View
52
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
Penentuan klorofil
Citation preview
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepulauan seribu terdiri atas 110 pulau, dan 11 diantaranya yang dihuni
penduduk. Pulau-pulau lainnya digunakan untuk rekreasi, cagar alam, cagar
budaya dan peruntukan lainnya. Luas Kepulauan Seribu kurang lebih 108.000 ha,
terletak di lepas pantai utara Jakarta dengan posisi memanjang dari Utara ke
Selatan yang ditandai dengan pulau-pulau kecil berpasir putih dan gosong-gosong
karang. Pulau Untung Jawa merupakan pulau berpenghuni yang paling selatan
atau paling dekat dengan jarak 37 mil laut dari Jakarta. Sedangkan kawasan paling
utara adalah Pulau Dua Barat yang berjarak sekitar 70 mil laut dari Jakarta
(Ayuningtyas, 2008).
Kepulauan Seribu, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai data
primer. Distribusi spasial karakteristik habitat dasar perairan dangkal diolah dari
citra satelit menggunakan beberapa pendekatan seperti komposit Band dan
penajaman citra dengan algoritma Depth Invariant Index dan Self Organising Map
(Asmadin, dkk., 2011).
Kedalaman perairan di Kepulauan Seribu sangat bervariasi, dimana
beberapa lokasi mencatat kedalaman hingga lebih dari 70 meter, seperti lokasi
antara P. Gosong Congkak dan P. Semak Daun pada posisi 106°35’00” BT dan
05°43’08” LS dengan kedalaman 75 meter. Setiap pulau umumnya dikelilingi
oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari
pulau yang bersangkutan dengan kedalaman kurang dari 5 meter (Ayuningtyas,
2008).
Kemampuan potensial suatu perairan untuk menghasilkan sumberdaya
alam hayati ditentukan oleh kandungan produktivitas primernya. Produktivitas
primer adalah banyaknya zat organik yang dihasilkan dari zat anorganik melalui
proses fotosintesis dalam satuan waktu dan volume air tertentu. Pengetahuan
mengenai kandungan klorofil fitoplankton di suatu perairan apabila dilengkapi
dengan data cahaya dapat digunakan untuk menghitung produktivitas primernya
(RYTHER & YENTSCH; SAIJO & ICHIMURA dalam RIYONO, 1989).
1
Fitoplankton merupakan salah satu komponen penting dalam suatu
ekosistem karena memiliki kemampuan untuk menyerap langsung energi matahari
melalui proses fotosintesa guna membentuk bahan organik dari bahan-bahan
anorganik yang lazim dikenal sebagai produktivitas primer. Salah satu pigmen
fotosintesa yang paling penting bagi tumbuhan khususnya fitoplankton adalah
klorofil a. Produktivitas primer sangat tergantung dari konsentrasi klorofil. Oleh
karena itu, kadar klorofil dalam volume air tertentu merupakan suatu ukuran bagi
biomasa fitoplankton yang terdapat dalam perairan. Dengan demikian klorofil
dapat digunakan untuk menaksir produktivitas primer suatu perairan (Nybakken,
1988 dalam Widyorini, 2009).
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai salah asatu syarat untuk mengikuti Ujian Tengah Semester untuk Mata
Kuliah Manajemen Sumberdaya Perairan.
2. Sebagai pembelajaran bagi mahasisawa/mahasiswi mengenai daya dukung dan
produksi primer perairan melalui parameter klorofil
2
DAYA DUKUNG PERAIRAN DANGKAL( Mansur,W., Mukhlis,M., dan Majariani,K. 2013)
Perairan dangkal di bentang laut tropis memiliki ekosistem khas yang
umumnya terdiri dari terumbu karang, padang lamun, pasir, lumpur dan hutan
mangrove. Ekosistem lain di wilayah pesisir yang juga penting secara
geomorfologi dan ekologi adalah goba atau lagoon, yang umumnya memiliki
substrat dasar berupa pasir. Survei lapangan untuk memetakan secara rinci seluruh
habitat di perairan dangkal pada umumnya sulit dan memerlukan upaya dan biaya
yang tinggi karena kapal pemeruman yang menggunakan echosounder tidak dapat
masuk ke perairan dangkal yang berbahaya, oleh karena itu, teknologi
penginderaan jauh (inderaja) satelit seringkali digunakan untuk keperluan tersebut
karena efektif dan efisien (Siregar, 2010).
Perairan dangkal Pulau Semak Daun di Kepulauan Seribu memiliki luas
315,19 ha. Kawasan perairan dangkal tersebut terdiri atas lima goba seluas 33,3 ha
dan reeflat seluas 281,89 ha. Kawasan perairan potensial seluas 2 ha dapat
digunakan untuk sistem sekat (enclosure), 9,99 ha untuk keramba jaring
apung/KJA (cage culture), 40,7 ha untuk sistem kandang (pen culture), dan
262,31 untuk long line. Sementara, kawasan potensial untuk sea ranching
meliputi semua kawasan, selain kawasan untuk sistem sekat dan sistem kandang.
