View
58
Download
7
Category
Preview:
DESCRIPTION
fghj
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Hormon adalah zat kimia yang diproduksi oleh kelenjar endokrin yang
mempunyai efek tertentu pada aktifitas organ-organ lain dalam tubuh. Hormon
seks merupakan zat yang dikeluarkan oleh kelenjar seks dan kelenjar adrenalin
langsung ke dalam aliran darah. Mereka secara sebagian bertanggungjawab dalam
menentukan jenis kelamin janin dan bagi perkembangan organ seks yang normal.
Mereka juga memulai pubertas dan kemudian memainkan peran dalam pengaturan
perilaku seksual.1
Efek hormon secara umum pada tubuh manusia:1
1. Perubahan Fisik yang ditandai dengan tumbuhnya rambut di daerah tertentu
dan bentuk tubuh yang khas pada pria dan wanita (payudara membesar,
lekuk tubuh feminin pada wanita dan bentuk tubuh maskulin pada pria).
2. Perubahan Psikologis: Perilaku feminin dan maskulin, sensivitas,
mood/suasana hati meski ada faktor luar yang bisa menyebabkan hal ini.
3. Perubahan Sistem Reproduksi: Pematangan organ reproduksi, produksi
organ seksual (estrogen oleh ovarium dan testosteron oleh testis).
Hormon kadang jadi biang keladi berbagai masalah. Misalnya:1
1. Siklus haid yang tidak teratur.
2. Nyeri mestruasi yang berlebihan setiap hari
3. Keputihan terus menerus lebih dari 1 minggu
4. Obesitas atau terlalu kurus
5. Rambut mudah rontok
6. Tumor jinak dan tumor ganas payudara
7. Tumor di organ reproduksi (kista, kanker rahim)
8. Gangguan kesuburan
9. Jerawat yang tumbuh di wajah.
10. Hormon pula yang kadang membuat kita senang atau malah sedih tanpa
sebab. Semua orang pasti pernah mengalami hal ini, terutama saat pubertas.
11. Yang pasti, setiap hormon memiliki fungsi yang sangat spesifik pada masing-
masing sel sasarannya. Tak heran, satu macam hormon bisa memiliki aksi
yang berbeda-beda sesuai sel yang menerimanya saat dialirkan oleh darah.
Pada makalah tinjauan pustaka ini akan dibahas pengaruh perubahan
hormon-hormon di dalam tubuh terhadap gangguan psikiatri yang ditimbulkan.
Gangguan alam perasaan berkaitan dengan gangguan endokrin termasuk,
termasuk penyakit Cushing, hipotiroidisme dan hipertiroidisme, terapi estrogen
eksogen, dan masa pascapartum.2
BAB II
ISI
PATOFISIOLOGI GANGGUAN PSIKATRI PADA TIROTOKSIKOSIS
Gejala dan tanda klinis dari tirotoksikosis dapat berupa gangguan
psikiatri yang bersifat primer, termasuk mania, depresi, ataupun anxietas.
Tirotoksikosis menyebabkan perubahan reseptor β-adrenergik yang dimediasi
katekolamin dengan terjadinya peningkatan densitas dan sensitivitas reseptor di
jaringan perifer dan juga di otak. Aktivitas yang berlebihan dari sistem adrenergic
dapat menjelaskan manifestasi klinis dari tirotoksikosis yaitu mania atau anxietas.3
Hubungan antara tirotoksikosis dan depresi masih kurang jelas. Depresi
selalu dikaitkan dengan hipotiroidisme, bukan pada hipertioroid/tirotoksikosis.
