View
219
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
PERAN DAN PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCURIAN PADA TINGKAT PENYIDIKAN
NASKAH PUBLIKASI
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Oleh:
BAKHTIAR ASYHARI NIM: C100090123
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013
2
HALAMAN PENGESAHAN
Naskah Publikasi ini disetujui untuk dipertahankan dihadapan
Dewan Penguji Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing I
(H. Sudaryono, SH, M.Hum)
Pembimbing II
(H. Muchammad Iksan, SH, MH)
1
PERAN DAN PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCURIAN PADA TINGKAT PENYIDIKAN
BAKHTIAR ASYHARI
C 100 090 123
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
tiar_rnr@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran korban dalam mengungkap tindak pidana pencurian, mengetahui perlindungan apa saja yang diberikan kepolisian kepada korban kejahatan dalam mengungkap tindak pidana pencurian, serta untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kepolisian dalam memberikan perlindungan korban tindak pidana pencurian. Penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif. Lokasi penelitian di Kota Surakarta. Jenis data yang digunakan meliputi data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data melalui wawancara dan bahan hukum yang berkaitan dengan obyek penelitian. Data yang diperoleh disusun dalam bentuk metode kualitatif.
Melalui hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa peran korban dalam mengungkap tindak pidana pencurian merupakan sebagai pelapor yang sekaligus menjadi saksi. Perlindungan yang diberikan kepolisian kepada korban kejahatan dalam mengungkap tindak pidana pencurian berupa jaminan atas rasa aman dari berbagai macam bentuk ancaman yang diberikan oleh tersangka. Sedangkan faktor yang mempengaruhi kepolisian dalam memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana pencurian berasal dari pasal yang membahas tentang fungsi kepolisian dan permintaan korban, dan yang menjadi penghambat kepolisian dalam memberikan perlindungan adalah korban sendiri yang tidak meminta perlindungan kepada kepolisian.
Penulis menyadari bahwa keterbatasan kemampuan dalam membuat penulisan hukum ini. Namun penulis berharap apa yang penulis berikan dalam penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.
KATA KUNCI: Peran Korban, Perlindungan Dari Kepolisian, Faktor Yang Mempengaruhi Kepolisian.
2
ABSTRACT
This study aimed to determine the role of the victim in exposing the crime of theft , to know what protection is given to victims of crime police in exposing the crime of theft , as well as to determine the factors that influence the police in providing protection to victims of the crime of theft . This research is descriptive . Research sites in Surakarta . Data used include primary and secondary data . Techniques of data collection through interviews and legal material relating to the object of research . The data obtained were compiled in the form of qualitative methods .
Through the results of this study can be seen that the role of the victim in the crime of theft is revealed as a reporter as well as a witness . Police protection given to victims of crime in exposing the crime of theft in the form of guarantees on the security of various forms of threat posed by the suspect . While the factors that influence the police to provide protection to the victims of the crime of theft comes from the chapter that discusses the function of the police and requests the victim , and the police in providing a barrier of protection are victims themselves who do not ask for police protection .
The authors recognize that the limited ability to make the writing of this law . However, the authors hope what I give you in the writing of this law can be useful for all readers .
KEYWORDS : The Role of Victim, Protection From Police , Factors Affecting Police .
PENDAHULUAN
Didalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali
terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan
perorangan.1 Didalam Pasal 362 KUHP menyebutkan:
“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.”
1 H. A. K. Moch Anwar, 1994, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid 1, Bandung: Citra Aditya
Bakti, hal 25.
3
Korban merupakan orang yang paling merasakan kerugian atas tindak pidana pencurian.
Untuk memproses tindak pidana yang dialami korban, maka korban harus melapor pada
pihak kepolisian. Menurut pasal 2 UU Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi: “Fungsi kepolisian adalah salah satu
fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. Disini
penulis menggunakan korban sebagai sumber informasi yang utama karena korban
mempunyai peranan penting dalam mengungkap tindak pidana pencurian dan perlindungan
apa saja yang diperoleh korban dari pihak kepolisian.
Permusam masalah yang hendak penulis kemukakan yaitu: (1) Bagaimana peran korban
dalam mengungkap tindak pidana pencurian. (2) Perlindungan apa saja yang diberikan
kepolisian kepada korban kejahatan untuk mengungkap tindak pidana pencurian. (3) Apa
saja faktor yang mempengaruhi kepolisian dalam memberikan perlindungan korban tindak
pidana pencurian.
