View
233
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
i
PENGURANGAN RISIKO GEMPABUMI
MELALUI EVALUASI BANGUNAN TEMPAT TINGGAL
DAN LINGKUNGANNYA DI KECAMATAN PLERET
KABUPATEN BANTUL
HALAMAN JUDUL
Naskah Publikasi
Program Studi Ilmu Lingkungan
Minat Studi Geo-Informasi untuk Manajemen Bencana
Diajukan Oleh:
ADITYA SAPUTRA
10/309448/PMU/06820
Kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
ii
NASKAH PUBLIKASI
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis :
PENGURANGAN RISIKO GEMPABUMI MELALUI EVALUASI
BANGUNAN TEMPAT TINGGAL DAN LINGKUNGANNYA
DI KECAMATAN PLERET KABUPATEN BANTUL
Dipersiapkan dan disusun oleh
Aditya Saputra
10/309448/PMU/06820
Telah disetujui oleh :
Pembimbing Utama
Prof. Dr. Junun Sartohadi, M.Sc. Tanggal, 22 Februari 2012
Pembimbing Pendamping I
Dr. Rini Rachmawati, M.T. Tanggal, 21 Februari 2012
1
PENGURANGAN RISIKO GEMPABUMI MELALUI EVALUASI
BANGUNAN TEMPAT TINGGAL DAN LINGKUNGANNYA
DI KECAMATAN PLERET KABUPATEN BANTUL
Aditya Saputra 1)
, Junun Sartohadi 2)
, Rini Rachmawati 3)
1) Mahasiswa Geo-Information For Spatial Planning and Risk Management,
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
2) dan 3) Staff Pengajar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
ABSTRACT
Kecamatan Pleret merupakan salah satu daerah yang rawan gempabumi.
Terbukti pada gempabumi 27 Mei 2006, Kecamatan Pleret mengalami kerusakan
yang sangat parah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi risiko
gempabumi melalui identifikasi karakteristik bahaya, kerentanan bangunan tempat
tinggal, dan kapasitas masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah integrasi antara penginderaan jauh, sistem informasi geografis, dan observasi
di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa satuan litologi
Endapan Merapi Muda memiliki indek seismik yang tinggi berkisar antara 7,0 – 13,8.
Endapan Aluviual rombakan material Formasi Semilir dan Nglanggran memiliki
indek seismik yang sedang berkisar antara 2,1 – 3,8. Formasi Semilir dan Nglanggran
yang merupakan batuan kompak memiliki indek seismik yang rendah yaitu tidak
lebih dari 1. Struktur bangunan di Kecamatan Pleret didominasi oleh pasangan batu
bata diperkuat dengan diafragma flexibel (RM2) yang memiliki tingkat kerentanan
rendah yaitu diatas nilai 1,75. Kapasitas masyarakat Kecamatan Pleret tergolong
masih rendah dikarenakan kurangnya tingkat kesiapsiagaan dalam menghadapi
gempabumi. Upaya pengurangan risiko dengan menitikberatkan pada peningkatan
kapasitas terutama aspek kesiapsiagaan dapat efektif meredam risiko gempabumi
yang mungkin akan terjadi.
Pleret sub-district is one of the earthquake prone area. Proved, in the event
of May 27, 2006 Yogyakarta earthquake, Pleret Sub-District was badly damaged.
This research was conducted to determine the earthquake risk condition through
identification of hazard characteristic, residential building vulnerability, and social
capacity. The method used in this research was integration between remote sensing,
geographic information system, and field observation Based on the research result, it
can be concluded that lithology unit of Recent Merapi Material Deposit have high
seismic index ranged from 7.0 – 13.8. Aluvial deposits from denudation material of
Semilir and Nglanggran Formation have moderate seismic index ranged from 2.1 –
3.8. Semilir and Nglanggran Formation which are solid rock have low seismic index
i.e not more than 1. Building structure in the Pleret sub-district are dominated by
Reinforced masonry buildings with rigid floor and roof diaphragms (RM2) which
have low level of vulnerability i.e. above the value of 1.75. The social capacity of
Pleret sub-district are still low due to lack of preparedness to cope with eartquake
hazard. Risk reduction effort which is emphasize on rising the capacity particularly
on preparedness aspect could effectively reduce the earthquake risk that might be
occurred.
Kata kunci : indek seismik, kerentanan, kapasitas, dan risiko.
Key word : seismic index, vulnerability, capacity, and risk.
2
I. Pendahuluan
Gempabumi merupakan guncangan di permukaan bumi yang disebabkan
oleh pelepasan energi secara tiba-tiba akibat adanya pensesaran batuan kerak bumi di
sepanjang zona sesar atau zona penunjaman lempeng (subduksi). Energi yang
dilepaskan berupa getaran seismik yang menjalar di dalam bumi. Getaran seismik
tersebut dirasakan sebagai gempabumi setelah mencapai permukaan bumi (Bath,
1979). Fenomena alam ini sangat terkait dengan kondisi geologi dan konfigurasi
lempeng tektonik di suatu wilayah. Daerah-daerah yang berada pada zona pertemuan
lempeng memiliki tingkat kerawanan gempabumi yang tinggi.
Indonesia yang terletak di antara pertemuan tiga lempeng tektonik aktif
memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap terjadinya gempa-gempa tektonik.
