View
231
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PEMBERIAN PURSED LIP BREATHING EXERCISE TERHADAP
PENURUNAN TINGKAT SESAK NAPAS PADA ASUHAN
KEPERAWATAN Tn. A DENGAN PENYAKIT PARU
OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI RUANG
ANGGREK 1 RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
DISUSUN OLEH:
DWI LESTARI
NIM. P.13081
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
i
PEMBERIAN PURSED LIP BREATHING EXERCISE TERHADAP
PENURUNAN TINGKAT SESAK NAPAS PADA ASUHAN
KEPERAWATAN Tn. A DENGAN PENYAKIT PARU
OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI RUANG
ANGGREK 1 DI RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH:
DWI LESTARI
NIM. P.13081
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Pursed Lip Breathing Exercise Terhadap
Penurunan Tingkat Sesak Napas pada Asuhan Keperawatan Tn. A dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr.
Moewardi Surakarta”.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat :
1. Ns. Wahyu Rima Agustin, M.Kep, selaku Ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di
STIKes Kusuma Husada Surakarta.
2. Ns. Meri Oktari M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan yang
telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma
Husada Surakarta.
3. Ns. Alfyana Nadya R, M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat
menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
4. Ns. Galih Setia Adi, M.Kep, selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai
penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-
v
masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi
demi sempurnanya studi kasus ini.
5. Ns. Fakhrudin Nasrul Sani, M.Kep, selaku dosen penguji yang telah
membimbing denga cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
6. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasan serta
ilmu yang bermanfaat.
7. Kedua orang tuaku (Bapak Marmin dan Ibu Sumarni), yang selalu menjadi
inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan.
8. Teman-temman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan
satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, Mei 2016
DWI LESTARI
NIM. P.13081
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ......................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………..………………x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ................................................................................ 4
C. Manfaat Penelitian ............................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. TinjauanTeori ....................................................................................7
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis .................................................... 7
2. Pursed Lip Breathing Exercise ................................................... 36
B. Kerangka Teori ................................................................................ 39
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Riset ....................................................................... 40
B. Tempat dan Waktu ........................................................................... 40
C. Media atau Alat yang digunakan ..................................................... 40
D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset .............................. 40
E. Alat Ukur Evaluasi Tindakan Aplikasi Riset .................................. 41
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Identitas Klien .................................................................................. 43
B. Pengkajian ........................................................................................ 43
C. Perumusan Masalah Keperawatan ................................................... 53
D. Perencanaan ..................................................................................... 56
vii
E. Implementasi .................................................................................... 60
F. Evaluasi ............................................................................................ 69
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian ........................................................................................ 79
B. Perumusan Masalah Keperawatan ................................................... 86
C. Perencanaan ..................................................................................... 92
D. Implementasi .................................................................................... 97
E. Evaluasi .......................................................................................... 106
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................... 108
B. Saran .............................................................................................. 112
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 KerangkaTeori………………………………………………………39
Gambar 3.1 TeknikMenghirupdanMenghembuskanNafas………………………41
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tingkat Keparahan PPOK……………………………………………..11
Tabel 2.2 Skala Borg……………………………………………………………..15
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Usulan Judul Aplikasi Jurnal
Lampiran 2. Lembar konsultasi Karya tulis Ilmiah
Lampiran 3. Surat Pernyataan
Lampiran 4. Jurnal Utama
Lampiran 5. Asuhan Keperawatan
Lampiran 6. Log book
Lampiran 7. Lembar Pendelegasisan
Lampiran 8. Lembar Observasi Aplikasi Jurnal
Lampiran 9. Daftar Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan sejumlah
gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan keluar paru.
Gangguan yang paling sering adalah bronchitis kronis, emfisema, dan asma
bronkhial (Muttaqin, 2014).
Menurut World Health Organization (WHO) 2010 PPOK termasuk
didalamnya emfisema telah menempati peringkat keempat sebagai penyakit
penyebab kematian, dan penyakit paru ini semakin menarik untuk dibicarakan
oleh karena prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat
(Windrasmara, 2012). Di Indonesia Prevalensi kasus PPOK menurut
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014) menyebutkan di Provinsi
Jawa Tengah tahun 2013 sebanyak 3,4%. Dan pada tahun 2014 menurut
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2015) di Provinsi Jawa Tengah
mengalami penurunan menjadi 2,14%.
PPOK merupakan penyakit yang disebabkan oleh asap rokok,
pekerjaan, polusi udara, usia, dan faktor resiko lainnya. Gejala yang paling
sering muncul diantaranya batuk kronis, produksi sputum berlebih dan sesak
nafas (Ikawati, 2013). Mekanisme sesak nafas pada PPOK oleh karena
ventilasi yang meningkat akibat peningkatan ruang rugi fisiologi, hipoksia,
hiperkapnia, onset awal asidosis laktat, penelaan pergerakan saluran nafas,
2
hiperinflasi, kelemahan otot nafas dan kelemahan otot ekstremitas oleh
karena efek sistemik, deconditioning dan nutrisi yang buruk (Ardiyansyah,
2012).
Penatalaksanaan medis untuk PPOK (Muttaqin, 2014) antara lain
dengan pengobatan farmakologi: Anti–inflamasi (kortikosteroid, natrium
kromolin, dan lain-lain), bronkodilator, adrenergik (afedrin, epeneprin, dan
beta adrenegik agonis selektif), non adrenegik (aminofilin, teofilin),
Antihistamin, Steroid, Antibiotik Penicillin, tetraciklin, ampicilin dan
Ekspektoran: Amnium karbonat, acetilsistein, bronheksin, bisolvon, tripsin,
serta indikasi oksigen : pemberian oksigen dilakukan pada hipoksia akut atau
menahun yang tidak dapat diatasi dengan obat. Serangan jangka pendek
dengan eksaserbasi akut dan serangan akut pada asma (Muwarni, 2011).
Pasien dengan PPOK dapat dberikan penatalaksanaan non farmakologi
diantaranya adalah rehabilitasi yaitu dengan melakukan tehnik pursed lips
breathing exercise yang dapat dijadikan salah satu intervensi keperawatan
mandiri (Smeltzer, 2008). Pursed Lip Breathing Exercise merupakan latihan
pernafasan untuk mengatur frekuensi dan pola pernafasan sehingga
mengurangi air trapping, memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki
pertukaran gas tanpa meningkatkan kerja pernafasan, mengatur dan
mengkoordinasi kecepatan pernafasan sehingga bernafas lebih efektif dan
mengurangi sesak nafas (Smeltzer, 2008). Ramos dkk (2009 dalam khasanah,
2013) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pursed lips breathing secara
signifikan dapat menurunkan sesak nafas dan heart rate serta meningkatkan
3
saturasi oksigen pada pasien dengan PPOK. Hasil penelitian Hafiizh (2013)
pursed lips breathing dapat menurunkan respiratory rate (RR) dan
meningkatkan pulse oxygen saturation (SpO2) pada penderita PPOK.
Hasil penelitian Bakti (2015) yang dilakukan di Balai Besar Kesehatan
Paru Masyarakat (BBKPM) di Surakarta pada pasien PPOK kelompok
control dan kelompok perlakuan dengan sesak nafas yang di beri intervensi
Pursed Lip Breathing Exercise dimana kelompok control ada pengaruh
nebulizer. Hasil penelitian selisih mean dari kelompok control sebesar 0,4
sedangkan mean selisih kelompok perlakuan sebesar 0,87. Dilihat dari selisih
mean, kelompok perlakuan lebih besar dan lebih bagus.
Hasil wawancara dengan rekam medik RSUD Dr. Moewardi.
Didapatkan informasi penderita PPOK rawat inap pada tahun 2013-2015,
pada tahun 2013 sebanyak 93 orang, pada tahun 2014 sebanyak 129 orang
dan pada tahun 2015 sebanyak 123 orang. Rata-rata penderita dirawat dengan
keluhan sesak nafas yang sangat berat dan sebagian dari mereka datang
dengan serangan sesak nafas berulang.
Berdasarkan studi kasus yang dilakukan penulis di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta, penulis menemukan kasus Penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK) yang terjadi pada Tn. A dengan tanda dan gejala sesak nafas,
batuk berdahak, sesak nafas setelah melakukan aktivitas, nafas pendek,
ekspirasi memanjang dan tampak menggunakan otot bantu pernafasan.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk menyusun
karya tulis ilmiah yang berjudul “Pemberian Pursed Lip Breathing Exercise
4
Terhadap Penurunan Tingkat Sesak Napas pada Asuhan Keperawatan Tn. A
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Ruang Anggrek 1 RSUD
Dr.Moewardi Surakarta.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Melaporkan studi kasus pengaruh Pursed Lip Breathing Exercise terhadap
penurunan tingkat sesak napas pada asuhan keperawatan Tn. A dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Ruang Anggrek 1 RSUD
Dr.Moewardi Surakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn. A dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronik (PPOK).
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. A dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).
c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Tn. A
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn. A dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronik (PPOK).
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn. A dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK).
5
f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian pursed lips breathing
exercise terhadap penurunan tingkat sesak napas pada Tn. A dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Rumah Sakit
Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan
dalam melakukan pemberian pursed lips breathing exercise pada asuhan
keperawatan khususnya bagi pasien dengan diagnosa Penyakit Paru
Obstruksi Kronik.
2. Bagi Institusi
Dapat memberikan kontribusi laporan hasil pemberian pursed lips
breathing exercise terhadap penurunan tingkat sesak napas pada pasien
dengan PPOK bagi pengembangan praktik keperawatan dan pemecahan
masalah khususnya dalam bidang atau profesi keperawatan.
3. Bagi Perawat
a. Mampu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif kepada
pasien dengan penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
b. Melatih berfikir dalam melakukan asuhan keperawatan, khususnya
pada pasien dengan diagnosa Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
4. Bagi Penulis
Dapat melakukan tindakan pemberian pursed lips breathing
exercise pada asuhan keperawatan Penyakit Paru Obstruksi Kronik
6
secara langsung dan optimal pada praktek klinik keperawatan dan
sebagai tambahan ilmu bagi penulis.
5. Bagi Pembaca
Memberikan kemudahan bagi pembaca sebagai saran dan
prasarana dalam pengembangan ilmu keperawatan, diharapkan setelah
pembaca membaca buku ini dapat mengetahui tentang pursed lips
breathing exercise dan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dan
menjadi acuan atau ada sebuah penelitian untuk kasus ini.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
a. Definisi Penyakit Paru Obtruksi Kronis
Menurut WHO yang dituangkan dalam Panduan Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2010
(Ikawati, 2011), Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) didefinisikan sebagai
penyakit yang dikarakteristikan oleh adanya obstruksi saluran
pernapasan yang tidak reversibel sepenuhnya. Menurut Suradi
(2009) Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah suatu penyumbatan
menetap pada saluran pernafasan disebabkan oleh emfisema dan
bronkhitis kronik. Gangguan pernafasan kronis ini secara progresif
memperburuk fungsi paru-paru dan membuat aliran udara menjadi
terbatas, khususnya saat ekspirasi. Keadaan ini akan mengakibatkan
komplikasi gangguan pernafasan dan jantung. Penderita PPOK pada
umumnya mengalami sesak nafas dan batuk. Keadaan ini terjadi
secara berulang-ulang, memberikan gejala klinis kronis (menahun)
kemudian perlahan-lahan semakin bertambah berat.
Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan sejumlah
gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan ke luar
8
paru. Gangguan yang paling sering adalah bronkhitis kronis,
emfisema, dan asma bronkhial (Muttaqin, 2014). Price & Wilson
(2006) menjelaskan bronkhitis kronis merupakan gangguan klinis
yang ditandai dengan pembentukan mukus yang berlebihan didalam
bronkhus dan dimanifestasikan dalam bentuk batuk kronis serta
membentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun, minimal 2 tahun
berturut-turut. Muttaqin (2014) menjelaskan emfisema adalah
perubahan anatomi parenkim paru ditandai dengan pelebaran dinding
alveolus, duktus alveolar, dan destruksi dinding alveolar. Dan Asma
bronkhial merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan tanggapan
reaksi yang meningkat dari trakhea dan bronkhus terhadap berbagai
rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang
disebabkan oleh penyempitan menyeluruh dari saluran pernapasan.
b. Etiologi
Penyakit Paru Obstruksi kronik disebabkan oleh faktor
lingkungan dan gaya hidup, yang sebagian besar bisa dicegah.
Merokok diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90% kasus
PPOM. Faktor resiko lain termasuk keadaan sosial-ekonomi dan
status pekerjaan yang rendah, kondisi lingkungan yang buruk karena
dekat dengan lokasi pertambangan, perokok pasif atau terkena polusi
udara dan konsumsi alkohol yang berlebih, laki-laki dengan usia
antara 30 sampai 40 tahun paling banyak menderita PPOM (Padila,
2012).
9
1) Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya
PPOK, dengan resiko 30 kali lebih besar pada perokok
dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari
85-90% kasus PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan
banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status
merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun
demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kurang
lebih 10% orang yang tidak merokok juga mungkin menderita
PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap
rokok) juga beresiko menderita PPOK (Ikawati, 2011).
2) Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri
gelas dan keramik yang terpapar debu silika, atau pekerja yang
terpapar debu katun dan debu gandum, serta asbes, mempunyai
resiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat selain
yang disebutkan diatas (Ikawati, 2011).
3) Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin
memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi udara
ini bisa berasal dari rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan
bermotor, dll, maupaun polusi dari dalam rumah misalnya asap
dapur (Ikawati, 2011).
10
4) Usia
Pada penderita PPOK jarang menyebabkan gejala yang
dikenali secara klinis sebelum usia 40 tahun. Kasus-kasus yang
termasuk perkecualian yang jarang dari pernyataan umum ini
seringkali berhubungan dengan sifat yang terkait dengan
defisiensi bawaan dari antitripsin alfa-1. Ketidakmampuan ini
dapat mengakibatkan seseorang mengalami emfisema dan
PPOK pada usia sekitar 20 tahun, yang beresiko menjadi
semakin berat jika mereka merokok (Francis, 2008).
5) Berbagai faktor lainnya menurut Rab (2013), yakni :
a) Jenis kelamin,
Dimana laki-laki lebih beresiko terkena PPOK dari
pada wanita, mungkin ini terkait dengan kebiasaan merokok
pada pria.Namun ada kecenderungan peningkatan
prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah
wanita yang merokok (Ikawati, 2011).
b) Infeksi bronkhus yang berulang.
c) Faktor genetik
Defisiensi alfa1-antitripsin atau AAT ini terutama
dikaitkan dengan kejadian emfisema, yang disebabkan oleh
hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara
progresif karena adanya ketidakseimbangan antara enzim
proteolitik dan faktor protektif. Pada keadaan normal faktor
11
protektif AAT menghambat enzim proteolitik sehingga
mencegah terjadinya kerusakan. Karena itu, kekurangan
AAT menyebabkan berkurangnya faktor proteksi terhadap
kerusakan paru (Ikawati, 2011).
c. Klasifikasi PPOK
Klasifikasi derajat PPOK berdasarkan nilai FEV1 dan gejala
yang menggambarkan keterbatasan saluran udara dan tingkat
keparahan penyakit (GOLD, 2010 dalam Ikawati, 2011) :
Tabel 2.1
Tingkat keparahan PPOK
Tingkat Nilai FEV1 dan gejala
I
Ringan • FEV1/ FVC <70%, FEV1 ≥80%.
• Ada gejala batuk kronis dan produksi sputum.
• Pasien tidak menyadari ada penurunan fungsi
paru
II
Sedang • FEV1/FVC <70%, 50% < FEV1< 80%.
• Gejala biasanya mulai progresif atau
memburuk, nafas pendek-pendek, batuk
kronis, sputum produktif, sesak nafas saat
aktivitas.
• Pada tahap ini pasien mulai mencari
pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas
atau serangan penyakit.
III
Berat • FEV1 / FVC <70%, 30% < FEV1< 50%.
• Terjadi eksaserbasi berulang, mengurangi
kualitas hidup
• Batuk kronis, sputum produktif, sesak nafas
sangat berat, mengurangi aktifitas, kelelahan
IV
Sangat berat • FEV1 / FVC <70% , FEV1 < 30% atau < 50%
dan kegagalan respirasi kronis.
• pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika
FEV1 > 30%,tapi pasien mengalami kegagalan
pernafasan atau gagal jantung kanan atau cor
pulmonale.
• kualitas hidup sangat terganggu dan serangan
mungkin mengancam nyawa.
12
Keterangan : FEV1: Forced Expiratory Volume atau Volume
Ekpirasi Paksa dalam satu detik.
FVC : Forced Vital Capacity atau Kapasitas Vital
Paksa.
d. Manifestasi Klinis
Menurut Ikawati (2011), diagnosa PPOK ditegakkan
berdasarkan adanya gejala-gejala meliputi batuk, produksi sputum,
dispnea, dan riwayat paparan suatu resiko. Selain itu, adanya
obstruksi saluran pernafasan juga harus dikonfirmasi dengan
spirometri. Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis
PPOK adalah sebagai berikut :
1) Batuk kronis
Batuk merupakan suatu refleks protektif yang timbul
akibat iritasi percabangan trekeobronkial (Muttaqin, 2014). Pada
pasien PPOK batuk kronis terjadi berulang setiap hari, dan
seringkali terjadi sepanjang hari (tidak seperti asma yang
terdapat gejala batuk malam hari) (Ikawati, 2011).
2) Produksi sputum secara kronis
Produksi sputum yang berlebihan, proses pembersihan
mungkin tidak efektif lagi sehingga sputum akan tertimbun
(Muttaqin, 2014). Semua pola produksi sputum dapat
mengindikasikan adanya PPOK (Ikawati, 2011).
13
3) Bronkhitis akut
Pada pasien PPOK terjadi bronkhitis kronis secara berulang
(Ikawati, 2011).
4) Sesak nafas (dispnea)
Sesak nafas merupakan manifestasi dasar penyakit.
Dengan berbagai cara digambarkan sebagai haus udara, napas
pendek, tidak mampu menarik napas dalam, dan banyak
keluhan lainnya. Sesak napas merupakan suatu manifestasi
gangguan interprestasi keseimbangan otak diantara banyak
aferen dan eferen, yang mengendalikan pengiriman oksigen ke
jaringan (Ringel, 2012). Otak merupakan hubungan tertentu di
antara tekanan oksigen darah, tekanan karbondioksida jaringan,
reseptor regang dinding dada, kebutuhan oksigen jaringan,
pengiriman oksigen, dan kerja pernapasan. Gangguan
keseimbangan menyebabkan sesak napas (Ringel, 2012).
Mekanisme sesak nafas pada PPOK oleh karena
ventilasi yang meningkat akibat peningkatan ruang rugi
fisiologi, hipoksia, hiperkapnia, onset awal asidosis laktat,
penelaan pergerakan saluran nafas, hiperinflasi, kelemahan otot
nafas dan kelemahan otot ekstremitas oleh karena efek
sistemik, deconditioning dan nutrisi yang buruk (Ardiyansyah,
2012). Begitu juga jika terjadi tahanan jalan nafas maka
14
pertukaran gas juga akan terganggu dan juga dapat
menyebabkan dispnea (Price dan Wilson, 2006).
Menurut Irianto (2014) gejala-gejala awal dari PPOK,
yang bisa muncul setelah 5-10 tahun merokok adalah batuk dan
adanya lendir. Pada umur sekitar 60 tahun, sering timbul sesak
napas waktu bekerja dan bertambah parah secara perlahan.
Akhirnya sesak napas akan dirasakan saat melakukan kagiatan
rutin sehari-hari, seperti dikamar mandi, mencuci baju,
berpakaian dan menyiapkan makanan. Sepertiga penderita
mengalami penurunan berat badan, karena setelah selesai
makan mereka sering mengalami sesak yang berat sehingga
penderita jadi malas tidak nafsu makan. Menurut Ikawati
(2011) sesak nafas pada pasien PPOK bersifat progresif
sepanjang waktu, terjadi setiap hari, memburuk jika
berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi pernafasan.
Untuk mengukur derajat sesak nafas dapat
menggunakan prinsip psikofisik. Dua tujuan untuk mengukur
sesak nafas adalah untuk membedakan pasien sesak nafas yang
lebih ringan dan sesak nafas yang lebih berat dan untuk
mengevaluasi perubahan sesak nafas setelah pemberian
pengobatan (Donal, 2006). Untuk mengukur sesak nafas dapat
menggunakan nilai skala Borg (Bakti, 2015). Skala Borg yang
dimoidifikasi berupa garis vertical yang diberi nilai 0 sampai
15
10 dan tiap nilai mempunyai deskripsi verbal untuk membantu
penderita menderajatkan intensitas sesak nafas dari derajat
ringan sampai berat. Nilai tiap deskripsi verbal tersebut dibuat
skor sehingga tingkat aktivitas dan derajat sesak nafas dapat
dibandingkan antar individu (Subagyo, 2013).
