View
1.377
Download
6
Category
Preview:
Citation preview
1. Pengertian, tujuan, ruang lingkup dan perkembangan ushul fiqh
a. Pengertian ushul fiqh secara etimologi dan terminology
Jawab:
األصول الفقه فى اللغة فهو العلم باألحكام الشرعية العلمية من
أدلتها التفصيلية
Artinya:
“Ushul fiqh menurut bahasa adalah suatu ilmu yang membahas tentang hukum-hukum
syar’iyah tentang suatu perbuatan dari suatu dalil-dalil yang terperinci.”
فعلم اصول الفقه فى اإلصطالح الشؤعّي% هو العلم بالقواعد
والبح,,وث ال,,تى يتوص,,ل به,,ا من اس,,تفادة األحك,,ام الش,,رعية
العملي,,,ة من ادلته,,,ا التفص,,,يلية او هّي مجموع,,,ة القواع,,,د
والبحوث ال,,تى يتوص,,ل به,,ا الى اس,,تفادة األحك,,ام الش,,رعية
العلمية من ادلتها التفصلية.
Artinya:
“Ilmu ushul fiqh istilah adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan
yang merupakan cara untuk menemukan hukum-hukum syara’ yang amaliyah dari dalil-
dalilnya secara rinci atau kumpulan-kumpulan kaidah dan pembahasan yang merupakan
cara untuk menemukan (mengambil) hukum syara’ yang amaliyah dalil-dalilnya secara
rinci.”
b. Tujuan mempelajari ushul fiqh menurut Abdul Wahab Khallab adalah:
وأم,,ا موض,,وع البحث فى علم اص,,ول الفق,,ه فه,,و ال,,دليل
الشرعى الكلى من حيث ما يثبت به من األحكام الكلية.
Artinya:
“Tujuan pembahasan ushul fiqh ialah dalil-dalil syara’ yang umum yang akan
menetapkan hukum-hukum yang kulli atau umum.”
Ushul fiqh mempunyai peranan yang sangat penting di dalam ilmu syar’iy, karena
hukum syar’iy sebagian hanya mengatur permasalahan secara pokok-pokoknya dan tidak
secara mendetail. Hal ini adalah wajar karena hukum syar’iy berlaku sampai zaman.
Padahal di dalam kehidupan manusia selalu akan terjadi perubahan tata sosial
masyarakat, sehingga selalu muncul persoalan-persoalan baru di dalam masyarakat.
Ruang lingkup kajian ushul fiqh sebagai berikut:
1. Sumber-sumber hukum syara’, baik yang disepakati seperti al-Qur’an dan Sunnah
maupun yang diperselisihkan, seperti istihsan dan mashlahah mursalah.
2. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan
ijtihad.
3. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir, ayat dengan
ayat atau sunah dengan sunah, dan lain-lain.
4. Pembahasan hukum syara’ yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik
yang bersifat tuntunan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhsah). Juga dibahas
tentang hukum, hakim, mahkum alaih (orang yang dibebani), dan lain-lain.
5. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam menginstinbath hukum dan
cara menggunakannya.
Ilmu ushul fiqh tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada al-Qur’an dan
Sunah. Dengan kata lain, ushul fiqh tidak timbul dengan sendirinya tetapi benih-benihnya
sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat masalah utama yang menjadi bagian ushul
fiqh, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah dan
sahabat.
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah perkembangan
wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya yang
sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan
rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Golongan Hanafiyah misalnya, mengklaim bahwa yang pertama-tama menyusun
ilmu ushul fiqh ialah Abu Hanafiyah, Abu Yusuf Muhammad Ibnu Ali Al-Hasan. Alasan
mereka bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang pertama menjelaskan metode
istinbath dalam bukunya Ar-Ra’y. Dan Abu Yusuf adalah orang yang pertama menyusun
ushul fiqh dalam mazhab Hanafi, demikian pula Muhammad Al-Hasan telah menyusun
kitab ushul fiqh sebelum Asy-Syafi’i, bahkan Asy-Syafi’i berguru kepadanya.
Golongan Malikiyah juga mengklaim bahwa Imam Malik adalah orang pertama
yang berbicara tentang ushul fiqh. Namun, mereka tidak mengklaim bahwa Imam Malik
sebagai orang pertama yang menyusun kitab ushul fiqh. Pengakuan bahwa Imam Malik
sebagai perinci ushul fiqh, menurut Abdul Wahab Ibrahim Sulaiman dapat saya terima
begitu pula, Syi’ah Imamiyah yang mengklaim bahwa orang yang pertama yang
menyusun kitab ushul fiqh adalah Muhammad al-Baqir Ibnu Ali Ibnu Zain al-Abidin,
kemudian diteruskan oleh puteranya Imam Abu Abdillah Ja’far as-Shadiq. Pernyataan ini
diungkapkan oleh As’ad Haidar, bahwa Imam Baqir adalah peletak dasar dan perintis
ushul fiqh. Dan orang yang pertama yang menyusunnya adalah al-Hisyam Ibnu al-Hakam
yang menulis kitab al-Ahfaz, di dalamnya terdapat uraian sangat penting dalam ilmu
ushul. Pendapat tersebut, diperjelas lagi oleh Yunus ibnu ar-rahman yang menulis kitab
al-Iktilaf al-Hadits wa Masailah yang menguraikan pertentangan antara dua hadits dan
masalah perpaduan serta pen-tarjihan-nya. Setelah itu, berkembanglah ushul fiqh yang
luas.
Golongan Syafi’iyah mengklaim bahwa Imam Syafi’i-lah orang pertama yang
menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini diungkapkan oleh Allamah Jama’ ad-Din Abd
arRahman ibnu Hasan al-Ansawani. Menurutnya, Tidak diperselisihkan lagi Imam
Syafi’i adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab
yang tidak asing lagi dan sampai kepada kita sekarang, yakni kitab ar-Risalah.