Kawasan peairan dangkal yang potensial untuk budidaya perikanan menunjukkan
daerah tersebut memiliki ekosistem terumbu karang yang baik sehingga Pulau
Semak Daun dapat juga dikembangkan kegiatan wisata bahari. Sejak tahun 2004
di perairan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, mulai digalakkan sea farming
yang dikelola oleh masyarakat lokal. Sea farming adalah sistem pemanfaatan
ekosistem perairan laut berbasis marikultur dengan tujuan untuk meningkatkan
stok sumberdaya ikan (fish resources enhancement) bagi keberlanjutan perikanan
tangkap dan aktivitas berbasis kelautan lainnya seperti ekowisata bahari. Potensi
sumber daya alam yang dimiliki perairan Pulau Semak Daun yaitu keindahan
alam dengan kekhasan tersendiri, telah mendorong kawasan Kepulauan Seribu
menjadi daerah tujuan wisata bahari (Purnomo dkk., 2013).
3
a. Pendugaan Daya Dukung Melalui Pendekatan Beban Limbah N
Limbah buangan dari aktifitas budidaya mengakibatkan terjadinya
pengkayaan nutrien (Hipernutrifikasi) di perairan. Level hipernutrifikasi ukan
oleh volumeditent badan air, laju pembilasan (flushing rate) dan fluktuasi pasang
surut (Gowen et al., 1989 in Barg, 1992), memberikan persamaan estimasi
sebagai berikut :
Ec = N x F/V
Keterangan :
Ec = Konsentrasi limbah/level hipernutrifikasi (mg/l)
N = output harian dari limbah nitrogen terlarut (limbah internal dan eksternal)
F = flushing time dari badan air (hari)
V = volume badan air (L)
Flushing time ditentukan dengan menggunakan formula :
F = 1 / D
Laju pengeceran (dilution) D, dapat dihitung dengan metode pergantian
pasang yaitu :
D = (Vh – Vl) / T x Vh
Keterangan :
(Vh – VI) = volume pergantian pasang
Vh = volume air dalam badan air saat pasang tertinggi (m3)
VI = volume air dalam badan air saat surut (m3)
T = periode pasang dalam satuan hari
Perhitungan Volume Badan Air, diukur pada saat pasang tertinggi
(MHWS (Mean High Water Spring), dan pada saat surut terendah MLWS (Mean
Low Water Spring) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
Vh = A.h1 dan Vl = A.h0
Keterangan :
A = luas perairan (m2)
h1 dan h0 = kedalaman perairan saat pasang tertinggi dan surut terendah
Vh = Volume air pada saat pasang tertinggi
V1 = Volume air pada saat surut terendah
Vh – Vl = perubahan volume karena efek pasut.
4
Perhitungan selanjutnya adalah menghitung konsentrasi [Nlp] hasil
pengkayaan nutrient ini dihubungkan dengan nilai nitrogen (Ammonia (NH3N)
baku mutu perairan untuk budidaya (Kep-51/MENLH/2004) untuk mendapatkan
nilai kapasitas optimal produksi budidaya (Prodopt) dengan pengertian bahwa
nilai konsentrasi [Nlp] berasal dari limbah produksi ikan (per unit rakit KJA) dan
antropogenik tidak melebihi baku mutu, maka produksi optimal dapat diduga
dengan persamaan sebagai berikut :
(Prodopt) (ton) = [Nbm]
[Nlp]
Keterangan :
[Nbm] = [N] baku mutu perairan untuk budidaya (0,3 – 1 ppm) selang konsentrasi
Ammonia (NH3N) yang dipersyaratkan.
[Nlp] = Konsentrasi [N] limbah produksi ikan antropogenik hasil pengkayaan
nutrient.
b. Hasil Pendugaan Daya Dukung Melalui Pendekatan Beban Limbah N
Pendugaan daya dukung lingkungan perairan Pulau Semak Daun bagi
pengembangan KJA ikan kerapu dilakukan dalam 2 (dua) pendekatan analisis,
yaitu (1) Pendekatan analisis pada beban limbah total N dan (2) Pendekatan
analisis pada ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan teluk dan limbah bahan
organik. Beberapa parameter yang menjadi acuan penduga daya dukung antara
lain :
1. Luas perairan pulau Semak Daun = 315,19 ha
2. Volume air pasang tertinggi (V pasang) = 3.467.090 m3
3. Volume air surut terendah (V surut) = 1.260.760 m3
4. Flushing time = 0,8 hari
5. Rataan konsentrasi oksigen terlarut dalam kondisi stready state = 7 ppm
6. Konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan dalam sistem budidaya : 4 ppm,
diambil dari level kritis oksigen (pembulatan dari 3,6 ppm dari hasil penelitian)
dan Lee et al. (2001) in Rachmansyah, (1997).
7. Food consumption oxygen (FCO) 0,2 kg O2 (Willoughby 1968 in Meade 1989;
Boyd 1990).
