View
234
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PENDAYAGUNAAN ZAKAT PADA
BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL DALAM MENINGKATKAN
KESEJAHTERAAN UMAT
Disertasi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Doktor Ilmu Agama Islam
Oleh
HAMZAH
NIM: 02.3 00.1.08.01.0067
Promotor:
PROF. DR. KH. DIDIN HAFIDHUDDIN MA’TURIDI, MS.
DR. HJ. USWATUN HASANAH, MA.
TIM PENGUJI:
PROF. DR. M. ATHO’ MUDZHAR, MSPD.
DR. IR. MUSLIMIN NASUTION, APU.
PROF. DR. ABD HAMID, MS.
DR. FUAD JABALI, MA.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2009
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرحمن الرحيم
ا والصالة . الحمد هللا الذي أسعد وأشقى وأفقر وأغنى وأضر وأقنى دين أساس ثم جعل الزآاة للالعلم ه واصحابه المخصوصين ب ى آل ورى وشمس الهدى وعل يد ال على محمد المصطفى س.والتقى
Dengan Rahmat Allah SWT penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul PENDAYAGUNAN ZAKAT PADA BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN UMAT untuk memenuhi sebahagian syarat dalam menyelesaikan studi Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Salam dan taslim, semoga tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW dan orang-orang yang mengikuti petunjuk agam Islam.
Berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam proses pendidikan penulis dan termasuk dalam rangka mewujudkan karya ilmiah ini. Karena itu, kepada mereka, sangat layak, pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setiggi-tingginya. 1. Bapak Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin Ma’turidi, MS. dan Ibu Dr. Hj.
Uswatun Hasanah, MA. yang keduanya merupakan promotor yang telah mendampingi secara keilmuan dengan perhatian yang cukup besar, sejak penulis ujian proposal sampai pada penyusunan disertasi dan ujian pendahuluan, serta melakukan koreksi, arahan dan dorongan semangat. Bapak-bapak penguji, Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD., Dr. Ir. Muslimin Nasution, APU., Prof. Dr. Abd. Hamid, MS., Dr. Fuad Jabali, MA. yang telah memberikan koreksi, perbaikan, arahan, dorongan semangat serta kesediaan mereka menyiapkan waktu sehngga penulis dapat dengan tenang dan bersemangat melakukan perbaikan terhadap disertasi ini.
2. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Kamaruddin Hidayat, MA., yang ketika penulis sedang mengikuti pendidikan S3 menjabat sebagai Direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidyatullah Jakarta sampai dengan tahun 2006.
3. Direktur Sekolah Pascasarjana, Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., ketika penulis masuk pendidikan jenjang S3 tahun 2002 menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mempertegas arah pengembangan almamater ini sebagai institusi pendidikan keislaman dengan karakteristik kedalaman metodologis.
4. Para Deputi Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. Fuad Jabali, MA., Deputi Direktur Bidang Akademik dan Kerjasama, Bapak Dr. Ujang Thalib, MA., Deputi Direktur Bidang Administrasi dan Kemahasiswaan, Bapak Prof. Dr. Suwito, MA., Deputi Direktur Bidang Pengembangan Lembaga Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis juga sangat mengingat dengan baik berbagai petunjuk keilmuan Bapak Prof. Dr. Suwito, MA. yang telah memberikan bimbingan pada tahap penelitian pendahuluan dalam rangka penyempurnaan proposal disertasi sebelum penulis mengikuti ujian proposal.
5. Rektor UIN Alauddin Makassar, Bapak Prof. Dr. H. Azhar Arsyad, MA. dan para Pembantu Rektor yang telah memberi dukungan sepenuhnya dalam mengikuti pendidikan S3 di UIN Jakarta.
6. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, Bapak Dr. H. Baso Midong, MA. (Dekan lama) dan Bapak Drs. H. Lomba Sultan, MA (Dekan Lama) Dr. H. Ambo Asse, M.Ag (Dekan Baru) yang banyak memberikan bantuan kepada penulis selama mengikuti pendidikan S3.
7. Bapak Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar MA. dan Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA. yang keduanya telah memberikan dorongan moril kepada penulis selama mengikuti pendidikan S3.
8. Para dosen dan guru besar Sekolah Pascararjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mewakafkan ilmunya kepada penulis.
9. Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Bapak Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin Ma’turidi, MS. beserta jajarannya yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian serta mendorong para pengurus lainnya menyiapkan waktu untuk mengadakan wawancara dengan penulis.
10. Direktur Komunikasi dan Sumber Daya Dompet Dhuafa Republika (DDR) Bapak Yuli Pujihardi, beserta jajarannya, Bapak Drs. H. Hamri HAS. (Ketua BAZDA Provinsi Kalimantan Timur) beserta jajarannya, Bapak Prof. Dr. H. Suparman Usman (Ketua BAZDA Provinsi Banten) beserta jajarannya, Bapak April Purwanto (Devisi Pendayagunaan Zakat BAZDA DI Yogyakarta), Bapak HM. Kasim (Sekretaris Baitul Mal Provinsi Nanggro Aceh Darussalam), Bapak Oki (Staf Adm.BAZDA Provinsi Jawa Tengah) yang kesemuanya telah memberikan kesempatan kepada penulis mengadakan wawancara dan pengumpan data pada Lembaga Amil Zakat Nasional dan Badan Amil Zakat Provinsi dimaksud.
11. Kepala Perpusataan UI di Depok dan di Salemba khususnya Program Kajian Timur Tengah juga Kepala Perpustakaan Iman Jama, yang kesemuanya telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menelaah literatur yang dibutuhkan.
12. Kedua orang tua penulis H. Hasan dan Hj. Haeriah yang telah mendoakan, mengasuh, mendidik dan memberikan motivasi sehingga penulis dapat memasuki pendidikan S3 dan dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Selanjutnya, ayahanda dan ibu mertua H. Kuddus dan Hj. Dian yang telah memberikan dukungan moril sehingga penulis dapat dengan tenang dan terkonsentrasi dalam mengikuti program ini.
13. Tidak lupa, kepada adinda Hamka Hasan, Lc. MA dan Haniah Hamka Hasan Lc. M.Pd. serta adik Umrah Hasan MA. yang telah banyak memberikan bantuan moril dan materil khususnya pada tahap-tahap awal penulis mengikuti pendidikan ini. Juga kepada kakanda Hj. Rusnah, H. Bakri, adinda Jumiati Kuddus, Hasbiah, S.Pd., Lukman, yang telah memberikan bantuan moril dan materil, khususnya kepada kemanakan mereka yang secara biologis anak penulis, selama mengikuti pendidikan ini.
14. Dalam proses pendidikan di S3, nama berikut ini sangat berjasa kepada penulis yaitu: Prof. Dr. H. Abd. Muiz Kabry dan Dr. Ali Rusydi Ambo Dalle, yang keduanya merupakan guru dan orangtua bagi penulis dalam organisasi Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) senantiasa memberikan dorongan yang sangat besar kepada penulis, khususnya dalam penyelesaian penelitian
disertasi. Secara khusus kepada al-Mukarram Prof. KH. Ali Yafi’i yang telah meluangkan waktu memberikan wejangan kepada penulis tentang orientasi kehidupan dan sikap ilmuan muslim, pada masa awal kedatangan penulis di Jakarta untuk mengikuti program S3.
15. Demikian juga kepada Ust. Mursalin, Dedi Asmara, Dr. Kaswad Sartono, MA., A. Suriyani, MA., Bapak DR. H. Arief Halim., MA, Abd. Drs. H. Kurdi, M.HI., Drs. Suwarning, MA., Abd. Rahman Bahnadi, S. Ag., Drs. Muh, Tang Dg. Maggangka, Hasid Hasan, SH. MA., Machmud Sayuti, MA., Drs. Hasanuddin Parawangi MH., Drs. Amir Jannatin, Drs. Lahaji Khaedar, MA, Azhar Arsyad SH.
16. Juga kepada, teman-teman dan seperjungan di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, yang telah memberikan bantuan moril diantaranya Dr.Irfan Idris, MA., Drs. Umar Muslim, MA. Halim Talli, S.Ag. MA. Arif Alim, MA. Dr. Muslimin H. Kara, juga kepada Drs.Qasim P. Salenda, SH.M.HI. dan Dr. Aisyah H. Kara. Teman-teman di Ciputat, di antaranya Ir. H. Muhandis Natadiwirja, MM., Helmi, H. Abd.Rauf, Lc.MA. Drs. Abd. Fattah, M. Pd. Drs. Hamid Laongso. Drs. Murni Badru, MA. Mursalin, MA. Drs. Sabaruddin Garancang, MA., Drs. Hadi Dg. Mapunna MA., Dra. Halimah Basri, MA., H. Zuhri Abunawas, Lc. MA.
17. Terima kasih disampaikan kepada Bapak Drs. HM. Yusuf Kalla (Wakil Presiden RI) yang secara institusional telah memberikan bantuan materil dalam rangka penyelesaian studi penulis.
18. Terima kasih juga disampaikan kepada Pimpinan Yayasan Latimojong yang telah memberikan perhatian pendanaan kepada penulis.
Berbagai pihak yang telah berpartisipasi kepada penulis dalam memberikan kontribusi keilmuan yang pada akhirnya dapat mewujudkan karya ilmiah tertinggi pada jenjang doktor, di antaranya para dosen penulis di S2 dan S1 serta para guru dalam berbagai jenjang pendidikan dan juga guru mengaji penulis.
Secara khusus penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Dra. Mariam Kudus -isteri penulis- yang dengan tabah dan penuh perhatian yang diberikan selama penulis mengikuti pendidikan S3 ini dan mengikhlaskan sebahagian ”hak-haknya” untuk tidak dipenuhi guna meringankan beban penulis, begitu pula memberikan inspirasi yang begitu dalam bagi penulis sehingga semakin bergairah dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Juga kepada ananda Mayliah Dian Khaeriyah, yang telah memahami dengan betul, rendahnya kasih sayang yang selama ini diterimanya dan secara tidak langsung menerima pembelajaran sejak usia dini tentang cara hidup di negeri rantauan, khususnya di kota Metropolis Jakarta.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis memohon agar mereka yang telah memberikan kontribusi dalam rangka membina potensi keilmuan dan kepribadian penulis yang telah melahirkan karya ilmiah tertinggi dalam jenjang doktoral diberikan pahala dan dinilai oleh-Nya sebagai ibadah dan amal jariyah. Ămîn. Semoga karya ilmiah ini yang merupakan wujud dari sebuah perjalanan panjang dalam dunia keilmuan, mendapat rahmat dan diterima oleh-Nya sebagai amal ibadah, serta berguna kepada sesama hamba-Nya dalam rangka ikut serta menyebarkan sebahagian kecil petunjuk-Nya melalui pemahaman penulis yang diberikan-Nya atas lautan petunjuk-Nya yang begitu dalam lagi tak terhingga serta sangat luas dan tak bertepi.
Jakarta, 17 September 2008 Penulis, H A M Z A H NIM: 02.3.00.1.08.01.0067
DAFTAR ISI
SAMPUL ............................................................................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN ..............................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PROMOTOR DAN PENGUJI..............................iii
BERITA ACARA UJIAN PROMOSI...............................................................iv
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... v
KATA PENGANTAR ..........................................................................................xi
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... xvi
ABSTRAK ........................................................................................................................ xix
DAFTAR TABEL ............................................................................................................... xxii
DAFTAR BAGAN ...........................................................................................xxiv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1 B. Permasalahan ..................................................................................... 17 C. Tujuan Penelitian .......................................................................19 D. Manfaat Peneli an .....................................................................20 E. Definisi Operasional ..................................................................20 F. Kajian Pustaka ...........................................................................21 G. Kerangka Teori ..........................................................................25 H. Metodologi Penelitian ........................................................................ 26
1. Pendekatan dan data Peneli an..............................................26
2. Studi Lapangan Peneli an ................................................... 27
3. Konsep Pengukuran (Indikator) Pendayagunaan Zakat ....... 28
I. Sistematika Penulisan ................................................................30
BAB II PENDAYAGUNAAN ZAKAT DALAM PERSPEKTIF MANAJEMEN DAN EKONOMI ISLAM UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN UMAT........................31
A. Pendayagunaan Zakat sebagai Implementasi Manajemen Pada Masa Rasul ............................................................................. 31. 1. Pengertian dan Fungsi‐Fungsi Manajemen ....................... 32. 2. Penger an dan Tujuan Pendayagunaan Zakat .................. 41 3. Faktor‐Faktor Berpengaruh dalam Pendayagunaan Zakat 44 4. Amil : Otoritas Manajmen Pendayagunaan Zakat ............ 47. 5. Prinsip‐Prinsip Pendayagunaan Zakat Pada Masa Rasul ...53
B. Zakat sebagai Instrumen Ekonomi Islam dalam Peningkatan Kesejahteraan Umat ................................................................ 57
1. Penger an dan Perinsip‐Perinsip Ekonomi Islam .......... 57
2. Zakat sebagai Instrumen Ekonomi.................................... 72
3. Kesejahteraan Umat melalui Instrumen Ekonomi Zakat.... 78
BAB III ASPEK KELEMBAGAAN, SUMBER‐SUMBER PENDA NAAN DAN PELAKSANAAN PROGAM BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL SERTA PENDAYAGUNAAN ZAKAT PADA BERBAGAI PENGELOLA ZAKAT DI INDONESIA....................................................................................84
A. Aspek Kelembagaan dan Sumber‐Sumber serta Pelaksanaan Program Pendayagunaan Badan Amil Zakat Nasional .............84
1. Aspek Kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional...............84
2. Sumber‐Sumber Penghimpunan Dana ............................... 91
3. Pelaksanaan Program .......................................................... 92
B. Pendayagunaan Zakat Pada Berbagai Pengelola Zakat di
Indonesia …..............................................................................104
1. Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS)
DKI Jakarta…....................................................................104
2 BAZDA Provinsi Banten ....................................................106
3. Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) ….............................. 109
4. Dompet Dhuafa Republika (DDR)....................................111
BAB IV IMPLEMENTASI POLA‐POLA PENDAYAGUNAAN
ZAKAT ZAMAN RASUL PADA PENDAYAGUNAAN ZAKAT BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL ....................................... 119
A. Penetapan Status, Prototipe, Kewenangan serta Pertanggungjawaban Amil ………………….........................119
1. Penetapan dan Status Amil .............................................. 119
2. Proto pe Amil ................................................................... 121
3. Kewenanan Amil ............................................................... 130
4. Pertanggungjawaban Amil ................................................. 131
B. Perwujudan Fungsi Amil, Prinsip Desentralisasi dan Mempertegas Zakat Sebagai Hak Mustahik.............................133
1. Perwujudan Fungsi Amil .................................................. 133
2. Prinsip Desentralisasi..........................................................141
3. Prinsip Mempertegas Zakat Sebagai Hak Mustahik......... 145
BAB V IMPLEMENTASI FUNGSI‐FUNGSI MANAJEMEN
DALAM PENDAYAGUNAAN ZAKAT BAG PENING‐
KATAN KESEJAHTERAAN UMAT PADA BADAN
AMIL ZAKAT NASIONAL...................................................... 149
A. Implementasi Fungsi Perencanaan ...................................... 149
1. Gambaran Umum Kelembagaan Badan Amil Zakat
Nasional dalam Pencaaian Tujuan dan Cara
Mencapainya .....................................................................152
2. Arah Kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional dalam
Pendayagunaan Zakat.......................................................158
3. Penyusunan Rumusan tentang Makna Zakat ....................160
B. Impelementasi Fungsi Pengorganisasian dan
Pelaksanaan .........................................................................163
1. Fungsi Pengorganisasian .................................................163
2. Fungsi Pelaksanaan ........................................................ 180
C. Implementasi Fungsi Kepemimpinan dan Pengawasan.......189
1. Fungsi Kepemimpinan. ................................................. .189
2. Fungsi Pengawasan...........................................................211
BAB VI KENDALA‐KENDALA LINGKUNGAN EKSTERNAL DAN INTERNAL BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL DALAM PENDAYAGUNAAN ZAKAT UNTUK
KESEJAHTERAAN UMAT........................................................................................... 214
A. Kendala Lingkungan Eksternal Struktural............................ 215
1. Model Kelembagaan ...................................................... 215
2. Sumber Pendanaan Non Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS)
Belum Memadai ........................................................... 224
3. Belum Terbit Kebijakan Pemerintah tentang Zakat
sebagai Pengganti Pajak Penghasilan ......................... 228
4. Belum Ada Ketentuan Penyetoran dana zakat
UPZ ke Badan Amil Zakat Nasional ...........................229
5. Lemahnya UU NO.38/1999 tentang Pengelolaan
Zakat ............................................................................. 230
6. Belum Terbit Peraturan Pemerintah tentang Koordinasi
Badan Amil Zakat Nasional dan Pengelola Zakat ........233
B. Kendala Lingkungan Eksternal Kultural dan Internal Kelembagaan........................................................................235
1. Lingkungan Eksternal Kultural ......................................235
2. Kendala Lingkungan Internal Kelembagaan................. .244
BAB VII PENUTUP ...................................................................................250
A. Kesimpulan.............................................................................250 B. Rekomendasi ..........................................................................253
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................255
LAMPIRAN‐LAMPIRAN ................................................................................................. 266
1. Tabel ............................................................................................................266
2. Bagan ..........................................................................................................280
3 Da ar Informan ..........................................................................................282
4. Garis‐Garis Besar Materi Wawancara.........................................................283
5. Keterangan Wawancara .......................................................................................... 285
6. Surat Keterangan Penelitian ................................................................................... 293
7 Surat Permohonan Penelitian ................................................................................ 295
8 SK. Presiden tentang Pembentukan BAZNAS ............................................296
9 UU. No, 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat......................................... ..…307
10 Daftar Riwayat Hidup ............................................................................................. 319
ABSTRAK
Kesimpulan besar disertasi ini membuktikan bahwa Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada dasarnya telah melakukan pendayagunaan zakat untuk peningkatan kesejahteraan umat sesuai dengan pola yang dilakukan Rasulullah SAW. Pada satu sisi dan pada saat yang sama dalam batas-batas tertentu, BAZNAS dipandang telah mengimplementasikan fungsi-fungsi manajemen. Namun, dalam hal pengembangan, baik aspek kelembagaan maupun pada program yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan umat, ditemukan sejumlah kendala yang menjadikan kinerja badan ini tidak optimal.
Kesimpulan ini berimplikasi bahwa pada dasarnya badan ini dapat dinyatakan sebagai institusi kesejahteraan umat dan telah menampilkan diri sebagai institusi pengelola zakat yang menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern. Prototipe institusi BAZNAS dan kinerjanya yang demikian itu telah membantah pandangan sebagian pengamat terhadap citra pengelola zakat yang semula menempatkan amil sebagai ”pekerjaan sambilan” dan ”terkesan membagi-bagi uang zakat” menjadi sebuah pekerjaan yang profesional dan akuntabel.
Hasil penelitian disertasi ini tidak dimaksudkan untuk memperlemah dan memperkuat terhadap teori tertentu dalam objek penelitian yang sama yakni pada BAZNAS, karena belum ada penelitian yang dilakukan sebelumnya. Namun, dilihat dari sisi bidang kajian disertasi ini, yakni pendayagunaan zakat yang dilakukan oleh lembaga zakat, maka ditemukan pandangan-pandangan tertentu yang dapat dikaitkannya. Disertasi ini, di antaranya, telah memperkuat pandangan yang menginginkan agar dikembangkan pengelolaan zakat yang menganut pendekatan partisipasi. Menurut Palmawati (Disertasi 2004) penggagas pendekatan ini, keterlibatan stakeholder untuk berpartisipasi dalam pengelolaan zakat sangat diperlukan. Disertasi ini membuktikan bahwa BAZNAS dalam pendayagunaan zakat, telah melibatkan mustahik—sebagai bagian stakeholder—berpeluang dalam posisi untuk tidak saja secara pasif menerima zakat, tetapi berkesempatan untuk memberdayakan dirinya.
Selain itu, disertasi ini mendukung gagasan yang diusung oleh Yusuf Qardawy (1985) yang menetapkan dasar-dasar struktur bagi organisasi pengelola zakat yang mengarah pada pendayagunaan zakat. Afzalur Rahman (1992) memberikan penekanan yang lebih tajam tentang eksistensi pengelola zakat, agar zakat dapat berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi, maka diperlukan badan zakat.
Data penelitian ini disumberkan dari selain data kepustakaan juga data lapangan penelitian. Data penelitian lapangan dilakukan dengan wawancara sebanyak lima informan internal Badan ini dan tujuh informan eksternal yang merupakan praktisi pada BAZDA dan LAZ serta telaah dokumentasi BAZNAS sebanyak sebelas buah dokumen. Dalam membaca data penelitian, pendekatan yang dipergunakan yaitu sejarah hukum Islam, manajemen, serta sosiologi.
ABSTRACT
The main conclusion of this dissertation proves that (Badan Amil Zakat Nasional) BAZNAS used zakat to encourage social welfare based on the practices and forms of Rasulullah saw. In a hand, in the same time, BAZNAS implemented managerial function. However, in the development context, either institution aspect or programs related to encouraging social welfare, it found many obstacles causing this institution not favorable.
Thin conclusion implicates that this institution could be mentioned as social welfare institution. This dissertation proves that BAZNAS appears as an institution which manages modern zakat and its duties utilizing zakat based on managerial principle. The prototype of BAZNAS and its duties encounter the views of many thinkers about the image of zakat managing that previously placed ‘âmil as “secondary activity” and apparently just “distributes zakat” become a professional and accountable activity.
The result of this research does not intended to weaken nor strengthen to certain theory in the same research object, which is at BAZNAS, because there is no previously research conducted yet. However, seen from this dissertation study area, that is zakat utilization conducted by zakat institute, hence found certain approaches that able to correlate of. This dissertation, strengthened view those who wished zakat management to be develop embracing participative approach, as Palmawati conception in her disserta on (2004), the stakeholder involvement to par cipate in zakat management is much needed. This dissertation also proves that with BAZNAS policy in zakat utilization, hence, mustahiq, as part of stakeholder, has opportunity in just position, not only quiescently accept zakat, but also having chance to power himself.
This dissertation also supports Yusuf Qardawy (1985) who determines the structural bases of zakat organizer institutions that lead to zakat utilization. Afzalur Rahman urges regarding the existence of zakat organizer, so zakat might effect to economical development, indeed needs a zakat institutions.
Sources of this research data come from bibliography and field. Field data conducted by interviewing five internal informants from BAZNAS and seven external informants as BAZDA and LAZ activists and studying eleven BAZNAS documents. In analyzing research data, the approach used.[]
ملخص البحث
أهم النتائج التى توصل إليها البحث تثبت أن الهيئة اإلندونيسية الخاصة قد قام بتفعيل الزآاة داخل إطار اتخاذ القرارات (BAZNAS)بالعاملين على الزآاة
أنه تعمل BAZNASوهذا، فقد ظهر . والسياسات على أساس المؤسسة المنظمةمؤسسة فى الدرجة العالية قد اعطى هذه ال. آالمؤسسة المنظمة المعاصرة
اإللتفات لآلراء التي جائت من قبل المفكرين الذين يرون أن هذه المؤسسة مجموع من العاملين على الزآاة آوظيفة فرعية وتوزيع النقود إلى وظيفة منظمة
. مسؤولية
لم يهدف البحث من خالل نتائجه أن تقلل من شأن نظرية ما فى هذا شأن الهيئة الوطنية الخاصة بالعاملين على الزآاة، أو على الموضوع وهو ب
لكن هذا الموضوع . العكس أن تؤيدها، إذ لم يسبق عليه أى بحث فى الموضوعمازل له عالقة مع الدراسة السابقة منها أن هذا الموضوع يوافق ويأيد الرأي
تى وأآد فلماوا. الذي أراد أن تكون الزآاة بتصريف على سبيل المشارآة، المؤسس هذا الرأي، مشارآة المؤسسة المعنية فى )2004الرسالة الماجستير (
من ناحية أخري، قد استنتج هذا البحث أن المستحق له . تصرف الزآاة أمر حتمي . إمكانية أن يشارك بصفة إيجابية ويقوى نفسه فى من خالل الزآاة
ن المفكرين، من ناحية أخري، قد أآد هذا البحث اآلراء المختلفة م التي تقوم بتفضيل المستحق ) 1980رسالة الماجسير (أسوة حسنة ) 1:(منهم
ديدين ) 2. (آمسئول األساسي فى نجاح عملية التصرف الزآاة بجانب العاملأن الهدف األساسي للعامل ليس ) الكلمة في تنصيبه آأستاذ الجامعة(حافظ الدين
) 1985(يوسف القرضاوى ) 3. (للربح وإنما لتنمية ودفاع عن المستضعفينافزل الرحمن ) 4.(الذي وضع األسس الهيكلية لمؤسسة الزآاة إلى تفعيل الزآاة
. الذي أعطى مسؤولية لمؤسسة الزآاة حتى تتأثر في بناء إقتصادي
والذى ››داود على ‹‹وقد رفض هذا البحث الرأى الذى قام بتطويره ، والذى ) 1988( يسيا إلى أربعة مقوالت صنف تفعيل الزآاة المعمول فى إندون
يتخذ فى الحقيقة، تصنييف المقولتين المقولة االستهالآية والمقولة اإلبداعية يظهر أن ذلك الرأى ال يمكن تطبيقه على موضوع تفعيل الزآاة الذى . مرجعا له
وينطوى على تطوير هذا التصنيف معنى بأن تفعيل أموال الزآاة . قامت به الهيئةتم توجيهه نحو األنشطة االستهالآية واإلبداعية بمعنى دفع مستحقى الزآاة إلى
والحقيقة أنه ال يمكن تطبيق مصطلح االستهالآية . القيام بأعمال وأنشطة إنتاجية
‹‹واالساس الذى قام عليه رأى . آليا على تفعيل الزآاة الذى قامت الهيئة بتطويرهإمكان إدخال أموال الزآاة التى قسمتها الهيئة على هو أنه بالرغم من ››داود على
المستحقين، ظاهرا، إلى الصنف االستهالآى، لكن الهيئة فى الحقيقة تظل تأخذ القيم اإلنتاجية المتضمنة فى فريضة الزآاة فى عين االعتبار، لتظل الهيئة تحافظ
.على تلك القيم فى أعمالها وأنشطتها
لتى طورتها الهيئة، فإن هذه الرسالة تضع بالنسبة للسياسة افعلى ذلك وهو المفهوم االستهالآى والمعقولى . مفهوما جديدا فى تفعيل الزآاة
هذا النموذج يتيح للمستحقين . والمشارآى، اإلنتاجى والمعقولى والمشارآىفرصا لالسترشاد الذاتى والتوعية الذاتية، والهيئة بدورها تقوم بإعداد التسهيالت
ولكى يمكن للهيئة أن تطور هذه الفكرة فإن هذه الرسالة ترى . لمستحقينلهؤالء اوتصييغ المبادئ الخاصة بتفعيل 1999لسنة 38ضرورة تعديل القانون رقم
.أموال الزآاة، ألنهما أمران فى غاية األهمية
إلى جانب المصادر والمراجع، يستخدم البحث المعطيات الميدانية ار والمناقشة واالطالع على مستندات الهيئة وهى أحد المحصلة عن طريق الحو
agencyوفى قراءة المعطيات يستخدم الباحث نظرية الواسطة . عشر مستندا .ونظرية تغيير األحكام
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Penerimaan Badan Amil Zakat Nasional
Tahun 2005‐2007....................................................................... 91
Tabel 2 Program Mitra Solidaritas Isteri Kabinet Indonsia Bersatu
(SIKIB) dan Badan Amil Zakat Nasional .................................101
Tabel 3 Pemasukan Dana Dompet Dhuafa Republika
1426‐1427 H .............................................................................113
Tabel 4 Sumber Daya Personal Badan Amil Zakat Nasional
Dari sisi Latar Belakang Keilmuan dan Profesi .................... 124
Tabel 5 Hasil Analisis Terhadap Konsep Amil Badan Amil Zakat
Nasional: Dimensi, Sumber Pembentukan Persepsi, Katego
Risasi....................................................................................... 126
..
Tabel 6 Iden fikasi Unsur‐Unsur Konsep Mustahik dalam Persepsi
Badan Amil Zakat Nasional dan Peluang Program Penda‐
yagunaan Zakat ..................................................................... 134
Tabel 7 Program dan Prosentase Pendayagunaan Zakat Badan
Amil Zakat Nasional ............................................................... 146
Tabel 8 Sintesis antara Unsur dalam Fungsi Perencanaan dengan
Indikator Penelitian ................................................................. 151
Tabel 9 Perbandingan Prosentase Antar Sektor pada Pendayagunaan
Zakat Infak dan Sedekah Lembaga Pengelola Zakat
Di Indonesia ........................................................................... 156
Tabel 10 Sintesis antara Unsur dalam Fungsi Pengorganisasian
dengan Indikator Penelitian .................................................. 165
Tabel 11 Perbandingan Pendayagunaan Zakat versi Badan Amil
Zakat Nasional dan Keputusan Dirjend. Bimas Islam dan
Urusan Haji .......................................................................... 182
Tabel 12 Sistensis antara Unsur‐Unsur pada Sumber‐Sumber Ke‐
pemimpinan dalam Fungsi Kepemimpinan dengan
Indikator Penelitian ......................... ..................................... 190
Tabel 13 Subsidi Departemen Agama RI terhadap Badan Amil Zakat
Nasional 2001‐2006 (dalam Rupiah) .............................. 225
Tabel 14 Anggaran Dari Program Kerjasama Terhadap Badan Amil
Zakat Nasional 2001‐2006................................................ .... 227
Tabel 15 Dana Zakat yang Dihimpun BAZNAS 2005‐ 2006...............227
Tabel 16 Perbandingan Dana Zakat Infak dan Sedekah yang
dihimpun BAZNAS dengan Penerimaan Secara Nasional
Pada Pengelola Zakat Lainnya 2002‐2006............................. 243
Tabel 17 Perbandingan Dana Zakat Infak dan Sedekah yang
dihimpun Badan Amil Zakat Nasional 2005‐2006 ................244
Tabel 18 Perkembangan Kemiskinan di Indonesi 2000‐2006 ............ 266
Tabel 19 Da ar Lembaga Pengelola dan Kegiatan Pendist‐
ribusian Zakat, Infakdan Sedekah ..................................... 267
Tabel 20 Distribusi Kata Ămil dalam Al‐Qur’an dan Ide yang
Dipahami ............................................................................. 268
Tabel 21 Distribusi Kata Ămilîn dalam Al‐Qur’an dan Ide yang
Dipahami ............................................................................. 269
Tabel 22 Iden fikasi Penggunaan Ulama/ Cendekiawan Muslim
tentang Is lah Prinsip Ekonomi Islam ................................ 270
Tabel 23 Program Peduli BUMN ....................................................... 271
Tabel 24 Program PSPU .......................................................................272
Tabel 25 Penerimaan Dana BAZIS DKI Jakarta .................................273
Tabel 26 Penggunaan Dana Baziz DKI Jakarta ...................................273
Tabel 27 Penerimaan Dana Umat Islam BAZDA Banten ..................274
Tabel 28 Penyebaran Unit Zalur Zakat Menurut Provinsi ................. 275
Tabel 29 Program Baznas Sinergi Center .........................................276
Tabel 30 Penggunaan Dana BAZDA Banten ................................... 277
Tabel 31 Penggunaan Dana Dompet Dhuafa .................................... 278
Tabel 32 Penggunan Dana Zakat BAZNAS 2002‐2006.................... 279
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Unsur dalam Fungsi Perencanaan ..................................... 151
Bagan 2 Alur Kerangka Pikir Peneli an ……………………………. 279
Bagan 3 Konsep Indikator Terhadap Pendayagunaan Zakat ............. 280
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemerintah Indonesia, telah menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai suatu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Gunawan, pada masa
Orde Baru kebijakan pemerintah berkaitan dengan pengentasan kemiskinan di
antaranya dikembangkan ke dalam dua pola yaitu pola penanggu langan antar sektor
dan. penanggulangan antar daerah/ wilayah. Yang pertama pendelegasian kepada setiap
departemen untuk merumuskan kebijakan pengen tasan kemiskinan seperti
departemen pertanian bertanggungjawab terhadap go longan miskin dari keluarga yang
berada di sektor pertanian. Sedangkan terakhir berkaitan dengan pembagian wilayah
seperti Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur yang antara lain melalui
program inpres. Khusus daerah yang belum terjangkau program itu pemerintah
menetapkn PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu) dengan menetapkan kecamatan
sebagai unit kerjanya.1
Data tabel delapan belas (18), menunjukkan peningkatan angka kemiskinan
2006 melampaui angka 2001. Perbandingan ini menunjukkan bahwa justru
perkembangan kemiskinan mengalami peningkatan. Menurut hasil peneli‐ tian Jasmina
dkk. seperti dinyatakan oleh Mustafa Edwin Nasu on bahwa, dari 268 kabupaten /kota
yang diteli hanya 93 kabuaten/ kota yang mengembangkan kebijakan anggaran
belanja daerah yang pro kepada orang miskin.2
Berdasarkan uraian di atas, telah memberikan informasi bahwa terdapat
hubungan antara ketidakmandirian masyarakat dalam kaitannya dengan program
penanggulangan kemiskinan dengan pengalokasian anggaran yang dibangun oleh
pemerintah. Program yang dibangun oleh pemerintah pusat seperti dinyatakan oleh
Gunawan memiliki persamaan dengan perilaku pemerintah daerah dalam penyusunan
anggaran belanja daerah. Karena itu, ketidakmandirian masyarakat dalam program‐
program pengentasan kemiskinan, tidak dapat sepenuhnya dilihat dari ketidakmampuan
masyarakat itu sendiri tetapi terkait dengan perilaku pengembangan masyarakat yang
dibangun oleh pemerintah.
1Berbagai kebijakan pemerintah berkaitan pengentasan kemiskinan menurut Gunawan
dapat dilihat pada terjadinya proses perubahan struktural dalam kehiduan sosial ekonomi masyarakat. Namun secara empirik program-program yang dikembangkan oleh pemerintah dirasa belum mampu menanggulangi kemiskinan secara sistemik. Program yang ada kurang memberikan dampak pada penguatan kapasitas sosial ekonomi masyarakat lokal guna mendukung membangun kemandirian. Gunawan Sumodiningrat, et. al., Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, (Jakarta: Inpac, 1999), h. 66. Menurutnya, Inpres sebagai kebijakan termasuk di dalamnya IDT (Inpres Desa Tertinggal).
2Mustafa Edwin Nasution, “Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah” dalam, Profil 7 Badan Aml Zakat Daerah & Kabupaten Potensial di Indonesia, (Jakarta: IMZ, 2006) cet. I, h. xvii. Selanjutnya, menurut Sumartono dkk. seperti dinyatakan Mustafa Edwin Nasution menyatakan bahwa tata kelola pemerintahan di era otonomi daerah, telah memiliki keterkaitan dengan terhambatnya upaya-upaya penanggulangan kemiskinan., Mustafa Edwin, Zakat ...h. xviii.
Dalam upaya pengentasan kemiskinan, Presiden Susilo Bambang Yudoyono
mengharapkan “kiranya dilakukan sinergitas kebijakan antara pemerintah pusat dan
pemda dengan melibatkan swasta dan masyarakat luas.”3
Keikutsertaan umat Islam Indonesia dalam pengentasan kemiskinan dipandang
sangat strategis karena selain dengan argumen sosiologis juga perintah agama.45 Dalam
perkembangan keislaman di Indonsia, salah satu institusi yang berpengaruh adalah
zakat. Zakat dalam doktrin Islam, yaitu rukun Islam yang keempat, dan dibangun
sebelum syahadat, shalat dan puasa. Karena itu, sangat diduga bahwa, pelaksanaan
zakat di kalangan umat Islam, telah dilakukan di nusantara ini bersamaan dengan
eksistensi mereka dan dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan agama Islam.
Berkaitan dengan pelaksanaan agama Islam terhadap zakat di Republik Indonesia,
Uswatun Hasanah, menyatakan bahwa umat Islam yang merupakan mayoritas
penduduk di Indonesia telah lama melaksanakan lembaga zakat. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa, pelaksanaan zakat disamping perintah agama juga salah satu upaya untuk
mewujudkan keadilan
sosial di bidang ekonomi.6
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa, dari aspek ekonomi, lembaga zakat
memegang peran yang sangat penting dalam membangun keadilan sosial. Dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan misalnya, pembangunan gedung madrasah,
pembinaan dai, pembangunan masjid telah ditunjang oleh dana zakat. Hal yang sama
berlaku pula dalam kehidupan sosial ekonomi yang bersifat bantuan “sesaat” ekonomi
terhadap umat Islam yang membutuhkan.
3 Pengarahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, dalam rapat Rakortas di Gedung
Agung Istana Negara Yogyakarta, 14 Desember 2006, tenang Pembukaan Lapangan Kerja dan Pengurangan Kemiskinan, “Pemerintah Buka Lapangan Kerja.” Republika, 15 desember 2006.
4Pertama, mayoritas penduduk Indoneia menganut agama Islam. Karena itu, secara sosio-ekonomi, umat Islam, merupakan umat yang paling mayoritas dilanda kemiskinan di Indonesia dibanding umat yang lain, dan dengan kebijakan ini, maka mereka berpeluang untuk memperoleh dampak kebijakan. Kedua, gagasan pengentasan kemiskinan dipandang sesuai dengan agama Islam. Menurut Alquran, dari berbagai ayatnya terdapat sejumlah ayat dipandang mendorong perlunya pengentasan kemiskian. Di antaranya, kecaman bagi ornag yang tidak memperhatikan nasib anak yatim (QS.Al-Mâ’un: 1-3), perintah untuk memperhatikan nasib keluarga, orang dekat dan orang-orang miskin (QS.Al-Isra :26) .
6Uswatun Hasanah, “Zakat dan Keadilan Sosial Studi Kasus Tentang Pengelolaan Zakat oleh BAZIS di Wilayah DKI Jakarta,” (Tesis S2 Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1980), h. 25.
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa dari sisi efektifitas pengelolaan
zakat, maka memberlakukan zakat dengan mengembangkan pola kedua (tidak langsung)
merupakan pola yang tepat. Argumen yang dikemukakan oleh pengelolaan zakat yang
pro pada pola ini adalah dana zakat dapat terkumpul dan dapat dikelola dengan
melihat skala prioritas, mengurangi rasa rendah diri bagi musthaik karena tidak
berhadapan langsung dengan muzakki.7 Dengan dasar efektifitas pengelolaan zakat ini,
tampaknya, kehadiran amil dalam arti organisasi pengelola zakat menjadi sangat
penting.
Pada era kepemimpinan BJ. Habibie sebagai Prsden RI, pengelolaan zakat di
Indonesia telah memasuki babak baru. Babak baru pengelolalan zakat dalam era ini,
ditandai dengan lahirnya UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. UU ini
menetapkan bahwa, pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk
oleh pemeritah (Pasal 6) dan lembaga amil zakat yang dikukuhkan, dibina dan dilindungi
oleh pemerintah (Pasal 7). Pembentukan Badan Amil Zakat Nasional dilakukan oleh
Presiden atas usul Menteri Agama, sesuai UU NO. 38 Tahun 1999 Pasal 2. Untuk
pertama kalinya Badan Amil Zakat Nasional dibentuk berdasarkan Surat Keputusan
Presiden Nomor 8/ 2001 tanggal 17 Januari. Dalam UU ini selain aspek pengumpulan
dana juga diatur tentang pendayagunaan zakat. Karenanya, sangat diduga kuat bahwa
UU ini memiliki relevansi dengan pandangan Islam yang melihat bahwa zakat
sebagai instrumen ekonomi.
Instrumen ini dapat dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan.
Sebagai instrumen ekonomi Islam, dengan potensi zakat yang besar di Indonesia
memungkinkan secara ekonomi diterima sebagai salah satu sumber dana dalam
pengentasan kemiskinan. Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa, “Apabila hasil
penerimaan zakat pada tahun 1999 sebesar Rp. 10 trilyun maka diperkirakan Rp. 6.7
trilyun untuk pengentasan kemiskinan dan sisanya untuk kegiatan sektor ril.” 8
Pandangan terakhir ini, hanya menggambarkan betapa zakat dapat berfungsi dalam
pengentasan kemiskinan dan tidak mencerminkan angka potensi zakat sebenarnya.
7Didin Hafidhuddin Ma’turdi, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Shadaqah, (Ja-
karta: Baznas, 2005), h. 32. 8Abbas Ghozali “Zakat untuk Keadilan dan Pertumbuhan Ekonomi” makalah dalam
diskusi IAEI pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Desember 2006, (Jakarta: Panitia Seminar IAEI, 2006), h. 9-10. Menurut data Forum Zakat (FOZ)” dana zakat 2003 mencapai Rp. 13.21 triliun. Mustafa Edwin Nasution, “Zakat..., h. xxiii.
Selain aspek pengentasan kemiskinan dalam dimensi ekonomi, perhatian
terhadap masalah‐masalah bencana alam, bantuan terhadap dunia pendidikan,
lembaga pengelola zakat juga dalam batas‐batas kemampuannya telah berkiprah dalam
aspek ekonomi sosial dan religius dan karenanya memungkinkan ditelaah dalam
perspektif peningkatan kesejahteraan umat.
Mencermati keberadaan lembaga pengelola zakat di Indonesia, yang telah
banyak berbuat ‐dalam batas‐batas tertentu dan masih menyisakan berbagai kendala
seperti yang akan dikemukakan‐ secara fungsional ekonomi khususnya dalam
pengentasan kemiskinan, juga dalam transformasi pengetahuan dan spritual, namun
terdapat suatu hal yang sangat disayangkan karena partisipasi ini kurang mendapat
respon dari publik terutama dari pemerintah. Kondisi ini terukur dari tidak adanya
Peraturan Pemerintah mengenai Pelaksanaan Undang‐Undang dimaksud. Secara politis,
posisi zakat selalu ditempatkan sebagai bagian dari Islam dan tidak dimasukkan sebagai
bagian instrumen pengentasan kemiskinan. Kondisi ini sebenarnya tidak
menguntungkan umat Islam, terlebih lagi mereka secara nasional merupakan populasi
terbanyak yang terjebak dalam kemiskinan. Terkesan bahwa, pengentasan kemiskinan,
hanya dilaksanakan secara “tunggal” oleh pemerintah, sementara umat Islam,
khususnya pengelola zakat
tidak terkait dengan pengentasan kemiskinan .
Kondisi ini juga berpengaruh terhadap kecenderungan kajian zakat.
Kajian‐kajian zakat selama ini cenderung hanya dipandang dari aspek syari’ah, tanpa
dilihat dari aspek aspek lainnya seperti ekonomi sosial politik. Pada hal sesungguhnya,
kajian‐kajian zakat tidak dapat dipokuskan semata pada aspek syari’ah sebagaimana
yang mewarnai kajian zakat dewasa ini. tetapi kajian non syar’ah dalam antar disiplin
ilmu mutlak diperlukan. Dalam aspek syari’ah misalnya, zakat dipandang sebagai
kewajiban bagi muzakki, dan hak menerima bagi mustahik serta hak pengelolaan bagi
amil. Tetapi, zakat tidak hanya berbicara tentang hak dan kewajiban antar ketiga unsur
di atas, tetapi dapat dikaji lebih jauh agar zakat memiliki keterkaitan dengan
mengembangkan hak‐hak mustahik. Dengan demikian, maka kajian zakat,
membutuhkan kajian lintas disipliner.
Sebagai salah satu sumber keuangan Islam, perhatian terhadap kajian zakat
seyogianya tidak hanya tertuju pada aspek pengumpulan semata. Namun aspek
pendayagunaan dipandang sangat penting. Pentingnya aspek pendayagunaan karena:
(a). Zakat yang terkumpul pada amil yang diserahkan oleh muzakki, maka dengan
sendirinya, secara syar’iy, dana zakat telah memiliki unsur amanah. Selanjutnya (b),
dengan dana zakat yang ada pada amil, maka unsur dayaguna dana tersebut pada
mustahik patut mendapat perhatian. (c). Dana zakat yang terkumpul pada amil, maka
amil akan menjadi tumpuan harapan bagi mustahik untuk memperoleh hak‐haknya.
Atas dasar itu, maka aspek pendayagunaan, bagi amil memiliki “beban ganda” sedang
pada aspek pengumpulan hanya memiliki “beban tunggal “yaitu bagimana upaya
pengumpulan dana zakat dari muzakki. Selanjutnya, dengan dana zakat yang
didayagunakan kepada mustahik sesuai dengan petunjuk syari’at, maka akan
memberikan pengaruh tidak hanya kepada mustahik, namun juga terhadap muzakki
untuk mengeluarkan zakat mereka pada satu sisi dan akan mendorong amil dalam
meningkatkan kwalitas pengelolaan dana zakat.
Berkaitan dengan pendayagunaan zakat oleh lembaga pengelola zakat, maka
ditemukan hasil penelitian yang kurang menggembirakan. Di antara hasil penelitian itu:
Pertama, Uswatun Hasanah, menetapkan bahwa terdapat kendala yang dihadapi oleh
BAZIS DKI Jakarta antara lain lemahnya aspek organisasi, kurangnya sumber daya
manusia, pengawasan, pembinaan terhadap mustahik dan biaya operasional yang tidak
cukup.9 Kedua, hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Basril menunjukkan bahwa
hanya sekitar 30 % dari dana bergulir yang diberikan oleh Bazis DKI Jakarta, dapat
dikembalikan dengan baik oleh kelompok usaha yang berasal dari mustahik.10
9Uswatun Hasanah, “Zakat dan Keadilan Sosial...” Tesis, 1980, h. 196. Hemat penulis,
penelitian ini dilakukan sebelum lahirnya UU dimaksud, namun substansi kendala lembaga pengelola zakat pasca UU ini masih dipandang relevan dengan hasil penelitian ini.
10Dana yang diberikan itu, walaupun qard al-hasan yang bersumber dari infak, namun mencerminkan perilaku mustahik secara umum. Basril, “Upaya Bazis: dalam Pengentasan Kemiskinan Melalui ZIS DKI Jakarta,” (Disertasi S3 PPS UIN Jakarta, 2000), h.234. Penelitian lainnya, pengamatan Bazis DKI Jakata seperti dinyatakan Marzani Anwar yang dikutif Muhammad Daud Ali bahwa terdapat faktor penghambat dalam pembinaan dana bersifat produktif yang telah diterima oleh mustahik. Faktor itu: (1) pandangan mereka bahwa dana itu tidak wajib dikembalikan. Menurutnya, tidak ada nash yang mewajibkan dana yang diterima oleh mustahik untuk mengembalikannya; (2) jumlah dana yang diberikan kepada mustahik terlalu kecil untuk modal usaha; (3) Bazis sendiri belum siap secara profesional untuk mengelola dana pinjaman; (4) Mustahik belum memiliki pola pikir wirausaha. Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), cet. I, h. 70.
Dalam tabel sembilan belas (19) terlihat bahwa sejumlah lembaga pengelola
zakat yang sudah menerapkan manajemen. Penerapan manajemen paling tidak terukur
pada ditemukannya prosentase dalam sektor‐sektor pendayagunaan zakat. Pengelola
zakat dimaksud belum ditemukan adanya keseragaman prosentase dalam aspek
pendayagunaan zakat. Terdapat pengelola zakat yang memberikan prosentase tertinggi
pada asepk tertentu, sedang pengelola lainnya memilih prosentase tertinggi pada aspek
lainnya. Hasil analisis dalam tabel sembilan (9) menunjukkan bahwa sektor usaha
produk f 10‐50 %; pengembangan sumber daya manusia 25‐50 %; prasarana
pendidikan/ rumah ibadah bantuan sosial 10‐24 % serta sektor amil 10‐12.5 %. Secara
umum terdapat kecenderungan bahwa pengelola zakat, belum memiliki kesamaan
prosentase dalam menetapkan pendayagunaan zakat terhadap mustahik.
Berkaitan dengan upaya perbaikan pendayagunaan zakat, telah dikembang
kan oleh kalangan tertentu berbagai gagasan. Gagasan tersebut antara lain,
perlunya dilakukan pendekatan transformatif dalam mengembangkan
masyarakat sadar zakat.11
Selain gagasan yang dikemukakan di atas, Palmawati menawarkan pendekatan
partisipatif. Menurutnya, pendekatan ini mengandung arti agar berbagai berpihak pihak
yang terlibat dan memiliki kepentingan yakni pemerintah, amil, muzakki serta mustahik,
berpartisipasi secara aktif serta memiliki semangat yang tinggi dalam melaksanakan
kewajiban zakat.”12 Oleh Zukâri menyatakan bahwa seharusnya zakat berfungsi sebagai
instrumen kesejahteraan sosial (al‐Rifâhah aIjtimâiyah) namun yang terjadi dewasa ini
masih sebatas pada fungsi bantuan (Had al‐kâfi).13
11Safwan Idris sang penggagas pendekatan ini, menyatakan bahwa, tujuan akhir dari
upaya gerakan sadar zakat adalah menciptakan suatu masyarakat baru yang memiliki kesadaran tinggi terhadap dimensi-dimensi yang terkandung dalam zakat yang meliputi : ibadah, hukum, sosial, ekonomi, politik dan pendidikan. Menurutnya, dewasa ini terjadi kecenderungan masyarakat memahami zakat dalam dimensi hukum dan ibadah saja.Safwan Idris, Gerakan Zakat Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat: Pendekatan Transformatif (Jakarta: Cita Putra Bangsa , 1997), h. 315-320..
12 Palmawati Tahir, “Zakat dan Negara (Studi tentang Prospek Zakat dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dengan Berlakunya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat),” (Disertasi S3 Konsentrasi Ilmu Hukum PPS. Universitas Indonesia Jakarta, 2004), h. 435.
13Zukâri Bi Yaumi, al-Mâliyah al-‘Ămmah al-Islâmiyah, dalam Gazî ‘Inâyah “Ushûl al-Mâliyah al-‘Ămmah al-Islâmiyyah, (Bairut: Dâr Ibn Hazm, 1993), h. 23.
Selain pandangan di atas kalangan tertentu seperti ulama,14 akademisi 15 serta
pengamat sosial ekonomi umat Islam16 menaruh perhatian dalam pendayagunaan zakat.
Selain mereka yang berlatar belakang akademisi, pengamat sosial ekonomi umat Islam
dan pemimpin ormas, kalangan perbankan juga memberikan perhatian di antaranya
bahwa ”selama ini zakat terkesan kurang diperhatikan sehingga penangannya dilakukan
tidak efektif dan karenanya perlu pengawasan yang ketat untuk menjaga tingkat
kepercayaan masyarakat luas”.17 Gagasan yang lain, perlunya pendampingan kepada
mustahik agar dana yang diberikan oleh pengelola zakat tidak hanya berfungsi sebagai
karitatif finansial yang dapat habis begitu saja.18
Memperhatikan uraian sebelumnya, baik yang bersumber dari hasil pene litian
maupun dari berbagai gagasan dari sumber latar belakang yang beragam di atas, maka
ditemukan bahwa salah satu masalah mendasar yang dialami oleh pengelola zakat di
Indonesia, khususnya dalam hal pendayagunaannya adalah aspek manajemen.
Berkaitan dengan lemahnya aspek manajemen dalam pendayagunaan zakat
bagi pengelola zakat, Emmy Hamidiyah melakukan identifikasi. 19 Uraian berkaitan
identifikasi kelemahan dari aspek manajemen pendayagunaan zakat yang menunjukkan
14Menurut Ali Yafie bahwa, ”sesuatu yang baru dalam pengelolaan zakat adalah
menjadikan lembaga itu identik dengan lembaga keuangan...” Ali Yafie, dalam Aries Mufti, dkk., Problem Kemiskinan, (Jakarta: Blantika, 2004), h. xxiv. Didin Hafidhuddin dalam konteks sebagai ketua Dewan Pertimbangan Badan Amil Zakat Nasional, ”...harus dikelola dengan melibatkan orang yang memiliki amanah, waktu yang cukup dan profesional... ” dan menurutnya pandangan ini dapat memberikan solusi atas keberadaan lembaga zakat yang masih rendah di mata masyarakat. Didin Hafidhuddin, dalam Aries Mufti, dkk., Problem Kemiskinan, h.xxx.
15 Dalam konteks pendayagunaan zakat untuk jangka panjang Syafii Maarif dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah menyatakan bahwa ”... pendayagunan zakat di Indonesia masih dalam batas untuk jangka pendek, belum ke arah jangka panjang dan bergulir....” A. .Syafi’i Maarif, ”Kata Pengantar ” dalam Aries Mufti, dkk., Problem Kemiskinan, h. xiv.
16 Masdar F.Mas'udi dalam kapasitas sebagai Ketua PB. Nahdhatul Ulama menyatakakan bahwa ”...zakat memiliki dampak sosial yang harus riil dan ia mengandung konsep dinamis dan karenanya dari sasaran distribusi zakat tidak harus persis sama dengan penerapan pada masa Rasul....” Masdar F. Mas'udi, dalam, Aries Mufti., dkk., Problem Kemiskinan, h. xx-xxi.
17Mulya E. Siregar, Kepala Biro Peneltian, Pengembangan dan Peraturan Perbankan Syari’ah, Direktorat Perbankan Syari’ah Bank Indonesia, Makalah, dalam seminar Lembaga Keuangan Sosial Islam, di UIN Jakarta, 17 Januari, 2007, h. 3.
18A. Ridwan Amin, dkk., “Katup Pengaman Bila Instrumen Ekonomi Tidak Jalan,” dalam Syari’ah dalam Sorotan (Jakarta: Yayasan Amanah, 2003), h. 126-127.
19Pertama, program penyaluran zakat produktif masih bersifat sporadis, insenditil dan dilakukan secara sendiri-sendiri dengan tidak terjalin hubungan antar lembaga pengelola zakat dan pemerintah daerah. Menurutnya, implikasinya berpeluang untuk timbulnya ketumpangtindihan antar program penyaluran dan mustahik. Kedua, program yang dikembangkan oleh pengelola zakat masih bersifat ”searah” yakni tidak terjadi kesesuaian antara kebutuhan mustahik dengan program yang dikembangkan. Implikasinya adalah hubungan lembaga pengelola zakat dengan
bahwa pendayagunaan zakat tidak hanya memiliki dimensi beridiri sendiri tetapi terkait
dengan dimensi lainnya. Namun demikian, cara pandang pengelola zakat terhadap zakat
itu sendiri dipandang juga berpengaruh dalam meramaikan lemahnya pendayagunaan
zakat. Cara pandang mereka ter‐ hadap zakat, akan berpengaruh pula dalam memaknai
organisasi pengelola zakat.
Berkaitan posisi zakat sebagai salah satu rukun Islam Uswatun Hasanah
menyatakan bahwa zakat mengandung pengabdian moral dan ekonomi, bagi
muzakki. Menurutnya, dari sisi pertama ia akan membangun perilaku positif bagi
muzakki dan membantu secara ekonomi bagi mustahik.20 Namun, terdapat pandangan
lain yang menempatkan zakat sebagai sebuah instrumen yang bersifat karitatif. Yaitu
suatu pandangan yang melihat zakat sebagai instrumen yang bersifat penyantun bagi
mustahik.21 Walaupun tidak ditemukan penelitian secara empirik tentang pengaruh
pandangan terakhir ini dalam kehidupan masyarakat, akan tetapi diduga kuat bahwa
pandangan ini membawa pengaruh bagi perkembangan pengelolaan zakat di Indonesia
khususnya terhadap pengelola zakat.
Menempatkan zakat sebagai instrumen karitatif, akan mengantar pengelola
zakat memandangnya sebagai bagian dari aktifitas sosial semata. Akibatnya,
pengelolaan zakat, diarahkan untuk kepentingan sosial semata serta dikelola dengan
pola kesukarelaan. Hasil penelitian yang dilakukan Umratul Khasanah menyimpulkan
mustahik hanya sebatas objek dan tidak dirasakan mustahi secara permanen. Ketiga, dari sisi regulasi. Yaitu, belum ditetapkan fungsi regulator dan pengawasan bagi pengelola zakat yang bertugas untuk antara lain : (1) Menetapkan kebijakan penyaluran zakat; (2) menetapkan skala prioritas pendayagunaan zakat yang didukung dengan perencaan yang komprehenshif; (3) membangun sinergi dan koordinasi antar lembaga pengelola zakat maupun; (4) menentukan kriteria keberhasilan program (5) melakukan evaluasi pelaksanaan program. Emmy Hamidiyah, “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengumpulan Zakat, Infak, Sedekah, Wakaf & Kurban Pada lembaga Pengelola Zakat (Studi Kasus: Dompet Dhuafa Republika)”, (Tesis S2 Program Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam UI, 2004), h. 8.
20Uswatun Hasanah, “Zakat dan Keadilan Sosial...” Tesis, 1980, h. 75. 21Salah satu buku yang membahas tentang karitas adalah pandangan Maulana Muhammad
Ali. Dalam bab zakat dia memberikan judul Zakât or Charity. Namun dalam pembahasannya, ia menjelaskan bahwa zakat tidak sekedar pemberian karitatif semata, tetapi merupakan suatu institusi yang lama dalam Islam. Ia mencontohkan, kebijakan Abu Bakar memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat pada jamannya. Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, (Colombus: Ahmadiyya Anjuman Ishâ’at Islâm, 1990, Ed. VI), h. 339 & 343.
terdapat empat ragam badan amil zakat dan amil zakat di Indonesia yaitu : “model
birokrasi, organisasi bisnis, ormas serta model amil tradisional.”22
Keragaman model pengelolaan zakat di atas dipandang akan memberikan akibat
pada pengelolaan zakat. Tentu saja, dilihat dari aspek pendayagunaan zakat, dikaitkan
dengan keempat ragam pengelolaan zakat tersebut, maka diperlukan suatu upaya agar
dalam pengelolaannya harus terpenuhi kriteria dasar. Kriteri dasar ini, dapat
dihubungkan pandangan Uswatun Hasanah dalam menilai zakat dalam konteks
pendayagunaan yaitu “terwujudnya zakat yang efektif sesuai dengan fungsi dan
tujuannya.”23
Berkaitan dengan pandangan Umratul Khasanah di atas tentang model
pengelolaan zakat, secara umum dapat dinyatakan bahwa pengelolaan zakat di
Indonesia masih menganut manajemen yang berparadigma ”kesukarelaan”. Manajemen
”kesukarelaan” mengandung arti bahwa pengelolaan zakat dikelola dengan pola sebagai
lembaga sosial yang tidak menerapkan prinsip‐prinrip manajemen. Zakat merupakan
lembaga sukarela yang diurus dengan waktu yang belum optimal, pengurusannya
bersifat ala kadarnya, serta mendistribusikannya sebagai dana yang kurang memberi
hasil guna kepada mustahik. Sikap pengelola zakat yang tidak memperhitungkan daya
guna zakat kepada mustahik dan hanya mereka memandang –pengelola—tugas mereka
sebagai sekadar menyerahkan saja (zakat) adalah sebuah cerminan dari rasa
kesukarelaan yang dimiliki pengelola lembaga zakat. Implikasi secara manajerial, bahwa
pengelola hanya bertugas untuk menyampaikan zakat secara benar (menurut kriteria
mustahik dalam fikih), baik (memberikan dengan penuh perhatian dan sopan), lalu
mustahik menerimanya pula. Cara pandang seperti ini, jelas bertentangan dengan nilai
dasar zakat. Nilai dasar menghendaki bahwa zakat itu harus membawa dampak
sosial‐ekonomi‐religius kepada penerimanya dan masyarakat sekitar
sebagaimana yang dipahami dari makna dasar zakat yang berarti
”pengembangan.”24 Yaitu terjadinya perubahan ke arah produktif bagi mustahik.
22Umratul Khasanah, “Analisis Model... ” Tesis, 2004, h. 177. 23Uswatun Hasanah, “Zakat dan Keadilan Sosial...” Tesis, 1980, h. 152. 24 Kata zakah, terdiri dari huruf z, kaf, ya mengandung arti pengembangan dan
bertambah. Abī Husâin ibn Fâris Ibn Zakarīya, Maqâyis al--lughah, Juz III, (T.t.p.: Dâr Fikr, 1979), h. 17.
Dalam perkembangan pendayagunaan zakat di Indonesia, kehadiran UU
dimaksud, secara yuridis formal, merupakan sebuah aset. Harapan untuk melakukan
perbaikan pendayagunan zakat yang diusung oleh UU ini, tampaknya mengalami
kendala internal dan ekternal. Dari sisi internal, UU ini tidak sepenuhnya memberikan
landasan pendayagunaan zakat dalam nuansa sosial‐ekonomi‐ religius terhadap
mustahik. Pengembangan dimensi sosio‐ekonomi‐religius, yang diusung oleh UU ini,
dipandang bersifat alternatif dan tidak bersifat keniscayaan. Namun dalam
pelaksanaannya UU ini mengalami kendala eksternal.25
Pergeseran pola ”kepercayaan personal” ke ”kepercayaan kolektifitas
organisatoris ” yang dialami oleh umat Islam khususnya muzakki pada satu sisi dan
pada sisi lain, kemampuan pengelola zakat untuk menampilkan diri dalam sosok
institusional sebagai perwujudan kepercayaan kolektifitas, harus diwujudkan dan
merupakan beban baru bagi pengelola zakat. Menurut, hasil survey yang dilakukan
Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, filantropi Islam secara kelembagaan termasuk
pengelolaan zakat, masih ditemukan“...mengandal kan relasi inter‐personal dan
kapasitas individual”. Namun terdapat lembaga tertentu yang tidak lagi
mengembangkan pola relasi ini.26
Dalam perkembangan memasuki ”babak baru” bagi lembaga pengelola
zakat, tampaknya, terdapat kecenderungan nuansa pergeseran seperti dikemukakan di
atas belum terasa kental dalam atmosfir manajemen pengelola zakat. Peneliti Pusat
Bahasa UIN Jakarta, berpendapat bahwa pengaruh agama Islam dalam pelaksanaan
filantropi Islam secara umum dan termasuk di dalamnya adalah pelaksanaan zakat
sangat kuat.27 Menjadikan doktrin sebagai argumen dalam melihat pengaruhnya dalam
pelaksanaan zakat misalnya, dapat saja diterima dengan pendekatan sosiologis, dengan
25Adapun kendala dari sisi ekstenal yang dihadapi UU ini, lebih bersifat psikososial.
Sebelum UU ini, secara sosilogis, umat Islam terbiasa menyerahkan zakatnya kepada mustahik dengan menganut pola kepercayaan personal. Kepercayan personal adalah muzakki mengeluarkan zakatnya dengan menyerahkan kepada seseorang yang bertindak sebagai amil.
26Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, ( Ed.), Pengantar Editor dalam Revitalisasi
Filantropi Islam, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2005), h. ix.
27Menurut Peneliti Pusat Bahasa ”Konstruk filantropi Islam yang demikian itu terbentuk akibat kuatnya pengaruh doktrin. Dalam Islam, doktrin memberi ruang seluas-luasnya bagi kebebasan individual dalam mempraktikkan filantropi.” Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, ( Ed.), Pengantar Editor dalam Revitalisasi, 2005, h. ix.
catatan bahwa, secara konsepsional zakat merupakan ibadah dalam Islam dan dalam
tataran praksis nabi dan para sahabat serta berbagai petunjuk al‐Qur’an dapat
dilakukan kajian ulang dalam memahami pandangan berkenaan dengan zakat itu.
Dengan kata lain, menjadikan zakat sebagai doktrin memang demikian adanya, tetapi
berbagai perspektif dapat diberikan kepadanya, baik dalam konteks pengembangan
konsep maupun dalam pelaksanaannya.
Dalam aspek pendayagunaan misalnya, kelompok mustahik sebagai kelompok
penerima, secara permanen ditetapkan oleh al‐Qur’an, namun dari sisi kriteria, perilaku
dan motivasi mereka, masih terbuka peluang untuk melakukan pengkajian lebih lanjut
dalam berbagai perspektif. Perilaku mustahik, pada masyarakat awal Islam, boleh jadi
memiliki karakteristik yang sama dalam seluruh masa dilihat dari tingkat kebutuhan
mereka terhadap zakat, namun yang berbeda adalah sejauh mana terhadap motivasi,
penggunaan dan penghayatan nilai‐nilai yang mereka kembangkan dari penerimaan
mereka terhadap zakat. Unsur‐unsur perbedaaan ini, tidak sepenuhnya, dapat dilihat
sebagai perilaku permanen bagi mustahik, tetapi perilaku itu merupakan konstruk dari
berbagai elemen yang membangunnya. Elemen‐elemen yang membangun perilaku
mereka mencakup pengaruh lingkungan sosial, ekonomi dan politik juga keterlibatan
amil zakat atau pengelola zakat.28
Dalam upaya melakukan perbaikan dalam aspek pendayagunaan zakat, Didin
Hafidhuddin merumuskan delapan langkah untuk proses akselerasi penguatan
kelembagaan zakat di Indonesia yaitu: optimalisasi zakat, membangun citra
kelembagaan zakat yang amanah dan professional, membangun sumber daya manusia
pengelola zakat, amandemen UU No. 38/1999 dan peraturan terkait dengannya,
membangun database mustahik dan muzakki, menciptakan standarisasi mekanisme
kerja pengelola zakat, memperkuat sinergi antar lembaga pengelola, membangun sistem
zakat. 29
28 Pertimbangan pengaruh lingkungan yang mempengaruhi perilaku mustahik, dapat
menjadi landasan bagi pengelola zakat dalam merumuskan kebijakan mengenai pendayagunaan zakat. Kecermatan pengelola zakat dalam memahami perilaku mustahik akan memberikan dampak bagi perkembangan pengelolaan zakat dan juga bagi perubahan mustahik ke arah yang positif serta merupakan tantangan yang dihadapi oleh pengelola zakat.
29 Didin Hafidhuddin, Agar harta Berberkah & Bertambah Gerakan Membudayakan Zakat, Infak Sedekah dan wakap, (Jakarta: Gema Insani Press, 2007), h. 194-197.
Uraian berkaitan mustahik dalam sudut ekonomi dapat dikelompokkan; a.
Kelompok yang secara tegas membutuhkan harta dalam hal ini orang miskin; orang
fakir; kelompok Fī sabīlillah; al‐Ġhârimīn, al‐Riqåb; b. Kelompok yang secara tidak tegas
membutuhkan harta, dalam arti bahwa boleh jadi memerlukan bantuan ekonomi dan
boleh jadi tidak, dan karenanya, sangat ditentukan oleh kondisi objektif perekonomian
yang mereka miliki.. Kelompok ini adalah ibn
al‐sabīl dan al‐’â milīn.30
Penelitian terhadap pendapat ulama khususnya yang berkenaan dengan
ekonomi Islam menunjukkan adanya konsep yang berkenaan dengan pendayagunaan
zakat dalam perspektif yang berbeda‐beda. Mahmud Matrajî misalnya, menyatakan
menurut Syafii, bahwa zakat wajib didistribusikan kepada mustahik dan Mâlik,
berpendapat bahwa kepada mereka diberikan dengan pola perwakilan saja‐ tidak
diberikan kepada semua kelompok mustahik‐.31 Abū Zahrah berpendapat bahwa hukum
zakat pada asalnya diberikan kepada negara untuk mengaturnya dan diperbolehkan
untuk memberikan wewenang kepada muzakki untuk mendistribusikannya.32 Namun
demikian, Abū Zahrah mengakui peran amil sebagai pihak yang mengurus pengumpulan
zakat, memilih, meniliti calon mustahik yang berhak menerimanya serta
membagikannya.33
30Dalam Alquran, terdapat delapan sasaran pendayagunaan zakat atau mustahik, QS.
Attaubah/9: : 60
الغارمين وفي سبيل اهللا وابن إنما الصدقات للفقراء والمساآين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب و السبيل فريضة من اهللا واهللا عليم حكيم
”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
31Mahmud Matrajî dalam Muhammad Idrîs al-Syâfiî, al-Um, Juz I, (Bairut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), cet. II, h 94.
32Muhammad Abu Zahrah, Zakat, diterjemahkan Zawawy (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004) cet.III, h. 163.
33 Muhammad Abu Zahrah, Zakat, h. 151. Menurut al-Qurtubî, Syâfiî dan Mujâhid berpandangan bahwa bagian amil adalah seperdelapan dari total dana zakat yang terkumpul sedang Ibnu ’Umar dan Mâlik diberikannya sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya, selain itu terdapat pendapat yang lain bahwa ia diberikan dari baitul mal.33 Abû Hanifah, tidak memberikan prosentase, tetapi dia menyatakan bahwa amil berhak memperoleh bagian dana zakat secara ma’ruf menurut kemungkinan kelancaran tugas-tugasnya sebagai amil. Muhammad Abu Zahrah, Zaka.t, h 151. Selain itu pandangan tentang fungsi zakat, Ămîn menyatakan bahwa ia
Al‐’Assâl dan Fathy Ahmad menyatakan bahwa zakat bertujuan untuk
meratakan jaminan sosial dan dengan demikian zakat yang diterima, mustahik akan
menahan diri untuk tidak mengganggu harta orang kaya.34
Perbedaan pendapat ulama dan cendekiawan muslim di atas berkaitan
dengan pendayagunaan zakat, pada satu sisi menggambarkan terjadinya perkembangan
pemikiran di kalangan mereka, namun pada sisi lain, secara aplikatif khususnya
berkaitan dengan pendayagunaan zakat, tampaknya tidak menguntungkan umat Islam.
Pandangan terakhir di atas, menunjukkan bahwa dengan perbedaaan
pandangan itu menimbulkan beragamnya interpretasi bagi pengelola zakat dalam
pendayagunaan zakat. Pada tataran ini, pengelola zakat, melakukan interpretasi sendiri‐
sendiri seiring dengan tingkat pengetahuan mereka baik dari sisi fiqhiyah maupun dari
sisi manajemen. Akibat interpretasi sendiri‐sendiri ini, berimplikasi terhadap mustahik.
Bagi mustahik sebagai kelompk sasaran, boleh jadi dengan pendayagunaan zakat yang
ada pada satu sisi akan memberikan dampak material yang memuaskan, tetapi pada
satu sisi kering dari aspek spritual, sebaliknya, dengan material zakat –dana‐ yang
diterima yang sedikit tetapi didukung oleh pembinaan spritualitas yang tinggi dari
pengelola zakat.
Dengan kondisi pengetahuan pengelola zakat dari aspek fiqhiyah dan
manajemen dalam pendayagunaan zakat, berikut implikasi pendayagunaan yang
ditimbulkannya, menunjukkan bahwa ajaran zakat belum dapat menduduki fungsinya
dalam realitas masyarakat –mustahik – dalam kehidupan sosio‐ekonomi‐religius secara
sinergis, dan dari sisi ini maka Islam sebagai rahmat li al‐‘Ălamin belum terwujud.
Idealisme mengenai pendayagunaan zakat di atas, dan dikaitkan dengan
perbedaan pendapat di kalangan ulama dan cendekiawan muslim yang berpengaruh
kuat bagi pendayagunaan zakat bagi pengelola zakat, maka implikasinya diperlukan
merupakan salah satu model jaminan sosial Islam dan karenanya, zakat paling utama didistribusikan untuk kepentingan fakir dan miskin. Lihat, Muhammad Muhammad Amin al-Sya’râny, al-Damân al-Ijtimâiy fi al-Islam, (t.tp: t.p., 1975), h. 127.
34Lihat, Ahmad Muhammad al-‘Assâl dan Faty Ahmad Abdul Karīm, al-Nidâm al-Iqtisâdy fi al-Islam ... h. 122. dalam bukunya, secara umum ia memberikan pandangan berkaitan efek zakat bagi delapan mustahik. Dan kepada ghârimīn, akan memberikan dorongan untuk semakin meningkatkan kepercayaannya untuk beraktifitas ekonomi. Lihat, Ahmad Muhammad al-‘Assâl dan Faty Ahmad Abdul Karīm, al-Nidâm... h. 119.
penggalian secara konsepsional mengenai pendayagunaan zakat dengan menerapakan
aspek metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan, dipandang sangat mendesak.
Dalam konteks pendayagunaan zakat di Indonesia, tidak dapat dilihat dari
perspektif ibadah semata, tetapi zakat memiliki kaitan yang erat dengan dimensi
peningkatan kesejahteraan umat. Partisipasi pengelola zakat dalam melakukan
“pembaharuan” sebagaimana yang dikemukakan di atas, dalam pendayagunaan zakat
juga dipahami sebagai bagian yang memiliki relevansi dengan upaya peningkatan
kesejahteraan umat.
Dengan memperhatikan uraian terdahulu, maka dapat dikemukakan
pertimbangan pemilihan judul ini yaitu: Pertama, untuk merespon berbagai ga‐ gasan
mengenai peningkatan pendayagunaan zakat yang secara umum mereka menghendaki
perlunya dilakukan perbaikan dalam manajemen pendayagunaan zakat oleh lembaga
pengelola zakat. Kedua, dilihat dari sisi karakteristik dana zakat dibanding dengan
sumber dana lainnya, seperti infak dan sadaqah, maka dana yang disebutkan pertama,
memiliki karakterisitik tersendiri yakni sebagai dana zakat dari muzakki yang
diimplementasikan sebagai bentuk pelaksanaan rukun Islam. Karena itu, kegagalan
dana zakat untuk mewujudkan fungsinya, dapat saja dipandang sebagai bagian
kegagalan umat Islam merespon makna rukun Islam dimaksud dalam kehidupan sosial
ekonomi sosial relegius. Ketiga, pendayagunaan zakat oleh pengelola zakat dipandang
belum memberikan hasil maksimal bagi mustahik. Manfaat zakat bagi mustahik, selama
ini baru pada tingkat minimal. Dengan pendayagunaan yang berbasis manajemen,
maka pengelola zakat berpeluang untuk mengembangkan dana mencapai manfaat
maksimal bagi mustahik. Keempat, kondisi dalam negeri yang mengalami keterpurukan
dalam bidang sosial ekonomi, dengan jumlah miskin yang mengalami peningkatan,
maka pendayagunaan zakat sebagai instrumen sosial ekonomi dipandang sangat
mendesak untuk dilakukan.
Kelima, secara umum masyarakat Indonesia telah mengalami pergerakan dari
kehidupan yang berbasis pasif terhadap laporan‐laporan keuangan lembaga keagamaan,
seperti laporan keuangan masjid dan lembaga pengelola zakat ke arah kritis. Hal ini
dikarenakan pengaruh derasnya arus informasi dan demokratisasi yang sedang bergulir.
Kondisi sikap kritis umat Islam ini, akan membawa implikasi terhadap cara pandang
mereka terhadap pendayagunaan zakat. Dalam hal perspektif pendayagunaan zakat,
maka sikap kritis umat Islam terhadap pengelola zakat selain membutuhkan tertib
akuntansi atas laporan‐laporan keuangan pendayagunaan dana zakat juga
membutuhkan pembuktian empiris atas dampak‐dampak sosial ekonomi religius atas
dana zakat terhadap
mustahik.
Pemilihan Badan Amil Zakat Nasional, dalam penelitian ini sebagai objek kajian
karena: Pertama, secara politis badan ini didirikan oleh pemerintah. Badan Amil Zakat
Nasional didirikan dengan mengacu pada Surat Keputusan Presiden RI. No. 8 Tahun
2001. Berbeda dengan lembaga amil zakat yang hanya dibentuk oleh masyarakat;
Kedua, secara geografis, Badan Amil Zakat Nasional berkedudukan di Jakarta Ibu kota
negara, yang secara langsung bersentuhan dengan kehidupan metropolis; Ketiga, ia
dibiayai oleh pemerintah. Dalam UU No. 38/1999 dan SK Presiden No.9 / 2001 tentang
Pembentukan Badan Amil Zakat Nasional disebutkan bahwa ”... Segala pembiayaan yang
diperlukan bagi pelaksanan tugas Badan Amil Zakat Nasional dibebankan pada Anggaran
Departemen Agama....”; Keempat, visi BAZNAS yang sangat strategis yaitu ”...Menjadi
Pusat Zakat Nasional yang memiliki peran dan posisi yang sangat strategis di dalam uaya
pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan secara keseluruhan ....”35
Dengan visi ini, maka secara kelembagaan badan ini mengakui perlunya perhatian yang
besar terhadap peningkatan kesejahteraan umat dan dengan demikian badan ini dapat
diidentifikasi sebagai lembaga kesejahteraan umat.
Keempat dasar pertimbangan dalam pemilihan Badan Amil Zakat Nasional
sebagai objek penelitian, merupakan karakteristik yang tidak dimiliki oleh badan amil
zakat daerah dan lembaga pengelola zakat lainnya. Hemat penulis, dasar pertimbangan
ini mengandung faktor internal dan eksternal. Eksternal mencakup dukungan politis,
sedang internal adalah perumusan visi dan tempat kedudukan organisasi. Jika dua faktor
itu dihubungan dengan aspek manajemen, maka dapat diasumsikan bahwa Badan Amil
Zakat Nasional memiliki posisi yang sangat kuat dan strategis baik dari sisi kelembagaan,
maupun harapan‐harapan sebagai lembaga yang pro pada peningkatan kesejahteraan di
tengah bangsa Indonesia yang sebahagian penduduk dilanda berbagai permasa
lahan ekonomi sosial dan budaya.
35Annual Report 2006 (Jakarta: BAZNAS, 2006), h. 17.
Berdasarkan uraian di atas berkenaan dengan kondisi pendayagunaan zakat
serta kecederungan pemikiran ulama yang dapat dinyatakan sebagai pembawa gagasan
ekonomi Islam yang menjadikan zakat mempunyai dampak sosial‐ekonomi‐relegius bagi
mustahik serta gagasan untuk memperbaiki pengelolaan zakat, maka penelitian ini
dipandang laik untuk dilakukan.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Penelitian yang diberi judul Pendayagunaan Zakat Pada Badan Amil Zakat
Nasional dalam Peningkatan Kesejahteraan Umat, bermula dari keinginan untuk
memperoleh jawaban terhadap pendayagunaan zakat yang dikembangkan oleh Badan
Amil Zakat Nasional dalam peningkatan kesejahteraan umat. Terhadap judul tersebut,
memungkinkan akan timbul sejumlah permasalahan yang dapat didentifikasi sebagai
berikut :
a. Aspek Fungsi Badan Amil Zakat Nasional. Secara umum Badan Amil Zakat
Nasional dapat dinyatakan sebagai pelopor pembaharuan zakat dalam perspek f UU 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam UU 38/1999 disebutkan bahwa dari sisi
struktural badan pengelola zakat terdiri dari Badan Amil Zakat Nasional yang
berkedudukan di ibu kota Negara; Badan Amil Zakat Daerah Propinsi yang berkedudukan
di Ibu kota Provinsi; Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten atau Kota berkedudukan di Ibu
kota Kabupaten atau Kota; Badan Amil Zakat Kecamatan yang berkedudukan di Ibu kota
kecamatan. Pola struktur organisasi ini, menunjukkan bahwa terdapat keinginan UU ini
untuk menjadikan Badan Amil Zakat Nasional sebagai pelopor pendayagunaan zakat
secara nasional. Dengan demikian, badan ini diharapkan dapat berperan sebagai
percontohan zakat dalam berbagai hal di antaranya manajemen pendayagunaan zakat
dan penggunaan dalil syar’iy sebagai landasan dalam pendayagunaan zakat.
Dengan melihat posisi Badan Amil Zakat Nasional yang demikian strategis, maka
pertanyaan kemudian adalah apakah posisi yang diamanatkan UU itu telah disandang
oleh Badan Amil Zakat Nasional?. Pertanyaan ini menarik, karena di luar institusi ini, UU
telah mengakomodir berdirinya institusi lain dengan tugas yang sama dalam hal
pendayagunaan zakat yang dikenal dengan Lembaga Amil Zakat atau LAZ. Dalam misi
Badan Amil Zakat Nasional disebutkan bahwa ” sebagai koordinator BAZ dan LAZ
v
melalui upaya sinergi yang efektif dan tepat sasaran”.36 Dalam pada itu pengembangn
pelatihan pendayagunaan zakat secara nasional terhadap BAZ dan LAZ, seyogiyanya
telah menjadi progam kerja Badan Amil Zakat Nasional.
b. Aspek Mustahik. Cakupan wilayah mustahik yang dilayani Badan Amil Zakat
Nasional sangat berbatas, padahal seharusnya mendayagunakan zakat secara nasional.
c. Aspek Pendekatan Pendayagunaan. Aspek pendekatan yang dimaksud meliputi
pendayagunaan secara konsumtif dan produktif. Pendekatan ini akan memberikan
pengaruh dari sisi sosial‐ekonomi‐religius bagi mustahik karena terkait secara langsung
dengan dana zakat.
d. Pengaruh pemahaman atas konsep ’âmil. Pengelola zakat yang dalam bahasa
Al‐Qur’an dikenal dengan ’âmil berpeluang untuk dipahami dengan sekedar ”tugas
mengumpul dan memberi” padahal ia mengandung dimensi yang mengarah pada
pendayagunaan secara sosio‐ekonomi ‐relegius mustahik.37
e. Aspek Manajemen. Aspek ini terkait dengan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaaan dan kontrol atau evaluasi yang dikembangkan dalam aspek
pendayagunaan zakat. Sebagai institusi dengan karakteristik keagamaan (Islam)
khususnya dengan zakat, maka karakteristik itu akan memberikan pengaruh bagi
pelaksanaan manajemen organisasi.
2. Pembatasan Masalah
Identifikasi masalah berkaitan dengan pendayagunaan zakat Badan Amil
Zakat Nasional, tampaknya sangat luas.
Dengan identifikasi ini mencerminkan terjadinya keterkaitan antara satu aspek
dengan aspek lainnya, sehingga pendayagunaan zakat tidak hanya berdiri sendiri tetapi
pendayagunaannya memiliki permasalahan yang multi aspek. Namun demikian,
pembatasan masalah penelitian ini hanya dipokuskan pada aspek implementasi pola
Rasul dan fungsi manajemen serta kendala yang dihadapi dalam pendayagunaan zakat
Badan Amil Zakat Nasional dalam peningkatan kesejahteraan umat.
36M. Fuad Nazar, Pengalaman Indonesia dalam Mengelola Zakat, (Jakarta: UI Press,
2006), h. 26. 37Hasil penelitian pendahuluan (terlampir) menunjukkan ia mengandung berbagai dimensi
di antaranya mengembangkan etika kerja, motivator.
3. Perumusan Masalah
Penelitian ini ingin memahami pola pendayagunakan zakat yang dite‐ rapkan
Badan Amil Zakat Nasional dalam peningkatan kesejahteraan umat pada periode 2001‐
2006 di njau dari pola pendayagunaan zakat yang dicontohkan oleh Rasul Muhammad
SAW dan dari prinsip‐prinsip manajemen moderen serta kendala‐kendala yang dihadapi.
Rincian masalah pokok :
a. Apakah aspek kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional dalam
mendayagunakan zakat untuk peningkatan kesejahteraan umat telah mengacu pada
pola pendayagunaan zakat pada zaman Rasul atau tidak ?
b. Sejauhmana fungsi‐fungsi manajemen diimplementasikan oleh Badan Amil
Zakat Nasional dalam pendayagunaan zakat untuk peningkatan kesejahteraan umat ?
c. Bagaimana kendala kelembagaan dari lingkungan eksternal dan internal yang
dihadapi Badan Amil Zakat Nasional dalam mengoptimalkan pendayagunaan zakat untuk
kesejahteraan umat ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian disertasi ini adalah untuk memperoleh penjelasan mengenai
pendayagunaan zakat pada Badan Amil Zakat Nasional yang sejalan dengan
permasalahan yang telah dikemukakan di atas.
1. Memahami pelaksanaan pendayagunaan zakat yang dilaksanakan pada Badan Amil
Zakat Nasional apakah sesuai dan atau tidak sesuai dengan pola Rasul. .
2. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pendayagunaan zakat pada Badan amil
Zakat Nasional dilihat dari sisi fungsi‐fungsi manajemen.
3 Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh Badan Amil Zakat Nasional dalam
mendayagunakan zakat guna peningkatan kesejahteraan umat. .
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan ikut serta dalam pengembangan wacana
pendayagunaan zakat di Indonesia serta dapat dimanfaatkan oleh pihak‐pihak yang
membutuhkan adanya penelusuran lebih rinci tentang pendayagunaan zakat. Dengan
demikian manfaat penelitian ini antara lain:
1. Mengaktualisasikan pola pendayagunaan zakat pada masa Rasul sebagai indikator
yang bersifat evaluasi terhadap pendayagunaan zakat bagi Badan Amil Zakat Nasional
dalam peningkatan kesejahteraan umat dan dengan demikian, maka posisi Badan Amil
Zakat sebagai lembaga sosio ekonomi relegius akan dapat terukur.
2. Mengaktualisasikan fungsi‐fungsi manajemen sebagai indikator yang bersifat evaluasi
terhadap pendayagunaan zakat bagi Badan Amil Zakat Nasional dalam peningkatan
kesejahteraan umat dan dengan demikian, maka posisi Badan ini sebagai lembaga yang
menerapkan fungsi manajemen sekaligus sebagai lembaga moderen dapat
terindentifikasi. .
3. Disertasi ini akan memberikan kontribusi pemikiran terhadap kendala‐kendala yang
dihadapi Badan AmiL Zakat Nasional dalam peningkatan kesejahteraan dan dengan
infomasi ini diharapkan akan memberikan inspirasi bagi peneliti lainnya untuk
mengadakan studi pengembangan pada satu sisi dan untuk badan pengelola zakat
lainnya akan menjadi bahan evaluasi yang konstruktif.
E. Definisi Operasional
Untuk memperoleh persamaan pemahaman tentang makna dan definisi dalam
judul disertasi ini serta istilah‐istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka
berikut akan dikemukakan penjelasan singkat yaitu:
1. Zakat. Pada dasarnya, zakat dalam Islam dikenal dengan zakat fitrah dan zakat
harta. Yang dimaksud dalam pembahasan ini, terbatas pada zakat harta atau zakat
penghasilan lainnya, dan sama sekali bukan zakat fitrah, yang diterima oleh pengelola
zakat.
