View
220
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
i
PEMBERIAN TERAPI GERAK (WARMING–UP)
TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA Sdr.I
DENGAN PERILAKU KEKERASAN
DI BANGSAL SEMBADRA
RSJD SURAKARTA
DI SUSUN OLEH :
APRILIA NUR CHOSIDAH
NIM. P11 005
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
STIKes KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014
i
PEMBERIAN TERAPI GERAK (WARMING-UP)
TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA Sdr. I
DENGAN PERILAKU KEKERASAN DI
BANGSAL SEMBADRA
RSJD SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program
Diploma III Keperawatan
DI SUSUN OLEH :
APRILIA NUR CHOSIDAH
NIM. P11 005
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
STIKes KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014
ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Aprilia Nur Chosidah
NIM : P11 005
Program Studi : DIII Keperawatan
Judul Karya Tulis Ilmiah : PEMBERIAN TERAPI GERAK ( WARMING-UP)
TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA Sdr. I
DENGAN PERILAKU KEKERASAN DI
BANGSAL SEMBADRA RSJD SURAKARTA
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan
atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai
dengan ketentuan akademik yang berlaku.
Surakarta, 08 Mei 2014
Yang Membuat Pernyataan
APRILIA NUR CHOSIDAH
NIM. P11 005
iii
LEMBAR PERSETUJUAN
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh :
Nama : Aprilia Nur Chosidah
NIM : P11 005
Program Studi : DIII Keperawatan
Judul : PEMBERIAN TERAPI GERAK (WARMING-UP)
TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA ASUHAN
KEPERAWATAN JIWA Sdr. I DENGAN PERILAKU
KEKERASAN DI BANGSAL SEMBADRA RSJD
SURAKARTA
Telah disetujui untuk diujikan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah
Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetapkan di : Surakarta
Hari / Tanggal : Kamis, 08 Mei 2014
Pembimbing : Joko Kismanto, Skep., Ns. ( )
NIK. 200670020
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh :
Nama : Aprilia Nur Chosidah
NIM : P11 005
Program Studi : DIII Keperawatan
Judul : PEMBERIAN TERAPI GERAK (WARMING-UP)
TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA ASUHAN
KEPERAWATAN JIWA Sdr. I DENGAN PERILAKU
KEKERASAN DI BANGSAL SEMBADRA RSJD
SURAKARTA
Telah diujikan dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah
Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetapkan di : Surakarta
Hari / Tanggal : Jum’at, 16 Mei 2014
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Joko Kismanto, S Kep., Ns. ( )
NIK. 200670020
Penguji I : S. Dwi Sulisetyawati, S Kep., Ns, M. Kep ( )
NIK. 200984041
Penguji II : Maula Mar’atus, S Kep., Ns ( )
NIK. 201390126
Mengetahui,
Ketua Program Studi DIII Keperawatan
STIKes Kusuma Husada Surakarta
Atiek Murharyati, S.Kep. Ns., M.Kep
NIK. 200680021
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah degan judul “PEMBERIAN TERAPI GERAK (WARMING-UP)
TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN
JIWA Sdr. I DENGAN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG SEMBADRA
RSJD SURAKARTA.”
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat :
1. Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Ketua Program studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Sekretaris Ketua Program studi
DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba
ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
3. Joko Kismanto, S.Kep., Ns., selaku dosen pembimbingsekaligus sebagai
penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-
masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi
demi sempurnanya studi kasus ini.
4. S. Dwi Sulisetyawati, S Kep., Ns, M. Kep, selaku dosen penguji dan
pembimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
5. Maulana Mar’atus, S Kep.,Ns, selaku dosen penguji dan pembimbing dengan
cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam
bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
vi
6. Semua dosen Program studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
7. Kakek dan kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan
semangat untuk menyelesaikan pendidikan.
8. Kakak dan adik-adikku tersayang, yang selalu memberikan semangat untuk
menyelesaikan pendidikan.
9. Teman-teman Mahasiswa dan berbagai pihak yang tidakdapat disebutkan satu-
persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kaus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amiin.
Surakarta, 16 Mei 2014
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ..................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN........................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................ 1
B. Tujuan Penulisan .................................................................... 5
C. Manfaat Penulisan .................................................................. 5
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar Perilaku Kekerasan ......................................... 7
B. Konsep Asuhan Keperawatan................................................. 18
C. Terapi Gerak ........................................................................... 42
D. Kecemasan .............................................................................. 46
BAB III LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien ....................................................................... 53
B. Pengkajian .............................................................................. 53
viii
C. Perumusan Masalah Keperawatan ......................................... 59
D. Analisa Data ........................................................................... 60
E. Perencanaan ............................................................................ 60
F. Implementasi .......................................................................... 64
G. Evaluasi .................................................................................. 65
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pengkajian .............................................................................. 67
B. Diagnosa Keperawatan ........................................................... 68
C. Rencana Keperawatan ............................................................ 70
D. Tindakan keperawatan ............................................................ 72
E. Evaluasi .................................................................................. 75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................. 78
B. Saran ....................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Rentang Respon ...................................................................... 9
Gambar 2.2 Pohon Masalah Resiko Perilaku Kekerasan ........................... 26
Gambar 3.1 Genogram ............................................................................... 54
Gambar 3.2 Pohon Masalah ....................................................................... 54
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Data Yang Perlu Dikaji ............................................................... 28
Tabel 3.2 Skala HRS-A ............................................................................... 48
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lembar 1 Daftar Riwayat Hidup
Lembar 2 Log Book
Lembar 3 Konsultasi
Lembar 4 Pendelegasian
Lembar 5 Asuhan Keperawatan Jiwa
Lembar 6 Jurnal Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan jiwa, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan
kesehatan sebagai keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata
keadaan tanpa penyakit. Orang yang memiliki kesejahteraan emosional, fisik,
dan sosial dapat memenuhi tanggung jawab kehidupan, berfungsi dengan
efektif dalam kehidupan sehari-hari, dan puas dengan hubungan interpersonal
dan diri mereka sendiri (Videbeck, 2008). Menurut Stuart & Laraia dalam
Hidayati, (2012) kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental, dan sosial,
bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan. Seseorang
dikatakan sehat apabila seluruh aspek dalam dirinya dalam keadaan tidak
terganggu baik tubuh, psikis maupun sosial. Fisiknya sehat, maka mental
(jiwa) dan sosial pun sehat, jika mentalnya terganggu atau sakit, maka fisik
dan sosialnya pun akan sakit. Seseorang yang tidak memenuhi karakteristik
sehat, maka bisa dikatakan gangguan jiwa.
Menurut Kartini Kartono, yang disebut gangguan mental adalah bentuk
gangguan dan kekacauan fungsi mental atau kesehatan mental yang
disebabkan oleh kegagalan mereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-
fungsi kejiwaan terhadap stimulus eksterna dan ketegangan-ketegangan
sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur dari suatu bagian,
2
suatu organ, atau sistem kejiwaan/mental menurut Katini Kartono dalam
Erlinafsiah (2010)
Gangguan jiwa merupakan gejala yang dimanifestasikan melalui
perubahan karakteristik utama dari kerusakan fungsi perilaku atau psikologis
yang secara umum diukur dari beberapa konsep norma dihubungkan dengan
distress atau penyakit, tidak hanya dari respon yang diharapkan pada kejadian
tertentu atau keterbatasan hubungan antara individu dan lingkungan
sekitarnya(Kaplan, Sadock, 2007).
WHO (2009) memperkirakan 450 juta orang di seluruh dunia
mengalami gangguan mental, sekitar 10% orang dewasa mengalami
gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami
gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Usia ini biasanya terjadi
pada dewasa muda antara usia 18-21 tahun (WHO, 2009). Menurut National
institute of mental healthgangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara
keseluruhan dan diperkirakan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030.
Kejadian tersebut akan memberikan andil meningkatnya prevalensi gangguan
jiwa dari tahum ke tahun di berbagai negara. Berdasarkan hasil sensus
penduduk Amerika Serikat tahun 2004, diperkirakan 26,2% penduduk yang
berusia 18-30 tahun atau lebih mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2011).
Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di provinsi
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (24,3%), diikuti Nangroe Aceh Darussalam
(18,5%), Sumatera Barat (17,7%), NTB (10,9%), Sumatera Selatan (9,2%)
dan Jawa Tengah (6,8%) (Depkes RI, 2008).
3
Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7/mil.
Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan,
Bali, dan Jawa Tengah, proporsi RT yang pernah memasung ART gangguan
jiwa berat 14,3% dan terbanyak pada penduduk yang tinggal di perdesaan
(18,2%), serta pada kelompok dengan kuantil indeks kepemilikan terbawah
(19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia
6,0%. Provinsi dengan prevalensi gangguan mental tertinggi adalah Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara
Timur (Hasil Riskesdas, 2013).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapatmembahayakan secara fisik naik pada dirinya sendiri
maupun orang lain disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak
terkontrol (Kusmawati dan Hartono, 2010). Perilaku kekerasan adalah suatu
bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis. Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan diantaranya adalah muka
marah dan tegang, pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan kuat,
mengepalkan tangan, jalan mondar-mandir, bicara kacau, suara menjerit,
mengancam secara verbal, tidak mempunyai kemampuan
mencegah/mengontrol perilaku kekerasan (Damayanti, 2010).
Stress dan kecemasan merupakan dua hal yang saling berkaitan.
Keduanya dipengaruhi oleh penyesuaian diri masing-masing individu.
Prosedur pengendalian stress dapat menggunakan relaksasi otot sebagai
sarana psikoterapi yang efektif dalam menanggulangi kecemasan. Terapi
4
gerak pemanasan telah terbukti dalam program terapi terhadap ketegangan
otot yang mampu mengatasi keluhan ansietas, insomnia, kelelahan, dll. Dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecemasan antara kelompok
terikat yang diberi relaksasi selama 3 hari lebih rendah daripada kelompok
kontrol yang tanpa diberi relaksasi. Relaksasi otot dapat diberikan melalui
terapi gerak yang bertujuan untuk mengubah ketegangan otot menjadi lebih
rileks sehingga dapat mengontrol kecemasan yang muncul. Terapi gerak
adalah terapi aktivitas fisik yang dapat dilakukan dengan cara berolahraga
untuk melatih tubuh seseorang agar tetap sehat secara jasmani dan rohani
(Ariyadi, 2009).
Berdasarkan laporan, pasien dirawat diruang Sembadra RSJD Surakarta
di dapatkan dari 11 pasien yang mengalami gangguan jiwa, 5 (45%) pasien
mengalami perilaku kekerasan, 1 (9%) pasien mangalami isolasi sosial, 5
(45%) pasien mengalami gangguan halusinasi. Serta penulis tertarik untuk
menulis karya tulis ilmiah karena masalah-masalah kejiwaan bisa muncul
lebih serius dimulai dari resiko perilaku kekerasan dan dampaknya yang
komplek seperti resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk
mengangkat masalah ini dalam membuat Karya Tulis Ilmiah dengan judul
“Pemberian Terapi Gerak (Warming-up) Pada Asuhan Keperawatan Jiwa
Pada sdr. I Dengan Perilaku Kekerasan Di Ruang Sembadra RSJD
Surakarta”.
5
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Melaporkan pemberian terapi gerak warming-up terhadap tingkat
kecemasan pada asuhan keperawatan jiwa sdr. I dengan perilaku
kekerasan di RSJD Surakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada asuhan keperawatan
jiwa sdr. I dengan perilaku kekerasan.
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa pada asuhan keperawatan
jiwa sdr. I dengan perilaku kekerasan.
c. Penulis mampu menyusun rencana tindakan pada asuhan
keperawatan jiwa sdr. I dengan perilaku kekerasan.
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada asuhan keperawatan
jiwa sdr. I dengan perilaku kekerasan.
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada asuhan keperawatan jiwa
sdr. I dengan perilaku kekerasan.
f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian terapi gerak (warming-
up) terhadap tingkat kecemasan pada Sdr. I dengan perilaku
kekerasan.
6
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
a. Dapat mengerti dan menerapkan asuhan keperawatan jiwa pada
pasien.
b. Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penerapan asuhan
keperawatan jiwa.
c. Meningkatkan ketrampilan dalam memberikan asuhan keperawatan
jiwa.
2. Bagi Profesi
Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan lainnya dalam
melaksanakan asuhan keperawatan jiwa pada pasien dengan perilaku
kekerasan sehinga pasien mendapatkan penanganan tepat dan optimal.
3. Bagi Rumah Sakit
a. Sebagai bahan masukan yang diperlukan dalam pelaksanaan praktek
pelayanan keperawatan khususnya jiwa pada perilaku kekerasan.
b. Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan lainnya dalam
melaksanakan asuhan keperawatan jiwa pada pasien dengan perilaku
kekerasan, sehingga pasien mendapatkan penanganan yang tepat,
cepat dan optimal.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan keperawatan khususnya pada pasien dengan perilaku
kekerasan dan dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca.
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Dasar Perilaku Kekerasan
1. Pengertian
Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku untuk
melukai atau mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan secara
verbal atau fisik (Stuart & Laraia, 2005).Menurut Stuart dan sundeen
1995, dalam Fitria (2009) perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan
dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara
fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Menurut Damaiyanti 2008 dalam Jurnal Suparman(2012),
perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis yang dapat
dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain ataupun
lingkungan.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada
dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh
gelisah yang tidak terkontrol (Kusumawati & Hartono, 2010).