Gempabumi dapat terjadi kapan saja di wilayah Indonesia. Terbukti, pada tanggal 27
Mei 2006 terjadi gempabumi besar di Yogyakarta yang berlokasi di utara zona
subduksi Lempeng Eurasia dan Lempeng Hindia-Australia. Gempabumi tersebut
menyebabkan kerusakan parah dan menimbulkan banyak korban jiwa di sejumlah
wilayah di Yogyakarta. Salah satunya adalah Kabupaten Bantul yang terletak paling
dekat dengan sumber gempabumi versi USGS. Sebanyak 26.045 unit bangunan
mengalami rusak parah, 29.582 unit bangunan rusak sedang, dan 24.262 unit
bangunan rusak ringan. Jumlah korban meninggal mencapai 4.121 jiwa dan korban
luka-luka mencapai 12.026 jiwa. Detail kerusakan dan jumlah korban jiwa di
Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1 Data Jumlah Bangunan Rusak di Provinsi DIY
Kabupaten Jumlah Permukiman (2003) Parah Sedang Ringan
Bantul 181.991 26.045 29.582 24.262
Gunungkidul 158.570 11.323 5.355 16.360
Sleman 196.965 4.719 14.403 29.910
Yogyakarta 78.079 1.948 4.119 2.355
Kulonprogo 87.940 3.485 4.726 7.999
Sumber: Bappenas, 2006
Tabel 2 Data Korban Jiwa dan Luka-Luka di Provinsi DIY
Kabupaten Korban jiwa Luka-luka
Bantul 4,121 12,026
Sleman 240 3,792
Yogyakarta 195 318
Kulonprogo 22 2,179
Gunungkidul 81 1,086
Sumber : Bappenas, 2006
3
Kecamatan Pleret merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bantul
berlokasi di dekat sistem Sesar Opak yang diperkirakan sebagai lokasi sumber
gempabumi 27 Mei 2006 silam. Dalam kejadian gempabumi tersebut Pleret
mengalami kerusakan parah. Berdasarkan data BPS tahun 2010, sebanyak 8.309 unit
bangunan di Kecamatan Pleret mengalami kerusakan parah dan 579 orang penduduk
Kecamatan Pleret meninggal dalam peristiwa gempabumi ini.
Kajian risiko bencana gempabumi perlu dilakukan di Kecamatan Pleret
mengingat bahwa sewaktu-waktu dapat terjadi kembali gempabumi, selain itu
populasi penduduk Pleret yang terus meningkat dari tahun ketahun. Kajian risiko ini
dapat dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik bahaya gempabumi,
kerentanan bangunan, dan kondisi kapasitas masyarakat dalam menghadapi
gempabumi. Kajian risiko ini untuk selanjutnya dapat digunakan dalam menentukan
strategi-strategi pengurangan risiko yang sesuai dengan karakteristik bahaya (hazard)
gempabumi, kerentanan (vulnerability) bangunan, dan kapasitas (capacity)
masyarakat.
Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji pengurangan
risiko gempabumi melalui identifikasi karakteristik bahaya gempabumi, kerentanan
bangunan, dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana gempabumi.
II. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan merupakan integrasi antara penginderaan
jauh, sistem informasi geografis, dan observasi lapangan. Ketiga teknik tersebut
digunakan secara komprehensif dalam menganalisis empat parameter utama dalam
penelitian ini. Parameter tersebut adalah bahaya gempabumi, kerentanan bangunan
tempat tinggal, kapasitas masyarakat, dan risiko gempabumi.
Analisis bahaya gempabumi dilakukan dengan menggabungkan antara
informasi geologi dan indek seismik di lokasi penelitian. Informasi geologi
didapatkan dari proses intepretasi visual citra ASTER komposit 3,4 PCA 56789.
Penggunaan komposit ini didasarkan pada komposit citra Landsat 7 ETM+ 4,5,7.
Band 4 pada citra Landsat 7 ETM+ ini merupakan saluran infra merah dekat yang
sangat baik digunakan untuk mengetahui biomassa vegetasi, identifikasi tanaman
pertanian, kerapatan vegetasi dan identifikasi tubuh air. Band 5 merupakan band infra
merah tengah yang baik digunakan untuk identifikasi kelembaban vegetasi dan tanah.
4
Band 7 merupakan band infra merah tengah kedua yang baik digunakan untuk
diskriminasi formasi batuan, diskripsi litologi dan mineral (Santosa, 2003). Secara
kesuluruhan komposit 4,5,7 pada citra Landsat sangat baik dalam menonjolkan
batasan litologi. Indek Seismik didapatkan melalui observasi lapangan di Kecamatan
Pleret dan sekitarnya pada penelitian sebelumnya. Analisis bahaya dilakukan secara
superimpose dalam sistem informasi geografis sehingga dapat diketahui karakteristik
indek seismik dalam setiap satuan litologi.
Analisis kerentanan bangunan tempat tinggal mengacu pada prosedur rapid
visual screening of building for potential seismic hazard yang dikembangkan oleh
FEMA, 2002. Variabel yang diamati dalam prosedur penilaian ini adalah jenis
struktur bangunan, jumlah lantai, iregularitas bangungan, dan jenis litologi
permukaan. Pengambilan sampel dalam analisis kerentanan bangunan ini
menggunakan metode stratified random sampling. Dasar pengkelasan yang
digunakan adalah bentuk tapak bangunan dan bentuk atap bangunan. Berdasarkan
bentuk tapak bangunan bangunan tempat tinggal dibagi menjadi bangunan reguler
(bentuk dasar persegi atau persegi panjang) dan bentuk ireguler (bentuk L, U, H, dan
O). Berdasarkan bentuk atap bangunan dibagi menjadi bangunan dengan bentuk atap
joglo, limasan, kampung, dan cor atau dag (Ronald, 1997). Jumlah sampel yang
diambil bersifat proporsional antara jumlah populasi total bangunan dengan populasi
bangunan pada setiap kelas yang ada. Berdasarkan prosedur rapid visual screening of
building for potential seismic hazard bangunan yang dikatakan rentan adalah
bangunan yang memiliki skor akhir dibawah 1,75.
