View
13
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN
TESIS
OLEH
VICTOR ZILIWU NIM. 117005106/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2015
Universitas Sumatera Utara
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH
VICTOR ZILIWU NIM. 117005106/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2015
Universitas Sumatera Utara
Judul Tesis : PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN
Nama Mahasiswa : VICTOR ZILIWU Nomor Pokok : 117005106/HK Program Studi : ILMU HUKUM
Menyetujui : Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. SYAFRUDDIN KALO, SH., M.HumK e t u a
)
(Dr. MAHMUD MULYADI, SH., M.HumA n g g o t a
)
(Dr. MADIASA ABLISAR, SH., M.HumA n g g o t a
)
Ketua Program Studi Ilmu Hukum, D e k a n,
(Prof. Dr. SUHAIDI, SH., MH
)
(Prof. Dr. RUNTUNG, SH., M.Hum
)
Lulus tanggal : 13 Agustus 2015 Telah diuji pada
Universitas Sumatera Utara
Tanggal : 13 Agustus 2015 PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Dr. SYAFRUDDIN KALO, SH., M.Hum. Anggota : 1. Dr. MAHMUD MULYADI, SH., M.Hum. 2. Dr. MADIASA ABLISAR, SH., M.Hum. 3. Dr. HAMDAN, SH., M.Hum. 4. Dr. MARLINA, SH., M.Hum.
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.-
Medan, Agustus 2015
Yang Membuat Pernyataan,
Penulis,
NIM. 117005106
VICTOR ZILIWU
Universitas Sumatera Utara
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA
DI POLRESTA MEDAN Oleh :
Victor Ziliwu *
Syafruddin Kalo ) **
Mahmud Mulyadi **) )
Madiasa Ablisar **)
ABSTRAK UU Narkotika dan UU Psikotropika mengamanatkan kewajiban untuk menjalani
perawatan dan pengobatan atau rehabilitasi bagi pecandu narkoba. Ketentuan mengenai “kewajiban” untuk menjalani rehabilitasi bagi pengguna yang mengalami kecanduan, dalam UU Psikotropika diatur dalam Pasal 36 s/d Pasal 39 dan pada UU Narkotika diatur dalam Pasal 45. Pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana dan sekaligus sebagai korban, dengan berdasarkan pada Pasal 103 UU Narkotika, Mahkamah Agung RI mengeluarkan terobosan dengan mengeluarkan beberapa surat edaran, antara lain : Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi yang dituangkan ke dalam Surat No. 07/BUA.6/HS/SP/III/2009 tertanggal 17 Maret 2009 (selanjutnya disingkat SEMA No. 07 Tahun 2009); dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No. 04 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial (selanjutnya disingkat SEMA No. 04 Tahun 2010). Akibat dari SEMA No. 07 Tahun 2009 dan dilanjutkan dengan SEMA No. 04 Tahun 2010 dikaitkan dengan penegakan hukum pidana terhadap pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Polresta Medan, bagi Penyidik kesulitan menentukan apakah seseorang yang tertangkap tangan dengan barang bukti dibawah SEMA No. 07 Tahun 2009 termasuk ke dalam kategori pengguna ataukah pecandu. Karena kedua-duanya adalah selaku korban kejahatan tindak pidana narkotika. Kesulitan tersebut terjadi, karena banyaknya pelaku yang tertangkap tangan membawa barang bukti narkoba sebanyak yang ditentukan dalam SEMA No. 07 Tahun 2009 adalah seorang residivis, dan lebih parah lagi, malahan pelaku tersebut adalah seorang bandar narkoba kelas kakap. Hambatan-hambatan lain juga dihadapi oleh Penyidik Polresta Medan dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana narkotika.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat penelitian deskriptif analisis. Menggunakan metode pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan yaitu menghimpun data-data yang berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah, maupun majalah-majalah yang berhubungan dengan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika. Wawancara juga dilakukan untuk mendapatkan data-data sekunder. Sumber data menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum
*) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Lalu dianalisa dengan menggunakan metode analisa kualitatif, abstraktif, interpretatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi Satres Narkoba Polresta Medan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika, sebagai berikut : SEMA No. 04 Tahun 2010 tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, namun, SEMA tersebut mengikat para hakim yang menjatuhkan hukuman, karena pengadilan merupakan salah satu unsur dalam Sistem Peradilan Pidana; Keterbatasan personil, anggaran, dan kemampuan penyidik Satres Narkoba Polresta Medan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika. Personil yang ada hanya berjumlah 81 orang, namun, tidak kesemuanya dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan karena sudah termasuk pimpinan-pimpinan yang disebut dengan Kepala Satuan maupun Kepala Unit. Anggaran yang diberikan oleh Polda Sumut juga sangat minim, hanya dapat menyelesaikan + 15 (Kurang Lebih Lima Belas) perkara tindak pidana narkotika, sedangkan perkara yang masuk berjumlah + 1.000 (Kurang Lebih Seribu) perkara tindak pidana narkotika yang dilaporkan dan ditangani oleh Satres Narkoba Polresta Medan. Belum lagi ditambah dengan kemampuan penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap peredaran narkotika; SEMA No. 04 Tahun 2010 sering digunakan Penyidik untuk melepaskan Pecandu Narkotika, hal ini dikarenakan anggaran yang disediakan oleh pemerintah tidaklah cukup untuk melakukan penyidikan. Sehingga sangat rentan sekali suap terjadi kepada Penyidik; Adapun solusi-solusi yang didapat untuk menyelesaikan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan terhadap tindak pidana narkoba dikaitkan dengan SEMA No. 04 Tahun 2010, yaitu : Melakukan peninjauan ulang/review terhadap SEMA No. 04 Tahun 2010 dan membuat aturan pelaksanaan dan aturan teknis dalam hal rehabilitasi sebagai pelaksanaan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dapat berupa Peraturan Pemerintah; Menambah personil, anggaran, dan peningkatan kemampuan Penyidik Polresta Medan; Memberikan penyuluhan dan sosialisasi terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 yang baru kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi tahu tentang adanya peraturan perundang-undangan yang baru disahkan dan tidak menjadi buta hukum. Sebaiknya penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Satres Narkoba Polresta Medan didukung dalam hal personil, anggaran, dan peningkatan kemampuan penyidik oleh Polda Sumut dengan melakukan penambahan personil, penambahan anggaran, dan meningkatkan kemampuan penyidik. Kata Kunci : - Penegakan Hukum Pidana
- Pengguna Narkotika - Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Polresta Medan
Universitas Sumatera Utara
CRIMINAL LAW ENFORCEMENT AGAINST NARCOTICS USERS ACTORS AS CRIME OF NARCOTICS POLICE IN MEDAN
By :
Victor Ziliwu *
Syafruddin Kalo ) **
Mahmud Mulyadi **) )
Madiasa Ablisar **)
ABSTRACT Law on Narcotics and Psychotropic Substances Act mandates an obligation to
undergo treatment and the treatment and rehabilitation of drug addicts. The provisions concerning the "obligation" to undergo rehabilitation for users who experience addiction, in the Psychotropic Law stipulated in Article 36 s / d of Article 39 and the Narcotics Act under Article 45. Users of narcotics as criminals and at the same time as the victim, based on Article 103 Narcotics Act, the Supreme Court issued a breakthrough by issuing several circulars, among others: Circular of the Supreme Court (SEMA) No. 07 Year 2009 concerning the Placing to Drug Users In Nursing and Rehabilitation Therapy poured into Letter No. 07 / BUA.6 / HS / SP / III / 2009 dated March 17, 2009 (hereinafter referred to as SEMA No. 07 of 2009); and Circular of the Supreme Court (SEMA) No. 04 Year 2010 concerning the Stipulation of abuse, and to the Narcotic Addict Rehabilitation In the Institute of Medical and Social Rehabilitation (hereinafter referred to as SEMA No. 04 of 2010). As a result of SEMA No. 07 in 2009 and continued with the SEMA No. 04 The year 2010 is associated with criminal law enforcement against drug users as criminals narcotics in Medan Police, the Investigator difficulty determining whether a person is caught red-handed with evidence under SEMA No. 07 The year 2009 belongs to the category of users or addicts. Because both are victims of crime as narcotic crime. The difficulty occurs because many actors are caught with evidence of drugs as defined in the SEMA No. 07 The year 2009 was a recidivist, and worse, even the perpetrator is a high profile drug dealer. Other constraints are also faced by the Police investigator in the field of law enforcement narcotic crime.
This research is legal normative descriptive analysis. Using the method of data collection by the research literature that collect data derived from books, legislation, scientific journals, and magazines relating to the rehabilitation for drug abuser. Interviews were also conducted to obtain secondary data. Source data using secondary data consists of primary legal materials, secondary law, and tertiary legal materials. Then analyzed using qualitative analysis method, abstractive, interpretive.
The results showed that: The obstacles faced by drug Satres Medan Police in conducting an investigation into the crime of narcotics, as follows: SEMA No. 04 Year 2010 can not be categorized as legislation, however, the SEMA binding on the judge who sentenced him, because the court is one element in the Criminal Justice System;
*) Students Master of Law, Faculty of Law, University of North Sumatra **) Lecturer of Master of Law, Faculty of Law, University of North Sumatra
Universitas Sumatera Utara
Limitations of personnel, budget, and the ability of field investigators Satres Drug Police in the investigation and criminal investigations of narcotics. Existing personnel amounted to only 81 people, however, not all of which can conduct an inquiry and investigation because it includes leaders called the Head of Unit and the Head Unit. Budget provided by the North Sumatra Police also very minimal, can only resolve +15 (Approximately Fifteen) narcotic crime cases, while cases that go totaling + 1,000 (Less More Thousand) narcotic crime cases reported and handled by the Police Drug Satres field. Not to mention the ability of investigators to conduct investigations against drug trafficking; SEMA No. 04 The year 2010 is often used to release Addicts Narcotics Investigator, this is because the budget provided by the government is not enough to conduct an investigation. So it is very susceptible to bribery occurred Investigator; The solutions are obtained to complete the obstacles faced by the Police Narcotics Investigator Satres field against the crime of drug is associated with SEMA No. 04 Year 2010, namely: Doing reconsideration / review of the SEMA No. 04 in 2010 and made the implementation rules and technical rules in terms of rehabilitation as the implementation of Article 103 of Law No. 35 Year 2009 on Narcotics, can be government regulation; Add personnel, budgets, and increase the ability of Medan Police Investigator; Provide education and socialization of the Draft Regulation on the implementation of Article 103 of Law No. 35 of 2009 that are new to the community so that the community becomes aware of the existence of legislation recently passed and do not become legally blind. Should the investigation and the investigations conducted by the Police Drug Satres Medan supported in terms of personnel, budget, and increased capacity by the North Sumatra Police investigators by providing additional personnel, additional budget, and improve the ability of investigators. Keywords : - Criminal Law Enforcement - Users Narcotics - Actors in the Police Narcotics Crime Medan
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis hingga penulis masih diberikan kesehatan dan
kesempatan serta kemudahan dalam mengerjakan tesis ini.
Pada penulisan tesis ini, penulis dengan ketulusan hati, mengucapkan terima kasih
sebesaar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :
1. Bapak AKBP. Mardiaz Kusin Dwihananto, S.Ik, M.Hum. sebagai Kapolresta
Medan yang telah memberikan kesempatan dan Motivasi mengikuti studi di
Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Sumatera Utara.
2. Prof. Subhilhar, Ph.D, sebagai Pejabat Rektor Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Program Magister (S2)
dan Doktor (S3) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program Magister
(S2) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing I
pada saat penulis menjalani studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang telah memberikan motivasi dan dorongan kepada penulis dan
mengajarkan serta membimbing penulis untuk menulis dengan benar agar
menghasilkan karya tulis yang baik.
7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II yang
memberikan pengarahan kepada penulis sehingga penulis dapat mengejar waktu
wisuda tepat pada waktunya.
8. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing III yang
juga memberikan masukan kepada penulis tentang penulisan penelitian yang baik.
Universitas Sumatera Utara
9. Bapak Dr. Hamdan, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Penguji I juga telah
memberikan kritikan dan sarannya dalam penulisan penelitian ini menjadi lebih
baik.
10. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Penguji II yang telah memberikan
masukan yang sangat baik demi penulisan penelitian ini.
11. Para Dosen dan Tata Usaha Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah membantu selama penulis menjalani studi di Sekolah
Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
12. Terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua saya Ayahanda B.
Ziliwu dan Ibunda T. Br. Sihombing, yang selalu mendoakan, mencurahkan
segenap kasih sayangnya dan segala pengorbanannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
13. Terima kasih penulis kepada isteri saya Raminalai Dakhi serta anak-anakku,
Natascha Adeline Ziliwu dan Clairine Isabelle Ziliwu yang sangat memberikan
motivasi kepada penulis dan doanya sehingga dapat menyelesaikan studi di
Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
14. Tidak ketinggalan terima kasih kepada sahabat-sahabatku rekan mahasiswa, sudah
membantu selama penyelesaian tesis, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya
satu-persatu.
Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak
yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di
Indonesia.
Medan, Agustus 2015
Hormat Saya,
Penulis,
NIM. 117005106
VICTOR ZILIWU
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI NAMA : VICTOR ZILIWU TMPT /TGL LAHIR : GUNUNG SITOLI 14 MARET 1982 PANGKAT/NRP : AJUN KOMISARIS POLISI/ NRP 82031263 JABATAN : WAKASAT RESKRIM POLRESTA
MEDAN KESATUAN : KEPOLISIAN RESOR KOTA MEDAN AGAMA : KATOLIK NAMA AYAH : B. ZILIWU NAMA IBU : T. BR SIHOMBING NAMA ISTERI : RAMINALAI DAKHI ANAK PERTAMA : NATASCHA ADELINE ZILIWU ANAK KEDUA : CLAIRINE ISABELLE ZILIWU SUKU / BANGSA : NIAS / INDONESIA E-MAIL : ziliwu2004@gmail.com
II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
1. PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH UMUM
a. SD : SD NEGERI 1, GUNUNG SITOLI lulus tahun : 1994
b. SMP : SMP NEGERI 1, GUNUNG SITOLI lulus tahun : 1997
c. SMA : SMU SANTA MARIA, MEDAN lulus tahun : 2000
2. PENDIDIKAN TINGGI
a. S1 : FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, MEDAN, (2007 – 2009)
b. S2 : PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, MEDAN, (2011 – 2015)
3. PENDIDIKAN KEPOLISIAN
a. AKADEMI KEPOLISIAN, (2001 – 2004); b. PERGURUAN TINGGI ILMU KEPOLISIAN JAKARTA, (2009 – 2011)
Universitas Sumatera Utara
III. RIWAYAT JABATAN : a. KA. SPK POLRES SIMALUNGUN, IPDA, 2005; b. KANIT IDIK SAT NARKOBA POLRES SIMALUNGUN, IPDA, 2005; c. KANIT RESKRIM POLSEK BANGUN, POLRES SIMALUNGUN,
IPDA, 2006; d. KANIT 1 SAT RESKRIM POLRES SIMALUNGUN, IPDA, 2007; e. DANTONTAR AKPOL, IPTU, 2008; f. PAMA POLDA SUMUT/LULUSAN PTIKA ANGK. LVI, AKP, 2011; g. KANIT RESKRIM POLSEKTA MEDAN SUNGGAL, AKP, 2012; h. KASAT NARKOBA POLRES TEBING TINGGI PANGKAT : AKP,
2012; i. WAKASAT NARKOBA POLRESTA MEDAN PANGKAT : AKP 2013; j. WAKASAT RESKRIM POLRESTA MEDAN PANGKAT : AKP 2014.
VI. TANDA JASA :
- SATYA LENCANA WIDIASISTHA; - SATYA LENCANA KESETIAAN 8 TAHUN.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI Lembar Pengesahan .................................................................................................... ii Pernyataan ................................................................................................................... v Abstrak ......................................................................................................................... vi Abstract ......................................................................................................................... viii Kata Pengantar ........................................................................................................... x Daftar Riwayat Hidup ................................................................................................ xiii Daftar Isi ...................................................................................................................... xv Daftar Tabel ................................................................................................................. xix BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .......................................................................... 14 C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 15 D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 15 E. Keaslian Penelitian ......................................................................... 16 F. Kerangka Teori dan Konsep ........................................................... 17
1. Kerangka Teori ........................................................................ 17 a. Teori Sistem Peradilan Pidana (SPP) atau Criminal Justice
System (CJS) ..................................................................... 18 b. Teori Sistem Hukum ........................................................ 22
2. Kerangka Konsep .................................................................... 30 G. Metode Penelitian ........................................................................... 32
1. Jenis Penelitian ........................................................................ 34 2. Sumber Data ............................................................................ 35 3. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 37 4. Analisis Data ........................................................................... 38
BAB II : PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PROSES PENYIDIKAN
TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA .................................................... 39 A. Penyelidikan ................................................................................... 39
1. Pengertian Penyelidikan ........................................................... 39 a. Penyelidikan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana ....................................................................... 39 b. Penyelidikan Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun
2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana ........ 41 2. Fungsi dan Wewenang Penyelidik ........................................... 45
a. Menerima Laporan dan Pengaduan .................................... 46 b. Mencari Keterangan dan Barang Bukti .............................. 48 c. Menyuruh Berhenti Orang Yang Dicurigai ........................ 48 d. Tindakan Lain Menurut Hukum ......................................... 49
3. Jenis-jenis Tindakan Dalam Penyelidikan ............................... 50 B. Penyidikan ...................................................................................... 54
Universitas Sumatera Utara
1. Pengertian Penyidikan .............................................................. 54 a. Penyidikan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) ................................................................ 54 b. Penyidikan Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012
tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana ................. 63 2. Fungsi dan Wewenang Penyidikan .......................................... 64 3. Upaya Paksa Dalam Penyidikan ............................................... 66
C. Dasar Hukum Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Narkotika Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika .................................................... 69
D. Proses Penyidikan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pengguna Narkotika Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika ..................... 74 1. Proses Penyidikan Oleh Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan
Dalam Mengungkap Kasus Tindak Pidana Narkotika ............. 77 a. Menerima Laporan ............................................................. 77 b. Melakukan Tindakan Pertama ............................................ 78 c. Melakukan Penangkapan .................................................... 79 d. Melakukan Penggeledahan ................................................. 80 e. Melakukan Penyitaan ......................................................... 80 f. Melakukan Pemeriksaan Tersangka dan Saksi .................. 81 g. Melakukan Penahanan ........................................................ 83 h. Melakukan Pelimpahan Berkas Perkara Berikut Tersangkanya
Kepada Kejaksaan .............................................................. 84 2. Proses Penyidikan Oleh Penyidik BNN RI Dalam Mengungkap
Kasus Tindak Pidana Narkotika ............................................... 85 E. Proses Penyidikan Terhadap Pengguna Narkotika Yang Tertangkap
Tangan Dihubungkan Dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi dan Rehabilitasi Sosial ......................................................................................................... 90
BAB III : HAMBATAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP
PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN .......................................... 93 A. Hambatan Substansi Hukum ........................................................ 96
1. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi … ......................................................................... 100
2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi dan Rehabilitasi Sosial ....................... 106
B. Hambatan Struktur Hukum Bagi Penyidik Polresta Medan Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Narkotika ....................... 111 1. Hambatan Keterbatasan Personil Penyidik Polresta Medan .. 112 2. Hambatan Keterbatasan Anggaran Polresta Medan ............... 117
Universitas Sumatera Utara
3. Hambatan Kemampuan Penyidik Dalam Proses Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Narkotika ....................................... 122
C. Hambatan Budaya Hukum Berupa Suap Kepada Petugas ........... 124 BAB IV : UPAYA UNTUK MENANGANI HAMBATAN DALAM
PENYIDIKAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN ................................................................................................ 129 A. Meninjau Kembali Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 07
Tahun 2009 dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 .............................................................................................. 129
B. Menambah Personil, Anggaran, dan Peningkatan Kemampuan Penyidik Satuan Reserse Narkoba Polresta Medan ..................... 132
C. Mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Terkait Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ......................................... 133
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 135
A. Kesimpulan .................................................................................. 135 B. Saran ............................................................................................. 137
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 139
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL Tabel 1. Penelitian Terdahulu .................................................................................. 16 Tabel 2. Perbedaan Laporan dan Pengaduan ........................................................... 46 Tabel 3. Data Personel Satres Narkoba Polresta Medan Bulan Desember 2014.... .. 114 Tabel 4. Pendistribusian Anggaran DIPA-RKA K/L T.A. 2013 Polresta Medan .... 118 Tabel 5. Pendistribusian Anggaran DIPA-RKA K/L T.A. 2014 Polresta Medan .... 119 Tabel 6. Data Kasus Narkoba Jajaran Polresta Medan Tahun 2013 ........................ 120 Tabel 7. Data Kasus Narkoba Jajaran Polresta Medan Tahun 2014 ........................ 121
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap kejahatan pasti ada pelakunya, dan kejahatan yang dilakukan juga ada
korbannya. Setiap terjadinya suatu kejahatan akan menimbulkan kerugian yang sangat
besar pada korbannya, baik kerugian bersifat materil maupun bersifat immateril.
Sedangkan, penderitaan yang dialami korban kejahatan sangat relevan untuk dijadikan
instrumen atau pertimbangan bagi penjatuhan pidana kepada pelaku, akan tetapi,
sebenarnya penderitaan-penderitaan yang dialami oleh pelaku karena dipidana tidak ada
hubungannya dengan penderitaan korban kejahatan.1
Tindak pidana narkotika diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika dahulu diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika (selanjutnya disingkat UU Narkotika), sedangkan tindak pidana psikotropika
diatur dalam Undang-Undang No. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika (selanjutnya disingkat UU Psikotropika).
Dalam kaitannya dengan tindak pidana narkotika, korban kejahatan tindak pidana
narkotika adalah pengguna narkotika, sedangkan pelaku kejahatan tindak pidana
narkotika tersebut adalah pengedar dan produsen narkotika. Dalam ketentuan UU
Narkotika, “pengguna narkotika” diatur dalam Pasal 116, Pasal 121, Pasal 126, Pasal 127,
1 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 24, menyatakan bahwa : “Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastika akan menimbulkan kerugian pada korbannya. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, tidak memperleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Kaibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan tidak dipedulikan”.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 128, Pasal 134, dan dalam UU Psikotropika diatur dalam Pasal 36, 37, Pasal 38,
Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 59 ayat (1) huruf a, b dan Pasal 62.
Implikasi yuridis ketentuan Pasal 4 huruf d, Pasal 54 dan Pasal 127 UU Narkotika
digunakan untuk menentukan pengguna narkotika korban atau pelaku, yaitu pengguna
narkotika sebagai pelaku tindak pidana dan sekaligus sebagai korban. Pada dasarnya,
“pengedar” narkotika dalam terminologi hukum dikategorikan sebagai pelaku (dader),
akan tetapi, “pengguna” dapat dikategorikan baik sebagai “pelaku dan/atau korban”.
Selaku korban, maka “pengguna” narkotika adalah warga negara yang harus dilindungi
serta dihormati hak-haknya baik dalam proses hukum maupun dimensi kesehatan dan
sosial.2
Adapun tujuan diterapkannya UU Narkotika dapat dilihat pada Pasal 4, yang
menyatakan bahwa :
Bagaimana menentukan seorang pelaku tindak pidana narkotika tersebut sebagai
seorang pelaku dan/atau korban merupakan permasalahan utama yang dihadapi penegak
hukum.
“Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan : a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan Narkotika; c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah
Guna dan Pecandu Narkotika”.
Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang
pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi
2 Satrio Putra Kolopita, “Penegakan Hukum Atas Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika”, Jurnal Lex Crimen, Vol. II, No. 4, Agustus 2013, hal. 66.
Universitas Sumatera Utara
lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan
seksama.3 Adapun jenis-jenis kejahatan tindak pidana narkotika, yaitu : mengimpor,
mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau
menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yan gketat dan seksama
serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena sangat merugikan dan
merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan
negara serta ketahanan nasional Indonesia.4
Penyalahgunaan narkotika di Indonesia telah sampai kepada titik yang
mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional
(selanjutnya disingkat BNN)
5 bekerjasama dengan Puslitkes Universitas Indonesia Tahun
2014 tentang Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia,
diketahui bahwa angka prevalensi penyalahguna narkoba di Indonesia telah mencapai
2,18% atau sekitar 4.022.702 orang dari total populasi penduduk (berusia 10 s/d 59
tahun). Hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa adanya penurunan prevalensi
penyalahguna narkoba di Indonesia dari 2,23% pada tahun 2011 menjadi 2,18% pada
tahun 2014.6
3 Bagian Menimbang huruf c. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Sedangkan jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia mengalami
4 Bagian Menimbang huruf d. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 5 Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah sebuah Lembaga Pemerintah Non-Kementerian
(LPNK) Indonesia yang mempunyai tugas pemerintahan di bidang pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. BNN dipimpin oleh seorang Kepala yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Dasar hukum BNN adalah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebelumnya, BNN merupakan lembaga non-struktural yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2002, yang kemudian diganti dengan Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2007.
6 Badan Narkotika Nasional RI, “Laporan Kinerja Badan Narkotika Nasional Tahun 2014”, Jakarta, Februari 2015, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
peningkatan dari waktu ke waktu. Hasil penelitian tahun 2008, jumlah penyalahguna
narkoba mencapai + 3,3 juta orang. Kemudian tahun 2011 menjadi + 3,8 juta orang dan
pada tahun 2013 mencapai lebih dari + 4 juta orang.7
Menurut data terakhir yang dihimpun BNN dan Direktorat Tindak Pidana
Narkoba Bareskrim Polri terjadi peningkatan kasus pada 5 (lima) tahun terakhir yaitu dari
tahun 2008-2012 jumlah kasus kejahatan tindak pidana narkotika sebanyak 77.256 kasus,
sedangkan, kasus tindak pidana psikotropika sebanyak 23.073 kasus dan bahan adiktif
lainnya sebanyak 46.120 kasus.
8
Sementara itu, perkembangan kasus penyalahgunaan narkoba dari tahun ke tahun
terus meningkat. Berdasarkan data yang dilaporkan, sebanyak 13.985 laporan masyarakat
terkait tindak pidana masuk ke Polresta Medan sepanjang tahun 2013. Sedangkan untuk
kasus narkoba, pada tahun 2012 personil Sat Res Narkoba berhasil mengungkap 789
kasus, pada tahun 2013 berhasil mengungkap 1010 kasus.