Dari beberapa penjelasan diatas mengenai perilaku kekerasan
penulis menyimpulkan bahwa perilaku kekerasan yaitu suatu keadaan
8
dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan fisik
baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, dimana
perilaku kekerasan ini dapat dilakukan secara verbal maupun fisik,
disertai dengan tingkah laku yang tidak terkontrol.
2. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala perilaku kekerasan menurut Kusumawati dan
Hartono (2010) meliputi:
a. Fisik
Mata melotot/ pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
b. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata- kata kotor, berbicara dengan
nada keras, kasar, ketus.
c. Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/ orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif.
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan, dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak
jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
9
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak
bermoral, dan kreativitas terhambat.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan
sindiran.
h. Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual.
3. Rentang Respon
Gambar 2.1 : Rentang respon marah
Sumber: Keliat (1999, dalam Fitria 2009)
Keterangan:
a. Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain
dan memberikan ketenangan.
b. Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak
menemukan alternatif.
Asertif Frustasi Pasif Agresif kekerasan
Respon
Adaptif
Respon
Maladaptif
10
c. Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
d. Agresif
Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut
tetapi masih terkontrol.
e. Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta kehilangan kontrol.
4. Faktor Presdiposisi
Menurut Dalami, dkk (2009) faktor presdiposisi perilaku
kekerasan yaitu:
a. Biologis
Dalam sistem otak limbik berfungsi sebagai regulator/
pengatur perilaku. Adanya lesi pada hipotalamus dan amigdala dapat
mengurangi atau meningkatkan perilaku agresif. Perangsangan pada
sistem neurofisiologis dapat menimbulkan respon-respon emosional
dan ledakan agresif. Penurunan norepinefrin dapat menstimulasi
perilaku agresif misalnya pada peningkatan kadar hormone
testoteron atau progesterone. Pengaturan perilaku agresif adalah
dengan mengatur jumlah metabolisme biogenik amino-neropinetrin.
b. Psikologis
Menurut Lorenz, agresif adalah pembawaan individu sejak
lahir sebagai respon terhadap stimulus yang diterima. Respon
tersebut berupa pertengkaran atau permusuhan. Gangguan ekspresi
11
marah disebabkan karena ketidakmampuan menyelesaikan agresif
yang menyebabkan individu berperilaku destruktif. Sedangkan
menurut Freud menyatakan bahwa sejak dilahirkan individu akan
mengalami ancaman yang perlu diekspresikan. Perilaku destruktif
terjadi apabila ancaman tersebut menguasai individu. Menurut
Freud, agresi berasal dari rasa frustasi akibat ketidakmampuan
individu mencapai tujuan. Bila individu tidak mampu
mengekspresikan perasaannya individu akan marah pada dirinya.
Frustasi dirasakan sebagai ancaman yang menimbulkan kecemasan
sehingga individu merasa harga dirinya terganggu. Konflik juga
merupakan ancaman bagi individu yang dapat mencetuskan perilaku
agresif. Persepsi yang salah tehadap konflik yang terjadi dapat
membuat individu menjadi agresi. Teori ekstensi yang dikemukakan
oleh Fromm menyatakan bahwa tingkah laku individu didasarakan
pada kebutuhan hidup. Bila cara konstruktif individu akan
berperilaku agresif. Perilaku destrukstif juga dapat disebabkan oleh
kegagalan mendapatkan eksistensi akibat kondisi sosial yang tidak
sejalan dengan niat dan alasan individu.
c. Sosiokultural
Norma-norma kultural dapat digunakan untuk membantu
memahami ekspresi agresif individu. Teori lingkungan sosial
mengemukakan bahwa norma yang memperkuat perilakunnya
disebabkan ekspresi marah yang pernah dialami sebelumnya.
12
Menurut Madden, orang-orang yang pernah memiliki riwayat ditipu
cenderung mudah marah; yang disebut “Acting Out” terhadap
marah. Bila privacy/ pribadi terganggu oleh kondisi sosial maka
responnya berupa agresif/ amuk. Teori belajar sosial menurut
Robert; yang disempurnakan oleh Miller dan Dollar, mengemukakan
bahwa tingkah laku agresif dipelajari sebagai bagian dari proses
sosial. Agresif dipelajari dengan cara imitasi terhadap pengalaman
langsung. Pola subkultural cenderung menyebabkan imitasi tingkah
laku agresi yang mengarah pada amuk. Ahli teori sosial berpendapat
bahwa komponen biologi tingkah laku agresif berhubungan denagn
aspek- aspek psikososial.
5. Faktor Presipitasi
Menurut Dalami, dkk (2009) faktor presipitasi perilaku kekerasan
meliputi:
a. Ancaman terhadap fisik : pemukulan, penyakit fisik.
b. Ancaman terhadap konsep diri: frustasi, harga diri rendah.
c. Ancaman internal: kegagalan, kehilangan perhatian.
d. Ancaman eksternal: seranagn fisik, kehilangan orang/ benda berarti.
6. Proses Terjadinya Masalah
a. Proses Terjadinya Masalah ditinjau dari Penyebab
Menurut Stuart dan Sundeen 1998 dalam jurnal Hidayati (2010),
penyebab resiko perilaku kekerasan adalah:
13
1) Halusinasi
Halusinasi adalah persepsi klien yang salah terhadap
lingkungan tanpa adanya rangsangan/ stimulus yang nyata
sehingga klienmempersiapkan dan merasakan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi.
Tanda dan gejala halusinasi menurutTownsend (2006) adalah:
a) Berbicara sendiri
b) Tertawa sendiri
c) Disorientasi
d) Pikiran cepat berubah-ubah
e) Bersikap seperti mendengar sesuatu
f) Konsentrasi rendah
g) Berhenti berbicara ditengah kalimat untuk mendengarkan
sesuatu
h) Kekacauan alur pikir
i) Respon tidak sesuai
Sedangkan tanda dan gejala halusinasi menurut Depkes (2006)
antara lain:
a) Berbicara atau tertawa sendiri
b) Menarik diri
c) Klien tidak dapat membedakan realita dan kenyataan
d) Sulit tidur
e) Gelisah
14
f) Duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah
tertentu.
2) Mekanisme koping tidak efektif
Mekanisme koping tidak efektif adalah cara yang
digunakan individu dalam menyelesaikan masalah, mengatasi
perubahan yang terjadi dan situasi yang mengancam baik secara
kognitif maupun perilaku yang menghambat fungsi integrasi,
memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung
menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan/
tidak makan, bekerja berlebihan, dan menghindar. Mekanisme
koping tidak efektif diantaranya adalah:
a) Mengalihkan
Pengalihan emosi yang semula ditujukan pada
seseorang/benda lain yang biasanya netral atau lebih sedikit
pengancam dirinya.
b) Mengingkari
Menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas dengan
mengingkari realitas tersebut. Mekanisme pertahanan ini
adalah paling sederhana dan primitif.
c) Disosiasi
Pemisahan suatu kelompok proses mental atau perilaku dari
kesadaran atau identitasnya.
15
d) Proyeksi
Pengalihan buah pikiran atau impuls pada diri sendiri
kepada orang lain terutama keinginan, perasaan emosional
dan motivasi yang tidak dapat ditoleransi.
e) Rasionalisasi
Mengemukakan penjelasan yang tampak logis dan dapat
diterima masyarakat untuk membenarkan impuls, perasaan,
perilaku, dan motif yang tidak dapat diterima.
f) Regresi
Kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan merupakan
ciri khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini.
g) Splitting
Sikap mengelompokkan orang / keadaan hanya sebagai
semuanya baik atau semuanya buruk; kegagalan untuk
memadukan nilai-nilai positif dan negatif di dalam diri
sendiri.
h) Represi
Pengesampingan secara tidak sadar tentang pikiran, impuls
atau ingatan yang menyakitkan atau bertentangan, dari
kesadaran seseorang; merupakan pertahanan ego yang
primer yang cenderung diperkuat oleh mekanisme lain.
i) Supresi
Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme
16
pertahanan tetapi sebetulnya merupakan analog represi yang
disadari; pengesampingan yang disengaja tentang suatu
bahan dari kesadaran seseorang; kadang-kadang dapat
mengarah pada represi yang berikutnya.
j) Sublimasi
Penerimaan suatu sasaran pengganti yang mulia artinya
dimata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami
halangan dalam penyalurannya secara normal.
b. Proses Terjadinya Masalah ditinjau dari Akibat
Menurut Stuart dan Sundeen 1998 dalam jurnal Hidayati
(2010), klien dengan resiko perilaku kekerasan dapat menyebabkan
resiko tinggi mencederai diri,orang lain dan lingkungan. Resiko
mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat
melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.
Tanda dan gejala:
1) Menyerang orang lain.
2) Memecahkan perabot.
3) Melempar barang.
4) Membakar rumah.
5) Memperlihatkan permusuhan.
6) Mendekati orang lain dengan ancaman.
7) Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai.
8) Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
17
9) Mempunyai rencana untuk melukai.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Stuart dan Laria 2001, dalam buku Keliat, B. A (2006),
pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan
perumusan kebutuhan, atau masalah klien. Data yang dikumpulkan
meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Data pada
pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi faktor
presdiposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan
kemampuan koping yang dimiliki klien.
Untuk dapat menjaring data yang diperlukan, umumnya
dikembangkan formulir pengkajian dan petunjuk tekhnis pengkajian agar
memudahkan dalam pengkajian. Pengkajian keperawatan pada klien
Resiko Perilaku Kekerasan meliputi :
a. Pengumpulan data
1) Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
agama, pekerjaan, status mental, suku/bangsa, nomor medrec,
tanggal masuk, tanggal pengkajian, ruang rawat dan alamat.
2) Identitas penanggung jawab meliputi: nama, umur, jenis
kelamin, pekerjaan, agama, hubungan dengan klien dan alamat.
18
b. Alasan masuk dan faktor presipitasi
Faktor pencetus Resiko perilaku kekerasan meliputi ancaman
terhadap fisik, ancaman terhadap konsep diri, ancaman internal,
ancaman eksternal.
c. Faktor Predisposisi
Faktor pendukung terjadinya Resiko Perilaku kekerasan
adalah biologis yaitu dalam sistem otak limbik berfungsi sebagai
regulator/ pengatur perilaku. Adanya lesi pada hipotalamus dan
amigdala dapat mengurangi atau meningkatkan perilaku agresif.
Psikologis menjelaskan bahwa agresif adalah pembawaan individu
sejak lahir sebagai respon terhadap stimulus yang diterima. Respon
tersebut berupa pertengkaran atau permusuhan dan sosiokultural
dimana norma-norma kultural dapat digunakan untuk membantu
memahami ekspresi agresif individu.
d. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan skizofrenia dilakukan
dengan pendekatan persistem meliputi:
1) suhu klien.
2) Sistem integumen; terdapat gangguan kebersihan kulit, klien
tampak kotor, terdapat bau badan, hal ini disebabkan kurangnya
minat terhadap perawatan diri dari perilaku menarik diri.
19
3) Sistem saraf; kemungkinan terdapat gejala ekstra piramidal
seperti tremor, kaku dan lambat. Hal ini akibat dari efek
samping obat anti psikotik.
4) Sistem penginderaan; ditemukan tidak adanya halusinasi dengar,
penglihatan, penciuman, raba, pengecapan. Karena klien
mengalami gangguan afeksi dan kognisi sehingga tidak mampu
untuk membedakan stimulus internal dan eksternal akibat
kecemasan yang meningkat.
e. Pemeriksaan tanda vital klien, meliputi tekanan darah , denyut nadi,
dan Aspek psikologis, sosial dan spiritual
1) Aspek Psikologis
a) Genogram; berisi tentang struktur keluarga dengan minimal
tiga generasi.
b) Konsep diri
(1) Gambaran diri; meliputi bagian tubuh yang disukai
klien dan bagian tubuh yang tidak disukai oleh klien.
Apakah klien ada hambatan dengan bagian tubuh yang
tidak disukainya.
(2) Identitas diri; meliputi status dan posisi klien di
keluarga dan kepuasan klien sebagai laki-laki atau
perempuan.
(3) Peran diri; meliputi peran yang diemban oleh klien di
keluarga dan lingkungannya.
20
(4) Ideal diri; persepsi individu tentang bagaimana ia harus
berperilaku sesuai standar pribadi.
(5) Harga diri; penilaian diri terhadap hasil yang dicapai
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi
ideal diri.
2) Aspek sosial
Klien dengan resiko perilaku kekerasan biasanya bersifat
curiga dan bermusuhan, menarik diri, menghindar dari orang
lain, mudah tersinggung sehingga klien mengalami kesukaran
untuk berinteraksi dengan orang lain.
3) Aspek spiritual
Meliputi nilai dan keyakinan yaitu pandangan dan
keyakinan klien terhadap gangguan jiwa, pandangan masyarakat
tentang gangguan jiwa, kegiatan ibadah yaitu kegiatan ibadah
individu dan keluarga di rumah dan pendapat klien tentang
kegiatan ibadah.
4) Status mental
a) Penampilan
Biasanya pakaian klien kusut atau eksentrik dengan sikap
tubuh lemah dan kontak mata kurang.
b) Pembicaraan
Klien biasanya berbicara dengan cepat dan keras. Reaksi
klien selama wawancara apatis dan mudah tersinggung.
21
c) Aktivitas motorik
Klien biasanya terlihat lesu, sering tiduran di tempat tidur,
tegang, gelisah dan biasanya terdapat tremor.
d) Alam perasaan
Apakah klien terlihat sedih, gembira berlebihan, putus asa,
ketakutan, khawatir.
e) Afek
(1) Apakah afek klien datar, tumpul labil atau tidak sesuai.
