View
264
Download
8
Category
Preview:
Citation preview
1
PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI KELOMPOK
TANI MADYA, DESA KEBONAGUNG, KABUPATEN
BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
FIRDA EMIRIA UTAMI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
2
3
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan
Pertanian Organik di Kelompok Tani Madya Desa Kebonagung, Kabupaten
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini
saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Firda Emiria Utami
NIM I34090110
4
ABSTRAK
FIRDA EMIRIA UTAMI. Pengembangan Pertanian Organik di Kelompok Tani
Madya Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dibimbing oleh HERU PURWANDARI.
Pertanian organik merupakan kegiatan pertanian yang mengupayakan
penggunaan asupan luar yang minimal dan menghindari penggunaan pestisida dan
pupuk sintetik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani organik dan petani
konvensional memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik. Namun,
karakteristik petani organik tidak berhubungan dengan respon petani pada
pertanian organik. Sedangkan pada petani konvensional, pendidikan formal dan
keberanian mengambil resiko berhubungan dengan respon petani pada pertanian
organik. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
respon petani pada pertanian organik dengan pendapatan petani. Meskipun
demikian, dapat diprediksikan adanya peluang pada petani konvensional untuk
menerapkan pertanian organik.
Kata kunci: pertanian organik, respon, pendapatan, petani konvensional
ABSTRACT
FIRDA EMIRIA UTAMI. The Development of Organic Farming in Tani Madya
Groups of Kebonagung Village, District Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Supervised by HERU PURWANDARI.
Organic farming is agricultural activities that seek the use of outside intake
and avoid the use of pesticides and synthetic fertilizer. The results showed that the
organic farmers and conventional farmers have the high responses of organic
farming. However, the characteristics of organic farmer have no relation with
farmer’s respons of organic farming. Then, in conventional farmers, formal
education and the courage to take the risks have relation with farmer’s respons of
organic farming. This research also showed there are no relation between
farmer’s respons of organic farming with farmer’s income. Nevertheless, can be
predicted that there are chances of the conventional farmers to adopt the organic
farming.
Key words: organic farming, respons, income, conventional farmer
5
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI KELOMPOK
TANI MADYA DESA KEBONAGUNG, KABUPATEN
BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
FIRDA EMIRIA UTAMI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
6
Judul Skripsi Pengembangan Pertanian Organik di Kelompok Tani Madya Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Nama Firda Emiria Utami NlM 134090110
Disetujui oleh
Heru Purwandari, SP, M.Si Pembimbing
Di~etahui oleh
r. . Soeryo Adiwibowo, MS ;
Ketua Departemen
Tanggal Lulus: l1 9 JUL 2 13
7
Judul Skripsi : Pengembangan Pertanian Organik di Kelompok Tani Madya
Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta
Nama : Firda Emiria Utami
NIM : I34090110
Disetujui oleh
Heru Purwandari, SP, M.Si
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
8
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pengembangan Pertanian Organik di Kelompok Tani Madya Desa Kebonagung,
Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta”. Penulisan skripsi ini ditujukan
untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Heru Purwandari, SP, M.Si
selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam
memberikan masukan dan bimbingan hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada masyarakat Desa
Kebonagung, khususnya para responden yaitu petani Kelompok Tani Madya dan
aparat desa yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. Penulis juga turut
mengucapkan terima kasih kepada dosen beserta staf KPM atas ilmu yang telah
diberikan. Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada
ayahanda Soepatmo Boedhi, ibunda Dian Herlina, serta kedua adik tersayang
Irfan Dwirizky dan Naufal Hanif Fadhillah yang selalu memberikan semangat,
motivasi, doa, dan dukungan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada teman satu bimbingan skripsi, Yanitha Rahmasari dan Alfiana
Rachmawati. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman-
teman KPM 46, khususnya Dini Dwiyanti, Adia Yuniarti, Rina Khaerunnisa, Nina
Lucellia, Bunga Hadian, Novia Fridayanti, Anissa Mustabsiratul, Gressayana, M.
Septiadi, dan Rafi Nugraha yang telah memberikan banyak masukan dan motivasi
dalam penulisan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada sahabat penulis Desy Kusuma atas bantuannya selama ini. Akhir kata,
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, Agustus 2013
Firda Emiria Utami
9
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
PENDEKATAN TEORITIS 5
Tinjauan Pustaka 5
Pertanian Berkelanjutan 5
Konsep Pertanian Organik 6
Prinsip-Prinsip Pertanian Organik 7
Peluang Pertanian Organik 9
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Pertanian Organik 9
Konsep Respons 10
Kerangka Pemikiran 11
Hipotesis Penelitian 12
Definisi Operasional 12
METODE PENELITIAN 15
Pendekatan Penelitian 15
Lokasi dan Waktu Penelitian 15
Penentuan Responden dan Informan Penelitian 15
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 16
Keterbatasan Studi 17
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 19
Profil Desa Kebonagung 19
Pemerintahan dan Kependudukan Desa Kebonagung 19
Infrastruktur Desa 20
Kondisi Ekonomi dan Pertanian 22
Kondisi Sosial Budaya 21
Profil Kelompok Tani Madya 21
Kegiatan Budidaya Padi Organik di Kelompok Tani Madya 23
Gambaran Umum Responden 25
Tingkat Pendidikan Formal 25
Tingkat Pengalaman Bertani 26
Tingkat Keberanian Mengambil Resiko 26
Tingkat Jejaring 27
Tingkat Kepemilikan Alat Produksi 28
HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PETANI DENGAN
RESPON PETANI PADA PERTANIAN ORGANIK
31
Respon Petani Pada Pertanian Organik 31
Hubungan Karakteristik Petani dengan Respon Petani Pada Pertanian
Organik
33
Hubungan Tingkat Pendidikan Formal dengan Respon Petani Pada 33
10
Pertanian Organik
Hubungan Tingkat Pengalaman Bertani dengan Respon Petani Pada
Pertanian Organik
34
Hubungan Tingkat Keberanian Mengambil Resiko dengan Respon
Petani Pada Pertanian Organik
36
Hubungan Tingkat Jejaring Petani dengan Respon Petani Pada
Pertanian Organik
37
Hubungan Kepemilikan Alat Produksi dengan Respon Petani Pada
Pertanian Organik
39
PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI KELOMPOK TANI
MADYA
41
Analisis Tingkat Pendapatan dan Akses Pasar 41
Tingkat Pendapatan 41
Akses Pasar 43
Peluang Penerapan Pertanian Organik Pada Petani Konvensional 45
SIMPULAN DAN SARAN 49
Simpulan 49
Saran 49
DAFTAR PUSTAKA 51
LAMPIRAN 53
RIWAYAT HIDUP 60
1
DAFTAR TABEL
1. Jumlah populasi dan responden penelitian 16
2. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan
formal, kelompok tani Madya, 2013
25
3. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengalaman
bertani, kelompok tani Madya, 2013
26
4. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberanian
mengambil resiko, kelompok tani Madya, 2013
27
5. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat jejaring,
kelompok tani Madya, 2013
28
6. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepemilikan
alat produksi, kelompok tani Madya, 2013
29
7. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pemahaman
dan penerapan petani pada pertanian organik, kelompok tani
Madya, 2013
31
8. Jumlah dan persentase responden menurut respon petani pada
pertanian organik, kelompok tani Madya, 2013
32
9. Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut pendidikan formal, responden petani organik, 2013
33
10. Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut pendidikan formal, responden petani konvensional, 2013
34
11. Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut tingkat pengalaman bertani, responden petani organik,
2013
34
12. Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut tingkat pengalaman bertani, responden petani
konvensional, 2013
35
13. Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut tingkat keberanian mengambil resiko, responden petani
organik, 2013
36
14. Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut tingkat keberanian mengambil resiko, responden petani
konvensional, 2013
36
15. Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut tingkat jejaring, responden petani organik, 2013
38
16. Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut jejaring petani, responden petani konvensional, 2013
38
17. Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut kepemilikan alat produksi, responden petani organik,
2013
39
18. Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut kepemilikan alat produksi, responden petani
konvensional, 2013
40
19. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan,
kelompok tani Madya, 2013
41
20. Daftar harga jual hasil pertanian organik dan konvensional di 42
2
kelompok tani Madya, Tahun 2013
21. Jumlah dan persentase pendapatan menurut respon petani pada
pertanian organik, responden petani organik, 2013
42
22. Jumlah dan persentase pendapatan menurut respon petani pada
pertanian organik, responden petani konvensional, 2013
43
23. Jumlah dan persentase responden berdasarkan akses pasar,
kelompok tani Madya, 2013
44
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pemikiran 12
DAFTAR LAMPIRAN
1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2013 53
2. Peta Lokasi Penelitian (Desa Kebonagung) 54
3. Sketsa Lahan Pertanian Organik dan Pertanian Konvensional 55
4. Kerangka Sampling Penelitian 56
5. Sertifikat Organik Kelompok Tani Madya 58
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang identik dengan pertanian. Potensi
di bidang pertanian yang dimiliki Indonesia dapat dikembangkan dan dapat
menjadi salah satu bidang yang sangat penting perannya dalam meningkatkan
pendapatan nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS)1, pada Bulan
Februari 2013 dapat diketahui bahwa sebesar 39 959 073 penduduk Indonesia
mengandalkan sektor pertanian sebagai lapangan pekerjaan utama. Angka tersebut
mengalami kenaikan sebesar 2.77% dari perhitungan sebelumnya pada Bulan
Agustus 2012. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa bidang pertanian memiliki
daya tarik tersendiri untuk dijadikan lapangan pekerjaan utama, salah satunya
yaitu bidang pertanian merupakan sumber makanan utama masyarakat.
Selama ini, sebagian besar pertanian yang dikembangkan di Indonesia
adalah pertanian modern. Pertanian modern dicirikan dengan sistem usahatani
yang menggunakan bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan dan
lingkungan. Sutanto (2002) menyatakan bahwa paket teknologi pertanian modern
yang dimaksud adalah penggunaan varietas unggul berproduksi tinggi, pestisida
kimia, pupuk kimia/sintesis, dan menggunakan mesin-mesin pertanian untuk
mengolah tanah dan memanen hasil. Pertanian modern itu sendiri merupakan
salah satu wujud dari revolusi hijau yang mulai diterapkan di Indonesia pada
tahun enam puluhan. Pada awalnya revolusi hijau berhasil mengatasi kerawanan
pangan sehingga Indonesia berhasil mencukupi sendiri kebutuhan pangannya
yang sebelumnya Indonesia adalah negara pengimpor beras (Sutanto 2002). Wolf
(1986) dalam Sutanto (2002) juga menyatakan bahwa kenaikan produksi pangan
dunia sejalan dengan penggunaan pupuk kimia. Namun, seiring dengan
berjalannya waktu banyak pakar lingkungan menyadari bahwa penggunaan bahan
kimia tersebut dapat menimbulkan dampak negatif berupa penurunan
produktivitas tanah akibat penggunaan pupuk kimia serta rusaknya keseimbangan
ekosistem akibat penggunaan pestisida. Keadaan tersebut akhirnya mendorong
individu dan kelompok organisasi menyuarakan gerakan untuk mempraktikkan
usahatani alami yang ramah lingkungan dengan berbagai istilah seperti “organic”
atau “alternatif” dan selanjutnya berkembang menjadi pertanian organik seperti
saat ini. Prospek ekonomis dari pertanian ini pun cukup baik teriring dengan
berubahnya pola konsumsi manusia dimana manusia lebih memilih makanan yang
sehat meskipun harganya mahal (Soetrisno 1999).
Pada prinsipnya, pertanian organik sejalan dengan pengembangan pertanian
dengan masukan teknologi rendah (low-input technology) dan upaya menuju
pembangunan pertanian berkelanjutan. Pertanian organik berkembang secara
cepat terutama di negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia Timur (Jepang, Korea,
dan Taiwan). Di Asia, terutama di daratan China, pertanian organik dilaksanakan
sebelum pupuk kimia diperkenalkan secara meluas pada tahun 1960 (Sutanto
1 Badan Pusat Statistik. 2013. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yanrja menurut Lapangan Pekerjaan
Utama 2004 - 2012.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=2 [7
Maret 2013]
2
2002). Indonesia merupakan negara ketiga di Asia dalam pengembangan
pertanian organik setelah China dan India (Winarno dalam Siahaan 2009).
Berdasarkan data Statistik Pertanian Organik Indonesia (SPOI) yang diterbitkan
oleh Aliansi Organis Indonesia (AOI), sampai tahun 2011 tercatat bahwa luas area
pertanian Indonesia tahun 2011 adalah 225 062.65 ha dengan status 90 135.5 ha
merupakan area tersertifikasi pertanian organik, 3.8 area dalam proses sertifikasi
pertanian organik dan 134 917.66 ha merupakan area tanpa sertifikasi organik
(Ariesusanty et al. 2012). Sangat disayangkan, jika dibandingkan tahun lalu, luas
lahan ini mengalami penurunan sebesar 5.77%, terutama karena menurunnya luas
area pertanian organik tersertifikasi.
Berkurangnya luas area pertanian organik menunjukkan bahwa jumlah
petani dan luas lahan organik di Indonesia masih rendah. Hal ini didukung oleh
data hasil survey lapangan penulis pada bulan Januari hingga Maret 2013 yang
menunjukkan bahwa jumlah petani organik di Kabupaten Bogor masih sangat
sedikit dibandingkan petani konvensional. Padahal menurut Saragih2 (2008), sejak
tahun 2000, pemerintah sudah mulai mengembangkan pertanian organik di 20
kabupaten, antara lain Bogor, Sukabumi, Cianjur, Sragen, Yogyakarta, Malang
dan Cimande, serta Bengkulu. Keadaan ini menunjukkan kondisi yang bertolak
belakang dengan tingginya permintaan konsumen atas pertanian organik. Menurut
Sutanto (2002) istilah sistem pertanian organik menghimpun seluruh imajinasi
petani dan konsumen yang secara serius dan bertanggung jawab menghindarkan
bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan untuk
memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Selain itu, IFOAM3 menyampaikan
bahwa pertanian organik ini sangat tepat untuk diterapkan karena sangat aman
bagi kesehatan serta teknologi pertanian yang ramah lingkungan. Dengan
demikian, pertanian organik secara tidak langsung telah menjadi gaya hidup
masyarakat yang selalu ingin mengkonsumsi produk-produk yang sehat dan bebas
dari bahan kimia.
Kelompok Tani Madya, Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah satu-satunya kelompok tani di desa tersebut yang
telah menerapkan pertanian organik System Rice Intensification (SRI) pada tahun
2008. Kelompok tani ini melaksanakan usaha produksi pangan organik sesuai SNI
6729-2010-Organic Food & Production System dan CAC/GL 32/1999 Codex
Alimentarius Commision Guidelines for the production, processing, labelling and
marketing of organically produced foods. Penerapan pertanian organik yang telah
sejak lama dilaksanakan tersebut, diduga memberikan pengaruh ekonomi petani,
khususnya pada pendapatan petani. Hal ini didukung oleh pernyataan Sutanto
(2002) bahwa jika ditinjau dari segi ekonomi, pertanian organik seharusnya dapat
memberikan keuntungan yang diperoleh dari hasil produksi. Sugarda et al. (2008)
juga turut berpendapat bahwa pada kasus pangan, pengertian ramah lingkungan
tidak hanya sekedar aman (bersih, sehat, bergizi, bermutu, dan berwawasan
lingkungan) tetapi juga memberikan jaminan kesejahteraan bagi petani dan
ketersediaan pangan secara berkelanjutan. Meskipun demikian, merujuk kembali
pada hasil survey lapangan penulis yang menunjukkan jumlah petani dan luas
lahan organik masih rendah, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
2 Berdasarkan komunikasi pribadi Riza VT dengan Mahfudi pada tanggal 29 November 2004
3International Federation for Organic Agriculture Movement
3
pengembangan pertanian organik dan menganalisis sejauh mana pertanian organik
berpotensi dikembangkan oleh petani konvensional.
Perumusan Masalah
Pertanian organik merupakan salah satu alternatif pertanian yang dapat
memberikan hal positif sehingga patut untuk dikembangkan. Petani menjadi pihak
utama yang memegang peranan penting dalam menerima atau menolak sistem
pertanian tersebut. Pengambilan keputusan petani untuk menerapkan pertanian
organik ini dipengaruhi oleh karakteristik petani itu sendiri. Melalui proses
adaptasi, pertanian organik secara perlahan mulai digeluti dan mendapat respon
yang cukup baik dari para petani. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji lebih
dalam bagaimana hubungan antara karakteristik petani dengan respon petani pada
pertanian organik?
Sejauh ini, pertanian organik nyatanya memiliki permintaan yang semakin
meningkat dari konsumen yang mulai sadar akan pentingnya mengkonsumsi hasil
pertanian yang sehat. Sutanto (2002) berpendapat bahwa dengan semakin
banyaknya konsumen hijau yang menguasai pasar produk pertanian organik, baik
di tingkat internasional maupun nasional, serta dengan semakin berkembangnya
gerakan zero emisions, maka pertanian organik memperoleh momentum penting
dan dukungan besar dari pasar global yang mendambakan produk-produk
pertanian akrab lingkungan. Selain itu, harga jual hasil pertanian organik tersebut
digolongkan lebih mahal jika dibandingkan dengan hasil pertanian non organik.
Oleh karena itu, akan dibahas selanjutnya mengenai bagaimana perbedaan kondisi
ekonomi petani organik dan petani konvensional yang dipengaruhi oleh respon
petani pada pertanian organik?
Dalam kenyataannya, jumlah petani organik masih sangat sedikit jika
dibandingkan jumlah petani non organik. Meskipun demikian, petani organik
masih konsisten dalam mengembangkan sistem pertanian yang sehat dan ramah
lingkungan. Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji lebih dalam sejauh mana
peluang petani konvensional dalam menerapkan pertanian organik.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dirumuskan
sebagai berikut:
1. Menganalisis hubungan karakteristik petani dengan respon petani pada
pertanian organik.
2. Menganalisis sejauhmana respon petani pada pertanian organik dapat
mempengaruhi pendapatan petani.
3. Menganalisis sejauhmana peluang petani konvesional menerapkan pertanian
organik.
4
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
kalangan, diantaranya:
1. Peneliti dan civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
tambahan pengetahuan mengenai respon petani pada pertanian organik dan
pengaruhnya bagi pendapatan petani.
2. Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terutama
masyarakat sekitar kawasan pertanian untuk mengetahui respon petani pada
pertanian organik dan pengaruhya bagi kondisi ekonomi petani.
