View
30
Download
5
Category
Preview:
DESCRIPTION
ertgergerye3
Citation preview
Patofisiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa
faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat
(salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan
(coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan,
kehamilan).
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks
soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG. dan reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang
dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme
imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul
karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat
berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi
melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis,
interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme.
1. Mekanisme Imunologis
a. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari
obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang
sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang
pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin
dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek,
misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok.
b. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi Autotoksis)
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel.
Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan
lisis. Reaksi ini terjadi karena dibentuk antibody jenis IgG dan IgM terhadap antigen
yang merupakan bagian dari sel pejamu. Antibody tersebut dapat mensensitisasi sel K
sebagai efektor antibody dependent cell cytotoxicity (ADCC) atau mengaktifkan
komplemen dan menimbulkan lisis. Manifestasi klinis berupa kelainan darah seperti
anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, granulositopenia. Nefritis intersisial
dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini.
c. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang
mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komlemen. Akibatnya terjadi
akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan leozim dan menyebab kerusakan
jaringan pada organ sasaran ( target- organ ).Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen
antibody yang bersikulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau
jaringan sebelah bitir.
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam
jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe
ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan
jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah
tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan
berlanjut. Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang
pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan
jaringan.
Terjadi akibat endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau
pembuluh darah. Antibodi disini biasanya jenis IgG. Kompleks tersebut mengaktifkan
komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator terutama macrophage
chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak
jaringan di sekitarnya. Manifestasi klinis reaksi tipe ini dapat berupa :
1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme, yang sering
disertai pruritus
2. Demam
3. Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi
4. Limfadenopati
5. Lain-lain : kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis, SLE, gejala
vaskulitis lainnya.
d. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan
reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48
jam setelah pajanan terhadap antigen. Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat
limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T,
terjadi pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen
sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai
oleh sel ini bersifat lambat ( delayed ) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam
untuk terbentuknya.
Reaksi ini timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan oleh antigen. Reaksi
terjadi karena respon sel Th1 yang sudah disensitisasi terhadap antigen tertentu.
Dalam hal ini tidak ada peran antibodi. Akibat sensitisasi tersebut sel Th1 melepaskan
limfokin antara lain MIF, MAF. Makrofag yang diaktifkan melepas berbagai mediator
(sitokin, enzim, dsb) sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
Manifestasi klinis reaksi tipe ini dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,
sesak, batuk, infiltrat paru, dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi
ini adalah nitrofurantoin. Nefritis intersisial, ensefalomielitis, dan hepatitis dapat juga
merupakan manifestasi reaksi alergi obat. Namun demikian dermatitis merupakan
manifestasi yang paling sering.
2. Mekanisme Non Imunologis
Reaksi “Pseudo-allergic” menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-
dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras
media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat;
pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem
komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel.
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat
menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi anti
kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam
jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi
generalisata diffuse.
3. Unknown Mechanisms
Selain dua mekanisme diatas, masih terdapat mekanisme lain yang belum dapat
dijelaskan.3 Patogenesisnya masih belum jelas. Perkiraan disebabkan oleh reaksi alergi
tipe III dan IV. Reaksi alergi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-
antibodi yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan pada organ, terbentuknya
kompleks an¬tigen-antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktivasi
sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan
lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi
alergi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi oleh suatu antigen berkontak
kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi
radang.
a. Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM,
IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
b. Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel
obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab
tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,
inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di
daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi
komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.
c. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di
kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta
produk inflamasi lainnya.
d. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang
akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.
Recommended