Interaksi selama wawancara
(2) Apakah klien kooperatif, bermusuhan, kontak mata
kurang.
(3) Interaksi selama wawancara
(4) Apakah klien kooperatif, bermusuhan, kontak mata
kurang.
f) Persepsi
Persepsi ini meliputi persepsi mengenai pendengaran,
penglihatan, pengecap, penghidu cenestetik, maupun
kinestetik.
g) Isi pikir
Kadang-kadang ada ide yang tidak realistik seperti waham,
fantasi, obsesi, dan phobia.
22
h) Proses pikir
Apakah pembicaraan klien mengalami sirkumtantial,
tangensial, kehilangan asosiasi, flight of idea dan blocking.
i) Tingkat kesadaran
Apakah klien mampu mengingat kejadian saat ini, kejadian
yang baru saja terjadi dan kejadian masa lalu.
j) Memori
Apakah klien mengalami gangguan memori jangka panjang
dan jangka pendek atau tidak.
k) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Menilai tingkat konsentrasi klien apak mudah beralih, atau
tidak mampu berkonsentrasi dan kemampuan berhitung
klien.
l) Kemampuan penilaian
Klien mengalami kesulitan atau tidak dalam menyelesaikan
masalah, klien masih mampu untuk mengambil keputusan
dengan tepat atau tidak.
m) Daya tilik diri
Biasanya klien tidak mengetahui alasan masuk klien ke
rumah sakit dan tidak menyadari bahwa dirinya mengalami
gangguan jiwa.
23
f. Kebutuhan Persiapan Pulang
Meliputi dengan siapa klien tinggal sepulang di rumah sakit,
rencana klien berkaitan dengan minum obat dan kontrol, pekerjaan
yang dilakukan, aktivitas untuk mengisi waktu luang serta sumber
biaya, adanya orang-orang yang menjadi support system bagi klien
dan tempat rujukan perawatan atau pengobatan.
g. Mekanisme koping
Pada pasien dengan skizofrenia perlu dikaji mekanisme
koping yang digunakan klien sebelum pasien masuk rumah sakit
maupun mekanisme koping pasien selama menghadapi masalah di
rumah sakit jiwa.
h. Masalah psikososial dan lingkungan
Perlu dikaji seperti apa masalah psikososial dan masalah
pasien di lingkungannya, apakah pasien sering bermasalah dengan
orang di sekitarnya.
i. Pengetahuan klien
Pengetahuan klien perlu dikaji untuk mengetahui seberapa
jauh pasien mengenal penyakitnya. Hal ini juga digunakan untuk
merencanakan kegiatan atau tindakan selanjutnya.
j. Aspek Medik
Pada klien dengan resiko perilaku kekerasan biasanya
mendapatkan obat-obat anti psikosis seperti: Haloperidol,
24
Clorpromazine, dan anti kolinergik seperti Triheksifenidil serta
Electro Convulsive Therapy (ECT).
k. Daftar Masalah Keperawatan
Berisi tentang masalah-masalah keperawatan yang didapat
dari pengumpulan data.
l. Pohon Masalah
Umumnya masalah keperawatan saling berhubungan dan
dapat digambarkan sebagai pohon masalah (Keliat, 2006). Pada
pohon masalah terdapat tiga komponen penting yaitu:
1) Prioritas masalah keperawatan (masalah utama) merupakan
masalah utama klien dari berbagai masalah.
2) Penyebab (causal) adalah salah satu masalah keperawatan yang
menyebabkan munculnya masalah utama.
3) Akibat adalah masalah keperawatan yang terjadi akibat masalah
utama.
25
2. Pohon Masalah
Gambar 2.2 : Pohon masalah Resiko Perilaku kekerasan
Sumber: Keliat (2006)
3. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
Menurut Fitria (2009), masalah keperawatan yang mungkin muncul:
a. Perilaku kekerasan
b. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
c. Perubahan persepsi sensori: Halusinasi
d. Harga diri rendah kronis
e. Isolasi sosial
f. Berduka disfungsional
Resiko perilaku
menciderai diri diri
sendiri, orang lain, dan
lingkungan
Perilaku kekerasan
Gangguan Persepsi
Sensori: Halusinasi
Gangguan pemeliharaan
kesehatan
Defisit perawatan
diri: mandi dan
berhias
Ketidakefektifan
penatalaksanaan
program
terapeutik
Ketidakefektifan
koping keluarga:
ketidakmampuan
keluarga merawat
klien di rumah
Akibat
Masalah Utama
Penyebab
26
g. Penatalaksaan regimen terapeutik inefektif
h. Koping keluarga tidak inefektif
4. Data yang Perlu Dikaji
Masalah Keperawatan Data yang perlu dikaji
Perilaku Kekerasan
Subjektif:
1. Klien mengancam
2. Klien mengumpat dengan kata-kata yang
kotor.
3. Klien mengatakan dendam dan jengkel.
4. Klien mengatakan ingin berkelahi
5. Klien menyalahkan dan menuntut.
6. Klien meremehkan
Obyektif
1. Mata melotot/ pandangan tajam.
2. Tangan mengepal.
3. Rahang mengatup.
4. Wajah memerah dan tegang.
5. Postur tubuh kaku.
6. Suara keras.
Gangguan Persepsi
Sensori: Halusinasi
Subyektif
1. Klien mengungkapkan mendengar suara-
suara yang tidak ada wujudnya.
27
2. Klien mengungkapkan melihat gambaran.
3. Klien mengungkapkan mencium bau.
4. Klien mengungkapkan merasa makan sesuatu
5. Klien mengungkapkan merasa ada sesuatu
pada kulitnya tanpa ada stimulus yang nyata.
6. Klientakut pada suara/ bunyi/ gambar yang
dilihat dan didengar.
7. Klien ingin memukul/ melempar barang-
barang.
Obyektif
1. Bicara
2. Senyum, dan ketawa sendiri
3. Menarik diri
4. Menghindar dari orang lain
5. Tidak dapat mewujudkan perhatian dan
konsentrasi
6. Curiga
7. Permusuhan
8. Memaksa/merusak diri sendiri, orang lain
dan lingkungan
9. Ekspresi muka tegang
10. Mudah tersinggung
11. Kekacauan alur pikir.
28
Resiko menciderai diri
sendiri, orang lain, dan
lingkungan.
Subyektif
1. Klien mengungkapkan cemas dan khawatir.
2. Klien mengungkapkan apa yang dilihat dan
didengar mengancam dan membuatnya takut.
Obyektif
1. Wajah klien tampak tegang.
2. Mata merah dan melotot.
3. Rahang mengatup.
4. Tangan mengepal.
5. Mondar mandir.
Tabel 2.1 : Data yang perlu dikaji
Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku
kekerasan, anrata lain sebagai berikut :
a. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah
b. Stimulasi lingkungan
c. Konflik interpersonal
d. Status mental
e. Putus obat
f. Penyalahgunaan narkoba/alkohol.
5. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul, antara lain (Damaiyanti, 2012):
a. Perilaku Kekerasan,
29
b. Harga diri rendah kronik,
c. Risiko perilaku kekerasan (diri sendiri, orang lain, limgkungan, dan
verbal).
6. Rencana Tindakan Keperawatan
Perencanaan keperawatan menurut Dalami, dkk (2009) untuk
pasien resiko perilaku kekerasan rencana intervensi dapat digunakan
untuk mengatasinya adalah sebagai berikut: Kesadaran diri perawat dan
klien sangat penting karena akan mempengaruhi intervensi dan interaksi
antara klien dan perawat. Bila secara emosi belum siap sebaiknya
intervensi ditunda, merumuskan batasan marah bersama klien untuk
mengenalkan pada klien arti dan makna marah sehingga klien dapat
mengukur dirinya, pengendalian terhadap kekerasan dengan melibatkan
lingkungan sekitar dan psikofarmaka, latihan asertif dengan cara
menurunkan energi dan emosi kemarahan dengan cara yang biasa
dilakukan klien setelah itu dilakukan komunikasi secara asertif untuk
menyelesaikan permasalahan.
MenurutStuart dan laria 2001, Keliat, B.A (2006) perencanaan
keperawatan terdiri dari tiga aspek, yaitu tujuan umum, tujuan khusus,
dan rencana tindakan keperawatan. Tujuan umum berfokus pada
penyelesaian permasalahan (P) dari diagnosis tertentu. Tujuan umum
dapat dicapai jika serangkaian tujuan khusus telah tercapai.
Menurut Stuart dan laria 2001, dalam buku Keliat, B.A(2006),
tujuan khusus berfokus pada penyelesaian etiologi (E) dari diagnosis
30
tertentu. Tujuan khusus merupakan rumusan kemampuan yang perlu
dicapai atau dimiliki klien. Kemampuan ini dapat bervariasi sesuai
dengan masalah dan kebutuhan klien. Umumnya, kemampuan klien pada
tujuan khusus dapat dibagi menjadi tiga aspekyaitu kemampuan kognitif
yang diperlukan untuk menyelesaikan etiologi dari diagnosis
keperawatan, kemampuan psikomotor yang diperlukan agar etiologi
dapat teratasi, dan kemampuan afektif yang perlu dimiliki klien agar
klien percaya pada kemampuan menyelesaikan masalah.
a. Fokus Intervensi Resiko Perilaku Kekerasan
Tujuan umumnya adalah klien tidak melakukan tindakan
kekerasan.Tujuan khusus pertama adalah klien dapat membina
hubungan saling percaya. Kriteria evaluasi adalah wajah cerah,
tersenyum, mau berkenalan, ada kontak mata, bersedia menceritakan
perasaan. Intervensi keperawatannya adalah Bina hubungan saling
percaya dengan: beri salam setiap berinteraksi, perkenalkan nama,
nama panggilan perawat dan tujuan perawat berinteraksi, tanyakan
dan panggil nama kesukaan klien, tunjukkan sikap empati, jujur dan
menepati janji setiap kali berinteraksi, tanyakan perasaan klien dan
masalah yang dihadapi klien, buat kontrak interaksi yang jelas,
dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan perasaan klien.
Tujuan khusus yang kedua yaitu klien dapat mengidentifikasi
penyebab perilaku kekerasan yang dilakukannya. Kriteria
evaluasinya yaitu klien menceritakan penyebab perasaan
31
jengkel/kesal baik dari diri sendiri maupun lingkungannya.
Intervensi keperawatannya adalah bantu klien mengungkapkan
perasaan marahnya dengan motivasi klien untuk menceritakan
penyebab rasa kesal atau jengkelnya, dengarkan tanpa menyela atau
memberi penilaian setiap ungkapan perasaan klien.
Tujuan khusus yang ketiga yaitu klien dapat mengidentifikasi
tanda-tanda perilaku kekerasan. Kriteria hasilnya adalah klien
menceritakan tanda-tanda saat terjadi perilaku kekerasan yaitu tanda
fisik: mata merah, tangan mengepal, ekspresi tegang, dan lain-lain,
tanda emosional : perasaan marah, jengkel, bicara kasar, tanda sosial
: bermusuhan yang dialami saat terjadi perilaku kekerasan. Intervensi
keperawatannya yaitu bantu klien mengungkapkan tanda-tanda
perilaku kekerasan yang dialaminya: motivasi klien menceritakan
kondisi fisik (tanda-tanda fisik) saat perilaku kekerasan terjadi,
motivasi klien menceritakan kondisi emosinya (tanda-tanda
emosional) saat terjadi perilaku kekerasan, motivasi klien
menceritakan kondisi hubungan dengan orang lain (tanda-tanda
sosial) saat terjadi perilaku kekerasan.
Tujuan khusus yang keempat yaitu klien dapat
mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya.
Dengan kriteria evaluasi klien menjelaskan: jenis-jenis ekspresi
kemarahan yang selama ini telah dilakukannya, perasaannya saat
melakukan kekerasan, efektivitas cara yang dipakai dalam
32
menyelesaikan masalah. Intervensi keperawatannya yaitu diskusikan
dengan klien perilaku kekerasan yang dilakukannya selama ini:
motivasi klien menceritakan jenis-jenis tindak kekerasan yang
selama ini pernah dilakukannya, motivasi klien menceritakan
perasaan klien setelah tindak kekerasan tersebut terjadi, diskusikan
apakah dengan tindak kekerasan yang dilakukannya masalah yang
dialami teratasi.
Tujuan khusus yang kelima yaitu klien dapat
mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. Kriteria evaluasinya
adalah klien menjelaskan akibat tindak kekerasan yang
dilakukannya: diri sendiri : luka, dijauhi teman, dll, orang
lain/keluarga : luka, tersinggung, ketakutan, dll, lingkungan : barang
atau benda rusak dll. Untuk intervensi keperawatan meliputi
diskusikan dengan klien akibat negatif (kerugian) cara yang
dilakukan pada: diri sendiri, orang lain/keluarga, lingkungan.
Tujuan khusus yang keenam yaitu klien dapat
mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan kemarahan.
Dengan kriteria evaluasi klien mampu menjelaskan cara-cara sehat
mengungkapkan marah. Intervensi keperawatan meliputi diskusikan
dengan klien: apakah klien mau mempelajari cara baru
mengungkapkan marah yang sehat, jelaskan berbagai alternatif
pilihan untuk mengungkapkan marah selain perilaku kekerasan yang
diketahui klien, jelaskan cara-cara sehat untuk mengungkapkan
33
marah dengan cara fisik: nafas dalam, pukul bantal atau kasur, olah
raga, verbal: mengungkapkan bahwa dirinya sedang kesal kepada
orang lain, sosial: latihan asertif dengan orang lain, spiritual:
sembahyang/doa, zikir, meditasi, dsb sesuai keyakinan agamanya
masing-masing.
