View
114
Download
8
Category
Preview:
DESCRIPTION
Case SInusitis maksilaris
Citation preview
LAPORAN KASUS
SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK DEXTRA ET SINISTRA
Oleh:
Ricky Dwi Putra
70 2010 056
Pembimbing:
dr. Rizal Imran Ambiar Sp.THT-KL
BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KLRUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2015
HALAMAN PENGESAHAN
Telah dipresentasikan Laporan Kasus dengan Judul
SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK DEXTRA et SINISTRA
Disusun Oleh :
Ricky Dwi Putra, S.Ked
70 2010 056
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) di bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang periode
26 Mei – 29 Juni 2014.
Palembang, Juni 2014
Dosen Pembimbing,
dr. Rizal Imran Ambiar, Sp.THT-KL
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis memanjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Sinusitis Maksilaris Kronik Dextra et Sinistra”, sebagai salah satu syarat ujian
tahap profesi. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad
SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini belum sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai
bahan pertimbangan perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian Laporan Kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan
maupun tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih kepada:
1. dr. Rizal Imran Ambiar Sp.THT-LK, selaku pembimbing
yang telah memberikan banyak ilmu, saran, dan bimbingan dalam penyelesaian
laporan kasus ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bimbingan moral maupun spiritual.
3. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua dan
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan
Allah SWT. Amin.
Palembang, Januari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA .......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II ISI .......................................................................................................... 2
2.1 Definisi ................................................................................................... 2
2.2 Anatomi Sinus Paranasalis ..................................................................... 2
2.3 Epidemiologi........................................................................................... 3
2.4 Etiologi ................................................................................................... 3
2.5 Patogenesis.............................................................................................. 4
2.6 Manifestasi Klinik................................................................................... 4
2.7 Pemeriksaan Penunjang........................................................................... 5
2.8 Diagnosis Banding................................................................................... 6
2.9 Penatalaksanaan....................................................................................... 6
BAB III LAPORAN KASUS............................................................................... 8
3.1 Identitas Pasien........................................................................................ 8
3.2 Anamnesis............................................................................................... 8
3.3 Pemeriksaan Fisik.................................................................................... 8
3.4 Resume.................................................................................................... 10
3.5 Diagnosa Kerja........................................................................................ 10
3.6 Pemeriksaan Penunjang........................................................................... 10
3.7 Penatalaksanaan....................................................................................... 10
3.8 Prognosis................................................................................................. 10
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 13
BAB 1
PENDAHULUAN
Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
kavum nasi. Sinus – sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah,
dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus
sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis.1
Sinus yang alam keadaan fisiologis adalah steril, apabila klirens sekretnya
berkurang atau tersumbat, akan menimbulkan lingkungan yang baik untuk
perkembangan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri
ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis.2, 3,4,5
Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia.6 Sinusitis
bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian
antibiotik.2,3 Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan
medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif
sinusitis di Amerika Serikat.7 Berdasarkan fakta tersebut diatas, sinusitis adalah
penyakit yang penting untuk diketahui oleh seorang praktisi kesehatan. Dan
sinusitis yang paling banyak ditemukan adalah sinusitis maksilaris.8 Oleh karena
itu tema ini diangkat agar diagnosis, dan penanganan sinusitis maksilaris bisa
dimengerti dengan lebih baik.
BAB 2
5
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sinus paranasalis adalah rongga udara berlapis mukosa pada tulang
kranium, yang berhubungan dengan rongga hidung dan meliputi sinus
frontalis, sinus etmoidalis, sinus maksilaris, dan sinus sfenoidalis.9 Sedangkan
sinusitis adalah kondisi inflamatorik yang melibatkan satu atau lebih dari
keempat rongga berpasangan yang mengelilingi kavum nasi (sinus
paranasalis).3 Menurut anatomi yang terkena, sinusitis daibagi atas sinusitis
frontalis, sinusitis etmoidalis, sinusitis maksilaris, dan sinusitis sfenoidalis.4
Jadi, sinusitis maksilaris adalah suatu kondisi inflamatorik yang melibatkan
sinus maksilaris.
2.2 Anatomi Sinus Paranasalis
Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian
lateral kavum nasi. Sinus – sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa
tulang wajah, dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus
maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis (Gambar 1).
Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami
modifikasi, yang mampu mengkasilkan mukus, dan bersilia. Sekret yang
dihasilkan disalurkan ke dalam kavum nasi. Pada orang sehat, sinus terutama
berisi udara.1
Gambar 1. Sinus Paranasalis.
