View
188
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya adalah sebuah kata yang banyak diperbincangkan oleh berbagai
kalangan dari yang demikian variatif ditinjau dari perspektif strata sosial,
intelektual, dan finansial. Dengan berbagai macam interpretasi untuk memaknai
kebudayaan baik dari sejarah, perkembangan, maupun eksistensinya, manusia
secara sadar atau pun tidak sebenarnya telah bersinggungan dengan budaya itu
sendiri dalam sepanjang sejarah hidupnya. Manusia yang dalam hidupnya
senantiasa dihadapkan pada berbagai kompleksitas masalah dan upaya
pemecahannya pastilah secara langsung maupun tidak langsung akan berjibaku
dengan budaya yang melekat pada dirinya sejak lahir sebagai bawaan lingkungan
tempat ia lahir, tumbuh, dan besar, tetai juga adanya pengaruh budaya dari luar
lingkungan asalnya yang mungkin didapatnya ketika ia harus mengalami masa
peralihan domisili atau lingkungan pergaulan selama fase kehidupannya.
Ada banyak orang membicarakan kebudayaan dengan berbagai aspeknya,
tetapi tak banyak orang yang mampu mendefinisikan apa sesungguhnya
kebudayaan itu dan mengapa kebudayaan demikian kuat memberikan pengaruh
pada kehidupan manusia selama perjalanan hidupnya. Secara umum banyak orang
yang menganggap budaya terkotak hanya sebatas bersinggungan dengan hal-hal
yang berbau seni saja, padahal lebih dalam dibandingkan sebatas seni, pada
dasarnya budaya adalah pondasi yang demikian fundamen sebagai akar
terciptanya peradaban manusia.
1
Raymond Williams (dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, 2005: 7)
menyatakan bahwa kata kebudayaan merupakan salah satu dari dua atau tiga kata
yang paling kompleks penggunaannya dalam bahasa Inggris yaitu culture.
Andi Setyo W. (2009: 3) berpendapat sebagai berikut.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia
sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan
menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi
tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-
aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas
serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan
digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana
terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.
Andi Setyo W. (2009: 3) menyatakan bahwa kebudayaan dapat
didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk
sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan
pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya.
Jadi secara umum dapat dipahami bahwa kebudayaan merupakan sistem
pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak.
Perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
2
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi seni dan sebagainya, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat (Masyhuri Arifin, 2009: 4).
Segala sesuatu yang menjadi dasar atau akar dari suatu peradaban pastilah
memiliki unsur pembangun yang mengokohkan eksistensi hal yang disangga tersebut,
demikian pula budaya. Adapun menurut Rustopo (2007: 27), kebudayaan dalam arti
luas setidaknya meliputi tujuh sistem, yakni: (1) sistem religi dan upacara
keagamaan; (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan; (3) sistem pengetahuan; (4)
bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata pencaharian; dan (7) sistem teknologi dan
peralatan. Namun demikian sifat khas suatu kebudayaan hanya dapat
dimanifestasikan dalam unsur-unsur terbatas, terutama melalui bahasa, kesenian,
dan upacara.
Berdasarkan hal tersebut di atas budaya Jawa yang dalam perkembangannya
sebisa mungkin masih demikian kental mendarah daging dilestarikan oleh
sebagian besar masyarakat tetaplah memiliki daya tarik tersendiri untuk dipelajari
dan dipahami lebih dalam. Budaya Jawa adalah pengalaman–pengalaman yang
dipelajari dan mengacu pada pola–pola interaksi sosial yang terjadi pada
masyarakat Jawa; masyarakat yang lahir dari, tumbuh dan berkembang di tengah
ke luarga Jawa. Kebudayaan Jawa telah tumbuh dan berkembang selama lebih
dari ribuan tahun dan kebudayaan Jawa juga telah mengalami kontak sosial
dengan berbagai macam aspek kehidupan, yang meliputi seni, arsitektur,
kepercayaan dan lain–lain (Sayekti, tanpa tahun: 33).