2. Pengelola zakat Pengelola zakat dalam peneli an ini dipergunakan untuk
menunjukkan lembaga yang melakukan kegiatan penghimpunan, pendistrubisan dan
pendayagunaan zakat. Lembaga yang dimaksud di sini sebagaimana yang dipergunakan
dalam UU NO. 38/ 1999 tentang Pengelola Zakat, yakni badan amil zakat dan lembaga
amil zakat.
3. Pendayagunaan. Kata pendayagunaan mengandung arti sebagai kegiatan yang
dilakukan agar zakat yang diberikan kepada mustahik dapat memberikan manfaat
sebesar‐besarnya sesuai fungsi dan tujuan dengan menerapkan prinsip‐prinsip
manajemen. Yaitu terwujudnya efisiensi bagi mustahik, penggunaan sumber‐sumber
pengelolaan zakat yang efiesien, tepat sasaran, tepat waktu serta terjadinya perubahan
nasib bagi mustahik.
4. Badan Amil Zakat Nasional Badan Amil Zakat Nasional dalam peneli an ini disebut
BAZNAS. Badan ini merupakan satu‐satunya pengelola zakat tingkat nasional dalam
kategori sebagai badan amil zakat.
5. Mustahik Mustahik mengandung arti, orang yang berhak menerima zakat.
6 Muzakki. Mengandung arti, orang yang membayar zakat kepada pengelola zakat.
7. Kesejahteraan umat. Suatu kondisi kehidupan yang memberikan kesempatan kepada
umat Islam untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan religius.
F. Kajian Pustaka
Dari beberapa telaah pustaka yang dilakukan –paling tidak pada perpustakaan
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, maupun pada perpustakaan UI
Fakultas Hukum Hukum serta pada Program Pasca Kajian Timur Tengah UI‐ belum ada
kajian disertasi yang secara khusus membahas tentang Pendayagunaan Zakat dari aspek
manajemen Dalam beberapa buku, literatur, jurnal dan artikel terdapat pembahasan
mengenai pendayagunaan zakat secara umum, serta penelitian yang dilakukan antara
lain:
1. Peneli an oleh Dail Hikam dalam disertasinya yang berjudul Pendayagunaan
Zakat Untuk Usaha Produktif. Penelitian ini membahas pandangan hukum Islam tentang
pendayagunaan zakat dan menghubungkannya dengan konsep yang tertuang dalam UU
38/1999 serta implikasinya dalam usaha produk f.38
2. Peneli an oleh Basril dalam disertasinya berjudul Upaya Bazis dalam
pengentasan kemiskinan melalui ZIS DKI Jakarta. Pembahasan menggunakan
pendekatan hukum Islam, menguraikan peran yang dilakukan oleh Bazis dalam
38 Dail Hikam, “Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif,” (Disertasi PPS,
Univesitas Islam Negeri Jakarta, 2004).
pengentasan kemiskinan di DKI Jakarta. Menurutnya salah satu kendala yang dihadapi
dalam pengentasan kemiskinan, karena tidak berfungsinya sistem pengawasan dan
pembinaan yang dilakukan oleh Bazis.39
3. Peneli an oleh Palmawa dalam disertasinya yang berjudul Zakat dan Negara
(Studi tentang Prospek Zakat dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dengan
Berlakunya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat). Penelitian ini
menjelaskan bahwa selain penawaran pendekatan partisifasi sebagaimaan telah
dikemukakan sebelumnya, juga berpandangan bahwa potensi zakat sangat berpeluang
untuk dijadikan sebagai instrumen dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
Indonesia.40
4. Peneli an oleh Uswatun Hasanah dalam tesisnya yang berjudul Zakat dan
Keadilan Sosial Studi Kasus Tentang Pengelolaan Zakat oleh BAZIS di Wilayah DKI
Jakarta. Penelitian ini menjelaskan bahwa zakat dapat dijadikan sebagai instrumen
ekonomi untuk menciptakan keadilan sosial.41
5. Penelitian oleh Erika Takidah dalam tesisnya yang berjudul Analisis Pengaruh
Kualitas Jasa Badan Amil Zakat Nasional Pada Kepuasan dan Kepercayaan Muzakki,
dengan pendekatan yang dititikberatkan pada manajemen pemasaran.42 Hasil penelitian
ini di antaranya menunjukkan bahwa kualitas pelayanan jasa Badan Amil Zakat Nasional
sangat berpengaruh pada pembentukan kepercayaan muzakki; tingkat kepercayaan
muzakki sangat berpengaruh pada penyaluran zakat pada Badan Amil Zakat Nasional.43
6. Penelitian oleh Umratul Khasanah yang berjudul Analisis Model Pengelolaan
Dana Zakat di Indonesia (Kajian terhadap Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat)
dengan menggunakan paradigma sosial44 telah menyimpulkan bahwa terdapat empat
ragam yaitu : model birokrasi, organisasi bisnis, ormas serta model amil tradisional.45
39Basril, “Upaya Bazis: dalam Pengentasan Kemiskinan...” Disertasi, 2000, h. 230-231. 40Palmawati Tahir, “Zakat dan Negara...” Disertasi, 2004, h. 435. 41Uswatun Hasanah, “Zakat dan Keadilan Sosial...” Tesis, 1980, h. 25. 42Erika Takidah, “Analisis Pengaruh Kualitas Jasa Badan Amil Zakat Nasional Pada
Kepuasan dan Kepercayaan Muzakki,” (Tesis S2 Kajian Timur Tengah PPS. Universitas Indonesia Jakarta, 2004), h. 44.
43Erika Takidah, “Analisis Pengaruh Jasa..., “ Tesis, 2004, h. 181. 44Umratul Khasanah, “Analisis Model...” Tesis, 2004, h. 12. 45Umratul Khasanah, “Analisis Model...,” Tesis, 2004, h. 177.
Selain penelitian‐penelitian di atas, sumber lain yang dapat dijadikan bahan
referensi untuk penelitian disertasi ini antara lain:
1. Yusuf Qardâwi (1984) dalam bukunya Fiqh al‐Zakât, yang di dalamnya
mengungkapkan berbagai gagasan dan pembahasan terkait dengan aspek pengelolaan
zakat baik dari sisi pengumpulan, pendayagunaan, dampak zakat serta hukum‐hukum
zakat. Selain itu, buku ini menguraikan hubungan fungsi kekhalifahan dengan
terpenuhinya kebutuhan ekonomi. Menurutnya, bagaimana mungkin manusia dapat
melaksanakan fungsi kekhalifahan, jika tidak terpenuhi kebutuhannya. Uraian lainnya,
berkaitan pandangan berbagai mazhab tentang berapa kali orang miskin diberikan zakat;
jaminan kehidupan bagi masyarakat yang tidak mampu; hikmah zakat dalam
perekonomian umat Islam. Secara umum uraian yang dikemukakannya menganut
pendekatan hukum Islam yang kadang‐kadang menampilkan fikih perbandingan.46
2. Umar Chapra dalam bukunya The Future of Economics, salah satu pembahasannya
adalah menyangkut posisi zakat dalam kehidupan masyarakat. Menurutnya zakat
mencapai nilai maksimal —yang dalam pembahasannya dinyatakan dengan
merealisasikan maqâśid — jika negara menyediakan lingkungan sosioekonomi.47
3. Eri Sudewo (2004) dalam bukunya berjudul Manajemen Zakat membahas tentang
manajemen pengelolaan zakat di Indonesia baik untuk kepentingan badan amil zakat
maupun lembaga amil zakat. Pendekatan yang ia pergunakan lebih menitikberatkan
pada pengalaman penulis dalam mengelola Dompet Dhuafa sebuah lembaga pengelola
zakat. Menurutnya, pengelola zakat di Indonesia, seyogianya menerapkan prinsip
manajemen. Argumen yang dipahami darinya di
antaranya, karena pengelola zakat terkait dengan kepentingan orang banyak.48
46Yusuf Qardâwy, Fiqh Zakat. Penerjemah Didin Hafidhuddin, dkk. (Bandung: Mizan,
1999), cet. V, h. 273, 528, 896. 47Umar Chafra, The Future of Economic: An Islamic Perspective. Penerjemah Ikhwan
Abidin Basri, Masa Depan Sebuah Tinjauan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 283. Penelitian yang lain yakni Sjechul Hadi Purnomo dalam bukunya berjudul
Pendayagunaan Zakat dalam rangka Pembangunan Nasional, yang membahas tentang pendayagunaan zakat terhadap sasaran yang dikemukan dalam al-Quran. Selain itu ia membahas tentang arah pendayagunaan zakat dan berikut membandingkannya dengan pajak dalam rangka pembangunan nasional. Sjechul Hadi Purnomo, Pendayagunaan Zakat dalam rangka Pembangunan Nasional, h. 277.
48Eri Sudewo, Manajemen Zakat, 2004, h. xxxviii.
4. Mohammad Daud Ali (1988) dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam dan Wakaf,
yang di antara pembahasannya adalah pemanfaatan zakat pada empat kategori.
Pertama bersifat konsumtif tradisional, yakni pemberian kepada mustahik yang tertimpa
bencana alam. Kedua zakat konsumtif kreatif, yakni perwujudan zakat ke dalam bentuk
lain seperti pemberian beasiswa, alat‐alat pendidikan. Ketiga bersifat produktif
tradisional yakni pemberian zakat kepada mustahik ke dalam bentuk yang lain atau
hewan produktif, seperti kambing. Keempat produktif kreatif yakni semua
pendayagunaan zakat yang diwujudkan dalam bentuk modal baik bersifat penambahan
maupun dalam membangun proyek
sosial.49
Secara umum buku dan hasil‐hasil penelitian yang terkait dengan zakat
sebagaimana yang dikemukakan di atas, memandang zakat sebagai instrumen yang
dapat didayagunakan dalam memberikan kontribusi pada pengentasan kemiskinan dan
masalah sosial lainnya. Dengan pendekatan tertentu, buku dan hasi‐hasil penelitian di
atas dapat memperkaya khazanah keilmuan khususnya dalam bidang kajian tentang
zakat. Untuk kajian yang berkaitan dengan keislaman, uraian dalam buku‐buku tersebut
lebih menekankan pada pendekatan hukum Islam; sedang selainnya pada aspek‐aspek
manajemen secara umum.
Dibanding dengan buku dan hasil‐hasil penelitian di atas, sebagai ter gambar
dalam judul dan permasalahan yang diajukan, penelitian ini lebih mene kankan pada
aspek manajemen Badan Amil Zakat Nasional dalam kaitannya dengan pendayagunaan
zakat. Dengan demikian, dari sudut pendekatan yang digunakan dan objeknya,
penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian‐penelitian terdahulu. Namun
demikian‐ sebagai dikemukakan terdahulu ‐ buku dan hasil penelitian yang
dikemukakan di atas dipandang dapat memperkaya pembahasan penelitian ini.
G. Kerangka Teori
Berkaitan dengan pandangan tentang pendayagunaan menurut Uswatun
Hasanah bahwa, keberhasilan amil dalam mendayagunakan dana zakat tidak hanya
ditentukan oleh amil itu sendiri tetapi ditentukan pula mustahik. Dalam hal ini amil
harus memberikan penyuluhan kepada mustahik sehingga termotivasi untuk memiliki
49 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam dan Wakaf, h. 62.
etos kerja.. Selain itu kepada mereka yang telah berusaha secara ekonomi dengan
modal dana zakat yang diberikan, maka harus diberi bimbingan dan pengawasan terus
menerus. Menurutnya, untuk mendukung gagasan ini sangat membutuhkan tenaga dan
dana yang tidak sedikit.50
Berdasarkan pandangan di atas, menunjukkan dua hal. Pertama, keber hasilan
pendayagunaan dana zakat sangat ditentukan oleh amil atau pengelola zakat dan
mustahik. Kedua, terdapat langkah‐langkah yang harus dilakukan bagi pengelola zakat
untukdikem bangkan kepada mustahik. Pandangan ini menunjukkan bahwa amil zakat
memegang peranan yang sangat besar dalam mendayagunakan dana zakat. Dalam
kaitan ini Yusuf Qardâwy (1985) menyatakan bahwa salah satu syarat bagi amil dalam
hal ini pengelola zakat yakni kemampuan untuk melaksanakan tugas. Menurutnya,
kejujuran yang dikembangkan oleh mereka, tidak memadai jika tidak diikuti dengan
kempuan untuk bekerja.51
Gagasan Yusuf Qardâwy (1985) mengenai amil, dalam kitab fikihnya, terkesan
masih bersifat individual, namun jika ditelaah lebih jauh, memberikan pandangan bahwa
ia juga menekankan pada aspek kelembagaan atau amil dalam arti kolektifitas
organisatoris. Pandangan ini terlihat ketika ia menetapkan dasar‐dasar struktur bagi
organisasi pengelola zakat. Menurutnya, struktur organisasi pengelola zakat pada
bagian pembagian harus mempunyai cabang di daerah dengan dilengkapi bagian khusus
yang menangani : urusan fakir, orang tua dan para janda yang telah mampu bekerja,
orang‐orang yang berhutang serta urusan
penyiaran Islam di negara non muslim.52
Selain gagasan Yusuf Qardâwy di atas tentang dasar‐dasar organisasi pengelola
zakat, maka pandangan Afzalur Rahman (1992), memberikan penekanan yang lebih
tajam tentang eksistensi pengelola zakat. Menurutnya, agar zakat dapat berpengaruh
terhadap pembangunan ekonomi, maka diperlukan badan zakat. Menurutnya, bantuan
keuangan yang diberikan kepada mustahik harus diberikan sedemikian rupa sehingga
tidak menjadikan mereka bermalas‐malasan dan mengalami ketergantungan, dan
kepada mereka yang tidak dapat bekerja
50Uswatun Hasanah, “Zakat dan Keadilan Sosial...” Tesis, 1980, h. 176. 51Yusuf Qardâwy, Fiqh Zakat. Penerjemah Didin Hafidhuddin, dkk. (Bandung: Mizan,
1999), cet. V, h. 552. 52Yusuf Qardâwy, Fiqh Zakat, Juz II, (al-Qâhirah: Wahbah, 1994, cet. XXI), 628.
dengan alasan tertentu diberikan bantuan pula.53
Pandangan Afzalur Rahman yang memberikan penekanan aspek ke lembagaan
pengelolaan zakat, sejalan dengan Didin Hafidhuddin Ma’turidi (2007) yang menetapkan
bahwa orientasi pengelola zakat bukanlah pada profit, tetapi pada pemberdayaan
masyarakat lemah. Menurutnya, pengelola zakat diharapkan memberdayakan potensi
masyarakat melalui pendayagunaan dana zakat.54
Adapun alur kerangka pikir penelitian terlampir
I. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan dan data Kepustakaan
Penelitian ini bersifat kwalitatif deskriptif dengan menggunakan pende katan
tertentu. Pertama, pendekatan Ilmu Sejarah Hukum Islam. Penggunaan pendekatan ini,
karena penelitian akan mengemukakan uraian yang dibangun dengan mengacu pada
pola Rasul dalam mendayagunakan zakat dan pemahaman terhadap ayat‐ayat al‐Qur’an
sebaga sumber hukum Islam yang berkaitan dengan pendayagunaan zakat. Kedua,
sosiologis dan dengannya akan dibangun argumen‐argumen yang berkaitan dengan
aspek‐aspek sosial di antaranya berkenaan dengan pertimbangan Badan Amil Zakat
Nasional dalam perumusan kebijakan. Ketiga ilmu manajemen, karena dalam
penelitian ini dibangun analisis yang berkaitan dengan manajemen organisasi
Badan Amil Zakat
Nasional dalam pendayagunaan zakat. Data kepustakan berupa ayat al‐Qur’an, Hadits,
pendapat ulama dan pakar serta hasil‐hasil penelitian.
2. Studi Lapangan Penelitian
Sebagaimana dikemukakan dalam rumusan masalah, maka penelitian ini
menjadikan Badan Amil Zakat Nasional sebagai objek penelitian. Namun demikian,
untuk melihat kondisi pendayagunaan zakat di Indonesia, guna menambah wawasan
penulis, maka dilakukan survey terhadap sejumlah badan amil zakat daerah (BAZDA)
provinsi dan badan amil zakat (LAZ) di tingkat nasional yaitu Dompet Dhuafa Republika
53 Afzalur Rahman, Doktrin ekonomi Islam, Jilid III, diterjemahkan Soeroyo dan
Nastangin, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima, 2002), cet. II, h. 331. 54 Didin Hafidhuddin Ma’turidi, Peran Pembiayaan Syari’ah dalam Pembangunan
Pertanian di Indonesia, Orasi Pengukuhan Guru Besar, (Bogor: IPB, 2007), h. 61.
(DDR). Penetuan BAZDA dan LAZ sebagai objek survey dilakukan dengan sampling
purposive.55
Menurut data di Badan Amil Zakat Nasional tahun 2005, jumlah Badan Amil
Zakat Daerah ngkat provinsi sebanyak 30 buah. Sampel dimaksud ditetapkan
sebanyak lima (5) buah yaitu : Baitul Mal Provinsi Nanggro Aceh Darusalam, Bazda
Provinsi Banten, Bazda Provinsi Jawa Tengah, Bazda Provinsi DI. Yogyakarta, Bazda
Provinsi Kalimantan Timur. Penetapan sampel terbanyak berada di Pulau Jawa.
Penetapan ini dikarenakan, Badan Amil Zakat Nasional berada di Pulau Jawa dan
kelompok mustahik yang berhubungan dengannya mayoritas tersebar di Pulau ini.
Pertimbangan lain adalah keterwakilan geografis dan wilayah.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara. Pertama,
kajian dokumentasi. Dokumentasi yang dikaji pada Badan Amil Zakat Nasional adalah
dokumentasi yang diterbitkan olehnya dan penerbit lainnya dan dipandang merupakan
dokumentasi56 resmi Badan Amil Zakat Nasional. Dokumentasi dimaksud yaitu: (1)
Buku Annual Report 2006; (2) Buku Ringkasan Mengapa & Bagaimana
Membayar Zakat ; (3) Laporan
Pertanggungjawaban Pengurus Badan Amil Zakat Periode 2004‐2007; (4) Pidato
Sambutan Serah terima Badan Amil Zakat Nasional (Kepengurusan Periode I); (5) Risalah
Silaturahmi RAKORNAS I pada tahun 2002, Badan dan Lembaga Amil Zakat Nasional
seluruh Indonesia diterbitkan Departemen Agama RI; (6) Buku Anda Bertanya tentang
Zakat, Infak & Sedekah Kami Menjawab; (7) Buku Pedoman Pembentukan Unit
Pengumpul Zakat (UPZ) & Unit Penyalur Zakat (USZ), (8) BAZNAS News Media Zakat;
(9) Majalah BAZNAS; (10) Brosur‐brosur Badan Amil Zakat Nasional; (11) Buku Fiqih
Zakat di Indonesia. Untuk buku yang terakhir ini walaupun masih bersifat draf karena
diproyeksikan untuk berlaku seluruh Indonesia, namun secara internal kelembagaan,
telah dijadikan acuan dalam pendayagunaan zakat.
Adapun dokumen yang dikaji untuk BAZDA Provinsi dan LAZ tingkat
55 Sampling purposive, merupakan “teknik penentuan sampel dengan petimbangan
tertentu.” Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis, (Bandung: Alfabeta, 2005), cet. VIII h. 78. 56Terkait dengan penggunaan dokumen sebagai sumber data, Robert K. Yin menyatakan
bahwa “Untuk studi kasus, penggunaan dokumen yang paling penting adalah mendukung dan menambah bukti dari sumber-sumber lain....” Robert K. Yin, Case Study Research Design and Methods, diterjemahkan Studi Kasus Desain & Metode, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 104.
v
nasional secara umum meliputi: profil kelembagaan dan laporan keuangan tentang
pendayagunaan zakat.
Kedua, wawancara dilakakukan secara langsung dan tidak langsung. Seluruh
informan yang ditetapkan dalam sampel untuk Badan Amil Zakat Nasional dan LAZ
dilakukan secara langsung, karena informan berkedudukan di Jakarta, sedang informan
pada BAZDA Provinsi pada umumnya dilakukan dengan tidak langsung, yaitu hanya
menggunakan hand phone dan internet.
Untuk memastikan data yang diterima valid, maka informan yang ditetapkan
adalah setingkat dengan pimpinan Badan Amil Zakat Nasional dan BAZDA serta LAZ.
Dalam perakteknya, penggantian informan sulit dihindari karena alasan internal
kelembagaan sampel. Karenanya, terdapat beberapa informan yang menyalahi kriteria
ini. Penggantian informan merupakan penetapan dari pimpinan Badan Amil Zakat
Nasional dan BAZDA sampel. Agar wawancara dapat berjalan dengan baik, maka baik
model tatap muka maupun menggunakan hand phone, daftar pertanyaan terlebih
dahulu diberikan kepada informan.
3. Konsep Pengukuran (Indikator) Pendayagunaan Zakat
Konsep pengukuran (indikator) ini penting, karena akan menjadi acuan
dalam melakukan evaluasi penelitian ini.
Pendayagunaan, secara sederhana dinilai sebagai suatu aktifitas manajemen
yang memanfaatkan sumber daya untuk memperoleh hasil yang maksimal sesuai
dengan tujuan organisasi. Karenanya, secara konsepsional ia mengandung tiga dimensi
yaitu kemampuan, proses, hasil. Zakat sebagai salah satu rukun rukun Islam,
merupakan aktifitas keagamaan, yang berdimensi mâliyah ijtimâ’iyah yakni
instrumen ekonomi yang dapat mendorong terciptanya kesejahteraan sosial ekonomi
mustahik. Dikaitkan dengan aktifitas pendayagunaan, maka zakat dipandang sebagai
objek yang dapat didorong agar memberikan manfaat sebesarnya kepada penerima
atau mustahik sesuai dengan ketentuan zakat. Zakat dapat dipandang berdayaguna
jika dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi pemenuhan kebutuhan
mustahik.
Badan Amil Zakat Nasional dengan karakteristik sebagai lembaga keagamaan
yakni pengelola zakat, maka pendayagunaan zakat yang dilakukannya harus
mencerminkan dua kerangka secara bersamaan yaitu kerangka pendayagunaan yang
berbasis pada aspek manajemen dan kerangka institusi keagamaan yang berbasis pada
aspek kegamaan khusunya tentang perzakatan.
Kerangka pendayagunaan, akan dilakukan pengukuran dengan mengacu pada
fungsi‐fungsi manajemen. Fungsi‐fungsi ini secara teoritis terjadi perbedaan kwantitatif
di kalangan ahli, namun perbedaan itu memungkinkan diakamodir sebagaimana
diuraikan pada bab II disertasi ini. Kelima fungsi ini mencakup perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, kepemimpinan dan pengawasan. Dengan menggunakan
kelima fungsi ini, maka memungkinkan untuk dilakukan evaluasi terhadap
pendayagunaan zakat yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional, sekaligus sebagai
jawaban atas pertanyaan sub masalah kedua yang diajukan dalam penelitan ini. Apabila
Badan Amil Zakat Nasional telah menerapakan fungsi‐fungsi manajemen ini, maka badan
ini dipandang telah melakukan aktifitas pendayagunaan zakat yang sesuai dengan
fungsi‐fungsi manajemen.
Badan Amil Nasional sebagai lembaga keagamaan, maka diperlukan
indikator evaluasi dari sisi prinsip ‐prinisp manajemen zakat. Perumusan prinsip‐
prinsip dilakukan dengan mengikuti langkah –langkah tertentu57 Untuk
kepentingan perumusuan pengukuran pendayagunaan zakat, dari sisi manajemen, akan
dikemukakan indikator‐indikator pengukuran. (Konsep pengukuran dimaksud telah
terlampir)
J. Sistematika Penulisan
57 yaitu: Pertama, melakukan analisis terhadap kata âmil dalam Alquran. Kata ini
tersusun dari huruf ain, mim dan lam. Hal ini merupakan kata kunci untuk mengetahui fungsi pengelola zakat. Kedua, melakukan analisis terhadap peraktek Rasul Muhammad, berkaitan dengan manajemen perzakatan yang dipahami dari hadis-hadis. Ketiga, melakukan analisis terhadap pandangan ulama yang dipandang dapat menghasilkan rumusan prinsip-prinsip manajemen zakat. Langkah pertama tersebut, telah dilakukan dalam studi pendahuluan sebagaimana dimukakan dalam tabel 20 dan 21 tentang distribusi kata âmil dan âmilîn dalam Alquran. Selanjutnya baik langkah pertama, kedua dan ketiga tersebut, dilakukan pembahasan pada bab II sub bab E (Amil: Otoritas Kebijakan pada manajemen pendayagunaan zakat) dan sub E mengenai pendayagunaan zakat pada awal Islam.
Penelitian ini terdiri dari tujuh bab. Bab pertama pendahuluan dikemukakan di
antaranya tentang latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan kegunaan
penelitian, penelitian serta sistimatika penulisan.
Bab kedua akan diuraikan di antaranya pengertian dan prinsip‐prinsip ilmu
ekonomi, pengertian dan manfaat zakat, manajemen pendayagunaan zakat, teori
pendaya gunaan zakat, serta manajemen pendayagunaan zakat pada zaman Rasul.
Bab ketiga akan diuraikan di antaranya kajian Badan Amil Zakat Nasional dari
sisi kelembagaan, pelaksanaan program serta pendaya‐gunaan zakat pada berbagai
pengelola zakat di Indonesia
Bab keempat akan menganalisis implementasi pola‐pola Rasul dalam
pendayagunaan zakat, yang dilaksanakan oleh Badan Amil Zakat Nasional
peningkatan kesejahteraan umat.
Bab kelima akan menguraikan analisis terhadap implementasi fungsi‐fungsi
manajemen dalam pendayagunaan zakat pada Badan Amil Zakat Nasional
Bab keenam akan diuraikan kendala‐kendala baik eksternal maupun internal
yang dihadapi Badan Amil Zakat Nasional dalam memerkuat
posisinya sebagai institusi dalam penuingkatan kesejahteraan umat.
Uraian bab penutup akan membahas kesimpulan yang didasarkan sebagai
jawaban atas permasalahan yang diajukan dan saran‐saran yang terkait dengan
permasalahan yang diajukan.
BAB II
PENDAYAGUNAAN ZAKAT DALAM
PERSPEKTIF MANAJEMEN DAN EKONOMI ISLAM
UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN UMAT
Bab ini secara umum akan memberikan landasan teoritis tentang
pendayagunaan dari sisi manajemen dan ekonomi Islam untuk peningkatan
kesejahteraan umat. Pembahasan ini penting karena akan memberikan kaitan yang
jelas dari aspek peningkatan kesejahteraan umat dengan menjadikan zakat sebaga
instrumen ekonomi dan pendayagunaan sebagai bagian dari suatu aktivitas manajemen.
A.Pendayagunaan Zakat sebagai implementasi Manajemen Pada Masa Rasul
Sub bab ini bermaksud untuk membahas akativitas pendayagunaan zakat pada
masa Rasul. Pembatasan masa itu dimaksudkan untuk menggali informasi berkaitan
dengan pola‐pola yang dibangun oleh Rasul dalam kapasitasnya sebagai pemimpin
politik umat Islam yang tentu saja didasarkan pada wahyu yang diterimanya dalam
mengatur umat Islam dengan menjadikan zakat sebagai instrumen ekonomi.
Dilihat dari sisi landasan pendayagunaan zakat bagi Rasul maka tentu saja
mencakup ayat‐ayat Al‐Quran dan Hadis. Karena itu, dapat dipastikan bahwa
pendayagunaan zakat bagi Rasul merupakan implementasi dari kedua sumber dasar
ajaran Islam. Dengan demikian, dalam pembahasan tertentu, penggalian konsep
terkait dengan pendayagunaan zakat dari Al‐Quran tidak dapat dihindari seperti analisis
tentang fungsi‐fungsi amil. Hal ini dilakukan karena bagi penulis tidak menemukan
dalam peraktek atau hadis Rasul.
Dilihat dari sisi struktur sumber keilmuan pembahasan ini, tampaknya terbagi
dua yaitu pada ilmu ekonom Islam dan ilmu manajemen. Khusus yang terakhir ini
penting karena dengannya akan memberikan landasan teoritis terhadap pemahaman
mengenai pengertian dan fungsi‐fungsi manajemen. Fungsi‐fungsi dimaksud kelak
menjadi landasan analisis pada bab V penelitian ini.
Selain peruntukan bab ini seperti tersebut, karenanya menjadi penting sebab
menjadi sumber analisis terhadap indikator‐indikator evaluasi penelitian ini yang telah
dirumuskan pada bab metodologi.
1. Penger an dan Fungsi‐fungsi Manajemen
a. Pengertian Manajemen
Manajemen menurut istilah merupakan proses dalam perencanaan,
pengorganisasian, kepemimpinan dan pengontrolan terhadap penggunaan sumber daya
dalam mencapai tujuan.58 Dalam pandangan yang lain seperti dikemukan Martin yang
menyatakan bahwa manajemen merupakan proses dalam mendorong pencapaian
tujuan organisasi melalui penerapan empat fungsi manajemen yaitu, perencaaan,
58John R. Schermerhon, Jr. Management, ( New York: John Wiley & Sons, Inc. 1996),
h. 4
pengorganisasian, kepemimpinan, pengontrolan.59 Menurut Daft, manajemen adalah
suatu proses pencapaian tujuan organisasi yang efektif dan efisien melalui perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, pengendalian.60
Kata manajemen dapat dilihat dalam tiga perspek. Pertama, manajemen
sebagai proses. Menurutnya, manajemen berdimensi waktu, yakni kegiatan seorang
manajer terkait dengan waktu. Dari sisi ini menurutnya terkadang disebut dengan istilah
siklus manajemen. Menurutnya sebuah proses mengandung arti bahwa suatu kegiatan
yang dilaksanakan secara sistematik dan karenanya memiliki saling keterkaitan.61
Kedua, manajemen sebagai kumpulan orang yang melakukan aktivitas
manajemen. Menurutnya, segenap orang yang melakukan aktivitas manajemen dalam
suatu badan tertentu disebut manajemen.62 Ketiga, manajemen sebagai seni dan juga
sebagai ilmu. Sebagai seni dikemukakan oleh Follet (1868‐1933) yang mengandung ar
seni untuk lakukan suatu pekerjaan melalui orang lain.63 Sebagai ilmu, menurut Davis
cenderung menggunakan keriteria ekonomis dibanding dengan perilaku. 64
Ketiga perspektif tentang manajemen di atas, tampaknya dapat terako ‐
dir pada pengertian yang diberikan oleh Kapoor bahwa manajemen merupakan proses
pengkordinasian sumber daya untuk mencapai tujuan utama organisasi.65
b. Perkembangan Pendekatan dalam Pemikiran Manajemen
Dalam perkembangan pemikiran manajemen terdapat tiga pendekatan yaitu
pendekatan klasikal, perilaku dan ilmu manajemen.66 Pertama, pendekatan klasikal.
Aliran ini memiliki dua cabang yakni manajemen ilmiah dan teori organisasi klasik.
Manajemen ilmiah dipelopori oleh Charles Babbage (1792‐1871). Dalam tulisannya pada
buku ”On the Division of labor” (1832), sebagaimana yang dinyatakan oleh Merrill
bahwa ia menekankan perlunya pembagian kerja, menurutnya dengan pola seperti ini
59Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, (New York: McGraw-Hill, Inc,
1991), h. 6. 60Richard L. Daft, Management, Singapore: Thomson Asia Pte.Ltd., 2003), h. 6.
61J. Winardi, ManajemenPerilaku Organisasi, (Jakarta: Kencana, 2007), cet.II, h. 3. 62Winardi, Manajemen..., h. 2.
63Follet dalam Kadarman, Am, et. al., Pengantar Ilmu Manajemen, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 5.
64Gordon B. Davis, Management Information System, diterjemahkan Andreans Adiwardana, Sistem Informasi Manajemen, (Jakarta: Grafindo, 1993), h. 10.
65Kapoor, et. al.. Business, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1988), h. 132. 66J. Winardi, Manajemen ..., h. 26.
maka produktifitas dan efisiensi dapat tecapai. Perlunya pembahagian kerja, karena
setiap orang hanya berkepentingan untuk memahami suatu tugas tertentu.67
Robert Owen (1771‐1858), telah mencurahkan perha annya dalam dunia
produksi mesin dan faktor tenaga kerja. Karenanya ia dijuluki sebagai bapak manajemen
personalia moderen. Menurutnya, kwalitasdan kuantitas karyawan sangat dipengaruhi
oleh lingkungan kerja. Karenanya ia membuat gagasan untuk mengurangi jam kerja
mereka, menyediakan makanan bagi mereka, mendirikan toko untuk menyediakan
kebutuhan hidup mereka serta menaikkan usia minimum kerja bagi anak‐anak Sebagai
manajer yang memiliki kepedulian kepada karyawan, maka ia memperbaiki lingkungan
tempat tinggal karyawan dan lingkungan kerja mereka.68
Frederich Wislow Taylor (1856‐1915) pada awal abd XX dan mendapat julukan
sebagai bapak manajemen ilmiah.69 Kontribusi Taylor dalam perkem‐bangan manajemen
ilmiah di antaranya adalah pentingnya kerjasama dan bukannya individualistik,
mengembangkan keharmonisan dalam kerjasama, pengembangan karier bagi
karyawan secara maksimal untuk mencapai
kesejahteraan mereka dan perusahaan.70
Di antara tokoh penting pada manajemen klasik atau biasa disebut dengan
mazhab administrasi klasik, adalah Henri Fayol (1841‐1925). Menurutnya terdapat lima
fungsi manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan,
pengkoordinasian dan pengawasan.71 Adapun prinsip umum manajemen sebanyak 14
yaitu: pembagian kerja, otoritas dan tanggungjawab, disiplin, kesatuan komando,
kesatuan pengarahan, menomorduakan kepentingan perorangan dibanding kepentingan
umum, gaji yang memberikan kepuasan kepada karyawan, sentralisasi, rantai saklar,
tata tertib, keadilan, stabilitas masa jabatan, inisiatif dan semangat korps.72
67Harwood F. Merril, Classics in Management, (New York: American Management
Association, 1960), h. 29. 68Heinz Weihrich, et. al., Manajemen, (Jakara: Erlangga, 1990), h. 32.
69Heinz Weihrich, et. al., Manajemen, (Jakara: Erlangga, 1990), h. 32. 70Heinz Weihrich, Manajemen, h. 37.
71John R. Schermerhon, Jr. Management, ( New York: John Wiley & Sons, Inc. 1996), h. 30.
72Heinz Weihrich, Manajemen, h. 42-43. .
Tokoh penting lainnya dalam manajemen administrasi atau teori organisasi
klasik, adalah Mary Polker Follet (1868‐1933). Di antara pemikirannya adalah tentang
konplik. Menurutnya seperti yang dinyatakan oleh Nader Angha bahwa, terdapat tiga
strategi untuk memecahkan masalah konplik antara karyawan dan manajer yaitu : (a)
dominasi, yakni suatu pihak menang dan lainnya kalah, (b) konpromi yakni tidak ada
yang mendapatkan sesuai yang diinginkan, dan karenanya kedua pihak tidak
mendapatkan kepuasan, (c) integrasi yakni kebutuhan terhadap pihak luar yang dapat
memberikan hasil yang lebih baik dibanding hasil dari dua strategi sebelumnya.73
Selain Mary Polker Follet, Chaster Barnard (1886‐1961) mempunyai kontribusi
terhadap mazhab administrasi manajemen. atau pada teori organisasi klasik, yang
dikenal dengan teori penerimaan otoritas. Menurutnya, seperti yang dinyatakan oleh
Nader Angha bahwa manajer dapat berkeja secara efektif sebagai atasan dengan
memberikan perintah, jika karyawan menerima hak‐haknya.74
Kedua, pendekatan perilaku. Pendekatan perilaku dalam manajemen
mengandung arti pada pentingnya perhatian manajer pada aspek‐aspek yang
mempengaruhi perilaku sumber daya manusia dalam organisasi.75 Tokoh penting
dalam aliran ini adalah Hugo Munsterberg (1863‐1916) dan Geoge Elton Mayo (1880‐
1949). Bersama teman‐teman mereka melakukan penelitian pada di pabrik Hawthorne
dari Western Electric Company atara tahun 1927‐1932. Sebelumnya telah dilakukan
peneli an pada tahun 1924 dan 197 the Na onal Research Council bersama Western
Electric tentang kerjasama guna menentukan pengaruh cahaya penerangan dan
kondisi‐kondisi lainnya terhadap para karyawan dan produktifitas mereka. Hasil
penelitian mereka menunjukkan bahwa jika terjadi penambahan cahaya atau
pengurangan cahaya, maka produktifitas kerja karyawan tetap meningkat. Atas
kesimpulan ini, maka peneliti hampir menyatakan bahwa percobaan mereka telah
menunjukkan kegagalan.76
73Nader Angha, Theory “I”, Penerjemah Leinovar, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2002), h. 30. 74Nader Angha, Theory “I”, Penerjemah Leinovar, h. 31.
75Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, (New York: McGraw-Hill, Inc,
1991), h. 53. 76Heinz Weihrich, Manajemen, h. 46.
Hasil penelitian tersebut, bagi Mayo memberikan pengaruh yang luar biasa dan
kelak melahirkan gagasan‐gagasan pengembangan lebih lanjut. Menurut Mayo,
penelitian tentang kerjasama dan hubungannya dengan penambahan cahaya dengan
kesimpulan seperti digambarkan, tampaknya tidak memperhatikan faktor‐faktror lain
seperti jam istirahat bagi karyawan, pergantian penerangan, jam‐jam istirahat seta
sistem pembayaran perangsang bagi karyawan yang beragam, semuanya tidak
memberikan penjelasan akan terjadinya perubahan dan produktifitas.77
Dalam pandangan Mayo, pergantian penerangan, jam istirahat dan sistem
pembayaran, dalam penelitian itu, dinyatakan sebagai faktor lain. Dengan demikian,
dengan adanya faktor lain dimaksud, maka peningkatkan produksi dapat tercapai,
karena secara psikologis, para karyawan memahami sebagai suatu bentuk perhatian
yang diberikan kepada mereka. Hasil penelitian ini sebagai implikasi dari penelitian
sebelumnya terhadap populasi penelitian (karyawan)
yang diteliti dan kemudian dikenal dengan efek Hawthorne.78
Dari hasil penelitian ini, Mayo berpandangan bahwa karyawan adalah orang
perorang yang masing‐masing memiliki kebutuhan, tujuan dan motiv tetentu, dan
karenanya menghendaki perlakuakn sebagai manusia. Dengan demikian‐menurutnya‐
walaupun aspek teknis dan motode dalam bekerja penting dalam suatu perusahaan,
maka perhatian kepada karyawan harus diseimbangkan.79
Uraian ini menjelaskan bahwa hasil penelitian Mayo, memberikan gambaran
tentang pentingnya perhatian manajer terhadap psokologis karyawan. Dalam
perkembangan pada pemikiran manajemen selanjutnya, pemikiran Mayo tentang
psikologis karyawan mengalami perkembangan lebih lanjut. Di antara yang dapat
disebut yaitu teori tingkatan kebutuhan yang dikembangkan oleh Maslow.80
Ketiga, pendekatan ilmu manajemen. Menurut Stoner bahwa manajemen ilmiah
atau ilmu manajemen timbul karena kebutuhan untuk produktifitas pada satu sisi dan
terjadinya kelangkaan tenaga kerja terampil pada sisi yang lain. Atas dasar ini maka
Frederick W. Taylor (1856‐1915) menyusun sekumpulan prinsip‐prinsip yang merupakan
77Heinz Weihrich, Manajemen, h. 46. 78Heinz Weihrich, Manajemen, h. 47.
79John R. Schermerhon, Jr. Management, ( New York: John Wiley & Sons, Inc. 1996), h. 33.
80Nader Angha, Theory “I”, Penerjemah Leinovar, h. 37.
inti dari manajem ilmiah. Namun sebelumnya, penelitian Taylor tentang waktu kerja
dan sistem upah diferensial, telah mendorongnya memiliki reputasi yang tinggi dalam
aliran manajemen ilmiah.81
Hasil penelitian Taylor tehadap waktu, dimulai, ketika ia berkeja dalam sebuah
pabrik baja pada bagian produksi. Dengan memperhatikan pekerja pada karyawan
dimaksud, maka ia bermaksud untuk mengganti pola lama yang mereka pergunakan,
karena menurutnya kurang produktif. Menurutnya, pembagian pekerjaan pada
komponen‐komponen kecil akan merancang pola pengerjaan yang tercepat dan terbaik
dalam setiap jenis pekerjaan, akhirnya akan mendorong peningkatan produktifitas.82
Selain itu, gagasan Taylor mendorong majikan untuk membayar karyawan yang
lebih produktif dibanding karyawan lainnya. Menurutnya, kenaikan upah yang dilakukan
oleh manajer dengan pertimbangan produktifitas kerja terhadap karyawan, telah
dihitung dengan memperhitungkan keuntungan yang diakibatkan oleh produktifitas
mereka. Teori pengupahan ini disebut dengan sistem upah deferensial.83
Dengan argumen produktifitas, maka Taylor berpendapat bahwa karyawan yang
memililki tingkat produktifitas tinggi tidak akan ditinggalkan oleh perusahaan, karena
mereka dibutuhkan oleh perusahaan, namun terhadap mereka yang bekerja di bawah
standar produksi, mereka akan mencari pekerjaan dalam waktu satu atau dua hari,
sebagai akibat langkanya tenaga kerja.84
Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan Taylorisme diterima oleh
sejumlah perusahaan dalam upaya peningkatan produktifitas karyawan mereka.
Pandangan Taylorisme bagi perusahaan tampaknya selain meningkakan produktfitas
namun pada sisi lain menimbulkan implikasi terjadinya pemutusan hubungan kerja
terhadap karyawan yang bekerja di bawah standar oleh perusahaan tertentu. Pada
tahun 1912, terjadi pemogokan oleh karyawan dan sebagai reaksi atas kebijakan
Taylorisme oleh perusahaan tempat mereka bekerja,85 setahun sebelumnya 1911,
81James AF. Stoner, Management, penerjemah Benyamin Molan, (Jakarta: Intermedia,
1992), h. 55. 82James AF. Stoner, Management, h. 55.
83James AF. Stoner, Management, h. 55. 84James AF. Stoner, Management, h. 55 .
85James AF. Stoner, Management, h. 55.
Taylor memberikan penjelasan di depan kongres AS atas gagasan‐gagasan dimaksud.86
Atas dasar itu, penjelasan‐penjelasan Taylor tentang gagasan yang berkembang itu,
yang membahas tentang prinsip‐prinsip manajemen telah termuat dalam bukunya The
Principles of Scientific Management.87
Empat prinsip manajemen bagi Taylor yaitu : a. Kembangkan sebuah ilmu untuk
setiap pekerjaan dan dengannya dapat diimplementasikan dalam pekerjaan dengan
metode yang efisien untuk diikuti oleh semua pekerja; b. Penyeleksian pekerja secara
ilmiah sesuai dengan karakteristik pekerjaan serta pelatihan kepada pekerja; c.
Kembangkanlah kerjasama di kalangan pekerja dan penciptaan kondis kerja yang
mendukungnya; d. Bagilah tanggungjawab untuk kegiatan menejer dan bekerja,
motivasilah pekerja dalam kelompok agar mereka dapat bekerja sebaik mungkin.88
Bagi Taylor untuk menngkatkan produktifitas bagi karyawan, maka
pandangannya tentang ”revolusi mental” harus dilaksanakan sebelum prinsip‐prinsip
tersebut dilaksanakana. Baginya, ”revolusi mental ” yang dimaksud adalah perlunya
bagi manajer dan karyawan untuk berhenti bertengkar dan segera melakukan upaya‐
upaya memaksimalkan laba perusahaan.89
Dari perkembangan pemikiran manajemen yang telah dijelaskan di atas, maka
tampaknya masing‐masing pendekatan pemikiran memiliki karakteristik tersendiri.
Menurut Winardi bahwa walaupun pendekatan pemikiran tersebut telah berkembang
dalam sejarah, namun ide‐ide yang muncul tidak menggantikan ide lama, justru
menurutnya bahwa masing‐masing pendekatan telah menambah khazanah
pengetahuan sebelumnya pada satu sisi dan pada sisi lain, terlihat bahwa masing‐masing
pendekatan itu telah berkembang dengan sendirinya.90
Selain pendekatan‐pendekatan dimaksud, masih dikenal pendekatan lain
seperti pendekatan sistem dan pendekatan kotingensi atau situasional.91
86Menurut Petter, pada saat persaksian Taylor di depan kongres 1911, dia tidak menyebut
istilah manajemen tetapi ia menyatakan Klinik Mayo dan hubungan para pemilik dan pembantu mereka. Petter F. Drucker The Frontiers of Management, diterjemahkan Soesanto Boedidarno,
“Manajemen Lintas Peluang” (Jakarta: Elex Media Komputindo, 1970), h. 179. 87James AF. Stoner, Management, h. 55.
88J. Winardi, Pemikiran Sistemik dalam bidang Organisasi dan Manajemen, (Jakarta: Rajawali Press, 2005), h. 113.
89J. Winardi, Pemikiran Sistemik...h. 113. 90Winardi, Manajemen..., h. 25. 91Winardi, Manajemen..., h. 29.
v
c. Fungai‐fungsi Manajemen
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli tentang jumlah fungsi‐fungsi
manajemen.
1) Hanry Fayol menetapkan lima fungsi manajemen yaitu: perencanaan, pengor
ganisasian, kepemimpinan, pengkoordinasian dan pengawasan.92
2) Louis A.Allen menetapkan empat fungsi manajemen yaitu: kepemimpinan,
perencanaan, pengorganisasian, pengawasan.93
3) George R. Terry menetapkan empat fungsi manajemen yaitu: perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan.94
4) Luther Gullich menetapkan tujuh fungsi manajemen yaitu: perencanaan,
pengorganisasian, penyusunan staf, pengarahan, pengkoordinasian, pelaporan,
penganggaran.95
5) Richard L. Da , menetapkan empat fungsi manajemen yaitu : perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, pengendalian.96
Dari pandangan para ahli tentang fungsi manajemen di atas, jika ditelaah lebih
jauh tampaknya tidak terjadi perbedaan substansial. Perbedaaan itu disebabkan karena
tingkat penekanan yang berbeda dari setiap ahli dimaksud. Apabila pendapat‐pendapat
tersebut dikombinasikan maka akan membentuk suatu pemahaman yang menyeluruh
dan perbedaan itu saling melengkapi dengan lainnya.
Berkaitan dengan perbedaan penetapan fungsi‐fungsi manajemen di atas, jika
dikombinasikan maka membentuk sepuluh fungsi manajemen yaitu: perencanaan,
pengorganisasian, kepemimpinan, pengkoordinasian, pengawasan, pelaksanaan,
pengarahan, penyusunan staf, pelaporan dan penganggaran.
92John R. Schermerhon, Jr. Management, ( New York: John Wiley & Sons, Inc. 1996),
h. 30. 93Louis Allen, Management and Organization, (New York: Mc Graw Hill Book
Company, 1958),h. 18. 94George R. Tarry, Principles of Management, saduran Sujai, (Bandung: Grafika,
1980), h. 32. 95Harold Koonz dan Cyrill O’Donnel, Principles of Management to Analysis
Management Functions, (Tokyo: Kogaskusha Company, Ltd.), h. 43. 96Richard L. Daft, Management, h. 6.
Dilihat dari sisi kedekatan suatu fungsi dengan lainnya, maka fungsi anggaran
berkaitan dengan fungsi perencanaan. Fungsi anggaran terkait dengan penggunaan
sumber daya ekonomi dalam mencapai tujuan organisasi. Selanjutnya fungsi anggaran
jika tidak dikaitkan dengan perencanaan maka memungkinkan terjadinya inefisiensi
anggaran.
Adapun fungsi pengorganisasian memiliki kedekatan dengan fungsi penyusunan
staf. Fungsi pengorganisasian berkaitan dengan penetapan susunan, sifat dan hubungan
antar unit pengelompokan sumber daya organisasi. Sedang penyusunan staf
berhubungan dengan pengorganisasian orang‐orang yang menduduki unit‐unit yang
telah dipersiapkan dalam pengorganisasian.
Berkaitan dengan kombinasi dimaksud, maka dapat dinyatakan bahwa dalam
setiap fungsi perencanaan yang ada, maka di dalamnya terdapat unsur fugsi lainnya.
Sebagai contoh dalam fungsi pengorganisasian, maka di dalamnya terdapat unsur‐unsur
yang terkait dengan kepemimpinan. Karena dalam penyusunan unsur‐unsur dalam
pengorganisasian, maka unsur‐unsur kepemimpinan sangat diperhatikan efektifitasnya.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa secara fungsional, masing‐masing fungsi
dapat dibedakan dan saling berdiri sendiri, namun dalam operasional fungsional, fungsi‐
fungsi itu memerlukan saling keterkaitan. Kondisi keterkaitan antar fungsi dalam
manajemen tersebut dapat dimengerti mengingat pencapaian efisiensi dan efektifitas
sebagai tujuan substantif dalam manajemen terhadap suatu organisasi tidak dapat
terwujud hanya dengan mengedepankan salah satu fungsi dalam manajemen.
Atas dasar efisiensi dan efektfitas, maka fungsi‐fungsi manajemen dalam suatu
orgnisasi dapat berfungsi. Mengabaikan kedua komponen yakni efisiensi dan
efektifitas dalam suatu manajemen, maka memungkinkan fungsi‐fungsi manajemen
tidak dapat berfungsi Dengan demikian, hemat penulis, berkaitan dengan berfungsinya
fungsi‐fungsi manajemen yang beragam di atas, maka dalam perspektif manajemen
terdapat pertimbangan yang selalu mengitari penggunaan seluruh fungsi‐fungsi
manajemen. Pertimbangan yang dimaksud adalah komponen efisiensi dan efektifitas.
Atas dasar itu, maka fungsi manajemen yang akan dibahas dalam penelitian ini
mengacu pada perencaaan, pengorganisasian, pelaksanaan, kepemimpinan dan
pengawasan.97 Selain pertimbangan sebelumnya, penetapan lima fungsi ini, disesuaikan
dengan semangat yang diinginkan oleh UU tentang Pengelolaan Zakat. Pasal 1
menyatakan bahwa pengelolaan zakat adalah kegiatan yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. Hemat penulis, menyajikan keempat
fungsi manajemen, yang dikemukakan dalam UU ini jika dihubungkan dengan objek
penelitian ini yakni Badan Amil Zakat Nasional, fungsi‐fungsi dimaksud belum lengkap
jika tidak diikuti dengan fungsi kepemimpinan.
2. Pengertian dan Tujuan Pendayagunaan Zakat
a. Pengertian Pendayagunaan Zakat
Istilah “pendayagunaan” secara leksikal diberi arti dengan: l). ”Penguasaan agar
mampu mendatangkan hasil dan manfaat…; 2). Pengusahaan (tenaga, dsb) agar mampu
menjalankan tugas dengan baik…” Sedangkan kata dayaguna sendiri diberi ar : 1).
“Kemampuan mendatangkan hasil dan manfaat; efisien; sangkil…; 2). “Kemampuan
menjalankan tugas dengan baik (tentang orang)... 3). Angka persen yang menunjukkan
perbandingan antara tenaga (energi) yang diperoleh dan tenaga yang diperlukan.”98
Pengertian bahasa ini menunjukkan bahwa kata pendayagunaan merujuk
makna usaha untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Pandangan ini mengandung tiga
arti, yaitu kemampuan, proses dan hasil. Ketiga makna ini terlihat pada definisi
pendayagunaan yang diberikan oleh para ilmuwan manajemen. Kata yang dipandang
relevan dengan pendayagunaan ini adalah efisiensi.
Bartol mengemukakan bahwa efisiensi adalah kemampuan untuk
mempergunakan sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan.99 Pandangan yang
lain, Stoner bahwa, efisiensi “kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan benar.”
Menurutnya, seorang manajer yang efisien adalah manajer yang menggunakan
masukan berupa tenaga kerja, bahan‐bahan dan waktu yang dipergunakan untuk
memenuhi keperluan pencapaian hasil. Baginya, terhadap manajer yang mampu
memperkecil pengguanakan masukan–masukan tersebut
97Penetapan lima fungsi manajemen di atas merupakan penggabungan dari pandangan
Hanry Fayol dan Louis A.Allen tentang fungsi-fungsi manajemen. 98Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa... h. 242.
99Kathryn M.Bartol dan Davic C.Martin, Management, h. 20.
untuk mencapai hasil dipandang bertindak secara efisien.100 Istilah efisien, efektif yang
sering digandengkan keduanya. Namun keduanya memiliki perbedaan. Yang pertama
terkait dengan kemampuan manajer untuk melakukan pekerjaan dengan benar sedang
terakhir menunjukkan pada kemampuan untuk memilih sasaran yang tepat.101 Dengan
kata lain, efisiensi mengandung arti kecermatan manajer untuk menggunakan seminimal
mungkin sumber daya untuk mencapai tujuan. Dalam konteks pendayagunaan zakat
misalnya, maka pengelola zakat yang memiliki tindakan efisien mengandung arti bahwa
ia mempergunakan sumber‐sumber daya yang terkait dengan – zakat berupa sumber
dana, waktu, fasilitas‐, untuk mencapai tujuan zakat. Sedang efektif, kemampuan untuk
memilih sasaran yang tepat. Dalam konteks pendayagunaan zakat mengandung arti
bahwa pengelola zakat bertindak efektif, jika ia dalam tindakannya telah berhasil
memilih program atau kebijakan yang tepat.
Dilihat dari sisi pentingnya kedua istilah ini dimiliki oleh manajer dalam
manajamen, oleh Stoner mengatakan bahwa “tanggungjawabnya membutuhkan
prestasi yang efisien dan efektif, tetapi walaupun efisien itu penting, efektifitas juga
tidak kalah pentingnya.”102
Dengan memperhatikan uraian di atas istilah pendayagunaan zakat dapat
dilihat dari tiga hal. Pertama, kemampuan yang mengandug arti bahwa kemampuan
pengelola zakat untuk mendatangkan manfaat zakat yang sebesar‐besarnya terhadap
mustahik. Kedua, proses yang mengandung arti bahwa pengelola zakat harus
menggunakan seminimal mungkin sumber‐sumber daya zakat dalam memberikan
manfaat sebesar‐besarnya bagi mustahik. Ketiga, hasil yang mengandung arti bahwa
pengelola zakat harus meorientasikan zakat untuk memberikan hasil yang maksimal
pada kepentingan mustahik.
Ketiga hal di atas, memperlihatkan keterkaitan tindakan efisiensi dan efektifitas
bagi pengelola zakat. Tindakan pengelola zakat yang tidak efisien mengandung arti
bahwa ia tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan seminimal mungkin sumber
daya zakat untuk memberikan hasil yang maksimal kepada mustahik. Sedang tindakan
pengelola zakat yang tidak efektif, menunjukkan bahwa ia tidak menyesuaikan program
100James AF.Stoner dan R. Edward Freeman, Manajemen, Benyamin Molan Penerjemah,
(Jakarta: Intemedia, 1992) h. 15. 101James AF.Stoner dan R. Edward Freeman, Manajemen, h. 15.
102James AF.Stoner dan R. Edward Freeman, Manajemen, h. 15.
yang ditetapkannya dengan perkembangan ‐prilaku, keagamaan, kondisi ekonomi,
keterampilan‐ mustahik. Karena, tindakan pengelola zakat yang tidak efektif menjadikan
dana zakat yang diberikan kepada mustahik tidak memberikan manfaat maksimal.
Dengan demikian, kata pendayagunaan, walaupun secara konseptual lebih mengandung
unsur efisiensi, namun dalam perkembangannya, unsur efektif tidak dapat dihindarkan.
Apabila pendayagunaan zakat dilihat dari sisi indikator yang dikandungnya,
maka pendayagunaan mengandung lima dimensi yaitu: (1) Efisiensi, (2) efek fits, (3)
tepat jumlah, (4) tepat waktu dan (5) perubahan nasib mustahik. Kelima dimensi ini
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Dengan formulasi pendayagunaan zakat seperti ini maka menunjukkan bahwa
zakat tidak hanya dilihat darti sisi kebutuhan mustahik, tetapi juga memberikan
tanggungjawab kepada pengelola zakat atau amil.
b. Tujuan Pendayagunaan Zakat
Tujuan pendayagunaan zakat tidak dapat terlepas dari tujuan yang terkandung
dalam makna pendayagunaan itu sendiri. Sebagai diuraikan sebelumnya, maka tujuan
pendayagunaan zakat adalah memberikan hasil maksimal kepada mustahik dengan
memanfaatkan seminimal mungkin sumber‐sumber daya dalam zakat. Penggunaan
seminimal mungkin sumber daya zakat menunjukkan bahwa peran pengelola zakat
sangat besar. Dalam hal ini, mustahik sebagai kelompok yang berhak menerima dana,
hanya terbatas pada hak untuk menerima dan memanfaatkannya. Namun objek
pemanfaatan dan strategi pemanfaatannya, menjadi kewajiban bagi pengelola zakat
untuk mengaturnya.
Dalam Islam, ditetapkan delapan kelompok penerima zakat yang dikenal dengan
mustahik, namun di kalangan ulama telah terjadi perbedaaan pendapat, bahwa apakah
semua kelompok itu diberikan zakat, atau cukup diberikan kepada kelompok tertentu
sebagai representasi dari kelompok penerima zakat secara keseluruhan.103 Selain itu,
peran pengelola zakat yang tidak hanya sekedar membagikan zakat kepada mustahik
sesuai dengan pertimbangannya yakni apakah beralasan atau tidak untuk
103Mahmūd Natrâji (komentator), dalam Muhammad Idrīs al-Syâfi’ī, al- Um, Juz I,
(Bairūt: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), cet. II, h. 94.
memberikannya kepada mustahik,104 menunjukkan bahwa zakat bukanlah dana yang
sekedar diberikan kepada mustahik tanpa tujuan dan tidak dilakukan dengan tanpa
pendayagunaan.
Sebagaimana diketahui bahwa zakat mempunyai tujuan tertentu –yakni hanya–
untuk kepentingan mustahik. Dalam konteks pendayagunaan, maka tujuan itu akan
semakin dicapai dengan melibatkan amil sebagai pengelola lembaga zakat.
3. Faktor‐Faktor Berpengaruh dalam Pendayagunaan Zakat
Faktor‐faktor dalam pendayagunaan zakat dimaksudkan sebagai hal –hal yang
turut berpengaruh dalam melakukan pendayagunaan zakat. Kesuksesan dalam
pendayagunaan sangat ditentukan oleh faktor dimaksud. Terdapat faktor yang
berpengaruh dalam pendayagunaan zakat yaitu amil zakat atau pengelola zakat, dana
zakat, UU Pengelolaan Zakat serta perilaku mustahik.
Pertama, amil. Menunjukkan bahwa ia yang dikenal dewasa ini sebagai
lembaga pengelola zakat memiliki peran dalam pendayagunaan zakat. Pengelola zakat
tidak saja sekedar membagikan dana zakat kepada mustahik, tetapi ia dituntut oleh
agama (Islam) untuk mengembangkan kebijakan kelembagaan yang berkaitan dengan
pendayagunaan zakat.105 Sebagai suatu institusi, maka terhadap pengelola zakat‐ hemat
penulis‐ sangat relevan untuk mengemukakan pernyataan Salusu dalam pengembangan
suatu organisasi. Ketiga pertanyaan pokok yang oleh Salusu disebut sebagai “tiga
elemen penting dalam mencari kecocokan” yaitu: “Apakah misi organisasi Anda cukup
jelas? Apakah misi itu cocok dengan apa yang diperlukan dan dibutuhkan oleh pihak‐
pihak yang berkepentingan terutama konsumen yang dilayani?. Apakah organisasi Anda
memiliki memiliki sumber daya dan kemampuan yang cukup dan memadai untuk
melakukan apa yang dibutuhkan tersebuit ?.”106
Pandangan Salusu di atas, secara umum berkaitan dengan kualitas sumber
daya manusia dalam organsasi, khususnya bagi tingkat pengambilan kebijakan. Bagi
lembaga pengelola zakat, maka diperlukan pengambilan kebijakan yang tidak sekedar
104Menurut Quraish Shihab, bahwa ayat tentang amil pada QS. al-Taubah/9; 60 yang di
dalamnya terdapat kata ‘alayhâ, mengandug arti bahwa ”para pengelola itu melakukan kegiatan mereka dengan sungguh-sungguh dan mengakibatkan keletihan karena kata ‘alâ mengandung
makna penguasaan dan kemantapan atas sesuatu”. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah¸ Vol. I (Jakata: Lentera Hati, 2002), cet. I, h. 597.
105Seperti uraian sebelumnya tentang tujuan pendayagunaan zakat. 106J. Salusu, Pengambilan Keputusan Stratejik, (Jakarta: Grasindo, 2006), cet. IX, h. 355.
memenuhi standar organisasi, yakni adanya pengurus, mustahik, muzakki dan program
kerja tetapi ia harus mencerminkan dirinya sebagai organisasi yang secara khusus
bergerak pendayagunaan zakat. Untuk yang terakhir ini mencerminkan dirinya sebagai
organisasi yang memiliki karakteristik sebagai organisasi pengelola zakat.
Kedua, dana zakat. Dana zakat dalam manajemen dapat disebut dengan sumber
daya keuangan. Dana zakat yang dikumpulkan oleh pengelola zakat berasal dari
muzakki yakni orang Islam yang telah menunaikan ibadah zakat. Dengan demikian,
muzakki merupakan sumber dana zakat dan secara ekonomis ia merupakan sumber
satu‐satunya. Karena itu, ketergantungan mengenai besaran dana sangat ditentukan
oleh seberapa besar partisifasi muzakki menjalankan ibadah zakat dan menyerahkannya
kepada pengelola zakat.
Ketiga, Undang‐Undang Pengelolaan Zakat. Keberadaan UU turut
berpengaruh107 terhadap pendayagunaan zakat oleh lembaga pengelola zakat. Di
Indonesia, pengelolalan zakat secara yuridis formal diatur dalam UU No. 33/1999
tentang pengelolaan zakat. Dalam UU ini dibedakan dua lembaga pengelola yaitu
badan amil zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah dan lembaga amil zakat ( LAZ )
yang dibentu oleh masyarakat. (Pasal 6 dan 7). Selain itu diatur bahwa prosedur
pendayagunaan zakat yaitu “hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk musahik
sesuai dengan ketentuan agama. Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan
skala prioritas kebutuhan mustahik dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang
produktif. Persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.” (Pasal 16).
Dalam Kepmenag RI ditegaskan bahwa “mendahulukan orang‐orang yang paling tidak
berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan”
(pasal 28 ayat [1]) dan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pendayagunaan setelah
terdapat sisa atas penggunaan untuk memenuhi kebutuhan dasar ekonomi. (pasal 28
[2]}. Dengan demikian, pendayagunaan dalam ar pemanfaatan zakat untuk kegiatan‐
kegiatan produktif hanya bersifat alternatif saja dan tidak bersifat utama. Kebijakan
107UU dapat disebut faktor eksternal, karena secara struktural zakat sebagai ibadah, tidak
diatur oleh UU. Zakat hanya diatur oleh agama Islam sebagai salah satu rukun Islam. Namun dilihat dari sisi manajemen UU ini memberikan pengaruh bagi pengelolaan zakat. Dalam kajian
manajemen, faktor eksternal biasa juga disebut dengan lingkungan. Pengelolaan terhadap faktor ini biasa disebut dengan manajemen lingkungan atau administrasi lingkungan. FX. Soedjadi, Analisis
Manajemen Moderen, (Jakarta: Gunung Agung, 1997), cet. VI, h. 91.
UU ini tampaknya direspon oleh lembaga pengelola zakat di Indonesia dengan
memberikan prosentase pendayagunaan, hanya sekitar maksimal 50 %.108
Keempat, perilaku mustahik. Adapun yang berkaitan dengan perilaku mustahik
terlihat dalam Al‐Quran yakni terdapat dua prototipe mengenai orang yang
membutuhkan sesuatu dihadapan orang lain termasuk di sini mustahik yakni peminta
(al‐sâil ) dan menahan diri untuk tidak meminta (al‐maĥrūm)109 Secara sosiologis,
prototipe ini masih memungkinkan ditemukan. Selain itu dalam ekonomi ditemukan
suatu asumsi rasionalitas. Penggunaan asumsi ini dalam teori konsumen terwujud dalam
bentuk asumsi bahwa rumah tangga keluarga senanatiasa berusaha memaksimumkan
kepuasan atau utility maximization assumption.110. Asumsi ini, tentu saja berlaku secara
umum dan termasuk bagi mustahik. Kecenderungan perilaku mustahik ini, kiranya harus
dikritisi oleh pengelola zakat, karena dana zakat sangat potensial dapat berfungsi
sebagai alat untuk mencapai kepuasan maksimal mustahik. Padahal dalam pandangan
ekonomi Islam, seperti dinyatakan oleh Fakhim Khan bahwa maslahah dengan utility,
keduanya memiliki tingkat subjektifitas bagi kunsumen, namun yang terakhir ini
cenderung tidak memiliki ukuran yang jelas dan sedang maslahah
mengacu pada lima asas yaitu jiwa, harta, agama, akal dan keturunan.111
Dari uraian di atas, tampak, perkembangan perilaku ekonomi secara umum
berpeluang untuk berpengaruh terhadap mustahik. Lembaga pengelola zakat dapat
menjadikan faktor dimaksud sebagai masukan dalam dalam perumusan pola
pendayagunaan zakat.
4. Amil: Otoritas Manajemen Pendayagunaan Zakat
a. Identifikasi Makna Amil Menurut Al‐Qur’an
108Hasil analisisi penulis terhadap data pada tabel I tentang daftar lembaga pengelola
zakat. 109QS. Al-Dzâriyât [51]: 19 وفي أموالهم حق للسآئل والمحروم
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian” Penjelasan Departemen Agama RI terhadap . kata al-mahrūm ( Orang miskin yang tidak mendapat bagian ) maksudnya ialah orang
miskin yang tidak meminta-minta”. 110Soedijono Reksoprajitno, Pengantar Ekonomi Mikro, (Jakarta: Gunadarma, 1993), h.
9. 111M. Fahim Kham, Theory of Consumer Behaviour in an Islamic Perspective, dalam
Aidit Ghazli (Ed.), Readings in Microeconomics an Islamic Perspektive, (Selangor: Longman Malaysia SDN. BHD. 1992), cet, I, 74.
Penelusuran makna yang terkait dengan amil difokuskan pada kata âmil dan
âmilîn. Penelusuran terhadap kata ini dalam al‐Qur’an terulang sebanyak delapan kali.
Kata ini berakar huruf ain, mim dan lam yang mengandung arti dasar ”sebagai nama
umum atas pekerjaan yang dikerjakan”.112 Oleh al‐’Askary ‐seperti dinyatakan al‐
Aśfahâny‐, membedakan antara pekerjaan ( al‐Fi’l) dan amal. Menurutnya, untuk yang
terakhir memiliki implikasi, dampak (al‐Atsar) dan yang pertama tidak mempunyai
dampak, implikasi atas pekerjaan itu. 113 Dari sisi etika, tampaknya al‐Qur’an
menggunakan kata ini pada dua konotasi yang berbeda yakni al‐sâlihat (mengandung
banyak kebajikan) dan al‐sayyiât (mengandung banyak burukan).114 Untuk kata ’âmilīn
pada mulanya merupakan bentuk subjek (fâil) dan dengan demikian, bahwa konsep
yang dikandung kata ini adalah pekerja yang memberikan dampak atas pekerjaan yang
dilakukannya. Dalam konteks zakat, sebagai bagian dari rukun Islam, maka pekerjaan
amil, merupakan bagian dari pengembangan amal al‐salihât.
b. Prasyarat Amil Zakat Menurut Hadis Nabi
Menurut hadis, Mu’adz ibn Jabal (w. 18 H) diangkat oleh Nabi sebagai amil
zakat untuk daerah Yaman. Bagaimana prasyarat amil yang dapat dirumuskan dari
kepribadian Muadz adalah menarik untuk dikaji. Berkaitan dengan keberadaan Muadz
ibn Jabal sebagai amil pada masa Rasul SAW. oleh Muhammad Amin Suma
memberikan padangan dari sudut kepribadian seorang amil. Pertama, intelektualitas
amil.115 Muadz ibn Jabal dikenal sebagai hakim yang memiliki kemampuan berijtihad.116
Hal ini terlihat pada dialognya dengan rasul SAW. Sebagaimana dalam hadis di bawah
ini yang diriwayatkan oleh Anas dari keluarga Hims sebagai sahabat Muadz.117
112Abū Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Mu’jam Maqâyis, Juz IV, h. 140.
113Abū al-Hilâl al-’Askary dalam al- Râghib al-Aśfahâny, Mufradât alfâz, h. 587. 114QS. (2): 288, QS (4): 123.
115Muhammad Amin Suma, “Pengelolalan Zakat dalam Perpektif Sejarah” dalam Muhatar Sadili (Ed.), “Probelematika Zakat Kontemporer,” (Jakarta: FOZ, 2003), h. 65
116Ijtihad, mengandung arti sebagai usaha yang sungguh-sungguh untuk mencaai suatu ketatapan hukum. Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam,
(Bandung: Al-Maarif, 1986, cet. I), h. 71. 117Teks hadis yaitu:
يبعث أن أراد لما وسلم عليه الله صلى الله رسول أن جبل بن معاذ أصحاب من حمص أهل من أناس عن الله آتاب في تجد لم فإن قال الله بكتاب أقضي قال قضاء لك عرض إذا تقضي آيف قال اليمن إلى معاذا في ولا وسلم عليه الله صلى الله رسول سنة في تجد لم فإن قال وسلم عليه الله صلى الله رسول فبسنة قال وفق الذي لله الحمد وقال صدره وسلم عليه الله صلى الله رسول فضرب آلو ولا رأيي أجتهد قال الله آتاب
117الله رسول يرضي لما الله رسول رسول
Kedua, integritas atau kejujuran. Menurut Amin Suma, nabi Muhammad telah
melakukan pengawasan dan pergantian terhadap amil yang tidak jujur. 118 Nabi
melakukan peneguran itu mencakup kinerja amil yang dinilai menyimpang dari
kejujuran.119 Kejujuran ini penting karena, dana zakat selain sebagai dana umat zakat
juga merupakan perwujudan dari pelaksanan ibadah dari rukun Islam. Lebih dari itu,
secara sosiologis, lembaga pengelola zakat, merupakan lembaga keagamaan yang
mencerminkan kualitas umat Islam.
Prasyarat bagi amil zakat di sini mencerminkan bahwa syarat minimal yang
harus dimiliki sebuah lemaga pengelola zakat, karena dititikberatkan sebagai lembaga
pengelola dana zakat dengan dimensi ibadah yang sarat dengan hukum‐hukum Islam
(keagamaan), namun syarat lainnya yang terkait dengan manajemen dan
pengembangan kemasyarakatan khususnya yang berkaitan dengan mustahik juga tidak
kalah pentingnya. Sekedar memenuhi prasyarat ini, maka lembaga pengelola zakat tidak
dapat berfungsi seoptimal mungkin dalam pendayagunaan zakat.
Dalam pengelolaan zakat pada masa Umar ibn Khattab, kelompok tertentu
tidak diberikan zakat. Kelompok itu, adalah al‐Muallaf al‐Qulûbuhum, yang sebelumnya
mustahik ini ditetapkan oleh al‐Qur’an sebagai salah satu kelompok penerima. 120
Tindakan Umar ini kemudian menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan umat
Islam. Dari perbedaan pendapat mengenai kebijakan Umar ini, maka tampaknya Atho
Mudzhar telah memberikan penegasan bahwa tindakan Umar itu ”... hanya merupakan
Rasûl Allah bersabda kepada Muadz saat di utus ke Yaman: Bagaimana kamu
memutus perkara bila dihadapkan kepadamu? Muadz menjawab : ”Aku memutuskan dengan Kitab Allah.” Rasul bertanya: Jika masalah itu tidak terdapat di dalam Kitab
Allah? Muadz menjawab: “aku memutuskan dengan Sunnah Rasul. Rasul menanyakan lebih lanjut: “Jika itu tidak terdapat dalam Sunnah Rasûl Allah?” Muadz menjawab: “Aku
berijtihad dengan pendapatku dan berusaha dengan segenap tenaga. Lalu, Rasûl Allah menepuk dada Muadz dan seraya bersabda: “Segala puji milik Allah yang telah
membimbing utusan Rasûl Allah sebagaimana yang dipahmi oleh Rasul-Nya. Abû Dâwud, Sunan abî Dâwud. Juz II (Bairût: Dâr al-kutub al-Ilmiyah, t.th), h. 327.
118Nabi mengganti al-Walid ibn ‘Uqbah sebagai amil dengan sahabat yang lain, karena dia terbukti memberikan laporan tidak benar dalam menjalankan tugas untuk memungut zakat
pada daerah pemukiman al-Harits yang ketika itu belum lama masuk Islam dan menyatakan kesiapannya untuk membayar zakat. Muhammad Amin Suma, “Pengelolalan Zakat dalam
Perpektif Sejarah” dalam Muhatar Sadili (Ed.), “Probelematika Zakat Kontemporer,” (Jakarta: FOZ, 2003), h. 66. Perilaku amil ini dapat dilihat pada latar belakang QS. al- Taubah: 6. A.
Dahlan dkk. Asbâb al-Nuzūl, (Bandung: Diponegoro, 2001), cet.II, h. 513. 119Menurut riwayat Abû Daud, Ibn Lutbiyah (Bani al-Azdi) diangkat sebagai amil oleh
nabi, dan dalam menjalankan tugasnya ia menerima hadiah. Nabi menegurnya. Kutipan hadis pada bab VI penelitian ini.
120Muhammad Baltâji, Manhaj ‘Umar ibn al-Khattâb fī al-Tasyri’ (t.tp.: Maktabah Tsibâb, 1998), h. 169.
v
penerapan hukum untuk suatu kondisi dan pada saat tertentu berhubung adanya
sesuatu maslahah yang perlu dicapai.”121 Penjelasan Atho Mudzhar atas kebijakan
Umar memiliki dimensi sosiologis, yaitu bahwa dengan perubahan perilaku mustahik,
dapat menjadi pertimbangan dalam penerimaan hak‐hak zakat mustahik. Dengan kata
lain bahwa, pengelola zakat sangat berkepentingan untuk memahami perilaku
mustahik, dan tidak hanya harus memperhatikan teks‐teks a‐Qur’an.
c. Fungsi Amil Zakat Menurut Al‐Qur’an
Pertanyaan yang mendasar adalah sejauhmana kewenangan amil yang diberikan
oleh al‐Qur’an. Pertanyaan ini, menarik dengan melihat praktek keagamaan yang pernah
dilakukan oleh nabi Rasul. Beliau mengutus Muadz bin Jabal, sebagai amil zakat.122
Menurut petunjuk Rasul, zakat itu diambil dari orang kaya (al‐agniyâiy) dan dilakukan
redistribusi (turaddu) kepada orang‐orang fakir (fuqarâ) atau orang yang
membutuhkannya. Melakukan redistribusi pendapatan, memiliki perbedaan dengan
melakukan pembagian zakat kepada mustahik begitu saja. Perbedaan itu terletak pada
yang disebut pertama mengandung nilai‐nilai pendayagunaan.
Berkaitan dengan kedudukan amil zakat yang amat penting dan dapat
dipandang sebagai suatu profesi, maka perlu dicermati pernyataan Rasul yang
menyamakannya dengan prajurit yang berjuang di medan perang‐ sampai ia bebas
tugas, kembali ke rumah ‐. 123 Ibnu al‐Salam memahami hadis ini, dengan
membandingkan profesi yang diemban oleh perajurit dengan amil. Menurutnya
keduanya mengemban aktifitas keislaman.124 Profesi keprajuritan menuntut adanya
kecakapan, ketahanan mental yang tangguh, kerjasama tim, kedisplinan dan loyalitas,
dan tentunya dalam profesi keamilan juga dituntut syarat‐syarat tersebut. Dengan
pandangan di atas, kiranya diperlukan telaah terhadap sumber ekonomi Islam yakni al‐
Qur’an dan Hadits berkaitan dengan fungsi‐fungsi yang diemban oleh amil zakat.
Penelusuran terdapat ayat al‐Qur’an baik yang menggunakan kata ’âmil dan
’âmilīn sebagaimana yang terdapat pada tabel 20 dan 21 menunjukkan adanya konsep
121M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, ( Yogyakarta: Titian Ilahi Press,
1998), h. 44. 122Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukahry, Śahih al-Bukhâry Jild II (Bairut: Dâr
Fikr, t.th), h. 120. 123Al-Ậmil ‘alâ al-sadaqah bi al-haq kalgâzī fī sabīlillah hattâ yarji’u. Abd.al-Qâsim
ibnu Salâm, Kitâb al-amwâl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 730. 124Abd.al-Qâsim ibnu Salâm, Kitâb al-amwâl, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 730.
yang terkait dengan fungsi amil. Pemahaman atas konsep yang dikandung oleh kata itu,
diketahui dengan mencari dimensi‐dimensi yang dikandung olehnya. Pemahaman atas
dimensi ini, didahului oleh pemahaman atas ide yang dapat dipahami secara langsung
terhadap konteks ayat yang di dalamnya terdapat kata ’âmil dan atau ’âmilin.
Pemahaman atas konsep‐konsep dimaksud, selanjutnya dinyatakan sebagai rumusan
fungsi amil. Fungsi amil mencakup. Pertama. motivator dan mengembangkan sikap
bekerja sesuai potensi. Pada QS. Hud /11:
93125 menginformasikan bahwa nabi Syuaib, mengajak kaumnya untuk menjadi pekerja,
sesuai dengan kesanggupan yang dimiliki karena ia (nabi Syuaib As) bertindak sebagai
pekerja (Amil) dan hasil suatu pekerjaan pasti diketahui. Sebagai amil ia berpotensi
untuk memberikan motivasi kepada mustahik untuk pengembangan etos kerja.
Keterkaitan etos kerja dan gambaran adanya hasil merupakan bagian pengembangan
motivasi bagi amil. Suatu pekerjaan akan berhasil jika secara internal pelakunya memiliki
bakat atas pekerjaan itu. Hal yang terakhir ini menjadi bagian tugas amil untuk
memahami bakat setiap mustahik guna dikembangkan melalui zakat yang diberkan
kepadanya.
Kedua. mustahik memperoleh kesejahteraan : spritual, material dan sosial.
QS. �li Imrân/3: 136126 menjelaskan bahwa bagi orang-orang yang bekerja (’âmilīn) akan
memperoleh balasan dari apa yang mereka kerjakan. Dari sisi fungsi amil mengandung
arti bahwa, dampak suatu pekerjaan akan dirasakan oleh amil sendiri dan tentu juga
oleh mustahik. Mustahik merasakan dampak (usaha amil) karena amil bekerja dengan
125
م إني عامل سوف تعلمون من يأتيه عذاب يخزيه ومن هو آاذب وارتقبوا إني وياقوم اعملوا على مكانتك معكم رقيب
”Dan (Dia berkata): "Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, Sesungguhnya akupun berbuat (pula). kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. dan tunggulah azab (Tuhan), Sesungguhnya akupun menunggu bersama kamu."
126Ayat Alquran:
4نهار خالدين فيها ونعم أجر العاملينأوالئك جزآؤهم مغفرة من ربهم وجنات تجري من تحتها األ
”Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.”
sungguh‐sungguh. Kata magfirah, dipahami sebagai kesejahteraan spiritual, jannât
dipahami sebagai kesejahteraan material, karena berpeluang untuk dinikmati sedang
khâlidīn fīha dipahami dengan keadaaan penghuni surga, menunjukkan bahwa
kehidupan mereka di sana mengandung aspek sosialisasi antar sesama penghuni.
Ketiga, amil berfungsi mengembangkan etika kerja mustahik. QS. Âli
Imrân/3: 195.127 Dalam ayat ini ditemukan pernyataan Allah ”yang tidak menyia‐
nyiakan amal orang‐orang yang beramal di antara kamu, ...” Pernyataan ini dipahami
sebagai sebuah gambaran etika yang seharusnya dicontoh oleh manusia termasuk amil
zakat dalam mengemban amanah zakat yang diberikan kepadanya Bagi amil zakat
memiliki kewajiban untuk mengantar mustahik mencontoh sifat amanah ini dan
menjadikannya sebagai etika bagi mustahik.
Keempat. amil berfungsi menciptakan kemandirian spritual dan rasional
QS. al‐Zumar/39: 74 128 Pada awal ayat ini terdapat pengucapan hamdalah yang
menunjukkan pada aspek kemandirian teologis, karena seseorang yang mengucapkan
kata ini menunjukkan ia memiliki apresiasi yang tinggi terhadap nikmat Allah atau
mensyukuri nikmat‐Nya. Pada dasarnya, kesyukuran yang dikembangkan seseorang
dipahami sebagai wujud dari kematangan spritual yang dimiliki. Selanjutnya,
127
هاجروا وأخرجوا من ديارهم فاستجاب لهم ربهم أنى آلأضيع عمل عامل منكم من ذآر وأنثى بعضكم من بعض فالذيندخلنهم جنات تجري من تحتها األنهار ثوابا من عند اهللا واهللا عنده وأوذوا في سبيلي وقاتلوا وقتلوا ألآفرن عنهم سيئاتهم وأل
حسن الثواب
”Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain[259]. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
128 عم أجر العاملينوقالوا الحمد لله الذي صدقنا وعده وأورثنا األرض نتبوأ من الجنة حيث نشآء فن
”Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang Telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan Telah (memberi) kepada kami tempat Ini sedang kami
(diperkenankan) menempati tempat dalam syurga di mana saja yang kami kehendaki; Maka syurga Itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal".
”pernyataan yang membenarkan” menunjukkan bahwa apa yang diketahuinya sekarang
melalui panca indera, merupakan pengulangan pengalaman terhadap panca indera
pada masa yang lalu dan proses ini merupakan suatu bagian dari penalaran.
Kelima, amil berfungsi mengembangkan kualitas mustahik dari sisi
teologis, sosial, dan kultural. QS. al‐’Ankabūt/29: 58129 Dalam ayat ini terdapat kata
âmanū yang memberikan petunjuk sebagai aspek teologis atau kepercayaan, ’amilû al-
sâlihât yang mengandung arti amal-amal shaleh dan memberikan petunjuk sebagai
aspek sosial kultural, karena perbuatan yang baik selain akan memberikan dampak
kepada orang lain juga diharapkan akan membentuk sebuah tradisi dalam kehidupan
masyarakat.
Dengan memperhatikan uraian di atas yang meliputi, makna kata ’âmil dalam al‐
Qur’an, pra syarat amil serta fungsi amil, dikaitkan dengan pendayagunaan zakat,
maka dipandang bahwa ia memiliki otoritas untuk melakukan kebijakan sebagai aplikasi
manajemen dalam pendayagunaan zakat. Keberadaan pra syarat amil di atas
mencerminkan bahwa, tidak semua kelompok masyarakat berpeluang untuk menempati
posisi amil. Dengan prasayarat itu menunjukkan bahwa terdapat standar minimal yang
harus dipenuhi dalam jabatan sebagai amil.
Fungsi amil, yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa amil tidak sekedar
membagikan zakat seperti yang dikemukakan di atas, tetapi ia memiliki otoritas untuk
mengembangkan masyarakat ke arah pencapaian kesejahteraan baik melalui instrumen
material, sosial dan spritual. Amat sulit mencapai kesejahteraan dengan tiga instrumen
ini, jika amil tidak melakukan kebijakan‐kebijakan organisasi pengelola zakat yang
terkait dengan aspek pendayagunaan.
5. Prinsip‐Prinsip Manajemen Pendayagunaan Zakat Pada Masa Rasul
a. Prinsip Desentralisasi
129
هم من الجنة غرفا تجري من تحتها األنهار خالدين فيها نعم أجر والذين ءامنوا وعملوا الصالحات لنبوئن العاملين
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Sesungguhnya akan kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang Tinggi di dalam
syurga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal”
Merujuk kepada hadis Rasul berkaitan dengan pengangkatan Muadz (w. 18 H)
sebagai amil di negari Yaman, yang memberikan tugas kepadanya untuk mengumpulkan
zakat dari orang‐orang kaya setempat untuk didistribusikan kepada masyarakat miskin
setempat, ”tu’khazu min agniyâihim waturaddu ilâ fuqarâihim” maka dapat dinyatakan
bahwa zakat ini mengandung prinsip desentralisasi. Desentralisasi ini dipahami sebagai
suatu kebijakan yang oleh pemegang kekuasaan dalam hal ini Rasul yang diberikan
kepada Muadz untuk mendayagunakan zakat pada kepentingan mustahik setempat.