3. Pemerintah dan swasta, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam
membuat kebijakan dan pemberdayaan petani mengenai pertanian organik.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Pertanian Berkelanjutan
Pendekatan penghidupan berkelanjutan adalah cara berpikir dan bekerja
untuk pembangunan yang berkembang secara evolusi dengan tujuan
mengefektifkan segala usaha-usaha mengakhiri kemiskinan dan ketidakadilan
(Saragih 2008). Pendekatan penghidupan berkelanjutan tersebut didukung oleh
seperangkat prinsip yang menggambarkan pengorganisasian, pemahaman, dan
bekerja menangani masalah kemuskinan dan ketidakadilan yang disesuaikan
terhadap prioritas dan situasi lokal. Menurut Perman et al. dalam Jaya (2004)
memberikan beberapa alternatif pengertian dari konsep berkelanjutan, yaitu (1)
suatu kondisi dikatakan berkelanjutan sustainable) jika utilitas yang diperoleh
masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun
sepanjang waktu (non-declining consumption), (2) keberlanjutan adalah kondisi
dimana sumber daya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara
kesempatan produksi dimasa mendatang, (3) keberlanjutan adalah kondisi dimana
sumber daya alam (natural capital stock) tidak berkurang sepanjang waktu
(nondeclining), (4) keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam
dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumber daya alam, dan (5)
keberlanjutan adalah adanya kondisi keseimbangan dan daya tahan (resilience)
ekosistem terpenuhi.
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah sistem pertanian
yang harus dibangun dengan fondasi sumberdaya yang dapat diperbaharui yang
berasal dari lingkungan usaha tani dan sekitarnya (Francis dan King dalam Salikin
2003). Menurut Reijntjes et all. (1999), pertanian dapat dikatakan pertanian
berkelanjutan jika mencakup hal-hal sebagai berikut, yaitu mantap secara
ekologis, berlanjut secara ekonomis, adil, manusiawi, dan luwes. Menurut Atmojo
dalam Widiarta (2010), sistem pertanian berkelanjutan harus dievaluasi
berdasarkan pertimbangan beberapa kriteria, yaitu aman menurut wawasan
lingkungan, menguntungkan secara ekonomi, adil menurut pertimbangan sosial,
manusiawi terhadap semua bentuk kehidupan, dan mudah diadaptasi (luwes).
Eicher dalam Indriana (2010) mendefinisikan tiga alternatif pendekatan
konseptual mengenai definisi keberlanjutan pertanian yakni:
1. Keberlanjutan pertanian terkait dengan istilah teknik dan ekonomis, dengan
melihat kapasitas untuk menyediakan permintaan yang semakin beragam dan
meningkat terhadap komoditi tertentu.
2. Keberlanjutan pertanian sebagai pertanyaan ekologis merujuk pada suatu
sistem pertanian dimana mengurangi polusi dan faktor-faktor yang merusak
keseimbangan ekologi dari sistem yang tidak berkelanjutan.
3. Keberlanjutan pertanian di bawah istilah pertanian alternatif, menempatkan
keberlanjutan tersebut pada titik berat yang paling utama terkait dengan
keberlanjutan tidak hanya sebagai sumber daya fisik tapi sejumlah set nilai-
nilai komunitas. Berdasarkan Widiarta (2010) pertanian berkelanjutan bisa
diwujudkan melalui berbagai sistem usaha tani, termasuk pertanian organik
6
yang menekankan daur ulang hara secara alami, sehingga penggunaan input
luar menjadi rendah.
Indonesia telah lama menerapkan prinsip ekologis dari pengembangan
pertanian berkelanjutan, salah satunya yaitu pertanian organik. Pertanian organik
merupakan salah satu bukti adanya gerakan-gerakan pengembangan pertanian
yang ramah lingkungan. Menurut Harwood dalam Susanto (2002), ada tiga
kesepakatan yang harus dilaksanakan dalam pembangunan pertanian
berkelanjutan, ialah (i) produksi pertanian harus ditingkatkan tetapi efisien dalam
pemanfaatan sumber daya, (ii) proses biologi harus dikontrol oleh sistem
pertanian itu sendiri (bukan tergantung pada masukan yang berasal dari luar
pertanian), dan (iii) daur hara dalam sistem pertanian harus lebih ditingkatkan dan
bersifat lebih tertutup.
Menurut beberapa pendapat para ilmuan, pertanian organik harus dapat
berkelanjutan secara ekonomi. Keberlanjutan ekonomi adalah pembangunan yang
mampu mengendalikan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara
keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya keseimbangan sektoral
yang dapat merusak produksi pertanian dan industri (Haris dalam Jaya 2004).
Menurut Jaya (2004), keberlanjutan ekonomi dari perspektif pembangunan
memiliki dua hal utama yang antara keduanya mempunyai keterkaitan yang erat
dengan tujuan aspek keberlanjutan lainnya. Menurut Ho dan Ching dalam
Widiarta (2010), pertanian organik menjamin keberlanjutan ekonomi yang terlihat
dari:
1. Produksi yang lebih efisien dan menguntungkan dihasilkan dari pertanian
organik melalui peningkatan produktivitas, biaya rendah namun keuntungan
tinggi.
2. Pertanian organik dapat meningkatkan ketahanan pangan dan keuntungan
bagi masyarakat lokal selain baik juga untuk kesehatan.
Penerapan pertanian organik dapat memberikan sejumlah keuntungan di
bidang ekonomi berupa semakin meningkatnya pendapatan petani, terciptanya
lapangan kerja baru di pedesaan, serta meningkatnya daya saing dan nilai tambah
produk agribisnis secara berkelanjutan. Pernyataan tersebut didukung oleh
pernyataan Sutanto (2002) yang menyatakan bahwa dari segi ekonom, pertanian
organik akan lebih menghemat devisa negara untuk mengimpor pupuk, bahan
kimia pertanian, serta memberi banyak kesempatan lapangan kerja dan
meningkatan pendapatan petani.
Konsep Pertanian Organik
Istilah pertanian organik dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan
langsung dari istilah organic agriculture dan organic farming yang ditemui dalam
literatur-literatur berbahasa Inggris (Saragih 2008). Istilah pertanian organik
menyebabkan petani dan konsumen untuk menghindarkan bahan kimia dan pupuk
yang meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan
yang sehat. Mereka juga berusaha untuk menghasilkan produksi tanaman yang
berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah menggunakan sumber
daya alami seperti mendaur-ulang limbah pertanian (Sutanto 2002). Pertanian
organik adalah salah satu sistem pertanian yang ramah lingkungan. Pertanian
organik merupakan pertanian yang berwawasan lingkungan karena dalam
pengolahannya menggunakan bahan organik yang akan menunjang dan menjaga
7
kesuburan tanah, serta mengembalikan kerusakan tanah akibat pertanian
anorganik. Menurut Codex4 dalam Saragih (2008) pertanian organik adalah
kegiatan pertanian yang mengupayakan penggunaan asupan luar yang minimal
dan menghindari penggunaan pestisida dan pupuk sintetik. Pertanian organik
merupakan pertanian yang berwawasan lingkungan karena dalam pengolahannya
menggunakan bahan organik yang akan menunjang dan menjaga kesuburan tanah,
serta mengembalikan kerusakan tanah akibat pertanian anorganik.
Menurut IFOAM dalam Susilo (2005), tujuan yang hendak dicapai dengan
penggunaan sistem pertanian organik adalah sebagai berikut: (1) menghasilkan
bahan pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah cukup, (2)
melaksanakan interaksi efektif dengan sistem dan daur alamiah yang mendukung
semua kehidupan yang ada, (3) mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam
sistem usaha tani dengan mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan fauna,
tanah, tanaman, serta hewan, (4) memelihara serta meningkatkan kesuburan tanah
secara berkelanjutan, (5) menggunakan sebanyak mungkin sumber-sumber
terbarui yang berasal dari sistem usaha tani itu sendiri, (6) memanfaatkan bahan-
bahan yang mudah didaur ulang baik di dalam maupun di luar usaha tani, (7)
menciptakan keadaan yang memungkinkan ternak hidup sesuai dengan
perilakunya yang hakiki, (8) membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran
lingkungan yang mungkin dihasilkan oleh kegiatan pertanian, (9)
mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelaksanaan habitat tanaman
dan hewan, (10) memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen
pertanian (terutama petani) dengan kehidupan yang lebih sesuai dengan hak asasi
manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan
kepuasan kerja, termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat. Menurut Saragih
(2008), di Indonesia, yang disebut dengan produk pertanian organik ditetapkan
dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) Pertanian Organik yang disahkan oleh
Badan Standarisasi Nasional melalui BSN SNI 01-6729-2002 yang bersumber
pada kesepakatan antarnegara yang tertuang dalam Codex Alimentariu Guidelines
for the Production, Processing, Labelling, and Marketing of Organically
Produced Foods.
Prinsip-Prinsip Pertanian Organik
Pertanian organik mengasilkan produk pertanian yang menerapkan prinsip-
prinsip ekologi terbebas dari pemakaian bahan-bahan kimia berbahaya mulai dari
pembenihan, penanaman, perawatan, panen, dan pasca panen. Menurut
International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM), pertanian
organik memiliki empat prinsip yang disusun untuk mengilhami tindakan dalam
mewujudkan visi pertanian organik menjadi nyata. Prinsip-prinsip tersebut, yaitu:
1. Prinsip kesehatan
Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah,
tanaman, manusia hewan, dan planet sebagai satu dan tak terpisahkan. Prinsip
ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tak dapat
dipisahkan dari kesehatan ekosistem - tanah yang sehat akan menghasilkan
tanaman sehat yang mendukung kesehatan hewan dan manusia. Peran
4 Codex Alimentarius Guidelines adalah guideline yang dibuat oleh dua badan di bawah
Perserikatan Bangsa Bangsa yaitu WHO (World Health Organization) dan FAO (Food and
Agriculture Organization).
8
pertanian organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi, atau konsumsi,
adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan
organisme, dari yang terkecil dalam tanah untuk manusia. Dengan demikian,
maka pertanian organik harus bebas dari pupuk, pestisida, obat-obatan dan
zat-zat lain yang dapat berbahaya bagi kesehatan.
2. Prinsip ekologi
Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus kehidupan ekologi,
bekerja sama dengan kondisi tersebut, dan berusaha membantu kondisi
tersebut berkelanjutan. Pertanian organik, peternakan, dan sistem panen harus
berdasarkan pada siklus dan keseimbangan ekologi di alam. Pengelolaan
pertanian organik harus diadaptasikan pada keadaan lokal, ekologi, budaya,
dan skala. Input harus dikurangi dengan daur ulang, dan pengelolaan material
serta energi yang efisien sebagai upaya memelihara dan meningkatkan
kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam. Pertanian organik
harus mencapai keseimbangan ekologis, baik dalam bentuk sistem pertanian,
pembentukan habitat, serta pemeliharaan keragaman genetik.
3. Prinsip keadilan
Pertanian organik harus mampu membangun hubungan yang menjamin
keadilan pada lingkungan dan kesempatan hidup bersama. Keadilan ditandai
dengan adanya kesetaraan, saling menghargai, keadilan, dan kesediaan untuk
hidup bersama, baik sesama manusia dan dan hubungan manusia tersebut
dengan makhluk hidup lain. Prinsip ini menekankan bahwa mereka yang
terlibat dalam pertanian organik harus membangun hubungan antar manusia
dengan saling menjamin adanya keadilan pada semua tingkatan dan semua
pihak, termasuk petani, pekerja, pengolah, pedagang, distributor, serta
konsumen. Pertanian organik harus melibatkan semua orang dengan kualitas
hidup yang lebih baik dan berkontribusi pada ketahanan pangan dan
mengurangi kemiskinan. Sumber daya alam dan lingkungan yang digunakan
untuk produksi dan konsumsi harus dikelola secara sosialis dan ekologis adil
dan dipastikan untuk generasi berikutnya. Keadilan memerlukan sistem
produksi, distribusi dan perdagangan yang terbuka, adil serta dapat
memperhitungkan biaya lingkungan dan biaya sosial.
4. Prinsip perawatan
Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab
untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan
mendatang serta lingkungan hidup. Dalam pertanian organik, ilmu
dibutuhkan untuk menjamin kesehatan,keamanan, dan keberlangsungan
ekologi. Pertanian organik harus mampu mencegah terjadinya resiko yang
signifikan dengan mengadopsi teknologi tepat guna dan menolak yang tak
terduga, seperti rekayasa genetika. Pengambilan keputusan harus
mencerminkan nilai-nilai dan kebutuhan dari semua aspek yang mungkin
dapat terkena dampaknya, melalui proses yang transparan dan partisipatif.
9
Peluang Pertanian Organik
Menurut Sutanto (2002) ada tiga peluang pertanian organik yang dapat
diterapkan dengan memperhatikan kondisi lokasi yang spesifik, yakni sebagai
berikut:
a. Pertanian organik murni – Penggunaan pupuk organik, pupuk hayati dan
pestisida hayati (biopesticide) ditingkatkan dan menghindarkan pupuk kimia
dan pestisida/bahan kimia pertanian.
b. Sistem usaha tani “revolusi hijau terpadu – Masukan teknologi tinggi
dimasukkan ke dalam pengelolaan gizi/nutrisi tanaman terpadu (PNT) dan
pengendalian hama terpadu (PHT). Pupuk hayati diterapkan untuk memasok
kebutuhan hara nitrogen sampai aras tertentu.
c. Sistem usaha tani terpadu – Masukan teknologi rendah dengan sistem
pertanian organik dan sumber daya lokal didaur-ulang secara efektif. Hal ini
dapat dipadukan dengan komponen lain yang berkembang spesifik lokasi,
termasuk: kolam ikan, peternakan ayam, sapi, babi, limbah jamur merang, dll.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Pertanian Organik
Pada saat ini, pandangan pengembangan pertanian organik sebagai salah
satu teknologi alternatif untuk menanggulangi persoalan lingkungan sangat
diperlukan. Di negara yang sudah maju dan sangat memerhatikan masalah
lingkungan, adanya residu kimia dalam bahan pangan yang berasal dari pupuk
kimia dan pestisida sintetik mendapatkan perhatian yang serius, sedang situasi di
Indonesia sangat berbeda sama sekali (Sutanto 2002). Menurut Salikin (2003),
terdapat beberapa indikator pertanian berkelanjutan untuk ekosistem dataran
rendah (low land) pada level usaha tani, diantaranya yaitu indikator biofisik dan
indikator sosial ekonomi. Indikator biofisik terdiri dari kualitas tanah,
keanekaragaman (spesies/varietas), dan penggunaan input eksternal dan internal.
Sedangkan indikator sosial ekonomi terdiri dari diversifikasi sumber pendapatan,
sistem panen, praktek manajemen, status kepemilikan/penguasaan lahan,
ketahanan pangan, nilai-nilai dan praktik tradisional, indikator sosial (pendidikan,
kesehatan, tempat tinggal, dan fasilitas-fasilitas), keanggotaan dalam organisasi,
dan dukungan pelayanan.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, didapatkan beberapa faktor yang
berhubungan dengan penerapan pertanian organik. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Susati et al. (2008) yang dilakukan terhadap petani responden di
Desa Sukorejo Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen diketahui bahwa terdapat
hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani
dengan pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian padi organik.
Dari penelitian tersebut didapatkan hasil adanya hubungan signifikan antara
keputusan petani dengan pendidikan petani, lingkungan sosial, dan lingkungan
ekonomi. Selain itu, hasil penelitian Putri (2011) dijelaskan bahwa terdapat
hubungan antara luas lahan yang dikelola petani, tingkat keberanian mengambil
resiko, tingkat keterbukaan/keinovatifan, keterdedahan terhadap sumber
informasi, dan kekosmopolitan terhadap persepsinya tentang karakteristik inovasi
pertanian padi organik. Selain itu, hasil penelitian Rukka et al. (2006) didapatkan
bahwa faktor internal pada petani dapat berpengaruh pada respon petani terhadap
penggunaan pupuk organik pada padi sawah. Faktor internal tersebut berupa
motivasi petani, pengalaman berusahatani, dan luas lahan garapan.
10
Berdasarkan penelitian Widiarta (2011) keberlanjutan praktik pertanian
organik di kalangan petani masih rendah. Meskipun demikian, hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa petani yang berpendidikan lebih tinggi dibandingkan petani
lainnya, cenderung lebih mudah mengadopsi suatu inovasi seperi praktik
pertanian organik. Begitu juga dengan kepemilikan lahan dan kepemilikan hewan
ternak. Petani yang memiliki lahan dan hewan ternak sendiri dapat mempengaruhi
tingkat adopsi petani terhadap pertanian organik. Padahal, pada hasil penelitian
Suwantoro (2008) disebutkan bahwa pertanian organik memerlukan partisipasi
penuh dari seluruh pihak. Hasil penelitian lain yang didapatkan oleh Widiarta
(2011) yaitu masih banyak petani yang belum mengadopsi praktik pertanian
organik. Beberapa alasan yang menyebabkan masih sedikitnya petani yang
menerapkan pertanian organik adalah sebagai berikut:
1. Pola pikir petani yang masih pragmatis dan menganggap praktik pertanian
organik lebih sulit daripada praktik pertanian konvensional,
2. Rendahnya kesadaran petani terhadap kelestarian lingkungan,
3. Petani tidak puas jika hanya menggunakan pupuk organik karena warna hijau
daun tanaman padi kurang terlihat,
4. Praktik pertanian organik tidak menjamin bebas hama,
5. Penggunaan pupuk organik lebih sulit daripada pupuk kimia sintetik,
6. Sebagian petani tidak memiliki pasokan pupuk kandang, banyak petani di
Desa Ketapang yang berstatus sebagai buruh tani sehingga mereka harus
mengejar target hasil panen dari petani pemilik lahan,
7. Sumber air irigasi yang bersih jauh dari lahan pertanian,
8. Hasil panen pertanian organik jumlahnya lebih sedikit dan kurang
memuaskan pada masa awal bertani organik.
Sutanto (2002) juga turut menyatakan bahwa sampai saat ini masih
berkembang pemahaman yang keliru tentang pertanian organik, yaitu: 1) biaya
mahal, 2) memerlukan banyak tenaga kerja, 3) kembali pada sistem pertanian
tradisional, 4) produksi rendah. Selain itu, untuk menerapkan pertanian organik
juga terdapat beberapa kendala, yaitu: a) ketersediaan bahan organik terbatas dan
takarannya harus banyak, b) transportasi mahal karena bahan bersifat ruah, c)
menghadapi persaingan dengan kepentingan lain dalam memperoleh sisa
pertanaman dan limbah organik, d) tidak adanya bonus harga produk pertanian
organik.