3
Kebudayaan dapat dilihat ke dalam tiga sisi, yaitu sisi materi(al), sisi
behavioral, dan sisi ideasional. Dari sisi material, kebudayaan terwujud ke dalam
bentuk artefak. Konsep “cagar budaya” misalnya, secara umum diacukan kepada
benda-benda budaya yang harus dilestarikannya. Dari sisi behavioral kebudayaan
diacukan kepada sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang berpola (pattern of
behavior) yang dianggap sebagai cermin kebudayaan. Sedang dalam arti
ideasional, kebudayaan bermakna dan diberi makna pada pengetahuan dan
keyakinan (atau pengetahuan yang telah diyakini kebenarannya) dan karena itu
dijadikan pedoman acuan bertingkah laku. Dengan demikian, kebudayaan Jawa
adalah keseluruhan pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki oleh umumnya
orang Jawa dan digunakan sebagai acuan bertingkah laku dalam kerangka
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kebudayaan dapat dilihat ke dalam tiga sisi, yaitu sisi materi(al), sisi
behavioral, dan sisi ideasional. Dari sisi material, kebudayaan terwujud ke dalam
bentuk artefak. Konsep “cagar budaya” misalnya, secara umum diacukan kepada
benda-benda budaya yang harus dilestarikannya. Dari sisi behavioral kebudayaan
diacukan kepada sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang berpola (pattern of
behavior) yang dianggap sebagai cermin kebudayaan. Sedang dalam arti
ideasional, kebudayaan bermakna dan diberi makna pada pengetahuan dan
keyakinan (atau pengetahuan yang telah diyakini kebenarannya) dan karena itu
dijadikan pedoman acuan bertingkah laku. Dengan demikian, kebudayaan Jawa
adalah keseluruhan pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki oleh umumnya
orang Jawa dan digunakan sebagai acuan bertingkah laku dalam kerangka
memenuhi kebutuhan hidupnya.
4
Begitu pula, artefak bukanlah kebudayaan tetapi ia adalah benda-benda
budaya. Di mana lalu kebudayaannya? Kebudayaannya berada di balik benda
artefak tadi, berupa pengetahuan dan filsafat yang mendasarinya sehingga
terwujud benda-benda budaya dimaksud. Kebudayaan, baik dalam artian material,
behavioral, maupun ideasional sebagaimana penjelasan di atas – secara historis
lokusional, terbagi ke dalam dua ranah, yakni kebudayaan Jawa khas keraton dan
kebudayaan Jawa khas rakyat.
Madiun yang merupakan salah satu bagian dari wilayah Pulau Jawa dengan
spesifikasi wilayah Jawa Timur bagian barat di mana wilayah karesidenannya
berbatasan langsung dengan wilayah Jawa tengah yang dikenal memiliki
kebudayaan Jawa khas rakyat yang kental pastilah juga memiliki kebudayaan
lokal yang dijunjung tinggi sebagai aset dan kebanggaan daerah. Dari sekian
banyak kebudayaan asli Madiun yang hingga saat ini diupayakan untuk tetap terus
dilestarikan mulai dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, sistem mata pencaharian, teknologi
dan peralatan, ada salah satu unsur yang demikian menonjol menjadi ciri khas
daerah, yaitu kesenian Dongkrek. Kesenian inilah yang sejak awal lahir dari
imajinasi yang berkolaborasi dengan daya magis dan intuisi penciptanya menjadi
sebuah seni khas daerah dengan muatan edukasi dan tata nilai moral dan pranata
sosial mampu mengharumkan nama Madiun di kancah nasional hingga
internasional.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah sejarah Dongkrek?
2. Apa saja unsur-unsur yang tersirat dalam kesenian Dongkrek?
3. Bagaimanakah perkembangan Dongkrek?
4. Upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan pemerintah untuk melestarikan
Dongkrek sebagai aset lokal yang membanggakan?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimanakah sejarah Dongkrek.
