View
248
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Artikel - 1
Workshop Nasional : Konservasi dan Pengembangan Sapi Lokal
Fakultas Peternakan Unpad, 13 Nopember 2013
PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR PRODUKTIF DAN KONDISI RPH DI
PULAU JAWA DAN NUSA TENGGARA
Oleh :
Rochadi Tawaf, Obin Rachmawan dan Cecep Firmansyah
Fakultas Peternakan Unpad
Abstrak :
Studi mengenai Pemotongan Sapi Betina Produktif dan kondisi Rumah Potong Hewan di
Pulau Jawa dan Nusa Tenggara, telah dilakukan di 20 RPH yang berada di Pulau Jawa dan Nusa
Tenggara sejak bulan Juli-Agustus 2013. Studi ini bertujuan untuk mengetahui berapa besar
proporsi pemotongan sapi betina umur produktif, kelayakan kondisi fisik RPH, dan perlakuan
pemotongan ternak lokal maupun impor serta rantai pasok sapi dan daging sapi di Pulau Jawa dan
Nusa Tenggara. Kegunaan studi ini, diharapkan memberikan kontribusi pada upaya meningkatkan
daya saing produk daging sapi domestik, melalui peningkatan populasi dan produktivitas sapi
potong lokal. Metode penelitian yang digunakan adalah survey terhadap jumlah pemotongan sapi
betina umur produktif di RPH. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif.
Berdasarkan diskusi dan pembahasan, maka hasil penelitiannya adalah sebagai berikut : (a)
Selama periode studi, terjadi pemotongan sapi lokal betina umur produktif 31,04% dari jumlah
sapi lokal yang dipotong. RPH yang banyak memotong betina umur produktif berada di wilayah
produsen dibandingkan di wilayah konsumen. Pemotongan sapi lokal betina umur produktif
mengalami peningkatan yang cukup tinggi menjelang bulan puasa, dan pada hari raya, sedangkan
pada rentang waktu yang lainnya (saat bulan puasa dan setelah hari raya) pemotongan betina
produktif secara proporsional mengikuti arus fluktuasi pemotongan sapi di setiap RPH. (b)
Kondisi RPH di lokasi studi menunjukkan tidak ada yang termasuk kategori sangat layak, hanya
sebesar 20 % yang termasuk kategori layak, 40 % termasuk kategori kurang layak Sedangkan 30
% yang tergolong tidak layak dan 10 % yang tergolong sangat tidak layak. (c) Prosedur teknis
pemotongan sapi menunjukkan tidak ada yang termasuk kategori sangat layak, hanya sebesar 10
% yang termasuk kategori layak, 40% termasuk kategori kurang layak. Sedangkan 10 % berada
pada kategori tidak layak, dan 40 % berada pada kategori sangat tidak layak. (d) RPH di lokasi
studi menunjukkan tidak ada yang termasuk kategori sangat layak dan layak, sebesar 25%
termasuk kategori kurang layak. Sedangkan 35 % berada pada kategori tidak layak dan 35 %
berada pada kategori sangat tidak layak.
Kata Kunci : pemotongan, umur produktif dan kondisi RPH
Artikel - 2
PRODUCTIVE COWS SLAUGHTER AND THE SLAUGHTERHOUSE
CONDITIONS IN JAVA AND NUSA TENGGARA ISLAND
by :
Rochadi Tawaf, Obin Rachmawan dan Cecep Firmansyah
Animal Husbandry Faculty Universitas Padjadjaran
abstract :
The Studies on productive cows slaughter and the slaughterhouse conditions in Java and Nusa
Tenggara Island has been held in 20 slaughterhouses located in Java and Nusa Tenggara Island
since first of July to 21st August 2013. This study aims to find out how many productive cows are
slaughtered, the physical condition of eligibility slaughterhouse, and treatment of local and
imported cattle slaughter, and beef cattle supply chains in Java and Nusa Tenggara. Usefulness of
this study, is expected to contribute to improving the competitiveness of domestic beef products,
through the increase in population and productivity of local cattle. The research method used was
a survey of the number of productive cows slaughter in the abattoir. The collected data was
analyzed by descriptively.
Based on the discussion and analysis, the research results are as follows: (a) During the study
period, there were local cows productive slaughter 31.04% of the number of local cattle
slaughtered. Abattoir that many cows slaughters in the producers region than in the consumer
area. Local cows productive slaughter has increased quite high before the month of fasting , and
the feast of Idul Fitri, while the other timescales (the fasting month and after the feast) in
proportion to the slaughter of cows productive cattle slaughter to follow fluctuations in any
slaughterhouse. (b) slaughter house conditions in the study area showed no very viable category,
only 20% were viable category, 40% are less worth while 30% were classified as not feasible, and
10% were classified as very improper. (c) the technical procedures slaughter shows no very viable
category, only 10% were viable category, 40% are less worthy. While 10% are in the category of
not feasible, and 40% were in the category of very improper. (d) the feasibility of slaughterhouses
in the study area showed no very viable category and viable category, 30 % are less worthy.