Tahapan-tahapan perkembangan ushul fiqh secara garis besar, yaitu tahap awal
(abad 3 H) di bawah pemerintahan Abbasiyah, tahap perkembangan (abad 4 H) pada abad
ini dinasti Abbasiyah terpecah-pecah menjadi daulah-daulah kecil. Tahap
penyempurnaan (abad 5-6 H).
2. Lima buah kaidah pokok menurut ulama ushul di bawah ini:
األمور بمقاصدها .1
اليقين اليزال بالشك.2
المشقة يجليب التيسير.3
الضرر يزال.4
العادة محكمة.5
Jawab:
artinya segala perbuatan yang dicakup oleh perkara, yaitu dengan األمور بمقاصدها
niat, landasan.
a. “بمقاصدها setiap ”األمور perkara tergantung kepada maksud mengerjakan”
qaidah ini memberikan pengertian bahwa setiap amal perbuatan manusia, baik yang
berwujud perkataan maupun perbuatan diukur menurut niat si pelaku. Untuk mengetahui
sejauh mana niat pelaku, haruslah dilihat adanya qarinah-qarinah yang dapat dijadikan
petunjuk untuk mengetahui jenis niat dari pelakunya. Landasan rumusan qaidah ini
adalah QS: al-Bayinah: 5, Ali Imran: 145.
.Tiada pahala kecuali dengan niat ”األلواب إال بالنية“ (1
Qaidah ini termasuk salah satu dari qaidah enam yang dirumuskan oleh Zainal
Abidin ibn Ibrahim al-Mishri sebagai qaidah pokok yang kemudian oleh ulama
selanjutnya hanya diambil lima saja dan ditinggalkan qaidah ini dan dicukupkan
dengan qaidah pertama.
الع,,بر قف,,ر العق,,ود للمقاص,,د والمع,,انى ال لأللف,,اظ“ (2
Yang ”والمبانى dianggap (dinilai) dalam aqad adalah maksud-maksud dan
makna-makna, bukan lafazh-lafazh dan bentuk-bentuk perkataan.
Bila terjadi suatu perbedaan pendapat dalam suatu transaksi antara maksud pembuat
dengan lafaz yang diucapkan, maka yang harus dipegangi ialah maksud pembuatan
transaksi, selama maksud itu diketahui.
b. اليقين اليزال بالشك
1) Pengertian
Yang dimaksud dengan “Yakin” adalah:
اليقين هو ما كان ثابتا بالنظر والدليل
Artinya:
“sesuatu yang tetap, baik dengan penganalisaan maupun dengan dalil”. (Abdul Mujib,
1980: 25)
Sedangkan yang dimaksud dengan “syak” sebagai berikut:
الشك هو ما كان مترددا بين الثب,,وت وعدم,,ه م,,ع تس,,اوى
طر فى الصواب والخطاء دون ترجيح احدهما على االخر
Artinya:
“Sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiada, dan dalam ketidak tentuan itu
sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dimenangkan salah
satunya.” (Abdul Mujib, 1980: 25-26)
2) Dasar-dasar Nash Kaidah
Sabda Nabi SAW:
اذا وجد احدكم فى بطنه شيئا فاء شكل علي,,ه اخ,,رج من,,ه
شيئ ام ال فال يخرجن من المسجد ح,,تى يس,,مع ص,,وتا او
يجد ريحا )رواه مسلم عن ابى هريرة(
Artinya:
“(Apabila di antara kalian menemukan sesuatu di dalam perut kemudian sangsi
apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar dari
mesjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan baunya)”. (HR. Muslim dari
Abu Harun)
Kandungan hadits ini menjelaskan bahwa seseorang yang semula suci, kemudian ia
ragu-ragu apakah ia mengeluarkan angin atau belum, maka ia harus dianggap masih
dalam keadaan suci. Karena keadaan inilah yang sudah meyakinkan tentang
kesuciannya semula, sedangkan keragu-raguan itu baru timbul kemudian. Suatu
keyakinan yang sudah matap merupakan kekuatan yang tidak mudah digoyahkan oleh
keragu-raguan. Kecuali keraguan itu sudah berubah sifatnya menjadi keyakinan.
اذا شك احدكم فى صالته فلم يدركم صلى اثالث,,ا او اربع,,ا
فليطرح الشك وليبن على ما استيقن )رواه الترم,,دي عن
عبد الرحمن(
Artinya:
“(Apabila salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam mengerjakan shalat tidak
tahu berapa rakaat yang telah dikerjakan tiga atau empat rakaat, maka buanglah
keraguan itu dan berpeganglah kepada apa yang diyakini (yang paling sedikit).”
(HR. Thurmudi dari Abdurrahman)
Pada kedua dalil itu disebutkan bahwa keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan
keraguan. Misalnya seseorang ragu-ragu dengan beberapa rakaat yang ia lakukan
dalam shalatnya, maka yang yakin adalah rakaat yang paling sedikit, karena yang
paling sedikit itu yang yakin sedang yang paling banyak merupakan yang diragu-
ragukan.
c. المشقة يجليب التيسير
“ Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”
1) Pengertian
Artinya dari kaidah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan.
Maksudnya, suatu hkum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya baik
kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukallaf, diringankan sehingga tidak
memudharatkan lagi. Keringanan tersebut dalam Islam dikenal dengan istilah
rukhsah.
2) Dasar-dasar Nash Kaidah
Firman Allah SWT:
(185يريد الله بكم اليسر وال يريد بكم العسر )البقرة:
Artinya:
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kesukaran
bagi kalian”.
(78وما جعل عليكم فى الدين من حرج )الحج:
Artinya:
“Dan Dia tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan”.