Konsep Respons
Menurut Scheerer dalam Sarwono (2003), respons (balas) adalah proses
pengorganisasian rangsang. Rangsang proksimal diorganisasikan sedemikian rupa
sehingga terjadi representasi fenomenal dari rangsang proksimal itu. Proses inilah
yang disebut respons. Menurut Hunt (1962) dalam Sarwono (2003), orang dewasa
mempunyai sejumlah besar unit untuk memproses informasi. Unit-unit ini dibuat
khusus untuk menangani representasi fenomenal dari keadaan di luar yang ada
dalam diri seorang individu (internal environment). Lingkungan internal ini dapat
digunakan untuk memperkirakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar. Proses
yang berlangsung secara rutin inilah yang dinamakan respons.
11
Wilis dalam Sarwono (2003) mengemukakan 4 modus dari respon sosial,
yaitu:
1. Konformitas: perilaku konformitas yang murni adalah usaha terus-menerus
dari individu untuk selalu selaras dengan norma-norma yang diharapkan oleh
kelompok. Kalau persepsi individu tentang norma-norma kelompok (standar
sosial) berubah, maka ia akan mengubah pula tingkah lakunya.
2. Ketidaktergantungan (independence): perilaku tidak tergantung murni adalah
perilaku yang memberi nilai nol pada norma yang berlaku. Ini bukannya
berarti bahwa individu sama sekali mengabaikan norma-norma, individu tetap
tahu bahwa ada norma-norma (standar sosial), tetapi ia tidak membiarkan
responsnya dipengaruhi oleh standar sosial tersebut.
3. Anti konformitas (anticonformity): perilaku anti konformitas murni adalah
perilaku yang merupakan respons (balasan, tanggapan) terhadap norma
tersebut, akan tetapi yang arahnya justru berlawanan dengan norma. Dengan
perkataan lain, seorang anti konformis justru memilih perilaku-perilaku yang
menurut standar sosial dinilai “tidak benar”.
4. Variabilitas (variability): variabilitas yang murni adalah perilaku yang
berubah-ubah tidak membantu dan tidak berkaitan dengan norma-norma yang
diprersepsikan individu. Jadinya, gerak di sini tidak ditentukan oleh standar
sosial dan standar sosial tidak diberi nilai apapun oleh individu. Orang yang
respons sosialnya tergolong variabilitas murni dapat disebut juga self anti-
conformity (tidak konform terhadap diri sendiri), karena perilakunya sama
sekali tidak sesuai dengan perilaku awalnya sendiri.
Kerangka Pemikiran
Adanya revolusi hijau terutama bentuknya dalam menerapkan pertanian
konvensional mendorong petani untuk menerapkan pertanian yang menggunakan
bahan-bahan kimia, seperti pupuk kimia dan pestisida kimia. Penggunaan bahan
kimia tersebut dinilai oleh para ilmuan akan membawa dampak buruk bagi
lingkungan maupun kesehatan manusia. Hal ini kemudian mengawali pergerakan
pertanian organik yang dilakukan oleh sekelompok individu yang peduli akan
keadaan lingkungan. Pertanian organik dinilai dapat menjadi alternatif pertanian
ramah lingkungan yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia. Pertanian organik
adalah kegiatan pertanian yang mengupayakan penggunaan asupan luar yang
minimal dan menghindari penggunaan pestisida dan pupuk sintetik. Pertanian
organik diidentifikasikan akan menimbulkan respon berupa tingkat pemahaman,
dan penerapan yang dipengaruhi oleh karakteristik petani. Dalam hal ini, respon
yang tinggi seiring dengan semakin tingginya minat masyarakat untuk
mengkonsumsi makanan yang bebas dari bahan berbahaya. Tingginya respon
tersebut dapat berpengaruh pada kondisi ekonomi, yaitu pada tingkat pendapatan.
Dari perbedaan respon yang diberikan oleh setiap petani maka dapat dilihat
adanya kontradiksi masih sedikitnya petani yang menerapkan pertanian organik.
Secara sederhana, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut.
12
Keterangan:
: berhubungan
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis dari penelitian
ini adalah
(1) Diduga terdapat hubungan antara karakteristik petani (tingkat pendidikan
formal, tingkat pengalaman bertani, tingkat keberanian mengambil resiko,
tingkat jejaring yang dimiliki petani, dan tingkat kepemilikan alat produksi)
dengan tingkat respon petani pada pertanian organik.
(2) Diduga terdapat hubungan antara respon petani pada pertanian organik
dengan tingkat pendapatan.
Definisi Operasional
(1) Tingkat pendidikan formal adalah jenjang terakhir sekolah formal yang
pernah diikuti oleh responden. Pengukuran ini dilakukan dengan
menggunakan skala ordinal dan dikategorikan menjadi:
a. Rendah (skor 1) : tidak lulus SD sampai dengan lulus SD/sederajat
b. Tinggi (skor 2) : lulus SMP/sederajat sampai dengan lulus
SMA/sederajat
(2) Tingkat pengalaman bertani adalah lamanya responden dalam melakukan
usahatani. Pengukuran dikategorikan menjadi:
a. Rendah (skor 1) : tingkat pengalaman < 36 tahun
b. Tinggi (skor 2) : tingkat pengalaman ≥ 36 tahun
Respon petani pada
pertanian organik
1. Tingkat pemahaman
2. Tingkat penerapan
Kondisi Ekonomi
1. Tingkat Pendapatan
2. Akses Pasar
Karakteristik Petani
1. Tingkat pendidikan
formal
2. Tingkat pengalaman
bertani
3. Tingkat keberanian
mengambil resiko
4. Tingkat jejaring yang
dimiliki petani
5. Tingkat kepemilikan
alat produksi
13
(3) Tingkat keberanian mengambil resiko adalah keberanian petani dalam
mengambil keputusan meskipun meskipun memiliki resiko dalam proses
produksi pertanian organik. Indikator yang digunakan untuk mengukur
tingkat keberanian mengambil resiko ini, yaitu:
a. Resiko gagal panen yaitu petani tetap bertani organik meskipun hasil
panen pada awal penerapan pertanian turun drastis/gagal panen.
b. Resiko penyesuaian terhadap hal baru yaitu petani tetap bertani organik
meskipun memiliki cara yang sangat berbeda dengan sistem pertanian
yang telah sejak dahulu Bapak/Ibu terapkan.
c. Resiko penggunaan waktu yaitu petani tetap bertani organik meskipun
menggunakan pupuk kompos yang dibuat sendiri.
d. Resiko kesehatan yaitu petani mau membuat pupuk kompos menggunakan
kotoran hewan yang memiliki bau menyengat.
Pengukuran variabel ini meliputi jawaban “ya” (2) dan “tidak” (1) dan
dikategorikan menjadi:
1. Rendah (skor 1) : akumulasi nilai 4-6
2. Tinggi (skor 2) : akumulasi nilai 7-10
(4) Tingkat jejaring yang dimiliki petani adalah interaksi petani dengan petani
lain maupun dengan penyuluh pertanian. Indikator yang digunakan untuk
mengukur tingkat jejaring, yaitu:
a. Rekan sesama petani satu kelompok tani
b. Rekan sesama petani beda desa
c. Penyuluh pertanian tingkat kecamatan/kabupaten di dalam wilayah
Yogyakarta
d. Penyuluh pertanian tingkat kecamatan/kabupaten di luar wilayah
Yogyakarta.
Petani boleh memilih lebih dari 1 berdasarkan jejaring yang dimiliki.
Selanjutnya akan dikategorikan menjadi:
1. Rendah (skor 1) : akumulasi nilai 1-2
2. Tinggi (skor 2) : akumulasi nilai 3-4
(5) Tingkat kepemilikan alat produksi adalah jenis alat produksi yang dimiliki
oleh petani yang dilihat dari indikator kepemilikan sawah dan hewan ternak.
Petani boleh memilih lebih dari 1 jika memang memilikinya. Selanjutnya
apabila petani hanya memilih 1, maka akan diberikan skor 1 dan apabila
petani memilih kedua-duanya, maka akan diberikan skor 2.
(6) Tingkat respon petani pada pertanian organik adalah perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari adanya pertanian organik. Tingkat respon petani dilihat
dari dua indikator, yaitu tingkat pemahaman dan tingkat penerapan. Tingkat
respon petani pada pertanian organik diberikan 14 pernyataan yang meliputi 6
pernyataan terkait tingkat pemahaman dan 8 pernyataan terkait tingkat
penerapan. Tingkat respon petani akan dikategorikan menjadi:
i. Rendah (skor 1) : jika total nilai 14-20
ii. Tinggi (skor 2) : jika total nilai 21-28
14
Adapun sub variabel dari tingkat respon petani adalah
a. Tingkat pemahaman adalah seberapa besar petani memahami pertanian
organik yang dengan memberikan 6 pernyataan terkait tingkat
pemahaman. Pengukuran variabel ini meliputi jawaban “ya” (2) dan
“tidak” (1). Pengukuran ini dilakukan menggunakan skala ordinal dan
dikategorikan menjadi:
1. Rendah (skor 1) : jika total nilai 6-8
2. Tinggi (skor 2) : jika total nilai 9-12
b. Tingkat penerapan adalah seberapa besar petani menerapkan pertanian
organik sebagai sistem pertaniannya dengan memberikan 8 pernyataan
terkait tingkat penerapan. Pengukuran variabel ini meliputi jawaban “ya”
(2) dan “tidak” (1). Pengukuran ini dilakukan menggunakan skala ordinal
dan dikategorikan menjadi:
1. Rendah (skor 1) : jika total nilai 8-11
2. Tinggi (skor 2) : jika total nilai 12-16
(7) Tingkat pendapatan adalah ukuran taraf hidup yang dilihat dari jumlah
penghasilan petani dari mata pencahariannya sebagai petani yang dilihat dari
penghasilan hasil panen terakhir dikurangi dengan biaya-biaya produksi.
Tingkat pendapatan dikategorikan menjadi dua kategori berdasarkan sebaran
data sesuai data lapang.
Pengukuran ini dikategorikan menjadi:
a. Rendah (skor 1) : pendapatan < Rp2 714 617
b. Tinggi (skor 2) : pendapatan ≥ Rp2 714 617
(8) Akses pasar yaitu potensi atau peluang petani dalam memasarkan atau
menjual produk pertaniannya kepada konsumen melalui berbagai macam
saluran distribusi berdasarkan permintaan konsumen. Akses pasar diukur dari
tempat menjual hasil produksi saat ini dan potensi menjual hasil panen di
tempat lain.
Adapun indikator yang digunakan yaitu:
i. Terdapat tempat langganan menjual hasil panen.
ii. Ada potensi menjual hasil panen di tempat lain.
Pengukuran indikator ini meliputi jawaban “ya” (2) dan “tidak” (1) dan
dikategorikan menjadi
1. Rendah (skor 1) : jika total nilai 2
2. Tinggi (skor 2) : jika total nilai 3-4
15
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Hal ini dilakukan
sebagai upaya memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang
diteliti dengan menambahkan informasi kualitatif pada data kuantitatif.
Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian eksperimental, yaitu
dengan melakukan uji hipotesa untuk mengetahui hubungan sebab akibat variabel
penelitian. Penelitian eksperimental ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner
dan mewawancarai sampel penelitian dari populasi yang didalamnya terdapat dua
kelompok berbeda (kelompok pembanding). Pendekatan kualitatif yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus yang bersifat deskriptif
untuk sejauh mana berimbasnya pertanian organik pada petani konvensional. Data
kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung di
lokasi penelitian untuk menggali informasi lebih dalam dari pihak informan.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kelompok tani Madya, Desa Kebonagung,
Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada Bulan
April-Mei 2013. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive)
dengan pertimbangan yaitu kelompok tani Madya merupakan pelaku usaha
penerap jaminan mutu tanaman pangan yang bergerak pada budidaya tanaman
padi yang menghasilkan beras organik. Informasi ini didapatkan dari Profil
Penerima Penghargaan Ketahanan Pangan Bidang Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Pertanian Tahun 2010 yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Penerapan
pertanian organik sudah berlangsung sejak tahun 2008 dan telah bersertifikat oleh
lembaga sertifikasi Persada. Penyusunan proposal dilakukan pada bulan Februari -
April 2013. Pengumpulan data primer dan data sekunder dilakukan pada bulan
April - Mei 2013. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal penelitian,
kolokium, revisi proposal, pengumpulan data, pengolahan data dan analisis data,
penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi. Jadwal Pelaksanaan
Penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
Penentuan Responden dan Informan Penelitian
Unit analisis penelitian ini adalah individu. Terdapat dua subyek dalam
penelitian ini, yaitu responden dan informan. Responden penelitian ini adalah
petani organik yang telah melaksanakan praktik pertanian organik dengan
budidaya padi sawah dan petani konvensional sebagai responden kontrol yang
tergabung dalam kelompok tani yang sama dengan petani organik. Jumlah
populasi petani di Kelompok Tani Madya (populasi sampling) sebanyak 119
orang. Populasi sampling tersebut terdiri dari dua sub populasi (strata), yaitu 46
orang petani organik dan 73 orang petani konvensional (Lampiran 4). Penelitian
16
ini menggunakan metode eksperimental yang membutuhkan sampel dari populasi
yaitu dua kelompok responden penelitian yang terdiri dari kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol. Responden diambil secara acak distratifikasi (stratified
random sampling) karena populasi tidak homogen yaitu terdiri dari dua sub
populasi petani organik dan petani konvensional. Responden dari masing-masing
sub populasi tersebut selanjutnya dipilih secara acak melalui teknik acak
sederhana (simple random sampling) menggunakan bantuan program Microsoft
Excel 2010. Rincian mengenai jumlah populasi dan sampel penelitian dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jumlah Populasi dan Responden Penelitian
Kelompok Tani Madya* Populasi Total
* Responden (orang)
Petani Organik 46 30
Petani Konvensional 73 30
Total 119 60 *Sumber: Data Kelompok Tani Madya
Sebanyak 30 orang petani organik dan 30 orang petani konvensional
dijadikan sampel responden dengan asumsi responden tersebut dapat
menghasilkan gambaran yang dapat dipercaya dari seluruh populasi yang diteliti,
dapat menentukan presisi dari hasil penelitian dengan menentukan penyimpangan
baku (standar) yang diperoleh, sederhana dan mudah dilaksanakan, serta dapat
memberikan keterangan sebanyak mungkin dengan biaya serendah-rendahnya
(Teken dalam Singarimbun dan Effendi 1989).
Pemilihan informan dilakukan secara purposive dengan teknik bola salju
(snowball technique). Teknik bola salju adalah penentuan informan dari satu
informan ke informan lainnya yang dilakukan pada saat penelitian dilaksanakan
hingga dicapai jumlah informan yang dianggap dapat merepresentasikan berbagai
informasi yang dibutuhkan. Informan dalam penelitian ini adalah orang yang
memahami maupun telah turut serta dalam pengembangan pertanian organik di
Desa Kebonagung, khususnya kelompok tani Madya. Dengan menggunakan
teknik bola salju, maka didapatkan 3 tokoh yang memahami pertanian organik
yaitu Ngj, Sdy, Mrg. Informan ini diperlukan sebagai pemberi informasi atau data
tambahan terkait dengan penelitian yang tidak dapat diperoleh melalui kuesioner.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer berupa data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari
hasil wawancara melalui kuesioner yang ditujukan kepada responden serta
melalui wawancara mendalam terhadap informan. Data sekunder sebagai data
pendukung diperoleh melalui studi literatur, informasi dari internet, dokumen
yang berhubungan dengan pertanian organik, data potensi desa, serta berbagai
dokumen dan pustaka lainnya yang dapat menunjang penelitian.
Data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner diolah dengan menggunakan
bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2010. Data yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan teknik tabel frekuensi dan tabulasi silang. Analisa tabulasi
17
silang atau teknik elaborasi adalah metode analisa yang paling sederhana tetapi
memiliki daya menerangkan cukup kuat untuk menjelaskan hubungan
antarvariabel (Singarimbun dan Effendi 1989). Selain analisis data kuantitatif,
dilakukan pula analisis data secara kualitatif sebagai pendukung hasil penelitian
dengan mengutip hasil wawancara mendalam dengan responden atau informan
dan disampaikan secara deskriptif guna mempertajam hasil penelitian. Hasil
analisis data kuantitatif dan kualitatif kemudian disinergikan sehingga dapat
saling melengkapi kebutuhan penelitian. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan
dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten.
Keterbatasan Studi
Hal yang patut dikritisi dalam penelitian ini yaitu pada bagian metode
penelitian. Pada awalnya peneliti ingin melihat sejauhmana perbedaan petani
organik dan petani konvensional. Kesalahan terletak pada penentuan responden.
Seharusnya penulis tidak terpaku pada teori Singarimbun dan Effendi (1989) yang
menyatakan bahwa dalam menentukan besarnya sampel dalam suatu penelitian
harus mempertimbangkan derajat keseragaman (degree of homogenity) dari
populasi. Pada dasarnya peneliti ingin melihat perbedaan penerapan yang
dilakukan oleh petani organik dan petani konvensional pada pertanian organik.
Peneliti merasa bahwa menganalisis dalam satu kelompok saja sudah cukup.
Namun ternyata karena adanya keseragaman dalam kelompok tersebut, salah
satunya yaitu jejaring petani dalam memperoleh informasi mengenai pertanian
organik maka berdampak pada pemahaman petani yang sama-sama tinggi namun
penerapannya berbeda. Seharusnya peneliti mengambil responden yang berbeda
desa atau yang jejaring yang dimiliki dalam memperoleh informasi mengenai
pertanian organik beragam.
Keseragaman data yang diperoleh tersebut diduga karena keterbatasan
bahasa yang dimiliki penulis. Penulis hanya menggunakan Bahasa Indonesia
selama proses penelitian ini berlangsung. Padahal petani di kelompok tani Madya
tersebut mayoritas adalah petani yang sehari-harinya menggunakan Bahasa Jawa.
Selain itu, kesalahan lain diduga karena kurang tepatnya waktu yang digunakan
penulis dalam melakukan wawancara pada responden.