Whereas 35% is the category of not worth it and 35% are in the category of very improper.
Keywords: slaughter, productive cows, and the conditions of slaughter houses
Artikel - 3
Pendahuluan
Kebutuhan daging sapi untuk konsumsi rumah tangga maupun industri pengolahan daging
masih belum mampu sepenuhnya disediakan di dalam negeri, sehingga penyediaan daging sapi
nasional dihadapkan pada lingkungan pasar global yang sangat kompetitif. Demikian juga
teknologi pasca panen terutama aktivitas pemotongan hewan di dalam negeri masih belum
mampu memperbaiki kinerja, padahal berbagai kebijakan mengenai standarisasi RPH telah
dimiliki pemerintah, antara lain SNI (Standar Nasional Indonesia) tentang RPH dan NKV (nomor
kontrol veteriner) untuk menghasilkan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).
Dalam rangka menata dan memperbaiki situasi tersebut, bisnis daging sapi harus dilihat
secara holistik mulai dari keberadaan populasi bibit dan reproduksinya di daerah produksi sapi
potong, sampai dengan ketersediaan daging sapi di pusat-pusat konsumen. Fenomena terjadinya
karut marut bisnis daging sapi di Indonesia pada akhir-akhir ini, yang diikuti dengan maraknya
pemotongan sapi betina umur produktif di RPH merupakan indikator menurunnya kemampuan
penyediaan atau kesulitan memperoleh sapi siap potong. Menurut Puslitbangnak (2011) jumlah
pemotongan sapi betina produktif setiap tahun diperkirakan sekitar 150.000 – 200.000 ekor.
Sebenarnya, kebijakan tentang larangan pemotongan sapi betina produktif tersebut sudah tertuang
dalam UU No. 18/2009 pasal 18 dan 86, yang pada dasarnya ditujukan bagi upaya pengembangan
peternakan sapi potong di dalam negeri. Dalam hal ini, program penyelamatan dan atau
penjaringan betina produktif merupakan salah satu upaya pemerintah untuk tetap mencegah
terjadinya pengurasan populasi sapi di dalam negeri. Hal tersebut menjadi sangat penting,
mengingat salah satu kriteria penunjang keberhasilan program swasembada daging adalah
ketersediaan bibit sapi potong secara berkelanjutan.
Studi mengenai Pemotongan Sapi Betina Produktif dan kondisi Rumah Potong Hewan di
Pulau Jawa dan Nusa Tenggara, telah dilakukan di 20 RPH yang berada di Pulau Jawa dan Nusa
Tenggara sejak bulan Juli-Agustus 2013. Studi ini bertujuan untuk mengetahui berapa besar
proporsi pemotongan sapi betina umur produktif, kondisi fisik RPH, dan perlakuan pemotongan
ternak lokal maupun impor serta rantai pasok sapi dan daging sapi di Pulau Jawa dan Nusa
Tenggara. Kegunaan studi ini, diharapkan memberikan kontribusi pada upaya meningkatkan daya
saing produk daging sapi domestik, melalui peningkatan populasi dan produktivitas sapi potong
lokal. Luaran studi yang diharapkan adalah : a. Mendapatkan informasi penting tentang
pemotongan sapi betina umur produktif di beberapa RPH di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. b.
Mendapatkan informasi tentang prosedur operasional pemotongan sapi potong lokal dan impor
di beberapa RPH di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. c. Mendapatkan gambaran kondisi fisik RPH
(hygienitas, fasilitas, dan persyaratannya) di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. dan d. Mendapatkan
gambaran lalu lintas ternak sapi potong dan daging antar provinsi di Pulau Jawa dan Nusa
Tenggara.