Tujuan dan manfaat penelitian sebagai berikut, tujuan penelitian: (a) Untuk mengetahui
peran korban dalam mengungkap tindak pidana pencurian. (b) Untuk mengetahui
perlindungan apa saja yang diberikan kepolisian kepada korban kejahatan dalam
mengungkap tindak pidana pencurian. (c) Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
kepolisian dalam memberikan perlindungan korban tindak pidana pencurian.
Manfaat penelitian dibedakan menjadi dua: (a) Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan
hasilnya dapat memberi kemajuan dalam perkembangan ilmu hukum di Indonesia khususnya
hukum pidana untuk dapat memberi perlindungan kepada korban tindak pidana pencurian
4
dalam mengungkap kasusnya. (b) Manfaat praktis: Untuk memberikan masukan bagi
penegak hukum khususnya kepolisian mengenai pentingnya perlindungan korban guna
mengungkap tindak pidana pencurian.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif yang bertujuan untuk
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki, yaitu tentang peran dan
perlindungan korban dalam mengungkap tindak pidana pencurian. Data pada penelitian ini
meliputi penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan, dalam penelitian kepustakaan terdiri
dari bahan primer dan bahan sekunder.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah metode analisis kualitatif kerena
analisis yang dilakukan peneliti selalu bertumpu pada tipe dan tujuan penelitian serta sifat
data yang terkumpul berupa data yang sulit diukur dengan angka.2 Maka dari itu dalam
penelitian ini penulis menggunakan metode analisis kualitataif.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu “stafbaar feit”. “Feit” dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari
suatu kenyataan”, sedangkan “stafbaar” yang berarti “dapat dihukum”, sehingga
“stafbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang
dapat dihukum yang sudah barang tentu tidak tepat karena kita ketahui bahwa
2 Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 77
5
yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukanlah kenyataan,
perbuatan, maupun tindakan.3
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
D. Simons membedakan unsur-unsur tindak pidana menjadi unsur objektif
dan unsur subjektif. Unsur objektif dalam tindak pidana meliputi: (1) perbuatan
orang; (2) akibat yang kelihatan dari perbuatan itu; (3) mungkin ada keadaan
tertentu yang menyertai perbuatan itu, seperti dimuka umum (openbaar) pada
Pasal 181 KUHP. Sementara itu, unsur subjektif dalam tindak pidana itu
mencakup: (1) orang yang mampu bertanggung jawab; (2) adanya kesalahan
(dolus ataupun culpa).4
Tinjauan Umum Tentang Kepolisian
1. Pengertian Kepolisian
Menurut Sadjijono, istilah kepolisian adalah sebagai organ dan sebagai fungsi.
Sebagai organ, yakni suatu lembaga pemerintah yang terorganisasi dan terstruktur dalam
organisasi negara. Sedangkan sebagai fungsi, yakni tugas dan wewenang serta tanggung
jawab lembaga atas kuasa undang-undang untuk menyelenggarakan fungsinya, antara
lain pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung,
pengayom dan pelayan masyarakat.5
3P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 181. 4Sudaryono dan Natangsa Surbakti, 2005, Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 115. 5Pudi Rahardi, 2007, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri), Surabaya: Laksbang Mediatama, hal. 56.
6
2. Tugas dan Wewenang Polri
Dalam Pasal 13 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa Tugas
Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Sedangkan wewenang polisi yaitu terutama yang berseragam wajib
melakukan tindakan Kepolisian bila melihat pelanggaran hukum yang terjadi.6
Tinjauan Umum Tentang Korban dan Saksi
1. Pengertian Korban
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai
akibat dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri
atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang
dirugikan.7
2. Pengertian Saksi
Dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP, saksi adalah:
“orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri ”
6Anton Tabah, 1991, Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 81. 7Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, Dan Korban Tindak Pidana Terorisme, Bandung: Refika Aditama, hal. 77.
7
Definisi saksi cukup luas atau umum, sehingga yang termasuk dalam
pengertian saksi bisa orang yang menjadi korban, pelapor, pengadu, maupun
orang lain yang dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana baik
di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di muka sidang pengadilan.8
Tinjauan Umum Tentang Penyelidikan Dan Penyidikan
1. Penyelidikan
Pasal 1 butir 5 KUHAP menyebutkan:
“Penyelidikan adalah serangkain tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Lembaga penyelidik adalah lembaga yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan diberi kewenangan untuk melakukan tugas penyelidikan
terhadap peristiwa yang diduga merupakan peristiwa pidana. Menurur KUHAP,
bahwa penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan
catatan apabila kejahatan itu diatur dalam KUHP.9
2. Penyidikan
Pasal 1 butir 2 KUHAP menyantumkan:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
8Muchamad Iksan, 2009, Hukum Perlindungan Saksi Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 92. 9 Hartono, 2010, Penyidikan Dan Penegakan Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 31.