5
8. Total bahan organik = 1,178.1 kg
9. Total beban N = 243,9 kg/1,08 ton ikan
10. Total beban P = 54,1 kg/1,08 ton ikan
11. Produktivitas ikan kerapu = 237,6 kg/keramba
Flushing time = 0,8 hari
F = 1D
D= 10,8 hari
D = 1,25 Maka, Laju pengenceran (dilution) adalah 1,25
Volume air pasang tertinggi (Vh) = 3.467.090 m3
Volume air surut terendah (V1) = 1.260.760 m3
Laju pengenceran (dilution)
D=(Vh−Vl)
T xVh
1,25=(3.467 .090−1.260 .760)
T x 3.467 .090
T=4.333 .862,52.206 .330
T = 0,51Maka, Periode pasang dalam satuan hari adalah 0,51
Luas perairan pulau Semak Daun (A) = 315,15 haVh = A x h13.467 .090= 315,15 x hlhl = 11.000maka, kedalaman perairan saat pasang tertinggi adalah 11.000
Vl = Ax h01.260.760 = 315,19 x h0h0 = 4.000maka, kedalaman perairan saat surut terendah adalah 4.000
Pendugaan daya dukung perairan pulau Semak Daun dengan pendekatan
beban limbah N didasarkan pada beban limbah N baik yang berasal dari kegiatan
6
budidaya KJA ikan kerapu maupun yang berasal dari aktivitas antrophogenik di
daratan (upland) sekitar perairan. Beban limbah yang berasal dari kegiatan
budidaya sebesar 243,9 kg N dan 54,1 kg P beban limbah, dan dari aktivitas
antropogenik di daratan (upland) sebesar 8.451,22 kg N dan 3.528,97 kg P per
tahun.
Berdasarkan formula yang dikembangkan oleh Barg (1992) untuk
perhitungan nutrient loading N, hasil yang diperoleh bahwa konsentrasi N yang
masuk ke perairan adalah 0,0073 mg/l. Nilai N ini selanjutnya dihubungkan
dengan nilai N baku mutu perairan untuk budidaya (Kementrian Lingkungan
Hidup, 2004), untuk mendapatkan nilai kapasitas optimal produksi budidaya
(Popt) dengan pengertian bahwa nilai konsentrasi (N) berasal dari limbah
produksi 1,08 ton kerapu ditambah dengan nilai N akibat masukan kegiatan
antropogenik, maka produksi optimal (Popt) dapat diduga untuk setiap hektar
lahan budidaya adalah 41,09 unit. Dan jika dikalikan dengan 1,08 ton produksi
ikan maka hasil yang didapat adalah 44,37 ton.
Dari hasil perhitungan pendugaan daya dukung, perairan pulau Semak
Daun mampu menunjang produksi optimal adalah sebesar 44,37 ton. Bila
dikonversi kepada jumlah unit yang dapat dibudidayakan adalah 1 unit terdiri dari
6 keramba berukuran 3 x 3 x 2,5 meter dengan tingkat produktivitas sebesar 237,6
kg /keramba, maka dalam 1 unit keramba berproduksi 1.4 ton, jumlah unit yang
dapat dikelola adalah sebanyak 31,7 unit (dibulatkan 32 unit KJA) atau (192 petak
KJA). Dari luasan 9,99 ha yang sesuai untuk kegiatan KJA, hanya 2 ha luasan
yang diperkenankan untuk dijadikan sebagai kegiatan KJA berdasarkan nilai daya
dukung melalui pendekatan beban limbah N.
7
PRODUKSI PRIMER PERAIRAN MELALUI KLOROFIL(Riyono, 2006)
FUSILER (dalam DEPKES, 1987) mengemukakan bahwa rasio
perbandingan antara klorofil fitoplankton dengan biomassa dapat dijadikan
petunjuk kualitas (pencemaran) suatu perairan. Untuk menentukan kandungan
klorofil fitoplankton di suatu perairan pada saat tertentu, telah dikembangkan
berbagai metode dari yang paling sederhana sampai yang cukup kompleks.
Pengukuran klorofil fitoplankton di laut pertama kali diperkenalkan oleh
HARVEY (1934) dengan menggunakan metode kolorimetri. Metode ini
sederhana dan tidak memerlukan biaya mahal, namun memiliki kelemahan karena
pengukuran untuk menentukan kesamaan warna antara larutan ekstrak klorofil
dengan larutan standar dilakukan secara visual. Pengukuran dengan metode ini
kurang akurat karena hasilnya sangat ditentukan oleh subyektivitas si pengamat
dan nilai yang dihasilkan belum memiliki satuan absolut.
Dalam perkembangan selanjutnya RICHARDS & THOMPSON (1952)
menemukan metode spektrofotometric. Metode ini pertama kali diperkenalkan
masih menggunakan satuan μSPU (mikro Specified Pigment Unit), metode ini
kemudian mengalami modifikasi dengan ditemukannya satuan absolut yaitu
mg/m3 atau μg/L (STRICKLAND & PARSONS, 1968; JEFFREY &
HUMPHREY, 1975).