Metode Studi
Studi ini menggunakan metode survey terhadap pemotongan sapi betina umur produktif di
beberapa RPH di Pulau Jawa (meliputi enam Provinsi, yaitu: Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur), dan Nusa Tenggara (meliputi dua Provinsi, yaitu:
NTB dan NTT). Wilayah studi ditentukan secara purposive dan RPH ditetapkan yang berada di
pusat konsumen dan sekitarnya di setiap provinsi. Sementara data pemotongan diperoleh
berdasarkan sistematik sampling selang 3 hari sejak tanggal 1 Juli 2013 – 23 Agustus 2013
Artikel - 4
(sebelum puasa, puasa, lebaran dan setelah lebaran). Data yang terkumpul dilakukan analisis
sesuai tabel berikut :
No Variabel Analisis KPI
1 Kondisi fisik RPH Perbandingan dengan
Permentan
% standarisasi
2 Jumlah Pemotongan betina
produktif
Rasio betina produktif
dengan total pemotongan
Rasio (%)
3 Rantai pasok daging sapi Analisis rantai pasok Transparansi
4 Prosedur Pemotongan
Ternak
Perbandingan Tingkat kesesuaian dengan
SOP RPH-Permentan
Selanjutnya dilakukan analisis pembobotan terhadap data dan dilakukan kaidah keputusan seperti
pada Tabel di bawah ini:
Kisaran Nilai Keputusan Keterangan
Per
sya
rata
n
Ko
nd
isi
fisi
k
RP
H
< Z Sangat Tidak Layak Persyaratan RPH < Z
Y - SD = Z Tidak Layak Persyaratan RPH = Nilai Y sd nilai Z
X - SD = Y Kurang Layak Persyaratan RPH = nilai X sd nilai Y
99 – SD= X Layak Persyaratan RPH = nilai X sd nilai 99 %
100 Sangat Layak Persyaratan Fisik RPH terpenuhi 100%
Pro
sed
ur
Pem
oto
nga
n
< Z Sangat Tidak Layak Persyaratan RPH < Z
Y – SD = Z Tidak Layak Persyaratan RPH = Nilai Y sd nilai Z
X – SD = Y Kurang Layak Persyaratan RPH = nilai X sd nilai Y
99 – SD = X Layak Persyaratan RPH = nilai X sd nilai 99 %
100 Sangat Layak Prosedur pemotongan RPH terpenuhi 100%
Kel
ay
ak
an
< Z Sangat Tidak Layak Persyaratan RPH < Z
Y – SD = Z Tidak Layak Persyaratan RPH = Nilai Y sd nilai Z
X – SD = Y Kurang Layak Persyaratan RPH = nilai X sd nilai Y
99 – SD = X Layak Persyaratan RPH = nilai X sd nilai 99 %
100 Sangat Layak Kelayakan RPH terpenuhi 100%
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan pada rasio jumlah penduduk (BPS) dengan jumlah ternak (Ditjenak)
memperlihatkan bahwa DIY, JATIM, NTB, NTT termasuk wilayah produsen sapi, sedangkan
Banten, DKI Jakarta, JABAR, JATENG termasuk wilayah konsumen. Jumlah pemotongan tahun
2012 (BPS) menunjukkan pemotongan
terbanyak pada provinsi Jawa Timur yaitu
412.970 ekor atau 20,86 % dari pemotongan
nasional , DKI Jakarta 400.000 ekor (20,21
%), Jawa Barat 320.596 ekor (16,19%), Jawa
Tengah 204.006 ekor (10,30%) dan yang
terendah adalah DIY sebanyak 36.434 ekor
(1,84%). Selain itu, wilayah studi ini
memiliki aktivitas pemotongan sapi sebesar
82,94% dari pemotongan nasional (1.979.079
ekor), artinya wilayah studi ini cukup
representatif mewakili jumlah pemotongan di RPH secara nasional.
Produksi daging Indonesia dari tahun 2007 sampai 2012 mengalami peningkatan tercatat
pada tahun 2012 mencapai 508.906 ton. Provinsi yang paling tinggi produksi dagingnya terdapat
di provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2012 produksi daging di provinsi Jawa Timur mencapai
Artikel - 5
110.762 ton, selanjutnya disusul oleh Jawa Barat yaitu mencapai 74.312 ton (BPS 2012). Produksi
daging di Indonesia dipenuhi oleh daging lokal dan ada juga daging yang diimpor dari Australia.
Beberapa wilayah yaitu Jawa Barat dan Banten yang mengimpor daging dari Australia untuk
memenuhi kebutuhan daging konsumen sehingga tidak hanya daging yang dipotong di RPH
wilayah konsumen saja.
Pemotongan Sapi Betina umur Produktif
Selama rentang waktu studi ini, telah dilakukan pengamatan terhadap 10.882 ekor sapi
yang dipotong di 20 buah RPH terpilih. Berdasarkan hasil pengamatan, beberapa jenis sapi lokal
yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura, Sapi Jawa/Peranakan Ongole (PO),
Sapi silangan Lokal dengan Brahman, Sapi silangan Lokal dengan Brahman dan Angus
(Brangus), Sapi silangan Lokal dengan Simmental (SIMPO), Sapi silangan Lokal dengan
Limmousin (LIMPO), dan Peranakan Friesian Holsten (PFH), sedangkan untuk jenis sapi impor
adalah ACC (Australia Commercial Cross).
Tabel 1. Jumlah Sapi yang dipotong di RPH menurut jenisnya (dalam ekor).