2. Untuk mengetahui unsur-unsur yang tersirat dalam kesenian Dongkrek.
3. Untuk mengetahui bagaimanakah perkembangan Dongkrek.
4. Untuk mengetahui upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan pemerintah
untuk melestarikan Dongkrek sebagai aset lokal yang membanggakan.
D. Kegunaan
1. Kegunaan Teoretis
Adapun kegunaan teoretis dari makalah ini adalah untuk menambah
khazanah pengetahuan tentang kebudayaan lokal Madiun khususnya dalam
bidang kesenian yaitu kesenian Dongkrek dengan berbagai keunggulannya
sebagai daya tarik tersendiri dalam memperkaya kesenian tradisional
Indonesia.
6
2. Kegunaan Praktis
Adapun kegunaan praktis dari makalah ini dapat dispesifikasikan
sebagai berikut.
a. Bagi Penulis
1) Sebagai salah satu sarana mempelajari dan memperdalam kebudayaan
lokal tempat penulis berdomisili khususnya dalam unsur kesenian.
2) Sebagai salah satu cara mencintai dan menghargai kesenian Dongkrek
yang merupakan warisan nenek moyang.
3) Sebagai upaya kecil untuk turut melestarikan kesenian Dongkrek agar
lebih dikenal oleh masyarakat luas.
b. Bagi Pembaca
1) Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman kesenian lokal Madiun.
2) Untuk turut serta membantu pelestarian kesenian Dongkrek agar dapat
tetap terjaga eksistensinya.
7
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Dongkrek
Tak ubahnya dengan daerah lain, Kota Caruban yang merupakan salah
satu bagian wilayah Kabupaten Madiun bagian timur, juga memiliki kesenian
daerah peninggalan nenek moyang. Kesenian daerah tersebut yaitu Dongkrek.
Suara krek menjadi ciri khas kesenian yang satu ini, suara krek berasal dari
alat musik yang disebut korek. Karena memang menghasilkan suara krek
maka alat musik satu ini namanya korek. Bentuknya sangat sederhana, yaitu
kayu bujur sangkar, di satu sisinya ada tangkai kayu bergerigi yang bila
digesek berbunyi krek. Iringan suara krek berpadu dengan bunyi kendang
yang ditabuh secara beriringan menjadikan perpaduan musik yang sangat
sederhana tetapi demikian menarik dan eksotik.
Dongkrek memiliki banyak versi: dari Madiun selatan, dari Takeran,
bahkan sampai dari Ngawi. Semua versi itu untuk kebaikan karena memang pada
dasarnya filosofi Dongkrek adalah untuk tolak bala dan untuk mengurangi
keburukan.
Dari sekian banyak versi ada yang mengatakan bahwa kesenian Dongkrek
lahir sekitar tahun 1867 di Kecamatan Caruban yang saat ini namanya berganti
menjadi Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun. Pada awalnya dongkrek ini
hanyalah sebuah seni musik yang lahir pada masa kepemimpinan Raden Ngabehi
Lo Prawirodipuro yang menjadi demang (jabatan setingkat kepala desa) yang
membawahi empat sampai lima desa kala itu. Selain angka tahun tersebut ada pula
masyarakat yang mengatakan bahwa Dongkrek lahir pada tahun 1910.
8
Konon, saat Raden Bei Lo Prawirodipuro menjabat demang atau palang
(jabatan setingkat kepala desa) di Mejoyo atau Mejayan, kini menjadi Caruban -
Madiun, pernah dirundung sedih karena rakyatnya sedang ditimpa musibah.
Wabah penyakit yang menyerang dusun Mejayan, waktu itu, sangat berbahaya
dan memilukan. Betapa tidak, siang terserang sakit sore hari meninggal dunia.