Metode analisis kapasitas masyarakat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penilaian secara semi kualitatif terhadap dua variabel yang dianalisis. Variabel
tersebut adalah kesadaran dan kesiapsiagaan (Carter, 1991). Kesadaran terdiri dari
respon, pengetahuan, persepsi, dan informasi lokasi-lokasi penting. Kesiapsiagaan
terdiri dari persiapan, keanggotaan, dan sosialisasi atau pelatihan. Masing-masing
aspek tersebut memiliki beberapa pertanyaan yang akan diajukan kepada sejumlah
responden di Kecamatan Pleret melalui wawancara terstruktur. Penduduk yang
menjadi responden adalah pemilik rumah (kepala rumah tangga) yang telah disurvei
dalam analisis kerentanan bangunan. Setiap variabel, sub variabel, dan indikator
dalam analisis kapasitas diberikan bobot yang berbeda berdasarkan level
5
kepentingannya. Penentuan bobot pada setiap indikator, sub variabel, dan variabel
dilakukan dengan menggunakan metode matrik perbandingan (pairwise comparison
method) Secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Sub Variabel dan Indikator Yang Digunakan Dalam Analisis Tingkat Kesadaran
Sub
Variebel
Bobot
Sub
Variabel
Indikator Bobot
Indikator
Respon 0,35
Mencari tempat yang aman (di bawah meja, pojok ruangan) 0,45
Berkumpul di tempat yang terbuka 0,45
Lampu senter sebagai penerangan 0,09
Pengetahuan 0,19
Pengetahuan tentang bangunan tahan gempa 0,50
Pengetahuan tentang organisasi kebencanaan 0,05
Pengetahuan tentang penyebab gempabumi 0,10
Pengetahuan tentang adanya gempa susulan 0,34
Persepsi 0,35 Daerah rawan gempabumi 0,50
Persepsi mengenai tempat tinggalnya 0,50
Informasi 0,11
Lahan terbuka 0,08
Rumah sakit 0,52
Tempat pengungsian sementara 0,28
Kantor polisi 0,12
Tabel 4. Sub Variabel dan Indikator Yang Digunakan Dalam Analisis Tingkat
Kesiapsiagaan
Sub
Variebel
Bobot
Sub
Variabel
Indikator Bobot
Indikator
Persiapan 0,58
Identifikasi lokasi paling aman di dalam rumah 0,29
Identifikasi rute paling aman keluar dari rumah 0,14
Merencanakan tempat bertemu 0,06
Persiapan alat-alat darurat (Kotak P3K, lampu senter, dll) 0,10
Menata ulang perabot rumah tangga agar tidak membahayakan 0,41
Keanggotaan 0,11
Organisasi sosial (RT,RW, Pemuda, dll) 0,09
Organisasi penanggulangan bencana (Tagana, BNPB, dll) 0,48
TIM SAR 0,16
Palang merah indonesia 0,27
Pelatihan 0,31
Sosialisasi penanganan kondisi darurat 0,16
Sosialisasi pertolongan pertama pada korban 0,08
Sosialisasi kebencanaan (gempabumi) 0,28
Simulasi gempabumi 0,48
Persamaan yang digunakan untuk menghitung indek sub variabel dan indek
kapasitas dapat dilihat dalam persamaan 1 dan 2 seperti di bawah ini.
Ssv = ...................................................................... (1)
∑ (Max Si x Max BSi)
∑ (Si x BSi)
6
Ssv = Skor Sub Variabel
Si = Skor indikator dari wawancara
Max Si = Skor maksimum indikator yang mungkin terjadi dalam wawancara
BSi = Bobot Indikator
Max BSi = Bobot maksimum indikator
IK = ................................................... (2)
IK = Indek kapasitas
AI = Indek kesadaran
PI = Indek kesiapsiagaan
Max AI = Indek kesadaran maksimum yang mungkin terjadi
Max PI = Indek kesiapsiagaan maksimum yang mungkin terjadi
BA = Bobot kesadaran
BP = Bobot kesiapsiagaan
Indek risiko didapatkan dengan mengkalkulasikan aspek bahaya, kerentanan
bangunan, dan kapasitas masyarakat ke dalam persamaan 3 sebagai berikut ini.
R = ................................................................................................ (3)
R adalah indek risiko, H adalah bahaya, V adalah kerentanan bangunan
tempat tinggal, dan C adalah kapasitas masyarakat. Kalkulasi bahaya sudah secara
otomatis masuk kedalam indek kerentanan bangunan. Hal ini dikarenakan pada saat
melakukan penilaian kerentanan bangunan sudah memperhatikan aspek litologi
daerah sekitarnya. Skor dari hasil perhitungan kerentanan, sebelum dimasukkan ke
dalam persamaan 3 harus dilakukan konversi terlebih dahulu. Konversi bertujuan
untuk merubah nilai maksimum pada penilaian kerentanan menjadi nilai 0 (tidak
rentan) dan nilai minimum pada penilaian kerentanan menjadi nilai 1 (rentan). Begitu
pula dengan nilai indek kapasitas yang harus dikonversi terlebih dahulu sebelum
dimasukkan kedalam persamaan 3. Konversi nilai kapasitas ini bertujuan untuk
[(AI x BA) + (PI x BP)]
[(Max AI x BA ) + (Max PI x BP)]
H x V
C
7
mendapatkan nilai 0 (kapasitas tinggi) dan nilai 1 (kapasitas rendah). Konversi indek
ini sesuai dengan konsep kapasitas yang dapat bersifat mengurangi nilai risiko dan
mendapatkan nilai risiko antara 0 (risiko rendah ) hingga 1 (risiko tinggi). Konversi
nilai indek kerentanan dan indek kapasitas dilakukan dengan menggunakan konsep
standarisasi skor yang dinamakan cost standardization factors. Dengan adanya
konversi skor ini, perlu dilakukan modifikasi pada persamaan 3 menjadi persamaan 4
agar indek risiko yang dihasilkan sesuai dengan teori yang telah dijelaskan
sebelumnya.
R = H x V x C-1
..................................................................................................... (4)
C-1
adalah fungsi invers dari nilai kapasitas yang dihasilkan dari proses wawancara.
Nilai Risiko yang dihasilkan dari persamaan 4 untuk selanjutnya dilakukan
modifikasi terhadap aspek-aspek lingkungan seperti kepadatan bangunan, kedekatan
dengan jalan, dan kedekatan dengan fasilitas pelayanan medis. Hasil skor analisis
lingkungan tersebut akan digunakan untu menambahkan nilai risiko yang dihasilkan
oleh persamaan 4. Hal ini sesuai dengan konsep bahwa kualitas lingkungan dapat
memperparah keadaan pada saat terjadi bencana, dengan kata lain kondisi lingkungan
ini dapat menambah nilai risiko yang dihasilkan pada persamaan 4. Nilai risiko yang
telah dimodifikasi akan dikelaskan kedalam 3 kelompok yaitu tinggi, sedang, dan
rendah. Pengkelasan ini dilakukan dengan metode equal interval terhadap nilai
minimum dan maksimum dari indek risiko yang dihasilkan.
III. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil intepretasi secara visual pada citra ASTER komposit 3, 4,
PCA 56789 didapatkan 4 satuan litologi yang berbeda di Kecamatan Pleret. Keempat
satuan litologi tersebut adalah Formasi Semilir (Tmse), Formasi Nglanggran (Tmn),
Aluvium (Qa) dan Endapan Gunungapi Merapi Muda (Qmi). Keempat satuan litologi
tersebut memiliki susunan material yang berbeda-beda yang dapat dilihat dalam
Tebel 5. Berdasarkan proses terjadinya Formasi Semilir merupakan produk material
volkanik dari gunungapi purba di sekitar lokasi penelitian. Formasi Semilir memiliki
umur paling tua diantara satuan litologi yang lain yaitu diendapkan selaras pada
Oligosen akhir hingga Miosen awal. Diatas formasi ini diendapkan secara selaras
Formasi Nglanggran yang juga merupakan produk gunungapi purba, namun memiliki
karakteristik yang sangat berbeda dengan Formasi Semilir. Formasi Nglanggran
8
diperkirakan diendapkan pada Kala Miosen awal hingga Miosen tengah. Endapan
Merapi Muda dan Aluvium merupakan endapan Kuarter yang berasal dari dua
sumber yang berbeda. Endapan Merapi Muda berasal dari material volkanik
Gunungapi Merapi yang terbawa oleh aliran Sungai Opak yang melewati daerah
penelitian, sedangkan Aluvium berasal dari rombakan material Semilir dan
Nglanggran di bagian timur dan selatan daerah penelitian yang terbawa oleh Sungai
Pesing.
Tabel 5 Jenis Litologi di Kecamatan Pleret
No Simbol Litologi Batuan Luas
Ha %
1 Qa Aluvium
Kerakal, pasir, lanau, dan lempung
dari material batuan Formasi
Semilir dan Nglanggran
267,94 11,24
2 Qmi
Endapan
Gunungapi
Merapi Muda
Tuf, abu, breksi, aglomerat dan
leleran lava tak terpisahkan 1.086,68 45,62
3 Tmn Formasi
Nglanggran
Breksi volkanik, breksi aliran,
aglomerat, lava dan tuf. 82,16 3,44
4 Tmse Formasi Semilir Perselingan antara breksi-tuf,
breksi batuapung, 945,03 39,68
Sumber: Pengolahan data, 2011
Formasi Semilir dapat diidentifikasi dengan mudah pada citra ASTER
komposit 3, 4 PCA 56789. Berdasarkan karakteristik warna/ rona, tekstur, topografi,
Formasi Semilir memberikan kesan warna dominan biru cerah dengan bercak merah
kecoklatan. Warna biru cerah menunjukkan lahan terbuka dan tegalan, sedangkan
warna merah kecoklatan menunjukkan vegetasi berkayu. Pola ini mununjukkan
bahwa Formasi Semilir didominasi daerah terbuka (daerah penambangan breksi
batuapung) dan pertanian lahan kering berupa tegalan. Tutupan vegetasi yang rendah
menunjukkan bahwa lapisan tanah pada formasi ini relatif tipis. Tidak hanya itu pada
satuan litologi ini memiliki kesan tekstur kasar ditunjukkan dengan banyaknya alur-
alur erosi pada lereng perbukitan Semilir. Topografi pada satuan litologi ini
didominasi oleh kelas kelerengan miring hingga curam. Kelas kemiringan lereng
miring terdapat pada perbukitan bagian tengah dan selatan, semakin ke arah timur
kelerengannya semakin curam.
9
Formasi Nglanggran memiliki warna yang jelas berbeda dengan satuan
litologi Semilir yaitu merah kecoklatan dengan bercak warna biru. Merah kecoklatan
menunjukkan vegetasi berkayu, sedangkan warna biru menunjukkan lahan terbuka
atau singkapan batuan. Perbedaan warna ini dikarenakan sifat batuan penyusunnya
yang berbeda. Formasi Nglanggran tersusun atas batuan kompak yang didominasi
oleh breksi andesit dari leleran lava. Warna batuan Formasi Nglanggran lebih gelap
dibandingkan dengan batuan Formasi Semilir. Warna batuan tersebut menunjukkan
tingkat keasaman yang berbeda. Warna terang menunjukkan tingkat keasaman yang
tinggi, sedangkan warna gelap menunjukkan tingkat keasaman rendah atau sedang.
Lapisan tanah pada Formasi Nglanggran telah berkembang dengan baik. Hal ini
ditunjukkan dengan tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi. Tekstur Formasi
Nglanggran lebih halus daripada Formasi Semilir. Topografi pada satuan litologi ini
didominasi oleh kemiringan lereng landai hingga miring. Distribusi spasial satuan
litologi ini adalah berada di puncak perbukitan Baturagung.
Aluvium merupakan rombakan material Semilir dan Nglanggran yang
terbawa oleh air dan diendapkan di sekitar kaki perbukitan. Dalam citra ASTER
meterial ini memiliki tekstur halus karena berada pada daerah yang miring hingga
landai. Warna satuan litologi ini diominasi dengan warna hijau kebiruan dan banyak
dijumpai bercak merah kecoklatan memanjang di sepanjang sungai. Bercak merah
kecoklatan ini menunjukkan adanya vegetasi di sepanjang tanggul sungai, dan warna
kebiruan menunjukkan adanya permukiman. Warna hijau tua menunjukkan tanaman
budidaya persawahan, namun jika di cek langsung ke lapangan, persawahan ini
merupakan persawahan lahan kering. Tanahnya memiliki kandungan lempung yang
tinggi, sehingga pada musim kemarau tanah akan pecah-pecah. Pengairan
mengandalkan air hujan dan air Sungai Pesing yang dipompa.
Satuan litologi Endapan Merapi Muda pada citra ASTER didominasi oleh
warna hijau kebiruan dan coklat kemerahan. Warna hijau kebiruan menunjukkan
wilayah permukiman dan lahan pertanian, sedangkan warna coklat kemerahan
menunjukkan adanya vegetasi. Sekilas satuan ini hampir sama dengan satuan
Aluvium, karena sama-sama menempati morfologi dataran, namun jika dianalisis
lebih lanjut pada Endapan Merapi Muda dijumpai tanah-tanah yang subur produk dari
gunungapi Merapi yang ditandai dengan banyak dijumpainya lahan pertanian.