Lokal Impor
To
tal
Kese
luru
ha
n
RPH
Local
X B
Local
X B
r
Ja
wa
/PO
SO
Bali
Ma
du
ra
SIM
PO
LIM
PO
PF
H
To
tal
AC
C
To
tal
A - - - - 857 - - - - 857 - - 857
B - - - - 116 - - - - 116 - - 116
C - - - - 212 - - - - 212 - - 212
D - - - - 136 - - - - 136 - - 136
E - - 3 - 88 - 9 79 38 217 - - 217
F - 175 192 - 2 635 36 2 398 1440 - - 1440
G - 2 23 - - - 22 - 17 64 - - 64
H - - 521 - - - - - - 521 - - 521
I 2 5 96 - - - 114 100 - 317 - - 317
J - - 302 - - - 17 13 - 332 601 601 933
K - - 532 - - - 12 41 - 585 - - 585
L - - 97 - - - 22 133 - 252 - - 252
M - 6 221 57 124 33 115 21 - 577 - - 577
N - 1 - - 381 - - - 2 384 - - 384
O - - 275 - - - 95 - - 370 39 39 409
P - - - - - - 524 4 - 528 520 520 1048
Q - - 4 - 276 4 - - - 284 291 291 575
R - 11 119 - 31 - 81 41 - 283 439 439 722
S - 9 94 - 21 - 32 18 - 174 386 386 560
T - 37 56 - 11 - 141 114 - 359 598 598 957
Total 2 246 2535 57 2255 672 1220 566 455 8008 2874 2874 10882
% 0.02 3.07 31.66 0.7 28.16 8.39 15.23 7.07 5.68 73.59 26.41
100
Sapi yang didistribusikan ke RPH yang dipotong selama periode pengamatan terdiri atas
73,59 % sapi lokal (8.008 ekor) dan 26,41 % sapi impor (2.874 ekor). Jumlah sapi lokal betina
Artikel - 6
umur produktif yang dipotong di 20 RPH selama periode studi adalah sebanyak 2.489 ekor atau
sekitar 31,08 % dari jumlah sapi lokal yang dipotong (8.008 ekor). Berdasarkan kategori umurnya,
sebesar 65,29% (1.623 ekor) dengan kisaran bobot 117 kg – 354 kg sapi betina yang dipotong
tersebut masih berumur dibawah 4 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa selain pemotongan sapi
lokal betina tersebut telah dijadikan alternatif untuk memenuhi kekurangan pasokan sapi lokal
jantan siap potong di RPH, juga didorong oleh pelaksanaan pengawasan dan pengendalian
terhadap pemotongan sapi lokal betina di RPH yang masih sangat lemah, padahal mengenai
pengawasan ini telah diamanatkan dalam Undang-Undang 18 tahun 2009. Apabila dilihat sebaran
pemotongan betina produktif di masing-masing RPH tampak pada Gambar 2.
Tabel 2. Sebaran Pemotongan Betina Umur Produktif di RPH
Pada Gambar 2, tampak bahwa pemotongan betina umur produktif marak terjadi di
wilayah produsen ternak, dibandingkan di wilayah konsumen. Hal ini disebabkan sapi-sapi jantan
dikirim ke wilayah konsumen sementara yang tersisa sapi-sapi betina, harga betina lebih rendah,
tidak tegasnya penegakkan hukum, adanya permintaan khusus dan penjualan betina umur
produktif oleh peternak.
Jumlah pemotongan sapi yang meningkat diiringi pemotongan sapi betina umur produktif
nampak merata tinggi sejak seminggu sebelum Ramadhan sampai awal Ramadhan. Pada periode
pertengahan Ramadhan dan pasca hari Lebaran, jumlah pemotongan sapi dalam keadaan normal.
Namun meningkat kembali pada 10 hari menjelang Idul Fitri terjadi peningkatan jumlah
pemotongan ternak sapi, baik jantan maupun betina umur produktif, namun jumlahnya tidak
terlalu signifikan dibandingkan peningkatan jumlah pemotongan sapi jantan.
Artikel - 7
Gambar 3. Grafik Jumlah Pemotongan Sapi di RPH Selama Studi
Rantai Pasok
Umumnya rantai pasok sapi potong yang terungkap pada studi ini mengikuti pola Peternak
Belantik Pasar Hewan/Pedagang Pengumpul Feedloter Jagal RPH/TPH
Konsumen. Anggota primer pelaku bisnis rantai pasok adalah peternak sama feedloter sebagai
pemasok. Belantik, pasar hewan/pedagang pengumpul sebagai distributor. Analisis rantai pasok
menunjukkan bahwa pola rantai pasok sapi dan daging dipengaruhi oleh anggota atau pelaku
bisnis rantai pasok yang terlibat di dalamnya. Lokasi dan tingkat kebutuhan konsumen sangat
menentukan jumlah pelaku rantai pasok. Secara umum lokasi konsumen menuntut adanya peran
belantik, pasar hewan/pedagang pengumpul, jagal, dan RPH/TPH. Demikian juga sistem yang
yang dibangun di antara pelaku rantai pasok menentukan model struktur rantai pasok.
Gambar 4. Rantai Pasok Sapi dan daging di Wilayah Studi
Artikel - 8
Pelaku rantai pasok yang telah membangun kerjasama dalam jangka waktu yang lama
cenderung akan mempertahankan model rantai pasokan yang telah dibangun. Terdapat tiga model
rantai pasok sapi dan daging dari mulai pemasok sampai ke konsumen yang terungkap pada studi
ini yaitu di Nusa Tenggara; di wilayah ini RPH mendapatkan sapi lokal yang berasal dari wilayah
sekitarnya dan di distribusikan sampai ke konsumen akhir, yaitu di dalam dan ke luar provinsi, di
pulau Jawa Bagian Timur dan Tengah; di wilayah ini pola rantai pasoknya terdapat pelaku bisnis
feedloter namun tidak menggunakan sapi impor, di Pulau Jawa bagian barat; di wilayah ini pola
rantai pasok terdapat juga feedloter. Pasokan sapi ke RPH selain berasal dari sapi lokal juga
mendapat pasokan sapi siap potong yang berasal dari sapi impor.
