadi lebih dari satu tipe syok pada seekor
pasien; hewan yang mengalami syok distributif juga akan mengalami
hipovolemi. Syok distributif dan hipovolemik dapat menimbulkan
syok kardiogenik.
iii. Etiologi
Etiologi spesifik dari syok tidak diketahui, tetapi syok dapat
terjadi karena stres yang serius, misalnya karena trauma yang hebat,
kegagalan jantung, perdarahan, terbakar, anestesi, infeksi berat,
obstruksi intestinal, anemia, dehidrasi, anafilaksis, dan intoksikasi.
iv. Tanda Klinis
Tanda klinik syok bervariasi tergantung pada penyebabnya.
Secara umum, tanda kliniknya dapat berupa apatis, lemah, membrana
mukosa pucat, kualitas pulsus jelek, respirasi cepat, temperatur tubuh
rendah, tekanan darah rendah, capillary refill time lambat, takikardia
atau bradikardia (kucing), oliguria, dan hemokonsentrasi (kecuali
pada hemoragi). Tekanan arteri rendah, membrana mukosa pucat,
capiilarity refill time (CRT) lambat (>2 detik), temperatur rektal
rendah atau normal, takipnea, dan ekstremitas terasa dingin
merupakan tanda klinik syok kardiogenik dan hipovolemik. Untuk
membedakan syok kardiogenik dengan syok hipovolemik dibutuhkan
anamnesis lengkap dan evaluasi jantung.
Pasien yang mengalami syok septik awal, membrana mukosanya
mungkin masih merah, CRT cepat (<1 detik), takikardia, demam, dan
terasahangat saat disentuh. Pada perkembangan selanjutnya,
membrana mukosa tampak “keruh”, CRT bertambah lambat (>2
detik), pulsus menjadi lemah, dan ekstremitas menjadi dingin.
Gambaran unik terjadi pada syok distributif pada kucing yang
seringkali menunjukkan bradikardia daripada tekikardia
v. Penatalaksanaan
Tujuan penanganan syok tahap awal adalah mengembalikan
perfusi dan oksigenasi jaringan dengan mengembalikan volume dan
tekanan darah. Pada syok tahap lebih lanjut, pengembalian perfusi
jaringan saja biasanya tidak cukup untuk menghentikan
perkembangan peradangan sehingga perlu dilakukan upaya
menghilangkan faktor toksik yang terutama disebabkan oleh bakteri.
Pemberian oksigen merupakan penanganan yang sangat umum, tanpa
memperhatikan penyebab syok. Terapi lainnya tergantung pada
penyebab syok.
Terapi cairan merupakan terapi yang paling penting terhadap
pasien yang mengalami syok hipovolemik dan distributif. Pemberian
cairan secara IV akan memperbaiki volume darah yang bersirkulai,
menurunkan viskositas darah, dan meningkatkan aliran darah vena,
sehingga membantu memperbaiki curah jantung. Akibat selanjutnya
adalah meningkatkan perfusi jaringan dan memberikan pasokan
oksigen kepada sel. Terapi awal dapat berupa pemberian cairan
kristaloid atau koloid. Pada hewan yang mengalami hipovolemik
dengan fungsi jantung normal, cairan Ringer laktat atau Ringer asetat
diberikan dengan cepat. Dosis yang direkomendasikan untuk
syoktersebut harus dihentikan. Perikardiosentesis harus dilakukan
jika efusi perikardium cukup banyak dan menyebabkan tamponad.
Pada syok distributif apabila hipotensi tetap terjadi walaupun
telah dilakukan terapi cairan yang cukup maka dibutuhkan pemberian
vasopresor. Oleh karena curah jantung dan tahanan pembuluh darah
sistemik mempengaruhi penghantaran oksigen ke jaringan, maka
pada pasien hipotensi harus dilakukan terapi untuk memaksimalkan
fungsi jantung dengan terapi cairan dan obat inotropik, dan/atau
memodifikasi tonus pembuluh darah dengan agen vasopresor.
Penggunaan glukokortikoid untuk menangani syok masih
kontroversial. Namun apabila digunakan, glukokortikoid harus
digunakan pada penanganan awal dan tidak diulang penggunaannya.