Tujuan khusus yang ketujuh yaitu klien dapat
mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan. Kriteria
evaluasinnya adalah klien memperagakan cara mengontrol perilaku
kekerasan: fisik: tarik nafas dalam, memukul bantal/kasur, verbal:
mengungkapkan perasaan kesal/jengkel pada orang lain tanpa
menyakiti, spiritual: zikir/doa, meditasi sesuai agamanya. Intervensi
keperawatan meliputi, diskusikan cara yang mungkin dipilih dan
anjurkan klien memilih cara yang mungkin untuk mengungkapkan
kemarahan, latih klien memperagakan cara yang dipilih: peragakan
cara melaksanakan cara yang dipilih, jelaskan manfaat cara tersebut,
anjurkan klien menirukan peragaan yang sudah dilakukan, beri
penguatan pada klien, perbaiki cara yang masih belum sempurna.
Anjurkan klien menggunakan cara yang sudah dilatih saat
marah/jengkel.
Tujuan khusus yang kedelapan yaitu klien mendapat
dukungan keluarga untuk mengontrol perilaku kekerasan. Kriteria
evaluasinya adalah keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien
dengan perilaku kekerasan, mengungkapkan rasa puas dalam
34
merawat klien. Intervensi keperawatannya meliputi diskusikan
pentingnya peran serta keluarga sebagai pendukung klien untuk
mengatasi perilaku kekerasan, diskusikan potensi keluarga untuk
membantu klien mengatasi perilaku kekerasan, jelaskan pengertian,
penyebab, akibat dan cara merawat klien perilaku kekerasan yang
dapat dilaksanakan oleh keluarga, peragakan cara merawat klien
(menangani perilaku kekerasan), beri kesempatan keluarga untuk
memperagakan ulang, beri pujian kepada keluarga setelah peragaan,
tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang dilatihkan.
Tujuan khusus kesembilan yaitu klien menjelaskan: manfaat
minum obat, kerugian tidak minum obat, nama obat, bentuk dan
warna obat , dosis yang diberikan kepadanya, waktu pemakaian, cara
pemakaian, efek yang dirasakan dan klien menggunakan obat sesuai
program yang telah ditetapkan. Intervensi keperawatannya adalah
jelaskan manfaat menggunakan obat secara teratur dan kerugian jika
tidak menggunakan obat, jelaskan kepada klien: jenis obat (nama,
warna dan bentuk obat), dosis yang tepat untuk klien, waktu
pemakaian, cara pemakaian, efek yang akan dirasakan klien. Dan
anjurkan klien untuk minta dan menggunakan obat tepat waktu,
lapor ke perawat/dokter jika mengalami efek yang tidak biasa, beri
pujian terhadap kedisiplinan klien menggunakan obat.
b. Fokus Intervensi Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
35
Tujuan umumnya adalah klien dapat mengontrol halusinasi
yang dialaminya.
Tujuan khusus pertama adalah klien dapat membina
hubungan saling percaya. Kriteria hasil: klien menunjukkan tanda –
tanda percaya kepada perawat: ekspresi wajah bersahabat,
menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan,
mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk
berdampingan dengan perawat, bersedia mengungkapkan masalah
yang dihadapi.
Intervensinya adalah bina hubungan saling percaya dengan
menggunakan prinsip komunikasi terapeutik: sapa klien dengan
ramah baik verbal maupun non verbal, perkenalkan nama, nama
panggilan dan tujuan perawat berkenalan, tanyakan nama
lengkapdannama panggilan yang disukai klien, buat kontrak yang
jelas, tunjukkan sikap jujur dan menepati janji setiap kali interaksi,
tunjukan sikap empati dan menerima apa adanya, beri perhatian
kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien, tanyakan
perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien, dengarkan dengan
penuh perhatian ekspresi perasaan klien. Rasional: hubungan saling
percaya mempermudah interaksi berikunya.
Tujuan khusus kedua adalah klien dapat mengenal
halusinasinya. Kriteria hasil: klien menyebutkanisi, waktu, frekuensi,
situasi dan kondisi yang menimbulkan halusinasi. Klien menyatakan
36
perasaan dan responnya saat mengalami halusinasi: marah, takut,
sedih, senang, cemas, jengkel.
Intervensinya adalah adakan kontak sering dan singkat secara
bertahap. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya
(dengar /lihat /penghidu /raba /kecap), jika menemukan klien yang
sedang halusinasi: tanyakan apakah klien mengalami sesuatu
(halusinasi dengar/ lihat/ penghidu /raba/ kecap ), jika klien
menjawab ya, tanyakan apa yang sedang dialaminya, katakan bahwa
perawat percaya klien mengalami hal tersebut, namun perawat
sendiri tidak mengalaminya (dengan nada bersahabat tanpa menuduh
atau menghakimi), katakan bahwa ada klien lain yang mengalami hal
yang sama, katakan bahwa perawat akan membantu klien. Jika klien
tidak sedang berhalusinasi klarifikasi tentang adanya pengalaman
halusinasi, diskusikan dengan klien : isi, waktu dan frekuensi
terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore, malam atau sering dan
kadang-kadang ), situasi dan kondisi yang menimbulkan atau tidak
menimbulkan halusinasi. Diskusikan dengan klien apa yang
dirasakan jika terjadi halusinasi dan beri kesempatan untuk
mengungkapkan perasaannya.Diskusikan dengan klien apa yang
dilakukan untuk mengatasi perasaan tersebut. Diskusikan tentang
dampak yang akan dialaminya bila klien menikmati halusinasinya,
rasional: dengan mengenal halusinasi akan memudahkan pemberian
intervensi kepada klien.
37
Tujuan khusus ketiga adalah klien dapat mengontrol
halusinasinya. Kriteria hasil: klien menyebutkan tindakan yang
biasanya dilakukan untuk mengendalikan halusinasinya, klien
menyebutkan cara baru mengontrol halusinasi, klien dapat memilih
dan memperagakan cara mengatasi halusinasi
(dengar/lihat/penghidu/raba/kecap), klien melaksanakan cara yang
telah dipilih untuk mengendalikan halusinasinya, klien mengikuti
terapi aktivitas kelompok.
Intervensinya adalah identifikasi bersama klien cara atau
tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur, marah,
menyibukan diri). Diskusikan cara yang digunakan klien, jika cara
yang digunakan adaptif beri pujian, jika cara yang digunakan
maladaptif diskusikan kerugian cara tersebut. Diskusikan cara baru
untuk memutus/ mengontrol timbulnya halusinasi: katakan pada diri
sendiri bahwa ini tidak nyata (“saya tidak mau dengar/ lihat/
penghidu/ raba/kecap pada saat halusinasi terjadi), menemui orang
lain (perawat/teman/anggota keluarga) untuk menceritakan tentang
halusinasinya, membuat dan melaksanakan jadwal kegiatan sehari
hari yang telah di susun, meminta keluarga/teman/ perawat menyapa
jika sedang berhalusinasi. Bantu klien memilih cara yang sudah
dianjurkan dan latih untuk mencobanya. Beri kesempatan untuk
melakukan cara yang dipilih dan dilatih. Pantau pelaksanaan yang
telah dipilih dan dilatih, jika berhasil beri pujian. Anjurkan klien
38
mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realita, stimulasi
persepsi, rasional: kontrol halusinasi dapat mengurangi ansietas pada
halusinasi.
Tujuan khusus keempat adalah Klien dapat dukungan dari
keluarga dalam mengontrol halusinasinya. Kriteria hasil: keluarga
menyatakan setuju untuk mengikuti pertemuan dengan perawat,
keluarga menyebutkan pengertian, tanda dan gejala, proses
terjadinya halusinasi dan tindakan untuk mengendalikan halusinasi.
Intervensinya adalah buat kontrak dengan keluarga untuk
pertemuan (waktu, tempat dan topik ). Diskusikan dengan keluarga
(pada saat pertemuankeluarga/kunjungan rumah): pengertian
halusinasi, tanda dan gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi,
cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus
halusinasi, obat- obatan halusinasi, cara merawat anggota keluarga
yang halusinasi di rumah (beri kegiatan, jangan biarkan sendiri,
makan bersama, bepergian bersama, memantau obat–obatan dan cara
pemberiannya untuk mengatasi halusinasi). Beri informasi waktu
kontrol ke rumah sakit dan bagaimana cara mencari bantuan jika
halusinasi tidak tidak dapat diatasi di rumah. Rasional: dukungan
keluarga dapat menjadi motivasi kesembuhan klien.
Tujuan khusus kelima adalah klien dapat memanfaatkan obat
dengan baik. Kriteria hasil: klien menyebutkan manfaat minum obat,
kerugian tidak minum obat, nama, warna, dosis, efek terapi dan efek
39
samping obat, klien mendemontrasikan penggunaan obat dgn benar,
klien menyebutkan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi
dokter.
Intervensinya adalah diskusikan dengan klien tentang
manfaat dan kerugian tidak minum obat, nama , warna, dosis, cara ,
efek terapi dan efek samping penggunan obat. Pantau klien saat
penggunaan obat. Beri pujian jika klien menggunakan obat dengan
benar. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi
dengan dokter. Anjurkan klien untuk konsultasi kepada
dokter/perawat jika terjadi hal-hal yang tidakdiinginkan. Rasional:
penggunaan obat secara teratur mempercepat kesembuhan klien.
7. Implementasi Keperawatan
Menurut Herman, (2011) implementasi tindakan keperawatan
disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Pada situasi nyata,
implementasi sering kali jauh berbeda dengan rencana. Hal itu terjadi
karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam
melaksanakan tindakan keperawatan. Yang biasa dilakukan perawat
adalah menggunakan rencana yang tidak ditulis, yaitu apa yang
dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan. Hal itu sangat
membahayakan klien dan perawat jika tindakan berakibat fatal, da juga
tidak memenuhi aspek legal.
Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan,
perawat perlu memvalidasi secara singkat, apakah rencana tindakan
40
masih sesuai dan dibutuhkan oleh klien saat ini (here and now). Perawat
juga menilai diri sendiri, apakah mempunyai kemampuan interpersonal,
intelektual, dan tekhnikal yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan.
Perawat juga menilai kembali apakah tindakan aman bagi klien. Setelah
tidak ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan.
Pada saat akan melaksanakan tindakan keperawatan, perawat membuat
kontrak (inform consent) dengan klien yang isinya menjelaskan apa yang
akan dilaksanakan dan peran serta yang diharapkan dari klien.
Dokumentasikan semua tindakan yang telah dilaksanakan beserta respons
klien.
8. Evaluasi keperawatan
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada
respons klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Evaluasi dibagi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif yang dilakukan
setiap selesai melakukan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang
dilakukan dengan membandingkan antara respons klien dan tujuan
khusus serta umum yang telah ditentukan (Keliat, 2006).Evaluasi dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir.
S : Respos subyektif klien terhadap intervensi yang dilaksanakan
O : Respon obyektif klien terhadap intervensi yang dilaksanakan.
Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien saat tindakan
41
dilakukan, tau menanyakan kembali apa yang telah diajarkan atau
memberi umpan balik sesuai dengan hasil observasi.
A : Analisa ulang atas data subyektif dan obyektif untuk
menyimpulkan apakah masalah masih tetap, sudah teratasi, atau
ada masalah baru dan ada data yang kontradiksi dengan masalah
yang ada. Dapat pula membandingkan hasil dengan tujuan.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada
respon klien yang terdiri dari tindak lanjut klien (PR), dan tindak
lanjut oleh perawat.
C. Terapi Gerak
1. Pengertian
Menurut Ariyadi 2009 dalam jurnal Indy-Arina (2010), terapi
gerak adalah terapi aktivitas fisik yang dapat dilakukan dengan cara
berolahraga untuk melatih tubuh seseorang agar sehat secara jasmani dan
rohani.
Pemanasan olahraga adalah salah satu bentuk persiapan
emosional, fisiologis, dan psikologis. Pemanasan olahraga merupakan
gerakanperegangan dan pelemasan sebelum melakukan latihan atau
olahraga utama sehingga ketika melakukan olahraga/latihan utama tidak
mengalami kram atau kejang otot, badan kaku, dan rasa sakit.
Latihan pemanasan (warming-up) merupakan salah satu bagian
dasar dari program latihan permulaan (conditioning program). Dengan
42
latihan pemanasan tersebut dapat merangsang jantung dan paru-paru,
aliran darah serta temperatur tubuh dan otot (strauss).
2. Manfaat Pemanasan
Kebanyakan orang yang melakukan aktivitas fisik secara teratur,
sependapat bahwa ia memiliki alasan bahwa apa yang ia lakukan
menyebabkan badan merasa lebih enak. Menurut Mangi R, Jokl P.,
Dayton W, perlu diketahui dengan melihat manfaat pemanasan dari tiga
segi yaitu:
a. Fisiologi pemanasan
Secara fisiologis melakukan latihan pemanasan akan
meningkatkan suhu tubuh dan otot. Contoh meningkatnya suhu
tubuh dan otot akan meningkat dalam : aktivitas enzim,
meningkatkan peredaran darah dan penyediaan oksigen, dan waktu
kontraksi secara reflek. Sebagai akibat pemanasan yang dilakukan,
suhu tubuh akan meningkat yang merupakan salah satu faktor yang
memudahkan dalam kerja. Selanjutnya pemanasan akan merangsang
aktivitas sistim syaraf pusat yang mengkoordinir sistim organisme,
mempercepat waktu reaksi motorik dan memperhatikan koordinasi.
b. Psikologis pemanasan
Meskipun aspek ini belum banyak diteliti namun banyak
terlihat bahwa pemanasan bisa menjadi ajang/area yang pas untuk
melepas kecemasan.