Kondisi RPH di Wilayah Studi
Pemotongan sapi dilakukan di RPH yang berada di provinsi masing – masing. Kementrian
Pertanian menargetkan akan merevitalisasi 150 Rumah Potong Hewan (RPH) dari jumlah
keseluruhan sebanyak 800 RPH. Saat ini baru terdapat 36 RPH yang memenuhi standar nasional
Indonesia. Sekitar 25 RPH di antaranya telah memenuhi standar Nomor Kontrol Veteriner (NKV)
atau telah teregistrasi dan memiliki sertifikat halal, hygenis dan identitas yang jelas dan 11 RPH
lainnya telah memenuhi NKV dan kesejahteraan hewan yang diaudit secara independen oleh
auditor yang diakui oleh pihak Australia. Di wilayah studi dari 20 RPH yang memiliki NKV
hanya 3 RPH. Hal ini menjadi pertimbangan untuk merevitalisasi RPH.
RPH dinilai layak atau tidaknya dari kondisi fisik dan prosedur pemotongan di RPH
tersebut. Berdasarkan hasil analisis kondisi fisik RPH, ternyata dari 20 buah RPH yang diamati
tidak ada yang termasuk kategori sangat layak, hanya sebesar 20 % yang termasuk kategori layak,
40 % termasuk kategori kurang layak Sedangkan 30 % yang tergolong tidak layak dan 10 % yang
tergolong sangat tidak layak. Hal ini menggambarkan bahwa masih banyak kondisi fisik RPH
yang belum sesuai dengan Standard Nasional Indonesia maka, perlu adanya rehabilitasi kondisi
fisik RPH tersebut.
Prosedur Teknis Pemotongan
Berdasarkan penilaian terhadap prosedur teknis pemotongan sapi di 20 buah RPH di lokasi
studi, ternyata tidak ada yang termasuk kategori sangat layak, hanya sebesar 10 % yang termasuk
kategori layak, 40% termasuk kategori kurang layak. Sedangkan 10 % berada pada kategori tidak
layak, dan 40 % berada pada kategori sangat tidak layak. Berdasarkan hasil studi ini, maka harus
ada rehabilitasi prosedur pemotongan sapi di RPH karena tidak semua menjalankan kegiatan
pemotongan sesuai dengan SOP dan Permentan.
Kelayakan RPH
Berdasarkan penilaian terhadap Kelayakan 20 buah RPH di lokasi studi, ternyata tidak ada
yang termasuk kategori sangat layak dan kategori layak. Sebesar 30% termasuk kategori kurang
layak. Sedangkan 35 % berada pada kategori tidak layak dan 35 % berada pada kategori sangat
tidak layak. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, kriteria yang ditetapkan pemerintah dalam bentuk
peraturan menteri belum berorientasi kepada norma budaya masyarakat. Kebijakan ini,
berorientasi kepada standarisasi ideal rumah potong hewan di negara-negara maju.
Artikel - 9
Tabel 2. Analisis Kelayakan RPH
No RPH
40% 60%
Total Keputusan Kondisi
Fisik
Prosedur
Pemotongan
1 A 19.71 41.38 61.08 Tidak Layak
2 B 31.61 49.13 80.74 Kurang Layak
3 C 20.75 26.50 47.25 Sangat Tidak Layak
4 D 14.11 17.38 31.49 Sangat Tidak Layak
5 E 29.15 41.38 70.52 Kurang Layak
6 F 31.60 17.50 49.10 Sangat Tidak Layak
7 G 22.80 19.25 42.05 Sangat Tidak Layak
8 H 38.44 20.25 58.69 Tidak Layak
9 I 33.84 47.72 81.56 Kurang Layak
10 J 22.26 43.12 65.38 Tidak Layak
11 K 30.92 45.98 76.91 Kurang Layak
12 L 14.90 28.63 43.53 Sangat Tidak Layak
13 M 29.79 35.26 65.05 Tidak Layak
14 N 22.32 37.82 60.15 Tidak Layak
15 O 29.49 39.38 68.87 Tidak Layak
16 P 33.34 50.29 83.63 Kurang Layak
17 Q 30.29 26.68 56.96 Tidak Layak
18 R 28.09 25.45 53.54 Sangat Tidak Layak
19 S 20.82 25.45 46.27 Sangat Tidak Layak
20 T 36.73 46.72 83.44 Kurang Layak
Prospek Industrialisasi RPH di Wilayah Studi
Perencanaan pengembangan RPH menjadi suatu sistem industri seharusnya memperhatikan
berbagai aspek yang ada di wilayah atau kawasan baik fisik, sosial, ekonomi, budaya (adat
istiadat), potensi dan keunggulan lokal, pendekatan komoditas, pasar dan pelaku bisnis. Prospek
RPH menjadi suatu industri setidaknya kondisi fisik RPH harus memadai atau sesuai dengan SNI,
agar produk yang dihasilkan memiliki daya saing yang tinggi. Sarana yang menunjang untuk
menjadikan RPH suatu industri mulai dari persyaratan lokasi RPH yaitu tidak berada di
pemukiman padat penduduk, dan tidak melanggar RUTR, tidak mengganggu lingkungan, jauh
dari industri logam, tidak banjir, tidak ada asap pabrik, lahan cukup datar, syarat sarana akses
jalan cukup besar dan memiliki sumber air baik artesis maupun PDAM.