Tabel 2.2
Skala Borg
SCALE SEVERITY
0 Tidak ada sesak napas yang sama sekali
0.5 Sesak sangat ringan sekali
1 Sesak sangat ringan
2 Sesak ringan
3 Sesak sedang
4 Sesak kadang berat
5 Sesak berat
6-7 Sesak napas sangat berat
8-9 Sangat-sangat parah (Hampir Maksimum)
1O Maksimum
(Sumber: Subagyo, 2013)
5) Riwayat paparan terhadap faktor resiko
Faktor resiko pada pasien PPOK diantaranya: merokok,
pertikel dan senyawa kimia, asap dapur (Ikawati, 2011).
16
e. Patofisiologi
Seiring perkembangan PPOK, perubahan patofisiologi
berikut biasanya terjadi secara berurutan : hipersekresi mukus,
disfungsi silia, ketrbatasan aliran udara, hiperflamasi pulmonal,
abnormalitas pertukaran gas, hipertensi pulmonal. Jalan nafas
perifer menjadi tempat utama obstruksi pada pasien PPOK.
Perubahan struktural dinding jalan nafas adalah penyebab
terpenting peningkatan tahanan jalan nafas perifer. Perubahan
inflamasi seperti edema jalan nafas dan hipersekresi mukus juga
menyebabkan penyempitan jalan nafas perifer. Hipersekresi mukus
disebabkan oleh stimulasi pembesaran kelenjar yang menyekresi
mukus dan peningkatan jumlah sel goblet oleh mediator inflamasi
seperti leukosilia mengalami metaplasia skuamosa, yang
menyebabkan gangguan pembersihan mukosilia, yang biasanya
merupakan abnormalitas fisiologis yang pertama kali terjadi pada
PPOK (Morton, 2012).
Keterbatasan aliran udara ekspirasi adalah temuan penting
pada PPOK. Ketika proses penyakit berkembang, volume ekspirasi
kuat dalam satu detik (foced expiratory volume in 1 second, FEV 1)
dan kapasitas vital kuat (forced vital capacity, FPC) menurun, hal
in berhubungan dengan peningkatan ketebalan dinding jalan nafas,
penurunan kelekatan alveolar dan penurunan recoil eastis paru.
Sering kali tamda pertama terjadi keterbatasan aliran uadra adalah
17
penurunan rasio FEV1 pasca bronkodilator kurang dari 80% dari
nilai prediksi yang dikombinasikan (Morton, 2012).
f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis menurut Muttaqin (2014) yang dapat
diberikan kepada klien dengan PPOK, yakni :
1) Pengobatan farmakologi
a) Anti – inflamasi (kortikosteroid, natrium kromolin, dan lain-
lain) (Muttaqin, 2014).
b) Bronkodilator.
Golongan adrenalin : adrenalin, isoprote Ncl, ossiprenalin.
Golongan xantin : aminopilin, teopilin (Murwani, 2011).
c) Antibiotik
Terapi antibiotik sering diresepkan pada eksaserbasi
PPOK, dengan pemilihan antibiotik bergantung kepada
kebijakan lokal, terapi secara umum berkisar pada
penggunaan yang disukai antara amoksilin, klaritromisin,
atau trimetopri. Biasanya lama terapi tujuh hari sudah
mencukupi (Francis, 2008).
d) Ekspektoran : Amnium karbonat, acetil sistein, bronheksin,
bisolvon, tripsin (Murwani, 2011).
18
e) Vaksinasi
Vaksinasi yang dapat diberikan pada pasien PPOK
antara lain vaksin influenza dan pneumococcus regular
(Brashers, 2007). Vaksinasi infuenza dapat mengurangi
angka kesakitan yang serius. Jika tersedia, vaksin
pneumococcus direkomendasiakn bagi penderita PPOK
yang berusia diatas 65 tahun dan mereka yang kurang dari
65 tahun tetapi nilai FEV1-nya <40% prediksi (Ikawati,
2011).
f) Indikasi oksigen
Pemberian oksigen dilakukan pada hipoksia akut
atau menahun yang tidak dapat diatasi dengan obat.
Serangan jangka pendek dengan eksaserbasi akut dan
serangan akut pada asma (Murwani, 2011). Pengobatan
oksigen bagi yang memerlukan, O2 arus diberikan dengan
aliran lambat 1-2 liter/menit (Padila, 2012). Terapi oksigen
yang jangka panjang akan memperpanjang hidup penderita
PPOK yang berat dan penderita dengan kadar oksigen darah
yang sangat rendah (Ringel, 2012). Oksigen diberikan 12
jam/hari, hal ini akan mengurangi kelebihan sel darah
merah yang disebabkan menurunnya kadar oksigen dalam
darah. Terapi oksigen juga dapat memperbaiki sesak napas
selama beraktivitas (Irianto, 2014).
19
2) Pengobatan Non farmakologi :
a) Rehabilitasi
Pada pasien PPOK dapat dilakukan rehabilitasi, ada
beberapa teknik lebih efektif dari lainnya tetapi semuanya
berpotensi membantu, teknik kontrol pernapasan, fisioterapi
dada, terapi okupasional, latihan olahraga, latihan otot
pernapasan (Brashers, 2007). Program aktivitas olahraga
yang dapat dilakukan oleh penderita PPOK antara lain:
sepeda ergometri, latihan treadmill, atau berjalan dengan
diatur waktu, dan frekuensinya dapat berkisar dari setiap
hari sampai setiap minggu (Morton, 2012). Latihan
bertujuan untuk meningkatkan kebugaran dan melatih
fungsi otot skeletal agar lebih efektif, dilaksanakan jalan
sehat (Muttaqin, 2014).
b) Konseling nutrisi
Malnutrisi adalah umum pada pasien PPOK dan
terjadi pada lebih dari 50% pasien PPOK yang masuk
rumah sakit. Insiden malnutrisi bervariasi sesuai dengan
derajat abnormalitas pertukaran gas (Morton, 2012). Perlu
diberikan hidrasi secukupnya (minum air cukup : 8-10 gelas
sehari), dan nutrisi yang tepat, yaitu diet kaya protein dan
mencegah makanan berat menjelang tidur. Susu dapat
20
menyebabkan sekresi bronkus meningkat, sebaiknya
dicegah (Ikawati, 2011).
c) Penyuluhan
Berhenti merokok adalah metode tunggal yang
paling efektif dalam mengurangi resiko terjadinya PPOK
dan memperlambat kemajuan tingkat penyakit. Sesi
konseling singkat untuk mendorong perokok berhenti
merokok menyebabkan angka berhenti menjadi 5% sampai
10% (Morton, 2012). Berhenti merokok banyak modalitas
yang tersedia, termasuk hipnosis, penggantian nikotin
(nasal, oral, dermal), buspiron, dan kelompok pendukung
(Brashers, 2007).
g. Komplikasi
Menurut Muwarni (2011), komplikasi yang dapat terjadi pada
PPOK adalah :
1) Kegagalan respirasi akibat seak nafas atau dispnea.
2) Kardiovaskuler yaitu cor pulmonal aritmia jantung.
3) Ulkus peptikum sukar diketahui.
4) PPOK umumnya berjalan secara progresif dalam jangka waktu
yang lama, penderita jadi cacat dan tidak dapat melakukan
kegiatan sehari-hari.
5) Kematian biasanya terjadi karena kegagalan respirasi, dan
kematian mendadak karena aritmia jantung.
21
h. Pemeriksaan Diagnostik
1) Uji fungsi paru
Pada pasien PPOK uji fungsi paru dapat menunjukkan
keterbatasan aliran udara yang merupakan hal yang paling
penting secara diagnostik. Hal ini biasanya dilakukan
menggunakan laju aliran ekspirasi puncak (peak expiratory flow
atau PEF). Pada beberapa kasus dimana PPOK dicurigai, perlu
dipertimbangkan untuk menggunakan peak expiratory flow
pediatrik. Ini bermanfaat untuk mencatat volume keluaran yang
lebih kecil dengan menyediakan skala tepat untuk akurasi yang
lebih baik. Hal ini sangat berguna jika sebelumnya peak
expiratory flow dewasa menunjukan angka lebih rendah dan
berubah-ubah atau jika pasien mengalami kesulitan merapatkan
mulut disekitar mouthpiece pada peak expiratory flow dewasa.
Penting untuk dicatat bahwa, sementara nilai laju aliran
ekspirasi puncak yang normal saja tidak dapat menyingkirkan
diagnosis PPOK, niali FEV1 normal yang diukur dengan
spirometer akan menyingkirkan diagnosis PPOK (Francis,
2008). Menurut Muttaqin (2014) pengukuran fungsi paru pada
pasien PPOK diantaranya akan terdapat kapasitas inspirasi
menurun, volume residu meningkat pada emfisema, bronkhitis
kronis, dan asma; FEV1 selalau menurun, FCV awal normal dan
menurun pada bronkhitis serta asma.
22
2) Spirometri
Spirometri merupakan alat kuantitatif yang kuat saat uji
reversibilitas digunakan untuk mematikan diagnosis yang tepat.
Perbedaan dapat dibuat dengan membandingkan diagnosis yang
tepat. Perbedaan dapat dibuat dengan membandingkan hasil
spirometri yang didapat saat episode debilitas respirasi dengan
hasil yang didapat setelah beberapa saat pemulihan. Pada kasus
asma uji reversibilitas akan menunjukkan bahwa terjadi
perbaikan setelah pemuihan, data numerik yang diperoleh dapat
berada diantara batas normal atas dan bawah. Hal ini tidak khas
pada PPOK dimana akan menunjukkan terjadinya sedikit
perbaikan (Francis, 2008).
3) Analisa gas darah
Analisa gas darah merpakan pemeriksaan untuk
mengukur keasaman (pH), jumlah oksigen dan karbondioksida
dalam darah, meliputi PO2, PCO2, pH, HCO3, dan saturasi
oksigen (Muwarni, 2012).
4) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada
pasien PPOK menurut Muttaqin (2014), antara lain :
a) Hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) meningkat pada
polisitemia sekunder.
b) Jumlah sel darah merah meningkat.
23
c) Eosinofil dan total IgE serum meningkat.
d) Pulse oksimetri : SaO2 oksigenasi menurun.
e) Elektrolit menurun karena pemakain obat diuretik.
5) Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan gram kuman atau kultur adanya infeksi
campurn. Kuman patogen yang biasa ditemukan adalah
Strepcoccus pneumoniae, Haemophylus influenza, dan
Moraxella catarrhalis (Muttaqin, 2014). Pewarnaan dan biakan
sputum berguna untuk mendiagnosis bronkitis kronis dan untuk
mengevaluasi eksaserbasi akut PPOK (Brashers, 2007).
6) Pemeriksaan radiologi thoraks foto
Menunjukan adanya hiperinflasi paru, pembesaran
jantung, dan bendungan area paru.Pada emfisema paru
didapatkan diafragma dengan letak yang rendah dan mendatar,
ruang udara retrosternal lebih besar (foto lateral), jantung
tampak bergantung memanjang dan menyempit (Muttaqin,
2014). Menurut Murwani (2012) pada foto thorak pasien PPOK
akan tampak bayangan lobus, corakan paru bertambah
(Bronkhitis kronis), defisiensi arterial corakan paru bertambah
(emfisema).
24
i. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan informasi atau
dasar tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenal
masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien,
baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. Tujuan dari pengkajian
adalah untuk memperoleh informasi tentang kesehatan klien,
menentukan masalah keperawatan klien, menilai keadaan
kesehatan klien, membuat keputusan yang tepat dalam
menentukan langkah-langkah berikutnya (Dermawan, 2012).
Pengkajian yang dilakukan pada pasien Penyakit Paru Obstruksi
Kronis (PPOK) :
a) Biodata Pasien
Biodata pasien setidaknya berisi tentang nama,
umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan pendidikan. Umur
pasien dapat menunjukkan tahap perkembangan baik pasien
secara fisik maupun psikologis. Jenis kelamin dan pekerjaan
perlu dikaji untuk mengetahui hubungan dan pengaruhnya
terhadap terjadinya masalah atau penyakit, dan tingkat
pendidikan dapat berpengaruh terhadap pengetahuan klien
masalah atau penyakitnya (Muttaqin, 2014).
25
b) Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan yang perlu dikaji meliputi data
saat ini dan masalah yang lalu.Perawat mengkaji klien atau
keluarga dan berfokus kepada manifestasi klinik dari
keluhan utama, kejadian yang membuat kondisi sekarang
ini, riwayat kesehatan masa lalu, dan riwayat kesehatan
keluarga (Muttaqin, 2014).
c) Keluhan Utama
Keluhan utama akan menentukan prioritas intervensi
dan mengkaji pengetahuan klien tentang kondisinya saat ini.
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien PPOK adalah
sesak nafas yang sudah berlangsung lama sampai bertahun-
tahun, dan semakin berat setelah beraktivitas. Keluhan
lainnya adalah batuk, dahak berwarna hijau, sesak semakin
bertambah, dan badan lemah (Muttaqin, 2014).
d) Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien dengan serangan PPOK datang mencari
pertolongan terutama dengan keluhan utama sesak nafas,
kemudian diikuti dengan gejala-gejala lain seperti wheezing,
penggunaan otot bantu pernafasan, terjadi penumpukan
lendir, dan sekresi yang sangat banyak sehingga
menyumbat jalan nafas (Muttaqin, 2014).
26
e) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada PPOK dianggap sebagai penyakit yang
berhubungan dengan interaksi genetik dengan
lingkungan.Misalnya pada orang yang sering merokok,
polusi udara dan di tempat kerja (Muttaqin, 2014).
f) Riwayat Kesehatan Keluarga
Menurut Muttaqin (2014) tujuan menanyakan
riwayat kesehatan keluarga dan sosial penyakit paru-paru
sekurang-kurangnya ada 3 hal, yaitu:
(1) Penyakit infeksi tertentu, manfaaat menyakan riwayat
kontak dengan orang terinfeksi akan dapat diketahui
sumber penularannya.
(2) Kelainan alergi.
(3) Tempat tinggal pasien, kondisi lingkungan misalnya
adanya polusi udara.
g) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik fokus pada klien PPOK, yakni:
(1) Inspeksi
Pada klien dengan PPOK, terlihat adanya
peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta
penggunaan otot bantu pernafasan. Pada saat inspeksi,
biasanya dapat terlihat klien mempunyai bentuk dada
barrel chest akibat udara yang terperangkap, penipisan
27
massa otot, bernafas dengan bibir yang dirapatkan, dan
pernafasan abnormal yang tidak efektif (Muttaqin,
2014).
(2) Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus
biasanya menurun (Muttaqin, 2014).
(3) Perkusi
Pada perkusi, didapatkan suara normal sampai
hipersonor sedangkan diafragma mendatar atau
menurun (Muttaqin, 2014).
(4) Auskultasi
Pada auskultasi, sering didapatkan bunyi suara napas
ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan
obstruktif pada bronkhiolus(Muttaqin, 2014).
2) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yaitu proses keperawatan yang
mencakup 2 fase analisis atau sintesis dasar menjadi pola yang
bermakna dan menuliskan pernyataan diagnosa (Dermawan,
2012). Setelah melakukan analisis atau sintesis dan muncul
diaognosa keperawatan, maka perawat harus melakukan
prioritas diagnosa keperawatan menurut kebutuhan dasar
manusia. Banyak ahli filsafat, psikologi dan fisiologi
menguraikan kebutuha manusia dan membahasnya dari berbagai
28
segi. Abraham Maslow seorang psikolog dari Amerika
mengembangkan teori tentang kebutuhan dasar manusia
maslow. Hierarki tersebut meliputi lima kategori kebutuhan
dasar, yakni :
a) Kebutuhan fisiologis, kebutuhan fisiologis memiliki
prioritas tertinggi dalam hierarki maslow, kebutuhan
fisiologis merupakan hal yang mutlak dipenuhi manusia
untuk bertahan hidup. Manusia memiliki delapan macam
kebutuhan, yaitu : kebutuhan oksigen, kebutuhan makanan,
kebutuhan eliminasi urin dan alvi, kebutuhan istirahat dan
tidur, kebutuhan aktivitas, kebutuhan kesehatan temperatur
tubuh, kebutuhan seksual.
b) Kebutuhan keselamatan dan rasa aman.
c) Kebtutuhan rasa cinta.
d) Kebutuhan harga diri.
e) Kebutuhan aktualisasi diri.
(Mubarok dan Cahyatin, 2008)
Berdasarkan pada semua data pengkajian, diagnosa
keperawatan utama yang dapat muncul pada Penyakit Paru
Obstruktif Kronik menurut Muttaqin (2014), antara lain :
a) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi, keletihan otot pernafasan.
29
b) Ketidakefektifan bersihan bersihan jalan napas berhubungan
dengan adanya bronkokontriksi, akumulasi sekret jalan
napas, dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
c) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan
kerja napas, hipoksemia secara reversibel atau menetap.
d) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan penurunan napsu makan, faktor
biologis.
e) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
f) Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan
fisik dan lingkungan.
g) Resiko tinggi infeksi pernapasan berhubungan dengan
akumulasi sekret jalan napas dan menurunnya kemampuan
batuk efektif.
h) Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi yang
tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.
3) Intervensi Keperawatan
Intervensi adalah memprioritaskan diagnosa
keperawatan, menentukan hasil akhir perawatan klien,
mengidentifkasi tindakan keperawatan dan klien yang sesuai dan
rasional ilmiahnya, dan memetapkan rencana asuhan
30
keperawatan, diagnosa diprioritaskan sesuai dengan keseriusan
atau mengancam jiwa (Dermawan, 2012).
a) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi, keletihan otot pernafasan.
Kriteria hasil :
(1) Pasien menunjukkan jalan napas yang paten (irama
napas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal,
tidak ada suara abnormal).
(2) Tanda - tanda vital dalam rentang normal (tekanan
darah, nadi, pernapasan).
Intervensi keperawatan :
(1) Observasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi
pernapasan dan suhu) pasien
Rasional: untuk mengetahui tanda-tanda vital pasien
dalam rentang normal atau tidak.
(2) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal
posisi semi fowler.
Rasional: untuk membantu pengembangan rongga
dada secara maksimal, peninggian kepala tempat tidur
mempermudah fungsi pernafasan dengan
menggunakan gravitasi.
(3) Ajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing
exercise
31
Rasional : menurunkan tingkat sesak nafas dan skala
Borg
(4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi
obat.
Rasional: dengan rasional memberikan terapi
farmakologi.
b) Ketidakefektifan bersihan bersihan jalan napas
berhubungan dengan adanya bronkokontriksi, produksi
mukus dalam jumlah berlebih, dan menurunnya
kemampuan batuk efektif.
Kriteria hasil :
(1) Pasien dapat melakukan batuk efektif.
(2) Pasien dapat mengeluarkan sekret.
(3) Pada pemeriksaan auskultasi paru , memiliki suara
napas yang jernih.
Intervensi keperawatan :
(1) Pantau frekuensi pernafasan pasien
Rasional: dengan rasional untuk mengetahui frekuensi
pernafasan pasien sudah dalam rentang normal atau
belum
(2) Auskultasi suara nafas dan catat adanya suara
tambahan
32
Rasional: untuk mengetahui adanya suara nafas
tambahan
(3) Ajarkan cara batuk efektif
Rasional : mempermudah mengeluarkan sputum
(4) kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat,
Rasional: untuk memberikan pengobatan farmakologis.
(Nurarif, 2013)
c) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan
kerja napas, hipoksemia secara reversibel atau menetap.
Kriteria hasil :
(1) Pasien dapat mendemonstrasikan peningkatan ventilasi
dan oksigenasi yang adekuat.
(2) Tanda-tanda vital dalam rentang normal.
Intervensi keperawatan :
(1) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat
penggunaan otot aksesori, napas bibir, dan
ketidakmampuan berbicara.
Rasional: berguna dalam evaluasi derajat distres
pernapasan dan atau kronisnya proses penyakit.
(2) Dorong pengeluaran sputum, penghisapan bila
diindikasikan.