Prednisolon direkomendasikan pada dosis 22-24 mg/kg secara IV.
Glukokortikoid kerja cepat (rapid-acting glucocorticoid) yang lain
yang tersedia dalam bentuk parenteral adalah deksametason sodium
fosfat, direkomendasikan pada dosis 2-4 mg/kg secara IV.
b. Syok sepsis
i. Pengertian
Sepsis atau syok septik adalah sindrom respon inflamasi sistemik
(SIRS) sekunder terhadap infeksi yang terjadi. Respons yang terjadi
adalah keadaan kegagalan sirkulasi akut ditandai dengan hipotensi
arteri persisten meskipun resusitasi cairan yang cukup atau dengan
hipoperfusi jaringan (dimanifestasikan oleh konsentrasi laktat > 4 mg
/ dL) yang disebabkan oleh penyebab lain (Kalil, 2014).
ii. Tanda dan Gejala
a. Demam, menggigil, atau kaku (rigor)
b. Kebingungan
c. Kegelisahan
d. Kesulitan bernapas
e. Kelelahan, malaise
f. Mual dan muntah
iii. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan tanda klinis dan pemeriksaan
penunjang, meliputi:
a. Hitung darah lengkap dengan diferensial
b. Pemeriksaan koagulasi (misalnya, waktu protrombin [PT], waktu
tromboplastin parsial teraktivasi [aPTT], kadar fibrinogen)
c. Kimia darah (misalnya, natrium, klorida, magnesium, kalsium,
fosfat, glukosa, laktat)
d. Tes fungsi ginjal dan hati (misalnya, kreatinin, nitrogen urea
darah, bilirubin, alkaline phosphatase, alanine aminotransferase,
aspartat aminotransferase, albumin, lipase)
e. Kultur darah
f. Kultur urin
g. Pewarnaan Gram dan kultur sekret dan jaringan (Kalil, 2014).
iv. Penatalaksanaan
Pasien dengan sepsis, sepsis berat, dan syok septik membutuhkan
perawatan inap ke rumah sakit. Perawatan awal termasuk bantuan
pernapasan dan fungsi peredaran darah, bantuan oksigen, ventilasi
mekanis, dan infus. Pengobatan pasien dengan syok septik memiliki
tujuan utama sebagai berikut :
a. Mulai dengan antibiotik yang memadai (spektrum dan dosis yang
tepat) sedini mungkin.
b. Menyadarkan pasien dari syok septik dengan menggunakan
langkah-langkah dukungan untuk memperbaiki hipoksia,
hipotensi, dan gangguan oksigenasi jaringan (hipoperfusi).
c. Mengidentifikasi sumber infeksi dan mengobati dengan terapi
antimikroba, operasi, atau keduanya (kontrol sumber).
d. Mempertahankan fungsi sistem organ yang memadai, dipandu
oleh pemantauan kardiovaskular , dan menghambat
perkembangan sindrom disfungsi beberapa organ (multiple organ
dysfunction syndrome [MODS]) (Kalil, 2014).
c.Hipertensi
i. Pengertian
Menurut JNC VII (2003), hipertensi adalah keadaan dimana tekanan
darah ≥ 140/90 mmHg. Klasifikasi hipertensi dapat dilihat dalam
tabel berikut:
Klasifikasi Sistole Diastole
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi
- Derajat I
- Derajat II
140 – 159
≥ 160
90 – 99
≥ 100
ii. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 Yaitu :
a. Hipertensi primer / Hipertensi esensial yang (tidak diketahui
penyebabnya) disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar
95 % kasus. Faktor yang mempengaruhuinya seperti : genetik,
lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-
angiotensin, defek dalam ekskresi na, peningkatan na dan ca
intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti
obesitas, alkohol, dan merokok.
b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat 5 % kasus.
Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penyakit ginjal (stenosis
arteri renalis, pielonefritis, glomerulonefritis, tumor-tumor ginjal,
penyakit ginjal polikista (biasanya diturunkan), trauma pada
ginjal (luka yang mengenai ginjal), terapi penyinaran yang
mengenai ginjal, penggunaan estrogen, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, sindrom cushing, preeklamsi pada
kehamilan, dll.
iii. Patogenesis
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer.