9
Di dalam menanggulangi peredaran dan penyalahgunaan narkotika yang cukup
tinggi tersebut, maka telah diberlakukan berbagai regulasi tentang pemberantasan
kejahatan narkotika. Regulasi tersebut, antara lain :
1. Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonantie) Stbl. 1927 No. 278 Jo.
No. 536 yang mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius;10
7 Media Online Okezone.com, “BNN Khawatir Dengan Jumlah Pengguna Narkoba di Indonesia”, diakses Selasa, 14 April 2015.
8 Badan Narkotika Nasional RI, “Sosialisasi Penelitian BNN Tahun 2012”, dilaksanakan di Denpasar, Bali, 10 April 2013.
9 Harian Andalas, “Laporan Masuk ke Polresta Medan Selama 2013”, diterbitkan Selasa, 31 Desember 2013.
10 I Nyaman Nurjana, “Penanggulangan Kejahatan Narkotika : Eksekusi Hak Perspektif Sosiologi Hukum”, Jurnal Legality, 2010, hal. 5, menyatakan bahwa : “Sebelum Indonesia merdeka, pada masa pemerintahan kolonial Belanda ditetapkan Ordonansi Obat Bius yang disebut Verdoovende Middellen
Universitas Sumatera Utara
2. Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika;
3. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Selain itu, ada berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang
melaksanakan dan memperjelas aturan-aturan UU Narkotika tersebut, yaitu :
1. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
2. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor
Pecandu Narkotika;
3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 46 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu Penyalahguna, dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika Yang Dalam Proses Atau Yang Telah Diputus Oleh
Pengadilan;
4. Peraturan Menteri Kesehatan No. 2415/MENKES/PER/XII/2011 tentang
Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahguna Narkotika;
5. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 Tahun 2010 dan Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 03 Tahun 2011.
Lahirnya, UU Narkotika dan UU Psikotropika, telah terjadi kriminalisasi terhadap
penyalahguna narkoba.11
Ordonantie (Staatsblad 1927 No. 278 Jo. 536). Selain itu, juga diberlakukan ketentuan pembungkusan candu yang disebut Opium Verpakkings Beppalingen (Staatsblad 1927 No. 514). Setelah Indonesia merdeka, kedua instrumen hukum kolonial Belanda tersebut tetap diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945”.
Ketentuan pidana pada UU Psikotropika diatur dalam Pasal 59
11 Dit.Bimmas Polri, “Penanggulangan Penyalahgunaan Bahaya Narkotika”, Jakarta, Dit.Bimmas Polri, 2000. Lebih lanjut lihat : A. Hadiyanto, “Model Alternatif Pembinaan Narapidana Narkotika Dalam
Universitas Sumatera Utara
s/d Pasal 64, sedangkan pada UU Narkotika diatur dalam Pasal 78 s/d Pasal 99.
Pengelompokan kejahatan pada UU Narkotika dan UU Psikotropika pada dasarnya tidak
berbeda, yaitu kejahatna yang menyangkut produksi, peredaran, penguasaan,
penggunaan, dan kejahatan lain misalnya menyangkut pengobatan dan rehabilitasi, label
dan iklan, transito, pelaporan kejahatan, dan pemusnahan.
UU Narkotika dan UU Psikotropika mengamanatkan kewajiban untuk menjalani
perawatan dan pengobatan atau rehabilitasi bagi pecandu narkoba. Ketentuan mengenai
“kewajiban” untuk menjalani rehabilitasi bagi pengguna yang mengalami kecanduan,
dalam UU Psikotropika diatur dalam Pasal 36 s/d Pasal 39 dan pada UU Narkotika diatur
dalam Pasal 45.
Pemakai atau pecandu narkotika dalam perspektif hukum merupakan seorang
pelaku pidana. Namun, apabila dicermati dengan lebih seksama, banyak kalangan
berpendapat bahwa sebenarnya mereka merupakan korban dari sindikat atau mata rantai
peredaran dan perdagangan narkotika, psikotropika dan obat terlarang. Pecandu
merupakan pangsa pasar utama sebagai “pelanggan tetap”. Secara psikologis, mereka
sulit melepaskan diri dari ketergantungan, walaupun mungkin, sebenarnya mereka ingin
lepas dari jeratan narkotika yang membelitnya. Pecandu memerlukan penanganan yang
berbeda dalam proses pemidanaannya. Berdasarkan pandangan tersebut, maka
“penghukumannya” pun pelru dilakukan tersendiri, dengan pola penanganan, pembinaan,
dan perlakuan yang berbeda pula.
Pembangunan Nasional Studi Pelaksanaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Kendal”, (Yogjakarta : Tesis, Program Pascasarjana Undip, 2014), hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
Pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana dan sekaligus sebagai korban,
dengan berdasarkan pada Pasal 103 UU Narkotika, Mahkamah Agung RI mengeluarkan
terobosan dengan mengeluarkan beberapa surat edaran, antara lain :
1. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No. 07 Tahun 2009 tentang
Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi yang
dituangkan ke dalam Surat No. 07/BUA.6/HS/SP/III/2009 tertanggal 17 Maret
2009 (selanjutnya disingkat SEMA No. 07 Tahun 2009);
2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No. 04 Tahun 2010 tentang
Penetapan Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga
Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial (selanjutnya disingkat SEMA No. 04
Tahun 2010).
Adapun SEMA No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke
Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi, bagi pecandu dan pengguna narkotika sebagai
pelaku tindak pidana narkotika harus dimasukkan ke dalam Panti Rehabilitasi yang ada di
seluruh Indonesia. Tetapi Surat Edaran ini tidak mewajibkan kepada setiap hakim untuk
menjatuhkan sanksi tindakan melainkan hanya tuntunan kepada pecandu dan pengguna
narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika agar dimasukkan ke
dalam panti rehabilitasi.12
12 Dasar pembentukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) adalah sebagai perintah Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Agung. SEMA dapat digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan dan memiliki kekuatan hukum mengikat seperti yang ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011. Dari segi kewenangan SEMA dibentuk berdasarkan kewenangan pengaturan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung. Pengaturan tersebut berkaitan dengan fungsi lainnya yaitu administrasi, nasehat, pengawasan, dan peradilan.
Isi dari Surat Edaran tersebut, adalah sebagai berikut:
Dilihat dari subjek penggunaannya, SEMA dapat digolongkan ke dalam aturan kebijakan (bleidsregel), karena SEMA sendiri biasanya ditujukan kepada hakim, panitera, dan jabatan lain di
Universitas Sumatera Utara
1. “Memperhatikan bahwa sebagian besar dari Narapidana dan tahanan kasus narkoba adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan;
2. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) pada saat ini tidak mendukung
karena dampak negatif keterpengaruhan oleh perilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika akan semakin berat.
Oleh karena itu diharapkan para Hakim sedapat mungkin menerapkan pemidanaan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 41 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Narkotika, yang dikutip sebagai berikut: a) Pasal 41 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika :
Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan.
b) Pasal 47 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika :
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat : a. Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
3. Penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 Undang-
Undang No. 5 Tahun 1997 dan Pasal 47 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 hanya dapat dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana sebagai berikut:
pengadilan. Selain itu, bentuk formal SEMA sendiri lebih mendekati peraturan kebijakan ketimbang peraturan perundang-undangan pada umumnya. Namun, jika dilihat lebih dalam lagi dari segi isi, tidak semua SEMA dapat begitu saja digolongkan sebagai aturan kebijakan (bleidsregel). Faktanya dari 369 SEMA yang dapat diinventarisir dengan mengenyampingkan keberlakuan tiap-tiap SEMA tersebut, terdapat 25 SEMA yang dapat dikategorikan berfungsi sebagai peraturan atau regel dan 344 lainnya berfungsi sebagai peraturan kebijakan atau beleidsregel. Lebih lanjut lihat : Irwan Adi Cahyadi, “Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Dalam Hukum Positif di Indonesia”, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2014, hal. 16-19.
Universitas Sumatera Utara
1. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik dalam kondisi tertangkap tangan;
2. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir 1 di atas, ditemukan barang bukti satu kali pakai. Contoh : - Heroin/Putauw : maksimal 0,15 gram - Kokain : maksimal 0,15 gram - Morphin : maksimal 0,15 gram - Ganja : maks 1 linting rokok dan/atau 0,05 gr - Ekstacy : maksimal 1 butir/tablet - Shabu : maksimal 0,25 gram - Dan lain-lain termasuk dalam narkotika Golongan I s/d III dan
Psikotropika Golongan I s/d IV; 3. Surat keterangan uji laboratoris positif menggunakan narkoba berdasarkan
permintaan Penyidik; 4. Bukan residivis kasus narkoba; 5. Perlu surat keterangan dari Dokter Jiwa/Psikiater (Pemerintah) yang
ditunjuk oleh Hakim; 6. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan merangkap menjadi
pengedar/produsen gelap narkoba.
4. Dalam hal Hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri Terdakwa, Majelis harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi terdekat, dalam amar putusannya tempat-tempat rehabilitasi dimaksud adalah: 1. Unit Pelaksana Teknis T&R BNN Lido Bogor; 2. Rumah Sakit Ketergantungan Obat, Cibubur Jakarta dan di Seluruh
Indonesia (Departemen Kesehatan RI); 3. Panti Rehabilitasi Depsos RI dan UPTD; 4. Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia; atau 5. Tempat-tempat rujukan panti rehabilitasi yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan atau Departemen Sosial (dengan biaya sendiri);
5. Untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, hakim harus dengan
sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi/taraf kecanduan Terdakwa sehingga wajib diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi adalah sebagai berikut: a. Detoxifikasi lamanya 1 (satu) bulan; b. Primary program lamanya 6 (enam) bulan; c. Re-entry program lamanya 6 (enam) bulan”.13
13 Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.
Universitas Sumatera Utara
Secara tidak langsung Surat Edaran ini juga membenarkan penjatuhan sanksi
tindakan oleh Hakim. Tetapi masih juga tidak mewajibkan dan masih memberikan ruang
kepada Hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana karena surat edaran hanyalah himbauan
Hakim Agung kepada seluruh Hakim di seluruh Pengadilan jadi tidak ada daya hukum
yang mengikat untuk melaksanakannya. Penjatuhan hukuman berupa sanksi tindakan
memang merupakan sarana alternatif untuk penanggulangan kejahatan narkotika dan
psikotropika karena kemanfaatan hukum dapat dicapai untuk itu, tetapi sarana dan
prasarananya juga harus disediakan Pemerintah. Pemerintah tidak bisa menyerahkan
panti-panti sosial maupun panti rehabilitasi kepada pihak swasta ataupun yayasan.14
Adapun SEMA No. 04 Tahun 2010, angka 3 (a) diatur bahwa :
“Dalam hal hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilaksanakan tindakan berupa rehabilitasi atas diri terdakwa, Majelis Hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam amar putusannya. Tempat-tempat rehabilitasi yang dimaksud adalah : a. Lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang dikelola dan/atau dibina dan
diawasi oleh Badan Narkotika Nasional; b. Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta; c. Rumah Sakit Jiwa di Seluruh Indonesia (Depkes RI); d. Panti Rehabilitasi Departemen Sosial RI dan Unit Pelaksanaan Teknis Daerah
(UPTD); e. Tempat-tempat rujukan lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan dan Departemen Sosial (dengan biaya sendiri)”.15
SEMA No. 04 Tahun 2010 merupakan himbauan kepada hakim-hakim yang
menangani berkas perkara kasus narkoba agar menetapkan langsung kemana terdakwa
14 Anggoro Wicaksono, “Sanksi Tindakan Sebagai Sarana Alternatif Penanggulangan Kejahatan Psikotropika Bagi Pecandu dan Pelaku Anak Dalam Perspektif Hukum Pidana”, (Medan : Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2015), hal. 131.
15 Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 04 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahguna, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Universitas Sumatera Utara
direhabilitasi. Sedangkan, SEMA No. 07 Tahun 2009 mengatur tentang batasan pengguna
di dalam tindak pidana narkotika, atau dengan kata lain, barang bukti yang ditemukan
oleh Penyidik Kepolisian, apabila ditemukan barang bukti berupa narkotika tidak lebih
dari berapa berat yang diatur oleh SEMA No. 07 Tahun 2009, maka dapat dikategorikan
sebagai pengguna. Terminologi pecandu dan pengguna sangat berbeda. Pecandu
narkotika sudah jelas pengguna narkotika, akan tetapi, pengguna narkotika belum tentu
pecandu narkotika.16 Karena, pengguna narkotika secara legal (misalnya bagian dari
resep dokter) tidak semestinya dipandang sebagai abnormalitas, sehingga dimasukkan ke
dalam kelompok yang sama dengan para penyalahguna. Adapun untuk menentukan
seseorang pelaku tindak pidana narkotika tersebut termasuk ke dalam kategori pecandu
atau pengguna dapat dilakukan pengamatan terhadap kondisi individu, akan lebih
sempurna apabila penanganan juga dilakukan ke lingkup keluarga dan lingkungan
terdekat individu tersebut.17
SEMA No. 07 Tahun 2009 dan SEMA No. 04 Tahun 2010 ditujukan kepada
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk menempatkan
pecandu narkotika di panti rehabilitasi. SEMA No. 04 Tahun 2010 merupakan revisi dari
SEMA No. 07 Tahun 2009. Tentunya, Surat Edaran Mahkamah Agung ini merupakan
langkah maju di dalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau
dekriminalisasi terhadap pecandu narkotika. Dekriminalisasi adalah proses perubahan
16 Benny Ardjil, “Peningkatan Sarana Rehabilitasi”, Majalah SINAR BNN, Edisi 3, 2010, hal. 24-25, menyatakan bahwa : “Setiap kali aparat kepolisian menemukan seseorang atau sekelompok orang sedang menggunakan narkoba, pikiran cepat sekali menyimpulkan bahwa orang tersebut adalah pecandu narkoba. Padahal tidak selalu demikian, pecandu memang menggunakan narkoba. Sedangkan yang menggunakan narkoba tidak selalu pecandu. Sebab kalau dia baru sekali itu menggunakan, baru mencoba saja, dia disebut pengguna narkoba coba-coba atau experimental user”
17 Reza Indragiri Amriel, Psikologi Kaum Muda Pengguna Narkoba, (Jakarta : Salemba Humanika, 2007), hal. 66.
Universitas Sumatera Utara
dimana penggolongan suatu perbuatan yang tadinya dianggap sebagai tindak pidana
menjadi perilaku biasa. Hukuman penjara bagi penyalahguna narkotika terbukti tidak
dapat menurunkan jumlah penyalahguna narkotika.18
Akibat dari SEMA No. 07 Tahun 2009 dan dilanjutkan dengan SEMA No. 04
Tahun 2010 dikaitkan dengan penegakan hukum pidana terhadap pengguna narkotika
sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Polresta Medan, bagi Penyidik kesulitan
menentukan apakah seseorang yang tertangkap tangan dengan barang bukti dibawah
SEMA No. 07 Tahun 2009 termasuk ke dalam kategori pengguna ataukah pecandu.
Karena kedua-duanya adalah selaku korban kejahatan tindak pidana narkotika. Kesulitan
tersebut terjadi, karena banyaknya pelaku yang tertangkap tangan membawa barang bukti
narkoba sebanyak yang ditentukan dalam SEMA No. 07 Tahun 2009 adalah seorang
residivis, dan lebih parah lagi, malahan pelaku tersebut adalah seorang bandar narkoba
kelas kakap. Hambatan-hambatan lain juga dihadapi oleh Penyidik Polresta Medan dalam
melakukan penegakan hukum tindak pidana narkotika.
Penggunaan SEMA No. 07 Tahun 2009 dan SEMA No. 04 Tahun 2010 oleh
Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan, sangat berhubungan erat dengan penyidikan
yang dilakukan oleh Penyidik Kepolisian. Hubungan tersebut terjalin dalam Criminal
18 Megawati Marcos, “Tinjauan Yuridis Tentang Pemidanaan Terhadap Pecandu Narkotika”, Jurnal Program Studi Ilmu Hukum Program Kekhususan Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum, Universitas Atma Jaya Jogyakarta, 2014, hal. 4, terkait dengan dekriminalisasi pengguna narkoba, menurut Megawati Marcos, menyatakan bahwa : “Salah satu contoh kasus yang dapat dilihat yaitu kasus Roy Marten yang sudah diputus pidana penjara yang sama, hal ini jelas membuktikan ketidak-efektifan pemidanaan bagi seseorang yang telah menjadi pecandu, oleh sebab itu, pengguna narkotika yang sudah menjadi pecandu alangkah baiknya apabila diberi tindakan perawatan dan pengobatan rehabilitasi, selain tidak adanya jaminan akan menjadi lebih baik, maka bukan tidak mungkin akan membawa pengaruh atau dampak yang lebih buruk terhadap para pengguna (pecandu) narkotika tersebut, disebabkan di dalam penjara mereka dapat bertukar pengalaman tentang kejahatan, tidak jarang pula bahwa di dalam penjara justru menjadi tempat transaksi narkotikabahkan ada pabrik pembuatan narkotika”.
Lihat juga : Tommy Daud, “Pelaksanaan Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan Narkotika di Makassar”, Universitas Hasanuddin, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Justice System (Sistem Peradilan Pidana).19 Criminal Justice System (CJS) atau Sistem
Peradilan Pidana (SPP) terdiri dari Kepolisian sebagai Penyidik dan Penyelidik,
Kejaksaan sebagai Penuntut Umum, Pengadilan sebagai Pemutus, dan Lembaga
Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan para narapidana.20
Penyidik Kepolisian yang diangkat dalam penelitian ini adalah Penyidik Polresta
Medan, khususnya Satuan Reserse Narkoba Polresta Medan (Sat Res Narkoba Polresta
Medan) yang merupakan pelaksana utama Polresta Medan yang bertugas membina dan
menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika termasuk
penyuluhan dan pembinaan dalam rangka P4GN (Pencegahan, Pemberantasan,
Penyalahgunaan, Peredaran Gelap Narkoba).
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, penelitian berjudul : “PENEGAKAN
HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU
TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN” sangat penting dilakukan.
Penelitian ini penting dilakukan karena data-data maupun informasi-informasi dari
Penyidik Polresta Medan khususnya Sat Res Narkoba Polresta Medan akan mudah
didapatkan, sehingga mendukung penulisan penelitian ini.
19 Diktat Akpol, Sisdil di Indonesia, (Semarang : Markas Besar Kepolisian RI, 2005), hal. 46. 20 Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang : UMM Press, 2005), hal. 2,
menyatakan bahwa : “Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu sistem yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan, dan penahanan terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya seseorang, memidana pelaku yang bersalah dan melalui komponen sistem secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa”.
Universitas Sumatera Utara
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian ini, antara lain :
1. Bagaimana proses penyidikan terhadap pengguna narkotika sebagai pelaku tindak
pidana narkotika?
2. Apa hambatan dalam proses penyidikan terhadap pengguna narkotika sebagai
pelaku tindak pidana narkotika di Polresta Medan?
3. Bagaimana upaya untuk menangani hambatan dalam penyidikan terhadap
pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Polresta Medan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan utama yang hendak dicapai dalam melakukan penelitian ini,
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses penyidikan terhadap pengguna
narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika;
2. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan dalam proses penyidikan terhadap
pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Polresta Medan;
3. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya dalam menangani hambatan
penyidikan terhadap pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika
di Polresta Medan.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu :
1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian lanjutan.
b. Memperkaya khasanah kepustakaan.
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi Penyidik Polresta Medan, khususnya Sat Res
Narkoba Polresta Medan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana narkotika.
b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat agar mengetahui bagaimana
Penyidik Sat Res Narkoba Polresta Medan melakukan upaya preventif,
pre-emptif maupun represif dalam penegakan hukum tindak pidana
narkotika.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan khususnya lingkungan
Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, maupun Perpustakaan Cabang Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian yang berjudul : “PENEGAKAN
HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU
TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN” belum pernah dilakukan.
Namun, ada beberapa penelitian yang tema penelitian sama tetapi objek berbeda dan
lokasi penelitian juga berbeda, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1 Penelitian Terdahulu
No.
Judul Penelitian
Permasalahan Nama Mahasiswa
1.
SANKSI TINDAKAN SEBAGAI SARANA ALTERNATIF PENANGGULANGAN KEJAHATAN PSIKOTROPIKA BAGI PECANDU DAN PELAKU ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA Tesis ditulis pada tahun 2015
- Penerapan sanksi tindakan kepada anak
pelaku tindak pidana psikotropika;
- Pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam menjatuhkan sanksi tindakan terhadap pecandu anak pelaku tindak pidana psikotropika; dan
- Sanksi tindakan sebagai sarana alternatif penanggulangan tindak pidana psikotropika dalam perspektif kebijakan hukum pidana.
Anggoro Wicaksono
107005150/HK
2.
PERANAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA Tesis ditulis pada tahun 2013
- Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika;
- Putusan hakim dalam memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika; dan
- Tujuan pemidanaan terhadap putusan hakim bagi anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika.
Nur Sari Dewi M.
107005040/HK
3.
TINJAUAN KRIMINOLOGIS DAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERANAN KEPOLISIAN DALAM MENANGANI PELAKU TINDAK PIDANA AKIBAT PENGARUH NARKOBA SUNTIK DI KOTA MEDAN (STUDI DI POLRESTA MEDAN) Tesis ditulis pada tahun 2011
- Kajian hukum pidana (secara kriminologis)
terhadap pelaku tindak pidana yang disebabkan oleh penggunaan narkoba suntik;
- Peranan kepolisian dalam menangani tindak pidana yang disebabkan penggunaan narkoba suntik, khususnya yang berada di wilayah hukum Kepolisian Resort Kota Medan.
Eddy Purwono 080221005/HK
Sumber : Website Resmi Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Program Magister Ilmu Hukum, http://repository.usu.ac.id/., diakses pada 29 Maret 2015.
Berdasarkan Tabel 1 di atas, penelitian yang meneliti tentang penegakan hukum
pidana terhadap pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Polresta
Medan belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama.
Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya
dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk mencari
pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian membutuhkan kejelasan titik tolak atau
landasan untuk memecahkan dan mambahas masalahnya. Untuk itu perlu disusun
kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari mana
masalah tersebut diamati.21
Kerangka teori adalah bagian penting dalam penelitian, dengan adanya kerangka
teori akan memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, susunan dari
beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang
logis yang menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam
penelitian. Mengungkap teori yang digunakan berarti mengemukakan teori-teori yang
relevan yang memang benar-benar digunakan untuk membantu menganalisis fenomena
sosial yang diteliti.
Adapun teori hukum yang dapat digunakan berkenaan dengan judul penelitian di
atas, antara lain :
1. Teori yang berkenaan dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang dikemukakan
oleh Mardjono Reksodiputro;
2. Teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman.
21 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press,2003), hal. 39-40.
Universitas Sumatera Utara
a. Teori Sistem Peradilan Pidana (SPP) atau Criminal Justice System (CJS)
Pelaksanaan sistem peradilan pidana masih memiliki banyak kelemahan dalam
berbagai aspek. Kelemahan tersebut salah satunya bersumber dari perangkat hukum
positif yang belum sepenuhnya mendukung terciptanya sistem peradilan pidana yang
transparan, akuntabel. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat turut mempengaruhi
kegagalan sistem peradilan pidana dalam mencapai tujuannya. Pada gilirannya, akan
menghambat upaya pengendalian kejahatan di masyarakat karena pada dasarnya, menurut
Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana merupakan salah satu usaha masyarakat
untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas toleransi yang dapat
diterimanya.22
Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu (SPPT) atau Integrated Criminal Justice
System (ICJS) merupakan unsur hukum pidana yang sangat penting dalam kerangka
penegakan hukum pidana materil.
Philip P. Purpura menyatakan bahwa23
“Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu sistem yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan, dan penahanan terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya seseorang, memidana pelaku yang bersalah dan melalui komponen sistem secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa”.
:
Tujuan Sistem Peradilan Pidana menurut Muladi dapat dikategorikan, sebagai
berikut24
22 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal. 140.
:
23 Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang : UMM Press, 2005), hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
“1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana;
2. Dikategorikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju
lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (criminal policy);
3. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan
masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (social policy).”
Sedangkan fungsi dan tujuan dari sistem peradilan pidana seperti yang
digambarakan oleh Davies, Croall, dan Tyrer, sebagai berikut25
1. “Protecting the public by preventing and dettering crime, by rehabilitating offenders in incapacitating others who continue a persistant threat to the community;
:
2. Upholding and promoting the rule of law and respect for the law, by
ensuring due process and proper treatment of suspect, arrestees, defendand and those held in custody, successfully prosecuting criminal and acquitting innoncent people accused of a crime;
3. Maintaining law and order;
4. Punishing criminals with regard to the principles of just deserts;
5. Registering social disapproval of censured behaviour by punishing criminals;
6. Aiding;and
7. Advising the victims of crime”.
24 Muladi dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 54.
25 Davies, Croall, dan Tyrer, An Introduction the Criminal Justice System in England and Wales, (London : Longman, 1995), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
Dengan bahasa yang lebih sederhana Loebby Loqman berpendapat tujuan sistem
peradilan pidana adalah menghilangkan kejahatan (bukan penjahatnya) untuk mencapai
suatu masyarakat yang terbebas dari kejahatan.26 Selanjutnya menurut Bassiouni27
“Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi, yaitu :
:
1. Pemeliharaan tertib masyarakat;
2. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya
yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;
3. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;
4. Memelihara atau mempertahankan intergritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan social, marabat kemanuaisaan dan keadilan”.
Menurut Roeslan Saleh : “Pidana penjara adalah pidana utama diantara pidana
kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk
sementara waktu”.28
Barda Nawawi Arief menyatakan
29
“Pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. Akibat negatif itu antara lain terampasnya juga kehidupan seksual yang normal dari seseorang, sehingga sering terjadi hubungan homoseksual dan masturbasi di kalangan terpidana”.
:
Terampasnya kemerdekaan seseorang juga berarti terampasnya kemerdekaan
berusaha dari orang itu yang dapat mempunyai akibat serius bagi kehidupan sosial
26 Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana, (Jakarta : Datacom, 2002), hal. 22-23.
27 M. Cherif Bassiouni, Subtantive Criminal Law, (Spingfield, Illionis, USA : Charles Thomas Publisher, 1978), hal.78.
28 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara Baru, 1987), hal. 62. 29 Barda Nawawi Arief, Op.cit., hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
ekonomi keluarganya.Terlebih pidana penjara itu dikatakan dapat memberikan cap jahat
(stigma) yang akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak lagi melakukan
kejahatan. Akibat lain yang juga sering disoroti ialah bahwa pengalaman penjara dapat
menyebabkan terjadinya degradasi atau penurunan derajat dan harga diri manusia.