Rasional: banyaknya sekresi yang kental dan tebal
merupakan sumber utama gangguan pertukaran gas
33
pada jalan napas kecil. Penghisapan dibutuhkan bila
batuk tidak efektif.
(3) Awasi tanda vital dan irama jantung.
Rasional: takikardia, disritmia, dan perubahan tekanan
darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik
pada fingsi jantung.
(4) Aktivitas kolaboratif : pemberian oksigen tambahan
yang sesuai dengan indikasi analisa gas darah dan
toleransi pasien.
Rasional: dapat memperbaiki atau mencegah
memburuknya hipoksia.
(Nurarif, 2013)
d) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan penurunan napsu makan, faktor
biologis.
Kriteria hasil :
(1) Peningkatan napsu makan.
(2) Tidak ada penurunan berat badan yang berarti.
Intervensi keperawatan :
(1) Kaji intake makanan
Rasional: untuk mengetahui pola makan/kebiasaan
makan pasien karena pasien dengan distress
34
pernafasan sering anoreksia sehingga cenderung berat
badan menurun.
(2) Berikan perawatan oral hyiegene
Rasional: kebersihan oral dapat meningkatkan nafsu
makan karena makanan akan terasa lebih enak.
(3) Anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan
dalam keadaan hangat
Rasional : membantu mencegah distensi gaster dan
ketidaknyamanan, serta meningkatkan nafsu makan
(4) Kolaborasi dengan ahli gizi
Rasional: gizi rasionalnya untuk menentukan diit
pasien yang memenuhi asupan kalori dan nutrisi yang
optimal.
(Nurarif, 2013)
e) intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Kriteria hasil:
(1) pasien tidak merasa sesak nafas dan letih lemah setelah
beraktivitas
(2) Pasien mampu melakukan aktivitas sehari- hari secara
mandiri
35
Intervensi keperawatan :
(1) Kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan
aktivitas dan latihan
Rasional: untuk mengetahui kemampuan pasien dalam
beraktivitas
(2) Pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah
melakukan aktivitas
Rasional: dapat mengetahui ada tidaknya perubahan
status pernafasan sebelum dan sesudah beraktivitas
(3) Bantu pasien identifikasi penyebab keletihan
Rasional : untuk mengetahui penyebab keletihan
(4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat
Rasional : untuk memberikan terapi farmakologi.
(Nurarif, 2013)
f) Gangguan pola tidur behubungan dengan ketidaknyamanan
fisik dan lingkungan.
Kriteria hasil:
(1) jumlah jam tidur pasien dalam batas normal 6-8 jam per
hari
(2) kualitas tidur pasien baik atau nyenyak
Intervensi keperawatan :
(1) Pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari
36
Rasional: untuk mengetahui jam tidur pasien dalam
rentang normal atau tidak
(2) Berikan lingkungan yang nyaman (batasi pengunjung,
posisikan yang nyaman)
Rasional :untuk menunjang tidur pasien agar nyenyak,
(3) Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat
Rasional: agar pasien tahu akan pentingnya tidur yang
adekuat untuk kesehatan
(4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat
Rasional: untuk memberikan terapi farmakologis.
(Nurarif, 2013)
(1) Pursed Lip Breathing Exercise
a. Definisi
Pursed Lip Breathing Exercise merupakan latihan pernapasan
dengan cara penderita duduk dan inspirasi dalam saat ekspirasi
penderita menghembuskan melalui mulut hampir tetutup seperti
bersiul secara (Smeltzer, 2008).
b. Tujuan
Tujuan dari Pursed Lip Breathing Exercise untuk mencapai
ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi kerja
pernapasan, meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot
dan menghilangkan ansietas dan mencegah pola aktivitas otot
pernapasan yang tidak berguna, melambatkan frekuensi pernapasan,
37
mengurangi uadara yang terperangkap, serta mengurangi kerja
bernafas (Smeltzer, 2008).
Pursed Lip Breathing Exercise dapat mencegah atelektasis
dan meningkatkan fungsi ventilasi pada paru, pemulihan
kemampuan otot pernafasan akan meningkatkan compliance paru
sehingga ventilasi lebih adekuat dan menunjang oksigenasi jaringan
(Westerdhal, 2005 dalam Bakti, 2015).
Latihan pernafasan denganPursed Lip Breathing Exercise
memmbantu meningkatkan compliance paru untuk melatih kerja otot
pernafasan berfungsi dengan baik serta mencegah distress pernafasan
(Ignantivus dan Workman, 2006 dalam Bakti, 2015).
c. Langkah – langkah tindakan Pursed Lip Breathing Exercise
Langkah-langkah atau teknik pursed lip breathing exercise
diantaranya meliputi: mengatur posisi pasien dengan duduk ditempat
tidur atau kursi, meletakkan satu tangan pasien di abdomen (tepat
dibawah proc.sipodeus) dan tangan lainnya ditengah dada untuk
merasakan gerakan dada dan abdomen saat bernafas, kemudian
menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan
abdomen terasa terangkat maksimal lalu jaga mulut tetap tertutup
selama inspirasi dan tahan nafas selama 2 detik, dan hembuskan
nafas melalui bibir yang dirapatkan serta sedikit terbuka sambil
mengkontraksikan otot-otot abdomen selama 4 detik dalam sehari
dilkakuakn 1 kali dengan 5 kali pengulangan (Smeltzer, 2008).
38
Pursed Lip Breathing Exercise adalah suatu latihan bernafas
yang terdiri dari dua mekanisme yaitu inspirasi secara dalam serta
ekspirasi aktif dalam dan panjang. Proses ekspirasi seacara normal
merupakan proses mengeluarkan nafas tanpa menggunakan energi
berlebih. Bernafas Pursed Lip Breathing Exercise melibatkan proses
ekspirasi secara panjang. Inspirasi dalam dan ekspirasi panjang
tentunya akan menigkatkan kekuatan kontraksi otot intra abdomen
sehingga tekanan intra abdomen meningkat melebihi pada saat
ekspirasi pasif. Tekanan intra abdomen yang meningkat lebih kuat
lagi tentunya akan meningkatkan pergerakan diafragma ke atas
membuat rongga thorak semakin mengecil. Rongga thorak yang
semakin mengecil ini menyebabkan tekanan intra alveolus semakin
meningkat sehingga melebihi takanan udara atmosfer. Kondisi
tersebut akan menyebabkan udara mengalir keluar dari paru ke
atmosfer. Ekspirasi panjang saat bernafas Pursed Lip Breathing
Exercise juga akan menyebabkan obstruksi jalan nafas dihilangkan
sehingga resistensi pernafasan menurun. Penurunan resistensi
pernafasan akan memperlancar udara yang dihirup dan dihembuskan
sehinggga akan mengurangi ssesak nafas (Smeltzer, 2008).
39
B. Kerangka Teori
Gambar 2.1 (Kerangka Teori)
Sumber : (Ikawati, 2011; Smeltzer, 2008; Bhakti, 2015).
- Merokok
- Polusi udara
- Infeksi
pernapasan
- Riwayat kerja
- Batuk
- Adanya Sputum
Obstruksi Jalan Nafas
Pursed Lip Breathing Exercise
Obstruksi Jalan Nafas
Hilang
Penyakit Paru Obstruksi
Kronik
Sesak Nafas
Sesak Nafas berkurang
Penurunan Resistensi pernafasan
Pernapasan
40
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Riset
Tindakan dilakukan pada pasien Tn. A di Rumah Sakit Umum Daerah
Dr.Moewardi Surakarta.
B. Tempat dan Waktu
1. Tempat : Di Ruang Anggrek 1 dan Rumah Tn. A
2. Waktu : Terapi diberikan pada tanggal 12-14 Januari 2016, tanggal
12-13 Januari 2016 di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi
Surakarta dan pada tanggal 14 Januari 2016 di rumah Tn. A.
C. Media dan Alat yang Digunakan
Dalam aplikasi riset ini media dan alat yang akan digunakan adalah :
1. Lembar observasi yang digunakan untuk mencatat hasil pengukuran
atau pemeriksaan tingkat sesak nafas.
2. Stetoskop yang digunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat sesak
napas.
D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset
1. Mengatur posisi pasien dengan duduk ditempat tidur atau kursi.
2. Meletakkan satu tangan pasien di abdomen (tepat dibawah
proc.sipodeus) dan tangan lainnya ditengah dada.
3. Menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan
abdomen terasa terangkat maksimal lalu jaga mulut tetap tertutup
selama inspirasi dan tahan napas selama 2 detik.
41
4. Hembuskan nafas melalui bibir dirapatkan dan sedikit terbuka seperti
bersiul sambil mengkontraksikan otot-otot abdomen selama 4 detik.
5. Dilakukan sehari 1 kali dengan 5 kali pengulangan (Smeltzer, 2008).
Gambar 3.1
Teknik menghirup dan menghembuskan napas
E. Alat Ukur Evaluasi dari Aplikasi Tindakan Berdasarkan Riset
Lembar observasi yang didalamnya adalah :
1. Frekuensi normal pernapasan 16-24 kali per menit (Muttaqin, 2014).
2. Penggunaan otot bantu pernapasan (Ganong, 2008) :
a. Musculus Strenokleidomastoideus
b. Musculus Scalenus
c. Musculus Pektoralis Mayor
d. Musculus Serratus Anterior
e. Musculus Abdominalis
42
3. Nilai skala Borg.
SKALA BORG
SCALE SEVERITY
0 Tidak ada sesak napas yang sama sekali
0.5 Sesak sangat ringan sekali
1 Sesak sangat ringan
2 Sesak ringan
3 Sesak sedang
4 Sesak kadang berat
5 Sesak berat
6-7 Sesak napas sangat berat
8-9 Sangat-sangat parah (Hampir Maksimum)
1O Maksimum
(Sumber: Subagyo, 2013)
43
BAB IV
LAPORAN KASUS
Pada bab ini penulis menjelaskan tentang resume pengaruh pemberian
pursed lip breathing exercise terhadap penurunan tingkat sesak nafas pada asuhan
keperawatan Tn. A dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) di ruang
anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Resume asuhan keperawatan pada Tn.
A meliputi identitas, pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi sesuai masalah
keperawatan, implementasi yang telah dilakukan dan evaluasi. Pengkajian
dilakukan pada tanggal 12 Januari 2016 jam 14.00 WIB, pada kasus ini dilakukan
dengan metode autoanamnesa dan alloanamnesa.
A. Identitas Pasien
Pengkajian didapatkan identitas pasien dengan nama pasien Tn. A
berumur 62 tahun, beragama islam, pasien lulusan Sekolah Dasar (SD), Tn. A
sebagai kepala rumah tangga yang beralamat di Karanganyar. Tn. A datang
ke RSUD Dr. Moewardi pada tanggal 07 Januari 2016 dengan diagnosa
medis penyakit paru obstruksi kronik dengan nomor rekam medis 01325720.
Identitas penanggung jawab bernama Sdr. T berumur 27 tahun, bekerja
sebagai karyawan swasta, pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas
(SMA), beralamat di Karanganyar, hubungan dengan Tn. A sebagai anak.
B. Pengkajian
Hasil dari pengkajian pada tanggal 12 Januari 2016 pasien
mengeluhkan sesak nafas. Riwayat penyakit sekarang, pasien datang ke IGD
RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 07 Januari 2016 jam 21.00
44
WIB, pasien rujukan dari UPT Puskesmas Ngargoyoso dengan keluhan batuk
darah bercampur dahak dan buih sebanyak 1 sendok makan, 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan batuk berdahak dengan
dahak putih encer.
Pasien juga mengeluhkan sesak nafas memburuk 8 bulan ini, sesak
nafas tidak dipengaruhi oleh debu atau cuaca, sesak nafas jika aktivitas berat,
ada suara tambahan nafas mengi, tidak ada nyeri dada, kedua kaki pasien
sering bengkak jika sesak nafas, pasien tidur dengan satu bantal dan sering
terbangun karena sesak nafas, panas baru 1 hari, mual, tidak muntah, badan
lebih kurus kurang lebih dari 2 tahun yang lalu. Pada pasien BAB dan BAK
tidak ada keluhan, dari hasil pemeriksaan di dapatkan tekanan darah 130/90
mmHg, nadi 90 kali per menit, pernafasan 29 kali per menit, suhu 37,2 °C
dan saturasi oksigen 98 %. Pasien di IGD mendapat oksigen nasal kanul 2
liter per menit, infus Nacl 0,9% 20 tetes per menit, injeksi methyl prednizolon
62,8gram, injeksi furosemid 40mg, injeksi asam traneksamat 1gr, injeksi
ceftriaxon 2 gr (skin test), dan obat oral N. asetil sistein 200mg, sucralfat
sirup 5ml. Pasien dari IGD Tulip di pindah ke ruang anggrek 1 pada tanggal 8
Januari 2016 jam 05.00 WIB, untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Riwayat penyakit dahulu pasien mengatakan selama ± 2 tahun sudah
merasakan sesak nafas, pasien batuk sejak 2 tahun yang lalu tetapi tidak
berdahak, pasien perokok berat sejak kelas 2 Sekolah Dasar atau ± 55 tahun
karena meniru bapak yang merokok dan lingkungannya dulu yang banyak
perokok, tetapi sudah 2 tahun pasien berhenti merokok. Pasien pernah dirawat
45
10 hari dirumah sakit RSUD Karanganyar 1 tahun yang lalu operasi hernia.
Pasien mengatakan saat masih kecil sudah mendapatkan imunisasi dasar
lengkap. Pasien tidak ada alergi debu, makanan maupun obat, pasien tidak
ada riwayat penyakit asma, diabetes melitus, dan hipertensi.
Riwayat kesehatan keluarga, dikeluarga pasien tidak memiliki
penyakit yang menurun seperti hipertensi, jantung dan diabetes melitus.
Pasien juga mengatakan dikeluarganya tidak ada yang menderita penyakit
yang sama seperti pasien.
Genogram keluarga Tn. A
Gambar 4.1 (Genogram)
Keterangan :
: Laki- laki : Tinggal satu rumah
: Perempuan : Ikatan pernikahan
: Pasien : Keturunan
: Meninggal
46
Riwayat kesehatan lingkungan pasien, pasien mengatakan sekitar
rumahnya bersih, terdapat saluran pembuangan air, ventilasi, rumahnya jauh
dari jalan raya dan pabrik. Pada saat dilakukan kunjungan ke rumah Tn. A
pada tanggal 14 Januari 2016, rumah Tn. A tampak beralas dengan tanah,
bersih, tidak ada genangan air, banyak tanaman hijau disekitar rumah, dan di
depan rumah di tanami sayuran.
Hasil pengkajian menurut pola Gordon, pola persepsi dan
pemeliharaan kesehatan, pasien mengatakan kesehatan itu sangat penting, jika
ada anggota keluarga yang sakit segera dibawa ke puskesmas. Keluarga
pasien mengatakan saat Tn. A sakit segera dibawa ke puskesmas Ngargoyoso.
Pola nutrisi dan metabolik, sebelum sakit pasien dan keluarga pasien
mengatakan ±2 tahun yang lalu badan pasien tidak sekurus sekarang ini, tapi
dulu tidak tahu berapa berat badan pasien karena jarang menimbang berat
badan, pasien juga mengatakan makan 3 kali sehari, jenis nasi, sayur, lauk, 1
porsi piring habis, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air
putih dan teh, serta tidak ada keluhan. Selama sakit antropometri berat badan
pasien 46 kg, tinggi badan 160 cm, indeks masa tubuh (IMT) Berat badan
(Kg)/Tinggi badan (m2), 46 kg/(2,56 m
2) hasilnya 17,96 kg/m
2 (tidak normal
atau Underweight), biochemical dari data hasil pemeriksaan laboratorium
pada tanggal 11 Januari 2016 hemoglobin 12,4 g/dl (Tidak normal atau
kurang), hematokrit 38% (Normal), albumin 3,5 U/L (Normal), clinical Sign
pasien tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva
anemis, dietary data pasien mengatakan makan 3 kali sehari dengan diit
47
TKTP, jenis nasi, sayur, lauk, 1/2 porsi piring habis, minum kurang lebih 8
gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, dengan keluhan nafsu makan
menurun karena sesak nafas dan batuk, ada riwayat mual.
Pola eliminasi, sebelum sakit pasien mengatakan buang air besar 1 kali
per hari setiap pagi dengan konsistensi lunak berbentuk, berbau khas, warna
kuning dan tidak ada keluhan. Buang air kecil 6-7 kali per hari, warna kuning
pucat, berbau amoniak, dan tidak ada keluhan. Selama sakit pasien
mengatakan buang air besar 1 kali per hari, konsistensi lunak berbentuk,
berbau khas, warna kuning kecoklatan dan tidak ada keluhan. Buang air kecil
6-7 kali per hari, warna kuning keruh, berbau amoniak, dan tidak ada
keluhan. Saat buang air besar dan buang air kecil pasien harus dibantu oleh
keluarga.
Pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit pasien mengatakan dapat
beraktivitas secara normal dan mandiri (skor penilaian 0). Selama sakit pasien
mengatakan hampir semua aktivitas seperti makan minum, toileting,
berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah dan ambulasi atau ROM
harus dibantu orang lain (skor penilaian 2), disamping itu pasien merasa sesak
nafas setelah melakukan aktivitas.
Pola istirahat tidur, sebelum sakit pasien mengatakan kebiasaan tidur
6-8 jam sehari dari jam 21.00-05.00, tidur siang 2 jam, kualitas tidur nyenyak
dan tidak ada keluhan. Selama sakit pasien mengatakan tidur 4-5 jam sehari,
dari jam 22.00-03.00, tidur siang 1 jam, kualitas tidur tidak nyenyak sering
48
terbangun karena sesak nafas, pasien nyaman dengan posisi tidur bersandar
atau miring ke kanan, tampak palpebra kehitaman.
Pola kognitif dan perseptual, pasien mengatakan mengalami gangguan
pendengaran pada telinga kanan terjadi penurunan fungsi pendengaran sejak 5
tahun yang lalu, pasien hanya menggunakan telinga kiri untuk mendengar.
Pasien mengidentifikasi tes raba, pasien dapat melihat dan dapat menjawab
pertanyaan dari perawat, pasien tampak kesulitan bicara karena batuk
produktif, dan pasien juga terlihat tidak menggunakan alat bantu penglihatan
maupun pendengaran.
Pola persepsi konsep diri, gambaran diri pasien mengatakan tetap
bersyukur masih diberi anggota tubuh yang lengkap meskipun saat ini pasien
sedang sakit. Ideal diri, pasien mengatakan ingin cepat sembuh dari
penyakitnya. Harga diri, pasien mengatakan merasa dihargai dan disayangi
oleh keluarga dan tetangganya karena dijenguk. Peran diri, pasien
mengatakan tidak bisa menjalani tugasnya sebagai suami dan kepala rumah
tangga yang baik untuk istri dan anak-anaknya selama sakit. Identitas diri,
pasien mengatakan menyadari sebagai suami dan orang tua yang memiliki
tanggung jawab menjadi kepala keluarga.
Pola hubungan peran, pasien mengatakan dirinya sebagai suami dan
ayah dari 4 orang anak, hubungan dengan keluarga dan masyarakat
baik,selama sakit pasien juga mempunyai hubungan baik dengan tenaga
medis, saat dilakukan tindakan keperawatan pasien kooperatif.
49
Pola seksualitas reproduksi, pasien mengatakan menikah usia 27 tahun
dan mempunyai 4 orang anak, pasien tidak menderita penyakit kelamin tetapi
sudah tidak terlalu memikirkan hubungan seksual lagi dengan istrinya karena
mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi, sehingga selama dirawat dan
sakit seperti ini tidak ada masalah bagi pasien dan istrinya.
Pola mekanisme koping, pasien mengatakan menerima dengan tabah
penyakit yang dialami saat ini sebagai cobaan dari tuhan, jika ada masalah
pasien selalu mendiskusikan dengan keluarga termasuk dengan penyakit yang
dialami saat ini. Pola nilai dan keyakinan, pasien mengatakan sebelum sakit
dan selama sakit tetap melaksanakan ibadah sholat 5 waktu, saat sakit
beribadah dengan berbaring.
Pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik,
dengan kesadaran composmentis. Tanda – tanda vital tekanan darah 120/80
mmHg, nadi frekuensi 85 kali per menit, irama teratur, isi kuat, pernapasan
frekuensi 27 kali per menit, irama tidak teratur, terpasang O2 nasal kanul 2
liter per menit, suhu tubuh 36,5 °C. Pada pemeriksaan kepala bentuk kepala
mesochepal, kulit kepala bersih tidak ada lesi, rambut beruban. Pada
pemeriksaan mata didapatkan data palpebra kehitaman dan tidak oedema,
konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter mata kanan –
kiri simetris, reflek terhadap cahaya baik, tidak menggunakan alat bantu
penglihatan. Pada pemeriksaan hidung didapatkan hasil hidung simetris, tidak
ada polip, bersih, terdapat nafas cuping hidung, terpasang O2 nasal kanul 2
liter per menit dan tidak ada lendir. Pada pemeriksaan mulut didapatkan data
50
bibir simetris, mukosa bibir kering, tidak ada stomatitis. Pada pemeriksaan
gigi didapatkan data gigi bersih, masih utuh, tidak memakai gigi pasangan.
Pada pemeriksaan telinga di dapatkan hasil telinga bersih, simetris, ada
penurunan fungsi pendengaran telinga yang kanan tetapi pasien tidak
memakai alat bantu pendengaran. Pada pemeriksaan leher di dapatkan hasil,
tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan tidak ditemukan ditensi vena
jugularis.
Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan hasil saat dilakukan inspeksi
bentuk dada barel chest, simetris kanan kiri, respirasi 27 kali per menit, nafas
pendek dengan ekspirasi memanjang, terdapat penggunaan otot bantu
pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus
anterior, serta otot-otot abdominalis. Saat dilakukan palpasi vocal fremitus
kanan kiri sama. Saat dilakukan perkusi sonor, saat dilakukan auskultasi
vesikuler pada dada kanan dan terdengar suara tambahan whezzing pada dada
kiri. Pada pemeriksaan fisik jantung inspeksi didapatkan hasil ictus cordis
tidak tampak, saat dilakukan palpasi ictus cordis teraba pada intercosta 5 mid
clavicula, saat dilakukan perkusi pekak, saat dilakukan auskultasi terdengar
suara Bj 1 dan Bj 2 reguler. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hasil
inspeksi perut datar simetris, ada lesi di kwadran 4 bekas operasi hernia, saat
diauskultasi terdengar bising usus 8 kali per menit, saat perkusi didapatkan
hasil suara pekak di kuadran 1, suara tympani di kuadran 2, 3, 4, saat
dilakukan palpasi didapatkan hasil tidak teraba massa dan tidak ada nyeri
tekan.
51
Pada pemeriksaan genetalia didapatkan hasil pasien tidak terpasang
kateter. Pada pemeriksaan rektum didapatkan hasil rektum bersih, tidak ada
nyeri saat buang air besar dan tidak ada hemoroid.
Pemeriksaan data penunjang laboratorium yang dilakukan pada
tanggal 07 Januari 2016, yaitu : Hemoglobin 13,1 g/dl (13,5-17,5 g/dl),
Hematokrit 38 % (33-45%), Leukosit 14,9 ribu/uL (4,5-11 ribu/uL),
Trombosit 185 ribu/uL (150-450 ribu/uL), Eritrosit 3,93 juta/uL (4,50-5,90
juta/uL), MCV 95,7 /um (80,0-96,0 /um), MCH 33,3 Pg (28,0-33,0 Pg),
MCHC 34,8 g/dl (33,0-36,0 g/dl), RDW 12,7 % (11,6-14,6 %), MPV 8,4 Fl
(7,2-11,1 Fl), PDW 16 % (25-65 %), Eosinofil 0,10 % (0,00-4,00 %), Basofil
0,10 % (0,00-2,00 %), Netrofil 81,90 % (55,00-80,00 %), Monosit 9,70 %
(0,00-7,00 %), Golongan darah B, PT 16,0 detik (10,0-15,0 detik), APTT
33,7 detik (20,0-40,0 detik), Albumin 2,9 g/dl (3,2-4,6 g/dl), Creatinin 0,9
mg/dl (0,8-1,3 mg/dl), Ureum 38 mg/dl (<50 mg/dl), Natrium darah 133
mmol/l (136-145 mmol/l), Kalium darah 3,7 mmol/l (3,7-5,4 mmol/l),
Klorida darah 103 mmol/l (98-106 mmol/l). Data analisa gas darah pH darah
7,430 mmol/l (7,310-7,420 mmol/l), BE 9,9 mmol/l (-2 - +3 mmol/l), PCO2
51,0 mmHg (27,0-41,0 mmHg), PO2 106,0 mmHg (80,0-100,0 mmHg),
Hematokrit 43 % (37-50%), HCO3 31,3 mmol/l (21,0-28,0 mmol/l), Total
CO2 36,0 mmol/l (19,0-24,0 mmol/l), O2 saturasi 98,0 % (94,0-98,0 %),
Arteri 1,50 mmol/l (0,36-0,75 mmol/l), HbsAg nonreactive (nonreactive),
Troponin 1 <0,01 Ug/l (0,00-1,50 Ug/l), CKMB 3,17 ng/ml (< 4,9 ng/ml).
dapat kesimpulan alkalosis metabolik terkompensasi sempurna. Hasil
52
pemeriksaan pada tanggal 11 Januari 2016, yaitu : Hemoglobin 12,4 g/dl
(13,5-17,5 g/dl), Hematokrit 38 % (33-45%), Leukosit 5,6 ribu/uL (4,5-11
ribu/uL), Trombosit 241 ribu/uL (150-450 ribu/uL), Monosit 3,83 Juta/uL
(4,50-5,90 Juta/uL), SGOT 41 U/L (<35 U/L), SGPT 22 U/L (<45 U/L),
Albumin 3,5 U/L (3,2-4,6 U/L).
Pemeriksaan data penunjang laboratorium mikrobiologis pada tanggal
11 Januari 2016 dengan bahan sputum, hasil mikroskopis direk pengecatan
gram ditemukan kuman gram positif Coccus, leukosit 3-8/ LPB, 0-2/ LPB,
pada pengecatan BTA dari sputum sewaktu hasil negatif, pagi hasil negatif,
sewaktu negatif.
Pemeriksaan data penunjang foto thorax pada tanggal 07 Januari yaitu,
klinisnya hemoptisis, dengan foto thorax PA/Lat, Cor membesar dengan CTR
71 %, Pulmo tak tampak infiltrat dikedua suprahiler kanan kiri. Sinus
Costphrenicus kanan kiri antero posterior tajam, Hemidiaphragma kanan kiri
normal, Trakea ditengah, sistema tulang baik, kesimpulannya Cardiomegaly,
tak tampak jelas gambaran TB paru.
Selama diruang anggrek 1 pasien mendapatkan terapi parenteral infus
Nacl 0,9% 20 tpm. Terapi intravena injeksi Asam traneksamat 500 mg/ 8 jam
merupakan golongan obat hemostatik, fungsinya untuk mengatasi pendarahan
abnormal dan gejala penyakit lainnya seperti hemoptisis. Injeksi Ranitidine
50 mg/ 12 jam merupakan golongan antasida, fungsinya mengobati tukak
lambung, duodenum, dan mengurangi refluks esofagus. Injeksi Ceftriaxon 2
gr/ 24 jam yang merupakan golongan antimikroba atau antibakteri, fungsinya
53
mengobati infeksi saluran pernafasan bawah. Pasien juga mendapat terapi
peroral Furosemid 40 mg/ 24 jam (pagi) termasuk dalam golongan obat
diuretik, fungsinya mengobati udema karena gangguan jantung, ginjal dan
melancarkan pengeluaran urine. Diovan 80 mg/24 jam termasuk golongan
antihipertensi, fungsinya menurunkan tekanan darah tinggi. Bisoprolol 1,25
mg/ 24 jam (pagi) merupakan golongan antihipertensi, fungsinya untuk
pengobatan hipertensi. N. Asetil sistein 200 mg/ 8 jam, golongan obat untuk
saluran pernafasan, fungsinya untuk mengencerkan dahak. Codein 100 mg/ 8
jam golongan analgesik, fungsinya untuk mengobati batuk. Vitamin C 250
mg/ 8 jam golongan vitamin dan mineral, fungsinya untuk pencegahan dan
mengatasi kekurangan vitamin C, memperkuat daya tahan tubuh. Curcuma 20
mg/ 12 jam golongan obat saluran cerna, fungsinya menambah nafsu makan,
membantu pengobatan gangguan fungsi hati dan memelihara kesehatan.
C. Masalah Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 12 Januari 2016 pukul
14.00 WIB pada Tn. A ditemukan data fokus yaitu data subyektif, pasien
mengatakan sesak nafas, sesak nafas dirasakan kurang lebih sejak 2 tahun
yang lalu, sedangkan data objektifnya pasien tampak bernafas dengan cuping
hidung, dari data pemeriksaan fisik paru didapatkan hasil saat dilakukan
inspeksi bantuk dada barel chest, simetris kanan kiri, respirasi 27 kali per
menit, irama tidak teratur, nafas pendek dengan ekspirasi memanjang,
terdapat penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus,
pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis. Saat
54
dilakukan palpasi vocal fremitus kanan kiri sama. Saat dilakukan perkusi
sonor, saat dilakukan auskultasi vesikuler pada dada kanan dan terdengar
suara tambahan whezzing pada dada kiri, pasien terpasang O2 nasal kanul 2
liter per menit. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi frekuensi 85 kali per
menit, suhu tubuh 36,5 °C. Maka penulis merumuskan masalah keperawatan
yaitu ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi.
Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 12 Januari 2016 pukul
14.05 WIB pada Tn. A ditemukan data fokus yaitu data subjektif, pasien
mengatakan saat batuk akan muncul sesak nafas dan mengeluarkan dahak,
batuk sudah dirasakan sejak 2 tahun yang lalu namun tetapi tidak berdahak,
sedangkan data objektifnya ditandai dengan terdapat suara tambahan
whezzing, frekuensi pernapasan 27 kali per menit, irama tidak teratur,
kesulitan bicara karena batuk produktif, produksi sputum berlebih warna
putih kekuningan dan kental tidak ada darah. Maka penulis merumuskan
masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih.
Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 12 Januari 2016 pukul
14.10 WIB pada Tn. A ditemukan data fokus yaitu data subjektif, pasien
mengatakan sesak nafas, mudah lelah dan lemas setelah melakukan aktivitas,
data objektif pasien tampak letih dan terengah-engah setelah beraktivitas,
frekuensi pernapasan 27 kali per menit, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
frekuensi 85 kali per menit, dari data aktivitas latihan antara lain, seperti
makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah dan
55
ambulasi atau ROM harus dibantu orang lain (skor penilaian 2). Maka penulis
merumuskan masalah keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Pada tanggal 12 Januari 2016 pukul 14.15 WIB hasil dari pengkajian
didapatkan data subjektif, sebelum sakit pasien mengatakan kebiasaan tidur
6-8 jam sehari dari jam 21.00-05.00, tidur siang 2 jam, kualitas tidur nyenyak
dan tidak ada keluhan. Selama sakit pasien mengatakan tidur 4-5 jam sehari,
dari jam 22.00-03.00, tidur siang 1 jam, kualitas tidur tidak nyenyak sering
terbangun karena sesak nafas, pasien nyaman dengan posisi tidur bersandar
atau miring ke kanan. Data objektif terdapat perubahan jam tidur pasien,
pasien tampak letih, palpebra kehitaman. Maka penulis merumuskan masalah
keperawatan gangguan pola tidur behubungan dengan ketidaknyamanan fisik
dan lingkungan.
Pada 12 Januari 2016 pukul 14.20 WIB hasil dari pengkajian di
dapatkan data subjektif, sebelum sakit pasien dan keluarga pasien
mengatakan ±2 tahun yang lalu badan pasien tidak sekurus sekarang ini, tapi
dulu tidak tahu berapa berat badan pasien karena jarang menimbang berat
badan, pasien juga mengatakan makan 3 kali sehari, jenis nasi, sayur, lauk, 1
porsi piring habis, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air
putih dan teh, serta tidak ada keluhan, selama sakit pasien mengatakan nafsu
makan menurun karena sesak nafas, batuk dan dulu ada mual. Data objektif
hasil dari pengkajian nutrisi ABCD, Data objektif Antropometri berat badan
pasien 46 kg, tinggi badan 160 cm, indeks masa tubuh (IMT) Berat badan
56
(Kg)/Tinggi badan (m2), 46 kg/(2,56 m
2) hasilnya 17,96 kg/m
2 (tidak normal
atau Underweight), Biochemical dari data hasil pemeriksaan laboratorium
pada tanggal 11 Januari 2016 hemoglobin 12,4 g/dl (Tidak normal atau
kurang), hematokrit 38% (Normal), albumin 3,5 U/L (Normal), Clinical Sign
pasien tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva
anemis, Dietary pasien makan 3 kali sehari dengan diit TKTP, jenis nasi,
sayur, lauk, 1/2 porsi piring habis, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per
hari, jenis air putih dan teh. Maka penulis merumuskan masalah keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
faktor biologis.
Berdasarkan masalah keperawatan yang muncul, penulis
memprioritaskan masalah keperawatan yaitu, ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan hiperventilasi, ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih, intoleransi
aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen, gangguan pola tidur behubungan dengan
ketidaknyamanan fisik dan lingkungan, ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis.
D. Rencana Keperawatan
Berdasarkan rumusan masalah yang didapatkan, maka penulis
menyusun rencana keperwatan untuk diagnosa ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan hiperventilasi dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan sesak nafas pasien dapat berkurang
57
atau hilang. Dengan kriteria hasil, pasien menunjukan jalan nafas yang paten
(irama nafas teratur, frekuensi pernafasan dalam rentang normal), tidak ada
pernafasan cuping hidung, tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan
sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,
serta otot-otot abdominalis, tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan
darah, nadi, pernafasan, suhu) (Nurarif, 2013).
Intervensi atau rencana keperawatan yang diberikan adalah airway
management (3140) : observasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi
pernapasan dan suhu) pasien dengan rasional untuk mengetahui tanda-tanda
vital pasien dalam rentang normal atau tidak, posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler dengan rasional untuk
membantu pengembangan rongga dada secara maksimal, peninggian kepala
tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan
gravitasi. Ajarkan teknik non farmakologi pursed lips breathing exercise
dengan rasional menurunkan tingkat sesak nafas dan skala Borg, kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian terapi obat (injeksi Ceftriaxon 2gr/ 24 jam),
dengan rasional memberikan terapi farmakologi untuk mengobati infeksi
saluran nafas bawah (Nurarif, 2013; ISO, 2013).
Rencana keperawatan untuk diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan
nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih dengan
tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
bersihan jalan nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien dapat
mendemonstrasikan batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan sputum,
58
pasien mampu menunjukan jalan nafas yang paten (tidak ada suara nafas
tambahan whezzing) (Nurarif, 2013).
Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah
airway management (3140): pantau frekuensi pernafasan pasien, dengan
rasional untuk mengetahui frekuensi pernafasan pasien sudah dalam rentang
normal atau belum, auskultasi suara nafas dan catat adanya suara tambahan,
dengan rasional untuk mengetahui adanya suara nafas tambahan, ajarkan cara
batuk efektif, dengan rasional untuk mempermudah mengeluarkan sputum,
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat (injeksi asam
traneksamat 500mg/ 8jam, Injeksi Ranitidine 50 mg/ 12 jam, obat oral N.
asetil sistein 200mg/ 8jam, codein 10mg/ 8jam), dengan rasional untuk
memberikan pengobatan farmakologis, mengatasi pendarahan
abnormal/hemoptisis, mengobati tukak lambung, duodenum, dan mengurangi
refluks esofagus, terapi hipersekresi mukus, mengobati batuk (Nurarif, 2013;
ISO, 2013).
Rencana keperawatan untuk diagnosa intoleransi aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan pasien dapat menunjukan penurunan toleransi aktivitas dengan
kriteria hasil pasien tidak merasa sesak nafas dan letih lemah setelah
beraktivitas, pasien mampu melakukan aktivitas sehari- hari secara mandiri
(Nurarif, 2013).
59
Intervensi keperawatan yang akan dilakukan adalah activity therapy
(0224) : kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan
latihan dengan rasional untuk mengetahui kemampuan pasien dalam
beraktivitas, pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan
aktivitas dengan rasional dapat mengetahui ada tidaknya perubahan status
pernafasan sebelum dan sesudah beraktivitas,bantu pasien identifikasi
penyebab keletihan dengan rasional untuk mengetahui penyebab keletihan,
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat (obat oral Diovan
80mg/ 12jam, Furosemid 40mg/ 24jam, Bisoprolol 1,25mg/24jam) dengan
rasional untuk memberikan terapi farmakologi (menurunkan tekanan darah,
mengobati udema, mengobati hipertensi (Nurarif, 2013; ISO, 2013).
Rencana keperawatan untuk diagnosa gangguan pola tidur
berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan dengan tujuan
setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan
kebutuhan dan kualitas tidur pasien terpenuhi dengan baik, dengan kriteria
hasil jumlah jam tidur pasien dalam batas normal 6-8 jam per hari, kualitas
tidur pasien baik atau nyenyak, lingkar hitam diarea sekitar mata berkurang
atau hilang, pasien tampak segar tidak letih setelah bangun tidur (Nurarif,
2013).
Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah
sleep enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari, dengan
rasional untuk mengetahui jam tidur pasien dalam rentang normal atau tidak,
berikan lingkungan yang nyaman (batasi pengunjung, posisikan yang
60
nyaman) dengan rasional untuk menunjang tidur pasien agar nyenyak,
jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, dengan rasional agar pasien tahu
akan pentingnya tidur yang adekuat untuk kesehatan, kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian obat (Vitamin C 250mg/8jam), dengan rasional
untuk memberikan terapi farmakologis(memperkuat daya tahan tubuh)
(Nurarif, 2013; ISO, 2013).
Rencana keperawatan untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis dengan
tujuan setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisi pasien dapat terpenuhi, dengan kriteria hasil berat badan
meningkat, tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti, nafsu makan
meningkat, turgor kulit baik, mukosa bibir lembab, dan hasil laboratorium
dalam batas normal (hemoglobin nilai normal 13,5-17,5 g/dl) (Nurarif,
2013).
Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah
Nutrition Management (1100) : kaji intake makanan dengan rasional untuk
mengetahui pola makan/kebiasaan makan pasien karena pasien dengan
distress pernafasan sering anoreksia sehingga cenderung berat badan
menurun. Timbang berat badan pasien dengan rasional untuk mengetahui
berat badan pasien. Anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan
dalam keadaan hangat dengan rasional membantu mencegah distensi gaster
dan ketidaknyamanan, serta meningkatkan nafsu makan. Kolaborasi dengan
ahli gizi dan dokter (diit TKTP, obat Curcuma 20mg/ 12jam) rasionalnya
61
untuk menentukan diit pasien yang memenuhi asupan kalori dan nutrisi yang
optimal dan memberikan terapi farmakologis (menambah nafsu makan)
(Nurarif, 2013; ISO, 2013).
E. Implementasi
Tindakan keperawatan yang dilakukan hari pertama pada tanggal 12
Januari 2016 jam 15.00 WIB mengobservasi tanda-tanda vital pasien dengan
respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas. Respon objektif Tn. A
tampak nafas cuping hidung, nafas dangkal,irama tidak teratur, menggunakan
otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor,
dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, pasien terpasang O2 nasal
kanul 2 liter per menit, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi pernafasan 27
kali per menit, frekuensi nadi 85 kali per menit, suhu 36,5°C.
Pada tanggal 12 Januari 2016 jam 15.05 WIB implementasi
selanjutnya adalah memposisikan pasien semi fowler dengan respom
subjektif Tn. A mengatakan nyaman, respon objektif pasien tampak nyaman
dengan posisi semi fowler. Pada jam 15.10 mengajarkan tehnik non
farmakologi pursed lips breathing exercise dengan respon subjektif Tn. A
mengatakan sesak kadang berat skala Borg 4, respon objektif pasien tampak
bernafas menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus,
scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot
abdominalis, belum ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah
latihan yaitu 27 kali per menit, skala Borg sebelum dan sesudah latihan juga
belum ada perubahan yaitu sesak kadang berat (skala 4).