Prinsip desentralisasi ini, dimaksudkan agar zakat setempat dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat lokal. Amin Suma menyatakan:
”... mengisyaratkan upaya kesejahteraan sosial berdasarkan sumber asal ekonomi –dalam hal ini zakat‐ itu sendiri. Maksudnya, Nabi memerintahkan Muadz supaya menggali potensi dana zakat yang ada di daerah Yaman untuk kesejahteraan sosial ekonomi rakyat Yaman itu sendiri. Tidak ada perintah Nabi kepada Muadz untuk mengirimkan dana zakat penduduk Yaman (sebagian atau seluruhnya) ke pemerintah pusat yang berada di kota Madinah...”130
Pandangan di atas, menunjukkan terdapat argumen ekonomi yang dapat
dipahami dari prinsip desentralisasi ini. Argumen ekonomi dimaksud yakni memberikan
peluang kepada masyarakat lokal untuk memperoleh kesejahteraan dari dana zakat.
b. Penegakan Disiplin Internal Amil Zakat
Penegakan disiplin bagi amil zakat oleh Rasul dilakukan dengan pola peneguran,
pengumuman di publik serta pencopotan jabatan. Berkaiatan dengan dua yang pertama
dapat dikemukakan hadis riwayat Ibn Sarh.131
130Muhammad Amin Suma, “Pengelolalan Zakat, h. 67-68. Informasi pengutusan
Muadz oleh Nabi ke Yaman lihat, Ibn Sa’ad, al-Tabaqât al-Kubrâ, Jilid III, (Bairut:Dâr Sâdr, 1985), h. 583. Jamâl Tsâbit, et. all., (Ed.). al-Sîrah al-Nabawiyyah yang dikenal dengan Sîrah
Ibn Hisyâm , Juz IV, (Qahirah: Dâr al-Hadîts, 1996), h. 214 131
ي حميد الساعدي أن حدثنا ابن السرح وابن أبي خلف لفظه قالا حدثنا سفيان عن الزهري عن عروة عن أباللتبية قال ابن السرح ابن الأتبية على الصدقة النبي صلى الله عليه وسلم استعمل رجلا من الأزد يقال له ابن
مد الله وأثنى عليه وقال ما فجاء فقال هذا لكم وهذا أهدي لي فقام النبي صلى الله عليه وسلم على المنبر فح أيهدى له أم لا لا امل نبعثه فيجيء فيقول هذا لكم وهذا أهدي لي ألا جلس في بيت أمه أو أبيه فينظربال الع
ا فله رغاء أو بقرة فلها خوار أو شاة تيعر يأتي أحد منكم بشيء من ذلك إلا جاء به يوم القيامة إن آان بعير 131ثم رفع يديه حتى رأينا عفرة إبطيه ثم قال اللهم هل بلغت اللهم هل بلغت
Hadis ini memberikan informasi berkaitan dengan sikap seorang amil yang
bernama Ibn Lutbiyah, yang menerima hadiah dalam melaksanakan tugas keamilan dan
melaporkan kinerjanya kepada Rasul. Dalam laporan itu disebutkan bahwa, ia
menyerahkan hadiah kepada Rasul sebagaimana ia sisihkan untuk dirinya sendirinya
sebagai bagian dari kinerja keamilan.
Berkaitan dengan sikap amil ini, Rasul melakukan tindakan yang dipandang
sebagai penegakan disiplin terhadap profesi keamilan. Demikian juga mengenai
penggantian amil seperti terungkap dalam pembahasan integritas amil sebagai prasyarat
amil.
c. Mempertegas zakat sebagai hak mustahik
Menurut asbâb al‐Nuzûl QS. al‐Taubah: 58 bahwa Rasul SAW membagi zakat,
makau datanglah Zul Khuwaisirah dan berkata hendaklah kamu bersikap adil. Rasul
menjawab, celakalah kamu, siapa lagi yang akan berbuat adil jika aku tidak berlaku adil.
Ayat ini turun untuk menjelaskan bahwa orang yang beranggapan bahwa Rasul tidak adil
adalah orang yang tidak mendapat bahagian zakat.132
Rasul mengambil kebijakan dalam pedayagunaan zakat dengan mempertegas
zakat sebagai hak kelompok mustahik Menurut Yasin Ibrahim al‐Syaikh, yang
didasarkan riwayat yang ada, ditemukan pendapatnya, yang dapat diidentifikasi sebagai
kebijakan berkaitan penegasan kelompok mustahik. Menurut riwayat Zayd 133
“Dari ibn Sarh dan ibn Khalf lafadznya keduanya berkata, dari Syufyan dari
Zuhri dari Urwah dari Abi Humaid al-Saidiy.Sesungguhnya nabi SAW mempekerjakan seorang lelaki dari Bani al-Azdi dengan nama ibn Lutbiyah. Ibn Sarh menyebutnya ibn
al-Utbiyah: untuk mengurus sedekah. Maka seusai melaksanakan pekerjaan itu, ia melaporkan kepada nabi danmengatakan “ini untuk tuan dan ini dihadiahkan untuk
saya”. Maka nabi berdiri ke mimbar, lalu Ia bertahmid kepada Allah dan memuji atasnya. Dan nabi bersabda, tidak patut seorang diutus sebagai “amil” lalu datang dan menyatakan
“ini untuk tuan dan ini dihadiahkan untuk saya”. Mengapa dia tidak duduk di rumah ibunya atau bapaknya, lalu dilihat apakah dia dihadiahkan atau tidak Tidak datang pada
hari kiamat seorang di antara kalian dari sesuatu mengenai hal yang demikian, melainkan ia bersamanya. Jika ia mengambil Unta, maka ia datang beserta dengan suaranya(unta),
atau sapi ia datang dalam keadaan mengaung, atau kamping ia dalam keadaan mengembek. Kemudian nabi menggangkat tangannya dan kelihatan kedua ketiaknya
yang putih dan berdoa, Ya Allah, apakah telah saya sampaikan.Ya Allah apakah telah saya sampaikan.” Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud. Juz II, h. 149.
132Abd Allah Muhammad ibn Ahmad al-Ansâry, al-Jâmi li ahkâm al-Qur’ân al-Karîm Tafsîr al-Qurtuby, (t.tp.: Dâr al-Ỉmân, t.th.), h. 164. Hal yang sama dalam Dahlan, et. al.,
Asbâb al-Nuzûl, (Bandung: Diponegoro, 2000), h. 267. Ayat yan dimaksud. QS. al-Taubah: 58
133”Menurut riwayat Zayd bin al-Sudda’î bahwa seorang lelaki datang kepada Rasul bertanya tentang zakat, nabi menyatakan bahwa ”Allah tidak menerima pertimbangan dari Rasul
menunjukkan bahwa Rasul mempertegas zakat sebagai hak kelompok mustahik. Sedang
kelompok mustahik telah ditetapkan oleh al‐Qur’an.
d. Prinsip Pertanggungjawaban
Berkaitan dengan prinsip pertanggungjawaban dalam pendayagunaan
zakat, dapat dikemukakan hadis Rasul yang diriwayatkan Ibn Suraih 134
Secara umum hadis ini menggambarkan proses pertanggungjawaban keamilan.
Rasul SAW mengkritik dalam arti tidak setuju atas perilaku amil yang telah menerima
hadiah dalam menjalankan tugas keamilannya. Dalam kitab ‘aun al‐ma’bûd disebutkan
bahwa hadis ini menunjukkan keharaman bagi “pejabat” untuk menerima hadiah yang
merupakan pelanggaran atas amanah dan penghianatan atas tugas yang telah
diberikan.135
Praktek pertanggungjawaban amil yang dicontohkan oleh Rasul di atas,
memberikan petunjuk: a. Amil wajib memberikan laporan pertanggungjawaban tentang
pendayagunaan zakat. Hal ini dapat diterima, karena ia telah menerima amanah zakat
maupun orang ketiga menyangkut pembagian zakat. Melainkan Allah yang menentukan penerima zakat.” Yasin Ibrahim al-Syaikh, Zakat, h. 130
134 ي حميد الساعدي أن النبي صلى حدثنا ابن السرح وابن أبي خلف لفظه قالا حدثنا سفيان عن الزهري عن عروة عن أب
اللتبية قال ابن السرح ابن الأتبية على الصدقة فجاء فقال هذا لكم الله عليه وسلم استعمل رجلا من الأزد يقال له ابن امل نبعثه فيجيء ه وقال ما بال العوهذا أهدي لي فقام النبي صلى الله عليه وسلم على المنبر فحمد الله وأثنى علي
ا يأتي أحد منكم بشيء من ذلك إلا فيقول هذا لكم وهذا أهدي لي ألا جلس في بيت أمه أو أبيه فينظر أيهدى له أم لا لرغاء أو بقرة فلها ا فلهجاء به يوم القيامة إن آان بعير
134اللهم هل بلغت خوار أو شاة تيعر ثم رفع يديه حتى رأينا عفرة إبطيه ثم قال اللهم هل بلغت
Dari ibn Sarh dan ibn Khalf lafadznya keduanya berkata, dari Sufyan dari Zuhri dari Urwah dari Abi Humaid al-Saidiy. Sesungguhnya nabi SAW mempekerjakan seorang lelaki dari Bani al-Azdi dengan nama ibn Lutbiyah. Ibn Sarh memanggilnya Ibn Atbiyah: untuk mengurus sedekaah. Seusai melaksanakan pekerjaan itu, ia melaporkan kepada nabi dan mengatakan “ini untuk tuan dan ini dihadiahkan untuk saya”. Nabi berdiri ke mimbar, lalu Ia bertahmid kepada Allah dan memuji atasnya. Nabi bersabda, tidak patut seorang yang diutus sebagai “amil” lalu
datang dan menyatakan “ini untuk tuan dan ini dihadiahkan untuk saya”. Mengapa dia tidak saja duduk di rumah ibunya atau bapaknya, lalu dilihat apakah dia dihadiahkan atau tidak. Tidak datang
pada hari kiamat seorang di antara kalian dari sesuatu mengenai hal yang demikian, melainkan ia bersamanya. Jika ia mengambil unta, maka ia datang beserta dengan suaranya (unta), atau sapi ia
datang dalam keadaan mengaung, atau kambing ia dalam keadaan mengembek. Kemudian nabi menggangkat tangannya dan kelihatan kedua ketiaknya yang putih dan ia berdoa, Ya Allah, apakah
telah saya sampaikan.Ya Allah apakah telah saya sampaikan. Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud. Juz II (Bairût: Dâr al-kutub al-’Ilmiyah, t.th), h. 149.
135Auinil Ma’bud. Juz VI, h.423. no. hadis 2557.
yang diberikan kepadanya. b. Bentuk pertanggungjawaban tidak hanya secara
administratif tetapi terkait dengan integritas keamilan itu sendiri. Keterkaitan integritas
keamilan dengan pertanggungjawaban, tampak dari sikap Rasul yang mengaitkan
kritikan itu dengan kondisi pada hari kemudian. c. Dengan doa yang dipanjatkan oleh
Rasul, menunjukkan bahwa, kiranya pertanggungjawaban itu, memberikan peluang bagi
publik untuk memberikan laporan berkaitan dengan perilaku amil.
B. Zakat sebagai instrumen Ekonomi Islam dalam Peningkatan Kesejahteraan Umat
Sub bab ini akan menjelaskan bahwa peningkatan kesejahteraan umat
berpeluang dicapai dengan menjadikan zakat sebagai sumber ekonomi. Dalam
pandangan ekonomi Islam, zakat dijadikan sebagai sumber ekonomi dan karenanya
membutuhkan pendayagunaan yang berbasis pada pengelolaan tertetu. Amil dalam
zakat mengandung konsep institusional dan dalam konteks kesejahteraan umat,
konsep instutusional ini dapat ditelaah lebih jauh untuk dinyatakan sebagai institusi
kesejahteraan.
1. Penger an dan Prinsip‐Prinsip Ekonomi Islam
a. Pengertian Ekonomi Islam
Kata Iqtisâd telah direlevankan dengan kata ekonomi dan mengandung arti
perilaku antara kikir dan boros136 Iqtisâd pada awalnya tersusun dari huruf qaf, sad dan
dâl serta mempunyai makna dasar salah satu di antaranya adalah melakukan
penabungan.137 Dalam QS. Fâtir/35: 32.138 terungkap tiga perilaku dan salah satu
perilaku adalah “pertengahan”.
136Dalam bahasa Arab istilah yang dipandang relevan dengan ekonomi diungkapkan
dengan al-iqtisad. Secara bahasa Arab ia diartikan dengan kesederhanaan, penghematan. Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) ,
h. 1124. Pandangan dengan perilaku di atas dikemukakan oleh al-Ragib al-Asfahany, Mufradât al-Fâz al-Qurân, (Damsyiq: Dâr al-Qalam, 1992), h. 672.Terkait dengan kata ini mengenai
ekonomi dapat dilihat dalam ’Ali ibn Muhammad al-Jam’at, Mu’jam al-Mustalahât al-Iqtisadiyyah wa al-Islâmiyyah, (Riyâd: Maktabah al- ’Ibkân, 2000, cet I), h. 69. Muhammad
Jalâl Sulaiman Sîdiq. Dawr al-Qîm fî Najâh al-Bunûk al-Islâmiyyah, (Qâhirah: al-Ma’had al-’Ăli li l-Fikr al-Islâmî, 1996, cet.I), h. 11.
137Abu Husain Ahmd ibn Fâris ibn Zakariyâ, Maqâyîs al-Lughah, Juz V, (t.tp.: Dâr al-Fikr, 1979), h. 95. Menurut kitab ini terdapat tiga makna dasar kata yang tersusun dari huruf-
huruf dimaksud yaitu, mendatangi ssuatu dan induk sesuatu, memotong. 138
إذن اهللا ذلك هم سابق بالخيرات بثم أورثنا الكتاب الذين اصطفينا من عبادنا فمنهم ظالم لنفسه ومنهم مقتصد ومن هوالفضل الكبير
Al-Fanjâri memberikan definisi tentang ekonomi Islam yaitu sebagai ilmu
yang menjadikan pertumbuhan dan mengatur aktifitas ekonomi Islam yang bersumber
dari pokok Islam.” 139 al-’Assâl menyatakan bahwa sebahagin ahli memberikan
pengertian ekonomi Islam yakni sekumpulan dasar‐dasar umum ekonomi yang dipahami
dari al‐Qur’an dan Sunnah serta dibangun dengan memperhatikan nilai yang terkandung
dalam dasar‐dasar tersebut sesuai dengan perkembangan lingkungan dan zaman..140
MM. Metwally menyatakan bahwa ekonomi Islam merupakan “ilmu yang mempelajari
perilaku muslim dalam suatu masyarakat yang mengikuti al‐Qur’an, Hadits Nabi
(Muhammad), Ijma dan
Qiyas.”141
b. Prinsip‐Prinsip Ekonomi Islam
Kata Prinsip secara etimologis adalah dasar; asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar
dalam berfikir, atau bertindak.142
Kata asl dan asâs yang direlevankan dengan prinsip, telah dipergunakan oleh al-Qur’an.
Kata yang pertama dipergunakan oleh Q.S. al-saffât 37/56: 64 yang menjelaskan bahwa pohon
zaqqūm berasal dari dasar neraka. Q.S. Ibrâhīm 14/72: 24 yang menjelaskan mengenai
perumpamaan kalimat yang tayyib "baik" seperti pohon yang akarnya tsâbit "teguh" dan
cabangnya menjulang ke langit; Q.S. al-Hasyr 59/101: 5 berkaitan dengan pohon kurma orang
“Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara
mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan[1260] dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”.
[1260] yang dimaksud dengan orang yang menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya, dan pertengahan ialah orang-orang yang kebaikannya
berbanding dengan kesalahannya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat
kesalahan. 139Muhammad Syaufî al-Fanjâri, Nahwu al-Iqtisâd al-Islâmi dalam Hamid Mahmûd
dan Abd Allah Abd Husain, al-Iqtisâd al-Islâm. Penerjemah M. Irfan Syafwani, (Yogyakarta: Megistra Insani Pres, 2004), h. 14.
140Ahmad Muhammad al-'Assâl dan Fati Ahmad ‘Abd al-Kar³m, al-Nidhâm al-Iqtisâd Fi al-Islâm Mabâdi’uh wa daf’uh, (Qâhirah: Maktabah Wahbah, 1977), h. 13-14.
141MM. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Penerjemah M.Husein Sawit, (Jakarta: Bangkit Daya Insani, 1995), h. 1.
142Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Putaka, 1990), h. 701. Dalam bahasa Inggeris Principle yang
berarti asas atau dasar. Lihat John M. Echols, Kamus Inggeris Indonesia, (Jakarta: Grmaedia, 1995), h. 447. Dalam bahasa Arab, prinsip diterjemahkan dengan al-mabâdi’ yang tunggalnya adalah al-mabda`, ia diartikan dengan asas atau dasar. Sedangkan kata al-asl diartikan dengan
pangkal. Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab… h. 63, 28. Kata al-asl tersusun dari huruf al-hamzah, sâd dan lam yang mempunyai arti dasar pangkal sesuatu. Abī Husain ibn Fâris ibn
Zakarîyâ , (t.tp.: Dâr al-Fikr, 1979, Juz I), h. 109.
kafir baik yang ditebang maupun yang dibiarkan hidup oleh orang Islam. Dari penggunaan al-
Qur’an atas kata yang berakar dari huruf hamzah, sâd dan lam diketahui bahwa semuanya terkait
dengan pohon. Baik pohon di dunia maupun pohon di akhirat. Selanjutnya diketahui bahwa salah
satu fungsi "asl" pada pohon adalah tsâbit. Kata ”tsâbit” dalam al-Qur’an dipergunakan sebanyak
19 kali dengan segala bentuknya.143
Kata asâs telah dipergunakan dalam al-Quran sebanyak 3 kali.144 Q.S. al-Taubah 9/113:
109. Penggunaan assasa ditemukan dua kali yakni pada keterkaitannya dengan taqwa dalam
membangun masjid dan orang yang membangun dengan dasar syafâ jurufin hâr di tepi jurang
yang runtuh. Kata ussisa ditemukan pada Surah yang sama 9/113: 108 masjid yang dibangun di
atas landasan taqwa adalah lebih berhak ditempati oleh kaum muslimin.
Dengan kata lain bahwa ketiga kata yang berasal dari asâs dalam al-Qur’an diungkap
dalam konteks pembangunan masjid baik yang dilaksanakan oleh orang munafik maupun orang
mukminin. Terdapat hal lain yang menarik di sini bahwa dalam kaitannya dengan pembangunan
masjid yang dilaksanakan oleh orang munafik, maka Allah memberikan pilihan kepada orang
mukmin untuk mendirikan salat dalam masjid yang dibangun di atas landasan taqwa ahaqqu ‘an
taqūma fīh. Atas dasar ini dipahami bahwa kata assasa lebih berisifat aplikatif, sehingga kata ini
merupakan perilaku sedang kata "asl" mengandung konsep paradigma atau landasan berfikir.
Tegasnya bahwa, kata "asl" menggambarkan landasan berfikir, sedang kata "assasa" lebih bersifat
pengambilan kebijaksanaan.
Dalam kaitan dengan pembahasan ini, maka nampak yang lebih relevan adalah kata asl.
Yakni sebagai landasan berfikir dalam ekonomi.
Dalam wacana ekonomi Islam, tampaknya ulama dan cendekiwan muslim telah
memberikan prinsip-prinsip mengenai ekonomi. Di antaranya uraian Quraish Shihab yang
menetapkan empat prinsip dalam ekonomi: tauhid, keseimbangan, kehendak bebas dan
tanggungjawab.145 Selanjutnya, dalam menetapkan etika bisnis ia merincinya: (a) Kejujuran, (b)
Keramahtamahan; (c) Penawaran yang jujur; (d) Pelanggan yang tidak sanggup membayar diberi
waktu; (e) Penjual hendaknya tidak memaksa pembeli dan tidak bersumpah dalam menjual; (f)
Tegas dan adil dalam timbangan dan takaran; (g) Tidak dibenarkan monopoli; (h) Tidak
dibenarkan adanya harga komoditi yang boleh dibatasi; (i) Kesukarelaan.146
Selanjutnya Abd.Muin Salim memberikan uraian mengenai prinsip-prinsip filosofis
ekonomi Qurani yaitu: (a) Tauhid; (b) Istikmâr atau istikhlâf; (c) Kemaslahatan (al-silâh) dan
keserasian (al-‘adâlah); (d) Keadilan (al-qist); (e) Kehidupan sejahtera dan kesentosaan dunia
akhirat.147 Menurut Taqiy al-Dīn al-Nabhânī bahwa asas sistem ekonomi Islam adalah : (a)
143Fu’âd Abd. Al-Bâqī, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur’ân al-Karīm, (Qâhirah:
Dâr al-Hadīts, 2001), h. 201-2. 144Fu’âd Abd. Al-Bâqī, al-Mu’jam al-Mufahras, h. 43.
145M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), h. 409. 146M. Quraish Shihab, “Etika Bisnis dalam Wawasan Alquran” dalam Jurnal Ulum
Alquran, No.3 VII/1997, h. 5-9. 147Abd. Muin Salim, “Ekonomi dalam Perspektif Alquran”.Makalah pada seminar Tafsir
Hadis Fak. Syari’ah IAIN Ujungpandang, 1994. , h. 1-4.
v
kepemilikan (property); (b) Pengelolaan (tasarruf); (c) pendistribusian kekayaan ke tengah
manusia.148 Ahmad M. Saefuddin menetapkan tiga asas pokok filsafat ekonomi Islam, yaitu: (a)
Sumber kekayaan adalah Allah; (b) Allah Esa dalam mencipta makhluk dan semua makhluk-Nya
tunduk kepada-Nya; (c) Kesinambungan kehidupan dunia dan akhirat.149
Ahmad Muhammad 'Assâl memberikan uraian mengenai prinsip-prinsip
ekonomi dengan memperhatikan ayat dan hadis di antaranya : (a) Segala usaha adalah asalnya
boleh; (b) Kehalalan jual beli dan keharaman riba; (c) Hasil pekerjaan adalah untuk yang bekerja
dan tak ada berbedaan dalam hal upah mengenai laki-laki dan perempuan; (d) Pemimpin harus
dapat mengembalikan distribusi kekayaan ke dalam masyarakat jika terjadi ketidakseimbangan di
dalam masyarakat; (e) Keharaman penganiayaan dalam Islam.150 Uraian yang diberikan olehnya
adalah memberikan contoh atas ayat dan hadis yang berkaitan dengan ekonomi dan selanjutnya
memahaminya untuk merumuskan prinsip ekonomi. Uraian yang diberikan sebagaimana dalam
buku dimaksud tampaknya tidak mencakup seluruh prinsip yang dikehendaki oleh al-
Qur’an dan hadis
sebab, uraiannya hanya terbatas pada ayat-ayat dan hadis yang diangkat sebagai contoh.
Al-Salūsi mempergunakan kata mabâdi’ untuk menggambarkan prinsip ekonomi Islam.
Menurutnya terdapat tiga prinsip ekonomi Islam yaitu: (a) kepemilikan yang dualisme yakni
umum dan khusus; (b) mengandung jaminan sosial serta; (c) menganut kebebasan terikat.151 MM.
Metwalliy menetapkan prinsip ekonomi Islam pada 6 pilar yaitu: (a) Semua jenis sumber daya
merupakan titipan Allah kepada manusia; (b) kepemilikan manusia dibatasi oleh hak yang bersifat
umum serta pemanfataan sumber daya harus pada batas yang dibenarkan agama Islam; (c)
Kekuatan penggerak ekonomi adalah kerjasama; (d) Fungsi kepemilikan manusia akan mendorong
kesejahteraan individual dan masyarakat secara luas; (e) Kepemilikan umum diperuntukan bagi
kesejahteraan masyarakat secara luas; (f) Dalam kegiatan ekonomi, harus didorong ketaqwaan
kepada Allah.152
Dengan memperhatikan pandangan tersebut, tampak pandangan itu tidak saling
bertentangan. Walaupun demikian, untuk keperluan pembahasan ini, maka pembahasan akan
mengacu pada pandangan Abd. Muin Salim dengan memberikan formulasi berupa penambahan
uraian.
Pertimbangan pemilihan pandangan ini, karena pandangan M. Quraish Shihab sebahagian
dapat dimodifikasi ulang untuk dimasukkan dalam pandangan Abd. Muin Salim. Demikian juga
148Taqiy al-Dīn Al-Nabhânī, Al-Nizâm al-Iqtisâd fī al-Islâm, diterjemahkan oleh M.
Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 50. 149Ahmad M. Saefuddin, Studi Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Media
Da'wah, 1984), h. 19-35. 150 Ahmad Muhammad Al-'Assâl dan Fati Ahmad ‘Abd al-Kar³m, al-Nidhâm al-Iqtisâd
Fi al-Islâm Mabâdi’uh wa daf’uh, diterjemahkan oleh Abu Ahmad dan Anshar Sitanggal, “Sistem Ekonomi Islam Prinsip-Prinsip dan Tujuan-Tujuannya”, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 11-13.
151‘Alī Ahmad al-Salūsi, Mausu’ah al-Qadâya al-Fiqhiyyah al-Mu’ashirah wa al-Iqtisâdi al-Islâmī, (Mesir: Dâr al-Qur’an, 2002, cet. VII), h. 36.
152MM. Metwallly, Teori dan Model Ekonomi Islam, M.Husen Sawit Penerjemah. (Jakarta: Bangkit Daya Insani, 1995), h. 5-6.
pandangan A.M. Saefuddin, Taqiy al-Dīn al-Salūsi, Metwally kelihatannya dapat saja diakomodir
pada pandangan Abd. Muin
1) Tauhid
Dalam kaitannya dengan keesaan Allah SWT, Ibn Taymiyah menyatakan bahwa semua
makhluk Allah adalah fakir dan membutuhkan kepada apa yang bermanfaat padanya serta
menghindarkan diri apa yang membahakannya. Oleh karena Dia merupakan tempat meminta dan
bermaksud kepada-Nya bagi seluruh
makluk-Nya.153
Dalam al-Qur’an ditegaskan mengenai keesaan Allah QS al-Ikhlâs 112/22: 1-4. Di sana
disebutkan mengenai keesaan Allah dalam arti esa sebagai satu-satunya yang harus dijadikan
objek mengharap (dalam segala hal); tidak beranak dan tidak diperanakkan; serta tak satu pun
makhluk yang setara dengan-Nya. Menurut Quraish Shihab, tauhid bahwa mengantar manusia
untuk mengakui bahwa keesaan Allah merupakan sumber atas segala sesuatu. Dari sini diyakini
oleh seorang muslim bahwa harta benda yang sedang dan akan dimilikinya merupakan milik
Allah.154
Al-Qur’an berbicara mengenai rezki, antara lain Q.S. al-Saba 34/58: 36. Dalam ayat ini
Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya (Muhammad) untuk mengatakan bahwa dalam kekuasaan
Rab mengenai kelapangan dan penyempitan rezki. Selain itu, Q.S. Ibrâhīm 14/72: 35-37, Doa Nabi
Ibrâhīm kepada Rab agar Mekah dijadikan sebagai kota yang aman, yang merupakan lokasi
anaknya ditempatkan, serta anaknya dianugerahkan rezki dari buah-buahan.
Menarik untuk dikaji mengenai apa yang dimaksud dengan rezki sebagai kata yang terkait
secara langsung dengan ekonomi. Kata razaqa berakar dari huruf ra, zai dan qaf yang mempunyai
arti dasar pemberian yang terkait dengan waktu dan kemudian mengalami perkembangan tidak
lagi terkait dengan waktu.155
Dilihat dari sisi kronologis surah, maka Q.S. al-Fajr 89/10: 15 memuat kata "rizq" sebagai
yang pertama disebut dalam al-Qur’an. Dilihat dari sisi konteks ayat tersebut merupakan
sanggahan Allah kepada orang yang menyangka bahwa rezki merupakan kemuliaan dan
kemiskinan adalah kehinaan. Padahal sesunguhnya rezki adalah ujian dari Allah SWT. Di sini
frasa faqaddara alaihi rizqah- "membatasai rezki" berhadapan dengan frasa fa akramah- wa
na'amah- "dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan". Perbedaan dua keadaan tersebut,
merupakan indikasi yang dipergunakan seseorang dalam melihat rahmat Allah.
Pola pikir mereka adalah terkait dengan sikap hedonistik yang mereka miliki yang sejalan
filsafat materialistik. Bahwa segala sesuatu harus diukur dengan materi sehingga kebahagiaan dan
kesusahan harus diukur dari sisi harta. Dilihat dari sisi konteks ayat ini, tampaknya ayat
sebelumnya (pada surah yang sama ayat 7-13) berkaitan dengan pola pikir Kaum ‘Ăd, Tsamûd dan
153Abd.Rahmân ibn Muhammad ibn Qâsim, Majmu’ Fatawâ Syaikh Islam Ibn al-
Taymiyah, Jilid I, (t.tp.:tp.,t.th.), h.22. 154Abd.Rahmân ibn Muhammad ibn Qâsim, Majmu’ Fatawâ Syaikh… Jilid I, h. 409-
410. 155Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Maqâyîs … Juz IV, h. 388.
Fir'aun yang kesemuanya hidup dalam keadaan megah dan berbuat sewenang-wenang.156 Apa
yang dapat dipahami dari uraian tersebut dalam kaitannya dengan ketauhidan dalam prinsip
ekonomi Islam memberikan implikasi bahwa sumber ekonomi adalah Rab al-‘Ălamîn dan bukan
dari manusia itu sendiri terlebih lagi bukan pada alam. Di sini secara tegas tertolak falsafah kaum
sosialis yang menyatakan bahwa hidup adalah materi dan materilah yang menggerakkan
kehidupan dan agama hanyalah takhayyul.157
Penggunaan sumber daya manusia dan alam dalam kaitannya dengan pelaksanaan
kegiatan ekonomi pada hakekatnya merupakan suatau upaya untuk memperoleh rezki dari Allah.
Pemberian rezki sebagai hasil kegiatan ekonomi oleh Allah kepada manusia, merupakan
perwujudan sifat Rab Tuhan.
Dilihat dari kronologis penggunaan kata rab, Q.S. al-‘Alaq 96/01 merupakan yang
pertama dalam Al-Qur’an. Perintah membaca dalam ayat pertama surat ini dan sekaligus perintah
pertama dalam sejarah agama Islam, terkait dengan penyebutan nama Tuhan. Quraish Shihab
menyatakan bahwa ayat tersebut dimaksudkan bahwa bacalah atas nama Tuhanmu.158 Selanjutnya
oleh ‘Abd al-Halîm Mahmûd sebagai dinyatakan Quraish bahwa kata Iqra’ diartikan
secara luas olehnya sehingga berarti tidak sekedar memerintah membaca tetapi
membaca adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia.159
Pernyataan ini dapat saja diterima, mengingat secara etimologis kata iqra’ berasal qara’a
yang hurufnya tersusun dari huruf qaf, ra dan mu'tal yang mempunyai arti pokok menghimpun.
Dari kata ini lahir qarya yang diartikan sebagai desa atau kampung, sebab di dalamnya terjadi
kegiatan penghimpunan orang.160
Selain menggambarkan perintah untuk melaksanakan aktifitas manusia dengan atas nama
Tuhan "Rab" pada ayat 2 ditemukan pernyataan Tuhan bahwa manusia diciptakan dari al-‘Alaq.
Kata al-‘Alaq tersusun dari huruf ‘ain, lam dan qaf mempunyai arti dasar yang mengacu pada
"bergantungnya sesuatu pada yang tinggi".161
Dalam hal yang pertama manusia tidak dapat hidup dengan sendirinya ia banyak terkait
dengan manusia lainnya. Dalam arti yang lebih luas manusia melakukan interaksi dengan
lingkungan di mana mereka berada. Dengan pandangan ini, maka dipahami bahwa hubungan
manusia dengan sesama manusia bahkan makhluk lainnya yang merupakan sumber-sumber
156Istilah ’Ăd dalam bahasa Ibrânî merupakan bahasa Semit tertua "artinya tinggi dan
masyhur". Diperkirakan mereka hidup sebelum 300 tahun sebelum masehi. Mereka adalah bangsa yang berjaya pada masanya mereka dinilai sebagai pendiri kebudayaan yang tertua di dunia. Asia
dan Afrika merupakan pusat kegiatan mereka yang ditandai dengan pembangunan gedung dan arsitektur mereka. Lihat Sayid Muzaffaruddin Nadvi, A Geografhical History of The Qur'an,
diterjemahkan Jum'an Basalim "Sejarah Geografi Qur'an" (t.tp.: Pustaka Firdaus, 1997), h. 96, 116-117.
157Tahir Abd al-Muhsini Sulaiman, ‘Ilaj al-Iqtisdiyyah fi al-Islâm, diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal "Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam" (Bandung: Al-Maarif,
t.th), h. 40. 158M. Quraish Shihab, Tafsir Amanah, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1992), h. 14.
159M. Quraish Shihab, Tafsir Amanah, h. 14. 160 Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Maqâyîs... Juz V h. 78. Ahmad Warson
Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia h. 1115. 161 Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Maqâyîs... Juz IV h. 125.
ekonomi adalah hubungan dalam arti sosio ekonomi. Dalam arti yang kedua bahwa, manusia
mempunyai potensi dan sikap keterkaitan yang sangat erat dan bahkan menentukan eksistensinya
dengan keterkaitannya dengan taturan-aturan agama.
Dengan demikian manusia sebagai makhluk sosio-ekonomi hanya dapat berjalan dengan
baik dan eksis jika makhluk ini diatur dengan aturan yang menempatkan rab sebagai sumber
dalam pelaksanaan fungsi manusia sebagai makhluk sosio ekonomik, yang secara implisit menolak
anggapan bahwa sumber asasi kehidupan adalah alam dan manusia serta makhluk lainnya. Oleh
Didin menyatakan bahwa aktifitas ekonomi yang dikembangkan selain harus dalam kerangka
kepatuhan kepada-Nya yang meliputi mekanistik dalam alam dan kehidupan sosial
tetapi juga etis dan moral.162
2) Istikhlâf
Q.S. Sâd 38/38: 26163 Ayat ini memberikan informasi mengenaii pengangkatan khalifah
bagi nabi Daud. Selanjutnya kepadanya diperintahkan oleh Allah untuk memutuskan perkara
dengan adil di kalangan manusia. Selanjutnya ia dilarang untuk mengikuti hawa nafsu. Sebab
sikap mengikuti hawa nafsu akan mengantar pada kesesatan atas petunjuk Allah dan akibatnya
akan memperoleh siksaan di hari kemudiaan.
Klausa pertama dalam ayat tersebut berbicara mengenai pengangkatan khalifah nabi
Daud dan konsekwensi logis jabatan tersebut untuk memutuskan perkara secara adil.164 Di sini
nampaknya terdapat hubungan yang logis antara jabatan dan pembuatan keputusan dengan kata al-
Haq. Huruf fa dalam fahkum baina al-nâs,165 yang merupakan huruf fa sababiyah menunjukkan
adanya hubungan pengangkatan kahalifah dengan pemutusan perkara.
Kata khalifah berakar dari kata khalafa yang hurufnya tersusun dari kha, lam dan fa serta
mempunyai tiga arti dasar : mengganti, belakang, dan perubahan. Dan yang diuraikan di sini, arti
sebagai "pengganti".166
Dilihat dari sisi kronologis, kata khalifah dalam ayat ini merupakan ayat yang pertama
yang berbicara dengan khalifah dibanding dengan pembicaraan khalifah dalam konteks dialog
Allah dengan malaikat. Ini mengisyaratkan bahwa penegakan aturan Allah diberikan wewenang
162Didin Hafidhuddin Ma’turidi, Peran Pembiyaan Syari’ah dalam Pembangunan
Pertanian di Indonesia, Orasi Pengukuhan Guru Besar ( Bogor: IPB, 2007), h. 16. 163
عن ياداود إنا جعلناك خليفة في األرض فاحكم بين الناس بالحق والتتبع الهوى فيضلك سبيل اهللا إن الذين يضلون عن سبيل اهللا لهم عذاب شديد بما نسوا يوم الحساب
“Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari
perhitungan.” 164Muhammad ibn Ahmad al-Ansâry al-Qurtuby, al-Jâmi’li Ahkâm al-Quran Juz
XV, (t.tp.:t.p. t.t), h 188-189. 165Huruf fa mempunyai makna kausal, lihat Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan
Politik Dalam Al-Quran(Jakarta: Grafindo Persada, 1995), h. 116. Badr al-Din Muhammad bin ‘Abd Allah Al-Zarkasy, Al-Burhân fi ‘Ulûm Al-Qur’ân, Juz IV, (Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-
Araby, t.th.), h. 298. 166 Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Maqâyîs, Juz I, h. 210.
kepada jabatan khalifah untuk melaksanakannya. Tegasnya bahwa tugas kehalifahan sebagai
"pengganti" adalah melaksanakan aturan-aturan yang dikehedaki oleh Allah SWT.
Dalam konteks sebagai prinsip ekonomi Islam, Istikhlaf atau kekhalifahan merupakan
kewenangan bagi manusia untuk mengembangkan kegiatan ekonomi sesuai dengan perintah Allah
SWT. Selanjutnya, dalam ayat di atas, terdapat larangan untuk mengkuti hawa hafsu, dalam
mengambil sebuah keputusan. Ini menunjukkan bahwa dalam mengemban kekhalifahan dalam
bidang ekonomi, kiranya aturan-aturan ini tidak bersumber dari hawa nafsu tetapi harus didasarkan
pada wahyu. Penyimpangan dari pandangan ini akan membawa akibat buruk dalam kehidupan
manusia.
Posisi manusia sebagai khalifah dalam konteks ekonomi, kiranya menolak pandangan
yang menempatkannya sebagai objek ekonomi,167 karena dengan pandangan ini akan mengantar
pada jatuhnya martabat manusia sebagai mahluk yang paling mulia.
Dalam konteks menjaga martabat ini, al-Qur’an melarang untuk melakukan pembunuhan
kepada manusia dengan alasan ekonomi. QS al-Isra’
17/50: 31 dan QS. Al-An’am 6/55: 151168
3) Kemaslahatan (al-Salâh)
Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan kemaslahatan adalah QS. Al-A'raf 7/39: 56.169
Ayat ini mengandung larangan Allah kepada manusia untuk tidak melaksanakan kerusakan setelah
Allah melaksanakan perbaikan di atas dunia. Al-Tabary, menafsirkannya dengan larangan
167Dalam tradisi perbudakan manusia, ditempatakan sebagai barang komoditas, dan tuannya memilik hak ekonomi untuk melakukan transaski dengan orang lain. Demikian juga
dalam tradisi penjualan manusia. 168 والتقتلوا أوالدآم خشية إمالق نحن نرزقهم وإياآم إن قتلهم آان خطئا آبيرا
”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”
لوا أوالدآم من قل تعالوا أتل ماحرم ربكم عليكم أالتشرآوا به شيئا وبالوالدين إحسانا والتقت
ياهم والتقربوا الفواحش ماظهر منها ومابطن والتقتلوا النفس التي حرم إمالق نحن نرزقكم وإ اهللا إالبالحق ذلكم وصاآم به لعلكم تعقلون
”Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah
terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. demikian itu yang
diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” 169
والتفسدوا في األرض بعد إصالحها وادعوه خوفا وطمعا إن رحمت اهللا قريب من المحسنين
”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
mempersekutukan Tuhan dan mendurhakainya di dunia ini.170 Muhammad Rasyd Rida
menyatakan bahwa janganlah melaksanakan suatu perbuatan yang dapat mendatangkan mudharat
dan janganlah membuat hukuman yang menyalahi akal manusia dan i'tikad mereka baik bersifat
individu maupun sosial dalam kehidupan mereka seperti dalam bidang pertanian dan
perindustrian.171
Dua pendapat tersebut mempunyai perbedaan pendekatan. Pedekatan al-
Tabary secara teologis, berimplikasi pada adanya perbuatan merusak di bumi ini jika manusia
mengembangkan kehidupan yang berdasarkan kekufuran baik dalam bentuk kemusyrikan maupun
mendurhakai Tuhan. Sebaliknya Rasyd Rida dengan pendekatan yuridisnya melarang untuk
mengembangkan suatu hukum yang dapat menghalangi manusia sebagai mahluk sosial ekonomik.
Dua pendekatan tersebut, kelihatannya belum mengungkap makna yang terkandung dari
dua kata sebagai obyek kajian yaitu tufsidû dan Islâhihâ Kata pertama berakar dari huruf fa, sin
dan dal mempunyai arti merusak.172 Al-Râgib menyatakannya sebagai perbuatan yang
menyimpang dari keadilan baik secara maksimal maupun minimal serta diantonimkan dengan al-
silâh.173 Menurutnya bahwa pemanfaatan terma tersebut ditemukan dalam dimensi perbuatan yang
berkaitan jiwa, negeri, hal-hal yang terkait dengan penyimpangan pada sikap istiqâmah atau
inkonsistensi (al-Asyyâ a l-khârijah ‘an al- Istiqâmah) .174
Kata yang berasal dari fasada berlawanan dengan al-sâlihât ditemukan pada Q.S. Sâd
38/38: 28 dalam ayat ini Allah berfirman bahwa patutkah kami mempersamakan orang-orang
yang beriman dan berbuat amal saleh (‘âmil- al-sâlihât) dengan orang yang melaksanakan
kerusakan (al-mufsidîn) dan orang yang muttaqîn (al-muttaqîn) dengan orang yang al-fujjâr (ka
al-fujjâr).175 Dari sini diketahui bahwa kata âmanû wa ‘amilu al-salihat diperhadapkan dengan al-
mufsidîn. Dan al-muttaqîn dengan al-Fujjâr.
Dengan mengikuti pandangan Rasyid Ridâ yang cenderung pada pemanfaatan alam untuk
memperoleh kemaslahatan dan bukan kemudaratan, dikaitkan dengan aktifitas ekonomi, maka
hubungan manusia dengan alam perlu dielaborasi.
Dua ayat yang dikemukakan yaitu QS. al-Jâtsiyah/45: 12-13 176 berbicara akan
keterlibatan Allah dalam menundukkan sumber daya alam untuk kepentingan manusia. Menarik
170 Abû Ja’far ibn Muhammad ibn Jarîr al-Tabary, Jâmi al-Bayân ’an Ta’wîl Ăyât al-
Qur’ân, Jilid V, (t.tp.: t.p., t.th), h. 515. 171 Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Qur’ân al-Hakîm al-Masyhûr al-Manâr Juz VIII,
(Refrint, Bairut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, 2005), h. 470. 172 Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Maqâyîs... Juz IV, h. 503.
173 Al-Ragib al-Asfahany, Mufradât al-Fâz... h. 636. 174Al-Râgib al-Asfahany, Mufradat al-Fâz… h. 636.
175 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 736. 176
نرواهللا الذي سخر لكم البحر لتجري الفلك فيه بأمره ولتبتغوا من فضله ولعلكم تشك
”Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia -Nya dan Mudah-mudahan kamu bersyukur.”
untuk dikaji mengenai kata sakhar dalam ayat di atas. Kata ini tersusun dari huruf sin dan kha
serta ra yang memiliki makna dasar berperilaku lurus dalam hal memandang rendah dan tunduk.177
Al-Râgib menyatakan mengadung hubungan pemaksaan.178
Kandungan kata sakhar itu yang lebih menekankan pada aspek pemaksaan yang
didasarkan sikap memandang rendah merupakan bagian dari kekuasaan Allah. Ini menunjukkan
bahwa secara teologis sifat bagi objek yang ditundukkan itu jauh lebih rendah dibanding dengan
yang menundukkannya. Dari sisi ini dapat dipahami bahwa pandangan dari sisi teologis dipahami
jika pola hubungan antara sumber daya alam dengan Allah merupakan pola ketundukan. Dengan
kata lain, pemanfaatan oleh manusia terhadap sumber daya alam, tidak dapat didasarkan sebagai
bagian dari kekuasaan manusia, tetapi justru karena Allah yang menundukkan alam itu.
Pandangan yang menetapkan pola hubungan sumber daya alam dengan manusia sebagai
pola penguasaan merupakan suatu pandangan yang secara teologis bertentangan dengan Islam dan
dengan demikian dipandang bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam. Implikasi pola hubungan
pengusaan antara alam dan manusia, membawa implikasi pada kecenderungan manusia untuk
memanfaatkan sumber daya alam dengan sebanyak-banyaknya dengan didorong oleh rasa
kepemilikan. Pada hal pemanfaatan sumber daya alam bagi manusia harus didasarkan pada pola
anugerah Allah kepada manusia. QS. Al-Baqarah /2: 29179
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa segala yang ada di bumi ini diciptakan untuk
manusia. Pemberian kewenangan kepada manusia untuk dimanfaatkan olehnya, dipandang sebagai
anugerah yang diberikan oleh-Nya kepada manusia.
4) Distribusi Pendapatan
Dalam Islam, kekayaan dilarang untuk bertumpuk pada kelompok tertentu sebagaimana
dalam QS. Al-Hasyr 59/101: 7180
وسخر لكم مافي السماوات ومافي األرض جميعا منه إن في ذلك أليات لقوم يتفكرون
”Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” 177Abu Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Juz III, h. 144.
178Al-Râgib al-Asfahâny, Mufaradât al-Fâd … h. 402. Quraish menyatakan bahwa "Allahmenundukkan semua untuk manusia,agar dia tunduk kepada yang ditundukkan itu, tetapi
hanya kepada yang menundukkan. Sungguh buruk nda tunduk kepada siapa yangditundukkan buat Anda. Demikian komentar sementara ulama". M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 13
(Jakarta: PSQ, 2003), h. 41 179
كل هو الذي خلق لكم ما في األرض جميعا ثم استوى إلى السمآء فسواهن سبع سماوات وهو ب شيء عليم
”Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.”
180
لرسول ولذي القربى واليتامى والمساآين وابن مآأفآء اهللا على رسوله من أهل القرى فلله ولانتهوا واتقوا السبيل آي اليكون دولة بين األغنيآء منكم ومآءاتاآم الرسول فخذوه ومانهاآم عنه ف
اهللا إن اهللا شديد العقاب
Menurut Didin salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya kesenjangan dalam
kehidupan sosial ekonomi, karena tidak adanya distribusi yang jelas. Islam menetapkan zakat,
infak dan sedekah sebagai bagian dari instrumen distribusi.181 Prosedur instrumen ini, telah diatur
dalam Islam. Satu dari instrumen itu yakni zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib
dilaksanakan bagi pemilik harta yang telah memenuhi ketentuan agama. Instrumen lainya
merupakan pilihan bagi pemilik harta untuk menggunakannya.
Dilihat dari sisi fungsional, instrumen ini merupakan pengembangan dari tanggungjawab
sosial.182 pemilik harta kepada masyarakat tertentu. Pengembangan tanggungjawab ini penting,
karena dua hal: Pertama ekonomi Islam menganut konsep ketidakpastian. Konsep ketidakpastian
ini mengandung arti bahwa Allah sebagai pemilik waktu dan irâdat (kemauan) dan manusia
diberikan waktu (kesempatan) oleh-Nya.183 Kemampuan secara potensial untuk berusaha secara
ekonomi maka secara empirik menunjukkan bahwa, manusia dalam berusaha memiliki peluang
untuk mengalami kegagalan.
Jaminan sosial dalam Islam, tidak dapat dipandang sebagai bagian untuk mereka yang
dilanda masalah sosial ekonomi, tetapi merupakan persiapan pemilik harta dalam mengarungi
ketidakpastian ini.
Kedua, mengembangkan kesetiakawanan sosial. Pengembangan ini penting karena,
selain karena secara kodrati manusia merupakan makhluk sosial dan ekonomi,184 dan dengan
”Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” 181Didin Hafiduddin Ma’turidi, Peran Pembiyaan Syari’ah dalm Penbangunan Pertanian
di Indonesia, h. 16. 182Muhammad Amin al-Sya’râni menyatakan bahwa sistem jaminan sosial dalam Islam
berbeda dengan jamina sosial dalam era kontemporer. Islam mengembangkan hal-hal yang bersifat material sebagaimana yang dikembangkan dalam jaminan sosial kontemporer, namun ia juga
merupakan upaya untuk mendekatkan kepada Tuhan. Muhammad Amin al-Sya’râni. Al-Damân al-Ijtimâ’iy fî al-Islâm, (Riyâd: t.tp., 1975), h. 11.
183QS.al-Kahfi 18/69 : 23-24, melarang orang Islam untuk menyatakan sesuatu yang akan dikerjakan besok tanpa menyebut kata Insya Allah.
والتقولن لشيء إني فاعل ذلك غدا”Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya Aku akan
mengerjakan Ini besok pagi,” اإآل أن يشآء اهللا واذآر ربك إذا نسيت وقل عسى أن يهديني ربي ألقرب من هذا رشد
”Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah"[879]. dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang
lebih dekat kebenarannya dari pada ini". [879] menurut riwayat, ada beberapa orang Quraisy bertanya kepada nabi Muhammad
s.a.w. tentang roh, kisah ashhabul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain lalu beliau menjawab, datanglah besok pagi kepadaku agar Aku ceritakan. dan beliau tidak mengucapkan
Insya Allah (artinya jika Allah menghendaki). tapi kiranya sampai besok harinya wahyu terlambat datang untuk menceritakan hal-hal tersebut dan nabi tidak dapat menjawabnya. Maka turunlah ayat
23-24 di atas, sebagai pelajaran kepada Nabi; Allah mengingatkan pula bilamana nabi lupa menyebut Insya Allah haruslah segera menyebutkannya kemudian.
184Manusia sebagai makhluk dipahami dari QS. Al-Mâidah 5/112: 2 tentang ”perntah tolong menolong dalam kebaikan”. Sebagai makhluk ekonomi dipahami dari QS. al-Nisa 4/92: 29
demikian sifat kodrati ini diwujudkan dalam bentuk membantu orang lain Kegagalan mewujudkan
sifat kodrati ini bagi orang yang berpunya akan mengancam lahirnya suatu kelompok masyarakat
yang miskin.185
5) Kehidupan Sejahtera Dunia-Akhirat
Ayat yang relevan dengan pembahasan ini antara lain adalah QS. Al-Baqarah 2/87:
201186Ayat ini dan ayat sebelumnya, mengemukakan dua kelompok yang berbeda mengenai
orientasi dalam kehidupan ini. Pada ayat sebelumnya kelompok tertentu, menghendaki orientasi
kehidupan hanya terbatas pada perolehan kebahagiaan untuk kepentingan dunia semata dan pada
ayat di atas, kelompok lainnya menginginkan perolehan kebahagian diorientasikan pada
kehidupan dunia dan akhirat.
Ayat ini merupakan landasan orientasi seorang muslim dalam melaksanakan aktifitas
termasuk di dalamnya aktifitas dalam bidang ekonomi. Dalam aktifitas ekonomi orientasi tidak
ditujukan untuk memperoleh harta atau penambahan modal semata, tetapi kegiatan ekonomi harus
mendorong seseorang untuk memperoleh kebahagian di dunia dan akhirat.
Karakteristik orientasi ini akan membawa konsekuensi bagi seorang dalam
melaksanakan aktifitas ekonomi dalam proses pencarian, pemanfaatan hasil termasuk di dalamnya
pelbagai kewajiban yang melekat dalam hasil aktifitas ekonomi seperti zakat, infaq dan sadaqah.
Untuk proses dan pemanfataan, maka aspek kehahalan dalam perspektif syar’iy mutlak diperlukan
dan dukungan terhadap legalitas dari sisi negara.
Dengan demikian, pandangan yang berorientasi pada penambahan modal semata adalah
bertengan dengan prinsip ekonomi Islam.
2. Zakat sebagai Instrumen Ekonomi
a. Pengertian Zakat
Menurut bahasa Arab, kata zakat tersusun dari huruf z, kaf dan ya, mengandung
arti pengembangan dan bertambah. 187 Menurut Rayyân zakat secara bahasa
mengandung arti al‐silâh, al‐taqwâ, al‐tathīr, al‐ziyâdah, al‐Namâ’.188 Menurutnya,
”yang melarang manusia untuk memperoleh harta dengan cara yang batil...” Upaya perolehan
harta oleh manusia di sini digolongkan ia sebagai makhluk ekonomi 185Menurut Lapoe dan Calon serta George dalam Didin bahwa, ”penyebab utama
kemiskinan adalah ketimpangan sosial ekonomi akibat adanya sekolompok kecil orang yang hidup mewah di atas penderitaan orang banyak, dan bukannya disebabkan oleh semata-mata
kelebihan jumlah penduduk (over population)” Didin Hafiduddin Ma’turidi, Peran Pembiyaan Syari’ah... h. 17.
186 سنة وقنا عذاب النارومنهم من يقول ربنآ ءاتنا في الدنيا حسنة وفي األخرة ح
”Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"
187Abī Husain ibn Faris ibn Zakariya, “Maqâyīs…Juz III, h. 17.
188Ahmad ‘Ali Taha Rayyân, al-Mausū’ah al-Islâmiyah al-‘Âmah, (al-Qâhirah: Wizârat al-Auqâf al-Majlis al-A’lâ li al-Syuūn al-Islâmiyah, 2002), h. 768. Menurut al-
Mâwardi sebagai dinyatakan Hammâd, ia merupakan nama untuk menmgambil harta tertentu
secara istilah, jika kata zakat hanya disebutkan secara tersendiri menunjukkan sebagai
zakat harta.189 Menurut istilah zakat mengandung arti sebagai suatu kewajiban yang
bersifat material yang diwajibkan kepada pemilik harta terhadap yang bersifat
berkembang baik secara aktual maupun potensial yang telah mencapai senisab dan
haul.190 Hanâbilah (pengikut imam Hanbal) menyatakan bahwa zakat merupakan suatu
kewajiban yang bersifat harta tertentu yang diberikan kepada kelompok tertentu
dengan waktu tertentu. 191 Oleh Didin Hafidhuddin menyatakan bahwa terdapat
perbedaan di kalangan ulama mengenai pengertian zakat, namun perbedaan itu hanya
bersifat redaksional dan tidak menyangkut substantif, karenanya, ia memberikan
pengertian dengan mengutip pendapat dalam mu’jam al‐wasit, bahwa “… zakat itu
adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT wajibkan kepada
pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan
tertentu pula.”192
Mencermati pengertian zakat, maka dapat dkemukakan unsur‐unsur yang
membangun pengertian zakat yang telah dikemukakan, yang unsur itu meliputi :
Pertama, sebagai suatu kewajiban agama (Islam). Zakat merupakan salah satu
rukun Islam. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ibn Abbas.193 Kedua, bersifat
dengan sifat tertentu serta kelompok penerima tertentu. Nazīh Hammâd, Mu’jam al-mustalahât
al-Iqtisâdiyyah fī al-Lugah al-Fuqahâ’ (Herndon USA: al-Ma’had al-‘Âlamī li al-Fikr al-Islâmī, 1993), h. 149. Pandangan yang sama baik bahasa maupun istilah terdapat juga dalam, ‘Alī ibn
Muhammad al-Jam’at , Mu’jam al-Mustalahât al-Iqtisâdiyah wa al-Islâmiyah, h. 293. 189Ahmad ‘Ali Taha Rayyân, al-Mausū’ah al-Islâmiyah… h. 768.
190Muhammad Rawwâs Qal’aji, Mabâhits fī al-Iqtisâd… h. 118. 191Wahbah al-Zuhailī, al-Fiqh al-Islamī Wa adillatuhu, Juz III, (Damsyiq: Dâr al-Fikr,
1997), h. 1789. 192Didin Hafidhuddin Ma’turidi, “Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah”,
(Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional, 2005), h. 17, Abd. Allah ibn Sulaiman al-Manî’, Buhutsun fi al-Iqtisad al-Islâmi ( Makkah: al-Maktab al-Islâmi, 1416 H), h. 19
193 عن ابن عباس رضي الله عنه قال
ذا الله عليه وسلم لمعاذ بن جبل حين بعثه إلى اليمن إنك ستأتي قوما أهل آتاب فإ قال رسول الله صلىاعوا لك بذلك فأخبرهم أن طجئتهم فادعهم إلى أن يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله فإن هم أ
أن الله قد فرض الله قد فرض عليهم خمس صلوات في آل يوم وليلة فإن هم أطاعوا لك بذلك فأخبرهملى فقرائهم فإن هم أطاعوا لك بذلك فإياك وآرائم أموالهم واتق عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد ع
193دعوة المظلوم فإنه ليس بينه وبين الله حجاب
”Dari ibn Abbas r.a telah berkata: Rasûl Allah bersabda sewaktu mengutus Muadz ibn Jabal ke negeri Yaman: Engkau datang kepada kaum ahli kitab ajaklah mereka kepada syahadat, bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya nabi Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka telah taat untuk itu, beritahukanlah kepada mereka,. bahwa Allah mewajibkan kepada mereka melakukan
v
material. Dalam Islam dibedakan antara zakat fitri dan zakat harta. Zakat fitri diberikan
kepada setiap jiwa yang beragama Islam dalam seluruh lapisan umur sebelum
dilaksanakan shalat idul fitri. Sedang zakat harta, merupakan kewajiban yang bersifat
material untuk seluruh pendapatan yang memenuhi syarat untuk setiap umat Islam.
Ketiga, memiliki syarat tertentu. Syarat tertentu di sini mencakup
kepemilikan harta dalam satu tahun yang disebut dengan haul, jumlah harta dalam
bentuk minimal yang disebut dengan nisab.
Keempat, diberikan kepada kelompok tertentu yang dikenal dengan mustahik.
Mustahik sebagai kelompok penerima zakat harta, hanya berjumlah delapan kelompok
yang didasarkan pada QS. al‐Taubah 9/113: 60.
b. Manfaat Zakat
Bebagai manfaat yang berkembang pada zakat baik untuk kepentingan muzakki
(orang yang mengeluarkan zakat) untuk penerima zakat (mustahik) maupun untuk amil.
Manfaat untuk muzakki: Pertama, instrumen untuk menunaikan rukun Islam. Menurut
pandangan Abu Bakar, khalifah kedua dalam Islam orang yang tidak membayar zakat,
maka wajib diperangi. Alasan yang mendasar bagi Abu Bakar adalah, karena muzakki
dimaksud, memisahkan antara salat dan zakat.194 Kedua, instrumen memperoleh nilai
spritualitas dalam bekerja. QS. Al‐Taubah 9/113: 103195
shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah taat untuk itu, beritahunkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat atas mereka. Zakat itu diambil dari orang yang kaya dan dibagikan kepada fakir. Jika mereka telah taat untuk itu, maka berhati-hatilah (janganlah) mengambil yang baik-baik saja (bila kekayaan itu bernilai tinggi, sedang dan rendah, maka zakatnya harus meliputi nilai-nilai itu) hindari doanya orang yang madhlum (teraniaya) karena tidak ada penghalang antara mereka dengan Allah (pasti dikabulkan).” Imam Bukhâry, Shahih Bukhâry, juz VI, h. 12 No. 1496 dalam CD.
194Menurut riwayat, Abu Bakar menyatakan bahwa “Demi Allah , aku akan memerangi mereka sampai aku sendiri menghunus pedang di tangan walaupun mereka menolak memberikan seutas tali.” Ali Abd. al-Wâhid Wâfī, Huqūq al-Insân fī al-Islâm, (Qâhirah: Dâr al-Nahdah,
1979), cet.V, h . 74. Pernyataan yang sama terapat dalam Yasin Ibrahim, Zakât, The Third Pilar of Islam, terjemahan, Syarif Hidayat, (Bandung: Pustaka Madani, 1997), cet. I, h. 134.
195 سميع عليم خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزآيهم بها وصل عليهم إن صالتك سكن لهم واهللا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka.
Kata tutahhiruhum (membersihkan) dalam terjemahan Departemen Agama
dijelaskan “zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih‐
lebihan kepada harta benda” sedang tuzakkīhim diartikan “zakat itu menyuburkan sifat‐
sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.”
Selanjutnya kata sakanun lahum (ketenteraman bagi mereka) ada yang mengartikannya
dengan membawa, ketenteraman jiwa dan kedamaian hati, 196 sebagai rahmat, 197
ketenteraman hati dan sikap gembira.198 Dari pengertian‐pengertian ini memberikan
gambaran secara umum adanya nilai
spritualitas yang diterima oleh muzakki dalam kaitannya dengan penunaian ibadah
zakat. Dilihat dari sisi teologis dapat diyakini bahwa manfaat ibadah itu sendiri berlaku
juga untuk kepentingan langsung dengan kesuksesan dalam menjalankan instrumen
ibadah.199 Dengan kata lain, muzakki dalam bekerja diharapkan akan memperoleh
ketenangan batin, yang mengantarnya untuk bekerja keras dan dengan demikian
berpeluang untuk memperoleh manfaat material sebagai hasil usaha.
Manfaat zakat untuk mustahik. Pertama, bantuan bersifat ekonomis, yakni
sebagai nilai material dari zakat itu sendiri dan dengannya mustahik dapat memenuhi
kebutuhannya. Kedua, mendorong untuk mandiri. Bagi mustahik, zakat yang diterima
tidak seharusnya mendorongnya untuk bermalas‐malasan tetapi dengan zakat itu, ia
harus terdorong untuk bekerja sesuai dengan peruntukan perolehan zakat. Peruntukan
yang dimaksud di sini adalah kondisi yang menjadikan mustahik dipandang berpeluang
menerima zakat‐ sebagai contoh bagi gârim, ia harus berupaya secara ekonomis agar
dapat bangkit kembali dari keterpurukan usaha sebagai kondisi yang membuatnya
menerima zakat‐. Dalam hal ini Chapra menyatakan seperti ditulis Basri “… akankah
pembayaran zakat mendorong konsumsi berlebihan untuk menghindari zakat atau
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
196Nasir ibn Nasir al-Dīn Abū Sa’īd ‘Abd Allah ibn ‘Umar, Anwâr al-Tanzīl, Juz III dalam CD. h. 180.
197Abd Al-Rahmân Jalal al-Dīn al-Syuyutī, al-Dūr al-Mantsūr fī Tafsīr al-Ma’tsūr, Juz IV, dalam CD. H. 275.
198Abū ‘Abd Allah ibn Muhammad al-Qurtubī, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz VIII,dalam CD. H. 250.
199Panalaran ini, didasarkan pada rangkaian ayat ini dengan ayat berikutnya mengandung perintah kepada Nabi untuk menyuruh umat Islam bekerja dan kelak Allah, Rasul
dan orang mukmin akan menilai pekerjaaan itu. QS. Attaubah/9: 105.
kemalasan, agar dapat menerima dana zakat? Hal ini tidak akan terjadi dalam suatu
masyarakat
yang menjadikan hidup sederhana sebagai perilaku ideal….”200
Manfaat untuk amil mengandung arti sebagai instrumen pengembangan sosial
ekonomi relegius mustahik. Pandangan ini terkait dengan fungsi amil yang dengan
kinerja yang diberikan dapat memperoleh bagian dari zakat.
Selan manfaat zakat yang dikemukakan di atas, dalam buku yang diterbitkan
Badan Amil Zakat Nasional disebutkan dengan mengaitkan hikmah zakat antara lain:
Pertama. “Perwujudan keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri nikma‐Nya,
menumbukan akhlak mulia yang didasarkan pada kemanusiaan yang tinggi,
menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialisme, menumbuhkan ketenangan hidup,
sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta yang dimiliki. Kedua, “karena zakat
merupakan hak mustahik, maka zakat berfungsi untuk menolong, membantu mereka,
terutama fakir miskin, ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga
mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada
Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri,dengki dan
hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka, ketika mereka melihat orang kaya
yang memiliki harta cukup banyak”. Ketiga. Sebagai pilar amal bersama (jama’i) anatara
orang kaya yang berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya
digunakan untuk berjihad di jalan Allah, yang dengan kesibukaannya ia tidak memiliki
kesempatan untuk berusaha guna memenuhi kepentingan diri dan keluarga. Keempat.
“Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang
harus dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan….” 201 ,
”pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana
ibadah, pendidikan, kesehatan….”202
3. Kesejahteraan Umat melalui Instrumen Ekonomi Zakat
a. Pengertian Kesejahteraan Umat
Dalam UU No. 6 tahun 1974 tentang ketentuan‐ketentuan Pokok Kesejah
200M. Umar Chapra, Islam and the Economic Challenge diterjemahkan Ikhwan Abidin
Basri, (Jakarta: Tazkia Institute, 1995), h. 275. 201Didin Hafidhuddin Ma’turidi, Anda Bertanya... h. 20-23. 202Didin Hafidhuddin Ma’turidi, Anda Bertanya... h. 20-23.
teraan Sosial,203 ditemukan pandangan mengenai kesejahteraan sosial. Terdapat unsu‐
unsur kesejahteraan sosial yang dipahami dalam UU ini yaitu: (a) Kriteria kondisi yang
diinginkan (b). pelaku kesejahteraan sosial (c) Manfaat kondisi yang diinginkan (d) ruang
kesejahteraan sosial (e) landasan filosofis kesejahteraan sosial.
Menurut Edi Suharto, kesejahteraan sosial akan tercipta jika terpenuhi tiga hal
yaitu: (a) Kondisi statis atau keadaan sejahtera yang ditandai dengan terpenuhinya
kebutuhan‐kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial; (b) Kondisi dinamis, yakni
tersedianya usaha atau kegiatan yang terorganisir untuk mecapai kondisi statis tersebut;
(c) Adanya institusi atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan
sosial.204
Gagasan kesejahteraan sosial memberikan jawaban atas tiga pertanyaan
mendasar yaitu, sejauhmana masalah sosial dapat diatur, sejauhmana kebutuhan‐
kebutuhan dipenuhi dan sejauhmana kesempatan untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan hidup disediakan.205
Dari pengertian yang dikemukakan di atas tampaknya kesejahteraan sosial
memberikan peluang untuk dibahas dalam perspektif yang berbeda‐beda. Tegasnya
bahwa kesejahteraan sosial dapat dilihat dari perspektif (a) kebijakan dalam arti
hubungan pemerntah dan warga negara dengan demikian dapat dikaitkan dengan
kesejahteraan sosial, (b) ajaran agama dalam arti bahwa bagaimana hubungan ajaran
agama dengan kehidupan umat (c) pendidikan dalam arti bagaimana hubungan
pembentukan sumber daya manusia dengan pencapaian peserta didik sebagai subjek
dalam memenuhi hak‐hak sebagai makhluk sosio‐kultural.
203Pengertian tentang kesejahteraan sosial. Yaitu terciptanya suatu kehidupan dan
penghidupan sosial, material maupun spritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.”
204 Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta, 2006), h. 34. 205James Midgley, Social Development, diterjemahkan oleh Sirajuddin dll., “Pembangunan
Sosial Perspektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial” (Jakarta: Depag RI, 2005), h. 21.
Atas dasar pembagian perspektif tersebut, maka istilah kesejahteraan umat,
didasarkan atas gambaran atmosfir keagamaan yakni dari sisi hubungan ajaran agama
dengan kehidupan umat dalam hal ini hubungan ajaran Islam dengan umat Islam.
Namun demikian perbedaaan pembahasan pada suatu perspektif tertentu pada satu sisi
akan menimbulkan perbedaan baik dari sisi substantif maupun proses pencapaian
kesejahteraan sesuai denga karakteristik bangunan perspektifnya dan pada saat yang
sama, tentu saja masih memiliki persamaan. Persamaan itu terletak dalam pemenuhan‐
pemenuhan aspek kebutuhan subjek, dalam arti sebagai makhluk sosial.
Dengan demikian, istilah kesejahteraan umat di sini, didasarkan karena
atmosfir keagamaan yang sangat kental dalam pembahasan ini, sekaligus menyesuaikan
baik subjek maupun objek kesejahteraan itu yakni umat Islam Sebagai diuraikan
sebelumnya bahwa perbedaaan perspektif pembahasan akan melahirkan perbedaan
dan persamaan sesuai dengan karakteristik pembahasan mengena objek dan subjkek
pembahasan
Dengan demikian, kesejahteraan umat dapat dilihat dari sisi manusia sebagai
komunitas keagamaan yang memiliki kebutuhan‐kebutuhan sosial ekonomi dan politik
dalam arti sebagai manusia dalam melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya
pada satu sisi dan penciptaan hubungan dengan
Tuhan sebagai konsekwensi sebagai makhluk yang beragama.
Dengan pandangan di atas, maka dari definisi pengertian kesejahteraan sosial
yang dikemukakan di atas, maka dikaitkan dengan kesejahteraan umat maka unsur‐
unsurnya meliputi: a. Terpenuhinya suatu kondisi kehidupan yang mendukung
terwujudnya pemenuhan sosial, ekonomi dan religius umat Islam; b. Kondisi itu
didukung partisipasi umat untuk memenuhi kebutuhan mereka; c. Adanya institusi
keagamaan yang lebih dinamis untuk mendorong pencapaian kesejahteraan sosial.
b. Faktor Berpengaruh terhadap Kesejahteraan Umat
Memperhatikan unsur‐unsur dalam pengertian kesejahteraan umat yang telah
dikemukakan maka, darinya dapat dikemukakan faktor berpengaruh terhadap
kesejahteraan umat. Faktor itu bersifat internal dan eksternal. Pertama, internal.
Semangat komunal umat Islam yang berbasis kesejahteraan. Dalam agama Islam,
khususnya al‐Quran telah memberikan pandangan orientasi kehidupan mereka yakni
mencapai kesejahteraan dunia dan kebahagian di akhirat.206
Orientasi kehidupan ini telah dikemukakan dalam pembahasan tentang
perinsip ekonomi Islam pada bahagan e. Dengan demikian, dari sisi ajaran Islam
maka khususnya yang berkaitan dengan ekonomi, telah mendorong umat untuk
mencapai kesejahteraan. Tetapi pertanyaannya, adalah mengapa ajaran kesejahteraan
ini secara aktual tidak berpihak sepenuhnya kepada umat Islam khususnya di Indonesia.
Menurut data perkembangan kemiskinan di Indonesia, sesuai dengan tabel yang
dikemukakan pada tahun 2006 mencapai 39.05 juta jiwa. Jika angka ini, dikaitkan
dengan asumsi jumlah umat Islam sebanyak 75 % maka menunjukkan bahwa
29.625.000 umat Islam berada dalam kemiskinan. Kalau saja diasumsikan bahwa jumlah
umat Islam yang menunaikan ibadah haji di Indonesia dalam setahun berdasarkan kouta
haji sebanyak 200000 jiwa, maka perbandingannya adalah 1: 148,13. Dengan kata lain
se ap jamaah haji Indonesia memiliki tanggungan orang miskin sebanyak 148 orang.
Dengan hasil asumsi di atas menunjukkan bahwa dari sisi sosio‐ekonomi,
tampaknya setiap umat Islam yang sudah menunaikan ibadah haji, memiliki beban
kultural sebanyak 148 orang miskin se ap tahun. Perbandingan ini, mengasumsikan
umat Islam yang telah menunaikan ibadah haji sebagai angka pembanding karena,
mereka inilah secara ekonomi memiliki kemampuan untuk menunaikan ibadah dan
secara kultural mereka diterima sebagai sebagai tokoh dalam kehidupan non formal
masyarakat muslim Indonesia.
Pemilihan pembanding bagi jamaah haji, tidak berarti bahwa masalah
kesejahteraan telah dibebankan kepada mereka, tetapi hal ini hanya untuk
menunjukkan bahwa tingkat kesadaran beragama untuk menunaikan ibadah haji di
Indonesia, tidak sebanding dengan jumlah angka kemiskinan. Dengan kata lain,
terdapat peluang bagi umat Islam di Indonesia untuk mengembangkan semangat
206 QS. al-Baqarah 2/87: 201
سنة وقنا عذاب النارومنهم من يقول ربنآ ءاتنا في الدنيا حسنة وفي األخرة ح . Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"[127]. inilah doa yang sebaik-baiknya bagi seorang muslim.
menunaian ibadah haji seimbang dengan semangat menyelesaikan problema
kemiskinan umat Islam.
Kesenjangan di atas, jika dilihat dari sisi ruang lingkup pelaksanan ibadah dalam
Islam, maka tampaknya ibadah individual (yang disimbolkan dengan ibadah haji) dan
penyelesaian masalah‐masalah kemiskinan, sebagai ibadah sosial
masih menyisakan jurang pemisah yang tajam.
Dengan demikian, semangat komunal umat Islam yang berbasis kesejahtraan
memiliki pengaruh terhadap pencapaian kesejahteraan umat. Dengan kata lain semakin
tinggi semangat komunal umat Islam, maka memberikan peluang untuk terciptanya
kesejahteraan bagi umat Islam dan demikian pula sebaliknya.
Semangat komunal dimaksud mengandung dua unsur : (a) Sebagai agama yang
memberikan orientasi kehidupan yang pro kesejahteraan, maka tolong menolong
merupakan suatu instrumen untuk membagi sumber‐sumber kesejahteraan, seperti
zakat, infak dan sedekah pada satu sisi dan sikap ingin membagi justru mendorong umat
Islam untuk bekerja keras.
(b) Mempertegas bahwa masalah kesejahteraan umat yang diawali dengan
penyelesaian masalah‐masalah kemiskinan, harus dilihat sebagai masalah komunal dan
dalam bingkai ibadah ditempatkan sebagai ibadah sosial. Dengan demikian,
penanganan masalah kemiskinan tidak dilakukan secara individual tetapi dilakuan secara
komunal melalui sumber‐sumber kesejahteraan yang telah terinstitusi.
Unsur yang kedua dalam konsep kesejahteraan komunal di atas, merespon hasil
peneli an PIRAC (2001) bahwa sumbangan material masyarakat Indonesia masih diakui
bersifat individual, religius, berjangka pendek dan berkarakter interpersonal.207
Kedua.(1) Ekternal peran pemberdayaan oleh Institusi Kesejahteraan Umat.
Institusi keagamaan yang berkaitan dengan kesejahteraan umat seperti badan amil
zakat dan lembaga amil zakat dan masjid. Lembaga ini memegang peran yang sangat
strategis, karena institusi ini secara sosiologis bersentuhan langsung dengan kehidupan
umat Islam.
207Andi Agung Prihatna, Filantropi dan Keadilan sosial di Indonesia, dalam Revitalisasi
Filantripo Islam, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2005), h. 18.
Dilihat dari sisi fungsi baik masjid maupun institusi pengelola zakat, selain
keduanya mempunyai persamaan yakni keduanya diharapkan memberikan pencerahan
kepada kehidupan sosio‐ekonomi religius umat Islam, namun masing‐masing memiliki
karakteristik yang berbeda. Institusi yang bergerak dalam bidang perzakatan
diharapkan berfungsi untuk memberikan pemberdayaan kepada mustahik agar dana
zakat, infak dan sedekah umat Islam dapat memberian manfaat yang semaksimal
mungkin kepada mustahik dan kepada muzakki mememandang zakat sebagai suatu
kewajiban yang wajib ditunaikan.
Selanjutnya masjid dengan fungsi khususnya sebagai intitusi keagamaan yang
bergerak dalam transformasi nilai‐nilai sosial kultural dan ekonomi Islam, harus
mendorong agar memberikan pemberdayaan dalam arti seluas‐luasnya. Produk jasa
yang ditawarkan oleh masjid seperti penyediaan dai, penyelenggaran pengajian,
majelis taklim, dan penyediaan fasilitas tempat ibadah, kesemuanya diarahkan agar
mendukung kominitas yang pro kepada kesejahteraan. Dengan demikian, baik masjid
maupun institusi pengelola zakat akan berfungsi sebagai institusi kesejahteraan umat.
c. Tujuan dan Peningkatan Kesejahteraan Umat melalui Instrumen EkonomiZakat
1) Tujuan Peningkatan Kesejahteaan Umat
Dengan mengikitu pandangan Edi Suharto 208 maka tujuan peningkatan
kesejahteraan umat dapat dirumuskan:
a) Tujuan bersifat statis, yaitu terciptanya kondisi umat baik sebagai makhluk sosial
ekonomi dan kultural maupun sebagai individual. Sebagai makhluk sosial ekonomi yaitu
tercitanya kondisi yang memungkinkan umat Islam menikmati hak‐hak mereka secara
normal dan sesuai dengan ajaran Islam, seperti hak‐hak ekonomi, hak atas kesehatan
hak atas perumahan. Sebagai makhluk kultural yaitu terpenuhinya hak mengeluarkan
pendapat, hak memperoleh pendidikan,209 hak menunaikan ibadah dalam kehidupan
sosial. Hak‐hak dalam kehidupan sosial ini
208a) Kondisi statis atau keadaan sejahtera yang ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan-
kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial; (b) Kondisi dinamis, yakni tersedianya usaha atau kegiatan yang terorganisir untuk mecapai kondisi statis tersebut; (c) Adanya institusi atau bidang
kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial 209Asbon Eide, Meletakkan Sudut Pandang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Bidya sebagai
Hak Asasi Manusia, dalam Ifdhal Kasim (ed.) Hak Ekonomi Sosial Budaya, (Jakarta: Elsam, 2001), h. 3.
dalam Islam disebut dengan muamalah.210 Sebagai individu, maka ia memiliki hak‐hak
individual sebagai pemenuhan kewajiban sebagai umat Islam. Kewajiban itu seperti
kewajiban mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah lainnya.
b) Tujuan bersifat dinamis, yaitu tersedianya usaha yang terorganaisir dan
berkesinambungan untuk mencapai tujuan yang bersifat statis itu. Usaha yang
terorganisir dimaksud selain dari institusi umat Islam seperti ormas Islam, BAZ dan LAZ,
juga keterlibatan pemerintah. Menurut Juwono keterlibatan pemerintah hanya terbatas
untuk memberikan kebijakan ekonomi yang mendorong kesejahteraan sosial
merupakan suatu keniscayaan.211
2) Peningkatan Kesejahteraan Umat melalui Instrumen Ekonomi Zakat
Menurut Yusuf Qardâwi zakat adalah termasuk kelompok mâliyah
ijtimâ’iyyah.212 Pandangan ini mengaduung arti bahwa zakat memberikan fungsi pada
peningkatan kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Pandangan ini kemudian oleh
Badan Amil Zakat Nasional diadopsi dalam memberikan pengertian tentang zakat.213
Dengan demikian, dikaitkan dengan pengelola zakat sebagai institusi yang
dibutuhkan dengan peningkatan kesejahteraan umat, maka dapat dinyatakan bahwa
kebutuhan zakat tidak hanya sebagai sumber keuangan dalam mendorong pencapaian
kesejahteraan dalam bidang ekonomi dan sosial umat Islam, tetapi secara institusional
zakat sangat diperlukan karena merupakan bagian dari sistem kesejahteraan umat.
Sebagai diketahui bahwa terciptanya sistem kesejahteraan umat, tidak dapat
dilakukan dengan hanya mengandalkan ketersediaan dana zakat, tetapi dana ini akan
dikelola secara intitusional untuk mendorong pencapaian kesejahteraan
210 Didin Hafidhuddin, Manajemen Syari’ah, (Jakarta: GemaInsani, 2003), h. 67.
211Juwonos Sudarsono, Reformasi Ssial Budaya dalam Era Globalisasi, (Jakarta: Wacha Widia Perdana, 1999), h. 307
212Yusuf Qardâwi, Fiqh al-Zakat, Juz II, (al-Qâhirah: Wahbah, 1994), cet. XXI), h. 621. 213”Zakat adalah ibadah maaliyah ijtmiyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun (rukun ketiga) dari rukun Islam yang lima, sehingga keberadaannya dianggap sebagai ma’luum minad diin bidhdharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang.”Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah Kami Menjawab h. 11.
umat secara terencana, terpadu dan berkelanjutan.
Pencapaian ketiga pola dimaksud yang dikembangkan oleh pengelola zakat,
maka secara substansial mengembangkan gagasan yang manajerial. Dengan demikian,
pengelola zakat dapat dipandang sebagai institusi kesejahteraan umat.
v
BAB III
ASPEK KELEMBAGAAN, SUMBER‐SUMBER PENDANAAN
DAN PELAKSAAN PROGRAM BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL SERTA PENDAYAGUNAAN ZAKAT PADA BERBAGAI PENGELOLA ZAKAT DI
INDONESIA
Bab ini akan memberikan penjelasan tentang Badan Amil Zakat Nasional baik
dari aspek kelembagaan, sumber‐sumber pendapatan dan pelaksanaan program.
Sebagai objek penelitian maka, bab ini diharapkan memberikan gambaran secara umum
Badan Amil Zakat Nasional karena akan menjadi landasan dalam memahami lanjut
kiprah pendayagunaan zakat .
Untuk menambah wawasan mengenai pengelolaan zakat khususnya dari aspek
pendayagunaan zakat di Indonesia, baik yang dilakukan oleh badan amil zakat daerah,
maupun lembaga amil zakat lainnya, maka dijelaskan BAZIS DKI Jakarta dan BAZDA
Provinsi Banten yang dipandang mewakili badan amil zakat daerah tingkat provinsi.
Kedua Badan ini, walaupun memililiki persamaan dari sisi status, yakni sebagai badan
dalam tingat provinsi, namun mempunyai karakteristi yang berbeda. BAZIS DKI Jakarta,
dipandang sebagai badan perintis karena kehadirannya lebih awal awal di Indonesia di
banding dengan badan lainnya dan bahkan sebelum UU No. 38/1999. Sedangkan BAZDA
Banten merupakan badan yang lahir pasca UU dimaksud.
Lembaga amil zakat yang dikemukakan yakni Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU)
dan Dompet Dhuafa Republika (DDR). Kedua lembaga ini merupakan lembaga amil zakat
tingkat nasional. Pemilihan kedua pengelola zakat dipandang mewakili lembaga aml
lainnya, karena keduanya secara sosiologis relatif diterima oleh masyarakat sebagai
lembaga pengelola zakat yang transparan dan kredibel.
A. Aspek Kelembagaan dan Sumber‐Sumber Pendanaan serta Pelaksanaan Program
Badan Amil Zakat Nasional
1. Aspek Kelembagaan
a. Sejaran Pembentukan Kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional
Kehadiran Badan Amil Zakat Nasional yang disingkat BAZNAS, tidak dapat
dilepaskan dari perkembangan perzakatan di Indonesia, khususnya terhadap
keterlibatan pemerintah. Pernyataan ini didasarkan pada pertimbangan: a. Secara
kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional dibentuk oleh Pemerintah dalam hal ini
Prsiden RI dan merupakan penjabaran UU. No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat; b.
Sebagai lembaga zakat, badan ini tidak dapat dilepaskan dari sisi perkembangan
kebijakan pemerintah terhadap umat Islam.
Pertama, sebagai lembaga yang dibentuk pemerintah. Badan Amil Zakat
Nasional didirikan berdasarkan surat kepuusan Presiden RI No No. 8 tahun 2001
tertanggal 17 Januari 2001 yang waktu itu ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman
Wahid. Surat keputusan ini merupakan penjabaran UU. No. 38 /1999 tentang
Pengelolaan Zakat dalam diktum huruf (b) surat keputusan itu, disebutkan ”bahwa
Undang‐Undang Nomor 33 Tahun 1999 tentang Pengelolalan Zakat mengamatkan untuk
membentuk Badan Amil Zakat Nasional yang pelaksanannya dilakukan presiden.”
Kedua, keterkaitan Badan Amil Zakat Nasional dengan kebijakan pemerintah
Badan Amil Zakat Nasional, dapat dikatakan sebagai puncak dari akomodir kebijakan
pemerintah terhadap pengelolaan zakat di Indonesia. Dalam sejarah perzakatan di
Indonesia, campur tangan pemerintah sangat kuat. Menurut Daud, zaman penjajahan
Belanda, langkah pertama yang diambilnya dengan mengeluarkan Biljblad nomor 1892
tanggal 4 Agustus 1893 yang berisi kebijakan pemeritah Belanda tentang pengelolalan
zakat. Kebijakan ini bertujuan untuk membatasai gerak pengelola zakat yakni agar dana
zakat tidak diselewengkan oleh pengelola zakat dan kemudian imam/penghulu
dipekerjakan untuk mengelola administrasi keuangan kolonial, tetapi tidak diberi gaji
dan tunjangan untuk membiayai kehidupan keluarga mereka. Sebelumnya, dana zakat
dimanfaatkan untuk kepentingan fi sabilillah yang merupakan bagian kelompok salah
satu mustahik, karena dana ini dipergunakan untuk menentang penjajahan.214
Tahun 1905 kolonial Belanda mengeluarkan Bijblad Nomor 6200 tanggal 28
Nopember, yang intinya adalah melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi
pribumi untuk tidak ikut serta membantu pelaksanaan zakat.215 Tahun 1959 menteri
keuangan RI. Memiliki gagasan dalam sebuah makalah untuk memasukkan zakat
sebagai salah satu komponen sistem perekonomian keuangan Indonesia, dan
214Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: UI Pres, 1988), h. 32-33. 215Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, h. 33.
pandangan yang sama juga pada kalangan anggota perlemen (DPRS) menginginkan agar
zakat diatur dengan peraturan perundang‐undangan dan diurus oleh pemeritah atau
negara.216
Tahun 1967 Pemerintah RI., dalam hal ini Menteri Agama telah menyiapkan
rancangan UU Zakat yang diajukan kepada pimpinan DPGR dengan surat Menteri Agama
Nomor MA/ 095/1967 tanggal 5 Juli 1967. Dalam surat itu Menteri Agama antara lain
menyatakan: “Mengenai rancangan undang‐undang zakat pada prinsipnya, oleh karena
materinya mengenai hukum Islam yang berlaku bagi agama Islam, maka diatur dengan
undang‐undang, ketentuan hukum Islam tersebut harus berlaku bagi Umat Islam, dalam
hal mana Pemerintah wajib membantunya. Namun demikian Pemerintah berkewajiban
moril untuk meningkatkan manfaat dari pada penduduk Indonesia, maka inilah perlunya
diatur dalam undang‐undang.”217
Berkaitan dengan rancangan UU Zakat itu, Menteri Agama mengirimkan juga
kepada Menteri Sosial dan Menteri Keuangan, dengan surat Nomor MA/099/67 tanggal
14 Juli 1967. dalam surat Menteri Agama itu, Menteri Sosial diharapkan memberikan
pendapat berupa saran dan tanggapan, karena zakat dilihat dari sisi penggunaannya juga
untuk kepentingan dan tujuan sosial. Hal yang sama juga Menteri Agama
mengharapkan Menteri Keuangan karena departemen ini mempunyai pengalaman dan
wewenang dalam bidang pemungutan. Menteri yang terkahir ini menjawab dengan
surat Nomor D. 15‐1‐5‐25, agar masalah zakat ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Agama.218
Tahun 1968 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1968 (PMA)
tentang Pembentukan Badan Amil Zakat. Pada tahun yang sama dikeluarkan PMA
Nomor 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal. Baitul Mal yang dimaksud ini
berstatus Yayasan dan bersifat semi resmi. Kedua PMA ini memiliki ikaitan yang erat dan
Baitul Mal inilah yang menampung dan menerima zakat yang disetorkan oleh Badan
Amil Zakat seper dimaksud PMA Nomor 4 Tahun 1968.219
216Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, h. 35. 217Departemen Agama RI., Pedoman Zakat, (Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Zakat
dan Wakaf, 2002), h. 285. 218Departemen Agama RI., Pedoman Zakat, h. 285 219Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, h. 36-37.