الدين يسر احب الدين الى الله الحنيفة السمحة
Artinya:
“Agama itu memudahkan agama yang disenangi Allah SWT adalah agama yang
benar dan mudah).” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
d. الضرر يزال
Artinya: “Kemudharatan itu harus dihilangkan”
Arti qaidah ini adalah suatu kerusakan atau kemafsadatan itu dihilangkan. Dengan kata
lain qaidah ini menunjukkan bahwa berbuat kerusakan itu tidak dibolehkan dalam agama
Islam. Adapun yang berkaitan dengan ketetentuan Allah, sehingga kerusakan itu
menimpa seseorang kedudukannya menjadi lain, bahkan bisa dianggap sebagai bagian
dari keimanan terhadap qadha dan qadarnya Allah SWT. Karena segala sesuatu menjadi
boleh bagi Allah SWT. Dan dari-Nya lah kemanfaatan.
Sumber kaidah الضرر يزال
Qaidah ini disimpulkan dari beberapa ayat dan hadits yang diantaranya sebagai berikut:
وال تفسدوا فى االرض
Artinya:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi ...”
وال تبغ الفساد فى االرض إن الله ال يحب المفسدين.
Artinya:
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan (di muka) bumi, sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash: 77)
Firman Allah SWT, dalam surat Al-Baqarah ayat 231:
وال تمسكوهن ضرارا لتعتدوا
Artinya:
“Janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudharatan.” (Q.S. Al-Baqarah:
231)
Firman Allah SWT, dalam surat An-Nisa 4:12
... من بعض وصية يوصى بها أو دين غير مضار
Artinya:
“Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudahnya dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudharat.” (Q.S. An-Nisa: 12)
Hadits yang diriwayatkan Imam Malik
ال ضرر والصرر من ضر ضرة الله ومن شق شق الله عليه
Artinya:
“Tidak boleh memudharatkan dan dimudharatkan, barangsiapa memudharatkan maka
Allah SWT, akan memudharatkannya, dan siapa saja yang menyusahkan, maka Allah
akan menyusahkannya.” (HR. Imam Malik)
Hadits yang meriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
من ضرا ضرة الله به وعن شق شق الله عليه
Artinya:
“Barangsiapa yang memudharatkan (orang lain), maka Allah akan memudharatkannya,
dan barangsiapa yang menyusahkan (orang lain), maka Allah menyusahkannya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hadits riwayat Turmudzi:
من حسن اسالم المرء تركه ماال نعنيه
Artinya:
“Diantara kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat.”
(HR. Tirmidzi)
e. العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”
Qaidah ini dirumuskan berdasarkan firman Allah QS 7:91 yang artinya “Dan suruhlah
mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang yang bodoh”. Adapun batasan
suatu perbuatan dikatakan adat, para fuqaha memberikan definisi : ‘Urf ialah apa yang
dikenal oleh manusia dan berlaku padanya, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun
meninggalkan sesuatu.
Dari qaidah kelima ini keluar beberapa qa’idah yaitu :
Apa yang diperbuat“ ”استعمال الناس حجة يجب العمل بها“ .1
oreang banyak, merupakan hujjah yang wajib diamalkan.
Qaidah ini adalah merupakan pengertian yang berasal dari qaidah : Al-Adatu
Muhakkamah yaitu segala sesuatu yang telah biasa dikerjakan oleh masyarakat
adalah bisa menjadi patokan.”
Tidak“ ”ال ينكر تغير األحكام بتغير األزم,,ان“ .2 dapat diingkari
adanya perubahan perubahan hukum akibat berubah masa.” Hal ini mempunyai
pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan suatu hukum yang didasarkan pada
kemaslahan itu, suatu hukum yang pada masa loampau didasarkan pada
kemaslahatan pada masa itu.
“ Tulisan itu sama dengan ucapan“”الكتاب كالخطاب“ .3
Maksud daripada qa’idah ini adalah : bahwa pada suatu keterangan ataupun
yang lainnya yang diterangkan dalam bentuk tulisan mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan ucapan lisan.
بالنص“ .4 كالتعيين بالعرف Menentukan dengan dasar“ ”التعيين
‘urf seperti menentukan dengan berdasarkan nash.” Satu penetapan hukum
berdasarkan ‘urf (adat) yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai unsur
hukum. Maka kedudukannya dengan pendekatan hukum yang didasarkan nash.
3. Definisi dari ‘illat, macam dan pembagiannya menurut ulama ushul, sebagaimana cara-cara mengetahuainya adalah:
‘Illat
a. Pengertian ‘Illat
Secara etimologi ‘illat berarti “nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya
keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya.” Misalnya, penyakit itu dikatakan
‘illat, karena dengan adanya “penyakit” tersebut tubuh manusia berubah dari sehat
menjadi sakit. Oleh sebab itu apabila dikatakan ,إعتل فالن maka hal itu berarti
keadaannya berubah dari sehat menjadi sakit.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi ‘illat yang dikemukakan ulama
ushul fiqh. Mayoritas ulama Hanafiyyah, sebagian ulama Hanabilah dan Imam Baidhawi
(tokoh ulama fiqh Syafi’iyah), merumuskan definisi ‘illat dengan:
الوصف المعر%ف للحكم
Artinya:
“Suatu sifat (yang berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum.”
Imam Ghazali, mengemukakan definisi ‘illat sebagai berikut:
المؤثر فى الحكم بجعله تعالى ال بالذات
Artinya:
“Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya, melainkan atas
perbuatan Syafi’i.”