Pada tahap awal hipertensi primer, curah jantung meningkat, tahanan
perifer normal, disebabkan peningkatan aktifitas simpatik. Tahap
selanjutnya, curah jantung kembali normal sedangkan tahanan perifer
meningkat (ini disebabkan refleks autoregulasi, yaitu : mekanisme
tubuh mempertahankan keadaan hemodinamik yang normal).
Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui
beberapa cara:
- Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak
cairan pada setiap detiknya
- Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku,
sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung
memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada
setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang
sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan.
(arteriosklerosis ).
- Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan
meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat
kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang
sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam
tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat.
iv. Penegakan diagnosis
- Hipertensi ditegakkan dengan dua kali atau lebih pengukuran
pada kunjungan yang berbeda, kecuali terdapat kenaikan yang
tinggi atau gejala-gejala klinis
- Pengukuran tekanan darah darah dilakukan dalam keadaan
pasien duduk bersandar, setelah beristirahat selama 5 menit
- Anamnesis : Lama menderitanya, riwayat dan gejala penyakit-
penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner, gagal
jantung, riwayat penyakit dalam keluarga, kebiasaan seperti
merokok, makanan, pemakaian obat bebas, hasil antihipertensi
sebelumnya bila ada, dan faktor psikososial lingkungan
( keluarga, pekerjaan, dll )
v. Penatalaksanaan
- Tujuan deteksi dan penatalaksanaan hipertensi adalah
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan mortalitas serta
morbiditas yang berkaitan
- Tujuan terapi adalah mencapai dan mempertahankan tekanan
sistolik di bawah 140 mmHg dan tekanan diastolik di bawah 90
mmHg dan mengontrol faktor risiko. Hal ini dapat dicapai
melalui modifikasi gaya hidup saja, atau dengan obat anti
hipertensi.
- Langkah-langkah yang dianjurkan dalam modifikasi gaya hidup:
1. Menurunkan berat badan bila terdapat kelebihan (indeks
massa tubuh ≥ 27)
2. Membatasi alkohol
3. Meningkatkan aktivitas fisik aerobik (30-45 menit/hari)
4. Mengurangi asupan natrium ( < 100 mmol Na / 2,4 g Na / 6
g NaCl / hari)
5. Mempertahankan asupan kalium yang adekuat ( 90 mmol /
hari )
6. Mempertahankan asupan kalsium dan dan magnesium yang
adekuat
7. Berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak jenuh dan
kolesterol dalam makanan
- Penatalaksanaan farmakologi dimulai dengan dosis terendah dan
menggunakan obat kombinasi dari golongan berbeda, yaitu:
1. Diuretik: menurunkan volume ekstraselular dan plasma
sehingga menurunkan curah jantung. Dosis : Tiazid 20-50
mg, 1-2 kali sehari
2. Vasodilator : Hidralazin 10-25 mg setiap hari
3. Penghambat Enzim konversi angiotensin : Kaptopril,
Enapril. 2 x 12.5 mg, 3 x 25 - 50 mg
4. Penyekat Beta : Propanolol, Metropolol, dll
d. Diabetes Mellitus
i. Pengertian
Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang
dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh
kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya.
ii. Klasifikasi
a. DM tipe 1
Terjadi karena kerusakan sel β pankreas (reaksi autoimun). Sel β
pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan
insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam
tubuh. Bila kerusakan sel β pankreas telah mencapai 80-90%
maka gejala DM mulai muncul.
b. DM tipe 2
Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja
di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel β.
Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang
cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini
menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. Kegemukan
sering berhubungan dengan kondisi ini. DM tipe 2 umumnya
terjadi pada usia > 40 tahun. Pada DM tipe 2 terjadi gangguan
pengikatan glukosa oleh reseptornya tetapi produksi insulin
masih dalam batas normal sehingga penderita tidak tergantung
pada pemberian insulin.
c. DM gestasional
Adalah kehamilan yang disertai dengan peningkatan insulin
resistance (ibu hamil gagal mempertahankan euglycemia). Pada
umumnya mulai ditemukan pada kehamilan trimester kedua atau
ketiga. Faktor risiko GDM yakni riwayat keluarga DM,
kegemukan dan glikosuria.
iii. Diagnosis
a. Gejala klasik (polidipsi, polifagi, poliuri, berat badan berkurang)
dengan kadar glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol).
b. Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L), pada keadaan
puasa sedikitnya 8 jam, atau dua jam setelah pemberian, glukosa
darah ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol) pada saat TTGO.
c. Pada keadaan tidak adanya hiperglikemia dengan gangguan
metabolik akut kriteria ini harus diulang dengan melakukan tes
pada hari yang berbeda.
e.Ketoasidosis
f. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik
i. Pengertian
Adalah suatu komplikasi akut dari diabetes melitus dimana penderita
akan mengalami dehidrasi berat, kesadaran menurun, hiperosmolar
dan tanpa adanya ketogenesis atau ada namun minimal.
ii. Etiologi
a. Insufisiensi insulin
b. Peningkatan glukosa eksogen
c. Peningkatan glukosa endogen
d. Infeksi
e. Pembedahan/operasi
f. Pemberian cairan hipertonik
g. Luka bakar
iii. Manifestasi Klinis
a. Agak mengantuk, sering koma.
b. Poliuri selama 1-3 hari sebelum gejala klinis timbul.
c. Tidak ada hiperventilasi dan tidak ada bau nafas.
d. Dehidrasi
e. Hipovolemia
f. Glukosa serum mencapai > 600 mg/dL
g. Hipernatremia
h. Osmolaritas serum tinggi dengan gejala SSP minimal
(disorientasi, kejang setempat)
i. Kerusakan fungsi ginjal
j. Kadar HCO3 <10 mEq/L
k. Kadar CO2 normal
l. Celah anion < 7mEq/L
m. Tidak ada ketonemia
n. Asidosis ringan
iv. Tatalaksana
a. Rehidrasi Cairan
Cairan yang digunakan adalah NaCl diberikan isotonik atau
hiptonik.
b. Insulin
c. Kalium
d. Hindari infeksi sekunder
Karena HHNK sering terjadi akibat komplikasi dari infeksi,
maka salah satu pengbatan yang perlu dipertimbangkan adalah
pemberian antibiotik.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Azwar. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan Edisi Ketiga, Jakarta : Binarupa.
Aksara.
BPJS Ketenagakerjaan. 2014. Emergensi.
http://www.jamsostek.co.id/info/subcontent.php?id=16&subid=26
Dewi, S. S. 2012. Diabetes Melitus. eprints.undip.ac.id/35606/3/Bab_2.pdf
Diah KM, et al. 2012. Pemeriksaan neurologi dalam Gabungan manual semester 3
2012. Surakarta: Bagian Skill Lab Fakultas Kedokteran UNS.
Dipiro, D. C., Talbert, R. M., Yee, G. C., Matzke, G. R., Welles, B. G., Posey, L. M..
2005. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition. 219-
257, The McGraw-Hill Companies Inc, USA.
Dollery, C. 1999. Therapeutic Drugs, 2nd Edition, volume 1 (A-H). C38-C42,
Churchill Livingstone, USA.
EB Medicine. 2014. Distinguishing and Managing Hypertensive Emergencies and
Urgencies. http://www.ebmedicine.net/topics.php?
paction=showTopicSeg&topic_id=70&seg_id=1336
Ettinger, S. J. dan E. C. Feldman. 2005. Textbook of Veterinary Internal Medicine.
Vol. 1. 6th Ed. St. Louis, Missouri: Elsevier Inc.
Fox, P. R. 2007. Critical care cardiology. In Proceedings of the World Small Animal
Veterinary Association. Sydney, Australia
Fuentes, V. L. 2007. Cardiovascular emergencies. In Proceedings of the SCIVAC
Congress. Rimini, Italy.
Greenberg, MS. 2001. Coma dalam Handbook of Neurosurgey. 5th ed. Thieme. NY.
Hal 119-123
John. MF Adam. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang Baru.