43
c. Pencegahan cedera
Peningkatan temperatur jaringan yang dihasilkan selama
pemanasan akan mengurangi kejadian dan kemungkinan cedera pada
otot. Sebagai contoh: elastisitas otot tergantung dari baik buruknya
aliran darah. Otot yang tidak panas, volume darahnya rendah
sehingga lebih rentan terhadap cedera atau kerusakan dibanding
dengan otot yang volume darahnya tinggi.
3. Tujuan Pemanasan
Pemanasan mempunyai tujuan penting, yaitu :
a. Menarik dan memanaskan otot-otot anggota tubuh.
b. Menyiapkan denyut jantung, hingga tubuh dapat bergerak secara
berangsur-angsur untuk mendapat denyut jantung yang lebih tinggi.
c. Untuk mengkondisikan fungsi fisik agar siap menerima pembebanan
pada tahap kondising : meningkatkan suhu tuuh, menngkatkan
mobilitas gerak persendian dan penguluran otot.
4. Bentuk-bentuk Pemanasan
Bentuk-bentuk latihan pemanasan dapat dikelompokkan dlam tiga
kategori, yaitu:
a. Pemanasan pasif (passive warm-up) merupakan latihan pemanasan
dengan menggukan peralatan khusus seperti penggunaan bantalan
pemanas (heating pads), mandi sauna (hot shower), mandi air panas
juga merupakan jenis pemanasan pasif.
44
b. Pemanasan aktif (active warm-up) biasa juga disebut general warm-
up merupakan teknik pemanasan yang sering digunakan dalam
latihan pemanasan. Teknik ini menggunakan beberapa gerakan yang
bervariasi den secara tidak langsung berkaitan dengan gerakan yang
dipakai dalam olahraga itu sendiri. Yang termasuk dalam teknik ini
adalah gerakan jogging dan jalan cepat.
c. Formal warm-up (specific warm-up), pemanasan ini meliputi
gerakan-gerakan yang menirukan gerakan-gerakan yang digunakan
dalam aktivitas olahraga sesungguhnya, dengan intensitas yang lebih
berkurang (menurun).
D. Kecemasan
1. Pengertian
Menurut Stuart & Sudeen, 1998 dalam jurnal Hidayati (2010),
kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang
menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram disertai
berbagai keluhan fisik, keadaan tersebut dapat terjadi dalam situasi
kehidupan maupun sakit.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Kecemasan
a. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart & Sudeen, 1998 dalam jurnal Hidayati
(2010), teori yang dikembangkan untuk menjelaskan penyebab
kecemasan adalah :
45
1) Teori Psikoanalitik
Menurut Freud struktur kepribadian terdiri dari 3 elemen yaitu
id, ego, super ego. Id melambangkan dorongan insting dan
impuls primitif, super ego mencerminkan hati nurani seseorang
dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang,
sedangkan ego digambarkan sebagai mediator antara tuntutan
dari id dan super ego. Ansietas merupakan konflik emosional
antara id dan super ego yang berfungsi untuk memperingatkan
ego tentang sesuatu bahaya yang perlu diatasi.
2) Teori Interpersonal
Menurut Stuart & Sudeen, 1998 dalam jurnal Hidayati (2010),
kecemasan terjadi dari ketakutan akan pola penolakan
interpersonal. Hal ini juga duhubungkan dengan trauma pada
masa perkembangan atau pertumbuhan seperti kehilangan,
perpisahan yang menyebabkan seseorang menjadi tidak berdaya.
3) Teori Perilaku
Kecemasan merupakan hasil frustasi yaitu segala sesuatu yang
mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Para ahli perilaku menganggap ansietas
merupakan sesuatu dorongan yang dipelajari berdasarkan
keinginan untuk menghindarkan rasa sakit (Smeltzer & Bare,
2001).
46
b. Faktor Presipitasi
Kecemasan adalah keadaan yang tidak dapat dielakkan pada
kehidupan manusia dalam memelihara keseimbangan.
3. Alat Ukur Kecemasan
Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang
apakah ringan, sedang, berat atau berat sekali orang mengunakan alat
ukur (instrumen) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale of
Anxiety(HRS-A). Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang
masing-masing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih
spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (score)
antara 0 – 4, yang artinya adalah :
Nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan)
1 = gejala ringan
2 = gejala sedang
3 = gejala berat
4 = gejala berat sekali
Penilaian atau pemakaian alat ukur ini dilakukan oleh dokter
(psikiater) atau orang yang telah dilatih untuk menggunakannya melalui
teknik wawancara langsung. Masing-masing nilai angka (score) dari 14
kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan
tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang, yaitu :
Total Nilai (score) :kurang dari 14 = tidak ada kecemasan
47
14 – 20 = kecemasan ringan
21 – 27 = kecemasan sedang
28 – 41 = kecemasan berat
42 – 56 = kecemasan berat sekali
Menurut Dadang (2011: 80), adapun hal-hal yang dinilai dalam
alat ukur HRS-A ini adalah sebagai berikut :
No. Gejala Kecemasan Nilai Angka (Score)
01. Perasaan cemas (ansietas)
1. Cemas
2. Firasat buruk
3. Takut akan pikiran sendiri
4. Mudah tersinggung
0 1 2 3 4
02. Ketegangan
1. Merasa tegang
2. Lesu
3. Tidak bisa istirahat tenang
4. Mudah terkejut
5. Mudah menangis
6. Gemetar
7. Gelisah
0 1 2 3 4
03. Ketakutan
1. Pada gelap
2. Pada orang asing
0 1 2 3 4
48
3. Ditinggal sendiri
4. Pada binatang besar
5. Pada keramaian lalu lintas
6. Pada kerumunan orang banyak
04. Gangguan Tidur
1. Sukar masuk tidur
2. Terbangun malam hari
3. Tidur tidak nyenyak
4. Bangun dengan lesu
5. Banyak mimpi-mimpi
6. Mimpi buruk
7. Mimpi menakutkan
0 1 2 3 4
05. Gangguan kecerdasan
1. Sukar konsentrasi
2. Daya ingat menurun
3. Daya ingat buruk
0 1 2 3 4
06. Perasaan depresi (murung)
1. Hilangnya minat
2. Berkurangnya kesenanga pada
hobi
3. Sedih
4. Bangun dini hari
5. Perasaan berubah-ubah
0 1 2 3 4
49
sepanjang hari
07. Gejala somatik/fisik (otot)
1. Sakit dan nyeri diotot-otot
2. Kaku
3. Kedutan otot
4. Gigi gemerutuk
5. Suara tidak stabil
0 1 2 3 4
08. Gejala somatik/fisik (sensorik)
1. Tinitus (telinga berdenging)
2. Penglihatan kabur
3. Muka merah atau pucat
4. Merasa lemas
5. Perasaan ditusuk-tusuk
0 1 2 3 4
09. Gejala kardivaskuler (jantung dan
pembuluh darah)
1. Takikardi (denyut jantung cepat)
2. Berdebar-debar
3. Nyeri di dada
4. Denyut nadi mengeras
5. Rasa lesu/lemas seperti mau
pingsan
6. Detak jantung mnghilang
(berhenti sekejap)
0 1 2 3 4
50
10. Gejala respiratori (pernafasan)
1. Rasa tertekan atau sempit di
dada
2. Rasa tercekik
3. Sering menarik nafas
4. Nafas pendek/sesak
0 1 2 3 4
11. Gejala gastrointestinal (pencernaan)
1. Silut menelan
2. Perut melilit
3. Gangguan pencernaan
4. Nyeri sebelum dan sesudah
makan
5. Perasaan terbakar diperut
6. Rasa penuh atau kembung
7. Mual
8. Muntah
9. Buang air besar lembek
10. Sukar buang air besar
(konstipasi)
11. Kehilangan berat badan
0 1 2 3 4
12. Gejala urgenital (perkemihan dan
kelamin)
1. Sering buang air kecil
0 1 2 3 4
51
2. Tidak dapat menahan air seni
3. Tidak datang bulan (tidak ada
haid)
4. Darah haid berlebihan
5. Masa haid berkepanjangan
6. Masa haid amat pendek
7. Haid beberapa kali dalam
sebulan
8. Menjadi ringan (frigid)
9. Ejakulasi dini
10. Ereksi melemah
11. Ereksi hilang
12. Impotensi
13. Gejala autonom
1. Mulut kering
2. Muka merah
3. Mudah berkeringat
4. Kepala pusing
5. Kepala terasa berat
6. Kepala terasa sakit
7. Bulu-bulu berdiri
0 1 2 3 4
14. Tingkah laku (sikap) pada wawancara
1. Gelisah
0 1 2 3 4
52
2. Tidak tenang
3. Jari gemetar
4. Kerut kening
5. Muka tegang
6. Otot tegang/mengeras
7. Nafas pendek dan cepat
8. Muka merah
Jumlah Nilai Angka (Total Score) =
Tabel 2.2 : Skala HRS-A
53
BAB III
LAPORAN KASUS
Dalam bab III laporan kasus penulis akan mengulas tentang pemberian
terapi gerak (warming-up) terhadap tingkat kecemasan pada asuhan keperawatan
jiwa denan perilaku kekerasan yang terdiri dari pengkajian pada pasien, analisa
dari data yang diperoleh, intervensi, implementasi keperawatan serta evaluasi dari
hasil implementasi keperawatan.
A. Identitas Pasien
Pengkajian penulis dilakukan pada tanggal 07 April 2014 dengan
metode wawancara dan melihat status pasien, dari pengkajian tersebut
didapatkan data sebagai berikut, pasien masuk pada tanggal 02 April 2014,
pasien dengan inisial Sdr. I yang berusia 20 tahun, dengan jenis kelamin
perempuan, bertempat tinggal di Sukoharjo. Pasien beragama islam, status
pasien belum kawin, pasien belum bekerja dan pendidikan terakhir SMA.
Pasien masuk RSJD Surakarta sudah 2 kali ini. Penanggung jawab pasien
berinisial Tn. S, berumur 42 tahun, pekerjaan swasta, pendidikn akhirnya
SMP, hubungan dengan pasien ayah kandung pasien.
B. Pengkajian
Pasien dibawa ke RSJD Surakarta dengan alasan masuk pasien sering
marah-marah, mengamuk dan berbicara ngelantur, selain itu juga pasien
54
mengalami perubahan sikap seperti gaduh, gelisah, sulit tidur, ngomong
sendiri.
Pengkajian faktor predisposisi, pasien sebelumnya pernah mengalami
gangguan jiwa dan sudah 2 kali di rawat di RSJD Surakarta, terakhir kali
pasien di rawat tanggal 03 Maret 2010, pengobatan kurang berhasil dilihat
dari pasien yang sering kambuh karena pasien tidak rutin kontrol, pasien tidak
pernah mengalami penganiayaan fisik, tidak pernah mengalami tindakan
kriminal dan kekerasan dalam rumah tangga, serta tidak ada penolakan dalam
masyarakat dengan gangguan jiwa yang sedang dialami pasien saat ini.Faktor
presipitasi terjadinya gangguan jiwa yaitu pasien mengatakan mengamuk di
rumah, lalu berbicara ngelantur, ngomong sendiri karena merasa khawatir
dengan pacar dan keluarganya.
Hasil pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda
vital,tekanan darah: 110/70 mmHg; nadi: 68x/menit; respirasi: 22x/menit;
suhu: 36,4˚C; tinggi badan: 154 cm; berat badan: 56 kg; rambut pasien hitam,
tidak berketombe tapi agak kotor; konjungtiva tidak anemis; sklera tidak
ikterik; hidung simetris, tidak ada polip, tidak ada sputum; telinga pasien
tidak terdapat serumen dalam telinga, pendengaran masih jelas; mulut tidak
ada stomatitis, gigi tidak ada karies, mukosa bibir agak lembab; leher tidak
ada nyeri tekan; dada simetris, tidak ada jejas, tidak ada keluhan dan tidak ada
nyeri tekan; abdomen tidak ada jejas, tidak ada nyeri tekan, agak kembung
dan tidak edema, ekstermitas tidak ada kelainan gerak, kekuatan otot penuh;
turgor kulit baik.
55
Hasil pengkajian psikososial tentang genogram pasien merupakan
anak ke 7 dari 8 bersaudara, dalam riwayat keluarga tidak ada yang
mengalami gangguan jiwa.
Keterangan : : laki-laki
: pasien
: meninggal
: garis perkawinan
: perempuan
: tinggal satu rumah
Gambar 3.1 : Genogram
Hasil pengkajian konsep diri pada citra tubuh, pasien menyukai semua
bagian tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Identitas diri
pasien mampu menyebutkan namanya dengan jelas,pasien mengatakan tidak
puas dengan keadaannya sekarang sebagai pasien gangguan jiwa. Peran
pasien mengatakan bahwa dirinya seorang anak perempuan, pasien belum
56
puas hanya sebagai anak usia 20 tahun seharusnya pasien dapat melanjutkan
sekolah ke fakultas yang diinginkannya atau bekerja untuk membantu orang
tuanya. Ideal diri pasien mengatakan ingin cepat sembuh dan cepat pulang
karena ingin tinggal bersama keluarganya lagi. Harga diri pasien mengatakan
malu bila bertemu dengan tetangganya karena dirinya suka marah-marah dan
mengamuk dirumah dan merasa dirinya tidak berguna lagi.