Sistem Kepenjaraan sebagai suatu cara pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan,
yang diatur dalam Gestichten Reglemen Penjara (Stb. 1917-708) sebagai pelaksanaan
dari Pasal 29 KUHP, sudah tidak sesuai dengan Pancasila, karena berasal dari pandangan
individualisme yang memandang dan memperlakukan narapidana tidak sebagai anggota
masyarakat.30
Sistem Pemasyarakatan adalah satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana,
oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi
umum mengenai pemidanaan.
31
Dikaitkan dengan penelitian ini yang akan menitikberatkan kepada pembahasan
penerapan SEMA No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam
Panti Terapi dan Rehabilitasi dan disempurnakan dengan SEMA No. 04 Tahun 2010
yang mengatur hal yang sama. Walaupun SEMA tersebut berlaku untuk kalangan
pengadilan, akan tetapi, dikarenakan Pengadilan termasuk ke dalam Criminal Justice
System (CJS), maka pengadilan sebagai hulu dari penyidikan yang dilakukan oleh
Penyidik Polri diharapkan dapat seiring sejalan mewujudkan tujuan pemidanaan.
30 H.R. Soegondo, Sistem Pembinaan Napi, (Yogyakarta : Insania Citra, 2006), hal. 2. 31 Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung : Refika
Aditama, 2006), hal. 103.
Universitas Sumatera Utara
b. Teori Sistem Hukum
Penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika bagi pengguna
narkotika sebagai pelaku tindak pidana, tidak dapat dipungkiri pastilah memiliki
hambatan-hambatan yang dihadapinya. Untuk menjawab permasalahan tentang
hambatan-hambatan yang dihadapi penyidik tersebut, akan digunakan teori sistem hukum
yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman.
Teori yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tentang “interchange-
interaction”, menyatakan bahwa32
“Dalam pertukaran (interchange-interaction) dengan masyarakat atau lingkungannya ternyata polisi memperlihatkan suatu karakteristik yang menonjol dibandingkan dengan yang lain (hakim, jaksa, dan advokat). Polisi adalah hukum yang hidup atau ujung tombak dalam penegakan hukum pidana. Dalam melakukan penangkapan dan penahanan misalnya polisi menghadapi atau mempunyai permasalahan sendiri. Pada saat memutuskan untuk melakukan penangkapan dan penahanan polisi sudah menjalankan pekerjaan yang multifungsi yaitu tidak hanya sebagai polisi tetapi sebagai jaksa dan hakim sekaligus. Penyidikan tersebut sangat rawan dan potensial untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau penyimpangan polisi (police deviation) baik dalam bentuk police corruption maupun police burality. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar laporan atau pemberitaan menyangkut pencitraan Polri yang tidak baik adalah berkaitan dengan persoalan sikap dan perilaku petugas Polri di bidang penyidikan.
:
Berkaitan dengan menyediakan aparatur penegak hukum guna menunjang hukum
yang berkeadilan, B.M. Taverne, seorang pakar hukum negeri Belanda, yang terkenal
dengan kata-katanya yang berbunyi : “geef me goede rechter, goede rechter
commissarissen, goede officieren van justitieen, goede politie ambtenaren, en ik zal met
een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken”, artinya : “Berikan aku
32 Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil : Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan, Cet. Ke-2, (Jakarta : Kompas, 2007), hal. xxv.
Universitas Sumatera Utara
hakim, jaksa, polisi, dan advokat yang baik, maka aku akan berantas kejahatan meskipun
tanpa secarik undang-undang pun”. Dengan kata lain lagi, “Berikan padaku hakim dan
jaksa yang baik maka dengan hukum yang buruk sekalipun saya bisa mendatangkan
keadilan.33 Artinya, bagaimanapun lengkapnya suatu rumusan undang-undang tanpa
didukung oleh aparatur penegak hukum yang baik, memiliki moralitas dan integritas yang
tinggi, maka hasilnya akan buruk.34
Dengan demikian, untuk mengukur seorang penyidik yang melakukan penyidikan
apakah dirinya seseorang yang adil dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah,
dapat dilihat berdasarkan Kode Etik Profesi Kepolisian yang sudah ditetapkan dan
dituangkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia pada Pasal 34 dan Pasal 35.
Pasal 34 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, menyatakan bahwa :
(1) “Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya.
(3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri”
Ketentuan yang mengatur tentang Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diamanatkan untuk membuat Keputusan Kapolri berdasarkan Pasal 34
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tersebut di atas, telah dikeluarkan dengan Peraturan
33 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta : Kompas, 2007), hal. 6. 34 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir : Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan
Hukum, (Jakarta : Kompas, 2007), hal. 103.
Universitas Sumatera Utara
Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Adapun dasar pertimbangan diterbitkannya Peraturan Kapolri tersebut, adalah
sebagai berikut35
1. “Bahwa pelaksanaan tugas, kewenangan, dan tanggung jawab anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dijalankan secara profesional, proporsional, dan prosedural yang didukung oleh nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Tribrata dan Catur Prasetya dijabarkan dalam kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai norma berperilaku yang patut dan tidak patut;
:
2. Bahwa Penegakan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
harus dilaksanakan secara objektif, akuntabel, menjunjung tinggi kepastian hukum dan rasa keadilan (legal and legitimate), serta hak asasi manusia dengan memperhatikan jasa pengabdian anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diduga melanggar Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Selanjutnya, Pasal 35 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, menyatakan bahwa :
(1) “Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri”.
Peraturan yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diamanatkan untuk membuat Keputusan
Kapolri berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tersebut, telah
dikeluarkan Peraturan Kapolri No. 19 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
35 Bagian Menimbang Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Setelah mengetahui Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
(selanjutnya disingkat KEPP), maka barulah mengukur penyidik apakah dirinya
seseorang yang adil dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah berdasarkan tiga
kriteria yaitu : Profesional, Proporsional, dan Prosedural. Apabila seorang Penyidik
melanggar salah satu dari tiga kriteria tersebut, maka dapat diduga Penyidik tersebut
melakukan kesalahan pelanggaran KEPP.
Untuk mengetahui jawaban dari permasalahan tersebut, dalam penelitian ini, akan
menggunakan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman
mengenai hukum yang baik harus mengandung substance, structure, dan legal culture
yang baik pula. Dengan kata lain, Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif
dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni :
struktur hukum (structure of law), substansi hukum (substance of the law), dan budaya
hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi
hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum
yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat.
Mengenai struktur hukum, Lawrence M. Friedman menjelaskan36
“To begin with, the legal system has the structure of a legal system consists of elements of this kind : the number and size of courts; their jurisdiction... Structure also means how the legislature is organized ...what procedures the police department follow, and so on. Structure, in way, is a kind of cross section of the legal system... a kind of still photograph, with freezes the action”.
:
Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran
pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang berwenang mereka periksa), dan
36 Lawrence M. Friedman, American Law : An Introduction, (New York : W.W. Norton & Company, 1984), hal. 5-6.
Universitas Sumatera Utara
tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti
bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
Presiden, prosedur ada yang diikuti oleh Kepolisian dan sebagainya. Jadi, struktur (legal
structure) terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan
seperangkat hukum yang ada atau yang dikenal dengan Criminal Justice System (CJS).
CJS terdiri dari 4 (empat) lembaga, yaitu : Penyidik (Kepolisian), Penuntut Umum
(Kejaksaan), Pengadilan (Hakim), Lembaga Pemasyarakatan (Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), dan Advokat. Seluruh
struktur hukum tersebut saling bekerja mendukung satu sama lain.37
Struktur adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan
menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini menunjukkan bagaimana
pengadilan, pembuat hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan.
Di Indonesia misalnya jika berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka
termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum seperti Kepolisian,
Kejaksaan, Lembaga Pemasyarakatan, Pengadilan, dan Advokat.
38
37 Dikaji dari perspektif Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), maka di Indonesia dikenal 5 (lima) institusi yang merupakan sub sistem peradilan pidana. Terminologi lima institusi tersebut dikenal sebagai Panca Wangsa Penegak Hukum. Meurut Mardjono Reksodiputro, maka Sistem Peradilan Pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Sumber : Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana : Kumpulan Karangan, Buku Ketiga, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994), hal. 84-85.
38 Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia, Cet. Ke-2, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2004), hal. 36, menyatakan bahwa : “Jika kita ingin melihat hukum secara lebih utuh, maka hendaknya hukum tidak sekedar dipandang sebagai kumpulan asas-asas dan aturan-aturan, melainkan hendaknya kita memandang hukum dalam wujudnya sebagai tatanan yang utuh, yang mencakup tatanan sosial dan tatanan politik. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan hukum gaya lama hanya mempelajari hukum sebagai tatanan politik yaitu hukum positif, hukum negara yang oleh Roberto M. Unger diistilahkan sebagai hukum birokrat. Kalangan hukum positif mengatakan bahwa di luar hukum positif (hukum negara) tidak ada lagi hukum”.
Universitas Sumatera Utara
Dikaitkan dengan penelitian ini, maka struktur hukum yang terdapat pada
Criminal Justice System (CJS) adalah Polisi, Jaksa, Advokat selaku penasehat hukum
(mendampingi Kliennya selaku Terdakwa), dan Hakim. Polisi sebagai penyidik selaku
ujung tombak dari SEMA No. 07 Tahun 2009 agar dapat diterapkan dengan baik. Lalu,
Jaksa Penuntut juga sebagai atasan Polisi dalam penyidikan yang mana, apabila Penyidik
Polri salah dalam melakukan penyidikan, maka Jaksa akan memberikan arahan dan
masukan untuk melakukan penyidikan tersebut. Setelah berkas perkara diterima oleh
Jaksa Peneliti, maka selanjutnya akan dilakukan pelimpahan perkara kepada Jaksa
Penuntut untuk dilakukan penuntutan di pengadilan. Di pengadilan yang berperan dalam
penerapan SEMA No. 07 Tahun 2009 tersebut adalah Hakim. Hakim bertugas mencari
dan menemukan fakta-fakta hukum yang terjadi dalam suatu perkara yang diterimanya
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang
dierapkan kepada pelaku kejahatan inilah yang disebut oleh Lawrence M. Frieman
sebagai substansi hukumnya. Selanjutnya, advokat disini berfungsi untuk melakukan
pembelaan-pembelaan kepada kliennya yaitu Terdakwa agar dihukum sesuai dengan
perbuatannya.
Substansi hukum menurut Lawrence M. Friedman, menyatakan bahwa : “Anoher
aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual rules, norm, and
behavioral patterns of people inside the system ...the stress here is on living law, not just
rules in law books”.39
39 Lawrence M. Friedman, Loc.cit., hal. 5-6.
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Adapun yang
dimaksud dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia
yang berada dalam sistem itu. Jadi, substansi hukum menyangkut peraturan perundang-
Universitas Sumatera Utara
undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman
bagi aparat penegak hukum.
Substansi hukum di dalam penelitian ini adalah SEMA No. 07 Tahun 2009 yang
telah disempurnakan dengan SEMA No. 04 Tahun 2010. Sebagai pendukungnya KUHP
dan KUHAP juga digunakan sebagai acuan (das sollen) untuk menjatuhkan hukuman.40
Penjatuhan hukuman dengan menerapkan peraturan perundang-undangan perlu dicari dan
ditemukan fakta-fakta hukum dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan
tersebut (das sein).41
Sedangkan mengenai budaya hukum, Lawrence M. Friedman, berpendapat : “The
third component of legal system, of legal culture. By this we mean people’s attitudes
toward law and legal system their belief ...in other word, is the climinate of social
thought and social force which determines how law is used, avoided, or abused”.
Apakah memenuhi unsur tindak pidana atau tidak, diperlukan
penyidikan yang mempunyai dan menjunjung tinggi KEPP (Kode Etik Profesi Polri)
yang diatur dalam Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
42
40 Das Sollen adalah segala sesuatu yang mengharuskan untuk berfikir dan bersikap. Contoh : norma dunia, kaidah-kaidah, dan sebagainya. Dapat diartikan bahwa das sollen merupakan kaidah dan norma serta kenyataan normatif seperti apa yang seharusnya dilakukan.
Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk
budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik
apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan
sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh
41 Das Sein adalah segala sesuatu yang merupakan implementasi dari segala hal yang kejadiannya diatur oleh das sollen dan mogen. Dapat dipahami bahwa das sein merupakan peristiwa konkrit yang terjadi.
42 Lawrence M. Friedman, Op.cit., hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat, maka penegakan hukum tidak
akan berjalan secara efektif.
Mengenai budaya hukum yang dikemukakan di atas, dikaitkan dengan penelitian
ini adalah untuk melihat bagaimana suatu legal culture Penyidik Polri khususnya Sat Res
Narkoba Polresta Medan dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkotika bagi
pengguna sebagai pelaku tindak pidana narkotika. Apakah melakukan penyidikan
tersebut dengan profesional, proporsional, dan prosedural, atau tidak. Hal inilah yang
nantinya diukur dengan penyidikan-penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polri
tersebut.
2. Kerangka Konsep
Selanjutnya, untuk menghindari kesalahan dalam memaknai konsep-konsep yang
dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut akan diberikan definisi operasional dari
konsep-konsep yang dipergunakan :
1. Penegakan Hukum adalah proses dilaksanakannya upaya untuk memfungsikan
norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau
hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.43
2. Hukum Pidana, menurut R. Soesilo, adalah perasaan tidak enak/sengsara yang
dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-
43 Jimly Asshiddiqie, “Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia”, Makalah disampaikan pada acara seminar “Menyoal Moral Penegakan Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakulta Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 17 Februari 2006, hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
Undang Hukum Pidana.44 Sedangkan, menurut E. Moeljatno, hukum pidana
adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk45
a. “Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut;
:
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut”.
Menurut Soedarsono, pada prinsipnya, hukum pidana adalah yang mengatur
tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan
tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan. Dengan
demikian, hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan
sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan
ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.46
3. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
44 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap, (Bogor : Politea, 1994), hal. 87.
45 E. Moeljatno, Asas-Asas Ilmu Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Iblam, 2005), hal. 84. 46 Soedarsono dalam Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Prestasi Pustaka,
2005), hal. 216-217.
Universitas Sumatera Utara
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU Narkotika.47
4. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
48
5. Pecandu Narkotika atau Pengguna Narkotika adalah orang yang menggunakan
atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada
Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
49
6. Tindak Pidana Narkotika adalah ketentuan sanksi pidana yang terdapat pada UU
Narkotika yaitu Pasal 111 sampai dengan Pasal 148.
7. Pelaku Tindak Pidana Narkotika adalah orang yang melanggar ketentuan Pasal
111 sampai dengan Pasal 148 UU Narkotika.
8. Polresta Medan adalah satuan kepolisian yang berada di bawah Kepolisian Daerah
Sumatera Utara (Polda Sumut), yang mempunyai yurisdiksi Kota Medan.
G. Metode Penelitian
Kegiatan penelitian merupakan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil-
hasil yang dicapai dan berguna bagi kehidupan manusia dimulai dari kegiatan penelitian
bahkan menjadi tradisi yang berlaku dalam pergaulan masyarakat ilmiah. Pengetahuan
47 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 48 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 49 Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
dan teknologi diperoleh saat ini dipastikan melalui kegiatan penelitian termasuk ilmu-
ilmu sosial yang di dalamnya termasuk ilmu hukum.50
Penelitian mengandung metode atau cara yang harus dilalui sebagai syarat dalam
penelitian. Metode dilaksanakan pada setiap kegiatan penelitian didasarkan pada cakupan
ilmu pengetahuan yang mendasari kegiatan penelitian. Meskipun masing-masing terdapat
karakteristik metode yang digunakan pada setiap kegiatan penelitian, akan tetapi terdapat
prinsip-prinsip umum yang harus dipahami oleh semua peneliti seperti pemahaman yang
sama terhadap validitas dari hasil capaian termasuk penerapan prinsip-prinsip kejujuran
ilmiah.
51 Kejujuran ilmiah adalah kode etik penulisan karya tulis ilmiah, yaitu52
1. “Menjunjung tinggi posisi terhormat penulis sebagai orang terpelajar, kebenaran hakiki informasi yang disebarluaskan dan tidak menyesatkan orang lain;
:
2. Tidak menyulitkan pembaca dengan tulisan yang dibuat; 3. Memperhatikan kepentingan penerbit penyandang dana penerbitan dengan
cara mempadatkan tulisan agar biaya pencetakan bisa ditekan; 4. Memiliki kesadaran akan perlunya bantuan penyunting sebagai jembatan
penghubung dengan pembaca; 5. Teliti, cermat, mengikuti petunjuk penyunting mengenai format dan
sebagainya; 6. Tanggap dan mengikuti usul/saran penyunting; 7. Bersikap jujur mutlak diterapkan kepada diri sendiri dan umum dengan tidak
menutupi kelemahan diri; 8. Menjunjung tinggi hak, pendapat, temuan orang lain dengan cara tidak
mengambil ide orang lain diakui sebagai ide/gagasan sendiri; 9. Mengakui hak cipta/Hak Kekayaan Intelektual dengan cara tidak melakukan
plagiat atas tulisan sendiri dan orang lain”.
50 Muhamad Muhdar, “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan Penulisan Hukum”, Universitas Balikpapan, Balikpapan, 2010, hal. 2.
51 Ibid., hal. 2. 52 Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah yang
diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id /perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20etik).ppt., 2007, diakses pada 01 April 2015.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan
pendekatan juridis normatif.53
Dengan demikian objek penelitian adalah norma hukum
yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah dalam
sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang terkait secara langsung
dengan tindak pidana narkotika yang dilanggar oleh pengguna narkotika dikaitkan
dengan SEMA No. 07 Tahun 2009 dan SEMA No. 04 Tahun 2010.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan yang bersifat
kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu
pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.54
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Tujuannya adalah untuk
mendeskripsikan dengan tepat, akurat, dan sistematis terkait gejala-gejala hukum
mengenai penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polri dalam tindak pidana narkotika
Metode
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan kasus (case approach). Dalam penelitian yuridis normatif
yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang
mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum.
53 Adapun tahap-tahap dalam analisis juridis normatif adalah : merumuskan azas-azas hukum dari data hukum positif tertulis; merumuskan pengertian-pengertian hukum; pembentukan standar-standar hukum; dan perumusan kaidah-kaidah hukum. Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 166-167.
54 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal.14.
Universitas Sumatera Utara
yang diduga dilakukan oleh pengguna dan/atau pecandu narkotika dikaitkan dengan
SEMA No. 07 Tahun 2009 dan SEMA No. 04 Tahun 2010.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Data Primer, yaitu data yang didapat di lapangan. Dalam hal ini, penelitian
berfokus di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Medan (Polresta Medan) yang
beralamat di Jalan HM. Said No. 1, Medan, oleh sebab itu, data primer didapatkan
dari Penyidik Polresta Medan khususnya Sat Res Narkoba Polresta Medan.
2. Data Sekunder, penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian
library research adalah berdasarkan pada data sekunder, maka data sekunder yang
digunakan terdiri dari 3 (tiga) jenis bahan hukum, masing-masing, yaitu :
a. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain :
1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya;
2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);
3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP);
4) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
5) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
6) Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
Universitas Sumatera Utara
7) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
8) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 46 Tahun 2012 tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu;
9) Surat Edaran Mahkamah Agung No. 07 Tahun 2009 tentang
Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan
Rehabilitasi;
10) Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
11) Peraturan Kapolri No. 19 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b. Bahan hukum sekunder, digunakan untuk membantu memahami berbagai
konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer
dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik
jurnal, buku-buku, berita, dan ulasan media, dan sumber-sumber lain yang
relevan.
c. Bahan hukum tertier, diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal
penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum
primer, khususnya kamus-kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI). Kamus hukum yang digunakan adalah Black’s Law Dictionary.
Universitas Sumatera Utara
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitan ini menggunakan teknik studi dokumen, artinya
data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi
yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang
relevan dengan objek penelitian. Selain itu, untuk melengkapi data pustaka, juga
dilakukan analisis terhadap beberapa penanganan kasus tindak pidana narkotika yang
pelakunya adalah pengguna dan pecandu narkotika. Penyidikannya dilakukan oleh
Penyidik Polresta Medan khususnya Penyidik Sat Res Narkoba Polresta Medan dan juga
data dari pelaku dan pecandu narkotika. Dengan kerangka teoritis merupakan alat untuk
menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder, pendapat-pendapat
atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun
melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis.
Wawancara juga dilakukan sebagai alat pengumpulan data penunjang selain
bahan hukum yang dikumpulkan melalui perpustakaan. Wawancara dilakukan dengan
sejumlah informan yang dipandang relevan dengan menggunakan metode wawancara
mendalam (indepth interview).55
55 Indepth Interview atau wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Seperti yang dikemukakan oleh Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 108.
Adapun para informan yang diwawancarai dalam
penelitian ini, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Penyidik Polresta Medan khususnya Penyidik Sat Res Narkoba Polresta
Medan, yaitu : Kasat Res Narkoba Polresta Medan dan Wakasat Res Narkoba
Polresta Medan;
2. Pelaku Tindak Pidana Narkotika;
3. Pecandu Narkotika.
4. Analisis Data
Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara
kualitatif. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian
yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya
semua data diseleksi dan diolah kemudian diuraikan secara deskriptif analisis, sehingga,
selain menggambarkan dan mengungkapkan jawaban terhadap permasalahan yang
dikemukakan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian
ini.56
56 Dilihat dari tujuan analisis, maka ada 2 (dua) hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu : 1) Menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik informasi, data, dan proses suatu fenomena. Sumber : Ibid., hal. 153.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU
TINDAK PIDANA NARKOTIKA
A. Penyelidikan
1. Pengertian Penyelidikan
a. Penyelidikan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang.57
Fungsi penyidik dilakukan sebelum dilakukan penyelidikan hanya bertugas untuk
mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertugas
membuat berita acara serta laporannya nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan.
Penyelidikan dilakukan berdasarkan :
1. “Informasi atau laporan yang diterima maupun diketahui langsung oleh
penyelidik/penyidik.
2. Laporan polisi.
3. Berita Acara pemeriksaan tersangka dan atau saksi”.58
Proses penyidikan tindak pidana penyelidikan dilakukan untuk :
57 M. Husein Harun, Penyidik dan Penuntut Dalam Proses Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), hal. 56.
58 Ibid., hal. 57. 39
Universitas Sumatera Utara
1. Mencari keterangan-keterangan dan bukti guna menentukan suatu peristiwa yang
dilaporkan atau diadukan, apakah merupakan tindak pidana atau bukan.
2. Persiapan pelaksanaan penindakan dan atau pemeriksaan.
Penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, melainkan hanya merupakan
salah satu metode atau sub dari fungsi penyidikan.59 Penyelidikan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari bidang penyidikan. Tindakan penyelidikan lebih dapat
dikategorikan sebagai tindakan pengusutan sebagai usaha mencari dan menemukan jejak
berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak
pidana. Sedangkan yang melakukan tugas penyelidikan adalah penyelidik yang diatur
dalam KUHAP yaitu Penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang
diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.60
Pengertian penyelidikan menurut KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa
dalam proses penyelidikan ini tujuannya adalah untuk mencari tahu dan memastikan
apakah dalam suatu peristiwa hukum tertentu telah terjadi suatu tindak pidana atau tidak.
Sebab tidak semua peristiwa hukum yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah
suatu tindak pidana. Suatu peristiwa hukum baru dapat dikatakan sebagai suatu tindak
pidana hanya apabila telah terpenuhi unsur-unsur pidananya. Apabila unsur-unsur
pidananya tidak terpenuhi, maka peristiwa tersebut dianggap sebagai peristiwa biasa dan
tak mempunyai implikasi apa-apa.
59 Himpunan Bujuklak, Bujuklap, Bujukmin. Proses Penyidikan Tindak Pidana, Jakarta, 1990, hal. 17.
60 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Universitas Sumatera Utara
b. Penyelidikan Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.61
Penyelidik adalah pejabat Polri yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan penyelidikan.62
Dalam Peraturan Kapolri No.14 Tahun 2012, diatur mengenai administrasi
penyelidikan, yaitu meliputi
63
1. “Surat perintah tugas.
:
2. Surat perintah penyelidikan, dan
3. Laporan Hasil Penyelidikan (LHP)”.
Kegiatan penyelidikan dilakukan sebelum ada Laporan Polisi/Pengaduan dan
sesudah ada Laporan Polisi/Pengaduan atau dalam rangka penyidikan.64 Kegiatan
penyelidikan tersebut dilakukan untuk mencari dan menemukan tindak pidana.65
Kegiatan penyelidikan tersebut, merupakan bagian atau salah satu cara dalam melakukan
penyidikan untuk66
61 Pasal 1 ayat (9) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
:
62 Pasal 1 ayat (8) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
63 Pasal 9 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
64 Pasal 11 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
65 Pasal 11 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
66 Pasal 11 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Universitas Sumatera Utara
1. “Menentukan suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana atau
bukan.
2. Membuat terang suatu perkara sampai dengan menentukan pelakunya.
3. Dijadikan sebagai dasar melakukan upaya paksa”.
Kegiatan penyelidikan dimaksud meliputi :
1. “Pengolahan Tempat Kejadian Perkara (TKP)67
2. Pengamatan (observasi)..
68
3. Wawancara (interview).
4. Pembuntutan (surveillance). 5. Penyamaran (under cover). 6. Pelacakan (tracking) 7. Penelitian dan analisis dokumen”.
Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah tempat dimana suatu tindak pidana
dilakukan atau terjadi dan tempat-tempat lain dimana tersangka dan/atau korban dan/atau
barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan.69
Sasaran dari dilakukannya penyelidikan yaitu meliputi orang, benda atau barang,
tempat, peristiwa/kejadian dan kegiatan.
70
67 Pasal 12 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
petugas penyelidik wajib dilengkapi dengan surat perintah penyelidikan yang
ditandatangani oleh atasan penyelidik dan wajib membuat laporan hasil penyelidikan
kepada pejabat pemberi perintah. Laporan hasil penyelidikan tersebut disampaikan secara
68 Pasal 12 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
69 Pasal 1 ayat (19) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
70 Pasal 12 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Universitas Sumatera Utara
tertulis, atau lisan yang ditindaklanjuti dengan laporan secara tertulis paling lambat 2 x 24
jam.71
Sebelum melakukan penyelidikan, penyelidik wajib membuat rencana
penyelidikan.
72 Rencana penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
kurangnya memuat73
1. “Surat perintah penyelidikan.