62
Pada jam 15.25 memantau frekuensi pernafasan pasien dengan respon
subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas saat batuk, respon objektif Tn. A
tampak sesak saat batuk, frekuensi pernafasan 27 kali per menit. Pada jam
15.35 melakukan auskultasi bunyi nafas dan mencatat adanya suara tambahan
dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas dan batuk berdahak,
respon objektif Tn. A tampak sering batuk, suara paru vesikuler pada dada
kanan dan terdengar suara tambahan whezzing pada dada kiri. Pada jam 15.45
mengajarkan batuk efektif dengan respon subjektif Tn. A mengatakan
lumayan nyaman dahak bisa keluar, respon objektif sputum keluar berwarna
putih kekuningan kental kurang lebih 1 sendok makan dan sudah tidak ada
darah. Pada jam 16.00 berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat
injeksi asam traneksamat 500mg, obat oral N. Asetil sistein 200 mg dan obat
oral vitamin C 250 mg dengan respon subjektif Tn. A mengatakan bersedia
diberi obat, respon objektif Tn. A tampak kooperatif, obat sudah masuk
semua obat injeksi asam traneksamat 500mg, obat oral N. Asetil sistein 200
mg dan obat oral vitamin C 250 mg.
Pada jam 16.05 mengkaji tingkat kemapuan Tn. A dalam melakukan
aktivitas latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan belum bisa
beraktivitas mandiri pasti dibantu istrinya atau anaknya karena setelah
beraktivitas pasti sesak nafas, respon objektif Tn. A tampak dalam
beraktivitas selalu dibantu oleh istri atau anaknya. Pada jam 16.10 memantau
frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas dengan
respon subjektif Tn. A mengatakan masih sesak nafas, respon objektif Tn. A
63
tampak masih terpasang oksigen nasal kanul 2 liter per menit, frekuensi
pernafasan 27 kali per menit. Pada jam 16.15 mengidentifikasi penyebab
keletihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak, letih dan lemas
setelah beraktivitas, respon objektif Tn. A beraktivitas dibantu oleh
kelurganya.
Pada jam 16.20 mengkaji kebutuhan tidur pasien dengan respon
subjektif Tn. A mengatakan tidak puas tidurnya, sering terbangun karena
sesak nafas, sebelum sakit biasanya tidur 6-8 jam sehari, tidur siang 2 jam,
selama sakit tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam, Tn. A nyaman dengan
posisi tidur bersandar atau miring ke kanan, respon objektifnya Tn. A tampak
letih, lingkar hitam di area sekitar mata. Pada jam 16.25 menjelaskan
pentingnya tidur yang adekuat dengan respon subjektif Tn. A mengatakan
sudah mengerti pentingnya tidur yang cukup, respon objektif Tn. A tampak
mengerti akan pentingnya tidur yang adekuat. Pada jam 16.35 WIB mengkaji
intake makanan pasien dengan respon subjektif pasien mengatakan makan 3
kali sehari dari rumah sakit, jenis nasi, sayur, lauk, habis 1/2 porsi piring saja
karena kurang nafsu makan, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari,
jenis air putih dan teh, respon objektif pasien tampak tampak kurus, turgor
kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva anemis. Pada jam 16.40 WIB
menganjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan dalam keadaan
hangat dengan respon Tn. A mengatakan suka dengan makanan yang masih
hangat dan akan memakan makanan sedikit tapi sering, respon objektif pasien
tampak kooperatif dan paham. Pada jam 17.00 berkolaborasi dengan ahli gizi
64
(memberikan makan malam pada pasien) dengan respon subjektif Tn. A
mengatakan sudah makan 1 porsi habis karena makanan masih hangat, respon
objektif pasien tampak nafsu makan sudah bertambah dengan menghabiskan
1 porsi piring makanan dari rumah sakit.
Pada jam 20.00 WIB berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian
obat injeksi Asam traneksamat 500mg dengan respon subjektif Tn. A
mengatakan bersedia di beri obat, respon objektif obat sudah masuk semua
injeksi Asam traneksamat 500 mg. Pada jam 20.35 WIB memberikan
lingkungan yang nyaman (membatasi pengunjung, memposisikan pasien
yang nyaman) dengan respon subjektif Tn. A mengatakan nyaman dengan
tidur posisi terlentang bersandar atau miring ke kanan kalau miring kekiri
terasa sesk nafas, respon objektif Tn. A tampak nyaman tidur dengan posisi
bersandar atau miring ke kanan.
Tindakan keperawatan yang dilakukan hari kedua pada tanggal 13
Januari 2016 jam 07.30 WIB mengobservasi tanda-tanda vital pasien dengan
respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas. Respon objektif Tn. A
tampak nafas cuping hidung, nafas dangkal, irama tidak teratur,
menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus,
pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta musculus abdominalis, pasien
terpasang O2 nasal kanul 2 liter per menit, tekanan darah 120/80 mmHg,
frekuensi pernapasan 26 kali per menit, frekuensi nadi 80 kali per menit, suhu
36,5°C. Pada jam 08.00 WIB implementasi selanjutnya adalah berkolaborasi
dengan dokter dalam pemberian obat injeksi asam traneksamat 500 mg, obat
65
oral furosemid 40mg, Diovan 80 mg, N.Asetil sistein 200mg, Codein 10mg,
Vitamin C 250 mg, Curcuma 20 mg, Bisoprolol 1,25 mg dengan respon
subjektif Tn. A mengatakan bersedia diberi obat, respon objektif Tn. A
tampak kooperatif, obat sudah masuk semua injeksi Asam traneksamat 500
mg, obat oral furosemid 40 mg, Diovan 80 mg, N.Asetil sistein 200 mg,
Codein 10 mg, Vitamin C 250 mg, Curcuma 20 mg, Bisoprolol 1,25 mg.
Pada jam 08.20 WIB memposisikan pasien semi fowler dengan respon
subjektif Tn. A mengatakan nyaman, respon objektif pasien tampak nyaman
dengan posisi semi fowler. Pada jam 08.35 WIB mengajarkan tehnik non
farmakologi pursed lips breathing exercise dengan respon subjektif Tn. A
mengatakan sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4) dan sesudah latihan
sesak sedang (skala 3). Objektif : pasien tampak nafas tanpa cuping hidung,
ada penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus,
pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, ada
perubahan skala Borg yaitu, sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4) dan
sesudah latihan sesak sedang (skala 3), dan ada perubahan frekuensi
pernafasan, sebelum latihan 26 kali per menit, setelah latihan 25 kali
permenit. Pada jam 08.40 WIB memantau frekuensi pernafasan pasien
dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas berkurang sudah tidak
seperti kemarin, tadi sudah bertemu dengan dokter R dan di ijinkan pulang
nanti siang tetapi latihan lepas selang oksigen dulu, respon objektif Tn. A
frekuensi pernafasan 25 kali per menit, sudah tidak memakai selang oksigen
sesuai advice dari dokter R jam 08.00 . Pada jam 09.45 WIB memantau batuk
66
efektif dengan respon subjektif Tn. A mengatakan lumayan nyaman dahak
bisa keluar, dahak lebih sedikit dari kemarin terasa lega plong, respon objektif
pasien tampak sudah bisa melakukan batuk efektif dengan keluarnya sputum
berwarna putih tidak kental kurang lebih 1/4 sendok makan dan sudah tidak
ada darah. Pada jam 09.50 WIB melakukan auskultasi bunyi nafas dan
mencatat adanya suara tambahan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan
sesak nafas berkurang, batuk jarang, dahak sangat sedikit dan didada terasa
plong, respon objektif Tn. A tampak batuk nya sudah jarang, suara paru
vesikuler pada dada kanan kiri dan sudah tidak terdengar suara tambahan
whezzing. Pada jam 09.55 WIB memposisikan pasien semi fowler dengan
respon subjektif Tn. A mengatakan nyaman, sesak nafas berkurang, respon
objektif pasien tampak nyaman dengan posisi semi fowler, frekuensi
pernafasan 25 kali per menit.
Pada jam 10.00 mengkaji tingkat kemapuan Tn. A dalam melakukan
aktivitas latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan bisa makan
minum secara mandiri dan mau mencoba untuk mandi sendiri sesuai perintah
dokter M tadi pagi, mandi tidak boleh pakai gayung karena berat diganti
pakai selang, respon objektif Tn. A tampak mandiri dalam makan minum,
mandi masih dijaga istrinya dan aktivitas yang lain masih dibantu oleh istri
atau anaknya. Pada jam 10.05 WIB memantau frekuensi pernafasan sebelum
dan sesudah melakukan aktivitas dengan respon subjektif Tn. A mengatakan
sesak nafas berkurang, respon objektif Tn. A tidak ada perubahan frekuensi
pernafasan sebelum dan setelah aktivitas frekuensi pernafasan 25 kali per
67
menit. Pada jam 10.10 WIB mengidentifikasi penyebab keletihan dengan
respon subjektif Tn. A mengatakan sesak muncul lagi kalau letih dan lemas
setelah beraktivitas, respon objektif Tn. A tampak sedang duduk tidak
beraktivitas hanya berbincang-bincang dengan anaknya.
Pada jam 10.15 memantau kebutuhan tidur pasien dengan respon
subjektif Tn. A mengatakan sudah bisa tidur nyenyak, ada penambahan jam
tidur dari tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam, menjadi 5-6 jam sehari dan
tidur siang 2 jam, respon objektifnya Tn. A tampak masih ada lingkar hitam
di area sekitar mata. Pada jam 10.20 memberikan lingkungan yang nyaman
(membatasi pengunjung, memposisikan pasien yang nyaman) dengan respon
subjektif Tn. A mengatakan masih nyaman dengan tidur posisi miring ke
kanan dan bed ditinggikan, respon objektif Tn. A tampak nyaman dan bersiap
untuk istirahat tidur. Pada jam 11.20 WIB memantau intake makanan pasien
dengan respon subjektif pasien mengatakan sudah nafsu makan, makan habis
1 porsi piring, minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih
dan teh, respon objektif pasien tampak kurus, turgor kulit baik, mukosa bibir
lembab, konjungtiva tidak anemis. Pada jam 12.10 WIB berkolaborasi dengan
dokter dalam pemberian obat Injeksi Ranitidine 50 mg, obat oral n. Asetil
sistein 200 mg, Vitamin C 250 mg, Curcuma 20 mg dengan respon subjektif
Tn. A mengatakan bersedia di beri obat, respon objektif obat sudah masuk
semua ranitidine 50 mg, N. Asetil sistein 200 mg, Vitamin C 250 mg,
Curcuma 20 mg. Pada jam 12.20 berkolaborasi dengan ahli gizi (memberikan
makan pada pasien) dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sudah makan
68
1 porsi piring habis, respon objektif pasien tampak nafsu makan sudah
bertambah dengan menghabiskan 1 porsi piring makanan dari rumah sakit.
Pada jam 12.30 mengkaji kebutuhan tidur pasien dengan respon
subjektif Tn. A mengatakan baru saja bangun tidur, sudah bisa tidur hampir 2
jam dan tidak terbangun karena sesak nafas, respon objektif Tn. A tampak
masih ada lingkar hitam di area sekitar mata. Jam 12.50 melakukan auskultasi
bunyi nafas dan mencatat adanya suara tambahan dengan respon subjektif Tn.
A mengatakan sesak nafas berkurang, batuk jarang, dahak sangat sedikit dan
didada terasa plong, respon objektif Tn. A tampak batuknya sudah jarang,
suara paru vesikuler pada dada kanan kiri dan sudah tidak terdengar suara
tambahan whezzing pada dada kiri. Pada jam 13.20 mengobservasi tanda-
tanda vital pasien dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas
sudah sangat berkurang dan diijinkan pulang oleh dokter. Respon objektif Tn.
A tampak senang sudah boleh pulang, tekanan darah 120/80 mmHg,
frekuensi pernapasan 25 kali per menit, frekuensi nadi 80 kali per menit, suhu
36,5°C.
Tindakan keperawatan yang dilakukan hari ketiga pada tanggal 14
Januari 2016 jam 10.00 WIB mengobservasi tanda-tanda vital pasien dengan
respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas sudah berkurang. Respon
objektif Tn. A tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi pernafasan 25 kali per
menit, frekuensi nadi 72 kali per menit, suhu 35°C. Pada jam 10.15
memberikan terapi non farmakologi pursed lip breathing exercise respon
subjektif Tn. A mengatakan sebelum latihan sesak nafas sedang (skala 3) dan
69
setelah latihan menjadi sesak nafas ringan (skala 2), respon obyektif Tn. A
tampak nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan
sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,
serta otot-otot abdominalis, ada perubahan skala Borg yaitu, sebelum latihan
skala Borg 3 (sesak sedang), dan setelah latihan skala Borg 2 (sesak nafas
ringan), ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum latihan 25 kali per
menit dan setelah latihan frekuensi pernapasan 24 kali per menit.
Pada jam 10.30 memantau cara batuk efektif respon Tn. A mengatakan
sudah bisa melakukan batuk efektif, batuk sangat jarang, dahak sangat sedikit
putih encer, respon objektif Tn. A tampak sudah bisa melakukan batuk
efektif, dahak keluar sangat sedikit ¼ sendok makan tidak ada darah, warna
putih, encer seperti air liur. Jam 10.45 WIB melakukan auskultasi bunyi
nafas dan catat adanya suara tambahan respon subjektif Tn. A mengatakan
merasa sudah lega, respon objektif suara vesikuler, tidak ada suara tambahan
whezzing. Jam 10.55 mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan
aktivitas latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan semua aktivitas
sudah bisa mandiri tetapi tetap di awasi oleh istri atau anaknya, respon
objektif Tn. A tampak beraktivitas mandiri yang ringan dan masih diawasi
istri dan anaknya. Jam 11.10 mengkaji kebutuhan tidur pasien dengan respon
subjektif Tn. A mengatakan sudah bisa tidur normal sehari 6-7 jam, tidur
siang 2 jam, baru saja bangun tidur 1 jam yang lalu nanti habis makan dan
minum obat siang tidur lagi, respon objektif Tn. A tampak masih ada lingkar
hitam di area sekitar mata.
70
F. Evaluasi
Setelah dilakukan perencanaan keperawatan dan tindakan keperawatan
hasil dari masalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi pada tanggal 12 Januari 2016 jam 21.00 WIB adalah Subjektif :
pasien mengatakan masih sesak nafas kadang berat (skala 4). Objektif :
pasien tampak nafas cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan
sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,
serta otot-otot abdominalis, belum ada perubahan frekuensi pernafasan
sebelum dan sesudah latihan yaitu 27 kali per menit, skala Borg sebelum dan
sesudah latihan juga belum ada perubahan yaitu sesak kadang berat (skala 4),
irama tidak teratur, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 85 kali per menit,
pernafasan 27 kali per menit, suhu 36,5°C. Analisa: masalah keperawatan
ketidakefektifan pola nafas belum teratasi. Planning: airway management
(3140): observasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi pernapasan dan
suhu) pasien, posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal posisi
semi fowler, ajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing exercise,
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih pada
tanggal 12 Januari 2016 jam 21.05 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan
sesak nafas saat batuk dan dahak bisa keluar. Objektif : pasien tampak bisa
melakukan batuk efektif dan dahak bisa keluar warna putih kekuningan,
kental, tidak ada darah, kurang lebih 1 sendok makan, suara tambahan
71
whezzing masih terdengar. Analisa: masalah keperawatan ketidakefektifan
bersihan jalan nafas teratasi sebagian, yaitu pasien dapat mendemonstrasikan
batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan sputum. Planning: airway
management (3140): pantau frekuensi pernafasan pasien, auskultasi suara
nafas dan catat adanya suara tambahan, pantau cara batuk efektif, kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian terapi obat.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan intoleransi aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
pada tanggal 12 Januari 2016 jam 21.10 WIB adalah Subjektif: pasien
mengatakan belum bisa beraktivitas mandiri pasti dibantu istrinya atau
anaknya karena setelah beraktivitas pasti sesak nafas. Objektif: pasien tampak
dalam beraktivitas selalu dibantu oleh istri atau anaknya, frekuensi pernafasan
27 kali per menit. Analisa: masalah keperawatan intoleransi aktivitas belum
teratasi. Planning: activity therapy (0224): kaji tingkat kemampuan pasien
untuk melakukan aktivitas dan latihan, pantau frekuensi pernafasan sebelum
dan sesudah melakukan aktivitas, bantu pasien identifikasi penyebab
keletihan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan, gangguan pola tidur
behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Pada tanggal 12
Januari 2016 jam 21.15 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan
mengatakan tidak puas tidurnya, sering terbangun karena sesak nafas,
sebelum sakit biasanya tidur 6-8 jam sehari, tidur siang 2 jam, selama sakit
tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam, pasien nyaman dengan posisi tidur
72
bersandar atau miring ke kanan. Objektif : pasien tampak letih, lingkar hitam
di area sekitar mata. Analisa : masalah belum teratasi. Planning: sleep
enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari, berikan
lingkungan yang nyaman (batasi pengunjung, posisikan yang nyaman),
jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat (Vitamin 250 mg/ 8 jam).
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan, ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. Pada
tanggal 12 Januari 2016 jam 21.15 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan
nafsu makan sudah bertambah, suka dengan makan makanan yang masih
hangat dan habis 1 porsi piring. Objektif: pasien tampak nafsu makan
meningkat, habis 1 porsi piring makanan dari rumah sakit, turgor kulit masih
kering, mukosa bibir kering, konjungtiva anemis, berat badan 46 kg tidak ada
penurunan. Analisa: masalah masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan teratasi sebagian, yaitu nafsu
makan meningkat, tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti. Planning
: Nutrition Management (1100) : kaji intake makanan, timbang berat badan
pasien, anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan dalam keadaan
hangat, kolaborasi dengan ahli gizi.
Evaluasi hasil dari masalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan hiperventilasi pada tanggal 13 Januari 2016 jam 14.00 WIB adalah
Subjektif : pasien mengatakan sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4)
dan sesudah latihan sesak sedang (skala 3). Objektif : pasien tampak nafas
73
tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan
sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,
serta otot-otot abdominalis, ada perubahan skala Borg yaitu, sebelum latihan
sesak kadang berat (skala 4) dan sesudah latihan sesak sedang (skala 3), ada
perubahan frekuensi pernafasan sebelum latihan 26 kali per menit dan setela
latihan 25 kali per menit, irama tidak teratur, tekanan darah 120/80 mmHg,
nadi 80 kali per menit, suhu 36,5°C. Analisa: masalah keperawatan
ketidakefektifan pola nafas teratasi sebagian, yaitu: tidak ada nafas cuping
hidung, penurunan frekuensi pernafasan dan penurunan skala Borg. Planning
: airway management (3140) : observasi tanda–tanda vital (tekanan darah,
nadi pernapasan dan suhu) pasien, posisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi misal posisi semi fowler, pantau pasien dalam melakukan pursed
lips breathing exercise, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi
obat.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih pada
tanggal 13 Januari 2016 jam 14.05 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan
sesak nafas berkurang, batuk jarang, dahak sangat sedikit dan didada terasa
plong, nanti siang dijinkan pulang tetapi latihan lepas selang oksigen dulu.
Objektif : pasien tampak tidak memakai selang oksigen, batuk nya sudah
jarang, suara paru vesikuler pada dada kanan kiri dan sudah tidak terdengar
suara tambahan whezzing, dahak bisa keluar warna putih, kental, tidak ada
darah, kurang lebih 1/4 sendok makan. Analisa: masalah keperawatan
74
ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi, yaitu pasien dapat
mendemonstrasikan batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan sputum,
sudah tidak terdengar suara tambahan whezzing. Planning: airway
management (3140): pantau frekuensi pernafasan pasien, auskultasi suara
nafas dan catat adanya suara tambahan, ajarkan cara batuk efektif, kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian terapi obat.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan intoleransi aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
pada tanggal 13 Januari 2016 jam 14.10 WIB adalah Subjektif : pasien
mengatakan bisa makan minum secara mandiri dan mau mencoba untuk
mandi sendiri sesuai perintah dokter M tadi pagi, mandi tidak boleh pakai
gayung karena berat diganti pakai selang. Objektif : pasien tampak mandiri
dalam makan minum, mandi masih dijaga istrinya dan aktivitas yang lain
masih dibantu oleh istri atau, frekuensi pernafasan 25 kali per menit. Analisa :
masalah keperawatan intoleransi aktivitas teratasi sebagian, yaitue :
peningkatan aktivitas mandiri (makan minum). Planning : activity therapy
(0224) : kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan
latihan, pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan
aktivitas, bantu pasien identifikasi penyebab keletihan, kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian terapi obat
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan, gangguan pola tidur
behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Pada tanggal 13
Januari 2016 jam 14.15 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan sudah bisa
75
tidur nyenyak, ada penambahan jam tidur dari tidur 3-4 jam sehari, tidur siang
1 jam, menjadi 5-6 jam sehari dan tidur siang 2 jam. Objektif : pasien tampak
letih, lingkar hitam di area sekitar mata. Analisa: masalah keperawatan
gangguan tidur teratasi sebagian, yaitu ada peningkatan jam tidur. Planning :
sleep enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari, berikan
lingkungan yang nyaman (posisikan yang nyaman), jelaskan pentingnya tidur
yang adekuat, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan, ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. Pada
tanggal 13 Januari 2016 jam 14.20 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan
nafsu makan sudah bertambah, suka dengan makan makanan yang masih
hangat dan habis 1 porsi piring. Objektif: pasien tampak nafsu makan
meningkat, habis 1 porsi piring makanan dari rumah sakit, turgor kulit baik,
mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak anemis, berat badan 46 kg tidak ada
penurunan. Analisa: masalah masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan teratasi, yaitu nafsu makan
meningkat, tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti, turgor kulit baik,
mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak anemis. Planning : Nutrition
Management (1100) : pantau intake makanan, pantau berat badan pasien,
anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dan dalam keadaan hangat.