Berdasarkan pola hubungan sosial, pasien mengatakan orang yang
berarti dalam hidupnya adalah ibu dan ayahnya. Peran serta dalam kegiatan
bermasyarakat pasien tidak pernah bersosialita dan tidak pernah mengikuti
kegiatan dimasyarakat seperti karang taruna. Hambatan dalam berhubungan
dengan orang lain, pasien mengatakan sulit bergaul dengan teman-temannya
karena malu dengan keadaannya yang pernah dirawat di RSJ.
Nilai keyakinan dan pandangan terhadap gangguan jiwa pasien
mengatakan beragama islam tetapi ketikaditanya tentang pandangan dan
keyakinan terhadap gangguan jiwa yang sedang pasien alami, pasien bingung
dan tidak mau menjawab. Kegiatan ibadah pasien selama di RSJ dan di
rumah jarang melakukan sholat 5 waktu.
Pengkajian status mental, pasien berpenampilan tidak rapi, kebersihan
kurang, memakai pakaian rumah sakit dan mandi 2 kali sehari, ketika diajak
bicara pasien bicara ngelantur dan membentak. Aktivitas motorik saat diajak
bicara terlihat gelisah. Alam perasaan pasien merasa ketakutan dan khawatir.
Afek pasien labil apabila diberi stumulus langsung merespon. Saat dilakukan
pengkajian pasien kurang kooperatif dan mau menjawab walaupun ngelantur.
57
Persepsi pasien mengalami gangguan halusinasi. Proses pikir saat bicara,
pembicaraan pasien tidak terarah, dengan nada membentak. Isi pikir, pasien
mengatakan tidak mengalami gangguan jiwa, tidak ada waham, pasien juga
mengatakan ingin segera pulang dan ingin bertemu keluarganya. Tingkat
kesadaran pasien sadar penuh terkadang berubah. Memori jangka pendek
pasien tidak ingat yang membawanya ke RSJ adalah bapak dan kakaknya.
Tingkat konsentrasi, pasien tidak mampu berkonsentrasi dengan penuh
pertanyaan yang diberikan harus diulangi kembali. Kemampuan penilaian
Sdr. I belum mampu mengambil keputusan yang sederhana. Daya tilik, pasien
mengatakan bahwa pasien sedang mengalami gangguan jiwa.
Pengkajian tentang kebutuhan persiapan pulang pasien makan 3x
sehari ½ porsi makan dengan menu: nasi, sayur, lauk, pauk, dan buah. Pasien
dengan tangan kanannya setelah selesai makan pasien mencuci tangan dan
mencuci mukanya. Pasien BAB 3x sehari, BAK 4-6x dalam sehari di kamar
mandi, BAB kadang dicelana. Pasien mandi 2x sehari pagi dan sore, memakai
sabun, shampo dan juga gosok gigi. Pasien bisa berpakaian secara mandiri
setiap pagi sesuai dengan baju yang disiapkan rumah sakit. Pasien
mengatakan kurang lebih tidur 10 jam dan bangun sekitar pukul 06.00 WIB,
saat siang hari pasien tidur terus. Pasien minum obat secara teratur 2x1 sehari.
Ketika sudah diijinkan untuk pulang maka perawatan lanjutan yang harus
dilakukan pasien untuk memelihara kesehatan pasien didukung dengan
penggunaan obat. Aktivitas di dalam rumah jika dirumah pasien ingin
membantu pekerjaan rumah seperti mencuci pakaian, memasak, dan
58
merapikan rumah. Aktivitas di luar rumah, pasien jarang keluar rumah karena
malu dengan keadaannya yang mengalami gangguan jiwa.
Dari hasil pengkajian mekanisme koping adaptif pasien mau bercerita
tentang perasaannya kepada perawat, sedangkan mekanisme koping
maladaptif pasien mengatakan kesal karena pasien merasa kurang
diperhatikan oleh pacarnya, bila teringat pasien mengamuk dan berbicara
sendiri dan ngelantur. Masalah psikososial dan lingkungan pasien
mengatakan tidak ada masalah dengan kelompok usianya dan lingkungannya.
Untuk pengetahuan kurang, pasien saat ditanya tentang penyakit jiwa
yang sedang dialami, penyakit fisik, sistem pendukung, dan faktor presipitasi
pasien mengatakan tidak tahu dan untuk obat pasien hanya bisa menyebutkan
warnanya.
Diagnosa medik : F.20.0 dan pasien mendapat terapi inj. Lodomer 1x2
mg sehari, Trihexsilphenidil 2x2 gr sehari, dan Resperiden 2x2 gr sehari.
C. Perumusan Masalah Keperawatan
Berdasarkan data diatas dapat ditegakkan diagnosa keperawatan yaitu
perilaku kekerasan.
Berdasar masalah keperawatan tersebut, dapat digambarkan pohon
masalah sebagai berikut :
59
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain,(Akibat)dan lingkungan
Perilaku Kekerasan(Core Problem)
Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi (Penyebab)
Gambar 4 :Pohon Masalah
Daftar Masalah Keperawatan :
1. Perilaku Kekerasan
2. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
3. Gangguan persepsi sendori : Halusinasi dengar
D. Analisa Data
Berdasarkan hasil pengkajian penulis menegakkan data fokus yaitu
data subyektif : pasien mengatakan suka membentak, marah-marah, ngamuk
dan mengancam. Dari data obyektif: terdapat data pasien mata merah,
melotot, wajah pasien merah, pandangan tajam, pasien tampak membentak
dan marah-marah dengan nada suara yang keras dan tinggi, pasien nampak
direstrain/diikat, pasien tampak gelisah dan sedih. Berdasarkan data fokus
diatas maka penulis menegakkan diagnosa sebagai core problem sdr. I adalah
Perilaku Kekerasan. Hasil penulisan masalah tersebut penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan sebagai akibat, perilaku kekerasan sebagai core problem, dari
60
diagnosa tersebut dapat dijadikan prioritas diagnosa, prioritas yang pertama
perilaku kekerasan, gangguanpersepsi sensori halusinasi dengar sebagai
etiologi.
E. Intervensi
Rencana keperawatan yang disusun setelah memprioritaskan masalah
keperawatan dengan diagnosa keperawatan perilaku kekerasan. Tujuan
umum: pasien dapat mengontrol perilaku kekerasan. Tujuan Khusus (TUK 1):
Pasien dapat membina hubungan saling percaya. Dengan kriteria evaluasi
setelah 1x pertemuan klien tampak: Menunjukkan tanda-tanda percaya pada
perawat, wajah mulai mau membalas senyum, mau berkenalan, dan bersedia
menceritakan perasaannya. Intervensi yang akan dilakukan bina hubungan
saling percaya dengan, memberi salam setiap berinteraksi, perkenalan nama
perawat dan tujuan perawat berinteraksi, tanyakan dan panggil nama
kesukaan pasien, tunjukan sikap empati, jujur dan menepati janji setiap kali
berinteraksi, tanyakan perasaan pasien dan masalah yang dihadapi pasien,
buat kontrak interaksi yang jelas, dengarkan dengan penuh perhatian
ungkapan perasaan pasien.
TUK 2: pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
yang dilakukannya. Dengan kriteria evaluasi setelah 1x pertemuan pasien
menceritakan penyebab perilaku kekerasan yang dilakukannya, menceritakan
penyebab perasaan jengkel,marah dan kesal baik dari diri sendiri maupun
lingkungannya. Intervensi yang akan dilakukan, bantu pasien
61
mengungkapkan perasaan marahnya, motivasi pasien untuk menceritakan
penyebab rasa jengkel, dengarkan tanpa mencela atau memberi penilaian
setiap ungkapan perasaan pasien.
TUK 3: Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Dengan kriteria evaluasi setelah 1x pertemuan pasien menceritakan tanda-
tanda saat terjadi perilaku kekerasan, tanda fisik mata merah, tangan
mengepal, ekspresi wajah tegang, tanda emosional, perasaan marah bicara
kasar, tanda sosial bermusuhan yang dialami saat terjadi perilaku kekerasan.
Intervensi yang dilakukan, bantu pasien mengungkapkan tanda-tanda perilaku
kekerasan yang dialaminya, motivasi pasien menceritakan kondisi fisik saat
terjadi perilaku kekerasan, motivasi pasien menceritakan kondisi emosinya
saat terjadi perilaku kekerasan, motivasi pasien menceritakan kondisi
hubungan dengan orang lain saat terjadi perilaku kekerasan.
TUK 4: Pasien dapat mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan yang
pernah dilakukannya. Dengan kriteria evaluasi setelah 1x pertemuan pasien
menjelaskan, jenis-jenis ekspresi kemarahan yang selama ini telah dilakukan,
perasaan saat melakukan kekerasan, efektifitas cara yang dipakai dalam
menyelesaikan masalah. Intervensi yang akan dilakukan, diskusikan dengan
pasien perilaku kekerasanyang dilakukan selama ini, motivasi pasien
menceritakan jenis-jenis tindakan kekerasan yang selama ini pernah
dilakukannya, motivasi pasien menceritakan perasaan pasien setelah tindakan
kekerasan tersebut terjadi, diskusikan apakah dengan tindakan kekerasan
yang dilakukannya masalah yang dialami teratasi.
62
TUK 5: Pasien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Dengan kriteria evaluasi setelah 1x pertemuan pasien menjelaskan akibat
tindakan kekerasan yang dilakukannya, diri sendiri (luka, dijahui teman),
orang lain (keluarga luka, tersinggung, ketakutan), lingkungan (barang atau
benda rusak). Intervensi yang dilakukan, diskusikan dengan pasien akibat
negatif (kerugian) cara yang dilakukan pada diri sendiri,orang lain, keluarga,
dan lingkungan.
TUK 6: Pasien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam
mengungkapkan kemarahan. Dengan kriteria evaluasi 2x pertemuan pasien,
menjelaskan cara sehat mengungkapkan marah. Intervensi diskusikan dengan
pasien apakah pasien mau mempelajari cara mengungkapkan marah yang
sehat: a. Secara fisik dengan pukul bantal. b. Secara verbal dengan berbicara
yang sopan dan baik. c. Secara sosial dengan melakukan jadwal kegiatan
harian. d. Secara spiritual dengan melakukan ibadah. e. Dengan melakukan
terapi gerak (warming-up).
TUK 7: Pasien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
kekerasan. Dengan kriteria evaluasi 2x pertemuan pasien,
mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan. Intervensi bantu
pasien memilih cara yang tepat untuk pasien, bantu mengidentifikasi manfaat
cara yang dipilih, bantu untuk menstimulasi cara tersebut (role play), beri
reinforcement positif atau keberhasilan pasien tersebut, anjurkan untuk
menggunakan cara yang telah dipelajari tersebut.
63
TUK 8: Pasien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol
perilaku kekerasan. Dengan kriteria evaluasi 2x pertemuan pasien, keluarga
dapat menyebutkan cara merawat pasien dan mengungkapkan rasa puas
dalam merawat pasien. Intervensi identifikasi kemampuan keluarga merawat
pasien dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga terhadap pasien, jelaskan
peran serta keluarga dalam merawat pasien, jelaskan cara-cara merawat
pasien.
TUK 9: Pasien dapat mengguanakan obat-obatan yang diminum dan
kegunaannya. Dengan kriteria evaluasi 2x pertemuan pasien, dapat
menyebutkan obat-obatan yang diminum dan kegunaannya (jenis, waktu, dan
efek), pasien dapat minum obat sesuai program pengobatan. Intervensi
jelaskan jenis-jenis obatyang diminum pasien pada keluarga dan pasien,
diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa
seizin dokter, jelaskan prinsip benar minum obat (nama, dosis, waktu dan
cara), ajarkan pasien minta obat dan minum tepat waktu, anjurkan pasien
melaporkan pada perawat/dokter jika merasakan efek yang tidak enak, beri
pujian, jika pasien minum obat dengan benar.
F. Implementasi
Setelah merencanakan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah
keperawatan utama berdasarkan rencana tindakan tersebut maka dilakukan
tindakan keperawatan pada tanggal 07 April 2014 pukul 09.30 WIB yang
pertama membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi penyebab
64
perilaku kekerasan, mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan,
mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan, mengajarkan cara mengontrol
perilaku kekerasan dengan teknik nafas dalam dan memberi kesempatan pada
pasien untuk mempraktekkan.
Pada tanggal 08 April 2014 pukul 08.10 WIB melakukan tindakan
keperawatan memberi salam terapeutik, mengevaluasi latihan tarik nafas
dalam, melatih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan pemberian terapi
gerak pemanasan dan memberikan kesempatan pasien untuk mempraktekkan.
Pada jam 13.05 WIB melakukan tindakan keperawatan yaitu memberi
salam terapeutik, mengevaluasi latihan terapi gerak pemanasan dan mengkaji
tingkat kecemasan pasien setelah melakukan terapi gerak pemanasan.
G. Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan didapatkan hasil evaluasi,
strategi pelaksanaan satu, implementasi pada hari senin tanggal 07 April 2014
pada jam 09.30 WIB evaluasi subjektifnya : pasien mengatakan
gelisah/cemas, pasien membentak-bentak, pasien marah-marah dan ngamuk,
pasien memperkenalkan diri, pasien mengatakan mau melakukan cara
mengontrol perilaku kekerasan dengan cara tarik nafas dalam. Pasien
mengatakan gelisahnya sudah berkurang, pasien mengatakan setelah latihan
tarik nafas dalam perasaannya senang. Objektifnya : pasien mampu
memperkenalkan diri, menyebutkan nama dan alamat rumahnya dengan jelas,
pasien masih tampak lesu dan lemas, pasien tampak membentak-bentak dan
65
marah-marah, kecemasan pasien sebelum melakukan latihan tarik nafas
dalam kecemasan berat, setelah melakukan latihan tarik nafas dalam menjadi
kecemasan sedang. Analisanya : pasien mampu membina hubungan saling
percaya dengan perawat, pasien mampu mempraktekkan tarik nafas dalam.