:
2. Jumlah dan identitas penyidik/penyelidik yang akan melaksanakan penyelidikan.
3. Objek, sasaran dan target hasil penyelidikan. 4. Kegiatan yang akan dilakukan dalam penyelidikan dengan metode sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Peralatan, perlengkapan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan
penyelidikan. 6. Waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan, dan 7. Kebutuhan anggaran penyelidikan”.
Tim penyelidik terdiri dari ketua, wakil ketua dan anggota. Personel yang ditunjuk
dalam tim penyidik harus memiliki kompetensi, integritas dan kapabilitas, sesuai dengan
perkara yang ditangani. Pembentukan tim penyelidik tersebut dibentuk dengan surat
perintah.74
Penyelidikan dilaksanakan melalui kegiatan
75
1. “Pengolahan TKP, yaitu :
:
1. Mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk, barang bukti, identitas tersangka, dan Saksi/korban untuk kepentingan penyelidikan selanjutnya.
71 Pasal 13 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
72 Pasal 16 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
73 Pasal 16 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
74 Pasal 22 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
75 Pasal 24 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Universitas Sumatera Utara
2. Mencari hubungan antara saksi/korban, tersangka, dan barang bukti. 3. Memperoleh gambaran modus operandi tindak pidana yang terjadi.
2. Pengamatan (observasi), yaitu : 1. Melakukan pengawasan terhadap objek, tempat, dan lingkungan tertentu
untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan. 2. Mendapatkan kejelasan atau melengkapi informasi yang sudah ada
berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang diketahui sebelumnya.
3. Wawancara (interview), yaitu : 1. Mendapatkan keterangan dari pihak-pihak tertentu melalui teknik
wawancara secara tertutup maupun terbuka. 2. Mendapatkan kejelasan tindak pidana yang terjadi dengan cara mencari
jawaban atas pertanyaan siapa, apa, dimana, dengan apa, mengapa, bagaimana, dan bilamana.
4. Pembuntutan (surveillance), yaitu :
1. Mengikuti seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana atau orang lain yang dapat mengarahkan kepada pelaku tindak pidana.
2. Mencari tahu aktivitas, kebiasaan, lingkungan, atau jaringan pelaku tindak pidana.
3. Mengikuti distribusi barang atau tempat penyimpanan barang hasil kejahatan.
5. Pelacakan (tracking), yaitu :
1. Mencari dan mengikuti keberadaan pelaku tindak pidana dengan menggunakan teknologi informasi.
2. Melakukan pelacakan melalui kerjasama dengan Interpol, kementrian/lembaga/badan/komisi/instansi terkait.
3. Melakukan pelacakan aliran dana yang diduga dari hasil kejahatan.
6. Penyamaran (under cover), yaitu : 1. Menyusup ke dalam lingkungan tertentu tanpa diketahui identitasnya
untuk memperoleh bahan keterangan atau informasi. 2. Menyatu dengan kelompok tertentu untuk memperoleh peran dari
kelompok tersebut, guna mengetahui aktivitas para pelaku tindak pidana. 3. Khusus kasus peredaran narkoba, dapat digunakan teknik penyamaran
sebagai calon pembeli (under cover buy), penyamaran untuk dapat melibatkan diri dalam distribusi narkoba sampai tempat tertentu (controlled delivery), penyamaran disertai penindakan/pemberantasan (raid planning execution).
7. Penelitian dan analisis dokumen, yang dilakukan terhadap kasus-kasus
tertentu dengan cara : 1. Mengkompulir dokumen yang diduga ada kaitan dengan tindak pidana.
Universitas Sumatera Utara
2. Meneliti dan menganalisis dokumen yang diperoleh guna menyusun anatomi perkara tindak pidana serat modus operandinya”.
Pada intinya, penyelidikan dilakukan pada saat sebelum ditentukan tersangkanya
sebagai pelaku kejahatan. Sedangkan, penyidikan dilakukan setelah diketahui
tersangkanya sebagai pelaku kejahatan tersebut.
2. Fungsi dan Wewenang Penyelidik
Fungsi dan wewenang penyelidik meliputi ketentuan yang diperinci pada Pasal 5
KUHAP. Dalam buku Yahya Harahap, SH., beliau membagi dan menjelaskan fungsi dan
wewenang aparat penyelidik dari dua sudut pandang yang berbeda sesuai dengan bunyi
paal tersebut, yaitu berdasarkan hukum dan perintah penyidik.76
Pertama, fungsi dan wewenang berdasarkan hukum sebagaimana pada Pasal 5
KUHAP. Berdasarkan ketentuan ini yang lahir dari sumber undang-undang, fungsi dan
wewenang aparat penyelidik terbagi menjadi 4 bagian, yaitu
77
:
a. Menerima Laporan dan Pengaduan
Berangkat dari adanya laporan atau pengaduan atas tindak pidana kepada pihak
yang berwenang melakukan penyelidikan, perlu dijelaskan lebih lanjut berkaitan dengan
hal tersebut. Dalam Pasal 1 angka 24-25 KUHAP dikemukakan tentang pengertian
laporan dan pengaduan. Sepintas lalu tidak nampak perbedaan antara laporan dan
76 “Penyelidikan dan Penyidikan”, https://rahmatyudistiawan.wordpress.com/2013/01/23/penyelidikan-dan-penyidikan-oleh-rahmat-yudistiawan/, diakses pada hari Senin tanggal 22 Juni 2015 pukul 16.40 WIB.
77 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pengaduan tersebut, apakah ada persamaan dan perbedaan antara kedua pengertian
tersebut? Jawabannya adalah jelas adanya persamaan dan perbedaan antara keduanya.
Titik persamaannya ialah bahwa baik laporan maupun pengaduan keduanya sama-sama
berisi pemberitahuan dari seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang suatu
peristiwa yang diduga suatu tindak pidana yang telah atau sedang dan akan terjadi.
Sedangkan perbedaan antara laporan dan pengaduan tersebut antara lain adalah sebagai
berikut :
Tabel 2 Perbedaan Laporan dan Pengaduan
KATEGORI
LAPORAN
PENGADUAN
Tindak Pidana
Diajukan dalam tindak pidana biasa
Diajukan dalam hal tindak pidana aduan (Klacht delict)
Syarat penuntutan
Tidak menjadi syarat penuntutan
Menjadi syarat penuntutan, artinya tanpa pengaduan tidak dapat dilakukan penuntutan
Orang yang berhak melakukan pemberitahuan
Pemberitahuan yang dapat diajukan oleh setiap orang
Pemberitahuan yang hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 72 KUHAP
Batasan waktu pemberitahuan
Pemberitahuan yang bersifat tidak terikat pada waktu tertentu
Pemberitahuan yang bersifat dibatasi oleh tenggang waktu tertentu, sebagaimana terdapat dalam Pasal 74 KUHAP
Proses pemberitahuan setelah diajukan
Pemberitahuan yang telah diajukan tidak dapat dicabut kembali
Pemberitahuan yang dapat ditarik kembali, dalam tempo 3 (tiga) bulan sejak diajukannya pemberitahuan tersebut
Universitas Sumatera Utara
Penegasan penjatuhan hukuman atas pelaku
Tidak perlu adanya penegasan terkait diambilnya tindakan hukum atas pelaku
Perlu ditegaskan dengan adanya sebuah permintaan, agar terhadap pelaku tindak pidana itu diambil tindakan hukum
Sumber : SPKT Polresta Medan.
Proses selanjutnya, apabila pejabat yang berwenang (melakukan penyelidikan)
menerima pemberitahuan (baik berupa pengaduan ataupun laporan), maka ia wajib segera
melakukan langkah-langkah guna mengetahui sejauh mana kebenaran atas pemberitahuan
tersebut.78
b. Mencari Keterangan dan Barang Bukti
Setelah diketahui, bahwa peristiwa yang diberitahukan kepadanya itu memang
benar-benar telah terjadi, maka penyelidik harus mengumpulkan segala data dan fakta
yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut. Berdasarkan data dan fakta yang
diperolehnya penyelidik dapat menentukan apakah peristiwa itu benar merupakan tindak
pidana dan apakah terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan. Hasil
yang diperoleh dengan dilaksanakannya penyelidikan tersebut menjadi bahan yang
diperlukan penyidik atau penyidik pembantu dalam melaksanakan penyidikan.79
78 Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan, (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hal.18.
79 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Cet. Ke-2, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal. 99.
Universitas Sumatera Utara
c. Menyuruh Berhenti Orang Yang Dicurigai
Kewajiban dan wewenang ketiga yang diberikan Pasal 5 kepada penyelidik,
menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri. Dari apa yang dipahami, bahwa untuk melakukan hal ini aparat tidak perlu
untuk meminta surat perintah khusus atau dengan surat apapun. Karena sebagaimana
dalam Pasal 4 menegaskan bahwa Polisi Negara RI adalah penyelidik, maka sudah
menjadi wajar dan haknya untuk polisi bila ada sesuatu yang dicurigai melakukan
tindakan tersebut.
Akan tetapi jika mengalami kesulitan dalam melakukan tindakan tersebut diatas,
maka satu-satunya jalan yang dapat dibenarkan hukum, penjabat penyelidik harus cepat-
cepat mendatangi penjabat penyidik atau lebih efisiensinya penyelidik mempersiapkan
kian “surat perintah” penangkapan atau surat perintah “membawa dan menghadapkan”
orang yang dicurigai ke muka penyidik.80
d. Tindakan Lain Menurut Hukum
Yang dimaksud dengan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidik dengan syarat81
1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
:
2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan
jabatannya.
80 Ibid, hal. 104. 81 Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 4 KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
3) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya.
4) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.
Kedua, Kewenangan berdasarkan perintah penyidik. Tindakan yang dilakukan
penyelidik dalam hal ini, tepatnya merupakan tindakan melaksanakan perintah penyidik,
yaitu berupa :
1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
2) Pemeriksaan dan penyitaan surat.
3) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
4) Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
3. Jenis-Jenis Tindakan Dalam Penyelidikan
Untuk mengetahui pada tahap awal, apakah peristiwa itu merupakan peristiwa
pidana atau bukan merupakan peristiwa pidana, harus terlebih dahulu dilakukan tindakan
hukum yang berupa penyelidikan. Penyelidikan yang dilakukan antara lain dapat berupa
tindakan mendengarkan informasi yang beredar di masyarakat, atau keterangan-
keterangan apa saja yang diucapkan atau disampaikan oleh masyarakat tentang peristiwa
yang sedang terjadi dan melakukan pengecekan secara langsung terhadap objek yang
diduga ada hubungannya dengan peristiwa yang sedang terjadi. Tindakan-tindakan itu
Universitas Sumatera Utara
dimaksudkan untuk mensinkronkan dengan aturan hukum mana yang cocok dengan
peristiwa itu.82
Proses penyelidikan dinamakan dengan tindakan hukum karena dalam
penyelidikan itu terdapat tindakan-tindakan yang ditujukan untuk pengungkapan
peristiwa hukumnya, yang ditandai dengan adanya surat perintah dari penyidik yang di
dalamnya juga terdapat kewenangan yang harus dihormati oleh setiap orang. Dalam
penyelidikan, untuk mengindentifikasikan apakah peristiwa itu merupakan peristiwa
pidana atau bukan merupakan peristiwa pidana, antara lain dengan cara sebagai berikut
83
1. Menentukan Siapa Pelapor atau Pengadunya.
:
Untuk menentukan siapa pelapor atau pengadu dalam perkara pidana biasanya relatif tidak mengalami kesulitan, karena pelapor atau pengadu akan datang ke kantor polisi untuk melaporkan atau mengadukan peristiwa yang diduga merupakan peristiwa pidana. Pengaduan yang sudah dilakukan itu adalah bagian dari yang menyebabkan hukum sudah mulai dapat dioperasionalkan.
2. Menentukan Peristiwa Apa yang Dilaporkan.
Untuk mengidentifikasikan apakah peristiwa itu merupakan peristiwa pelanggaran hukum tertentu, perlu dilakukan upaya penyelidikan, artinya upaya atau tindakan penyelidikan itu untuk mengumpulkan keterangan tertentu dari berbagai pihak yang dianggap mengerti karena melihat, mendengarkan, dan mengerti secara langsung peristiwa itu. Mengerti dapat diartikan bahwa seseorang itu dianggap mengetahui karena ia adalah yang menangani bidang pekerjaan itu.84
Apabila sudah terkumpul cukup keterangan sebagai alat bukti yang diduga kuat terkait dengan peristiwa hukum itu, kemudian dilakukan upaya mencari
82 Hartono, Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Cetakan II, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hal. 26.
83 Bagus Adi Wijaya “Impelementasi Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika oleh BNNP Jawa Timur”, Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Jawa Timur, 2014, hal. 31.
84 Hartono, Op.cit, hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
landasan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan tentang kepidanaan. Landasan hukum atau dapat juga dikatakan sebagai landasan peraturan perundang-undangan itu hanya dipakai untuk membuka kunci suatu peristiwa yang dianggap merupakan peristiwa hukum itu, apakah peristiwa itu sinkron atau cocok dengan ketentuan peraturan pidana tertentu. Apabila peristiwa itu sama dengan kehendak dari peristiwa yang diatur dalam ketentuan pidana, maka proses selanjutnya adalah melakukan tindakan hukum yang berupa penyidikan. Penyidikan itu harus dilakukan secara teliti, cermat, dan akirat, atau dengan kata lain bahwa mindset penyidik harus mampu mengungkap secara sempurna peristiwa yang diduga sebagai peristiwa pidana itu. Pedoman sempurna itu antara lain dengan berpedoman kepada waktu-waktu secara berurutan.
3. Dimana Perisitiwa Itu Terjadi
Tindakan selanjutnya masih dalam rangka penyelidikan terhadap peristiwa hukum itu untuk menentukan tempat perkara itu terjadi (locus delicty). Apabila peristiwa yang terjadi seperti kejahatan terhadap jiwa, maka akan sangat mudah menentukannya, sedangkan apabila kejahatan terhadap sifat kebendaan misalnya penipuan, maka agak sedikit perlu kehati-hatian terutama apabila peristiwa itu sudah lama terjadi dan baru dilaporkan, pelapor juga ragu-ragu dimana peristiwa itu terjadi, peeristiwa ini yang perlu betul-betul didalami, sehingga didapati kepastian tentang locus delicty-nya.85
4. Kapan Peristiwa Itu Terjadi
Dalam peristiwa tertentu, waktu kejadian (tempus delicty) yang mendekati ketepatan waktunya sangat penting untuk mengungkap peristiwa hukum itu dan waktu kejadiannya haruslah masuk akal dan dipahami oleh siapa pun. Unsur ini sangatlah penting dalam proses penegakan hukumnya.86
5. Menentukan Siapa Pelaku dan Korban atau Pihak yang Dirugikan
Tindakan selanjutnya adalah menentukan atau mengidentifikasi siapa pelaku dan siapa korbannya. Dalam perkara tertentu seperti kasus penipuan, penggelapan, dan pencemaran nama baik, menentukan pelaku tidak banyak mengalami masalah karena biasanya antara pelaku tidak banyak mengalami masalah karena biasanya antara pelaku dan korban sudah saling kenal. Namun, dalam perkara lain misalnya perkara pencurian atau perampokan,
85 Ibid, hal. 28. 86 Ibid, hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
untuk menentukan siapa pelakunya mengalami kesulitan dikarenakan korban rata-rata tidak mengenal pelakunya. Selain itu, dalam perkara lain karena sifat tertutupnya korban utamanya seperti dalam perkara perkosaan, korban tidak mau mengungkap perkara ini karena takut aibnya akan tersebar, kondisi ini yang mempersulit proses penegakan hukum. Adapun dalam peristiwa lainnya, misalnya dalam peristiwa yang diatur dalam undang-undang psikotropika, untuk mengetahui siapa sebenarnya pelaku dari peristiwa itu, perlu dilakukan pendalaman secara sungguh-sungguh terhadap peristiwa yang sesungguhnya terjadi, tidak ada jaminan yang hanya mendasari kepada didapatnya barang bukti itu menyebabkan yang kedapatan adalah tersangkanya. Hal ini perlu disikapi secara hati-hati karena banyak permainan dalam perkara ini dilakukan secara tidak bertanggung jawab. Oleh karena, hukum harus diperankan secara baik, agar tidak salah dalam menerapkan stigma negatif terhadap seseorang secara sederhana saja.87
6. Bagaimana Peristiwa Itu Terjadi.
Tugas selanjutnya masih dalam rangka penyelidikan, adalah mencari tahu bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi, artinya dengan cara bagaimana pelaku kejahatan itu melakukan aksinya. Tujuan dari mengumpulkan bahan keterangan ini adalah dalam rangka mencari persesuaian antara perbuatan melawan aturan hukum dengan aturan hukum yang ada. Apabila ada kesesuaian dalam perkara ini secara benar, maka huku harus mulai digerakkan melalui upaya penyidikan . persesuaian harus dicermati dengan benar bahwa memang benar terdapat persesuaian antara peristiwa dengan kelakuan yang sesungguhnya, bukan semata-mata bahwa antara keadaan yang terjadi itu dibuat bersesuaian dengan peraturan yang ada. Karena hanya secara lahiriah saja sesuai belum tentu peristiwa itu betul-betul merupakan peristiwa pelanggaran hukum, mengingat banyak perilaku oknum yang berwenang mengolah situasi sedemikian, seolah-olah peristiwa itu benar adanya, padahal sesungguhnya peristiwa itu adalah rekaan saja.88
Untuk menentukan bagaimana peristiwa pidana itu terjadi, sudah saatnya aparat
penegak hukum untuk berpikir bahwa ia adalah benar-benar aparat penegak hukum,
bukan aparat penegak peraturan perundang-undangan, sehingga mulai bergerak untuk
87 Ibid, hal. 30. 88 Ibid, hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
berpikir menemukan peristiwa hukum yang sesungguhnya, dengan cara berpikir hukum
yang progresiflah peristiwa hukum itu dapat benar-benar diletakkan pada posisi yang
sebenarnya. Banyak peristiwa hukum yang mengalami kekacauan posisi, dikarenakan
cara pandang dalam penegakan hukum yang sempit. Penegak hukum yang terdiri atas
penyidik, penyelidik, dan hakim diberi peluang dan kepercayaan untuk menggali
peristiwa itu dari sudut pandang hukum, bukan dari sudut pandang peraturan perundang-
undangan. Apabila hukum hanya dikaji dari sudut pandang peraturan perundang-
undangan semata, kemungkinan dapat saja penegakan hukum akan salah arah, tetapi
apabila penegakan hukum menggunakan pola penegakan progresif, besar kemungkinan
hukum dapat didudukkan pada porsinya.
Sudut pandang progresif ini dalam kasus tertentu misalnya dalam kasus pada
Pasal 170 KUHP, yaitu tentang kasus kekerasan terahdap orang atau barang akan sangat
mungkin diterapkan. Demikian juga penerapannya dalam kasus status kepemilikan akan
kebendaan, kasus hukum lingkungan hidup, kasus korupsi, atau kasus-kasus yang
melibatkan organisasi atau birokrasi.
B. Penyidikan
1. Pengertian Penyidikan
a. Penyidikan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Istilah penyidikan dipakai sebagai istilah hukum pada tahun 1961, yaitu sejak
dimuatnya dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 tentang Pokok-Pokok Kepolisian.
Sebelumnya dipakai istilah pengusutan yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,
Universitas Sumatera Utara
yaitu opsporin. Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP yakni
dalam Bab I mengenai Penjelasan Umum, yaitu : “Penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untjuk mencari serta mengumpulkan bukti yang ada dengan bukti itu membuat terang
tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.89
Tujuan penyidikan adalah untuk menunjuk siapa yang telah melakukan kejahatan
dan memberikan pembuktian-pembuktian mengenai masalah yang telah dilakukannya.
Untuk mencapai maksud tersebut maka penyidik akan menghimpun keterangan dengan
fakta atau peristiwa-peristiwa tertentu.
90
Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung
dalam pengertian penyidikan adalah :
a. “Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan-tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan.
b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik. c. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan. d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya”.
Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum
penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang
dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang
itu diketahui dari penyelidikannya.91
89 Pasal 1 butir 2 KUHAP.
90 M. Husein Harun, Op.cit., hal. 58. 91 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang :
Bayumedia Publishing, April 2005), hal. 380-381.
Universitas Sumatera Utara
Penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan
keterangan-keterangan tentang :
1. Tindak pidana apa yang telah dilakukan.
2. Kapan tindak pidana itu dilakukan.
3. Dimana tindak pidana itu dilakukan.
4. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan.
5. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan.
6. Mengapa tindak pidana itu dilakukan.
7. Siapa pembuatnya.
Penyidik menurut Pasal 1 butir ke-1 KUHAP adalah pejabat polisi Negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. KUHAP lebih jauh lagi
mengatur tentang penyidik dalam Pasal 6, yang memberikan batasan pejabat penyidik
dalam proses pidana. Adapun batasan pejabat dalam tahap penyidikan tersebut adalah
pejabat penyidik POLRI dan pejabat penyidik negeri sipil.92
Disamping yang diatur dalam Pasal 1 butir ke 1 KUHAP dan Pasal 6 KUHAP,
terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu disamping
penyidik.
93
92 Pasal 6 ayat (1) KUHAP.
Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan orang yang berhak sebagai
penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan, ditegaskan dalam Pasal 6
KUHAP. Dalam pasal tersebut ditentukan instansi dan kepangkatan seorang pejabat
93 M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 110.
Universitas Sumatera Utara
penyidik. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 6 KUHAP yang dimaksud, yang berhak
diangkat sebagai pejabat penyidik antara lain adalah :
a. Pejabat Penyidik Polri
Agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, maka
harus memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat
(2) KUHAP. Menurut penjelasan Pasal 6 ayat 2, kedudukan dan kepangkatan yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan
kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum. Peraturan Pemerintah yang
mengatur masalah kepangkatan penyidik adalah berupa Peraturan Pemerintah No. 27
Tahun 1983. Syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidikan antara lain adalah
sebagai berikut :
1. “Pejabat Penyidik Penuh Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”, harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan dan pengangkatan, yaitu : a. Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan dua Polisi. b. Atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila
dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua.
c. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
2. Penyidik Pembantu Pasal 10 KUHAP menentukan bahwa Penyidik Pembantu adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara menurut syarat-syarat yang diatur dengan peraturan pemerintah.94
Pejabat polisi yang diangkat sebagai “penyidik pembantu” diatur di dalam Pasal 3 PP Nomor 27 tahun 1983. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu95
94 Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya, dan Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana Bagian Umum dan Penyidikan, (Yogyakarta : Liberty), hal. 19.
:
95 M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 111-112.
Universitas Sumatera Utara
a. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi. b. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan
syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a). c. Diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul
komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing”.
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP, yaitu
pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada
dasarnya, wewenang yang mereka miliki bersumber pada undang-undang pidana khusus,
yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal.96
Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat pegawai negeri sipil hanya
terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-
undang pidana khusus itu. Hal ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan
dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi : “Penyidik pegawai negeri sipil
sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan
undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan
tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri”.
Adapun tugas Penyidik itu sendiri antara lain adalah :
1. Membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan.97
2. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
98
96 Ibid, hal. 113.
97 Pasal 8 ayat (1) KUHAP. 98 Pasal 8 ayat (2) KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
3. Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya
suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana korupsi wajib segera
melakukan penyidikan yang diperlukan.99
4. Menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut
umum.
100
5. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang
merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut
umum.
101
6. Wajib segera menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada penuntut umum,
jika penyidikan dianggap telah selesai.
102
7. Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi,
penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk
dari penuntut umum.
103
8. Setelah menerima penyerahan tersangka, penyidik wajib melakukan pemeriksaan
dan tindakan lain dalam rangka penyidikan.
104
9. Sebelum dimulainya pemeriksaan, penyidik wajib memberitahukan kepada orang
yang disangka melakukan suatu tindak pidana korupsi, tentang haknya untuk
mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib
didampingi oleh penasihat hukum.
105
99 Pasal 106 KUHAP.
100 Pasal 8 ayat (3) KUHAP. 101 Pasal 109 ayat (1) KUHAP. 102 Pasal 110 ayat (1) KUHAP. 103 Pasal 110 ayat (3) KUHAP. 104 Pasal 112 ayat (2) KUHAP. 105 Pasal 114 KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
10. Wajib memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi tersangka.106
11. Wajib mencatat dalam berita acara sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh
tersangka.
107
12. Wajib menandatangani berita acara pemeriksaan tersangka dan atau saksi, setelah
mereka menyetujui isinya.
108
13. Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan
dijalankan, penyidik harus mulai melakukan pemeriksaan.
109
14. Dalam rangka melakukan penggeledahan rumah, wajib terlebih dahulu
menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya.
110
15. Membuat berita acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan rumah.
111
16. Membacakan terlebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada
yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatanganinya, tersangka
atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang
saksi.
112
17. Wajib menunjukkan tanda pengenalnya terlebih dahulu dalam hal melakukan
penyitaan.
113
18. Memperlihatkan benda yang akan disita kepada keluarganya dan dapat minta
keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh Kepala
Desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.
114
106 Pasal 116 ayat (4) KUHAP.
107 Pasal 117 ayat (2) KUHAP. 108 Pasal 118 ayat (2) KUHAP. 109 Pasal 122 KUHAP. 110 Pasal 125 KUHAP. 111 Pasal 126 ayat (1) KUHAP. 112 Pasal 126 ayat (2) KUHAP. 113 Pasal 128 KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
19. Penyidik membuat berita acara penyitaan.115
20. Menyampaikan turunan berita acara penyitaan kepada atasannya, keluarganya dan
Kepala Desa.
116
21. Menandatangani benda sitaan sesaat setelah dibungkus.
117
Sedangkan kewenangan dari penyidik yaitu antara lain :
1. Sesuai dengan KUHAP, penyidik berwenang untuk118
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana.
:
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
g. Memanggil orang untuk diperiksa sebagai tersangka atau saksi.119
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
114 Pasal 129 ayat (1) KUHAP. 115 Pasal 129 ayat (2) KUHAP. 116 Pasal 129 ayat (4) KUHAP. 117 Pasal 130 ayat (1) KUHAP. 118 Pasal 7 ayat (1) KUHAP. 119 Pasal 112 ayat (1) KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
2. Dalam hal dianggap perlu dapat meminta pendapat seorang ahli atau orang yang
memiliki keahlian khusus.120
3. Penyidik dapat mengabulkan permintaan tersangka, keluarga, atau penasihat hukum
tersangka atas penahanan tersangka.