Menurutnya, ‘illat itu bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab adanya
hukum, dalam arti: adanya suatu ‘illat menyebabkan munculkan hukum. Pada dasarnya
definisi yang dikemukakan al-Ghazali ini tidak berbeda dengan definisi di atas. Akan
tetapi, al-Ghazali berpendapat bahwa pengaruh ‘illat terhadap hukum bukan dengan
sendirinya, melainkan harus karena dengan izin Allah. Maksudnya, Allah-lah yang
menjadikan ‘illat itu berpengaruh terhadap hukum. Misalnya, wajibnya hukuman potong
tangan bagi pencuri, disebabkan perbuatan mencuri yang dilakukan. Akan tetapi,
hukuman potong tangan itu sendiri pada hakekatnya merupakan kehendak Allah, bukan
semata-mata karena perbuatan mencuri itu sendiri. Contoh lain, seorang pembunuh
terhalang mendapatkan warisan dari harta orang yang ia bunuh, disebabkan pembunuhan
yang ia lakukan. Dalam kasus ini, bukan karena membunuh semata-mata -yang menjadi
‘illat- yang menyebabkan ia tidak mendapatkan warisan, tetapi atas perbuatan dari
kehendak Allah. Dengan demikian, ‘illat dalam kedua definisi di atas hanya merupakan
indikasi, penyebab dan motiv dalam suatu hukuman, yang dapat dijadikan ukuran untuk
mengetahui suatu hukum.
Saifuddin al-Amidi mengatakan ‘illat itu adalah عليه motiv) الباعث terhadap
hukum). Maksudnya, ‘illat itu mengandung hikmah yang layak menjadi tujuan syari’
dalam menetapkan suatu hukum.
b. Macam-macam ‘Illat
Para ulama ushul fiqh mengemukakan pembagian ‘illat itu dari berbagai segi, di
antaranya adalah dari segi cara mendapatkannya dan dari segi bisa atau tidaknya ‘illat itu
diterapkan pada kasus hukum lainnya.
Dari segi cara mendapatkannya, ‘illat itu, menurut ulama ushul fiqh ada dua macam,
yaitu al-‘illah al-manshushah (العلة المنصوصة) dan al-‘illah al-mustanbathah (
.(العلة المستنبطة
Al-‘Illah al-manshushah adalah ‘illat yang dikandung langsung oleh nash. Misalnya,
dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda:
كنت نهيتكم عن إدهار لحوم األضاحى من اجل الدافة
Artinya:
“Dahulu saya melarang kamu menyimpan daging korban untuk kepentingan al-daffah
(para tamu dari perkampungan Badui yang datang ke Madinah yang membutuhkan
daging korban), sekarang simpanlah daging itu. (HR. Al-Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, al-
Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
c. Cara-cara mengetahui ‘illat
Para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa ‘illat suatu hukum dapat diketahui:
1) Melalui nash, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW.
Adakalanya ‘illat yang terdapat dalam nash itu bersifat pasti dan adakalanya ‘illat itu
jelas, tetapi mengandung kemungkinan yang lain. Contoh ‘illat yang pasti dapat
dilihat dalam firman Allah pada surat al-Hasyr, 57:7:
ما افاء الله على رسوله من اهل الق,,رى فلل,,ه والرس,,ول
ولذى الق,,ربى واليت,,امى والمس,,اكين وابن الس,,بيل كّي ال
يكون دولة بين األغنياء منكم.
Artinya:
“Dan apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang
berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu
saja ...”
2) Cara kedua untuk mengetahui ‘illat suatu hukum adalah melalui ijma’. Melalui
ijma’, diketahui sifat tertentu yang terdapat dalam hukum syara’ yang menjadi ‘illat
hukum itu. Misalnya, yang menjadi ‘illat perwalian terhadap anak kecil dalam
masalah harta adalah karena “masih kecil.” ‘Illat ini diqiyaskan kepada perwalian
dalam masalah nikah.
3) Melalui al-ima’ wa al-tanbih (اإليماء والتنبيه), yaitu penyertaan sifat dengan
hukum dan disebutkan dalam lafal, tetapi ada juga ulama fiqh yang menyatakan
bahwa penyebutan sifat ini bisa diistinbatkan. Adapun hukum yang menyertai sifat
itu bisa ditetapkan melalui nash dan bisa pula hukum yang ditetapkan melalui
ijtihad. Penetapan ‘illat melalui al-ima’ wa al-tanbih ini terdapat beberapa bentuk, di
antaranya:
(a) Penetapan hukum oleh syar’i setelah mendengar suatu sifat. Hal ini mengandung
pengertian bahwa sifat yang menimbulkan hukum itu menjadi’illat utuk hukum
tersebut. Misalnya, ketika seorang Arab Baui menyatakan bahwa Nabi SAW
bahwa ia telah mencampuri isterinya di siang hari bulan Ramadhan, Nabi SAW
bersabda: “merdekakanlah seorang budak”. Penetapan hukum wajib
memerdekakan budak tersebut muncul setelah Arab Badui itu mengatakan bahwa
ia telah membatalkan puasanya dengan mencampuri isterinya di siang hari bulan
Ramadhan. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut menjadi ‘illat
diberlakukannya hukum wajib memerdekakan seorang hamba sahaya.
(b) Penyebutan sifat oleh syar’i dalam hukum yang memberi petunjuk bahwa sifat
yang disebutkan bersama hukum itu adalah ‘illat untuk hukum tersebut.
Misalnya, rasulullah SAW mengatakan:
ال يقضى القاضى وهو غضبان
Artinya:
“(seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan marah.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Sifat marah yang menyertai hukum merupakan ‘illat bagi dilarangnya hakim
memutuskan perkara.
(c) Pembedaan dua hukum yang disebabkannya adanya sifat, syarat, mani’
(halangan), atau pengecualian; baik kedua hukum yang dibedakan itu disebut
secara jelas, atau hanya satu hukum saja yang disebutkan secara jelas.
4) Melalui al-sibr wa al-taqsim (السبر والتقسيم). Sibr adalah penelitian dan
pengujian yang dilakukan mujtahid terhadap beberapa sifat yang terdalam suatu
hukum. Apakah sifat tersebut layak untuk dijadikan ‘illat hukum atau tidak.
Kemudian mujtahid mengambil salah satu sifat yang menurutnya paling tepat
dijadikan ‘illat dan meninggalkan sifat-sifat lainnya.