8
Berdasarkan rumusan diatas, tugas utama penyidik adalah:
- mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti-bukti tersebut
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi;
- menemukan tersangka.10
Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencurian
1. Pengertian Pencurian
Dalam KUHP tindak pidana pencurian diatur dalam Pasal 362 (pencurian
dalam bentuk pokok), Pasal 363 (pencurian dengan unsur-unsur yang
memberatkan), Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 365 (pencurian dengan
kekerasan), dan Pasal 367 (pencurian dalam keluarga).
Tindak pidana pencurian Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai mengambil
barang, seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan tujuan memilikinya
secara melanggar hukum.11
2. Unsur-Unsur Pencurian
Untuk mengetahui yang diatur didalam Pasal pencurian, perlu diketahui
unsur objektif dan unsur subjektif dari pencurian dalam Pasal 362 dan 363 KUHP.
a. Pencurian dalam bentuk pokok (Pasal 362)
1) Unsur objektif:
10 Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 11. 11M. Sudradjat Bassar, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu, Bandung: Remadja Karya, hal. 63.
9
a. Mengambil, yaitu berarti menggerakkan tangan dan jari-jari,
memegang, dan mengalihkannya ke lain tempat.
b. Barang, yaitu barang yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh
pencuri sehingga menimbulkan kerugian bagi korban.
2) Unsur subjektif:
Bertujuan memiliki dengan melanggar hukum, yaitu menjadikan diri
sebagai pemilik dari barang milik orang lain secara melawan hukum.12
PEMBAHASAN
A. Peran Korban Dalam Mengungkap Tindak Pidana Pencurian.
Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Pada
kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada
korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dari tersangka dalam hal terjadinya suatu
kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan tersangka yang berakibat penderitaan bagi
korban. Dengan demikian dapat dikatakan korban mempunyai tanggungjawab fungsional
dalam terjadinya kejahatan.13 Agar tindak pidana pencurian yang menimpa korban dapat
diatasi maka korban harus segera melakukan laporan atau pengaduan tindak pidana
pencurian ke Kepolisian. Dalam hal demikian korban juga memiliki fungsi sebagai pelapor.
Selain sebagai pelapor, korban tindak pidana pencurian juga dapat berperan sebagai saksi
yaitu dengan menjelaskan secara jelas dan detail tentang kronologis kejadian tindak pidana
12Wirjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung: Eresco Bandung, hal.14-16.
13Arif Gosita, 1985, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, hal. 43.
10
pencurian tersebut. Meskipun saksi bukan satu-satunya alat bukti namun keterangan saksi
bisa menentukan berhasil atau tidaknya dalam proses penangkapan tersangka tindak pidana
pencurian.14 Akan tetapi penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena
tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban karena berbagai macam alasan, misalnya
saksi takut, khawatir, atau bahkan tidak mampu (karena tidak punya biaya, depresi, terluka,
atau terbunuh).
Konsep kejahatan dan siapa yang menjadi korban kejahatan adalah pangkal tolak untuk
menjelaskan bagaimana posisi hukum korban. Ada dua konsep kejahatan, pertama,
kejahatan dipahami sebagai pelanggaran terhadap negara atau kepentingan publik yang
direpresentasikan oleh instrument demokratik negara. Kedua, kejahatan dipahami sebagai
pelanggaran terhadap kepentingan orang perorangan dan juga melanggar kepentingan
masyarakat, negara, dan esensinya juga melanggar kepentingan pelakunya sendiri. Konssep
yang pertama dilandasi oleh pemikiran yang berbasis pada konsep keadilan retributif dan
konsep yang kedua pada konsep keadilan restoratif. Keadilan restoratif berpijak pada
hubungan yang manusiawi antara korban dengan pelanggar dan fokusnya pada dampak yang
ditimbulkan oleh kejahatan pada semua pihak, bukan hanya pada korban, tetapi juga pada
masyarakat dan pelanggar sendiri.15
Peranan korban kejahatan ini antara lain berhubungan dengan apa yang dilakukan pihak
korban, bilamana dilakukan sesuatu, dimana hal tersebut dilakukan. Peranan korban ini
mempunyai akibat dan pengaruh bagi diri korban serta pihaknya, pihak lain dan
14Ari Sumarwono, Wakasat Reskrim, Wawancara Pribadi, Polresta Surakarta, tanggal 8 Mei 2013, Pukul 10.30 WIB. 15Teguh Prasetyo, 2010, Kriminalisasi Dalam Hkum Pidana, Bandung: Nusa Media, hal. 118.
