View
256
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
Tuntutan era persaingan global saat ini membutuhkan sumber daya manusia
yang berkualitas agar suatu negara dapat terus maju dan berkembang. Sumber daya
manusia adalah aset yang paling berharga di suatu organisasi, termasuk di Perguruan
Tinggi (Schuler & Jackson, 2006). Bidang pendidikan adalah salah satu posisi yang
sangat penting dan harus dipenuhi sesuai dengan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu
pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat (Dikti, 2011). Pendidikan
bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan
berpendidikan, hal ini adalah tugas dari sebuah institusi atau perguruan tinggi. Salah
satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah tenaga kependidikan,
yaitu dengan cara melihat dari kualitas kinerjanya. Kualitas kinerja tenaga
kependidikan dibutuhkan untuk memberikan dampak positif kepada sebuah institusi,
namun fenomena yang terjadi saat ini di sebuah institusi pendidikan adalah tenaga
kependidikan (SDM) yang kurang berkualitas.
Tuntutan era persaingan global saat ini membutuhkan sumber daya manusia
yang berkualitas agar suatu negara dapat terus maju dan berkembang. Sumber daya
manusia adalah aset yang paling berharga di suatu organisasi, termasuk di Perguruan
Tinggi (Schuler & Jackson, 2006). Bidang pendidikan adalah salah satu posisi yang
sangat penting dan harus dipenuhi sesuai dengan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu
pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat (Dikti, 2011). Pendidikan
bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan
berpendidikan, hal ini adalah tugas dari sebuah institusi atau perguruan tinggi. Salah
satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah tenaga kependidikan,
2
yaitu dengan cara melihat dari kualitas kinerjanya. Kualitas kinerja tenaga
kependidikan dibutuhkan untuk memberikan dampak positif kepada sebuah institusi,
namun fenomena yang terjadi saat ini di sebuah institusi pendidikan adalah tenaga
kependidikan (SDM) yang kurang berkualitas.
Arsyiati (2008) mengungkap bahwa salah satu indikator dari kualitas SDM
yang tinggi tercermin dari kinerja yang baik. Kinerja yang baik dapat dilihat dengan
menggunakan penilaian kinerja, hal ini sama dengan yang digunakan dalam penilaian
kinerja pegawai PNS dengan tujuan untuk proses evaluasi tingkat pelaksanaan
pekerjaan atau performance appraisal seorang pegawai, yang didasarkan dalam
beberapa komponen perilaku yaitu orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin
kerja, kerjasama, kepemimpinan (Kemenag, 2014). Prawirosentono (2008) juga
memaparkan bahwa kinerja dapat dinilai atau diukur dengan beberapa indikator,
yaitu:
a). Efektifitas
Efektifitas yaitu bila tujuan kelompok dapat dicapai dengan kebutuhan yang
direncanakan.
b) Tanggung jawab
Merupakan bagian yang tak terpisahkan atau sebagai akibat kepemilikan
wewenang.
c) Disiplin
Yaitu taat pada hukum dan aturan yang belaku. Disiplin karyawan adalah ketaatan
karyawan yang bersangkutan dalam menghormati perjanjian kerja dengan
3
perusahaan dimana dia bekerja.
d) Inisiatif
Berkaitan dengan daya pikir, kreatifitas dalam bentuk suatu ide yang berkaitan
tujuan perusahaan.