Adapun taqsim adalah upaya mujtahid dalam membatasi ‘illat pada satu sifat dari
beberapa sifat yang dikandung oleh suatu nash. Oleh sebab itu, dengan cara al-sibr
wa al-taqsim kemungkinan berbedanya ‘illat suatu hukum dalam pandangan
beberapa orang mujtahid yang melakukannya, adalah wajar, disebabkan kualitas
analisis dan pengujian yang mereka lakukan. Misalnya, dalam menentukan ‘illat
perwalian dalam nikah terhadap anak kecil yang dikemukakan di atas, seorang
mujtahid melihat beberapa sifat yang mungkin dijadikan ‘illat, seperti karena ia
masih kecil atau karena ia masih perawan (belum pernah kawin). Penentuan ‘illat
dalam kasus ini antara sifat masih kecil dengan sifat masih perawan bisa
menimbulkan perbedaan pandangan di kalangan para mujtahid. Ada yang melihat
sifat “masih kecil” lebih tepat dijadikan ‘illat. Akan tetapi, mujtahid lain menjadikan
sifat “masih perawan” sebagai ‘illat, dan sifat “masih kecil” tidak cocok dijadikan
‘illat, akrena wanita yang telah janda, sekalipun masih kecil, tidak bisa dipaksa oleh
walinya untuk kawin, sesuai dengan kandungan hadits:
األيم أحق بنفسها من وليها
Artinya:
“Janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.” (HR. Muslim)
Cara untuk memilih dan memilah sifat yang akan dijadikan ‘illat itu dapat dilakukan
dengan tiga cara, yaitu:
(a) Mujtahid tersebut melihat bahwa sifat yang dipilihnya ternyata telah membentuk
suatu hukum, sedangkan sifat yang lainnya tidak demikian. Cara seperti ini
disebut para ahli ushul fiqh dengan ilgha’ (اإللغاء).
(b) Sifat yang tidak dipakai sebagai ‘illat tersebut memang sifat yang tidak diterima
oleh syara’. Misalnya, sifat laki-laki dan wanita dalam masalah memerdekakan
budak. Sifat laki-laki dan wanita memang sifat yang menentukan dalam masalah
persaksian, peradilan dan perwalian. Akan tetapi, menurut ulama ushul fiqh, sifat
laki-laki dan wanita dalam masalah memerdekakan nudak tidak bisa dijadikan
‘illat, akrena baik budak laki-laki maupun wanita, sama-sama harus
dimerdekakan.
(c) Mujtahid itu sendiri tidak melihat adanya keterkaitan dan kesesuaian
(munasabah) sifat itu dengan hukum yang dibahas, karena syara’ tidak
menjadikannya sebagai sifat yang dapat menjadi ‘illat dalam kasus hukum apa
pun.
5) Munasabah (المناسبة), yaitu sifat nyata yang terdapat pada suatu hukum, dapat
diukur dan dapat dinalar, merupakan tujuan yang dikandung hukum itu, yaitu berupa
pencapaian terhadap suatu kemaslahatan atau penolakan terhadap kemudharatan.
Munasabah ini disebut juga oleh para ahli ushul fiqh dengan ikhalah (اإلخالة) yang artinya: diduga bahwa suatu sifat itu merupakan (‘illat) hukum, atau disebut
juga dengan mashlahah (المصلحة/kemaslahatan), atau ri’ayah al-maqashid
mashlahah atau disebut ,(’pemeliharaan tujuan-tujuan syara/رعاية المقاصد)
juga dengan takhrij al-manath (المناط mendapatkan/تخريج
‘illat pada hukum ashl semata-mata mengaitkan antara munasabah dengan hukum).
Contoh munasabah, adalah perbuatan zina. Perzinaan itu merupakan suatu sifat
perbuatan yang dapat diukur dan menurut nalar sejalan dengan hukum
diharamkannya zina tersebut, untuk suatu kemaslahatan, yaitu memelihara
keturunan, atau untuk menolak kemudharatan/kemafsadhatan, beberapa
tercampurnya nasab dan tidak dapat membedakan suatu keturunan.
Munasabah, apabila dilihat dari segi layak atau tidaknya dijadikan ‘illat, menurut
para ulama ushul fiqh ada tiga macam, yaitu:
(a) Al-Munasib al-Mulghi (الملغى ,(المناسب yaitu sifat yang menurut
pandangan mujtahid mengandung kemaslahatan, tetapi ada nash hukum yang
menolaknya. Misalnya, menetapkan kaffarah puasa dua bulan berturut-turut bagi
orang kaya yang melakukan hubungan suami isteri di siang hari bulan
Ramadhan. Pada dasarnya penetapan puasa dua bulan berturut-turut sebagai
kaffarah bagi orang kaya yang melakukan hubungan suami isteri di siang hari
bulan ramadhan mengandung kemaslahatan, yaitu agar bisa mencegahnya
melakukan hal yang sama, karena jika dikenakan kaffarah memerdekakan
mudak, bagi orang kaya tidak akan mempengaruhi sikapnya, disebabkan ia
orang kaya sehingga berapa pun banyak budak bisa ia merdekakan. Akan tetapi,
sesuai dengan nash, kaffarah untuk kasus seperti ini harus dilakukan secara
berturut-turut; dimulai dari memerdekakan budak, jika tidak mampu puasa dua
bulan berturut-turut, dan apabila juga tidak mampu, maka memberi makan 60
orang miskin. Oleh sebab itu, mendahulukan puasa berurut-turut secara langsung
dianggap bertentangan dengan nash.
(b) Al-Munasib al-Mu’tabar (المعتبر ,(المناسب yaitu munasabah yang
didukung oleh syara’, yaitu sifat al-munasabah itu dipergunakan syara’ sebagai
‘illat dalam hukum. Munasabah seperti ini ada empat macam, yaitu:
(1) Materi sifat itu sendiri terdapat pada materi hukum, seperti sifat
memabukkan terdapat dalam khamar.