11
lingkungannya. Antara pihak korban dan pelaku terdapat hubungan fungsional. Bahkan
dalam terjadinya kejahatan tertentu pihak korban dikatakan bertanggungjawab.16
Tindak pidana pencurian merupakan kejahatan yang sering terjadi di masyarakat. Tentu
saja masyarakat mempunyai peranan penting dalam menanggulangi masalah tindak pidana
pencurian. Setiap masyarakat yang khususnya menjadi korban tindak pidana pencurian
diharapkan bisa bekerjasama dengan kepolisian agar kasus yang menimpa korban dapat
segera ditangani oleh pihak kepolisian.
B. Perlindungan Yang Diberikan Kepolisian Kepada Korban Kejahatan Untuk
Mengungkap Tindak Pidana Pencurian.
Polisi sebagai unsur utama dalam tata peradilan pidana, juga merupakan alat
pengendalian sosial (social control) diantara alat-alat pengendalian sosial formal dan
informal yang ada didalam masyarakat. Keseluruhan fungsi itu berkaitan dengan peranan
pokok dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan melalui usaha-usaha penegakan
hukum.17
Polisi pada hakekatnya bisa dilihat sebagai hukum yang hidup, karena memang ditangan
polisi itulah hukum mengalami perwujudannya, setidak-tidaknya di bidang hukum pidana.
Apabila hukum itu bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, diantaranya
melawan kejahatan, maka pada akhirnya, polisi yang akan menentukan apa yang secara
16Arif Gosita, Op. Cit, hal. 82. 17Mulyana W. Kusuma, 1983, Kejahatan, Penjahat Dan Reaksi Sosial, Bandung: Alumni, hal. 49.
12
konkret disebut sebagai penegakan ketertiban, siapa yang harus ditundukkan dan siapa yang
harus dilindungi.18
Tindak pidana pencurian merupakan tindak pidana yang sering terjadi, khususnya
pencurian sepeda motor. Dalam menanggulangi kejahatan yang khususnya tindak pidana
pencurian, polisi seharusnya tidak hanya memikirkan bagaimana agar tersangka dan barang
bukti tindak pidana pencurian bisa ditangkap dan diketemukan. Tetapi polisi juga bisa
memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana pencurian yang telah dirugikan
secara materi dan psikologi. Kerugian psikologi bisa timbul dari rasa takut korban kepada
tersangka karena telah melaporkan tindak pidana pencurian yang dialami korban kepada
pihak kepolisian.
Fungsi polisi adalah menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Oleh karena itu
selama proses penyelidikan dan penyidikan berlangsung polisi bisa memberikan
perlindungan kepada korban yang berupa jaminan rasa aman kepada pihak korban dari
kemungkinan ancaman yang timbul dari tersangka maupun komplotannya. Hal ini dilakukan
karena banyak korban yang tidak bersedia memberikan keterangan secara lengkap tentang
kronologi terjadinya tindak pidana pencurian yang menimpanya, itu disebabkan karena
korban takut dengan tindakan tersangka bila mengetahui korban telah lapor kepada pihak
kepolisian bahwa telah menjadi korban curanmor. Dalam pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana seringkali pula dihadapkan kepada keadaan yang memaksa petugas untuk
18Satjipto Rahardjo, 2005, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, hal. 95.
13
menggunakan senjata dalam rangka melumpuhkan dan menangkap tersangka pelaku
kejahatan atas penyelamatan korban kejahatan.19
Akan tetapi sebagian besar korban tindak pidana pencurian yang melaporkan kasusnya ke
kepolisian merasa tidak perlu untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian selama
proses penyelidikan dan penyidikan berlangsung yang dikarenakan korban merasa tidak
adanya ancaman dari pelaku tindak pidana pencurian. Korban hanya bisa menunggu dari
hasil kinerja kepolisian. Jika dalam waktu lama barang yang dicuri tidak ketemu maka
barang yang hilang tidak akan diketemukan. Mengenai masalah perlindungan korban yang
diberikan kepolisian tentu saja sebagai korban meminta perlindungan yang benar-benar
efektif dari kepolisian.20
Pemikiran dan tindakan masyarakat yang khusunya menjadi korban tindak pidana
pencurian yang seperti ini sebenarnya sangat merugikan pihak kepolisian. Karena korban
atau bahkan masyarakat luas mempunyai pikiran bahwa polisi hanya terfokus pada
penangkapan tersangka dan penemuan barang bukti yang dengan mengabaikan keamanan
dan keselamatan pihak korban dari ancaman yang mungkin timbul.