Bagaimana pun serum TSH yang berespon oleh stimulasi TRH kurang
memberikan efek depresi pada 1-3 pasien. Fenomena ini memberikan gambaran
yang cukup berat, sebab masing-masing pasien dengan tirotoksikosis subklinis
mengalami depresi. Pada tirotoksikosis subklinis yang memanjang layaknya
tirotoksikosis klinis terjadi penurunan transmisi noradrenergik dan ini
berkonstribusi terjadinya depresi. Penurunan noradrenergik dapat membaik pada
pasien penyakit grave dengan gangguan bipolar. Pada fase inisial tirotoksikosis,
stimulasi hormon tiroid dari sistem adrenergik dapat menyebabkan mania, tetapi
ketika terjadi penurunan neurotransmisi noradrenergik dapat berkonstribusi
terhadap depresi.3
Terdapat interaksi antara fungsi tiroid dan neurotransmitter pada otak,
seperti serotonin atau GABA, berdasarkan penelitian pada binatang. Meskipun
demikian, relevansi dari studi ini belum akurat.3
Prevalensi dari komplain residual fisiologikal pada pasien yang
pengobatan tirotoksikosisnya berhasil memberikan gambaran adanya asosiasi
antara kelainan mental dan penyakit tiroid autoimun, menggambarkan adanya
korelasi antara nilai skala psikometrik dan konsentrasi serum antibody TSH-R,
mensugesti bahwa proses autoimun pada tubuh sendiri memainkan peran pada
presentasi kelainan mental dan kelainan psikiatri pada pasien tirotoksikosis.
Stimulasi persisten dari TSH-Rs dapat terlibat. Pada tirotoksikosis penyakit grave,
TSH-R memberikan peningkatan antibodi dan pada beberapa pasien antibodi ini
menjadi persisten setelah terjadi restorasi eutiroid. Koteks cerebri dan hipotalamus
merupakan organ yang memiliki banyak kandungan TSH-Rs. Stimulasi antibodi
dari reseptor di otak dapat menghasilkan peningkatan produksi T3 lokal.3
Oftalmopati pada pasien penyakit Grave berkonstribusi terhadap
morbiditas psikiatri, membangun sebuah problem dari konsekuen psikososial.
Meskipun demikian, proses autoimun dapat berperan terhadap presentasi kelainan
mental baik dengan atau tanpa oftalmopati.3
Manifestasi psikiatri dari tirotoksikosis
Robert Graves mengindentifikasi hubungan asosisasi antara goiter,
palpitasi, gejala mata, dan disfungsi nervus. Sebelum avaibilitas pengobatan yang
adekuat dari tirotoksikosis, gejala psikotik dan delirium dapat muncul. Setelah
pengobatan efektif diberikan pada pasien tirotoksikosis, dan control yang baik
dari disfungsi tiroid akan member hasil berkurangnya gejala yang berat dari
disfungsi nervus, seperti variasi gejala mental (anxietas, depresi, euphoria, dan
disfungsi kognitif) ataupun kelainan psikiatri yang tergolong non psikotik.3
Sekarang, kelainan psikiatri didiagnosis berdasarkan kriteria DSM-IV-
TR dari American Psychiatric Association atau ICD-10 dari WHO. Dalam kedua
sistem ini, tirotoksikosis dan hipotiroid berkontribusi terhadap gangguan psikiatri,
tetapi untuk eutiroid tidak. Gangguan psikiatri yang disebabkan oleh tirotoksikosis
merupakan gejala sekunder dari status endokrin. Kadangkala gangguan psikiatri
telah bermanifestasi cukup lama sebelum adanya penyakit tiroid dan tirotoksikosis
hanya berupa trigger pada episode yang baru ataupun serangan yang berulang.
Kolaborasi antara ahli endokrin dan ahli psikiatri sangat penting untuk
keberhasilan pengobatan gangguan psikiatri.3
Tirotoksikosis dan Gejala Mental
Sebuah studi yang didemosntrasikan pada pasien dengan tirotoksikosis
adalah kebanyakan memiliki gejala depresi dan anxietas daripada tanpa gangguan.
Pasien tirotoksikosis subklinis dan pasien tirotoksikosis klinis terdapat
peningkatan nilai kuantitaif dari nilai depresi dan anxietas, dan gejala berupa
palpitasi, peningkatan denyut jantung, keringat yang berlebihan, dan tremor, serta
terjadi penurunan kualitas hidup.3
Pasien dengan tirotoksikosis daapt juga menunjukkan gejala emosional
yang labil, iritabilitas, overaktivitas, depresi yang berfluktuasi, gangguan tidur.
Pada kasus yang berat, dapat terjadi skizofrenia yang berupa hendaya yang berat
dalam menilai realita yang disertai dengan delusi atau halusinasi.3
Tirotoksikosis dengan Presentasi Mental Atipical
Tirotoksikosis apatetik, memperlihatkan gejala depresi, apati, somnolen, atau
pseudodementia yang biasanya tidak tampak pada pasien tirotoksikosis pada
umunya., biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit Grave Hipertiroid.