121
4. Penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat atau rumah yang
digeledah demi keamanan dan ketertiban.
122
5. Penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidaknya
meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan berlangsung.
123
6. Dalam hal timbul dugaan kuat ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik
dengan izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat minta kepada
pejabat penyimpanan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli
yang disimpannya itu kepadanya untuk dipakai sebagai bahan perbandingan.
124
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum
yang berlaku. Untuk itu Penyidik membuat berita acara pelaksanaan tindakan (Pasal 75
KUHAP) tentang125
1. “Pemeriksaan tersangka.
:
2. Penangkapan. 3. Penahanan. 4. Penggeledahan. 5. Pemasukan rumah. 6. Pemeriksaan surat. 7. Pemeriksaan saksi.
120 Pasal 120 jo. Pasal 113 ayat (1) KUHAP. 121 Pasal 123 ayat (2) KUHAP. 122 Pasal 127 ayat (1) KUHAP. 123 Pasal 126 ayat (2) KUHAP. 124 Pasal 132 ayat (2) KUHAP. 125 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta : Djambatan, 1989), hal. 92-
93.
Universitas Sumatera Utara
8. Pemeriksaan tempat kejadian. 9. Pelaksanaan Penetapan dan Putusan Pengadilan. 10. Pelaksanaan tindakan lain sesuai KUHAP”.
b. Penyidikan Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.126 Penyidik adalah Pejabat Polri yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan.127 Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri
yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan.128
Dalam melakukan penyidikan, juga dilakukan administrasi penyidikan, yang
mana administrasi penyidikan yang dimaksud adalah merupakan penatausahaan dan
segala kelengkapan yang disyaratkan undang-undang dalam proses penyidikan meliputi
pencatatan, pelaporan, pendataan, dan pengarsipan atau dokumentasi untk menjamin
ketertiban, kelancaran, dan keseragaman administrasi baik untuk kepentingan peradilan,
operasional maupun pengawasan penyidikan.
129
126 Pasal 1 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
127 Pasal 1 ayat (4) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
128 Pasal 1 ayat (5) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
129 Pasal 10 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Universitas Sumatera Utara
Penyidikan tindak pidana dilaksanakan berdasarkan laporan polisi dan surat
perintah penyidikan.130 Selanjutnya memulai kegiatan penyidikan yang dilaksanakan
secara bertahap meliputi penyelidikan, pengiriman SPDP, upaya paksa, pemeriksaan,
gelar perkara, penyelesaian berkas perkara, penyerahan berkas perkara ke penuntut
umum, penyerahan dan barang bukti, dan penghentian penyidikan.131
Sebelum melakukan penyidikan, penyidik wajib membuat rencana penyidikan
132
yang diajukan kepada atasan penyidik secara berjenjang sekurang-kurangnya memuat
jumlah dan identitas penyidik, sasaran/target penyidikan, kegiatan yang akan dilakukan
sesuai tahap penyidikan, karakteristik dan anatomi perkara yang akan disidik, waktu
penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara, kebutuhan anggaran penyidikan, dan
kelengkapan administrasi penyidikan.133
2. Fungsi dan Wewenang Penyidikan
Fungsi penyidikan sebagaimana tugas dan tujuan dari hukum acara pidana ialah
mencari dan menemukan kebenaran materiil yaitu kebenaran menurut fakta yang
sebenarnya. Abdul Mun’in Idris dan Agung Legowo Tjiptomartono mengemukakan
mengenai fungsi penyidikan sebagai berikut : “Fungsi penyidikan adalah merupakan
fungsi teknis reserse kepolisian yang mempunyai tujuan membuat suatu perkara menjadi
130 Pasal 14 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
131 Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
132 Pasal 17 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
133 Pasal 17 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Universitas Sumatera Utara
jelas, yaitu dengan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-
lengkapnya mengenai suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang terjadi”.134
Sedangkan R. Soesilo menyamakan fungsi penyidikan dengan tugas penyidikan
sebagai berikut : “Sejalan dengan tugas Hukum Acara Pidana maka tugas penyidikan
perkara adalah mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran menurut fakta yang sebenar-
benarnya”135
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi penyidikan adalah untuk
mencari dan mengumpulkan fakta dan bukti sebanyak-banyaknya untuk mencapai suatu
kebenaran materiil yang diharapkan dan untuk meyakinkan bahwa suatu tindak pidana
tertentu telah dilakukan.
136
Polri berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI
mengatur secara khusus, fungsi Kepolisian terdiri dari : fungsi preventif dan represif.
Mengetahui wewenang pejabat penyidik yang terbagi menjadi pejabat penyidik dan
penyidik pembantu, dapat dilihat dalam aturan Pasal 7 ayat 1. Wewenang kedua pejabat
ini semua terperinci secara umum dalam pasal tersebut, dimana oleh M. Yahya Harahap
dipaparkan sebagai berikut :
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
2. Melakukan tindak pertama pada saat di tempat kejadian.
134 “Fungsi Penyidikan”, http://jurnalapapun.blogspot.com/2014/11/fungsi-penyidikan.html, diakses Selasa tanggal 23 Juni 2015 pukul 10.45 WIB.
135 Ibid. 136 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka.
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan saat perkara.
9. Mengadakan penghentian penyidikan.
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
3. Upaya Paksa Dalam Penyidikan
Dalam melakukan penyidikan, dapat dilakukan upaya paksa yang meliputi
pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan
surat.137 Pemanggilan dilakukan secara tertulis dengan menerbitkan surat panggilan atas
dasar laporan polisi, laporan hasil penyelidikan, dan pengembangan hasil pemeriksaan
yang tertuan dalam berita acara.138 Surat panggilan tersebut ditandatangani oleh penyidik
atau atasan penyidik selaku penyidik.139
137 Pasal 26 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Surat panggilan disampaikan dengan
memperhitungkan tenggang waktu yang cukup paling lambat 3 (tiga) hari sudah diterima
138 Pasal 27 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
139 Pasal 27 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Universitas Sumatera Utara
sebelum waktu untuk datang memenuhi panggilan.140 Surat panggilan sedapat mungkin
diserahkan kepada yang bersangkutan disertai dengan tanda terima, kecuali dalam hal141
a. “Yang bersangkutan tidak ada di tempat, surat panggilan diserahkan melalui keluarganya, kuasa hukum, ketua RT/RW lingkungan, atau kepala desa atau orang lain yang dapat menjamin bahwa surat panggilan tersebut segera akan disampaikan kepada yang bersangkutan.
:
b. Seseorang yang dipanggil berada di wilayah hukum kesatuan Polri yang
memanggil, maka surat panggilan dapat disampaikan melalui kesatuan Polri tempat tinggal yang bersangkutan atau dikirimkan melalui pos/jasa pengiriman surat dengan disertai bukti penerimaan pengiriman”.
Apabila yang dipanggil tidak datang kepada penyidik tanpa alasan yang sah, maka
penyidik membuat surat panggilan kedua.142 Dan bila panggilan kedua tidak datang
sesuai waktu yang telah ditetapkan, penyidik menerbitkan surat perintah membawa.143
Penangkapan dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap orang
yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Penangkapan tersebut wajib dilengkapi dengan surat perintah penangkapan yang
ditandatangani oleh atasan penyidik selaku penyidik. Tembusan surat perintah
penangkapan wajib disampaikan kepada keluarga tersangka dan/atau penasihat hukum
setelah tersangka ditangkap.
144
140 Pasal 27 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
141 Pasal 27 ayat (4) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
142 Pasal 27 ayat (5) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
143 Pasal 27 ayat (6) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
144 Pasal 33 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Universitas Sumatera Utara
Penyidik/penyidik pembantu dapat melakukan penangkapan atas permintaan
bantuan dari kesatuan Polri dari luar kesatuannya berdasarkan DPO, instansi lain yang
berwenang, dan permintaan Negara anggota International Criminal Police Organization
(ICPO) – Interpol. Permintaan bantuan penangkapan tersebut harus mencantumkan
identitas tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan
yang dipersangkakan dan tempat tersangka diperiksa. Penyidik wajib segera
menyerahkan orang yang ditangkap kepada instansi yang meminta bantuan penangkapan
disertai dengan berita acara penyerahan tersangka. Terhadap tersangka yang diduga
berada di luar negeri, Penyidik dapat berkoordinasi dengan Interpol (Divhubinter Polri)
untuk meminta dibuatkan red notice.145
Penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan adanya bukti
permulaan yang cukup, dan tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak
hadir tanpa alasan yang patut dan wajar. Surat perintah penangkapan hanya dapat dibuat
berdasarkan adanya bukti permulaan yang cukup, dan hanya berlaku terhadap satu orang
tersangka yang identitasnya tersebut dalam surat perintah penangkapan. Dalam hal
membantu penangkapan terhadap seseorang yang terdaftar di dalam DPO, setiap pejabat
yang berwenang di suatu kesatuan membuat surat perintah penangkapan.
146
Dalam hal melakukan penangkapan, setiap penyidik wajib
147
a. “Memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri.
:
b. Menunjukkan surat perintah penangkapan, kecuali dalam hal tertangkap tangan.
145 Pasal 35 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
146 Pasal 36 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
147 Pasal 37 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Universitas Sumatera Utara
c. Memberitahukan alasan penangkapan dan hak-hak tersangka. d. Menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman hukuman
kepada tersangka pada saat penangkapan. e. Menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan
memberitahu orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah penangkapan”.
Dengan demikian, dalam hal Penyidikan dilakukan oleh Penyidik Polri, maka
terhadap Tersangka dan Saksi-saksi yang dipanggil untuk diambil keterangannya.
Keterangan yang diambil tersebut harus dituangkan dalam suatu Berita Acara
Pemeriksaan (BAP), maka Penyidik dapat melakukan upaya-upaya paksa, seperti :
penangkapan, penahanan, penggeledahan, maupun penyitaan dengan mempertimbangkan
Berita Acara Pemeriksaan yang telah dibuat tersebut.
C. Dasar Hukum Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Narkotika Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Dewasa ini penyalahgunaan narkotika tidak lagi merupakan kejahatan tanpa
korban (victimless crime), melainkan sudah merupakan kejahatan yang memakan banyak
korban dan bencana berkepanjangan kepada seluruh umat manusia di dunia.148
Di Indonesia hukum yang mengawasi dan mengendalikan penggunaan narkotika
serta menanggulangi penyalahgunaan narkotika dan perawatan para korbannya dikenal
Pada dua
dasawarsa terakhir, penggunaan dan pengedaran narkotika secara illegal diseluruh dunia
menunjukkan peningkatan yang tajam serta mewabah merasuki semua bangsa, serta
meminta banyak korban.
148 BNN RI, Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda, (Jakarta : BNN RI, 2011), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
dengan hukum narkotika.149
Penegakan hukum yang paling diutamakan di Indonesia adalah penegakan hukum
secara pidana dimana pidana mengatur melarang dan memberikan sanksi terhadap pelaku
hukum, Penegakan hukum secara pidana ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal
terhadap merebaknya peredaran perdagangan narkotika, tapi dalam kenyataannya justru
semakin intensif penegakan hukum semakin meningkat pula peredaran perdagangan
narkotika dan psikotropika tersebut,
Hukum yang mengatur tentang Narkotika ini sangatlah
diperlukan mengingat penyebarannya yang semakin meningkat di berbagai daerah baik
secara nasional maupun transnasional. Hukum yang mengatur mengenai penggunaan
narkotika diawali dengan dibuatnya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976. Kemudian
seiring dengan perkembangannya kemudian pengaturan mengenai pengawasan
penggunaan narkotika ini diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang
narkotika yang kemudian diperbaharui dan diganti lagi menjadi Undang-Undang Nomor
34 tahun 2009 karena Undang-undang yang lama tersebut dianggap tidak cukup lagi
dalam menangani penyebaran dan peredaran gelap narkotika.
150
Agar tindak pidana narkotika dapat dikendalikan, maka dibuatlah Undang-undang
dan berbagai peraturan untuk dapat mengendalikan tindak pidana narkotika, yaitu :
yang berarti perlu adanya perhatian khusus pada
tindak pidana narkotika.
1. Kitab Hukum Undang-Undang Pidana.
2. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
149 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Bandung : Mandar Maju, 2003), hal. 4.
150 Siswanto Sumarto, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2004), hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
3. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, dan
4. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang BNN.
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur mengenai
proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana
narkotika, tepatnya di Pasal 73 sampai dengan Pasal 103. Di dalam setiap rangkaian
penanganan kasus narkotika, proses penyidikan adalah proses yang paling utama dalam
memberantas penyalahgunaan narkotika. 151
Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, penyidikan dapat dilakukan
oleh Badan Narkotika Nasional (selanjutnya disingkat BNN), Kepolisian Republik
Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil. Hal ini berarti selain Badan Narkotika Nasional,
Kepolisian Negara Republik Indonesia juga memiliki peranan penting dalam melakukan
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Berdasarkan Pasal 5 Undang-
Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai alat
Negara, polisi memiliki peranan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan penganyom kepada masyarakat,
sehingga peranan kepolisian disini sangat penting dalam mencegah penyebaran dan
penyalahgunaan narkotika.
152
KUHAP tidak mengatur mengenai kewenangan penyidik BNN, akan tetapi karena
dalam Pasal 75 dan Pasal 80 UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika berlaku asas lex
151 Tanggung Priyanggo Tri Saputro, “Kajian Yuridis Penyidikan Tindak PIdana Narkotika Melalui Teknik Pembelian Terselubung oleh Penyidik Polri Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”, Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014, hal. 5.
152 Ibid, hal. 5-6.
Universitas Sumatera Utara
specialis derogate legi generalis, maka Badan Narkotika Nasional (selanjutnya disingkat
BNN) mempunyai kewenangan dalam penyidikan tindak pidana narkotika.
Dalam menjalankan proses penyidikan tindak pidana narkotika, kepolisian
diberikan kewenangan yang sama dengan Badan Narkotika Nasional oleh Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pada
Pasal 81 yang menyatakan : “Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-undang ini”.153
Polisi sebagai penyidik dalam melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana
narkotika dan psikotropika dapat melakukan tugas sebagaimana yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana dinyatakan bahwa :
154
(1) Pada waktu penangkapan tersangka, penyidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawa serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka terdapat benda yang dapat disita.
(2) Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) di bawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.
Dengan adanya ketentuan yang diatur di dalam Kitab undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), maka langkah aparat kepolisian baik dalam penggrebekan
maupun dalam penangkapan pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika sesuai
dengan KUHAP. Hal tersebut dilakukan oleh aparat kepolisian juga untuk menjaga diri
agar dalam proses penangkapan tindak pidana narkotika dan psikotropika tidak
menyalahi aturan, sehingga tidak menimbulkan tuntutan hukum bagi aparat kepolisian
153 Ibid., hal 6. 154 Pasal 37 KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
yang melakukan penangkapan pelaku tindak pidana untuk kepentingan penyelidikan
tindak pidana narkotika dan psikotropika.155
Berdasarkan KUHAP menyatakan bahwa
156
(1) “Untuk kepentingan penyelidikan, penyidik atas perintah penyidik berwenang
melakukan penangkapan.
:
(2) Untuk kepentingan penyelidikan, penyidik dan penyidik pembantu
berwenang melakukan penangkapan”.
Dengan ketentuan pasal tersebut, maka penyelidik melakukan penyelidikan atas
perintah penyidik, yang mana tindakan penyelidikan yang dilakukan penyelidik bertujuan
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa, yang diduga sebagai tindak pidana
narkotika dan psikotropika, yang mana hal ini bertujuan untuk menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan. Apabila suatu peristiwa tersebut masuk kategori tindak
pidana, maka aparat kepolisian melakukan penyidikan.157
Dengan demikian apabila ada sangkaan bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan,
maka penyidik wajib melakukan penyidikan dan pemeriksaan dengan seksama, apakah
perbuatan yang telah dilakukan itu betul-betul merupakan tindak pidana narkotika dan
psikotropika, maksudnya adalah apakah perbuatan tersebut melanggar suatu aturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Apabila
155 Ade Saputra, Proses Penyelidikan dan Penyidikan Tindak PIdana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Direktorat Reserse Narkoba Polda DIY), Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013, hal. 16
156 Pasal 16 KUHAP. 157 Ade Saputra, Loc.cit., hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
melanggar suatu peraturan perundang-undangan maka dilakukan pencarian siapakah yang
melakukan perbuatan tindak pidana tersebut.158
D. Proses Penyidikan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pengguna Narkotika Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Penyidikan merupakan kegiatan pemeriksaan pendahuluan/awal (vooronderzoek)
yang seyogyanya dititikberatkan pada upaya pencarian atau pengumpulan bukti faktual
penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat diikuti dengan tindakan
penahanan terhadap tersangka dan penyitaan terhadap barang atau bahan yang diduga erat
kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi.159
Penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyidikan dengan adanya
persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah
pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang
patut diduga merupakan tindak pidana.
160
Dalam bahasa Belanda penyidikan disejajarkan dengan pengertian opsporing.
Menurut Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat
yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun
mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran
hukum.
161
158 Ibid.
159 Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana, (Jakarta : Galaxy Puspa Mega, 2002), hal. 15.
160 M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 99. 161 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal. 118.
Universitas Sumatera Utara
Istilah lain yang dipakai untuk menyebut istilah penyidikan adalah mencari
kejahatan dan pelanggaran yang merupakan aksi atau tindakan pertama dari penegak
hukum yang diberi wewenang untuk itu, dilakukan setelah diketahuinya akan terjadi atau
diduga terjadinya suatu tindak pidana. Penyidikan merupakan tindakan yang dapat dan
harus segera dilakukan oleh penyidik jika terjadi atau jika ada persangkaan telah terjadi
suatu tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan kejahatan atau pelanggaran
maka harus diusahakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah
dilakukan suatu tindak pidana dan jika benar demikian siapakah pelakunya.162
Penyidikan itu dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang
pada taraf pertama harus dapat memberikan keyakinan walaupun sifatnya masih
sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang
tindak pidana apa yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Penyidikan dilakukan
untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan penuntutan, yaitu untuk
menentukan dapat atau tidaknya suatu tindakan atau perbuatan itu dilakukan penuntutan.
Secara konkrit tindak itu disebut penyidikan dapat diperinci sebagai tindakan yang
dilakukan oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang163
1. “Tindak pidana apa yang telah dilakukan.
:
2. Kapan tindak pidana itu dilakukan. 3. Dimana tindak pidana itu dilakukan. 4. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan. 5. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan. 6. Mengapa tindak pidana itu dilakukan, dan 7. Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu”.
162 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, (Jakarta : Djambatan, 1998), hal. 8. 163 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Penyidikan sebagai bagian terpenting dalam Hukum Acara Pidana yang pada
pelaksanaannya kerap kali harus menyinggung martabat individu yang dalam
persangkaan kadang-kadang wajib untuk dilakukan. Suatu semboyan penting dalam
Hukum Acara Pidana yaitu hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk
menjernihkan persoalan sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari
tindakan yang seharusnya dibebankan padanya. Oleh karena tersebut sering kali proses
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang cenderung lama,
melelahkan dan mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis diusahakan dari
penghentian penyidikan.
Rangkaian tindakan penyidikan adalah segala tindakan atas nama hukum yang
dilakukan oleh Penyidik Polri, mulai dari pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan,
penahanan, penyitaan dan tindakan-tindakan lain yang diatur dalam ketentuan hukum,
perundang-undangan yang berlaku hingga proses penyidikan itu dinyatakan selesai.
Secara konkret tindak itu disebut penyidikan
Penegakan hukum tindak pidana narkotika, dimulai dari penyelidikan kemudian
dilanjutkan penyidikan sebelum dilaksanakan pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Penyidikan dilakukan oleh Penyidik Polri ataupun Penyidik BNN untuk memperoleh
kejelasan tentang kebenaran tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya. Apabila dalam
proses penyidikan itu telah didapat hasil yang meyakinkan menurut hukum, dilanjutkan
pada tingkat penuntutan yang menjadi wewenang lembaga Kejaksaan. Dalam
hubungannya dengan penyidikan terhadap tindak pidana, maka Penyidik Polri dalam
melaksanakan tugasnya harus memperhatikan asas praduga tiak bersalah sebagaimana
tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Universitas Sumatera Utara
Kehakiman. Penyidikan meliputi kegiatan penggeledahan dan penyitaan, demikian
halnya penyidikan yang dilakukan terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika yang
ditangani oleh penyidik Polresta Medan.
1. Proses Penyidikan Oleh Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan Dalam Mengungkap Kasus Tindak Pidana Narkotika
Adapun proses penyidikan yang dilakukan Satres Narkoba Polresta Medan dalam
penegakan hukum terhadap pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika,
yaitu :
a. Menerima Laporan
Karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan atau pengaduan
dari seorang tentang adanya tindak pidana.164 Laporan adalah pemberitahuan yang
disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada
pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa
pidana.165
Dalam hal, tindak pidana narkotika tidak menganut delik aduan, oleh karena
itu, cukup dengan adanya laporan dari masyarakat saja, maka Penyidik Satres Narkoba
Polresta Medan dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan.
b. Melakukan Tindakan Pertama
Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang melakukan tindakan
pertama pada saat di tempat kejadian.166
164 Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 1 jo. Pasal 7 ayat (1) huruf a. KUHAP.
Setelah menerima laporan dari seseorang maka
165 Pasal 1 ayat (24) KUHAP. 166 Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 1. Jo. Pasal 7 ayat (1) huruf b. KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
penyidik mengecek kebenaran laporan atau pengaduan tersebut dengan memeriksa di
tempat kejadian. Jika laporan atau pengaduan itu benar telah terjadi peristiwa pidana,
maka apabila si tersangka masih berada di tempat tersebut, penyidik dapat melarang si
tersangka meninggalkan tempat kejadian. Selanjutnya penyidik mengadakan pemeriksaan
seperlunya termasuk memeriksa identitas tersangka atau menyuruh berhenti orang-orang
yang dicurigai melakukan tindak pidana dan melarang orang-orang keluar masuk tempat
kejadian. Kemudian penyidik harus berusaha mencari dan mengumpulkan bahan-bahan
keterangan dan bukti yang digunakan untuk melakukan kejahatan.
Apabila pemeriksaan di tempat kejadian selesai dilakukan dan barang-barang
bukti telah pula dikumpulkan maka selanjutnya harus disusun suatu kesimpulan
sementara. Setelah kejadian tersebut telah dapat disimpulkan, maka petugas penyidik
mencocokkan barang-barang bukti yang telah dikumpulkan itu satu sama lainnya,
misalnya antara barang bukti yang didapatkan di tempat kejadian dengan keterangan para
saksi yang melihat sendiri kejadian tersebut. Pencocokan barang-barang bukti ini sangat
penting, karena barang-barang bukti tersebut sangat menentukan pembuktian perbuatan si
tersangka dalam persidangan. Kalau alat-alat bukti yang telah dikumpulkan itu tidak
sesuai dengan keterangan tersangka atau para saksi, maka barang-barang bukti itu tidak
bernilai.
c. Melakukan Penangkapan
Universitas Sumatera Utara
Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang melakukan
penangkapan.167 Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang.168
Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang
melakukan penangkapan. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik
pembantu berwenang melakukan penangkapan.
169 Perintah penangkapan dilakukan
terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
permulaan yang cukup.170
Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada
tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan
menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan
dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera
menyerahkan tertangkap beserta barang-barang bukti yang ada kepada penyidik atau
penyidik pembantu terdekat. Tembusan surat perintah penangkapan tersebut harus
diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
171
167 Pasal 7 ayat (1) huruf d. KUHAP.
168 Pasal 1 ayat (20) KUHAP. 169 Pasal 16 KUHAP. 170 Pasal 17 KUHAP. 171 Pasal 18 KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
Penangkapan dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. Terhadap tersangka
pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil
secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.172
d. Melakukan Penggeledahan
Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa penggeledahan.173
Penggeledahan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 32 sampai dengan
Pasal 37 KUHAP, untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang untuk melakukan
penggeledahan terhadap rumah, pakaian dan badan. Adapun tujuan dilakukan
penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti, dan sekaligus untuk melakukan
penangkapan terhadap tersangka.
e. Melakukan Penyitaan
Setelah melakukan penggeledahan, maka Penyidik dapat melakukan penyitaan
yaitu serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.174
Dalam pelaksanaan penyitaan yang dilakukan guna kepentingan acara pidana
dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang yaitu adanya
suatu pembatasan-pembatasan dalam penyitaan, antara lain keharusan adanya izin ketua
Pengadilan Negeri setempat. Namun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak
172 Pasal 19 KUHAP. 173 Pasal 5 ayat (1) huruf b angka 1 jo. Pasal 7 ayat (1) huruf d. KUHAP. 174 Pasal 1 ayat (17) KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat
izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak, dan
untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat guna
mendapat persetujuannya.175
Penyitaan terhadap barang bukti diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 46
KUHAP dimana penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh penyidik hanya dapat
dilakukan dengan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
f. Melakukan Pemeriksaan Tersangka dan Saksi
Pemeriksaan tersangka dan saksi merupakan bagian atau tahap yang paling
penting dalam proses penyidikan. Bedasarkan keterangan tersangka dan saksi akan
diperoleh keterangan-keterangan yang akan dapat mengungkap akan segala sesuatu
tentang tindak pidana yang terjadi. Akan tetapi, terhadap seorang tersangka, dirinya
memiliki hak sangkal yang dijamin oleh KUHAP. Hak sangkal tersebut, memberikan
keleluasaan kepada seorang tersangka untuk memberikan keterangan di hadapan
penyidik.
Dalam rangka melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, maka penyidik harus
memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 51, Pasal 53, Pasal 114, Pasal
115 dan Pasal 133 KUHAP. Tersangka yang telah ditangkap atau dilakukan penahanan,
maka dalam waktu 1 x 24 jam setelah perintah penahanan itu dijalankan, ia harus mulai
diperiksa. Untuk memeriksa tersangka oleh penyidik dilihat dari kasus tindak pidana
yaitu:
175 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Op.cit., hal. 145.
Universitas Sumatera Utara
1) Karena tertangkap tangan, maka si tersangka dapat langsung diperiksa.
2) Karena laporan, sitersangka dipanggil oleh penyidik secara sah.
Dalam hal tersangka dipanggil, maka harus memperhatikan tenggang waktu yang
wajar antara diterimanya panggilan dan hari pemeriksaan. Orang yang dipanggil apakah
akan didengar keterangannya sebagai tersangka atau saksi wajib datang. Bila tidak datang
akan dipanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas atau penyidik untuk dibawa
kepadanya.176
Bagi tersangka sebelum terhadap dirinya dimulai pemeriksaan, kewajiban
penyidik memberitahukan kepadanya hak untuk mendapat bantuan hukum.