Evaluasi hasil dari masalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan hiperventilasi pada tanggal 14 Januari 2016 jam 12.00 WIB adalah
Subjektif : mengatakan sesak nafas sudah berkurang, sebelum latihan sesak
76
nafas sedang (skala 3) dan setelah latihan menjadi sesak nafas ringan (skala
2), obyektif Tn. A tampak nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot
bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan
serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, ada perubahan skala Borg
yaitu, sebelum latihan skala Borg 3 (sesak sedang), dan setelah latihan skala
Borg 2 (sesak nafas ringan), ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum
latihan 25 kali per menit dan setelah latihan frekuensi pernapasan 24 kali per
menit. tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi nadi 72 kali per menit, suhu
35°C Analisa: masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas teratasi yaitu:
tidak ada nafas cuping hidung, penurunan frekuensi pernafasan dan
penurunan skala Borg. Planning : airway management (3140) : observasi
tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi pernapasan dan suhu) pasien,
posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler,
ajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing exercise, kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian terapi obat.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih pada
tanggal 14 Januari 2016 jam 12.05 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan
sudah bisa melakukan batuk efektif, batuk sangat jarang, dahak sangat sedikit
putih encer, Objektif : pasien tampak sudah bisa melakukan batuk efektif,
dahak keluar sangat sedikit ¼ sendok makan tidak ada warna putih, encer
seperti air liur, suara vesikuler, tidak ada suara tambahan whezzing. Analisa:
masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi, yaitu
77
pasien dapat mendemonstrasikan batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan
sputum, sudah tidak terdengar suara tambahan whezzing. Planning: airway
management (3140): pantau frekuensi pernafasan pasien, auskultasi suara
nafas dan catat adanya suara tambahan, ajarkan cara batuk efektif, kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian terapi obat.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan intoleransi aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
pada tanggal 14 Januari 2016 jam 12.10 WIB adalah Subjektif : pasien
mengatakan semua aktivitas sudah bisa mandiri tetapi tetap diawasi oleh istri
atau anaknya. Objektif : pasien tampak beraktivitas mandiri yang ringan dan
masih diawasi istri dan anaknya, frekuensi pernafasan 24 kali per menit.
Analisa : masalah keperawatan intoleransi aktivitas teratasi sebagian, yaitu :
peningkatan aktivitas mandiri (makan minum). Planning : activity therapy
(0224) : kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan
latihan, pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan
aktivitas, bantu pasien identifikasi penyebab keletihan, kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian terapi obat.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan, gangguan pola tidur
behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Pada tanggal 14
Januari 2016 jam 12.15 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan sudah bisa
tidur normal sehari 6-7 jam, tidur siang 2 jam, baru saja bangun tidur 1 jam
yang lalu nanti habis makan dan minum obat siang tidur lagi. Objektif :
pasien tampak lingkar hitam di area sekitar mata. Analisa: masalah
78
keperawatan gangguan tidur teratasi sebagian, yaitu ada peningkatan jam
tidur. Planning : sleep enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien
setiap hari, berikan lingkungan yang nyaman (posisikan yang nyaman),
jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat.
79
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas asuhan keperawatan pada Tn. A
dengan PPOK di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pembahasan
pada bab ini terutama membahas adanya kesesuaian maupun kesenjangan antara
teori dengan kasus. Terkait dengan hal tersebut pada bab ini penulis akan
melakukan pembahasan tentang pemberian pursed lips breathing exercise
terhadap penurunan tingkat sesak napas pada asuhan keperawatan Tn. A dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Ruang Anggrek 1 RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi,
implementasi dan evaluasi keperawatan.
A. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan informasi atau dasar tentang
klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah kebutuhan
kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan.
Tujuan dari pengkajian adalah untuk memperoleh informasi tentang
kesehatan klien, menentukan masalah keperawatan klien, menilai keadaan
kesehatan klien, membuat keputusan yang tepat dalam menentukan langkah-
langkah berikutnya (Dermawan, 2012). Dalam pengkajian terhadap Tn. A
penulis menggunakan metode autoanamnesa dan alloanamnesa, observasi
serta catatan rekam medis. Pengkajian didapatkan data, pasien bernama Tn.
A, nomor rekam medis 01325720 dengan diagnosa medis penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK). Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu
80
kondisi kronis yang berkaitan dengan sekelompok penyakit : emfisema, asma,
bronchitis kronis, dan bronkietasis (Deborah, 2008).
Pengkajian Tn. A pada tanggal 12 Januari 2016 dengan keluhan utama
sesak nafas. Sesak nafas merupakan suatu manifestasi gangguan interprestasi
keseimbangan otak diantara banyak aferen dan eferen, yang mengendalikan
pengiriman oksigen ke jaringan (Ringel, 2012). Sesak nafas pada pasien
PPOK terjadi karena adanya mekanisme kebutuhan ventilasi yang meningkat
akibat peningkatan ruang rugi fisiologi, hipoksia, hiperkapnia, onset awal
asidosis laktat, penekanan pergerakan saluran nafas, hiperinflasi, kelemahan
otot nafas dan kelemahan otot ekstremitas oleh karena efek sistemik, nutrisi
yang buruk (Ardiyansyah, 2012).
Riwayat penyakit sekarang Tn. A (62 tahun) mengatakan keluhan
batuk darah bercampur dahak dan buih sebanyak 1 sendok makan. Batuk
sudah terjadi sejak 2 tahun yang lalu tetapi tidak berdahak, 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit pasien mengeluhkan batuk berdahak dengan dahak putih
encer. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas yang sudah terjadi ± 2 tahun dan
memburuk 8 bulan ini, sesak nafas tidak dipengaruhi oleh debu atau cuaca.
Hal ini sesuai dengan teori, dimana tanda dan gejala yang muncul pada pasien
PPOK yaitu, sesak napas yang semakin berat, batuk, mengi dan produksi
sputum, biasanya terjadi pada pasien berusia lebih dari 45 tahun (Gleadle,
2007).
Ada beberapa penyebab dari penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK),
yaitu merokok, pekerjaan, polusi udara, usia (Ikawati, 2011). Pada Tn. A
81
memiliki riwayat sebagai perokok berat sejak kelas 2 Sekolah Dasar atau ± 55
tahun karena meniru bapak yang merokok dan lingkungannya dulu yang
banyak perokok, pasien merasa sesak nafas ± 2 tahun yang lalu dan batuk
dirasakan sejak 2 tahun yang lalu, sejak itu pasien berhenti merokok. Asap
rokok menyebabkan inflamasi epitel bronkus dan penghancuran radikal
oksigen pada antielastase yang pada gilirannya, megakibatkan kerusakan
alveolus dan bronkus. Kerusakan pada dinding bronkus mengakibatkan
obstruksi jalan nafas karena kehilangan elastisitas jalan nafas, peningkatan
produksi mukus atau karena keduanya. Obstruksi ekspirasi dengan
terperangkapnya udara, meningkatkan beban kerja pernafasan, dan ventilasi
yang tidak merata mengakibatkan penurunan volume pernafasan per menit.
Pasien dengan obstruksi jalan nafas akan datang dengan keluhan dispnea,
pemanjangan ekspirasi dan mengi atau whezzing (Brasher, 2008). Penulis
mendapatkan hasil tidak ada kesenjangan antara teori dengan kasus Tn. W,
yaitu penyebab dari PPOK salah satunya merokok.
Pada pola kesehatan fungsional Gordon didapatkan data pola aktivitas
dan latihan didapatkan data sebelum sakit Tn. A dapat melakukan aktivitas
secara mandiri namun selama sakit aktivitas Tn. A dibantu oleh keluarganya.
Salah satu efek sistemik pada PPOK adalah kelemahan otot yang
menyebabkan kehilangan massa otot berjalan lambat yang menunjukan
terjadi perubahan struktur dan fungsi otot skeletal pada penderita PPOK.
Dengan bertambah parahnya penyakit, penderita PPOK kehilangan banyak
otot, khususnya otot paha dan lengan atas. Selanjutnya penderita kehilangan
82
kekuatan latihan dan mengeluh lemah, sesak nafas dan berkurang aktifitas.
Tidak mengherankan bila kelemahan otot skeletal berpengaruh pada
menurunnya status kesehatan penderita PPOK (Sugiono, 2010). Penulis
menyimpulkan tidak ada kesenjangan teori dengan kasus Tn. A yaitu
penyebab kelemahan otot pada pasien PPOK.
Pada pola nutrisi dan metabolik, antropometri berat badan pasien 46
kg, tinggi badan 160 cm, indeks masa tubuh (IMT) 17,96 kg/m2 (tidak normal
atau Underweight), biochemical dari data hasil pemeriksaan laboratorium
pada tanggal 11 Januari 2016 hemoglobin 12,4 g/dl (Tidak normal atau
kurang), hematokrit 38% (Normal), albumin 3,5 U/L (Normal), clinical Sign
pasien tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva
anemis, dietary data pasien mengatakan makan 3 kali sehari dengan diit
TKTP, jenis nasi, sayur, lauk, 1/2 porsi piring habis, minum kurang lebih 8
gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, dengan keluhan nafsu makan
menurun karena sesak nafas dan batuk, ada riwayat mual.
Pada pasien didapatkan data hemoglobin menurun dibawah normal
yaitu 12,4 g/dl nilai normalnya 13,5-17,5 g/dl, konjungtiva anemis, mukosa
bibir kering dan turgor kulit kering. Berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium, diketahui kadar hemoglobin Tn. A mengalami penurunan.
Dalam teori hemoglobin berfungsi sebagai penyimpan dan pengangkut
oksigen serta nutrisi. Proses penghantaran oksigen ke organ atau jaringan
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor hemodinamik berupa cadiac output
serta distribusinya, kemampuan pengangkutan oksigen dalam darah yaitu
83
konsentrasi hemoglobin dan oxygen extration yaitu perbedaan saturasi
oksigen antara darah arteri dan vena, oleh karena itu kapasitas peghantar
oksigen akan menurun jika kadar hemoglobin kurang dari 7 g/dl (Paniselvan,
2011). Menurut Irianto (2014) gejala-gejala dari PPOK sering timbul sesak
napas waktu bekerja dan bertambah parah secara perlahan. Akhirnya sesak
napas akan dirasakan saat melakukan kagiatan rutin sehari-hari, seperti
dikamar mandi, mencuci baju, berpakaian dan menyiapkan makanan.
Sepertiga penderita mengalami penurunan berat badan, karena setelah selesai
makan mereka sering mengalami sesak yang berat sehingga penderita jadi
malas tidak nafsu makan. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah
didapatkan, penulis menyimpulkan tidak ada kesenjangan antara teori dengan
kasus Tn. A.
Hasil dari pemeriksaan fisik paru yang telah dilakukan penulis pada
Tn. A didapatkan bentuk dada barel chest, simetris kanan kiri, nafas pendek,
produksi sputum putih kekuningan sudah tidak ada darah, terdapat
penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus,
pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis. Saat
dilakukan palpasi vocal fremitus kanan kiri sama. Saat dilakukan perkusi
sonor, saat dilakukan auskultasi vesikuler pada dada kanan dan terdengar
suara tambahan whezzing pada dada kiri. Pada pemeriksaan fisik paru pada
pasien PPOK didalam teori meliputi inspeksi terlihat adanya peningkatan
usaha dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu pernapasan,
bentuk dada barrel chest, bernafas dengan bibir yang dirapatkan, pada
84
palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun, perkusi
didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma mendatar
atau menurun, Pada auskultasi, sering didapatkan bunyi suara napas ronkhi
dan whezzing sesuai tingkat keparahan obstruktif pada bronkhiolus (Muttaqin,
2014). Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik paru dengan teori tidak ada
kesenjangan teori dengan kasus Tn. A.
Pada Tn. A dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan pada tanggal 07 Januari 2016 : Hemoglobin 12,4
g/dl (13,5-17,5 g/dl), Hematokrit 38 % (33-45%), Leukosit 5,6 ribu/uL (4,5-
11 ribu/uL), Trombosit 241 ribu/uL (150-450 ribu/uL), Monosit 3,83 Juta/uL
(4,50-5,90 Juta/uL), SGOT 41 U/L (<35 U/L), SGPT 22 U/L (<45 U/L),
Albumin 3,5 U/L (3,2-4,6 U/L), pada pemeriksaan sputum hasil mikroskopis
direk pengecatan gram ditemukan kuman gram positif Coccus, leukosit 3-8/
LPB, 0-2/ LPB, pada pengecatan BTA dari sputum sewaktu hasil negatif,
pagi hasil negatif, sewaktu negatif, dan pada pemeriksaan foto thorax
klinisnya hemoptisis, dengan foto thorax PA/Lat, Cor membesar dengan CTR
71 %, Pulmo tak tampak infiltrat dikedua suprahiler kanan kiri. Sinus
Costphrenicus kanan kiri antero posterior tajam, Hemidiaphragma kanan kiri
normal, Trakea ditengah, sistema tulang baik, kesimpulannya Cardiomegaly,
tak tampak jelas gambaran TB paru.
Pada pasien PPOK perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu,
pengukuran fungsi paru, analisa gas darah, pemeriksaan laboratorium
(hemoglobin, hematokrit, jumlah sel darah merah, eosinofil, pulse oxymetri),
85
pemeriksaan sputum, pemeriksaan radiologi thoraks foto (Muttaqin, 2008).
Berdasarkan teori diatas penulis menyimpulkan adanya kesenjangan teori
dengan kasus Tn. A karena tidak dilakukan pemeriksaan uji fungsi paru.
Selama di ruang anggrek I pada tanggal 12-14 Januari 2016 Tn. A
mendapatkan terapi parenteral infus Nacl 0,9% 20 tpm. Terapi intravena
injeksi Asam traneksamat 500 mg/ 8 jam merupakan golongan obat
hemostatik, fungsinya untuk mengatasi pendarahan abnormal dan gejala
penyakit lainnya seperti hemoptisis (ISO, 2013). Injeksi Ranitidine 50 mg/
12 jam merupakan golongan antasida, fungsinya mengobati tukak lambung,
duodenum, dan mengurangi refluks esofagus (ISO, 2013). Injeksi Ceftriaxon
2 gr/ 24 jam yang merupakan golongan antimikroba atau antibakteri,
fungsinya mengobati infeksi saluran pernafasan bawah (ISO, 2013). Pasien
juga mendapat terapi peroral Furosemid 40 mg x 1 (pagi) termasuk dalam
golongan obat diuretik, fungsinya mengobati udema karena gangguan
jantung, ginjal dan melancarkan pengeluaran urine (ISO, 2013). Diovan 80
mg x 1 termasuk golongan antihipertensi, fungsinya menurunkan tekanan
darah tinggi(ISO, 2013). Bisoprolol 1,25 mg x 1 (pagi) merupakan golongan
antihipertensi, fungsinya untuk pengobatabn hipertensi. N. Asetil sistein 200
mg x 3 golongan obat untuk saluran pernafasan, fungsinya untuk
mengencerkan dahak(ISO, 2013). Codein 100 mg x 3 golongan analgesik,
fungsinya untuk mengobati batuk (ISO, 2013). Vitamin C 250 mg x 3
golongan vitamin dan mineral, fungsinya untuk pencegahan dan mengatasi
kekurangan vitamin C, memperkuat daya tahan tubuh (ISO, 2013). Curcuma
86
20 mg x 2 golongan obat saluran cerna, fungsinya menambah nafsu makan,
membantu pengobatan gangguan fungsi hati dan memelihara kesehatan(ISO,
2013).
B. Perumusan Masalah
Diagnosa keperawatan yaitu pernyataan yang menggambarkan respon
manusia (keadaan sehat atau perubahan pola interaksi aktual atau potensial)
dari individu atau kelompok tempat perawat secara legal untuk
mengidentifikasi dan perawat dapat memberikan intervensi secara pasti untuk
menjaga status kesehatan atau untuk mengurangi, meyingkirkan, atau
mencegah perubahan (Rohmah & Walid, 2012).
Dari data pengkajian yang sudah didapat penulis, tidak semua
diagnosa yang ada dalam teori muncul pada Tn. A. Diagnosa yang tidak
muncul adalah gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya
suplai oksigen dengan alasan karena pada pengkajian batasan karakteristik
gangguan pertukaran gas belum terjadi pada Tn. A tidak didapat data klien
kebingungan, klien mengalami sakit kepala saat bangun, gangguan
penglihatan, gelisah, klien juga dalam keadaan sadar. Sedangkan pengertian
dari gangguan pertukaran gas adalah kelebihan atau kekurangan pada
oksigenasi dan atau eliminasi pada membran alveolar-kapiler (Herdman,
2010).
Diagnosa pertama yaitu ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan hiperventilasi. Ketidakefektifan bersihan pola nafas adalah inspirasi
atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi yang adekuat (Nurarif, 2013).
87
Hiperventilasi merupakan peningkatan jumlah udara yang masuk ke dalam
paru-paru karena kecepatan ventilasi melebihi kebutuhan metabolik untuk
pembuangan karbondioksida yang ditandai dengan peningkatan denyut nadi,
nafas pendek, dada nyeri dan penurunan konsentrasi karbodioksida (Jamilah,
2013).
Pada Tn. A penegakkan diagnosa ini dilakukan dengan data subjektif
pasien mengatakan sesak nafas, sesak nafas dirasakan kurang lebih sejak 2
tahun yang lalu, sedangkan data objektifnya pasien tampak bernafas dengan
cuping hidung, menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus,
scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot
abdominalis, pasien terpasang O2 nasal kanul 2 liter per menit, tekanan darah
120/80 mmHg, frekuensi pernapasan 27 kali per menit, irama tidak teratur,
nafas dangkal, nadi frekuensi 85 kali per menit, suhu tubuh 36,5 °C.
Berdasarkan (Herdman, 2011), data pada Tn. A sesuai dengan batasan
karakteristik ketidakefektifan pola nafas perubahan kadalaman pernafasan,
perubahan ekskursi dada, melakukan posisi tiga titik bradipnea, penurunan
tekanan ekspirasi, penurunan tekanan inspirasi, penurunan ventilasi semenit,
penurunan kapasitas vital paru, dispnea, peningkatan diameter anterior
posterior, pernapasan cuping hidung, ortopnea, fase ekspirasi memanjang,
pernafasan bibir mencucu, takipnea, penggunaan otot aksesorius untuk
bernafas. Maka penulis merumuskan masalah keperawatan yaitu
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi. Berdasarkan
pegkajian pada teori kasus Tn. A disimpulkan adanya kesesuaian antara teori
88
dengan tanda dan gejala pada Tn. A, jadi antara diagnosis penulis dan teori
tidak ada kesenjangan.
Diagnosa kedua ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih. Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas adalah ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau
obstruksi dari saluran nafas untuk mempertahankan bersihan jalan nafas
(Nurarif, 2013). Mukus dalam jumlah berlebih selain karena infeksi, keadaan
tertentu yang bersifat kongenital atau defisiensi alfa-anti-protease inhibitor
akan menyebabkan bronkus terus menerus menghasilkan sekret yang
berlebihan (Danusantoso, 2011).