10
Kandungan lempung pada satuan litologi ini relatif lebih sedikit dibandingkan dengan
material Aluvium. Pada satuan litologi ini juga banyak dijumpai pengrajin batu bata
tanah liat. Hal ini dikarenakan kandungan lempung pada satuan litologi ini tidak
terlalu tinggi dan cocok digunakan sebagai bahan dasar pembuatan batu bata.
Kandungan lempung yang tinggi dapat menyebabkan batu bata yang dihasilkan
mudah pecah.
Setiap satuan litologi yang telah diuraikan di atas memberikan nilai indek
seismik yang berbeda-beda. Indek seismik adalah suatu indek yang menunjukkan
tingkat kemudahan terjadinya deformasi lapisan tanah permukaan saat terjadi
gempabumi. Semakin tinggi nilai indek seismik maka akan semakin mudah lapisan
tanah permukaan mengalami deformasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat
diketahui bahwa Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran yang merupakan batuan
kompak produk gunungapi purba memiliki nilai indek seismik yang rendah, Aluvium
rombakan material Semilir dan Nglanggran memiliki nilai indek seismik yang
sedang, dan endapan Gunungapi Merapi muda memiliki nilai indek seismik yang
tinggi. Pola indek seismik yang dihasilkan sangat bersesuaian dengan pola kerusakan
bangunan pada peristiwa gempabumi 27 Mei 2006. Sebagian besar bangunan yang
berada pada litologi Aluvium dan Endapan Merapi Muda mengalami kerusakan
parah, sedangkan bangunan pada litologi Semilir dan Nglanggran hanya mengalami
kerusakan ringan walaupun bangunannya berupa susunan batu bata tanpa perkuatan.
Secara lebih rinci dapat diketahui dalam Tabel 6.
Tabel 6 Jenis Litologi dan Nilai Indek Seismiknya
No Simbol Litologi Batuan Indek
Seismik
1 Qa Aluvium kerakal, pasir, lanau, dan lempung dari material
batuan Formasi Semilir dan Nglanggran 2,1 – 3,8
2 Qmi Endapan Gunungapi
Merapi Muda
Tuf, abu, breksi, aglomerat dan leleran lava tak
terpisahkan 7,0 – 13,8
3 Tmn Formasi Nglanggran Breksi volkanik, breksi aliran, aglomerat, lava dan
tuf. 0,2 – 0,3
4 Tmse Formasi Semilir Perselingan antara breksi-tuf, breksi batuapung, 0,4 – 0,7
Sumber : Pengolahan data primer, 2011
Penilaian kerentanan bangunan dilakukan pada sampel yang diambil
berdasarkan kelas bentuk atapnya dan bentuk bangunan dasarnya. Populasi dalam
11
penelitian ini adalah seluruh bangunan tempat tinggal yang ada di Kecamatan Pleret.
Pemisahan bangunan tempat tinggal dan bangunan bukan tempat tinggal dilakukan
intepretasi citra Quickbird secara visual dengan mempertimbangkan warna, bentuk,
ukuran, dan asosiasi. Pada citra Quickbird warna bangunan tempat tinggal memiliki
warna coklat muda hingga tua. Warna coklat muda hingga tua ini menunjukkan
warna atap genteng. Warna-warna lain yang sering dijumpai dalam intepretasi adalah
warna putih (atap seng dan asbes), warna biru dan hijau (genteng yang di cat), serta
warna abu-abu (atap cor atau dag). Bangunan tempat tinggal di Kecamatan Pleret
mayoritas berbentuk reguler (persegi atau persegi panjang), bentuk-bentuk seperti
bentuk huruf L, U, O dan H biasanya digunakan sebagai gedung sekolah,
perkantoran, rumah sakit, dan fasilitas-fasilitas umum yang lain. Ukuran bangunan
yang digunakan sebagai pembeda antara bangunan tempat tinggal dan bangunan
bukan tempat tinggal mengacu pada keputusan Menteri Kimpraswil Republik
Indonesia Nomor 403/KPTS/M/2002, terdapat tiga klasifikasi rumah tempat tinggal
berdasarkan luas bangunannya, yaitu rumah sederhana, menengah, dan mewah.
Rumah sederhana merupakan rumah yang memiliki luas 21 – 36 m2, rumah
menengah 36 – 90 m2, dan rumah mewah >90m
2. Bangunan-bangunan yang memilik
luas kurang dari 21 m2 atau lebih dari 300 m
2 dianggap bukan sebagai bangunan
tempat tinggal dan tidak diikutkan dalam analisis kerentanan. Berdasarkan proses
klasifikasi maka dapat diketahui bahwa 89,50% bangunan tempat tinggal
menggunakan atap kampung, 9,60% atap limasan, 0,63% joglo, cor atau dag 0,12%,
0,06% kampung ireguler, dan 0,04% limasan ireguler.
Penilaian kerentanan bangunan dilakukan kepada 341 sampel bangunan
tempat tinggal dengan distribusi sampel sebagai berikut:
Tabel 7 Distribusi Sampel Menurut Pengkelasannya Beserta Jumlahnya
Bentuk
dasar
bangunan
Bentuk atap
Joglo Limasan Kampung Cor atau dag
R S T R S T R S T R S T
Reguler 6 - 24 9 2 33 30 5 199 - 2 15
Ireguler - - - - - 6 1 1 7 - - -
Sumber: Pengolahan data primer, 2011
R menunjukkan tingkat bahaya rendah, S menunjukkan tingkat bahaya sedang, dan T
menunjukkan tingkat bahaya tinggi. Berdasarkan hasil yang didapat struktur
bangunan tempat tinggal yang paling banyak dijumpai berturut-turut adalah struktur
12
pasangan batu-bata diperkuat dengan diafragma kaku (RM2), struktur kayu (W1),
struktur pasangan batu-bata diperkuat dengan diafragma fleksibel (RM1), dan
struktur pasangan batu-bata tanpa perkuatan (URM). Presentase struktur bangunan di
daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan presentase struktur
bangunan berdasarkan tipe atapnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Keterangan: RM2= Pasangan bata diperkuat, diafragma kaku; RM1= Pasangan bata
diperkuat, diafragma fleksibel; URM= Pasangan bata tidak diperkuat; W1= Bangunan
struktur kayu
Gambar 1. Komposisi Bangunan Berdasarkan Tipe Strukturnya
Sumber: Pengolahan data primer, 2011
Gambar 2. Presentase Struktur Bangunan Berdasarkan Bentuk Atapnya
Sumber: Pengolahan data primer, 2011
Berdasarkan hasil penilaian kerentanan bangunan dapat diketahui bahwa
joglo memiliki skor akhir paling tinggi yaitu 3,54. Nilai ini merupakan nilai rata-rata
dari skor akhir. Skor RVS yang tinggi (diatas 1,75) memiliki arti bahwa bangunan
tersebut tidak rentan. Semakin tinggi skor akhir menunjukkan semakin tinggi
kekuatan bangunan dan semakin kecil probabilitas keruntuhannya jika terjadi
2,1 %
1,3 %
0,4 %
13
gempabumi. Nilai kerentanan tinggi terdapat pada kelompok bangunan bertipe atap
kampung ireguler dan limasan ireguler. Hal ini disebabkan oleh adanya
ketidakteraturan bangunan secara horizontal (memiliki bentuk L) dan terletak pada
satuan litologi yang berasosiasi pada tingkat kerawanan gempabumi sedang hingga
tinggi. Nilai kerentanan pada kelompok bangunan ini adalah 1,70. Secara lengkap
hasil penilaian kerentanan bangunan berdasarkan prosedur rapid visual screening of
building for potential seismic hazard dapat dilihat pada Gambar 3 sebagai berikut.