Perencanaan evaluasinya : evaluasi strategi pelaksanaan I, ajarkan terapi
gerak pemanasan.
Pada hari selasa tanggal 08 April 2014 jam 08.10 WIB evaluasi
subjektifnya : pasien mengatakan masih cemas, pasien mengatakan setelah
latihan tarik nafas dalam perasaannya senang, pasien mengatakan masih ingat
cara mengontrol perilaku kekerasan dengan tarik nafas dalam, pasien
mengatakan setelah diajari terapi gerak pemanasan perasaannya senang.
Objektifnya : pasien tampak rileks setelah melakukan tarik nafas dalam,
pasien tampak kooperatif, tingkat kecemasan pasien masih sedang,
pandangannya masih tajam, ada kontak mata, pasien kooperatif dan pasien
tampak melakukan terapi gerak pemanasan. Analisanya : pasien mampu
melakukan tarik nafas dalam secara mandiri, pasien belum mampu
melakukan terapi gerak pemanasan secara mandiri. Perencanaan evaluasinya :
ajarkan terapi gerak pemanasan 2 kali dalam sehari.
Pada jam 13.05 WIB evaluasi subjektifnya : pasien mengatakan
perasaannya senang setelah melakukan latihan terapi gerak pemanasan secara
mandiri, pasien mengatakan cemasnya berkurang, pasien mengatakan senang
karena tidak merasa cemas lagi dan sudah bisa melakukan terapi gerak
pemanasan secara mandiri. Objektifnya : pasien tampak kooperatif, kontak
66
mata ada, muka pasien masih terlihat merah, tingkat kecemasan pasien
berkurang menjadi ringan, pasien sudah tidak marah-marah lagi setelah
latihan terapi gerak, pasien tampak rileks dan tidak marah-marah. Analisanya
: pasien sudah mampu melakukan terapi gerak pemanasan secara
mandiri.perencnaan evaluasi : evaluasi terapi gerak pemanasan, lanjutkan
terapi gerak pemanasan 2 kali dalam sehari dan ajarkan strategi pelaksanaan
II.
67
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas tentang Asuhan Keperawatan Jiwa
Pada Sdr. I Dengan Perilaku Kekerasan Di Ruang Sembadra RSJD Surakarta,
terutama pada pemberian terapi gerak pemanasan terhadap tingkat kecemasan
pada Sdr. I. Pembahasan pada bab ini terutama membahas adanya kesesuaian
maupun kesenjangan antara teori dengan kasus. Asuhan Keperawatan
memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia melalui tahap
pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana tindakan keperawatan, tindakan
keperawatan dan evaluasi keperawatan.
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan, tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan
kebutuhan atau masalah pasien (Kusumawati dan Hartono, 2010). Pengkajian
pada pasien, penulis menggunakan teori proses keperawatan jiwa yaitu
pengkajian identitas pasien, alasan masuk, faktorpredisposisi, faktor
presipitasi, pemeriksaan fisik, psikososial, status mental, kebutuhan persiapan
pulang, mekanisme koping, masalah psikososial dan lingkungan, aspek medik
dan terapi (Damaiyanti, 2012). Teknik pengkajian yang dilakukan penulis
adalah dengan cara wawancara dengan pasien (autoanamnesis).
Hasil pengkajian pada Sdr. I didapatkan data subyektif dan objektif
yaitu Sdr. I mengatakan suka membentak, marah-marah, ngamuk,
68
mengancam, mata pasien tampak merah, melotot, wajah merah, pandangan
tajam, marah dengan nada suara yang keras dan tinggi, pasien tampak gelisah
yang dinilai dari hasil observasi tingkat kecemasan yaitu pasien mengalami
perasaan cemas (cemas, mempunyai firasat buruk dengan orang lain, takut
akan pikiran sendiri), ketegangan (merasa tegang, lesu, tidak bisa istirahat
tenang, gemeter, gelisah), ketakutan bila ditinggal sendiri, gangguan tidur
(tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu), gangguan kecerdasan (sukar
konsentrasi, daya ingat menurun), perasaan depresi (hilangnya minat, sedih),
gejala somatik/otot (sakit dan nyeri diotot-otot, suara tidak stabil), gejala
somatik/sensorik (penglihatan kabur, muka merah, merasa lemas), gejala
kardiovaskuler (berdebar-debar, rasa lesu/lemas), gejala respiratori (sering
menarik nafas), gejala gastrointestinal (rasa penuh atau kembung), gejala
urogenital (sering buang air kecil, tidak dapat menahan air seni), gejala
autonomy (mulut kering, muka merah, mudah berkeringat, kepala pusing,
kepala terasa berat, kepala terasa sakit, bulu-bulu berdiri), tingkah laku pada
saat wawancara (gelisah, tidak tenang, jari gemetar, kerut kening, muka
tegang, otot tegang, muka merah), sehingga didapatkan total score 32 yaitu
tingkat kecemasan berat dan pasien merasa sedih serta pasien tampak
direstrain. Berdasarkan data pengkajian di atas diketahui tanda dan gejala
pada Sdr. I yaitu wajah merah dan tegang, berbicara dengan nada keras,
pasien direstrain. Tanda dan gejala yang muncul pada Sdr. I tersebut sesuai
dengan teori yang dicantumkan oleh penulis menunjukkan Sdr. I mengalami
perilaku kekerasan. Berdasar pengkajian diatas penulis menyimpulkan bahwa
69
apabila mengalami gangguan jiwa maka akan timbul perilaku kekerasan yang
membuat seseorang dapat bertindak sesuka hatinya tanpa memikirkan resiko
yang akan terjadi.
Pasien mendapat terapi obat yaitu terapi inj. Lodomer 1 mg/24 jam
digunakan untuk agitasi psikomotor pada kelainan tingkah laku,
Trihexsilphenidil 2 gr/12 jam yang berpengaruh pada sistem syaraf pusat
digunakan untuk mengontrol dan meringankan sementara gejala insomnia dan
ansietas, dan Resperiden 2 gr/12 jam (ISO, 2011).
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis terhadap respon aktual
atau potensial dari individu, keluarga atau masyarakat terhadap masalah
kesehatan/proses kehidupan (Keliat, 2006).
Pohon masalah pada perilaku kekerasan (core problem) dapat
mengakibatkan seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan
secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan
amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol. Hal ini dapat terjadi karena
beberapa penyebab yaitu perubahan persepsi sensori: halusinasi, gangguan
pemeliharaan kesehatan, ketidakmampuan keluarga merawat pasien di rumah
(Fitria, 2010). Saat dilakukan pengkajian pasien mengalami halusinasi dengar
yang didukung dari data subyektif dan obyektif yaitu pasien mendengar suara
yang tidak ada wujudnya/tidak nyata, pasien berbicara sendiri ngelantur, dan
ketawa sendiri, sehingga menyebabkan perilaku kekerasan yang didukung
70
dari data yaitu pasien membentak-bentak, marah-marah sendiri, mengancam
orang, teriak-teriak, mata melotot dan merah.
Data yang diperoleh dari Sdr. I yaitu perilaku kekerasan yang
didukung dari data subyektif : pasien mengatakan suka membentak, marah-
marah, ngamuk dan mengancam. Dari data obyektif: terdapat data pasien
mata merah, melotot, wajah pasien merah, pandangan tajam, pasien tampak
membentak dan marah-marah dengan nada suara yang keras dan tinggi,
pasien nampak direstrain/diikat, pasien tampak gelisah dan sedih. Tanda dan
gejala yang muncul pada Sdr. I sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh
penulis yaitu wajah memerah, terjadi peningkatan volume suara, pandangan
tajam,mengamuk. Data yang diperoleh dari Sdr. I sebagai penyebab dari
perilaku kekerasan yaitu halusinasi dengar yang didukung dari data subyektif
: pasien mengatakan seperti ada yang berbisik-bisik pada pasien. Dari data
obyektif : pasien tampak berbicara sendiri, pasien tampak bingung, mondar-
mandir dan teriak-teriak. Tanda dan gejala yang muncul pada Sdr. I sesuai
dengan teori yang dijelaskan oleh penulis yaitu bersikap seperti mendengar
suara, bicara sendiri dan ketawa sendiri.Berdasarkan data yang diperoleh
tersebut, diagnosa prioritas yang disesuaikan dengan masalah utama yaitu
perilaku kekerasan.
C. Rencana Keperawatan
Perencanaan keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan
dimana tujuan yang berpusat pada pasien dan hasil yang diperkirakan
71
ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut
(Potter dan Perry, 2006).
Menurut Keliat & Akemat (2009) dalam Damaiyanti & Iskandar
(2012) rencana tindakan keperawatan mencakup perumusan diagnosis, tujuan
serta rencana tindakan yang telah distandarisasi. Rencana keperawatan yang
penulis lakukan sama dengan landasan teori yang sudah penulis jabarkan
dalam BAB III, hal ini karena rencana tindakan keperawatan tersebut telah
sesuai dengan (SOP) Standart Operasional Prosedur yang telah ditetapkan.
Data yang diperoleh pada tanggal 07 – 08 April 2014 ditemukan
permasalahan yang menjadi rumusan diagnosa keperawatan perilaku
kekerasan. Pada perencanaan keperawatan penulis menyatakan tujuan umum
adalah pasien tidak melakukan tindakan kekerasan, ada 9 tujuan khusus yang
direncanakan namun hanya 7 tujuan khusus yang terlaksana karena
keterbatasan waktu.
TUK 1:pasien dapat membina hubungan saling percaya. Dengan
kriteria hasil pasien mau membalas salam, mau menjabat tangan, mau
menyebutkan nama, mau tersenyum, ada kontak mata, pasien juga
mengetahui nama perawat.
TUK 2: pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
yang dilakukannya. Dengan kriteria hasil pasien menceritakan penyebab
perilaku kekerasan yang dilakukannya, menceritakan penyebab perasaan
jengkel,marah dan kesal baik dari diri sendiri maupun lingkungannya.
72
TUK 3: Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Dengan kriteria hasil pasien menceritakan tanda-tanda saat terjadi perilaku
kekerasan, tanda fisik mata merah, tangan mengepal, ekspresi wajah tegang,
tanda emosional, perasaan marah bicara kasar, tanda sosial bermusuhan yang
dialami saat terjadi perilaku kekerasan.
TUK 4: Pasien dapat mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan yang
pernah dilakukannya. Dengan kriteria hasil pasien dapat menjelaskan jenis-
jenis ekspresi kemarahan yang selama ini telah dilakukan, perasaan saat
melakukan kekerasan, efektifitas cara yang dipakai dalam menyelesaikan
masalah.
TUK 5: Pasien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Dengan kriteria hasil pasien menjelaskan akibat tindakan kekerasan yang
dilakukannya, diri sendiri (luka, dijahui teman), orang lain (keluarga luka,
tersinggung, ketakutan), lingkungan (barang atau benda rusak).
TUK 6: Pasien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam
mengungkapkan kemarahan. Dengan kriteria hasil pasien menjelaskan cara
sehat mengungkapkan marah.
TUK 7: Pasien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
kekerasan. Dengan kriteria hasil pasien dapat mendemonstrasikan cara
mengontrol perilaku kekerasan, tarik nafas dalam, dapat mendemonstrasikan
cara mengontrol dengan melakukan terapi gerak pemanasan dan mengontrol
marahnya dengan pukul bantal.TUK 8 dan TUK 9 belum teratasi karena
keterbatasan waktu.
73
D. Tindakan Keperawatan
Menurut Keliat dan Akemat (2009) dalam Damaiyanti dan Iskandar
(2012) tindakan keperawatan merupakan standar dari standar asuhan yang
berhubungan dengan aktivitas keperawatan profesional yang dilakukan oleh
perawat, dimana implementasi dilakukan pada pasien, keluarga dan
komunitas berdasarkan rencana keperawatan yang dibuat. Dalam
mengimplementasikan intervensi, perawat kesehatan jiwa menggunakan
intervensi yang luas yang dirancang untuk mencegah penyakit meningkat,
mempertahankan dan memulihkan kesehatan fisik dan mental (Keliat &
Akemat, 2009 dalam Damaiyanti & Iskandar 2012).
Tindakan implementasi pada Sdr. I dilakukan selama dua hari pada
tanggal 07 April 2014 pukul 09.30 WIB 07-08 April 2014 di bangsal
Sembadra, RSJD Surakarta. Tindakan keperawatan yang dilakukan penulis
dalam bentuk strategi pelaksanaan I (SP I pasien) yaitu membina hubungan
saling percaya, mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan,
mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan, mengidentifikasi akibat
perilaku kekerasan, mengajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan
teknik nafas dalam dan memberi kesempatan pada pasien untuk
mempraktekkan.
Pada tanggal 08 April 2014 pukul 08.10 WIB melakukan tindakan
keperawatan strategi pelaksanaan II (SP II pasien) yaitu memberi salam
terapeutik, mengevaluasi latihan tarik nafas dalam, melatih cara mengontrol
perilaku kekerasan dengan cara pukul bantal dilanjutkan mengajarkan
74
pemberian terapi gerak pemanasan dan memberikan kesempatan pasien untuk
mempraktekkan.