18
19
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Bab ini memaparkan tentang gambaran umum lokasi penelitian yang terbagi
kedalam beberapa sub bab. Sub bab pertama merupakan profil desa Kebonagung
yang terbagi menjadi beberapa sub-sub bab yang memaparkan tentang kondisi
geografis dan keadaan sosial ekonomi desa. Sub bab kedua berupa profil
kelompok tani Madya, dan sub bab ketiga berupa karakteristik responden
penelitian yang terdiri dari tingkat pendidikan formal, lamanya bertani, tingkat
keberanian mengambil resiko, tingkat jejaring, dan kepemilikan alat produksi.
Profil Desa Kebonagung
Pemerintah dan Kependudukan Desa Kebonagung
Desa Kebonagung merupakan salah satu dari 8 (delapan) desa yang terdapat
di Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta dengan
luas wilayah 183,1105 Ha. Desa Kebonagung memiliki lima dukuh (Dukuh Jayan,
Dukuh Kalangan, Dukuh Kanten, Dukuh Mandingan, dan Dukuh Tlogo) dan 23
rukun tetangga. Desa Kebonagung berada di dataran rendah pada ketinggian 100
meter di atas permukaan laut (dpl). Letak Desa Kebonagung yang berada pada
dataran rendah membuat suhu harian di desa ini antara 23ºC sampai dengan 26ºC.
Batas-batas wilayah Desa Kebonagung adalah sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Karangtalun
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sriharjo
3. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Canden
4. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Karang Tengah
Berdasarkan data profil desa 2011, jumlah penduduk Desa Kebonagung
adalah 3 456 orang dan jumlah kepala keluarga yang tercatat sebanyak 1 364
kepala keluarga. Status kewarganegaraan seluruh penduduk Desa Kebonagung
adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dengan rincian berdasakan jenis kelamin
yaitu 1 710 orang laki-laki dan 1 746 orang perempuan. Mayoritas penduduk
Kebonagung merupakan penduduk asli Suku Jawa. Dari data profil Desa
Kebonagung 2011 juga didapatkan informasi sumber penghasilan utama sebagian
besar penduduk adalah pertanian dengan komoditas utama berupa padi. Jumlah
keluarga pertanian di Desa Kebonagung sebanyak 300 keluarga dan terdapat
keluarga yang anggota keluarganya menjadi buruh tani sebanyak 174 keluarga.
Kepadatan penduduk di desa ini mencapai 1 920 jiwa/km2.
Mata pencaharian masyarakat di Desa Kebonagung cukup beragam, namun
sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani dan buruh tani.
Selain sektor pertanian, masyarakat Desa Kebonagung juga bekerja di bidang
wiraswasta yang meliputi usaha warung, di bidang jasa, dan pertukangan. Hanya
sedikit penduduk yang bekerja sebagai PNS seperti menjadi pemerintah desa dan
guru.
20
Infrastruktur Desa
Desa Kebonagung memiliki prasarana umum yang disediakan untuk
mempermudah kehidupan sehari-hari penduduknya. Desa Kebonagung terdapat
balai desa balai pertemuan, dan gardu jaga. Sarana pemerintahan desa terdiri dari
balai desa, jalan desa, balai pertemuan, serta gardu jaga. Desa Kebonagung pada
saat ini telah memiliki gedung pendidikan, yaitu gedung taman kanak-kanak (TK),
gedung sekolah dasar (SD), gedung sekolah menengah pertama (SMP), serta
pondok pesantren.
Keadaan jalan di Desa Kebonagung sudah cukup baik dengan kondisi
wilayah yang datar serta jalan yang sudah beraspal ataupun bersemen. Akses
transportasi menuju desa ini juga sangat mudah karena dapat dilalui oleh bus,
truk, kendaraan beroda empat, maupun kendaraan beroda dua. Namun, fasilitas
kendaraan umum menuju Desa Kebonagung masih sangat terbatas jumlahnya dan
hanya beroperasi pada jam-jam tertentu. Sehingga mayoritas penduduknya
menggunakan ojek atau kendaraan pribadi, baik roda dua maupun roda empat.
Penerangan di desa ini juga masih kurang baik. Pada malam hari, di desa terasa
begitu gelap karena penerangan jalan yang ada hanya berasal dari lampu-lampu
rumah warga, dan merupakan listrik nonpemerintah. Jarak dari Desa Kebonagung
ke ibukota Kecamatan Imogiri sejauh 2 km dengan lama jarak tempuh dengan
kendaraan bermotor adalah 5 menit. Jarak dari Desa Kebonagung ke ibukota
kabupaten/kota adalah 8 km dengan lama jarak tempuh menggunakan kendaran
bermotor adalah 15 menit. Sedangkan jarak dari Desa Kebonagung ke ibukota
Provinsi DI Yogyakarta adalah 17 km dengan lama jarak tempuh menggunakan
kendaraan bermotor adalah 40 menit.
Sebagian besar luas wilayah desa digunakan untuk area persawahan, baik
sawah bersertifikat organik maupun yang belum bersertifikat organik. Selain itu,
tanah di Desa Kebonagung dimanfaatkan untuk pemukiman, fasilitas umum,
lapangan olahraga, dan kuburan. Desa Kebonagung juga terdapat kandang ternak
desa, yaitu lahan yang sengaja dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk
dijadikan kandang hewan ternak mereka. Semua penduduk yang memiliki hewan
ternak berupa sapi, kerbau, maupun kambing harus ”mengandangkan” hewan
mereka di kandang tersebut. Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya untuk
menjaga kebersihan lingkungan.
Secara topografi, wilayah Desa Kebonagung membujur dari arah utara ke
selatan dengan kondisi kemiringan lahan merupakan lahan landai (kurang dari 15
derajat) sehingga cocok untuk kegiatan bercocok tanam. Di sebelah timur desa
terdapat jalan provinsi yang berupa jalur wisata menuju Pantai Parangtritis dan
Pantai Renehan Gunungkidul. Sedangkan di sebelah barat Desa Kebonagung
kondisi wilayahnya datar dan dilalui Sungai Opak. Di barat desa tersebut juga
terdapat Bendungan Tegal yang berfungsi untuk mengairi lahan pertanian dan
sebagai objek wisata.
Kondisi Ekonomi dan Pertanian
Mata pencaharian masyarakat di Desa Kebonagung cukup beragam, yaitu
sebagai petani maupun di sektor lainnya yang meliputi usaha warung, bekerja di
bidang jasa, dan pertukangan, baik di dalam desa maupun di luar desa. Namun,
sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani sehingga setiap
kepala keluarga memiliki lahan untuk diolah, baik lahan tersebut merupakan milik
21
pribadi, bagi hasil, sewa, maupun tanah milik pemerintah desa. Bagi yang tidak
memiliki lahan dan tidak memiliki keahlian lain, biasanya mereka menjadi buruh
tani di lahan-lahan milik tetangganya. Petani di Desa Kebonagung terdiri dari 712
orang. Sebanyak 46 orang petani di desa tersebut merupakan petani organik dan
sisanya merupakan petani konvensional.
Di desa Kebonagung terdapat 5 (lima) kelompok tani yaitu kelompok tani
Sasona Catur, kelompok tani Karya, kelompok tani Nguyobogo, kelompok tani
Madya, dan kelompok tani Pantiwicoro. Kelompok tani tersebut dibuat atas
kesadaran para petani sendiri, dan ketua kelompok tani dipilih secara
musyawarah. Menurut penuturan Mrg (45 tahun), secara umum hampir seluruh
petani di desa ini telah mendapatkan informasi mengenai Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) dan pertanian organik, namun masih sedikit petani yang mencoba
untuk menerapkan dan memiliki lahan bersertifikat organik.
Siklus tanam di Desa Kebonagung cukup beragam, tergantung kebijakan
yang dibuat oleh masing-masing kelompok. Mayoritas petani di Desa
Kebonagung merupakan petani gurem sehingga hasil dari pertanian mereka hanya
cukup untuk konsumsi pribadi. Tetapi terdapat pula beberapa petani yang menjual
hasil panen mereka, baik kepada penggilingan gabah yang berada di jalan utama
desa maupun kepada penangkar benih.
Kondisi Sosial Budaya
Sejak tahun 2006, Desa Kebonagung telah ditetapkan menjadi desa wisata
pendidikan pertanian berdasarkan SK Bupati Bantul No 359 Tahun 2006 tentang
Kepengurusan POKDARWIS Desa Kebonagung Kecamatan Imogiri Kabupaten
Bantul. Desa ini juga terdapat Museum Tani Jawa Indonesia yang didirikan
dengan tujuan agar generasi muda dapat mewarisi budaya bertani dan dapat
menghargai perjuangan petani, mengingat semakin rendahnya minat para pemuda-
pemudi Indonesia dalam melestarikan pertanian seiring dengan perkembangan
teknologi (Anonim 2011). Selain itu, di Desa Kebonagung juga terdapat rumah
adat Jawa yaitu rumah Joglo dan Limasan.
Profil Kelompok Tani Madya
Kelompok tani Madya merupakan salah satu organisasi petani yang terdapat
di Desa Kebonagung. Kelompok ini bergerak di bidang budidaya tanaman padi
dan telah diresmikan oleh Kepala Desa Kebonagung pada 6 Agustus 1981. Ketua
kelompok tani Madya pertama adalah seorang kepala dukuh yang bernama
Pramogo Suharjo dengan jumlah anggota awal sebanyak 63 orang. Saat ini,
kelompok tani Madya diketuai Ngatidjo yang dipilih berdasarkan hasil
musyawarah dan kelompok tani ini memiliki anggota sebanyak 119 dengan
komposisi 46 orang petani organik dan 73 orang petani konvensional.
Kelompok tani Madya telah mendapatkan beberapa prestasi dalam bidang
pertanian, yaitu penghargaan dari Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pemasaran
Hasil Pertanian sebagai pemenang penghargaan ketahanan pangan bidang
pengolahan dan pemasaran hasil pertanian dan juga penghargaan ketahanan
pangan dari Menteri Pertanian RI atas prestasi dalam mendorong dan
mewujudkan pemantapan ketahanan pangan melalui padi organik (Anonim 2011).
22
Sejak tahun 2006, kelompok tani Madya memang sudah menetapkan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). PTT adalah suatu pendekatan dalam
budidaya padi yang menekankan pada pengelolaan, tanama, lahan, air, dan
organisme pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu. Pengelolaan yang
diterapkan tersebut mempertimbangkan hubungan sinergis dan komplementer
antar komponen. Selain PTT, kelompok tani Madya juga bergerak di bidang
budidaya tanaman padi organik. Dalam melaksanakan usaha produksi beras,
kelompok ini mengacu pada SNI 19-9001-2001 Sistem Manajemen Mutu
Persyaratan tahun 2001, Badan Standarisasi Nasional (BSN) serta Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 170/Pelaku Usaha/OT.210/3/2007 tentang Pelaksanaan
Standarisasi Nasional dibidang pertanian, Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-
6729-2002 untuk Sistem Pangan Organik.
Kelompok tani Madya telah sejak tahun 2008 mencoba untuk menerapkan
pertanian organik. Kelompok tersebut juga telah mendapatkan sertifikat sebanyak
dua kali yaitu pada tahun 2010 dan 2013 sebagai penghargaan yang diberikan oleh
Lembaga Sertifikasi Persada. Pada tahun 2010, kelompok tani Madya
mendapatkan sertifikat organik dengan No. Register 001-2501-10 karena telah
melaksanakan sistem manajemen organik sesuai dengan SNI 01-6792-2002 untuk
budidaya tanaman padi. Sertifikat tersebut berlaku dalam waktu tiga tahun dari
tanggal 24 Januari 2010 sampai dengan tanggal 24 Januari 2013. Selanjutnya pada
tahun 2013, kelompok tani Madya kembali mendapatkan sertifikat organik denga
No. 012/P/1012/2012 dari Lembaga Sertifikasi Pangan Organik LSPO-007-IDN
dan Lembaga Sertifikasi Persada. Sertifikat kedua diberikan kepada kelompok
tani Madya karena telah menerapkan sistem produksi pangan organik sesuai SNI
6729-2010-Organic Food & Production System dan CAC/GL 32/1999 Codex
Alimentarius Commission Guidelines for the production, processing, labelling
and marketing of organically produced foods. Ruang lingkup sertifikasi adalah
padi organik dengan luas lahan 5.7 hektar. Selain penghargaan berbentuk
sertifikat yang telah diberikan oleh pemerintah, kelompok tani Madya juga telah
mendapatkan beberapa bantuan dari pemerintah Kabupaten Bantul berupa rumah
kompos sebagai tempat pembuatan kompos, biogas, traktor, dan kompos.
Dalam melakukan kegiatan usahanya, kelompok tani Madya menetapkan
visi bahwa kelompok ini dapat mewujudkan petani yang mampu dan bijaksana
dalam mengelola usaha pertanian yang lebih adil dan sejahtera. Para pengurus
kelompok tani Madya telah berkomitmen bahwa seluruh kebijakan yang ada akan
mengarah pada visi tersebut. Perusahan ini juga memiliki tiga misi, yaitu
memberdayaan sumberdaya petani dalam menumbuhkan usahatani yang lebih
produktif demi meningkatkan pendapatan, mendorong petani untuk maju dalam
dunia usahatani demi meningkatkan ekonomi keluarga, mendorong petani untuk
lebih percaya diri dalam bermitra dengan kelompok tani lain dan instansi lain
seperti lembaga pemerintah maupun swasta.
Kelompok tani Madya saat ini memiliki beberapa usaha dan kegiatan yang
modalnya berasal dari simpanan pokok dan simpanan wajib anggota, simpanan
sukarela yang sewaktu-waktu dapat ditarik, serta bantuan dari lembaga lain atau
pemerintah berupa kredit lunak, dana bergulir, maupun dana hibah. Adapun usaha
dan kegiatan yang dijalankan oleh kelompok tani Madya adalah sebagai berikut:
23
1. Usahatani padi sawah.
Salah satu kegiatan pokok kelompok tani Madya adalah menghasilkan produk
beras, baik organik maupun non organik. Produk beras tersebut
dibudidayakan dengan tiga penerapan, yaitu System Rice Intensification,
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), dan secara organik. Kelompok ini pun
telah mendapatkan Penghargaan Ketahanan Pangan Bidang Pengolahan Dan
Pemasaran Hasil Pertanian tahun 2010 oleh Kementerian Pertanian Republik
Indonesia.
2. Usaha ternak
Para petani anggota kelompok tani Madya juga mengusahakan ternak kerbau,
sapi, dan kambing. Hewan ternak tersebut dikumpulkan menjadi satu di
“kandang ternak” yang telah disediakan oleh Dinas Pertanian Kabupaten
Bantul. Masing-masing kapling kandang ternak tersebut akan diberikan biaya
sewa sebesar Rp30 000 per tahun dan uang tersebut akan dimasukkan ke
dalam kas kelompok.
3. Pembuatan kompos
Sebagian besar petani kelompok tani Madya menggunakan pupuk kompos
yang dibuat sendiri. Kotoran ternak didapatkan dari kandang ternak tersebut.
Pembuatan pupuk kompos mendapatkan arahan dari Dinas Pertanian
Kabupaten Bantul.
4. Usaha lain
Selain usaha-usaha di atas, kelompok tani Madya juga melaksanakan usaha
lain diantaranya budidaya tanaman holtikultura dan sayur mayur seperti
kacang panjang, pengelolaan hasil panen yang dijual kepada penggiling beras
maupun penangkar bibit padi, serta simpan pinjam yang baru saja dirintis.
Kegiatan Budidaya Padi Organik di Kelompok Tani Madya
Kelompok tani Madya terdiri dari petani organik dan petani konvensional.
Pada dasarnya, keduanya sama-sama memiliki proses penanaman padi yang tidak
jauh berbeda. Pemberian sertifikat organiklah yang menjadi salah satu alasan
petani secara konsisten mau menerapkan menerapkan pertanian organik. Standar
budidaya secara organik yang ditentukan oleh kelompok adalah menanam padi
lokal mentik wangi atau mentik susu dengan tidak lagi menggunakan pupuk dan
pestisida kimia sintetis. Musim tanam petani di kelompok tani Madya pun
diseragamkan baik yang organik maupun konvensional. Biasanya, dalam waktu 2
tahun, petani melakukan 5 kali panen. Berikut merupakan uraian penerapan
budidaya padi di kelompok tani Madya.
1. Pengolahan Tanah
Lahan pertanian organik yang seluas 5.7 ha telah dikonversi dari tanah yang
sebelumnya terdapat bahan kimia sintetik menjadi tanah yang bebas dari
unsur-unsur kimia yang berbahaya selama lebih dari 5 tahun. Langkah
pengolahan tanah yang dilakukan oleh petani organik pada dasarnya tidak
jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh petani konvensional dan yang telah
mereka lakukan sebelumnya. Pengolahan tanah pertanian organik dapat
dilakukan seperti metode konvensional. Perbedaannya berada pada pemberian
pupuk kompos sebanyak 5-10 ton/ha dan dilakukan pembajakan dengan
menggunakan traktor maupun kerbau. Selanjutnya, tanah diratakan dan
didiamkan kurang lebih selama 1-2 hari untuk dilakukan penanaman.
24
Kesuburan tanah sangat bergantung pada pemberian pupuk organik.
Mayoritas petani organik menggunakan pupuk kompos yang dibeli maupun
pupuk kandang. Namun, mereka tidak menggunakan kotoran ayam karena
memiliki kandungan kimia yang sangat tinggi. Petani organik telah
merasakan adanya perbedaan kesuburan tanah yang semakin meningkat
setelah mereka beralih ke pertanian organik.
2. Pemilihan Benih/Persemaian
Benih yang digunakan oleh petani organik dan petani konvensional adalah
mentik wangi dan mentik susu. Benih yang digunakan ini menghasilkan padi
aromatik. Namun, masih ada petani konvensional yang menggunakan benih
IR 64. Benih yang digunakan oleh petani dibudidayakan secara alami dengan
tidak menggunakan obat pengatur tumbuh. Banyak benih yang digunakan
adalah 2.5-3 kg per 1000 meter persegi atau sesuai dengan kebutuhan.
Banyak benih disesuaikan dengan kondisi luas lahan dan jumlah benih padi
yang tersedia. Benih yang digunakan oleh petani sesuai yang dianjurkan oleh
kelompok, yaitu 12-14 hari setelah semai.