C. Faktor Yang Mempengaruhi Kepolisian Dalam Memberikan Perlindungan Korban
Tindak Pidana Pencurian.
Lembaga kepolisian mengenal adanya asas kewajiban. Perkembangan masalah dan
tuntutan pelayaan aktual dalam masyarakat demikian cepat sehingga petugas polisi sering
19Ari Sumarwono, Wakasat Reskrim, Wawancara Pribadi, Polresta Surakarta, tanggal 8 Mei 2013, Pukul 10.30 WIB. 20Rumini, Korban Curanmor, Wawancara Pribadi, Jalan Bido No. 16, Cinderejo Kidul, RT 1/7 Gilingan, Banjarsari, Surakarta, Tanggal 28 Mei, Pukul 15.30 WIB.
14
dihadapkan kepada keadaan belum adanya aturan atau terdapatnya beberapa aturan yang
simpang siur. Padahal polisi harus bertindak.21
Dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana sangat sedikit yang membahas
tentang korban. Suatu peraturan lebih terfokus kepada tersangka karena peraturan tersebut
dibuat dan dilaksanakan untuk memberikan balasan atas perbuatan tersangka agar tersangka
merasa takut untuk mengulangi perbuatan pidananya dilain waktu dan untuk memberi rasa
takut kepada orang lain agar tidak melakukan tindak pidana. Sedangkan korban yang
mendapatkan kerugian atas tindak pidana yang dilakukan tersangka tidak mendapatkan
kedudukan yang jelas dalam hukum.
Menurut Mardjono Reksodipuro perlindungan korban kejahatan harus mendapat
perhatian karena beberapa alasan, yaitu: (1) Sistem peradilan pidana dianggap terlalu
memberikan perhatian pada permasalahan dan peran pelaku kejahatan (offender centered).
(2) Terdapat potensi informasi dari korban untuk memperjelas dan melengkapi penafsiran
tentang statistik kriminal melalui riset tentang korban dan harus dipahami bahwa korbanlah
yang menggerakkan mekanisme sistem peradilan pidana. (3) Semakin disadari bahwa selain
korban kejahatan konvensional, tidak kurang pentingnya untuk memberikan perhatian
kepada korban kejahatan non-konvensional maupun korban penyalahgunaan kekuasaan.22
Penegakan hukum yang umunya diharapkan oleh masyarakat sebagai fungsi polisi,
adalah alat penegakan hukum pidana. Sebagai alat perlengkapan negara (aparat negara)
polisi bertanggungjawab melaksanakan sebagian dari tugas pemerintah sehari-hari, yaitu
21Anton Tabah, 1998, Reformasi Kepolisian, Klaten: CV. Sahabat, hal. 41. 22Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, Dan Korban Tindak Pidana Terorisme, Bandung: Refika Aditama, hal. 80.
15
menimbulkan rasa aman pada warga masyarakat. Tugas pemerintah ini dilakukan polisi
melalui penegakan hukum pidana, khususnya melalui pencegahan kejahatan dan
menyelesaikan kejahatan yang terjadi. Tetapi dalam usaha menimbulkan rasa aman ini,
polisi juga bertugas memelihara ketertiban dan keteraturan. Sebagai penegak hukum dan
pengayom, memberikan ciri khas kepada tugas dan wewenang polisi Indonesia dan
menciptakan pula suatu “budaya polisi” yang akan menentukan citranya dalam
masyarakat.23
Citra polisi sebagai penegak hukum dipersulit pula oleh sikap ambivalen (mendua:
simpati, tetapi juga tidak suka) masyarakat. Pada satu pihak masyarakat mengharapkan
perlindungan dari polisi terhadap “orang-orang jahat” yang berada dalam masyarakat, tetapi
pada pihak lain mereka tidak suka apabila polisi menggunakan “upaya paksa”
(menggeledah, menangkap dan menahan) terhadap diri mereka sendiri. Sikap ambivalen ini
membuat peranan polisi tidak mudah.24
Dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan yang lain belum ada yang
mengatur secara khusus tentang perlindungan korban kejahatan khususnya pada lembaga
kepolisian maka korban tindak pidana pencurian bisa mendapatkan perlindungan dari
kepolisian berdasarkan kebijakan atas dasar permintaan korban.25
23Anton Tabah, Op, Cit, hal. 54. 24Ibid, hal.56. 25Ari Sumarwono, Wakasat Reskrim, Wawancara Pribadi, Polresta Surakarta, tanggal 8 Mei 2013, Pukul 10.30 WIB.