Gambar 3 Tingkat Kerentanan Bangunan Tempat Tinggal Menurut Tipe Atapnya
Sumber: Pengolahan data primer, 2011
Hasil skor penilaian RVS harus dilakukan konversi menggunakan cost
standardization factor agar dapat dikalkulasi menggunakan persamaan 4 dalam
analisis risiko. Konsep konversi yang digunakan akan mengubah nilai minimum pada
skor RVS menjadi 1 (rentan) dan nilai maksimum akan dirubah menjadi nilai 0 (tidak
rentan). Hasil konversi nilai RVS dapat dilihat dalam Tabel 8.
Tabel 8 Indek Kerentanan Bangunan Berdasarkan Hasil Konversi “Cost Standardization”
Tipe atap Kerawanan rendah Kerawanan sedang Kerawanan tinggi
Skor RVS Indek Skor RVS Indek Skor RVS Indek
Joglo 3,54 0,48 - - 3,30 0,51
Limasan 2,80 0,59 2,20 0,68 2,20 0,68
Kampung 2,75 0,595 2,20 0.68 2,20 0,68
Cor atau dag - - 2,20 0,68 2,20 0,68
Limasan (ireguler) - - - - 1,70 0,75
Kampung (ireguler) 2,30 0,66 1,70 0,75 1,70 0,75
Untuk mengetahui tingkat kapasitas masyarakat di Kecamatan Pleret telah
dilakukan wawancara kepada sejumlah responden. Masyarakat yang dijadikan
Batas Kerentanan
(FEMA 154, 2002)
Sumber: Pengolahan data, 2011
Joglo
Kampung (reguler)
Limasan (ireguler)
Limasan (reguler)
Cor atau dag
Kampung (ireguler)
Kerawanan Rendah Kerawanan Sedang Kerawanan Tinggi
14
responden adalah pemilik rumah yang telah disurvei dalam proses RVS. Variabel
yang diamati adalah aspek kesadaran dan kesiapsiagaan. Kesadaran meliputi respon,
pengetahuan, persepsi, dan informasi lokasi-lokasi penting, sedangkan kesiapsiagaan
meliputi persiapan, keanggotaan, dan sosialisasi atau pelatihan.
Berdasarkan survei yang dilakukan tidak terdapat perbedaan pola jawaban
antara responden yang berada pada tingkat kerawanan tinggi, sedang, atau rendah.
Perbedaan pola jawaban justru ditemukan antara kelompok responden berdasarkan
tipe atapnya. Pemilik atap joglo yang rata-rata digunakan oleh golongan bangsawan
atau orang-orang dengan tingkat perekonomian, pengetahuan, dan tingkat pendidikan
yang lebih tinggi memiliki pola jawaban yang mencerminkan tingkat kapasitas yang
tinggi. Sebaliknya, atap kampung yang digunakan oleh masyarakat kebanyakan
memiliki pola jawaban yang mencerminkan tingkat kapasitas yang lebih rendah.
Berdasarkan pengolahan data hasil wawancara, tingkat kesadaran kelompok
masyarakat pada tipe atap joglo, limasan, cor atau dag, limasan ireguler, dan
kampung ireguler tergolong tinggi. Tingkat kesadaran yang rendah hanya terdapat
pada kelompok masyarakat tipe atap kampung. Rendahnya tingkat kesadaran ini
sangat dipengaruhi oleh rendahnya tingkat respon, pengetahuan, dan persepsi. Hasil
perhitungan sub variabel yang menyusun indek kesadaran dapat dilihat dalam Tabel 9
sebagai berikut.
Tabel 9 Hasil Perhitungan Tingkat Kesadaran Pada Setiap Tipe Atap Bangunan
Sub variabel Joglo Limasan Kampung Cor/ dag Limasan
ireguler
Kampung
ireguler
Respon 0,68 0,50 0,47 0,65 0,68 0,63
Pengetahuan 0,84 0,80 0,48 0,97 0,83 0,97
Persepsi 0,88 0,67 0,45 1,00 0,50 0,50
Informasi 1,00 1,00 0,82 1,00 1,00 0,97
Sumber: Pengolahan data primer, 2011
Kesiapsiagaan masyarakat dapat dilihat dari persiapan pada level rumah
tangga yang sudah dilakukan, keikutsertaan dalam organisasi kemasyarakatan, dan
keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan pelatihan kegempaan. Berdasarkan hasil
wawancara sebagian besar masyarakat Pleret belum melakukan persiapan untuk
menghadapi gempabumi yang mungkin terjadi kembali di masa yang akan datang.