Cermin Dunia Kedokteran. 2006; 127:37-40
Kahn, C. M. dan S. Line. 2008. The Merck Veterinary Manual (E-book). 9th Ed.
Whitehouse Station, N.J., USA: Merck and Co., Inc.
Kalil, Andre. 2014. Septic Shock. http://emedicine.medscape.com/article/168402-
overview#showall – Diakses Mei 2014.
King, L. 2008. Update on feline critical care. In Proceedings of the 33rd World
Small Animal Veterinary Congress. Dublin, Ireland.
Kirby, R. 2007. Shock and shock resuscitation. In Proceedings of the Societa
Culturale Italiana Veterinari Per Animali Da Compagnia Congress. Rimini,
Italy.
Konsil Kedokteran Indonesia. 2007. MIMS edisi Bahasa Indonesia, volume 8, 51-56,
CMP Medika, Jakarta.
Kumar, Abbas, Fausto, Mithchell. 2007. Robbins Basic Pathology: The Endocrine
System. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M. P., Lance, L. L. 2006. Drug Information
Handbook, 14th Edition, 262-264, Lexi-Comp Inc, Ohio.
Lantip rujito, pemeriksaan refleks patologis dalam: Lab. Ketrampilan Medik PPD
Unsoed, modul skillslab
repository.unand.ac.id/15476/4/Penuntun_Skill_Lab_3.pdf
Lindsay, KW dan Bone I. 1997. Coma and Impaired Conscious Level dalam
Neurology and Neurosurgery Illustrated. Churchill Livingstone. UK. Hal.81
Lorenz, M. D., L. M. Cornelius, dan D. C. Ferguson. 1997. Small Animal Medical
Therapeutics. Philadelphia: Lippincott Raven Publisher.
Lorenz, M. D. dan L. M. Cornelius. 2006. Small Animal Medical Diagnosis. 2nd Ed.
Iowa, USA: Blackwell Publishing.
Manaf A. 2008. Genetical Abonormality and Glucotoxicity in Diabetes Mellitus: The
Background of tissue Damage and Infection.
http://repository.unand.ac.id/107/1/DM_dan_TB1.pdf. (19 Mei 2014)
Poppy, K., Komala, S., Santoso, A. H., Sulaiman, J. R., Rienita, Y., Nuswantari, D.
1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland, Edisi 25. EGC, Jakarta.
Price, A. dan Wilson, L. (1995). Patofisiologi. Buku 2. Edisi 4. Penebit Buku
Kedokteran Jakarta:EGC
Publlication and Product National Diabetes facts Sheet. Available :
http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/general05.htm#what. Access : 6 Juli 2008
Rang, H. P., Dale, M. M., Ritter, J. M., Moore, P. K. 2003. Pharmacology, Fifth
Edition, 269, 300-302, Churchill Livingstone, USA.
Sibuea, W. H., M. M. Panggabean, dan S. P. Gultom. 2005. Ilmu Penyakit Dalam.
Cetakan Kedua. Jakarta: Rineka Cipta.
Silverstein, D. 2006. The different types of shock. In Proccedings of the International
Congress of the Italian Association of Companion Animal Veterinarians. 19-21
Mei 2006. Rimini, Italy.
Sudoyo A. W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
Surahman. 2010. Pengaruh Cardiopulmonar Bypass Terhadap Jumlah Leukosit
Pada Operasi Coronary Artery Bypass Graft. Jurnal Kedokteran. Universitas
Diponegoro
Sutadi, S. M. 2003. Gastroparesis Diabetika. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3370/1/penydalam-
srimaryani8.pdf
Tierney, L. M., Mcphee, S. J., Papadakis, M. A., Current Medical Diagnosis &
Treatment, 45th Edition, 385-340, 419, 424-425, 434, 440, McGraw-Hill Inc,
USA.
Widjayanti, A., Ratulangi, B.T. Pemeriksaan Laboratorium Penderita Diabetes.
Available from: http://www.tempo.co.id/medika/online/tmp.online.old/pus-
1.htm. Access : 6 Juli 2008.
World Health Organisation. Diabetes mellitus : Report of a WHO Study Group.
World Health Organisation. Geneva-Switzerland. 2006. S5-36.
Recommended