Belum berselang lama pelaksanaan PMA di atas, keluarlah anjuran Presiden
Soeharto dalam peringatan Isra’ Mi’raj tanggal 22 Oktober 1968 di Istana Negara
tentang pelaksanan zakat. Presiden dalam pidatonya, menganjurkan terwujudnya
pengelolaan zakat secara sistimatis dan terorganisir. Secara pribadi
Presiden menyatakan diri bersedia menjadi amil zakat tingkat nasional.220
Masih dalam tahun yang sama, Presiden mengeluarkan Surat Perintah Nomor
07/PRIN/10/1968 tanggal 31 Oktober 1968 dan menugaskan kepada Mayjen TNI
Alamsyah Ratuprawiranegara, Kol. Azwar Hamid dan Kol. Ali Affandi untuk membantu
dalam pelaksanaan seruan Presiden pada peringatan isra mi’raj. Seruan dan dorongan
itu dikumandangkan kembali oleh Presiden pada sambutan pelaksanaan shalat Idul Fitri
21 Desember 1968 di halaman Istana Negara.221
Tahun 1969 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1969 tentang
Penundaan Peraturan Menteri Nomor 4 dan 5 Tahun 1968, sebagai akibat
dikeluarkannya anjuran dan Surat Perintah Presiden RI Nomor 07/PRIN/10/1968 tanggal
31 Oktober 1968. Pada tahun ini pula dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44
tertanggal 21 Mei 1969 tentang Pembentukan Panitia Penggunaan Uang Zakat yang
diketuai oleh Menko Kesra KH. Idham Chalid. Tahun 1969 Menteri Agama mengeluarkan
seruan Nomor 3 Tahun 1969, yang bermaksud agar mengirimkan hasil pengumpulan
uang zakat kepada Jenderal Soeharto Presiden RI melalui rekening Giro Pos Nomor A.
10.00.222
Tahun 1989 telah dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 16 Tahun tanggal
12 Desember 1989, tentang Pembinaan Zakat, Infaq dan Shadaqah. Instruksi ini
menetapkan seluruh jajaran Departemen Agama (KANWIL, KANDEPAG, KUA) membantu
lembaga‐lembaga keagamaan yang mengadakan pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah
agar menggunakan uang hasil pengelolaannya untuk kegiatan pendidikan Islam dan lain‐
lain.223
Tahun 1991 telah dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri dalam Negeri dan
Menteri Agama RI Nomor 29 dan 47 tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat,
220Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, h. 37. 221Departemen Agama RI., Pedoman Zakat, h. 286 222Departemen Agama RI., Pedoman Zakat, h. 286 223Departemen Agama RI., Pedoman Zakat, h. 287
Infaq dan Sedekah. Keputusan bersama ini ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri
Agama Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pedoman Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat,
Infaq dan Sedekah. Selain itu terdapat Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun
1989 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan Sedekah.224
Tahun 1999 telah disahkan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat. Sebagai tindak lanjut UU ini Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Nomor 581
Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,
dan sebagai petunjuk teknis telah dikeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Zakat.
Tahun 2000 telah disahkan UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ke ga
atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang di antaranya mengatur
tentang pembayaran zakat yang dapat mengurangi penghasilan kena pajak.
Dilihat dari uraian kronologis terhadap peraturan perundang‐undangan
mengenai pengelolaan zakat di Indonesia dalam kaitannya dengan Badan Amil Zakat
Nasional, terdapat dua hal yang perlu dikemukakan: a. Badan Amil, bukan merupakan
istilah baru dalam dunia perzakatan di Indonesia. Terbuk tahun 1968 dikeluarkan
Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1968 (PMA) tentang Pembentukan Badan
Amil Zakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pidato Presiden Soeharto pada
peringatan Isra’ Mi’raj kemudian menjadi pendorong terwujudnya Badan Amil Zakat
pada berbagai provinsi dan dipelopori oleh Pemerintah DKI Jakarta. Istilah ini kemudian
menjadi nama bagi sejumlah pengelola zakat di berbagai provinsi di Indonesia. Pada
tahun 1968 terbentuklah Bazis DKI Jakarta, 1972 Kalimantan Timur, 1973 Sumatera
Barat, 1974 Jawa Barat, 1975 Baz Provinsi Aceh, 1977 Kalimantan Selatan, 1985
Sulawesi Selatan. Menurut Daud Ali, Badan yang terbentuk itu, memiliki nama yang
berbeda‐beda namun pada dasarnya mengambil nama Baz, Bazis, Bazid (Badan Amil
Zakat dan Derma).225
b. Perkembangan Kelembagaan, Visi dan Misi Badan Amil Zakat Nasional
1) Perkembangan Kelembagaan
224Departemen Agama RI., Pedoman Zakat, h. 286 225Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Baznas, 2006), h. 18.
Dilihat dari sisi perkembangan Baznas, maka secara organisatoris telah dua kali
mengalami pergantian kepengurusan. Yaitu periode I, 2001‐2004 ketua umum badan
pelaksanan, oleh Ahmad Subiyanto dan periode II, 2004‐2007 ketua umum badan
pelaksananya, oleh Didin Hafidhuddin Ma’turidi.
2). Visi dan Misi
Visi organisasi: ”Menjadi pusat zakat nasional yang memiliki peran dan posisi
yang sangat strategis di dalam upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan melalui pengelolaan zakat nasional yang
amanah, profesional, efisien dan efektif berdasarkan syari’at Islam”.226
Dalam visi ini mengandung arah organisasi yaitu Badan Amil Zakat Nasional
selain melakukan kegiatan pengelolaan zakat juga ingin beperan lebih besar dalam
penbangunan bangsa. Dengan kata lain, eksistensi Badan Amil Zakat Nasional tidak
hanya sekedar melakukan fungsi konvensional yakni memenej pengelolaan zakat yang
merupakan tugas utama tetapi juga ingin mengambil peran yang lebih luas dalam
pembangunan bangsa, yaitu peningkatan kesejahteran masyarakat.
Misi yang dibangun Badan Amil Zakat Nasional yaitu:
Meningkatkan kesadaran umat untuk berzakat melalui amil zakat, sekaligus
mengarahkan dan membimbing masyarakat untuk dapat mewujudkan kesejahteraan
dan keadilan sosial.
a) Menjadi regulator zakat nasional
b) Menjadi koordinator badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat, melalaui
upaya sinergi yang efektif
c) Menjadi pusat data zakat nasional
d) Menjadi pusat pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia zakat
nasional.227
c. Aspek Karakteristik
226Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 17. 227Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 18.
Yang dimaksud dengan karakteristik Badan Amil Zakat Nasional adalah ciri‐ciri
yang dimiliki oleh lembaga ini yang membedakannya dengan lembaga pengelola zakat
lainnya. Karakteritik itu meliputi : Pertama, sisi dukungan yuridis formal. Dari sisi
dukungan yuridis formal, yang kehadirannya didukung oleh UU NO. 38/1999 tentang
Pengelolalan Zakat dan peraturan lainnya setingkat menteri, serta Kepres, menunjukkan
bahwa Badan Amil Zakat Nasional secara politis memiliki posisi yang sangat strategis.
Posisi ini secara yuridis formal, sebanding dengan badan‐badan dan lembaga yang
dibentuk oleh pemerintah, seperti Badan Intelejen Negara (BIN), Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kedua, sisi peran lembaga. Dengan
dukungan yuridis formal, maka peran Badan Amil Zakat Nasional akan memberikan
karakteristik tersendiri dibanding dengan pengelola zakat lainnya. Dengan begitu Badan
Amil Zakat Nasional telah menetapkan peran‐peran strategis di antaranya sebagai
kordinator pengelola zakat tingkat nasional bagi pengelola zakat. Ketiga, Dukungan
politis. Keterlibatan presiden baik dalam berbagai forum yang diadakan oleh Badan Amil
Zakat Nasional memberikan bukti bahwa secara politis kepala negara telah memberikan
perhatian yang cukup signifikan bagi pengembangan Badan Amil Zakat Nasional.
Keterlibatan presiden pada kegiatan yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional di
antaranya, pencanngan gerakan sadar zakat oleh presiden,228 penyerahan zakat pribadi
presiden kepada Badan Amil Zakat Nasional dan sejumlah pejabat negera.229
2. Sumber‐Sumber Penghimpunan Dana Badan Amil Zakat Nasional
Sumber‐sumber penghimpunan dana Badan Amil Zakat Nasional meliputi:
zakat, infak, sedekah, program kerjasama, infak operasional serta subsidi Departemen
Agama
Tabel 1: Penerimaan Badan Amil Zakat Nasional
Tahun 2005‐2006
Pemasukan 2005 2006
Zakat 2.540.588.847 4.825.501.587
228Achmad Subianto, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004 Pidato Serah
Terima, h. 4. 229Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 28-30.
Infak 704.608.282 1.924.976.510
Infak Muqayyad 27.885.238.113 11.122.185.490
Infak Pemerintah 100.000.000 1.550.000.000
Infak Operasional 180.845.000 490.303.000
Jumlah 31.411.280.242 19.912.966.587
Sumber: Data Laporan Pertanggungjawaban
Pengurus Badan Amil Zakat Nasional 2007
Dalam tabel di atas tentang penerimaan Badan Amil Zakat Nasional untuk tahun
2005‐2006 dalam setiap sektor relatif mengalami perbedaan. Untuk sektor zakat pada
2006 dimaksud telah mengalami peningkatan penerimaan. Khusus pengaruh musibah
tsunami 2005 yang telah melanda kawasan Aceh telah mengetuk banyak pihak untuk
menyalurkan infaknya guna membantu korban tsunami. BUMN Peduli, UPZ dan
lembaga‐lembaga lainnya mempercayakan penyalurannya melalui Baznas, sehingga
pengumpulan infak muqayyadah di tahun 2005 melonjak dibandingkan tahun sebelum
dan sesudahnya. Pengaruh gempa di Yogya tahun 2006, memberikan pengaruh besar
juga bagi pengumpulan infak muqayyadah. Tahun 2007 musibah banjir yang melanda
sejumlah daerah, tetapi tidak terlalu memberikan pengaruh yang besar bagi
pengumpulan infak muqayyadah.230
Untuk pemasukan dari pos infak, biasanya dilakukan oleh perorangan dan
diserahkan kepada Badan Amil Zakat Nasional tanpa menyebut sasaran peruntukannya
secara khusus. Waktu penyerahan dana infak ke Badan Amil Zakat Nasional biasanya
diinfakkan pada saat muzaki membayar zakat.231
Infak pemerintah merupakan subsidi Departemen Agama, dan hal ini
perwujudan UU NO. 33/1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang menetapkan bahwa
(pasal 23) ”Dalam menunjang pelaksanaan tugas badan amil zakat sebagaimana
230Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Badan Amil Zakat Nasional, 2007, h. 6. 231 Wawancara Pibadi dengan Ahmad Sholeh, Staf Divisi Pengumpulan Pengurus
Pelaksana Harian BAZNAS, Jakarta, 21 September 2007.
dimaksud dalam pasal 8, pemerintah wajib membantu biaya operasional badan amil
zakat.” Secara subtan f, pasal ini dijabarkan oleh Kepres No. 8/2001 tentang Badan Amil
Zakat Nasional, pasal 17 ”Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas
Badan Amil Zakat Nasional dibebankan pada Anggaran Departemen Agama.”
3. Pelaksanaan Program Badan Amil Zakat Nasional
a. Penanggulangan Sektor Bencana
Dalam pelaksanaan program Badan Amil Zakat Nasional dilihat dari sisi
pelaksana, maka menganut tiga pola. Pertama, pola kemitraan eksternal, yaitu suatu
program yang dikerjakan oleh Badan Amil Zakat Nasional dengan mitra lembaga lain,
misalnya, BUMN atau Forum zakat. Dalam prakteknya, sebelum program dilakukan,
Badan Amil Zakat Nasional membuat proposal program dan kemudian diajukan kepada
lembaga tertentu untuk diajak bermitra. Kedua, Badan Amil Zakat Nasional sebagai
pelaksana tunggal. Yaitu suatu program, Badan Amil Zakat Nasional sebagai inisiator dan
juga sebagai pelaksana.232
Dilihat dari sisi bentuk program, meliputi. Pertama, kemanusiaan. Yang
dimaksud dengan program kemanusiaan menurut Badan Amil Zakat Nasional adalah
pemberian bantuan untuk meringankan masyarakat yang terkena bencana seperti
seperti evakuasi, penyediaan logistik, pelayanan kesehatan dan rehabilitasi tempat.
Juga bantuan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan asasi masyarakat.233 Dilihat
dari sisi objeknya, bantuan ini ditujukan untuk masyarakat
yang terkena musibah, maupun masyarakat yang tidak dilanda bencana tetapi
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka. Dalam tahun 2006,
Badan Amil Zakat Nasional telah melakukan bantuan kemanusian pada berbagai tempat
di Indonesia
1). Gempa Bumi Yogyakarta dan sekitarnya
Gempa yang terjadi 27 Mei 2006 di Yogyakarta telah memberikan dampak
negatif bagi kehidupan masyarakat setempat. Badan Amil Zakat Nasional telah
melakukan program kemanusiaan meliputi pemberian kebutuhan pokok, pemasangan
232Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 20 September 2007. 233Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 34.
tenda darurat, mendatangkan guru bantu, siraman rohani di Dusun Dahrono Kab.
Bantul.234 Sedang di Wonokromo, Badan Amil Zakat Nasional bekerjasama dengan PT.
Permodalan Nasional Madani (PNM) telah menyalurkan bantuan berupa penyediaan
sekolah tenda dan fasilitasnya untuk menggan kan 6 lokal kelas yang hancur. Konstruksi
bangunan berupa, material kayu meranti, atap seng dengan dinding ethernik telah
dibangun dalam waktu lima hari dengan dukungan 20 pekerja lokal.235
2). Banjir Bandang di Sinjai
Pada tanggal 20 Juni 2006, terjadi bencana tanah longsor pada tujuh kecamatan
di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Korban bencana ini menelan rumah penduduk,
sarana pendidikan, korban jiwa, ratusan hektar. Terdapat lima kecamatan yang terkena
musibah yaitu: Kecamatan Sinjai Utara, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, Sinjai Timur,
Tellulimpoe. Tim kemanusiaan Badan Amil Zakat Nasional melakukan pendistribusian
logistik, pelayanan kesehatan. Selain bersifat pelayanan, tim Badan Amil Zakat Nasional
juga melakukan kegiatan pengkordinasian antar lembaga pengelola zakat dan lembaga
swadaya masyarakat, guna distribusi bantuan dan pelayanan yang efektif.236
3). Gempa Pangandaran
Tahun 2006 telah terjadi gempa yang diiringi dengan tsunami di Desa
Sindangwangi, Desa Bukit Babakan serta 7 k pada Kecamatan Pangandaran serta
sepanjang pantai selatan Jawa, Ciamais, Cilacap, Garut, Tasikmalaya, Kebumen, Bantul
dan Gunung Kidul. Tim kemanusiaan Badan Amil Zakat Nasional telah memberikan
bantuan kepada korban gempa di Desa Sindangwangi, Desa Bukit Babakan, Cimeret,
Parigi, Sidomulyo, Silujang, Kalipulang dan Legok
Jawa. Bantuan diberikan berupa layanan kesehatan.237
4). Pelayanan Gizi Anak Gunung Sitoli
Pulau Nias di Provinsi Sumatera Utara, merupakan daerah yang terkena bencana
tsunami pada tahun 2004 dan 2005. Pasca tsunami, kehidupan sosial ekonomi pada
lokasi dimaksud sangat memperihatinkan. Tim Badan Amil Zakat Nasional melakukan
234Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 37. 235Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 36. 236Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 38. 237Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 40.
v
pemberian bantuan dengan kerjasama Islamic Develompment Bank (IDB). Bantuan yang
diberikan berupa membagikan makanan tambahan untuk anak usia 12 tahun sebanyak
2.409 anak di 16 desa di Kecamatan Sunung Sitoli.238
5). Bingkisan Lebaran
Pada tahun 2006 Badan Amil Zakat Nasional melakukan program kemanusiaan
dengan nama kegiatan “bingkisan lebaran ceria”. Kegiatan ini bertujuan untuk
meringankan beban kehidupan para duafa serta dai agar mereka dapat menyambut hari
lebaran dengan kegembiraan. Untuk itu, tim Badan Amil Zakat Nasional tahun 2006
membagikan 10.000 paket sembako kepada mereka di daerah terpencil pada 33
provinsi di seluruh Indonesia.239
Untuk sektor kemanusiaan sebagaimana terlihat dalam tabel delapan (8) bahwa
pada tahun 2006 dilihat dari sisi sebab bantuan pada dasarnya ada dua yaitu, untuk
meringankan beban korban bencana alam dan kelompok miskin yang tidak terkena
bencana alam.
b. Sektor Ekonomi Produktif
1). Pemberdayaan Perempuan Danau Maninjau
Badan Amil Zakat Nasional bekerjasama dengan Korps Perempuan Dakwah
Islamiyah (KPMD) yang telah diserifikasi menjadi unit salur zakat dan bertindak sebagai
lembaga pendamping. Bentuk perekonomian yaitu kaum perempuan melakukan
penangkapan ikan, pengolahan dan pengemasan. Selanjutnya, ikan‐ikan itu dipasarkan
ke toko‐toko yang menjual makanan khas daerah yang telah diorganisir oleh koperasi.240
Program ini berlangsung di Nagari Jorang Sasar, Kec. Tanjung Kab. Agam
Sumatera Barat, yang pelaksana program merupakan mustahik yang memperoleh dana
238Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 40. 239Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 41. Menurut Fuad, bencana
mengantar seseorang untuk mencapai sesuatu, namun dalam kenyataannya terdapat juga mustahik yang tidak dilanda bencana tetapi mengalami kesulitan dalam melaksanakan ”ibadah” dan aktifitas lainnya. Bagi BAZNAS,kedua model ini diberikan bantuuan kemanusiaan. Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 20 September 2007..
240Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 42. Program ini mendorong perempuan untuk berusaha secara ekonomi dan tetap memperhatikan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 20 September 2007..
zakat. Laba bersih menjadi milik mustahik yang sebelumnya dibayar 10 % kepada
pendamping (KPMDI). Selanjutnya, dana bantuan yang kembali, akan digulirkan oleh
Badan Amil Zakat Nasional kepada mustahik yang lain melalui program yang sama.
Dalam pelaksanaannya, program ini telah dievaluasi oleh Badan Amil Zakat Nasional
pertiga bulan.241
2) Pemberdayaan Peternak Domba Cililin
Program ini merupakan upaya peningkatan kehidupan ekonomi wali santri yang
hidup dalam kelompok mustahik melalui kerjasama Badan Amil Zakat Nasional dengan
Pondok Pesantren Dâr al‐Najâh Cipining Bogor. Proyek ini melibakan Pondok Pesantren
sebagai penanggungjawab dan pendamping dengan tugas antara lain memilih wali
santri yang dipandang layak sebaga calon pekerja; mengawasi jalannya proyek; sedang
wali santri bertindak sebagai pekerja yakni pemelihara kambing dan Badan Amil Zakat
Nasional sebagai penyedia kambing.242 Pola pembagian hasil dilakukan dengan cara: (a)
Pengembalian modal awal (berupa harga kambing) ke pihak pendamping; (b) Hasil
penjualan induk itu yang berumur pemeliharaan empat semester, akan dibagi dua
dengan pendamping dan pekerja (mustahik); (c) Pendamping dan pekerja (mustahik)
memperoleh masing‐masing lima puluh prosen dari hasil penjualan anak kambing; (d)
Dana penjualan induk kambing yang diterima pendamping akan digulirkan lagi yang
sebelumnya dibelikan kambing kepada mustahik lainnya.243
c Pengembangan Ekonomi Masyarakat.
Yang dimaksud dengan pengembangan ekonomi, menurut Badan Amil Zakat
Nasional adalah ”melakukan pemberian modal dan pendampingan usaha kepada
kelompok tertentu, agar mereka dapat melakukan kegiatan ekonomi yang dapat
mendorongnya untuk mandiri.”244 Untuk tahun 2005 Badan Amil Zakat Nasional telah
melakukan pengembangan ekonomi melalu dua bentuk kegiatan: bantuan modal dan
pendampingan untuk kelompok usaha mustahik produktif dengan hibah dan
pembiayaan kebajikan (al‐Qard al‐Hasan). Bantuan pembayaran premi asuransi
pembiayaan untuk mustahik produktif, agar bisa mendapatkan pembiayaan dari
lembaga keuangan mikro syari’ah tanpa agunan. Kelompok usaha yang telah menjadi
241Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 42. 242Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 43. 243Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 43. 244Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 46.
mitra di antaranya pengrajin tas di Bogor, pemulung sampah plastik, peternak domba,
pedagang pasar Serpong.245
Untuk sektor pengembangan ekonomi bagi mustahik, Badan Amil Zakat Nasional
berpandangan bahwa faktor kesehatan mempunyai posisi penting bagi seseorang dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi. Menurutnya, seorang yang sakit, maka ia akan
terhalang untuk bekerja dan juga ia akan mengeluarkan biaya kesehatan. Berkaitan
dengan biaya kesehatan, maka dalam hal tertentu, seseorang pedagang kaki lima akan
mengeruk tabungan untuk biaya pengobatan dan dalam kondisi demikian, maka sangat
mempengaruhi modal kerjanya.246 Berkaitan dengan kesehatan, Bagi Badan Amil Zakat
menilai program ini penting dilakukan karena memiliki keterkaitan yang sangat erat
dengan upaya pemenuhan kebutuhan lainnya bagi mustahik seperti pekerjaan.
d. Pembinaan Sektor Kesehatan
Dalam rangka program kesehatan ini, Badan Amil Zakat Nasional telah
mengusung nama ”Unit Kesehatan Keliling.” UKK memberikan pelayanan kesehatan
secara gratis kepada keluarga pra sejahtera, yang tidak terjangkau sarana kesehatan.
Menurut Baznas, UKK ini diberikan kepada mustahik untuk 15
wilayah kecamatan di Jadebotabek selama tujuh hari dalam seminggu.247
Untuk pengembangan program ini, maka Badan Amil Zakat Nasional
menyiapkan program ”Dokter Keluarga Pra Sejahtera (DKPS)” ke wilayah pra sejahtera
tersebut. Selanjutnya UKK dialihkan ke wilayah lain. Selain program ini, kini Badan Amil
Zakat Nasional telah mengembangkan program rumah sakit gratis untuk para mustahik
yang berlokasi di Ciputat. 248
245Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 46.
246 Pandangan BAZNAS tentang kesehatan selengkapnya dalam kutipan: ”Bagi pekerja harian (Pedagang keliling, buruh, tukang becak dan pekerja sektor informal
lainnya) menderita sakit, adalah musibah besar. Karena selain kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan, dia bahkan harus mengeluarkan uang untuk biaya pengobatannya. Jika
tidak ada tabungan, maka modalnyapun tersedot, bahkan tidak jarang harus berhutang. Sehingga semakin bertambahlah kemiskinannya.”
247 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 44. juga pada Baznas News No. 01/08, h. 7. .
248Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 44.
Badan Amil Zakat Nasional sejak berdirinya sampai dengan Januari 2008 M/
Muhamarram 2009 H telah melayani 20.367 jiwa dalam program UKK.249
e. Pembinaan Sektor Pendidikan
Untuk mendukung pengembangan sumber daya manusia, maka Badan Amil
Zakat Nasional mengembangkan pogram peningkatan kualitas SDM. Menurutnya,
sumber daya manusia memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan masa depan
bangsa. Baginya, pendidikan memiliki posisi penting dalam rangka meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Pendidikan akan memberikan bekal kepada mustahik
untuk bersaing dalam dunia kerja.250
Wujud program ini meliputi: beastudi untuk siswa tidak mampu, bantuan sarana
belajar mengajar bagi sekolah tidak mampu serta pelatihan bagi guru IPA untuk
madrasah. Untuk pendidikan kader pemimpin bangsa pada mahasiswa dikembangkan di
Jakarta, Bandung, Makasar, Surabaya dan Yogyakarta, yang pada pelaksanaannya
bekerjasama dengan Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Strategis.251
Kerja sama Badan Amil Zakat Nasional dengan Dompet Dhuafa dilakukan untuk
mendukung pengelolaan sekolah ”Smart Ekselensia” yaitu sekolah unggulan untuk anak‐
anak miskin yang berprestasi, setingkat SMP dan berlokasi di Parung.252
e. Sinergi Antar Lembaga dalam Peningkatan Kesejahteraan Umat
1). Sesama Pengelola Zakat
249Badan Amil Zakat Nasional, BAZNAS NEWS, Edisi Muharram 1429 H, (01 2008) h.
7. 250Pandangan Badan ini terhadap pendidikan terlihat pada :
”... masa depan bangsa sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Pendidikan adalah cara untuk mengubah nasib bangsa. Namun bagi kalangan tertentu pendidikan merupakan sebuah kemewahan yang seringkali hanya terjangkau dalam mimpi. Sehingga dengan keterbatasan kompetensi dengan persaingan pasar tenaga kerja yang semakin tinggi, roda nasib mereka tidak pernah bergerak. Tetap berhenti di bawah.” Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 45
251Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 45
252Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 45. Program ini merupakan upaya Badan Amil Zakat Nasional untuk mengembangkan harapan Badan Usaha Milik Negara dalam keterlibatannya dalam secara material dalam kegiatan sosial ekonomi. Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 20 September 2007..
Sinergi Center. Sinergi Center merupakan upaya media koordinasi dan publikasi
yang dibentuk oleh Badan Amil Zakat Nasional dengan Lembaga Amil Zakat serta Forum
Zakat agar tercipta gagasan untuk membuat bantuan‐bantuan terhadap masyarakat
yang tertimpa bencana di Yogyakarta dan sekitarnya.
Media ini telah mendapat bantuan untuk masyarakat Yogya dan sekitarnya.
Untuk masyarakat Prambanan telah diperbaiki rumah sebanyak 130 warga, yang
merupakan bantuan dari PT. Permodalan Nasional Madani.253
Pada tabel dua puluh sembilan (29) tentang program sinergi center Badan Amil
Zakat Nasional terlihat bahwa jenis aktivitas mencakup koordinasi antar lembaga
pengelola zakat (LAZ) dan forum organisasi zakat (FOZ), bantuan perbaikan rumah.
Sedangkan lokasi program untuk Yogykarta dan sekitarnya.
Salah satu wujud kemitraan, Badan Amil Zakat Nasional bekerjasama dengan
Dompet Dhuafa Republika (DDR). Pertimbangan kerjasama didasarkan: (a) Kesamaan
fungsional kelembagaan; (b) Pengembangan manajemen. Yang pertama dimaksudkan
kedua lembaga ini secara fungsional ”memperjuangkan” zakat sebagai instrumen
kesejahteraan yang modern dengan berbagai program yang telah dikembangkan dan
yang kedua, keinginan untuk mengembangkan manajemen sebagai bagian pencapaian
tujuan kelembagaan.254
2) BUMN
BUMN Peduli. Pada tahun 2005 Badan Amil Zakat Nasional terpilih
sebagai mitra BUMN Peduli, untuk menangani bencana di Aceh Darussalam (2005),
banjir bandang di Jember dan gempa bumi di Yogyakarta 2006. Program ini
menghasilkan dua bidang kegiatan, pendidikan dan ekonomi. Bidang Pendidikan, yaitu
pemberian bantuan biaya pendidikan Rp. 350.000 perorang perbulan untuk 125 orang
selama setahun. Bantuan dua buah asrama dan perlengkapannya. Untuk pendidikan
tinggi, bantuan diberikan kepada 11 orang mahsiswa berupa beasiswa sebesar Rp.
4900.000 perorang perbulan sampai sarjana.255
253Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 52. 254 Wawancara Pribadi dengan Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana
Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007. 255Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 48.
Untuk bidang ekonomi, mencakup pembangunan pasar tradisional sebanyak
114 kios, pela han dan pemberian modal ternak ayam, modal usaha untuk pengusaha
kecil,pelatihan dan modal kerja untuk bengkel motor, yang kesemuanya dilaksanakan di
Banda Aceh.256
Selain kegiatan tersebut BUMN Peduli melalui mitranya Badan Amil Zakat
Nasional telah melakukan penyertaan modal usaha sebesar Rp. 640.000 pada Bait
Qiradh Bait al‐Rahmân Badan Amil Zakat Nasional Madani yang berlokasi di Masjid
Baitul al‐Rahmân Banda Aceh yang sebelumnya asetnya hancur dan sekitar 80 %
nasabahnya menjadi korban tsunami. Per 31 Desember 2005 asetnya menjadi Rp. 8
Milyar dan membukukan laba bersih Rp. 150 Juta.257
Untuk usaha penjualan barang kebutuhan pokok di Yogyakarta Badan Amil
Zakat Nasional sebagai mitra BUMN Peduli meluncurkan Madani Mart pada Agustus
2005 dan pada 2006 telah menjadi grosir barang‐barang kebutuhan pokok. Untuk
bantuan kemanusiaan, BUMN Peduli melalui mitranya Badan Amil Zakat Nasional
membuka posko bantuan di Yogyakarta, yang memberikan bantuan evakuasi, logistik
dan pelayanana kesehatan.258
Dari tabel dua puluh ga (23) tentang program peduli Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang dimitrakan dengan badan Amil Zakat Nasional pada tahun 2005
dan 2006 menunjukkan bahwa dilihat dari sisi : (a) lokasi program menunukkan hanya
terbatas pada daerah bencana yakni Aceh dan Yogyakarta dan (b) keberlanjutan
program, maka untuk tahun 2006 masih merupakan rangkaian dari program tahun
sebelumnya (2005) yaitu bidang pendidikan dan ekonomi. Khusus untuk bidang sosial,
untuk bencana Yogyakarta, ditujukan pada tahun 2006 saja.
3) SIKIB
SIKIB merupakan program kerjasama Badan Amil Zakat Nasional dengan
Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB). Program ini bertujuan untuk
membantu korban bencana alam tsunami yang terjadi di Aceh Darussalam khusususnya
256Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 48. 257Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 48. 258Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 48
anak usia TK dan SD. Program ini diresmikan Desember 2006 oleh Ibu Negara Ani
Yudhoyono.259
Program ini telah memberikan bantuan berupa perlengkapan asrama dan
sekolah TK dan SD di Aceh Darussalam. Bantuan perlengkapan itu untuk memenuhi
keperluan dua buah asrama, enam ruang kelas, gedung serbaguna. Bantuan yang lain
berupa pemberian biaya hidup dan pendidikan sebesar Rp. 350.000 peranak perbulan
untuk 150 anak.260
Tabel 2: Program Mitra Solidaritsa Isteri Kabinet
Indonesia Bersatu (SIKIB) dan Badan Amil Zakat Nasional
Jenis Program Tahun 2005
(Lokasi Program)
Tahun 2006
(Lokasi Program)
Bantuan Perlengkapan Asrama dan Sekolah TK dan SD
‐ Banda Aceh
Bantuan Biaya Pendidikan TK dan SD
‐ Banda Aceh
Bantuan Geduang Serbaguna Dar al‐Hijrah SMP
‐ Banda Aceh
259Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 50. Menurut Fuad, program ini
merupakan salah satu bentuk kepedulian kelompok elit bangsa Indonesia terhadap sesama. Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 20 September 2007..
260Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 50.
Sumber: Anual Report Badan Amil Zakat Nasional 2006
Pada tabel di atas tentang program kerjasama SIKIB dan Badan Amil Zakat
Nasional terlihat bahwa program hanya diberikan pada tahun 2006. Sedangkan dari sisi
lokasi program hanya berbatas pada daerah Banda Aceh. Adapun dari sisi bidang
program secara umum ditujukan pada pengembangan fasilitas pendidikan dasar.
4) Program Perbankan Syari’ah Peduli Umat (PSPU).
Program PSPU merupakan kerjasama Badan Amil Zakat Nasional dengan
perbankan, khususnya perbankan syari’ah yang dilaksanakan 25 Oktober 2005 oleh
Deputi Gubernur Bank Indonesia. Program ini diikuti oleh 13 bank Syari’ah yang
berkantor pusat di Jakarta dan Bandung.261
Program PSPU telah memberikan bantuan kepada masyarakat Yogyakarta dan
Klaten berupa makanan, tenda, pakaian, obat‐obatan, pelayanan kesehatan. Untuk
program perbaikan rumah dipilih Dusun Dahromo sebagai percontohan. Pemilihan ini
didasarkan karena 95 % fasilitas umum dan warga mengalami kehancuran akibat
gempa. Bantuan yang diberikan di Dusun ini berupa perbaikan rumah 34 warga,
pembangunan sekolah semi permanent untuk tingkat SD Muhammadiyah Dahrono,
beastudi dan perlengapan sekolah untuk 187 siswa SD selama 6 bulan, pembayaran
honorarium guru selama 6 bulan, pembangunan klinik semi permanent serta bantuan
modal kerja sebesar Rp. 500.000 perbulan
kepada 225 waga dusun.262
Dari tabel dua puluh empat (24) program perbankan syari’ah peduli umat Badan
Amil Zakat Nasional terlihat bahwa lokasi program hanya ditujukan pada daerah
Yogyakarta dan sekitarnya. Sedangkan untuk bidang program selain bidang ekonomi
berupa pemberian bantuan modal kerja, secara umum program ini bersifat
kemanusiaan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
5) Bedah Kampung.
261Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 51. Menurt data, samapi tahun
2007 terdapat tiga Bank Umum Syari’ah (BUS yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syari’ah Mandiri (BSM), Bank Syari’ah Mega Indonesia (BSMI). Sementara 26 buah unit usaha syari’ah (USS) dan 114 BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Direktori Syari’ah 2008, (Jakarta: Republika, 2008), h. 4.
262Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 51.
Program ini berjalan tahun 2006 bertepatan pada Hari Keluarga Nasional.
Departemen Dalam Negeri sebagai inisiator program telah melakukan perbaikan di
Kampung Cipambuan Kab. Bogor. Dalam program ini, Badan Amil Zakat Nasional
berpartisipasi melakukan perbaikan pada mushallah dan Madrasah Ibtidaiyah,
pemberian beastudi kepada siswa, pelatihan dan
bemberian modal kerja kepada pemuda putus sekolah.263
f. Pengembangan Promosi Program dalam Manajemen Pendayagunaan Zakat
Dalam rangka pengembangan komunikasi antara Badan Amil Zakat Nasional dan
masyarakat dalam pendayagunaan zakat, maka badan ini melakukan promosi kegiatan.
Pertama, membangun isu. Menurut Fuad pada tahun 2007 Badan Amil Zakat Nasional
telah melakukan upaya‐upaya revisi isu, dengan tidak hanya menjadikan lembaga ini
terkesan sebagai milik mustahik dan muzakki, tetapi menampilkan dirinya dengan
penekanan pada fungsi mengatasi problema sosial kemasyarakatan. Menurut Fuad isu
yang dibangun adalah Indonesia sehat, Indonesia cerdas, Indonesia taqwa, Indonesia
makmur, Indonesia peduli.264
Kedua membentuk program. Kelima isu itu diwujudkan dalam program‐program
tertentu. Misalnya, Indonesia cerdas, badan ini menginginkan agar dalam satu keluarga
terdapat seorang sarjana. Ide ini dimaksudkan agar tercipta kesadaran bagi masyarakat
untuk mengembangkan pendidikan melalui Badan Amil Zakat Nasional. Indonesia
peduli, dimaksudkan agar masyarakat memiliki kepedulian sosial atas berbagai bencana
dan masalah kemanusiaan yang melanda bangsa Indonesia, dengan memberikan
bantuan pendanaan pada Badan Amil Zakat Nasional Sementara itu Indonesia sehat
dimaksudkan agar masyarakat memiliki partisipasi dalam pengembangan kesehatan
masyarakat melalui pemberian dana kepada BAZNAS.265
Ketiga, sinergi program. Untuk mengembangkan program ini, Badan Amil Zakat
Nasional telah bekerjasama dengan instansi tertentu. Misalnya, program Indonsia
cerdas telah bekerja sama dengan Menteri Pendidikan Nasional dan sebelas perguruan
263Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 53.
264Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Mei 2008.
265Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Mei 2008.
tinggi negeri se Indonesia.266 Upaya ini dilakukan dengan menyiapkan dana beasiswa
oleh Badan Amil Zakat Nasional kepada mahasiwa
baru yang lulus ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri.267
Mencermati program di atas, menurut Fuad Nasar, secara esensial program ini
merupakan pengembangan dari program yang ada sebelumnya seperti pada bidang
pendidikan dan ekonomi. Walaupun demikian, menurutnya, dilihat dari sisi komunikasi
yang terbangun dari program ini, dipandang sangat efektif. Argumen yang
dikemukakan, yaitu program ini memudahkan masyarakat untuk menghapal nama
program dan selanjutnya mengingat dan bertindak melalui pemberian pendanaan.268
Kemudahan menghapal nama program bagi masyarakat, menurut Fuad, karena secara
sosiologis bangsa Indonesia ditimpa berbagai krisis dan program ini merupakan bagian
dari solusi krisis. Selanjutnya, dengan nama program ini memberikan dampak psikologis
bagi masyarakat yaitu ikut serta merasakan dampak krisis‐krisis dimaksud. Selain itu,
dengan nama program dimaksud secara tidak langsung menggambarakan harapan yang
akan dicapai dalam program‐program Badan Amil Zakat Nasional dimaksud.269
Pengembangan promosi program di atas, menunjukkan bahwa Badan Amil Zakat
Nasional, berusaha mengembangkan penggalangan dana zakat melalui pembuatan
program yang dipandang layak jual dan strategis. Program ini dilihat dari sisi aspek
pendayagunaan zakat, menunjukkan bahwa secara tidak langsung Badan Amil Zakat
Nasional mempromosikan kepada masyarakat akan tujuan yang akan dicapai dalam
program ini.
B. Pendayagunaan Zakat Pada Berbagai Pengelola Zakat di Indonesia
1 Badan Amil Zakat, Infak dan Sedekah (BAZIS) DKI Jakarta
a. Aspek kelembagaan
Badan ini didirikan oleh Gubernur Ali Sadikin berdasarkan SK. Gubernur
266Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Mei 2008. 267Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Mei 2008. 268Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Mei 2008. 269Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Mei 2008.
v
DKI Jakarta No. Cb. 14/8/18/68 tertanggal 15 Februari 1968.270 Pada tahun 1973
cakupan kerja BAZ DKI Jakarta diperluas dengan mengelola dana sedakah,
sehingga nama lembaga diubah dari BAZ menjadi BAZIS.271
Tujuan Badan Amil Zakat, Infak dan Sedekah (BAZIS) DKI Jakarta adalah untuk
mengelola dana zakat, infaq dan sedekah warga ibu kota sesuai dengan syari’at Islam
agar lebih berdayaguna. Visi kelembagaan adalah mewujudkan keadilan distribusi
kekayaan menuju masyarakat Jakarta yang sejahtera dan bertaqwa Misi yang akan
dibangun. Pertama, memberikan kontribusi kepada Pemerintah Daerah dalam
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kedua, memotivasi masyarakat untuk
memberikan zakat infaq dan sedekah. Ketiga, pengelolaan zakat, infaq dan sedekah
berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.272
Badan ini dibangun dengan motto, teguh menjaga amanah. Program unggulan
yang dikembangkan mencakup peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan
pemberian bantuan beasiswa, pemberdayaan usaha pedagang kecil di pasar‐pasar
tradisonal.273 Badan ini, memiliki karakteristik sebagai amil zakat, infak dan sedekah baik
dalam hal prinsip dasar kehadirannya maupun pada pengembangan organisasi.
b. Sumber Penerimaan Keuangan
Sumber penerimaan keuangan pada Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah DKI
Jakarta pada tahun 2003 dan 2004 sebagaimana dikemukakan pada tabel dua puluh
lima (25) yang melipu zakat, infak dan sedekah, bantuan APBD, serta kelompok lain‐
lain yang antara lain pendapatan hasil pengembangan dan pendapatan jasa giro.
c. Aspek Pendayagunaan Zakat
Dalam pendayagunaan zakat, maka prosentase yang ditetapkan: a. 35 % untuk
aktifitas kemaslahatan dan peningkatan sumber daya manusia; b. 14 % untuk bantuan
270Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, (Jakarta: Forum Zakat, 2001), h.
27. 271Amelia Fauzia, Badan Amil Zakat, Infak dan Sadakah (BAZIS) dalam Revitalisasi
Filantropi Islam, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2005), h. 34. 272Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, (Jakarta: Forum Zakat, 2001), h.
27. 273Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, h. 27.
intensifikasi /ekstensifikasi zakat infaq dan sedekah; c. 33 % untuk bantuan
kesetiakawanan sosial.274
Adapun pendayagunaan dana zakat untuk tahun 2003 dan 2004 sebagaimana
dalam tabel dua puluh enam (26). Dalam tabel ini terlihat bahwa dilihat dari sisi jenis
penggunaan menurut sumber dana, tampaknya mengalami peningkatan peningkatan
termasuk di dalamnya dana yang berasalah dari zakat.
Pendayagunaan zakat Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS) DKI Jakarta,
menganut pola kebijakan dengan memperhatikan perubahan sosial ekonomi mustahik
yang terjadi di daerah setempat. Pada tahun 1969 prosentase pendayagunaan
mencakup 67 % untuk modal usaha fakir miskin, 20 % untuk pendirian klinik, operasional
amil 13 % Untuk bantuan fakir miskin pada tahun 1971 mengalami penurunan sehingga
menjadi 47 %, tahun 1984 menjadi 17 %. Peningkatan terjadi pada tahun 2000 yaitu
menajdi 77 %. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Amelia Fauzia bahwa fluktuasi
prosentase bagi fakir miskin terjadi karena, pada tahun 1970 an bantuan diarahkan
untuk proyek‐proyek pembangunan dan pengembangan. Dana untuk proyek
pengembangan biasanya dikategorikan pada sabilillah. Selain itu, faktor interpretasi juga
berpengaruh, misalnya, sektor produktif diarahkan pada sektor pendidikan dan
ekonomi, sehigga terkadang masuk kategori fakir miskin untuk dana zakat dan terkadang
masuk dalam bantuan modal usaha produktif (dana inafak dan sadakah). Adapun untuk
amil dewasa ini telah dianggarkan dari APBD DKI Jakarta.275
2. BAZDA Provinsi Banten
a. Kelembagaan
Provinsi Banten pada awalnya merupakan wilayah pemekaran dari Provinsi Jawa
Barat. Provinsi ini dibentuk berdasarkan UU No. 23 tahun 2000 tentang Pembentukan
Provinsi Banten Dalam konteks kehadiran Bazda Provinsi Banten, tidak dapat dilepaskan
dari suasana religius yang mengitari perjalanan pembangunan di Provinsi ini.Provinsi
Banten telah menetapkan motto Provinsi yakni Iman dan Taqwa. Bazda Provinsi Banten
274Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, h. 28. 275Amelia Fauzia, Badan Amil Zakat, Infak dan Sadakah (BAZIS) dalam Revitalisasi
Filantropi Islam, h. 42-43.
dibentuk dengan Keputusan Gubernur Provinsi Banten No. 451.12 / Kep.184‐Huk/
2002.276
Tujuan Badan ini adalah :Pertama, menngkatkan pelayanan bagi mustahik dalam
rangka penunaian ibadah zakat, infak sedekah sesuai dengan tuntunan agama. Kedua,
meningkatkan fungsi dan eran pranata keagamaan dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Ketiga, meningkatkan hasil guna dan
daya guna zakat, infak dan sedekah.277
Visi kelembagaan adalah terwujudmnya amil zakat yang amanah, profesional,
transparan, bertanggungjawab, dan mampu mengmpulkan zakat secara optimal serta
mendistribusikannya kepada mustahik sesuai dengan syari’at Islam.278
Misi kelembagaan yaitu : a.Membangun semangat untuk menajdi muzaki, gemar
berinfak, bersedekah, dan amal kebajikan lainnya. b. Mengoptimalkan pungutan,
pendistribusian dan pendayagunaan dana zakat, infak dan sedekah untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas umat. c. Membina, mengembangkan dan mendayagunakan
potensi umat, sesuai dengan tuntunan
syari’at Islam.279
Berkaitan dengan program kerja Bazda Banten, maka akan dikemukakan
berdasarkan hasil Rapat Kerja IV tahun 2006.Pertama, bidang tata usaha. Bidang ini
terdiri dari a. Kesekretariatan, secara umum mencakup perlengkapan alat‐alat
sekretariat, penataan tugas‐tugas staf dan membantu ketua umum untuk menyiapkan
aganda rapat. b. Perbendaharaan, secara umum melakukan penganggaran zakat,
penertiban pembukuan dan dokumentasi keuangan serta melaksanakan tugas lain di
dalam bidang pengelolaar zakat sesuai hasil rapat. Kedua bidang pengumpulan. a.
Melakukan perencanaan pengumpulan ZIS menurut kelompok muzaki dan pembuatan
Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ). b. Memanfaatkan data muzaki sesuai dengan
pengelompokan profesi. c. Peningkatan sosialisasi dan kerjasama antar instansi dan
276Tim Institut Manajemen Zakat , Profil 7 Badan Amil Zakat Daerah, (Jakarta: Institut
Manajemen Zakat (IMZ), 2006), h. 44. 277 Tim Institut Manajemen Zakat , Profil 7 Badan Amil Zakat Daerah, h. 46.
278Suparlan Usman, ”Sistem Pengelolaan Zakat Pada Badan Amil Zakat Daerah Provinsi Banten, makalah pada acara Rintisan Desa Binaan Zakat” yang diselenggarakan oleh Kanwil departemen Agama Provinsi Banten, 2008, h. 5
279Suparlan Usman, ”Sistem Pengelolaan Zakat Pada Badan Amil Zakat Daerah Provinsi Banten, makalah pada acara Rintisan Desa Binaan Zakat” h. 5.
masyarakat pada umumnya. d. Mengoptimalkan tugas dan fungsi unit pengumpul zakat
(UPZ). e. Melakukan kegiatan pengumpulan ZIS . Ketiga, bidang pendistribusian. a.
Membuat rencana pendistribusian ZIS. b. Menginventarisir mustahik dengan koordinasi
instansi terkait. c. Mendokumentasikan dan mensosialisasikan serta evaluasi data
pendistribusian ZIS. Keempat, bidang pendayagunaan. a. Membuat rencana
pendayagunaan ZIS. b. Melakukan pendayagunaan dana non zakat untuk usaha
produktif. c. Melakukan kerjasama dengan pihak‐pihak terkait dalam pendayagunaan
ZIS. Kelima, bidang pengembangan. a. Membuat perencanaan studi banding pada
lembaga zakat dan meningkatkan penelitian tentang perzakatan serta
menyelenggarakan fungsi komunikasi dan infromasi dengan masyarakat luas. Keenam
bidang pengumpulan dan pendistribusian zakat fitrah a. Melakukan sosialisasi tentang
besaran dana zakat fitrah sesuai ketetapan Gubernur Banten dan melakukan persiapan
penyelenggaan teknis kupon fitrah kepada karyawan bersamaan penerimaan gaji.280
b. Sumber Keuangan ZIS
Berkaitan dengan dana umat Islam yang dikelola oleh Badan Amil Zakat Popinsi Banten,
meliputi zakat fitrah, zakat mal, infaq dan fidyah. Ketiga sumber dana tersebut menurut
data sebagaimaan dalam tabel dua puluh tujuh (27), bahwa dalam tenggang waktu
2003‐2006, kenaikan penerimaan mencapai 100.82 % pada tahun 2005. Untuk zakat mal
tampaknya mengalami peringkat tertinggi dibanding dengan sumber keuangan lainnya.
Pada tahun 2005 zakat mal mencapai 80.68 % dengan prosentase terendah pada tahun
2004 sebanyak 71.12 %.
Berkaitan dengan dua dana lainnya, maka dana zakat fitrah menempati posisi
yang nggi dibanding dengan infak/ fidyah. Untuk dana zakat fitrah sepanjang 2003‐
2006 menempa posisi ter nggi. Pada tahun 2004 sebanyak 21.07 % dan terendah pada
tahun 2006 yakni hanya 11.90 %. Adapun dana infak/ fidyah yang digabung dari dua
sumber dana yang berbeda tersebut menunjukkan bahwa penerimaan tertinggi pada
tahun 2006 sebesar 14.08 % dan terendah pada tahun 2003 hanya mencapai 6.38 % dari
total penerimaan dana.
280 Himpunan Keputusan Rakerda IV Bazda Propinsi Banten 2006, (Seran: BAZDA
Banten, 2006), h. 38.
Dari sumber dana zakat fitrah dan infak/ fidyah, jika diilakukan perbandingan
maka sepanjang tahun 2003‐2005 tampaknya, dana zakat fitrah tetap menempa posisi
terbanyak, dan pada saat sumber dana ini mengalami penurunan prosentase (2006,
11.90 %) maka saat itu dana infak/ fidyah mengalami kenaikan menjadi 14.08 % yang
tahun sebelumnya (2005) hanya mencapai 7.34 % dari total dana pemasukan untuk
Bazda Banten.
c. Perkembangan Pendayagunaan
Apabila diperha kan tabel ga puluh (30) tentang pendistribusian zakat (dalam
prosentase) yang dilakukan Bazda Banten, maka dapat dinyatakan bahwa dalam 2005‐
2006 prosentase ter nggi diterima oleh mustahik fakir dan miskin yakni 62.37‐62.90 %.
Sementara prosentase Ibnu sabil mencapai 0.96‐ 1.26 %. Analisis data ini menunjukkan
bahwa sektor kemanusiaan untuk memenuhi kepentingan kebutuhan dasar fakir miskin
merupakan prosentase tertinggi.
Untuk sektor amil Bazda Banten pada 2005‐2006 tampaknya dak menerima
dana dimaksud. Kecuali bagi amil unit pengumpul zakat diberikan sebesar 4.56‐5.92 %.
Berkaitan dengan dana produktif maka Bazda Banten mengembangkan dana
bergulir yang berasal dari dana non zakat yaitu infak. Menurut data sampai dengan 2007
jumlah peminjam mencapai 3003 orang dengan uang pinjaman sebanyak Rp.
327.000.000.‐281 Menurut data per 1 Mei 2004 ‐ 31 Maret 2005 jumlah peminjam
sebanyak 29 orang dengan jumlah dana sebanyak Rp. 27.500.000. dan pengembalian
sebanyak Rp. 23.759.000. Sedang angsuran sebanyak Rp. 3.750.000. Jumlah angsuran
yang diberikan kepada mereka dalam dua kategori yaitu Rp.500.000 dan Rp. 1000.000.‐ 282
Jenis usaha yang dibiayai untuk dana bergulir ini meliputi pedagang makanan,
pakaian jadi, tukang becak, perbengkelan, warung sembako. Untuk tahun 2004‐2005,
diperoleh infak dari mereka sebanyak Rp. 130.000.‐283
281Suparlan Usman, ”Sistem Pengelolaan Zakat Pada Badan Amil Zakat Daerah Provinsi
Banten, makalah pada acara Rintisan Desa Binaan Zakat” h. 28. 282Bulletin Bazda Banten No. 03-04 & 05 /Th.II 1426 H. h. 12. 283Bulletin Bazda Banten No. 03-04 & 05 /Th.II 1426 H. h. 12.
Selain kegiatan dimaksud, maka Bazda Banten bekerjsama dengan Bazda
Kabupaten Serang dan Bazda Kabupaten Lebak secara insidentil telah mengadakan
pembinaan pada desa binaan yaitu binaan Badui Muslim di Leuwi Damar.284
3. Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU)
a. Aspek Kelembagaan
Pada awal berdiri Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) merupakan lembaga
swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kemanusiaan. Dengan melihat
antusias masyarakat untuk berpar sipasi ak f dalam kegiatan kemanuisiaan itu maka 10
Desember 1999, lembaga ini ditetapkan sebagai lembaga resmi guna lebih
mengkoordinasikan berbagai kegiatan. Pertimbangan penetapan sebagai lembaga
dikarenakan banyak permintaan di luar daerah (luar Puau Jawa) dan di luar negeri yang
berkeinginan untuk menjadi cabang dan perwakilan Pos Keadilan Peduli Umat dan
karenanya lembaga ini memposisikan diri sebagai lembaga pembangunan umat dan
amil zakat.285
Pos Keadilan Peduli Umat membangun hubungan dengan donatur atau muzaki
dengan menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Karenanya komitmen yang dibangun
oleh lembaga ini adalah memfasilitasi antara dermawan/ donatur dengan dhuafa di
pihak lain. Upaya ke arah itu dilakukan dengan penuh amanah, profesionalime yang
diwujudkan dalam kultur dan etos kerja lembaga serta sifat adil dan transparasi
merupkaan tuntunan dalam mengemban kepercayaan donator.286 Pos Keadilan Peduli
Umat, memiliki perbedaan dengan lembaga amil lainnya. Untuk yang disebut pertama,
lembaga ini memiliki prinsip dasar sebagai lembaga swadaya masyarakat dengan bidang
garapan kemanusiaan. Lalu mengembangkan diri sebagai lembaga amil. Dua model ini
masih terintegrasi dalam kehidupan kelembagaan dan sekaligs merupakan karakteristik
lembaga ini.
Visi yang diusung oleh PKPU pada tahun 1999 yaitu menjadi salah satu institusi
yang peduli terhadap kepentingan umat dengan pengelolaan yang amanah dan
profesional diIndonesia. Dalam buku Filantropi Islam disebutkan bahwa visi PKPU pada
284Suparlan Usman, ”Sistem Pengelolaan Zakat Pada Badan Amil Zakat Daerah Provinsi
Banten, makalah pada acara Rintisan Desa Binaan Zakat” h. 33. 285Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, h. 113. 286Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, h. 113.
tahun 2002 yang semula berbunyi: “menjadi ins tusi yang peduli”, diamandemen
“menjadi institusi terdepan di Indonesia dalam menebar peduli untuk kepentingan umat
manusia dengan pengelolaan yang amanah dan profesional. Alasan perubahan karena,
pada tahun 1999 belum banyak ins tusi yang bergerak dalam bidang kemanusiaan
dengan pola penghimpunan dana dan sebagai responsi atas kondisi ini pada tahun
dimaksud maka amandemen tak terhindarkan dikarnenakan banyaknya institusi yang
sejenis. 287
b. Aspek Pendayagunaan Zakat
Dalam aspek pendayagunaan zakat PKPU telah menetapkan tiga sasaran.
Pertama, misi penyelematan kemanusiaan yang melipu : 1) Daerah–daerah konflik; 2)
Daerah‐daerah bencana; 3) Daerah–daerah minus. Kedua, rehabilitas kemanusiaan yang
meliputi: 1). Rehabilitasi fasilitas kesehatan air; 2) Rehabilitasi fasilitas rumah dan
pendidikan; 3) Rehabilitasi fasilitas ibadah; 4) Rehabilitasi fasilitas ekonomi. Ketiga,
pembangunan masyarakat meliputi: 1) Pemberdayaan ekonomi masyarakat; 2)
Pendidikan alternatif, 3) pembangunan pelayanan kesehatan mandiri, 4) Distribusi
hewan kurban.288
Kebijakan pendayagunaan dana donatur termasuk zakat, maka Pos
Kemanusiaan Peduli Umat menyalurkannya melalui jaringan daerah yang terdiri dari
lima (5) cabang dan enam (6) perwakilan seluruh Indonesia. Melalui penyalur tersebut,
zakat diberdayagunakan kepada mustahik. Salah satu kebijakan yang ditempuh adalah
pendayagunaan zakat pada daerah yang terkena bencana. Pertimbangan yang diberikan
adalah selain tepat sasaran juga mengandung pemerataan distribusi perekonomian ke
lapisan masyarakat desa.289
4. Dompet Dhuafa Republika (DDR)
a. Aspek Kelembagaan
Dilihat dari sisi latar belakang keberadaan Dompet Dhuafa Republika yang lahir
sejak 1993, maka badan ini tidak bisa dilepaskan dari empat (4) wartawan harian
Republika yang menggagas perlunya upaya untuk mengangkat harkat sosial
kemanusiaan kaum dhuafa. Pada awalnya, gagasan ini dilakukan dengan menerima
287Chaider S. Bamualim dan Tuti A.Najib, dalam Filantopi Islam, h. 177. 288Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, h. 114. 289Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, h. 114
zakat secara internal di lingkungan Harian Republika dan dana itu langsung
didayagunakan kepada yang berhak menerimanya. Namun karena tuntutan
profesionalisme maka lembaga ini diformalkan dan tidak lagi dikelola secara sambilan
sebagaimana pada awal berdirinya.290
Dompet Dhuafa Republika didirikan pada tanggal 2 Juli 1993 dengan bentuk
yayasan melalui akta notaris AbuYunus SH. Selanjutnya, melalui Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, lembaga ini diumumkan dalam berita acara RI. No. 163/ A.Yay.
HKM/1996.291
Prinsip dasar yang dianut oleh Dompet Dhuafa Republika meliputi: Pertama,
moral mencakup: jujur, amanah dan ihsan. Kedua, kedudukan lembaga bersifat non‐
politik, netral‐objektif, independen dan non‐rasial. Ketiga, manajemen bersifat
transparan, dapat dipertanggungjawabkan, profesional, berdayaguna, berhasilguna,
berorientasi ada perbaikan terus menerus. Keempat, pengembangan bersifat inovatif,
kreatif, berorientasi pada sosial enterpreneurshif dan investasi sosial. Kelima, fikih tidak
hanya menganut ibadah ritual, tetapi meraup sekaligus tiga unusr yaitu muzaki, amil dan
mustahik.292
Visi lembaga adalah “Menjadi Lembaga Pengelola Zakat Infak dan Sedekah
terunggul yang amanah dan profesional.” Misi lembaga adalah optimalisasi kualitas
pengelola ZIS yang transparan, terukur, berdayaguna dan dapat dipertanggungjawabkan
dalam mewujudkan kemandirian masyarakat.293 Inti aktifitas adalah menyantuni duafa,
menjalin ukhuwah dan menggugah etos kerja. Ketiganya dijabarkan ke dalam tiga
konsentrasi manajemen. Pertama, manajemen lini mencakup: penghimpunan mencakup
sosioalisasi ZIS, layanan konseling, layanan penerima dana ZIS termasuk donasi
kemanusiaan dan program tanggungjawab sosial perusahaan yang dikerjasamakan,
layanan muzaki/ donator. Pendayagunaan mencakup pelayanan sosial untuk kebutuhan
kritis dan mendasak, pengembangan ekonomi masyarakat, pengembangan sumber
daya masyarakat. Kedua, manajemen pendukung mencakup keuangan dan
administrasi, pencatatan, pendokumentasian dan pengarsipan transaksi dana ZIS,
pengelolaan dana ZIS sesuai ketentuan Syari’at dan prinsip akuntansi yang berlaku,
290Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, h. 1. 291Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, h. 1. 292Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, h. 2. 293Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, h. 2.
penerbitan laporan keuangan berkala, termasuk yang diaudit oleh akutan publik,
pengelolaan dan pengembangan sumber daya insani amil, pengelolaan kesekretariatan
dan tata graha lembaga. Ketiga, manajemen control yaitu: dewan Syari’ah dan internal
auditor.294
Selain struktur di atas terdapat Badan Wakaf yang dipandang sebagai
refresentasi masyarakat sebagai stakeholder lembaga. Badan ini bekerja sebagai wakil‐
wakil masyarakat yang langsung berperan dalam lembaga untuk tetap mendidikasikan
segala aktifitas mereka guna memenuhi kepentingan masyarakat luas dan dengan
demikian bagi lembaga ini masyararat dipandang sebagai pemilik.295 Dari sisi mutu
manajamen kelembagaan, pada tahun 2001, lembaga ini telah menjalankan sistem
manajemen mutu standar ISO 9001:2000.296
b. Sumber dan Penggunaan Keuangan
Secara sosiologis dilihat dilihat dari sisi sumber keuangan Dompet Dhuafa
merupakan kelaas menengah. Pertimbangan pemilihan mereka karena: Pertama, secara
ekonomis mereka memiliki keuangan. Kedua, mereka relative memiliki pendidikan yang
lebih baik, dan dengan demikian mereka dapat menerima berbagai gagasan yang
pendayagunaan zakat ditawarkan oleh Dompet Dhuafa. Ketiga, biasanya mereka lebih
terbuka dalam merespon perubahan. Karena itu, Dompet Dhuafa memiliki donasi dari
kelompok artis dan pengusa yang berbeda dengan lembaga lainnya terutama lembaga
yang masih bersifat tradsional..297
Sumber keuangan Dompet Dhuafa tidak hanya berasal dari dana zakat, infak
dan sedekah serta wakaf, tetapi juga berasal dari dana kemanusiaan sebagai wujud dari
program‐program tertentu.
Tabel 3: Pemasukan Dana Dompet Dhuafa
1426‐1427 H
Sumber Pemasukan 1426 H 1427 H
294Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, h. 3. 295Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, h. 3. 296Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, h. 6.
297Karlina Helmanita, dalam Revitalisasi Filantropi Islam, h. 99.
(Rp.) (Rp.)
Zakat 18. 412.806.845 20. 255.041.469
Wakaf 406.662.500 1. 313.559.280
Infak dan Sedekah 5. 119.961.494 5. 119.961.494
Solidaritasa Kemanusiaan 9. 508.562.087 13.158.470.857
Penerimaan Bagi Hasil 816.434.712 247.635.123
Penerimaan lain‐lain 365.625.450 1.392.495.927
Jumlah 34.630.053.543 40.735.399.972
Sumber: Data Newsleter Dompet Dhuafa, Dzûl Qaiddah 1427 H
Tabel ga (3) di atas mengenai perkembangan sumber keuangan dan
penggunaannya dalam dua tahun terakhir, 1426 dan 1427 H menunjukkan bahwa telah
terjadi peningkatan penerimaan.
Untuk dana yang berasal dari zakat, wakaf dan soliditas kemanusiaan, telah
terjadi peningkatan, kecauli terhadap dana infak dan sedekah relatif tidak mengalami
peningkatan penerimaan. .
c. Aspek Pendayagunaan Zakat
Secara prinsipil pola pendayagunaan dana zakat diarahkan pada mustahik yang
delapan ashnâf, namun dalam tataran manajemen pendayagunaan diarahkan pada tiga
program yaitu: pendidikan, ekonomi, kemanusiaan. Terhadap dana zakat ditempuh
kebijakan pendayagunaan sejak tahun 2005 terhadap total dana zakat yang diterima
yaitu: 35 % untuk sektor pendidikan, 35 % untuk sektor ekonomi dan 30 % untuk sektor
bantuan kemanusiaan.298
298Wawancara Pribadi, Veldy V. Armita, GM. Program Pengembangan Ekonomi Dompet
Dhuafa, Jakarta, 11 Pebruari 2008.
v
Dana untuk sektor amil sebanyak 12,5 % dari total dana zakat. Peruntukan dana
zakat untuk sektor amil ditujukan untuk: gaji karyawan, biaya operasional
organisasi, sosialisasi program, pemeliharaan aset organisasi.299
Untuk aspek pendayagunaan dana sebagaimana dikemukakan pada tabel tiga
puluh satu (31) menunjukkan dalam tahun 1426 dan 1427 untuk mustahik tertentu yang
memperoleh peningkatan pendayagunaan dana. Mustahik yang tergolong fakir miskin,
ghârimin, fî sabîl Allah, serta kegiatan sosial. Berbeda untuk muallaf dan ibnu al‐Sabil
relatif mengalami penurunan anggaran.
d. Perkembangan Kebijakan Pendayagunaan Zakat
Dalam melakukan kebijakan pendayagunaan dana zakat, khususnya untuk
prosentase pendayagunaan maka sejak tahun 1993 ditemukan tiga kali perubahan
yaitu: 1993‐2001 konsum f atau kemanusiaan 25 %, pengembangan SDM 25 %,
pengembangan ekonomi 50 %.300 Pada tahun 2001‐2005, dana kemanusiaan mencapai
20 %, pengembanan SDM 40 %, dan pengembangan ekonomi 40 %. Pada tahun 2005‐
sekarang, pengembanan dana kemanusiaan mencapai 35 %, pengembangan SDM 35 %,
pengembangan ekonomi sebanyak 35 %. 301 Dalam perubahan prosentase, maka
pertimbangan mendasar adalah menjadikan sektor kemanusiaan memperoleh
prosentase terkecil dan dua sektor lainnya harus menempati prosentase tertinggi.302
Dalam kebijakan pendayagunaan zakat, maka ditempuh pengembangan jaringan
organisasi. Pengembangan jaringan organisasi, dimaksudkan agar program Domput
Dhuafa dapat berjalan dengan memperhatikan asas manajemen efisiensi dan efektifitas.
Yang pertama dimaksudkan agar program, tidak terlalu memberikan beban sumber dana
dan manusia Dompet Dhuafa, dan yang kedua, dapat mencapai sasaran yang
diharapkan. Berkaitan dengan jaringan ini, Dompet Dhuafa telah mengembangkan
jaringan dalam pendayagunakan zakat yang mencakup: Pertama, jaringan program.
Jaringan ini dibangun dalam rangka mengembangkan program. Sebagai contoh, dalam
rangka pengembangan sektor pendidikan, dikembangkan beastudi etos, yakni
299Wawancara Pribadi, Veldy V. Armita, GM. Program Pengembangan Ekonomi Dompet
Dhuafa, Jakarta, 11 Pebruari 2008. 300Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, h. 6. 301Wawancara Pribadi, Veldy V. Armita, GM. Program Pengembangan Ekonomi Dompet
Dhuafa, Jakarta, 11 Pebruari 2008. 302Wawancara Pribadi, Veldy V. Armita, GM. Program Pengembangan Ekonomi Dompet
Dhuafa, Jakarta, 11 Pebruari 2008.
pemberian beasiswa kepada mahasiswa yang memiliki kemampuan ekonomi lemah dan
lulus pada ujian masuk pada salah satu dari sebelas perguruan tinggi negeri di
Indonesia, yang ditetapkan oleh Dompet Dhuafa. Bantuan pendanaan diberikan kepada
mereka selama tiga tahun meliputi, biaya kuliah tahun pertama, uang saku dan
akomodasi asrama selama tiga tahun, dan pelatihan pengembangan diri.303
Selain beastudi etos, dikenal juga Smart Ekselensia Indonesia, yaitu penyediaan
fasilitas pendidikan setingkat SMP‐SMA berasrama dan bebas biaya, dengan siswa dari
keluarga yang lulus seleksi dari seluruh Indoesia.
Dalam pelaksanaan program, Dompet Dhuafa bertanggungjawab untuk
kepastian sumber pendanaan, sedang pihak sekolah bertanggungjawab dalam
mengembangkan proses belajar mengajar dalam pencapaian tujuan
program.304
Untuk sektor ekonomi, Dompet Dhuafa mengembangkan jaringan dengan
Masyarakat Mandiri. Masyarakat Mandiri, merupakan lembaga jejaring Dompet Dhuafat
Republika berfokus pada aktifitas pemberdayaan masyarakat, dengan menumbuhkan
budaya kewirausahaan sosial untuk mengembangkan ekonomi lokal.305 Program yang
dikembangkan seperti melakukan pendampingan bagi pembatik di Desa Wukisari
Kabuten Bantul Yogyakarta. Mengembangkan pemberdayaan komunitas Petani Kelapa.
Program ini secara umum bertujuan untuk memperdayakan komunitas petani kelapa
yang berada di pedesaan dengan mengangkat potensi sumber daya alam lokal menjadi
sebuah produk yang mendukung peningkatan pendapatan masyarakat setempat.
Program ini berlokasi di Mantrean, Kabuaten Pacitan Jawa Timur. Brosur.306
Untuk sektor kemanusiaan dapat dikemukakan, layanan kesehatan cuma‐cuma
(LKC) dengan memberikan pelayanan cuma‐cuma kepada mustahik dalam bidang
kesehatan. Untuk sektor kemanusiaan terutama yang berupa kebutuhan ekonomi
303Brosur Peduli Pendidikan Cerdas Anak Bangsa, diterbitkan Dompet Dhuafa dengan
tanpa tahun. 304Wawancara Pribadi, Veldy V. Armita, GM. Program Pengembangan Ekonomi Dompet
Dhuafa, Jakarta, 11 Pebruari 2008. 305Brosur Paguyuban Seni Batik Giriloyo, diterbitkan Masyarakat mandiri dan Domept
Dhuafa. dengan tanpa tahun. 306 Pemberdayaan Kominitas Petani Kelapa, diterbitkan Masyarakat Mandiri dan Dompet
Dhuafat Republika, dengan tanpa tahun.
secara mendesak bagi kalangan mustahik, maka pengelolaannya dibebankan kepada
lembaga pelayanan mustahik (LPM).307
Kedua, lembaga amil zakat. Lembaga pengelola zakat yang bermitra
dengan Dompet Dhuafa yaitu lembaga yang dirintis bersama masyarakat dengan
Dompet Dhuafa dan juga lembaga amil zakat di daerah (LAZ). Untuk yang pertama,
lembaga amil zakat diberikan pembinaan dana dan manajemen oleh Dompet Dhuafa
untuk jangka waktu tertentu dan selanjutnya diberikan program‐program tertentu.
Untuk jaringan kepada lembaga amil zakat daerah (LAZDA), yaitu Dompet
Dhuafa mengadakan kerjasama. Dalam hal ini dompet dhuafa mempunyai program
dengan dukungan dana zakat sedang LAZDA berfungsi sebagai pelaksana program.308
Dilihat dari sisi perkembangan pelaksana program pendayagunaan zakat, maka
dapat dibagi dalam tiga fase. Pertama, periode 1993‐2003. Dalam periode pelaksanaan
program hanya dilaksanakan oleh internal organisasi. Dalam hal ini, setiap program yang
ada, maka pelaksananya, secara personal ditentukan oleh Dompet Dhuafa sendiri.
Tampaknya, kebijakan dengan pola pelaksanaan ini, tidak memberikan manfaat strategis
bagi kepentingan organisasi dalam jangka panjang.
Ketiadaan manfaat strategis dalam pola pelaksaan program ini, disebabkan: (a)
pegawai tetap atau sumber daya manusia Dompet Dhuafa yang bertindak sebagai
pelaksana program dan akan terkuras perhatiannya dalam program tertentu, sehingga
perhatian pada hal‐hal yang produktif lainnya tidak dapat dikembangkan lagi. Pada sisi
lain, Dompet Dhuafa dalam perkembangannya, membutuhkan karyawan yang tidak saja
memiliki tingkat profesionalitas tetapi juga memahami budaya kerja Dompet Dhuafa.
Dengan demikian, maka melibatkan karyawan dalam pola ini, berarti mengabaikan
alokasi sumber daya manusia yang sudah ada dilihat dalam perspektif pengembangan
organisasi.309 Hemat penulis, di sini berlaku prinsip, lebih baik mengembangkan potensi
sumber daya manusia yang sudah ada yang memahami budaya organisasi dibanding
menerima karyawan baru yang belum tentu memahami budaya organisasi.
307Wawancara Pribadi, Veldy V. Armita, GM. Program Pengembangan Ekonomi Dompet
Dhuafa, Jakarta, 11 Pebruari 2008. 308 Wawancara Pribadi , Veldy V. Armita, GM. Program Pengembangan Ekonomi
Dompet Dhuafa, Jakarta , 11 Pebruari 2008. 309 Wawancara Pribadi , Veldy V. Armita, GM. Program Pengembangan Ekonomi
Dompet Dhuafa, Jakarta , 11 Pebruari 2008.
Kedua, periode 2003‐2006. Periode ini merupakan masa transisi. Ar nya,
Dompek Duafa, baru menjejaki peluang untuk melakukan kemitraan dengan lembaga
lain. Persiapan yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa mencakup tata kerja kerjasama, dan
teknis penjaringan dan penentuan lembaga yang bakal menjadi mitra Dompet Dhuafa.
Selain itu, pada periode ini, Dompet Dhuafa secara berangsur‐angsur mengurangi
keterlibatan pegawai internal lembaga ini, untuk terlibat langsung sebagai pelaksana
suatu program.310
Ketiga, periode 2006‐sekarang. Periode ini menunjukkan bahwa secara
keseluruhan program yang dikembangkan Dompet Dhuafa dilaksanakan dengan
mengacu pada pola kemitraan. Dengan pola seperti ini memberikan peluang bagi
sumber daya manusia Dompet Dhuafa untuk lebih berkonsentrasi pada pengembangan
kelembagaan melalui inovasi dan kreasi program.311
Dari uraian bab ini menunjukkan bahwa terdapat karakteristik pada setiap
pengelola zakat baik untuk berbentuk badan maupun berbentuk lembaga. Dilihat dari
sisi kehadiran pengelola zakat dimaksud menunjukkan perbedaan latar belakang,
namun mempunyai tujuan yang sama yaitu peningkatan kesejahteraan kepada
mustahik. Bab ini berfungsi untuk memperluas wawasan bagi penulis dalam membahas
pengelolaan zakat dalam mendukung objek penelitian ini yakni Badan Amil Zakat
Nasional. Bab berikut akan membahas tentang pola pendayagunaan zakat pada zama
Rasul.
310Wawancara Pribadi, Veldy V. Armita, GM. Program Pengembangan Ekonomi Dompet
Dhuafa, Jakarta, 11 Pebruari 2008. 311Wawancara Pribadi, Veldy V. Armita, GM. Program Pengembangan Ekonomi Dompet
Dhuafa, Jakarta, 11 Pebruari 2008.
BAB IV
IMPLEMENTASI POLA‐POLA PENDAYAGUNAAN ZAKAT
ZAMAN RASUL PADA PENDAYAGUNAAN ZAKAT BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL DALAM PENINGKATAN
KESEJAHTERAAN UMAT
Bab ini dimaksudkan untuk melakukan evaluasi pada pendayagunaan zakat yang
dilakukan Badan Amil Zakat Nasional dengan menjadikan pola‐pola yang berkembang
pada zaman Rasul sebagai indikator evaluasi. Bab ini pula diharapkan memberikan
jawaban atas sub masalah pertama yang diajukan dalam penelitian ini yaitu apakah
aspek kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional dalam mendayagunakan zakat untuk
peningkatan kesejahteraan umat telah mengacu pada pola pendayagunaan zakat pada
zaman Rasul atau tidak ?
A. Penetapan, Status , Prototipe, Kewenangan serta Pertanggungjawaban Amil
Pembahasan tentang penetapan dan prototipe amil dimaksudkan untuk
mengetahui tentang siapa yang menetapkan amil, status, prototipe, kewenangan serta
pertanggungjawaban amil.
1. Penetapan dan status Amil
a. Pihak Yang Menetapkan Amil
Dalam hadis yang diriwayatkan Muadz bin Jabal –sebagaimana dikemukakan
pada bab II penelitian ini‐ terlihat bahwa rasul Muhammad sebagai pemimpin dalam
jabatan publik mengangkatnya sebagai amil. Sebagai pemimpin publik mengandung arti
bahwa zakat merupakan urusan publik dan tidak termasuk dalam urusan pribadi.
Pemenuhan ekonomi merupakan salah satu satu kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi oleh umat Islam baik secara individual maupun kolektif. Secara individual
mengandung arti bahwa dengan pemenuhan kebutuhan itu, akan memberikan peluang
memenuhi kebutuhan‐kebutuhan lainnya. Selanjutnya dari sisi kolektifitas, dari sisi
aspek dana ekonomi, diharapkan dapat menjadi sarana dalam mengatasi problema
sosial, kemiskinan dan keterbelakangan dalam bidang pendidikan.
Urusan problema sosial yang merupakan bagian dari kolektifitas yang
disebutkan di atas, tidak dapat ditangani secara individual, karena problema itu memiliki
implikasi yang luas bagi tata kehidupan sosial. Di sini peran pemerintah sebagai
pejabat puiblik sangat menentukan. Dalam konteks ini maka zakat sebagai bagian dari
urusan publik memiliki argumentasi yang kuat. .
Terkait dengan pembahasan siapa yang menetapkan amil dalam konteks Badan
Amil Zakat Nasional, maka ada dua hal yang perlu digarisbawahi yaitu: a. Badan Amil
Zakat Nasional ditetapkan dengan UU No. 38/ 1999 dan b. Surat Keputusan Presiden.
Yang pertama UU ini merupakan sebuah kebijakan politik. Legislasi yang dilakukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Pemerintah, menunjukkan harapan kuat
bagi mereka untuk memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk menjalankan
ibadah zakat pada satu sisi dan efektifitas zakat dalam kehidupan mustahik pada sisi
yang lain.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa terdapat relevansi dari sisi fungsi politik
rasul Muhammad sebagai pemimpin poli k, dengan diundangkannya UU No. 38/1999
tentang Pengelolaan Zakat, yang menetapkan Badan Amil Zakat Nasional sebagai amil
zakat.
b. Status Amil
Sebagai dikemukakan di atas bahwa dilihat dari sisi proses pengangkatan
Muadz sebagai amil pada jaman Rasul, maka pengangkatan itu dinyatakan sebagai
proses politik dan karenanya Muadz dalam konteks sebagai amil zakat dapat
dikategorikan sebagai aparatur negara. Menjadikan amil zakat sebagai aparatur negara,
dikaitkan dengan Badan Amil Zakat Nasional, maka perlu dilakukan penelaahan pada UU
No. 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat sebagai dasar yuridis pembentukan Badan Amil
Zakat Nasional. Menurut UU ini pasal 6 (4) dinyatakan bahwa “Pengurus badan amil
zakat teridiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan
tertentu”. Menurut naskah penjelasan UU ini yang dimaksud dengan masyarakat adalah
“ulama, kaum cendekia, dan tokoh masyarakat setempat, ” namun tidak ditemukan
penjelasan mengenai siapa yang dimaksud dengan unsur pemerintah.
Mengenai unsur yang mewakili pemerintah dalam kepengurusan Badan
Amil Zakat Nasional menurut pengamatan penulis terhadap susunan pengurus
menunjukkan sejumlah aparatur departemen Agama dari direktur pengembangan wakaf
dan zakat.
Dengan demikian, dalam kepengurusn Badan Amil Zakat Nasional dapat
dinyatakan bahwa dalam hal status amil, tidak terimplemenasi sebagaimana status amil
yang dipahami pada jaman Rasul yakni aparatur negara. Berbagai argumen yang
dibangun atas pandangan di atas yaitu: Pertama baik dari dokumen negara berupa UU
NO. 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat maupun SK Presiden tentang Pengangkatan
Pengurus Badan Amil Zakat Nasional, tidak ditemukan pernyataan berkaitan status
pengurus Badan Amil Zakat Nasional sebagai aparatur negara.
Kedua, dari sisi sumber pembiayaan Badan Amil Zakat Nasional yang berasal
dari APBN, sebagaimana yang ditetapkan oleh UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan
Zakat, maka hal ini tidak dapat dijadikan sebagai argumen untuk mengkategorikan
pengurus badan ini sebagai aparatur negara. Hal ini dikarenakan APBN yang diterima
Badan Amil Zakat Nasional menurut Keputusan Presiden tentang Pembentukan Badan
Amil Zakat Nasional ditujukan kepada Departemen Agama. Kondisi ini membuktikan
bahwa anggaran departemen Agama yang diberikan kepada Badan Amil Zakat Nasional
memiliki persamaan dengan bantuan anggaran pendanaan yang diberikan kepada
lembaga pendidikan Islam yang dikelola oleh swasta.
Ketiga, sebagaimana dikemukakan pada pasal 6 (4) UU ini dan naskah
penjelasannya, yang menetapkan unsur masyarakat dalam kepengurusan badan amil
zakat, merupakan argumen yang mempertegas bahwa lembaga ini dikelola oleh
masyarakat dan pemerintah.
2. Proto pe Amil
a. Makna dan Syarat‐Syarat Amil
Dalam pandangan Badan Amil Zakat Nasional, amil zakat adalah ”...orang
atau lembaga yang mendapatkan tugas untuk mengambil, memungut, dan menerima
zakat dari para muzakki, menjaga dan memeliharanya untuk
kemudian menyalurkannya kepada para mustahik yang berhak menerimanya....”312
Mencermati pandangan mengenai makna amil, tampaknya pengurus Badan
Amil Zakat Nasional mempersamakannya dengan lembaga. Lembaga diartikan sebagai
makna lain dari amil. Karena itu fungsi kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional
merupakan perwujudan dari makna amil yang dikenal dalam Islam. Berbeda dengan
kitab fikih makna amil dalam arti lembaga tidak ditemukan. Tetapi pengertian yang
dikemukakan oleh Badan Amil Zakat Nasional di atas, dapat diterima mengingat, makna
amil mengalami pergeseran fungsional dari perorangan ke dalam makna kolektifitas
kelembagaan.
Makna amil zakat yang dipahami Badan Amil Zakat Nasional seperti di atas,
dipandang terimplementasi pada pemahaman makna amil yang dapat di pahami dari
prototipe Muadz bin Jabal sebagai amil yang diangkat oleh Rasul dan sekaligus
menggambarkan makna amil pada jaman Rasul. Pandangan ini didasarkan pada
argumen: Pertama, pengangkatan Mudz sebagai amil yang bersifat individual pada
zaman Rasul, tidak berarti memberikan jastifikasi secara prinsip bahwa amil harus
dilakukan secara individual. Hemat penulis pengangkatan amil bagi Muadz oleh Rasul
didasarkan pada prototipe yang dimiliki olehnya yang dipandang layak oleh Rasul untuk
mengurus masalah keuangan publik yakni zakat. Pertanyaan yang relevan diajukan
adalah apakah dengan prototipe amil dimaksud terimplementasi pada Badan Amil Zakat
Nasional atau tidak.
Untuk menjawab pertanyaan ini, dilihat dari sisi sosiologis maka, perubahan
masyarakat dipandang suatu keniscayaan. Dengan demikian, maka penyelesaian
masalah kemiskinan termasuk yang berkaitan dengan kesejahteraan umat tidak dapat
lagi ditangani secara individual tetapi harus didasarkan pada pendekatan kolektifitas
kelembagaan. Karena itu, Badan Amil Zakat Nasional yang eksistensinya didasarkan
pada UU No. 38/ 1999 merupakan “ij had” pemerintah untuk menjadikan zakat lebih
efektif, sebagaimana semangat efektifitas zakat yang dipahami dari hadis tentang
pengangkatan Muadz sebagai amil oleh Rasul selaku pemimpin politik ketika itu.
Dengan demikian, berkaitan dengan pertimbangan semangat efektifitas yang
didukung dengan prototipe Muadz sebagai simbol prototipe amil, merupakan dua hal
312Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah Kami Menjawab),
h. 85.
v
yang menjadi dasar pertimbangan utama dalam memahamai makna amil pada zaman
Rasul.
Implementasi kedua pertimbangan yang dipahami dari kasus Muadz di atas,
terlihat pada dasar pertimbangan (huruf b) UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat
“bahwa penunaian zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan
hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya
mewujudkan kesejahteraan masyarakat”.
Dalam dasar pertimbangan UU dimaksud, terlihat zakat dinilai sebagai
instrumen untuk kesejahteraan masyarakat. Tentu saja upaya untuk mencapai tujuan
dimaksud, yakni efektifitas pendayagunaan zakat melalui pembentukan Badan Amil
Zakat merupakan suatu keniscayaan.
Berkaitan dengan syarat‐syarat amil, yang disimbolkan oleh Muadz sebagai
prototipe amil, dapat lihat pada implementasinya baik pada pandangan pengurus Badan
Amil Zakat Nasional maupun pada UU No 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Badan
Amil Zakat Nasional menetapkan syarat yang tidak hanya bersifat ideologis (Beragama
Islam), kedewasaan untuk bertanggungjawab kecakapan (akil balig), intelektualitas
(memahami hukum zakat dengan baik),integritas (jujur dan amanah) serta kemampuan
untuk melaksanakan tugas keamilan.”313
Syarat di atas secara kelembagaan diilhami oleh sifat Rasul yang selanjutnya
dijadikan sebagai azas dan budaya kerja organisasi. Menurut Badan Amil Zakat Nasional
yang dimaksud dengan sidd�q yaitu seorang amil melakukan pekerjaan dengan benar
dan profesional. Adapun amanah mengandung arti bersifat jujur dan dapat dipercaya.
Tabl�gh yaitu amil yang menerapkan manajemen transparan dan akuntabel serta
fatânah yakni amil harus melakukan pemberdayaan yang kreatif, efektif dan
bermanfaat ganda (multiplier effect).314
313 Syarat amil menurut Badan Amil Zakat Nasional ”Beragama Islam, dewasa (akil
balig), memahami hukum zakat dengan baik, harus jujur dan amanah, serta memahami hukum zakat dengan baik, serta memiliki kemampuan (capable) untuk melaksanakan tugas keamilan.”Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah Kami Menjawab h. 86.
314 Azas dan Budaya kerja organisasi Badan Amil Zakat Nasional yaitu:”Siddiq, melakukan pekerjaan dengan benar dan profesional, Amanah, sifat jujur dan dapat dipercaya, Tabligh, manajemen yang transparan dan akuntabel serta fathonah, pemberdayaan yang kreatif, efektif dan bermanfaat ganda (multiplier effect).”Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 19.
v
Mengenai syarat amil yang dikemukakan oleh ditetapkan oleh Badan Amil Zakat
Nasional merupakan implementasi dari syarat‐syarat pengurus badan amil zakat yang
ditetapkan oleh UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Menurut naskah penjelasan
pasal 6 (4) UU ini, syarat dimaksud “antara lain memiliki sifat amanah, adil, berdedikasi,
profesional, dan berintegritas tinggi.
Penerapan syarat amil dilihat dari sisi sumberdaya personil Badan Amil Zakat
Nasional, dapat dipandang tidak hanya didominasi oleh mereka yang berlatar belakang
ulama sebagai upaya untuk memenuhi keperluan penguasaan hukum zakat secara
syar’iy tetapi direkrut dari berbagai latar belakang keilmuan dan profesi. Pandangan ini
terimplentasi dalam struktur organisasi dan hal ini merupakan aset organisasi
sebagaimana dikemukakan dalam laporan tahun 2006. Sebagai aset organisasi dalam hal
sumber daya manusia, menurut Badan Amil Zakat Nasional menjadikan lembaga ini
berpeluang untuk melakukan pengelolaan zakat secara amanah dan profesional.”315
Tabel 4 : Sumberdaya Personal Badan Amil Zakat Nasional dari sisi
Latar Belakang Keilmuan dan Profesi
No. Latar Belakang Keilmuan dan Profesi Jumlah
01 Ulama, Pakar Agama Islam 12
02 Anggota DPR 4
03 Pengusaha 2
04 Tokoh Masyarakat 4
05 Manajemen 9
06 Sarjana Hukum 8
07 Akuntan 2
08 Ekonom 5
Jumlah 46
315”Kehadiran para ulama, profesional, birokrat, wakil rakyat dan tokoh masyarakat yang
dikenal bersih, berdedikasi, kredibel dan ahli di bidangnya dalam kepengurusannya, Badan Amil Zakat Nasional melaksakan tugasnya secara amanah dan profesional.”Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 20.