3. Penanaman
Petani di kelompok tani Madya menggunakan sistem tanam pindah. Artinya
setelah benih dicabut harus segera di tanam kembali di lahan pertanian
masing-masing. Hari penanaman ini biasanya ditentukan secara musyawarah
dengan melakukan kumpul kelompok. Benih ditanam saat berusia 12-14 hari
setelah semai dan ditanam setiap lubang 1-2 batang. Setiap petani memiliki
hak masing-masung untuk mengatur jarak tanam. Namun, kelompok
menghimbau petani untuk menerapkan sistem tanam jajar legowo (tajarwo)
2:1 karena dianggap paling bagus. Sistem tajarwo ini diterapkan oleh seluruh
petani organik dan hanya beberapa saja petani konvensional yang
menerapkan sistem ini. Sistem tajarwo ini sangat dianjurkan oleh kelompok
karena dapat membantu meningkatkan hasil panen. Namun, selain
penanaman secara tajarwo dan konvensional terdapat pula petani yang
menerapkan tabilah.
4. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman
Sejauh ini kelompok tani Madya belum pernah mengalami masalah hama
atau penyakit tanaman yang sangat parah. Biasanya, lahan hanya terganggu
oleh belalang. Penanganan hama yang dilakukan oleh petani organik berbeda
dengan yang dilakukan oleh petani konvensional. Petani konvensional masih
menggunakan pestisida kimia sintetik untuk mengatasi hama. Petani organik
menghindari praktik pengendalian hama yang dapat merusak lingkungan.
Pengendalian hama dan penyakit tanaman yang dilakukan dengan
menggunakan pestisida nabati apabila diperlukan. Namun, secara umum
petani di kelompok tani Madya menerapakan pengendalian hama terpadu.
5. Pemupukan
Pemupukan yang dilakukan oleh petani organik berbeda dengan petani
konvensional. Petani organik sudah mampu melepaskan diri dari
ketergantungan pada penggunaan pupuk kimia sintetik. Petani organik pada
umumnya menggunakan pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, dan pupuk
cair organik. Selain menggunakan pupuk kandang maupun kompos yang
diproses sendiri, petani organik juga menggunakan pupuk Petroganik.
25
Sedangkan, petani konvensional masih menggunakan pupuk kimia sintetik
berupa NPK, tetapi ada juga petani yang menggunakan kompos.
6. Panen
Hasil panen petani masih merupakan gabah kering maupun gabah basah.
Petani kelompok tani Madya menjual hasil panen kepada penggilingan dan
ada pula beberapa dari petani konvensional yang menjual hasil panen kepada
penangkar benih. Tidak semua petani langsung menjual hasil panen. Hasil
panen yang didapat oleh hampir sebagian besar petani langsung di bawa
pulang ke rumah. Petani akan menjual sesuai dengan keadaan apakah gabah
tersebut perlu untuk di jual atau cukup untuk dikonsumsi pribadi.
Gambaran Umum Responden
Responden pada penelitian ini berjumlah 60 orang dengan proporsi 30 orang
petani organik dan 30 orang petani konvensional. Sub-sub bab berikut ini akan
menunjukkan jumlah dan persentase responden penelitian menurut tingkat
pendidikan formal, tingkat pengalaman bertani, tingkat keberanian mengambil
resiko, tingkat jejaring, dan tingkat kepemilikan alat produksi yang dimiliki
petani.
Tingkat Pendidikan Formal
Tingkat pendidikan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu rendah (tidak
tamat SD sampai dengan tamat SD/sederajat) dan tinggi (tamat SMP/sederajat
sampai dengan tamat SMA/sederajat). Tabel 2 di bawah ini menyajikan jumlah
dan persentase responden menurut tingkat pendidikan formal.
Tabel 2 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan, kelompok
tani Madya, 2013
Tingkat Pendidikan
Formal
Petani Organik Petani Konvensional
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
Rendah 17 56.67 14 46.67
Tinggi 13 43.33 16 53.33
Total 30 100 30 100
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa mayoritas responden petani
organik berada pada kategori rendah (56.67%) sedangkan responden petani
konvensional mayoritas berada pada kategori tinggi (53.33%). Sebagian besar
petani mengaku bahwa mereka hanya sekolah hingga tamat SD dan sangat sedikit
yang meneruskannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal tersebut karena
keterbatasan dana sehingga banyak petani yang memilih untuk tidak bersekolah
lagi dan meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai petani. Padahal, dengan
tingkat pendidikan yang tinggi, diharapkan dapat menciptakan cara-cara baru
dalam perkembangan pertanian yang ramah lingkungan.
26
Tingkat Pengalaman Bertani
Tingkat pengalaman bertani diamati dari lamanya petani mulai bercocok
tanam di sawah. Berdasarkan hasil pengamatan kepada 60 responden didapatkan
bahwa tingkat pengalaman bertani tersingkat adalah 7 tahun dan terlama 55 tahun,
dengan pengalaman bertani rata-rata sebesar 36 tahun. Selanjutnya tingkat
pengalaman bertani dibagi menjadi dua kategori, yaitu rendah (< 36 tahun) dan
tinggi (≥36 tahun). Tabel 3 menyajikan jumlah dan persentase responden menurut
tingkat pengalaman bertani.
Tabel 3 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengalaman bertani,
kelompok tani Madya, 2013
Tingkat Pengalaman
Bertani
Petani Organik Petani Konvensional
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Rendah 15 50 14 46.67
Tinggi 15 50 16 53.33
Total 30 100 30 100
Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat pengalaman bertani responden
mayoritas berada pada kategori tinggi dengan persentase responden petani organik
sebesar 50% dan persentase responden petani konvensional sebesar 53.33%. Hal
ini menunjukkan bahwa mayoritas anggota kelompok tani Madya memiliki
tingkat pengalaman bertani yang tergolong tinggi, yaitu lebih dari 36 tahun.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada responden, banyak
responden yang mengaku sudah bertani sejak kecil dengan cara membantu kedua
orang tua. Namun, terdapat pula responden yang mulai bertani kurang dari
sepuluh tahun yang lalu karena kebutuhan.
Tingkat Keberanian Mengambil Resiko
Menurut Putri (2011), kepribadian dilihat dari karakter yang
menggambarkan diri individu, salah satunya yaitu mau mengambil resiko. Dalam
penelitian ini, keberanian mengambil resiko sengaja dipilih untuk mengetahui
seberapa jauh petani mau menerapkan pertanian yang sekiranya berisiko.
Responden diberikan empat pertanyaan terkait keberanian mengambil resiko.
Tingkat keberanian mengambil resiko kemudian diukur dengan memberikan skor
terhadap jawaban responden dan menghitung jumlah skor tersebut. Skor yang
diperoleh dibagi ke dalam dua kategori, yaitu rendah dan tinggi. Tingkat
keberanian mengambil resiko responden dapat dilihat pada Tabel 4.
27
Tabel 4 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberanian mengambil
resiko, kelompok tani Madya, 2013
Tingkat Keberanian
Mengambil Resiko
Petani Organik Petani Konvensional
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Rendah 0 0 19 63.33
Tinggi 30 100 11 36.67
Total 30 100 30 100
Tabel 4 menunjukkan adanya perbedaan tingkat keberanian mengambil
resiko pada petani organik dan petani konvensional. Pada petani organik terlihat
bahwa tingkat keberanian mengambil resiko berada pada kategori tinggi (100%),
sedangkan tingkat keberanian mengambil resiko pada petani konvensional berada
pada kategori rendah (63.33%). Pada responden petani organik, resiko
berkurangnya hasil panen karena gagal panen pada awal penerapan pertanian
organik dianggap hal yang wajar sebagai bentuk penyesuaian tanah terhadap
penggunaan pupuk organik.
“... Iya turun. 2 sampai 3 kali panen baru normal lagi. Soalnya kan
tanah biasanya dikasih pupuk kimia terus, jadinya seperti nyesuain
dulu gitu...” (Tgr, 52 tahun)
Berbeda halnya dengan petani konvensional, karena mereka masih takut
untuk lepas dari bahan kimia sintetik sehingga meskipun sudah ada beberapa
petani konvensional yang menggunakan pupuk organik, mereka tetap
menyeimbangkannya dengan penggunaan pupuk kimia. Meskipun demikian, baik
responden petani organik maupun petani konvensional hanya sedikit yang berani
untuk menggunakan pupuk kompos yang dibuat sendiri. Terdapat beberapa
diantara mereka yang sudah berorganik memilih untuk menggunakan pupuk
Petroganik atau POMI dan petani konvensional menggunakan pupuk Ponska
daripada harus mengolah kompos dari kotoran hewan.
“... Nggak, Mbak, tenaganya kalo bikin sendiri nggak ada. Paling
untuk pupuk saya beli saja atau kan ada hijau-hijauan itu pakai aja
langsung...” (Sgy, 55 tahun).
Tingkat Jejaring
Berdasarkan definisi operasional, tingkat jejaring adalah interaksi petani
dengan petani lain maupun dengan penyuluh pertanian untuk mendapatkan
informasi mengenai pertanian organik. Responden diberikan empat pertanyaan
terkait jejaring yang dimiliki petani. Tingkat jejaring kemudian diukur dengan
memberikan skor terhadap jawaban responden dan menghitung jumlah skor
tersebut. Skor yang diperoleh dibagi ke dalam dua kategori yaitu rendah dan
tinggi. Tingkat jejaring dapat dilihat pada Tabel 5.
28
Tabel 5 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat jejaring, kelompok tani
Madya, 2013
Tingkat Jejaring Petani Organik Petani Konvensional
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
Rendah 30 100 30 100
Tinggi 0 0 0 0
Total 30 100 30 100
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa baik petani organik maupun
petani konvensional tingkat jejaring berada pada kategori rendah. Rendahnya
tingkat jejaring yang dimiliki disebabkan oleh responden petani organik dan
konvensional mendapatkan informasi mengenai pertanian organik hanya dari
rekan satu kelompok tani dan penyuluh pertanian tingkat Kabupaten Bantul. Pada
Kelompok Tani Madya setiap petani telah menjalin hubungan yang cukup baik
sehingga dapat terjalin proses pertukaran ilmu dan pengetahuan mengenai
pertanian organik. Penyuluhan yang dilakukan oleh Dinas Kabupaten Bantul dan
Yogyakarta ternyata memiliki peranan yang besar dalam memberikan informasi.
Sehingga meskipun tidak ada petani yang mendapatkan informasi dari sesama
petani berbeda desa maupun dari penyuluh di luar Yogyakarta, informasi yang
didapat dari dalam kelompok itu pun dianggap sudah cukup, bahkan telah
membuat lahan pertanian di Desa Kebonagung ada yang bersertifikat organik.
Selain dari jejaring yang telah terbentuk sesama anggota Kelompok Tani
Madya, informasi pertanian organik juga didapatkan petani dari berbagai media
massa, baik cetak maupun elektronik.
“... Kalo penyuluhan cuma dari dinas aja, Mbak. Dinas Kabupaten
atau dari Yogya aja. Tapi ya kalo saya baca-baca dari media. Sinar
Tani itu, yaa saya baca-baca buat tambah informasi...” (Ngj, 62
tahun)
Tingkat Kepemilikan Alat Produksi
Tingkat kepemilikan alat produksi diamati dari kepemilikan lahan pertanian
dan hewan ternak. Kedua indikator tersebut sengaja dipilih karena kepemilikan
lahan pertanian diduga menjadi salah satu alasan responden mau menjadi petani,
sedangkan hewan ternak diduga dapat mempermudah petani untuk
memanfaatkannya dalam membajak tanah maupun memanfaatkan kotoran hewan
untuk dijadikan pupuk (kompos). Tingkat kepemilikan alat produksi dibagi
menjadi dua kategori, yaitu rendah (responden hanya memiliki hewan ternak atau
lahan pertanian saja) dan tinggi (responden memiliki hewan ternak dan lahan
pertanian.
29
Tabel 6 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepemilikan alat
produksi, Kelompok Tani Madya, 2013
Tingkat Kepemilikan
Alat Produksi
Petani Organik Petani Konvensional
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Rendah 25 83.33 21 70
Tinggi 5 16.67 9 30
Total 30 100 30 100
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa petani organik dan petani
konvensional tingkat kepemilikan alat produksi berada pada kategori rendah. Hal
itu karena hanya sedikit petani yang memiliki kedua alat produksi seperti lahan
pertanian dan hewan ternak. Mayoritas petani di Kelompok Tani Madya hanya
memiliki lahan pertanian saja. Hal tersebut sudah dianggap cukup karena pupuk
dapat diperoleh dengan mudah, yaitu petani dapat membeli langsung dari kios alat
pertanian, menggunakan bekas tanaman, atau meminta kotoran ternak milik
rekanan. Selain itu, hewan ternak juga sudah jarang sekali digunakan untuk
membajak. Petani dapat membajak tanah menggunakan traktor milik kelompok.
“... Saya bertani sudah dari dulu, Mbak, dari SD. Ya sekedar bantu
orang tua di sawah itu sudah bertani toh. Tanah yang saya miliki ini
juga tanah warisan, ya jadi sekarang tinggal terusin aja” (Mrg, 45
tahun).
Responden lainnya juga mengatakan:
“... Pupuk ya disamping pupuk kotoran sapi, ya pupuk cair, namanya
pomi. Itu banyak yang pakai. Saya sendiri pakai, pakai pomi...” (Sdy,
54 tahun)
“... Bajaknya ya pake traktor. Itu sudah langganan. Kalo dulu ya
bajaknya pake kerbau, tapi sekarang yang punya sudah tidak
banyak...” (Srw, 61 tahun).
Dengan demikian, meskipun petani tidak memiliki hewan ternak, hal
tersebut tidak menjadi penghalang bagi petani untuk tetap bertani karena masih
bisa mengusahakan untuk membeli pupuk.
30
31
HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PETANI DENGAN
RESPON PETANI PADA PERTANIAN ORGANIK
Respon Petani pada Pertanian Organik
Respon petani adalah perubahan tingkah laku yang terjadi pada petani
sebagai akibat adanya pertanian organik. Dalam penelitian ini, respon petani
dilihat melalui dua indikator yaitu tingkat pemahaman dan tingkat penerapan
pertanian organik. Responden diberikan 14 pernyataan terkait respon, yaitu 6
pernyataan terkait tingkat pemahaman dan 8 pernyataan terkait tingkat penerapan.
Respon kemudian diukur dengan memberikan skor terhadap jawaban responden
dan menghitung jumlah skor tersebut. Skor yang diperoleh dibagi ke dalam duaa
kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat pemahaman dan penerapan
responden pada pertanian organik dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengetahuan dan
penerapan petani pada pertanian organik, kelompok tani Madya, 2013
Kategori
Petani Organik Petani Konvensional
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Tingkat Pemahaman
Rendah 0 0 7 23.33
Tinggi 30 100 23 76.67
Total 30 100 30 100
Tingkat Penerapan
Rendah 0 0 25 83.33
Tinggi 30 100 5 16.67
Total 30 100 30 100
Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui adanya perbedaan penerapan pada
petani organik dan petani konvensional. Responden pada penelitian ini merupakan
petani yang berada pada satu kelompok. Namun, meskipun tingkat pemahaman
petani tinggi, tingkat penerapan pada petani konvensional masih rendah. Hal ini
karena pada dasarnya kelompok tani Madya adalah kelompok yang menerapkan
sistem usaha tani terpadu atau yang lebih di kenal dengan petani kelompok Madya
dengan pengelolaan tanaman terpadu (PTT).
Menurut Sutanto (2002) sistem usaha tani terpadu merupakan salah satu
peluang pertanian organik yang dapat diterapkan dengan memperhatikan kondisi
lokasi yang spesifik. Sistem usaha tani terpadu ini menggunakan masukan
teknologi yang rendah dengan sistem pertanian organik dan sumberdaya lokal
didaur ulang secara efektif. Hal ini sesuai dengan keadaan di lapangan yang
menunjukkan bahwa pada petani konvensional sebagian besar dari mereka
menggunakan pupuk organik dan pupuk kimia. Menurut penuturan Mrg (45
tahun), petani konvensional juga tidak selalu menggunakan pestisida kimia
sintetik. Pestisida kimia sintetik tersebut digunakan sesuai kebutuhan saja, yaitu
apabila hama di sawah sudah melebihi ambang batas. Namun karena petani
konvensional masih menggunakan pupuk maupun pestisida kimia, hal tersebutlah
32
yang menyebabkan tingkat penerapan pada pertanian organik rendah. Karena
seharusnya pertanian organik murni itu menggunakan pupuk organik, pupuk
hayati, dan pestisida hayati dan menghindarkan penggunaan pupuk kimia dan
pestisida/bahan kimia pertanian (Sutanto 2002).
Fakta lain yang diperoleh di lapangan adalah sistem pengairan irigasi pada
kelompok tani Madya masih tercampur antara lahan organik maupun lahan
konvensional. Kelompok tani Madya menggunakan perairan yang berasal dari
Sungai Opak (Bendungan Canden Kiri). Sehingga pada lahan organik pun masih
terdapat campuran bahan kimia yang berasal dari air tersebut.
Tabel 8 Jumlah dan persentase responden menurut respon petani pada pertanian
organik, kelompok tani Madya, 2013
Respon Petani Pada
Pertanian Organik
Petani Organik Petani Konvensional
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Rendah 0 0 14 46.67
Tinggi 30 100 16 53.33
Total 30 100 30 100
Tabel 8 menunjukkan bahwa kedua responden penelitian memiliki tingkat
respon yang tinggi. Tingginya respon tersebut disebabkan oleh tingginya tingkat
pemahaman penerapan petani pada pertanian organik (lihat Tabel 7). Sedangkan
pada petani konvensional, tingginya respon petani pada pertanian organik
disebabkan oleh tingginya tingkat pemahaman. Mrg (45 tahun) juga menyatakan
bahwa petani kelompok Madya sangat responsif pada pertanian organik. seluruh
petani telah mencoba menggunakan pupuk organik meskipun tidak secara
berkelanjutan. Informasi yang diperoleh pun cukup seragam sehingga pemahaman
pada pertanian organik seragam pula. Menurut penuturan Ngj (62 tahun),
pemerintah Kabupaten Bantul pernah melakukan penyuluhan mengenai pertanian
organik dan hampir seluruh petani di Desa Kebonagung, terutama Kelompok Tani
Madya menghadirinya. Dari penyuluhan itulah informasi mengenai pertanian
organik di dapatkan dan satu persatu petani mencoba untuk mempraktikkannya.
Pertanian organik di Kelompok Tani Madya sudah sejak tahun 2008
diperkenalkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bantul. Penyuluhan tersebut
diikuti oleh hampir seluruh anggota petani sehingga pengetahuan yang dimiliki
hampir seragam. Namun tidak semua petani hadir dalam penyuluhan tersebut
karena terdapat beberapa petani yang berhalangan hadir. Namun ketidakhadiran
petani dalam penyuluhan itu juga tidak menutup kemungkinan bagi petani untuk
mengetahui informasi lebih tentang pertanian organik karena petani yang tidak
hadir dapat bertanya kepada petani yang hadir pada saat penyuluhan
diselenggarakan. Selain dari dinas, kelompok khususnya ketua kelompok Madya
juga melakukan sosialisasi mengenai pertanian organik baik dalam pertemuan
kelompok maupun dengan obrolan ringan yang dilakukan di sawah.