Salah satu indikator yang dapat mengukur kinerja adalah disiplin kerja, hal ini
sejalan dengan penelitian Wahyu (2014) yang mengungkap bahwa disiplin kerja
merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan serta disiplin
dapat mendorong tercapainya tujuan kinerja yang optimal. Menurut Budi Setiyawan
dan Waridin (2006) dan Aritonang (2005) menyatakan bahwa disiplin kerja karyawan
bagian dari faktor kinerja. Disiplin kerja harus dimiliki setiap karyawan dan harus
dibudayakan di kalangan karyawan agar bisa mendukung tercapainya tujuan
organisasi karena merupakan wujud dari kepatuhan terhadap aturan kerja dan juga
sebagai tanggung jawab diri terhadap perusahaan. Pelaksanaan disiplin dengan
dilandasi kesadaran dan tanggung jawab akan terciptanya suatu kondisi yang
harmonis antara keinginan dan kenyataan. Kondisi yang harmonis harus tercipta
dahulu harus diwujudkan keselarasan antara kewajiban dan hak karyawan. Hasil
penelitian oleh Primawestri (2010), Indrawati (2006) mengungkap bahwa terdapat
faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah sikap mental, berupa motivasi kerja,
disiplin kerja, dan etika kerja, pendidikan dan pelatihan, ketrampilan, manajemen,
hubungan industrial pancasila, tingkat penghasilan, gizi dan kesehatan jaminan
sosial, lingkungan dan iklim kerja, sarana produksi, teknologi dan kesempatan
berprestasi.
Permasalahan yang muncul saat ini dengan adanya MEA yang tidak terlepas
4
dari sisi tenaga kerja yaitu kualitas kinerja yang rendah dan kualitas keahlian yang
belum memadai. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, tunjangan
kinerja atau remunerasi pegawai akan dibayarkan mengacu pada dua hal yaitu,
disiplin kerja dan kinerja. Acuan pertama, kata Menag, berdasarkan disiplin kerja
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang
Disiplin PNS. Acuan kedua, berdasarkan kinerja sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS (Kemenag,
2014). Masalah disiplin kerja pada organisasi atau instansi tertuju pada proses
pelaksanaannya dan tingkat keberhasilan kegiatan yang dilakukan oleh para pegawai.
Kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan yang dapat memberikan manfaat dari hasil
pekerjaan yang dilaksanakan. Menurut Hasibuan (2008) ketidakdisiplinan dalam diri
pegawai dapat disebabkan karena kurangnya kesadaran pada diri seseorang tersebut
akan arti pentingnya disiplin sebagai pendukung dalam kelancaran bekerja.
Kesadaran pada diri sendiri memiliki arti bahwa seseorang tersebut secara sukarela
menaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya.
Saydam (2005), hambatan pendisiplinan karyawan akan terlihat dalam
suasana kerja berikut ini :
1. Tingginya angka kemangkiran (absensi) karyawan.
2. Sering terlambatnya karyawan masuk kantor atau pulang lebih cepat dari jam yang
sudah ditentukan.
4. Menurunnya semangat dan gairah kerja. Berkembangnya rasa tidak puas dan
5
saling melempar tanggung jawab.
5. Penyelesaian pekerjaan yang lambat, karena karyawan lebih sering mengobrol dari
pada bekerja.
6. Tidak terlaksananya supervisi dan pengawasan yang melekat dari atasan.
7. Sering terjadinya konflik antar karyawan dan pimpinan perusahaan
Davis dan Newstrom (2005), mengungkap bahwa disiplin kerja karyawan
akan membawa dampak positif baik bagi karyawan maupun organisasi. Dampak
positif bagi karyawan adalah meningkatnya hasil kerja (output) dan input, antara lain
adalah tercapainya tujuan organisasi dan produktivitas kerja. Hasil pemaparan diatas
menunjukkan bahwa disiplin adalah faktor yang penting untuk pertumbuhan
organisasi dan salah satu cara yang digunakan untuk memotivasi pegawai agar dapat
mendisiplinkan diri dalam melaksanakan pekerjaannya. Oleh karena itu, perlu upaya
meningkatkan kesadaran akan disiplin kerja pada pegawai.
Sarworno dan Meinarno (2012) memaparkan bahwa bentuk dasar dari
kedisiplinan adalah adanya kesadaran akan tanggung jawab. Peraturan perusahaan
bertujuan untuk mendisiplinkan pegawai. Disiplin pegawai adalah perilaku seseorang
yang sesuai dengan peraturan, prosedur kerja yang ada baik tertulis maupun yang
tidak tertulis (Sutrisno, 2009). Peraturan dibuat karena adanya pengaruh sosial, yaitu
usaha untuk mengubah sikap, kepercayaan (belief), persepsi atau pun tingkah laku
satu atau beberapa orang lainnya (Caldini, 1994 dalam Sarworno & Meinarno, 2012).