Sumber: Data Diolah dari Buku Annual Report 2006.
Dalam tabel empat di atas terlihat latar belakang sumber daya manusia dari sisi
keilmuan dan profesi yang dimiliki Badan Amil Zakat Nasional yang meliputi ulama pakar
agama Islam (12 orang), anggota DPR (4 orang), pengusaha (2 orang), tokoh masyarakat
(4 orang), manajemen (9 orang), sarja hukum (8 orang), akuntan (2 orang), ekonom (5
orang).
Melihat keragaman latar belakang keilmuan dan profesi sumber daya manusia
personal Badan Amil Zakat Nasional maka dapat dipandang sebagai suatu tim kerja
dalam mewujudkan fungsi keamilan. Kondisi ini menunjukkan bahwa kompleksitas
fungsi amil ( sebagaimana akan diuraikan pada sub D bab
ini ), tidak memungkinkan lagi diemban oleh personil atau orang perorang semata
karena diakibatkan oleh keterbatasan personal baik dari sisi pengetahuan dan
keterampilan. Terhadap sumber daya personal Badan Amil Zakat Nasional yang
beragam dilihat dari sisi latar belakang keahlian di atas dipandang relevan dengan QS.
An‐Nahl/16: 43316
Salah satu penafsiran terhadap term ahl al‐dzikr seperti yang dinyatakan oleh
Fakhr al‐Râzi (w. 604 H) adalah “orang yang memiliki pengetahuan tentang masa
lampau”.317 Khususnya masalah keagamaan karena melihat konteks ayat ini. Al‐Zajjâj
seperti dikutip kitab tafsir terdahulu, menyatakan bahwa ayat ini mengandung arti
“perintah bertanya kepada orang yang memiliki pengetahuan dan kewenangan.”318
Quraish Shihab, menyatakan bahwa karena redaksi ayat dimaksud bersifat bersifat
umum, maka mengandung arti bahwa ayat ini memerintahkan untuk menanyakan
kepada yang dipandang ahli terkait apa saja yang tidak diketahui atau diragukan
316
ومآأرسلنا من قبلك إال رجاال نوحى إليهم فسئلوا أهل الذآر إن آنتم التعلمون
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
317Fakhr al-Dīn Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Husain ibn Hasan ibn ‘Alī al-Tamīmy, al-Bakry al-Râzi al-Syâfiī, al-Tafsīr al-Kabīr Aw Mafâtih al-Ghaib, J. XIX, (Qahirah: Maktabahag Taufiqiyah, t.th.), h. 31.
318Fakhr al-Dīn Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Husain ibn Hasan ibn ‘Alī al-Tamīmy, al-Bakry al-Râzi al-Syâfiī, al-Tafsīr al-Kabīr Aw Mafâtih al-Ghaib, J. XIX, (Qahirah: Maktabahag Taufiqiyah, t.th.), h. 31.
kebenarannya. Adapun yang dipandang ahli menurutnya yaitu siapapun yang
dipandang mengetahui tentang sesuatu dan tidak tertuduh objektifitasnya.319
Dalam konteks pendayagunaan zakat, tampaknya tidak hanya terkait dengan
problematika hukum Islam (ijthâd), tetapi terkait dengan aspek manajemen, integritas
atau kejujuran dan keadilan amil zakat serta ekonomi, yang kondisi ini menunjukkan
pendayagunaanya melibatkan multi latar belakang keahlian dan keilmuan. Kerjasama
“tim untuk saling bertanya” dalam melakukan upaya pendayagunaan zakat merupakan
suatu keniscayaan.
Pengelola zakat dalam hal ini Badan Amil Zakat Nasional yang memiliki amil
yang multi latar belakang dan keilmuan juga dapat dipahami dari tabel lima (5) dari sisi
unsur, dimensi, sumber pembentukan persepsi dan kategorisasi yang merupakan suatu
hasil alisisis. .
Tabel 5: Hasil Analisis Terhadap Konsep Amil Badan Amil Zakat Nasional: Dimensi, Sumber Pembentukan Persepsi, Kategorisasi
No. Konsep Amil: Unsur‐Unsur
Dimensi Amil Sumber
Pembentukan Persepsi
Kategorisasi Konsep Amil
1 2 3 4 5
01 Islam Aqidah Kitab Fikih 01‐04 Syarat
Amil
02
Akil Baligh Kecakapan Syar’iy
Al‐Hadits: Muadz bin Jabal
03 Pemahaman Hukum Zakat
Hukum Islam Al‐Hadits: Muaz bin Jabal
04 Jujur dan Amanah Integritas (Moralitas)
Keputusan Dirjen Bimas Islan dan Urs. Haji .
05. Kemampuan untuk Manajerial Sda. (profesional)
319Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. VII, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 236.
tugas keamilan
06 Pendataan secara cermat
Administrasi Pandangan Badan Amil Zakat Nasional
06‐09 Tugas Pokok Keamilan: Pertama
07. Pembinan dan Penagihan
Psikologi Komunikasi
Sda
08. Mengumpulkan, Menerima Mendoakan
Tugas Inti QS. Attaubah :103
1 2 3 4 5
09. Mengadministarsikan dan Memeiliharanya
Administrasi, Kearsifan, Integritas
Pandangan Badan Amil Zakat Nasional
10. Pendataan mustahik
Administrasi Sda 10‐13 Tugas Pokok Keamilan: kedua
11. Menghitung Kebutuhan Mustahik
Perencaan Keuangan
Sda
12. Menentukan kiat
Pendistribusia
Manajemen Sda
13. Pembinaan Pasca
Mustahik Menerima Zalat
Manajemen Sda
Sumber: Hasil Kajian Penulis 2007.
Tabel dimaksud memperlihatan bahwa dari sisi konsep amil mengandung unsur‐
unsur. Unsur‐unsur itu dapat dilihat dari sisi dimensinya, dan selanjutnya dilakukan
pelacakan terhadap sumber pembentukan persepsi atau sumber pendapat. Dengan
proses analisis seperti dimaksud memberikan peluang untuk melakukan kategorisasi
terhadap pandangan Badan Amil Zakat Nasional. Hasil kategorisasi yang dikemukakan
mengacu pada pengkategorisasian Badan Amil Zakat Nasional mengenai tugas pokok
amil yaitu berkaitan kepentingan pengumpulan zakat dari muzaki dan kepentingan
mustahik.
Tabel di atas memperlihatkan bahwa konsep amil menurut Badan Amil Zakat
Nasional didasarkan pada lima sumber yang terkumulasi pada Al‐Qur’an, al‐Hadis,
Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D‐291 Tahun 2000 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Zakat, Kitab Fikih dan pandangan Badan Amil Zakat Nasional sendiri.
Dari sisi dimensi atas konsep amil memperlihatkan tiga belas point yang dikembangkan
ke dalam sembilan jenis dimensi. Selanjutnya dari sisi kategorisasi konsep amil,
memperlihatkan dua kategorisasi yaitu syarat amil dan tugas pokok keamilan.
Implikasi uraian ini menunjukkan bahwa amil merupakan suatu profesi atau
pekerjaan yang tidak bebas syarat. Pandangan ini relevan dengan fungsi bahagian amil
sebagai mustahik atas dana zakat, yang dapat dipandang sebagai konpnesasi dari
profesionalisme yang diemban oleh amil.
b. Pengangkatan Amil
Menurut Badan Amil Zakat Nasional, amil zakat harus memperoleh mandat dari
lembaga ini. Perolehan mandat menunjukkan bahwa amil telah memenuhi syarat yang
telah ditetapkan baik dari sisi administrasi, profesionalisme dan integritas.320 Untuk
Badan AmiL Zakat Nasional, selain secara kelembagaan ditetapkan sebagai amil, badan
ini juga menetapkan amil sebagai bentuk perpanjangan tangan administrasi yang dikenal
dengan unit pengumpul zakat (UPZ).
Unit pengumpul zakat (UPZ ) dibentuk berdasarkan UU.No. 38/ 1999 tentang
pengelolaan zakat pasal 22 yang menyatakan ”...dalam hal muzaki berada atau menetap
di luar negeri, pengumpulan zakatnya dilakukan oleh unit pengumpul zakat pada
perwakilan Republik Indonesia, yang selanjutnya diteruskan kepada badan amil zakat
Nasional.” Dalam Keputusan Dirjend. Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No.
D/291/2000 tentang pedoman teknis pengelolaan zakat pasal 9 ayat (2) dinyatakan ”
Badan Amil Zakat Nasional dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat pada Instansi /
320Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.
lembaga pemerintah pusat, BUMN, dan perusahaan swasta yang berkedudukan di Ibu
kota Negara dan pada kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.”
Kewenangan UPZ diatur dalam pasal ini ayat (8) ”Unit Pengumpul Zakat melakukan
pengumpulan dana zakat, infaq, sedekah, hibah, wasiat, waris dan kafarat di unit
masing‐masing, dengan menggunakan formulir yang dibuat oleh Badan Amil Zakat, dan
hasilnya disetorkan kepada bagian pengumpulam Badan Pelaksana Badan Amil Zakat,
karena Unit Pengumpul Zakat tidak bertugas mendayagunakannya.”
Badan Amil Zakat Nasional sampai dengan 2007 telah membentuk 33 UPZ di
dalam negeri dan 31 di luar negeri. Untuk UPZ yang ada di dalam negeri hanya 17 yang
aktif. Untuk UPZ di luar negeri mengalami berbagai kendala dan Badan Amil Zakat
Nasional lebih memilih mengoptimalkan untuk UPZ dalam negeri.321 Kewenangan UPZ,
selain untuk kegiatan penghimpunan, Badan Amil Zakat Nasional memberikan
kewenangan pendayagunaan terbatas kepada mustahik yang ada pada internal
instansi/badan usaha tempat UPZ itu. Dalam hal pendayagunaan, Badan Amil Zakat
Nasional, hanya menerima laporan pertanggungjawaban zakat tentang mustahik yang
telah menerimanya.322
Khusus mengenai pemberian kewenangan Badan Amil Zakat Nasional kepada
UPZ dalam hal pendayagunaan, hemat penulis, sebenarnya merupakan penyimpangan
dari Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji323 yang
hanya memberikan tugas kepada UPZ untuk mengumpul zakat. Walaupun sebenarnya,
calon mustahik dapat saja diajukan oleh UPZ kepada Badan Amil Zakat Nasional untuk
diterima sebagai mustahik, namun dalam kenyataannya UPZ mengadakan penyeleksian
321Dalam melakukan pembentukan UPZ, Badan Amil Zakat Nasional berpedoman pada
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tersebut Pasal 9 ayat 7. Prosedur pembentukan Unit Pengumpulan Zakat dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a.Badan Amil Zakat sesuai dengan tingkatannya mengadakan pendataan di berbagai instansi dan lembaga sebagaimana tersebut di atas; b. Badan Amil Zakat seseuai dengan tingkatannya mengadakan kesepakatan dengan pimpinan Instansi dan lembaga sebagaimana tersebut di atas, untuk membentuk Unit Pengumpul Zakat; c. Ketua Badan Amil Zakat sesuai dengan tingkatannya mengeluarkan Surat Keputusan pembentukan Unit Pengumpul Zakat.
Berbagai kendala pembinaan UPZ di luar negeri di antaranya biaya kominikasi yang mahal. Wawancara Pribadi dengan Subroto, Kepala Devisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional. Jakarta, 4 Mei 2007.
322Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.
323Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tersebut Pasal 9 ayat (8), Unit Pe ngumpul Zakat melakukan pengumpulan dana zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris dan kafarat di unit masing-masing, dengan menggunakan formulir yang dibuat oleh Badan Amil Zakat, dan hasilnya disetorkan kepada bagian pengumpulan badan Pelaksana Amil Zakat, karena Unit Pengumpul Zakat tidak bertugas mendayagunakan.
dan pendayagunaan dana zakat sebelum dana diberikan kepada Badan Amil Zakat
Nasional.
Perluasan makna amil zakat yang dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional
pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari konsep amil dalam literatur
keagaman 324 dan Keputusan Direktur Jenderal Urusan Haji. Walaupun demikian,
karakteristik pendapat Badan Amil Zakat ini terletak pada unsur manajemen organisasi
terutama dalam hal penetapan subjek dan fungsi
kelembagaan.
3. Kewenangan Amil
Kewenangan amil zakat dapat ditelusuri pada hadis Nabi mengenai
pengangkatan Muadz bin Jabal sebagai amil. Menurut hadis Nabi sebagai yang
dikemukakan pada bab II disertasi ini, kewenangan amil ”tu’khadzu min agniyâihim wa
turadd ilâ fuqarâihim” yakni mengambil zakat dari orang kaya dan mengembalikannya
kepada orang miskin, dan kewenangan yang dipahami dari hadis ini dapat dinyataan
sebagai kewenangan distribusi.
Untuk mengetahui sejauhmana kewenangan distribusi amil terimplemnatasi
pada Badan Amil Zakat Nasional, maka akan dilakukan analisis terhadap kewenangan
amil sebagaimana yang dipahami menurut UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat
dan kewenangan amil yang dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional.
Dalam UU dimaksud pasal 9 dinyatakan bahwa Badan Amil Zakat Nasional
bertugas325 menyelenggarakan tugas‐tugas keamilan yang dipandang konvensional
yakni pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat serta tambahan dari sisi
aspek penelitian dan pembinaan baik untuk mustahik maupun muzaki.
324Menurut Rasyid Rida bahwa amil pada dasarnya siapapun yang bekerja dan atas
nama pemerintah dalam hal pengelolaan zakat. Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Quran al-Hakîm al-Masyhûr al-Manâr, Juz X (Refrint: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005), h. 431.
325a. Menyelenggarakan tugas administratif dan teknis pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat . b. Mengumpulkan dan mengolah data yangd iperlukan untuk penyusunanan rencana pengelolaan zakat.c. Menyelenggarakan bimbingan di bidang pengelolaan, pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat, d. Menyelenggarakan tugas penelitian dan pengembangan, komunikasi, informasi, dan edukasi pengelolaan zakat.
Terkait dengan kewenangan amil seperti di atas maka Badan Amil Zakat
Nasional telah menetapkan tugas pokok amil zakat yaitu: Pertama, pendataan dan
pembinaan serta penagihan terhadap muzaki. Hal ini dilakukan untuk memperoleh
pemasukan keuangan dana zakat bagi Badan Amil Zakat Nasional. Kedua, tugas pokok
yang ditujukan pada kepentingan mustahik. Dalam memenuhi kepentingan mustahik,
amil menurut Badan Amil Zakat Nasional memiliki tugas pokok untuk menghitung
jumlah kebutuhan, menentukan kiat pendistribusian, yakni apakah akan diberikan
secara langsung (konsumtif) atau sebagai modal usaha serta berkewajiban untuk
membina para mustahik 326
Dengan memperha kan kewenangan yang terdapat dalam UU No. 38 ini yang
terimplementasi pada tugas pokok Badan Amil Zakat Nasional, maka dari sisi
kewenangan amil dalam konteks pola Rasul dalam mendayagunakan zakat
menunjukkan bahwa tidak hanya kewenangan distribusi, namun terdapat upaya
perluasan kewenangan.
Dari sisi perluasan kewenangan dalam bidang non distribusi seperti pembinaan
mustahik dan muzaki serta riset perzakatan, dipandang tidak bertentangan dengan
pola pendayagunaan zakat Rasul dengan argumen tetentu. Pertama, kewenangan
distribusi telah terimplementasi pada Badan Amil Zakat Nasional dengan dukungan UU
No,. 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Kedua, kewenangan distribusi pada dasarnya,
ditujukan untuk memenuhi kepentingan mustahik yakni baik untuk memenuhi aspek
pengumpulan zakat yang akan menjadi sumber penerimaan mustahik maupun untuk
memperkuat kelembagaan dari sisi kinerja organisasi. Dari sisi kinerja organisasi
menunjukkan bahwa, dengan riset yang dilakukan, Badan Amil Zakat Nasional, akan
memperoleh informasi semaksimal mungkin berkaitan hal‐hal yang menyangkut
pezakatan. Ketiga, kewenangan non distribusi itu, merupakan konsekwensi logis
terhadap eksistensi Badan Amil Zakat Nasional sebagai suatu organisasi.
326Tugas pokok amil menurut Badan Amil Zakat Nasional:
”Pertama, melakukan pendataan secara cermat dan teliti terhadap muzaki, melakukan pembinaan, menagih, mengumpulkan dan menerima zakat dan mendoakan muzaki pada saat menyerahkan zakat, mengadministrasikan serta memeliharanya dengan baik dan penuh tanggungjawab. Kedua, melakukan pendataan terhadap mustahik zakat, menghitung jumlah kebutuhannya, dan menentukan kiat pendistribusiannya, yakni apakah akan diberikan secara langsung (konsumtif) atau sebagai modal usaha. Setelah menyerahkan zakat, amil juga berkewajiban untuk membina para mustahik tersebut.”Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah Kami Menjawab h. 86.
4. Pertanggungjawaban Amil
Pertanggungjawaban merupakan wujud dari kedudukan zakat sebagai amanah
yang merupakan hak ekonomi mustahik. Pandangan ini didasarkan pada kasus Ibnu
Luthbiyah seperti yang dikemukakan pada bab II penelitian ini
Berkaitan dengan pertaggungjawaban, maka dapat direlevankan dengan
pelaporan kepada publik yang dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional maka
terdapat hal‐hal tertentu yang akan dilihat dari sisi implementasinya dengan pola
pendayagunaan zakat masa Rasul. Pertama, dari sisi landasan pelaporan. Menurut
Badan Amil Zakat Nasional bahwa zakat sebagai ibadah yang diserahkan oleh muzaki
untuk kepentingan mustahik melalui Badan Amil Zakat Nasional dan proses ini
dipandang oleh Badan Amil Zakat Nasional sebagai suatu amanah yang harus dikelola
secara profesional. Didin Hafidhuddin menyatakan bahwa ”zakat adalah kepercayaan.
Karena itu Badan Amil Zakat Nasional menerapkan prinsip transparansi dan akuntabiltas
dalam pengelolaannya”.327
Dilihat dari sisi landasan pemikiran Badan Amil Zakat Nasional dalam melakukan
pertanggungjaban, yakni sikap amanah, maka hal ini merupakan implementasi dari pola
Rasul dalam pendayagunaan zakat. Kalau dikaitkan dengan prototipe Ibnu Lutbiyah
dalam kapasitasnya sebagai amil zakat yang ditegur oleh Rasul dan dipandang sebagai
simbol penrtanggungjawaban zakat, maka pada dasarnya amil dimaksud tidak
menjalankan amanah dengan benar.
Dalam UU.No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat pasal 19 berkaitan dengan
pertanggungjawaban dinyatakan bahwa ”Badan Amil Zakat memberikan laporan
tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwaakilan Rakyat Republik Indonesia
atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan tingkatannya.”
Selanjutnya, Pasal 20 UU ini menyatakan ”Masyarakat dapat berperan serta dalam
pengawasan badan amil zakat dan lembaga amil zakat.” Penjelasan pasal 20
menyatakan ”Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk: a. Memperoleh
informasi tentang pengelolaan zakat yang dikelola oleh badan amil zakat dan lembaga
amil zakat...”
327Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 4.
v
Pelaporan kepada publik, oleh Badan Amil Zakat Nasioal dilakukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat setiap tahun dan penerbitan news latter serta penerbitan
buku laporan perkembangan pengelolaan zakat setiap tahun.328
B. Perwujudan Fungsi Amil, Prinsip Desentralisasi dan Mempertegas Zakat Sebagi
Hak Mustahik
1. Perwujudan Fungsi Amil
Pada uraian bab II disebutkan tentang fungsi amil. Tedapat lima fungsi amil yang
disebutkan didasarkan atas pemahaman terhadap makna amil dalam Alquran. Dari
kelima fungsi amil yang disebutkan itu, maka pada dasarnya dapat disederhakan
menjadi tiga fungsi. Ketiga fungsi itu dipandang relevan dengan fungsi amil untuk
meningkatkan kesejahteraan umat. Selanjutnya, ketiga fungsi amil itu akan dilihat
sejauhmana implementasinya pada Badan Amil Zakat Nasional.
Pertama, pencapaian kesejahteraan umat melalui instrumen ekonomi.
Berkaitan dengan instrumen ekonomi, Badan Amil Zakat Nasional telah melakukan
berbagai kegiatan pendayagunaan zakat dalam sektor ekonomi produktif. Prosentase
yang ditetapkan Badan ini sebesar 35 %, merupakan prosentase ter nggi dibanding
sektor lainnya. Dalam mengembangkan sektor ini, maka tidak hanya dilakukan
pemberian dana zakat tetapi dilakukan pendampingan agar dana zakat dapat
memberikan hasil maksimal kepada mustahik.
Pendayagunaan dana sebesar 35 % dikaitkan dengan dana zakat yang diterima
Badan Amil Zakat Nasional (2005:Rp.2.540.588.847 2006: Rp. 4.825.501.587) 329
tampaknya masih sedikit dibanding dengan mustahik yang membutuhkannya. Namun
demikian Badan ini membuktikan bahwa telah melaksanakan fungsi‐fungsi sebagai
lembaga kesejahteraan umat melalui instrumen ekonomi zakat.
328Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. Dalam laporan Badan Amil Zakat Nasional telah memaparkan perkembangan pengelolaan zakat baik dari sisi program yang telah dilaksanakan, laporan keuangan, sambutan dari Ketua Umum Badan Pelaksana, Ketua Dewan Pertimbangam, Ketua Dewan Pengawas. Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional , 2006). Sedang untuk news letter terbit dalam sekali sebulan. Pada News letter diuraikan tentang program yang telah dilaksanakan dan menerima konsultasi zakat. Badan Amil Zakat Nasional dan Dompet Dhuafa News Letter.
329Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Badan Amil Zakat Nasional 2004-2007, h. 9.
v
Sebagai gambaran tentang perhatian Badan ini terhadap peningkatan
kesejahteraan umat, maka selain prosentase yang tertinggi untuk sektor di atas, maka
perlu dilihat dari aspek persepsi badan ini terhadap kelompok orang miskin sebagai
mustahik yasng merupakan kelompok terkait langsung dengan sektor ekonomi. Konsep
mustahik menurut Badan Amil Zakat Nasional pada dasarnya mengacu pada QS.
Attaubah/9: 60.330 Dilihat dari sisi ketekaitan mustahik dari sisi ekonomi sebagai faktor
kebutuhan, maka dapat dikategorikan: orang miskin, fuqara, al‐Ghârimîn dan al‐Riqâb.
Walaupun demikian, dalam aspek pendayagunaan ekonomi, Badan Amil Zakat Nasional
hanya menyebutkan dengan istilah pengembangan ekonomi dengan penekanan pada
kelompok miskin dengan tanpa menyebut latar belakang status sebagai mustahiknya.331
Namun demikian hal ini tidak berarti bahwa Badan ini tidak mempergunakan kriteria
terhadap kelompok mustahik yang terkait dengan sektor ekonomi.
Pemahaman Badan Amil Zakat Nasional terhadap mustahik dari sisi unsur‐
unsurnya dapat diidentifikasi pada tabel di bawah ini.
Tabel 6 : Identifikasi Unsur‐Unsur Konsep Mustahik dalam Persepsi Badan Amil
Zakat Nasional Dan Peluang Program Pendayagunaan Zakat
No Mustahik
Unsur‐Unsur Mustahik Peluang Program
pendayagunaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional
1 2 3 4
1. Fakir • Tidak mempunyai pendapatan tetap
• Tidak mempunyai tempat tinggal
Kemanusiaan
330
الغارمين وفي سبيل إنما الصدقات للفقراء والمساآين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب و اهللا وابن السبيل فريضة من اهللا واهللا عليم حكيم
”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
331Pengematan ini dilakukan terrhadap laporan tahunana Badan Amil Zakat Nasional yang menyebutkan aspek pemberdayaan ekonomi dengan menyebut orang miskin tanpa menyebut mustahik lainnya yang terkait dengan sektor ekonmomi., Annual Report 2006. h. 42.
tetap menurut standar kesehatan • Tidak mempunyai asupan gizi
yang cukup • Tidak mempunyai biaya kesehatan
Kesehatan
Pendayagunaan
2. Miskin • Mempunyai sumber pendapatan tetap, namun di bawah standar UMR
• Tidak cukup membiayai kebutuhan keluarga
• Tidak memenuhi gizi seimbang • Tidak mempunyai biaya kesehatan
Kemanusiaan
Kesehatan
Pendayagunaan
3 Amil • mempuyai mandat dari Baz atau Laz
1 2 3 4
4. Mu’allaf • Menunjukkan surat keterangan sebagai muallaf
Disesuaikan tingkat
kebutuhan pada Jenis
Program
5. Riqâb • TKI Pengembangan EkonomiUmat
6. Gârimīn • Surat Keterangan Mantan Pengusaha
• Surat Keterangan Berutang • Muslim
Pengembangan Ekonomi
Umat
7. Fī Sabīl Allah
• Aktifitas Dakwah • Pembangunan Rumah Ibadah • Pembangunan sarana pendidikan
Dakwah
8. Ibnu al‐Sabīl
• Siswa, mahasiswa yang tidak mampu,
Peningkatan Kualitas Daya Insani
Sumber: Diolah dari Hasil Wawancara dan Brosur Badan Amil Zakat Nasional
Dari tabel di atas diketahui bahwa pandangan Badan Amil Zakat Nasional
memiliki perluasan arti mustahik dan tampaknya berbeda dengan pandangan
kebanyakan kitab fikih. Kriteria setiap mustahik memperlihatkan adanya perluasan
unsur dari konsep fikih. (1) fakir. Menurut Syâfiiyah dan Ĥanâbilah dipahami bahwa
unsur‐unsur orang fakir adalah: (a) Tidak mempunyai harta dan sumber pendapatan
yang mencukupi kebutuhannya; (b) Tidak mempunyai keluarga yang menjamin
kebutuhan secara cukup; (c) Standar kemampuannya memenuhi kebutuhan misalnya,
kemampuan memenuhi tiga dari sepuluh yang seharusnya. Dalam pandangan mereka
contoh kebutuhan yang disebutkan seperti rumah, pakaian dan makanan.332 Unsur
kesehatan sangat dominan dalam tabel itu, yakni terkait dengan tempat tinggal,
makanan (gizi) dan biaya. Unsur ini merupakan pandangan Badan Amil Zakat Nasional,
sedang unsur pendapatan yang terkait dengan penghasilan ekonomi dipandang
merupakan konsep yang berasal dari fikih. Dalam hal pendayagunaan untuk mustahik
ini, oleh al‐Syairâzi ‐sebagaimana ditulis oleh al‐Nawawi, bahwa bagi fakir yang memiliki
kemampuan kekuatan fisik dapat diberikan fasilitas kerja.333
(2) Miskin. Kata miskin sebagai akar untuk kata kemiskinan mengandung
arti “tidak berharta; serba kekurangan”.334 Al‐Zuhaeli, menyatakan bahwa ia memiliki
kemampuan untuk bekerja guna memenuhi kebutuhannya namun pendapatannya tidak
mencukupinya.335 Menurut Gunawan secara umum kemiskinan dapat diketahui dengan
membandingkan tingkat pendapatan dan kebutuhan. Kebutuhan dibatasi pada hal‐hal
yang pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memberikan peluang bagi seseorang
dapat hidup secara layak. Jika sekiranya seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan
minimum, maka ia dinyatakan sebagai orang miskin.336
Internasional Labor Organization (ILO) menetapkan kebutuhan dasar meliputi
kebutuhan minimum yang meliputi konsumsi pribadi seperti makan, perumahan,
pakaian, peralatan, perlengkapan rumah tangga dan kebutuhan yang terkait dengan
pelayanan sosial seperti air minum, angkutan umum, kesehatan, pendidikan dan
fasilitas kebudayaan.337 Bagi orang miskin jika dihubungkan dengan pandangan ILO,
maka tentunya ia tidak dapat memenuhi secara maksimal terhadap kedua jenis
kebutuhan itu. Secara empiris, terjadinya putus sekolah, rendahnya akses ke sektor
kesehatan termasuk perolehan air bersih, pemenuhan gizi, sanitasi lingkungan,
merupakan bagian kehidupan yang melanda orang miskin.
332Wahbah al-Zahaeli, al-Fiqh al-Islâmī wa Adillatuhū, Juz III (Damsyiq: Dar Fikr,
1997), h. 1952. . 333Maĥy al-Dīn Abūi Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, al-Majmū’ Syarĥ al-
Muhazzab, juz VI, (Mesir: al-Imâm, t.th), h. 196. 334Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 749. 335 Menurutnya, kemampuan memenuhi kebutuhannya yaitu seharusnya memenuhi
sepuluh bagian hanya terpenuhi delapan bagian guna memenuhi kehidupan yang layak seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Wahbah al-Zahaeli, al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuhū, Juz III (Damsyiq: Dar Fikr, 1997), h. 1952.
336Gunawan Sumodiningrat, et. al., Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, h. 2.
337 Gunawan Sumodinigrat et., Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, h. 2.
Dalam pandangan Badan Amil Zakat Nasional, konsep orang miskin,
sebagaimana dalam konsep fakir yang memasukkan unsur kesehatan, unsur itu juga
salah satunya dikaitkan dengan konsep ini khususnya terkait dengan gizi dan biaya
kesehatan. Unsur lain yang membentuk konsep orang miskin, adalah upah minimum
regional (UMR) yang berlaku pada ketenagakerjaan sebagai standar penghasilan. Unsur‐
unsur ini, merupakan pandangan yang berasal dari Badan Amil Zakat Nasional sedang
unsur ketidakcukupan dalam penghasilan merupakan konsep fikih.
(3) Riqâb. Dalam konsep fikih diketahui sebagaimana dikemukakan al‐Zuhaeli
bahwa riqâb menurut mayoritas ulama dinyatakan sebagai hamba yang telah ditetapkan
harga pembebasannya oleh tuannya, dan karenanya jika dilunasi dengan harga itu, maka
dengan sendirinya ia akan merdeka.338 Oleh Rasyid Rida menyatakan bahwa dalam
kondisi tidak ada ”hamba” maka zakat dapat dialihkan kepada kelompok pemuda Islam
yang berjuang untuk membebaskan diri dari penjajah.339
Badan Amil Zakat Nasonal memberikan dana zakat kepada tenaga kerja
Indonesia (TKI) untuk porsi riqâb, dengan alasan bahwa dewasa ini tidak ada hamba.
Menurutnya, TKI akan mengalami ketergantungan berupa utang uang kepada pengerah
tenaga kerja karena biaya ditanggung oleh perusahaan. Karenanya, kepada calon TKI
dapat diberikan zakat agar tidak berutang kepada pengerah tenaga kerja. Dengan dana
zakat yang diberikan kepada TKI maka memungkinkan tercipta kemandirian dalam
bidang psikologis karena telah terbayar utang sebelumnya dan dapat dengan tenang
bekerja di luar negeri.340 Secara substansial, pandangan sejenis ini telah dikemukakan
oleh Permono bahwa “alasan hukum yang terkandung di dalam pengertian jatah riqâb
adalah untuk membebaskan eksploitasi atau pemerasan oleh manusia atas manusia,
baik sebagai individual maupun komunal.”341 Menurutnya, berdasarkan alasan hukum
itu, maka di antara salah satu yang dapat dimasukkan dalam mustahik ini adalah
338 Wahbah al-Zahaeli, al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuhū, Juz III (Damsyiq: Dar Fikr,
1997), h. 2018. 339Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Qur’an al-Hakīm al-Masyhūr al-Manâr, Juz X, h.
431. 340 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Kepala Devisi Pendayagunaan Zakat
Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 Oktober 2007. 341Sjechul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat dalam Rangka Pembangunan Nasional,
(Jakarta: Firdaus, 1995), h. 66.
“pembebasan budak dari eksploitasi pihak lain, seperti pekerja kontrak dan ikatan
kontrak yang tidak wajar.”342
(4) Ghârimin. al‐Ġârimīn, orang‐orang yang berhutang, oleh ulama
memberikan syarat yang harus dipenuhi yaitu: secara ekonomis, harta miliknya tidak
cukup untuk mereka pergunakan membayar utang; objek hutang pada hal‐hal yang
dibenarkan agama Islam.343
Ahmad Muhammad Al‐’Assâl dan Fathy Ahmad menyatakan bahwa bagi al‐
ġârimīn dengan dukungan Baitulmal, zakat dapat berfungsi untuk melunasi utangnya
baik utang yang berkaitan dengan kepentingan pribadinya maupun utang yang berkaitan
dengan pembiyaan kepentingan sosial.344 Tampaknya, Ahmad Muhammad Al‐’Assâl dan
Fathy Ahmad menginginkan, zakat berpola produktif. Untuk pola konsumtif, dapat
dipahami ketika keduanya membahas zakat dalam kaitannya dengan orang fakir.345
Menurut keduanya, zakat yang diberikan kepada ghârimīn, akan memberikan dorongan
dalam meningkatkan kepercayaannya untuk beraktifitas ekonomi.346
Badan Amil Zakat Nasional mengembangkan program pengembangan ekonomi
umat dengan memberikan zakat kepada masyarakat yang terjerat dengan utang dari
rentenir atau usaha kecil yang memiliki kredit macet pada bank konvensional. Dalam hal
ini Badan Amil Zakat Nasional, hanya memberikan zakat untuk pembayaran utang dalam
kegiatan ekonomi dan tidak dalam bentuk sosial. Badan ini menetapkan bahwa terdapat
unsur yang harus dipenuhi oleh mustahik ini yakni wajib berstatus sebagai muslim dan
surat keterangan sebagai mantan pengusaha atau sedang terjerat utang.347
Kedua pencapaian kesejahtraan umat melaluji instrumen sosial. (1) Ibn al‐Sabīl.
Program peningkatan kualitas sumber daya insani dikembangkan didasarkan pada
konsep ibn al‐sabīl dalam zakat. Dana yang dialokasikan sekitar 25 % dari total dana
342Sjechul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat dalam Rangka Pembangunan Nasional,
h. 66. 343Muhammad Abd Allah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudâmah, al-Mugnī, Juz IX,
(Qâhirah: 1995), h. 104. 344Ahmad Muhammad al-‘Assâl dan Fathy Ahmad Abdul Karīm, al-Nizâm al-Iqtisâdy fi
al-Islâm, (Qahirah: Wahbah, 1977), h. 166. 345Ahmad Muhammad al-‘Assâl dan Fathy Ahmad Abdul Karīm, al-Nizâm al-Iqtisâdy fi
al-Islâm h. 122. 346Ahmad Muhammad al-‘Assâl dan Faty Ahmad Abdul Karīm, al-Nidâm al-Iqtisâdy fi
al-Islam, h. 119. 347Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.
yang terkumpul.348 Untuk Beasiswa Tunas Bangsa, hanya diberikan kepada mahasiswa
semester akhir atau menjelang penyelesaian studi, yang aktifis dakwah di kampus, serta
berasal dari keluarga yang berekonomi lemah.349 Bantuan sarana belajar mengajar yang
tidak mampu, pelatihan tenaga guru tertentu untuk madrasah, pelatihan kepemimpinan
bagi generasi muda Islam, pendirian sekolah unggulan untuk anak‐anak miskin
berprestasi. Dalam pelaksanaannya beberapa jenis program ini dikerjasamakan pihak
tertentu.350
Ulama berbeda pendapat mengenai konsep ibn al‐sabī. Syâfi’ī menyatakan
bahwa ia merupakan orang yang ingin mengadakan perjalanan dengan tujuan tidak
untuk maksiat dan membutuhkan bantuan guna mendukung perjalanan dan tanpa
dengan bantuan, usaha dimakud tidak dapat terwujud.351 Selain dari aspek tujuan
perjalanan juga aspek kedakmampuan untuk mencapai perjalanan tanpa dengan
bantuan dan karenanya bagi orang kaya tidak berhak mendapat zakat.352 Menurut
Mahmud Syaltut, mendayagunakan zakat untuk kepentingan pembiayaan penelitian
antar negara muslim dalam mempererat hubungan mereka dan tidak untuk
kepentingan olah raga dan pariwisata.353
Pandangan Badan Amil Zakat Nasional, untuk mustahik ini dibanding dengan
ulama di atas, memiliki karakteristik tersendiri, karena hanya mengkhususkan pada
pengembangan sumber daya manusia yakni dalam bidang pendidikan saja. Dari sisi
keberadaan pogram ini di Indonesia, hal serupa pernah dijadikan oleh Bazis DKI Jakarta
sebagai rekomendasi pengembangan zakat. Menurut Bazis DKI Jakarta, mustahik ini
mencakup: pengiriman mahasiswa ke luar negeri, penelitian‐penelitian ilmiah,
pengiriman utusan ke konperensi, penyediaan asrama, perbaikan jalan umum
kelancaran arus lalu lintas, pendidikan atau pemeliharaan anak yatim, dan lain‐lain.354
348 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Kepala Devisi Pendayagunaan Zakat
Badan Amil Zakat Nasional. Jakarta, 9 Mei 2007. 349Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007. 350 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat
Nasional , 2006), h. 45. 351Abd. Allah Muhammad ibn Idris al-Syâfiī, al-Um, Juz II, (Bairut: Dâr al-Kitab al-
Ilmiah, t.th), h. 98. 352Abd. Allah Muhammad ibn Idris al-Syâfiī, al-Um, Juz II, h. 98. 353Mahmud Syaltūt, al-Islâm ‘Aqidah Wa Syari’ah, (Mesir: Dâr al-Qalâm, t.th), h. 110-
111 354Rekomendasi dan Pedoman Pelaksanaan Zakat, (Jakarta: Bazis DKI Jakarta, 1981), h.
100.
Ketiga, pencapaian kesejahteraan umat melalui instrumen spritual. (1)
Mualaf. Mualaf, adalah orang yang dibujuk hatinya dan diberikan zakat untuk
meneguhkannya. Menurut Abû Ya’lâ seperti yang dinyatakan oleh Abū Zahrah bahwa,
terdapat empat ragam orang mualaf yaitu: orang yang dibujuk hatinya karena
membantu orang Islam; orang yang dibujuk hatunya karena membentengi umat Islam;
orang yang dibujuk hatinya untuk mendorong rasa cinta kepada umat Islam; orang yang
dibujuk hatinya untuk mendorong rasa cinta keluarga dan kelompoknya kepada umat
Islam. Untuk kondisi perekonomian muallafin, Abū Zahrah berpendapat bahwa dewasa
ini, sebahagian telah terputus dari keluarga (setelah memeluk Islam) dan kelompok
masyarakat mereka. Karenanya mereka hidup dalam keadaan bermasalah dan
membutuhkan bantuan ekonomi.355 Menurut Ibnu Qudâmah, muallaf boleh diberikan
zakat kepadanya sepanjang ia membutuhkan dan jika tidak membutuhkan, maka ia tidak
diberikan. 356 Bagi Badan Amil Zakat Nasional, pemberian zakat kepada muallaf
didasarkan atas permohonan dan surat keterangan tentang ke muallaf‐an. Surat
keterangan dan permohonan ini, menunjukkan bahwa muallaf membutuhkan zakat.
Dibanding kedua pandangan terakhir ini, tampaknya terdapat relevansi, karena
keduanya mengacu pada sektor kebutuhan.
(2) Fī Sabīl Allah. Menurut Fakhr al‐Râzi menyatakan bahwa sebahagian mufassir
mengartikan fī sabīl Allah yaitu mencakup kebutuhan umat Islam dalam memenuhi
kemaslahatannya. 357 Program dakwah yang dikembangkan oleh Badan Amil Zakat
Nasional melalui pembiayaan zakat, didasarkan pada pemahaman konsep fī sabīl Allah.
Alokasi sekitar 10 % dari total dana yang terkumpul dengan bentuk sasaran dakwah
masjid, dakwah masyarakat dan dakwah sekolah.358
Pengembangan dakwah dengan tiga sasaran ini merupakan suatu
karakteristik pemahaman bagi Badan Amil Zakat Nasional. Pemahaman Badan Amil
Zakat Nasional yang berbasis pada pengembangan sumber daya manusia melalui
355Muhammad Abu Zahrah, Zakat. Penerjemah Zawawy (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004),
cet.III , h. 153. 356Muhammad Abd Allah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudâmah, al-Mugnī, Juz IX,
(Qâhirah: 1995), h. 100. 357 Fakhr al-din ibn Muhammad ibn ‘Umar ibn Husain ibn Hasan ibn ‘Alī al-Tamīmī al-Bakrī al-Râzī, Tafsīr al-Kabīr au Mafâtīh al-Ghaib, juz 8 (Refrint, Qâhirah: Taufīqiyyah, 2003), h. 99.
358Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.
dakwah, merupakan jawaban atas permasalahan yang dialami umat Islam dewasa ini.
Dalam hal perlunya pembinaan dakwah khususnya terhadap dai menurut Hidayat
Nurwahid, ”...kita semua termasuk mereka yang aktif di dunia dakwah perlu mencermati
berbagai perkembangan mutakhir disekitar kita yang bersinggungan dengan sikap dan
pengetahuan serta komitmen dan pelaksanaan agama....”359
Dari sisi keberadaan pogram ini di Indonesia, hal serupa pernah dijadikan oleh
Bazis DKI Jakarta sebagai rekomendasi pengembangan zakat. Menurut Bazis DKI Jakarta,
mustahik ini mencakup: “...peningkatan ilmu pengetahuan: agama, umum,
keterampilan, keperluan bea‐siswa, penelitian, penerbitan buku‐buku pelajaran,
majalah‐majalah ilmiah....”360
Penetapan fungsi kesejahteraan melalui instrumen‐instrumen dimaksud, maka
tampaknya, telah terjadi implementasi pola penmdayagunaakan zakat pada zaman Rasul
terhadap program yang dikembangkan Badan Amil Zakat Nasional. Pandangan ini
didasarkan pada argumen : (a). Penetapan prosentase merupakan bagian dari ijtihad;
(b). Kriteria yang dikemukakan oleh Badan Amil Zakat Nasional pada dasarnya mengacu
pada hasil ijtihad yang didasarkan oleh ulama dan lembaga pengelola zakat lainnya serta
pengembangan kriteria yang dilakukan sendiri oleh Badan Amil Zakat. (c). Dalam
melaksanakan program kerja dimaksud, maka faktor manajerial menjadi perhatian
badan ini. Bagian sub c dimaksud akan dikemukakan secara luas pada pembahasan sub b
bab V disertasi ini. Bagi penulis memadukan ”ijtihad” dan implementasi fungsi
manajemen dalam program kerja, merupakan bagian dari usaha yang akan memberikan
manfaat kepada mustahik.
2. Prinsip Desentralisasi
Merujuk kepada hadis Nabi berkaitan dengan pengangkatan Muadz (w. 18
H) sebagai amil di negari Yaman, yang diuraikan pada bab II mengeai prinsip
desentralisasi, maka prinsip ini akan ditelaah dari sisi implementasinya pada
pendayagunaan zakat yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional.
359Hidayat Nurwahid, dalam A. Suriyani, Manajemen Dakwah, (Jakarta: MSCC, 2005), h.
vi. 360Rekomendasi dan Pedoman Pelaksanaan Zakat, (Jakarta: Bazis DKI Jakarta, 1981), h.
xiii. .
Menurut UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional
berpeluang memiliki sumber pendataan dari dana zakat baik dari dalam negeri maupun
luar negeri (pasal 22). Pendayagunaan zakat yang dilakukan Badan ini dilihat dari sisi
tempat tinggal mustahik atau geografis mustahik, baik yang disalurkan melalui conter
sendiri badan ini maupun melalui kemitraan, memperlihatkan terjadinya penyebaran
geografis mustahik pada seluruh Indonesia. Pada tabel tentang penyebaran unit salur
zakat (USZ) terihat bahwa hanya enam provinsi di Indonesia yang telah memilliki
jaringan USZ dan provinsi yang terbanyak adalah Jawa Barat.
Terhadap kebijakan Badan Amil Zakat Nasional yang hanya memiliki jaringan
USZ terbatas pada provisi tertentu memiliki kaitan erat dengan keterbatasan dana zakat
yang diterima.tidak dimaksudkan sebagai upaya diskriminasi geografis361 Bagi penulis
pola pendayagunaan zakat yang digunakan Badan Amil Zakat Nasional adalah
sentralisasi dan bukan desentralisasi. Pola yang dipergunakan ini dapat dipahami dengan
argumen: (a) Badan ini secara fungsional memiliki kewenangan yang berbeda dnegan
badan amil zakat daerah provinsi lainnya. Bagi Badan Amil Zakat Nasional yang
merupakan organisasi yang berada di tingkat pusat, maka titik perhatian ditujukan pada
kebijakan yang bersifat strategis dan memberikan pendayagunaan zakat dengan tidak
diskriminasi dalam melihat wilayah geografis. (b). Secara sosiologis ekonomis, badan
amil zakat daerah provinsi memiliki tingkat kemampuan yang berbeda‐beda. Dengan
kata lain, terdapat badan amil zakat daerah yang memiliki pengumpulan zakat dan
manajemen yang memadai sementara pada badan lainnya dengan kedua kondisi itu
sangat lemah.362
Dengan argumen di atas, kiranya sentralisasi dalam pendayagunaan zakat,
dipandang sangat rasional. Dengan dasar argumen itu pula hemat penulis pola
pendayagunaan zakat yang sentralistik ini sesuai dengan prinsip‐prinsip desentralisasi
yang dibangun oleh Rasul dalam pendayagunaan zakat. Untuk mendukung pendapat ini
maka dapat dikemukakan pandangan yaitu : (a) Pertimbangan yuridis. Dalam UU No.
38/1999 dan Peraturan Menteri Agama, dak ditemukan petunjuk berkaitan dengan
pola pendayagunaan zakat yang bersifat desentralistik atau sentralistik. Penjelasan
361Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. 362Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 1 Agustus 2007.
v
mengenai pola in ditemukan pada Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2002 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Zakat. Menurut Keputusan terakhir ini pasal 8 (1 huruf f) dinyatakan bahwa :
”Mengutamakan pendistribusian dan pendayagunaan dari dana zakat yang diperoleh di
daerah masing‐masing sesuai dengan tingkatannya, kecuali Badan Amil Zakat Nasional
dapat mendistribusikan dan mendayagunakan dana zakat ke seluruh wilayah Indonesia.”
Peraturan Teknis Dirjen di atas memberikan informasi bahwa pola
pendayagunaan zakat adalah disentralisasi dan kepada Badan Amil Zakat Nasional
diberikan kewenangan bersifat sentralistik. Dilihat dari sisi tata hukum, maka kebijakan
ini merupakan rangkaian dari penjelasan yang besifat teknis terhadap UU No. 38/1999
dan atas dasar itu, maka bagi Badan Amil Zakat Nasional memiliki kewajiban untuk
menganut pola pendayagunaan sentralistik.
Dalam perspektif fiqh al‐Siyâsi, kebijakan ini merupakan perwujudan dari
keinginan pemerintah untuk memberikan hak‐hak mustahik bagi warna negaranya dan
merupakan kewajiban Badan Amil Zakat Nasional, untuk mewujudkannya. Atas dasar
itu, maka melaksanakan kewajiban pendayagunaan zakat secara sentralistik bagi Badan
Amil Zakat Nasional dipandang sesuai dengan QS. al‐Nisa: 59363 Muhammad Abduh
mengemukakan empat pengertian mengenai ulil amr dan ia menyatakan bahwa ulil amr
mengandung atri sebuah lembaga yang di dalamnya terhimpun para amir, hakim, ulama,
kepala pasukan militer dan seluurh pemimpin masyarakat yang menjadi rujkan dalam
memenuhi kemaslahatan umum.364
Dengan kata lain ketaatan Badan Amil Zakat Nasional atas nama yuridis, pada
dasarnya merupakan konsekwensi dari ketaatan pada Rasul. Karenanya untuk argumen
pola sentralistik Badan Amil Zakat Nasional dipandang sesuai dengan prinsip
pendayagunaan zakat pada jaman Rasul.
363
ىء فردوه إلى اهللاياأيها الذين ءامنوا أطيعوا اهللا وأطيعوا الرسول وأولى األمر منكم فإن تنازعتم في ش والرسول إن آنتم تؤمنون باهللا واليوم األخر ذلك خير وأحسن تأويال
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” 364 Yaitu: para amir, para hakim, para ahli ilmu pengetahuan, imam-imam maksum.
Muhammad Rasyd Rida, Tafsir alQur’ân al-Hakîm ( al-Manar), Juz V, (Mishr : Maktabah al-Qâhirah, 1960), h. 181-181.
v
(b) Kondisi sosial ekonomi badan amil zakat daerah. Seperti dikemukakan
sebelumnya bahwa tingkat kemampuan badan amil zakat daerah masih relatif variatif.
Dengan demikian, Badan Amil Zakat yang secara yuridis dipandang sebagai lembaga amil
zakat tingkat nasional, berkewajiban melakukan pendayagunaan dengan berbasis
keadilan. Kondisi kualitas berbagai badan amil zakat daerah tingkat provinsi yang relatif
masih lemah, dipahami dari pernyataan pengurus badan amil zakat Provinsi DI.
Yogyakarta. Menurutnya, kondisi pengelolaan dan dana yang kurang lebih banyak untuk
keperluan konsumtif, menyebabkan berbagai masalah kemiskinan tidak bisa ditangani
oleh bazda.365
Terkait dengan argumentasi di atas, Badan Amil Zakat Nasional selain melakukan
pendayagunaan zakat melalui sinergi UPZ, badan ini melakukan bantuan kemanusiaan
pada bencana alam tsunami di Provinsi Aceh Daruusalam, Sulawesi Selatan (Kabupaten
Sinjai) serta Yogyakarta.366 Secara nasional, Indonesia sering dilanda bencana alam dan
berbagai problem sosial ekonomi, maka kebijakan Badan Amil Zakat Nasional masih
sangat relevan yang sentralistik untuk dikembangkan. Tampaknya, secara internal
kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional telah siap mengembangkan sikap sentralistik ini
dengan mengusung visi yaitu ”Menjadi pusat zakat nasional yang memiliki peran dan
posisi yang sangat strategis di dalam upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan melalui pengelolaan zakat nasional yang
amanah, profesional, efisien dan efektif berdasarkan syari’at Islam dan aturan
perundang‐undangan yang berlaku”367
Dengan visi yang diusung tersbebut, badan ini menghendaki terwujudnya suatu
kesejahteraan masyarakat Indonesia melalui pendayagunaan zakat. Dalam konteks
sentralisasi pendayagunaan, mengandung arti bahwa badan ini memberikan peluang
yang sama bagi seluruh mustahik di Indonesia untuk menjadikan zakat sebagai
instrumen peningkatan kesejahteraan.
3. Prinsip Mempertegas Zakat sebagai Hak Mustahik
365Wawancara Pribadi dengan April Purwanto, devisi Pendayagunaan Zakat BAZDA D
Yogyakarta, via internet, tgl. 30 April 2008. 366 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat
Nasional, 2006), h. 38-39. 367 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat
Nasional, 2006), h. 17.
Salah satu kebijakan yang ditemuh oleh Rasul adalah mempertegas zakat
sebagai hak mustahik. Kebijakan ini penting untuk menunjukkan bahwa tindakan yang
ditempuh oleh amil berkaitan mustahik benar‐benar dapat mendukung zakat sebagai
hak bagi mustahik. Dengan kata lain zakat yang dikelola tidak diterima oleh mereka
yang tidak bermasuk kelompok mustahik
Berkaitan dengan kebijakan Rasul ini, maka jika dilihat dari sisi implementasinya
pada Badan Amil Zakat Nasional, maka terdapat tiga hal yang perlu digarisbawahi.
Pertama, unsur‐unsur pada mustahik. Terhadap unsur mustahik telah dikemukakan
pada pembahasan yang lalu. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa unsur‐unsur
mustahik telah mengalami perluasan yang merupakan pengembangan dari unsur yang
ada. Secara prinsipil perluasan unsur‐unsur terhadap mustahik didasarkan pada
pemahaman terhadap berbagai pendapat ulama.
Karenanya penetapan unsur‐unsiur terhadap mustahik memberikan indikasi
mengenai kemampuan Badan Amil Zakat untuk menjaga zakat agar dapat diterima oleh
mereka yang termasuk kategori mustahik. Kedua, orientasi kelembagaan. Kebijakan
pendayagunaan zakat Badan Amil Zakat Nasional untuk 2004‐2007 diarahkan pada: (a)
orientasi pada pengentasan kemiskinan mustahik. Untuk mendukung upaya ini, Badan
Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional menetapkan 35 % (tiga puluh lima prosen) untuk
program pendayagunaan zakat ditujukan kepada mustahik pada sektor ekonomi. Hal ini
merupakan prosentase tertinggi dibanding dengan program lainnya.
Tabel 7: Program dan Prosentase Pendayagunaan Zakat
Badan Amil Zakat Nasional
No. Nama Program Sub Program Ket.
1. Kemanusiaan a. Evakuasi Korban
b. Pelayanan
c. Kesehatan Darurat
d. Bantuan Pangan dan Sandang
e. Pembinaan Daerah Pasca Bencana
10 %
2. Kesehatan a. Jaminan Kesehatan Masyarakat Prasejahtera (Jamkestra)
b. Dokter Keluarga Pra sejahtera (DKPS)
c. Unit Kesehatan Keliling
d. Penyaluhan Kesehatan
e. Pemberian makanan bergizi, sanitasi desa prasejahtera
20 %
3. Pengembangan Ekonomi Umat
a. Bantuan Sarana Usaha
b. Pendanaan Modal Usaha
c. Pendampingan/Pembinaan
35 %
4. Dakwah a. Bina Dakwah Masyarakat
b. Bina Dakwah Masjid
c. Bina Dakwah Kampus/ Sekolah
10 %
5 Peningkatan Kualitas Sumber Daya Insani
a. Beasiswa Tunas Bangsa b. Beasiswa Pelajar Keluarga Prasejahtera
c. Pendidikan Alternatif Terpadu
d. Pendidikan Keterampilan Siap Guna
Bantuan Guru dan Sarana Pendidikan
25 %
Sumber Data: Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Badan Amil Zakat Nasional Periode 2004‐2007, h. 9
(b) orientasi pada manajemen pendayagunaan. Orientasi ini dimaksudkan
sebagai upaya untuk memberikan dampak yang sebesar‐besarnya bagi mustahik dalam
pendayagunaan zakat. 368 Dikaitkan pandangan ini dengan kondisi objektif
pendayagunaan zakat di Indonesia, kiranya cukup strategis, karena secara umum
pendayagunaan yang dikembangkan oleh lembaga pengelolalan zakat cenderung kurang
memperhatikan aspek ini. Dalam tabel sembilan belas (19) terlihat hanya sebahagian
368Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 September 2007.
kecil lembaga pengelola zakat yang memiliki arah pengembangan yang berbasis
ekonomi yang jelas dengan alokasi 20 prosen ke atas.
Ketiga Prosedur Pendayagunaan Zakat. Untuk mencapai hasil yang maksimal
maka UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat telah menetapkan proseder
pendayagunaan zakat (pasal 29) . yakni : a. melakukan studi kelayakan, b. menetapkan
jenis usaha produktif, c. melakukan bimbingan dan penyuluhan, d. melakukan
pemantauan, pengendalian dan pengawasan, e. mengadakan evaluasi dan membuat
pelaporan. Selain prosedur dalam pendayagunaan zakat untuk hal‐hal yang produktif,
maka hal‐hal yang konsumtif, Badan Amil Zakat Nasional menetapkan prosedur
pendistribsian : a. Calon penerima penerima zakat diberikan anggota mustahik (NAM),
b., Penelitian administrasi berkas calon, c. Penetapan besaran yang diberikan kepada
mustahik dan. persetujuan pemberian, d. Pembayaran dana zakat kepada mustahik.369
Uraian di atas berkaitan penetapan unsur‐unsur mustahik, orientasi
kelembagaan serta prosedur pendayaguaan, memnunjukkan bahwa Badan Amil Zakat
Nasional telah melakukan upaya agar zakat dapat diterima kepada mustahik. Langah‐
langkah yang dilakukan Badan ini merupakan implementasi pada pola yang dipahami
dari Rasul mengenai pendayagunaan zakat.
Sebagaimaan dikemukakan pada pengantar bab ini, yakni bab ini diharapkan
dapat memberikan analisis mengenai impelementasi pola‐pola Rasul dalam
pendayagunaaan zakat yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional, maka hasil
analisis menunjukkan bahwa secara prinsipil Badan ini telah mengimplementasikan
pendayagunaan zakat sebagaimana yang dipahami dari pola Rasul. Hasil analisis ini
menunjukkan bahwa, sebagai lembaga keagamaan dengan fungsi pendayagunaan dana
zakat yang merupakan instrumen sosial ekonomi religius yang berasal dari perintah
agama Islam, yang seyogianya mengacu pada pola pendayagunaan Rasul dan
tampaknya Badan ini secara prinsipil telah mengimplementasikan pola dimaksud dalam
pendayagunaan zakat.. Selanjutnya, untuk melihat implementasi fungsi‐fungsi
manajemen pada Badan Amil Zakat Nasional dalam pencapaian tujuan zakat untuk
kepentingan mustahik, maka diperlukan analisis tentang implementasi pada fungsi
manajemen sebagaimana uraian bab berikutnya
369Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.
BAB V
IMPLEMENTASI FUNGSI‐FUNGSI MANAJEMEN DALAM PEN
DAYAGUNAN ZAKAT BAGI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN
UMAT PADA BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL
Secara struktural bab ini mengacu pada bab‐bab sebelumnya yaitu bab II
mengenai dasar‐dasar manajemen dan bab III tentang aspek kelembagaan dan program
Badan Amil Zakat Nasional. Dua bab yang disebutkan itu, bersifat teoritis dan untuk bab
ini akan bersifat evaluasi.
Bab ini ‐sebagaimana terlihat dalam judul sub bab‐ bertujuan untuk memberikan
evaluasi terhadap fungsi‐fungsi manajemen manajemen yang diimplementasikan oleh
Badan amil Zakat Nasional dalam pendayagunaan zakat untuk peningkatan
kesejahteraan umat. Hasil analisis ini diharapkan memberikan jawaban terhadap
pertanyaan sub b yang diajukan dalam penelitian yaitu sejauhmana Badan Amil Zakat
mengimplementasikan fungsi‐fungsi manajemen dalam pendayagunaan zakat untuk
peningkatan kesejahteraan umat ?
A. Implementasi Fungsi Perencanaan
Perencanaan merupakan proses yang meliputi penetapan tujuan, strategi dan
pengembangan secara terpadu dan terkoordinasi untuk mendukung upaya pencapaian
tujuan organisasi.370 Pandangan yang lain berkaitan dengan perencanaan dikemukakan
oleh Morrisey, bahwa perencanaan merupakan proses untuk menetapkan tujuan
organisasi serta sejumlah teknik yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan
dimaksud.371 Fungsi manajemen yang berkaitan dengan perencanaan mengandung arti
penentuan tujuan organisasi, penggunaan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai
tujuan organisasi.372
Dari pengertian perencanaan sebagai salah satu fungsi manajemen maka
ditemukan dua unsur yang sangat mendasar yaitu: penentuan tujuan organisasi dan cara
370Stephen P. Robin and Mary Coulter, Management, eight edition, (Singapore: Pearson
Education, Pte. Ltd., 2005), h. 159. 371George L. Morrisey dalam Gary Dessler, Management h. 69.
372Richard L. Daft, Management, (Singapore: Thomson Asia PTe. Ltd., 2003), h. 7.
mencapai tujuan. Unsur pertama, berkaitan dengan cita‐cita, keinginan luhur yang akan
dicapai oleh organisasi. Menurut Daft tujuan organisasi memiliki dua arah pesan yakni
internal dan eksternal. Pesan internal ditujukan kepada pengurus organisasi dan
eksternal ditujukan kepada lingkungan Kedua arah pesan ini berkaitan dengan
legilitimasi organisasi.373
Untuk unsur yang kedua dalam fungsi perencanaan, terkait dengan penentuan
teknik yang dipergunakan, penggunaan sumber daya organisasi guna mencapai tujuan
orgnisasi. Kedua unsur dalam perencaaan ini, memiliki masing‐masing karakteristik.
Pada unsur pertama, seperti dikemukakan oleh Daft berkaitan dengan legitimasi baik
keluar maupun ke dalam sedang unsur kedua berkaitan dengan penggunaan sumber
daya organisasi. Selain perbedaan karakteristik kedua unsur perencanaan, maka
ditemukan persamaan karakteristik yaitu, keduanya terkait dengan dimensi ruang (
dimana) dan waktu (kapan).
Berkaitan dengan fungsi perencanaan maka terdapat pertanyaan yang terkait
yaitu apa yang menjadi tujuan organsasi jangka panjang, apa strategi yang dipergunakan
untuk mendukung tercapaianya tujuan organisasi, apa tujuan jangka pendek organisasi
serta apa kesulitan‐kesulitan yang dihadapi organsasi untuk mencapai tujuan.374
Apabila pertanyaan–pertanyaan dikaitkan dengan dua unsur dimaksud, dapat
dinyatakan bahwa pertanyaan bagian pertama diakomodir pada perumusan tujuan
organisasi yakni apa yang menjadi tujuan jangka panjang organisasi, sedang bagian
kedua pertanyaan di atas, kesemuanya terakomodir pada unsur cara mencapai tujuan
organisasi.
373Richard L. Daft, Management, h. 7.
374Gary Dessler, Management, (USA: Person Education, Inc. 2002), h. 69.
Bagan 3 : tentang Unsur dalam Fungsi Perencanaan
Sumber: Hasil Olahan Penulis, 2008.
Apabila bagan di atas dihubungkan dengan komponen indikator penelitian maka
akan membentuk unsur sebagaimana terdapat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 8: tentang Sintesis antara Unsur dalam Fungsi Perencanaan
dengan Indikator Penelitian
Indikator Sintesis Unsur dalam Fungsi Perencanaan
Efektif Terhadap Mustahik
Unsur Kelembagaan
Perencaan Tujuan Organisasi
Efisien Sumber daya: Cara Mencapai Tujuan Organisasi
Perumusan Tujuan
Organisasi
Cara Pencapaian Tujuan
Ekonomi, Waktu, Tenaga
Tepat Waktu Waktu Penerimaan Cara Mencapai Tujuan Organisasi Tepat Jumlah Jumah Dana yang
ditetapkan Cara Mencapai Tujuan Organisasi
Perubahan Mustahik Sosekreg Mustahik Cara Mencapai Tujuan Organisasi Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2008
Dari tabel yang dikemukakan di atas terdapat tiga komponen yaitu:
indikator penelitian, unsur dalam perencanaan dan sintesis. Dalam komponen sintesis,
terlihat unsur kelembagaan yang memiliki hubungan dengan unsur perencanaan tujuan
organisasi dan unsur efektif pada mustahik untuk komponen penelitian. Dengan kata
lain, dalam fungsi perencanaan, pencapaian tujuan organisasi hanya akan efektif jika
dikaitkan dengan kepentingan mustahik. Sebaliknya dengan perumusan tujuan
organisasi yang tidak berpihak pada kepentingan mustahik maka perumusan tujuan
organisasi itu dipandang tidak efektif.
Untuk empat unsur lainnya yang ada pada indikator penelitian yang telah
dikemukakan unsur‐unsurnya dalam komponen sintesis kesemuanya dimasukkan dalam
unsur cara mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, dalam kaitannya dengan
fungsi perencanaan, maka empat unsur lainnya memiliki hubungan dengan cara
mencapai tujuan organisasi.
Secara fungsional unsur‐unsur dalam tabel di atas yang terdiri dari tiga
komponen, akan dijadikan sebagai instrumen analisis untuk melihat implementasi fungsi
perencanaan dalam pendayagunaan zakat pada Badan Amil Zakat Nasional.
1. Gambaran Umum Kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional dalam Penca‐ paian
Tujuan Organisasi dan Cara Mencapainya
Secara umum kebijakan yang telah ditetapkan Badan Amil Zakat Nasional dalam
pendayagunaan zakat (tahun 2004‐2007) didasarkan pada pengembangan visi yang
telah dirumuskan sebagai arah organisasi. Visi organisasi: ”Menjadi pusat zakat nasional
yang memiliki peran dan posisi yang sangat strategis di dalam upaya pengentasan
kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan melalui
v
pengelolaan zakat nasional yang amanah, profesional, efisien dan efektif berdasarkan
syari’at Islam.”375
Secara umum yang dipahami dari visi Badan Amil Zakat Nasional meliputi tiga
aspek sebagaimana yang akan diuraikan. Dua aspek pertama merupakan tujuan yang
akan dicapai oleh organisasi dalam jangka panjang sedang satu aspek pada bagian kedua
merupakan persiapan internal kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional dalam mencapai
dua aspek yang menjadi tujuan jangka panjang organisasi.Mengenai dua aspek yang
pertama, dilihat dari sisi fungsi perencanaan, merupakan langkah awal dari perencanaan
tujuan organisasi.376
Pertama, menjadi pusat zakat nasional. Pandangan ini didasarkan pada aspek
yuridis formal dalam UU No. 33/ 1999 tetang Pengelolaan Zakat pasal 2 ayat (1) yang
menetapkan struktur Badan Amil Zakat menurut wilayah administrasi formal. Badan
Amil Zakat Nasional merupakan badan yang berada di tingkat nasional dan
berkedudukan di ibu kota negara.
Bagi Badan Amil Zakat Nasional, dukungan yuridis formal sebagaimana yang
dipahami olehnya, merupakan bagian kekuatan organisasi untuk mencapai tujuan
jangka panjang. Karenanya dari analisis fungsi perencanaan maka faktor dukungan ini
merupakan tahapan lebih lanjut dari penetapan tujuan jangka panjang organisasi.377
Berkaitan dengan dukungan UU ini terhadap pencapaian tujuan organisasi
jangka panjang, maka patut dinyatakan bahwa dalam UU ini dan peraturan lainnya tidak
ditemukan penjelasan secara tersurat bahwa Badan Amil Zakat Nasional sebagai pusat
zakat nasional. Pemahaman tentang Badan Amil Zakat Nasional sebagai pusat zakat
nasional hanya didasarkan atas pasal 6 ayat (3) yang menyatakan ”badan amil zakat di
semua tingkatan memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan
informatif. Fuad menyatakan bahwa pandangan Badan ini sebagai pusat zakat nasional
didasarkan pada: a. Badan ini secara kelembagaaan berada pada tingkat nasional; b.
375 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat
Nasional , 2006), h. 17. 376John R. Schermerhon, JR., Management, (Singapore: John Wiley & Sons Inc, 1996),
h. 139. 377 Menurut Schermerhon, tahapan seanjutnya setelah penetapan tujuan adalah
merumuskan kondisi yang mendukung pencapaian tujuan. John R. Schermerhon, JR., Management, h. 139.
v
diperlukan suatu badan amil yang memberikan bimbingan dan kordinasi dengan badan‐
badan amil lainnya.378
Penetapan Badan Amil Zakat Nasional sebagai pusat zakat nasional,
dimaksudkan agar badan ini mengemban misi sebagai: a. Regulator zakat
nasional; b Menjadi Koordinator Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat; c, Menjadi
pusat data zakat nasional; d. Menjadi pusat dan pengembangan sumber daya manusia
zakat nasional.379
Pandangan sebagai regulator tidak berarti bahwa Badan Amil Zakat Nasional
akan bertindak sebagai lembaga yang membuat UU dan Peraturan lainnya berkaitan
dengan pengembangan zakat secara nasional. Karena dari sisi kewenangan, seluruh
badan amil zakat hanya diberikan tugas pokok oleh pasal 8 UU ini untuk mengumpulkan,
mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Namun,
harapan Badan Amil Zakat Nasional sebagai regulator dimaksudkan untuk memberikan
arah fiqhiyah dan manajemen terhadap pengelolaan dan pendayagunaan zakat. Untuk
yang pertama, kewenangan ini memungkinkan dilakukan karena, Surat Keputusan
Menag No. 581/1999 tentang Pelaksanaan UU No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat,
pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa ”Badan Amil Zakat Nasional terdiri atas Dewan
Pertimbangan, Komisi Pengawas, dan Badan Pelaksana.” Surat Keputusan Dirjend Bimas
Islam dan Urusan Haji No.D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Zakat, Pasal 5 yang mengatur tentang tugas Dewan pertimbangan yang tampaknya lebih
pada hal‐hal yang berkaitan dengan pedoman dalam bidang syari’ah.380
Badan Pengawas pada Badan Amil Zakat Nasional terdiri dari empat belas orang
dengan kwalifikasi latar belakang pendidikan agama Islam (Pakar Hukum Islam dan
Ulama) sebanyak 40 % dan lainnya dari praktisi zakat, ekonom dan hukum, sebagaimana
378Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. 379Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 18. 380”(1) Dewan Pertimbangan memberikan pertimbanga, fatwa, saran dan rekomendasi
tentang pengembangan hukum dan pemahaman mengenai pengelolaan zakat. (2) Dewan Pertimbangan mempunyai tugas: a. Menetapkan garis-garis kebijakan umum Badan Amil Zakat bersama Komisi Pengawas dan Badan Pelaksana. b. Mengeluarkan fatwa syari’ah baik diminta maupun tidak berkaitan dengan hukum zakat yang wajib diikuti oleh Pengurus Badan Amil Zakat.”
terlihat pada tabel empat (4).381 Sumber daya untuk melakukan pemahaman baru
terhadap pendayagunaan zakat, memungkinkan dilakukan agar mereka dapat
mendorong pengembangan zakat dengan memperhatikan perkembangan lingkungan
strategis yang ada. Pemahaman baru terhadap pendayagunaan zakat, berpeluang
mereka lakukan dengan tidak sekedar menerapkan seperti yang ada dalam kitab fikih
saja.382
Pandangan untuk menjadi koordinator terhadap badan amil zakat dan lembaga
amil zakat, sesuai dengan pasal 6 ayat (3) UU ini, ditambah dengan kondisi faktual Badan
Amil Zakat Nasonal yang secara administratif berada di ibu kota negara, maka
memungkinkan mengambil kebijakan untuk bertindak sebagai koordinator lembaga
pengelola zakat.
Kebijakan Badan Amil Zakat Nasional untuk menjadi koordinator, dimaksudkan
agar pengelola zakat di Indonesia memiliki pandangan yang sama tentang pengelolaan
zakat. Untuk mendukung harapan itu, Badan Amil Zakat Nasional sebagai koordinator
telah melakukan kegiatan di antaranya: (a) Pertemuan tingkat nasional tentang
peningkatan kinerja pengelolaan zakat; (b). Melakukan kunjungan ke berbagai badan
amil zakat dan lembaga amil zakat dalam rangka mendengar dan mengetahui informasi
sekitar pelaksanaan pengelolaan zakat; (c) melakukan silaturrahim ke Menteri tertentu
dalam rangka menyampaikan gagasan berkaitan perlunya sinergi dengan lembaga
pengelola zakat.383
Kedua, pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan Keinginan untuk menjadikan
Badan Amil Zakat Nasional sebagai lembaga yang memiliki kepedulian terhadap
pengentasan kemiskinan, didasarkan atas pertimbangan: (a.) Merespons kecenderungan
pemikiran muslim yang ingin menjadikan zakat sebagai instrumen pengentasan
kemiskinan; (b) keterbelakangan dan kemiskinan masih merupakan masalah besar yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia.384 Kecenderungan pendapat di atas, sebagaimana
diuraikan pada bab II penelitian ini tentang zakat sebagai instrumen ekonomi dalam
381 Tabel empat (4) tentang sumber daya personal BAZNAS dari sisi latar belakang keilmuan dan profesi merupakan hasil analisis penulis terhadap data dalam Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 21-22.
382Wawancara Pribadi dengan Achmad Subianto, Ketua Umum Pengurus Badan Amil Zakat Nasional Periode 2001-2004, Jakarta, 6 Pebruari 2008.
383Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.
384Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 Januari 2008.
peningkatan kesejahteraan umat sangat tepat direspons oleh Badan Amil Zakat
Nasional, karena secara teoritis diperlukan lembaga untuk mengembangkan gagasan
para pemikir muslim itu. Kencenderungan pengelola zakat di Indonesia dalam kaitannya
dengan pengembangan ekonomi dapat dilihat pada tabel sembilan belas (19) dan hasil
analisisnya pada tabel sembilan (9) di bawah ini.
Tabel 9 : Perbandingan Prosentase Antar Sektor pada
Pendayagunaan Zakat Infaq dan Sedekah
Lembaga Pengelola Zakat di Indonesia
No Sektor Pendayagunaan Prosentase Ket
1 Usaha Produktif 10‐50
2 Pengembangan
Kecerdasan SDM (Da’wah
+ Ibnussabil)
25‐50
3 Prasarana Pendidikan /
Rumah Ibadah serta
Bantuan Sosial
10‐24
4 Amil 10—12.5
Sumber Data : Hasil Analisis Penulis terhadap data
tabel 19, (2008)
Tabel di atas menjelaskan bahwa bahwa alokasi dana yang secara langsung
dalam aspek ekonomi sekitar 10‐50%.
Berkaitan dengan aspek pengentasan kemiskinan yang menjadi bahagian dari
visi Badan Amil Zakat Nasional, serta argumen yang membangunnya, secara manajerial
badan ini telah mengimplementasikan pondasi manajemen yang baik. Menurut
Schermerhon, pondasi perencanan yang baik adalah memiliki dampak yang
berwawasan masa depan (forecasting). Menurutnya, dampak yang dimaksud adalah
berkaitan dengan sisi‐sisi kemanusiaan. 385 Dilihat dari sisi aspek pengentasan
kemiskinan yang telah ditetapkan Badan ini sebagai tujuan jangka panjang, maka
tampak bahwa perencanaan yang dibangun badan ini telah memiliki dampak
kemanusiaan. Sebab masalah kemiskinan berkaitan dengan ketidakmampuan
masyarakat untuk mengakses sumber‐sumber penghasilan dan tidak berfungsinya
potensi‐potensi diri mereka dalam mengembangkan aspek kemanusiaan.
Selain dampak kemanusiaan di atas, maka dampak lain adalah partisipasi Badan
ini dalam mengatasi problema kemiskinan. Data menunjukkan bahwa di Indonesia
sampai tahun 2005 jumlah penduduk miskin mencapai 39.050.000 jiwa.386
Dalam kaitan dengan perencanaan jangka panjang yang memiliki dampak
berwawasan masa depan dilihat dari sisi manajemen pada satu sisi dan hubungan aspek
perencanaan Badan Amil Zakat Nasional dengan pencapaian aspek kesejahteraan umat,
maka dapat dikemukakan dua hal. (a). Pencapaian kesejahteraan umat, tidak dapat
dicapai tanpa upaya untuk menciptakan kondisi sosial ekonomi dan religius (sosereg)
terhadap mustahik yang dapat mendukung bagi mereka dalam mengakses sumber‐
sumber ekonomi. (b) Penciptaan kondisi sosekreg bagi mustahik harus didukung oleh
tersedianya instrumen ekonomi.
Kedua hal yang dikemukakan di atas berkaitan dengan pencapaian aspek
kesejahteraan umat, tampaknya telah dilakukan oleh Badan ini sebagaimana yang akan
dikemukakan pada fungsi pengorganisasian. Namun demikian berkaitan dengan fungsi
perencanaan, maka pengembangan internal kelembagaan yang mendukung fungsi
pengorganisasian merupakan prasyarat yang harus dilakukan Badan ini.
Ketiga, pengembangan internal kelembagaan. Pengembangan internal
kelembagaan diperlukan untuk mendukung fungsi kelembagaan. Salah satu bentuk
kebijakan ini, Badan Pelaksana mengembangkan struktur kelembagaan dengan
menambah bagian pelaksana harian. Menurut ”keputusan Presiden RI. No. 103 tahun
2004 menetapkan organisasi Badan Amil Zakat Nasional terdiri dari Badan Pelaksana,
Komisi Pengawas dan Dewan Pertimbangan.”387
385John R. Schermerhon, JR., Management, (Singapore: John Wiley & Sons Inc, 1996),
h. 148.
386Tabel 18: tentang perkembangan kemiskian di Indonesia. 387Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 20.
Keberadaan pengurus pelaksana harian Badan Amil Zakat Nasional, sesuai
dengan surat keputusan Badan Pengurus No.01/Badan Amil Zakat Nasional /VIII/2002
dimaksudkan untuk memberikan dukungan efektifitas terhadap jalannya roda
organisasai. Menurut mantan Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional, terdapat dua
pertimbangan dibentuknya kepengurusan ini: a. Mengingat Pengurus Badan Pelaksana,
secara personal memiliki tingkat kesibukan yang tinggi, sehingga diduga kuat akan
memberikan pengaruh yang berarti dalam aktifitas organisasi; b. Secara kelembagaan,
keberadaan pengururs harian itu berfungsi sebagai pelaksana teknis administrasi
organisasi.388
Dalam pengembangan sumber daya manusia, Badan Pelaksana mengutus
personal lembaga untuk mengikuti pendidikan formal dalam bidang manajemen. Untuk
2004‐2007 telah disiapkan personal kelembagaan dari unsur pelaksana harian untuk
mengiku pendidikan S2 sebanyak 5 orang. Selain itu juga diikutkan dalam kursus‐kursus
pengembangan manajemen.389
2. Arah Kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional dalam Pendayagunaan Zakat
Badan Amil Zakat Nasional dalam pendayagunaan zakat untuk 2004‐2007
diarahkan pada: Pertama, orientasi pada pengentasan kemiskinan mustahik. Untuk
mendukung kebijakan ini, Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional menetapkan tiga
puluh lima prosen (35 %) untuk program pendayagunaan zakat ditujukan untuk
mustahik pada sektor ekonomi. Hal ini merupakan prosentase tertinggi dibanding
dengan program lainnya sebagaimana terlihat pada tabel tujuh (7). Dalam tabel itu
terlihat sektor pengembangan ekonomi merupakan tertinggi diikuti sektor lainnya yakni
peningkatan kualitas sumber daya manusia (25 %), kesehatan (20 %), dakwah (10 %)
serta kemanusiaan (10 %).
Kedua, orientasi pada manajemen pendayagunaan. Orientasi ini dimaksudkan
sebagai upaya untuk memberikan dampak yang sebesar‐besarnya bagi mustahik dalam
pendayagunaan zakat. 390 Dikaitkan pandangan ini dengan kondisi objektif
388Wawancara Pribadi dengan Achmad Subianto, Ketua Umum Pengurus Badan Amil
Zakat Nasional Periode 2001-2004, Jakarta, 6 Pebruari 2008. 389 Wawancara Pribadi dengan Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana
Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007. 390Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 September 2007.
pendayagunaan zakat di Indonesia, kiranya cukup strategis, karena secara umum
pendayagunaan yang dikembangkan oleh lembaga pengelolalan zakat cenderung kurang
memperhatikan aspek ini. Dalam tabel sembilan belas (19) terlihat hanya sebahagian
kecil lembaga lengelola zakat yang memiliki arah pengembangan yang berbasis ekonomi
yang jelas dengan alokasi 20 prosen ke atas. Selanjutnya, secara umum pengelolaan
zakat di Indonsia cenderung mendayagunakan zakat dengan tidak memperhatikana
aspek manajemen. Hal ini terlihat pada kurangnya sosialisasi terhadap perencanaan dan
implementasi program dan pertanggungjawaban zakat kepada publik.391 Penyebab dari
kondisi internal kelembagaan yang demikian itu dikarenakan oleh kualitas sumber daya
manusia pengelola yang berasal dari latar belakang keilmuan yang relatif berasal dari
sumber yang sama serta tingkat pengalaman yang minim. Dampak lain dari kondisi
sumber daya pengelola zakat yang demkian adalah zakat sebagai sumber dana
keagamaan belum memperlihatkan hasil yang maksimal.392
Dalam kaitan dengan perlunya manajemen pendayagunaan dalam pengelolalan
zakat, kiranya pernyataan Azyumardi cukup beralasan ”...Di tengah peningkatan
filantropi di kalangan masyarakat kita, persoalannya adalah seberapa jauh dana yang
dikumpulkan bermanfaat untuk meningkatkan keadilan sosial ? Apakah dana filontropi
yang masih besar masih didistribusikan secara konvensional, misalnya terutama untuk
pembangunan rumah ibadah, ataukah juga semakin banyak untuk membantu
terciptanya kepedulian dan keadilan sosial....”393
Dalam mendukung arah manajemen pendayagunaan, Badan Amil Zakat,
menetapkan langkah yaitu: a. Perlunya dilakukan studi kelayakan program terhadap
tingkat kebutuhan mustahik; b. Dampak yang diperoleh bagi mustahik dalam suatu
program; c. Pendampingan program dan keberlanjutan program.394 Arah manajemen ini
dikembangkan selain untuk internal kelembagaan tapi juga untuk eksternal
kelembagaan dengan menjalin kemitraan dengan lembaga
391 Wawancara Pribadi dengan Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana
Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007. 392Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007. 393 Azyumardi Azra, Meningkatkan Manajemen Filantropi Islam, dalam Eri Sudewo
Manajemen Zakat, (Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2004), h. Xxi. 394Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.
pengelola zakat lainnya dalam suatu program tertentu.395
3. Penyusunan rumusan tentang makna zakat
Pemahaman tentang pengertian zakat yang diberikan oleh Badan Amil Zakat
Nasional dan diterbitkannya, memungkinkan diketahui pula faktor persepsi terhadap
makna zakat. Terdapat berbagai aspek yang terkait dengan zakat dari pengertian zakat
yang diberikan Badan Amil Zakat Nasional. Pertama, zakat merupakan aktivitas ekonomi
yang berhubungan kehidupan sosial ekonomi.396 Dengan pandangan ini, hemat penulis,
menjadikan argumen Badan Amil Zakat Nasional sangat mendorong sinergi antar
pengelola zakat. Peningkatan sinergi antar pengelola zakat, akan mendorong
terwujudnya pendayagunaan zakat yang berarti bahwa dana zakat akan memberikan
manfaat sebesar‐besarnya kepada kehidupan sosial.
Pandangan ini mendorong lahirnya pengelola zakat profesional yang amanah
dan didukung oleh pengelolaan yang berbasis manajemen, dan tidak mendorong
lahirnya pengelolaan zakat bersifat individual yang bekerja dengan tidak mengandalkan
sistem organisasi. Hemat penulis dengan pengelolaan zakat yang individual, tidak akan
sesuai dengan makna yang terkandung dalam mâliyah ijtimâiyah.
Bagi Badan Amil Zakat Nasional indikator zakat dapat dipandang sebagai
mâliyah ijtimâiyah jika zakat mampu memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat.
Penciptaan kesejahteraan umat berpeluang untuk tercipta, jika pendayagunaan zakat
didukung oleh penguatan kelembagaan pengelolaan zakat.
Kedua, zakat dipandang sebagai pelaksanaan rukun Islam. Dengan pandangan
ini,maka bagi Badan Amil Zakat Nasional tidak hanya sekedar melihat sebagai zakat
kewajiban muzaki, tetapi dana zakat merupakan suatu dana yang bersumber dari
pelaksanaan ibadah yakni rukun Islam. Dibanding dengan yang pertama sebagaimana
dikemukakan di atas berkaitan dengan persepsi Badan Amil Zakat Nasional tentang
zakat, maka yang kedua ini lebih bersifat teologis.
395Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.
396Pengertian zakat dapat dipahami dari buku yang diterbitkan BadanAmil akat Nasional: ”Zakat adalah ibadah maaliyah ijtimaiyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun (rukun ketiga) dari rukun Islam yang lima, sehingga keberadaannya dianggap sebagai ma’luum minad diin bidhdharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang.”Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah Kami Menjawab h. 11.
Dalam pandangan yang lain dinyatakan ”... Zakat itu tumbuh, karenanya Badan
Amil Zakat Nasional selalu berupaya mendayagunakan zakat dalam program‐program
yang tepat sasaran dan memberdayakan agar para penerimanya dapat tumbuh dan
berkembang....”397 Persepsi Badan Amil Zakat Nasional tentang zakat antara lain: a.
Sebagai perwujudan keimanan kepada Allah; b. Hak mustahik dengan fungsi tertentu; c.
Pilar amal bersama antara orang kaya dan mujahid yang habis waktunya untuk berjihad;
d. Sumber dana bagi pembangunan sarana dan prarana umat Islam; e.
Memasyarakatkan etika bisnis yang benar karena muzaki mengeluarkan hak orang lain
darinya; f. Merupakan instrumen pemerataan pendapatan; g. Mendorong umatnya
untuk lebih produktif; i. Dapat menciptakan lapangan kerja baru jika zakat dikelola
dengan menajemen yang baik.398
Mencermati pandangan di atas berkaitan persepsi Badan Amil Zakat Nasional
terhadap makna yang terkait dengan zakat, maka terdapat tiga hal yang dipandang
penting untuk dikemukakan:
Pertama, sumber pendapat (pemikiran) Badan Amil Zakat Nasional. Dari sisi
sumber pendapat maka ditemukan pengaruh pandangan Yusuf Qardawi yang
menetapkan zakat sebagai mâliyah Ijtimâ’iyyah sebagaimana yang tertuang dalam
kutipan buku di atas. Sedang dari sisi ajaran Islam didasarkan atas hadis Rasul SAW
sebagaimana yang tertuang dalam kutipan buku di atas. Walaupun demikian, diakui
bahwa mentransformasikan pandangan kedua sumber di atas dalam suatu konsep
merupakan hal yang patut dihargai.