Selain tingkat pemahaman, tingkat penerapan pertanian organik pada petani
organik juga memiliki peran sehingga menghasilkan respon yang tinggi. Petani
sejak tahun 2008 sudah ada yang coba menerapkan pertanian organik dan berhasil
mendapatkan sertifikasi lahan pertanian budidaya organik pada tahun 2010. Lahan
pertanian Kelompok Tani Madya saat ini yang telah bersertifikat seluas 5.7
33
hektar. Sertifikat tersebut secara tidak langsung turut mengontrol petani untuk
tidak menggunakan bahan-bahan kimia sintetik.
Tidak hanya petani organik, petani konvensional pun ternyata juga telah ada
yang mulai mencoba untuk menghindari penggunaan pupuk kimia maupun
pestisida sintetik.
“... Ya kalo saya sudah mengurangi penggunaan kimia. Pupuk pake
aja itu dari kotoran sapi, atau hijau-hijauan saya langsung taro di
sawah. Kalo tanam sekarang, saya pake pupuk Petroganik...” (Mrg,
45 tahun).
Hubungan Karakteristik Petani dengan Respon Petani pada Pertanian
Organik
Sub bab ini menjelaskan hubungan antara karakteristik petani dengan respon
petani pada pertanian organik. Karakteristik petani yang dihubungkan dengan
respon petani antara lain tingkat pendidikan formal, tingkat pengalaman bertani,
tingkat keberanian mengambil resiko, kekuatan jejaring, dan tingkat kepemilikan
alat produksi.
Hubungan Tingkat Pendidikan Formal dengan Respon Petani pada
Pertanian Organik
Variabel tingkat pendidikan formal dihubungkan dengan respon petani pada
pertanian organik bertujuan untuk melihat apakah tingkat pendidikan formal dapat
berpengaruh terhadap respon petani pada pertanian organik. Hubungan ini
dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi silang.
Tabel 9 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut
pendidikan formal, responden petani organik, 2013
Respon Petani Pada
Pertanian Organik
Pendidikan Formal Jumlah
Rendah Tinggi
f % f % f %
Rendah 0 0 0 0 0 0
Tinggi 17 100 13 100 30 100
Jumlah 17 100 13 100 30 100
Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 9, dapat diketahui
bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan formal dengan respon
petani pada pertanian organik. Petani yang memiliki pendidikan rendah ternyata
memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik. Hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan formal yang rendah pun tidak menjadi penghalang bagi petani untuk
memahami informasi dan menerapkan pertanian organik. Karena informasi
mengenai pertanian organik tidak didapat dari pendidikan formal, melainkan dari
kegiatan informal yaitu penyuluhan pertanian dan informasi dari petani lain.
34
Tabel 10 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut
pendidikan formal, responden petani konvensional, 2013
Respon Petani Pada
Pertanian Organik
Pendidikan Formal Jumlah
Rendah Tinggi
f % f % f %
Rendah 8 57.14 6 37.50 14 46.67
Tinggi 6 42.86 10 62.50 16 53.33
Jumlah 14 100 16 100 30 100
Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 10, dapat diketahui
bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan formal dengan respon petani
pada pertanian organik. Petani yang memiliki pendidikan rendah memiliki respon
yang rendah pula pada pertanian organik. Sebaliknya, responden yang
berpendidikan formal tinggi, ternyata juga memiliki respon yang tinggi pada
pertanian organik.
Berdasarkan Tabel 9 dan Tabel 10, dapat dianalisa bahwa pendidikan formal
sesungguhnya memiliki peranan bagi petani. Semakin tinggi pendidikan petani,
maka seharusnya semakin tinggi pula respon petani pada pertanian organik.
Namun, pada seluruh responden terlihat adanya kebebasan dalam memahami dan
menerapkan pertanian organik sehingga dapat menghasilkan respon yang tinggi.
Artinya, petani yang memiliki pendidikan rendah juga bebas untuk memahami
informasi yang dapat memberikan penghidupan lebih baik. Karena ilmu dan
pengetahuan tidak selalu berasal dari pendidikan formal, tetapi juga didapat dari
pendidikan non formal maupun dari hasil pengalaman selama hidup. Selain itu,
diduga adanya motivasi yang mendorong petani untuk menerapkan pertanian
organik.
Hubungan Tingkat Pengalaman Bertani dengan Respon Petani pada
Pertanian Organik
Variabel tingkat pengalaman bertani dihubungkan dengan respon petani
pada pertanian organik bertujuan untuk melihat apakah tingkat pengalaman
bertani dapat berpengaruh terhadap respon petani pada pertanian organik.
Hubungan ini dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi silang.
Tabel 11 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut
tingkat pengalaman bertani, responden petani organik, 2013
Respon Petani Pada
Pertanian Organik
Pengalaman Bertani Jumlah
Rendah Tinggi
f % f % f %
Rendah 0 0 0 0 15 50
Tinggi 15 100 15 100 15 50
Jumlah 15 100 15 100 30 100
Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 11, dapat diketahui
bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengalaman bertani dengan respon
petani pada pertanian organik. Hasil wawancara yang dilakukan kepada responden
didapatkan bahwa dahulu sebelum datangnya informasi mengenai pertanian
35
organik, banyak petani yang menggunakan pupuk dan pestisida kimia sintetik.
Namun, semenjak pertanian organik sudah datang ke petani tersebut, sistem
bertani yang menggunakan kimia sudah dihilangkan.
“... Kemarin sih ngga ada hama, Mbak. Selama organik hamanya gak
terlalu bermasalah. Kecuali dulu misal ada ulat banyak ya harus
disemprot, dulu juga ada serangan wereng...” (Wrn, 66 tahun).
Tabel 12 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut
tingkat pengalaman bertani, responden petani konvensional, 2013
Respon Petani Pada
Pertanian Organik
Pengalaman Bertani Jumlah
Rendah Tinggi
f % f % f %
Rendah 6 42.86 8 50 14 46.67
Tinggi 8 57.14 8 50 16 53.33
Jumlah 14 100 16 100 30 100
Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 12, dapat diketahui
bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengalaman bertani dengan respon
petani pada pertanian organik. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa petani yang
pengalaman bertaninya rendah ternyata juga memiliki respon yang tinggi pada
pertanian organik. Hal ini terjadi karena petani yang pengalaman bertaninya
rendah diduga lebih tertarik untuk menggali informasi lebih dalam dan
memahaminya terlebih dahulu mengenai pertanian organik sebelum
menerapkannya (tingginya tingkat pemahaman dapat dilihat pada Tabel 7).
Berdasarkan Tabel 11 dan Tabel 12 dapat dianalisa bahwa petani yang
memiliki tingkat pengalaman bertaninya tinggi cenderung memiliki respon yang
tinggi pada pertanian organik. Fakta di lapangan yang ditemukan oleh peneliti
adalah mayoritas anggota Kelompok Tani Madya adalah generasi tua. Artinya
yaitu sebagian besar petani sudah berumur 40 tahun ke atas dan banyak dari
petani yang mengaku sudah bertani sejak kecil untuk membantu keluarga,
sehingga memungkinkan jika pengalaman mereka tinggi. Tingginya pengalaman
diduga dapat menyebabkan petani telah memahami dengan pasti kondisi
pertaniannya. Dengan demikian, respon yang tinggi pada pertanian organik
merupakan bentuk dari petani yang mencoba untuk memperbaiki sistem
bertaninya.
Meskipun demikian, masih terdapat petani yang pengalaman bertaninya
rendah namun respon yang diberikan tinggi. Hal itu terjadi karena ada petani yang
baru mulai bertani beberapa tahun yang lalu tetapi sudah memiliki respon yang
tinggi sebagai akibat dari pemahaman dan penerapannya pada pertanian organik
itu tinggi. Tingginya respon tersebut di dapatkan dari kepercayaannya untuk
belajar lebih mengenai pertanian pada kelompok.
“... Saya memulai bertani itu baru. Semenjak bapak ngga ada saya
yang menggantikan. Saya ikuti kelompok. Katanya ada pertanian
organik ya saya belajar dari kelompok...” (Sgy, 55 tahun)
36
Hubungan Tingkat Keberanian Mengambil Resiko dengan Respon Petani
pada Pertanian Organik
Variabel tingkat keberanian mengambil resiko dihubungkan dengan respon
petani pada pertanian organik bertujuan untuk melihat apakah tingkat keberanian
mengambil resiko dapat berpengaruh terhadap respon petani pada pertanian
organik. Hubungan ini dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi silang.
Tabel 13 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut
tingkat keberanian mengambil resiko, responden petani organik, 2013
Respon Petani Pada
Pertanian Organik
Keberanian Mengambil Resiko Jumlah
Rendah Tinggi
f % f % f %
Rendah 0 0 0 0 0 0
Tinggi 0 0 30 100 30 100
Jumlah 0 0 30 100 30 100
Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 13, dapat diketahui
bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat keberanian mengambil
resikodengan respon petani pada pertanian organik. Meskipun demikian fakta di
lapangan menunjukkan bahwa tingkat keberanian mengambil resiko yang tinggi
itulah yang menyebabkan respon petani pada pertanian organik tinggi. Petani
organik tetap mau menerapkan sistem pertanian organik yang bebas dari
penggunaan bahan kimia sintetik walaupun pada awal penerapannya hasil panen
mengalami pengurangan sebagai bentuk adaptasi tanah terhadap perlakuan yang
diberikan. Penerapan organik yang harus mengubah kebiasaan petani dalam
menggunakan pupuk dan pestisida kimia sintetik juga ternyata tidak menjadi
kendala dan tidak menimbulkan resiko. Justru pertanian organik mempermudah
petani dalam mendapatkan pupuk. Pupuk organik tersebut tidak hanya berupa
pupuk kompos dari hewan ternak atau pupuk Petroganik. Tetapi petani justru
lebih mudah menggunakan daun yang sudah gugur atau mati untuk dijadikan
pupuk dengan meletakkannya pada lahan pertanian.
Tabel 14 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut
tingkat keberanian mengambil resiko, responden petani konvensional,
2013
Respon Petani Pada
Pertanian Organik
Keberanian Mengambil Resiko Jumlah
Rendah Tinggi
f % f % f %
Rendah 10 52.63 4 36.36 14 46.67
Tinggi 9 47.37 7 63.64 16 53.33
Jumlah 19 100 11 100 30 100
Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 14, dapat diketahui
bahwa terdapat hubungan antara tingkat keberanian mengambil resiko dengan
respon petani pada pertanian organik. Petani yang keberanian mengambil
resikonya rendah cenderung memiliki respon yang rendah pula pada pertanian
organik.
37
Berdasarkan Tabel 13 dan Tabel 14 dapat dianalisa bahwa seharusnya
semakin tinggi tingkat keberanian mengambil resiko maka semakin tinggi pula
respon petani pada pertanian organik. Pada petani organik tidak terdapat
hubungan karena tidak terdapat satu pun petani yang memiliki tingkat keberanian
resiko dan respon pada pertanian organik yang rendah. Mereka semua memiliki
keberanian resiko dan respon pada pertanian organik yang tinggi. Hal ini dapat
menjadi salah satu alasan bahwa sampai penelitian ini dilaksanakan lahan
pertanian kelompok Tani Madya ada yang telah mendapatkan sertifikat dari Dinas
Pertanian Bantul. petani organik termasuk dalam petani yang memiliki keberanian
mengambil resiko tinggi. Meskipun pada awal diterapkan pertanian organik pada
lahan mereka hasil panen sedikit menurun hal tersebut tidak menjadi alasan petani
untuk tidak berorganik.
“... Saya ngga mengalami gagal panen, Mbak. Kan ada kelompok.
Kelompok yang kasih informasi gimana menerapkan organik ini...”
(Wrn, 66 tahun).
Meskipun demikian, masih terdapat petani organik yang keberanian
mengambil resiko rendah. Hal tersebut karena mereka belum siap untuk membuat
pupuk organik sendiri. Saat ini dapat dengan mudah memperoleh pupuk organik,
baik dalam bentuk padat maupun cair.
“... Saya ngga punya sapi, mau buat waktunya juga ngga ada. Paling
pake Pomi aja itu atau Petroganik. Lebih mudah didapatkan itu
daripada pupuknya harus buat sendiri...” (Wkj, 45 tahun).
Sedangkan, pada petani konvensional dari tabel tabulasi silang dapat dilihat
bahwa semakin rendah keberanian mengambil resiko, maka semakin rendah pula
respon petani pada pertanian organik. Hal ini terbukti dari hanya sedikit petani
yang mau menggunakan pupuk organik, apalagi membuat pupuk kandang sendiri
karena terbentur oleh masalah waktu.
“... Saya buat pupuk sendiri ndak, Mbak. Waktunya ngga ada, saya
juga menggarap sawah milik orang lain juga...” (Srw, 61 tahun)
Hubungan Tingkat Jejaring dengan Respon Petani pada Pertanian Organik
Variabel tingkat jejaring dihubungkan dengan respon petani pada pertanian
organik bertujuan untuk melihat apakah tingkat jejaring dapat berpengaruh
terhadap respon petani pada pertanian organik. Hubungan ini dianalisis dengan
menggunakan metode tabulasi silang.
38
Tabel 15 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut
tingkat jejaring, responden petani organik, 2013
Respon Petani Pada
Pertanian Organik
Jejaring Petani Jumlah
Rendah Tinggi
f % F % F %
Rendah 0 0 0 0 0 0
Tinggi 30 100 0 0 30 100
Jumlah 30 100 0 0 30 100
Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 15, dapat diketahui
bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat jejaring dengan respon petani pada
pertanian organik. Hal ini disebabkan jejaring yang dibentuk oleh petani organik
hanya sampai penyuluh pertanian dalam lingkup Yogyakarta. Selain berinteraksi
dengan petani satu kelompok, informasi pertanian organik jugadidapatkan dari
penyuluhan tingkat Kabupaten Bantul. Tidak ada petani yang mendapatkan
informasi dari desa lain. Rasa kepercayaan yang tinggi kepada keberadaan
kelompok lah yang menyebabkan pertanian organik masih terlaksana hingga saat
ini.
Tabel 16 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut
jejaring petani, responden petani konvensional, 2013
Respon Petani Pada
Pertanian Organik
Jejaring Petani Jumlah
Rendah Tinggi
f % f % F %
Rendah 14 46.67 0 0 14 46.67
Tinggi 16 53.33 0 0 16 53.33
Jumlah 30 100 0 0 30 100
Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 16, dapat diketahui
bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat jejaring dengan respon petani pada
pertanian organik. Petani yang tingkat jejaringnya rendah cenderung memiliki
respon yang tinggi pada pertanian organik. Sama halnya dengan petani organik,
mayoritas petani konvensional hanya memiliki jejaring petani sesama kelompok
dan dari penyuluhan tingkat kabupaten untuk mendapatkan informasi mengenai
pertanian organik.
Dengan demikian, berdasarkan Tabel 15 dan Tabel 16 dapat dianalisa
bahwa tingkat jejaring tidak memiliki hubungan nyata dengan respon petani pada
pertanian organik. Hal tersebut disebabkan oleh penyuluh yang memberikan
penyuluhan mengenai pertanian organik pada kelompok tersebut hanya berasal
dari wilayah Yogyakarta, baik tingkat kabupaten maupun provinsi. Sampai saat
ini belum ada penyuluh yang berasal dari luar Yogyakarta datang untuk
memberikan penyuluhan informasi mengenai pertanian organik. Meskipun
penyuluh hanya berasal dari Yogyakarta, namun respon yang diberikan oleh
petani hampir seluruhnya merupakan respon positif. Artinya, mereka mau
memahami dan menerapkan pertanian organik.
Selain dari penyuluh, informasi mengenai pertanian organik juga didapatkan
dari rekan sesama petani Kelompok Madya. Kelompok secara rutin mengadakan
39
pertemuan untuk menentukan masa tanam dan panen yang secara otomatis juga
ikut berperan memberikan informasi tambahan mengenai pertanian organik. Tidak
hanya sampai disitu. Terdapat juga petani yang mendapatkan informasi tambahan
mengenai pertanian organik dari media massa, sehingga pengetahuan mereka
semakin meningkat yang pada akhirnya akan membuat mereka untuk mencoba
menerapkan pertanian organik.
Hasil penelitian ini didukung oleh Reijntjes et all (1999) yang menyatakan
terdapat suatu studi di India yang dilakukan oleh Flader dan Slade pada tahun
1985, dan didapatkan hasil bahwa 47% petani memilih teman sesama petani
sebagai sumber informasi utama sementara 19% yang memilih petugas penyuluh
lapangan, 16% kontak tani, dam 10% siaran radio pertanian. Dengan demikian,
jejaring sesama petani dan penyuluh pertanian dinilai memegang peranan penting
dalam menyebarkan informasi pertanian.
Hubungan Tingkat Kepemilikan Alat Produksi dengan Respon Petani pada
Pertanian Organik
Variabel tingkat kepemilikan alat produksi dihubungkan dengan respon
petani pada pertanian organik bertujuan untuk melihat apakah tingkat kepemilikan
alat produksi dapat berpengaruh terhadap respon petani pada pertanian organik.
Hubungan ini dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi silang.
Tabel 17 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut
kepemilikan alat produksi, responden petani organik, 2013
Respon Petani Pada
Pertanian Organik
Kepemilikan Alat Produksi Jumlah
Rendah Tinggi
f % f % f %
Rendah 0 0 0 0 0 0
Tinggi 25 100 5 100 30 100
Jumlah 25 100 5 100 30 100
Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 17, dapat diketahui
bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat kepemilikan alat produksi dengan
respon petani pada pertanian organik. Data di lapangan menunjukkan bahwa
memang mayoritas petani telah memiliki lahan pertanian sendiri meskipun tidak
terlalu luas, namun hanya sedikit petani yang memiliki hewan ternak. Lahan
pertanian yang berstatus milik sendiri itu lah yang menyebabkan petani cenderung
memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik. mereka dapat secara bebas
untuk menerapkan pertanian organik demi menghasilkan produk pertanian yang
sehat dan demi kelestarian lingkungan.