Pada Tn. A ditemukan data fokus yaitu data subjektif, pasien
mengatakan saat batuk akan muncul sesak nafas dan mengeluarkan dahak,
batuk sudah dirasakan sejak 2 tahun yang lalu namun tetapi tidak berdahak,
sedangkan data objektifnya ditandai dengan terdapat suara tambahan
whezzing, frekuensi pernapasan 28 kali per menit, irama tidak teratur,
kesulitan bicara, produksi sputum berlebih warna putih kekuningan dan
kental tidak ada darah. Data pada Tn. A sesuai dengan batasan karakteristik
yang ada pada masalah keperawatan ini yaitu, tidak ada batuk, ada suara
nafas tambahan (ronkhi, whezzing), perubahan frekuensi nafas, perubahan
irama nafas, sianosis, kesulitan bicara karena batuk produktif, penurunan
bunyi nafas, ortopnea, gelisah, dan produksi sputum (Herdman, 2011). Maka
penulis merumuskan masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan
nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih.
89
Berdasarkan pegkajian pada teori kasus Tn. A disimpulkan adanya kesesuaian
antara teori dengan tanda dan gejala pada Tn. A, jadi antara diagnosis penulis
dan teori tidak ada kesenjangan.
Untuk menegakkan diagnosa yang ketiga yaitu intoleransi aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen. Intoleransi aktivitas
adalah ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk melanjutkan
atau menyelesaiakan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang
ingin dilakukan (Nurarif, 2013). Ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen menyebabkan intoleransi aktivitas karean dengan pasien gagal
jantung akan cepat merasa lelah dan hal ini terjadi akibat curah jantung yang
berkurang yang dapat menghambat pembuangan sisa hasil metabolisme,
perfusi yang kurang pada otot-otot rangka yang menyebabkan kelemahan dan
keletihan (Muttaqin, 2013).
Pada Tn. A ditemukan data fokus yaitu data subjektif, pasien
mengatakan sesak nafas, mudah lelah dan lemas setelah melakukan aktivitas,
data objektif pasien tampak letih dan terengah-engah setelah beraktivitas,
frekuensi pernapasan 27 kali per menit, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
frekuensi 85 kali per menit, dari data aktivitas latihan antara lain, seperti
makan minum, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah dan
ambulasi atau ROM harus dibantu orang lain ( skor penilaian 2). Maka
penulis merumuskan masalah keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Dari data
yang didapatkan sesuai dengan batasan karateristik dari intoleransi aktivitas
90
menyatakan merasa lemah, merasakan letih, dispnea setelah beraktivitas,
ketidaknyamanan setelah beraktifitas (Nurarif, 2013).
Diagnosa keperawatan yang keempat adalah gangguan pola tidur
behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan. Gangguan pola
tidur merupakan gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur (Nurarif, 2013).
Batasan karakteristik gangguan pola tidur yaitu perubahan pola tidur
abnormal, keluhan verbal kurang istirahat dan kurang puas saat tidur,
melaporkan sering terjaga (Herdman, 2011).
Dari data pengkajian yang didapatkan data subjektif Tn. A
mengatakan pasien mengatakan tidak puas tidurnya, sering terbangun karena
sesak nafas, sebelum sakit biasanya tidur 6-8 jam sehari dari jam 21.00-05.00,
tidur siang 2 jam, kualitas tidur nyenyak dan tidak ada keluhan. Selama sakit
pasien mengatakan tidur 4-5 jam sehari, dari jam 22.00-03.00, tidur siang 1
jam, pasien nyaman dengan posisi tidur bersandar atau miring ke kanan,
sedangkan data objektifnya pasien tampak letih, lingkar hitam di area sekitar
mata. Berdasarkan pegkajian pada teori kasus Tn. A disimpulkan adanya
kesesuaian antara teori dengan tanda dan gejala pada Tn. A, jadi antara
diagnosis penulis dan teori tidak ada kesenjangan.
Diagnosa keperawatan yang kelima adalah ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis.
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh merupakan kondisi
dimana asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
Batasan karateristik dari ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
91
tubuh, yaitu penurunan berat badan, tidak nafsu makan, turgor kulit kering,
membran mukosa pucat, tonus otot menurun, cepat kenyang setelah makan
(Nurarif, 2013).
Untuk mengkaji status nutrisi pasien, dapat dilakukan dengan
pengkajian berdasarkan ABCD yaitu A (Anthropometric) yaitu mengkaji
status nutrisi dan ketersediaan energi otot, yang terdiri dari tinggi badan, berat
badan, lingkar lingan, dan tebal lipatan tubuh. B (Biochemical) yaitu
mengkaji status nutrisi yang ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium,
terdiri dari hemoglobin, hematokrit, dan albumin. C (Clinical sign of
nutritional status) yaitu dengan memperhatikan tanda-tanda abnormal secara
fisiologisnya seperti melihat rambut, kulit, otot, mata, aktivitas dan neurologi.
D (Dietary history) yaitu mengkaji riwayat pola makan, masalah diet dari
pasien meliputi pengetahuan tentang nutrisi, kebiasaan makan, masalah diet,
dan riwayat kesehatan (Asmadi, 2008).
Dari data pengkajian didapatkan data subjektif, pasien mengatakan
nafsu makan menurun karena sesak nafas, batuk dan dulu ada mual. Data
objektif Antropometri berat badan pasien 46 kg, tinggi badan 160 cm, indeks
masa tubuh (IMT) Berat badan (Kg)/Tinggi badan (m2), 46 kg/(2,56 m
2)
hasilnya 17,96 kg/m2 (tidak normal atau Underweight), Biochemical dari data
hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 11 Januari 2016 hemoglobin
12,4 g/dl (Tidak normal atau kurang), hematokrit 38% (Normal), albumin 3,5
U/L (Normal), Clinical Sign pasien tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa
bibir kering, konjungtiva anemis, Dietary pasien makan 3 kali sehari dengan
92
diit TKTP, jenis nasi, sayur, lauk, 1/2 porsi piring habis, minum kurang lebih
8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh. Berdasarkan pegkajian
pada teori kasus Tn. A disimpulkan adanya kesesuaian antara teori dengan
tanda dan gejala pada Tn. A, jadi antara diagnosis penulis dan teori tidak ada
kesenjangan.
Untuk memprioritaskan diagnosa keperawatan pada Tn. A penulis
menggunakan prioritas Teori Hierarki Maslow yaitu terdapat lima kebutuhan
dasar manusia yang harus terpenuhi, yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan
rasa aman dan keselamatan, kebutuhan rasa cinta dan kasih sayang,
kebutuhan harga diri, serta kebutuhan aktualisasi diri (Asmadi, 2008).
Masalah keperawatan gangguan oksigenasi yang termasuk dalam kebutuhan
fisiologis menjadi prioritas utama yang dipilih penulis dari beberapa masalah
yang muncul pada pasien. Sehingga pada Tn. A diagnosa utama adalah
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, alasan penulis
karena kebutuhan oksigenasi berperan penting dalam proses metabolisme sel,
kebutuhan oksigen harus terpenuhi apabila kebutuhan oksigen dalam tubuh
berkurang maka akan menimbulkan dampak yang bermakna bagi tubuh salah
satunya kematian. Masalah kebutuhan oksigenasi merupakan masalah utama
dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Mubarok, 2007).
C. Intervensi
Perencanaan atau Intervensi keperawatan adalah pengembangan
strategi desain untuk mencegah, mengurangi, dan mengatasi masalah-masalah
yang telah diidentifikasi dalam diagnosis keperawatan. Desain perencanaan
93
menggambarkan sejauh mana perawat mampu menetapkan cara
menyelesaikan masalah dengan efektif dan efisien (Rohmah & Walid, 2012).
Pedoman penuisan kriteria hasil berdasarkan SMART (Spesific, Measurable,
Achieveble, Reasonable, dan Time). Spesific adalah berfokus pada klien,
measurable dapat diukur, dilihat, diraba, dirasakn dan dibau. Achieveble
adalah tujuan yang harus dicapai, sedangkan reasonable merupakan tujuan
yang harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Time adalah batasan
pencapaian dalam rentang waktu tertentu, harus jelas batasan waktunya
(Dermawan, 2012).
Pada diagnosa pertama, penulis mencantumkan diagnosa keperawatan
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, dengan tujuan
dalam waktu 3 kali 24 jam setelah diberikan intervensi diharapkan sesak
nafas berkurang atau hilang dengan kriteris hasil berdasarkan NOC (Nursing
Outcomes Classification) : pasien menunjukan jalan nafas yang paten (irama
nafas teratur, frekuensi pernafasan dalam rentang normal), tidak ada
pernafasan cuping hidung, tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan
sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,
serta otot-otot abdominalis, dan tanda-tanda vital dalam rentang normal
(tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu) (Nurarif, 2013).
Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis
menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervention
Classification) : airway management (3140) : observasi tanda–tanda vital
(tekanan darah, nadi pernapasan dan suhu) pasien dengan rasional untuk
94
mengetahui tanda-tanda vital pasien dalam rentang normal atau tidak,
posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler
dengan rasional untuk membantu pengembangan rongga dada secara
maksimal, ajarkan tehnik non farmakologi pursed lips breathing exercise
dengan rasional menurunkan tingkat sesak nafas, kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian terapi obat, dengan rasional memberikan terapi
farmakologi.
Menurut Smeltzer (2008) bahwa tehnik pursed lips breathing exercise
dapat dijadikan salah satu intervensi keperawatan mandiri dengan tujuan
untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi
kerja pernapasan, meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan
menghilangkan ansietas dan mencegah pola aktivitas otot pernapasan yang
tidak berguna, melambatkan frekuensi pernapasan, mengurangi uadara yang
terperangkap, serta mengurangi kerja bernafas.
Diagnosa keperawatan kedua ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungann dengan produksi mukus berlebih, dengan tujuan dalam waktu
3 kali 24 jam setelah diberikan intervensi diharapkan produksi sputum
berkurang bahkan hilang dengan kriteria hasil berdasarkan NOC (Nursing
Outcomes Classification) : suara nafas tambahan paru seperti whezzing
hilang, menunjukan batuk efektif, produksi sputum menurun, mempunyai
jalan nafas yang paten (Nurarif, 2013).
Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis
menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervention
95
Classification) : airway management (3140): pantau frekuensi pernafasan
pasien, dengan rasional untuk mengetahui frekuensi pernafasan pasien sudah
dalam rentang normal atau belum, auskultasi suara nafas dan catat adanya
suara tambahan, dengan rasional untuk mengetahui adanya suara nafas
tambahan, ajarkan cara batuk efektif, dengan rasional untuk mempermudah
mengeluarkan sputum, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi
obat, dengan rasional untuk memberikan pengobatan farmakologis (Nurarif,
2013).
Diagnosa ketiga intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan suplai oksigen, penulis membuat tujuan yaitu setelah
dilakukan intervensi selama 3 kali 24 jam diharapkan pasien menunjukan
peningkatan toleransi terhadap aktivitas dengan kriteria hasil berdasarkan
NOC (Nursing Outcomes Classification) : menurunnya keluhan tentang sesak
nafas setelah melakukan aktivitas, mampu melakukan ADL secara mandiri,
menyeimbangan aktivitas dan istirahat (Nurarif, 2013).
Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis
menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervention
Classification) : activity therapy (0224) : kaji tingkat kemampuan pasien
untuk melakukan aktivitas dan latihan dengan rasional untuk mengetahui
kemampuan pasien dalam beraktivitas, pantau frekuensi pernafasan sebelum
dan sesudah melakukan aktivitas dengan rasional dapat mengetahui ada
tidaknya perubahan status pernafasan sebelum dan sesudah beraktivitas, bantu
pasien identifikasi penyebab keletihan dengan rasional untuk mengetahui
96
penyebab keletihan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat
dengan rasional untuk memberikan terapi farmakologi (Nurarif, 2013).
Diagnosa keempat gangguan pola tidur behubungan dengan
ketidaknyamanan fisik dan lingkungan, penulis membuat tujuan yaitu setelah
dilakukan intervensi selama 3 kali 24 jam diharapkan kebutuhan dan kualitas
tidur pasien terpenuhi dengan baik, dengan kriteria hasil jumlah jam tidur
pasien dalam batas normal 6-8 jam per hari, kualitas tidur pasien baik atau
nyenyak, lingkar hitam diarea sekitar mata berkurang atau hilang, pasien
tampak segar tidak letih setelah bangun tidur (NANDA, 2013).
Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut kemudian penulis
menyusun intervensi keperawatan berdasarkan NIC (Nursing Intervention
Classification) : sleep enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien
setiap hari, dengan rasional untuk mengetahui jam tidur pasien dalam rentang
normal atau tidak, berikan lingkungan yang nyaman (batasi pengunjung,
posisikan yang nyaman) dengan rasional untuk menunjang tidur pasien agar
nyenyak, jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, dengan rasional agar pasien
tahu akan pentingnya tidur yang adekuat untuk kesehatan, kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian obat, dengan rasional untuk memberikan terapi
farmakologis (Nurarif, 2013).
D. Implementasi
Implementasi adalah realisasi tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan
97
data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah
pelaksanaan tindakan, serta melinilai data yang baru (Rohmah & Walid,
2012).
Penulis melakukan implementasi berdasarkan intervensi yang telah
disusun sedemikian rupa dengan memperhatikan aspek tujuan dan kriteria
hasil dalam rentang normal yang diinginkan. Diagnosa keperawatan yang
pertama adalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi. Implementasi yang dilakukan selama 3 hari berturut-turut
antara lain : mengobservasi tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi pernapasan
dan suhu) pasien, memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi misal
posisi semi fowler, mengajarkan tehnik non farmakologi pursed lips
breathing exercise, berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat
(Nurarif, 2013).
Pada diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi, penulis menekankan pada pemberian pursed lips breathing
exercise untuk menurunkan tingkat sesak nafas pada penderita Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK). Dari pemberian pursed lips breathing exercise
selama 3 hari berturut-turut dan dilakukan 1 kali dalam sehari dengan 5
pengulangan didapatkan hasil sebagai berikut :
Pada hari pertama tanggal 12 Januari 2016 jam 15.10 WIB pemberian
pursed lips breathing exercise, sebelum latihan respon subjektif Tn. A
mengatakan sesak kadang berat skala Borg 4, respon objektif pasien tampak
bernafas menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus,
98
scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot
abdominalis, frekuensi pernafasan 27 kali per menit. Setelah diberikan latihan
respon subjektif Tn. A mengatakan sesak kadang berat skala Borg 4, respon
objektif pasien tampak bernafas dengan cuping hidung dan menggunakan otot
bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan
serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, frekuensi pernafasan 27 kali
permenit. Pada hari pertama pemberian pursed lips breathing exercise belum
ada perubahan frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah latihan yaitu 27 kali
per menit, skala Borg sebelum dan sesudah latihan juga belum ada perubahan
yaitu sesak kadang berat (skala 4), serta masih bernafas dengan cuping
hidung dan penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus,
scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot
abdominalis.
Pada hari kedua tanggal 13 Januari 2016 jam 08.35 WIB pemberian
pursed lips breathing exercise, sebelum latihan respon subjektif Tn. A
mengatakan sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4). Objektif : pasien
tampak nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan
sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,
serta otot-otot abdominalis, frekuensi pernafasan 26 kali per menit. Setelah
latihan respon subjektif Tn. A mengatakan sebelum latihan sesak sedang
(skala 3). Objektif : pasien tampak nafas tanpa cuping hidung, masih terdapat
penggunaan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus,
pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis,
99
frekuensi pernafasan 25 kali per menit. Ada perubahan skala Borg yaitu,
sebelum latihan sesak kadang berat (skala 4) dan sesudah latihan sesak
sedang (skala 3), dan ada perubahan frekuensi pernafasan, sebelum latihan 26
kali per menit, setelah latihan 25 kali permenit.
Pada hari ketiga tanggal 14 Januari 2016 jam 10.00 WIB pemberian
pursed lips breathing exercise, sebelum latihan respon subjektif Tn. A
mengatakan sesak nafas sedang (skala 3). Respon obyektif Tn. A tampak
nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan otot bantu pernafasan
sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,
serta otot-otot abdominalis, frekuensi pernafasan 25 kali per menit. setelah
latihan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas ringan (skala 2).
Respon obyektif Tn. A tampak nafas tanpa cuping hidung, ada penggunaan
otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor,
dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, frekuensi pernafasan 24
kali per menit. Ada perubahan skala Borg yaitu, sebelum latihan skala Borg 3
(sesak sedang), dan setelah latihan skala Borg 2 (sesak nafas ringan), ada
perubahan frekuensi pernafasan sebelum latihan 25 kali per menit dan setelah
latihan frekuensi pernapasan 24 kali per menit.
Pursed Lip Breathing Exercise merupakan latihan pernapasan
dengan cara penderita duduk dan inspirasi dalam saat ekspirasi penderita
menghembuskan melalui mulut hampir tetutup seperti bersiul secara perlahan
(Smeltzer, 2008).
100
Pursed Lip Breathing Exercise adalah suatu latihan bernafas yang
terdiri dari dua mekanisme yaitu inspirasi secara dalam serta ekspirasi aktif
dalam dan panjang. Proses ekspirasi seacara normal merupakan proses
mengeluarkan nafas tanpa menggunakan energi berlebih. Bernafas Pursed Lip
Breathing Exercise melibatkan proses ekspirasi secara panjang. Inspirasi
dalam dan ekspirasi panjang tentunya akan meningkatkan kekuatan kontraksi
otot intra abdomen sehingga tekanan intra abdomen meningkat melebihi pada
saat ekspirasi pasif. Tekanan intra abdomen yang meningkat lebih kuat lagi
tentunya akan meningkatkan pergerakan diafragma ke atas membuat rongga
thorak semakin mengecil. Rongga thorak yang semakin mengecil ini
menyebabkan tekanan intra alveolus semakin meningkat sehingga melebihi
takanan udara atmosfer. Kondisi tersebut akan menyebabkan udara mengalir
keluar dari paru ke atmosfer. Ekspirasi panjang saat bernafas Pursed Lip
Breathing Exercise juga akan menyebabkan obstruksi jalan nafas dihilangkan
sehingga resistensi pernafasan menurun. Penurunan resistensi pernafasan
akan memperlancar udara yang dihirup dan dihembuskan sehinggga akan
mengurangi ssesak nafas (Smeltzer, 2008).
Teknik Pursed Lip Breathing Exercise yaitu, mengatur posisi pasien
dengan duduk ditempat tidur atau kursi, meletakkan satu tangan pasien di
abdomen (tepat dibawah proc.sipodeus) dan tangan lainnya ditengah dada
untuk merasakan gerakan dada dan abdomen saat bernafas, kemudian
menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan
abdomen terasa terangkat maksimal lalu jaga mulut tetap tertutup selama
101
inspirasi dan tahan nafas selama 2 detik, dan hembuskan nafas melalui bibir
yang dirapatkan serta sedikit terbuka sambil mengkontraksikan otot-otot
abdomen selama 4 detik. Latihan ini dilakukan sehari 1 kali dengan 5 kali
pengulangan (Smeltzer, 2008; Bakti, 2015).
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, tindakan pemberian pursed lip
breathing exercise yang dilaksanakan pada Tn. A sudah sesuai jurnal yang
mendukung. Pasien mengalami penurunan tingkat sesak nafas yang dilihat
dari penurunan frekuensi pernafasan dan skala Borg. Selisih rata-rata
penurunan frekuensi pernafasan sebesar 0,67 dan selisih rata-rata penurunan
skala Borg sebesar 0,67 selama 3 hari pemberian tindakan.
Implementasi diagnosa yang kedua yaitu ketidakefektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih, pada
hari pertama tanggal 12 Januari 2016, yaitu jam 15.35 melakukan auskultasi
bunyi nafas dan mencatat adanya suara tambahan dengan respon subjektif Tn.
A mengatakan sesak nafas dan batuk berdahak, respon objektif Tn. A tampak
sering batuk, suara paru vesikuler pada dada kanan dan terdengar suara
tambahan whezzing pada dada kiri. Pada jam 15.45 mengajarkan batuk efektif
dengan respon subjektif Tn. A mengatakan lumayan nyaman dahak bisa
keluar, respon objektif sputum keluar berwarna putih kekuningan kental
kurang lebih 1 sendok makan dan sudah tidak ada darah.
Pada implementasi hari kedua tanggal 13 Januari 2016, jam 09.45
WIB memantau batuk efektif dengan respon subjektif Tn. A mengatakan
lumayan nyaman dahak bisa keluar, dahak lebih sedikit dari kemarin terasa
102
lega plong, respon objektif pasien tampak sudah bisa melakukan batuk efektif
dengan keluarnya sputum berwarna putih tidak kental kurang lebih 1/4
sendok makan dan sudah tidak ada darah. Pada jam 09.50 WIB melakukan
auskultasi bunyi nafas dan mencatat adanya suara tambahan dengan respon
subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas berkurang, batuk jarang, dahak
sangat sedikit dan didada terasa plong, respon objektif Tn. A tampak batuk
nya sudah jarang, suara paru vesikuler pada dada kanan kiri dan sudah tidak
terdengar suara tambahan whezzing.