16
PENUTUP
Kesimpulan
Korban adalah yang menjadi satu-satunya orang yang menderita kerugian atas tindak
pidana pencurian. Untuk mengatasi kerugiannya korban harus melaporkan tindak pidana
pencurian yang dialami kepada pihak kepolisian. Dalam melakukan laporannya korban harus
mengatakan semua tentang kronologi pencurian yang diketahui. Dengan demikian kepolisian
akan terbantu untuk menemukan siapa yang menjadi tersangka dalam tindak pidana pencurian
yang dialami korban.
Kepolisian adalah penegak hukum pertama yang dituju korban untuk menyelesaikan
perbuatan tersangka atas kerugian yang ditimbulkan kepada korban. Pihak korban dalam
melakukan laporan atau pengaduan kepada polisi harus secara jujur mengatakan tentang apa
yang sebelum, saat dan sesudah terjadinya tindak pidana pencurian yang dialami. Setelah laporan
diterima maka pihak kepolisian akan mengadakan penyelidikan dan penyidikan guna
menemukan tersangka. Selama proses penyelidikan dan penyidikan berlangsung tentu saja
korban merasa takut dengan tersangka atas laporannya kepada kepolisian. Korban takut apabila
tersangka mengetahui dan merasa dendam dengan tindakan korban yang demikian. Maka korban
harus meminta kepolisian untuk memberikan perlindungan dari pihak tersangka. Kepolisian
dalam melakukan perlindungan kepada korban tindak pidana pencurian dilakukan dengan cara
memberikan rasa aman kepada korban dari berbagai ancaman yang timbul dari tersangka.
Dalam peraturan perundang-undangan manapun belum ada yang mengatur
perlindungan korban yang dilakukan kepolisian. Kepolisian memberikan perlindungan korban
berdasarkan kebijakan atas permintaan korban agar memberikan perlindungan karena korban
17
yang takut dengan tindakan tersangka setelah melaporkan tindak pidana pencurian yang dialami.
Kebijakan kepolisian yang demikian merupakan cerminan dari fungsi polisi, yaitu sebagai
pengayom dan pelindung masyarakat.
Saran
Kepolisian dalam memberikan perlindungan korban tindak pidana pencurian haruslah
dengan perlindungan yang benar-benar memberikan rasa aman kepada pihak korban. Karena
ancaman yang timbul dari tersangka bisa dating setiap saat maka pihak kepolisian juga harus
setiap saat mengetahui keadaan korban agar perlindungan yang diinginkan korban itu benar-
benar terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, H. A. K Moch, 1994, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Bandung: Citra Aditya Bakti.
Bassar, M. Sudradjat, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu, Bandung: Remadja Karya. Gosita, Arif, 1985, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademik Pressindo. Hartono, 2010, Penyidikan Dan Penegakan Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika. Kusuma, W. Mulyana, 1983, Kejahatan, Penjahat Dan Reaksi Sosial, Bandung: Alumni. Marpaung, Leden. 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika. Prasetyo, Teguh, 2010, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media. P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti. Prodjodikoro, Wirjono. 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung: Eresco
Bandung. Rahardjo, Satjipto, 2005, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru.
18
Rahardi, Pudi. 2007, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri), Surabaya: Laksbang Mediatama.
Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa Dan Korban Tindak Pidana Terorisme,
Bandung: Refika Aditama. Surbakti, Natangsa dan Sudaryono, 2005, Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana, Surakarta:
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tabah, Anton, 1998, Reformasi Kepolisian, Klaten: CV. Sahabat. Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika. Wawancara dengan Bapak Ari Sumarwono, Wakasat Reskrim Polresta Surakarta, Tanggal 08
Mei 2013. Wawancara dengan Ibu Rumini, Korban Curanmor, Tanggal 28 Mei 2013.
Recommended