Metode spektrofotometri memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode
kolorimetri karena pengukuran sudah menggunakan alat (spektrofotometer). Hasil
pengukuran lebih akurat, dapat menentukan jenis-jenis klorofil (klorofil-a, -b, -c1
dan -c2) dan telah memiliki satuan absolut. Kelemahan dari metode
spektrofotometri karena sensitifitas alat (spektrofotometer) rendah sehingga dalam
proses penyaringan memerlukan volume air yang besar. Selain hal tersebut,
metode spektrofotometri tidak dapat membedakan antara klorofil dengan hasil
dekomposisinya sehingga hasil pengukuran lebih tinggi dari nilai yang
sebenarnya.
8
Gambar 1. Spektrofotometer alat pengukuran klorofil fitoplankton
Metode spektrofotometri dalam pengukuran klorofil fitoplankton adalah
yang paling populer digunakan. Dalam metode ini panjang gelombang yang
digunakan dapat diatur menurut keperluan dan penyerapannyapun dapat diukur.
Larutan yang diperiksa dimasukkan dalam cuvette atau absorption cell dan
diletakkan dalam lintasan cahaya di dalam spektrofotometer. Penyerapan (log I0 –
log I) pada gelombang tertentu dapat ditentukan secara elektrik. Prinsip yang
digunakan dalam metode ini didasarkan pada hukum Lambert dan Beer, yaitu
penyerapan pada gelombang cahaya tertentu merupakan fungsi dari kadar zat
yang terlarut, koefisien penyerapan dan panjang lintas cahaya (path length) dalam
cuvette.
Ketelitian dalam metode spektrofotometri ini ditentukan oleh beberapa
faktor yakni :
a. Panjang gelombang (ë) dan half-value band-width (lebar spektrum pada
setengah dari intensitas penyinaran maksimum). Makin sempit band-width nya
akan semakin teliti, sedangkan spektrofotometer yang baik dapat bekerja dengan
band-width sebesar 3 – 4 nm.
b. Kadar zat terlarut yang diperiksa. Kadar yang sangat rendah memiliki akurasi
yang rendah, demikian pula sebaliknya.
c. Koefisien penyerapan pada panjang gelombang yang digunakan.
d. Panjang lintas cahaya dalam cuvette (pathlength). Path-length yang panjang
dapat mengukur dengan lebih teliti.
Penentuan kadar klorofil pada fitoplankton laut dengan metode
spektrofotometri didasarkan pada metode yang digunakan oleh RICHARDS &
9
THOMPSON (1952). Berbagai modifikasi tentang prosedur dan rumus
penghitungan kemudian dikembangkan di berbagai negara disesuaikan dengan
kondisi setempat, perkembangan terakhir misalnya modifikasi yang diajukan oleh
DAVIS (1957), KREY (1958), TALLING & DRAVER (1961), UNESCO (1966),
STRICKLAND & PARSONS (1968) dan JEFFREY & HUMPHREY (1975).
Prinsip metode spektrofotometri
Prinsip metode untuk pengukuran klorofil secara spektrofotometri
didasarkan pada penyerapan maksimum oleh ekstrak klorofil dalam aceton di
daerah spektrum merah (panjang gelombang 630 – 665 nm). Penyerapan
maksimum untuk klorofil-a, -b dan -c terjadi pada tiga panjang gelombang, yaitu
665, 645 dan 630 nm (trichromatic). Beberapa tahapan yang perlu mendapat
perhatian adalah dari saat proses pengambilan contoh air, penyaringan,
penyimpanan sampel, ekstraksi sampai dengan pengukuran agar dihindarkan dari
cahaya secara langsung. Cahaya yang intensitasnya terlalu kuat akan merusak
klorofil dalam reaksi yang disebut photo oxidation (NONTJI, 1973). Modifikasi
dari beberapa metode tersebut diringkaskan sebagai berikut.
a. Pengambilan Contoh (Sample)
Pengambilan contoh fitoplankton dapat dilakukan dari lapisan permukaan
laut maupun lapisan di bawahnya dengan berbagai alat, diantaranya adalah Van
Dorn (Gambar 2). Volume yang diambil umumnya berkisar 5–10 liter. Pada
perairan neritik (dekat pantai), volume air yang diperlukan relatif lebih sedikit
daripada perairan oseanik karena pada umumnya perairan neritik relatif keruh
sehingga kertas saring yang digunakan akan cepat tersumbat.