Pandangan yang lain yang dapat dipahami berkaitan dengan pengetian yang
terkait dengan zakat adalah ditemukakan pandangan Badan Amil Zakat Nasional yang
mengaitkan arti zakat menurut bahasa dan dengan dasar itu Badan Amil Zakat
Nasional membentuk keterkaitan unsur pertumbuhan dan per‐
kembangan dalam dana zakat menjadi suatu bagian dari pengertian zakat.399
397Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 4. 398Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah Kami Menjawab
h. 20-25. 399 Badan Amil Zakat Nasional menggunakan pendekatan bahasa dalam memahami makna zakat.”Hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dan dengan pengertian menurut istilah, sangat nyata dan erat sekali, yaitu bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi
Kedua, zakat dalam kehidupan kesejahteraan umat. Kesejahteraan sosial
menurut UU No. 6/1974 tentang Ketentuan‐ketentuan pokok Kesejahteraan Sosial pasal
1, memberikan batasan tentang kondisi masyarakat yang diharapkan dengan kriteria
tercapainya kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spritual dengan
didukung oleh kondisi guna mendorong warga masyarakat untuk mengadakan usaha
pemenuhan‐pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang berguna bagi
diri, keluarga dan masyarakat secara luas.400
Menurut Edi Suharto pembangunan sosial mengandung pokok pikiran: (a)
Keadaan sejahtera yakni terpenuhinya kebutuhan sosial, rohaniah dan fisik, sebagai
suatu kondisi statis; (b) Kondisi dinamis yaitu terciptanya suatu usaha untuk mencapai
kondisi statis; (c) Institusi yakni terdapatnya lembaga yang memiliki peran yang
menyelenggarakan terciptanya usaha dan pelayanan sosial.401
Pandangan Badan Amil Zakat Nasional tentang kesejahteraan sosial dengan
istilah yang dipergunakan yakni kesejahteraan umat, mengandung arti terciptanya
kebutuhan‐kebutuhan umat Islam khususnya pada mustahik baik dari sisi jasmaniah,
spritualitas, dan sosial.402 Jika dikaitkan dengan pandangan Edi Suharto di atas dalam
kaitannya dengan kesejahteraan umat, maka zakat dapat dipandang sebagai sebuah
instrument dan Badan Amil Zakat Nasional sebagai lembaga yang dapat berperan ke
arah pencapaian kesejahtreaan bagi umat atau mustahik.
Ketiga, status zakat dalam keberislaman seseorang. Zakat merupakan bagian
dari kewajiban agama (Islam) dan tidak sah keislaman seseorang bagi orang yang wajib
zakat jika tidak menunaikannya. 403 Keberadaan zakat sebagai kewajiban muzaki,
berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah, suci dan beres (baik).Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah Kami Menjawab h. 17
400UU No. 6/1974 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kesejahteraan Sosial pasal 1, memberikan batasan sebagai berikut: ”Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan-pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai Pancasila.
401Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 34-35. 402 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Kepala Devisi Pendayagunaan Zakat
Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. 403Adnân Khâlid al-Tarkamâny, al-Mazhab al-Iqtisâdī al-Islâmī, (Jeddah: Maktabah al-
Sawâdī, 1990), h. 180.
v
mempunyai implikasi dalam kaitannya dengan kesejahteraan umat. Bagi Badan Amil
Zakat Nasional, yang eksistensinya didukung oleh UU, menurut Fuad Nasar, memiliki
peran yang sangat strategis karena, wajib zakat merupakan mitra lembaga ini.404 Sebagai
mitra muzaki harus dipandang sebagai kelompok yang memberikan dana (zakat) kepada
Badan Amil Zakat Nasional yang berbeda dengan dana lainnya. Sebagai dana yang
berbasis ibadah, zakat harus diperlakukan dengan tunduk pada ketentuan agama (Islam)
dan perundang‐undangan yang ada.405
Persepsi Badan Amil Zakat Nasional terhadap dimensi ini dikaitkan dengan
pendayagunaan zakat, maka Badan ini telah melakukan penerbitan laporan keuangan
kepada publik. Penerbitan laporan dimaksud mengandung hal –hal yang berkaitan
dengan kinerja lembaga ini melalui media massa republika dan stasion televisi tertentu
serta news letter.406
B. Implementasi Fungsi Pengorganisasian dan Pelaksanaan
1. Fungsi Pengorganisasian
Pengorganisasian mengandung makna bahwa manajer mengkoordinasikan
semua sember daya yang dimiliki oleh organisasi untuk diarahkan pada sasaran
organisasi yang telah direncanakan.407 Pandangan yang lain, pengorganisasian
merupakan proses mempekerjakan dua orang atau lebih yang keduanya
bekerjasama dalam suatu tatanan tertentu untuk mencapai tujuan bersama.408
Berkaitan dengan pengorganisasian terdapat pertanyaan yang akan dijawab
yaitu a. Seberapa banyak arahan yang diterima, b. seberapa besar aspek pengawasan
404Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. 405Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. 406Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. 407Samual C. Certo, Modern Management, cet. X,. (Siangapore: Person Education, 2003),
h. 214. Pandangan yang sama pada definisi yang dikemukakan, Winardi, Manajemen Perilaku Ekonomi, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 3.
408James AF. Stoner, et. All., Mangement, (USA: A. Simon & Schuster Company,
v
yang akan diberikan, c. Seberapa jauh tanggungjawab pekerjaan, d. Kapan organisasi
melakukan tindakan yang menyalahi struktur.409
Berkitan dengan pentingnya pengorganisasian maka Samuel menyatakan
bahwa terdapat tiga hal yang perlu dikembangkan: perencanaan yang tersusun secara
efektif dan efisien; Meningkatkan keterampilan manajerial dalam mencapai kebutuhan
orgnisasi; Menciptakan keuntungan terhadap sistem organisasi.410
Lima langkah dalam proses pengorganisasian : Melakukan penyesuaian antara
perencanaan dan tujuan, Menetapkan tugas‐tugas utama, Membagi tugas‐tugas ke
dalam berbagai sub, Mengarahkan sumber‐sumber daya pada sub‐sub tugas, Hasil –
hasil penilaian diimplementasikan pada strategi organisasi.411 Dari berbagai pandangan
berkaitan fungsi pengorganisasian, maka dapat dinyatakan bahwa terdapat unsur‐unsur
di dalamnya yaitu: Pertama, proses. Sebagai proses pengorganisasian tidak dapat
dipisahkan dengan fungsi manajemen lainnya, karena pengorganisasian dibangun
dengan memperhatikan fungsi sebelum dan sesudahnya. Melakukan pengorganisasian
dengan mengabaikan unsur‐unsur perencaaan akan membawa dampak dalam
pencapaian tujuan oragnasisasi. Kedua, efektifitas sasaran. Yaitu sejauhmana
pengorganisasian dapat mengantar sumber‐sumber daya organanisasi untuk mencapai
tujuan yang ditetapkan. Ketiga unsur efisien sumber daya. Unsur ini berkaitan
dengan pemanfaatan sumber daya manusia. Suatu pengorganisasian yang tidak
mengedepankan unsur ini maka akan akan menggunakan pemberosan sumber daya (in
efisensi ).
Tabel 10: tentang Sintesis antara Unsur dalam Fungsi Pengorganisasian
dengan Indikator Penelitian
Indikator Sintesis Unsur dalam Fungsi Pengorganisasian
Efektif Sesuai Kriteria Mustahik
Efektif
Efisien Sumber daya: Ekonomi, Waktu, Tenaga
Efisien
Tepat Waktu Waktu Penerimaan Proses
409Stepehen P. Robbins & Mary Coulter, Management, ( USA: Person Education, Inc, 1996) , h. 193.
410Samual C. Certo, Modern Management, cet. X,.h. 215. 411Samual C. Certo, Modern Management, cet. X,. h. 215.
Tepat Jumlah Jumah Dana yang ditetapkan Proses Peruahan Mustahik
Sikap dan Pendapatan Efektif
Sumber: Hasil Analisis Penulis, 2008
Dari tabel di atas terlihat tiga komponen yakni indikator, sintesis dan unsur‐
unsur dalam fungsi pengorganisasian. Selain komponen sintesis, dua komponen lainnya
telah dikemukakan sebelumnya. Untuk komponen sintesis merupakan hasil
pemahaman penulis dari kedua variabel selainnya. Pada komponen sintesis, kriteria
mustahik dimaksudkan sebagai prototipe penerima zakat. Dalam manajemen zakat,
pengelola dalam hal ini amil bertanggungjawab untuk menentukan kriteria. Selanjutnya
kriteria itu akan diimplementasikan dalam memberian dana zakat. Jika terjadi
penyimpangan dari kriteria yang ditetapkan maka memungkinkan tidak akan terjadi
efektifitas. Tampaknya dari sisi efektifitas, memperlihatkan dua unsur yaitu unsur
kriteria dan dampak. Dua unsur ini memiliki hubungan yang bersifat kausalitas. Dengan
kata lain, jika kriteria mustahik ini tidak diimplementasikan secara konsisten, oleh
pengelola zakat maka tidak akan memberikan dampak kepada mustahik. Sebaliknya, jika
kriteria ini dilaksanakan secara konsisten, maka mustahik berpeluang untuk
memperoleh dampak dari dana zakat.
Untuk sumber daya –sebagaimana yang dipahami dalam dasar‐dasar
manajemen‐ berupa ekonomi, waktu, dan penggunan fasilitas, dalam tabel di atas
dikaitkan dengan unsur efisien baik untuk komponen indikator maupun fungsi
pengorganisasian. Bagi pengelola zakat, pemanfataan unsur‐unsur dimaksud, secara
efisien, diharapkan untuk menghindari pemborosan. Demikian juga dalam penyusunan
program yang ditujukan kepada mustahik unsur ini mendapat perhatian.
Unsur tepat waktu, dimaksudkan, mustahik menerima zakat dari pengelola zakat
sesuai dengan waktu kebutuhan mustahik. Keterlambatan pengelola zakat memberikan
dana zakat, akan mengakibatkan dana zakat tidak berdayaguna bagi mustahik Karena
itu, unsur ini dimasukkan dalam unsur proses.
Unsur tepat jumlah, dimaksudkan bahwa pengelola zakat memberikan dana
zakat kepada mustahik sesuai dengan penetapan dana yang direncanakan.
Penyimpangan ketentuan ini menunjukkan bahwa pengelola zakat tidak melakukan
proses pendayagunaan zakat. Adapun yang dimaksud unsur proses dalam hal ini,
menunjukkan bahwa pendayagunaan zakat, tidak akan tercipta bagi mustahik jika unsur
proses ini tidak dilaksanakan oleh pengelola zakat. Sesuai dengan sifatnya, unsur‐unsur
dalam komponen sintesis yang dimasukkan dalam unsur proses dilihat dari sisi fungsi
pengorganisasian, tidak dapat dimasukkan ke dalam dua unsur lainya yakni efisien dan
efektif. Pandangan ini didasarkan bahwa proses merupakan unsur yang
menghubungkan unsur‐unsur selainnya dan tidak secara langsung terait dengan unsur
efisien dan efektif.
Secarea fungsional unsur‐unsur dalam tabel di atas yang terdiri dari tiga
komponen, akan dijadikan sebagai instrumen analisis untuk melihat implementasi fungsi
pengorganisasian dalam pendayagunaan zakat pada Badan Amil Zakat Nasional.
a.. Dana Zakat sebagai Sumber Daya Ekonomi
1) Prosentase Dana dalam Pendayagunaan Zakat
Untuk tahun 2004‐2007 Badan Amil Zakat Nasional menetapkan alokasi dana
dalam setiap sektor pendayagunaan zakat dengan prosentase sebagai tersebut dalam
tabel tujuh (7)
Dari tabel itu terlihat bahwa sektor dua sektor mengalami prosentase yang sama
yaitu kemanusiaan dan dakwah masing‐masing hanya 10 %. Sedang berikutnya sektor
kesehatan sebanyak 20 % dan sektor pendidikan atau peningkatan kualitas sumber daya
insani sebanyak 25 %. Sektor yang ter nggi adalah ekonomi sebanyak 35 %.
Penetapan sektor ekonomi yang merupakan prosentase tertinggi dipandang
sebagai perwujudan dari arah pendayagunaan zakat Badan Amil Zakat Nasional dalam
pengentasan kemiskinan dan selanjutnya terlihat dalam visi lembaga yang ditetapkan.
Arah pendayagunaan ini, memberikan karakteristik bagi Badan Amil Zakat Nasional
sebagai lembaga yang memposisikan diri dalam kancah pengembangan ekonomi dan
karenanya Badan ini dipandang sebagai lembaga ekonomi. Pandangan sebagai lembaga
ekonomi, kiranya relevan dengan penetapan visi Badan Amil Zakat yang berperan ”...
dalam pengentasan kemiskinan...”412
Dana zakat untuk sektor ekonomi bagi mustahik dimaksudkan sebagai kegiatan
produktif mereka yang berfungsi sebagai sumber penghasilan ekonomi mereka.
Sumber ekonomi dalam kesejahteraan umat dipandang sebagai bagian yang harus
412 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional , 2006), h. 17.
dibangun karena akan memberikan kepada mereka kesempatan memperoleh
pendapatan yang memungkinkan untuk memenuhi sektor ekonomi dan melakukan
tabungan dan investasi.
Sehubungan dengan dana zakat sektor ekonomi, dikaitkan dengan instrumen
analisis, maka dapat dinyatakan: pertama, efektifitas pada tahap pengorganisasian
dana sektor ekonomi dapat dinyataan telah terpenuhi. Penetapan dana sektor ekonomi
ini dikaitkan dengan aspek visi kelembagaan yang merupakan bagian dari proses
perencanaan, merupakan perwujudan dari sikap konsistensi Badan Amil Zakat Nasional
untuk menjadikan Badan ini sebagai lembaga ekonomi. Untuk menjadi lembaga
ekonomi maka pengalokasian Badan ini pada dana sektor ekonomi dalam peringkat
tertinggi, merupakan konsekwensi dari keinginan Badan dimaksud. Kedua. Dari sisi
efisiensi. Pengalokasian dana sektor ekonomi, merupakan bagian dari kinerja Badan
Amil Zakat Nasional. Sebagai kinerja, maka pengalokasian ini akan mendatangkan
efisensi dari sisi waktu, tenaga dan pemikiran bagi Badan ini, karena sumber daya
lainnya dapat diarahkan pada berfungsinya manajemen untuk tahap selanjutnya.
Untuk pengalokasian dana selain sektor ekonomi, seperti pendidikan, dakwah
dan kesehatan, dari sisi kesejahteraan umat, menunjukkan bahwa Badan Amil Zakat
Nasional, telah memberikan perhatian pada sektor non ekonomi. Sektor non ekonomi
merupakan bagian dari kebutuhan umat dari sisi kesejahteraan.
Pengalokasian dana non ekonomi dimaksud, dilihat dari sisi manajemen,
merupakan konsistensi Badan ini untuk mengalokasikannya dengan memper hatikan
krakteristik sektoral dana sebagai dana zakat. Konsistesi ini, tentu saja bagian dari upaya
efektifitas Badan ini agar mustahik dapat memperoleh hak‐hak mereka.
Prosentase‐prosentase pendayagunaan zakat dilihat dari sisi pengembangan
kualitas mustahik yang dapat dibagi pada kualitas ekonomi (35 %), kualitas sumber daya
yang meliputi pendidikan, dakwah dan kesehatan, menunjukkan bahwa pengembangan
kualitas terakhir ini mencapai 55 % atau ter nggi pertama. Pengembangan sektor
sumber daya manusia sebagai prosentase tertinggi memungkinkan ditemukan
relevansinya dengan melihat visi Badan Amil Zakat Nasional, di antaranya adalah
“peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan...”413 Dengan demikian,
413 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat
Nasional , 2006), h. 17.
dilihat dari sisi pengembangan kualitas sumber daya mustahik secara umum, maka
prosentase pendayagunaan zakat mencapai 90 %.
Untuk dana zakat pada sektor kemanusiaan sebanyak 10 % ditujukan kepada
mustahik yang terkena bencana. Untuk mustahik yang tersebut terakhir ini, dengan
mengacu pada Kepmenag No. 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No.38/ 1999
tentang Pengelolaan Zakat, pasal 28 (1) dinyatakan sebagai “orang‐orang yang paling
tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan
bantuan”.
Berdasarkan uraian prosentase di atas, kiranya Badan Amil Zakat Nasional
dapat dikembangkan ke dalam tiga wilayah pengembangan kelembagaan yaitu
pengembangan ekonomi dengan 35 % dana zakat, kesejahteraan sosial 55 % dana zakat
dan sosial kemanusiaan dengan dana zakat sebanyak 10 %.
2) Dana Zakat Sektor Amil
Dilihat dari sisi sumber dana yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan
Badan Amil Zakat Nasional, maka dapat dibagi atas tiga sumber.
Pertama, bantuan pemerintah. Bantuan pendanaan ini bersumber dari ABPN
melalui anggaran departemen Agama sesuai UU No 38/1999 Pasal 23 dan Keputusan
Presiden No. 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional Bab VI Pasal 17,414 maka
setiap tahun Badan Amil Zakat Nasional memperoleh alokasi dana dari APBN melalui
Departemen Agama. 415
Kedua, dari masyarakat secara terbatas. Dalam hal ini masyarakat secara
perorangan dan atau kelembagaan secara suka rela dan pola inisiatif sendiri
memberikan bantuan operasional kepada badan Amil Zakat Nasional. Pada masa awal
berdirinya Badan Amil Zakat Nasional, bantuan dari masyarakat secara terbatas, dapat
414UU No. 38 Tahun 1999 Pasal 23 Dalam menunjang pelaksanaan tugas badan amil zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pemerintah wajib membantu biaya operasional badan amil zakat. Pasal 17 Kepres. Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Badan Amil Zakat Nasional dibebankan pada Anggaran Departemen Agama.
415 Secara administrasi, setiap Badan Amil Zakat Nasional mengajukan proposal pembiayaan anggaran kepada Departemen Agama untuk diusulkan ke APBN. Dalam kenyataannya, pembiayaan yang diterima oleh Badan Amil Zakat Nasional dalam tahun 2007 ini belum mencapai satu milyar, namun telah mengalami perkembangan anggaran setiap tahun., Wawancara Pribadi dengan Subroto, Kepala Devisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Amil Zakat Nasional. Jakarta, 4 Mei 2007.
dipandang sangat memberikan arti bagi eksistensi Badan ini.416 Dan tampaknya, dewasa
ini bantuan dari masyarakat terbatas itu, masih terlihat dalam sektor pemasukan Badan
Amil Zakat Nasional.417
Ketiga, bersumber dari dana zakat. Sumber dana dari zakat, menurut QS.
al‐Taubah [9/113]: 60, ditujukan untuk kepentingan mustahik. Salah satu diantara
mustahik adalah ‘âmil. Bahagian amil dimaksud dalam pengelolaan zakat dapat
dipandang sebagai kontraprestasisecara materil yang diberikan oleh al‐Qur’an atas jasa
yang diberikan kepada pengelola zakat dalam mengembangkan aktifitas keamilan.
Dari sisi besarnya atau prosentase yang diberikan kepada pengelola zakat
sebagai kontraprestasiatas kinerja dalam aktifitas keamilan, maka sepengetahuan
penulis belum ditemukan petunjuk al‐Qur’an dan hadis yang menyatakan secara
tekstual. Berbeda halnya dengan ijtihad ulama, telah terjadi keragaman pandangan
berkaitan dengan konpensasai yang seyogianya diterima oleh pengelola zakat atau amil.
.
Al‐Qurtubī menyatakan, menurut Syâfii dan Mujâhid bagian pengelola zakat
adalah seperdelapan dari total dana zakat yang terkumpul sedang Ibnu ’Umar dan
Mâlik, ‐bagian amil‐ diberikannya sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya, selain itu
terdapat pendapat yang lain bahwa ia diberikan dari baitul mal.418
Terdapat tiga pendapat yang dikemukakan oleh al‐Qurtubî di atas, pada
dasarnya menyetujui tentang pemberian kontraprestasiterhadap pengelola zakat.
Perbedaaan pandangan di kalangan mereka terletak pada aspek jumlah dan sumber
pendanaan. Pendapat yang lain, dikemukakan oleh Wahbah yang secara tekstual
menyebut sebagai ajrun yang diterima oleh pengelola dari zakat, walaupun dia tidak
416Wawancara Pribadi dengan Achmad Subianto, Ketua Umum Pengurus Badan Amil
Zakat Nasional Periode 2001-2004, Jakarta, 6 Pebruari 2008. Achmad Subianto dalam mengenang tahap awal keberadaan Badan Amil Zakat Nasional mengemukakan, ”Untuk melaksanakan amanah-amanah yang sangat berat tersebut maka Badan Pengurus Badan Amil Zakat Nasional hanya menerima secarik kertas, sebuah Keppres, tanpa diberi dana operasional alias Zero budgey. Seiring perjalanan waktu, ternyata sulit memperoleh pendanaan guna membiayai operasional Badan Amil Zakat Nasional.Namun demikian, alhamdulillah banyak simpatisan dan teman-teman yang membantu dengan infak yang tidak sedikit sehingga Badan Amil Zakat Nasional dapat menjalankan kegiatannya dan menyusun sistem dan produr setahap demi setahap.” Achamd Subianto, Shadaqah,Infak, dan Zakat (PO.BOX 1455 JKP 10014: Yayasan Berikan, 2004), h.12..
417Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Badan Amil Zakat Nasional 2004-2007, h. 5. 418Abī Abdi Allah Muhammad ibn Ahmad al-Ansârī al-Qurtubī, al-Jâmi’ li ahkam al-
Qur’ân al-Karīm, juz 5 (t.tp.: Jarīdah al-Warda, 2006), h. 174.
menyebut prosentase.419 Hal yang senada dikemukakan oleh MM. Matwally mengakui
eksistensi pengelola zakat, namun dia mengingatkan agar ongkos yang mereka terima
harus lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan atau dana zakat yang
terkumpul.420
Dibandingkan dengan pendapat sebelumnya, pendapat terakhir ini cenderung
pada dimensi efisiensi. Pandangan itu, terkait dengan pengertian zakat yang secara
teknis diberikannya. Menurutnya, zakat merupakan alat distribusi sebahagian kekayaan
orang kaya yang ditujukan kepada orang yang membutuhkannya.421 Alur pemikirannya,
menghendaki agar manfaat zakat sebagai
alat distribusi dapat berjalan efektif dengan tidak mengorbankan hak amil atau
pengelola zakat. .
Mencermati uraian berkaitan dengan prosentase yang diterima oleh pengelola
zakat, tampaknya tidak ditemukan kesepakatan di kalangan ulama dan ekonom muslim.
Tampak bahwa besaran prosentase ini, termasuk ranah ijtihad. Walaupun demikian,
penetapan jumlah prosentase ini harus mengacu pada efisiensi.
Badan Amil Zakat Nasional, menetapkan bagian untuk pengelola zakat atau amil
dengan prosentase 12.5 %. Secara garis besar dana untuk sektor ini dipergunakan (a)
Kesejahteraan Karyawan, (b) Peningkatan Kualitas Sumber Daya Badan Amil Zakat
Nasional , (c) Untuk Sosialisasi Program.422
Penetapan prosentase dana zakat untuk sektor ini dan penggunaannya yang
dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional, akan penulis garis bawahi. Pertama,
secara logika penetapan prosentase 12 % bagian pengelola zakat, memiliki relevansi
419Wahbah al-Zuahelî, al-Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhû, (Damsyîq: Dâr Fikr, 1997), h.
1953-1954. 420MM. Metwally, Teori dan Model Ekonom Islam h. Penerjemah M. Husein Sawit,
(Jakarta: Bangkit Daya Insani, 1995), h. 7-8 421 MM. Metwally, Teori dan Model Ekonom Islam,. Penerjemah M. Husein Sawit,
(Jakarta: Bangkit Daya Insani, 1995), h. 7-8 422Gaji terendah di Badan Amil Zakat Nasional tidak di bawah Upah Minimum Regional
(UMR) DKI Jakarta. Jumlah karyawan yang mendapat gaji sebanyak 20 orang. Mereka yang dibiayai dalam hal ini, tidak termasuk Dewan Pengurus, Badan Pertimbangan dan Komisi Pengawas Badan Amil Zakat Nasional. Wawancara Pribadi dengan Broto Santoso, Supervisi HRD Pengurus Pelaksnana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 4 Mei 2007. Konfirmasi penulis mengenai ”bebas gaji” bagi badan pengurus, dewan pertimbangan, komisi pengawas telah dibernarkan oleh Ketua Dewan Pengawas Periode 2004-2007. Wawancara Pribadi dengan Achmad Subianto, Ketua Komisi Pengawas Badan Amil Zakat Nasional Periode 2004-2007, Jakarta, 6 Pebruari 2008.
dengan pola pembagian seperdelapan bagi semua kelompok mustahik. Kedua, objek
pendayagunaan bagian pengelola zakat tidak hanya untuk kepentingan internal mereka–
kebutuhan ekonomi – tapi eksternal – yakni terkait dengan kepentingan kelembagaan
seperti pembinaan sumber daya manusia, sosialisasi program. Pandangan ini
mencerminkan selain zakat sebagai amanah, dalam arti pengambilan bagian amil harus
mengacu pada kepentingan kelembagaan dan tidak sekedar atas dasar
pertimbangan sekedar mendapat
konpensasi tanpa didukung oleh kinerja kelembagaan.423
3) Corak Pendayagunaan Dana Zakat
Menurut bahasa corak diartikan sebagai ”1. bunga atau gambar ( ada yang
berwarna‐warna) pada kain (tenunan, anyaman, dsb.) 2. berjenis‐jenis warna pada
warna dasar.”424 Dimaksudkan dalam pembahasan ini, corak merupakan pola yang
dipilih oleh Badan Amil Zakat Nasional dalam memanfaatkan dana zakat dikaitkan
dengan dana non zakat, seperti infak dan sedekah. Dalam hal Badan ini mempergunakan
dana zakat dan non zakat, tidak mengenal istilah corak. Namun dalam pembahasan ini
penulis memilih istilah ini. Dari sisi pendayagunaan, menunjukkan bahwa Badan Amil
Zakat Nasional menempuh dua corak yaitu tunggal dan terintegrasi.
Pertama, tunggal. Pendayagunaan zakat untuk suatu program dengan hanya
mempergunakan dana zakat disebut dengan corak tunggal. Kedua, terintegrasi. Yaitu
membiayai suatu program dengan melibatkan dana zakat dan non zakat secara
bersamaan. Untuk corak terakhir ini dimaksudkan agar suatu program dapat mencapai
hasil yang diharapkan. Pertimbangan ini dilakukan karena: a. Dana zakat tidak
mencukupi untuk membiayai program, b. Dana non zakat memiliki relevansi untuk
dipergunakan. Kriteria ”relevansi” yaitu: dana non zakat dipergunakan sesuai dengan
peruntukannya. Misalnya, dana infak yang oleh munfik menginginkan untuk
423Begitu pentingnya sikap amanah dalam pengelolaan zakat, Didin Hafidhuddin, Ketua
Umum Badan Amil Zakat Nasional, telah menetapkan sifat ini sebagai kunci sukses dalam mengelola zakat. Dalam kata pengantar Badan Amil Zakat Nasional News, ”Amanah..!! Kunci Sukses Mengelola Zakat”, mengungkapkan bahwa ”pengelolaan zakat tidak hanya sekedar pergumulan fikih dan hukum, tetapi juga pergumulan persoalan kemanusiaan secara luas dan menyeluruh. Betapa tidak, jika zakat dikelola dengan baik profesional, transparan, dan amanah oleh amil zakat, maka akan mampu meminimalisir persoalan kemiskinan sekaligus meningkatkan kesejahteraan..” Badan Amil Zakat Nasional News, Edisi Muharram 1429 H, No. 01 08, h. 3.
424Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), h. 220.
dipergunakan dalam pembiayaan kelembagaan bukan untuk program maka
penggunaannya diintegrasikan dengan dana zakat dari sektor dana amil.
Bagi penulis, penetapan corak pendayagunaan ini sangat penting (a)
mengingat dana zakat secara syar’iy425 memiliki kriteria yang jelas mengenai sasaran
pendayagunaan. (b) Tampaknya, dana non zakat khususnya infak yang diterima oleh
Badan ini dibedakan dengan dana muqayyad dan non muqayyad dilihat dari sisi
keinginan munfik. Untuk itu, kedua jenis dana ini memiliki kriteria sasaran yang melekat
padanya. Penyimpangan dari kriteri yang melekat pada dana ini merupakan
penyimpangan dari sikap amanah yang dikembangakan oleh Badan Amil Zakat Nasional.
Dari pandangan ini, maka pola tentang corak pendayagunaan dana zakat menjadi
penting.
4) Penyaluran Dana Zakat
Dalam hal penyaluran dana zakat, Badan Amil Zakat Nasional menetapkan unit
penyaluran zakat (USZ) sebagai unit dari lembaga pengelola zakat yang bertugas untuk
menyalurkan dana zakat, infak & sedekah baik dengan cara mendistribusikannya
maupun mendayagunakan dana ZIS kepada mustahik sesuai dengan ketentuan
agama.426 USZ ini dilihat dari sisi hubungan kelembagaan dengan Badan Amil Zakat
Nasional, dibedakan dua jenis, USZ Konter dan USZ Mitra. USZ konter adalah unit yang
dibentuk Badan Amil Zakat Nasional yang sepenuhnya merupakan organ atau bagian
dari Badan Amil Zakat Nasional berupa konter‐konter Badan ini di kantor pusat instansi
pemerintah, BUMN, atau swasta yang berkedudukan di ibu kota negara. Sarana dan
prasarananya disiapkan oleh Badan Amil Zakat Nasional.427 USZ Mitra, merupakan USZ
yang berada secara kelembagaan berada pada Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga
Amil Zakat (LAZ) baik dalam bentuk organisasi LAZ sendiri, maupun masjid, yayasan dan
lembaga keuangan mikro yang telah dikukuhkan sebagai USZ mitra Badan Amil Zakat
Nasional.428 Untuk UZS Mitra sejak tahun 2005‐2007 telah terbentuk sebanyak 20 unit
yang tersebar di Indonesia.429
425QS. Al-Taubah [9/113]: 60 tentang pembatasan objek pennggunaan dana zakat. 426Buku Panduan Pembentukan UPZ & USZ, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional, t.th),
h. 8. 427Buku Panduan Pembentukan UPZ & USZ, h. 8. 428Buku Panduan Pembentukan UPZ & USZ, h. 8.
429Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Badan Amil Zakat Nasional 2004-2007, h. 10.
v
Dalam UU No. 38/1999 tentang Pengelolalan Zakat dan Peraturan terkait
dengannya, tidak ditemukan mengenai eksistensi USZ. USZ ini merupakan kebijakan
sendiri yang ditetapkan oleh Badan Amil Zakat Nasional. Secara umum pembentukan ini
bertujuan untuk mengembangkan sinergitas antar lembaga yang memungkinkan
pendayagunaan zakat secara tepat dan bermanfaat pada skala yang lebih luas.430
Keberadaan USZ khususnya USZ mitra, sangat membantu Badan Amil Zakat
Nasional dalam mengembangkan program dan perluasan wilayah geografis mustahik.
Penyebaran USZ menurut provinsi di Indonesia dikemukakan dalam tabel dua puluh
delapan (28).
Tabel ini memperlihatkan bahwa hanya enam provinsi di Indonesia yang telah
memiliki jaringan USZ dan provinsi yang terbanyak adalah Jawa Barat. Karenanya Badan
Amil Zakat Nasional belum dapat memenuhi untuk semua provinsi di Indonesia.
b. Mustahik sebagai Sasaran Sumber Daya Ekonomi
1) Kriteria
Penelusuran tentang konsep mustahik menurut Badan Amil Zakat Nasional
pada dasarnya mengacu pada QS. Attaubah/9: 60.431 Pemahaman Badan Amil Zakat
Nasional terhadap mustahik dari sisi unsur‐unsurnya memiliki keterkaitan dengan
program yang diperankan atasnya. Tabel enam (6) memperlihatkan mengenai hal ini.
Mustahik fakir teriden fikasi memiliki empat (4) unsur yang mengacu pada kata
tidak memiliki yakni pendapatan tetap, tempat tinggal menurut standar kesehatan,
asupan gizi yang cukup, biaya kesehatan. Keempat unsur ketidakmampuan memiliki bagi
mustahik fakir tersebut memiliki keterkitan dengan program pendayagunaan zakat
Badan Amil Zakat Nasional yakni program sektor kemanusiaan, kesehatan serta
pendayagunaan.
430 Buku Panduan Pembentukan UPZ & USZ, h.. 1.
431 الغارمين وفي سبيل إنما الصدقات للفقراء والمساآين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب و
ريضة من اهللا واهللا عليم حكيماهللا وابن السبيل ف
”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Mustahik miskin teriden fikasi mempunyai empat (4) unsur yaitu: sumber
pendapatan yang tetap namun dibawah standar upah minimum regional (UMR), tidak
cukup membiayai kebutuhan keluarga, tidak memenuhi gizi yang seimbang serta tidak
mempunyai biaya kesehatan. Keempat unsur yang teridentifikasi itu, memberikan
peluang bagi Badan Amil Zakat Nasional untuk merumuskan program pada aspek
kemanusiaan, kesehatan dan pendayagunaan.
Mustahik amil, hanya teridentifikasi satu unsur yaitu mempunyai mandat dari
badan amil zakat atau lembaga amil zakat, dan dengan unsur itu, maka Badan Amil Zakat
Nasional memberikan konpensasi atau bagian amil dari dana zakat untuk peningkatan
keprofesionalan amil dan pembinaan kelembagaan.
Perolehan mandat bagi amil dimaksud menunjukkan bahwa ia telah memenuhi
syarat yang telah ditetapkan baik dari sisi administrasi, profesionalisme dan integritas.432
Untuk Badan AmiL Zakat Nasional, selain secara kelembagaan ditetapkan sebagai amil,
ia juga menetapkan amil sebagai bentuk perpanjangan tangan administrasi yang dikenal
dengan unit pengumpul zakat (UPZ).
Unit pengumpul zakat (UPZ ) dibentuk berdasarkan UU.No. 38/ 1999
tentang pengelolaan zakat pasal 22 yang menyatakan ”...dalam hal muzaki berada atau
menetap di luar negeri, pengumpulan zakatnya dilakukan oleh unit pengumpul zakat
pada perwakilan Republik Indonesia, yang selanjutnya diteruskan kepada badan amil
zakat Nasional.” Dalam Keputusan Dirjend. Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan
Haji No. D/291/2000 tentang pedoman teknis pengelolaan zakat pasal 9 ayat (2)
dinyatakan ” Badan Amil Zakat Nasional dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat pada
Instansi / lembaga pemerintah pusat, BUMN, dan perusahaan swasta yang
berkedudukan di Ibu kota Negara dan pada kantor perwakilan Republik Indonesia di luar
negeri.” Kewenangan UPZ diatur dalam pasal ini ayat (8) ”Unit Pengumpul Zakat
melakukan pengumpulan dana zakat, infaq, sedekah, hibah, wasiat, waris dan kafarat di
unit masing‐masing, dengan menggunakan formulir yang dibuat oleh Badan Amil Zakat,
dan hasilnya disetorkan kepada bagian pengumpulam Badan Pelaksana Badan Amil
Zakat, karena Unit Pengumpul Zakat tidak bertugas mendayagunakannya.”
432Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.
Badan Amil Zakat Nasional sampai dengan 2007 telah membentuk 33 UPZ di
dalam negeri dan 31 di luar negeri. Untuk UPZ yang ada di dalam negeri hanya 17 yang
aktif. Untuk UPZ di luar negeri mengalami berbagai kendala dan Badan Amil Zakat
Nasional lebih memilih mengoptimalkan untuk UPZ dalam negeri.433 Kewenangan UPZ,
selain untuk kegiatan penghimpunan, Badan Amil Zakat Nasional memberikan
kewenangan pendayagunaan terbatas kepada mustahik yang ada pada internal instansi
/ badan usaha tempat UPZ itu. Dalam hal pendayagunaan, Badan Amil Zakat Nasional,
hanya menerima laporan pertanggungjawaban zakat tentang mustahik yang telah
menerimanya.434
Khusus mengenai pemberian kewenangan Badan Amil Zakat Nasional kepada
UPZ dalam hal pendayagunaan, hemat penulis, sebenarnya merupakan penyimpangan
dari Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji435 yang
hanya memberikan tugas kepada UPZ untuk mengumpul zakat. Walaupun sebenarnya,
calon mustahik dapat saja diajukan oleh UPZ kepada Badan Amil Zakat Nasional untuk
diterima sebagai mustahik, namun dalam kenyataannya UPZ mengadakan penyeleksian
dan pendayagunaan dana zakat sebelum dana diberikan kepada Badan Amil Zakat
Nasional.
Perluasan makna amil zakat yang dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional
pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari konsep amil dalam literatur
keagaman 436 dan Keputusan Direktur Jenderal Urusan Haji. Walaupun demikian,
433Dalam melakukan pembentukan UPZ, Badan Amil Zakat Nasional berpedoman pada
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tersebut Pasal 9 ayat 7. Prosedur pembentukan Unit Pengumpulan Zakat dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a.Badan Amil Zakat sesuai dengan tingkatannya mengadakan pendataan di berbagai instansi dan lembaga sebagaimana tersebut di atas; b. Badan Amil Zakat seseuai dengan tingkatannya mengadakan kesepakatan dengan pimpinan Instansi dan lembaga sebagaimana tersebut di atas, untuk membentuk Unit Pengumpul Zakat; c. Ketua Badan Amil Zakat sesuai dengan tingkatannya mengeluarkan Surat Keputusan pembentukan Unit Pengumpul Zakat.
Berbagai kendala pembinaan UPZ di luar negeri di antaranya biaya kominikasi yang mahal. Wawancara Pribadi dengan Subroto, Kepala Devisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional. Jakarta, 4 Mei 2007.
434Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.
435Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tersebut Pasal 9 ayat (8), Unit Pe ngumpul Zakat melakukan pengumpulan dana zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris dan kafarat di unit masing-masing, dengan menggunakan formulir yang dibuat oleh Badan Amil Zakat, dan hasilnya disetorkan kepada bagian pengumpulan badan Pelaksana Amil Zakat, karena Unit Pengumpul Zakat tidak bertugas mendayagunakan.
436Menurut Rasyid Rida bahwa amil pada dasarnya siapapun yang bekerja dan atas nama pemerintah dalam hal pengelolaan zakat. Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Quran al-Hakîm al-Masyhûr al-Manâr, Juz X (Refrint: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005), h. 431.
karakteristik pendapat Badan Amil Zakat ini terletak pada unsur manajemen organisasi
terutama dalam hal penetapan subjek dan fungsi kelembagaan.
Mustahik muallaf, hanya teridentifikasi satu unsur yaitu menunjukkan surat
keterangan sebagai muallaf, dan dengan unsur itu, Badan Amil Zakat Nasional
memberikan dana zakat, namun hanya disesuaikan dengan tingkat kebutuhan pada
jenis program. Untuk mustahik jenis ini, hanya mendapatkan bantuan dari sudut
kemanusiaan dan Badan Amil Zakat Nasional tidak mempunyai program yang terkait
langsung dengan ini karena jumlah muallaf sangat terbatas dibanding mustahik lainnya.
Mustahik riqâb, hanya teridentifikasi satu unsur yaitu sebagai tenaga kerja
Indonesia (TKI), dan dengan unsur itu, Badan Amil Zakat Nasional program
pengembangan ekonomi.
Mustahik ghârimin, teridentifikasi tiga unsur yaitu: surat keterangan sebagai
mantan pengusaha, surat keterangan berutang serta sebagai muslim, maka dengan
unsur itu, Badan Amil Zakat Nasional merumuskan program pengembangan ekonomi
umat.
Mustahik f� sab�l Allah, teridentifikasi tiga unsur yakni: aktifitas dakwah,
pembangunan rumah ibadah, pembangunan sarana pendidikan, dan dengan dasar
Badan Amil Zakat Nasional merumuskan program dalam sektor dakwah.
Mustahik ibnu al‐Sabil teridentifikasi tiga unsur yakni, siswa, mahasiswa,
keterangan ketidakmampuan secara ekonomi. Ketiga unsur ini, Badan Amil Zakat
Nasional merumuskan program dalam aspek peningkatan kualitas sumber daya insani
Berkaitan dengan tabel enam (6) yang memperlihatkan unsur‐unsur mustahik,
maka dengan memperhatikan unsur‐unsur yang ada pada setiap mustahik, maka
dikatahui bahwa pandangan Badan Amil Zakat Nasional memiliki perluasan arti
mustahik dan tampaknya berbeda dengan pandangan kebanyakan kitab fikih. Kriteria
setiap mustahik memperlihatkan adanya perluasan unsur dari konsep fikih.
2) Seleksi Proposal
Proposal yang dimaksud adalah pengajuan permohonan baik secara individual
maupun lembaga oleh mustahik kepada Badan Amil Zakat Nasional untuk memperoleh
dana zakat. Seleksi proposal didasarkan Kepmenag No, 581/ 1999 tentang Pelaksanaan
UU Pengelolaan Zakat, Pasal 28 dan. 29 437 Dari kedua pasal dimaksud, maka secara
subtantif telah mengatur tentang prosedur pendayagunaan zakat yang berkaitan
mustahik dan prosedur pendayagunaan zakat untuk usaha produktif.
Secara normatif dipahami bahwa orang miskin memiliki dua prototipe dalam
meminta harta kepada orang lain yakni peminta (al‐sâil) dan menahan diri untuk tidak
meminta (al‐maĥrūm). 438 Secara sosiologis, prototipe ini masih memungkinkan
ditemukan. Dalam kondisi ini, Badan Amil Zakat Nasional, mengembangkan program
jemput bola kepada mustahik yang tergolong tidak meminta, dengan mendirikan posko
kemanusiaan tanpa pemberitahuan sebelumnya dari pihak mustahik. Kondisi ini dapat
dilihat pada program yang berkaitan dengan bencana alam. Untuk kondisi mustahik
yang ”meminta” diperlakukan ketentuan khusus. Yaitu Badan Amil Zakat Nasional
menetapkan kriteria administasi berupa: (a) Surat keterangan dari pihak berwenang
(kelurahan atau pemerintah setempat perihal kemiskinan atau kefakiran, kartu
siswa,
keterangan mahasiswa) (b) Proposal atau rencana penggunaan dana zakat.439
Selain prosedur penyaluran di atas, Badan ini juga membentuk tim untuk
melakukan studi kelayakan ke lokasi calon binaan. Upaya ini ditempuh Badan Amil Zakat
4371. Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk mustahiq dilakukan berdasarkan
persyaratan sebagai berikut: a. hasil pendataan dan penelitian kebenaran mustahiq delapan asnaf yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil. b. Mendahulukan orang-orang yang paling tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan. 2. Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha yang produktif dilakukan berdasarkan persyaratan sebagai berikut: a. apabila pendayagunaan zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terpenuhi dan ternyata masih terdapat kelebihan, b. Terddapat usaha-usaha nyata yang berpeluang menguntungkan, c. Mendapat persetujuan tertulis dari dewan pertimbangan. Pasal 29: Prosedur pendayagunaanhasil pengumpulan zakay untuk usaha produktif ditetapkan sebagai berikut: a.Melakukan studi kelayakan; b. Menetapkan jenis usaha produktif; c. Melakukan bimbingan dan penyuluhan; d. Melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan; e. Mengadakan evaluasi; dan f. Mengadakan pelaporan.
438QS. Al-Dzâriyât/51: 19 وفي أموالهم حق للسآئل والمحروم
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” Penjelasan Departemen Agama RI terhadap. kata al-maĥrūm (Orang miskin yang tidak mendapat bagian) maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-minta..
439Wawancara Pribadi dengan Achmad Subianto, Ketua Umum Pengurus Badan Amil Zakat Nasional Periode 2001-2004, Jakarta, 6 Pebruari 2008.
Nasional guna memastikan bahwa zakat yang akan diberikan kepada mustahik dapat
memberikan manfaat serta mereka secara syar’i tergolong dalam mustahik.440
Hemat penulis prosedur ini ditempuh oleh Badan Amil Zakat Nasional, karena
didasarkan atas perubahan perilaku mustahik tentang sikap terhadap dana zakat dalam
memenuhi kebutuhan mereka. Secara substantif, tingkat kebutuhan mustahik terhadap
dana zakat sepanjang masa mengalami persamaan, namun yang berbeda adalah sikap
mereka terhadap kebutuhan dana zakat. Atas dasar asumsi ini maka dipahami bahwa
bagi mustahik yang hidup dalam era moderen tentu saja memiliki sikap yang berbeda
terhadap dana zakat dibanding mereka yang masih dalam era tradisional.
Dengan demikian, pendayagunaan zakat yang ditempuh Badan ini
dipandang sebagai bentuk respons terhadap perubahan sikap yang dialami oleh
mustahik. Besarnya dana zakat yang diberikan kepada masing-masing asnaf
adalah dalam ukuran yang dapat mengangkatkan dari kemiskinan, menghilangkan
segala faktor kemelaratan, dan bisa menanggulangi kesulitan yang sedang
dihadapinya pada waktu itu. Tujuan zakat adalah untuk memberikan kecukupan
buat selama hidupnya 441 Namun secara realitas Badan Amil Zakat Nasional
belum dapat memberikan dana zakat kepada mustahik yang dapat menghilangkan
segala faktor yang dapat membuatnya melarat, karena keterbatsan dana
zakat yang
terkumpul.442
3) Pendampingan
Dalam manajemen pendampingan biasanya dikenal sebagai upaya untuk
membantu karyawan menanggulangi problema yang dapat menghambat dalam
melaksanakan tugas‐tugas yang dibebankan kepadanya.443 Dari pengertian itu dapat
dinyatakan bahwa pendampingan merupakan suatu proses pembinaan yang dilakukan
Badan Amil Zakat Nasional kepada mustahik dalam waktu tertentu agar tercapai tujuan
440Wawancara Pribadi dengan Achmad Subianto, Ketua Umum Pengurus Badan Amil
Zakat Nasional Periode 2001-2004, Jakarta, 6 Pebruari 2008. 441”Badan Amil Zakat Nasional, Fiqih Zakat di Indonesia, t.th., h. 38. Buku ini masih
merupakan draft, tetapi secara internal kelembagaan telah dipergunakan. Menurut rencana buku ini akan dipergunakan secara nasional sebagai buku fikih untuk bidang zakat di Indonesia.
442 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Kepala Devisi Pendayagunaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 Oktober 2007.
443Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, (New York: McGraw-Hill, Inc. 1991), h. 432.
yang telah disepakati. Secara konsepsional kelembagaan pendampingan merupakan
bagian budaya kerja Badan Amil Zakat Nasional yaitu fatânah. Menurut Badan Amil
Zakat Nasional fatânah merupakan salah satu budaya kerja yang mengandung arti
pemberdyaan yang kreatif,efektif dan bermanfaat ganda.444
Konsep yang dikandung dalam salah satu budaya kerja tersebut, mengandung
proses tranformasi pengetahuan kepada mustahik dari Badan Amil Zakat Nasional yaitu
pada makna pemberdayaan. Dengan demikian, pemberdayaan, merupakan bahagian
dari pendampingan. Bahkan dengan pendampingan maka proses transformasi
manajemen dan etos kerja antara pendamping dan objek dapat berlangsung dengan
cepat.
Pendampingan yang dikembangkan pada Badan Amil Zakat Nasional hanya
dilakukan kepada program ekonomi produktif. Hal ini dilakukan karena selain resiko
keuangan yang dapat ditimbulkan akibat kegagalan suatu kegiatan usaha, juga karena
tingkat pengetahuan mustahik yang masih lemah dalam bidang
yang dipilih.445
2. Fungsi Pelaksanaan
Uraian dari sisi aspek fungsi pelaksanaan yang dikembangkan oleh Badan Amil
Zakat Nasional terhadap pendayagunaan zakat dimaksudkan untuk mem berikan
gambaran tentang polarisasi pelaksanaan pendayagunaan zakat dan program yang
dikembangkan.
a. Polarisasi Pendayagunaan Zakat
Dalam uraian pelaksanaan ini akan dibandingkan dengan pendayagunaan zakat
yang dikemukakan oleh Keputusan Dirjen Bimas Islam. Menurut Keputusan Dirjen
Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/ 291 tahun 2000 ayat (3) dan (4) ditemukan
bentuk pendayagunaan zakat yang bersifat sesaat dan bersifat pemberdayaan. Untuk
yang pertama ditujukan kepada mustahik dalam rangka memenuhi kebutuhan
444Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 19.
445Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Kepala Devisi Pendayagunaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 Oktober 2007.
mendesak sedang kedua untuk memenuhi kesejahteraan mereka melalui suatu program
yang dilakukan oleh pengelola zakat secara berkesinambungan.446
Atas dasar ini maka pada dasarnya, Badan Amil Zakat Nasional dalam fungsi
pelaksanaan pendayagunaan zakat telah menganut pola insidentil untuk hal‐hal yang
bersifat darurat dan pemberdayaan. Apabila pedoman Pendayagunaan zakat Badan Amil
Zakat Nasional sebagaimana dikemukakan pada tabel tujuh (7) dibandingkan dengan
pendayagunaan menurut Keputusan Dirjen Urusan Bimas Islam dan Urusan Haji
tersebut, maka dapat dinyatakan sebagaimana dalam tabel 11 (sebelas) bahwa secara
umum, pelaksanaan program yang dikembangkan Badan Amil Zakat Nasional telah
mengacu pada pendayagunaan zakat. Untuk Program kemanusiaan, terdapat satu sub
jenis program yang dapat dikelompokkan sebagai program yaitu evakuasi korban yang
bersifat darurat sedang selainnya dimasukkan sebagai program yang bersifat
pemberdayaan.
Untuk melihat perbandingan pendayagunaan zakat menurut versi Badan Amil
Zakat Nasional dan Keputusan Dirjend. Bimas Islam dan Urusan Haji (yang telah dikutip
di atas), maka dikemukakan dalam bentuk tabel di bawah ini.
Tabel 11: Perbandingan Pendayagunaan Zakat versi Badan Amil Zakat Nasional
dan Keputusan Dirjend. Bimas Islam dan Urusan Haji
No. Nama Program Sub Program Kep.Dirjend.Bias Islam dan
Urusan Haji .
1 2 3 4
1. Kemanusiaan a. Evakuasi Korban Darurat
446Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/ 291 tahun 2000 :
(3) Penyaluran dana zakat dapat bersifat sesaat, yaitu membantu mustahiq dalam menyelesaikan atau mengurangi masalah yang sangat mendesak/ darurat. (4) Penyaluran dana zakat dapat bersifat bantuan pemberdayaan, yaitu membantu mustahiq untuk meningkatkan kesejahteraannya, baik secara perorangan maupun kelompok melalui program atau kegiatan berkesinambungan.
b. Pelayanan
c. Kesehatan Darurat
d.Bantuan Pangan danSandang
e.Pembinaan Daerah Pasca Bencana
Pemberdayaan
sda
sda
sda
2. Kesehatan a. JaminanKesehatan Masya rakat Prasejahtera (Jam kestra)
b. Dokter Keluarga Pra sejahtera (DKPS)
c. Unit Kesehatan Keliling d. Penyaluhan Kesehatan e. Pemberian makanan bergizi, sanitasi desa prasejahtera
Pemberdayaan
sda
sda
sda
3. Pengembangan Ekonomi Umat
a. Bantuan Sarana Usaha
b. Pendanaan Modal Usaha
c. Pendampingan/Pembinaan
Pemberdayaan
sda
sda
4. Dakwah a. Bina Dakwah Masyarakat b. Bina Dakwah Masjid c. Bina Dakwah Kampus/ Sekolah
Pemberdayaan
sda
sda
5 Peningkatan Kualitas Sumber Daya Insani
a. Beasiswa Tunas Bangsa b. Beasiswa Pelajar Keluarga Prasejahtera
c. Pendidikan Alternatif Terpadu d. Pendidikan Keterampilan
SiapGuna e. Bantuan Guru dan Sarana Pendidikan
Pemberdayaan
sda
sda
sda
sda
Sumber Data: Hasil Kajian Penulis 2007.
Tabel di atas memperlihatkan pelaksanaan pendayagunaan zakat Badan Amil
Zakat Nasional pada dasarnya terbagi dua yaitu darurat dan pemberdayaan.
Hemat penulis kategorisasi pemberdayaan dan darurat, terletak pada
ketidakmampuan mustahik untuk bertindak untuk mencapai hal‐hal yang bersifat
produktif. Untuk kondisi darurat, dapat dipahami karena mustahik telah mengalami
kondisi yang tidak memungkinkan mereka untuk melakukan tindakan yang mengarah
pada produktifitas disebabkan karena adanya kondisi yang dapat membahayakan jiwa
dan raganya.. Hal ini disebabkan karena mereka dilanda bencana dan penangananan
yang tergolong darurat dalam arti evakuasi korban berlangsung tidak membutuhkan
bantuan secara berkesinambungan atau dalam
waktu sesaat. .
Adapun kategorisasi pemberdayaan, menurut penulis, adalah aktivitas
pelayanan Badan Amil Zakat Nasional yang diarahkan kepada mustahik agar mereka
dapat produktif. Kata produtif yang dipahami dari pemberdayaan tidak seharusnya
dipahami dalam arti finansial ekonomis, tetapi termasuk di dalamnya hal‐hal yang non
ekonomis.
Memahami kata produktif dari sisi finansial ekonomis saja, dipandang
bertentangan dengan kenyataan kondisi mustahik, sebagaimaan yang dipolakan oleh
Badan Amil Zakat Nasional pada satu sisi dan bertentangan pula dengan kondisi
mustahik yang berjumlah delapan ashaf dengan karakteristik yang beragam.
Karakteristik yang beragam bagi mustahik menunjukkan, bahwa mereka memiliki
kebutuhan yang beragam pula dan tidak hanya tunggal pada aspek ekonomi semata
tetapi juga non ekonomi.
b. Pelaksanaan Program
Pelaksanaan pendayagunaan yang dikembangkan Badan Amil Zakat Nasional
dapat dikemukakan dengan mengacu pada pembahagian program yang telah
ditetapkan oleh Badan Amil Zakat Nasional.
1) Program Kemanusiaan
Program kemanusiaan ditujukan untuk menanggulangi tragedi kemanu‐siaan
seperti bencana alam dan bencana sosial. Untuk yang pertama berupa gempa bumi,
v
tsunami, banjir bandang, sedang kedua berupa penanggulangan gizi buruk, bingkisan
lebaran untuk kaum fakir miskin dan dai.447 Menurut Fuad, ”tujuan utama pemberian
zakat kepada mereka adalah untuk meringankan beban ekonomi dan psikologis mereka.
Menurutnya, secara ekonomi mereka menerimanya dalam bentuk barang sedang secara
pskologis dilakukan dengan memberikan ceramah keagamaan dalam rangka
meningkatkaan kesabaran dan motivasi mereka dalam menerima cobaan.” 448
Untuk merealisisir bantuan kemanusiaan ini dilakukan dengan pola kemitraan
dalam arti melibatkan pihak luar selain Badan Amil Zakat Nasional seperti BMT, Lembaga
Masjid, BUMN dan BUMS. Pola kemitraan ini dilakukan, karena dana zakat tidak
mencukupi untuk pendayagunaan secara mandiri. Menurut Fuad, dana zakat yang
dialokasikan untuk kegiatan ini hanya sekitar 10 prosen dari total dana
pendayagunaan.449
Secara teknis penggalangan dana kemanusiaan dilakukan dengan menganut
dua pola yaitu: (a) membuat program dengan tema ”kemanusiaan”; (b) penawaran kerja
sama kepada calon mitra untuk dikerjasamakan. Untuk pola yang pertama, sebagai
pengambil inisiatif program, maka Badan AmilZakat Nasional selain bertindak sebagai
penanggungjawab, Badan ini turut melaksanakan program; sedang pola kedua Badan ini
bertindak sebagai penginisiatif dan secara bersama‐sama dengan mitra merealisasikan
program tertentu.
Pendayagunaan zakat untuk sektor ini 2005 (Rp. 1.985.750.000 untuk 26.992
orang) mengalami peningkatan dibanding pada tahun 2006 Hal ini dikarenakan
Indonesia pada tahun 2005‐2006 sarat dengan bencana kemanusiaan dan berbeda
dengan tahun sebelumnya.450
2) Kesehatan
Sehat mengandung arti ”baik seluruh badan serta bagian‐bagiannya” dan
dikembangkan menjadi kesehatan mengandung arti ”sebagai keadaan atau hal yang
447Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 34-41. 448Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. 449Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. 450Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. Lihat tabel 32.
berkaitan dengan sehat.”451 Dalam rangka mengembangkan sektor kesehatan pada
mustahik, maka Badan Amil Zakat Nasional mengembangkan program ini. Di kalangan
Badan Amil Zakat Nasional terdapat istilah ”sadikin” yaitu sakit sedikit jadi miskin.
Menurut pandangan ini ”seseorang yang sakit selain akan memberikan dampak negatif
bagi kesehatannya dan bahkan akan berdampak pula terhadap kegiatan ekonomi”.
Karenanya, Badan Amil Zakat Nasional berpendapat bahwa ”untuk golongan pekerja
harian seperti pedagang keliling, buruh, tukang becak dan sektor informal lainnya,
menderita sakit merupakan musibah”.452
Program ini dikembangkan di wilayah Jogodetabek dengan pemilihan mustahik
yang berbasis pada sekor informal. Pertimbangan sasaran mustahik dikarenakan
Jabodetabek secara umum wilayah ini dipadati kelompok dengan profesi dimaksud dan
mereka merupakan keluarga yang secara ekonomi menengah ke bawah.”453
Program ini berjalan sejak 2003 dan pada tahun 2006 telah mengembangkan
pada 15 kecamatan di wilayah Jabodetabek selama tujuh hari dalam seminggu, dan
selanjutnya mengembangkan pada program Dokter
Keluarga Pra Sejahtera (DKPS).454
Dibanding dengan tahun‐tahun sebelumnya sejak tahun 2006 dikembangkan
program kerja sama pada lembaga yang memiliki kepedulian dalam bidang kesehatan.
Dewasa ini Badan Amil Zakat Nasional telah melaksanakan kerja sama dengan Dompet
Dhuafa dengan membuka rumah sakit gra s pada musthaik. ”Pada tahun 2007 kerja
sama segi empat antara Baznas, Dompet Dhuafa dan Baitul Mal Masjid Sunda Kelapa
serta Pengurus Masjid Agung Sunda Kelapa Jakarta dilaksanakan dengan mendirikan
Rumah Sehat Masjid Agung Sunda Kelapa (RSMASK) yang berlokasi di kompleks Masjid
Agung Sunda Kelapa Jakarta. Dalam kerjasama ini, Pengurus Masjid menyiapkan lahan
451 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Idonesia,(Jakarta: Balai
Pustaka, 2000), h. 1011. 452Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 44. 453Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. 454 Wawancara Pribadi dengan Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana
Harian Zakat Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 14 Pebruari 2008.
sedang Baznas, Dompet Dhuafa dan Pengurus Baitul Mal Masjid Agung Sunda Kelapa
menyiapkan dana, manajemen medis dan pengelolaan selama dua tahun”.455
Proyek ini diperuntukkan untuk memenuhi ”kepentingan secara gratis pada
kaum duafâ termasuk kelompok mustahik dalam bidang kesehatan dalam dua puluh
empat jam pada wilayah Jakarta dan sekitarnya. Dengan fungsi itu, rumah saki ini
dilengkapi dengan fasilitas unit gawat darurat (UGD), poli umum, poli gigi, laboratorium,
apotik dan perlengkapan USG. Rumah sakit ini didukung
oleh tiga orang dokter umum, satu orang dokter gigi dan delapan paramedis”.456
Keseluruhan dana yang dipergunakan ”untuk pembangunan proyek ini di luar
harga tanah sebanyak empat milyar rupiah dengan sumber dana dari zakat infak dan
sadaqah”.457
3) Pengembangan Ekonomi Umat
Pengembangan ekonomi umat merupakan suatu program yang ditujukan untuk
meningkatkan pendapatan ekonomi mustahik.458
Pelaksanaan program ini dikerjasamakan dengan Korps Perempuan Dakwah
Islamiyah setempat sebagai pendamping sedang Badan Amil Zakat Nasional sebagai
penyedia fasilitas. Selain itu Badan Amil Secara operasional program ini dikembangkan
dalam tiga pola. Pertama, bantuan sarana usaha, yaitu memberikan dukungan fasilitas
berupa sarana usaha kepada mustahik. Tahun 2006 Badan Amil Zakat Nasional
memberikan bantuan berupa alat penangkapan ikan dan pengemasan kepada mustahik
perempuan yang berada di sekitar danau Maninjau Sumatera Barat. Alat penangkapan
itu, digunakan oleh mustahik perempuan untuk melakukan penangkapan ikan di danau
Maninjau, sedang alat pengemasan dipergunakan untuk mengemas hasil tangkapan
yang telah diproses sebelumnya, selanjutnya, dipasarkan ke toko‐toko sekitar yang
menjual makanan khas daerah. 459 Zakat Nasional akan mengevaluasi terhadap
pelaksanaan program tersebut dalam setiap tiga bulan. Keuntungan dari hasil usaha
455“Presiden Resmikan Rumah Sehat Masjid Sunda Kelapa, “Republika”, 15 September 2007, h. 2.
456“Presiden Resmikan Rumah Sehat Masjid Sunda Kelapa, “ Republika”, h. 2. 457“Presiden Resmikan Rumah Sehat Masjid Sunda Kelapa, “ Republika”, h. 2.
458Wawancara Pribadi dengan Budi Setiawan, Staf Divisi Program Pelaksana Harian Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 13 Pebruari 2009. Total dana zakat sektor ekonomi kwartal 1 2006 sebanyak Rp. 405.750.000. setara dengan 30 % dari total dana zakat. Lihat Tabel 32.
459Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 42.
akan dinikmati oleh mustahik pengelola usaha, sedang dana bantuan yang diberikan
akan dikembalikan ke Badan Amil Zakat Nasional untuk selanjutnya dijadikan sebagai
dana bergulir kepada mustahik yang lain.460
Kedua, pendanaan modal usaha, yaitu pemberian modal keuangan atau bentuk
natural kepada kelompok mustahik untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai kegiatan
bisnis.461 Salah satu proyek dalam program ini adalah peningkatan kehidupan ekonomi
wali santri yang termasuk dalam kelompok mustahik melalui kerjasama Badan Amil
Zakat Nasional dengan Pondok Pesantren Darunnajah Cipining Bogor. Proyek ini
melibakan Pondok Pesantren sebagai penanggungjawab dan pendamping dengan tugas
antara lain memilih wali santri yang dipandang layak sebaga calon pekerja; mengawasi
jalannya proyek; sedang wali santri bertindak sebagai pekerja yakni pemelihara kambing
dan Badan Amil Zakat Nasional sebagai penyedia kambing.462
Pola pembagian hasil dilakukan dengan cara: a. Pengembalian modal awal
(berupa harga kambing) ke pihak pendamping; b. Hasil penjualan induk kambing yang
berumur pemeliharaan empat semester, akan dibagi dua dengan pendamping dan
pekerja (mustahik); c. Pendamping dan pekerja (mustahik) memperoleh masing‐masing
lima puluh prosen dari hasil penjualan anak kambing; d. Dana penjualan induk kambing
yang diterima pendamping akan dibelikan kambing dan diberikan lagi kepada mustahik
lainnya dengan menerapkan pola yang sama.463
Ketiga, pendampingan/pembinaan. Proyek pendampingan yang diberikan oleh
Badan Amil Zakat Nasional kepada mustahik tidak pernah diberikan tanpa dilakukan
pelatihan dan pendanaan usaha. Hal ini dikarenakan tidak ada mustahik yang hanya
membutuhkan pendampingan. Mereka membutuhkan dana, keterampilan dan
pembinaan. 464 Pendampingan yang diberikan kepada mereka, dimaksudkan untuk
memastikan agar zakat yang diberikan baik dalam bentuk
pendanaan maupun dalam bentuk natural, akan memberikan manfaat secara
460Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 42. 461 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Kepala Devisi Pendayagunaan Zakat
Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. 462Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 43. 463Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 43. 464Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.
optimal kepada mereka.465
Untuk mendukung proyek pendampingan ini, Badan Amil Zakat Nasional
menempuh dua pola yaitu: a. Membentuk tim yang secara internal dari Baznas; b.
Memberikan kewenangan kepada pihak ketiga sebagai pelaksana. Untuk pola yang
kedua, kebijakan ini ditempuh dikarenakan Badan Amil Zakat Nasional mengalami
kekurangan sumber daya manusia terhadap aktifitas yang menjadi objek dampingan.466
4) Dakwah
Program dakwah yang dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional melalui
pembiayaan zakat, didasarkan pada pemahaman konsep fī sabīl Allah. Alokasi
pembiyaan sekitar 10 % dari total dana yang terkumpul. Bentuk sasaran dakwah yaitu:
masjid, dakwah masyarakat dan dakwah sekolah.467 Dalam pelaksanaannya dakwah ini
dikerjakan dengan UPZ mitra yang programnya berupa pemberian dana antara lain
untuk biaya hidup Dai di Indonesia Timur, Relokasi pemukiman dan pembangunan
masjid suku Abun di Sorong, Penguatan akidah di daerah rawan.468
Pemahaman Badan Amil Zakat Nasional yang berbasis pada pengembangan
sumber daya manusia melalui dakwah, merupakan jawaban atas permasalahan yang
dialami umat Islam dewasa ini. Dalam hal perlunya pembinaan dakwah khususnya
terhadap dai menurut Hidayat Nurwahid, ”kita semua‐ termasuk mereka yang aktif di
dunia dakwah perlu mencermati berbagai perkembangan mutakhir disekitar kita yang
bersinggungan dengan sikap dan
pengetahuan serta komitmen dan pelaksanaan agama.”469
Dari sisi keberadaan pogram ini di Indonesia, hal serupa pernah dijadikan oleh
Bazis DKI Jakarta sebagai rekomendasi pengembangan zakat. Menurut Bazis DKI Jakarta,
mustahik dalam katagori fî sabîl Allah ini mencakup: “peningkatan ilmu pengetahuan:
465Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. 466Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. 467Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.Total dana zakat sektor ini 2004, Rp. 219.745.000. Lihat Tabel 32.
468Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Badan Amil Zakat Nasional 2004-2007, h. 8 469Hidayat Nurwahid, dalam A. Suriyani, Manajemen Dakwah, (Jakarta: MSCC, 2005), h.
vi.
agama, umum, keterampilan, keperluan bea‐siswa, penelitian, penerbitan buku‐buku
pelajaran, majalah‐majalah ilmiah.”470
5) Peningkatan Sumber Daya Insani
Program peningkatan kualitas sumber daya insani dikembangkan didasarkan
pada konsep ibnu al‐sabīl dalam zakat. Dana yang dialokasikan sekitar 25 % dari total
dana yang terkumpul.471 Pengembangan program ini mencakup. Pertama, beasiswa
tunas bangsa. Program ini hanya diberikan kepada mahasiswa semester akhir atau
menjelang penyelesaian studi dan mereka aktifis dakwah di kampus serta mereka
berasal dari keluarga yang berekonomi lemah.472 Kedua, beasiswa pelajar keluarga
prasejahtera. Ketiga, pendidikan alternatif terpadu. Keempat, pendidikan keterampilan
siap guna. Kelima, bantuan guru dan sarana pendidikan.
Bantuan sarana belajar mengajar bagi sekolah yang tidak mampu, pelatihan
tenaga guru tertentu untuk madrasah, pelatihan kepemimpinan bagi generasi muda
Islam, pendirian sekolah unggulan untuk siswa‐siswa dari keluarga miskin yang
berprestasi. Dalam pelaksanaannya beberapa jenis program ini dikerjasamakan pihak
tertentu.473
C. Implementasi Fungsi Kepemimpinan dan Pengawasan
1. Fungsi Kepemimpinan
Pemimpin sebagai pelaku dari sifat yang dikembangkan olehnya dan sifat‐sifat
yang dikembangkannya itu dikenal dengan kepemimpinan.474 Pemimpin menurut Cattell
seperti dinyatakan oleh Salusu dipandang sebagai orang yang paling efektif menciptakan
perubahan‐perubahan dalam kelompoknya. Lebih lanjut ia memberikan intisari dari kata
pemimpin yaitu, ”...peranan kunci, dominasi, pengaruh....” Sedang kepemimpinan
dengan mengutip pendapat Stogdill “...proses mempengaruhi kegiatan kelompok dalam
470Rekomendasi dan Pedoman Pelaksanaan Zakat, (Jakarta: Bazis DKI Jakarta, 1981), h.
xiii. 471Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007. 472Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007. 473Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 45. 474Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2000, edisi III), h. 874.
perumusan dan pencapaian tujuan....” 475 Menurut Soni Yuwono, kepemimpinan
mengandung arti sebagai penggunaan kewenangan dengan menggerakkan dan
mengalokasikan sumber daya serta memotivasi karyawan ke arah pencapaian tujuan
organisasi. 476 Hal yang sama dikemukakan oleh Martin bahwa kepemimpinan
merupakan proses
mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.477
Untuk mempengaruhi orang lain, maka Yukl sebagaimana dikemukakan Martin
mengemukakan bahwa terdapat enam sumber‐sumber kepemimpinan, yaitu kekuatan
referensi, kekuatan keahlian, kekuatan legitimasi, kekuatan informasi, kekuatan
penghargaan, kekuatan memaksa.478
Untuk keperluan analisis evaluatif terhadap fungsi kepemimpinan yang
diimplementasikan Badan Amil Zakat Nasional dalam pendayagunaan zakat, maka
sumber‐sumber kekuatan memimpin akan dikaitkan dengan indikator pene litian ‐yang
telah ditetapkan‐ sebagaimana yang dikemukakan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 12: tentang Sintesis antara Unsur‐Unsur pada Sumber‐Sumber Kepemimpinan dalam Fungsi Kepemimpinan dengan Indikator Penelitian
Indikator Sintesis Unsur-Unsur Pada Sumber Kepemimpinan
1 2 3 Efektif Terhadap
Mustahik Dana Zakat
Kekuatan Referensi, Legitimasi,
Memaksa dan Keahlian
Efisien Sumber daya: Ekonomi, Waktu,
Tenaga
Kekuatan Referensi, Legitimasi, Keahlian dan Informasi
1 2 3
Tepat Jumlah Jumah Dana yang ditetapkan
Kekuatan Referensi dan Legitimasi
Perubahan Mustahik
Sosekreg Mustahik
Kekuatan Referensi, Legitimasi, Memaksa, Informasi, Keahlian dan
Penghargaan
Sumber: Hasil Analisis Penulis, (dengan memodifikasi pandangan
475J. Salusu, Pengambilan Keputusan Staratejik, (Jakarta: Grasindo, 2006, cet. IX), h.191-
192. 476Soni Yuwono, et.All., Penggunaan Sektor Publik, ( Malang: Bayu Media Publishing,
2005 cet. I ), h. 2. 477Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, (New York: McGraw-Hill, Inc.
1991), h. 480. . 478Gary A. Yukl dalam Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, h. 482.
Gary A. Yukl dalam Mar n), 2008
Tabel di atas menjelaskan tentang implementasi kepemimpinan terhadap
indikator pendayagunaan zakat. Kepemimpinan dianalisis dengan mengemukakan
unsur‐unsur pada sumbernya dan mengaitkan dengan indikator penelitian guna
memunculkan hasil sintesis dari indikator dan unsur‐unsur pada sumber kepemimpinan
dimaksud.
a. Unsur‐Unsur Dalam Kepemimpinan Untuk Efektifitas Dana Zakat
Untuk mengemukakan unsur kepemimpinan dalam efektifitas dana zakat, maka
uraian akan mengacu pada unsur‐unsur yang terkait dengan efektifitasyang meliputi
unsur : Kekuatan Referensi, Legitimasi, Memaksa dan Keahlian .
1) Kekuatan Referensi
Kekuatan referensi mencakup kekaguman dan kesukaan orang lain terhadap
pemimpin. Hal ini akan mempengaruhi kepercayaan orang lain kepada pemimpin.
Walaupun dampaknya akan memandang kepemimpinan itu tidak penting dan
membawa kerusakan dalam kepemimpinan.479 Unsur sumber kepemimpinan ini dinilai
oleh Schermerhon dengan sumber yang bersifat personal dan karenanya ia
menggolongan sebagai kepemimpinan karismatik.480 Apabila unsur ini dikaitkan dengan
kepemimpinan pada Badan Amil Zakat Nasional, untuk tingkatan pelaksana harian,
maka telah tertanam nilai‐nilai kepemimpinan jenis ini. Unsur ini terlihat pada kapasitas
ketua umum periode II yang menampilkan sosok kepemimpinan yang mengembangkan
berdasarkan kepribadian yang ramah, sopan dan membimbing. Sikap ini yang kemudian
menjadikan prototipe ketua umum dimaksud, memberikan pengaruh kepada
karyawan Badan Amil Zakat Nasional.481
Sebagai pemimpin karismatik yang lebih menonjolkan kepribadian, ketua umum
II Badan Amil Zakat Nasional, tampaknya tidak hanya didasarkan pada kemauan dan
479Gary A. Yukl dalam Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, h. 482.
480John R. Schermerhon, JR. Management, h. 322. 481Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 Agustus 2008.
komitmen dalam membangun komunikasi kepribadian dengan karyawan, tetapi
faktor‐faktor lain turut berpengaruh pula. Faktor ini akan
dikemukakan pada pembahasan lainnya.
Dalam konteks efektifitas dana zakat, kepemimpinan karismatik ini‐ dengan
meminjam istilah Schermerhon di atas‐, maka kriteria mustahik menjadi bahagian titik
perhatian Badan Amil Zakat Nasional. Hal ini disebabkan karena: a. Dana zakat hanya
diberikan kepada pemilik yang memenuhi krieria, b, Dorongan moril untuk
menyampaikan kepada mereka yang memenuhi kriteria. 482 Argumen yang
dikemukakan ini, tampaknya lebih bersifat kepribadian, dan karenanya penyampaian
hak‐hak mustahik akan terodorong dilakukan oleh kepemimpinan yang berbasis
karismatik
2) Kekuatan Legi masi
Kepemimpinan dengan unsur legitimasi kekuasaaan didasarkan atas
kemampuan mempengaruhi orang lain dengan dasar otoritas yang dimilikinya karena
didukung oleh perundang‐undangan.483 Apabila unsur legitimasi ini dikaitkan dengan
Badan Amil Zakat Nasional maka dari sisi yuridis formal terlihat bahwa UU No. 38/ 1999
tentang Pengelolaan Zakat telah mengakui keberadaan Badan ini. Dari sisi efektifitas
dana zakat kepada mustahik ditemukan pada UU ini Pasal 16 ayat (1) menyatakan
bahwa hasil pengumpulan zakat pendayagunaan untuk mustahik sesuai dengan
ketentuan agama; (2) Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat didasarkan skala
prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif.
Dalam pasal ini terdapat unsur yang mendukung gagasan tentang efektifitas
dana zakat untuk mustahik yaitu : peruntukan zakat untuk mustahik dan hak‐hak
mustahik. Dari sisi peruntukan menunjukkan, bahwa muzaki merupakan kelompok
penerima sebagaimana ketentuan agama Islam. Zakat dapat dijadikan sebagai intrumen
untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan dasar pemenuhan kebutuhan mustahik
maka zakat berpeluang untuk dikembangkan ke dalam dunia bisnis.
482Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 Agustus 2008. 483Gary A. Yukl dalam Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, h. 482.
Pasal lain yang berkaitan dengan efek fitas dana zakat, yakni pasal 28 ayat
(1) yang menetapkan persyaratan pendayagunaan zakat. Dalam ayat ini menghendaki
perlunya pendataan dan penelitian kepada mustahik bagi pengelola
zakat.
Unsur legitimasi untuk efektifitas dana zakat dapat dikaitkan dengan budaya
organisasi Badan Amil Zakat Nasional, yaitu sidik, yaitu “melakukan pekerjaan dengan
benar dan profesional”.484 Selain itu, unsur legitimasi ini terkait pula target pengelolaan
zakat Badan Amil Zakat Nasional yaitu tepat, 485 yang dapat dipahami dengan ketepatan
sasaran atau mustahik.
Berkaitan dengan efektifitas dana zakat yang dalam UU dimaksud dan
selanjutnya dikaitkan dengan budaya serta target organisasi Badan Amil Zakat Nasional
yang telah ditetapkan, maka Badan ini secara rinci telah menetapkan prosedural
penerimaan bagi mustahik sebagaimana yang dikemukakan pada unsur keahlian.
3) Kekuatan Memaksa
Pemaksaan dalam kepemimpinan dapat dilakukan oleh pemimpin dengan
memberikan ancaman agar secara psikologis dapat menimbulkan efek ketaatan kepada
yang bersangkutan atau kepada orang lain dalam suatu organisasi.486 Apabila kekuatan
memaksa ini dikaitkan dengan Badan Amil Zakat Nasional, maka hanya ditujukan
secara psikologis kepada karyawan. Sebagai diketahui bahwa kepatuhan karyawan
dalam menjalankan tugas‐tugas mereka, disebabkan oleh berbagai faktor. Namun dalam
konteks ini, maka pemaksaan dipandang memiliki pengaruh terhadap pelaksanaa tugas
mereka.
Pandangan ini didasarkan pada dua argumen yaitu : dilihat dari sisi rekrutmen
calon karyawan, tampaknya dilakukan dengan prosedur yang ketat. b. Terbukti telah
dilakukan pemecatan pada seorang karyawan yang dipandang telah melakukan
484Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 19.
485Target pengelolaan zakat Badan Amil Zakat Nasional “memberikan pelayanan kepada
mustahik untuk mendapatkan haknya secara cepat, tepat dan berdaya guna.” Annual Report 2006, h. 25.
486 John R. Schermerhon, JR. Management, h. 322.
v
pelanggaran.487 Untuk aspek pemecatan, walaupun penyebabnya tidak terkait langsung
dengan masalah penyampaian dana zakat kepada mustahik, 488 namun efek yang
ditimbulkannya akan berpengaruh bagi karyawan lainnya dalam melaksanakan tugas‐
tugas mereka.
Dilihat dari sisi sumber pengaruh hukuman, maka pengaruh itu bersumber dari
internal dan eksternal. Hal yang bersifat internal yaitu kemampuan psikologis bagi
karyawan untuk menepati ”janji‐janji” prestasi mereka ketika mengikuti tes rekrutmen
karyawan, sedang eksternal adalah, kemampuan psikologis mereka melihat penegakan
disiplin organisasi melalui pemecatan.
4) Kekuatan Keahlian
Kekuatan keahlian dimaksudkan sebagai kapasitas pengetahuan yang dimiliki
oleh pemimpin dalam mengembangkan suatu organsasi.489 Badan Amil Zakat Nasional
memiliki keahlian untuk memastikan dana zakat dapat secara efektif diterima oleh
mustahik. Upaya yang dilakukan adalah prosedur penerimaan calon mustahik dan
prosedur penyerahaan dana zakat. Kedua hal ini telah diuraikan pada pembahasan
kriteria pada sub bab mustahik sebagai sasaran sumber ekonomi.
Berkaitan dengan unsur keahlian, dalam kaitan dengan prosedur dan
penyerahan kepada dana zakat kepada mustahik, maka ia mengandung dimensi
manajemen. Walaupun demikian, dari sisi dimensi teologis mengenai zakat turut pula
merupakan bagian dari keahlian yang mempengaruhi unsur‐unsur dimakasud dalam
kepemimpinan pada Badan Amil Zakat Nasional. Dimensi ini, kemudian
diinternasiliasikan sebagai budaya organisasi.
Konsep amanah, diartikan “...sebagai suatu komitmen sekaligus kemauan untuk
menjalankan pekerjaan dan mengemban tanggungjawab sesuai dengan
deskripsi kerja maupun kesepakatan dengan pemberi kerja....”490 Bagi Badan
487 Wawancara Pribadi Broto Santoso, Kepala Divisi Pengembangan Sumber Daya
Manusia Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 4 Mei 2007. 488 Wawancara Pribadi Broto Santoso, Kepala Divisi Pengembangan Sumber Daya
Manusia Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 4 Mei 2007. 489John R. Schermerhon, JR. Management, h. 322.
490 Didin Hafidhuddin Ma’turidi, “Peran Pembiyaan Syari’ah dalam Pembangunan
Pertanian di Indonesia.” h. 55.
Amil Zakat Nasional sifat amanah, yang merupkan salah satu budaya organisasi
dipahami dengan ”sifaf jujur dan dapat dipercaya”491 Dengan demikian, penetapan
kriteria dan prosedur penerimaan serta penyerahan zakat kepada mustahik hemat
penulis merupakan bagian dari unsur keahlian dalam aspek kepemimpinan yang
mengembangkan efektifitas dana zakat
b. Unsur‐Unsur Dalam Kepemimpinan Untuk Efisiensi Dana Zakat
Untuk mengemukakan unsur kepemimpinan dalam efektifitas dana zakat, maka
uraian akan mengacu pada unsur‐unsur yang terkait dengan efektifitas yang meliputi
unsur‐unsur kekuatan referensi, legitimasi, keahlian dan informasi
1) Kekuatan Referensi
Kekuatan referensi atau karismatik dalam kepemimpinan Badan Amil Zakat
Nasional, yang dikembangkan oleh Ketua Umum pada perode II, yang secara personal,
sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan tentang efektifitas dana zakat, maka hal
itu juga berlaku pada unsur efisiensi dana zakat. Dalam hal ini unsur efisiensi terlihat
pada penetapan prosentase dana zakat pada fungsi pengorganisasian, terciptanya
kesepakatan di kalangan amil yang secara ikhlas untuk tidak menerima dana zakat yang
merupakan hak mereka sebagai amil.
2) Kekuatan Legi masi
Unsur ini dilihat dari sisi budaya organisasi yang ditetapkan Badan Amil Zakat
Nasional maka relevan dengan sidik yaitu “melakukan pekerjaan dengan benar dan
profesional”.492 Melakukan pekerjaan dengan benar Shiddîq, oleh Didin Hafidhuddin
dipahami sebagai .kemampuan pemimpin untuk bertindak dengan benar dengan cara
yang benar. Suatu tindakan yang benar tidak akan memberikan manfaat yang optimal
bila tidak dilakukan dengan cara yang benar....”493 Tampaknya, konsep sidik di atas,
masih sangat abstrak jika dikaitkan dengan efisiensi sebagai salah satu indikator
pendayagunaan dana zakat. Karena itu, kekuatan legitimasi sebagai unsur
491Badan Amil Zakat Nasional , Annual Report 2006, h. 19. 492Badan Amil Zakat Nasional , Annual Report 2006, h. 19.
493Pandangannya ini didasarkan atas pemahaman hadis Nabi ’alaykum bi al-shidqi fainna al-shidqa yahdî ilâ al-birri. Didin Hafidhuddin Ma’turidi, “Peran Pembiyaan Syari’ah dalam Pembangunan Pertanian di Indonesia.” h. 53.
kepemimpinan, tidak dapat menjelaskan secara rinci tentang kaitan antara efisiensi
dengan konsep sidik di atas.
Dengan demikian diperlukan unsur lain untuk menjelaskan secara rinci
mengenai konsep sidik yang dikaitkan dengan unsur efiensi dalam indikator
penelitian ini.
3) Kekuatan Keahlian
Sebagaimana dikemukakan pada pembahasan sebelum ini, bahwa konsep sidik
sebagai salah satu budaya organisasi Badan Amil Zakat Nasional dikaitkan dengan unsur
legitimasi dalam kepemimpinan, masih bersifat abstrak, sehingga tidak ditemukan
rincian pemahaman jika dikaitkan dengan efisiensi dana zakat. Karena itu, unsur
keahlian sangat terkait dengan penjelasan secara rinci dengan konsep sidik tersebut.
Unsur efisiensi yang dimaksud di sini lebih mengandung sistem penggunaan
sumber daya organisasi. Pandangan ini didasarkan implementasi efisiensi yang dilakukan
Badan Amil Zakat Nasional terlihat pada : Pertama, Badan Amil Zakat Nasional telah
menetapkan prosentase pendayagunaan dana zakat, Kedua, pemilihan program kerja
yang dapat memberikan dampak kepada mustahik dengan menerapkan unsur efisiensi.
Ketiga, penerapan unsur ini dalam bentuk kemitraan organisasi.
Ketiga argumen di atas, dipandang sebagai suatu sistem karena tidak hanya
diterapkan dalam suatu tahapan tertentu untuk pendayagunaan zakat, tetapi hal itu
menjadi bagian dari pelaksanaan pendayagunaan zakat secara keseluruhan. Sebagai
unsur keahlian, unsur efisiensi sebagai suatu sistem tidak hanya dipengaruhi oleh
kemampuan kepemimpinan yang berdimensi manajemen, tetapi juga dipengaruhi oleh
unsur “melakukan pekerjaan benar” yang dipandang berdimensi moril.
Dimensi manajemen dan moril yang dipahami dari pengembangan konsep sidik,
mencerminkan Badan Amil Zakat sebagai lembaga keagamaan (Islam). Sebagai lembaga
keagamaan (Islam), maka ajaran Islam yang melarang tabzîr yakni pemborosan, telah
terimplementasi pada aspek kepemimpinan dan menjadi menjadi unsur efisiensi sebagai
sistem kerja.
Kedua dimensi di atas, terpolakan secara terpadu, dan karenanya tidak dapat
dipisahkan dengan lainnya. Dengan kata lain, untuk menerapkan unsur efisiensi sebagai
sistem kerja, tidak dapat terwujud hanya dengan mengedepankan dimensi manajemen
dan mengesampingkan dimensi moril, demikian juga sebaliknya.
Berkaitan dengan penerapan unsur efisiensi dalam bentuk kemitraan termasuk
di dalamnya tentang pola sinergi yang dibangun Badan Amil Zakat Nasional dengan
lembaga zakat seperti Dompet Dhuafa (DD) sebagaimana dikemukakan pada bab III
tentang sinergi antar lembaga amil zakat dan merupakan bentuk sinergi yang pertama.