Prospek kedepan industri RPH di Nusa Tenggara dan Pulau Jawa dilihat dari kondisi yang
ada dapat dipertimbangkan beberapa sumber daya penting yaitu Sumber Daya Alam, Sumber
Daya Manusia, Sumber Daya Kapital (modal), Sumber Daya Kelembagaan, Sumber Daya
Teknologi. Secara ekonomi RPH yang dibangun harus menguntungkan (ekonomi profit) baik
untuk pemerintah sendiri maupun pebisnis daging. Faktor yang harus dipertimbangkan yaitu
kapasitas pemotongan sesuai dengan besar kecilnya RPH, jumlah tenaga kerja, pengiriman daging
ke konsumen harus lebih menguntungkan. Pengiriman ke daerah konsumen bisa dilakukan balam
bentuk beku baik melalui darat maupun pesawat udara, sehingga lebih cepat sampai di konsumen.
Apabila dilihat dari segi sosial, lokasi RPH harus sesuai dengan RUTR rencana umum tata ruang
wilayah dan kabupaten harus jauh dari pemukiman dan padat penduduk sehingga limbah/kotoran
dari RPH tidak menggangu masyarakat di sekitar RPH. Kalau ada sedikit penduduk harus
memiliki ijin secara tertulis bahwa RPH tersebut dibangun tidak mengganggu masyarakat
sekitarnya.
Artikel - 10
Analisis SWOT Industrialisasi RPH
Analisis SWOT Prospek industrialisasi RPH di wilayah studi. Analisis SWOT dikenal dua
bagian utama, yaitu faktor internal (kekuatan dan kelemahan) yang berasal dari dalam RPH
sendiri dan faktor eksternal (Peluang dan ancaman) yaitu faktor luar yang mempengaruhi
terhadap pengembangan RPH.
Tabel 3. Matrix Analisis SWOT RPH di wilayah studi
Teknis Penyembelihan sapi di RPH
Mengenai proses datangnya sapi diturunkan menggunakan loading 75% dilakukan oleh 15
RPH di wilayah Studi lalu sapi digiring ke kandang melalui gang Way 80% dilakukan oleh 16
RPH, Sapi diistirahatkan selama ± 12 jam 65% dilakukan oleh 13 RPH, proses penimbangan atau
penaksiran berat badan, proses penyembelihan dan proses pengeluaran darah sapi 100% dilakukan
oleh 20 RPH di Wilayah Studi, sedangkan proses pemingsanan (Stunning Gun) hanya dilakukan
di 4 RPH (20%). Keempat RPH ini mengikuti program NLIS (National Livestock Identification
System) Australia sebagai prasyarat “supply Chain” bagi sapi-sapi asal Australia.
Grafik 5. Proses penyembelihan Sapi
Proses pembersihan sapi dari kotoran hanya dilakukan oleh 15 RPH (75 %). Setelah
penyembelihan terdapat beberapa proses seperti pengulitan dan Eviskerasi 100 % dilakukan oleh
20 RPH di Wilayah Studi. Proses Pembelahan Karkas 85% dilakukan, Proses Perecahan karkas
55 % , Proses pencucian dan pembungkusan daging 20 % , Pengepakan karkas/recahan 25 % ,
Proses penimbangan daging yang telah di packing 50%, Pelaksanaan Pemerikasaan Postmortem
hanya dilakukan 60% RPH Wilayah Studi jika ditemui kasus, sedangkan proses pendinginan dan
Artikel - 11
pembekuan daging tidak dilakukan di RPH Wilayah Studi. Namun kenyataannya, tidak semua
RPH melaksanakan ketentuan yang sesuai dengan Permentan tersebut. Oleh karena itu perlu
dilakukannya revitalisasi revitalisasi, rehabilitasi dan relokasi sesuai dengan Standarisasi Nasional
Indonesia tentang RPH dan NKV untuk menghadapi Era Industrialisasi di masa yang akan datang.
Berdasarkan pengamatan, ternyata perbedaan prosedur pemotongan ternak sapi lokal dan
sapi impor, adalah sebagai berikut: Sapi-sapi impor ditempatkan di kandang-kandang khusus,
karena sapi-sapi tersebut tidak dikeluh. Sapi-sapi tersebut dilakukan penyembelihan dengan
menggunakan gang way dan restraing box dan pemingsanan menggunakan stunning gun.