Sindroma ini paling banyak terjadi pada pasien dewasa tua, dan juga bisa terjadi
pada remaja dan dewasa muda.3
Pada pasien tua atau pasien dengan tirotoksikosis yang berat dapat terjadi
disfungsi kognitif, delirium dan koma. Ensefalopati akut dapat terjadi pasien
dengan penyakit Grave, kadangkala juga dapat terjadi pada pasien tiroiditis kronik
autoimun. Ini jarang terjadi tetapi kondisi ini sangat buruk karena dapat
berhubungan dengan peningkatan serum antibodi antitiroid pada otak untuk
meningkatkan sekresi hormon tiroid.3
Pengobatan Psikiatri
Setelah didiagnosis tirotoksikosis, sekitar 1-3 pasien mendapat
pengobatan obat psikotropik. Kadangkala, obat ini diberikan untuk mengobati
gejala mental dari tirotoksikosis (misalnya obat antipsikotik untuk gejala dari
psikotik atau agitasi berat), kadangkala untuk mengobati gejala mental yang
muncul setelah menderita tirotoksikosis.3
Untuk farmakoterapi, pemberian lithium, benzodiazepine, antipsikotik,
dan antidepresan dapat menjadi pilihan untuk manifestasi psikiatri yang muncul,
meskipun pemakian obat-obat tersebut tidak terlalu direkomendasikan karena
onset aksi potensial obat yang lambat dan berpotensi toksiksitas. Jika terdapat
gangguan mental yang berat seperti agitasi dan psikotik, reseptor dopamine
blockade dan obat antipsikotik seperti haloperidol dapat diindikasikan.3
Pada pasien tirotoksikosis. Lithium diketahui memiliki aksi sebagai
antitiroid, tetapi mekanisme kerjanya tidak jelas dan lithium tidak
direkomendasikan untuk pengobatan penyakit graves. Lithium lebih berefek pada
pasien mania dan untuk mencegah kelainan bipolar. Ketika mania merupakan
tirotoksikosis sekunder, pengobatannya dapat berupa kombinasi antitiroid dan
propanolol, meskipun lithium kadang-kadang bisa digunakan sebagai adjuvant.
Lithium diindikasikan jika tirotoksikosis berefek sebagai trigeer untuk mania atau
depresi pada pasien dengan riwayat kelaianan bipolar. Terdapat pemahaman
bahwa lithium dapat menekan tanda tirotoksikosis dengan mereduksi respom
selular dari hormon tiroid.3
Benzodiasepine, bromazepame juga sebagai regimen antitiroid dan β-
adrenoreseptor antagonis untuk pengobatan pasien tirotoksikosis. Obat ini dapat
diberikan pada pasien tirotoksikosis dan dapat mereduksi gejala anxietas dan
berefek menidurkan.3
Obat antipsikotik dapat digunakan untuk pengobatan agitasi dan psikotik
pasien dengan tirotoksikosis jika pengobatan dengan antitiroid dan propanolol
tidak efektif. Haloperidol merupakan jenis obat yang lebih aman dibanding
phenotiazine sebab lama kelamaan dapat menyebabkan takikardia dan efek
kardiotoksik lainnya. Tidak ada data yang signifikan dalam penggunaan obat
antipsikotik atipikal untuk pasien tirotoksikosis.3
Obat antidepresan seperti TCAs dapat berbahaya padapasien
tirotoksikosis sebab berefek kardiotoxic. SSRIs dapat digunakan. Dilaporkan
pasien dengan tirotoksikosis mendapat pengobatan fluoxetine dan ditemukan
membaik.3
Pasien dengan tirotoksikosis juga membutuhkan dukungan psikoterapi
yang panjang setelah pasien sudah dalam keadaan eutiroid. Dukungannya berupa
dukungan akan kebutuhan yang dibutuhkan oleh pasien tirotoksikosis.3
STEROID PSIKOSIS
Steroid psikosis adalah gangguan psikotik yang disebabkan oleh
penggunaan obat kortikosteroid. Orang yang terkena atau mengalami gejala
kejiwaan seperti depresi dan mania. Pilihan pengobatan bervariasi, tergantung
pada kondisi medis pasien. Para peneliti percaya psikosis steroid terjadi ketika
kortikosteroid dosis tinggi menyebabkan peningkatan dopamin di otak.