Pada implementasi hari ketiga tanggal 14 Januari 2016, jam 10.30
memantau cara batuk efektif respon Tn. A mengatakan sudah bisa melakukan
batuk efektif, batuk sangat jarang, dahak sangat sedikit putih encer, respon
objektif Tn. A tampak sudah bisa melakukan batuk efektif, dahak keluar
sangat sedikit ¼ sendok makan tidak ada warna putih, encer seperti air liur.
Jam 10.45 WIB melakukan auskultasi bunyi nafas dan catat adanya suara
tambahan respon subjektif Tn. A mengatakan merasa sudah lega, respon
objektif suara vesikuler, tidak ada suara tambahan whezzing.
Tindakan batuk efektif merupakan suatu metode batuk dengan benar
dan pasien dapat mengeluarkan dahak dengan maksimal, namun latihan ini
hanya bisa dilakukan pada orang yang sudah bisa diajak kerja sama
(koperatif) (Potter & Pery, 2005). Pemberian latihan batuk efektif terutama
pada infeksi saluran pernafasan bawah yang berhubungan dengan akumulasi
sekret pada jalan nafas yang sering diakibatkan oleh kemampuan batuk yang
menurun atau adanya nyeri sehingga malas untuk melakukan batuk
103
(Muttaqin, 2013). Berdasarkan hasil studi kasus, tindakan yang telah
dilakukan sudah sesuai dengan teori dimana pasien dapat mengeluarkan
sputum. Maka penulis menyimpulkan bahwa tidak ada kesenjangan antara
teori dengan kasus pada Tn. A.
Tindakan yang dilakukan pada Tn. A untuk diagnosa ketiga penulis
sesuaikan dengan rencana keperawatan dalam intervensi pada diagnosa
intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen
dengan kebutuhan tubuh. Tindakan pada hari pertama tanggal 12 Januari
2016 jam 16.05 penulis mengkaji tingkat kemapuan Tn. A dalam melakukan
aktivitas latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan belum bisa
beraktivitas mandiri pasti dibantu istrinya atau anaknya karena setelah
beraktivitas pasti sesak nafas, respon objektif Tn. A tampak dalam
beraktivitas selalu dibantu oleh istri atau anaknya. Pada jam 16.10 penulis
memantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas
dengan respon subjektif Tn. A mengatakan masih sesak nafas, respon objektif
Tn. A tampak masih terpasang oksigen nasal kanul 2 liter per menit, tekanan
darah 120/80 mmHg, nadi 85 kali permenit, pernafasan 27 kali per menit,
suhu 36,5°C.
Pada hari kedua implementasi tanggal 13 Januari 2016, jam 10.00
penulis mengkaji tingkat kemapuan Tn. A dalam melakukan aktivitas latihan
dengan respon subjektif Tn. A mengatakan bisa makan minum secara mandiri
dan mau mencoba untuk mandi sendiri sesuai perintah dokter M tadi pagi,
mandi tidak boleh pakai gayung karena berat diganti pakai selang, respon
104
objektif Tn. A tampak mandiri dalam makan minum, mandi masih dijaga
istrinya dan aktivitas yang lain masih dibantu oleh istri atau anaknya. Pada
jam 10.05 WIB memantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah
melakukan aktivitas dengan respon subjektif Tn. A mengatakan sesak nafas
berkurang, respon objektif Tn. A tidak ada perubahan frekuensi pernafasan
sebelum dan setelah aktivitas frekuensi pernafasan 25 kali per menit.
Pada hari ke tiga implementasi tanggal 14 Januari 2016, Jam 10.55
penulis mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas
latihan dengan respon subjektif Tn. A mengatakan semua aktivitas sudah bisa
mandiri tetapi tetap di awasi oleh istri atau anaknya, respon objektif Tn. A
tampak beraktivitas mandiri yang ringan dan masih diawasi istri dan anaknya.
Tindakan yang dilakukan pada Tn. A untuk diagnosa keempat penulis
sesuaikan dengan rencana keperawatan dalam intervensi pada diagnosa
gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan
lingkungan. Tindakan pada hari pertama tanggal 12 Januari 2016 jam 16.20
penulis mengkaji kebutuhan tidur pasien dengan respon subjektif Tn. A
mengatakan tidak puas tidurnya, sering terbangun karena sesak nafas,
sebelum sakit biasanya tidur 6-8 jam sehari, tidur siang 2 jam, selama sakit
tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam. Pada hari kedua tanggal 13 Januari
2016 jam 10.15 penulis memantau kebutuhan tidur pasien dengan respon
subjektif Tn. A mengatakan sudah bisa tidur nyenyak, ada penambahan jam
tidur dari tidur 3-4 jam sehari, tidur siang 1 jam, menjadi 5-6 jam sehari dan
tidur siang 2 jam, respon objektifnya Tn. A tampak masih ada lingkar hitam
105
di area sekitar mata. Pada hari ketiga tanggal 14 Januari 2016, Jam 11.10
penulis mengkaji kebutuhan tidur pasien dengan respon subjektif Tn. A
mengatakan sudah bisa tidur normal sehari 6-7 jam, tidur siang 2 jam, baru
saja bangun tidur 1 jam yang lalu nanti habis makan dan minum obat siang
tidur lagi, respon objektif Tn. A tampak masih ada lingkar hitam di area
sekitar mata.
Tindakan yang dilakukan pada Tn. A untuk diagnosa kelima penulis
sesuaikan dengan rencana keperawatan dalam intervensi pada diagnosa
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
faktor biologis. Tindakan pada hari pertama tanggal 12 Januari 2016, jam
16.35 WIB penulis mengkaji intake makanan pasien dengan respon subjektif
pasien mengatakan makan 3 kali sehari dari rumah sakit, jenis nasi, sayur,
lauk, habis 1/2 porsi piring saja karena kurang nafsu makan, minum kurang
lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, respon objektif pasien
tampak tampak kurus, turgor kulit kering, mukosa bibir kering, konjungtiva
anemis. Pada hari kedua tanggal 13 Januari 2016, Pada jam 11.20 WIB
penulis memantau intake makanan pasien dengan respon subjektif pasien
mengatakan sudah nafsu makan, makan habis 1 porsi piring, minum kurang
lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, respon objektif pasien
tampak kurus, turgor kulit baik, mukosa bibir lembab, konjungtiva tidak
anemis.
106
E. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan
keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan (Rohmah & Walid, 2012). Tujuan evaluasi
anata lain untuk menentukan perkembangan kesehatan klien, menilai
efektivitas dan efisiensi tindakan keperawtan, mendapatkan umpan balik dari
respon klien, dan sebagai tanggung gugat dalam pelaksanaan pelayanan
kesehatan (Dermawan, 2012).
Hasil akhir evaluasi diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan hiperventilasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24
jam masalah teratasi dimana terjadi penurunan sesak nafas dari frekuensi
pernafasan 27 kali per menit, skala Borg 4 (Sesak nafas kadang berat)
menjadi frekuensi pernafasan 24 kali per menit, skala Borg 2 (Sesak nafas
ringan). Tetapi selama 3 hari pemberian pursed lips breathing exercise pada
Tn. A tampak masih menggunakan otot bantu pernafasan
sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus anterior,
serta otot-otot abdominalis karena pasien tampak sangat kurus dengan IMT
17, 96 kg/ m2
.
Hasil akhir evaluasi diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan produksi mukus berlebih, setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam, masalah kebersihan jalan nafas sudah teratasi
dimana Tn. A dapat mendemonstrasikan batuk efektif, pasien mampu
107
mengeluarkan sputum ¼ sendok makan tidak ada darah, warna putih, encer
seperti air liur, dan sudah tidak terdengar suara whezzing.
Hasil evaluasi akhir diagnosa intoleransi aktifitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan tubuh, setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3x24 jam, masalah intoleransi aktivitas teratasi
sebagian dimana Tn. A mengatakan semua aktivitas sudah bisa mandiri tetapi
tetap di awasi oleh istri atau anaknya, respon objektif Tn. A tampak
beraktivitas mandiri yang ringan dan masih diawasi istri dan anaknya.
Hasil evaluasi akhir diagnosa gangguan pola tidur berhubungan
dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan, setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam, masalah gangguan pola tidur teratasi sebagian
dimana jam tidur pasien sudah bertambah, kualitas tidur nyenyk tetapi lingkar
hitam di area sekitar mata masih tampak. Respon subjekttif Tn.A mengatakan
sudah bisa tidur normal sehari 6-7 jam, tidur siang 2 jam, baru saja bangun
tidur 1 jam yang lalu nanti habis makan dan minum obat siang tidur lagi.
Objektif : pasien tampak lingkar hitam di area sekitar mata.
Hasil evaluasi akhir diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis, setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 2x24 jam, masalah gangguan nutrisi teratasi
dimana Tn. A mengatakan sudah nafsu makan, makan habis 1 porsi piring,
minum kurang lebih 8 gelas belimbing per hari, jenis air putih dan teh, respon
objektif pasien tampak kurus, turgor kulit baik, mukosa bibir lembab,
konjungtiva tidak anemis.
108
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah penulis melakukan pengkajian, analisa data, penentuan diagnosa,
implementasi dan evaluasi tentang pemberian pursed lip breathing exercise
terhadap penurunan tingkat sesak nafas pada asuhan keperawatan Tn. A dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik di ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi
Surakarta secara metode studi kasus, maka dapat ditarik kesimpulan
A. KESIMPULAN
Dari uraian bab pembahasan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Pengkajian
Pengkajian pada Tn. A diperoleh data mengeluh sesak nafas, sesak
nafas dirasakan kurang lebih sejak 2 tahun yang lalu, pasien tampak
bernafas dengan cuping hidung, menggunakan otot bantu pernafasan
sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan serratus
anterior, serta otot-otot abdominalis, pasien terpasang O2 2 liter per menit,
tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi pernapasan 27 kali per menit,
irama tidak teratur, nafas dangkal, nadi frekuensi 85 kali per menit, suhu
tubuh 36,5 °C.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada kasus Tn. A adalah
ketidakefektifan bersihan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi,
109
ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan produksi
mukus dalam jumlah berlebih, intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, gangguan pola
tidur behubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan lingkungan,
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor biologis.
3. Intervensi
Intervensi untuk diagnosa ketidakefektifan pola nafas Tn. A
diberikan adalah airway management (3140): observasi tanda–tanda vital
(tekanan darah, nadi pernapasan dan suhu) pasien, posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi misal posisi semi fowler, ajarkan tehnik non
farmakologi pursed lips breathing exercise, kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian terapi obat. Intervensi untuk ketidakefektifan bersihan
jalan nafas adalah airway management (3140): pantau frekuensi
pernafasan pasien, auskultasi suara nafas dan catat adanya suara tambahan,
ajarkan cara batuk efektif, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
terapi obat. Intervensi untuk intoleransi aktivitas adalah activity therapy
(0224) : kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan,
pantau frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah melakukan,bantu pasien
identifikasi penyebab keletihan dengan, kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian terapi obat. Intervensi untuk gangguan pola tidur adalah sleep
enhancement (1850): pantau kebutuhan tidur pasien setiap hari, berikan
lingkungan yang nyaman (batasi pengunjung, posisikan yang nyaman),
110
jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat. Intervensi untuk ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh adalah Nutrition Management (1100) : kaji intake
makanan, timbang berat badan pasien, anjurkan pasien untuk makan
sedikit tapi sering dan dalam keadaan hangat,kolaborasi dengan ahli gizi
dan dokter.
4. Implementasi
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Tn. A penulis lakukan sesuai
dengan di intervensi yang telah disusun sebelumnya. Pemberian Pursed
Lips Breathing Exercise selama 3 hari yaitu pada tanggal tanggal 12-14
Januari 2016. Pemberian Pursed Lips Breathing Exercise merupakan
tindakan utama untuk menurunkan tingkat sesak nafas.
5. Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan selama tiga hari pada tanggal 12-14 Januari 2016
sudah dilakukan secara komprehensif dengan acuan rencana asuhan
keperawatan, serta telah berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya,
yang didasarkan pada kriteria hasil yang diharapkan yaitu
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sudah
teratasi. Diagnosa kedua ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan produksi mukus dalam jumlah berlebih sudah
teratasi. Diagnosa ketiga intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan suplai oksigen teratasi sebagian. Diagnosa keempat
gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik dan
111
lingkungan teratasi sebagian. Diagnosa kelima ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis teratasi.
6. Analisa
Hasil pengaruh pemberian Pursed Lips Breathing Exercise terhadap
penurunan tingkat sesak nafas pada asuhan keperawatan Tn. A dengan
diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
yaitu pasien mengatakan sesak nafas sudah berkurang, sebelum latihan
sesak nafas sedang dan setelah latihan menjadi ringan. Objektif: pasien
tampak bernafas tanpa cuping hidung, masih menggunakan otot bantu
pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus, pektoralis mayor, dan
serratus anterior, serta otot-otot abdominalis, sebelum latihan frekuensi
pernapasan 25 kali per menit dan skala Borg 3 (sesak sedang), setelah
latihan frekuensi pernapasan 24 kali per menit dan skala Borg 2 (sesak
nafas ringan) tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi nadi 72 kali per
menit, suhu 35°C. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bakti (2015)
dengan pengeruh pursed lip breathing exercise terhadap penurunan tingkat
sesak nafas pada penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Pada asuhan
keperawatan Tn. A dengan penyakit paru obstruksi kronik mengalami
penurunan tingkat sesak nafas setelah diberikan pursed lip breathing
exercise selama tiga hari dimana ada penurunan frekuensi pernafasan dari
27-24 kali per menit, skala Borg dari 4 (sesak nafas kadang berat) – 2
(sesak nafas ringan), selisih rata-rata penurunan frekuensi pernafasan
sebesar 0,67 dan selisih rata-rata penurunan skala Borg sebesar 0,67
112
selama 3 hari pemberian tindakan. Namun pasien masih tampak
menggunakan otot bantu pernafasan sternokleidomastoideus, scalenus,
pektoralis mayor, dan serratus anterior, serta otot-otot abdominalis
karena pasien tampak sangat kurus dengan IMT 17, 96 kg/ m2
.
B. SARAN
Dengan memperhatikan kesimpulan diatas, penulis memberi saran sebagai
berikut :
1. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan Rumah Sakit Umum khususnya RSUD Dr. Moewardi
Surakarta dapat memberikan elayanan kesehatan dan mempertahankan
hubungan kerja sama baik anatara tim kesehatan maupun klien sehingga
dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatn yang optimal
pada umumnya dan dapat mengaplikasikan pemberian pursed lip
breathing exercise terhadap pasien sesak nafas, khusunya pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).
2. Bagi tenaga kesehatan khususnya Perawat
Diharapkan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lainnya dalam
memberikan asuhan keperawatan agar lebih maksimal, khususnya pada
klien dengan gangguan ketidakefektifan pola nafas dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK). Perawat diharapkan dapat mengaplikasikan
pemberian pursed lip breathing exercise terhadap pasien dengan keluhan
sesak nafas.
113
3. Bagi institusi Pendidikan
Diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan yang lebih berkualitas
dan profesional agar tercipta perawat yang profesional, terampil, inovatif,
aktif dan bermutu yang mampu memberikan asuhan keperawtan secara
menyeluruh berdasarkan kode etika eperawatan. Dan dapat
mengaplikasikan pursed lip breathing exercise terhadap pasien sesak
nafas.
4. Bagi Penulis
Diharapkan bisa memberikan pursed lip breathing exercise dan
memberikan pengelolaan selanjutnya pada pasien dengan ketidakefektifan
pola nafas pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).
5. Bagi Pembaca
Diharapkan dapat meberikan kemudahan bagi pembaca untuk sarana
prasarana dalam pengembangan ilmu keperwatan, diharapakan setelah
pembaca membaca bukuini dapat mengetahui tentang teknik pemberian
pursed lip breathing exercise dan Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK), serta menjadi acuan atau ada sebuah penelitian untuk kasus ini..
DAFTAR PUSTAKA
Ardiyansyah, Muhamad. 2012. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Cetakan
Pertama.. Jogjakarta : Diva Press (Anggota IKAPI).
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Konsep & Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta: Penerbit Salemba.
Brashers, L. Valentina. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan Fisik &
Managemen. Jakarta: EGC.
Deborah, Marrelli. 2008. Buku Saku Dokumentasi Keperawatan. Edisi 3. Dialih
bahasakan oleh Egi Komara Yudha. Jakarta : EGC.
Dermawan. D. 2012. Proses Keperawatan Perencanaan Konsep dan Kerangka
kerja. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2014. Buku Profil Kesehatan Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2014. Mei. Dinkesjateng. Semarang.
Donal. 2006. Mechanisme and Measurement of Dyspnea in Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. Proc Am Thorac.
Francis, caia. 2008. Perawatan respiratori. Erlangga : Jakarta.
Gleadle Jonathan. 2007. At Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Hafiizh. Edwin Muhammad. 2013. Pengaruh Pursed Lip Breathing Terhadap
Peburunan Respiratory Rate (RR) dan Peningkatan Pulse Oxygen Sturation
(SpO2) Pada Penderita PPOK. Skripsi. Program Studi S1 Fisioterapi
Fakultas Kesehatan Universits Muhammadiyah Surakarta.
Hilmi, N. 2013. Gambaran Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya
PPOK. Universitas RIAU.
Herdman. T.H. 2010. Nanda International Diagnosis Keperawatan Defini dan
Klasifikasi. Jakarta: EGC.
Ikawati. Zullies. 2011. Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya.
Bursa Ilmu. Yogyakarta.
Irianto Koes. 2014. Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Panduan
Klinis. Alfabeta cv. Bandung.
ISO. 2013. Iso_informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2013. Juli. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.
Khasanah. S. (2013). Efektifitas Condong Kedepan (CKD) dan Pursed Lip
Breathing Terhadap Peningkatan Saturasi Oksigen Pasien Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK). Prosding Seminar Nasional. Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Harapan Bangsa. Purwokerto. Diakses pada tanggal 16
Maret 2016, Pukul 10.00 WIB.
Morton, dkk. 2012. Keperawatan Kritis Volume I. Gosyen Publishing.
Yogyakarta.
Muttaqin Arief. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jilid 1. Salemba Medika. Jakarta.
Murwani Arita. 2011. Perawatan Pasien Peyakit Dalam. Edisi I. Gosyen
Publishing. Yogyakarta.
Nurarif Huda Amin & Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC_NOC. Edisi Revisi. Jilid 2.
Medi Action. Yogyakarta.
Paniselvan, Paramasundari. 2011. Hubungan derejat Gagal Jantung Kronis
Dengan Derajat Anemia di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan. Karya TulisIlmiah.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31664/8/Cover.pdf .
Diakses pada tanggal 21 April 2016.
Potter, A, P & Porry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses dan Praktik. Jakarta : EGC.
Rab. T, 2013. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Trans Info Media.
Ringel, Edward. 2012. Buku Saku Hitam Kedokteran Paru. PT Indeks. Jakarta.
Rini. I.S., 2011. Hubungan Antara Efikasi Diri Dengan Kualitas Hidup Pasien
Penyakit Paru Obstruktif Kronik Dalam Konteks Asuhan Keperawatan di
RS Paru Batu dan RSU DR. Saiful Anwar Malang Jawa Timur. Tesis.
Universitas Indonesia. Depok.
Rohmah. N & Walid. S. 2012. Proses Keperawatan Teori dan Aplikasi. Yogkarta
: AR-RUZZ Media.
Rubenstein, dkk. 2008. Kedokteran Klinis. Jakarta : Erlangga.
Safitri, Refi & Annisa. 2011. Keefektifan Pemberian Posisi Semi Fowler
Terhadap Penurunan Sesak Nafas pada pasien Asma di Ruang Rawat Inap
Kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Gaster, Vol.8. Skripsi. Prodi S1
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah. Surakarta.
Suradi. 2009. Deskripsi Penyakit Sistem Sirkulasi. Jakarta : Cermin Dunia
Kedokteran.
Wilkinson. J & Ahern. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 9. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.
Windrasmara, Oni Juniar. 2012. Hubungan antara Derajat Merokok dengan
Prevalensi PPOK dan Bronkitis Kronik Di BBKPM Surakarta. Skripsi.
Fakultas Kedokteran : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Recommended