Menurut Jimme (2006) faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kesiapsiagaan ini
adalah tingkat pendidikan, persepsi masyarakat, dan penguasaan terhadap sumber
daya. Ketiga faktor penyebab rendahnya tingkat kesiapsiagaan tersebut juga
15
ditemukan di daerah penelitian, namun juga dipengaruhi oleh faktor budaya yang
berkembang di kalangan masyarakat. Masyarakat di Kecamatan Pleret masih
memegang prinsip Jawa yaitu prinsip nrimo. Terbukti pada pemilik tipe atap joglo
yang dianggap sebagai golongan sosial kelas atas dengan tingkat pendidikan,
persepsi, dan penguasaan sumberdaya yang tinggi, ternyata tidak memiliki tingkat
kesiapsiagaan yang tinggi. Selain itu di kalangan masyarakat Pleret berkembang
anggapan bahwa jika melakukan persiapan untuk menghadapi gempabumi secara
tidak langsung dianggap meminta terjadi gempabumi. Tingkat kesiapsiagaan
masyarakat di Kecamatan Pleret dapat dilihat pada Tabel 10, sedangkan indek
kapasitas masyarakat dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 10 Hasil Perhitungan Tingkat Kesiapsiagaan Pada Setiap Tipe Atap Bangunan
Sub variabel Joglo Limasan Kampung Cor/ dag Limasan
ireguler
Kampung
ireguler
Persiapan 0,22 0,10 0,06 0,23 0,18 0,29
Pelatihan 0,09 0,10 0,08 0,08 0,09 0,19
Sosialisasi 0,17 0,23 0,15 0,28 0,15 0,36
Sumber: Pengolahan data primer, 2011
Tebel 11 Indek Kesadaran, Kesiapsiagaan, dan Kapasitas
Tipe Indek
kesadaran
Indek
kesiapsiagaan
Indek
kapasitas
Joglo 0,81 0,19 0,61
Limasan (Reguler) 0,67 0,14 0,52
Kampung (Reguler) 0,50 0,09 0,37
Cor atau dag 0,87 0,21 0,65
Limasan (Ireguler) 0,68 0,16 0,51
Kampung (Ireguler) 0,69 0,30 0,56
Sumber: Pengolahan data primer, 2011
Berdasarkan Tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa tingkat kapasitas paling
tinggi terdapat pada responden pemilik rumah tipe atap cor atau dag (0,65) dan yang
terendah terdapat pada responden pemilik rumah tipe atap kampung reguler (0,37).
Rendahnya tingkat kesiapsiagaan masyarakat menyebabkan indek kapasitas
mayoritas masyarakat menjadi sedang. Tingkat kapasitas rendah (pemilik rumah tipe
atap kampung) dikarenakan tingkat kesadaran pada kelompok masyarakat ini rendah.
Analisis risiko dilakukan pada seluruh bangunan tempat tinggal setelah
melalui proses generalisasi nilai kerentanan dan kapasitas dari sampel yang diambil.
Nilai risiko yang dihasilkan berkisar antara 0,20 – 0,43. Semakin tinggi nilai indek
16
yang dihasilkan maka akan semakin tinggi risiko yang mungkin ditimbulkan oleh
gempabumi. Nilai risiko rendah (0,20) merupakan nilai risiko yang mewakili tipe atap
joglo pada daerah kerawanan tinggi, sedangkan nilai risiko tinggi (0,43) mewakili
tipe atap kampung pada daerah kerawanan sedang dan tinggi. Nilai risiko ini
selanjutnya akan dimodifikasi dengan parameter kondisi lingkungan yaitu tingkat
kepadatan bangunan, kedekatan dengan jalan, dan kedekatan dengan pusat-pusat
pelayanan medis sehingga didapatkan nilai risiko final.
Unit bangunan yang memiliki risiko tinggi terkosentrasi di Desa Wonokromo
blok 18 (Dusun Ketonggo). Bangunan di blok-blok tersebut didominasi oleh
bangunan RM2 dengan tipe bentuk atap kampung, tingkat kapasitas daerah ini
tergolong rendah. Blok ini berada di dekat jalan arteri dengan kepadatan bangunan
sedang dan dekat dengan pusat pelayanan medis. Tingkat risiko tinggi ini lebih
disebabkan karena faktor kerawanan yang tinggi, rendahnya tingkat kapasitas, dan
tingkat kepadatan bangunan sedang.
Di Desa Pleret, unit bangunan yang memiliki risiko tinggi terkosentrasi berada
pada blok 9 (Dusun Keputren). Penyebab kerentanan tinggi pada blok 9 ini adalah
tingkat kerawanan yang tinggi, tingkat kapasitas yang rendah, dan kepadatan
bangunan sedang. Bangunan di dominasi oleh tipe struktur RM2 beratap kampung..
Blok ini memiliki tingkat kepadatan sedang yang berada dekat dengan jalan arteri dan
pusat pelayanan medis.
Unit bangunan yang memiliki tingkat risiko tinggi juga terdapat pada blok 5
Desa Bawuran dan Blok 5 Desa Segoroyoso. Seperti di Desa Wonokromo dan Pleret,
tingginya risiko di blok 5 Desa Bawuran (Dusun Bawuran Dua) dikarenakan oleh
tingginya tingkat kerawanan gempabumi, rendahnya tingkat kapasitas dan tingkat
kepadatan bangunan sedang. Bangunan tempat tinggal didominasi oleh tipe struktur
RM2 dengan atap kampung.
Di bagian selatan Dusun Jongkrang Segoroyoso (Blok 5) terdapat beberapa
unit bangunan yang tergolong ke dalam tingkat risiko tinggi. Tingginya tingkat risiko
ini lebih disebabkan oleh tingkat kerawanan gempabumi dan rendahnya tingkat
kapasitas. Kondisi ini akan diperparah dengan lokasi yang jauh dari jalan arteri,
kolektor, atau lokal, serta lokasi yang jauh dari pusat-pusat pelayanan medis.