177 Tersangka
didengar keterangannya tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.178
Saksi merupakan suatu alat bukti yang sangat menentukan dalam proses
peradilan. Karena Saksi itu adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendir dan ia alami sendiri.
179 Saksi diperiksa secara tersendiri,
tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib memberikan
keterangan yang sebenarnya.180
g. Melakukan Penahanan
176 Pasal 112 KUHAP. 177 Pasal 114 KUHAP. 178 Pasal 117 KUHAP. 179 Pasal 1 ayat (26) KUHAP. 180 Pasal 116 ayat (2) KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang.181
Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak
seseorang. Jadi disini terdapat pertentangan antara dua asas yaitu hak bergerak seseorang
yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati di satu pihak dan kepentingan
ketertiban umum di lain pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau
masyarakat dari perbuatan jahat tersangka.
182
Pertimbangan dan ketentuan mengenai
penahanan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal
31 KUHAP, yaitu : dikhawatirkan Tersangka dapat menghilangkan barang bukti dan
dapat melarikan diri.
h. Melakukan Pelimpahan Berkas Perkara Berikut Tersangkanya Kepada Kejaksaan
Menurut Pasal 8 KUHAP, jika penyidik telah selesai melakukan penyidikan,
penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Penyelesaian
dan penyerahan berkas perkara terdiri dari dua tahap dimana pada tahap pertama penyidik
menyerahkan berkas perkara, apabila telah dianggap lengkap maka penyidik
menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti. Kegiatan ini merupakan
akhir dari proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik.
Setelah selesainya proses penyidikan, maka penyidik menyerahkan berkas perkara
hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum, dimana penuntut umum nantinya akan
181 Pasal 1 ayat (21) KUHAP. 182 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Op.cit., hal. 127.
Universitas Sumatera Utara
memeriksa kelengkapan berkas perkara tersebut apakah sudah lengkap atau belum, bila
belum maka berkas perkara tersebut akan dikembalikan kepada penyidik untuk
dilengkapi untuk dilakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum
dan bila telah lengkap yang dilihat dalam empat belas hari penuntut umum tidak
mengembalikan berkas pemeriksaan atau penuntut umum telah memberitahu bahwa
berkas tersebut lengkap sebelum waktu empat belas hari maka dilanjutkan prosesnya ke
persidangan.
Keseluruhan proses penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik Polri tersebut
kemudian akan dilanjutkan oleh kejaksaan dalam hal mempersiapkan penuntutan yang
akan diajukan dalam sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan vonis kepada
terdakwa yang kesemuanya itu berlangsung dalam suatu sistem peradilan pidana dalam
rangka penegakan hukum pidana.
2. Proses Penyidikan Oleh Penyidik BNN RI Dalam Mengungkap Kasus Tindak Pidana Narkotika
Penyidikan terhadap tindak pidana narkotika oleh penyidik Badan Narkotika
Nasional Provinsi diatur dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika,
diman BNN mempunyai tugas, yaitu183
a. “Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
:
b. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
c. Berkordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
183 Pasal 70 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
d. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
e. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
f. Memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
g. Melakukan kerja sama bilateral dan multiteral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
h. Mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika. i. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dan j. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang”.
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan
penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.184
Selanjutnya, menurut Pasal 72 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, menyatakan bahwa :
(1) “Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN.
(2) Penyidik BNN sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala BNN”.
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dilakukan
184 Pasal 71 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang.185
Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika,
termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna
penyelesaian secepatnya. Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak
pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan
eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
186
Dalam rangka melakukan penyidikan, Penyidik BNN berwenang
187
a. “Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
:
b. Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
c. Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi. d. Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
e. Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
f. Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
g. Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
h. Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiks nasional.
i. Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup.
j. Melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan.
k. Memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
185 Pasal 73 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 186 Pasal 74 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 187 Pasal 75 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
l. Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya.
m. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka. n. Melakjukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman. o. Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat
perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
p. Melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita.
q. Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika,
r. Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dan
s. Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika”.
Kewenangan BNN melakukan penangkapan juga diatur dalam Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu188
(1) “Pelaksanaan kewenangan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling lama 3 x24 jam (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat penangkapan diterima penyidik.
:
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam”.
Mengenai kewenangan BNN melakukan penyadapan, dapat dilihat sebagai
berikut189
(1) “Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik.
:
(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.
(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
(4) Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
188 Pasal 76 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 189 Pasal 77 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus melakukan penyadapan,
penyadapan dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri terlebih
dahulu. Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam Penyidik wajib
meminta izin tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri mengenai penyadapan
dimaksud.190
Teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan
terhadap kewenangan BNN untuk melakukan penyidikan pembelian terselubung dan
penyerahan di bawah pengawasan, dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis dari
pimpinan.
191
Kewenangan lain Penyidik BNN, yaitu
192
a. “Mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum.
:
b. Memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait.
c. Untuk mendapatkan keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa.
d. Untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
e. Meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri.
f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait. g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan
perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa, dan
190 Pasal 78 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 191 Pasal 79 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 192 Pasal 80 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri”.
Dengan demikian, Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan maupun Penyidik
BNN RI Propinsi Sumatera Utara dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
tindak pidana narkotika ataupun tindak pidana prekursor narkotika. Penyelidikan dan
penyidikan dimulai tidak selau dimulai dari adanya laporan pengaduan, akan tetapi, bisa
juga dilakukan tanpa ada laporan, apabila ada kecurigaan oleh penyidik, maka dapat
dilakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika. Hal ini dikarenakan
tindak pidana narkotika tidak menganut delik aduan, maka hanya dengan adanya laporan
saja, penyidik dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan. Oleh karena itu, tindak
pidana narkotika adalah tindak pidana khusus, maka harus diperlakukan secara khusus.
E. Proses Penyidikan Terhadap Pengguna Narkotika Yang Tertangkap Tangan Dihubungkan Dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi dan Rehabilitasi Sosial
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 tentang Penetapan
Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi dan
Rehabilitasi Sosial (SEMA No. 04 Tahun 2010) diterbitkan pada tanggal 07 April 2010
yang ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi dan seluruh Ketua Pengadilan
Negeri di Indonesia. Tujuan SEMA ini dikeluarkan adalah untuk mengadakan revisi
SEMA No. 07 Tahun 2009 tertanggal 17 Maret 2009 tentang Menempatkan Pemakai
Narkotika ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. Tujuan selanjutnya untuk mengisi
Universitas Sumatera Utara
kekosongan hukum terkait petunjuk teknis dan pelaksanaan Pasal 103 huruf a dan b
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Kaitannya dengan Penyidik adalah bahwa Penyidik juga terikut menerapkan
SEMA No. 04 Tahun 2010 ini karena Penyidik merupakan salah satu unsur di dalam
Criminal Justice Sistem (Sistem Peradilan Pidana). Hulu dari sebuah peradilan pidana
adalah penyidikan. Jadi, SEMA No. 04 Tahun 2010 diterapkan juga oleh Penyidik.
Adapun tata cara prosedural penerapan SEMA No. 04 Tahun 2010, bagi Penyidik,
yaitu193
a. “Terdakwa pada saat ditangkap oleh Penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan;
:
b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a di atas, ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian, antara lain sebagai berikut :
1. Kelompok metamphetamine (shabu) : 1 gram 2. Kelompok MDMA (ekstasi) : 2,4 gram = 8 butir 3. Kelompok Heroin : 1,8 gram 4. Kelompok Kokain : 1,8 gram 5. Kelompok Ganja : 5 gram 6. Daun Koka : 5 gram 7. Meskalin : 5 gram 8. Kelompok Psilosybin : 3 gram 9. Kelompok LSD (d-lsergic acid diethlamide) : 2 gram 10. Kelompok PCP (phencyclidine) : 3 gram 11. Kelompok Fentanil : 1 gram 12. Kelompok Metadon : 0,5 gram 13. Kelompok Morfin : 1,8 gram 14. Kelompok Petidin : 0,96 gram 15. Kelompok Kodein : 72 gram 16. Kelompok Bufrenorfin : 32 mg
c. Surat uji Laboratorium positif menggunakan Narkotika berdasarkan permintaan penyidik.
d. Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh Hakim.
e. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap Narkotika”.
193 Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04/Bua.6/HS/Sp/IV/2010 tertanggal 07 April 2010.
Universitas Sumatera Utara
Dikaitkan dengan Penyidikan yang dilakukan oleh Sat.Res Narkoba Polresta
Medan, maka adapun prosedural yang ditempuh Penyidik Sat.Res Narkoba apabila
melakukan penangkapan terhadap pihak yang tertangkap tangan, adalah sebagai
berikut194
1. “Meneliti pemberkasan Laporan Pengaduan masyarakat apakah Tersangka sudah Target Operasi (TO) atau bukan, hal ini dilakukan berdasarkan informasi penyelidikan;
:
2. Meneliti daftar narapidana yang dikirimkan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas
I Tanjung Gusta Medan ataupun dari Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI Propinsi Sumatera Utara;
3. Meneliti Daftar Pencarian Orang (DPO) berdasarkan penunjukan oleh Tersangka lain yang sudah ditangkap terlebih dahulu, bisa dari Polsek-polsek dibawah Polresta Medan ataupun Polres-polres lainnya di bawah wilayah hukum Polda Sumut, pencarian DPO ini dilakukan dengan cara horizontal dan vertikal;
4. Melakukan penilaian (assessment) terhadap Tersangka apakah tersangka yang tertangkap tangan tersebut pemakai aktif atau tidak. Apabila pemakai aktif, dirinya memakai narkoba setiap hari, adanya kecenderungan pemakaian yang meningkat. Sedangkan, pemakai pasif, hanya memakai narkoba seminggu sekali. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan apakah tersangka yang tertangkap tangan tersebut adalah pelaku peredaran gelap narkoba ataukah pemakai narkoba”.
Prosedural tersebut di atas penting dilaksanakan dengan pertimbangan agar para
tersangka yang tertangkap tangan, Penyidik tidak salah dalam menerapkan surat edaran
tentang rehabilitasi ini. Setelah diketahui bahwa tersangka yang tertangkap tangan
tersebut adalah pelaku peredaran gelap narkoba, maka SEMA No. 04 Tahun 2010 tidak
diberlakukan kepadanya, dengan catatan walaupun dirinya membawa barang bukti
dibawah yang ditentukan oleh surat edaran tersebut. Akan tetapi, apabila setelah
194 Wawancara dengan Donny Alexander, Kasat Res.Narkoba Polresta Medan, melalui telepon, pada hari Kamis, tanggal 30 Juli 2015.
Universitas Sumatera Utara
dilakukan prosedural di atas, diketahui bahwa tersangka yang tertangkap tangan tersebut
adalah bukan seorang pelaku peredaran gelap narkotika, berarti dirinya adalah sebagai
pemakai, barulah surat edaran rehabilitasi tersebut dapat diterapkan.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
HAMBATAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI
POLRESTA MEDAN
Dalam membahas permasalahan mengenai hambatan-hambatan dalam upaya
penanggulangan tindak pidana narkotika dapat digunakan teori sistem hukum yang
dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Sistem hukum meliputi : Struktur Hukum
(legal structure), yaitu bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem
atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem. Misalnya kepolisian, kejaksaan,
pengadilan; Substansi Hukum (legal substance), yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh
sistem hukum, misal putusan hakim berdasarkan undang-undang; Budaya Hukum (Legal
Culture), yaitu sikap publik atau nilai-nilai komitmen moral dan kesadaran yang
mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan
bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik
masyarakat.195
Dengan demikian untuk dapat beroperasinya hukum dengan baik, hukum itu
merupakan satu kesatuan (sistem) yang dapat dipertegas sebagai berikut :
1. Struktural mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang mencakup
tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antar lembaga-lembaga
tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
2. Substansi mencakup isi norma-norma hukum serta perumusannya maupun cara
penegakannya yang berlaku bagi pelaksanaan hukum maupun pencari keadilan.
195 Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Bandung : Refika Aditama, 2004), hal. 153.
93 Universitas Sumatera Utara
3. Kultur pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku,
nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Nilai-nilai yang mencerminkan dua
keadaan ekstrim yang harus diserasikan.
Terkait dengan sistem hukum tersebut, menurut Otje Salman mengatakan perlu
ada suatu mekanisme pengintergrasian hukum, bahwa pembangunan hukum harus
mencakup tiga askpek di atas, yang secara ilmuan berjalan melalui langkah-langkah
strategis, mulai dari perencanaan pembuatan aturan (Legislation Planing). Proses
pembuatannya (law making process), sampai kepada penegakan hukum (law
enforcement) yang dibangun melaui kesadaran hukum (law awareness) masyarakat.196
Implementasi penegakan hukum Soerjono Soekanto juga mengatakan ada
beberapa faktor yang mempengaruhi berlakunya hukum. Faktor-faktor tersebut adalah
sebagai berikut
197
1. “Faktor hukumnya sendiri.
:
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup”.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan
esensi dari penegak hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan
196 Ibid., hal. 154. 197 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2004), hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
hukum. Berdasarkan dengan faktor-faktor tersebut, Gunnar Myrdal sebagaimana dikutip
oleh Soerjono Soekanto, menulis sebagai Sof Development dimana hukum-hukum
tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejal semacam itu
akan timbul. Apabila ada faktor-faktor tertentu menjadi halangan faktor-faktor tersebut
dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak huku, para pencari keadilan (Jastitabeken)
maupun golongan-golongan lain di dalam masyarakat.198
Agar sisten hukum dapat berfungsi dengan baik, Parson mempunyai gagasan,
yang nampaknya dapat menjadi semacam alternatif, beliau menyebut ada 4 (empat) hal
yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu
199
1. “Masalah legitimasi (yang menjadi landasan bagi penataan kepada aturan-aturan).
:
2. Masalah interprestasi (yang menyangkut soal penetapan hak dan kewajiban subyek, melalui proses penerapan aturan tertentu).
3. Masalah sanksi (menegaskan sanksi apa, bagaimana penerapannya dan siapa yang menerapkannya).
4. Masalah yuridis yang menetapkan garis kewenangan bagi yang berkuasa menegakkan norma hukum dan golongan apa yang berhak diatur oleh perangkat norma itu”.
Berpijak pada pendapat Parson ini maka untuk menanggulangi dan memberantas
tindak pidana narkotika maka masalah legitimasi, interprestasi, sanksi dan kewenangan
ini harus diselesaikan terlebih dahulu.
A. Hambatan Substansi Hukum
Di Indonesia saat ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum pidana.
Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal,
198 Ibid., hal. 127. 199 Ibid., hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
hukum pidana materiil dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga bidang hukum tersebut
bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala dalam
pelaksanaannya.200 Salah satu yang menjadi pemicu terhadap perubahan hukum pidana
adalah kemajuan teknologi dan informasi.201 Sebagai bagian dari kebijakan hukum
pidana, maka pembaharuan hukum pidana hakikatnya bertujuan untuk menjadikan
hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.202
Menurut Barda Nawawi Arief, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dapat
dilihat dari203
1. “Sudut pendekatan kebijakan
:
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).
b. Sebagai bagian dari kebijakan criminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya pembaharuan substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
2. Sudut pendekatan nilai Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosio-filosofis dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantive hukum pidana yang dicita-citakan”.
Fungsi sanksi pidana dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata menakut-nakuti
atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi tersebut
200 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, (Jakarta : Djambatan, 2007), hal. 38.
201 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta : Grafindo, 2008), hal. 1. 202 Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta :
Djambatan, 2002), hal. 20. 203 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta : Kencana Prenada,
2008), hal. 31-32.
Universitas Sumatera Utara
juga harus dapat mendidik dan memperbaiki si pelaku. Pidana itu pada hakikatnya
merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia.204
Hakim dapat mempertimbangkan jenis pidana apa yang paling sesuai untuk kasus
tertentu dengan mengetahui efek dari berbagai sanksi pidana. Untuk pemidanaan yang
sesuai, masih perlu diketahui lebih banyak mengenai si pembuat. Ini memerlukan
informasi yang cukup tidak hanya tentang pribadi si pembuat, tetapi juga tentang
keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan yang dituduhkan. Digunakannya pidana
sebagai sarana untuk mempengaruhi tindak laku seseorang tidak akan begitu saja
berhasil, apabila sama sekali tidak diketahui tentang orang yang menjadi objeknya. Hal
yang paling diinginkan dari pidana tersebut adalah mencegah si pembuat untuk
mengulangi perbuatannya.
Landasan pemikiran pembaharuan
terhadap pidana dan pemidanaan bukan hanya menitikberatkan terhadap kepentingan
masyarakat tetapi juga perlindungan individu dari pelaku tindak pidana.
205
Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat karena saat ini
pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Disamping itu, melalui
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, dan adanya penyebaran narkotika
yang juga telah menjangkau hamper ke semua wilayah Indonesia. Daerah yang
sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun berubah menjadi
sosok pecandu yang sukar dilepaskan ketergantungannya.
204 Niniek Supami, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hal. 3.
205 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 2006), hal. 86.
Universitas Sumatera Utara
Pecandu pada dasarnya adalah merupakan korban penyalahgunaan tindak pidana
yang melanggar peraturan pemerintah, dan mereka itu semua merupakan warga Negara
Indonesia yang diharapkan dapat membangun negeri ini dari keterpurukan hamper di
segala bidang. Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika tersebut, diperlukan
suatu kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai korban,
bukan pelaku kejahatan.
Berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasikan menurut keadaan dan status
korban, yaitu206
a. “Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku
:
b. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban.
c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah menyebabkan ia menjadi korban.
f. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri”.
Pecandu narkotika merupakan “self victimizing victims”, karena pecandu
narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang
dilakukannya sendiri. Hal yang menarik dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika adalah kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis bagi seseorang
yang terbukti sebagai pecandu narkotika untuk dilakukannya rehabilitasi.207
206 Moh. Taufik Makarao, Suhasril, dan Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2005), hal. 49-50.
Secara
207 Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menyatakan bahwa : (1) “Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat : a. Memutus untuk memerintahkan yang
Universitas Sumatera Utara
tersirat, kewenangan ini, mengakui bahwa pecandu narkotika, selain sebagai pelaku
tindak pidana juga sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri yang dalam sudut
viktimologi kerap disebut dengan self victimization atau victimless crime.
Setelah Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Narkotika berjalan hampir
selama 12 tahun, pada tahun 2009 telah dikeluarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika dan Mahkamah Agung juga mengeluarkan sebuah surat edaran (SEMA
No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan
Rehabilitasi) yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di Seluruh
Indonesia untuk menempatkan Pecandu Narkotika di panti rehabilitasi dan yang terbaru
adalah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 Tahun 2010
tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke
dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang merupakan revisi dari
SEMA No. 07 tahun 2009. Tentunya Surat Edaran Mahkamah Agung ini merupakan
langkah maju di dalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau
dekriminalisasi terhadap Pecandu Narkotika.208
bresangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jik Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; (2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman”.
208 Dekriminalisasi adalah proses perubahan dimana penggolongan suatu perbuatan yang tadinya dianggap sebagai tindak pidana menjadi perilaku biasa. Hukuman penjara bagi penyalahguna narkotika terbukti tidak dapat menurunkan jumlah penyalahguna narkotika.
Universitas Sumatera Utara
1. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi
Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika disebutkan bahwa :
“Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas dan perilaku”.209
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa
narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir
dalam undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Kesehatan.
210 Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik
secara fisik maupun psikis.211
Mengenai tindak pidana terhadap Narkotika Golongan I diatur dalam Pasal 111
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 memuat ketentuan bahwa :
(1) “Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, atau menyimpan atau menguasai Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, atau memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).
209 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 210 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 211 Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.
Berkaitan dengan Pasal 111 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, apabila dilakukan secara terorganisasi dipidana penjara dan pidana denda
maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga).212 Selanjutya, apabila dilakukan oleh korporasi,
maka pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana
denda.213
Berkaitan dengan tindak pidana terhadap Narkotika Golongan II, diatur dalam
Pasal 117 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menyatakan
bahwa :
(1) “Setiap orang yang tanpa hak memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.
212 Pasal 132 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 213 Pasal 130 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal, Narkotika Golongan III, diatur dalam Pasal 122 Undang-Undang No.
35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menyatakan bahwa :
(1) “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.
Pada Pasal 113 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur
tentang orang yang memproduksi, melakukan ekspor import ataupun menyalurkan
Narkotika Golongan I, yang bunyinya, sebagai berikut :
(1) “Setiap orang tanpa hak memproduksi, mengimpor, mengeskpor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.
Pada Pasal 118 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur
tentang orang yang memproduksi, melakukan ekspor import ataupun menyalurkan
Narkotika Golongan II, yang bunyinya, sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
(1) “Setiap orang tanpa hak memproduksi, mengimpor, mengeskpor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.
Pada Pasal 123 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur
tentang orang yang memproduksi, melakukan ekspor import ataupun menyalurkan
Narkotika Golongan III, yang bunyinya, sebagai berikut :
(1) “Setiap orang tanpa hak memproduksi, mengimpor, mengeskpor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman melebihi melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.
Apabila dikaitkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang penempatan
pemakai narkoba ke dalam panti terapi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam
SEMA No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti
Terapi dan Rehabilitasi, disebutkan bahwa : “Sebagian besar dari Narapidana dan tahanan
kasus narkoba adalah termasuk kategori pemakai atau bahakan sebagai korban yang jika
Universitas Sumatera Utara
dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit,
oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena
telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.214
Dengan kata lain, adapun maksud dan tujuan dari SEMA No. 07 Tahun 2009
tersebut adalah agar pecandu narkotika jangan dihukum penjara akan tetapi
memerintahkan dan menetapkan pecandu narkotika tersebut untuk menjalani pengobatan
dan/atau perawatan.
Adapun yang menjadi persyaratan agar Pecandu Narkotika diperintahkan atau
ditetapkan menjalani pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 07 tahun 2009 adalah215
1. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik dalam kondisi tertangkap tangan;
:
2. Pada saat tertangkap tangan, ditemukan barang bukti satu kali pakai. Contoh : • Heroin/Putaw : maksimal 0,15 gram • Kokain : maksimal 0,15 gram. • Morphin : maksimal 0,15 gram • Ganja : maksimal 1 linting rokok dan/atau 0,05 gram • Ekstacy : maksimal 1 butir/tablet • Shabu : maksimal 0,25 gram • Dan lain-lain termasuk dalam narkotika Golongan I s/d III dan
psikotropika Golongan I s/d. IV 3. Surat keterangan uji laboratoris positif menggunakan narkoba berdasarkan
permintaan Penyidik; 4. Bukan residivis kasus narkoba; 5. Perlu surat keterangan dari Dokter Jiwa/Psikiater (Pemerintah) yang ditunjuk
oleh Hakim; 6. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan merangkap menjadi
pengedar/produsen gelap narkoba”.
214 Angka 1 SEMA No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.
215 Angka 3 SEMA No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.
Universitas Sumatera Utara
Kerancuan mengenai kedudukan pecandu narkotika menimbulkan hambatan yaitu
bagaimana dengan penyidik dan penuntut terhadap implikasi hukum kepada individu
yang dikategorikan pengguna atau Pecandu Narkotika yang tertangkap tangan memiliki
narkotika dengan batasan yang sesuai dengan SEMA No. 07 tahun 2009 tentang
Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi, apakah
Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum tidak bisa menuntut dengan tindak pidana dengan
kategori dakwaan tunggal atas kepemilikan dan penguasaan barang berupa narkotika
tersebut.
Pengedar, penjual dan/atau bandar narkotika juga memanfaatkan SEMA No. 07
Tahun 2009 ini, karena pada saat mereka tertangkap tangan, barang bukti yang ditemukan
oleh Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan, adalah barang bukti hanya untuk satu kali
pakai dan beratnya dibawah dari batas maksimal yang diatur dalam SEMA No. 07 tahun
2009 dikarenakan Pelaku Tindak Pidana Narkotika dalam hal ini pengedar, penjual
dan/atau bandar narkotika hanya mengantongi barang bukti di bawah 0,5 gram. Padahal,
diketahui bahwa Pelaku tersebut merupakan target operasi.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi dan Rehabilitasi Sosial
Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika untuk menggantikan Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika
karena Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan
memberantas tindak pidana narkotika.
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memuat ketentuan bahwa
:
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.216
Sehingga meskipun seseorang dikategorikan sebagai korban dari penyalahgunaan
narkotika harus menghadapi ancaman pidana yang lebih berat (Pasal 112 UU Narkotika),
karena memiliki, menyimpan dan menguasai narkotika untuk digunakan sendiri.
Sehingga secara tidak langsung menggugurkan adagium mengenai korban
penyalahgunaan narkotika itu sendiri. Sebab tidak akan mungkin seseorang menggunakan
dan kecanduan akan narkotika tanpa membeli dan memiliki narkotika secara melawan
hukum.
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ditegaskan bahwa dalam rangka
melindungi masyarakat dari peredaran gelap dan dampak buruk narkotika, maka pecandu
narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
Untuk mendukung pelaksanaan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tersebut, maka
Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 Tahun
2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu
Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
216 Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
Adapun yang menjadi persyaratan agar pecandu narkotika diperintahkan atau
ditetapkan menjalani pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam
SEMA No. 04 tahun 2010 adalah217
a. “Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan;
:
b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a diatas ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut : 1. Kelompok metamphetamine (shabu) : 1 gram 2. Kelompok MDMA (ekstasi) : 2,4 gram = 8 butir 3. Kelompok Heroin : 1,8 gram 4. Kelompok Kokain : 1,8 gram 5. Kelompok Ganja : 5 gram 6. Daun Koka : 5 gram 7. Meskalin : 5 gram 8. Kelompok Psilosybin : 3 gram 9. Kelompok LSD (d-lsergic acid diethlamide) : 2 gram 10. Kelompok PCP (phencyclidine) : 3 gram 11. Kelompok Fentanil : 1 gram 12. Kelompok Metadon : 0,5 gram 13. Kelompok Morfin : 1,8 gram 14. Kelompok Petidin : 0,96 gram 15. Kelompok Kodein : 72 gram 16. Kelompok Bufrenorfin : 32 mg
c. Surat uji Laboratorium positif menggunakan Narkotika berdasarkan permintaan penyidik.
d. Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh Hakim.
e. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap Narkotika”.