Atau, pagi sakit malam hari meninggal dunia. Sebagai pemimpin, Raden Bei Lo
Prawirodipuro merenung dan mencoba menemukan cara untuk mengatasi wabah
penyakit yang menimpa rakyatnya. Kemudian, seperti halnya kebiasaan
masyarakat zaman dulu yang suka menjalani tapa brata sebagai salah satu cara
lelaku, Raden Bei melakukan meditasi atau bertapa di wilayah gunung kidul
Caruban. Sebagai hasil dari Ia mendapatkan wangsit untuk membuat semacam
tarian atau kesenian yang bisa mengusir bala tersebut.
saat itu terjadi pagebluk atau wabah penyakit di Kecamatan tersebut. Maka,
sebagai seorang pemimpin yang arif dan budiman Raden Bei Lo Prawirodipuro
mengatasinya dengan kesenian dongkrek tersebut. Tidak tahu pasti, bagaimana
bisa Raden Bei Lo Prawirodipuro bisa menemukan ide dongkrek itu. Namun,
banyak orang meyakini bahwa semua itu berasal dari wangsit yang diterima
Raden Bei melalui mimpinya. Masyarakat setempat juga yakin bahwa ada nilai
mistis dalam kesenian dongkrek tersebut. Tarian dan irama seni dongkrek lahir
dari wangsit hasil lelaku sang demang yang empati terhadap nasib rakyatnya.
Dalam wangsit itu tergambar, para punggawa kerajaan roh halus atau
pasukan gondoruwo yang menyerang penduduk Mejayan dapat diusir dengan
menggiring mereka keluar dari desa. Wangsit itu kemudian direalisasikan dan
dibuatlah semacam kesenian yang melukiskan fragmentasi pengusiran arwah jahat
9
yang membawa pagebluk tersebut. Komposisi para pemain fragmen satu babak
pengusiran roh halus tersebut terdiri dari barisan buto kolo, orang tua sakti dan
kedua perempuan tua separuh baya. Para perempuan sebagai simbol pihak yang
posisinya lemah sedang dikepung oleh para pasukan buto kolo dan ingin
membunuh perempuan tersebut. Lalu, muncullah lelaki tua dengan tongkatnya
mengusir barisan arwah jahat dan menjauhkannya dari para perempuan tersebut.
Setelah melaui peperangan yang cukup sengit, antara rombongan buto kolo
dengan orang tua sakti, dimenangkan oleh orang tua tersebut. Akhirnya, orang tua
sakti dapat menyelamatkan kedua perempuan dari ancaman para buto kolo.
Rombongan buto kolo itu bahkan menjadi patuh terhadap kehendak orang tua
sakti. Orang tua yang didampingi dua perempuan kemudian menggiring pasukan
buto kolo keluar dari Desa Mejayan dan sirnalah pagebluk yang menyerang rakyat
selama ini. Tradisi ini pun menjadi ciri khas kebudayaan masyarakat Caruban,
Madiun dengan sebutan “dongkrek”.
B. Unsur-Unsur yang Tersirat dalam Kesenian Dongkrek
Unsur pembangun kesenian Dongkrek ada beberapa hal, yaitu tarian,
nyanyian, dan yang paling utama adalah musik Dongkrek itu sendiri. Adapun
peralatan musik Dongkrek antara lain: bedug, korek, kentongan, kenong, gong
besi, gong kempul, kendang. peralatan topeng dongkrek: topeng orang tua, topeng
putri, topeng gendruwo/buto, juga topeng masyarakat dan gendongan.
Masyarakat pada waktu itu mendengar musik dari kesenian dongkrek ini
yang berupa bunyian “dung” berasal dari beduk atau kendang dan bunyi “krek”
berasal dari gamelan yang disebut korek. Alat korek ini berupa kayu berbentuk
bujur sangkar, di satu ujungnya ada tangkai kayu bergerigi yang saat digesek
10
berbunyi krek. Dari bunyi “dung” pada kendang dan “krek” pada korek itulah
muncul nama kesenian Dongkrek. Dalam perkembangannya digunakan pula
komponen alat musik lainnya berupa gong, kenung, kentongan, kendang dan gong
berry sebagai perpaduan antarbudaya yang dialiri kebudayaan Islam, kebudayaan
Cina dan kebudayaan masyarakat Jawa pada umumnya.