Peningkatan kadar dopamin menyebabkan gejala seperti depresi, perubahan
suasana hati dan psikosis. Kortikosteroid juga menurunkan kadar serotonin di otak
yang akhirnya memperburuk gejala depresi pasien.4
Dosis yang diperlukan untuk pengendalian penyakit sering tinggi
(misalnya, 1 mg / kg atau lebih besar), dan terapi dapat dipertahankan untuk
jangka waktu dari minggu ke bulan. Dalam pengaturan ini, satu dari setiap dua
sampai tiga pasien diresepkan steroid dapat mengembangkan gejala kejiwaan
termasuk psikosis, mania, delirium, dan depresi.4
Glukocortikoid mempunyai efek penting terhadap sIstem saraf. Insufiensi
adrenal dapat menyebabkan adanya keterlambatan yang jelas pada irama EEG,
dan hal ini dapat dihubungkan dengan terjadinya depresi psikiatris.
Glukocorticoid yang diberikan terus-menerus dapat menekan pelepasan ACTH.4
1. Faal dan Hemodinamik
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak; dan juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik,
sistem saraf dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya
penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi
perubahan lingkungan. Dengan demikian, hewan tanpa korteks adrenal hanya
dapat hidup apabila diberikan makanan yang cukup dan teratur, NaCI dalam
jumlah cukup banyak dan ternperatur sekitarnya dipertahankan dalam batas-batas
tertentu. Fungsi kortikosteroid penting untuk kelangsungan hidup organisme, Efek
kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar dosis
terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga ada keterkaitan
kerja kortikosteroid dengan hormon-hormon lain. Peran kortikosteroid dalam
kerjasama ini disebut permissive effects yaitu kortikosteroid diperlukan supaya
terjadi suatu efek hormon lain.4
2. Manifestasi psikiatri
Patofisiologi kortikosteroid-psikosis yang diinduksi masih kurang
dipahami, meskipun secara umum diterima bahwa kelainan dari sumbu
hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) akibat penggunaan steroid kerja panjang
dapat mengakibatkan gangguan mood. Sebagai contoh, sindrom yang melibatkan
produksi kortisol yang berlebihan atau tidak memadai dapat memiliki manifestasi
kejiwaan. Adalah contoh Sindrom Cushing terkait dengan kecemasan, euforia,
depresi, dan psikosis, sedangkan penyakit Addison dapat menghasilkan kelelahan,
energi rendah, nafsu makan menurun, dan gejala yang konsisten dengan gejala
depresi neurovegetative.4
Penggunaan steroid untuk waktu yang lama merupakan komplikasi yang
berbahaya dan sering terjadi. Meskipun demikian penyakit yang sangat berbahaya
obat ini dapat diteruskan, sedangkan pada keadaan yang ringan dosis obat harus
segera dikurangi. Gangguan psikitrik ini dapat timbul dalam beberapa bentuk
antara lain nervositas, insomnia, perubahan mood dan jiwa serta timbulnya tipe
psikopati manik-depresif atau skizofrenik. Kecenderungan bunuh diri sering
timbul. Beberapa penyelidik mengatakan bahwa timbulnya gejala-gejala ini
disebabkan adanya gangguan keseimbangan elektrolit dalam otak sehingga
mempengaruhi kepekaan otak. Gejala-gejala ini lebih sering timbul pada pasien
yang sebelumnya pernah menderita psikosis atau bentuk nervositas lain dan
kelainan kepribadian. Gangguan jiwa akibat hormon ini dapat hilang segera atau
dalam beberapa bulan setelah obat dihentikan.4
3. Pengobatan
Dosis kortikosteroid harus diturunkan perlahan sampai kadar pcnggantian
normal, karena penurunan dosis secara cepat dapat menimbulkan gcjala penarikan
(withdrawal), termasuk demam dan rasa sakit pada sendi. Juga penghentian terapi
Steroid (Glukortikoid) yang sudah berlangsung lama tidak boleh dilakukan secara
mendadak karena dapat menyebabkan gejala insuffisiensi adrenal (Disfungsi
adrenal) yang akhirnya merusak sistim HPA Axis (Jalur umpan balik) yang pada
akhirnya terjadi reaksi tak beraturan oleh hormon yang bertanggung jawab akan
psikologis (Serotonin, Dopamin, Norepinefrin).4
GANGGUAN PSIKIATRI AKIBAT PENGARUH HORMON SEROTONIN
Neuron serotonergik berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang otak
ke korteks serebri, hipotalamus, talamus, ganglia basalis, septum, dan
hipokampus. Proyeksi ke tempat-tempat ini mendasari keterlibatannya dalam
gangguan-gangguan psikiatrik. Ada sekitar 14 reseptor serotonin, 5-HT1A dst
yang terletak di lokasi yang berbeda di susunan syaraf pusat.5
Serotonin berfungsi sebagai pengatur tidur, selera makan, dan libido.