Pada jam 13.05 WIB melakukan tindakan keperawatan yaitu memberi
salam terapeutik, mengevaluasi latihan terapi gerak pemanasan dan mengkaji
tingkat kecemasan pasien setelah melakukan terapi gerak pemanasan. yaitu
membina hubungan saling percaya dengan perawat, mengidentifikasi
penyebab, tanda dan gejala, akibat dari perilaku kekerasan, mengajarkan cara
mengontrol perilaku kekerasan dengan tarik nafas dalam, mengajarkan terapi
gerak pemanasan seperti kedua tangan diletakkan di pinggang dan
menggelengkan kepala ke kanan dan kiri, menolehkan kepala ke kanan dan
kiri secara bergantian, menolehkan kepala ke atas dan bawah secara
bergantian pula, satu kaki sebagai tumpuan dan kaki yang satunya diangkat
ke belakang dan kedua tangan direntangkan. Gerakan pemanasan ini
dilakukan selama 5 menit, 2 kali dalam sehari yaitu pada jam 08.05 WIB dan
13.00 WIB.
Terapi gerak pemanasan yang dilakukan secara teratur dapat
mengurangi kegelisahan, menurunkan tingkat kecemasan, menurunkan
ketegangan, menurunkan tingkat depresi, mencegah stress serta mengurangi
ketergantungan terhadap obat-obatan.
Pada pengukuran tingkat kecemasan penulis mengukur dengan
menggunakan skala HRS-A, sebelum dilakukan tindakan keperawatan
didapatkan total score 32 yaitu tingkat kecemasan berat, sesudah dilakukan
tindakan keperawatan yang pertama yaitu SP I pasien dengan tarik nafas
75
dalam, tingkat kecemasan pasien didapatkan total score 23 yaitu tingkat
kecemasan sedang. Kemudian setelah dilakukan tindakan keperawatan
dengan melakukan SP II pasien dan dilanjutkan dengan pemberian terapi
gerak pemanasan tingkat kecemasan pasien menjadi kecemasan ringan
dengan total score 14.
E. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada
respon pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Evaluasi dapat dibagi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan setiap
selesai melakukan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan
membandingkan respon pasien pada tujuan khusus dan umum yang telah
ditentukan (Kusumawati dan Hartono, 2010).
Hasil evaluasi yang didapatkan dari Sdr. I data subyektif dan data
objektif antara lain: pasien mengatakan ingin mengamuk, pasien bersedia
berjabat tangan dan membina hubungan saling percaya dengan perawat, pasien
mau menyebutkan penyebab perilaku kekerasan yang muncul, pasien mau
menjawab semua pertanyaan yang diberikan, pasien mau diajari cara
mengontrol perilaku kekerasan dengan tarik nafas dalan dan terapi gerak
pemanasan, kontak mata ada.
Hasil evaluasi yang didapatkan dari Sdr. I pada hari Senin tanggal 07
April 2014 pada jam 09.30 WIB evaluasi subjektifnya : pasien mengatakan
76
gelisah/cemas, pasien membentak-bentak, pasien marah-marah dan ngamuk,
pasien memperkenalkan diri, pasien mengatakan mau melakukan cara
mengontrol perilaku kekerasan dengan cara tarik nafas dalam. Pasien
mengatakan gelisahnya sudah berkurang, pasien mengatakan setelah latihan
tarik nafas dalam perasaannya senang. Objektifnya : pasien mampu
memperkenalkan diri, menyebutkan nama dan alamat rumahnya dengan jelas,
pasien masih tampak lesu dan lemas, pasien tampak membentak-bentak dan
marah-marah, kecemasan pasien sebelum melakukan latihan tarik nafas dalam
kecemasan berat, setelah melakukan latihan tarik nafas dalam menjadi
kecemasan sedang. Analisanya : pasien mampu membina hubungan saling
percaya dengan perawat, pasien mampu mempraktekkan tarik nafas dalam.
Perencanaan evaluasinya : evaluasi strategi pelaksanaan I, ajarkan terapi gerak
pemanasan.
Pada hari Selasa tanggal 08 April 2014 jam 08.10 WIB evaluasi
subjektifnya : pasien mengatakan masih cemas, pasien mengatakan setelah
latihan tarik nafas dalam perasaannya senang, pasien mengatakan masih ingat
cara mengontrol perilaku kekerasan dengan tarik nafas dalam, pasien
mengatakan setelah diajari terapi gerak pemanasan perasaannya senang.
Objektifnya : pasien tampak rileks setelah melakukan tarik nafas dalam, pasien
tampak kooperatif, tingkat kecemasan pasien masih sedang, pandangannya
masih tajam, ada kontak mata, pasien kooperatif dan pasien tampak melakukan
terapi gerak pemanasan. Analisanya : pasien mampu melakukan tarik nafas
dalam secara mandiri, pasien belum mampu melakukan terapi gerak
77
pemanasan secara mandiri. Perencanaan evaluasinya : ajarkan terapi gerak
pemanasan 2 kali dalam sehari.
Pada jam 13.05 WIB evaluasi subjektifnya : pasien mengatakan
perasaannya senang setelah melakukan latihan terapi gerak pemanasan secara
mandiri, pasien mengatakan cemasnya berkurang, pasien mengatakan senang
karena tidak merasa cemas lagi dan sudah bisa melakukan terapi gerak
pemanasan secara mandiri. Objektifnya : pasien tampak kooperatif, kontak
mata ada, muka pasien masih terlihat merah, tingkat kecemasan pasien
berkurang menjadi ringan, pasien sudah tidak marah-marah lagi setelah latihan
terapi gerak, pasien tampak rileks dan tidak marah-marah. Analisanya : pasien
sudah mampu melakukan terapi gerak pemanasan secara mandiri. Perencanaan
evaluasi : evaluasi terapi gerak pemanasan, lanjutkan terapi gerak pemanasan 2
kali dalam sehari dan ajarkan strategi pelaksanaan II.
Berdasarkan hasil Hamilton Rating Score for Anxiety (HRS-A)
disimpulkan bahwa tingkat kecemasan pasien terdapat perbedaan yang
signifikan. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian terapi gerak pemanasan
berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pada pasien yang mengalami
gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan di RSJD Surakarta, hasil penelitian
sesuai jurnal efektifitas terapi gerak terhadap perubahan tingkat kecemasan
pada pasien skizofrenia di RSJD Surakarta yang dipakai oleh penulis yaitu
menunjukkan bahwa terapi gerak pemanasan mampu mengurangi ketegangan
otot, meningkatkan perasaan bahagia dan kecemasan yang dialami oleh pasien.
78
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pengkajian
Penulis mengkaji data yang berfokus pengkajian pada kasus adalah
pasien mengatakan suka membentak, marah-marah, ngamuk dan
mengancam, pasien mengatakan ingin cepat pulang, ingin bertemu
dengan keluarga sambil menangis, mata pasien tampak merah, melotot,
wajah pasien tampak merah, pandangan tajam, pasien membentak dan
mara-marah dengan nada suara yang keras dan tinggi, pasien tampak
direstrain, pasien juga tampak gelisah/cemas dan sedih.
2. Diagnosa keperawatan pada pohon masalah yang menjadi core problem
adalah perilaku kekerasan, data yang mendukung dari Sdr. I sesuai
dengan teori dan didukung data subjektif: pasien mengatakan sering
marah dan ngamuk, dan data objektif: wajah pasien merah, mata melotot,
dengan nada suara keras, pasien tampak direstrain.
3. Intervensi yang dilakukan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur
(SOP) yang ditetapkan ada tujuan umum yaitu pasien dapatmengontrol
perilaku kekerasan, perencanaan tujuan khusus ada sembilan yaitu TUK
1 membina hubungan saling percaya, TUK 2 mengidentifikasi penyebab
perilaku kekerasan yang dilakukannya, TUK 3 mengidentifikasi tanda-
tanda perilaku kekerasan, TUK 4 mengidentifikasi jenis perilaku
78
79
kekerasan yang dilakukannya, TUK 5 mengidentifikasi akibat dari
perilaku kekerasannya, TUK 6 mengidintifikasi cara konstruktif dalam
mengungkapkan kemarahan, TUK 7 mendemonstrasikan cara
mengontrol perilaku kekerasan. TUK 8 dukungan keluarga untuk
mengontrol perilaku kekerasan, TUK 9 pasie dapat menjelaskan manfaat
minum obat, kerugian tidak minum obat, nama obat, bentuk dan warna
obat, dosis yang diberikan kepadanya, waktu pemakaian, cara
pemakaian, efek yang dirasakan dan pasien menggunakan obat sesuai
program yang telah ditetapkan.
4. Implementasi yang dilaksanakan terdiri dari membina hubungan saling
percaya, pengkajian perilaku kekerasan dan mengajarkan cara
menyalurkan rasa marah dengan tarik nafas dalam, melatih cara
mengontrol perilaku kekerasan dengan terapi gerak pemanasan dan
memberikan kesempatan pada pasien untuk mempraktekkan.
5. Evaluasi pada hari Selasa tanggal 08 April 2014 jam 13.05 WIB evaluasi
subjektif pasien mengatakan perasaannya senang setelah latihan strategi
pelaksanaan I yaitu bina hubungan saling percaya dengan perawat dan
latihan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan teknik relaksasi nafas
dalam. Objektif pasien tampak kooperatif, kontak mata ada, muka pasien
masih terlihat merah, pasien tampak melakukan teknik rekaksasi nafas
dalam. Analisa pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan dengan
tarik nafas dalam. Perencanaan evaluasi: evaluasi strategi pelaksanaan I
(tarik nafas dalam) dan ajarkan strategi pelaksanaan II (pukul bantal).
80
6. Analisa hasil pemberian terapi gerak pemanasan terhadap tingkat
kecemasan pada Sdr. I efektif sesuai dengan penelitian dalam jurnal
bahwa terapi gerak pemanasan dapat menurunkan tingkat kecemasan
pada seseorang. Dari hasil pengukuran skala kecemasan sebelum
dilakukan pemberian terapi gerak pemanasan tingkat kecemasan pasien
berat dengan total score 32. Tingkat kecemasan pasien sesudah
pemberian terapi gerak pemanasan menjadi ringan dengan total score 14.
Terdapat keefektifan pemberian terapi gerak pemanasan terhadap tingkat
kecemasan pada Sdr. I.
B. Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan
Institusi pendidikan diharapkan memberi bimbingan kepada mahasiswa
secara optimal, terutama pada pendidikan ilmu keperawatan jiwa,
sehingga penulis dapat mengaplikasikan secara maksimal.
2. Bagi Profesi Keperawatan
Perawat diharapkan memberikan pelayanan yang tepat dan meningkatkan
komunikasi terapeutik kepada pasien sehingga pasien dapat membina
hubungan saling percaya dengan perawat dan lebih sabar guna
mempercepat penyembuhan pasien.
81
DAFTAR PUSTAKA
Ariyadi. 2009. http://www.statcounter.com/. Diakses pada tanggal 01 April 2014.
Bab IV Hasil Penelitian & Pembahasan. http://www.elib.unikom.ac.id/. Diakses
pada tanggal 02 April 2014.
Buku Ajar Kuliah Fisioterapi. http://www.staff.uny.ac.id/. Diakses pada tanggal 02
April 2014.
Dalami, Ernawati, S.Kp.2010. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta : Trans Info Media.
Damaiyanti & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Aditama.
DepKes RI. 2008. http://www.jurnal.unimus.ac.id/. Diakses pada tanggal 03 April
2014.
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha
Medika.
Erlinafsiah, SST. 2010. Dalam Praktik Keperawatan Jiwa. Jakarta : Trans Info
Media.
Fitria, Nita. 2010. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan &
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP&SP). Jakarta :
Salemba Medika.
Hawari, Dadang. 2011. Manajemen Stress Cemas dan Depresi. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.2011. Informasi Spesialite Obat (ISO)Indonesia.
Jakarta : IFSI.
Indy-Arina.2013. Efektivitas Terapi Gerak Terhadap Perubahan Tingkat
Kecemasan pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta. http://www.publikasiilmiah.ums.ac.id/. Diakses pada
tanggal 01 April 2014.
Keliat,dkk. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran : EGC.
Kusumawati & Hartono. 2010. Buku Ajaran Keperawatan Jiwa. Jakarta : Trans
Info Media.
82
Pemanasan Olahraga.http://www.elastico7.com/. Diakses pada tanggal 02 April
2014.
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, &
Praktek.Edisi 4. Volume 1. Jakarta : EGC.
Prasetyo & Nurtjahjanti. 2012. Pengaruh Penerapan Terapi Tawa terhadap
Penurunan Tingkat Stress Kerja pada Pegawai Kereta Api. Jurnal
Psikologi Undip. Vol 10. http://www.eprints.undip.ac.id/. Diakses
pada tanggal 02 April 2014.
Putri, Dewi Eka. 2010. Jurnal Pengaruh Rational Emotive Behaviour Therapy
TerhadapPasien Perilaku Kekerasan Di Ruang Rawat Inap RSM
Bogor. http://www.lintas.ui.ac.id/. Diakses pada tanggal 01 April
2014.
RisKesDas.2013. Hasil Prevalensi Gangguan Jiwa Berat Di Indonesia.
http://www.depkes.go.id/. Diakses pada tanggal 10 April 2014.
Senam Aerobik.http://carapedia.com/. Diakses pada tanggal 02 April 2014.
Yosep, Iyus.2010. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.
Videbeck, Sheila L. 2013. Buku Ajaran Keperawatan Jiwa. Jakarta. Penerbit
Buku Kedokteran : EGC.
Recommended