Dalam tiap pementasan dongkrek, ada tiga topeng yang digunakan para
penari. Ada topeng raksasa atau “buto” dalam bahasa Jawa dengan muka yang
seram. Ada topeng perempuan yang sedang mengunyah kapur sirih serta topeng
orang tua lambang kebajikan. Jumlah penari dalam seni Dongkrek hanya 3 orang,
yaitu yang menggunakan topeng buto (raksasa), orang tua, dan emban.
Namun sekarang dimodifikasi menjadi 4 buto, 2 emban, dan satu orang tua.
Jumlah tersebut bisa jadi lebih banyak jika dijadikan iring-iringan.
Topeng raksaksa atau dalam istilah Jawa disebut buto, dengan muka yang
menyeramkan, dilengkapi siung, merupakan simbol dari keangkaramurkaan atau
pagebluk itu sendiri. Lalu ada topeng wanita dengan bibir perot karena sedang
nginang, merupakan simbol para putri atau masyarakat yang sedang berbahagia.
Topeng orang tua merupakan penggambaran dari suatu kebajikan. Kostum yang
digunakan pemain musiknya pun dibuat semeriah mungkin. Hal ini dimaksudkan
untuk mengusir rasa bosan atau monoton dari tontonan Dongkrek. Juga ini
merupakan modernisasi dongkrek.
Ada versi lain tentang jalan cerita Dongkrek. Maka adalah hal hal wajar
jika berawal dari mulut ke mulut, cerita yang termaktub dalam seni dongkrek
cukup beragam. Versi lain menyebutkan, ketika para petani melihat hasil
sawahnya memuaskan, mereka bersenang-senang dan melakukan pesta. Ini
11
ditandai dengan munculnya dua emban. Namun, di tengah kesenangannya itu,
muncul 4 buto yang merupakan lambang wabah penyakit atau keburukan dan
malapetaka. Dua emban berusaha mengalahkan buto-buto itu, namun tak berhasil.
Hingga akhirnya datanglah seorang tua yang melambangkan kebajikan. Dia pun
bisa mengalahkan dan mengusir buto-buto tersebut. Hingga saat ini, Kesenian
Dongkrek dipercaya bisa membawa kebaikan
Kalau ditarik kesimpulan, maksud jahat akhirnya akan lebur juga dengan
kebakaan dan kebenaran sesuai dengan sesanti atau motto surodiro joyoningrat,
ngasto tekad darmastuti. Dalam Islam istilahnya, Ja’al haq wa zahaqal bathil.
Innal Bathila kaana zahuqa.
C. Perkembangan Dongkrek
Berdasar studi pustaka, seni Dongkrek lahir sekitar tahun 1867 di Mejoyo
atau Mejayan, nama kuno dari Kecamatan Caruban. Kesenian itu lahir di masa
kepemimpinan Raden Ngabehi Lo Prawirodipuro yang menjadi demang (jabatan
setingkat kepala desa) yang membawahi lima desa. Kesenian Dongkrek, bisa
dibilang, mengalami masa kejayaan antara 1867-1902. Setelah itu,
perkembangannya pasang surut. Sebagaimana kesenian lainnya, seni Dongkrek
juga rentan dipengaruhi kondisi politik yang berkembang masa itu.
Pada masa kolonial, kesenian Dongkrek sempat dilarang oleh pemerintahan
Belanda untuk dijadikan pertunjukan kesenian rakyat. Demikian pula saat Jepang
berkuasa, kesenian Dongkrek tidak bisa hidup karena dilarang oleh tentara Dai
Nippon. Saat kejayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun tahun 1965,
pun kesenian Dongkrek tenggelam karena kalah pamor dengan kesenian genjer-
genjer yang dikembangkan PKI.