10
Gambar 2. Van Dorn (water sampler) alat pengambilan contoh air
b. Penyaringan
Contoh air yang telah diambil, sebelum dapat dilakukan penyaringan dapat
disimpan dalam almari es. Cara ini contoh air untuk penentuan klorofil dapat
bertahan selama 1 hari sampai proses penyaringan dapat dilakukan (HERVE &
HEINONEN 1982), sedangkan menurut WEBER et al., (dalam CARLSON &
SIMPSON, 1996) contoh air tersebut dapat bertahan sampai 18 hari tanpa
mengalami perubahan yang signifikan. Namun contoh air yang disimpan dalam
suhu ruang (20 oC) akan berkurang 50 % dalam waktu 5 hari. Walau demikian
disarankan agar segera disaring karena perubahan suhu dapat berpengaruh secara
langsung terhadap contoh air, yakni mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam
proses fotosintesis.
Berbagai sistem penyaringan dapat digunakan, salah satu alat saring yang
efisien adalah seperti tampak pada Gambar 3. Jenis saringan (filter) yang
digunakan bermacammacam. Millpore Filter jenis HAWP (ukuran pori 0,45 μm)
mempunyai daya saring yang baik, bahannya terbuat dari cellulose-ester dan
mudah larut dalam aceton. Filter jenis tersebut memiliki pori-pori yang sangat
halus sehingga proses penyaringan berlangsung lambat. Glassfibre adalah filter
jenis lain yang mempunyai daya saring lebih kasar karena tidak mempunyai
ukuran pori tertentu, tetapi penyaringan dapat berlangsung lebih cepat sehingga
volume air yang disaring cukup besar. Berbagai saringan jenis lain dapat pula
11
digunakan sesuai dengan sasaran fitoplankton yang akan disaring. Untuk
memperlancar penyaringan maka di bagian bawah saringan diberikan tekanan
vacuum dengan menggunakan pompa hisap yang tekanan hisapnya tidak lebih
dari 30 cm Hg.
Gambar 3. Alat saring
c. Penambahan magnesium carbonate (MgCO3)
Magnesium carbonate (MgCO3) ditambahkan pada sampel selama
penyaringan berlangsung, dapat berupa tepung maupun suspensi. Penambahan ini
tidak bersifat kuantitatif dan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
pengasaman yang dapat memecahkan klorofil dengan membentuk phaeophytin.
Menurut HUMPHREY & WOOTTON (1966), penambahan MgCO3 dapat pula
memperlancar penyaringan, oleh karena itu disarankan agar penambahan MgCO3
sebaiknya dilakukan pada permulaan penyaringan.
d. Penyimpanan contoh
Filter hasil penyaringan yang telah mengandung fitoplankton (sampel)
agar disimpan dalam tempat gelap dan segera dikeringkan dengan silica-gel dalam
desikator aluminium pada suhu rendah (-20oC). Cara ini sampel untuk penentuan
klorofil dapat bertahan sampai 30 hari sampai proses ekstraksi dapat dilakukan
(PARSONS et al., 1984). Sejalan dengan hal tersebut RICHARD (2000)
melaporkan bahwa sampel yang disimpan dalam freezer (-20oC) dapat diawetkan
sampai kurang lebih 3 ½ minggu tanpa mengalami perubahan yang nyata, namun
lebih baik langsung mengekstraknya. Pengawetan sampel pada suhu rendah
tersebut dimaksudkan untuk menjaga agar sampel dalam kondisi segar (fresh) dan
mencegah aktivitas fitoplankton yang terdapat dalam sampel tersebut sehingga
hasil pengukuran menggambarkan nilai yang sebenarnya.
12
e. Ekstraksi
Contoh (sample) diekstrak dalam pelarut aceton 90 %. Sampel yang telah
diekstrak sebelum dapat dilakukan pengukuran dapat disimpan dalam almari es
pada suhu (< 4 oC) selama ± 20 – 50 jam (STRICKLAND & PARSONS, 1968),
tetapi RICHARD (2000) berpendapat bahwa sampel yang telah diekstrak dapat
disimpan antara 2 – 24 jam. Bila filter yang digunakan terbuat dari membram
selulosa maka filter tersebut segera larut dalam aceton, sedang filter yang terbuat
dari glass-fibre tidak dapat larut maka perlu dihancurkan dengan cara menggerus
(ground). Penggerusan dengan tissue-grinder hanya membutuhkan waktu 5 – 10
menit dan memberikan hasil yang baik karena dapat memecah sel-sel hingga
mempercepat proses ekstraksi (KERR & SUBBA-RAO, 1966). Akibat yang
serupa dapat pula dicapai dengan memberikan perlakukan ultrasonic (misalnya
dengan 10 MHz atau 1000 kc) terhadap sampel yang diekstrak (SCIENCE
COUNCIL OF JAPAN dalam NONTJI, 1973).
f. Pengukuran penyerapan
Larutan yang telah diekstrak, dicentrifuge dengan putaran 4000 rpm
selama kurang lebih 30-45 menit, kemudian diukur penyerapannya dengan
menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang tertentu.
RICHARDS & THOMPSON (1952) menggunakan panjang gelombang 750, 665,
645 dan 630 nm. Panjang gelombang 750 nm adalah untuk koreksi terhadap
kekeruhan (turbiditas) karena pada panjang gelombang tersebut tidak ada
penyerapan yang disebabkan oleh klorofil.