17
Desa Wonolelo memiliki topografi yang berbukit dan sebagian besar berada
pada Formasi Semilir (perlapisan breksibatuapung dan tuf) yang indek seismiknya
tergolong rendah (tidak lebih dari 1,0). Kondisi ini berimbas pada tingkat risiko yaitu
rendah hingga sedang. Tingkat risiko sedang disebabkan karena rendahnya tingkat
kapasitas. Kondisi ini diperparah dengan lokasi yang berbukit dan jauh dari jalan
arteri, kolektor, atau lokal. Secara lebih lengkap peta tingkat risiko dapat dilihat pada
Gambar 4, 5, 6, 7, dan 8
IV. Kesimpulan dan Saran
Kecamatan Pleret dibagi menjadi tiga zona kerawanan yaitu kerawanan
rendah, sedang, dan tinggi. Zona kerawanan tinggi didominasi oleh material Endapan
Merapai Muda dengan indek seismik berkisar antara 7,00 – 13,8. Zona kerawanan
sedang didominasi oleh Aluvium hasil rombakan Formasi Semilir dan Formasi
Nglanggran. Pada zona ini indek seismik berkisar antara 2,1 – 3,8. Zona kerawanan
rendah terdapat pada Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran dengan indek seismik
relatif kecil yaitu tidak lebih dari 1.
Mayoritas bangunan tempat tinggal yang terdapat di Kecamatan Pleret
merupakan bangunan dengan struktur pasangan batu bata dengan perkuatan dan
diafragma kaku dengan nilai indek kerentanan bangunan berkisar 2,20 – 2,80. Nilai
ini menunjukkan struktur pasangan batu bata dengan perkuatan dan diafragma kaku
tergolong dalam bangunan tidak rentan. Bangunan tempat tinggal yang tergolong
rentan adalah tipe struktur pasangan batu bata dengan perkuatan, diafragma kaku, dan
bentuk ireguler (bentuk U, L, dan O). Indek kerentanan bangunan struktur ini berada
di bawah ambang batas kerentanan dengan nilai 1,70.
Kapasitas masyarakat terhadap gempabumi di Kecamatan Pleret masih
tergolong rendah. Terdapat kesamaan pola jawaban responden sesuai jenis atap
bangunannya. Tipe atap bangunan joglo dan cor atau dag memberikan respon yang
menunjukkan tingkat kapasitas masyarakat yang tinggi, sedangkan tingkat kapasitas
masyarakat rendah terdapat pada tipe atap kampung.
Tingkat Risiko Tinggi terdapat pada pada Desa Wonokromo blok 18 (Dusun
Kanggotan), Desa Pleret blok 9 (Dusun Keputren bagian timur), Desa Bawuran blok
5 (Dusun Bawuran Dua), dan Desa Segoroyoso blok 5 (Dusun Jongkrang bagian
selatan). Mayaoritas bangunan di Desa Wonokromo, Pleret, Bawuran, dan
18
Segoroyoso memiliki tingkat risiko sedang, sedangkan mayoritas tingkat risiko
rendah berada di Wonolelo
Peta tapak bangunan yang dihasilkan pada penelitian ini merupakan hasil
intepretasi visual citra Quickbird tahun 2010. Kesalahan dalam ekstraksi tapak
bangunan sangat mungkin terjadi terutama kesalahan pada perhitungan luasan tapak
bangunan. Menyadari kondisi tersebut perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan
menggunakan instrumen survei yang lebih akurat untuk menghasilkan peta tapak
bangunan yang lebih akurat baik secara spasial maupun temporal.
Survei kerentanan bangunan dilakukan pada bangunan tempat tinggal tanpa
mengikutsertakan fasilitas-fasilitas penting seperti sekolah, gedung perkantoran, dan
rumah sakit. Fasilitas-fasilitas umum tersebut dapat dijadikan sebagai tempat
pengungsian sementara yang aman dalam kondisi darurat. Perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut tentang kerentanan bangunan pada fasilitas-fasilitas umum tersebut untuk
perencanaan penentuan tempat pengungsian sementara. Survei kerentanan bangunan
yang dilakukan pada bangunan tempat tinggal mengacu pada pengamatan secara
visual di lapangan. Untuk itu perlu dilakukan kajian keteknikan yang lebih detil
mengenai struktur bangunan baik tempat tinggal maupun fasilitas umum mengingat
Kecamatan Pleret merupakan salah satu daerah rawan gempabumi.
Tingkat kesadaran, persiapan, dan kapasitas yang digambarkan dalam
penelitian ini berdasarkan atas hasil wawancara dengan menggunakan parameter dan
pertanyaan yang terbatas yang mungkin tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di
lapangan. Dengan demikian perlu dilakukan wawancara yang lebih dalam
menggunakan parameter yang lebih detil untuk menggambarkan tingkat kesadaran,
persiapan, dan kapasitas masyarakat di Kecamatan Pleret.
19
Gambar 5 Peta Risiko Gempabumi Desa Pleret,
Sumber: Pengolahan data, 2011
Gambar 4 Peta Risiko Gempabumi Desa Wonokromo
Sumber: Pengolahan data, 2011
Gambar 6 Peta Risiko Gempabumi Desa Segoroyoso
Sumber: Pengolahan data, 2011
20
Gambar 7 Peta Risiko Gempabumi Desa Bawuran
Sumber: Pengolahan data, 2011
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas. 2006. Preliminary Damage and Loss Assessment. Consultatif Group
Indonesia. Jakarta.
Bath, M. 1979. Introduction to Seismology,Second Edition. Birkhauser. Verlaag.
BPS. 2010. Pleret Dalam Angka. Badan Pusat Statistik (BPS). Yogyakarta
Carter. 1991. Disaster Management: A Disaster Manager’s Handbook,1. Asian
Development Bank. Manila Philippines.
FEMA. 2002. Rapid Visual Screening of Buildings for Potential Seismic Hazards: A
Handbook FEMA 154, Edition 2. The Federal Emergency Management Agency
(FEMA). Washington, DC.
Jimme. 2006. Seismic Vulnerability and Capacity Assessment at Ward Level A Case
Study of Ward No.20, Lalitpur Sub-Metropolitan City, Nepal. MSc Thesis, ITC.
Enschede, Netherland.
Ronald, A. 1997. Ciri-Ciri Karya Budaya Di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa:
Cetakan kedua. Penerbitan Universitas Atma Jaya. Yogyakarta
Santoso, S. 2003. Studi Potensi Bahan Galian Sebagai Bahan Baku Industri Keramik
di Kabupaten Blitar Bagian Selatan (Ditinjau Dari Aspek Geologi dan
Geomorfologi). Skripsi S-1. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No 403/KPTS/M/2002
tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs SEHAT).
Gambar 6 Peta Risiko Gempabumi Desa Wonolelo
Sumber: Pengolahan data, 2011
Recommended