6
Sinus maksilaris merupakan satu – satunya sinus yang rutin ditemukan
pada saat lahir.1 Sinus maksilaris terletak di dalam tulang maksilaris, dengan
dinding inferior orbita sebagai batas superior, dinding lateral nasal sebagai
batas medial, prosesus alveolaris maksila sebagai batas inferior, dan fossa
canine sebagai batas anterior.8
2.3 Embriologi Sinus Paranasal
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah
janin berusia 2 bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi
ostium sinus. Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4
bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus
etmoid telah ada saat anak lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk
dengan sangat baik dengan dasar agak lebih rendah daripada batas atas
meatus inferior. Setelah usia 7 tahun perkembangannya ke bentuk dan ukuran
dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus frontal berkembang dari sinus
etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi
sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 – 10 tahun dan berasal dari bagian
postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai
besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.(Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
7
Gambar 2 Embriologi Tingkat Perkembangan Sinus Paranasal
A.Sinus Maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal
yang terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan
pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat
lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan
cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat
dewasa. (Lund VJ,1997)
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai
cekungan ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior,
yang terlihat berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini
kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di
meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah
lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang
merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut
setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm
anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada
dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan
turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke
bawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan
berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai
antara usia 15 dan 18 tahun. (Ballenger JJ,1994; Mangunkusumo E.,
Soetjipto D. 2007)
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya
menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus
zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga
hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis
os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka
inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar
8
orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial
sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Menurut Morris, pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus
maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32
x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum
di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat
di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk
dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada
lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan
irigasi sinus. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah : 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas , yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang
juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut
tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi
premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan
dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya
tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi
ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe,
sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan
rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat
menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi
letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak
silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum
adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang
atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo
E., Soetjipto D. 2007)
9
Gambar 3. Sinus paranasal dan ostiumnya
B. Fisiologi sinus paranasal
Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang
bermacam-macam. Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan
bahwa ronga-rongga ini adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan
Howell mencatat bahwa suku Maori dari Selandia Baru memiliki suara
yang sangat khas oleh karena mereka tidak memiliki rongga sinus
paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh Proetz , bahwa
binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak memiliki
rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari
sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan
bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat
mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus
paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai
akibat pertumbuhan tulang muka. (Passali ; Lund VJ.1997 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal
antara lain adalah :
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah
ternyata tidak didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan
10
rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang
lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa
sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa
hidung. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan
tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara
hidung dan organ-organ yang dilindungi. (Mangunkusumo E., Soetjipto
D. 2007)\
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya
akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,
sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. (Mangunkusumo E.,
Soetjipto D. 2007)
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi
sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai
resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan
besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah. (Mangunkusumo E.,
Soetjipto D. 2007)
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
6. Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena
11
2.4 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, lebih dari 30 juta orang menderita sinusitis.Virus
adalah penyebab sinusitis akut yang paling umum ditemukan.3,7 Namun,
sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan
pemberian antibiotik.2,3 Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk
pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk
pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.7
Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia,
terutama di tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin,
dengan konsentrasi pollen yang tinggiterkait dengan prevalensi yang lebih
tinggi dari sinusitis.6 Sinusitis maksilaris adalah sinusitis dengan insiden yang
terbesar.8
2.5 Etiologi
Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat meberikan kontribusi
dalam terjadinya obstruksi akut ostia sinus atau gangguan pengeluaran cairan
oleh silia, yang akhirnya menyebabkan sinusitis. Penyebab nonifeksius antara
lain adalah rinitis alergika, barotrauma, atau iritan kimia. Penyakit seperti
tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell carcinoma), dan juga penyakit
granulomatus (Wegener’s granulomatosis atau rhinoskleroma) juga dapat
menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi yang menyebabkan
perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan
sinusitis dengan mengganggu pengeluaran mukus. Di rumah sakit,
penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor resiko mayor untuk infeksi
nosokomial di unit perawatan intensif.3
Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan berbagai organisme, termasuk
virus, bakteri, dan jamur.3,13 Virus yang sering ditemukan adalah rhinovirus,
virus parainfluenza, dan virus influenza.3 Bakteri yang sering menyebabkan
sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan
moraxella catarralis. Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan sebagai
1
penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar.
Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis pada pasien
dengan gangguan sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif yang
mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain adalah dari
spesies Rhizopus, rhizomucor, Mucor, Absidia, Cunninghamella, Aspergillus,
dan Fusarium.
2.6 Patogenesis
Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril.2,3 Sinusitis dapat terjadi
bila klirens silier sekret sinus berkurang atau ostia sinus menjadi tersumbat,
yang menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya
tekanan parsial oksigen.2,3 Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan
organisme patogen.2,3,4,5 Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun
jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis.3
2.7 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis sinusitis sangat bervariasi. Keluhan utama yang
paling sering ditemukan adalah tidak spesifik, dan dapat berupa sekret nasal
purulen, kongesti nasal, rasa tertekan pada wajah, nyeri gigi, nyeri telinga,
demam, nyeri kepala, batuk, rasa lelah, halitosis, atau berkurangnya
penciuman. Gejala seperti ini sulit dibedakan dengan infeksi saluran nafas
atas karena virus, sehingga durasi gejala menjadi penting dalam diagnosis.
Pasien dengan gejala diatas selama lebih dari 7 hari mengarahkan diagnosis
ke arah sinusitis.3, Kriteria diagnosis sinusitis dirangkum dalam tabel 1.
Tabel 1. Kriteria diagnosis sinusitis
Mayor Minor
2
Nyeri atau rasa tertekan pada wajah
Sekret nasal purulen
Demam
Kongesti nasal
Obstruksi nasal
Hiposmia atau anosmia
Sakit kepala
Batuk
Rasa lelah
Halitosis
Nyeri gigi
Nyeri atau rasa tertekan pada telinga
Diagnosis memerlukan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.
Sumber: Boies ET. (2001)
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Pemeriksaan transluminasi.
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan tampak suram
atau gelap. Hal ini lebih mudah diamati bila sinusitis terjadi pada satu sisi
wajah, karena akan nampak perbedaan antara sinus yang sehat dengan
sinus yang sakit.
2. Pencitraan
Dengan foto kepala posisi Water’s, PA, dan lateral, akan terlihat
perselubungan atau penebalan mukosa atau air-fluid level pada sinus
yang sakit. CT Scan adalah pemeriksaan pencitraan terbaik dalam kasus
sinusitis.3
3. Kultur
Karena pengobatan harus dilakukan dengan mengarah kepada organisme
penyebab, maka kultur dianjurkan. Bahan kultur dapat diambil dari
meatus medius, meatus superior, atau aspirasi sinus.3
3
2.9 Diagnosis Banding
Diagnosos banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala
sinusitis tidak sensitif dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal,
penyalahgunaan kokain, rinitis alergika, rinitis vasomotor, dan rinitis
medikamentosa dapat datang dengan gejala pilek dan kongesti nasal.
Rhinorrhea cairan serebrospinal harus dipertimbangkan pada pasien dengan
riwayat cedera kepala. Pilek persisten unilateral dengan epistaksis dapat
mengarah kepada neoplasma atau benda asing nasal. Tension headache,
cluster headache, migren, dan sakit gigi adalah diagnosis alternatif pada
pasien dengan sefalgia atau nyeri wajah. Pasien dengan demam memerlukan
perhatian khusus, karena demam dapat merupakan manifestasi sinusitis saja
atau infeksi sistem saraf pusat yang berat, seperti meningitis atau abses
intrakranial.
2.10Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sinusitis dibagi atas:
1. Medikamentosa3
Pemberian Obat seperti Antibiotik, Dekongestan berupa obat tetes hidung
serta analgesik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pengobatan
medikamentosa sinusitis dibagi atas pengobatan pada orang dewasa dan
pada anak – anak.
a. Orang dewasa
i. Terapi awal:
- Amoxicillin 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
- TMP-SMX 160mg-800mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari
ii. Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir
- Amoxicillin 1000 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau
- Amoxicillin/Clavulanate 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10
hari, atau
- Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.
iii.Pasien dengan gagal pengobatan
4
- Amoxicillin 1500mg dengan klavulanat 125 mg per oral 2 kali
sehari selama 10 hari, atau
- Amoxicillin 1500mg per oral 2 kali sehari dengan Clindamycin
300 mg per oral 4 kali sehari selama 10 hari, atau
- Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.
b. Anak – anak
i.Terapi awal: Pengobatan oral selama 10 hari dengan:
- Amoxicillin 45-90 mg/kg/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis
sehari, atau
- Cefuroxime axetil 30 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis sehari,
atau
- Cefdinir 14 mg/kg/hari dalam satu dosis sehari.
ii. Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir: Pengobatan
oral selama 10 hari dengan:
- Amoxicillin 90 mg/kg/hari (maksimal 2 gram) plus Clavulanate 6,4
mg/kg/hari, keduanya terbagi dalam dua dosis sehari, atau
- Cefuroxime axetil 30 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis sehari,
atau
- Cefdinir 14 mg/kg/hari dalam satu dosis sehari.