Rehabilitasi bagi pecandu narkotika dilakukan dengan maksud untuk memulihkan
dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang
bersangkutan. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu
217 Angka 2 SEMA No. 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Universitas Sumatera Utara
untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.218 Rehabilitasi Sosial adalah
suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar
mantan pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan
bermasyarakat.219
Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh
Menteri. Selain itu lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi
pemerintah seperti Lapas Narkotika dan Pemerintah Daerah dapat melakukan rehabilitasi
medis terhadap penyalahguna narkotika setelah mendapat persetujuan menteri. Dengan
demikian untuk rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika pengguna jarum suntik dapat
diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan antara lain penularan HIV/AIDS
melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Kementrian Kesehatan. Demikian pula
bagi masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika setelah mendapat
persetujuan dari menteri.
Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu
narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui
pendekatan keagamaan dan tradisional. Sedangkan rehabilitasi sosial bagi manta pecandu
narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, diatur mengenai
sanksi pidana berupa pidana kurungan atau pidana denda bagi orang tua atau wali dari
pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melapor, pecandu narkotika yang
218 , Pasal 1 butir 6 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
219 Pasal 1 butir 7 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri, dan juga bagi keluarga
pecandu narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika yang sudah
cukup.
Bagi pecandu narkotika yang sedang menjalani proses peradilan dapat
ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial yang
merupakan kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat
pemeriksaan setelah mendapatkan rekomendasi dari tim dokter.
Kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial berlaku juga
bagi pecandu narkotika yang diperintahkan berdasarkan putusan pengadilan jika pecandu
narkotika terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika, atau penetapan
pengadilan jika pecandu narkotika tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
narkotika.
Prosedur penerimaan pecandu narkotika yang telah mendapatkan penetapan atau
putusan pengadilan dalam program rehabilitasi ditentukan sebagai berikut220
a. “Pecandu narkotika yang telah mendapatkan penetapan atau putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi, diserahkan oleh pihak kejaksaan ke sarana rehabilitasi medis terpidana narkotika yang ditunjuk.
:
b. Penyerahan dilakukan pada jam kerja administratif rumah sakit yang ditunjuk. c. Penyerahan pecandu narkotika yang telah mendapatkan penetapan dari
pengadilan untuk menjalani rehabilitasi dilakukan oleh pihak kejaksaan dengan disertai berita acara penetapan pengadilan, dengan melampirkan salinan/petikan surat penetapan pengadilan, dan surat pernyataan kesanggupan dari pasien untuk menjalani rehabilitasi medis sesuai rencana terapi yang ditetapkan oleh tim asesmen yang ditandatangani oleh pasien dan keluarga/wali.
220 Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan No. 46 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Rehabilitasi medis bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang dalam Proses atau yang Telah Diputus oleh Pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
d. Penyerahan pecandu narkotika yang telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap dari pengadilan untuk menjalani rehabilitasi, penyerahan oleh kejaksaan disertai dengan surat perintah pelaksanaan putusan dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan, dengan melampirkan salinan/petikan surat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan surat pernyataan kesanggupan dari pasien untuk menjalani rehabilitasi medis sesuai rencana terapi yang ditetapkan oleh tim asesmen yang ditandatangani oleh pasien dan keluarga wali.
e. Berita acara ditandatangani oleh petugas kejaksaan, pasien yang bersangkutan dan tenaga kesehatan pada sarana rehabilitasi medis terpidana narkotika yang menerima pasien.
f. Pelaksanaan program rehabilitasi medis sesuai rencana terapi yang disusun”.
SEMA No. 04 tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban
Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Rehabilitasi Sosial juga menjadi hambatan dalam proses penyidikan terhadap pengguna
narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika yaitu sama halnya dengan yang menjadi
hambatan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 tahun 2009 tentang
Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi yaitu, Pengedar,
penjual dan/atau bandar narkotika juga memanfaatkan SEMA No. 04 Tahun 2010 ini,
karena pada saat mereka tertangkap tangan, barang bukti yang ditemukan oleh Penyidik
Satres Narkoba Polresta Medan, adalah barang bukti hanya untuk satu kali pakai dan
beratnya dibawah dari batas maksimal yang diatur dalam SEMA No. 04 tahun 2010,
padahal pelaku adalah pengedar dan penjual narkotika kelas kakap.
B. Hambatan Struktur Hukum Bagi Penyidik Polresta Medan Dalam
Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Narkotika
Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan
melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat
Universitas Sumatera Utara
yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia
baik di tingkat nasional maupun internasional.
Optimalisasi tindakan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan serta
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin
canggih dilakukan dengan pengaturan mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan
(wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan
yang diawasi (controlled delivery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan
mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki
jaringan yang luas melampaui batas Negara, dalam Undang-undang ini diatur mengenai
kerjasama, baik bilateral, regional, maupun internasional.
Ada beberapa hambatan yang dihadapi dalam menanggulangi tindak pidana
narkotika yaitu hambatan keterbatasan personil penyidik, hambatan keterbatasan
anggaran, dan hambatan kemampuan penyidik dalam proses penyidikan terhadap tindak
pidana narkotika.
1. Hambatan Keterbatasan Personil Penyidik Polresta Medan
Negara hukum yang hanya dikonstruksikan sebagai bangunan hukum perlu
dijadikan lebih lengkap dan utuh, dalam hal perlu dijadikannya memiliki struktur politik
pula.221
221 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2009), hal. 8. (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I).
Hukum hanya merupakan sebuah teks mati jika tidak ada lembaga yang
Universitas Sumatera Utara
menegakkannya. Oleh sebab itu, dibentuklah penegak hukum yang bertugaskan untuk
menerapkan hukum. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat dipaksakan daya berlakunya
oleh aparatur Negara untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib dan adil.
Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut manusisa supaya melakukan perbuatan
yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam
masyarakat Negara.222 Mengenai penegak hukum, Zainuddin Ali berpendapat223
“Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Sebab, menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya di dalam melaksanakan tugas penerapan hukum, petugas seyoggiayanya harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugasnya”.
:
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan, keculai ditentukan lain dalam Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009.
Perkara penyalahgunaan dan peredaran Narkotika dan Prekursor Narkotika,
termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna
penyelesaian secepatnya. Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan
eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
222 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 76.
223 H. Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
Efektivitas hukum dalam menanggulangi tindak pidana narkotika sangat
ditentukan oleh penegak hukum. Hal ini sesuai dengan pemikiran Achmad Ali yang
mengatakan bahwa efektif tidaknya suatu aturan hukum secara umum tergantung pada
optimal dan professional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya
aturan hukum tersebut, mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan
hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hukum,
interpretasi dan konstruksi), dan penerapannya terhadap suatu kasus konkret. Efektif atau
tidaknya aturan hukum juga mensyaratkan adanya standard hidup sosio-ekonomi yang
minimal di dalam masyarakat.224
Hambatan dalam upaya penanggulangan dan pemberantasan narkotika, terjadi
karena kurangnya sumber daya di tubuh Polri umumnya khususnya Polresta Medan baik
secara kualitas maupun kuantitas. Untuk Data Personel Sat Res Narkoba Polresta Medan
dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini :
Tabel 3 Data Personel Satres Narkoba Polresta Medan
Bulan Desember 2014
NO NAMA PKT/NRP JABATAN Urut Sat
1 3 3 4 5 UNSUR PIMPINAN
1 1 Dony Alexander, S.Ik. Kompol/79040894 Kasat UNSUR STAFF WAKA
2 1 Rosyid Hartanto, SH, S.Ik. AKP/84020989 Wakasat URBIN OPS
3 1 Rusiyati Iptu/59040644 Kaur Mintu BINLUH
4 1 Irianto Wijaya Aiptu/6304055 Ba Bin Ops 5 2 Amron Naibaho Aipda/62120590 Ba Bin Ops
224 Achmad Ali, “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence)”, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 378.
Universitas Sumatera Utara
6 3 Jhoni Lumban Tobing Aiptu/64060090 Ba Bin Ops 7 4 Sori Tua Hasibuan Aipda/64108175 Ba Bin Ops
URMINTU 8 1 Dison Barus Aiptu/62110239 Kaur Mintu 9 2 Ahmad Sayadi Aiptu/67060179 Ba Tahti 10 3 Sri Asri Simbolon Bripka/80010058 Ba Mintu 11 4 Sri Wulandari Brigpol/82081438 Ba Mintu 12 5 Suzanolo Zebua Brigpol/83030779 Ba Mintu 13 6 Insar Pengatur/197408102006041008 Banum Min Tu 14 7 Syamsul Kamal, SH Pengda I/197411122007011005 Banum Min Tu
UNSUR PELAKSANA UNIT I SAT NARKOBA
15 1 Jama K. Purba, SH, MH AKP/77100093 Kanit Idik I 16 2 Budiman, SE Ipda/72080142 Kasubnit I Unit I 17 3 Nanang Ariatmaja Aiptu/66060576 Katim 1 Unit I 18 4 Mahyudin Bripka/80020687 Anggota 19 5 Arofiq Briptu/73120266 Anggota 20 6 M. Arifin Lubis Bripda/59040500 Anggota 21 7 Azhari Aiptu/59030373 Penyidik 22 8 Irwan Aipda/73080564 Penyidik 23 9 Rianto Situmorang Aiptu/75010108 Katim 2 Unit I 24 10 Tangie H. Sitanggang Aipda/72100604 Ba Sat Narkoba 25 11 Wahyu Ari Permana, SE Bripka/79020437 Ba Sat Narkoba 26 12 Feri Judo Susanto H. Brigpol/84040491 Anggota 27 13 Dorthy Ulini Silalahi, SH Brigpol/87120167 Anggota 28 14 Jopiter Sembiring Aiptu/66090009 Penyidik 29 15 S. Togatorop Aiptu/64100290 Penyidik 30 16 Ramlan Purba Aiptu/64040420 Penyidik 31 17 Kelly Wahyudi Bripka/78090289 Katim 3 Unit I 32 18 Yudi Prayetno Bripka/79010514 Ba Sat Narkoba 33 19 Heriyadi Bripka/79100285 Anggota 34 20 Munizar Brigpol/73040138 Anggota 35 21 Afriyanto Maha Brigpol/84040566 Ba Sat Narkoba 36 22 Dekora Siregar Aiptu/69090044 Penyidik 37 23 Evie Damaiyanti Aipda/78010027 Penyidik 38 24 Raja Kaya Haloho Brigadir/84100637 Penyidik 39 25 Gindo K.Manurung, SH Ipda/64040220 Kasubnit 2 Unit I 40 26 Suherman Aiptu/670909191 Katim 4 Unit I 41 27 Hendrianto Siahaan Bripka/78050282 Anggota 42 28 Budi Ramadhana, SH Brigpol/80071427 Anggota 43 29 Khairul Rahmadani Brigpol/86051397 Anggota 44 30 Hery Kurnia Riyadi Bripka/76120384 Katim 5 Unit I 45 31 Suheri Darwin Berutu Bripka/65110062 Anggota 46 32 Ismail Bripka/80060286 Anggota 47 33 Sorimuda Siregar Bripka/79040180 Anggota 48 34 Suwarno Aiptu/65100431 Katim 6 Unit I 49 35 Maruli Sihotang Aipda/73040395 Anggota 50 36 Syamsu Rizal Bripka/79030916 Anggota 51 37 Pietera Karokaro Bripka/80041046 Anggota 52 38 Nikolas Hutagalung Brigpol/80010998 Anggota 53 39 Bostang Andi S. Aipda/75080472 Penyidik
Universitas Sumatera Utara
54 40 Mathias Manjorang Bripka/77100273 Penyidik UNIT II SAT NARKOBA
55 1 Eliakim Sembiring, SH Iptu/77090065 Kanit II 56 2 MK. Daulay, SH Ipda/68010043 Kasubnit 1 Idik II 57 3 Suharto Aiptu/67020247 Katim 1 Unit II 58 4 M. Hendri Silaen Aipda/76070268 Anggota 59 5 Hendrik Nababan Brigpol/84120289 Anggota 60 6 Ahmad Dermawan Bripka/77050004 Anggota 61 7 Muslim Buchari Brigpol/82060741 Anggota 62 8 Suhendri Aipda/74080190 Penyidik 63 9 Aidil Hadi Bripka/80090521 Penyidik 64 10 Juspen Purba Aipda/75120400 Katim 2 Unit II 65 11 Frisma E. Ginting Bripka/82120383 Anggota 66 12 Irfan Yuyun Brigpol/80020980 Anggota 67 13 Chandra Permana Brigpol/87110068 Anggota 68 14 AK. Tanjung Aiptu/58020344 Penyidik 69 15 Berman Sitanggang Brigpol/83010866 Penyidik 70 16 RT. Sitepu Aipda/71060102 Katim 3 Unit II 71 17 Jaspin Nainggolan Aipda/77050043 Anggota 72 18 Ardiansyah Gultom Bripka/78030816 Anggota 73 19 Said Fauzi Bripka/77050021 Anggota 74 20 Syafril Brigpol/85041836 Anggota 75 21 BS. Meliala Aiptu/64050352 Penyidik 76 22 Nani Mulyani Bripka/80020568 Penyidik 77 23 Ricardo Siahaan Iptu/73020150 Kasubnit 2 Unit II 78 24 Alpi Zulkarnaen Aiptu/64070377 Katim 4 Unit II 79 25 Chandra Sitepu Aiptu/71110322 Anggota 80 26 Maisirfan Ruzana Aipda/78050091 Anggota 81 27 Eko Priya Brigpol/84120395 Anggota 82 28 AM. Tarigan Brigpol/85052060 Anggota 83 29 Puji Tarigan Aiptu/59080097 Penyidik 84 30 Ervan Lian Siahaan Bripka/80050698 Penyidik 85 31 Siswoyo Bripka/78070581 Katim 5 Unit II 86 32 Ruspian Bripka/81060466 Anggota 87 33 Indra Syahputra Brigpol/81020970 Anggota 88 34 Rosteti, SE. Brigpol/80080885 Anggota 89 35 Heri Suhardi Aiptu/66050033 Katim 6 Unit II 90 36 Ratno Timur Aiptu/68100112 Anggota 91 37 Budi Hidayat Aipda/74090168 Anggota 92 38 Teuku M. Chairur Riza Briptu/86080706 Anggota 93 39 David Juliandi Briptu/83070172 Anggota 94 40 Maruli T. Sitanggang Bripka/78060219 Ba Sat Narkoba 95 41 Sri Stina Dewi Brigpol/83070424 Ba Sat Narkoba
Sumber : Satres Narkoba Polresta Medan, 2015.
Kurangnya Sumber Daya Manusia (personil) Penyidik Satres Narkoba Polresta
Medan menjadi salah satu hambatan dalam mengungkap kasus peredaran tindak pidana
Universitas Sumatera Utara
narkotika khususnya dengan teknik baru. Karena semakin meningkatnya angka kasus
narkotika setiap tahunnya di Kota Medan, maka hal ini sangat tidak sebanding dengan
personil Penyidik yang dimiliki oleh Satres Narkoba Polresta Medan.
2. Hambatan Keterbatasan Anggaran Polresta Medan
Tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan
melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat
yang terorganisasi dengan jaringan yang luas bekerja secara rapi dan sangat rahasia, baik
di tingkat nasional, maupun internasional.
Optimalisasi tindakan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan serta
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin
canggih dilakukan dengan pengaturan mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan
(wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), serta teknik penyidikan
lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika. Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi
dan memiliki jaringan yang luas yang melampaui batas Negara, dalam Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 diatur mengenai kerjasama, baik bilateral, regional, maupun
internasional.
Dalam menanggulangi tindak pidana narkotika di wilayah hukum Polresta Medan
ada beberapa hambatan, salah satunya adalah keterbatasan anggaran Polresta Medan yaitu
dana operasional dalam melaksanakan penyidikan. Jaringan peredaran narkotika yang
tertutup dan tertutup mutlak memerlukan proses penyelidikan yang panjang. Proses
Universitas Sumatera Utara
tersebut dilakukan sejak pengintaian sampai menemukan barang bukti. Proses ini tentu
membutuhkan dana yang cukup besar, sayangnya dana tersebut sangat terbatas bahkan
nyaris tidak ada.
Selama ini dana yang digunakan berasal dari dana DIPA yang sifatnya hanya
membantu, padahal pengungkapan kasus memerlukan dana-dana untuk membayar mata-
mata, akomodasi dan transportasi hingga untuk membeli narkotika (dalam penyamaran
sebagai pengguna). Keterbatasan dana ini mengharuskan petugas untuk rela tidur di
Mesjid untuk menangkap pelaku yang diikuti ke luar kota.
Tabel 4 Pendistribusian Anggaran DIPA-RKA K/L TA. 2013 Polresta Medan
NO.
BULAN
KEGIATAN DAN SUB
KEGIATAN
KUAT PERS
JUMLAH
HARI
JUMLAH
ANGGARAN
RENCANA
PENDISTRIBUSIAN ANGGARAN (Rp.)
1 Januari
ULP Non Organik/
Jaga Fungsi
Lidik dan Sidik T. Pidana
Narkoba
3 0
365 Giat
16 kss
16.425.000,-
220.800.000,-
1.350.000,- 18.400.000,-
2 Februari 1.350.000,-
18.400.000,-
3 Maret 1.350.000,-
18.400.000,-
4 April 1.350.000,-
18.400.000,-
5 Mei 1.395.000,-
18.400.000,-
6 Juni 1.350.000,-
18.400.000,-
7 Juli 1.395.000,-
18.400.000,-
8 Agustus 1.350.000,-
18.400.000,-
9 September 1.395.000,-
18.400.000,-
10 Oktober 1.350.000,-
18.400.000,-
11 November 1.395.000,-
18.400.000,-
12 Desember 1.350.000,-
18.400.000,- JUMLAH 237.225.000
Sumber : Satres Narkoba Polresta Medan, 04 Januari 2013
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Tabel 4 di atas, Satres Narkoba Polresta Medan hanya diberikan
anggaran untuk dapat menyelesaikan 16 (enam belas) kasus. Sementara jumlah kasus
yang ditangani lebih besar dari yang dianggarkan.
Tabel 5 Pendistribusian Anggaran DIPA-RKA K/L TA. 2014 Polresta Medan
NO.
BULAN
KEGIATAN DAN SUB
KEGIATAN
KUAT PERS
JUMLAH
HARI
JUMLAH
ANGGARAN
RENCANA
PENDISTRIBUSIAN ANGGARAN (Rp.)
1 Januari
ULP Non Organik/
Jaga Fungsi
Lidik dan Sidik T. Pidana
Narkoba
3 0
365 Giat
14 kss
16.425.000,-
219.758.000,-
1.395.000,- 18.400.000,-
2 Februari 1.260.000,-
18.400.000,-
3 Maret 1.395.000,-
18.400.000,-
4 April 1.350.000,-
18.400.000,-
5 Mei 1.395.000,-
18.400.000,-
6 Juni 1.350.000,-
18.400.000,-
7 Juli 1.395.000,-
18.400.000,-
8 Agustus 1.395.000,-
18.400.000,-
9 September 1.350.000,-
18.400.000,-
10 Oktober 1.350.000,-
18.400.000,-
11 November 1.395.000,-
18.400.000,-
12 Desember 1.350.000,-
18.400.000,- JUMLAH 236.183.000
Sumber : Satres Narkoba Polresta Medan, Januari 2014
Berdasarkan Tabel 5 di atas, anggaran untuk tahun 2014, hanya dapat digunakan
untuk menyelesaikan 14 (empat belas) kasus. Dibandingkan dengan tahun 2013,
bukannya anggaran ditingkatkan, malahan dikurangi 2 (dua) kasus, sehingga pada tahun
2014, Satres Narkoba Polresta Medan hanya dapat menyelesaikan 14 (empat belas) kasus.
Universitas Sumatera Utara
Apabila dibandingkan dengan kasus yang ditangani, maka Satres Narkoba
Polresta Medan jelas mengalami kekurangan anggaran dalam penyidikan. Hal ini
menyebabkan Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan rentan terhadap suap.
Tabel 6 Data Kasus Narkoba
Jajaran Polresta Medan Tahun 2013
NO. BULAN JTP JPTP
1 Januari 58 81
2 Februari 72 52
3 Maret 45 55
4 April 80 70
5 Mei 104 69
6 Juni 82 90
7 Juli 121 132
8 Agustus 79 60
9 September 93 119
10 Oktober 120 112
11 November 72 104
12 Desember 86 94
JUMLAH 1.012 1.038 Sumber : Satres Narkoba Polresta Medan, Desember 2013.
Dapat dilihat pada Tabel 6 di atas, diketahui Jumlah Tindak Pidana (JTP) yang
masuk adalah 1.012 (Seribu Dua Belas) kasus, sedangkan terhadap Jumlah Penyelesaian
Tindak Pidana (JPTP) yaitu sejumlah 1.038 (Seribu Tiga Puluh Delapan) kasus.
Dikaitkan dengan anggaran yang disediakan, maka sangat tidak sebanding terhadap
anggaran yang disediakan dengan kasus yang masuk.
Tabel 7 Data Kasus Narkoba
Universitas Sumatera Utara
Jajaran Polresta Medan Tahun 2014
NO. BULAN JTP JPTP
1 Januari 88 68
2 Februari 92 119
3 Maret 91 81
4 April 80 81
5 Mei 153 117
6 Juni 135 105
7 Juli 77 123
8 Agustus 71 79
9 September 105 123
10 Oktober 106 92
11 November 87 93
12 Desember 86 101
JUMLAH 1171 1182 Sumber : Satres Narkoba Polresta Medan, Desember 2014.
Dilihat pada Tabel 7 di atas, pada tahun 2014 terjadi peningkatan Jumlah Tindak
Pidana (JTP) dan Jumlah Penyelesaian Tindak Pidana (JPTP) bila dibandingkan dengan
tahun 2013, yaitu Jumlah Tindak Pidana (JTP) yang masuk pada tahun 2014 adalah 1.171
(Seribu Seratus Tujuh Puluh Satu), dan Jumlah Penyelesaian Tindak Pidana (JPTP)
adalah 1.182 (Seribu Seratus Delapan Puluh Dua), akan tetapi, bila dikaitkan dengan
anggaran yang disediakan, maka pada anggaran pada tahun 2014 mengalami penurunan,
dimana pada tahun 2013 sejumlah Rp. 237.225.000,- (Dua Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta
Dua Ratus Dua Puluh Lima Ribu Rupiah), sedangkan anggaran untuk tahun 2014 adalah
sejumlah Rp. 236.183.000,- (Dua Ratus Tiga Puluh Enam Juta Seratus Delapan Puluh
Tiga Ribu Rupiah).
Universitas Sumatera Utara
Peredaran gelap narkotika yang menggunakan teknologi yang canggih sayangnya
tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang canggih dalam membongkar kegiatan
pelaku tersebut. Sarana dan prasarana tersebut salah satunya adalah detektor atau alat
sadap telepon.
Minimnya anggaran menjadi salah satu faktor utama kendala penyidik dalam
mengungkap teknik baru peredaran tindak pidana narkotika. Anggaran sangat penting
disini karena apabila tidak mempunyai anggaran maka pengejaran dan penangkapan
pelaku tindak pidana narkotika tidak akan berjalan dengan maksimal.
3. Hambatan Kemampuan Penyidik Dalam Proses Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Narkotika
Dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkoba banyak hambatan-hambatan
yang ditemui Polri selaku Penyidik untuk mengungkapkan kasus-kasus tindak pidana
narkotika, diantaranya hambatan kemampuan penyidik dalam proses penyidikan terhadap
tindak pidana narkotika yaitu kurangnya pendidikan khusus yang diperoleh, yang mana
seyogiyanya penyidik minimal pernah mendapatkan pendidikan mengenai penyidikan
kasus narkotika.225
Pendidikan khusus ini diadakan oleh Mabes Polri bekerjasama dengan
Departemen Pertahanan dan Keamanan maupun dari pihak luar negeri. Kedua lembaga
inilah yang sering bekerjasama dengan Polri dalam menyelenggarakan pendidikan
khusus, tetapi penyelenggaraan pendidikan khusus ini sangat terbatas dengan jenjang
waktu yang cukup lama. Dengan demikian, kesempatan-kesempatan untuk mengikuti
225 Wawancara dengan Waka Satres Narkoba Polresta Medan, Rosyid Hartanto, pada hari Minggu, tanggal 05 Juli 2015.
Universitas Sumatera Utara
pendidikan khusus ini sangat terbatas. Dengan adanya pendidikan khusus diharapkan
penyidik tindak pidana narkotika dapat meningkatkan kemampuan mengenai kasus-kasus
narkotika.226
Hambatan dalam upaya penanggulangan dan pemberantasan narkotika, terjadi
karena kurangnya kualitas atau kemampuan penyidik. Dalam mengungkap pelaku yang
terlibat dalam jaringan internasional, polisi harus berhadapan dengan Warga Negara
Asing. Sementara penguasaan bahasa asing oleh Penyidik Polri masih sangat terbatas.
227
Kurangnya sumber daya aparat penegak hukum juga dapat dilihat dari rendahnya
pengetahuan tentang pemberantasan tindak pidana narkotika dan ketidaktahuan dalam
mengungkap pelaku yang telah menggunakan modus-modus yang semakin canggih.
C. Hambatan Budaya Hukum Berupa Suap Kepada Petugas
Budaya hukum (Legal Culture) adalah sikap publik atau nilai-nilai komitmen
moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor
yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan
bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik
masyarakat.228
Aspek kebudayaan merupakan suatu garis pokok tentang perikelakuan atau
blueprint for behavior yang menetapkan peraturan-peraturan mengenai apa yang
226 Wawancara dengan Waka Satres Narkoba Polresta Medan, Rosyid Hartanto, pada hari Minggu, tanggal 05 Juli 2015.
227 Wawancara dengan Waka Satres Narkoba Polresta Medan, Rosyid Hartanto, pada hari Minggu, tanggal 05 Juli 2015.
228 Otje Salman dan Anton F. Susanto, Op.cit, hal. 153
Universitas Sumatera Utara
seharusnya dilakukan, apa yang selayaknya dilakukan dan seterusnya.229 Aspek-aspek
budaya telah masuk sejak perumusan ketentuan hukum hingga penerapan hukum. Untuk
mewujudkan generasi yang sehat dan bebas dari penyalahgunaan serta peredaran gelap
narkotika, maka diperlukan ketentuan di bidang narkotika yang dapat mewujudkan hal
tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang menganggap bahwa
hukum selalu sarat dengan nilai-nilai tertentu. Selanjutnya dikatakan “Apabila memulai
berbicara tentang nilai-nilai, maka telah termasuk pula kegiatan menilai dan memilih.