Panjang gelombang 665, 645 dan 630 nm masing-masing adalah panjang
gelombang dimana terjadi penyerapan maksimum dari klorofil-a, -b dan -c dalam
aceton 90 %. Gambar 5, menunjukkan penyerapan maksimum dari klorofil-a, -b
dan -c dalam larutan ether (BOGORAD, 1962).
g. Penghitungan
Penyerapan pada panjang gelombang 665, 645 dan 630 nm dikurangi
dengan penyerapan pada panjang gelombang 750 untuk koreksi terhadap
13
kekeruhan. Kadar klorofil yang telah diekstrak dapat dihitung dengan rumus
tertentu, misalnya rumus RICHARDS & THOMPSON (1952) :
Chl.-a = 15,6 E665 – 2,0 E645 – 0,8 E630 μg/ml
Chl.-b = 25,4 E645 – 4,4 E665 – 10,3 E630 μg/ml
Chl.-c = 109 E630 – 12,5 E665 – 28,7 E645 μSPU/ml
E, adalah penyerapan pada panjang gelombang yang bersangkutan
(misalnya E665 = penyerapan pada gelombang 665 nm). Berdasarkan rumus
tersebut klorofil-c dinyatakan dalam satuan μSPU (mikro Specified Pigment Unit).
Untuk menghitung kadar klorofil pada sampel air laut (dalam satuan μg/l atau
mg/m3) maka nilai di atas dikalikan dengan faktor (k) :
k = Va
Vs x d
Dimana,
Va = volume ekstrak, ml
Vs = volume sampel air laut yang disaring, liter
d = lebar kuvet, path length (cm)
Untuk mempercepat penghitungan maka DUXBURY & YENTSCH
(1956) dan STRICKLAND & PARSONS (1968) membuat nomograph untuk
masing-masing rumus RICHARDS & THOMSON dan STRICKLAND &
PARSONS.
h. Berbagai penggunaan rumus
Penentuan klorofil dengan metode spektrofotometri didasarkan pada
penyerapan maksimum dari tiga panjang gelombang (trichromatic). Masing–
masing merupakan penyerapan maksimum untuk klorofil-a, -b dan -c di daerah
spektrum merah. Adanya overlapping penyerapan antara ketiga jenis klorofil
tersebut maka untuk melakukan penghitungan dari masing-masing klorofil
dibuatlah rumus-rumus dimana factor overlapping tersebut dikoreksi. Dalam
perkembangannya kemudian muncul beberapa versi rumus penghitungan klorofil-
a, -b dan –c seperti tercantum dalam Tabel 1, 2 dan 3.
Pada fitoplankton laut, klorofil –a dijumpai dalam jumlah terbesar
(dominan) dibandingkan dengan klorofil-b dan –c, sehingga beberapa peneliti
14
membuat rumus untuk klorofil -a yang didasarkan pada penyerapan pada satu
gelombang saja (monochromatic). Klorofil-c pada rumus yang diajukan oleh
RICHARDS & THOMPSON (1952) masih menggunakan satuan arbitrary (SPU)
tetapi rumus-rumus seperti UNESCO (1966) dan STRICKLAND & PARSONS
(1968) telah menggunakan satuan absolut, misalnya mg/m3.
i. Perbedaan klorofil dari hasil dekomposisinya
Salah satu kelemahan dalam pengukuran klorofil dengan metode
spektrofotometri adalah karena klorofil dan hasil dekomposisinya masih sulit
dibedakan, keduanya menyerap cahaya pada spektrum merah. Apabila hasil-hasil
dekomposisi klorofil yang oleh YENTSCH & MENZEL (1963) disebut sebagai
phaeophytin group, merupakan komponen yang besar maka dengan sendirinya
hasil pengukuran klorofil akan lebih tinggi dari yang sebenarnya.
Klorofil -a mudah berubah menjadi phaeophytin dengan menambahkan
asam lemah, misalnya dengan HCl 1 N, akibatnya sampel klorofil tersebut
penyerapannya akan berkurang, sedangkan phaeophytin tidak mengalami
pengurangan penyerapan. Berkurangnya penyerapan ini disebabkan lepasnya
ikatan klorofil dengan atom Mg, sedangkan atom Mg bereaksi dengan HCl
menjadi MgCl2.
Tabel 1. Berbagai rumus untuk menghitung klorofil-a dengan pelarut aceton
90%.
Sumber Rumus
RICHARDS & TOMPSON (1952) Klor-a = 15,6E665 –2E645 –0,8E630
DAVIS (1957) Klor -a = 14,9E665
ODUM et al. (1958) Klor -a = 14,3E665
HUMPHREY (1961) Klor -a = 15,6E665 –1,8E645 –1,3E630
TALLING & DRAVER (1961) Klor -a = 11,9E665
KERR & SUBBA-RAO (1966) Klor -a = 13,4E663 –0,3E630
UNESCO (1966) Klor -a = 11,64E6653–2,16E645 –0,1E630
STRICKLAND& PARSONS (1968) Klor -a = 11,6E665 –1,31E645 –0,14E630
15
Tabel 2. Berbagai rumus untuk menghitung klorofil-b dengan pelarut aceton
90%.