Sementara itu, bagi sapi lokal tidak memerlukan gangway dan restraning box maupun alat
pemingsanan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari hasil pengamatan dan analisis terhadap pemotongan sapi betina umur produktif serta
kondisi fisik dan prosedur teknis pemotongan di RPH di lokasi studi diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
Kesimpulan khusus:
1. Selama periode studi, terjadi pemotongan sapi lokal betina umur produktif 31,08% dari
jumlah sapi lokal yang dipotong. RPH yang banyak memotong betina umur produktif
berada di wilayah produsen dibandingkan di wilayah konsumen. Pemotongan sapi lokal
betina umur produktif mengalami peningkatan yang cukup tinggi menjelang bulan puasa,
dan pada hari raya, sedangkan pada rentang waktu yang lainnya (saat bulan puasa dan
setelah hari raya) pemotongan betina produktif secara proporsional mengikuti arus
fluktuasi pemotongan sapi di setiap RPH.
2. Kondisi RPH di lokasi studi menunjukkan tidak ada yang termasuk kategori sangat layak,
hanya sebesar 20 % yang termasuk kategori layak, 40 % termasuk kategori kurang layak
Sedangkan 30 % yang tergolong tidak layak dan 10 % yang tergolong sangat tidak layak.
3. Prosedur teknis pemotongan sapi menunjukkan tidak ada yang termasuk kategori sangat
layak, hanya sebesar 10 % yang termasuk kategori layak, 40% termasuk kategori kurang
layak. Sedangkan 10 % berada pada kategori tidak layak, dan 40 % berada pada kategori
sangat tidak layak.
4. Kelayakan RPH di lokasi studi menunjukkan tidak ada yang termasuk kategori sangat
layak dan kategori layak. Sebesar 30% termasuk kategori kurang layak. Sedangkan 35 %
berada pada kategori tidak layak dan 35 % berada pada kategori sangat tidak layak.
Kesimpulan umum:
1. Berdasarkan keberadaan pelaku usaha dan sumber sapi di wilayah penelitian, terdapat
tiga pola rantai pasok sapi dan daging yaitu : (a). Pola rantai pasok RPH di Nusa Tenggara
(b). Pola rantai pasok RPH di Pulau Jawa bagian timur dan tengah (c). Pola rantai pasok
RPH di Pulau Jawa bagian barat.
Artikel - 12
2. Rasio jumlah populasi sapi dengan jumlah penduduk pada setiap provinsi di wilayah studi
memberikan indikasi adanya dua karakteristik wilayah Provinsi, yaitu: wilayah produsen
sapi meliputi provinsi NTT, NTB, Jawa Timur dan DIY (angka rasio diatas rasio
nasional), dan wilayah konsumen sapi meliputi provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat DKI
Jakarta dan Banten (angka rasio dibawah rasio nasional).
3. Perspektif pengembangan RPH berdasarkan pendekatan analisis SWOT diperlukan
strategi merevitalisasi fisik dan prosedur teknis RPH, perkuatan sistem logistik dan rantai
pasok sapi, dan kebijakan proteksi pasar daging di dalam negeri.
4. Upaya penyelamatan sapi betina umur produktif di setiap RPH tidak akan mampu
dilakukan oleh petugas RPH semata, karena setiap ekor sapi yang berada di lokasi RPH
sudah memasuki sistem transaksi jual beli antara pedagang sapi dengan pedagang daging
yang tidak dapat dibatalkan sepihak, apalagi dalam waktu singkat.
Rekomendasi
1. Perlu dilakukan penelitian rantai pasok sapi potong betina umur produktif di wilayah
produsen maupun konsumen, guna meminimalisasi jumlah pemotongan sapi betina umur
produktif.
2. Pengendalian dan penyelamatan pemotongan sapi betina produktif perlu dilakukan
melalui program tundajual secara terstruktur, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia,
sosialisasi izin potong di RPH dan pemberian insentif penyelamatan bagi peternak.
3. Perlu dilakukan revitalisasi Fungsi dan Peran RPH, sistem dan prosedurnya yang sesuai
dengan SNI dan NKV bagi RPH melalui kegiatan renovasi, rehabilitasi dan relokasi serta
standarisasi model RPH.
4. Jika terpaksa dilakukan pemotongan terhadap sapi betina produktif yang memiliki potensi
genetik karena sesuatu hal, maka pemerintah dapat memanfaatkan oocyt dari ovarium
ternak tersebut guna menyelamatkan potensi genetiknya.
5. Perlu dilakukan pembentukan lembaga penyelamat betina umur produktif ditingkat
peternak/belantik/jagal/pasar hewan baik pemerintah maupun swasta yang terintegrasi
dengan RPH disetiap Kota/Kabupaten.
Daftar Pustaka
Anonymous. 2010. Data pemotongan hewan betina produktif. Pemptec. Jakarta.