2. Diatermi4
Diatermi gelombang pendek selama 10 hari dapat membantu
penyembuhan sinusitis dengan memperbaiki vaskularisasi sinus.
3. Tindakan pembedahan8,
Terdapat tiga pilihan operasi yang dapat dilakukan pada sinusitis
maksilaris, yaitu unisinektomi endoskopik dengan atau tanpa antrostomi
maksilaris, prosedur Caldwell-Luc, dan antrostomi inferior. Saat ini,
antrostomi unilateral dan unisinektomi endoskopik adalah pengobatan
standar sinusitis maksilaris kronis refrakter. Prosedur Caldwell-Luc dan
antrostomi inferior antrostomy jarang dilakukan.
5
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : Tn. PT
Umur : 17 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Merpati B3
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pemeriksaan : 11 Januari 2015
3.2. Anamnesis
Keluhan Utama:
Hidung pilek
Perjalanan Penyakit:
Pasien mengeluh hidungnya pilek sejak kurang lebih 3 minggu sebelum
datang ke RSMP. Pilek yang dirasakan oleh pasien setelah naik pesawat
dari bandung ke palembang dan pilek dirasakan terus menerus. Pasien juga
mengeluh hidung tersumbat pada kedua lubang yang beriringan dengan
pilek yang dialami. Ingus dari hidung kental, berwarna kuning, dan terasa
menetes di tenggorokan namun bau tidak sedap disangkap pasien. Pasien
mengaku sering bersin dan sakit kepala. Sakit pipi dan gigi disangkal oleh
pasien. Demam dan batuk disangkal.
Riwayat penyakit sebelumnya:
Sebelumnya pasien pernah operasi sinusitis 4 tahun yang lalu
Riwayat penyakit serupa dalam keluarga:
Di keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit serupa
Riwayat Sosial:
Pasien adalah seorang mahasisw
6
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status present:
T : 120/80
N : 80x/menit
Temp : 36,5°C
RR : 21x/menit
Status General
Mata : Anemis (-)
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal reguler murmur (-)
Po : Ves +/+ Rh -/- Wh -/-
Abd : distensi (-) Bising Usus (+) Normal
Ext : Hangat +/+
Status THT:
Telinga Kanan Kiri
Aurikula normal normal
Liang telinga lapang lapang
Membran tympani normal normal
Mastoid normal normal
Tes pendengaran :
Berbisik tidak dievaluasi
Weber tidak ada lateralisasi
Rinne tidak dievaluasi
Scwabach tidak dievaluasi
Hidung Kanan Kiri
Hidung luar normal normal
Cavum nasi sempit sempit
Septum tidak ada deviasi
Discharge positif positif
Mukosa merah muda merah muda
Tumor negatif negatif
Konka kongesti kongesti
7
Choana normal normal
Tenggorok
Dispneu negatif
Stridor negatif
Cyanosis negatif
Suara normal
Mukosa merah muda
Tonsil T1/T1 tenang
Dinding belakang merah muda
Post nasal drip positif
Status Lokalis (maksilaris)
Kanan Kiri
Nyeri tekan regio infra orbita Negatif Negatif
Bengkak Negatif Negatif
Hiperemis Negatif Negatif
3.4. Resume
Penderita, laki-laki, 17 tahun, datang dengan keluhan pilek sejak 3
minggu yang lalu sebelum datang ke RSMP. Penderita juga mengeluh ingus
yang dikeluarkan kental berwarna kuning dan menetes pada tenggorokan.
Riwayat operasi sinusitis 4 tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status present dan status general dalam
batas normal. Status THT : telinga tenang dalam batas normal, discharge
positif pada hidung kanan dan kiri, konka kongesti pada hidung kanan dan
kiri.