40
Tabel 18 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut
kepemilikan alat produksi, responden petani konvensional, 2013
Respon Petani Pada
Pertanian Organik
Kepemilikan Alat Produksi Jumlah
Rendah Tinggi
f % f % f %
Rendah 10 47.62 4 44.44 14 46.67
Tinggi 11 52.38 5 55.56 16 53.33
Jumlah 21 100 9 100 30 100
Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 18, dapat diketahui
bahwa tidak terdapat hubungan antara kepemilikan alat produksi dengan respon
petani pada pertanian organik. Petani yang kepemilikan alat produksinya rendah
cenderung memiliki respon pada pertanian organik yang tinggi. Sama halnya
dengan petani organik. Status kepemilikan lahan tersebut yang menyebabkan
petani memiliki kebebasan untuk menentukan apakah perlu mengubah lahan
pertaniannya menjadi lahan organik atau sudah cukup menjadi petani
konvensional.
Pada Tabel 17 dan Tabel 18 dapat dianalisa bahwa tidak terdapat hubungan
antara tingkat kepemilikan alat produksi dengan respon petani pada pertanian
organik. Tingginya kepemilikan alat produksi tidak selalu dapat mendorong petani
untuk memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik. fakta di lapangan
menunjukkan berupa hewan ternak di petani konvensional belum tentu digunakan
sebagai penunjang dalam menerapkan pertanian. Terdapat beberapa responden
petani konvensional yang mengaku hewan ternak yang dimiliki merupakan
warisan dan tidak semuanya memanfaatkan kotorannya untuk dijadikan pupuk
(kompos). Terdapat pula petani yang justru memberikan hasil kotoran tersebut
untuk dijadikan kompos oleh petani lain.
“... Saya memang punya sapi, tapi kotorannya tidak dijadikan kompos
tuh Mbak. Kalo ada petani yang minta ya saya kasih aja...” (Srw, 61
tahun)
41
PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI KELOMPOK
TANI MADYA
Analisis Tingkat Pendapatan dan Akses Pasar
Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan responden diukur berdasarkan pendapatan responden
pada hasil panen terakhir yang didapat dari hasil bertani. Perhitungan pendapatan
merupakan pendapatan bersih yang dihitung dengan cara penerimaan hasil panen
dikurangi dengan biaya-biaya produksi yang diukur dengan rupiah. Berdasarkan
hasil pengamatan terhadap 60 responden didapatkan bahwa pendapatan terkecil
petani adalah sebesar Rp645 000 dan terbesar Rp8 215 000 yang kedua-duanya
berasal dari petani organik, dengan penghasilan rata-rata sebesar Rp2 714 617 dan
rata-rata hasil panen 769.28 kg. Selanjutnya tingkat pendapatan dibagi menjadi
dua kategori yaitu rendah (< Rp2 714 617) dan tinggi (≥ Rp2 714 617). Jumlah
responden berdasakan tingkat pendapatan dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan,
kelompok tani Madya, 2013
Tingkat Pendapatan Petani Organik Petani Konvensional
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
Rendah 11 36.7 22 73.33
Tinggi 19 63.3 8 26.67
Total 30 100 30 100
Tabel 19 menunjukkan bahwa pendapatan responden sangat menyebar. Pada
responden petani organik dapat dilihat bahwa sebagian besar berada pada kategori
tinggi, sedangkan pada petani konvensional sebagian besar berada pada kategori
rendah. Meskipun demikian, pendapatan yang diperoleh petani dari usaha
pertanian tersebut tidak memberikan penghasilan secara langsung dalam bentuk
uang. Artinya yaitu hasil panen yang didapatkan hanya digunakan untuk konsumsi
sendiri. Petani akan menjual hasil panennya apabila hasil panen sedang meningkat
atau saat petani sedang membutuhkan uang barulah mereka akan menjual hasil
panen tersebut. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Mrg (45 tahun) sebagai
berikut.
“Rata-rata kalo petani secara umum hasilnya di bawa pulang sendiri.
Dijemur sendiri. Nanti apabila ada kebutuhan umpamanya beli pupuk
ya dijual ke penggiling.”
Berdasarkan hasil perhitungan Tabel 19, diketahui bahwa rata-rata
pendapatan bersih petani organik lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan
petani konvensional. Pendapatan petani organik rata-rata Rp2 984 367 dengan
hasil panen rata-rata yaitu 935.9 kg. Sedangkan pendapatan petani konvensional
rata-rata yaitu Rp2 444 867 dengan hasil panen rata-rata 602.67 kg.
Tinggi/rendahnya pendapatan petani tidak hanya bergantung pada jumlah panen,
tetapi juga pada harga yang diberikan pasar. Perbandingan harga jual antara
produk pertanian organik dan konvensional dapat dilihat pada Tabel 20.
42
Tabel 20 Daftar harga jual hasil pertanian organik dan konvensional di
Kelompok Tani Madya, Tahun 2013
Hasil Panen
yang Dijual
Harga Jual/kg (Rp)
Organik Konvensional
Jual Ke Penggilingan Jual Ke
Penggilingan
Jual Ke
Penangkar
Benih
Gabah Basah 3 600 – 3 800 3 200 – 3 400 3 900
Pada Tabel 20, secara jelas dapat diketahui bahwa harga jual hasil pertanian
organik lebih tinggi daripada hasil pertanian konvensional. Namun, penjualan
hasil pertanian organik hanya terpusat pada penggilingan saja, sedangkan pada
petani konvensional gabah yang dihasilkan selain dijual ke penggilingan, terdapat
pula petani yang menjual hasil panennya kepada penangkar benih meskipun hanya
sedikit dari responden penelitian yang menjual hasil panennya kepada penangkar
benih tersebut. Dengan demikian, penulis memiliki asumsi lain bahwa pendapatan
petani, baik petani organik maupun petani konvensional dapat meningkat jika
petani mampu menjual hasil panen dalam bentuk beras karena harga jual dalam
bentuk beras pastinya lebih tinggi dari harga jual dalam bentuk gabah. Selain itu,
penulis menduga bahwa pendapatan petani dipengaruhi oleh respon petani
tersebut pada pertanian organik. oleh karena itu, penulis mencoba untuk
menganalisis hubungan antara respon petani pada pertanian organik dengan
tingkat pendapatan. Hubungan ini dianalisis dengan menggunakan metode
tabulasi silang. Hasil hubungan ditunjukkan pada Tabel 21 berikut.
Tabel 21 Jumlah dan persentase pendapatan menurut respon petani pada
pertanian organik, responden petani organik, 2013
Pendapatan
Respon Petani pada Pertanian
Organik Jumlah
Rendah Tinggi
f % f % f %
Rendah 0 0 11 36.67 11 36.67
Tinggi 0 0 19 63.33 19 63.33
Jumlah 0 0 30 100 30 100
Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 21, dapat diketahui
bahwa tidak terdapat hubungan antara respon petani pada pertanian organik
dengan tingkat pendapatan. Selain itu, pada tabel dapat diketahui bahwa petani
yang memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik juga memiliki tingkat
pendapatan yang tinggi. Hal ini diduga semakin dalam pemahaman petani pada
pertanian organik maka petani tersebut akan menerapkan pertanian yang benar-
benar murni organik. Dengan demikian, maka hasil pertanian pun menjadi lebih
bagus dibandingkan hasil pertanian konvensional sehingga memiliki harga jual
yang lebih tinggi pula sehingga pendapatan petani pun dapat meningkat.
43
Tabel 22 Jumlah dan persentase tingkat pendapatan menurut respon petani pada
pertanian organik, responden petani konvensional, 2013
Pendapatan
Respon Petani pada Pertanian
Organik Jumlah
Rendah Tinggi
f % f % f %
Rendah 11 78.57 11 68.75 22 73.33
Tinggi 3 21.43 5 31.25 8 26.67
Jumlah 14 100 16 100 30 100
Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 22, dapat diketahui
bahwa tidak terdapat hubungan antara respon petani pada pertanian organik
dengan tingkat pendapatan. Selain itu, pada tabel dapat dilihat bahwa petani yang
memiliki respon yang rendah maupun respon yang tinggi pada pertanian organik
ternyata memiliki tingkat pendapatan yang rendah pula. Hal itu karena lahan
mereka belum bersertifikat organik sehingga hasil pertanian masih digolongkan
sebagai hasil pertanian konvensional. Di Desa Kebonagung, harga jual hasil
pertanian konvensional masih tergolong rendah (Tabel 20). Hasil produk
konvensional dinilai berbeda dengan hasil produk organik, hal tersebut
menyebabkan harga jual hasil produk konvensional rendah.
Pada Tabel 21 dan Tabel 22 dapat dianalisa bahwa ternyata respon petani
pada pertanian organik tidak berhubungan dengan tingkat pendapatan. Namun
pada kenyataannya, pendapatan petani organik lebih tinggi dibandingkan dengan
petani konvensional. Hal ini disebabkan tingginya harga jual hasil pertanian
organik, sehingga secara tidak langsung dapat diketahui bahwa keputusan petani
untuk bertani organik atau tidak dapat mempengaruhi pendapatannya. Pada Tabel
19 dan Tabel 21 dapat dilihat juga bahwa masih ada petani organik yang memiliki
pendapatan rendah karena lahan yang dimilikinya tidak terlalu luassehingga hanya
mampu menghasilkan hasil panen yang sedikit pula. Meskipun demikian, petani
organik yang memiliki pendapatan rendah tidak menyebabkan ia berhenti untuk
terus menjadi petani organik. Hal ini disebabkan oleh penerapan pertanian organik
yang dilakukan atas kesadaran pribadi petani masing-masing. Petani merasa
bahwa penggunaan bahan kimia pada tanah telah menghancurkan kesuburan
tanah. Oleh karena itu petani mencoba untuk menerapkan sistem pertanian
organik yang ramah lingkungan. Beberapa petani juga merasa bahwa hasil
pertanian organik itu sangat memuaskan, baik dari segi kesehatan maupun harga
jual. Namun, hasil pertanian organik memang jarang yang dijual karena hasilnya
hanya habis untuk konsumsi keluarga. Sehingga pendapatan yang didapatkan
bukan dalam bentuk uang melainkan dalam bentuk hasil panen.
Akses Pasar
Menurut Widiarta (2011), akses pasar adalah kemampuan atau peluang
petani dalam memasarkan atau menjual produk pertaniannya kepada konsumen
melalui berbagai macam saluran distribusi berdasarkan permintaan konsumen.
Pada penelitian ini, digunakan dua indikator untuk mengetahui akses pasar yaitu
tempat langganan menjual hasil panen dan peluang menjual hasil panen ke tempat
lain. Kondisi perbandingan akses pasar antara petani organik dan petani
konvensional dapat dilihat pada Tabel 19.
44
Tabel 23 Jumlah dan persentase responden berdasarkan akses pasar, Kelompok
Tani Madya, 2013
Akses Pasar Petani Organik Petani Konvensional
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
Rendah 0 0 0 0
Tinggi 30 100 30 100
Total 30 100 30 100
Tabel di atas menunjukkan bahwa akses pasar petani berada pada kategori
tinggi. Petani telah memiliki tempat langganan untuk menjual hasil panen dan
juga telah mengetahui adanya peluang untuk menjual ke tempat lain. Berdasarkan
hasil wawancara kepada responden, diketahui bahwa setiap petani telah memiliki
tempat langganan untuk menjual hasil panen. Menurut penuturan semua
responden, tempat langganan untuk menjual hasil panen adalah pada tengkulak
(tempat penggilingan beras) yang terdapat di jalan luar wilayah desa, baik untuk
hasil panen organik maupun konvensional. Petani organik mengaku bahwa hasil
panen juga bisa secara bebas dijual kepada konsumen. Untuk harga jual, biasanya
sebelum panen dilakukan kumpul kelompok untuk menentukan harga jual yang
sesuai dengan kondisi pasar sebagai gambaran apakah harga beli yang ditawarkan
oleh penggiling beras sudah sesuai dengan harga pasar.
Sangat disayangkan saluran distribusi lain seperti koperasi, grosir beras
organik maupun secara bermitra belum dapat dijangkau oleh petani. Hal itu
karena Kelompok Tani Madya belum memiliki alat penggilingan gabah sehingga
jika ingin menjual dalam jumlah besar harus menggilingnya ke tempat
penggilingan gabah. Padahal sebagian besar petani telah mengetahui bahwa jika
dengan bermitra akan mempermudah petani dalam menjual hasil panen. Fakta
mengenai peluang menjual hasil panen ke tempat lain diperkuat oleh pernyataan
salah satu informan penelitian sebagai berikut:
“... Sekarang kita sudah punya sertifikat padi organik. Jadi
rencananya kelompok akan bermitra dengan pihak lain. Nanti
kelompok akan punya penggilingan sendiri. Hasil panen akan
dipisahkan dengan pertanian konvensional. Udah bisa jual beras
bukan gabah lagi nanti jadinya.” (Ngj, 62 tahun)
Petani organik dan konvensional telah mengetahui bahwa harga beras
organik di pasar sangatlah tinggi. Namun, permintaan yang tinggi tersebut belum
sejalan dengan kesiapan kelompok untuk memenuhi permintaan yang ada. Oleh
karena itu, kelompok akan mengusahakan semaksimal mungkin untuk
mengembangkan jejaring pemasaran hasil pertanian organik.
Keunggulan Pertanian Organik
Pada dasarnya petani organik di kelompok tani Madya telah merasakan
manfaat setelah mengubah pertanian mereka menjadi pertanian organik. Seluruh
petani organik yang menjadi responden penelitian ini mengaku bahwa hasil beras
dari pertanian organik lebih enak daripada pertanian konvensional dan memiliki
harga jual yang lebih tinggi. Petani dapat menggunakan beras hasil pertaniannya
45
sendiri untuk makan, berbeda dengan petani konvensional yang perlu membeli
beras untuk kebutuhan makan sehari-hari. Sehingga petani dapat meminimalkan
pengeluaran rumah tangga untuk membeli beras karena dapat mengkonsumsi
beras hasil pertanian sendiri dan dapat menggunakannya untuk keperluan lainnya.
Pertanian organik juga menggunakan input eksternal yang rendah dengan
mengoptimalkan penggunaan asupan alami yang ada di sekitar melalui proses
daur ulang bahan-bahan alami. Petani dapat menghemat penggunaan benih dan
memanfaatkan sisa tanaman dengan mendaur ulang daun-daun telah mati. Selain
itu petani juga dapat memanfaatkan kotoran ternak sehingga lingkungan sekitar
tidak mengalami kesulitan untuk membuang kotoran ternak tersebut.
Praktik pertanian organik terbukti menguntungkan secara ekonomi,
khususnya pada tingkat pendapatan. Responden yang merupakan petani organik
memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden
petani konvensional. Selain itu, pertanian organik berupaya untuk menciptakan
pasar yang berpihak kepada petani organik tersebut. Selain harga jual gabah yang
lebih tinggi daripada gabah hasil pertanian konvensional, petani juga memiliki
kesempatan untuk ikut menentukan harga jual atas produk yang telah mereka
hasilkan. Permintaan yang tinggi pada pertanian organik juga memberikan nilai
lebih bahwa petani organik dapat dengan bebas menjual hasil panennya dengan
tidak selalu menjual pada penggilingan padi saja.
Peluang Penerapan Pertanian Organik Pada Petani Konvensional
Sutanto (2002) mendefinisikan bahwa pertanian organik bertujuan untuk
mengelola pertanian dan ekosistem sekaligus bersama-sama. Petani harus mampu
mengelola pertaniannya dengan menggunakan segala sumber daya yang berasal
dari lingkungan tinggalnya. Hal tersebut perlu diterapkan untuk meminimalkan
ketergantungan petani pada pupuk dan pestisida kimia yang sebelumnya telah
mereka gunakan. Penerapan pertanian organik hanya akan berhasil baik di
wilayah atau tempat yang secara alami cukup bahan organik dan ketersediaan
pupuk kimia terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali (Susanto 2002).
Berdasarkan hasil penggalian informasi di lapangan, ternyata ditemui
banyak permasalahan yang menjadi penghalang sulitnya pertanian organik
berkembang dengan cepat. Tingginya respon petani organik pada pertanian
organik ternyata tidak memberikan pengaruh yang besar pada petani
konvensional. Hal tersebut dilihat tidak banyak petani konvensional yang berani
menerapkan pertanian organik secara berkelanjutan walaupun sebagian besar
diantara mereka telah banyak yang memahaminya. Pada Tabel 7 telah dilihatkan
bahwa pemahaman pada petani konvensional yang tinggi, yaitu sebesar 76.67%
diduga memungkinkan petani konvensional untuk beralih menjadi petani organik.
Hal tersebut didukung pula dengan sebesar 16.67% petani konvensional yang
sistem pertaniannya sudah mengarah ke pertanian organik. Sehingga dengan
pemahaman yang tinggi, seharusnya petani petani lebih menyadari sisi positif dari
pertanian organik. Namun, pertanian organik yang merupakan salah satu bentuk
dari pertanian berkelanjutan memiliki kendala dalam menerapkannya, salah
satunya yaitu kendala sumber daya manusia yang rata-rata tingkat pendidikan
petani relatif rendah, kondisi kesehatan petani kurang baik, produktivitas kerja
46
masih rendah, dan kurangnya motivasi untuk maju (Kusharto dan Gunardja dalam
Salikin 2003).
Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan,
didapatkan informasi bahwa petani konvensional masih takut untuk benar-benar
menerapkan pertanian organik yang bebas dari penggunaan pestisida atau pupuk
kimia sintetik walaupun pada dasarnya mereka telah memahami pertanian
organik.
“Petani konvensional itu ya istilahnya masih takut nerapin karena
syarat-syarat organik itu banyak sekali toh. Kalo di kelompok ini
ya semua petani ini diajak kumpul sosialisasi organik.” (Sdy, 54
tahun)
Informan Mrg (45 tahun) menambahkan pula bahwa pada dasarnya petani
itu membutuhkan segala sesuatu untuk usahataninya yang cepat. Sehingga petani
lebih suka dan terbiasa untuk membeli daripada memanfaatkan lingkungan
sekitar.
“Petani kan butuh yang cepat, jadi mau tidak mau ya lebih baik beli.
Soalnya kan kalo proses buat obat yang alami itu kan minimalnya
butuh waktu satu minggu dan lebih lama lebih bagus.” (Mrg, 45
tahun)
Tingginya tingkat pendidikan (53.33%) pada petani konvensional
seharusnya dapat menjadi pendorong petani untuk menerapkan pertanian organik.