Keadaan tersebut memberikan arah-arah tertentu pada jalannya hukum di suatu
Negara”230
Soerjono Soekanto memandang bahwa kebudayaan hukum pada dasarnya
mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan
konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang
dianggap buruk (sehingga dihindari).
231
Masuknya budaya barat dengan gaya hidup yang bebas memperbesar celah dari
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Hal ini dapat dilihat dari locus delicti
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang rata-rata terjadi di usaha jasa
pariwisata seperti hotel dan tempat hiburan malam. Persoalan ini tidak lepas dari adanya
pengaruh budaya hukum di Negara barat yang melegalisasi penggunaan narkotika selain
Budaya hukum yang dimiliki masyarakat
menunjukkan derajat ketaatan hukum yakni memperjelas kuantitas adanya
penyalahgunaan dan peredaran narkotika atau tidak.
229 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 204.
230 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2009), hal. 137.
231 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
untuk terapi dan pengembangan ilmu pengatahuan. Belanda adalah salah satu Negara
yang melegalkan penggunaan narkotika. Budaya hukum masyarakat Belanda memandang
bahwa narkotika sebagai alat bersenang-senang saat liburan seperti halnya rekreasi.
Budaya hukum masyarakat Belanda tersebut tidak sepenuhnya salah, apalagi jika
diterapkan di negaranya. Warga Belanda dapat memilah-milah antara waktu bekerja
dengan waktu bersenang-senang sehingga mereka tidak akan mengkonsumsi narkotika
saat bekerja. Namun hal tersebut tentu tidak cocok jika diterapkan di Indonesia yang
masyarakatnya cenderung belum menunjukkan kedisiplinan. Dalam kondisi seperti ini
penggunaan narkotika di Indonesia (selain untuk terapi dan pengembangan ilmu
pengetahuan) justru akan merusak derajat kesehatan masyarakat. Hal ini menunjukkan
adanya perbedaan sistem nilai dari masing-masing Negara.
Sistem nilai yang dianut masyarakat itu menjadi tolak ukur kebenaran dan
kebaikan cita-cita dan tujuan yang hendak dicapai dalam kehidupan. Sistem nilai tersebut
berfungsi sebagai kerangka acuan untuk menata kehidupan pribadi dan menata hubungan
manusia dan manusia serta alam di sekitarnya. Sistem nilai yang menjadi dasar kesadaran
masyarakat untuk mematuhi norma hukum yang diciptakan.232 Problema yang dihadapi
oleh bangsa-bangsa di luar Eropa adalah bahwa nilai-nilai yang ada dalam hukum yang
mereka pakai, yaitu hukum modern, tidak persis sama dengan yang ada dalam
masyarakat. Perilaku substantif mereka diresapi dan dituntun oleh sistem nilai yang
berbeda.233
232 Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 8.
233 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta : Kompas, 2010), hal. 212.
Universitas Sumatera Utara
Budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia hendaknya
ditangkal dengan moral bangsa. Dalam faktor moral terhimpun antara lain agama, adat-
istiadat, kekuasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berpikir serta suasana yang tercipta
di pengadilan.234 Packer menyatakan “the proponents of the behavioural position often
seem oddly obtuse in the face of modern knowledge”.235
Faktor ekonomi merupakan akar dari permasalahan dari setiap tindak kejahatan
termasuk dalam tindak pidana narkotika. Seseorang akan melakukan hal-hal yang
melanggar hukum jika tidak terpenuhinya kebutuhan hidup mereka, termasuk oknum
polisi sekalipun. Tingginya kebutuhan hidup memaksa polisi untuk mencari pendapatan
tambahan melalui berbagai cara termasuk menyalahgunakan kewenangan mereka untuk
hal-hal yang seharusnya mereka berantas seperti : menerima suap, melindungi pengedar
narkotika bahkan ikut menggunakan dan mengedarkan narkotika. Hal ini dikarenakan
anggaran yang dibuat untuk Satres Narkoba Polresta Medan hanya untuk menangani 14
s/d 16 kasus.
Pandangan holistic dari sudut
pandang agama, adat-istiadat, kekuasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berpikir
mengenai bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dapat menjadi upaya
untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika.
Berdasarkan data pendistribusian anggaran DIPA-RKA K/L T.A. 2013 dan 2014
di Polresta Medan pada halaman 117 s/d 118 di dalam penelitian ini dan kasus yang
hanya dapat ditangani oleh Sat.Res Narkoba Polresta Medan adalah sebanyak 14 s/d 16
234 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hal. 81-82.
235 Herbert Packer, The Limits of the Criminal Sanction, California, Stanford University Press, tanpa tahun, hal. 60.
Universitas Sumatera Utara
kasus, maka timbul pertanyaan, bagaimana Penyidik membagi anggaran yang didapat
tersebut untuk menangani perkara yang masuk lebih dari yang dianggarkan. Menurut
Penyidik Sat.Res Narkoba Polresta Medan, mengatakan bahwa236
“Anggaran yang kami dapatkan itu dibagi untuk 12 (Dua Belas) bulan lalu, setiap bulannya dibagi kepada 18 (Delapan Belas) orang Penyidik, sehingga anggaran yang didapati setiap Penyidik hanya dapat membeli tinta printer dan kertas saja, jadi, kami sebenarnya bertugas demi pengabdian kepada Negara tanpa pamrih, dan terhadap Penyidik-penyidik yang diduga menerima suap tersebut hanyalah oknum bukan kesatuannya”.
:
Dengan demikian, dikarenakan Penyelidik dan Penyidik Sat.Res Narkoba tidak
mendapatkan anggaran yang cukup untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, maka
benar penyelidik dan penyidik tersebut rentan terhadap suap oleh pelaku tindak pidana
narkotika karena disodorkan uang yang sangat banyak, apalagi pelaku tindak pidana
narkotika tersebut seorang bandar narkoba. Namun, adapun pihak yang melakukan itu
hanyalah oknum-oknum saja bukan kesatuannya yang melakukan hal tersebut.
Selain faktor ekonomi, faktor mental dari polisi juga mempengaruhi terjadinya
penyalahgunaan narkotika. Seorang polisi yang mempunyai mental yang kuat akan
mampu menahan keinginan untuk tidak menyalahgunakan wewenang dalam
pemberantasan dan penanggulangan narkotika. Polisi yang mempunyai mental yang kuat
tidak akan mau menerima suap dari pelaku tindak pidana narkotika baik itu pemakai,
pengedar maupun bandar narkotika.
236 Wawancara dengan Donny Alexander, Kasat Res.Narkoba Polresta Medan, melalui telepon, pada hari Kamis, tanggal 30 Juli 2015.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
UPAYA UNTUK MENANGANI HAMBATAN DALAM PENYIDIKAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN
Bab ini merupakan bab yang berisi solusi-solusi terkait dengan hambatan-
hambatan yang dihadapi Satres Narkoba Polresta Medan yang sudah diuraikan pada bab
sebelumnya.
A. Meninjau Kembali Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 07 Tahun 2009 dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010
Pada dasarnya SEMA No. 07 Tahun 2009 dan SEMA No. 04 Tahun 2010 yang
mengatur tentang anjuran kepada setiap majelis hakim yang memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tindak pidana narkotika, bagi pengguna narkotika dianjurkan untuk
memberikan putusan ditempatkan ke panti terapi dan panti rehabilitasi yang ada di
Indonesia. Aturan ini sebenarnya sudah ada dan terdapat pada Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, pada Pasal 103, menyatakan bahwa :
(1) “Hakim yang memerksa perkara Pecandu Narkotika, dapat : a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman”.
129 Universitas Sumatera Utara
Pada Penjelasan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, menyebutkan bahwa :
“Ayat (1) Huruf a Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Huruf b Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata menetapkan bagi Pecndu Narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksudkan untuk memberkan suatu penekanan bahwa Pecandu Narkotika tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan. Biaya pengobatan dan atau perawatan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab negara, karena pengobatan dan atau perawatan tersebut merupakan bagian dari masa menjalani hukuman. Sedangkan bagi pecandu narkotika yang tidak terbukti bersalah biaya pengobatan dan/atau perawatan selama dalam status tahanan tetap menjadi beban negara, kecuali tahanan rumah dan tahanan kota”.
Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dikaitkan dengan
SEMA No. 04 Tahun 2010, maka surat edaran tersebut hanya digunakan sebagai
petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan untuk menempatkan pecandu narkotika agar
ditempatkan ke dalam panti terapi maupun panti rehabilitasi.
Dengan adanya SEMA No. 04 Tahun 2010 hanya dapat menguntungkan bagi
Pemakai Narkotika yang mempunyai uang banyak. Hal ini disebabkan untuk proses
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan ketergantungan pada dokter membutuhkan biaya yang sangat besar dan bagi
pemakai yang tidak mempunyai banyak uang akan tetap merasakan hukuman yang sama
dengan para pengedar narkotika. Pertanyaan selanjutnya, apakah proses rehabilitasi
tersebut benar-benar berjalan membuat seorang pemakai narkotika itu benar-benar
berhenti. Sebaiknya masa waktu untuk rehabilitasi tidak diperhitungkan untuk masa
menjalani hukuman, biarlah para pemakai juga merasakan efek jera dan bisa untuk benar-
benar berhenti dari barang haram tersebut.
Bahwa orang yang memiliki uang mampu membeli hukum bukan semata ada di
peraturan ini, tetapi ada hampir selalu di peraturan yang dibuat manusia. Pecandu tidak
mampu pun berhak rehabilitasi, seyogyanya melaporkan diri pada pihak-pihak yang
ditunjuk UU (Puskesmas, Kepolisian, dan atau BNK/BNP/BNN), maka mereka bisa
memperoleh rehabilitasi dengan dijamin negara. Bila dia dalam proses hukum, maka ada
lembaga Forum Advokasi bagi Korban Narkoba yang dibentuk oleh Kementrian Sosial
salah satu bidangnya untuk memberikan bantuan hukum kepada pecandu sebagai korban
narkoba. Berhenti atau tidak pecandu tidak ditentukan oleh berapa lama dia direhabilitasi.
Tidak ada satu modalitas rehabilitasi yang bisa memberikan jaminan sembuh. Semua
kembali pada pecandu dan dukungan keluarganya. Soal efek jera, masing-masing
tergantung dari kepribadian si pecandu.
SEMA No. 04 Tahun 2010 tidak bisa berlaku otomatis menyebutkan bahwa
Terdakwa dengan barang bukti di bawah standard SEMA wajib divonis pengguna dan
menjalani rehabilitasi. Apabila di dalam persidangan, ada indikasi bahwa Terdakwa
tersebut adalah pengedar, maka majelis hakim sah memvonis berat.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, selayaknya SEMA No. 04 Tahun 2010 ini ditinjau ulang atau
diganti dengan aturan hukum lainnya. Aturan mana dapat berupa Peraturan Pemerintah
yang mengatur tentang petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis untuk melaksanakan
Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
B. Menambah Personil, Anggaran dan Peningkatan Kemampuan Penyidik Satuan Reserse Narkoba Polresta Medan
Berangkat dari Bab III Sub-Bahasan hambatan keterbatasan personil penyidik
Satres Narkoba Polresta Medan yang tidak sebanding dengan perkara yang ditangani dan
hambatan keterbatasan serta kemampuan penyidik, maka diharapkan sebaiknya
Kepolisian RI khususnya Polda Sumut melakukan penambahan personil, anggaran,
maupun melakukan peningkatan kemampuan Satres Narkoba Polresta Medan.
Penambahan personil dalam hal ini dilakukan pada setiap unit yang ada pada
Satres Narkoba Polresta Medan. Adapun unit-unit yang telah ada pada Satres Narkoba
Polresta Medan, yaitu : Unit I Sat Narkoba (40 orang); dan Unit II Sat Narkoba (41
orang). Pada setiap unit Satres Narkoba Polresta Medan agar dapat dilakukan
penambahan personil yang tadinya berjumlah 40 s/d 41 orang setiap unit, ditambah 20
(Dua Puluh) orang untuk tiap-tiap unitnya. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan
Jumlah Penyelesaian Tindak Pidana (JPTP) yang dilakukan oleh Penyidik dan
Penyelidik.
Mengenai anggaran, Polda Sumut kiranya dapat menambahkan anggaran yang
ada sekarang pada Polresta Medan dikarenakan kebutuhan terhadap anggaran tersebut
sangat urgent. Anggaran yang diberikan kepada Polresta Medan khususnya Penyidik pada
Universitas Sumatera Utara
kesatuan Sat.Res. Narkoba Polresta Medan untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan hanyalah untuk + 15 (Kurang Lebih Lima Belas) kasus, sedangkan perkara
yang masuk dalam 1 (satu) tahun sekitar 1.000 (Seribu) laporan pengaduan yang harus
diselesaikan penyelidikan dan penyidikannya. Hal mana diselesaikan guna tidak terjadi
penumpukan perkara secara terus menerus sehingga Polresta Medan menjadi bekerja
tidak memenuhi keinginan masyarakat.
Untuk peningkatan kemampuan Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan, Polda
Sumut sebaiknya melakukan seminar-seminar ataupun pelatihan-pelatihan terhadap
penyelidikan dan penyidikan agar bawahannya mengerti terhadap seluruh peraturan
perundang-undangan yang baru keluar ataupun peraturan perundang-undangan yang akan
keluar. Sehingga tidak menimbulkan kebutaan terhadap peraturan perundang-undangan
bagi Penyelidik dan Penyidik tersebut.
C. Mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Terkait Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Setelah RPP yang baru disahkan, Pemerintah sebaiknya melakukan sosialisasi
kepada setiap lapisan masyarakat. Hal ini dilakukan bertujuan untuk memberikan
pemahaman yang lebih baik lagi kepada masyarakat agar tidak buta hukum, khususnya
hukum pidana. Saat sekarang ini, Pemerintah setiap mengesahkan sebuah peraturan
perundang-undangan hanyalah mengumumkan pada Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, yang mana masyarakat
Indonesia yang buta hukum tidak tahu menahu apa itu Lembaran Negara Republik
Indonesia apalagi Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Penyuluhan dan sosialisasi dilakukan dengan bertujuan memberitahukan kepada
masyarakat bahwa ada Peraturan Pemerintah yang baru dan telah diberlakukan. Sehingga
membuat masyarakat sadar akan hukum.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini adalah bab terakhir yang merupakan kesimpulan dan saran dari penulisan
tesis ini. Dimana dalam bab ini ditemukan jawaban atas permasalahan yang telah
diuraikan sebelumnya.
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penelitian ini
mempunyai kesimpulan sebagai berikut :
1. Penegakan hukum pidana dalam proses penyidikan terhadap pengguna narkotika
sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Polresta Medan dimulai dari
penerimaan laporan, melakukan tindakan pertama, penangkapan, penggeledahan,
penyitaan, pemeriksaan tersangka dan saksi-saksi, penahanan, dan pelimpahan
berkas perkara berikut tersangkanya kepada kejaksaan. Keseluruhan proses
penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik Polri tersebut kemudian akan
dilanjutkan oleh kejaksaan dalam hal mempersiapkan penuntutan yang akan
diajukan dalam sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan vonis kepada
terdakwa yang kesemuanya itu berlangsung dalam suatu Sistem Peradilan Pidana
dalam rangka penegakan hukum pidana.
2. Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi Satres Narkoba Polresta Medan dalam
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika, sebagai berikut :
135 Universitas Sumatera Utara
a. SEMA No. 04 Tahun 2010 tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan
perundang-undangan, namun, SEMA tersebut mengikat para hakim yang
menjatuhkan hukuman, karena pengadilan merupakan salah satu unsur
dalam Sistem Peradilan Pidana.
b. Keterbatasan personil, anggaran, dan kemampuan penyidik Satres
Narkoba Polresta Medan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana narkotika. Personil yang ada hanya berjumlah 81 orang,
namun, tidak kesemuanya dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan
karena sudah termasuk pimpinan-pimpinan yang disebut dengan Kepala
Satuan maupun Kepala Unit. Anggaran yang diberikan oleh Polda Sumut
juga sangat minim, hanya dapat menyelesaikan + 15 (Kurang Lebih Lima
Belas) perkara tindak pidana narkotika, sedangkan perkara yang masuk
berjumlah + 1.000 (Kurang Lebih Seribu) perkara tindak pidana narkotika
yang dilaporkan dan ditangani oleh Satres Narkoba Polresta Medan.
Belum lagi ditambah dengan kemampuan penyidik dalam melakukan
penyidikan terhadap peredaran narkotika.
c. SEMA No. 04 Tahun 2010 sering digunakan Penyidik untuk melepaskan
Pecandu Narkotika, hal ini dikarenakan anggaran yang disediakan oleh
pemerintah tidaklah cukup untuk melakukan penyidikan. Sehingga sangat
rentan sekali suap terjadi kepada Penyidik.
3. Adapun solusi-solusi yang didapat untuk menyelesaikan hambatan-hambatan
yang dihadapi oleh Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan terhadap tindak
pidana narkoba dikaitkan dengan SEMA No. 04 Tahun 2010, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Melakukan peninjauan ulang/review terhadap SEMA No. 04 Tahun 2010
dan membuat aturan pelaksanaan dan aturan teknis dalam hal rehabilitasi
sebagai pelaksanaan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, dapat berupa Peraturan Pemerintah;
b. Menambah personil, anggaran, dan peningkatan kemampuan Penyidik
Polresta Medan;
c. Memberikan penyuluhan dan sosialisasi terhadap Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang pelaksanaan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 yang baru kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi tahu
tentang adanya peraturan perundang-undangan yang baru disahkan dan
tidak menjadi buta hukum.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat diberikan rekomendasi berupa saran
dalam penelitian ini, antara lain :
1. Sebaiknya Pemerintah membuat aturan-aturan main atau dinamakan Petunjuk
Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis dalam hal pelaksanaan Pasal 103 Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, agar tidak terjadi kekosongan
hukum.
2. Sebaiknya penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Satres Narkoba
Polresta Medan didukung dalam hal personil, anggaran, dan peningkatan
Universitas Sumatera Utara
kemampuan penyidik oleh Polda Sumut dengan melakukan penambahan personil,
penambahan anggaran, dan meningkatkan kemampuan penyidik.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku
Ali, Achmad., Keterpurukan Hukum di Indonesia : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia, Cet. Ke-2, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2004.
-----------------., Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009.
Ali, H. Zainuddin., Filsafat Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2010. Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali
Press, 2010. Amriel, Reza Indragiri., Psikologi Kaum Muda Pengguna Narkoba, Jakarta : Salemba
Humanika, 2007. Anwar, Yesmil., dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta : Grafindo, 2008. Arief, Barda Nawawi., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta : Kencana
Prenada, 2008. Bassiouni, M. Cherif., Subtantive Criminal Law, Spingfield, Illionis, USA : Charles
Thomas Publisher, 1978. BNN RI, Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda, Jakarta : BNN
RI, 2011. Bungin, Burhan., Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta : Kencana, 2009. Chazawi, Adami., Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang :
Bayumedia Publishing, April 2005. Davies, Croall, dan Tyrer, An Introduction the Criminal Justice System in England and
Wales, London : Longman, 1995. Diktat Akpol, Sisdil di Indonesia, Semarang : Markas Besar Kepolisian RI, 2005.
139
Universitas Sumatera Utara
Friedman, Lawrence M., American Law : An Introduction, New York : W.W. Norton & Company, 1984.
Hamid, Hamrat., dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang
Penyidikan, Jakarta : Sinar Grafika, 1992. Hamzah, Andi., Hukum Acara Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2002. Harahap, M. Yahya., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta :
Sinar Grafika, 2002. Hartono, Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif,
Cet. Ke-2, Jakarta : Sinar Grafika, 2012. Harun, M. Husein., Penyidik dan Penuntut Dalam Proses Pidana, Jakarta : Rineka Cipta,
1991. Himpunan Bujuklak, Bujuklap, Bujukmin. Proses Penyidikan Tindak Pidana, Jakarta,
1990. Loqman, Loebby., Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Acara Pidana, Jakarta : Datacom,
2002. Ngani, Nico., I Nyoman Budi Jaya, dan Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana
Bagian Umum dan Penyidikan, Yogyakarta : Liberty. Makarao, Moh. Taufik., Suhasril, dan Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika,
Jakarta : Ghalia Indonesia, 2005. Mansur, Dikdik M. Arief., dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan Antara Norma dan Realita, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006. Moeljatno, E., Asas-Asas Ilmu Hukum, Jakarta : Badan Penerbit Iblam, 2005. Muhammad, Abdulkadir., Etika Profesi Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006. Mulyadi, Lilik., Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, Jakarta :
Djambatan, 2007. Nawawi, Hadari., Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Press,2003. P, Petrus Irawan., dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam
Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Universitas Sumatera Utara
Packer, Herbert., The Limits of the Criminal Sanction, California, Stanford University Press, tanpa tahun.
Prinst, Darwan., Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta : Djambatan, 1989. --------------------., Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Jakarta : Djambatan, 1998. Priyanto, Dwidja., Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung : Refika
Aditama, 2006. Rahardjo, Satjipto., Biarkan Hukum Mengalir : Catatan Kritis Tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum, Jakarta : Kompas, 2007. ----------------------., Membangun Polisi Sipil : Perspektif Hukum, Sosial, dan
Kemasyarakatan, Cet. Ke-2, Jakarta : Kompas, 2007. ----------------------., Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Kompas, 2007. ----------------------., Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta :
Genta Publishing, 2009. ----------------------., Penegakan Hukum Progresif, Jakarta : Kompas, 2010. ----------------------., Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta : Genta
Publishing, 2009. Reksodiputro, Mardjono., Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana :
Kumpulan Karangan, Buku Ketiga, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994.
------------------------------., Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994. Saleh, Roeslan., Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta : Aksara Baru, 1987. Salman, Otje., dan Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Bandung : Refika Aditama, 2004. Sasangka, Hari., Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Bandung : Mandar
Maju, 2003. Soegondo, H.R., Sistem Pembinaan Napi, Yogyakarta : Insania Citra, 2006. Soekanto, Soerjono., Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004.
Universitas Sumatera Utara
---------------------------., Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2004. ---------------------------., Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2009. Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap,
Bogor : Politea, 1994. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 2006. Sumarto, Siswanto., Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum,
Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2004. Sunaryo, Sidik., Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang : UMM Press, 2005. Supami, Niniek., Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,
Jakarta : Sinar Grafika, 1996. Tanya, Bernard L., Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing, 2010.
Thaib, Dahlan., Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 1999. Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta :
Djambatan, 2002. Tutik, Titik Triwulan., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2005. Wisnubroto, Ali., Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana,
Jakarta, Galaxy Puspa Mega, 2002.
II. Karya Tulis Ilmiah
Ardjil, Benny., “Peningkatan Sarana Rehabilitasi”, Majalah SINAR BNN, Edisi 3, 2010. Asshiddiqie, Jimly., “Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia”,
Makalah disampaikan pada acara seminar “Menyoal Moral Penegakan Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakulta Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 17 Februari 2006.
Universitas Sumatera Utara
Badan Narkotika Nasional RI, “Laporan Kinerja Badan Narkotika Nasional Tahun 2014”, Jakarta, Februari 2015.
----------------------------------., “Sosialisasi Penelitian BNN Tahun 2012”, dilaksanakan di
Denpasar, Bali, 10 April 2013. Cahyadi, Irwan Adi., “Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Dalam
Hukum Positif di Indonesia”, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2014.
Daud, Tommy., “Pelaksanaan Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan Narkotika di
Makassar”, Universitas Hasanuddin, 2012. Dit.Bimmas Polri, “Penanggulangan Penyalahgunaan Bahaya Narkotika”, Jakarta,
Dit.Bimmas Polri, 2000. Hadiyanto, A., “Model Alternatif Pembinaan Narapidana Narkotika Dalam Pembangunan
Nasional Studi Pelaksanaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Kendal”, Yogjakarta : Tesis, Program Pascasarjana Undip, 2014.
Kolopita, Satrio Putra., “Penegakan Hukum Atas Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Narkotika”, Jurnal Lex Crimen, Vol. II, No. 4, Agustus 2013. Marcos, Megawati., “Tinjauan Yuridis Tentang Pemidanaan Terhadap Pecandu
Narkotika”, Jurnal Program Studi Ilmu Hukum Program Kekhususan Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum, Universitas Atma Jaya Jogyakarta, 2014.
Muhdar, Muhamad., “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum”, Universitas Balikpapan, Balikpapan, 2010. Nurjana, I Nyaman., “Penanggulangan Kejahatan Narkotika : Eksekusi Hak Perspektif
Sosiologi Hukum”, Jurnal Legality, 2010. Saputra, Ade., “Proses Penyelidikan dan Penyidikan Tindak PIdana Penyalahgunaan
Narkotika (Studi Kasus Direktorat Reserse Narkoba Polda DIY)”, Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013.
Saputro, Tanggung Priyanggo Tri., “Kajian Yuridis Penyidikan Tindak PIdana Narkotika
Melalui Teknik Pembelian Terselubung oleh Penyidik Polri Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”, Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Wicaksono, Anggoro., “Sanksi Tindakan Sebagai Sarana Alternatif Penanggulangan
Kejahatan Psikotropika Bagi Pecandu dan Pelaku Anak Dalam Perspektif Hukum
Universitas Sumatera Utara
Pidana”, Medan : Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2015.
Wijaya, Bagus Adi, “Impelementasi Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika oleh BNNP Jawa Timur”, Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Jawa Timur, 2014.
III. Internet dan Media Massa
“Etika Penulisan Ilmiah”, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah yang diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id /perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20etik).ppt., 2007, diakses pada 01 April 2015.
“Fungsi Penyidikan”, http://jurnalapapun.blogspot.com/2014/11/fungsi-penyidikan.html,
diakses Selasa, 23 Juni 2015. “Penyelidikan dan Penyidikan”,
https://rahmatyudistiawan.wordpress.com/2013/01/23/penyelidikan-dan-penyidikan-oleh-rahmat-yudistiawan/, diakses Senin tanggal 22 Juni 2015.
Harian Andalas, “Laporan Masuk ke Polresta Medan Selama 2013”, diterbitkan Selasa,
31 Desember 2013. Media Online Okezone.com, “BNN Khawatir Dengan Jumlah Pengguna Narkoba di
Indonesia”, diakses Selasa, 14 April 2015.
IV. Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Peraturan Menteri Kesehatan No. 46 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Rehabilitasi medis bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Yang Dalam Proses atau yang Telah Diputus oleh Pengadilan.
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu
Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2007. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 04 Tahun 2010 tentang
Penetapan Penyalahguna, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 07 Tahun 2009 tentang
Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
Recommended