3.5. Diagnosa Kerja
Sinusitis maksilaris kronik dextra et sinistra
3.6. Rencana Pemeriksaan Penunjang
8
Pemeriksaan Transiluminasi Sinus Maksilaris
Darah rutin
Radiologi : Rontgent (Foto Water’s) atau CT-Scan
3.7. Penatalaksanaan
Pro irigasi
Antibiotika : Amoksisilin 3 x 500 mg
Dekongestan : Pseudoefedrin 3 x 60 mg
Analgetik : Parasetamol 3 x 500 mg
Operasi
3.8. Prognosis
Dubia ad bonam
9
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan sinusitis maksilaris kronik kanan
dan kiri yang ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta didukung
dengan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan pilek yang
dirasakan penderita sejak 3 minggu sebelum pasien datang ke RSMP. Pilek yang
dirasakan oleh pasien setelah naik pesawat dari bandung ke palembang dan pilek
dirasakan terus menerus. Pasien juga mengeluh hidung tersumbat pada kedua
lubang yang beriringan dengan pilek yang dialami. Ingus dari hidung kental,
berwarna kuning, dan terasa menetes di tenggorokan namun bau tidak sedap
disangkap pasien. Pasien mengaku sering bersin dan sakit kepala. Sakit pipi dan
gigi disangkal oleh pasien. Demam dan batuk disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan cavum nasi kanan kiri sempit, discharge
positif pada hidung kanan dan kiri, konka kongesti pada hidung kanan. Salah satu
penyebab sinusitis maksilaris adalah faktor rinogen karena adanya infeksi
berulang pada mukosa hidung yang menyebabkan mukosa hidung mengalami
degenerasi, periplebitis, serta perilimfangitis sehingga mengganggu aliran balik
cairan interstisial sehingga terjadi edema pada mukosa hidung yang menyebabkan
gangguan drainase dan ventilasi sinus sehingga silia menjadi kurang aktif serta
lendir yang diproduksi menjadi lebih kental. Keadaan ini merupakan media
pertumbuhan kuman patogen yang sangat baik dan apabila sumbatan berlangsung
terus menerus maka akan terjadi hipoksia dan menyebablan infeksi bakteri
anaerob.
Penanganan kasus ini adalah untuk mengeluarkan sekret dari sinus dengan
cara irigasi. Selain itu pasien juga diberikan antibiotik spektrum luas, dekongestan
dan analgetik. Sinusitis maksilaris akut umumnya diterapi dengan antibiotik
spektrum luas. Dekongestan seperti pseudoefedrin juga bermanfaat dan tetes
hidung poten seperti fenilefrin atau oksimetazolin dapat digunakan selama
beberapa hari pertama infeksi.
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Higler PA. Nose: Applied Anatomy dan Physiology. In: Adams GL, Boies LR,
Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders Company; 1989. p.173-90
2. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory Tract.
In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY:
McGraw Hill; 2005. p. 185-93
3. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Supardi EA, Iskandar N, editor.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Ed 5.
Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2001. p.120-4
4. Higler PA. Paranasal Sinuses Diseases. In: Adams GL, Boies LR, Higler PA,
editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia, PA: WB
Saunders Company; 1989. p.240-62
5. Dorland’s Pocket Medical Dictionary. Philadelphia, PA: WB Sunders
Company; 1995. Paranasal Sinuses; p. 992
6. Musher DM. Pneumococcal Infection. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 806-14
7. Musher DM. Moraxella Catarrhalis and Other Moraxella Species.. In: Kasper
DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors.
Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw
Hill; 2005. p. 862-3
8. Murphy TF. Haemophilus infection. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 185-93
9. Daum RS. Haemophilus Influenzae. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia, PA:
Saunders; 2004. p. 904-8
11
10. Pappas DE, Hendley JO. Sinusitis. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia, PA:
Saunders; 2004. p. 1391-3
11. Kasper DL. Infections Due To Mixed Anaerobic Organism. In: Kasper DL,
Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors.
Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw
Hill; 2005. p. 940-6
12. Bennett JE. Aspergillosis. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL,
Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th
ed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 1188-90
13. Aronoff SC. Aspergillus. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors.
Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia, PA: Saunders; 2004. p.
1016-8
14. Boies ET. Sinusitis. In: Harwood-Nuss A, Wolfson AB, Linden CA, Shepherd
SM, Stenklyft PH. The Clinical Practice of Emergency Medicine. 3 rd ed.
Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001
12
Recommended