Menurut data diperoleh –sebagai dikemukakan pada uraian dimaksud‐ sinergi ini
didasarkan pada dua pertimbangan yakni kesamaan fungsional kelembagaan dan
pengembangan manajemen.494
Sinergi Badan Amil Zakat Nasional dengan Lembaga ini, telah menuai perbedaan
pandangan di kalangan tertentu. Perbedaan pandangan itu menjadikan Badan Amil
Zakat Nasional tidak dapat memperpanjang kembali masa kemitraan. Menurut data
perpanjangan kemitraan tidak dapat dilaksanakan lagi didasarkan atas alasan non teknis
yang dikemukakan oleh kelangan tertentu, 495 dan ‐konfirmasi penulis kepada‐
dibenarkan oleh mantan Direktur Pengembangan
Zakat dan Wakaf Depag. Upaya untuk tidak memperpanjang kemitraan dimaksud,
merupakan jalan keluar untuk meredam kontraproduktif dari kalangan tertentu.496
Dari uraian tentang kasus kemitraan di atas terlihat unsur efisiensi dengan tidak
memperpanjang masa kemitraan dimaksud, sebab sangat dihawatirkan akan membawa
“permasalahan baru” jika dilakukan kebijakan memperpanjang kemitraan.
494 Kerjasama ini berlangsung setahun, sejak 20 September 2006 dan hasilnya akan
dilakukan evaluasi oleh kedua belah pihak. Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007; Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional , 2006), h. 54.
495Pemutusan itu karena adanya faktor non teknis yang dikemukakan oleh orang yang tidak setuju di luar Dompet Dhuafa. Wawancara Pribadi Didin Hafidhuddin Ma’turidi, Ketua Umum Pengurus Harian Badan Amil Zakat Nasional 2004-2007, Bogor, 29 September 2008.
496Wawancara Pribadi Tulus, Mantan Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI, Jakarta, 20 Oktober 2008.
Namun demikian, kemitraan yang dibangun oleh Badan Amil Zakat Nasional
dan Dompet Dhuafa‐ terutama dalam posisi sebagai lembaga amil zakat nasional‐ di
atas, selain mendatangkan manfaat pada satu namun pada sisi yang lain
mendatangkan kerugian bagi Badan Amil Zakat Nasional. Dari sisi manfaat adalah, Badan
Amil Zakat Nasional sebagai pendatang baru dalam kancah perzakatan nasional yang
tentu saja secara sosiologis belum banyak dikenal oleh masyarakat, namun dengan
konsep kemitraan ini akan mempercepat sosialisasi dan kepercayaan masyarakat
khsusunya muzaki‐ karena kelahiran Dompet Dhuafa 1993 lebih awal dibanding dengan
badan ini‐.
Dari sisi kerugian yang diakibatkan oleh kemitraan di atas yakni menyangkut
aspek moril. Hal ini bisa dipahami karena Badan Amil Zakat Nasional sebagai lembaga
yang dibentuk oleh surat keputusan Presiden bermitra dengan lembaga yang
merupakan lembaga swasta. Kondisi ini memberikan dampak negatif bagi Badan Amil
Zakat Nasional karena memberikan kesan bahwa tingkat kemandirian Badan Amil Zakat
Nasional sebagai lembaga yang dibentuk pemerintah sangat rendah.
Kesimpulan di atas diperkuat dengan pengamatan penulis yang oleh Badan Amil
Zakat Nasional menempatkan sebahagian pegawai Dompet Dhuafa di Kantor Badan
Amil Nasional. Menurut penulis dasar pertimbangan yang menjadi dasar kemitraan ini
tidak tepat sebagaimana dikemukakan sebelumnya ‐yakni kesamaan fungsional
kelembagaan dan pengembangan manajemen‐ sebab argumen ini dari sisi efiesinsi
dapat saja diterima namun dari sisi etika kelembagaan tidak dapat diterima. Hemat
penulis, perbedaan karakteristik kedua lembaga “pemerintah dan non pemerintah”
seharusnya oleh pengurus Badan Amil Zakat Nasional disikapi dengan melahirkan
perbedaan strategi pengembangan.
3) Kekuatan Informasi
Kekuatan informasi mengandung arti kemampuan pemimpin untuk
mengakses informasi yang penting untuk mendukung kepentingan institusi. 497
Informasi yang diakses merupakan suatu data yang dapat menjadi acuan dalam
pengemabilan keputusan institusi. Menurut, Martin, kedudukan informasi dalam suatu
institusi, akan mempengaruhi kualitas suatu keputusan dilaksanakan atau tidak
497Gary A. Yukl dalam Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, h. 482.
dilaksanakan.498 Menurut Davis informasi bagi pemimpin berkaitan dengan laporan
tetap, permintaan informasi khusus, analisis khusus, laporan khusus, membantu
memahami peluang dan mengalisis suatu pengambilan keputusan499
Pentingnya kekuatan informasi dalam mendukung efisiensi dana zakat
mengandung arti bahwa pemimpin memanfaatkan sarana informasi dan bermitra
dengan sumber informasi, sebagai unsur dalam mendukung efisiensi dana zakat.
Pertama, sarana informasi. Dari sisi sarana informasi, terlihat pada penggunaan fasilitas
komputer untuk mendukung kelancaraan administrasi pada satu dan penggunaan
Penggunaan fasilitas informasi baik telepon, hand phone dan faks, yang telah
menjadi bagian pengelolaan lembaga pada era kontemporer, oleh Badan Amil Zakat
dijadikan sebagai moment untuk mendayagunakan dana zakat agar dapat lebih efisien.
Hal ini dapat dilihat dari sisi pendayagunaan dana zakat kepada mustahik melalui jasa
perbankan. Penggunaan jasa perbankan dalam mentransfer dana zakat serta sarana
komuinikasi lainnya seperti hand phone, fax kepada mitra Badan Amil Zakat Nasional
dipandang efisien baik dari sisi biaya dan waktu. Efisiensi terjadi tidak hanya bagi Badan
Amil Zakat Nasional melainkan juga pada mitra Badan Amil Zakat Nasional.
Dilihat dari sisi fungsi Badan Amil Zakat Nasional yang memiliki
wilayah pendayagunan zakat seluruh Indonesia, maka penggunaan sarana informasi
seperti dikemukakan di atas merupakan suatu keniscayaan dalam mendukung efisiensi
dana zakat. Sebagai tergambar dalam pelaksanaan pendayagunaan zakat, dapat
dinyatakan bahwa program yang bersifat kemanusiaan khususnya bencana memiliki
karakteristik yang sangat berbeda dengan progam lainnya.
Jenis program kemanusiaan khususnya “bencana “ memiliki karakteristik yang
sifatnya sporadis yang membutuhkan penanganan segera, yang berbeda dengan
program lainnya. Hal ini tidak berarti bahwa program lain tidak membutuhkan sarana
informasi dalam efisiensi dana zakat, tetapi dengan karakteristik yang dimiliki oleh
program kemanusiaan, maka memberikan gambaran betapa sarana informasi yang ada
dapat membantu Badan Amil Zakat Nasional dari sisi waktu (mempercepat) dan
menghemat pembiayaan dan menyusun program yang bersifat solutif kepada korban.
498Gary A. Yukl dalam Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, h. 482.
499 Gordon B. Davis, Manajement Information Systems, diterjemahkan Andrean S. Adiwardana, Sistem Informasi Manajemen, (Jakarta: Pustaka Binaman Presindo, 1993), h. 13.
Kedua, kemitraan dengan sumber informasi. Badan Amil Zakat Nasional telah
mengakses pada sumber informasi dalam arti memanfataakan sumber informasi untuk
mendukung efiesiensi dana zakat. Sumber informasi berupa lembaga yang bermitra
dengan Badan Amil Zakat Nasional baik dalam mitra sebagai unit penyalur zakat (UPZ)
dengan jumlah 10 unit, yang kesemuanya merupakan lembaga sosial maupun dengan
sumber informasi dari lembaga formal seperti Departmen Pendidikan Nasional melalui
program satu sarjana satu keluarga dengan melibatkan sejumlah perguruan tunggi
negeri dan swasta ”pilihan”500 dan Departemen Dalam Negeri, melalui program bedah
kampung.501 Kekuatan membangun mitra dengan sumber informasi baik institusi
pemerintah maupun sosial, dalam mendukung efisiensi pendayagunaan dana zakat
memiliki implikasi bahwa pendayagunaan zakat tidak dapat dilaksanakan dengan hanya
mengandalkan kemampuan lembaga internal Badan Amil Zakat Nasional pada satu sisi,
tetapi secara eksternal memperluas ranah zakat sebagai bagian dari
tanggungjawab bagi institusi lainnya.
c Unsur‐Unsur Dalam Kepemimpinan untuk Tepat Waktu Penerimaan Dana Zakat Pada
Mustahik
Untuk mengemukakan unsur‐unsur dalam kepemimpinan tentang tepat
waktu penerimaan dana zakat (TWPDZ) pada mustahik maka uraian akan
mengacu pada unsur kekuatan Referensi dan legitimasi
1) Kekuatan Referensi
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan yang lalu bahwa kekuatan referensi
sebagai salah satu unsur bagi kepemimpinan, dipahami sebagai karismatik, dan pada
uraian sebelumnya juga dinyatakan bahwa Badan Amil Zakat Nasional telah
mengembangkan kepemimpian karismatik yang bersumber dari ketua umum pada
periode II. Tampaknya, untuk unsur TWPDZ terlihat pada komitmen pengurus Badan
Amil Zakat Nasional untuk mendayagunakan dana zakat dalam waktu satu tahun dan
harus habis dari kas.502
500News BAZNAS, edisi Dzulhijjah1428 H, h, 8,
501Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 53. 502Wawancara Pribadi, Budi Setiawan, Staf Divisi Progam Pelaksana Harian BAZNAS,
Jakarta, 14 Pebruari 2008.
Komitmen atau kesepakatan di atas dapat dinyatakan dengan konsep dana
habis dalam setahun. Apabila kesepakatan ini dilihat dari sisi ekonomi menunjukkan
bahwa terdapat keinginan agar dana zakat dapat memberikan upaya nilai ekonomis
kepada mustahik secepatnya. Dengan demikian, tenggang waktu satu tahun merupakan
batas maksimal dana zakat berada pada Badan Amil Zakat Nasional.
2) Kekuatan Legi masi
Kekuatan legitimasi dalam unsur TWDZ terlihat pada target pengelolaan
zakat Badan Amil Zakat Nasional dengan menetapkan unsur cepat dan tepat.503 Kedua
unsur dalam target ini “cepat dan tepat” mengandung arti bahwa zakat harus sampai di
tangan mustahik dengan mengembangkan pengelolaan yang cepat dan tepat dan
dilaksanakan secara terpadu.
d. Unsur‐Unsur Dalam Kepemimpinan Untuk Tepat Jumlah Penerimaan Dana Zakat
Pada Mustahik
Untuk mengemukakan unsur kepemimpinan dalam tepat jumlah pemerimaan
dana zakat pada mustahik, maka uraian akan mengacu pada unsur‐unsur yang terkait
dengan tepat jumlah penerimaan dana, yang meliputi unsur kekuatan referensi dan
legitimasi
1) Kekuatan referensi
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan yang lalu bahwa kekuatan referensi
sebagai salah satu unsur bagi kepemimpinan, dipahami sebagai karismatik, dan pada
uraian sebelumnya juga dinyatakan bahwa Badan Amil Zakat Nasional telah
mengembangkan kepemimpian karismatik yang bersumber dari ketua umum pada
periode II. Tampaknya, kekuatan referensi untuk tepat jumlah penerimaan dana zakat
pada mustahik terlihat pada komitmen pengurus Badan Amil Zakat Nasional untuk
mempergunakan akad penerimaan. Akad berfungsi untuk memastikan bahwa dana
zakat telah diterima oleh mustahik sesuai dengan jumlah yang telah disetujui Badan
503Target pengelolaan zakat Badan Amil Zakat Nasional “memberikan pelayanan kepada
mustahik untuk mendapatkan haknya secara cepat, tepat dan berdaya guna.” Annual Report 2006, h. 25.
Amil Zakat Nasional.504 Secara umum akad ini menjelaskan tentang jumlah uang yang
diterima, waktu penyerahan, penerima dan yang menyerahkan serta tujuan
penerimaan.505
Memperhatikan materi yang dijelaskan dalam akad itu, menunjukkan bahwa
terdapat komitmen bagi pengurus Badan Amil Zakat Nasional untuk memastikan bahwa
dana zakat telah diterima secara utuh oleh mustahik. Dimensi moril dalam mewejudkan
komitmen ini sangat kental. Denga demikian,. Dapat dinyataan bahwa dalam
pelaksanaannya sangat terkait dengan kepribadian pelakunya. Dari pandangan ini dapat
dinyatakan bahwa unsur referensi turut berpengaruh dalam mendorong ketepatan
jumlah dana yang diterma mustahik
2) Kekuatan legi masi
Kekuatan legitimasi dalam unsur tepat jumlah penerimaan dana zakat pada
mustahik terlihat pada target pengelolaan zakat Badan Amil Zakat Nasional dengan
menetapkan unsur cepat dan tepat.506 Kedua unsur dalam target ini “cepat dan tepat”
mengandung arti bahwa zakat harus sampai di tangan mustahik dengan
mengembangkan pengelolaan yang cepat dan tepat dan dilaksanakan secara terpadu.
Unsur tepat mengandung arti bahwa ketepatan dalam jumlah, yakni jumlah dana yang
disetujui oleh Badan Amil Zakat Nasonal, harus dipastikan sampai dengan tepat di
tangan mustahik.
Pembuktian tentang ketepatan jumlah dana zakat yang diterima oleh mustahik
dengan jumlah dana yang disetujui oleh badan Amil Zakat Nasional dibuktikan dengan
kuintasi akad yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, mustahik dan Badan
Amil Zakat Nasional atau kelompok mitra
e. Unsur‐Unsur Dalam Kepemimpinan Untuk Perubahan Mstahik
Untuk mengemukakan unsur kepemimpinan dalam perubahan mustahik maka
uraian meliputi unsur‐unsur kekuatan referensi, legitimasi, memaksa, informasi,
504Wawancara Pribadi, Budi Setiawan, Staf Divisi Progam Pelaksana Harian BAZNAS,
Jakarta, 14 Pebruari 2008. 505Wawancara Pribadi, Budi Setiawan, Staf Divisi Progam Pelaksana Harian BAZNAS,
Jakarta, 14 Pebruari 2008. 506Target pengelolaan zakat Badan Amil Zakat Nasional “memberikan pelayanan kepada
mustahik untuk mendapatkan haknya secara cepat, tepat dan berdaya guna.” Annual Report 2006, h. 25.
keahlian dan penghargaan. Unsur‐unsur dimaksud akan dikaitkan dengan perubahan
pada mustahik dalam arti baik sosial, ekonomi, religius yang dikenal dengan sosekreg.
1) Kekuatan Referensi
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan yang lalu bahwa kekuatan referensi
sebagai salah satu unsur bagi kepemimpinan, dipahami sebagai karismatik, dan pada
uraian sebelumnya juga dinyatakan bahwa Badan Amil Zakat Nasional telah
mengembangkan kepemimpian karismatik yang bersumber dari ketua umum pada
periode II. Tampaknya, kekuatan referensi ini dalam melakukan perubahan sikap dan
ketersediaan peluang kerja bagi mustahik, terlihat pada berbagai gagasan yang dimuat
dalam News BAZNAS yang menyatakan bahwa zakat tidak hanya berdimensi pada
fiqhiyah dan hukum tetapi juga berada dalam dimensi kemanusiaan secara luas dan
menyeluruh. Menurutnya, dengan zakat maka akan meminimalisir persoalan kemiskian
dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan serta dalam mensilaturrahmikan
antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Untuk mencapai pengelolaan zakat
dengan fungsi demikian, dapat terwujud jika zakat dikelola dengan amanah.507
Dari gagasan Ketua Umum periode II BAZNAS di atas, terlihat bahwa ia
mempertegas fungsi zakat ke dimensi kemanusiaan dalam arti yang lebih luas. Ini
berarti tidak hanya pada masalah kemiskinan, tetapi terkait dengan perubahan pola pikir
sebagai unsur yang mendasar bagi aspek kemanusiaan.
Perubahan pola pikir yang akan dibangun oleh zakat menurut pandangan ketua
umum di atas, mencakup menjadikan zakat sebagai sarana silaturrahim. Sarana ini
penting untuk menumbuhkan keharmonisan dan kepedulian antar sesama. Namun
demikian, gagasan‐gagasan itu, tidak akan berwujud ketika pengelolaan zakat tidak
dilaksanakan dengan sikap amanah. Hemat penulis zakat dengan fungsi kemanusiaan
dalam arti luas dan menjadikannya sebaga sarana silaturahim, pada satu sisi serta sikap
amanah bagi pengelola zakat pada sisi lain, menunjukkan bahwa betapa zakat harus
dilihat sebagai persoalan kemanusiaan.
Berkaitan dengan amanah sebagai prasyarat bagi pengelola zakat yang dipahami
sebagai istilah agama (Islam) telah menjadi unsur penting dalam mengembangkan
kepemimpinan dalam pengelolaan zakat.
507News BAZNAS, Edisi Muharran 1429 H, h. 3.
v
Amanah dalam konteks kepemimpinan dapat dikembangkan dalam aspek
pendayagunaan zakat. Dalam perspektif perubahan mustahik, pengelola zakat yang
amanah akan memberikan zakat kepada mustahik dengan memperhitungkan dampak
yang diterima oleh mereka dari zakat. sebaliknya, pengelola zakat yang kurang amanah,
berpeluang untuk menciptakan dampak dari tindakannya untuk merugikan mustahik
dan citra kelembagaan.508
Dengan memperhatikan uraian di atas yang menekankan pada gagasan ketua
umum periode II BAZNAS, yang mendorong terciptanya rasa empati kepada mustahik
sebagai persoalan kemanusiaan serta mendorong sikap amanah sebagai prasyarat bagi
pengelola zakat untuk mewujudkan zakat sebagai sarana silaturrahim, maka dengan
mengaitkan pandangan Schermerhorn, bahwa karismatik dalam kepemimpinan memiliki
karakteristik pada pengembangan gagasan‐gagasan visioner, inspiratif dan memiliki
kualitas pemberdayaan, 509 gagasan yang dibangun oleh ketua umum periode II
dimaksud dapat dikategorikan ke dalam kepemimpinan karismatik.
2) Kekuatan Legitimasi
Kekuatan legitimasi terait dengan perubahan sikap dan peluang kerja bagi
mustahik yang dikembangkan dalam kepemimpinan Badan Amil Zakat Nasional terlihat
pada dua sumber yuridis. Pertama, UU No. 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat psl 5.510
Dengan pasal ini memerikan pandangan bahwa tujuan pengelolaan zakat dimaksudkan
untuk peningkatan fungsi dan peranan pranata keagamaan termasuk dalam hal ini
Badan Amil Zakat Nasional, agar mendorong pendayagunaan zakat ke arah upaya
pengembangan sosial ekonomi dan religus (sosekreg) mustahik sebagai bagian
mengantar mereka mencapai kesejahteraan.
Kedua, unsur Fatânah sebagai budaya kerja lembaga Badan Amil Zakat Nasional.
Fatânah mengandung arti pemberdayaan yang kreatif, efektif dan bermanfaat ganda.511
Fatânah dipahami sebagai sesuatu yang “...terkait dengan kecerdasan dan keahlian
tertentu....” Bagi Didin Hafidhuddin, kasus Nabi Yusuf berhasil menyelesaikan
508 Pandangan ini didasarkan atas pernyataan Didin bahwa tindakan kurang amanah
cenderung merugikan orang lain. Didin Hafidhuddin Ma’turidi, “Peran Pembiyaan Syari’ah dalam Pembangunan Pertanian di Indonesia.” h. 55.
509John R. Schermerhon, JR. Management, h. 324. 510UU No. 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat pasal 5 tujuan pengelolaan zakat, yakni
peningkatan fungsi dan peranana pranata keagamaan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial
511Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 17.
problematika pangan yang melanda penduduk Mesir sebagaimana yang dikemukakan
dalam QS. Yusuf [12]: 55 merupakan contoh dari implementasi sikap fatânah.512
Kehadiran Yusuf dalam konteks ini dipandang sebagai pemecah masalah atas
kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Dalam konteks ini, kepemimpinan pada Badan Amil Zakat Nasional dapat
menciptakan kondisi kelembagaan yang mendukung fungsi pemecah masalah. Yakni
memahami dan merumuskan fungsi kelembagaan serta program Badan Amil Zakat
Nasional yang terkait dengan pemecahan masalah terhadap berbagai problematika
kehidupan mustahik.
3) Kekuatan Memaksa
Berkaitan dengan kekuatan memaksa sebagai unsur kepemimpinan dikaitkan
dengan perubahan mustahik, maka tidak ditemukan data yang secara langsung
berkaitan dengan perwujudan unsur ini dalam kepemimpinan yang berkembang pada
Badan Amil Zakat Nasional Namun demikian, terdapat suatu informasi yakni kasus yang
tidak secara langsung berkaitan dengan pembahasan ini tetapi memiliki pengaruh jera
kepada karyawan dan mitra maupun jaringan pada unit pengumpul zakat (UPZ) Badan
Amil Zakat Nasional.
Menurut Keputusan Dirjend. Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 tahun 2000
Bab IV tentang pembentukan UPZ pasal 9 Badan Amil Zakat Nasional dapat membentuk
UPZ. Menurut data hingga tahun 2005 terbentuk 75 uit pengumpul zakat (UPZ) yang
tersebar di dalam negeri maupun di laur negeri.513 Pembentukanm UPZ diatur lebh
lanjut dalam buku pembentukan UPZ yang diterbitkan oleh Badan Amil Zakat Nasional.
512 Didin Hafidhuddin Ma’turidi, “Peran Pembiyaan Syari’ah dalam Pembangunan
Pertanian di Indonesia.” h. 55 QS. Yusuf /12: 55 قال اجعلني على خزائن األرض إني حفيظ عليم
“Berkata Yusuf: "Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan."Menurut Ayat ini mengimpormasikan prilaku Yusuf yang memohon kepada raja untuk menduduki jabatan bendaharawan negara. Sebuah jabatan yang secara fungsional mengatur lalu lintas pemanfaatan dan pengeluran keuangan negara. Terlebih lagi pada saat Mesir ditimpa musim krisis ekonomi yang berkepanjangan selama 7 tahun. Peranan Yusuf dalam jabatan tersebut sangat berpengaruh dalam menyediakan bahan logistik masyakat Mesir. Al-Thabâthabâ’ī Muhammad Husain, Tafsīr al-Mizân, Jilid XI, (Teheran: Dâr al-Kutub al-Isâmiyah, 1397 H), h. 201.
513Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 57.
Berkaitan dengan kekuasaan pemaksanaan sebagai salah satu unsur
kepemimpinan, maka Badan Amil Zakat Nasional telah memberhentikan UPZ tertentu
dengan alasan tidak disiplin.514 Istilah tidak disiplin terkait dengan penegakan hak dan
kewajiban kedua belah pihak yakni Badan Amil Zakat Nasional dan UPZ.515
Dari uraian mengenai kasus di atas, dapat dinyatakan walaupun tidak terkait
langsung dengan upaya perubahan mustahik sebagai sasaran zakat, akan tetapi
memiliki keterkaitan secara tidak langsung. Sebagaimana dikemukakan bahwa UPZ
mempunyai hak untuk memperoleh dana zakat sebagai amil dan kewajiban
menyampaikan zakat kepada Badan Amil Zakat Nasional dengan demikian, UPZ secara
substantif mengembangkan misi Badan Amil Zakat Nasional. Dengan pandangan ini,
kiranya kemampuan pengurus untuk melakukan tindakan pemaksaan terhadap UPZ
dimaksud, merupakan wujud kepemimpinan
yang berbasis unsur pemaksaan.
4) Kekuatan Informasi
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa informasi memberikan
landasan bagi pemimpin untuk pengambilan keputusan. Kekuatan informasi, sebagai
salah unsur kepemimpinan, dalam konteks perubahan mustahik, terlihat pada
kemampuan pengurus Badan Amil Zakat untuk merespon perilaku mustahik.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Marzani terkait dengan perilaku
mustahik yang beranggapan bahwa ”... dana itu tidak wajib dikembalikan lagi, karena
dianggapnya tidak ada ketentuan mengembalikannya dalam agama ....”516 Keenggangan
mengembalikan dana bergulir yang dipinjamkan kepada mereka dari qardul hasan oleh
Bazis DKI Jakarta, terkait dengan pemaknaan mereka terhadap fungsi lembaga itu
sebagai pengelola zakat. Pandangan mereka yang melihat jasa yang diproduksi oleh
Bazis itu adalah “gratis” –menurut hemat penulis ‐karena mendasarkan asumsi mereka
bahwa lembaga ini mengelola dana zakat yang merupakan hak mereka sebagai
mustahik. Dari sisi tujuan program yang dicanangkan Bazis, tampaknya tidak tercapai
514Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. 515Terdapat hak dan kewajiban Badan Amil Zakat Nasional dengan UPZ. Di antaranya,
memperoleh hak 1/3X 1/8 dari total dana yang dikumpulkan UPZ. Buku Pedoman Pembentukan UPZ & USZ, (Jakarta: BAZNAS, t.th.), h. 7.
516Marzani Anwar dalam Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), h. 70.
karena dana yang semula diharapkan bergulir itu hanya dinikmati oleh mustahik
tertentu.
Perilaku mustahik sebagai kelompok binaan yang enggan itu, dipandang sebagai
suatu perubahan perilaku, karena sebelum dana itu diberikan, mereka melakukan
kontrak pengembalian dengan Basiz DKI Jakarta. Sikap enggan mereka dalam hal ini,
dipandang sebagai bagian dari perubahan sosial religius, karena mereka melihat
pinjaman yang berdimensi moral itu tidak dikembalikan dengan mempergunakan
argumen keagamaan.
Kasus di atas dapat menjadi contoh tentang tejadinya perubahan sosial religius
di kalangan mustahik. Jika substansi contoh di atas dikaitkan dengan program Badan
Amil Zakat Nasional tampaknya dapat ditemukan relevansinya yakni ketika Badan ini
melakukan upaya sebagai respons atas perubahan perilaku mustahik. Responsi Badan
Amil Zakat Nasional terhadap perilaku mustahik ini di antaranya terlihat pada program
pemberdayaan sektor ekonomi yakni pada peternak domba Cililin. Mustahik dalam hal
ini wali santri, diberikan kesempatan untuk memelihara domba yang dibiayai oleh Badan
Amil Zakat Naional dari sektor zakat.517
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membina putra‐putri dari wali
yang merupakan mustahik, dilibatkan sebagai penanggungjawab program. Keterlibatan
pesantren ini merupakan suatu cara untuk membangkitkan emosi keagamaan mereka
sehingga mustahik dapat menjalankan program sebagaimana mestinya.
Berkaitan dengan uraian tentang perilaku mustahik khususnya dari aspek sosio‐
religius, dan kemampuan membuat program dengan melibatkan dunia pesantren,
dalam konteks ini menunjukkan bahwa informasi tentang perubahan perilaku mustahik
telah direspon oleh Badan Amil Zakat Nasional dengan mengubahnya menjadi sebuah
tantangan dan darinya telah melahirkan suatu keputusan yakni terbentuknya suatu
program.
5) Kekuatan Keahlian
Kekuatan keahlian dimaksudkan sebagai kapasitas pengetahuan yang
517Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. Mengenai hal ini juga dinyatakan dalam Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional , 2006). h. 46.
dimiliki oleh pemimpin dalam mengembangkan suatu organsasi.518 Marzani Anwar
menyatakan bahwa salah satu penghambat bagi mustahik untuk tidak mengembalikan
dana yang digulirkan oleh Bazis DKI Jakarta pada program Bantuan Dana Produktif
dikarenakan mereka belum memiliki pola pikir
berwiraswasta519
Ketidakmampuan berwiraswasta bagi mustahik dalam pernyataan di atas, dilihat
dari sisi manajemen dapat pula diatasi dengan melakukan pelatihan keterampilan
mengenai bidang tertentu kepada mereka. Badan Amil Zakat Nasional dalam merespon
perilaku mustahik yang memiliki karakteristik seperti di atas, telah mengembangkan
program yaitu pengembangan ekonomi masyarakat. Salah satu bentuk program ini
adalah pembinaan ekonomi terhadap bengkel motor. Mustahik yang memiliki
pengetahuan tentang dasar‐dasar perbengkelan dibina dan selanjutnya pengetahuan
dan keterampilan mereka dikembangkan lagi dalam suatu pelatihan oleh suatu tim.
Berbekal dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai, mereka didorong untuk
berusaha dengan memberikan pendampingan dari sisi manajemen dan pendanaan dari
zakat.520 Dalam konteks perubahan mustahik, Badan Amil Zakat Nasional telah
melakukan tiga hal yaitu: pelatihan, pendampingan dan pemberian dana zakat.
6) Kekuatan Penghargaan
Kekuatan penghargaan mengandung arti sebagai kemampuan yang dimiliki oleh
pimpinan untuk menawarkan hal‐hal yang mengandung penghargaan kepada orang
lain.521 Dalam manajemen pemberian penghargaan kepada karyawan oleh pimpinan
diberikan dengan kriteria tertentu. Dalam struktur organisasi dibedakan antara
pemberian penghargaan dengan pengembangan
sumber daya manusia.522
518John R. Schermerhon, JR. Management, h. 322.
519Marzani Anwar dalam Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,
(Jakarta: UI Press, 1988), h. 70. 520Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. Mengenai hal ini juga dinyatakan dalam Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional , 2006). h. 46.
521Gary A. Yukl dalam Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, h. 481 522John M. Ivancenvich, Human Resource Manajement, (Boston: McGraw-Hill, 1998), h.
315.
Jika pandangan tentang pemberian penghargaan sebagai unsur kepemimpinan
dikaitkan dengan Badan Amil Zakat Nasional, maka terlihat bahwa Badan ini telah
mengembangkan kepada karyawan dan mustahik dua hal yaitu :pemberian nilai‐nilai
penghargaan dan mendorong kepada mereka untuk memberikan penghargaan kepada
orang lain.
Pertama, berkaitan dengan pemberian nilai‐nilai penghargaan. Hal ini terlihat
pada pemberian beasiswa kepada karyawan Badan Amil Zakat yang dipandang oleh
pimpinan memiliki prestasi dalam menjalankan pekerjaan. Kepada mereka diberikan
kesempatan untuk mengikuti pendidikan lanjutan. Badan Pelaksana mengutus personal
lembaga untuk mengiku pendidikan formal dalam bidang manajemen. Untuk 2004‐
2007 telah disiapkan personal kelembagaan dari unsur pelaksana harian untuk
mengiku pendidikan S2 sebanyak 5 orang.523
Untuk yang berkaitan dengan mustahik maka bentuk penghargaan yang
diberikan kepada mereka tidak dalam bentuk material, akan tetapi Badan Amil Zakat
Nasional menyiapkan fasilitas administrasi pelayanan kepada mereka, sehingga mereka
tidak merasa direndahkan martabatnya sebagai penerima zakat. Gagasan ini menjadi
perhatian oleh pimpinan Badan Amil Zakat Nasional, dalam berbagai kesempatan ketua
umum menyatakan bahwa salah satu hikmah pengelolaan zakat yang dilaksanakan oleh
lembaga dan tidak diberikan secara langsung oleh muzaki kepada mereka, adalah
menjaga martabat mereka.524
Secara internal gagasan ini tetap digulirkan, melalui pengajian rutin,525
walaupun pengajian ini tidak dipersiapkan hanya untuk materi yang terkait langsung
dengan pengelolaan zakat semata, tetapi pada prinsipnya pengajian dimaksud
523 Wawancara Pribadi dengan Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana
Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007. 524Menurutnya, dengan penyaluran zakat melalui lembaga, maka tidak akan terjadi proses
”perendahan” mustahiq. Karena mustahiq tidak berhadapan secara langsung dengan muzaki. Didin Hafidhuddin Ma’turidi, “Membangkitkan Nilai-Nilai Zakat Untuk Menyadarkan Umat” Makalah pada Konperensi Zakat Asia Tenggara II, di Kota Padang Sumatera Barat, 31 Oktober 2007, h. 11.
525Pengajian rutin ini dibawakan oleh ketua umum periode II Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional dan dilaksanakan setiap pagi hari senin di Mushallah Badan Amil Zakat Nasonal. Materi pengajian di antaranya hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan zakat, dan orientasi tentang kehidupan muslim. Wawancara Pribadi dengan Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007.
mendorong karyawan agar memberikan perhatian yang serius dalam pengelolaan
zakat.526
Berkaitan dengan bentuk penghargaan lainnya yang bersifat non material, yaitu
pemberian kesempatan secara bergilir kepada setiap karyawan untuk membacakan
kitab tafsir ahkâm berkaitan dengan ekonomi syari’ah dan pengelolaan zakat di depan
sesama karyawan setelah salat Zuhur dan Asar berjamaah.527 Dibanding dengan bentuk
pemberian motivisi dalam bentuk pemberian kesempatan mengikuti pengajian, maka
model pengajian yang terakhir ini justru memberikan kesempatan sepenuhnya kepada
setiap karyawan yang memperoleh giliran membawakan pengajian lebih
bertanggungjawab secara penuh. Hemat penulis, dalam pengajian seperti ini telah
berlangsung proses transformasi kepemimpinan secara tidak langsung di kalangan
sesama karyawan. Transformasi ini, tidak saja memberikan unsur keahlian yang berbasis
pengetahuan, tetapi memberikan unsur moril yakni tanggungjawab sebagai orang yang
memiliki pengetahuan di kalangan sesama karyawan.
Adapun unsur penghargaan yang berkaitan dengan perubahan mustahik dan
langsung diberikan kepada mustahik terlihat pada prosesi akad. Dalam prosesi akad,
maka setiap mustahik yang menerima dana zakat dari Badan Amil Zakat Nasional, maka
selain menerima dana zakat secara material, maka kepadanya diberikan informasi
berkaitan dengan fungsi dana dimaksud. Pola ini ditempuh agar mustahik tidak hanya
menerima dana zakat tetapi diharapkan memahami arti zakat itu dalam
kehidupannya.528 Prosesi ini juga berlaku pada mustahik yang terkena musibah,
walaupun proses ini dalam bentuk yang disesuaikan dengan kondisi kejiwaan mereka
sebaga kelompok yang sedang dilanda bencana. Untuk kasus ini, pelaksanaan siraman
rohani kepada mereka diharapkan dapat memberikan motivasi untuk tabah dan
berusaha untuk bangkit dari suasana kedukaan.529
2. Fungsi Pengawasan
526Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. 527Hasil pengamatan penulis salat jamaah dan pengajian dilaksanaan di musallah Badan
Amil Zakat Nasional. Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007
528Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.
529Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.
Pengontrolan atau controlling merupakan suatu proses manajemen yang
bersifat sistimatis untuk melakukan upaya perbaikan kinerja sesuai dengan
perencanaan yang telah ditetapkan.530
Pengawasan terhadap Badan Amil Zakat Nasional dilakukan dengan internal dan
eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh komisi pengawas. 531 Menurut
pernyataan komisi pengawas, tahun 2005 Badan Amil Zakat Nasional telah
memanfaatkan jasa akuntan publik Bambang Mudjiono & Rekan dengan pendapat
wajar tanpa pengecualian.532 Pengawasan yang bersifat eksternal yakni pelaporan
kepada publik, oleh Badan Amil Zakat Nasioal dilakukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat setiap tahun dan penerbitan news latter serta penerbitan buku laporan
perkembangan pengelolaan zakat setiap tahun.533
Pelaporan dana zakat kepada publik oleh Badan Amil Zakat Nasional, karena
dana zakat dipandang sebagai suatu amanah yang harus dikelola secara profesional.
Didin Hafidhuddin menyatakan bahwa ”zakat adalah kepercayaan. Karena itu Badan
Amil Zakat Nasional menerapkan prinsip transparansi dan akuntabiltas dalam
pengelolaannya”.534
Dana zakat sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada publik dalam
arti bahwa pemegang amanah yakni Badan ini telah melaksanakan apa yang
diamanahkan kepadanya. Ketentuan ini telah diatur dalam UU.No. 38/1999 tentang
Pengelolaan Zakat pasal 19 ”Badan Amil Zakat memberikan laporan tahunan
pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwaakilan Rakyat Republik Indonesia atau
530Samuel C. Certo, Modern Management, (Singapore: Perason Education, 2003), h.
422. 531 Sesuai dengan susunan pengurus yang menempatkan komisi pengawas. Badan Amil
Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 7. 532Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 7.
533Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. Dalam laporan Badan Amil Zakat Nasional telah memaparkan perkembangan pengelolaan zakat baik dari sisi program yang telah dilaksanakan, laporan keuangan, sambutan dari Ketua Umum Badan Pelaksana, Ketua Dewan Pertimbangam, Ketua Dewan Pengawas. Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional , 2006). Sedang untuk news letter terbit dalam sekali sebulan. Pada News letter diuraikan tentang program yang telah dilaksanakan dan menerima konsultasi zakat. Badan Amil Zakat Nasional dan Dompet Dhuafa News Letter.
534Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 4.
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan tingkatannya.” Selanjutnya,
Pasal 20 UU ini menyatakan ”Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan
badan amil zakat dan lembaga amil zakat.” Penjelasan pasal 20 menyatakan ”Peran
serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk: a. Memperoleh informasi tentang
pengelolaan zakat yang dikelola oleh badan amil zakat dan lembaga amil zakat...”
Sebagaimana diuraikan pada pengantar bab ini bahwa pembahasan ini
bertujuan untuk memberikan evaluasi terhadap aspek manajemen yang
diimplementasikan oleh Badan amil Zakat Nasional dalam pendayagunaan zakat untuk
peningkatan kesejahteraan umat. Hasil analisis ini diharapkan memberikan jawaban
terhadap pertanyaan sub b yang diajukan dalam penelitian yaitu sejauhmana Badan
Amil Zakat mengimplementasikan aspek‐aspek manajemen dalam pendayagunaan
zakat untuk peningkatan kesejahteraan umat ? Hasil analisis menunjukkan bahwa dari
sisi implementasi manajemen terhadap Badan Amil Zakat Nasional dapat dikemukakan
dua hal : Pertama, dari sisi fungsi manajemen, menunjukkan bahwa pada dasarnya,
Badan Amil Zakt Nasional telah mengimplementasikan fungsi‐fungsi manajemen dalam
pendayagunaan zakat. Dengan penelaahan terhadap unsur‐unsur yang terkandung
dalam setiap fungsi manajemen dan dikaitkan dengan indikator‐indikator penelitian
yang telah dirumuskan sebelumnya, yang darinya telah menghasillan sentesis, dan
dalam hal ini dapat disebut dengan cara kerja penelitian. Cara kerja penelitian tersebut,
selanjutnya dipergunakan untuk menganalisis implementasi manajemen dalam
pendayagunaan zakat oleh Badan ini. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Badan ini
dalam mendayagunakan zakat telah mengimplementasikan fungsi‐fungsi manajemen.
Apabila bab ini dikaitkan dengan bab berikut –bab VI‐ yang menjelaskan upaya
Badan ini dalam meningkatkan kesejhhteraan umat, maka bab berikut menjelaskan
kendala yang dihadapi Badan ini dalam melakukan pendayagunaan zakat untuk
peningaktan kesejahteraan umat.
v
BAB VI
KENDALA‐KENDALA LINGKUNGAN EKSTERNAL DAN
INTERNAL BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL
DALAM PENDAYAGUNAAN ZAKAT UNTUK
KESEJAHTERAAN UMAT
Secara struktural bab ini memiliki keterkaitan dengan bab sebelumnya. Bab IV
yang menganalisis evaluatif tentang implementasi pola pendayagunaan zakat zaman
Rasul pada Badan ini dan bab V dipergunakan untuk mengadakan analisisis evaluatif dari
sisi aspek manajemen, maka dari berbagai pengamatan penulis terhadap analisis bab
sebelumnya, khsusnya yang berkaitan hal‐hal yang tidak mendukung berfungsinya
Badan ini dalam pendayagunaan zakat untuk kesejahteraa umat, maka pada bab VI ini
akan merumuskan kendala yang dihadapi Badan ini.
Bab ini diharapkan memberikan jawaban terhadap pertanyaan rincian penelitian
sub b mengenai sejauhaman kendaala lingkungan internal dan eksternal yang dihadapi
badan Amil Zakat Nasional dalam pendayagunaan zakat untuk kesejahteraan umat.
Secara teoritis bab ini mengacu kepada pandangan ahli yang menetapkan bahwa empat
faktor yang berpengaruh terhadap suatu organisasi. Menurut Fahey dan Narayanan
bahwa empat faktor besar yang berpengaruh dalam suatu organisasi dan harus menjadi
pertimbangan bagi manajer : sosial, ekonomi, politik dan teknologi.535 Selanjutnya,
pandangan keempat faktor itu akan diklasifikasi ke dalam tiga aspek.536 Ketiga kendala
yang akan dikemukakan, dipandang berpengaruh terhadap Badan Amil Zakat Nasional
dalam menjalankan fungsinya dan karena pengaruh itu tidak memberikan dampak
positif bagi perkembangan Badan ini dalam menunjang fungsi‐fungsi organisasi, maka
pengaruh dimaksud disebut dengan kendala.
535Lihat, Liam Fahey dan V.K. Narayanan, Macroenvironmental Analysis for Strategic
Management, dalam James A.F. Stoner, Manajemen, (Jakarta: Intermedia, 1992), h. 122-123. 536Menurut Soedjadi, suatu organaisasi yang dikaitkan dengan fungsinya ia dipengaruhi
oleh factor lingkungan internal dan eksternal. Menurutnya lingkungan internal terdiri manusia, keuangan dan fasilitas kerja atau fisik, Sedang eksternal di antaranya perkembanga ekonomi dan kultural. FX. Soedjadi, Analisis Manajemen Moderen, (Jakarta: Gunung Agung, 1997), h. 37, 90.
A. Kendala Lingkungan Eksternal Struktural
Menurut Schermerhorn, terdapat isu‐isu yang akan menjadi perhatian bagi
seorang manajer dalam melakukan persaingan menuju kemajuan organisasi. Di
antaranya adalah perhatian pada kebijakan politik. 537 Analisis dalam lingkungan
eksternal struktural kelembagaan dititikberatkan pada aspek kebijakan pemerintah
terhadap pengelolaan zakat di Indonesia dan implikasinya pada Badan Amil Zakat
Nasional. Pembahasan dari sisi struktural ini penting karena Badan Amil Zakat Nasional
merupakan perwujudan dari UU No.38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan dibentuk
berdasarkan surat Keputusan Presiden No. 8/ 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional.
1. Model Kelembagaan
Dalam UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Keputusan Presiden
tentang Badan Amil Zakat Nasional tampaknya terdapat kendala‐kendala berkaitan
dengan model kelemba
gaan Badan ini dalam pendayagunaan zakat untuk kepentingan kesejahteraan umat.
Kendala‐kendala itu mencakup status hukum kelembagaan, status aparatur serta pola
promosi aparatur.
a. Status Hukum Kelembagaan
Baik dalam UU dan Kepres dimaksud tidak ditemukan status hukum Badan Amil
Zakat Nasional dalam arti bahwa siapa dan mewakili apa Badan ini. Dua pertanyaan ini
menjadi penting untuk diajukan dalam rangka melihat aspek kepemilikan Badan ini
dalam mengelola dana zakat.
Kendala status hukum ini akan terasa dikaitkan dengan ilmu manajemen
berkaitan dengan organisasi dan dalam kondisi Indonesia yang mengeal sejumlah model
organisasi baik dari sisi formal dan non formal, maupun institusi dilihat dari sisi ruang
geraknya yakni sosial atau bisnis serta jens usaha yang dikembangkan.538
Pertama, formal dan non formal.539 Badan Amil Zakat Nasional dilihat
537John R. Schermerhorn, JR. Manajemen, (New York: John Wiley & Sons, Inc, 1996),
h. 60. 538 J. Salusu , Pengambilan Keputusan Stratejik, (Jakartra: Grasindo, 2006), h. 1.
539Istilah organisasi formal dan non formal, dimaksudkan untuk membedakan organisasi pemerintah dan non pemerintah.
dari yuridis, Badan ini dikategorikan sebagai organisasi formal, karena keberadaannya
didukung oleh UU dan Keputusan Presiden serta dilihat dari sumber pendanaan non
zakat berupa subsisdi tetap APBN yang berasal dari alokasi Departemen Agama. Dalam
UU No. 33/1999 tentang Pengelolaan Zakat pasal 6 (1) dinyatakan bahwa ” Pengelolaan
zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah.” Dengan
demikian secara tegas UU ini menyatakan bahwa Badan ini merupakan organisasi yang
dibentuk pemerintah dalam arti organisasi formal. Karena itu dari sisi karakteristiknya
dapat diidentifikasi : (a) Karakteritik Badan ini menunjukkan bahwa Badan Amil Zakat
Nasional secara yuridis formal, sebanding dengan badan‐badan dan lembaga yang
dibentuk oleh pemerintah, seperti Badan Intelejen Negara (BIN), Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). (b) sisi peran lembaga. Dengan
dukungan yuridis formal, maka peran Badan Amil Zakat Nasional akan memberikan
karakteristik tersendiri dibanding dengan pengelola zakat lainnya. Dengan begitu Badan
Amil Zakat Nasional telah menetapkan peran‐peran strategis di antaranya sebagai
kordinator pengelola zakat tingkat nasional bagi pengelola zakat, sebagaimana yang
diatur dalam misi organisasinya dan Kepres pasal 16540
Sebagaimana dikemukakan tentang relevansi Badan Amil Zakat Nasional
sebagai amil dengan kebijakan Rasul, pada pembahasan bab IV, dan karenanya dapat
dinyatakan bahwa relevansi implementasi itu hanya terbatas pada proses penetapan
Badan ini sebagai amil. Namun demikian dari sisi eksistensi Badan ini sebagai lembaga
formal dalam arti bagian dari lembaga pemerintah belum ditemukan kebijakan formal
baik dari sisi dokumen negara maupun dari Badan Amil Zakat Nasional. .
Dengan kondisi lembaga yang demikian, yang status kelembagaan yang
“dualisme” atau semi pemerintah, maka Badan ini tidak akan efektif untuk
menjadikan dirinya sebagai instrumen dalam menciptakan kesejahteraan umat melalui
pendayagunaan zakat.. Jika sekiranya Badan ini dibandingkan dengan lembaga amil
zakat (LAZ) yang menurut UU dimakud dibentuk sepenuhnya oleh masyarakat, maka
540Visi Badan Amil Zakat Nasional di antaranya: Menjadi regulator zakat nasional;
menjadi koordinator Badan Amil Zakat dan Lembaga Zakat melalui upaya sinergitas yang efektif. Annual Report 2006. h. 18. Dalam Kepres pasal 16 disebutkan bahwa : (1) Untuk mensinkronkan penyelenggaraan pengelolaan zakat secara nasional agar lebih berdaya guna dan berhasil guna Badan Amil Zakat Nasional melaksanakan hubungan kerja dengan Badan Amil Zakat Daerah di semua tingkatan; (2) Hubungan kerja dengan Badan Amil Zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat koordinatif, konsultif, dan informatf.
tampaknya, eksistensi dan proses pembentukannya, menjadikan LAZ memiliki status
hukum kelembagaan yang jelas dan dalam perspektif ini lembaga amil zakat ini
berpeluang untuk melakukan peningkatan kesejahteraan umat.
Hemat penulis kendala eksistensi dari sisi hukum kelembagaan merupakan
permasalahan utama yang dihadapi Badan Amil Zakat Nasional dan tampaknya dengan
kendala ini akan melahirkan sejumlah implikasi‐implikasi sebagaimana yang akan
dikemukakan pada bab ini.
Kedua ruang gerak. Dalam visi Badan Amil Zakat Nasional telah tergambar
ruang gerak yang akan dibangun oleh Badan ini yakni pengentasan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. 541 Dengan demikian secara tegas dapat
dinyatakan bahwa Badan ini merupakan badan yang bergerak dalam bidang
kesejahteraan umat melalui dana zakat.
Pada konsideran UU dimaksud pada point b dinyatakan bahwa : penunaian
zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil pengumpulan
zakat merupkan sumber dana yang potensial bagi mewujudkan kesejahteraan
masyarakat; c. “bahwa zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang
kurang mampu; d. Bahwa upaya penyempurnaan sistem pengelolaan zakat perlu terus
ditingkatkan agar pelaksanan zakat lebih berhasil guna dan berdaya guna serta dapat
dipertanggungjawabkan.”
Dari konsideran UU ini terlihat bahwa gagasan untuk menjadikan zakat sebagai
instrumen kesejahteraan masyarakat atau kesejahteraan umat merupakan
sebuah cita‐cita. Karena itu, badan amil zakat (BAZ) dan lembaga amil zakat
(LAZ) termasuk dalam hal Badan Amil Zakat Nasional secara yuridis formal
harus dipandang sebagai sebagai lembaga kesejahteraan umat.
541Visi Badan Amil Zakat Nasional Menjadi Pusat Zakat Nasional yang memiliki peran
dan posisi yang strategis di dalam upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyararakat secara keseluruhan melalui pengelolaan zakat nasional yang amanah, profesional, efisien dan efektif berdasarkan syariat Islam dan aturan perundang-undangan yang berlaku. Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 17. .
Dengan perspektif yuridis formal ini serta manajemen organisasi yang
dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional, dalam konteks sebagai lembaga
kesejahteraan umat, fungsi kelembagaan seperti ini tidak dapat optimal. Secara
fungsional visi dan program yang diemban Badan ini telah menunjukkan dirinya sebagai
lembaga kesejahteraan umat, namun dengan fungsi ini, secara tersurat belum
ditemukan dukungan yuridis formal.
Pernyataan secara tersurat dari sisi yuridis formal maupun dari dukungan
kebijakan pemerintah, hemat penulis sangat strategis dengan pertimbangan: a.
Indonesia dewasa ini sedang memasuki masa kebangkitan dari sisi krinis ekonomi dan
masih menyisakan penduduk miskin sebagaimana dikemukakan dalam tabel pertama (1)
tentang perkembangan kemiskian. b. Pembangunan keagamaan di Indonesia, tidak
dapat dipisahkan dengan peran zakat sebagai sumber pendanaan pada satu sisi –
sebagaimana yang dipahami dari dasar pertimbangan UU ini ‐ dan sisi lain dinamisasi
amil perorangan menuju kolektifitas organisatoris merupakan dua hal yang diusung oleh
UU ini.
Berkaitan dengan dukungan yuridis formal terhadap Badan Amil Zakat Nasional,
maka dukungan politis dari elit polik juga memberikan nuansa baru bagi
perkembangan Badan Amil Zakat Nasional. Pengakuan elit politik terhadap publik
mengenai Badan ini, terlihat pada kehadiran Presiden RI Megawati Soekarnoputri
membuka dan memberikan pengarahan pada silaturahmi pengurus Badan Amil Zakat se‐
Indonesia I pada tahun 2002.542 Namun, yang perlu mendapat pertanyaan dalam
konteks ini adalah pengakuan secara politis peran Sosio‐ekonomi‐Religius Badan Amil
Zakat Nasional. Jawaban peran ini terlihat pada kehadiran Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai Presiden RI dalam peresmian Rumah Sehat Masjid Agung Sunda Kelapa
(RSMASK) yang berlokasi di kompleks Masjid Agung Sunda Kelapa Jakarta hasil
kerjasama Pengurus Masjid, Badan Amil Zakat Nasional, Dompet Dhuafa dan Pengurus
542Wacana yang dikembangkan dalam sambutan Presiden RI pada perhelatan itu, adalah
“… apabila zakat dapat kita kelola dengan prinsip manajemen modern dan organisasi yang sehat, saya yakin hal itu akan berdampak positif bagi perekonomian kita. Banyak yang akan dapat kita perbuat dalam upaya penanggulangan kemiskinan, pengangguran, serta meningkatkan pemerataan kesempatan khususnya dalam berusaha…. masalahnya adalah bagimana kita dapat menampilkan bentuk dan cara pengelolaan zakat secara baik dan modern, dan menyempurnakannya agar dapat berjalan serasi dengan berbagai sistem dalam kehidupan sekarang, termasuk misalnya sistem perbankan, perpajakan, dan penghasilan profesi. Pidato Presiden 29 Mei 2002. dalam Pedoman Zakat, h. 331.
Baitul Mal Masjid sunda Kelapa.”543 Presiden dalam sambutannya menyatakan ”... jika
semua orang mampu dan kaya di Indonesia menunaikan zakatnya, maka akan
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Program
yang dilakukan atas inisiatif masyarakat itu ternyata sangat membantu, sangat
meringankan beban, bagi mereka yang memerlukan dan sebagai pendamping dan
pendukung dari program‐program yang dilaksanakan pemerintah....”544
Dari pandangan Presiden di atas terlihat. Pertama, zakat dipandang sebagai
instrumen dalam mengurangi kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dari
sisi substansi gagasan ini tampaknya, sesuai dengan pandangan para pakar tentang
fungsi zakat ‐sebagaimana yang diuraikan bab II, namun nunasa politiknya sangat
mendasar. Karena dari sisi terakhir ini pemerintah telah menyatakan fungsi zakat dalam
perspektif kesejahteraan sosial. Oleh pengamat tertentu menilai, pandangan Presiden
itu mengandung advokasi dalam pendayagunaan zakat. Karena zakat selama ini hanya
dipandang sebagai sebuah konsep yang tidak dapat mengemban fungsi dimaksud.545
Kedua, zakat menjadi pendamping program pemerintah. Secara politis, zakat
yang didayagunakan berfungsi untuk mendampingi program‐program pemerintah
dalam upaya peningkatan upaya kesejahteraan rakyat.
Pada bagian lain Presiden menyatakan bahwa zakat dapat menjadi solusi efektif
dalam menjalin hubungan antara muzakki dan orang miskin dengan memberikan
apresiasi terhadap masyarakat Indonesia yang telah menyalurkan zakatnya melalui
lembaga.546 Pandangan ini mengandung arti bahwa dengan zakat dapat membangun
aspek religius yakni jalinan kasih sayang antara muzakki dan mustahik.
Berkaitan kehadiran presiden dalam berbagai forum yang diadakan oleh Badan
Amil Zakat Nasional memberikan bukti bahwa secara politis kepala negara telah
memberikan perhatian yang cukup signifikan bagi pengembangan Badan Amil Zakat
Nasional. Keterlibatan presiden pada kegiatan yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat
543“Presiden Resmikan Rumah Sehat Masjid Sunda Kelapa,” Republika, 15 September
2007, h. 2.
544 “Tak Ada Keraguan Presiden pada Zakat,” Republika, 21 September 2007, h. 11.
545”Tak Ada Keraguan Presiden pada Zakat,” Republika, 21 September 2007, h. 11.
546 “Tak Ada Keraguan Presiden pada Zakat,” Republika, 21 September 2007, h. 11.
Nasional di antaranya, pencanangan gerakan sadar zakat oleh presiden,547 penyerahan
zakat pribadi presiden kepada Badan Amil Zakat Nasional dan sejumlah pejabat
negera.548
Uraian di atas berkaitan dengan hubungan antara Badan Amil Zakat Nasional
dengan elit politik dan mendorong Badan ini memiliki kekuatan politis yang tinggi dalam
mengemban fungsinya sebagai badan yang bergerak dalam peningkatan kesejahteraan
umat. Namun kendala yang ditemukan sebagaimana diuraikan sebelumnya karena tidak
adanya kebijakan yang menjadikan Badan ini sebagai institusi kesejahteraan umat.
Hemat penulis jika sekiranya terdapat kebijakan berkaitan dengan status Badan
ini sebagai badan kesejahteraan umat, maka selain mengangkat dana zakat sebagai
instrumen kesejahteraan umat secara politis pada satu sisi juga akan mendorong
dinamika untuk bermitra dengan instansi pemerintah dalam menanggulangi masalah‐
masalah sosial.
b. Status Pengurus
Sumber daya manusia merupakan salah satu unsur dalam internal organisasi
yang dalam pembahasan ini disebut dengan pengurus .549 Pengurus atau dalam istilah
birokrasi disebut dengan aparatur dapat menunjukkan kinerjanya dalam organisasai jika
didukung oleh lingkungan internal organisasi. Berkaitan dengan pengurus organisasi
mereka dipengaruhi oleh aspek perilaku, sedang ini merupakan refleksi atas citra
perusahaan. 550 Secara internal, hubungan pengurus atau karyawan dengan organisasi
diatur dengan hukum ketenagakerjaan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kondisi
547Achmad Subianto, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004 Pidato Serah
Terima, h. 4. 548Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 28-30. 549 Teradapat sejumlah faktor dalam organisasi berkaitan dengan sumber daya dan
personal yaitu: citra dan prestasi perusahaan, efektivitas struktur danbudaya organsasi, kapasitas perusahaan dalam membangun hubungan dunia industri, penggunaan tehnologi informasi. Lawrence R. Jauuch & William F. Glueck, Business Policy anda Strategic Management, (Singapore: McGraw-Hill Book Co., 1988), h. 166.
550Prestasi sumber daya manusia dalam organisasai dapat tercapai jika didukung oleh tiga
unsur yaitu teknis, sistem perilaku. FX. Soedjadi, Analisis Manajemen Moderen, (Jakarta: Gunung Agung, 1997), h. 38-38.
psikologis karyawan yang dapat mendukung produktifitas kerja sesuai dengan misi
perusahaan.551
Pembentukan citra organisasi untuk mendukung kinerja pengurus, kepastian
status merupakan unsur yang sangat menentukan. Dengan kepastian status akan
memberikan reaksi positif dan negatif bagi sumber daya manusia dalam berkinerja pada
organisasi.
Pengurus Badan Amil Zakat Nasional, secara yuridis formal tidak diakui sebagai
aparatur negara. Walaupun penetapan mereka sebagai pengurus terhadap Badan ini
didasarkan atas Keputusan Presiden. Berkaitan dengan motivasi pengurus Badan Amil
Zakat Nasional, mereka hanya didasarkan atas pengabdian atau dalam bahasa agama
dikenal dengan ikhlas. Sikap ikhlas ini mendasari mereka dalam melakukan aktivitas
pada Badan Amil Zakat Nasional. Menurut data yang dihimpun, diketahui pandangan
bahwa zakat merupakan salah satu rukun Islam dan karenanya mereka bergabung pada
Badan Amil Zakat yang merupakan lembaga untuk mengembangkan aktifitas
perzakatan dengan cara mereka beribadah secara ihklas kepada‐Nya.552
Secara teologis motivasi pengabdian seorang muslim merupakan suatu
kewajiban.553 Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk melihat hubungan antara kinerja
aparatur dengan motivasi keihkhlasan mereka. Namun demikian, dilihat dari sisi
ukuran‐ukuran yang terpakai dalam keikhlasan merupakan suatu hal yang abstrak dan
dengan demikian, walaupun diakui bahwa keikhlasan dapat mendorong pengurus untuk
berkinerja dalam suatu lembaga termasuk di dalamnya pada Badan Amil Zakat Nasional.
551 Barry Cushway, Human Resource Management, (London: the Association for
Manage ment Education and Development, 1994), h. 195. 552Wawancara Pribadi, Achmad Subiyanto, Ketua Umum Pengurus Badan Pelaksana
Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004) di Jakarta, 6 Pebruari 2008. 553Sebagai muslim, Alquran memberikan tuntunan berkaitan dengan aktfitas seseorang:
t� u� (������� �� (�������u��� ©$ t���������� � s t����$
u� !x� u��� (������� u� n� 4� n���� $ (�������u� n�4� x���$ � y����s�u�
����� �� y����s�� $ ���
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” [1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
Secara realitas, keaktifan pengurus Badan Amil Zakat Nasional untuk mengikuti
pertemuan‐pertemuan secara umum dak mencapai 100 %. Hal ini dak ditemukan
jawaban pasti tentangnya. Namun terdapat argumen logis bahwa mereka secara umum
termasuk orang yang sibuk. Argumen logis ini diperkuat dengan dibentuknya, Badan
Pelaksana Harian.554 Selain itu, dengan dasar kesibukan ini akan menjadi pemicu
ketidak‐aktifan mereka dalam pertemuan‐pertemuan yang diadakan oleh pengurus
Badan Amil Zakat Nasional.555
Secara teoritis dari sisi kinerja Badan Amil Zakat Nasional, ketidak‐aktifan
mereka akan memberikan dampak bagi kualitas suatu keputusan. Dengan demikian,
ukuran‐ukuran aktifitas dalam hal ini merupakan suatu keniscayaan.
Status pengurus, dalam suatu organisasi merupakan suatu keniscayaan
sebagaimana diuraiakan di atas. Dengan demikian ketidakpastian status ini patut diduga
memiliki keterkaitan yang erat dengan ketidak‐aktifan pengurus Badan Amil Zakat
Nasional dalam berikinerja secara maksimal.
Berkaitan dengan pengurus pelaksana harian, maka dilihat dari sisi status
mereka, data menunjukkan bahwa ”diharapkan berfungsi sebagai aparatur sekretariat,
sehingga penggantian pengurus tidak akan mempengaruhi eksistensi personil badan
pelaksana pengurus harian.”556 Data ini menunjukkan bahwa fungsi pengurus pelaksana
harian diharapkan memeliki keaktifan yang tinggi dan bersifat permanen.
Selain data yang dikemukakan di atas, jika dihubungkan dengan kinerja
pengelola zakat di Indonesia, maka menurut Didin, faktor pengelolaan yang sambilan
yakni tidak profesional memiliki hubungan dengan tingkat kepercayaan
masyarakat dan kinerja pengelolaan zakat di Indonesia.557
Pengelolaan zakat yang cenderung ”sambilan” secara manajemen merupakan
cerminan dari pengelolaan dalam suatu lembaga sosial kemasyarakatan. Menurut
554Wawancara Pribadi, Achmad Subiyanto, Ketua Umum Pengurus Badan Pelaksana
Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004) di Jakarta, 6 Pebruari 2008. 555Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisi HRD Pengurus Pelaksana Harian
Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007.
556Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisi HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007.
557Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Moderen , (Jakarta: Gema Insani , 2002), h. 127.
Salusu bahwa terdapat hal‐hal yang tidal diinginkan dapat terjadi bagi organisasi
nonprofit termasuk organisasai kemasyarakatan, yakni manajemen profesional tidak
diindahkan.558
Berkaitan dengan kondisi status hukum pengelola zakat di Indonesia, maka pada
Badan Amil Zakat tertentu seperti provinsi DI. Yogyakarta, masih belum memberikan
hasil optimal pada Badan ini. Hal ini dikarenakan, kendalanya kebanyakan pengurus
adalah pejabat yang sibuk559 Dengan kejelasan status hukum bagi pengelola zakat
termasuk Badan Amil Zakat Nasional maka memungkinkan penegasan disiplin kerja
akan ditegakkan.
c. Promosi Karier
Dalam manajemen, promosi karier merupakan bagian dari pembinaan sumber
daya manusia.560 Promosi karier merupakan bahagian dari imbalan yang harus diterima
oleh karyawan dalam suatu organisasi dan secara psikologis memberikan pengaruh bagi
kinerja yang diberikan oleh mereka kepada lembaga.
Data menunjukkan bahwa mengenai jenjang karier masih merupakan kendala
bagi aparatur Badan Amil Zakat Nasional. Pernyataan ini setidaknya ter lihat pada
harapan untuk menjadikan pengurus pelaksana harian memiliki eksistensi sebagai
pengurus sekretariat tetap sebagaimana dikemukakan oleh Supervisi HRD di atas.
Pandangan ini menunjukkan bahwa secara internal pada Badan Amil Zakat Nasional
terdapat persoalan unsur sistem yang belum terselesaikan. Pengurus yang bekerja pada
badan pengurus pelaksana harian yang diangkat oleh pengurus harian, adalah secara
umum merupakan status kontrak, walaupunm sebagian di antara mereka adalah
berstatus pegawai negeri sipil yang diperbantukan dari departemen agama.561
558J. Salusu , Pengambilan Keputusan Stratejik, (Jakartra: Grasindo, 2006), h. 26. .
559Wawancara Pribadi via Internet April Purwanto, devisi Pendayagunaan Zakat Bazda DI Yogyakarta tgl. 30 April 2008
560Terdapat tujuh hal yang mempengaruhi kesuksesan pejualan dalam suatu perusahaan: strategi, struktur organisasi, staf yakni kategori dan demografisnya, gaya kepemimpinan manajer, keahlian yang dimiliki oleh sumber daya oragnisasi, tujuan yang ingin dicapai oganisasi. Sistem yang menggambarkan di antaranya: tentang prosedur pelaporan, pertemuan, pengambilan kebijakan serta pemberian imbalan. Grant Stewart, Successful Sales Management, (Singapore: The Institute of Management, 1994), h. 30.
561Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisi HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007.
v
Dengan status kontrak terhadap pengurus pada pelaksana harian Badan Amil
Zakat Nasional menunjukkan bahwa sistem pengembangan sumber daya manusia belum
dapat dilakukan dengan pola pembinaan jangka menengah dan jangka panjang. Artinya
untuk menciptakan sumber daya pengurus pengelolaan zakat yang profesional masih
memiliki kendala struktural mengenai promosi karier pengurus lembaga.
2. Sumber Pendanaan Non Zakat Infak dan Sedekah (ZIS) Yang Belum Memadai
Terdapat tiga sumber dana non ZIS yang diterima oleh Badan Amil Zakat
Nasional dalam mengembangan misinya termasuk dalam peningkatan kesejahteraan
umat yaitu subsidi APBN dan dana yang berasal dari Badan Usaha Milik Negara dan
Swasta. Dalam pembahasan ini hanya akan disederhanakan menjadi dua yakni APBN
dan dana dari sektor tanggungjawa sosial perusahaan baik negeri maupun swasta.
a. Subsidi APBN yang kurang
Dana yang diharapakan berasal dari APBN sebagaimana yang dipahami dari UU
No., 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat, ”Dalam menunjang pelaksanaan tugas badan
amil zakat sebagaimana dimaksud pasal 8, pemerintah wajib membantu biaya
operasional badan amil zakat. (Psl 22). Keinginan untuk disudsidi dari APBN, mengemuka
pada kepengurusan Badan Amil Zakat Nasional 2001‐2004,562 dan tampaknya, sesuai
dengan Kepres mengenai pendirian Badan Amil Zakat Nasional, lembaga ini menerima
bantuan operasional dari Departemen Agama. Kebijakan bantuan yang menggandeng
kepada departemen Agama dan tidak langsung ke APBN memberikan implikasi
penerimaan Badan Amil Zakat Nasional yang rendah terhadap bantuan secara material.
Tabel 13: tentang Subsidi Departemen Agam RI
Terhadap Badan Amil Zakast Nasional 2001‐2006 (dalam Rupiah)
2001-2002 2003 2004 2005 2006
131.005.00 352.325.00 119.836.00 100.000.00 1.550.000.00
Sumber : Annual Report 2006, h. 32.
562Achmad Subianto, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004 Pidato Serah
Terima Pengurus Badan Amil Zakat Nasional, tertanggal 17 Juni 2005, h. 5.
v
Dari tabel di atas memperlihatkan bahwa subsidi APBN yang diberikan oleh
Departemen Agama kepada Badan Amil Zakat Nasional bersifat fluktuatif. Pada tahun
2004 telah terjadi penurunan yang sangat dras s sekitar 60 %. Selanjutnya dari tahun
2005 ke 2006 mengalami peningkatan yang sangat signifikan yaitu mencapai 1500 %.
Menurut Subroto, secara administrasit, setiap tahun Badan Amil Zakat Nasional
mengajukan proposal pembiayaan anggaran kepada Departemen Agama untuk
diusulkan ke APBN.“563
Penggunaan dana subsidi APBN dimaksud secara bersama‐sama dengan dana
sektor amil dipergunakan oleh Badan Amil Zakat Nasional untuk membiayai dana
operasional organisasi, pembinaan SDM dan sosialisasi program564
Dilihat dari sisi jumlah anggaran, subsidi APBN yang diterima ternyata Badan
Amil Zakat Nasional belum dapat menunjang maksimalisasi program.565 Kendala ini
disebabkan karena prosedur administrasi pengajuan yang masih berinduk pada
Departemen Agama, sehingga penjatahan subsidi sangat ditentukan oleh kebijakan
anggaran internal departemen.
Penetapan subsidi APBN bagi Badan Amil zakat Nasional, dapat ditelaah lebih
lanjut karena UU No. 38 / 1999 tentang Pengelolaan Zakat telah menjadikan pasal 29
dan 34 UUD sebagai konsideran. Dalam kaitan ini, terlihat bahwa UU ini menjadikan
semangat pelaksanaan kehidupan beragama (pasal 29 UUD) dan semangat
tanggungjawab negara terhadap fakir misikin atau jaminan sosial negara (pasal 34
UUD). Dengan demikian, kebijakan pemerintah dilihat dari sisi pembinaan finansial,
terhadap Badan Amil Zakat Nasional masih membebankan pada anggaran departemen
agama dan hal ini menunjukkan bahwa zakat masih merupakan wilayah keagamaan dan
dari sisi fungsional tampaknya, terdapat keinginan kuat untuk menjadikan Baan Amil
Zakat sebagai lembaga pelaksana jaminan sosial bagi warga negara yang belum mampu.
Dengan memperhatikan semangat fungsional yang diharapkan dalam UU ini,
maka subsidi APBN yang hanya dibebankan kepada anggaran departemen Agama,
563 Wawancara Pribadi Broto, Kepala Devisi Pengembangan Sumber Daya Manusia
Badan Amil Zakat Nasional. Jakarta, 4 Mei 2007.
564 Wawancara Pribadi Broto, Kepala Devisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Amil Zakat Nasional. Jakarta, 4 Mei 2007.
565Wawancara Pribadi Broto, Kepala Devisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Amil Zakat Nasional. Jakarta, 4 Mei 2007.
mengandung kekeliruan logika ekonomi. Kekeliruan ini terletak pada harapan
fungsional pemerintah pada UU ini yang memberikan beban berat bagi zakat sebagai
instrumen jaminan sosial negara yang tidak diimbangi dengan kebijakan anggaran dari
departemen terkait. Atas dasar semangat fungsional dimaksud, maka ekstensifikasi
(perluasan) sumber anggaran dan intensifikasi (penambahan) subsidi APBN bagi Badan
Amil Zakat Nasional sangat berpeluang untuk menjadikannya bertambah baik dari sisi
sumber pendanaan maupun dari sisi jumlah anggaran.
Dari sisi anggaran, maka selain departemen agama, maka departemen
terkaitpun berpeluang dijadikan sebagai sumber anggaran. Dari sisi besaran subsidi,
memungkinkan ditambah, mengingat pertimbangan fungsional sebagai instrumen
jaminan sosial.
b. Subsidi Dana dari sektor Tanggungjawab Sosial Perusahaan BUMN dan Swasta
Keterlibatan perusahaan terhadap pembinaan masyarakat sekitar, telah
mengalami perkembangan menjadi dua model yaitu model ekonomi dan model
sosioekonomi. Yang pertama berkaitan dengan pembinaan perusahaan dalam bidang
pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar sedang model kedua berkaitan
dengan pembinaan perusahaan kepada msyarakat dengan penyediaan fasilitas sosial
ekonomi.566 Pada model kedua ini seperti perusahaan melakukan aktivits sosial dalam
bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayan ekonomi.567
Kebijakan Badan Amil Zaat Nasional untuk mengembangkan program kerjasama
dengan sejumlah perusahaan dari BUMN dan perbankan Syari’ah, hemat penulis,
responsi perusahaan dimaksud tidak dapat dilepaskan dari perwujudan dari
tanggungjawab sosial perusahaan. Realisasi tanggungjawab sosial perusahaan itu,
menjadikan sejumlah program dapat dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional.
Tabel 14: tentang Anggaran Program Kerjasama
Terhadap Badan Amil Zakast Nasional 2001‐2006 ( dalam Rupiah)
566William M. Pride, at. all., Business (Boston: Houghton Mifflin Company, 1988), h.
41. 567Muslimin Nasution, Mewujudkan Demokrasi Ekonomi, (Jakarta: PIP Publishingm
2007), h 19.
2001-2002. 2003 2004 2005 2006
275. 972.89
483.372.35 606.923.76 28.589.846.40 13.047.161.79
Sumber : Annual Report BAZNAS 2006, h. 32.
Dari tabel di atas terlihat bahwa dana dari sektor kerjasama telah mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Dari tahun 2005‐2006 telah mengalami peningkatan
dengan menembus angka puluhan milyar rupiah.
Untuk melihat posisi dana zakat dalam pelaksanan program‐program Badan
Amil Zakat Nasional akan dikemukakan tentang pengumpulan dana zakat.
Tabel 15: tentang Dana Zakat yang dihimpun
Badan Amil Zakast Nasional 2005‐2006 (dalam Rupiah)
No. 2005 2006
1 2.540.588.847 4.825.501.587
Sumber : Annual Report BAZNAS 2006, h. 65.
Dengan tabel di atas memperlihatkan bahwa dana zakat dalam tahun 2005‐
2006 belum menembus angka lima milyar rupiah. Dibanding dengan dana kerjasama
yang menembus angka puluhan milyar, menunjukkan secara potensial dana kerjasama
memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai dana pendamping
zakat dalam kegiatan peningkatan kesejahteraan umat.
Uraian perbandingan ini menunjukkan bahwa betapa besar kendala yanag
dihadapi Badan Amil Zakat Nasional, jika sekiranya sektor kerjasama tidak
dikembangkan. Kalau diperhatikan dari sisi besaran dana kemitraan dibanding dengan
dana zakat, tampaknya, telah terjadi perubahan kerangka keuangan. Artinya, dari sisi
aspek besaran dana, maka dana zakat yang menjadi perhatian utama Badan Amil Zakat
Nasional, telah digeser posisinya menjadi dana pendamping oleh dana kerjasama.
Jika sekiranya, kerangka keuangan ini akan bertahan pada masa yang akan
datang, yang berarti bahwa dana zakat akan menjadi dana pendamping, maka akan
mempengaruhi citra Badan Amil Zakat Nasional sebagai lembaga perzakatan. Dengan
melihat kondisi ini dari sisi kendala struktural, maka terdapat dua kebijakan yang perlu
dibenahi yaitu kebijakan yang mendorong dana zakat agar lebih optimal dan kebijakan
yang mendorong dana kerjasama sebagai wujud tanggungjawab sosial agar tetap
optimal.
3. Belum Terbit Kebijakan Pemerintah tentang Zakat sebagai pengganti Pajak
Penghasilan
Menurut UU No., 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat pasal 14 (3) zakat yang
dibayarkan oleh muzakki dapat diperhitungkan sebagai pengurang terhadap laba /
pendapatan sisa kena pajak. Selanjutnya, dalam naskah penjelasan pasal ini
menginginkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni membayar zakat dan
pajak. Hemat penulis UU ini menghendaki agar tercipta suatu kesadaran masyarakat
yakni muzaki untuk membayar zakat agar dapat memacu kesadarannya dalam
membayar pajak.
Jika ditelaah lebih lanjut harapan UU ini berkaitan dengan pasal 14 (3), maka
memberikan penalaran bahwa, UU menghendaki pendekatan keagamaan untuk
mendorong masyarakat (umat Islam) untuk membayar pajak.
Apabila pendekatan ini dilihat dari perspektif konstitusional, maka sebenarnya
sejalan dengan pembukaan UUD 1945 yang menempatkan pada alinea ke ga ”Atas
berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya”. Selanjutnya, Ahmad Sukarja, menyatakan bahwa banyak
hal yang dapat disumbangkan oleh
agama dan umat Islam untuk bangsa Indonesia.568
Dengan uraian ini, maka peningkatan kesejahteraan umat melalui Badan Amil
Zakat Nasional, dapat diaktualisasikan melalui berbagai kebijakan. Sejalan dengan
pendekatan keagamaan sebagaimana yang dipahami dari UU No. 38/ 1999 tentang
Pengelolaan Zakat pasal 14 (3), maka menjadikan zakat sebagai pengganti pajak
568Dalam orasi guu besar berjudul “Kontribusi Islam Bagi Demokrasi Pancasila, tinjauan
Ilmu Fikih Siyasah” mengemukakan dalil bahwa banyak hal yang dapat disumbangkan oleh agama dan umat Islam bagi demokrasi dan demokratisasi Pancasilan. Tentunya disertai dengan wawasan yang moderen, luas dan luwes dengan memperhatikan lingkungan dan kondisi keindonesiaan. Hubungan antara agama dan negara perlu terus dipelihara. Upaya yang ditawarkan di antaranya, reinterpretasi, reaktualisasi, objektivikasi. Ahmad Sukarja, Orasi Pengukuhan guru besaer dalam ilmu Fikih Siyasah Fgakultas Syari’ah IAIN Jakarta, 1997, h. 38.
penghasilan merupakan suatu hal yang patut dipertimbangkan dan memiliki landasan
konstitusional dan realistis.
Dari sisi konstitusional sebagaimana yang diuraikan di atas dan dari sisi realistis
menunjukkan bahwa: (a). Dana zakat yang merupakan kewajiban umat Islam dan
berfungsi sebagai instrumen peningkatan kesejahteraan umat melalui Badan Amil Zakat
Nasional dapat lebih optimal jika didukung oleh subsidi dari APBN dan dana kerjasama.
(b) Pajak sebagai pemasuk keuangan terbesar dalam APBN, tidak hanya bersumber dari
pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, serta pajak pertambahan nilai.
Dari sisi struktur keuangan pajak, maka pajak penghasilan merupakan salah satu
di antaranya dan dampak yang ditimbulkan bagi dunia perzakatan dalam kaitan dengan
kebijakan tentang penggantian pajak penghasilan dengan dana zakat berpeluang untuk
menciptakan kesadaran kepada muzaki untuk menunaikan ibadah terhadap zakat
mereka pada satu sisi dan akan mendorong umat Islam untuk membayar beban pajak
yang lainnya.
4. Belum ada ketentuan yang mewajibkan unit pengumpul zakat (UPZ) bagi
departemen, lembaga, BUMN dan perwakilan di luar negeri, untuk menyetorkan
zakatnya ke Badan Amil Zakat Nasional .569
5. Lemahnya UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat yang berbasis Sosio
Ekonomi Religius. Karena UU ini tidak memberikan nuansa pendayagunaan zakat yang
optimal, maka kondisi ini merupakan kendala dalam pendayagunaan zakat bagi Badan
Amil Zakat Nasional.. Pertimbangan atas perlunya amandemen UU ini didasarkan karena
ia: a. Tidak berbasis Pada Pendekatan Sosio Ekonomi; b. Aspek Pendayagunaan hanya
bersifat alternatif dan tidak bersifat keniscayaan; c. Lemahnya pertanggungjawaban
hasil pendayaguaan zakat.
Pertama. Tidak Berbasis Pada Pendekatan Sosio Ekonomi Salah satu dasar
pertimbangan UU No. 39/1999 tentang Pengelolaan Zakat, mengakui bahwa dana zakat
memiliki potensi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.570 Dari sisi filosofis,
569Achmad Subianto, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004 Pidato Serah
Terima, h. 6.
570 ”bahwa penunaian zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat
konsideran di atas menjadikan zakat sebagai sumber kesejahteraan masyarakat dan hal
ini sesuai dengan fungsi zakat sebagai instrumen untuk peningkatan kesejahteraan
umat‐ sebagaimana diuraikan pada bab II Disertasi ini‐. Namun, jika diperhatikan
penjabaran konsideran tersebut ke dalam pasal‐pasal UU ini tampaknya tidak terdapat
konsistensi. Padal pasal 4 dinyatakan: ”Pengelolaan zakat berdasarkan iman dan takwa,
keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang‐Undang Dasar
1945”, menurut hemat penulis pandangan ini dak mencerminkan adanya gagasan
untuk melakukan pendayagunaan zakat. Kata keterbukaan, lebih mengarah pada
dimensi kejujuran pengelola zakat dari pada dimensi manajemen. Seharusnya, dalam
klausul tersebut disebutkan kata ”profesionalisme” untuk memberikan penekanan pada
nilai‐nilai pendayagunaan zakat yang tentunya tercakup makna sosial ekonomi.
Kata profesionalisme yang diharapkan ditambahkan ke dalam klausul asas ini
selain sejalan dengan fungsi amil sebagaimana yang dikemukakan pada pembahasan
sebelumnya‐ bab II Disertasi ini – juga sekaligus mengakui eksistensi amil sebagai
mustahik dalam zakat. Untuk yang terakhir ini menunjukkan bahwa hasil usaha amil
dalam pengelolaan zakat yang dikembangkan secara profesional, secara syar’iy layak
untuk memperoleh konpensasi sebagai balas jasa atas usaha yang diberikannya secara
profesional.
Implikasi dimasukkannya kata ‘profesionalisme’ ke dalam asas pengelolaan
dalam UU ini, diperlukan penambahan pasal yang secara khusus mengakui eksistensi
amil sebagai mustahik Kedua. Aspek Pendayagunaan secara Sosial‐Ekonomis Religius
Bersifat Alternatif dan Tidak Bersifat Keniscayaan
Dalam pasal 16 ayat (20) UU ini dinyatakan, ”...pendayagunaan hasil
pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahik dan dapat
dimanfaatkan untuk usaha yang produktif....” Pandangan ini menempatkan
pendayagunaan sebagai model yang dipilih setelah kebutuhan mustahik yang non
ekonomi dan ekonomi ”darurat” –seperti bagi fakir dan miskin‐ dapat terpenuhi.
Pendayagunaan yang non ekonomi misalnya kesehatan, pengembangan agama, harus
didahulukan sebelum dilakukan pendayagunaan ekonomi.
Berkaitan dengan pasal ini,571 Kepmenag No, 581/ 1999 tentang Pelaksanaan UU
Pengelolaan Zakat, Pasal 28 ditemukan dua model pendayagunaan zakat yakni
pemenuhan kebutuhan dasar dan pendayagunaan untuk usaha produktif bagi mustahik.
Keputusan Menag tersebut tetap menempatkan pendayagunaan yang bersifat
ekonomi sebagai pilihan dan bukan sebagai keniscayaan yang berpeluang untuk
dilakukan setelah terdapat kelebihan zakat dari penggunaan untuk kepentingan
mustahik dalam konteks yang tidak berdaya.
Sebagai instrumen ekonomi yang dibangun dari pelaksanaan rukun Islam bagi
muzakki, maka seyogianya zakat ditempatkan dalam konteks pendayagunaan secara
sosial ekonomi religius. Secara subtantif pendekatan zakat yang dianut oleh UU dan
Kepemenag di atas, tidak mensinergikan dimensi‐dimensi yang terkandung dalam aspek
pendayagunaan zakat. Akibatnya, zakat akan berfungsi sebagai sarana pemenuhan
kebutuhan mustahik yang bersifat insidentil dan tidak saling komplementer antar
dimensi. Akibat pandangan ini, menjadikan mustahik dari kelompok miskin hanya
menikmati zakat sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar mereka terlepas dari
pemenuhan nilai‐nilai religius; sebaliknya ibn al‐sabîl menerima zakat sebagai bagian
dari pengembangan nilai religius terlepas dari nilai ekonomi.
Dari uraian yang didasarkan pada UU dan Kepmenag di atas, menunjukkan
adanya pertentangan dengan rumusan fikih zakat yang telah dirumuskan Badan Amil
Zakat Nasional. Menurut rumusan fikih Badan Amil Zakat Nasional, menunjukkan adanya
keinginan untuk menjadikan zakat berfungsi untuk mengangkat mustahik dari
kemiskinan dan perlunya ”telaah faktor‐faktor” dari kemiskinan itu. Tentu saja ”telaah
faktor” dari kemiskinan mustahik, merupakan bagian dari upaya pendayagunaan
zakat.572
571Kepmenag No, 581/ 1999 tentang Pelaksanaan UU Pengelolaan Zakat, Pasal 28: 1.
Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk mustahiq dilakukan berdasarkan persyaratan sebagai berikut: a. hasil pendataan dan penelitian kebenaran mustahiq delapan asnaf yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil. b. Mendahulukan orang-orang yang paling tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan. 2. Pen-dayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha yang produktif dilakukan berdasarkan persyaratan sebagai berikut: a. apabila pendayagunaan zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terpenuhi dan ternyata masih terdapat kelebihan.
572 ”Besarnya dana zakat yang diberikan kepada masing-masing asnaf adalah dalam ukuran yang dapat mengangkatkanya dari kemiskinan, menghilangkan segala faktor yang
Selanjutnya, pandangan fikih zakat ini, tidak memberikan kesan pendayagunaan
sebagai alternatif sebagaimana yang terkesan pada UU dan Kepmenag di atas.
Ketiga. Pertanggungjawaban Aspek Pendayagunan Zakat yang lemah. UU ini,
yang menganut dua jenis pertanggungjawaban yaitu internal dan eksternal. Internal
menyangkut pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas yang dalam
melaksanakan tugasnya memungkinkan meminta bantuan akuntan publik (pasal 18).
Sedang eksternal, Badan ini berkewajiban memberikan laporan tahunan kepada Dewan
Pewakilan Rakyat Republik Indonesia (pasal 19) dan juga masyarakat secara luas
berpeluang dalam pengawasan badan amil zakat dan lembaga amil zakat (pasal 20). UU
ini pada pasal 21 memberikan penjelasan tentang jenis sanksi yang diberikan kepada
pengurus badan amil zakat yang melakukan pelanggaran berupa, kelalaian tidak
mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat. Dari sisi pertanggungjawaban,
tampaknya kesalahan dalam hal pemilihan kebijakan dalam pendayagunaan zakat
tidak terakomodir
dalam sanksi di atas. Dilihat dari sisi ruang lingkup kesalahan (pasal 21) hanya bersifat
administrasi semata, pada hal dalam tugas amil menurut Islam tidak sekedar mencatat
tetapi berbagai multi tugas yang pro kepada pendayagunaan terhadap mustahik –
sebagaimana dikemukakan pada bab dua penelitian ini‐.