(2) Jenis sifat itu terdapat pada jenis hukum, seperti haid menyebabkan seorang
wanita meninggalkan shalat, akrena adanya masyaqqah seorang wanita
meninggalkan shalat, karena adanya masyaqqah untuk mengulang beberapa
shalat yang mereka tinggalkan. Hal yang sama juga terdapat pada hukum
lainnya, yaitu safar (perjalanan) merupakan ‘illat untuk mengqashar
(meringkas) dan menjama’ shalat, karena adanya masyaqqah dalam
perjalanan itu. Dengan demikian, bagi orang haid dan orang yang dalam
perjalanan terdapat jenis sifat yang sama, yaitu mayaqqah. Oleh sebab itu,
keringanan untuk mengqashar dan menjama’ shalat serta keringanan untuk
meninggalkan shalat tanpa qadha (wajib mengganti) bagi orang haid, sama-
sama berada dalam satu jenis sifat.
(3) Materi sifat itu terdapat dalam jenis hukum. Misalnya, hak perwalian dalam
nikah, menurut seorang mujtahid adalah karena ia masih kecil, seperti yang
terdapat dalam haditd:
اليزوج البكر الصغيرة إال وليها
Artinya:
“Gadis kecil tidak boleh kawin melainkan dikawinkan walinya”. (HR.
Muslim, Abu Daud dan al-Nasa’i)
Lalu mujtahid tersebut mencari bandingannya dalam hukum lain. Ternyata ada
juga hukum lain yang menjadikan “leadaan masih kecil” itu sebagai ‘illat, yaitu
perwalian dalam masalah harta. Oleh sebab itu, materi sifat yang menjadikan
‘illat itu terdapat pula dalam jenis hukum lain.
(4) Jenis sifat itu terdapat dalam jenis hukum. Misalnya, apabila hari hujan
dibolehkan menjama’shalat, karena hujan itu, menurut penelitian seorang
mujtahid, membawa kepada suatu masyaqqah (kesulitan), dan kesulitan ini
sejalan dengan hukum bolehnya jama’ tersebut. Lalu mujtahid tersebut
mencari jenis kesulitan yang sama dalam hukum syara’ lain, dan ternyata ia
temukan bahwa safar menjadi ‘illat dibolehkan menjama’ shalat. Hujan dan
safar sama-sama berada dalam satu jenis, yaitu masyaqqah.
(c) Al-Munasib al-Mursal (المناسب المرسل), yaitu suatu sifat yang tidak
didukung oleh nash yang bersifat rinci, tetapi juga tidak ditolak oleh syara’,
namun, sifat ini mengandung suatu kemaslahatan yang didukung oleh sejumlah
makna nash. Menurut ulama Malikiyyah dan Hanabilah, sifat seperti ini dapat
dijadikan ‘illat, dengan alasan bahwa sekalipun nash secara rinci tidak ada yang
mendukung sifat ini, namun, sifat ini didukung oleh sejumlah makna nash.
Pendapat mereka ini juga diterima oleh Imam al-Ghazali, dengan syarat bahwa
kemaslahatannya bersifat dharuri, pasti, dan universal. Akan tetapi, menurut
ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah tidak dapat dijadikan ‘illat hukum, karena
tidak didukung secara langsung oleh nash yang rinci.
6) Cara keenam dalam mencari ‘illat adalah melalui tanqih al-manath (تنقيح
yaitu upaya seorang mujtahid dalam menentukan ‘illat dari berbagai sifat ,(المناط
yang dijadikan ‘illat oleh syara’ dalam berbagai hukum. Dengan demikian, sifat
yang dipilih untuk dijadikan ‘illat itu dalah sifat-sifat yang terdapat dalam nash.
Misalnya, menjadikan ‘illat kaffarat bagi orang yang melakukan hubungan suami
isteri pada siang hari bulan Ramadhan. Seorang mujtahid melihat bahwa nash hadits
yang membicarakan kaffarat orang yang bersenggama di siang hari Ramadhan itu
mengisyaratkan beberapa sifat yang bisa dijadikan ‘illat dalam kasus ini, seperti
pelakunya orang Arab, yang disenggamai itu seorang wanita, dan yang disenggamai
itu isterinya sendiri. Akan tetapi, tiga sifat yang disebutkan ini menurut nalar seorang
mujtahid tidak tepat dijadikan ‘illat, karena hukum itu harus berlaku secara umum,
bukan khusus terhadap orang Arab saja, senggama dengan bukan isteri dan bukan
seorang wanita, mestinya hukumannya lebih berat. Oleh karena itu, ketiga sifat ini,
menurutnya tidak dapat dijadikan ‘illat, karena sifatnya berlaku khusus. Agar ‘illat
dan hukumnya berlaku umum, maka mujtahid tersebut memilih “sifat senggama di
siang hari Ramadhan” itulah yang paling tepat. Pemilihan dan pemilahan ‘illat yang
diisyaratkan nash ini, oleh para ulama ushul fiqh disebut dengan tanqih
al-manath.
7) At-Tard (الطرد), yaitu penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya keserasian
antara keduanya. Misalnya, dikatakan “hukumlah orang pincang itu”. Dalam
pernyataan ini perintah menghukum tidak ada kaitannya dengan sifat orang yang
dihukum, yaitu pincang. Oleh karena itu, terdapat perbedaan pendapat ulama ushul
fiqh tentang bisa tidaknya tard dijadikan sebagai salah satu cara menetapkan ‘illat.
Saifuddin al-Amidi mengemukakan bahwa pendapat terkuat menyatakan bahwa tard
tidak bisa dipakai sebagai salah satu cara untuk menetapkan ‘illat. Sebagian ulama
ushul fiqh lainnya, di antaranya dari kalangan Mu’tazilah, menyatakan thard dapat
dijadikan suatu cara untuk menetapkan ‘illat.