Dinas Peternakan Jawa Barat (2009). Supply-Demand Sapi Potong Jawa Barat. Dinas Peternakan
Jawa Barat.
Hadi, P.U., N. Ilham, A. Thahar, B. Winarso, D. Vincent, and D. Quirke. (2002). Improving
Indonesia’s Beef Industry. ACIAR, Canberra
Kementrian Pertanian (1992) SK Menteri Pertanian Nomor: 413/Kpts/TN.310 /7/1992, tentang
Syarat dan tata cara pemotongan hewan. Jakarta
Kementrian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
13/Permentan/OT.140/1/2010 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan
ruminansia dan Unit Penanganan Daging. Jakarta.
Artikel - 13
Kementrian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
19/Permentan/OT.140/1/2010 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan PSDS 2014. Jakarta.
Kementrian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
20/Permentan/OT.140/1/2010 Tahun 2010 Tentang Pemasukan dan Pengawasan
Peredaran Karkas Daging, dan/atau Jeroan dari Luar Negeri yang masuk ke Indonesia.
Jakarta.
Kementrian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
381/Permentan/OT.140/1/2005 Tahun 2005 Tentang Nilai kontrol veteriner. Jakarta.
Kementrian Pertanian 1993. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992
(Manual Kesmavet, 1993) Tata cara penanganan daging. Jakarta
Koswara, O., 1988. Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan dan Veterinary Hygine Untuk
Eksport Produk-produk Peternakan. Makalah Seminar Ternak Potong, Jakarta.
Kotler, Philip, 1997. Manajemen Pemasaran. Jakarta, Prenhallindo
Lestari, P.T.B.A., 1994a. Rumah Pemotongan Hewan Ruminansia Indonesia. P. T. Bina Aneka
Lestari, Jakarta.
Lestari, P.T.B.A., 1994b. Rancang Bangun Rumah Potong Hewan di Indonesia. P. T. Bina Aneka
Lestari, Jakarta.
Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan Hewan
Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Rusastra, I.W, Wahyuning K.S., Sri Wahyuni, Yana Supriyatna, (2006). Analisis Kelembagaan
Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Peternakan. Pusat Analisis Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Peertanian. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi (1987) Metode Penelitian Survey; LP3ES Jakarta
Statistik Peternakan. 2012. Populasi Sapi potong dan Konsumsi Daging Nasional 2012. Jakarta.
Sullivan, G. M. and K. Diwyanto. 2007. A Value Chain Assessment of the Livestock Sector in
Indonesia. United States Agency for International Development.
Tawaf, R (2004) Identifikasi Rumah Potong Hewan (MBC). Dinas Peternakan Perikanan
Kabupaten Bandung – Fapet Unpad.
Tawaf, R. (2009) Dampak Impor daging Sapi dari Australia Terhadap Bisnis Feedlot di
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Sistem Produksi dan Pemanfaatan
Sumberdaya Lokal; Fapet Unpad.
Tawaf, R, Rachmat Setiadi, Robi Agustiar (2010) Eksistensi Feedlot dalam Supply Demand
daging Sapi di Jawa Barat ; Lembaga Studi Pembangunan Peternakan Indonesia.
Tawaf, R. Rachmat Setiadi dan Andre Daud (2011) Kajian Pengembangan Sapi Potong di Jawa
Barat; Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat Jawa Barat.
Tawaf R. dan Hasni Arief (2011) Strategi Pendekatan Ketersediaan Daging Sapi Nasional Di
Indonesia; Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan III Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran Jatinangor, 2 Nopember 2011.
Tawaf R, Rachmat Setiadi dan Cecep Firmansyah. (2011) The role of Feedlot Business In Beef
Supply Chains In West Java Indonesia; proceeding on "Tradition, Performance and
Efficiency in Animal Husbandry - 60 Years of Animal Science Higher Education in
Moldova" which will be held between 14th
– 15th of April 2011 at Faculty of Animal
Sciences, University of Agricultural Sciences and Veterinary Medicine Iaşi, România.
Artikel - 14
Tawaf, R (2012) Kontribusi Usaha Penggemukan Sapi Potong Dalam Penyediaan Daging Sapi
Di Jawa Barat; Seminar Pembangunan Jawa Barat diselenggarakan oleh Jaringan Peneliti
Jawa Barat bekerjasama dengan LPPM Unpad, Jatinangor tangal 12-13 Juni 2012.
Tawaf, R (2012) Mewujudkan Pengelolaan RPH Indonesia yang Berprinsip Kesrawan, seminar
diselenggarakan oleh PB ISPI-PDHI pada Pameran Indolivestock, Jakarta 5 Juli 2012.
Tawaf, R (2012) Dampak Penerapan Kesrawan Terhadap Peningkatan Produktivitas Sapi
Potong, Traveling Seminar di Bandung, Jakarta, Lampung dan Medan, kerjasama PB ISPI
– PB PDHI - Meat Livestock Australia. Februari – Maret 2012.
Undang – undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Jakarta.
Recommended