Karena semakin tingginya pendidikan seharusnya petani lebih memahami bahwa
lingkungan ini perlu dijaga kelestariannya, salah satunya dengan menerapkan
pertanian yang ramah lingkungan yaitu pertanian organik. Hal ini didukung oleh
hasil penelitian Widiarta (2011) yang menyatakan bahwa petani yang
berpendidikan lebih tinggi dibandingkan petani lainnya cenderung lebih mudah
mengadopsi suatu inovasi seperti pertanian organik. Namun, dalam penelitian ini
juga terlihat bahwa petani organik sebagian besar (56.67%) merupakan petani
yang berpendidikan rendah. Oleh karena itu, agar pertanian organik dapat
berlangsung dan diterapkan oleh petani di Indonesia, diperlukan peran pemerintah
untuk lebih memerhatikan tingkat pendidikan petani. Selain itu diharapkan bahwa
pemerintah juga mampu memberikan pendidikan informal kepada petani dengan
cara sosialisasi dan penyuluhan yang secara intensif dilakukan agar petani lebih
sadar akan manfaat dari pertanian organik.
Selain tingkat pendidikan formal, seharusnya dengan tingginya tingkat
pengalaman bertani petani konvensional (53.33%), petani dapat belajar dan
menyadari bahwa tanah yang telah diberi bahan-bahan kimia sintetik secara
bertahun-tahun nantinya akan mengalami kerusakan. Oleh sebab itu, sebaiknya
petani konvensional perlu beralih untuk membebaskan lahannya dari bahan-bahan
kimia berbahaya tersebut. Namun sangat disayangkan, ternyata untuk mengajak
petani konvensional menjadi petani organik masih sulit dilaksanakan. Hasil
penggalian informasi yang dilakukan didapatkan bahwa masih sulit untuk
mengubah perilaku petani yang sudah terbiasa menggunakan pupuk dan pestisida
kimia yang dapat secara instan didapatkan.
47
Mrg (45 tahun) merupakan petani konvensional yang saat ini telah mencoba
untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada pupuk dan pestisida kimia.
Mrg (45 tahun) dapat digolongkan sebagai petani semi konvensional karena telah
berupaya untuk secara konsisten menggunakan pupuk organik, baik yang berasal
dari tanaman atau kotoran ternak. Namun, Mrg terkadang masih menggunakan
pestisida kimia karena lahannya masih berada pada lahan konvensional. Di lahan
konvensional tersebut, hama tanaman dapat digolongkan lebih banyak
dibandingkan dengan lahan pertanian organik.
“Pupuknya saya bikin sendiri, cuma kotorannya beli. Kalo saya pada
dasarnya menggunakan barang yang ada. Kalo sudah merasa cukup
ya itu aja. Saya ya daun-daun yang jatoh itu saya ambili, saya
langsung taro ke sawah. Baru beberapa hari sudah langsung mulai
menghijau.” (Mrg 45 tahun)
Selain itu, didapatkan pula informasi lain bahwa petani tidak puas dengan
hasil panen yang sedikit pada saat pertama kali menerapkan pertanian organik.
Srw (61 tahun) merupakan salah satu dari beberapa petani yang telah mengalami
masalah tersebut. Srw (61 tahun) hanya mampu menerapkan pertanian yang bebas
dari pupuk kimia selama 1 kali panen. Hal tersebut karena Srw (61 tahun) merasa
bahwa penerapan pertanian organik itu sulit. Padahal Srw (61 tahun) telah
merasakan manfaat dari penerapan pertanian yang bebas bahan kimia sintetik
yaitu beras yang bagus dan nasi yang pulen dan tidak cepat basi. Di sisi lain Srw
(61 tahun) juga berpendapat bahwa hasil pertanian jika tidak diimbangi dengan
pupuk kimia, hasil panen yang diterima lebih sedikit. Hal itulah yang
menyebabkan saat ini Srw (61 tahun) belum bisa melepaskan diri dari
ketergantungan pada pupuk kimia sintetik. Ketergantungan ini yang menyebabkan
adanya pandangan bahwa usaha pertanian tidak bisa terlepas dari penggunaan
pupuk kimia. Fakta ini sesuai dengan hasil penelitian Widiarta (2011) yang
menyampaikan bahwa hasil panen pertanian organik jumlahnya lebih sedikit dan
kurang memuaskan pada masa awal bertani organik sehingga masih sedikit petani
yang menerapkan pertanian organik. Padahal dari literatur yang telah peneliti
baca, rendahnya hasil panen pada awal penerapan pertanian organik merupakan
hal yang wajar karena pada saat itu merupakan masa peralihan tanah yang setelah
tiga hingga lima tahun dilalui justru akan naik dan memuaskan.
Selain kekecewaan petani pada hasil pertanian organik pada awal penerapan
berkurang, ternyata petani juga belum bisa mengubah kebiasaan mereka yang
sudah sejak dulu terbiasa menggunakan pupuk atau pestisida kimia sintetik.
Pertanian organik ini memang dapat memberikan beberapa manfaat, khususnya
dari segi ekonomi. Peluang harga jual pertanian yang tinggi di pasar seharusnya
dapat menjadi daya tarik bagi petani untuk beralih menjadi petani organik.
Namun, fakta di lapangan yang terjadi menunjukkan keadaan yang sebaliknya.
Banyak yang belum beralih menjadi petani organik murni karena keuntungan
ekonomi yang dirasakan belum signifikan. Meskipun harga jual hasil panen
organik lebih tinggi daripada hasil panen konvensional, hal tersebut belum dapat
menjadi alasan kuat petani konvensional beralih menjadi petani organik.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa responden petani konvensional di
Kelompok Tani Madya belum dapat membebaskan diri dari ketergantungan
48
pupuk dan pestisida kimia sintetik. Selain itu, sistem pertanian konvensional
maupun semi konvensional yang telah diterapkannya saat ini sudah memberikan
kepuasan kerja tersendiri, baik dari segi penjualan maupun proses pertanian yang
berlangsung. Sehingga mereka tidak perlu mengubah sistem bertani mereka
menjadi petani organik murni karena penerapan sistem pertanian mereka saat ini
sudah cukup. Meskipun demikian, pertanian organik memiliki peluang yang
cukup besar untuk diterapkan secara berkelanjutan oleh Kelompok Tani Madya.
Hal ini karena setiap anggota memiliki kekerabatan yang dekat dan kepercayaan
yang tinggi dengan ketua kelompok dan anggota kelompok lainnya. Sehingga hal
ini diduga dapat menjadi nilai positif bahwa pertanian organik dapat
dikembangkan melalui pertemuan dan sosialisasi yang intensif dari kelompok
selain penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah.
49
SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menyajikan kesimpulan dari hasil penelitian mengenai hubungan
antara karakteristik petani dengan respon petani pada pertanian organik serta
dampak yang ditimbulkan dari pertanian organik. Kesimpulan yang dibuat
merupakan jawaban dari permasalahan dan tujuan yang diangkat pada bagian
awal penulisan skripsi ini. Pada bab ini juga disertai pula saran untuk berbagai
pihak mengenai perkembangan pertanian organik dan dampaknya.
Simpulan
Pada Kelompok Tani Madya pengembangan pertanian organik diasumsikan
akan terus berkembang. Hal tersebut didukung dengan sudah tingginya
pemahaman mereka mengenai pertanian organik. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa:
1. Tidak terdapat hubungan antara karakteristik petani organik dengan respon
petani pada pertanian organik dan terdapat hubungan antara pendidikan
formal dan keberanian mengambil resiko petani konvensional dengan respon
petani pada pertanian organik. Adanya beberapa ketidakberhubungan antara
karakteristik petani dengan respon petani pada pertanian tersebut karena
individu dengan berbagai karakteristik dapat memiliki respon yang rendah
atau tinggi pada pertanian organik. Hal tersebut juga menunjukkan adanya
kebebasan bagi siapapun untuk memahami dan menerapkan pertanian
organik. Selain itu, adanya motivasi lain dari setiap petani yang menyebabkan
beragamnya respon petani pada pertanian organik.
2. Tidak terdapat hubungan antara respon petani pada pertanian organik dengan
pendapatan petani. Hal ini terjadi bahwa karena tinggi rendahnya pendapatan
petani tergantung pada nilai jual hasil pertanian yang dihasilkan.
3. Adanya peluang pada petani konvensional untuk menerapkan pertanian
organik. Hal ini didukung oleh fakta yang menunjukkan bahwa terdapat
petani yang memiliki pendidikan formal dan pengalaman bertani yang tinggi
sehingga dapat diprediksikan mereka mau mengubah perilakunya untuk
menghindari diri dari penggunaan pupuk dan pestisida kimia sintetik. Selain
itu, petani konvensional juga telah memiliki pemahaman yang tinggi sehingga
dengan pemahaman yang tinggi seharusnya petani lebih menyadi manfaat
dari pertanian organik.
Saran
Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah pemerintah
diharapkan lebih memerhatikan pertanian yang dapat berkelanjutan. Hal ini
karena mengingat bahwa penerapan pertanian organik sangatlah sulit karena harus
benar-benar bebas dari bahan kimia, termasuk kandungan kimia yang terdapat
pada air irigasi. Pemerintah diharapkan dapat menerapkan kebijakan yang sesuai
dengan kondisi sebenarnya karena masih banyak petani konvensional yang belum
beralih menjadi petani organik murni. Selain itu, ini diharapkan ada pihak
50
akademisi yang meneliti lebih lanjut untuk memperbaiki berbagai kelemahan
dalam penelitian ini. Hasil riset memperlihatkan bahwa meskipun petani organik
dan petani konvensional berada pada satu kelompok, tetapi tidak semua petani
mengadopsi pertanian organik. Dengan demikian, penulis mengharapkan adanya
penelitian lebih lanjut terkait dengan hal apa yang menyebabkan petani
konvensional belum mampu menerapkan pertanian organik murni karena pada
penelitian ini hanya dijabarkan berdasarkan data kualitatif.
51
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2011. Profil Desa Kebonagung. Yogyakarta [ID]: Puswira Yogyakarta.
http://www.scribd.com/doc/53492359/Profil-Desa-Kebonagung [11 Maret
2013]
[Anonim]. 2010. Profil Penerima penghargaan ketahanan pangan bidang
pengolahan dan pemasaran hasil pertaniantahun 2010.
http://agribisnis.deptan.go.id/download/layanan_informasi/sekretariat/profi
l_penerima_penghargaan_ketahanan_pangan_bidang_pphp_2010.pdf [17
Maret 2013]
Ariesusanty R, Nuryati S, dan Wangsa R. 2012. Statistik pertanian organik
Indonesia - 2011. Bogor [ID]: Aliansi Organis Indonesia
Badan Pusat Statistik. 2011. Potensi Desa 2011. Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik. 2012. Penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja menurut
lapangan pekerjaan utama 2004 - 2012.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_sub
yek=06¬ab=2 [22 Juli 2013]
Indriana H. 2010. Kelembagaan berkelanjutan dalam pertanian organik. [tesis].
Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Jaya A. 2004. Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
[tugas individu semester ganjil 2004 pengantar falsafah sains program s3
IPB]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor
Putri NI. 2011. Penerapan teknologi pertanian padi organik di Kampung Ciburuy,
Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor
[ID]: Institut Pertanian Bogor
Reijntjes C, Haverkort B, Bayer AW. 1999. Pertanian masa depan: pengantar
untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Yogyakarta [ID]:
Kanisius
Rukka, Buhaerah, Sunaryo. 2006. Hubungan karakteristik petani dengan respon
petani terhadap penggunaan pupuk organik pada padi sawah (Oriza sativa
L.). [jurnal]. [internet]. [diunduh pada 10 Maret 2013].
www.stppgowa.ac.id/datadownloadcenterpap/data-jurnal-agrisistem-stpp-
gowa/4.%20hubungan%20karakteristik%20petani%20dengan%20respon
%20petani%20terhadap%20penggunaan%20pupuk%20organik%20pada%
20padi%20sawah%20(Oriza%20sativa%20L.).pdf
Salikin KA. 2003. Sistem pertanian berkelanjutan. Yogyakarta [ID]: Kanisius
Saragih SE. 2008. Pertanian organik solusi hidup harmoni dan berkelanjutan.
Depok [ID]: Penebar Swadaya
Sarwono SW. 2003. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta [ID]: Raja Grafindo
Persada.
Siahaan L. 2009. Strategi pengembangan padi organik Kelompok Tani Sisandi,
Desa Baruara, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. [skripsi]. Bogor
[ID]: Institut Pertanian Bogor.
Singarimbun, M. Efendi S, editor. 1989. Metode penelitian survei. Jakarta: LP3ES
Soetrisno L. 2002. Paradigma baru pembangunan pertanian sebuah tinjauan
sosiologis. Yogyakarta [ID]: Kanisius
52
Sugarda TJ, Charina A, Setiagustina L, dan Setiawan I. 2008. Kajian
pengembangan usahatani padi organik SRI (System Of Rice
Intensification) berwawasan agribisnis dalam mendukung program
ketahanan pangan secara berkelanjutan. [jurnal]. [Internet]. [diunduh 22
November 2012]. Dapat diunduh dari:
http://journals.unpad.ac.id/agrikultura/article/viewFile/625/671
Susanti LW, Sugihardjo, Suwarto. 2008. Faktor-Faktor yang mempengaruhi
pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian padi organik di
Desa Sukorejo Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen. [jurnal].
[internet]. [diunduh 1 April 2013]. Dapat diunduh dari
http://fp.uns.ac.id/jurnal/download.php?file=Agritex-4.pdf
Susilo A. 2005. Pertanian dalam globalisasi. Y. Wartaya Winagun, penyunting.
Membangun karakter petani organik sukses dalam era globalisasi.
Yogyakarta [ID]: Kanisius
Sutanto R. 2002. Pertanian organik menuju pertanian alternatif dan berkelanjutan.
Yogyakarta [ID]: Kanisius
Suwantoro AA. 2008. Analisis pengembangan pertanian organik di Kabupaten
Magelang (studi kasus di Kecamatan Sawangan). [tesis]. [Internet].
[diunduh 22 November 2012].
http://eprints.undip.ac.id/16429/1/Andreas_Avelinus_Suwantoro.pdf
Widiarta A. 2011. Analisis berlanjutan praktik pertanian organik di di kalangan
petani. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor
53
LAMPIRAN
Lampiran 1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian
No Kegiatan Feb Maret April Mei Juni Juli Agt
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
1 Penyusunan
proposal
2 Kolokium
3 Revisi
proposal
4 Pengumpulan
data
5 Pengolahan
dan Analisis
data
6 Penulisan
skripsi
7 Konsultasi
skripsi
8 Uji petik
9 Sidang
skripsi
10 Perbaikan
skripsi
54
Lampiran 2 Peta Lokasi Penelitian (Desa Kebonagung)
Lokasi Penelitian
55
Lampiran 3 Sketsa Lahan Pertanian Organik dan Pertanian Konvensional
56
Lampiran 4 Kerangka Sampling Penelitian
Daftar Responden Petani Organik
No Nama No Nama
1 PRA 24 MTR
2 CPW 25 NGI
3 SMT 26 NGJ
4 SGR 27 TKS
5 TGM 28 WNT
6 ANS 29 SRB
7 SMN 30 MUJ
8 WKO 31 BGM
9 RBG 32 SWJ
10 SGG 33 PRJ
11 SGY 34 YWN
12 WGM 35 SDH
13 MWY 36 MRH
14 NGD 37 SBR
15 KSM 38 TGD
16 MDS 39 WDY
17 SBN 40 PNJ
18 WRN 41 ARS
19 SDY 42 JMR
20 SJH 43 SGN
21 JWB 44 SND
22 UNW 45 NGY
23 WKJ 46 BSR
Keterangan:
Dipilih sebagai responden
57
Daftar Responden Petani Konvensional
No Nama No Nama
1 JMY 38 MAR
2 MRG 39 MDI
3 PNA 40 MRW
4 BDI 41 ATM
5 SHR 42 MRO
6 TRS 43 MRT
7 SYN 44 PAI
8 SWD 45 SDL
9 DWY 46 PUR
10 SWB 47 WRT
11 MIP 48 SAR
12 BSK 49 WAD
13 IMR 50 SRW
14 PON 51 PHS
15 SAS 52 PNM
16 WIY 53 GMN
17 SUG 54 DRM
18 HRJ 55 ADW
19 AHM 56 SPY
20 TND 57 RSW
21 JOW 58 SUM
22 SUR 59 NJM
23 PJO 60 NGM
24 SUA 61 AMY
25 WAK 62 MUH
26 KAM 63 SRI
27 SMH 64 GYN
28 WAN 65 SUB
29 SKR 66 PAR
30 WIR 67 SYN
31 PRL 68 SDN
32 SRJ 69 BSI
33 SKR 70 WDS
34 MNT 71 TRU
35 SLM 72 TJS
36 JOD 73 SUN
37 PNO
Keterangan:
Dipilih sebagai responden
58
Lampiran 5 Sertifikat Organik Kelompok Tani Madya
Sertifikat Organik 24 Januari 2010 – 24 Januari 2013
59
Sertifikat Organik 10 Desember 2012 – 9 Desember 2015
60
RIWAYAT HIDUP
Firda Emiria Utami dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Februari 1991.
Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara yang terlahir dari pasangan
Soepatmo B. Soetrisno dan Dian Herlina Iriawati. Penulis memulai pendidikannya
di Taman Kanak-Kanak Budi Asih pada tahun 1996-1997, kemudian melanjutkan
di Sekolah Dasar Negeri Menteng Atas 19 Jakarta pada tahun 1997-2003, Sekolah
Menengah Pertama Negeri 3 Jakarta pada tahun 2003-2006, Sekolah Menengah
Atas Negeri 26 Jakarta pada tahun 2006-2009. Pada tahun 2009, penulis
melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Fakultas Ekologi Manusia, Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM).
Selama di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif mengikuti berbagai
kegiatan kepanitiaan dalam beberapa event diantaranya INVESTMENT 2010, 4th
E’SPENT (Ecology Sport and Art Event) pada tahun 2011, IAC (IPB Art Contest)
pada tahun 2011, Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat pada tahun 2011, INDEX (Indonesian Ecology Expo)
pada tahun 2011, Job Fair IPB 2011, 5th
E’SPENT (Ecology Sport and Art Even)
pada tahun 2012, IGLM (IPB Green Living Movement) pada tahun 2012, serta
INDEX (Indonesian Ecology Expo) pada tahun 2012. Penulis juga pernah
mengikuti kegiatan di luar IPB, diantaranya Peserta Indonesian Youth Camp yang
diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga pada tahun 2011 dan
Peserta Transmania Broadcasting Camp yang diselenggarakan oleh Trans TV
pada tahun 2012.
Recommended