Sumber Rumus
RICHARDS & TOMPSON (1952) Klor -b = 25,4E645 –4,4E665 –10,3E630
UNESCO (1966) Klor -b = 20,97E645 –3,94E663 –3,66E630
STRICKLAND & PARSONS
(1968)Klor -b = 20,7E645 –4,34E665 –4,42E630
Sifat klorofil-a yang mudah berubah menjadi phaeophytin dan
penyerapannya mengalami pengurangan dengan penambahan asam tersebut
adalah prinsip yang digunakan untuk menentukan klorofil dalam sampel
fitoplankton yang mengandung phaeophytin. LORENZEN (1967) mengajukan
rumus seperti berikut :
Klorofil-a (mg/m3) = 26,7 (665b – 665a) x Ve
Vs x d
dimana;
665b= penyerapan pada panjang gelombang 665 nm sebelum penambahan asam
665a= penyerapan pada panjang gelombang 665 nm setelah penambahan asam
Ve = volume aceton yang digunakan dalam ekstraksi, ml
Vs = volume air yang disaring, liter
d = lebar kuvet, path-length (cm).
16
PENUTUP
Kesimpulan
Melalui pendekatan beban limbah N, perairan pulau Semak Daun mampu
menunjang produksi optimal adalah sebesar 44,37 ton dengan jumlah unit yang
dapat dikelola adalah sebanyak 32 unit keramba jaring apung (192 petak keramba)
atau 2 ha dari 9,99 ha luasan area yang di tetapkan sebagai area yang sesuai untuk
kegiatan KJA di perairan Semak Daun.
Berdasarkan analisis daya dukung untuk pengembangan KJA ikan kerapu,
dengan pendekatan beban limbah N diperoleh hasil bahwa yang menjadi acuan
untuk daya dukung perairan Semak daun untuk pengembangan KJA adalah hasil
nilai terkecil yaitu 28 unit (168 petak KJA) atau 1,6 ha dari 9,99 ha luasan area
yang di tetapkan sebagai area yang sesuai untuk kegiatan KJA di perairan Semak
Daun. Jumlah tersebut merupakan jumlah optimal yang diharapkan dapat
mengurangi beban limbah organik dari KJA yang masuk ke perairan sehingga
akan menciptakan kondisi ideal bagi ekosistem terumbu karang dan mengurangi
laju pertumbuhan makroalga. Faktor nutrien mempunyai pengaruh yang cukup
besar terhadap persentase tutupan makroalga dan tutupan karang hidup oleh
karena itu pengelola lebih memperhatikan isu kualitas perairan ini agar kegiatan
Sea Ranching dapat berjalan optimal dan berkelanjutan.
Metode spektrofotometri memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode
kolorimetri karena pengukuran sudah menggunakan alat (spektrofotometer). Hasil
pengukuran lebih akurat, dapat menentukan jenis-jenis klorofil (klorofil-a, -b, -c1
dan -c2) dan telah memiliki satuan absolut. Kelemahan dari metode
spektrofotometri karena sensitifitas alat (spektrofotometer) rendah sehingga dalam
proses penyaringan memerlukan volume air yang besar.
Saran
Disarankan bagi pembaca yang masih ingin mendapatkan informasi lebih
dalam lagi dari isi makalah ini, untuk mencari jurnal-jurnal yang terkait. Hal ini
disarankan mengingat masih minimnya penjelasan mengenai penggunaan rumus-
rumus yang terdapat dalam makalah ini.
17
DAFTAR PUSTAKA
Asmadin., Vincentius, P.S., dan Antonius, B.W. 2011. Pengelompokan Habitat Dasar Perairan Dangkal Berbasis Satelit Quickbird Menggunakan Algoritma Self Organising Map. Jurnal Aquasains Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan.
Ayuningtyas, R. 2008. Karakteristik Fisik Pantai. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universiras Indonesia, Bandung.
Bogorad, D.L. 1962. Chlorophyll. In: Physiology and Biochemistry of Algae. (R. LEWIN ed.). Academic Press, New York: 3-23.
Carlson, R.E. and J. Simpson 1996. Chlorophyll Analysis. North American Lake Management Society: 96 pp.
Davis, F.S. 1957. A method for determination of chlorophyll in seawater. CSIRO – Austr. Div. Fish. and Oceanogr. Rep. 7 :1-8.
Depkes 1987. Kualitas air sungai yang digunakan sebagai sumber air minum di DKI. Depkes, Jakarta: 31 hal. DUXBURY, A.C. and C.S. YENTSCH 1956. Plankton pigment monographs. J. Mar. Res. 15 : 92-101.