12
Namun, hingga tahun 1970-an, kesenian Dongkrek masih bisa ditemui,
meskipun pamornya telah meredup. Tahun 1973, Dongkrek digali dan
dikembangkan oleh dinas P dan K Kabupaten Madiun dan dinas P dan K Propinsi
Jawa Timur. Catatan lain tertulis, pada era 1979, tepatnya pada masa
pemerintahan Bupati Madiun Kadiyono, kesenian Dongkrek mulai dibangkitkan.
Saat itu, dilakukan upaya merekonstruksi sejarah dan pakem Dongkrek melalui
penelusuran dan studi dokumentasi. Sayangnya, perkembangan kesenian ini masih
tersendat karena kalah pamor dengan kesenian modern. Akibatnya, eksistensi
kesenian Dongkrek berada di ujung tanduk. Selain itu, minimnya minat
masyarakat untuk mengembangkan kesenian tradisional tersebut turut
memperpuruk seni Dongkrek. Akhirnya, hanya ada beberapa kelompok seni saja
yang masih melestarikan kesenian ini. Hanya generasi tua saja yang menjadi
pelaku utama kesenian ini. Tahun 1980 diadakan garap tari oleh Pak Suwondo,
Kepala Seksi Kebudayaan Kabupaten Madiun. Tapi, semakin lama Dongkrek ini
semakin tenggelam, jadi justru semakin tidak terkenal.
Selama hampir 20 tahun, sejak tahun 80-an itulah bisa dikatakan bahwa
kesenian Dongkrek hampir punah. Akhirnya, baru pada tahun 2001 kesenian
Dongkrek mulai dirintis kembali oleh Andri Suwito, seorang tokoh pecinta seni
dari Karangmalang, Balerejo, Madiun, yang juga pemilik kelompok seni “Condro
Budoyo”. Awal mula kembali bangunnya kesenian Dongkrek dari mati suri ini
adalah dari acara kumpul-kumpul warga masyarakat desa setempat.
Sejak tahun itu, sedikit demi sedikit kesenian Dongkrek mulai kembali
populer. Dengan mengikuti berbagai festival, Dongkrek kini sudah menjadi
tontonan rutin di Kediri, Solo, Surabaya, dan Malang. Bahkan, Dongkrek pernah
13
juga sampai ke Istana Merdeka Jakarta, untuk mengisi acara Gita Nantya
Nusantara atau pawai budaya nusantara tahun 2005.
Festival lain yang telah dikuti antara lain Festival Bonraja, Festival Sri Wedari,
Festival Wayang, Festival Bengawan Solo, Festival Cak Durasim, Festival
Kesenian Rakyat, dan Festival Topeng, yang digelar di Solo, Surabaya, dan
Malang.
Dari sekian festival yang pernah diikuti, ada dua kejuaraan yang membuat
para pelaku Dongkrek ini bangga, yaitu ketika dalam Festival Bengawan Solo
tingkat nasional, mereka mendapat tropi juara III. Lalu, saat Festival Kesenian
Rakyat di Malang, mereka bisa masuk dalam 10 besar.
Dengan berbagai festival yang diikuti, kesenian Dongkrek cukup populer di luar
Kabupaten Madiun.
D. Upaya-Upaya yang Dilakukan Pemerintah untuk Melestarikan Dongkrek
Sebagai Aset Lokal yang Membanggakan
Adanya kepercayaan kesenian Dongkrek bisa membawa kebaikan, maka
sudah selayaknya kesenian ini dipopulerkan kembali, bahkan juga harus
dilestarikan. Namun, tampaknya pemerintah tidak sepenuhnya mencurahkan
perhatian untuk mengangkat dan mempopulerkan kesenian Dongkrek ini.
Bahkan di daerah Madiun sendiri, Dongkrek masih kalah dengan Reog Ponorogo
dan kesenian Barongsai. Padahal, jika disandingkan dengan Reog dan Barongsai,
kesenian Dongkrek tidak kalah menarik. Bahkan sebagai kesenian pembuka,
Dongkrek mampu meraup penonton yang tidak sedikit.