8) Al-Syabah (الشبه), yaitu sifat yang mempunyai keserupaan, al-syabah ini,
menurut para ulama ushul fiqh, ada dua bentuk, yaitu:
(a) Melakukan qiyas kesamaan yang dominan dalam hukum dan sifat, yaitu
mengkaitkan furu yang mempunyai bentuk kesamaan dengan dua hukum asl-ashl.
Tetapi, kemiripannya dengan salah satu sifat lebih dominan dibandingkan dengan
sifat lainnya. Contohnya, menyamakan hamba shaya dengan harta, karena
statusnya yang bisa dimiliki, atau menyamakan hamba sahaya dengan orang
merdeka, disebabkan keduanya adalah manusia. Dalam persoalan ganti rugi
akibat suatu tindakan hukum yang dilakukan seorang hamba sahaya, sifat
kesamaannya dengan orang merdeka lebih dominan dibanding sebagai sesuatu
yang dimiliki. Artinya, apabila kesamaannya dengan harta yang dimiliki lebih
dominan, maka ganti rugi terhadap kelalaiannya tidak dapat dituntut. Oleh sebab
itu, dalam kasus ganti rugi ini, hamba sahaya lebih mirip dan lebih dominan
kesamaannya dengan orang merdeka, sehingga tindakan hukumnya harus
dipertanggung jawabkan.
(b) Qiyas shuri atau qiyas yang semu, yaitu mengqiyaskan sesuatu kepada yang lain
semata-mata karenha kesamaan bentuknya. Contohnya, menyamakan kuda
dengan keledai dalam kaitannya dengan masalah zkat, sehingga apabila keledai
tidak wajib dikenai zakat, maka kuda pun tidak wajib dikenai zakat.
Dalam menempatkan syabah sebagai salah satu cara dalam menetapkan ‘illat,
terdapat perbedaan para ulama ushul fiqh. Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa
apabila tidak dapat menggunakan ‘illat karena tidak ada unsur kesesuaian antara
suatu sifat dan hukum, maka al-syabah dapat dijadikan ‘illat. Yajuddin ‘Abdul
Wahhab al-Subki, menempatkan syabah antara munasabah dengan thard, karena
dari satu sisi syabah tidak mengandung unsur munasabah (kesesuaian), di pihak
lain syara’ secara universal dapat menerimanya. Akan tetapi, al-Shairafi (tokoh
ushul fiqh Syafi’iyyah), menolak syabah sebagai salah satu cara dalam
menetapkan ‘illat. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (tokoh ushul fiqh Hanbali), juga
menolak syabah sebagai salah satu cara menetapkan ‘illat hukum, karena syabah,
hanya bersifat semua dan tidak nyata.
9) Dauran (الدوران), suatu keadaan di mana ditemukan hukum apabila bertemu
sifat dan tidak terdapat hukum ketika sifat tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan
bahwa sifat yang selalu menyertai hukum itu adalah ‘illat hukum.
Dalam menetapkan dauran sebagai salah satu cara menemukan ‘illat, para ulama ushul
fiqh juga berbeda pendapat. Al-Bannani dalam kitabnya, Syarh al-Mahalli ‘ala Jam’i al-
Jawami, mengatakan bahwa pendapat terkuat yang dianut ulama ushul fiqh adalah
bahwa dauran bisa dijadikan salah satu cara menemukan ‘illat, tetapi hanya dalam
kualitas yang zhanni, tidak qath’i. Namun, ada juga ulama ushul fiqh lainnya yang
mengatakan bahwa dauran dapat digunakan untuk menemukan ‘illat secara qath’i.
10) Ilgha al-Fariq (إلغاء الفارق), yaitu terdapat titik perbedaan antara sifat dengan
hukum, tetapi titik perbedaan itu dibuang, sehingga yang tinggal hanya
kesamaannya. Contohnya firman Allah dalam surah al-Nisa, 4: 101:
وإذا ضربتم فى األرض فال جناح عليكم أن تقصروا الصالة
Artinya:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
mengqasharkan (meringkas) shalat (mu).”
Apabila diperhatikan kalimat yang digunakan dalam ayat ini, maka khitab dalam ayat itu
secara zhahir ditujukan kepada kaum lelaki, karena Allah menggunakan kalimat
“dharabtum”. Oleh sebab itu, secara shahir ayat ini mengandung makna lelaki yang
melakukan perjalanan di atas bumi boleh mengqashar shalat. Namun, apakah dengan
demikian wanita tidak boleh mengqashar shalat apabila melakukan perjalanan?
Dalam kasus-kasus tertentu, memang wanita dibedakan dengan pria, misalnya, dalam
masalah perwalian dan kesaksian. Wanita tidak boleh menjadi wali nikah dan wanita
tidak boleh menjadi saksi dalam kasus perzinahan. Akan tetapi, kasus-kasus seperti ini
sangat terbatas; di samping dalam maslaah ibadah antara pria dan wanita tidak ada
bedanya. Oleh sebab itu, sekalipun dalam beberapa kasus pria dibedakan dengan wanita,
namun dalam masalah ibdah tidak ada perbedaan kelamin; karena wanita pun boleh
mengqashar shalat dalam perjalanan. Artinya perbedaan sifat tersebut disingkirkan,
sehingga yang tinggal hanya persamaan antara pria dan wanita saja.
4. Pengertian Ta’arudh Adhillah
Secara etimologi, ta’arud berarti pertentangan dan al-adhillah jamak dari dalil yang
berarti alasan atau argumen.