Sistem serotonin yang berproyeksi ke nukleus suprakiasma hipotalamus berfungsi
mengatur ritmik sirkadian (siklus tidur-bangun, temperatur tubuh, dan fungsi axis
HPA). Serotonin bersama-sama dengan norepinefrin dan dopamin memfasilitasi
gerak motorik yang terarah dan bertujuan. Serotonin menghambat perilaku agresif
pada mamalia dan reptilia.5
Kelainan Serotonin (5HT) berimplikasi terhadap beberapa jenis
gangguan jiwa yang mencakup ansietas, depresi, psikosis, migren, gangguan
fungsi seksual, tidur, kognitif, dan gangguan makan. Fungsi Utama dari Serotonin
(5HT) adalah dalam pengaturan tidur, persepsi nyeri, mengatur status mood dan
temperatur tubuh serta berperan dalam perilaku aggresi atau marah dan libido.
Gejala defisit : irritabilitas & agresif, depresi & ansietas, psikosis, migren,
gangguan fungsi seksual, gangguan tidur & gangguan kognitif, gangguan makan.
Gejala berlebihan : sedasi, penurunan sifat dan fungsi aggresi. Pada kasus yang
jarang: halusinasi.5
Neurotransmiter serotonin terganggu pada depresi. Dari penelitian
dengan alat pencitraan otak terdapat penurunan jumlah reseptor pos-sinap 5-
HT1A dan 5-HT2A pada pasien dengan depresi berat. Adanya gangguan
serotonin dapat menjadi tanda kerentanan terhadap kekambuhan depresi.Dari
penelitian lain dilaporkan bahwa respon serotonin menurun di daerah prefrontal
dan temporoparietal pada penderita depresi yang tidak mendapat pengobatan.
Kadar serotonin rendah pada penderita depresi yang agresif dan bunuh diri.5
GANGGUAN PSIKIATRI AKIBAT PENGARUH HORMON NOR-
EPINEFRIN
Nor-epinephrine memiliki konsentrasi tinggi di dalam locus ceruleus
serta dalam konsentrasi sekunder dalam hippocampus, amygdala, dan kortex
cerebral. Selain itu ditemukan juga dalam konsentrasi tinggi di saraf simpatis.
Nor-epinephrine dipindahkan dari celah synaptic dan kembali ke penyimpanan
melalui proses reuptake aktif.5
Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat perhatian dan
orientasi; mengatur “fight-flight”dan proses pembelajaran dan memory. Gejala
defisit : ketumpulan. kurang energi (Fatique), depresi. Gejala Berlebihan :
anxietas. kesiagaan berlebih, penurunan rasa awas, paranoid, kurang nafsu
makan.5
Hasil metabolisme norepinefrin adalah 3-methoxy-4-hydroxyphenilglycol
(MHPG). Penurunan aktivitas norepinefrin sentral dapat dilihat berdasarkan
penurunan ekskresi MHPG. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa MHPG
mengalami defisiensi pada penderita depresi. Kadar MHPG yang keluar di urin
meningkat kadarnya pada penderita depresi yang di ECT (terapi kejang listrik).5
GANGGUAN PSIKIATRI AKIBAT PENGARUH HORMON DOPAMIN
Dopamin di produksi pada inti-inti sel yang terletak dekat dengan sistem
aktivasi retikuler. Dopamin di bentuk dari asam amino tirosin, yang berfungsi
membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan ingatan dan meningkatkan
kewaspadaan mental.5
Walaupun dopamin di produksi oleh otak, individu tetap membutuhkan
asupan tirosin yang cukup guna memproduksi dopamin. Tirosin di temukan pada
makanan berprotein seperti : daging, produk-produk susu (sperti keju), ikan ,
kacang panjang, kacang-kacangan dan produk kedelai. Dengan 3-4 ons protein
sehari, energi kita akan lebih terjaga.5
Ada empat jaras dopamin di otak, yaitu tuberoinfundobulair,
nigrostriatal, mesolimbik, mesokorteks-mesolimbik. Sistem ini berfungsi untuk
mengatur motivasi, konsentrasi, memulai aktivitas yang bertujuan, terarah dan
kompleks, serta tugas-tugas fungsi eksekutif. Penurunan aktivitas dopamin pada
sistem ini dikaitkan dengan gangguan kognitif, motorik, dan anhedonia yang
merupakan manifestasi klinis depresi.5
HUBUNGAN PERUBAHAN KADAR SETROGEN DAN PROGESTERON
PADA MASA NIFAS DENGAN DEPRESI PASCA PERSALINAN
Selama kehamilan, kadar estrogen (estradiol,estriol, dan estron) dan
progesteron meningkat akibat dari plasenta yang memproduksi hormon tersebut.