Jika di daerah asalnya, keberadaan Dongkrek belum terlalu menguntungkan, tidak
demikian di daerah lain. Di Solo, misalnya, Dongkrek dipercaya menjadi
14
pengiring tumpeng sebanyak 262 buah pada saat hari jadi Solo. Iring-iringan
Dongkrek ini berada di barisan paling depan.
Dengan berbagai festival yang diikuti, kesenian Dongkrek cukup populer di
luar Kabupaten Madiun. Namun rupanya kepopuleran seni Dongkrek ini tak
cukup membuat pemerintah setempat cepat tanggap, dan memberikan perhatian
terhadap kelestarian Dongkrek itu sendiri. Saat ini yang bisa dilakukan oleh
pemerintah hanyalah memberikan bantuan seperangkat alat Dongkrek di masing-
masing kecamatan. Namun semua itu belum bisa menjadi upaya yang efektif
untuk membangkitkan gairah bermain Dongkrek. Sebab, banyak perangkat
Dongkrek yang akhirnya mangkrak dan tidak digunakan. Namun tidak demikian
menurut Djoko Setyono, Kasi Budaya Sekolah Subdin Seni dan Budaya, Dinas
Pendidikan Kabupaten Madiun. Menurutnya, pemerintah selama ini sudah
melakukan upaya yang maksimal untuk membangkitkan dan memasyarakatkan
kembali kesenian Dongkrek. Hanya saja, karena kondisinya yang sudah terlibas
oleh modernisasi, membuat usaha tersebut seakan tiada artinya. Satu hal yang
pasti, agar masyarakat lebih greget dalam berlatih Dongkrek, maka setiap tahun
hendaknya diadakan festival. Hal positif dan progresif yang telah dimulai pada
tahun 2006 dengan digelarnya Dongkrek untuk murid SD hendaknya bisa menjadi
acara rutin yang mewadahi eksistensi Dongkrek sebagai salah satu budaya lokal
Madiun yang membanggakan dan mengharumkan nama Kabupaten Madiun di
tingkat nasional maupun internasional, tentunya dengan bentuk dan kemasan yang
sudah dimodifikasi tanpa melupakan akar dan khas kesenian Dongkrek itu sendiri.
15
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dongkrek adalah kesenian asli Kota Caruban tapi sayangnya kesenian
Dongkrek ini kini hampir terlupakan, kita hanya bisa menjumpai kesenian
Dongkrek pada saat karnaval perayaan hari kemerdekaan saja. Banyaknya pola
pikir yang menganggap modernitas adalah segalanya dan tradisi maupun seni
budaya nenek moyang hanyalah sebatas wajib untuk dipandang sebelah mata
membuat kesenian Dongkrek menjadi kesenian yang tidak mendapat tempat di
hati dan pikiran para generasi muda. Sementara jika keberlangsungan pola pikir
demikian terpupuk dengan baik maka dapat dipastikan bahwa eksistensi kesenian
lokal yang penuh kearifan ini akan kembali menemui ajalnya di simpang jalan
mati suri yang kesekian.
B. Saran
Akan sangat disayangkan jika seni Dongkrek nantinya hanya tinggal
kenangan saja, untuk itu sangat diharapkan bantuan dari pihak-pihak yang terkait
dalam bidang kesenian khususnya di wilayah Kabupaten Madiun untuk bersama-
sama melestarikan kembali kesenian asli Kota Caruban ini, jangan sampai
generasi muda nantinya benar-benar tidak mengenal kesenian yang berasal dari
daerahnya sendiri. Jika hanya masyarakat sendiri yang melestarikan pasti akan
sangat kesulitan untuk berkembang dan cenderung akan hilang tapi berbeda jika
ada campur tangan dari pihak pemerintah setempat hasilnya pasti akan jauh
berbeda dan bermakna.
16
17
Recommended