Dalam hal pelaporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dilakukan
oleh Badan Amil Zakat pada akhir tahun pelaksanaan tugasnya (pasal 19) dipahami
sebagai laporan tahunan dan seharusnya laporan itu dilakukan sebelum melaksanakan
pendayagunaan zakat sebagai laporan awal dan dilakukan evaluasi pada laporan akhir
tahun. Model laporan yang diamanahkan pasal 19 ini dak memberikan nilai evaluasi
atas pelaksanaan pengelolaan zakat untuk dipergunakan pada tahun berjalan, tetapi
nilai itu berlaku untuk tahun berikutnya. Berkaitan dengan model laporan ini – laporang
awal dan akhir‐ memungkinkan dilakukan koreksi oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam
tahun berjalan terhadap pendayagunaan zakat yang dilakukan oleh Badan Amil
Nasional. Dengan demikian, Dewan Perwakilan Rakyat tidak sekedar mengetahui
membuatnya melarat, dan bisa menanggulangi kesulitan yang sedang dihadapinya pada waktu itu. Tujuan zakat adalah untuk memberikan kecukupan buat selama hidupnya”Badan Amil Zakat Nasional, Fiqih Zakat di Indonesia, t.th., h. 38. Buku ini masih merupakan draft, tetapi secara internal kelembagaan telah dipergunakan. Menurut rencana buku ini akan dipergunakan secara nasional sebagai buku fikih untuk bidang zakat di Indonesia.
penggunaan zakat, tetapi secara langsung berpeluang untuk menyentuh aspek
pendayagunaan zakat.
6. Belum terbit Peraturan Pemerintah tentang pola koordinasi antara Badan Amil
Zakat Nasional dan lembaga pengelola zakat.
Sebaga akibat tidak terbitnya PP terkait dengan pola koordinasi dimaksud maka
lembaga‐lembaga tersebut kurang bersedia untuk berada di bawah koordinasi Badan
Amil Zakat Nasional.573 Secara yuridis formal, pemahaman terhadap koordinasi ini
hanya berdasar Kepres mengenai Badan Amil Zakat Nasional. Dengan Kepres itu, Badan
Amil Zakat Nasional menetapkan kebijakan dalam bentuk misi kelembagaan.
Secara potensial, dengan tidak terbitnya PP ini maka beberapa hal yang diduga
kuat untuk mendorong kesejahteraan umat tidak dapat diwujudkan di antaranya.
Badan Amil Zakat Nasional tidak dapat membangun secara
komprehenshif pola kemitraan dengan badan amil zakat daerah. Hal ini dikarenakan
tidak ada landasan yuridis sebagai kerangka teknis. Secara aktual, potensi manajemen
yang dimiliki oleh Badan Amil Zakat Nasional dapat ditranformasikan terhadap badan
amil zakat daerah. Transformasi ini bagi kepentingan badan amil daerah sangat strategis
dengan argumen: (a) Badan amil zakat daerah sedang berada dalam era otonomi daerah
yang secara substantif berpeluang untuk membangun kemandirian dengan
mengembangkan potensi daerah baik untuk aspek penghimpunan dana maupun untuk
aspek pendayagunaan. Untuk pengembangan kedua hal ini, maka transformasi
manajemen dari Badan Amil Zakat Nasional menjadi sangat penting.
Berkaitan dengan kebutuhan transformasi manajemen badan amil zakat daerah
terhadap Badan Amil Zakat Nasional didukung oleh data ”Permintaan khusus BAZDA
kepada BAZNAS. Dalam hal ini BAZDA tertentu meminta pendapat kepada BAZNAS
berkenaan dengan pendayagunaan zakat. Sebagai contoh permintaaan tertulis BAZDA
Provinsi Nanggro Aceh Darussalam dalam rangka menyongsong lahiranya Baitul Mal
Provinsi Naggro Aceh yang lembaga ini telah mengambil alih fungsi BAZDA provinsi.” 574
573Achmad Subianto, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004 Pidato Serah
Terima, h. 5. 574 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian
Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 19 Mei 2008.
v
(b) Secara realitas, umat Islam memiliki tingkat kualitas dan kuantitas yang
bervariasi dari sisi sosial ekonomi dan religius, yang secara desentralistik merupakan
daerah kerja Badan Amil Zakat Darah tertentu. Kondisi sosial ekonomi religius yang
demikian bagi Badan Amil Zakat Daerah, baik dari sisi muzaki maupun mustahik
memerlukan tranformasi manajemen dari Badan Amil Zakat Nasional. Jika sekirnya hal‐
hal dimaksud tidak dapat terwujud, distribusi keadilan antar daerah ”minus” dan
daerah ”surplus” antar badan amil zakat daerah tidak dapat terwujud.
(c) Secara nasional di kalangan pengelola zakat, belum terjadi kesepakatan
mengenai bukti sektor zakat ( BSZ) yang dikeluarkan oleh Badan Amil Zakat Nasional
sebagai satunya‐satunya BSZ dan diakui oleh Dirjen Pajak sebagai pengurang
penghasilan kena pajak. Akibatnya realisasi dari zakat pengurang penghasilan kena
pajak belum dilaksankaan secara optimal. Selain berkaitan dengan pajak, BSZ
merupakan instrumen yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi mengenai
perkembangan pengumpulan dana zakat yang dilakukan oleh BAZ dan LAZ secara
nasional. Akibat kondisi tersebut, maka informasi secara nasional mengenai dana zakat
yang terkumpul secara nasional masih sulit untuk diperoleh secara akurat. 575
Diharapkan dengan terbitnya peraturan berkaitan dengan hubungan antar Badan Amil
Zakat Nasional dan daerah, keseragaman BSZ dapat terwujud.
B. Kendala Lingkungan Eksternal Kultural dan Internal Kelembagaan
Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengemukakan hal‐hal yang menjadi
kendala bagi Badan Amil Zakat Nasional yang berada di luar kelembagaan dan bersifat
kultural maupun internal kelembagaan.
1. Kendala Lingkungan Eksternal Kultural
Urgensi pembahasan ini karena akan memberikan analisis dari sisi faktor
manusia baik dari sisi mustahik maupun muzaki, sebagai pelaku kultural dalam kaitannya
dengan aktfitas perzakatan. Aktifitas perzakatan sebagai bagian dari kultural dipandang
memiliki pengaruh terhadap eksistensi Badan Amil Zakat Nasional dalam melaksanakan
peningkatan kesejahteraan umat. Baik aktifitas perzakatan ‐yang melibatkan muzaki,
mustahik maupun amil‐ maupun pening katan kesejahteraan, keduanya merupakan
575Achmad Subianto, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004 Pidato Serah
Terima, h. 6.
v
bagian dari kultural. Untuk kepen tingan pembahasan ini maka akan diuraikan dari sisi
faktor mustahik dan muzaki dalam kaitannya dengan Badan Amil Zakat Nasional
a. Pandangan Mustahik Kurang Tepat tentang Dana Zakat
Hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Basril menunjukkan bahwa hanya
sekitar 30 % dari dana bergulir yang diberikan oleh Bazis DKI Jakarta, dapat dikembalikan
dengan baik oleh kelompok usaha yang berasal dari mustahik.576 Menurut pengamatan
Bazis DKI Jakata seperti dinyatakan Marzani Anwar yang dikutif Muhammad Daud Ali
bahwa terdapat faktor penghambat dalam pembinaan dana bersifat produktif yang
telah diterima oleh mustahik. Faktor itu: (1) pandangan mereka bahwa dana itu dak
wajib dikembalikan. Menurutnya, tidak ada nash yang mewajibkan dana yang diterima
oleh mustahik
untuk mengembalikannya; (2) Mustahik belum memiliki pola pikir wirausaha.577
Pandangan yang kurang tepat mustahik tentang dana zakat terjadi juga pada
Badan Amil Zakat Nasional. Data menunjukkan bahwa, terdapat pandangan yang
melihat bahwa dana yang diberikan kepada mereka adalah hak milikinya sehingga
pesan‐pesan zakat sebagai instrumen yang harus merubah cara berpikir mereka ke arah
yang produktif tidak dapat tercapai. Menurut Budi Setiawan, pandangan mereka
merupakan tantangan Badan Amil Zakat Nasional untuk mengubah cara berfikir
mereka.578
Selain perilaku seperti di atas, bentuk lain adalah mustahik kelompok miskin
sering datang ke konter Badan Amil Zakat Nasional untuk memohon zakat walaupun
pernah datang sebelumnya.579 Hemat penulis cara berfikir sebahagian mustahik yang
memandang zakat sebagai hak milik mereka mendorong mereka untuk mempergunakan
zakat itu dengan kurang memperhatikan makna zakat. Akibatnya, zakat yang
576Dana yang diberikan itu, walaupun qardul hasan yang bersumber dari infak, namun
mencerminkan perilaku mustahik secara umum. Basril, “Upaya Bazis: dalam Pengentasan Kemiskinan Melalui ZIS DKI Jakarta,” (Disertasi S3 PPS Universitas Islam Negeri Jakarta, 2000), h. 234.
577Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), cet. I, h. 70.
578Wawancara Pribadi dengan Budi Setiawan,Staf Divisi Program Pengurus Pelaksana Harian Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 14 Pebruari 2008.
579Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 19 Mei 2008.
seharusnya berfungsi sebaga instrumen yang mendorong semangat bekerja,
menjadikan mereka justru memiliki sikap ketergantungan terhadap dana zakat.
b. Tingkat Kepercayaan Muzakki Masih Lemah Pada BAZNAS Yang Berimbas Pada
Kurangnya dana yang dihimpun
Dalam manajemen seperti pada pandangan Balanced Scorecard bahwa manajer
mengidentifikasi pelanggan dan segmen pasar sebagai sasaran dan akan menjadi objek
persaingan di antara sesama dunia bisnis.580 Jika pandangan ini dikaitkan dengan Badan
Amil Zakat Nasional, maka pelanggan adalah muzaki. Karena muzaki adalah kelompok
yang akan memberikan dana zakat kepada Badan Amil Zakat Nasional. Untuk melihat
kendala berkaitan dengan tingkat kepercayaan muzaki maka terdapat empat unsur yang
akan dikemukakan yaitu muzaki sasaran, akuisisi muzaki, kepuasan muzaki dan
profitabilitas
muzaki.581
Pertama, muzakki sasaran. Dari sisi yuridis formal Badan Amil Zakat Nasional
dimaksudkan untuk melakukan manajemen terhadap pengumpulan dan pendistribusian
serta pendayagunaan zakat. Muzaki yang dimaksud UU No. 38 pasal 1 adalah orang
muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim. Selanjutnya UU ini membatasi
kewenangan Badan Amil Zakat Nasional sebagaimana pada Kepmenag No. 581/ 1999
tentang pelaksanaan UU No. 38 tentang Pengelolaan Zakat, pasal 25 pada instansi/
lembaga pemerintah tingkat pusat, swasta nasional dan luar negeri
Memperhatikan muzaki sasaran, maka secara potensial muzaki Badan Amil
Zakat Nasional memiliki karakteristik muzaki tersendiri dan secara sosioekonomi dapat
dinyatakan bahwa Badan ini memiliki muzakki sasaran dari kalangan elitis. Dengan
muzakki sasaran yang elitis tersebut, dalam arti upaya untuk menjalankan UU dimaksud,
maka dukungan peraturan atau aspek struktural sangat dibutuhkan. Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya bahwa belum terbitnya peraturan berkaitan dengan
kewajiban bagi UPZ yang ada di badan usaha atau instansi pemerintah untuk
580Robert S. Kaplan dan David P. Norton, Balanced Scorecard, (Harvard: Harvard
Business School Press, 1996), h. 23. 581Keempat unsur berkaitan dengan muzakki diadaptasi dari pandangan Kaplan yang
menetapkan keempat unsur itu dalam pelanggan. Robert S. Kaplan & David P.Norton, Balanced Scorecard, h. 60.
menyalurkan zakatnya kepada Badan Amil Zakat Nasional dipandang sebagai salah satu
kendala.
Kendala yuridis terhadap muzakki sasaran Badan Amil Zakat Nasional ini
diperparah dengan kondisi bangsa Indonesia yang memasuki era demokrasi yang
ditandai dengan kebebasan berpendapat dan berbicara pasca reformasi. Dalam era ini
tingkat kepercayaan masyarakat kepada birokrasi mengalami penurunan dibanding
dengan era sebelumnya. Kondisi demokrasi yang memberikan ruang gerak kepada
publik, hemat penulis merupakan bagian dari aktifitas kultural yang dapat berpengaruh
bagi tingkat loyalitas muzakki untuk memilih suatu lembaga pengelola zakat, terutama
yang bercitrakan ”lembaga pemerintah” dalam hal ini Badan Amil Zakat Nasional.
Dengan memperhatian kondisi era demokrasi dengan citra lembaga publik yang
belum ”bersahabat” maka kondisi ini akan memberikan dasar pertimbangan bagi
muzakki sasaran Badan Amil Zakat Nasional untuk tidak berzakat pada lembaga ini.
Berkaitan kecenderungan muzakki sasaran Badan Amil Zakat Nasional, maka
secara faktuil terdapat lembaga amil yakni lembaga amil zakat nasional yang telah
menerima zakat dari perusahaan swasta nasional. 582 Dengan demikian, dapat
dinyatakan bahwa loyalitas muzakki sasaran Badan Amil Zakat Nasional ‐yakni berzakat
secara tetap,‐ patut dipertanyakan. Dengan demikian, bagi Badan ini berkewajiban
untuk mempertahankan atau melakukan retensi terhadap muzakki sasaran.
Kedua, mempertahankan atau retensi muzakki
Mempertahankan muzakki yang menjadi pelanggan tetap bagi Badan Amil Zakat
Nasional, merupakan suatu tantangan yang dihadapi Badan ini. Untuk membangun
komunikasi kepada muzakki, maka Badan ini menerbitkan news BAZNAS yang
memberikan informasi tentang aktifitas Badan ini baik terhadap mustahik maupun
informasi berkaitan kegiatan‐kegiatan yang telah dilakukan oleh Badan ini. Kegiatan ini
582Data yang diterima dari Dompet Dhuafa dalam tiga tahun terakhir 2007, 2006, 2005.
terdapat beberapa direktur pada perusahaan swasta nasional yang menyetor zakat mereka dengan jumlah di atas Rp. 300 juta. Wawancara Pribadi Yuli Pujihardi, Direktur Komunikasi dan Sumber Daya Dompet Dhuafa, Jakarta, 11 Pebruari 2008.
dimaksudkan agar muzakki dapat mengetahui aktifitas Badan dan penggunaan keuangan
dana zakat kepada masyarakat.583
Ketiga, akuisisi muzakki. Akuisisi muzakki merupakan suatu upaya untuk
melakukan perluasan muzakki sasaran. Secara realitas, terdapat muzakki perorangan
yang memilih Badan Amil Zakat Nasional. 584 Muzakki dari kalangan pengusaha
menengah ke bawah yang secara yuridis formal harus memilih badan amil daerah,
tampaknya perlu mendapat kajian lebih mendalam pada kesempatan lain.
Dari sisi potensi akuisisi muzakki dilihat dari sisi kutural tampaknya,
Badan Amil Zakat Nasional, memiliki peluang untuk mengembangkannya.
Keempat, kepuasaan muzakki. Menurut Kaplan bahwa, retensi dan
akuisisi pelanggan sangat ditentukan oleh kemampuan perusahaan untuk memuaskan
pelanggan.585 Dalam kaitan dengan kepuasan pelanggan dalam hal ini muzakki, maka
pertanyaan yang perlu dijawab adalah manfaat apa yang diterima oleh muzakki jika
memilih Badan Amil Zakat Nasional sebagai tempat pelaksanaan ibadah zakat ? atau
dalam bahasa Kaplan bahwa, kepuasaan muzaki / pelanggan memberikan umpan balik
seberapa jauh organisasi melaksanakan aktifitas bisnis.586 Jika pernyataan ini diterima
maka pandangan Abdul Hamid berikut ini dapat memberikan panduan Badan Amil
Zakat Nasional mengenai sejumlah titik penekanan bagi aspek pemuasan terhadap
mustahik. Pandangan dimaksud lebih menitikberatkan pada psikologis pelanggan yaitu:
”(a) Memberikan keuntungan, (b) Menghargai dan membeli janji‐janji, (c) Membeli
kepercayaan, (d) Membeli harapan‐harapan, (e) Sebagai jalan keluar, (f) Wujud
penghormatan peribadi.”587
Dari pandangan Abdul Hamid di atas, yang menekankan aspek psikologis
pelanggan tampaknya, mereka memiliki tingkat keraguan yang cukup terhadap produk
yang ditawarkan kepada mereka. Dari sisi ini kiranya produk yang ditawarkan oleh
Badan Amil Zakat Nasional, tidak hanya sekedar memberikan pelayanaan sebagai
583Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 19 Mei 2008. 584Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 19 Mei 2008. 585Robert S. Kaplan & David P.Norton, Balanced Scorecard, h. 61. 586Robert S. Kaplan & David P.Norton, Balanced Scorecard, h. 61. 587Abdul Hamid, “Arti Phlosogis “Duel Identity” Koperasi” dalam Juranl Etikonomi,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vo. 2 No 2 Agustus 2003, h. 241.
lembaga kesejahteraan umat tetapi karakteristik sebagai lembaga keagaman kiranya
menjadi bahan pertimbangan untuk ditampilkan kepada muzakki.
Salah satu karakteristik sebagai lembaga keagamaan, dalam hal ini lembaga
yang bergerak dalam bidang penyediaan fasilitas bagi muzaki, yakni impelementasi
ajaran psikologis yang ditawarkan QS. al‐Taubah: 9/113: 103588 Pembahasan ini telah
dikemukakan pada Bab II yang dinyatakan zakat
sebagai instrumen untuk memperoleh nilai spritual dalam bekerja.
Dengan demikian berkaitan dengan karakteristik Badan Amil Zakat Nasional
seperti dikemukakan di atas, maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah sejauhmana
Badan ini telah membangun transformasi nilai‐nilai spritual dalam bekerja terhadap
muzaki.
Dalam kaitan ini, patut dikemukakan kecenderungan muzaki untuk
menunaikan zakat pada bulan Ramadhan sebagai bulan pilihan pada satu sisi dan tingkat
penerimaan dana zakat yang besar bagi lembaga pengelola zakat termasuk pada Badan
Amil Zakat Nasional.589 Kecenderungan ini juga diakui oleh Dompet Dhuafa.590
Kecenderungan perilaku muzaki untuk memilih bulan Ramadhan sebagai bulan
pengeluaran zakat, dilihat dari sisi kultural dapat diterima dengan mengaitkan bulan
dimaksud dengan ajaran Islam yang menilai sebagai momen ibadah, baik puasa maupun
ibadah sunat dengan janji‐janji pahala yang berbeda di luar ramadhan.
588
õ‹è{ ô⎯ÏΒ öΝÏλÎ;≡uθ øΒ r& Zπ s% y‰|¹ öΝèδ ãÎdγ sÜè? ΝÍκ Ïj.t“ è?uρ $ pκÍ5 Èe≅ |¹ uρ öΝÎγ ø‹n= tæ ( ¨β Î) y7 s?4θ n= |¹ Ö⎯s3y™ öΝçλ°; 3 ª!$#uρ
ìì‹Ïϑ y™ íΟŠ Î= tæ ∩⊇⊃⊂∪
103. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. [658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda. [659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
589Penerimaan bisa mencapai 80 % dari total dana penerimaan zakat dalam tahun itu. Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 14 Pebruari 2008.
590Wawancara Pribadi Yuli Pujihardi, Direktur Komunikasi dan Sumber Daya Dompet Dhuafa, Jakarta, 11 Pebruari 2008.
Dalam perspektif sosioekonomi, pelaksanaan ibadah puasa dan ibadah lainnya
pada bulan Ramadhan mempunyai implikasi pada pola konsumsi umat Islam.
Kecenderungan mengkonsumsi bagi umat Islam pada bulan ini memiliki
peningkatan ketimbang di luar bulan dimaksud. Menurut pengamat ekonomi,
peningkatan pengeluaran di bulan dimaksud dibanding bulan lainnya mencapai tingkat
perbedaan di atas 30 %.591
Memperhatikan pola konsumsi umat Islam pada bulan dimaksud, dan
kecenderungan mengeluarkan zakat pada bulan ini, maka secara sosiekonomi dapat
dinyatakan bahwa bulan dimaksud bagi umat merupakan moment pengeluaran yang
tinggi. Perilaku umat Islam yang sebahagian mereka merupakan muzakki, dikaitkan
dengan kemampuan Badan Amil Zakat Nasional untuk mensiasati kencederungan ini,
tampaknya, Badan Amil Zakat Nasional, justru melakukan instensifikasi dan
ekstensifikasi pelayanan pada muzaki. Untuk yang pertama memperbanyak jam
pelayanan kepada muzaki dan ekstensifikasi yakni memperbanyak konter‐konter
pelayanan muzaki atau penerimaan zakat pada daerah strategis seperti di pasar,
swalayan dan masjid. Penyebaran brosur dan tenaga konsultasi tentang hukum zakat 592
Upaya intensifikasi dan ekstesifikasi pelayanan pada muzaki yang dilakukan oleh
Badan Amil Zakat Nasional, juga dilakukan oleh pengelola zakat lainnya seperti Dompet
Dhuafa.593
Dengan uraian di atas, menunjukkan bahwa terjadi persamaan persepsi dan
pola penyiasatan lembaga pengelola zakat dalam menyikapi kecenderungan umat Islam
berzakat pada bulan ramadhan. Pola penyiasatan yang dilakukan oleh pengelola zakat,
dilihat dari sisi manajemen tampaknya hanya memberikan pelayanan kepada muzakki
dalam arti hanya terbatas pada aspek pemberian informasi mengenai hukum zakat dan
dampaknya secara sosioekonomi religius pada mustahik dan penyediaan sarana
pembayaran zakat.
591 Informasi ini diperoleh pada acara ”Apa Kabar Indonesia”, dengan tema
”Menyisiasati Pengeluaran pada Bulan Ramadhan” via stasion TV ONE, tgl 26 Agustus 2008 jam 07-08.30 Wib.
592Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 14 Pebruari 2008.
593Wawancara Pribadi Yuli Pujihardi, Direktur Komunikasi dan Sumber Daya Dompet Dhuafa, Jakarta, 11 Pebruari 2008.
Dengan demikian, kendala kultural yang dihadapi Badan Amil Zakat selain pada
perilaku muzaki juga pada pola penyiasatan yang dibangun oleh Badan Amil Zakat
Nasional dengan menyentuh unsur rasionalitas muzakki, yang
tampaknya memiliki kesamaan pola dengan pengelola zakat lainnya.
Kelima, profitabilitas muzakki
Persaingan antar pelanggan dalam hal ini muzakki untuk memilih Badan
Amil Zakat Nasional sebagai tempat penyerahan dana zakat merupakan kondisi yang
dihadapi oleh lembaga ini. Dalam kaitannya dengan lembaga zakat, maka hubungan
antar Badan Amil Zakat dengan muzakki terjalin di atas landasan kepercayaan. Dengan
demikian dapat diduga kuat bahwa semakin tinggi tingkat kepercayaan muzaki kepada
lembaga pengelola zakat tertentu, maka semakin banyak muzaki yang akan
mempercayakan dana zakat mereka diserahkan serta dana zakat sangat berpeluang
mengalami peningkatan .
Dalam manajemen diketahui bahwa profitabilitas pelanggan mengandung arti
upaya untuk melakukan evaluasi terhadap sejauhmana pelanggan tidak hanya
memberikan keuntungan finansial pada perusahaan tetapi dengan pelanggan dimaksud
memberikan kondisi perusahaan dapat berpeluang untuk memperoleh keuntungan.
Dengan demikian, menarik untuk mengemukakan polarisasi yang dikemukakan oleh
Kaplan mengenai pelanggan yaitu pelanggan yang tidak memberikan keuntungan dan
pelanggan yang memberikan keuntungan. 594 Dengan kata lain, profitabilitas pelanggan
diartikan sebagai pelanggan loyalitas yang dapat memahami perkembangan perusahaan
sehingga mendukung pencapaian keuntungan perusahaan,
Apabila diperhatikan tingkat kepercayaan muzaki terhadap Badan Amil Zakat
Nasional terukur dari sisi penerimaan dana zakat, infak dan sedekah (ZIS)
memperlihatkan bahwa dalam tenggang waktu 2005‐2006 baru dapat menembus lima
puluhan milyar rupiah. Jika angka perolehan ini dibandingkan dengan perolehan ZIS
secara nasional yang dilakukan oleh badan amil zakat daerah dan mitra Badan Amil
Zakat Nasional serta lembaga amil zakat, maka Badan Amil Zakat Nasional berada pada
posisi penerimaan di bawah angka 6 %.
594Robert S. Kaplan & David P.Norton, Balanced Scorecard, h. 61.
Tabel 16: tentang Perbandingan Dana Zakat Infak dan Sedekah yang dihimpun Badan Amil Zakat Nasional dengan Penerimaan Secara Nasional Pada Pengelola Zakat Lainnya
2002‐2006 (dalam Ribuan Rupiah)
No. Nama Lembaga
2002 2003 2004 2005 2006
1 Baznas 921.048 2.700.073 3.322.092 31.406.810 19.864.377
2 UPZ Mitra
Baznas
- - - - 8.289.356
3 Bazda 11.589.000 14.177.504 18.412.132 30.301.714 114.406.553
4 Lenbaga
Amil
Zakat
55.680.209
68.405.946
128.354.888
233.986.019
230.613.161
TOTAL 68.190.257 85.583.523 150.089.112 295.694.543 373.173.447
Posisi
%
Perolehan
Baznas
1.35
3.15
2.21
10.62
5.32
Sumber : Diolah dari Annual Report BAZNAS 2006, h. 55.
Penerimaan dana SIZ ini memberikan pengaruh bagi program peningkatan
kesejahteraan umat yang dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional.595 Dilihat dari
sisi rendahnya penerimaan dana SIZ bagi Badan Amil Zakat Nasional, tampaknya telah
menjadi kecenderungan umum bagi pengelola zakat secara nasional. Menurut hasil
penelitian seperti yang dinyatakan Mohammad Daud Ali bahwa kendala usaha
produktif bagi mustahik karena jumlah dana yang diberikan kepada mustahik terlalu
kecil untuk modal usaha 596
Pandangan yang sama dikemukakan oleh pengurus Badan Amil Zakat Daerah
Provinsi Banten menurutnya bahwa faktor dana SIZ menyebabkan besaran dana yang
diberikan kepada mustahik masih kurang.597
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Neneng Habibah terhadap pelaksanaan
zakat pasca UU 38/199 pada LAZ Harum Serang Banten, menunjukkan salah satu
595Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 19 Mei 2008.
596Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), cet. I, h. 70.
597Wawancara Pribadi dengan Sybly Syarjaya, Sekretaris Umum Badan Amil Zakat Daerah Provinsi Banten, Serang, 7 Mei 2008.
kendala yang dihadapi oleh mustahik binaan produktif adalah perlunya penambahan
modal usaha guna meningkatkan pengembangan usaha.598
Tabel 17: tentang Perbandingan Dana Zakat dan Infak serta Sedekah
yang dihimpun Badan Amil Zakast Nasional 2005‐2006
(dalam Rupiah)
No. Jenis Penerimaan 2005 2006
1 Zakat 2.540.588.847 4.825.501.587
2 Infak dan Sedekah 28.784.807.942 12.455.537.060
Posisi % Perolehan dana Zakat
8.83
38.74
Sumber : Diolah dari Annual Report BAZNAS 2006, h. 65.
Dari tabel di atas diketahui bahwa dana zakat yang dterima Badan Amil Zakat
Nasional dibanding dengan dana infak dan sedekah, menunjukkan bahwa dana yang
disebut terakhir jauh lebih banyak. Untuk tahun 2006 dana zakat yang diterima masih
belum mencapai 40 % dibanding dengan dana infak dan sedekah yang diterima pada
tahun yang sama.
Dengan mengaitkan gagasan mengenai tingkat kepercayaan muzakki dengan
empat unsur yang telah dikemukakan ‐ muzakki sasaran, akuisisi muzakki, kepuasan
muzakki dan profitablitas muzakki‐ dikaitkan dengan kondisi objektif penerimaan dana
zakat dan non zakat (infak dan sedekah ) bagi badan Amil Zakat Nasional, maka kiranya
dapat dinyatakan bahwa kendala kultural memiliki dimensi yang sangat luas. Dimensi
itu terkait dengan: (a ) demokratisasi ‐ sikap kritis muzakki kepada lembaga publik, – (b)
keagamaan ‐persepsi pahala
di bulan Ramadhan,‐ (c) sosioekonomi ‐ perilaku konsumsi‐serta (d) ”persaingan” antar
pengelola zakat dalam menggalang muzakki.
2. Kendala Internal Kelembagaan
598Neneng Habibah, Zakat dan Pemberdayaan Umat: Studi Kasus Pelaksanaan Zakat
Pasca UU No. 38/1999 LAZ Harum Serang Banten dalam jurnal Penamas, Vol XVIII/I/Juli 2005, h. 72.
v
Kendala internal kelembagaan dimaksudkan sebagai suatu kondisi negatif yang
dihadapi Badan Amil Zakat Nasional dalam mengoptimalkan kinerjanya dalam
peningkatan kesejahteraan umat. Kendala yang dihadapi mencakup:Pertama, tingkat
kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang lemah pada tingkat pengurus
pelaksana harian. Kedua, tidak ada peta kemiskinan.
a. Kualitas Pengurus Pelaksana Harian yang Lemah
Sumber daya manusia dalam organisasi biasa disebut dengan human capital
dimaksudkan untuk melakukan proses secara internal kelembagaan terhadap kebutuhan
organisasi.599 Dengan demikian, peran sumber daya manusia pada organisasi sangat
penting, karenanya tingkat kualitas mereka sangat menentukan keberhasilan suatu
organisasi.
Berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia pada pengelola zakat maka
menurut Uswatun Hasanah, salah satu kendala BAZIS DKI Jakarta berkaitan dengan
pengelolaan dana produktif karena sumber daya manusia lembaga ini belum siap secara
profesional untuk mengelola dana pinjaman600
Dalam pengembangan sumber daya manusia, Badan Pelaksana mengutus
personal lembaga untuk mengikuti pendidikan formal dalam bidang manajemen. Untuk
2004‐2007 akan disiapkan personal kelembagaan dari unsur pelaksana harian untuk
mengiku pendidikan S2 sebanyak 5 orang. Selain itu juga diikutkan dalam kursus‐kursus
pengembangan manajemen.601 Terhadap pengembangan sumber daya manusia,
dimaksudkan karena Badan ini telah mendorong pengelolaan zakat di Indonesia dengan
konsep “perusahaan”. 602 Menurut Fuad konsep ini tidak dimaksudkan untuk
mengubah bentuk, tujuan serta hakekat lembaga pengelola zakat termasuk Badan ini
sebagai organisasi pelayan umat dan dengan demikian maka pelayanan kepada muzakki
lebih optimal dan bagi mustahik, martabat mereka lebih terlindungi.603
599Robert S.Kaplan dan David P. Norton, Strategy Maps, ( Boston: Harvard Business
School Publishing, 2004), h. 343. 600Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), cet.
I, h. 70. 601 Wawancara Pribadi dengan Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana
Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007. 602M. Fuad Nasar, Pengalaman Indonesia dalam Mengelola Zakat, (Jakarta: UI Press,
2006), h. 31. 603M. Fuad Nasar, Pengalaman Indonesia dalam Mengelola Zakat, h. 31.
v
Konsep perusahaan yang diusung Badan Amil Zakat Nasional baik untuk
kepentingan internal kelembagaan sebagai lembaga yang mengelola zakat untuk
kepentingan mustahik, juga untuk kepentingan pengembangan perzakatan secara
umum di Indonesia dalam kapasitas melakukan koordinasi, konsultasi dan informasi
bagi badan amil zakat daerah. Baik untuk yang kedua maupun pertama, keduanya
memerlukan kualitas sumber daya manusia yang memadai.
b. Kuantitas Tenaga SDM Yang Masih Kurang
Hasil penelitian berkaitan dengan pendayagunaan zakat oleh lembaga pengelola
zakat, maka ditemukan hasil penelitian Uswatun Hasanah, yang menyatakan bahwa
terdapat kendala yang dihadapi oleh BAZIS DKI Jakarta antara lain kurangnya sumber
daya manusia.604 Pada Badan Amil Zakat Nasional kekurangan sumber daya manusia
karena tenaga teknis dan administrasi dilakukan oleh pengurus pelaksana harian.605
Dengan kondisi yang rangkap fungsi bagi pengurus Badan Amil Zakat Nasional,
maka dapat dinyatakan bahwa terjadi kekurangan sumber daya manusia. Berkaitan
dengan penambahan sumber daya manusia tidak dapat dilakukan, karena terkait
dengan aspek pengganjian.606 Upaya yang dilakukan selain membina sumber daya
manusia yang sudah ada, maka untuk bulan ramadhan dilakukan rekrutmen relawan.
Untuk relawan pada bulan Ramadhan, dimaksudkan sebagai tenaga yang dapat mengisi
konter‐konter yang tersebar pada tempat strategis juga untuk dijadikan sebagai tenaga
administrasi pada bagian umum.607
Bagi Badan Amil Zakat Nasional, akibat kekurangan tenaga dalam tingkat
pelaksana harian, maka berbagai aktifitas seperti pendampingan kepada mustahik,
program kemanusiaan seperti penanganan bencana di luar daerah terkadang
menghalami keterlambatan penanganan.608
604Uswatun Hasanah, “Zakat dan Keadilan Sosial...” Tesis, 1980, h. 196. Hemat penulis,
penelitian ini dilakukan sebelum lahirnya UU dimaksud, namun substansi kendala lembaga pengelola zakat pasca UU ini masih dipandang relevan dengan hasil penelitian ini.
605Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 14 Pebruari 2008.
606Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan
Amil Zakat Nasional, Jakarta, 14 Pebruari 2008. 607Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan
Amil Zakat Nasional, Jakarta, 14 Pebruari 2008. 608Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan
Amil Zakat Nasional, Jakarta, 14 Pebruari 2008.
c. Belum ada peta kemiskinan berbasis mustahik
Peta kemiskinan ini akan membantu dalam melakukan program dalam
pendayagunaan zakat secara nasional dan dipandang sebagai patokan dasar bagi Badan
ini dan lembaga amil. Akibat tidak ada peta kemiskinan, maka tidak ditemukan data yang
pasti mengenai kondisi objektif mustahik secara nasional.609
Peta kemiskinan dapat berfungsi untuk memberikan informasi berkaitan
dengan potensi‐potensi kemiskianan umat Islam di Indonesia, faktornya serta kebijakan‐
kebijakan yang pernah dan akan diberikan dari instansi terkait. Sebagaimana diketahui
bahwa instansi terkait telah juga melakukan hal yang sama dengan pengelola zakat di
Indonesia yakni dalam upaya pengentasan kemiskinan sesuai dengan program yang ada.
Pemerintah Indonesia, telah menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai suatu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada masa Orde Baru kebijakan
pemerintah berkaitan dengan pengentasan kemiskinan di antaranya dikembangkan ke
dalam dua pola yaitu: a. Pola penanggulangan antar sektor dan b. Penanggulangan antar
daerah/ wilayah. Yang pertama “... pendelegasian kepada setiap departemen untuk
mengeluarkan kebijakan pengentasan kemiskinan seperti departemen pertanian
bertanggungjawab terhadap golongan miskin dari keluarga yang berada di sektor
pertanian”. Sedangkan terakhir adalah berkaitan dengan pembagian wilayah seperti
Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur yang antara lain melalui program
inpres dan bagi daerah yang belum terjangkau program itu pemerintah menetapkan
PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu) dengan menetapkan kecamatan sebagai unit
kerjanya.610
Berbagai kebijakan pemerintah berkaitan pengentasan kemiskinan menurut
Gunawan dapat dilihat pada terjadinya proses perubahan struktural dalam kehidupan
sosial ekonomi masyarakat. Namun secara empirik program‐program yang
dikembangkan oleh pemerintah dirasa belum mampu menanggulangi kemiskinan secara
609Wawancara Pribadi, Fuad Nasar, Kepala Devisi Pendayagunaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.
610Gunawan Sumodiningrat, et. al., Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, (Jakarta: Inpac, 1999), h. 66. Menurutnya, Inpres sebagai kebijakan termasuk di dalamnya IDT (Inpres Desa Tertinggal).
sistemik. Program yang ada kurang memberikan dampak pada penguatan kapasitas
sosial ekonomi masyarakat lokal guna mendukung membangun kemandirian.611
Menurut Gunawan bahwa penguranan kemiskinan di Indonesia pada daeah
pedesaan disebabkan faktor : pertama, kehadiran proyek pemerintah yang dilaksanaan
di pedesaan yang menampung tenaga kerja. Kedua., adanya program di bidang
pertanian yang memungkinkan petani dapat meningkatkan produktifitas mereka. Ketiga,
terjadinya perpindahan sebagian masyarakat di pedesaaan yang hidup dalam
kemiskinan ke kota‐kota.612 Lebih lanjut menurut Gunawan bahwa penduduk miskin di
Indonesia jauh lebih tinggi di pedesaaan dibanding mereka yang hidup di perkotaan.613.
Sebagai lembaga pengelola zakat, Badan Amil Zakat Nasional menetapkan
pengentasan kemisikinan sebagai bahagian dari misinya. Hal yang sama juga dilakukan
oleh Badan Amil Zakat Daerah seperti Provinsi Lampung. Salah satu misinya, adalah
”membantu pemerintah daerah dalam peningkatan kualitas
SDM, mengatasi kemiskinan, dan memberantas praktik rentenir.”614
Dengan memperhatikan fungsi zakat sebagai instrumen ekonomi dalam
pengentasan kesmikinan, maka keberadaan pengelola zakat di Indonesia, dipandang
sebagai lembaga pengentasan kemiskinan pada satu sisi dan kebijakan pemerintah
melalui instansi terkait juga melakukan hal yang sama. Secara realitas, dua jenis lembaga
melakukan hal yang sama, namun tidak didukung oleh peta kemiskinan, menyebabkan
pola penanganan pengentasan kemiskinan tidak dapat terkoordinasi.
Bagi pengelola zakat, akibat tidak ada peta kemiskinan yang dapat dijadikan
sebagai landasan bagi instansi yang terkait termasuk Badan ini,. maka memunculkan
penanganan kesejahteraan hanya bersifat sporadis dan parsial.
Sebagaiman dikemukakan pada pengantar bab ini, bahwa bab ini akan
menjelaskan kendala yang dialami Badan ini dalam pendayagunaan zakat. Tampaknya
611Gunawan Sumodiningrat, “Kepemimpinan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat”, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada 17 Maret 2001, (Yogyakarta: Universitas Gajah mada, 2001), h, 9.
612Gunawan Sumodiningrat, et. al., Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, h. 65. 613 Gunawan Sumodiningrat, et. al., Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, h. 65. 614Profil 7 Badan Amil Zakat Daerah Provinsi dan Kapubaten Potensial di Indonesia,
(Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2006), h. 24.
kendala itu mencakup eksternal struktural, eskternal kultural dan internal Badan Amil
Zakat Nasional.
BAB VII
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari uraian pada bab‐bab yang lalu dapat disimpulkan: Pertama, zakat
merupakan instrumen ekonomi Islam yang mengandung ajaran berkaitan dengan
kesejahteraan umat. Kedua, Badan Amil Zakat Nasional melalui program kerja yang
telah ditetapkan, telah mengembangkan pendayagunaan zakat. Ketiga, pada dasarnya
Badan Amil Zakat Nasional telah melakukan pendayagunaan zakat untuk peningkatan
kesejahteraan umat sesuai dengan pola yang dilakukan Rasul Muhammad SAW. pada
satu sisi dan pada saat yang sama dalam batas‐batas tertentu dipandang Badan ini telah
mengimplementasikan aspek‐aspek manajemen. Namun demikian dalam hal
pengembangan baik aspek kelembagaan maupun pada program yang berkaitan dengan
peningkatan kesejahteraan umat, maka ditemukan kendala‐kendala yang menjadikan
kinerja Badan ini tidak optmal.
Untuk pola Rasul SAW, implementasinya pada Badan Amil Zakat Nasional
terlihat: pertama, aspek penetapan dan protitipe amil. Aspek penetapan amil
menujukkan bahwa Rasul sebagai pemimpin politik telah menetapkan amil zakat dan
karenanya dipahami bahwa zakat merupakan ranah sosial ekonomi dan bahkan religius,
dan bukan ranah individual. Dengan demikian, maka pengangkatan amil harus dilakukan
dengan landasan pejabat publik. Dalam hal ini, Badan Amil Zakat Nasional yang telah
ditetapkan dengan UU. No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Keppres No. 8/2001
tetang pembentukan Badan Amil Zakat Nasional dipandang relevan dengan kewenangan
pejabat yang mengangkat. Namun demikian dari status pengurus Badan Amil Zakat
secara yuridis formal tidak dinyatakan sebagai aparatur negara.
Prototipe amil pada zaman Rasul SAW. sepanjang yang dapat dipahami yang
mengacu pada integritas dan intelektualitas serta dengan tugas khusus, dipandang
secara formal telah terimplikasi pada penetapan pengurus Badan Amil Zakat Nasional.
Kedua, dari aspek kewenangan amil pada zaman Rasul, yang bersifat distribusi
yakni melayani muzakki dan mendistribusikannya untuk kepentingan mustahik.
Dibanding dengan Badan Amil Zakat Nasional, kewenangan itu diperluas selain distibusi
tetapi edukasi dan riset tentang perzakatan. Kewenangan ini merupakan konsekwensi
logis dari eksistensi Badan Amil Zakat Nasional sebagai institusi.
Ketiga, dari aspek pertanggungjawaban oleh Badan Amil Zakat Nasional selain
melakukan kepada publik melalui benerbitan News BAZNAS, juga kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Pertanggungjawaban ini dipahami relevan dengan
pertanggungjawaban amil pada zaman Rasul. Keempat, tentang fungsi amil dalam
kaitannya dengan pencapaian kesejahteraan umat. Badan Amil Zakat Nasional telah
menjadikan zakat sebagai instrumen ekonomi dengan menetapkan alokasi dana 35 %
dan merupakan prosentase pertinggi, instrumen sosial kultural dengan alokasi dana 25
% dan zakat sebagai instrument untuk spritualitas dengan alokasi dana 10 %. Selain itu,
kriteria mustahik mengalami aspek kedinamisan dibanding dengan kriteria seperti yang
ditemui dalam kitab‐kitab fiqih.
Keempat, dari sisi implementasi prinsip desentralisasi pendayagunaan zakat
sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasul, dibanding dengan Badan Amil Zakat
Nasional, tampaknya oleh UU dimaksud tidak memberikan kewenangan secara
desentralistik. Bahkan UU ini memberikan kewenangan kepadanya secara sentralistik
Namun demikian, dengan ”ijtihad sendiri” badan ini telah melakukan desentalistik
secara terbatas dengan memberikan kewenangan kepada UPZ untuk melakukan hal
serupa yang oleh UU dimaksud hanya diberikan sebaga pengumpul. Prinsip sentalistik
yang dianut oleh Badan Amil Zakat Nasional, sebagai perwujudan dari kewenangan dari
UU dimaksud, merupakan ketaatan atas nama yuridis. Argumen ini, bagi Badan Amil
Zakat Nasional justru memperkuat posisi zakat untuk melakukan keadilan yang bersifat
distribusi baik dalam tataran ekonomis maupun politis‐geografis. Tataran terakhir ini
merupakan implemetasi badan ini yang bersifat nasional.
Kelima, mempertegas zakat sebagai hak mustahik. Pola ini telah dilaksanaan
oleh Rasul SAW. Terhadap Badan Amil Zakat Nasional telah menerapkannya dengan
melakukan: (1) perluasan kriteria mustahik (2) erientasi kelembagaan yaitu menetapkan
kebijakan yang diarahkan pada: (a) orientasi pada pengentasan kemiskinan dan (b)
oreintasi pada manajemen pendayagunaan. (3) Penerapan prosedural pendayagunaan
zakat.
Adapun mengenai implementasi fungsi‐fungsi manajemen untuk peningkatan
kesejahteraan umat pada Badan Amil Zakat Nasional empat fungsi manajemen yang
telah dikaji yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, kepemimpinan dan
pengawasan. Keempat fungsi itu, memiliki relevansi fungsi manajemen yang disebutkan
dalam konsideran UU No. 38/ 1999 tenang Pengelolaan Zakat. Keempat fungsi
manajemen itu: (1) Fungsi perencnaan. Fungsi ini menunjukkan terimplementasi pada
pendayagunaan zakat Badan Amil Zakat Nasional dalam tiga hal yang dipandang
penting: (a) aspek kelembagaan secara umum, (b) Arah kelembagaan dalam
pencapaian pendayagunaan zakat, (c) Perumusan tentang makna zakat. (2) Fungsi
Pengorganisasian. Dalam fungsi ini terdapat dua hal yang terimplementasikan: (a) dana
sebagai sumber ekonomi mustahik, (b) Mustahik sebagai Sasaran Sumber aya Ekonomi.
(3) Fungsi Pelaksnaan terdapat lima program : (a) Program kemanusiaan (b) kesehatan
(c) pengembangan ekonomi umat (d) Dakwah (e) Peningkatan sumber daya manusia. (4)
Fungsi Kepemimpinan menunjukkan terdapat (a) Sejumlah unsur yag dapat mendukung
efektifitas dana zakat (b) Sejumlah unsur yang dapat mendukug efisiensi dana zakat (c)
Sejumlah unsur yang dapat mendukung tepat waktu penerimaan dana zakat kepada
mustahik (d) Sejumlah unsur untuk tepat jumlah Penerimaan dana zakat kepada
mustahik (e) Sejumah unsur yang dapat mengantar pada perubahan mustahik. (5) Fungsi
Pengawasan. Untuk pengawasan terlihat pada keterlibatan Akuntan Publik dan
Pelaporan kepada Dewan Perwakilan (DPR) serta penerbitan News BAZNAS.
Adapun kendala‐kendala yang dihadapi Badan Amil Zakat Nasional dalam
pendayagunaan zakat untuk peningkatan kesejahteraan umat ialah : pertama, kendala
lingkungan eksternal struktural meliputi model kelembagaan, sumber pendanaan.
Belum terbit Kebijakan Pemerintah tentang zakat sebagai penggati pajak penghasilan,
lemahnya UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat yang dak berbasis pada sosio
ekonnomi religius, belum terbitnya Peraturan Pemerintah atas UU No. 38/ 1999
terutama tentang pola koordinasi Badan Amil Zakat Nasional dengan pengelola zakat
lainnya.
Kedua, kendala lingkungan eksternal kultural meliputi: terdapat mustahik yang
memandang dana zakat yang “hampa dengan pesan nilai” oleh mustahik. Tingkat
kepercayaan muzakki kepada Badan Amil zakat Nasional belum maksimal. Ketiga,
kendala lingkungan internal kelembagaan terlihat pada (a) semangat loyalitas di
dikalangan pengurus yang lemah terukur dari pada keaktfan pengurus (b) kualitas dan
kuantitas sumber daya manusia masih lemah pada level pelaksana haian
B. Rekomendasi
1. Untuk mendukung agar Badan Amil Zakat Nasional dapat lebih optimal dalam
mendayagunakan zakat untuk peningkatan kesejahteraan umat, maka diperlukan
penelitian lanjutan mengenai efek manajemen terhadap kehidupan sosial ekonomi
mustahik.
2. Perlu dilakukan penelitan lanjutan mengenai reformasi struktur keuangan Badan Amil
Zakat Nasional, dikarenakan struktur keuangan selama ini masih didominasi oleh dana
non zakat baik yang diperoleh dari umat Islam maupun dari pola kemitraan dengan
BUMN dan BUMS. Reformasi terhadap kondisi struktur keuangan yang demikian ini
dipandang penting karena badan ini secara fungsional mendorong perzakatan dalam hal
ini dana zakat agar dapat menjadi lokomotif bagi peningkatan kesejahteraan umat dan
tidak sekedar menjadi dana pendamping saja.
3. Untuk melakukan percepatan terhadap revitalisasi dana zakat sebagai instrumen
ekonomi sosial dan religius pada satu sisi dan peningkatan fungsi Badan Amil Zakat
Nasional dalam bidang kesejahteraan umat pada sisi yang lain, maka diperlukan
dukungan politis agar Badan ini ditetapkan sebagai institusi kesejahteraan sosial dan
dikelola oleh kepengurusan yang sifatnya penuh waktu (full timers).
29 DAFTAR PUSTAKA
Ali, Maulana Muhammad, The Religion of Islam, Colombus: Ahmadiyya
Anjuman Ishâ’at Islâm, 1990. Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988. Allen, Louis, Management and Organization, New York: Mc Graw Hill Book
Company, 1958. al-Ansâry, Abd Allah Muhammad ibn Ahmad, al-Jâmi li ahkâm al-Qur’ân al-
Karîm Tafsîr al-Qurtuby, t.tp.: Dâr al-Ỉmân, t.th. al-Asfahany al-Ragib, , Mufradât al-Fâz al-Qurân, Damsyiq: Dâr al-Qalam,
1992. al-‘Assâl, Ahmad Muhammad l dan Fathy Ahmad Abdul Karīm, al-Nizâm al-Iqtisâdy fi al-
Islâm, Qahirah: Wahbah, 1977. al-Bâqī, Fu’âd Abd., al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur’ân al-Karīm,
Qâhirah: Dâr al-Hadīts, 2001. al-Bukahry, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Śahih al-Bukhâry Jild II,
Bairut: Dâr Fikr, t.th.. Amin, A..Ridwan dkk., “Katup Pengaman Bila Instrumen Ekonomi Tidak Jalan,”
dalam Syari’ah dalam Sorotan, Jakarta: Yayasan Amanah, 2003. Angha,Nader , Theory “I”, Penerjemah Leinovar, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2002. Asbon Eide, Meletakkan Sudut Pandang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Bidya
sebagai Hak Asasi Manusia, dalam Ifdhal Kasim (ed.) Hak Ekonomi Sosial Budaya, Jakarta: Elsam, 2001.
Aunil Ma’bud. Juz VI, h.423. no. hadis 2557. Azra, Azyumardi, Meningkatkan Manajemen Filantropi Islam, dalam Eri Sudewo Manajemen
Zakat, Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2004. Badan Amil Zakat Nasional . BAZNAS News , Edisi Muharram 1429 H. -----------, Annual Report 2006, Jakarta: Baznas, 2006. -----------, BAZNAS News, edisi Dzulhijjah1428 H. -----------, Fiqih Zakat Indonesia. (BAZNAS: Jakarta, t.th). -----------, “Selamatkan Rakyat Aceh” ZAKAT IV, Tahun I Septemeber 2003 Baltâji, Muhammad, Manhaj ‘Umar ibn al-Khattâb fī al-Tasyri’ t.tp.: Maktabah
Tsibâb, 1998. Bamualim, Chaider S. dan Irfan Abubakar, ( Ed.), Pengantar Editor dalam
Revitalisasi Filantropi Islam, Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2005.
Bartol Kathryn M. & David C. Martin, Management, New York: McGraw-Hill, Inc, 1991. Bartol Soni Yuwono, et.All., Penggunaan Sektor Publik, Malang: Bayu Media Publishing, 2005. Basril, “Upaya Bazis: dalam Pengentasan Kemiskinan Melalui ZIS DKI Jakarta,” Disertasi S3
PPS Universitas Islam Negeri Jakarta, 2000. Bukhâry, Imam, Shahih Bukhâry, juz VI, h. 12 No. 1496 dalam CD.
Buku Panduan Pembentukan UPZ & USZ, Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional, t.th. Certo, Samual C., Modern Management, cet. X,. Siangapore: Person Education, 2003. Certo, Samuel C Modern Management, Singapore: Perason Education, 2003. Chafra, Umar, The Future of Economic: An Islamic Perspective. Penerjemah
Ikhwan Abidin Basri, Masa Depan Sebuah Tinjauan Islam Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
v
Chapra, M. Umar, Islam and the Economic Challenge diterjemahkan Ikhwan Abidin Basri, Jakarta: Tazkia Ins tute, 1995.
Cushway, Barry, Human Resource Management, London: the Association for Manage ment Education and Development, 1994.
Daft, Richard L, Management, Singapore: Thomson Asia PTe. Ltd., 2003. Dahlan A. dkk. Asbâb al-Nuzūl, Bandung: Diponegoro, 2001. Davis, Gordon B, Management Information System, diterjemahkan Andreans
Adiwardana, Sistem Informasi Manajemen, Jakarta: Grafindo, 1993.
Dâwud, Abû , Sunan abî Dâwud. Juz II, Bairût: Dâr al-kutub al-Ilmiyah, t.th.
Departemen Agama RI. Pedoman Zakat, Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf, 2002.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Idonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2000.
Dessler, Gary, Management, USA: Person Education, Inc. 2002. Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, Jakarta: Forum Zakat, 2001. Drucker, Petter F. The Frontiers of Management, diterjemahkan Soesanto
Boedidarno, “Manajemen Lintas Peluang” Jakarta: Elex Media Komputindo, 1970.
Echols, John M. Kamus Inggeris Indonesia, Jakarta: Grmaedia, 1995. Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta, 2005. al-Fanjâri , Muhammad Syaufî, , Nahwu al-Iqtisâd al-Islâmi dalam Hamid
Mahmûd dan Abd Allah Abd Husain, al-Iqtisâd al-Islâm. Penerjemah M. Irfan Syafwani, Yogyakarta: Megistra Insani Pres, 2004.
Fauzia, Amelia Badan Amil Zakat, Infak dan Sadakah (BAZIS) dalam Revitalisasi Filantropi Islam, Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2005.
Follet dalam Kadarman, Am, et. al., Pengantar Ilmu Manajemen, Jakarta: Gramedia, 1996.
Ghozali Abbas, “Zakat untuk Keadilan dan Pertumbuhan Ekonomi” makalah dalam diskusi IAEI pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Desember 2006, Jakarta: Panitia Seminar IAEI, 2006. Gordon B. Davis, Manajement Information Systems, diterjemahkan Adiwardana, Andrean S. Sistem Informasi Manajemen, (Jakarta: Pustaka Binaman Presindo, 1993), h. 13.
Habibah, Neneng, Zakat dan Pemberdayaan Umat: Studi Kasus Pelaksanaan Zakat Pasca UU No. 38/1999 LAZ Harum Serang Banten dalam jurnal Penamas, Vol XVIII/I/Juli 2005.
Hafidhuddin Ma’turdi, Didin, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Shadaqah, Ja karta: Baznas, 2005.
-----------, Peran Pembiayaan Syari’ah dalam Pembangunan Pertanian di Indonesia, Orasi Pengukuhan Guru Besar, Bogor: IPB, 2007.
-----------, Manajemen Syari’ah, Jakarta: Gema Insani, 2003. -----------, “Membangkitkan Nilai-Nilai Zakat Untuk Menyadarkan Umat” Makalah pada
Konperensi Zakat Asia Tenggara II, di Kota Padang Sumatera Barat, 31 Oktober 2007.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐, Agar harta Berberkah & Bertambah Gerakan Membudayakan Zakat, Infak Sedekah dan wakap, Jakarta: Gema Insani Press, 2007.
v
------------, Didin Zakat dalam Perekonomian Moderen, Jakarta: Gema Insani , 2002.
Hamid, Abdul, “Arti Philosofis “Duel Identity” Koperasi” dalam Juranal Etikonomi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vo. 2 No 2 Agustus 2003.
Hamidiyah, Emmy, “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengumpulan Zakat, Infak, Sedekah, Wakaf & Kurban Pada lembaga Pengelola Zakat (Studi Kasus: Dompet Dhuafa Republika)”, Tesis S2 Program Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam UI, 2004.
Hammâd, Nazīh, Mu’jam al-Mustalahât al-Iqtisâdiyyah fī al-Lugah al-Fuqahâ’ Herndon USA: al-Ma’had al-‘Âlamī li al-Fikr al-Islâmī, 1993.
Hasanah, Uswatun, “Zakat dan Keadilan Sosial Studi Kasus Tentang Pengelolaan Zakat oleh BAZIS di Wilayah DKI Jakarta,” Tesis S2 Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1980.
Hikam, Dail, “Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif,” Disertasi PPS, Univesitas Islam Negeri Jakarta, 2004.
Husain, al-Thabâthabâ’ī Muhammad, Tafsīr al-Mizân, Jilid XI, Teheran: Dâr al-Kutub al-Isâmiyah, 1397 H.
Ibrahim, Yasin Zakât, The Third Pilar of Islam, terjemahan, Syarif Hidayat, Bandung: Pustaka Madani, 1997.
Idris, Safwan Gerakan Zakat Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat: Pendekatan Transformatif, Jakarta: Cita Putra Bangsa , 1997.
Indrajit, Richardus Eko, Proses Bisnis Outsoursing, Jakarta: Grasindo, 2003. Ivancenvich John M., Human Resource Manajement, Boston: McGraw-Hill, 1998. Jamâl Tsâbit, et. all., (Ed.) al-Sîrah al-Nabawiyyah (Sîrah Ibn Hisyâm), Juz IV, Qâhirah: Dâr al-
Hadîts, 1996. al-Jam’at, ’Ali ibn Muhammad, Mu’jam al-Mustalahât al-Iqtisadiyyah wa al-
Islâmiyyah, Riyâd: Maktabah al- ’Ibkân, 2000. Jauuch, Lawrence R & William F. Glueck, Business Policy anda Strategic
Management, Singapore: McGraw-Hill Book Co., 1988. Jr , John R. Schermerhon,. Management, New York: John Wiley & Sons, Inc.
1996. Kaplan, Robert S. dan David P. Norton, Balanced Scorecard, Harvard: Harvard
Business School Press, 1996. -----------, Strategy Maps, Boston: Harvard Business School Publishing, 2004. Kapoor, et. al.. Business, Boston: Houghton Mifflin Company, 1988. Kepmenag No, 581/ 1999 tentang Pelaksanaan UU Pengelolaan Zakat Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/ 291 tahun 2000 :
Kham, M. Fahim, Theory of Consumer Behaviour in an Islamic Perspective, dalam Aidit Ghazli (Ed.), Readings in Microeconomics an Islamic Perspektive, Selangor: Longman Malaysia SDN. BHD. 1992.
Koonz, Harold, dan Cyrill O’Donnel, Principles of Management to Analysis Management Functions, Tokyo: Kogaskusha Company, Ltd..
Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Badan Amil Zakat Nasional 2004-2007, Liam, Fahey dan V.K. Narayanan, Macroenvironmental Analysis for Strategic
Management, dalam James A.F. Stoner, Manajemen, Jakarta: Intermedia, 1992.
Maarif, A. Syafii, Kata Pengantar dalamAries Mufti, dkk, Problem Kemiskinan, Jakarta:Blantika, 2004.
Matrajî, Mahmud, dalam Muhammad Idrîs al-Syâfiî, al-Um, Juz I, Bairut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyah, 1993
Merril, Harwood F, Classics in Management, New York: American Management Association, 1960.
Metwally, MM, Teori dan Model Ekonomi Islam, Penerjemah M.Husein Sawit, Jakarta: Bangkit Daya Insani, 1995.
Midgley, James Social Development, diterjemahkan oleh Sirajuddin dll., “Pembangunan Sosial Perspektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial” Jakarta: Depag RI, 2005.
Mudzhar, M. Atho, Membaca Gelombang Ijtihad, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998. al-Mugnī, Muhammad Abd Allah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudâmah, Juz IX, Qâhirah:
1995. Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997. Muslimin Nasution, Mewujudkan Demokrasi Ekonomi, Jakarta: PIP
Publishingm 2007. al-Nabhânī, Taqiy al-Dīn, al-Nizâm al-Iqtisâd fī al-Islâm, diterjemahkan oleh M.
Maghfur Wachid, Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Nadvi, Sayid Muzaffaruddin, A Geografhical History of The Qur'an, diterjemahkan Jum'an
Basalim "Sejarah Geografi Qur'an", t.tp.: Pustaka Firdaus, 1997 Nasar, M. Fuad, Pengalaman Indonesia dalam Mengelola Zakat, Jakarta: UI Press, 2006.
Nasution, Mustafa Edwin, “Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah” dalam, Profil 7 Badan Aml Zakat Daerah & Kabupaten Potensial di Indonesia, Jakarta: IMZ, 2006
Natrâji, Mahmūd (komentator), dalam Muhammad Idrīs al-Syâfi’ī, al- Um, Juz I, Bairūt: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993.
al-Nawawi, Maĥy al-Dīn Abūi Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Majmū’ Syarĥ al-Muhazzab, juz VI, Mesir: al-Imâm, t.th
Permono, Sjechul Hadi Pendayagunaan Zakat dalam Rangka Pembangunan Nasional, Jakarta: Firdaus, 1995.
Pride, William. M., at. all., Business, Boston: Houghton Mifflin Company, 1988.
Prihatna, Andi Agung, Filantropi dan Keadilan sosial di Indonesia, dalam Revitalisasi Filantripo Islam, Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2005.
Profil 7 Badan Amil Zakat Daerah Provinsi dan Kapubaten Potensial di Indonesia, Jakarta: Ins tut Manajemen Zakat, 2006.
Qardâwy, Yusuf, Fiqh Zakat. Penerjemah Didin Hafidhuddin, dkk. (Bandung: Mizan, 1999), cet. V.
Qardâwy, Yusuf , Fiqh Zakat, Juz II, al-Qâhirah: Wahbah, cet. XXI, 1994. Qâsim, Abd.Rahmân ibn Muhammad ibn, Majmu’ Fatawâ Syaikh Islam Ibn al-
Taymiyah, Jilid I, t.tp.:tp.,t.th. al-Qurtubī, Abī Abdi Allah Muhammad ibn Ahmad al-Ansârī al-Jâmi’ li ahkam
al-Qur’ân al-Karīm, juz V, VIII, XV, t.tp.: Jarīdah al-Warda, 2006 Rahman, Afzalur, Doktrin ekonomi Islam, Jilid III, diterjemahkan Soeroyo dan
Nastangin, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima, 2002 Rayyân, Ahmad ‘Ali Taha, al-Mausū’ah al-Islâmiyah al-‘Âmah, al-Qâhirah: Wizârat al-Auqâf
al-Majlis al-A’lâ li al-Syuūn al-Islâmiyah, 2002 al-Râzi, Fakhr al-Dīn Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Husain ibn Hasan ibn ‘Alī al-Tamīmy, al-
Tafsīr al-Kabīr Aw Mafâtih al-Ghaib, J. VIII, XIX, Qahirah: Maktabahag Taufiqiyah, t.th.
Rekomendasi dan Pedoman Pelaksanaan Zakat, Jakarta: Bazis DKI Jakarta, 1981. Reksoprajitno, Soedijono, Pengantar Ekonomi Mikro, Jakarta: Gunadarma, 1993. Republika, 15 Desember 2006. “Pemerintah Buka Lapangan Kerja.”
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐, 15 September 2007, ”Presiden Resmikan Rumah Sehat Masjid Sunda Kelapa,”
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐, 21 September 2007. “Tak Ada Keraguan Presiden pada Zakat,”
Rida, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Qur’ân al-Hakîm al-Masyhûr al-Manâr Juz VIII, Refrint, Bairut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, 2005
Robbins, Stepehen P. & Mary Coulter, Management, USA: Person Education, Inc, 1996) , h. 193.
Sa’ad, Ibn, al-Tabaqât al-Kubrâ, Jld III, Bairut: Dâr Sadr, 1985. Sabzwari, MA. ”Sistem Ekonomi dan fiskal pada masa Pemerintahan Nabi
Muhammad Saw.” dalam Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: IIIT, 2002.
al-Sadr, Kadim, ”Kebijakan Fiskal pada Awal Pemerintahan Islam”, dalam Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: IIIT, 2002.
Saefuddin, Ahmad M. Studi Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: Media Da'wah, 1984.
Salâm, Abd.al-Qâsim ibn, Kitâb al-amwâl, Beirut: Dâr al-Fikr, 1988
Salim, Abd. Muin, “Ekonomi dalam Perspektif Alquran”.Makalah pada seminar Tafsir Hadis Fak. Syari’ah IAIN Ujungpandang, 1994.
---------, Abd. Muin, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Quran, Jakarta: Grafindo Persada, 1995
al-Salūsi, ‘Alī Ahmad, Mausu’ah al-Qadâya al-Fiqhiyyah al-Mu’ashirah wa al-Iqtisâdi al-Islâmī, Mesir: Dâr al-Qur’an, cet. VII.2002,
Salusu , J., Pengambilan Keputusan Stratejik, Jakartra: Grasindo, 2006. Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah¸ Vol. I, VII, XIII, Jakata: Lentera Hati, 2002. ---------, “Etika Bisnis dalam Wawasan Alquran” dalam Jurnal Ulum Alquran,
No.3 VII/1997. ---------, Wawasan al-Quran, Bandung: Mizan, 1998 ---------, Tafsir Amanah, Jakarta: Pustaka Kartini, 1992. Sîdiq, Muhammad Jalâl Sulaiman. Dawr al-Qîm fî Najâh al-Bunûk al-
Islâmiyyah, Qâhirah: al-Ma’had al-’Ăli li l-Fikr al-Islâmî, 1996, Siregar, Mulya E. Kepala Biro Peneltian, Pengembangan dan Peraturan
Perbankan Syari’ah, Direktorat Perbankan Syari’ah Bank Indonesia, Makalah, dalam seminar Lembaga Keuangan Sosial Islam, di UIN
Jakarta, 17 Januari, 2007. Soedjadi, FX., Analisis Manajemen Moderen, Jakarta: Gunung Agung, 1997. Stewart, Grant, Successful Sales Management, Singapore: The Institute of Management, 1994. Stoner, James AF. et. All., Mangement, USA: A. Simon & Schuster Company, Stoner, James AF.Stoner dan R. Edward Freeman, Manajemen, Benyamin Molan
Penerjemah, Jakarta: Intemedia, 1992 Subianto,Achamd, Shadaqah, Infak, dan Zakat PO.BOX 1455 JKP 10014: Yayasan Berikan, 2004 Sudarsono, Juwono, Reformasi Ssial Budaya dalam Era Globalisasi, Jakarta:
Wacha Widia Perdana, 1999. Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis, Bandung: Alfabeta, 2005. Suharto, Edi, Analisis Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta, 2006. Sukarja, Ahmad, “Kontribusi Islam Bagi Demokrasi Pancasila, tinjauan Ilmu
Fikih Siyasah” Orasi Pengukuhan guru besaer dalam ilmu Fikih Siyasah Fgakultas Syari’ah IAIN Jakarta, 1997.
Sulaiman, ‘Tahir Abd al-Muhsini, Ilaj al-Iqtisdiyyah fi al-Islâm, diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal "Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam" Bandung: Al-Maarif, t.th.
Suma, Muhammad Amin, “Pengelolalan Zakat dalam Perpektif Sejarah” dalam Muhatar Sadili (Ed.), “Probelematika Zakat Kontemporer,” Jakarta: FOZ, 2003.
Sumodiningrat, Gunawan., et. al., Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, Jakarta: Inpac, 1999.
Sumodiningrat,Gunawan, “Kepemimpinan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada 17 Maret 2001, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2001
Suriyani, A. Manajemen Dakwah, Jakarta: MSCC, 2005 Syaltūt, Mahmud al-Islâm ‘Aqidah Wa Syari’ah, Mesir: Dâr al-Qalâm, t.th. al-Sya’râni.Muhammad Amin, Al-Damân al-Ijtimâ’iy fî al-Islâm, Riyâd: t.tp.,
1975. al-Sya’râny, Muhammad Muhammad Amin, , al-Damân al-Ijtimâiy fi al-Islam,
t.tp: t.p., 1975. al-Syâfiī, Abd. Allah Muhammad ibn Idris, , al-Um, Juz II, Bairut: Dâr al-Kitab al-Ilmiah, t.th. al-Syuyutī, Abd Al-Rahmân Jalal al-Dīn, al-Dūr al-Mantsūr fī Tafsīr al-
Ma’tsūr, Juz IV, dalam CD. al-Tabary, Abû Ja’far ibn Muhammad ibn Jarîr, Jâmi al-Bayân ’an Ta’wîl Ăyât
al-Qur’ân, Jilid V, t.tp.: t.p., t.th. al-Tarkamâny, Adnân Khâlid al-Mazhab al-Iqtisâdī al-Islâmī, Jeddah: Maktabah al-Sawâdī, 1990.. Tahir, Palmawati, “Zakat dan Negara (Studi tentang Prospek Zakat dalam
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dengan Berlakunya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat),” Disertasi S3 Konsentrasi Ilmu Hukum PPS. Universitas Indonesia Jakarta, 2004.
Takidah, Erika, “Analisis Pengaruh Kualitas Jasa Badan Amil Zakat Nasional Pada Kepuasan dan Kepercayaan Muzakki,” Tesis S2 Kajian Timur Tengah PPS. Universitas Indonesia Jakarta, 2004.
Tarry, George R. Principles of Management, saduran Sujai, Bandung: Grafika, 1980.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Putaka, 1990.
‘Umar, Nasir ibn Nasir al-Dīn Abū Sa’īd ‘Abd Allah ibn, Anwâr al-Tanzīl, Juz III dalam CD.
UU No. 6/1974 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kesejahteraan Sosial ----------, No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat Wâfī , Ali Abd. al-Wâhid , Huqūq al-Insân fī al-Islâm, Qâhirah: Dâr al-
Nahdah, 1979. Weihrich, Heinz, et. al., Manajemen, Jakara: Erlangga, 1990. Winardi , J., Manajemen Perilaku Organisasi, Jakarta: Kencana, 2007. ------------, Pemikiran Sistemik dalam bidang Organisasi dan Manajemen, Jakarta:
Rajawali Press, 2005. Yafie , Ali dalam Aries Mufti, dkk., Problem Kemiskinan, Jakarta: Blantika, 2004. Yahya, Mukhtar, dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam,
Yaumi, ukâri Bi, al-Mâliyah al-‘Ămmah al-Islâmiyah, dalam Gazî ‘Inâyah “Ushûl al-Mâliyah al-‘Ămmah al-Islâmiyyah, Bairut: Dâr Ibn Hazm, 1993.
Yin, Robert K. Case Study Research Design and Methods, diterjemahkan Studi Kasus Desain & Metode, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Yusuf Qardâwi, Fiqh al‐Zakat, Juz II, al‐Qâhirah: Wahbah, ), cet. XXI, . 1994
al-Zahaeli, Wahbah, al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuhū, Juz III Damsyiq: Dar Fikr, 1997. Zahrah, Muhammad Abu, Zakat. Penerjemah Zawawy Jakarta: Pustaka Pirdaus, cet.III, 2004, Zakarīya, Abī Husâin ibn Fâris ibn, Maqâyis al--lughah, Juz III, V, T.t.p.: Dâr
Fikr, 1979 al-Zarkasy, Badr al-Din Muhammad bin ‘Abd Allah, Al-Burhân fi ‘Ulûm Al-Qur’ân, Juz IV,
Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-Araby, t.th. Zaqzûqi, Mahmûd Hamdî, (Ed.), al-Mausû’ah al-Islâmyiyah al-’Ămmah, al-
Qâhirah: Jumhuriyyah Mishr al-’Arabiyyah Wizarah al-Auqâf al-Majlis al-’A’la li al-Syuûn al-Islamiyyah, t.th.
Tabel 16: Program dan Prosentase Pendayagunaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional
No.
Nama Program Sub Program Ket.
1. Kemanusiaan a. Evakuasi Korban
b. Pelayanan
c. Kesehatan Darurat
d. Bantuan Pangan dan Sandang
e. Pembinaan Daerah Pasca Bencana
10 %
2. Kesehatan a. Jaminan Kesehatan Masyarakat Prasejahtera (Jamkestra)
b. Dokter Keluarga Pra sejahtera (DKPS)
c. Unit Kesehatan Keliling
d. Penyaluhan Kesehatan
e. Pemberian makanan bergizi, sanitasi desa prasejahtera
20 %
3. Pengembangan Ekonomi Umat
a. Bantuan Sarana Usaha
b. Pendanaan Modal Usaha
c. Pendampingan/Pembinaan
35 %
4. Dakwah a. Bina Dakwah Masyarakat
b. Bina Dakwah Masjid
c. Bina Dakwah Kampus/ Sekolah
10 %
5 Peningkatan Kualitas Sumber Daya Insani
c. Beasiswa Tunas Bangsa d. Beasiswa Pelajar Keluarga Prasejahtera
c. Pendidikan Alternatif Terpadu
d. Pendidikan Keterampilan Siap Guna
Bantuan Guru dan Sarana Pendidikan
25 %
Sumber Data: Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Badan Amil Zakat
Nasional Periode 2004‐2997, h. 9
Tabel 17 : Sumberdaya Personal Badan Amil Zakat Nasional dari sisi
Latar Belakang Keilmuan dan Profesi
No. Latar Belakang Keilmuan dan Profesi
Jumlah
01 Ulama, Pakar Agama Islam 12
02 Anggota DPR 4
03 Pengusaha 2
04 Tokoh Masyarakat 4
05 Manajemen 9
06 Sarjana Hukum 8
07 Akuntan 2
08 Ekonom 5
Jumlah 46
Sumber: Data Diolah dari Buku Annual Report 2006.
Tabel 18: Hasil Analisis Terhadap Konsep Amil Badan Amil Zakat Nasional: Dimensi,
Sumber Pembentukan Persepsi, Kategorisasi
No. Konsep Amil: Unsur‐Unsur
Dimensi Amil Sumber
Pembentukan Persepsi
Kategorisasi Konsep Amil
01 Islam Aqidah Kitab Fikih 01‐04 Syarat
Amil
02
Akil Baligh Kecakapan Syar’iy
Al‐Hadits: Muadz bin Jabal
03 Pemahaman Hukum Zakat
Hukum Islam Al‐Hadits: Muaz bin Jabal
04 Jujur dan Amanah Integritas (Moralitas)
Keputusan Dirjen Bimas Islan dan Urs. Haji .
05. Kemampuan untuk tugas keamilan
Manajerial Sda. (profesional)
06 Pendataan secara cermat
Administrasi Pandangan Badan Amil Zakat Nasional
06‐09 Tugas Pokok Keamilan: Pertama
07. Pembinan dan Penagihan
Psikologi Komunikasi
Sda
08. Mengumpulkan, Menerima Mendoakan
Tugas Inti QS. A aubah :103
09. Mengadministarsikan dan
Memeiliharanya
Administrasi, Kearsifan, Integritas
Pandangan Badan Amil Zakat Nasional
10. Pendataan mustahik Administrasi Sda 10‐13 Tugas Pokok Keamilan: kedua
11. Menghitung Kebutuhan Mustahik
Perencaan Keuangan
Sda
12. Menentukan kiat Manajemen Sda
Pendistribusia
13. Pembinaan Pasca
Mustahik Menerima Zalat
Manajemen Sda
Sumber: Hasil Kajian Penulis 2007.
Tabel 19 : Relevansi Teori Agency dengan
Konsep Amil Badan Amil Zakat Nasional
No. Teori Agency Unsur Relevansi Konsep Amil Badan Amil Zakat Nasional
1 Pemilik Saham Pemilik Modal Secara Hakiki Allah SWT
2 Direksi Syarat Kumulatiif Amil
3 Mengembangkan Perusahaan
Tugas Pokok Mengembangkan Fungsi Keamilan
Sumber : Hasil kajian Penulis 2008.
v
Tabel 20 : Iden fikasi Unsur‐Unsur Konsep Mustahik dalam Persepsi Badan Amil Zakat Nasional Dan Peluang Program Pendayagunaan Zakat
No Mustahik
Unsur‐Unsur Mustahik Peluang Program
pendayagunaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional
1. Fakir • Tidak mempunyai pendapatan tetap • Tidak mempunyai tempat tinggal
tetap menurut standar kesehatan • Tidak mempunyai asupan gizi yang
cukup • Tidak mempunyai biaya kesehatan
Kemanusiaan
Kesehatan
Pendayagunaan
2. Miskin • Mempunyai sumber pendapatan tetap, namun di bawah standar UMR
• Tidak cukup membiayai kebutuhan keluarga
• Tidak memenuhi gizi seimbang • Tidak mempunyai biaya kesehatan
Kemanusiaan
Kesehatan
Pendayagunaan
3 Amil • mempuyai mandat dari Baz atau Laz
Kontraprestasi dan Pembinaan Kelembagaan*
4. Mu’allaf • Menunjukkan surat keterangan sebagai muallaf
Disesuaikan tingkat
kebutuhan pada Jenis
Program
5. Riqâb • TKI Pengembangan Ekonomi Umat
6. Gârimīn • Surat Keterangan Mantan Pengusaha • Surat Keterangan Berutang • Muslim
Pengembangan Ekonomi
Umat
7. Fī Sabīl Allah
• Aktifitas Dakwah • Pembangunan Rumah Ibadah • Pembangunan sarana pendidikan
Dakwah
8. Ibnu al‐Sabīl
• Siswa, mahasiswa yang tidak mampu, Peningkatan Kualitas Daya Insani
Sumber: Diolah dari Hasil Wawancara dan Brosur Badan Amil Zakat Nasional
v
Tabel 21 : Relevansi Persepsi Badan Amil Zakat Nasional
mengenai Zakat dan Kerangka Teori Penelitian
(Teori Agency)
No. Unsur‐Unsur Persepsi Badan Amil Zakat Nasional terhadap Zakat
Relevansi
(Persepsi Banas & teori agency)
Teori Agency
(Kerangka Teori Penelitian)
Keterangan
1 Zakat Sebagai
Amanah
Integritas Personal dan Citra
Kelembagaan
Pengelola Dana dari Pemegang saham
Integritas
2 Fungsi Zakat Instrumen kesejahteraan mustahik
Alat untuk mencapai maksimal finansial
dan kepuasan
Pemegang saham
Manajemen
3 Pelaporan Peningkatan Kepercayaan
Pertanggungjawaban pada pemegang
Saham
Manajemen
Sumber: Hasil Kajian Penulis 2007.
Tabel 22 : Relevansi Persepsi Badan Amil Zakat Nasional Terhadap
Faktor dalam Penetapan Kebijakan Pendayagunaan dengan Kerangka Penelitian (Teori Agency dan Tagyīr al‐Aĥkâm)
No.
Faktor‐Faktor
Penetapan Kebijakan
Teori Agency Teori Tagyîr al‐Ahkâm
Relevansi
(2,3.4)
1 2 3 4 5
1 Makna Pendayagunaan
Memperoleh Hasil Maksimal
Perubahan Sosial Budaya
Manajemen
Dinamis
2 Persepsi tentang Mustahik
Subjek yang harus dikembangkan potensinya
Subjek Hukum
Fiqhiyah
Dinamis
3 Persepsi Makna Amil
Pelaksana Fungsi Kelembagaan
Perubahan Sosial Budaya
Fiqhiyah
Dinamis
4 Makna Zakat Sumber Dana ‐ Tetap
5 Perubahan Lingk.Sosekreg Mustahik
Lingkungan Pangsa Pasar
PerilakuSubjek Hukum
Perbh. SosBud
Manajemen
Dinamis
6 Dukungan Yuridis Formal
Yuridis Formal Materi Hukum Yuridis Formal
Tetap
7 Dukungan Pola Pikir Strategis Pengurus Badan Amil Zakat Nasional
Kemampuan SDM
Amil Manajemen
Dinamis
Sumber: Kajian Penulis 2007
Tabel 23 : Penyebaran Unit Salur Zakat Menurut Provinsi
Provinsi Jumlah USZ Ket
DKI Jakarta 6
Banten 2
Jawa Barat 8
Sumatera Utara 2
Jawa Tengah 1
Nusa Tenggara Barat 1
Jumlah 20
Sumber: Data diolah dari Annual Report
Badan Amil Zakat Nasional 2006
Tabel 25 : Rapat Koordinasi, Pela han dan Pembinaan oleh Badan Amil Zakat Nasional dan BAZ
Kegiatan 2005 2006 2007
Rapat Koordinasi
BAZ Prov Se Indonesia
BAZ Prov Se Indonesia
Pelatihan Strategi Fundraising
BAZ Se Prov Se Indonesia
Manajemen ZIS BAZ
Manajemen Pendayagunaan ZIS BAZ Prov se Indonesia
Pembinaan Sinergi UPZ, Pengukuran Kinerja BAZ, LAZ & UPZ
Sumber: Data Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Badan Amil Zakat Nasional 2005‐2007.
Tabel 26 : Pemetaan Pemikiran Pendayagunaan Zakat :
Perbedaan Teori Pendayagunaan dan Model Pendayagunaan Zakat Versi Badan Amil Zakat Nasional
No. Teori Pendayagunaan
M. Daud Ali
Program (Model) Pendayagunaan
Zakat Badan Amil Zakat Nasional
Perbedaan (Teori Pendayagunaan dan Model Badan Amil Zakat Nasional )
Keterangan
01. Konsumtif Tradisional
Kemanusiaan ‐TP. Mengabaikan aspek perencanaan dan evaluasi
‐Baz
Memperhatikan aspek‐aspek tersebut
02. Konsumtif Kreatif Kesehatan Sda
03. Produktif Tradisional
Pengembangan Ekonomi Umat
TP. Mengabaikan aspek perencanaan dan evaluasi
Baz
Konsep ini tidak dikenal.
04. Produktif Kreatif Pengembangan Ekonomi Umat dan Peningkatan Kualitas Sumber daya Insani
‐TP. Mengesankan aspek manajemen.
‐Bz
secara tegas menjadikan aspek manajemen sebagai objek terhadap model ini
Sumber Data: Hasil Kajian Penulis 2007.
Tabel 27 : Pemetaan Pemikiran Pendayagunaan Zakat :
Perbedaan Teori Pendayagunaan Zakat dan Model Pendayagunaan Zakat Versi Badan Amil Zakat Nasional serta Alternatif Istilah yang Relevan dengan Model Pendayagunaan Zakat
No. Teori Pendayagunaan
M. Daud Ali
Program (Model) Pendayagunaan
Zakat Badan Amil Zakat Nasional
Perbedaan (Teori Pendaya
gunaan dan Model Badan Amil Zakat Nasional )
Alternatif Istilah Yang Relevan dengan Model Badan Amil Zakat Nasional
01. Konsumtif Tradisional
Kemanusiaan ‐TP. Mengabaikan aspek perencanaan dan evaluasi
‐Baznas
Memperhatikan aspek‐aspek tersebut
Konsumtif Rasional Partisifatif (KRP)
02. Konsumtif Kreatif Kesehatan Sda Konsumtif Rasional Partisifatif (KRP)
03. Produktif Tradisional
Pengembangan Ekonomi Umat ‐
TP. Mengabaikan aspek perencanaan dan evaluasi
Baz
Konsep ini tidak dikenal.
04. Produktif Kreatif Pengembangan Ekonomi Umat dan Peningkatan Kualitas Sumber daya Insani
‐TP. Mengesankan aspek manajemen.
‐Bz
Produktif Rasional Partisifatif (PRP)
secara tegas menjadikan aspek manajemen sebagai objek terhadap model ini
Sumber: Hasil Kajian Penulis 2007.
Tabel 28 : Relevansi Istilah terhadap Model Pendayagunaan Zakat Badan Amil Zakat
Nasional dengan Kerangka Teori Penelitian (teori Agency dan Tagyīr
alAĥkâm)
No. Nama Istilah Relevansi Teori Agency Tagyīr al‐aĥkâm
01. Konsumtif Rasional Partisipatif
Baznas mengem bangkan fungsi amil dgn mencer‐ mati dan meres‐ pon perubahan lingkungan musta‐ hik. Merumuskan model pendayagu‐ naan zakat yang bersifat bantuan darurat
Mengembang ‐
kan Fungsi Amil
Merespon kea‐ daan/ peruba han lingkugan Mustahik
02. Produktif Rasional Partisipatif
Baznas mengem‐ bangkan fungsi amil dengan men‐ cermati dan meres pon perubahan
lingkungan musta hik. Merumuskan model pendayagu naan zakat yang bersifat pemberda yaan
Sda Sda
Sumber: Hasil Kajian Penulis 2007.
Tabel 29 : Mustahik dan Hasil Guna Minimal
dan Maksimal yang Diharapkan dari Zakat
No Mustahik Hasil Guna Minimal
Hasil Guna Maksimal
(diorientasikan )
1 Fuqara Memenuhi kebutuhan
dasar
Menjadi muzakki
2 Miskin Penunjang Kebutuhan
dasar
Menjadi muzakki
3 Ibnu Sabil Bekal Perjalanan Menjadi muzakki
4 Amil Honorarium Amil Profesional
5 Riqab Memerdekakan diri Menjadi muzakki
6 Gharim Bebas Utang Menjadi muzakki
7 Muallaf Cinta Islam Membela Islam secara maksimal
8 Jihad Menegakkan Islam Islam tegak secara maksimal
Sumber data: Hasil Kajian Penulis
Tabel 30 : Perbedaaan Karakteristik dalam
Transaksi Ekonomi Ribawi dan Zakat
No Riba Zakat Motivasi Hubungan antar pelaku transaksi
Dampak Sosek
1 * Pelaku:
Keuntungan Material
Ekonomi Semata
Modal Bekerja secara tunggal dan
Dinikmati pemiliknya
2 * Penerima:
Penambahan Modal atau kebutuhan
Ekonomi Semata
Beban ekonomi
3 * Muzakki: Menunaikan Ibadah
Ekonomi berbasis Persaudaraan
Jiwa Bersih dan Etos kerja meningkat
4 * Amil: Amanah dan Ibadah
Ekonomi
Berbasis Persaudaraan
Upaya Pemberdayaan
5 * Mustahik Ekonomi berbasis Persaudaraan
Mencapai Kemaslahatan Mustahik
Sumber data: Kajian Penulis 200
v
Tabel 1: Perkembangan Kemiskinan di Indonesia
2000‐2006
No. Tahun Jumlah Penduduk Miskin
Ket.
1. 2001 37.90 juta jiwa 2. 2002 38.40 juta Jiwa 3. 2003 37.40 juta jiwa 4. 2004 36.10 juta jiwa 5. 2005 35.10 juta jiwa 6. 2005 39.05 juta jiwa
Sumber: BPS dimuat di Harian Republika,
15 Desember 2006, h. 1.
Recommended