Secara terminologi:
a. Imam Syaukani mendefinisikan dengan suatu dalil yang menentukan hukum tertentu
terhadap satu persoalan. Sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan
hukum tersebut.
b. Kamal ibn al-Humam dan al-Taftah Zani keduanya mendefinisikan sebagai pertentangan
dua dalil yang tidak mungkin dibakukan pengkompromian antara keduanya.
c. Ali Hasaballah mendefinisikan terjadinya pertentangan hukum yang dikandunf satu dalil
dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu
derajat (antara ayat dengan ayat, sunnah dengan sunnah)
Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa persoalan ta’arudh al-adillah dibahas para ulama
ketika ada pertentangan antara dua dalil atau antara satu dalil dengan dalil lainnya secara
zahir pada derajat yang sama.
Cara penyelesaian ta’arudh al-adillah :
a. Menurut Syafi’iyah, Malikiyyah dan Zhahiriyah
1) Jamu’ wa al-Taufiq
Yaitu mengkompromikan kedua dalil tersebut dengan alasan kaidah
menyatakan, “mengamalkan kedua dalil baik daripada meninggalkan atau
mengabaikan dalil yang lain”. Untuk mengkompromikan dua dalil yang bertentangan
ada tiga cara:
(a) Membagi kedua hukum yang bertentangan.
(b) Memilih suatu salah satu hukum.
(c) Mengambil dalil yang lebih khusus.
2) Tarjih
Yaitu menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya yakni memilih mana dalil
yang kuat di antara dalil yang tampaknya berlawanan.
3) Nasakh
4) Tatsaqut al-dalilain.
Yaitu meninggalkan kedua dalil dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya
lebih rendah.
b. Menurut Hanafiyah dan Hanabilah
Para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa cara menyelesaikan antara dua masalah yang
saling bertentangan sebagai berikut:
1) Nasakh
Yaitu membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang
datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda.
2) Tarjih
Yaitu menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan.
3) Al-jam’ wa At-Taufiq
Yaitu mengkompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan
keduanya.
4) Tasaqut Ad-Dalilain
Yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang lebih
rendah.
5. Intisari dari Makalah Saya adalah:
a. Ta’arudh Al-Adillahyaitu kontradiksi dua dalil dalam satu hukum atau pertentangan dua
dalil atau lebih dalam satu masalah di mana pertentangan itu satu sama lainnya tidak
bersesuaian.
b. Apabila kita menemukan adanya dua dalil bertentangan, maka ia dapat menggunakan dua
cara penyelesainnya. Kedua cara itu, dikemukakan masing-masing oleh ulama
Hanafiyyah dan ulama Syafi’iyyah. Ada berbagai macam penyelesaian ta’arudh al-
Adillah ini menurut ulama Hanafiyyah dan Hanabilah. Ada juga menurut Syafi’iyyah,
Malikiyyah dan Zhahiriyyah.
Kasus hukumnya tentang :
a. Dirajihkan zahirnya
Sesudah menerangkan siapa-siapa yang haram dinikahi, maka Allah SWT
mengemukakan:
(24احل لكم ما ورآء ذلكم )النساء:
Artinya:
“Dihalalkan bagimu apa yang sebaik itu.”
Isinya : Boleh nikah lebih dari empat orang.
Nash yang menentangnya :
فانكحوا ما طاب لكم من النساء مث,,نى وثل,,ثى وربعى. )النس,,اء :
2)
Artinya:
“Nikahilah yang baik bagimu dari wanita dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat.”
Nash ini menerangkan haram nikah lebih dari empat orang. Ini dinamakan rajih.
b. Dirajihkan nashnya
Menurut nashnya
Firman Allah mengenai wanita mustahadah:
المستحاضة تتوضأ لكل صالة )رواه مسلم وابو داود(
Artinya:
“Wanita mustahadah harus berwudhu untuk tiap shalatnya.”
Isinya; bahwa wanita itu harus berwudhu tiap shalat walaupun hanya dalam satu waktu.
Ditafsirkan orang, wanita mustahadah harus (wajib) berwudhu untuk tiap shalatnya,
walaupun lebih dari satu shalat padanya.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, Khairul Umam dan A. Achyar, Ushul Fiqh II, Fakultas Syari’ah, Bandung, Pustaka Setia, 1989.
Departemen Agama, Ushul Fiqih II, Qaidah-qaidah Fiqh dan Ijtihad, Jakarta,Depag, 1986.
Djafar, Muhammadiyah, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta, Kalam Mulia, 1993.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.
Karim, A. Syafi’i, Fiqih Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1997.
Khallaf, Abdul Wahab, Ushul Fiqh.
Rahman, Mukhtar Yahya dan Fachur, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1983.
Rafi’i, Moh., Ushul Fiqh, Bandung, Al-Ma’arif, 1973.
SW, Zarkasyi Abdul Salim dan Oman Fathurrohman, Pengantar Ilmu Fiqh-Ushul Fiqh, Yogyakarta, CV. Bina Usaha, 1986.
Syafi’i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1998.
Usman, Muclis, Qaidah-qaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 1983.
Zahrah, Muhammad Abu, (دار الفكر العربى) اصول الفقة
Muhammad Abu Zahrah, (دار الفكر العربى) اصول الفقة, h. 6.
Abdul Wahab Khallaf, Ushul Fiqh, h. 12.
A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 28.
Zarkasyi Abdul Salim dan Oman Fathurrohman SW, Pengantar Ilmu Fiqh-Ushul Fiqh, (Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1986), h. 83.
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 23.
Departemen Agama, Ushul Fiqih II, Qaidah-qaidah Fiqh dan Ijtihad, (Jakarta:Depag, 1986), h. 180.
Muclis Usman, Qaidah-qaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1983), h. 115.
Mukhtar Yahya dan Fachur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1983), h. 497.
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 284.
Ibid., h. 287-288.
Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), h. 135-136.
Departemen Agama, op. cit.,ih. 213.
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 76-95.
Khairul Umam dan A. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqh II, Fakultas Syari’ah, (Bandung: Pustaka Setia, 1989), h. 184.
Nasrun Haroen, op.cit., h. 176-173.
Recommended