Herve, S. and P. Heinonen 1982. Some factors effectin the determination of chlorophyll-a in algal samples. Ann. Bot. Pennici 19 : 211-217.
Harvey, H.W. 1934. Measurement of phytoplankton population. Ass. UK. Journ. Mar. Biol. 19 : 761–763.
Humphrey, G.F. 1961. Phytoplankton pigments in the Pacific Ocean. Proc. Conf. Primary Productivity Measurement, Marine and Freshwater. US. Atomic Energy Commission, Div. Tech. Inform. 7633 : 121–141.
Humphrey, G.F. and M. Wotton 1966. Comparison of techniques used in the determination of photosynthetic pigment in seawater. Unesco monographs on Oceanographic Metodology 1 : 37–83.
JEFFREY, S.W. and M.B. ALLEN 1967. A paper chromatographic method for the separation of phytoplankton pigment at the sea. Limnol. and Oceanogr. 12 : 533– 537.
Jeffrey, S.W. and G.F. Humphrey 1975. New spectrophotometric equations for determining chlorophylls a, b, c1 and c2 in higher plants, algae and natural phytoplankton. Biochem. Physiol. Pflance. 167 : 191–194.
18
Kerr, J.D. and D.V. Subba-Rao 1966. Extraction of chlorophyll-a from Nitschia closterium by grinding. Determination of photosinthetic pigments in seawater. Unesco Monographs on Oceanographic Methodology 1: 66-69.
Krey, J. 1958. Chemical method of estimating standing crop of phytoplankton. Rapp. et Proc. Verb. 144 : 20–27.
LORENZEN, C.J. 1967. Determination of chlorophyll and phaeopigments. Spectrophotometric equations. Limnol. and Oceanogr. 12 : 343–346.
Mansur, W., Mukhlis, K., dan Majariani, K. 2013. Estimasi Limbah Organik Dan Daya Dukung Perairan Dalam Upaya Pengelolaan Terumbu Karang Di Perairan Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu. Jurnal Depik.
Nontji, A. 1973. Kandungan klorofil pada fitoplankton laut. Skripsi Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta : 50 hal.
Odum, H.T.; W. Mc Connell and W. Abbot 1958. The chlorophyll-a of communities. Pub. Inst. Univ. Texas. Mar. Sci. 5 : 65– 96.
Parsons, T.R.; Y. Maita and C.M. Lailli 1984. A Manual of Chemical and Biological Methods for Seawater Analysis. Pergamon Press : 101-109.
Purnomo, T., Sigid, H., dan Yonvitner. 2013. Kajian Potensi Perairan Dangkal untuk Pengembangan Wisata Bahari dan Dampak Pemanfaatannya Bagi Masyarakat Sekitar (Studi Kasus Pulau Semak Daun Sebagai Daerah Penunjang Kegiatan Wisata Pulau Pramuka Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). Jurnal Depik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor.
Richard, F.L. 2000. Phytoplankton chlorophyll. Fluorometric Analysis Base on USEPA Method 445.0. Greenwood University, SC.: 1-2.
Richards, F.A. and T.G. Thompson 1952. The estimation and characterization of plankton populations by pigment analysis II. A spectrophotometric method for estimation of plankton pigments. Journ. Mar. Res. 11 : 156-172.
Riyono, S.H. 1989. Kesuburan perairan di Pantai Kartini, Jepara dan sekitarnya ditinjau dari kandungan klorofil fitoplankton. Dalam: “Penelitian Oseanologi Perairan Indonesia Buku I”. Biologi, Geologi, Lingkungan dan Oseanografi. (D.P. PRASENO, W. ATMADJA, O.H. ARINARDI, RUYITNO dan I. SUPANGAT eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi–LIPI, Jakarta : 81– 88.
Riyono, S. H. 2006. Beberapa Metode Pengukuran Klorofil Fitoplankton Di Laut. Jurnal Oseana.
19
Siregar, V. 2010. Informasi Spasial Habitat Perairan Dangkal dan Pendugaan Stok Ikan Terumbu Menggunakan Citra Satelit.
Strickland, J.D.H. dan T.R. Parsons 1968. A practical handbook of seawater analysis. Board Canada. Bull. Fish. Res. 167 : 311 pp.
Talling, D.F. and D. Draver 1961. Some problems in the estimation of chlorophyll-a in phytoplankton. Proc. Conf. Primary Productivity Measurement, Marine and Freshwater. US. Atomic Energy Commission, Div. Tech. Inform. 7633 : 142–146.
Unesco 1966. Determination of photosyntethic pigments in seawater. Unesco Monographs on Oceanographic Methodology 1 : 69 pp.
Widyorini, N. 2009. Pola Struktur Komunitas Fitoplankton Berdasarkan Kandungan Pigmennya Di Pantai Jepara. Jurnal Saintek Perikanan.
Yentsch, C.S. and D.W. Menzel 1963. A method for determinations of phytoplankton chlorophyll and phaeophytin by fluorescence. Deep. Sea. Res. 10 : 221–231.
20
Recommended