Akibat dari kelahiran plasenta saat persalinan, kadar estrogen dan progesteron
menurun tajam, mencapai kadar sebelum kehamilan pada hari ke 5. Kadar dari
beta-endorfin, human chorionic gonadotropin (HCG), dan kortisol yang
meningkat saat kehamilan dan mencapai kadar maksimal saat menjelang aterm
juga mengalami penurunan saat persalinan. Kadar estrogen yang tinggi selama
kehamilan merangsang produksi dari thyroid hormone binding globuline mengikat
T3 (triiodothyronine) dan T4 (thyroxine), sehingga kadar T3 dan T4 bebas
menurun. Sebagai konsekuensinya, thyroid-stimulating hormone (TSH)
meningkat untuk mengkompensasi rendahnya kadar hormon tiroid bebas,
sehingga kadar T3 dan T4 bebas tetap normal. Dengan menurunnya kadar thyroid
hormone-binding globulin setelah persalinan, kadar total T3 dan T4 menurun,
sedangkan kadar T3 dan T4 bebas relatif konstan.6,7
Estradiol dan estriol merupakan bentuk aktif dari estrogen yang dibentuk
oleh plasenta, dan meningkat selama kehamilan 100 dan 1000 kali lipat. Akibat
sintesis estradiol berasal dari aktifitas metabolism hati janin, konsentrasi saat
kehamilan sangat tinggi. Berdasarkan percobaan pada hewan, estradiol
menguatkan fungsi neurotransmitter melalui peningkatan sintesis dan mengurangi
pemecahan serotonin, sehingga secara teoritis penurunan kadar estradiol akibat
persalinan berperan dalam menyebabkan depresi pasca persalinan. Namun suatu
penelitian menyatakan bahwa tidak ada perbedaan berarti dari perubahan estradiol
atau free estriol saat kehamilan tua dan nifas pada wanita depresi dan tidak
depresi.6,7
Kadar prolaktin meningkat selama kehamilan, mencapai puncaknya saat
persalinan, dan pada wanita yang tidak menyusui kembali seperti keadaan
sebelum hamil dalam 3 minggu pasca persalinan. Dengan pelepasan oksitosin,
hormon yang merangsang sel lactotropik di hipofisis anterior, pemberian ASI
mempertahankan kadar prolaktin tetap tinggi. Namun pada wanita menyusui
sekalipun, kadar prolaktin tetap akan kembali seperti sebelum hamil. Prolaktin
diduga memiliki peran dalam terjadinya perasaan cemas, depresi, dan sifat kasar
pada wanita tidak hamil dengan hiperprolaktinemia.6,7
Pengobatan
Semua pasien depresi harus mendapatkan terapi berupa psikoterapi, farmakoterapi
dan beberapa memerlukan terapi fisik. Jenis terapi bergantung dari diagnosis,
berat penyakit, dan respon terhadap terapi sebelumnya.8
Psikoterapi
Psikoterapi interpersonal, suatu terapi jangka pendek, merupakan terapi
dengan sasaran masalah interpersonal seperti perubahan peran dalam rumah
tangga, memperbaiki hubungan dalam pernikahan, dukungan sosial dan stres
kehidupan. Bentuk dari psikoterapi ini berupa konseling baik kelompok maupun
individu yang dipimpin oleh profesional dibidang kesehatan jiwa. Bagi wanita
yang menyusui dapat memilih terapi ini dibandingkan terapi medikamentosa
dalam penanganan depresi pasca persalinan yang ringan. Hambatan dari terapi ini
ialah kesan mendapatkan cap negatif akibat melakukan konseling, kurangnya
terapis yang terlatih untuk memberikan psikoterapi, mengatur waktu terapi, dan
biaya.9
Antidepresi
Depresi pasca persalinan yang berat merupakan indikasi untuk pemberian
antidepresi. SSRI merupakan regimen obat pilihan yang dapat mulai diberikan.
Dalam pemberian obat antidepresi, pemantauan dilakukan bersama ahli psikiatri.
Jika gejala depresi mulai membaik selama 6 minggu pemberian, pengobatan
sebaiknya diteruskan paling sedikit selama 6 bulan untuk mencegah relaps,
dilakukan tapering off dan penghentian obat dalam jangka waktu 2-4 minggu
setelah pemberian full course. Harus dipertimbangkan keuntungan dan kerugian
dalam pemberian obat antidepresi karena obat anti depressi dalam hal ini SRSI,
diekskresi sebagian kecil melalui ASI, dan dapat mememberikan efek samping
pada bayi.9
Terapi ECT
Terapi elektrokonvulsive (ECT) merupakan metode penatalaksanaan
wanita dengan depresi mayor pasca persalinan yang tidak memberikan respon
terhadap terapi farmakologi, walaupun efek terapi dari ECT 78% efektif, namun
efek samping ECT terhadap ibu dan janin tidak bisa dibilang. Pemberian estradiol
merupakan salah satu metode penanganan depresi pasca persalinan. Walaupun
beberapa penelitian menunjukan manfaat estrogen, pemberiannya bukannya tanpa
risiko. Pemberian estrogen pada pascapersalinan berhubungan dengan penurunan
produksi ASI dan peningkatan kejadian tromboemboli.9
BAB III
PENUTUP
Hormon adalah zat kimia yang diproduksi oleh kelenjar endokrin yang
mempunyai efek tertentu pada aktifitas organ-organ lain dalam tubuh. Setiap
hormon memiliki fungsi yang sangat spesifik pada masing-masing sel sasarannya.
Tak heran, satu macam hormon bisa memiliki aksi yang berbeda-beda sesuai sel
yang menerimanya saat dialirkan oleh darah.1
Gangguan alam perasaan berkaitan dengan gangguan neurotransmitter
(berupa serotonin, dopamin, dan nor-epinefrin); dan gangguan endokrin termasuk
penyakit Cushing, hipotiroidisme dan hipertiroidisme, terapi estrogen eksogen,
dan masa pascapartum.2
DAFTAR PUSTAKA
1. Gul, S. Sistem hormon. Jakarta: Yudhistira, 2007.
2. Setio, M. Buku saku psikiatri. Jakarta: EGC, 1997.
3. Robertas B, Arthur J.P. Psychatric Manifestations of Grave‟s Hyperthyroidism Pathophysiology and Treatmnet Options,2006; 20(11): 897-909.
4. Natsir, FM. Hubungan penggunaan steroid jangka panjang terhadap gangguan jiwa. http://fathirphoto.wordpress.com. Diakses tanggal 12 Desember 2013.
5. Growup Clinic. Neurotransmiter Otak, Gangguan Perilaku dan Gangguan Psikiatrik. www.google.com. Diakses tanggal 12 Desember 2013.
6. Yim IS, et al. Risk of Postpartum Depressive Symptoms With Elevated Corticotropin-Releasing Hormone in Human Pregnancy.Arch Gen Psychiatry. 2009; 66(2): 162-169.
7. Bloch M, Rotenberg N, koren D, Klein E. Risk Factors For Early Postpartum Depressive Symptoms. General Hospital Psychiatry. 2006; 28: 3-8.
8. Beck CT. Revision of the Postpartum Depression Predictors Inventory. JOGNN. 2002; 31: 394-402.
9. Gondo, HK. Skrining edinburgh postnatal depression scale (EPDS) pada post partum blues. Surabaya: Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Wijaya Kusuma, 2009.
Recommended