Menurut Kassin (2013) menjelaskan bahwa teori pengaruh sosial, tingkah laku
individu dapat terbentuk berdasarkan tiga aspek yaitu konformitas (conformity),
6
compliance (ketaatan), dan obedience (kepatuhan). Pada penelitian ini, peneliti
mendasarkan definisi disiplin kerja dari aspek compliance (ketaatan), dan obedience
(kepatuhan). Perilaku individu dipengaruhi oleh permintaan langsung orang lain, hal
tersebut merupakan suatu bentuk pengaruh sosial yang disebut dengan ketaatan
(compliance) adalah perubahan perilaku yang ditimbulkan oleh permintaan langsung,
ciri utama yaitu kemauan merespon permintaan orang lain atau kelompok lain
(Kassin, 2013). Obedience (kepatuhan) adalah kondisi seseorang menaati dan
mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena
adanya unsur kekuasaan serta perubahan perilaku yang dihasilkan oleh perintah dari
otoritas (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008).
Menurut Kelman (1996) perubahan sikap mental dalam perilaku terdapat tiga
tingkatan yaitu:
1. Disiplin karena kepatuhan
Kepatuhan terhadap aturan-aturan yang didasarkan atas dasar perasaan takut dan
khawatir. Displin kerja dalam tingkatan ini dilakukan hanya untuk mendapatkan
reaksi positif dari pimpinan.
2. Disiplin karena identifikasi
Kepatuhan terhadap aturan-aturan didasarkan pada identifikasi adanya perasaan
kekaguman penghargaan pada pimpinan. Pemimpin yang kharismatik adalah
figure yang dihormati, dihargai dan sebagai pusat identifikasi.
3. Disiplin karena internalisasi
Disiplin kerja dalam tingkat ini terjadi karyawan punya sistem nilai pribadi yang
7
menujukkan tinggi nilai-nilai kedisplinan. Dalam taraf ini, orang dikategorikan
mempunyai disiplin diri.
Internalisasi terjadi apabila individu menerima pengaruh dan bersedia menuruti
pengaruh itu dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan hal yang telah dipercaya dan
sesuai dengan sistem nilai yang dianutnya. Hal ini berhubungan dengan hakekat sikap
yang diterima itu sendiri dianggap memuaskan oleh individu yang menjunjung tinggi
nilai kedisiplinan. Sikap demikian itulah yang biasanya merupakan sikap yang
dipertahankan oleh individu dan biasanya tidak mudah untuk berubah selama sistem
nilai yang ada dalam diri individu yang bersangkutan masih bertahan (Azwar, 2003).
Sinungan (2003) mengemukakan bahwa disiplin adalah sebagai sikap mental yang
tercermin dalam perbuatan atau tingkah laku perorangan, kelompok atau masyarakat
berupa ketaatan (compliance) terhadap peraturan-peraturan atau ketentuan yang
ditetapkan pemerintah atau etik, norma dan kaidah yang berlaku dalam masyarakat.
Pemaparan diatas menunjukkan bahwa sebuah aturan dibuat untuk mendisiplikan
individu yang didasarkan adanya kepatuhan (obedience) dan dengan aturan atau
norma tersebut sehingga individu dapat melakukan sesuai dengan aturan yang berlaku
yaitu dengan cara mematuhi (obedience) setiap aturan yang berlaku dan membagun
disiplin diri.
Disiplin kerja ditujukan dalam mengatur seorang karyawan untuk menaati
segala norma, kaidah, dan peraturan yang berlaku dalam organisasi. Ravianto (1988)
mengungkap bahwa disiplin kerja adalah ketaatan dalam melaksanakan aturan-aturan
yang ditentukan atau diharapkan oleh organisasi atau perusahaan dalam bekerja,
8
dengan maksud agar tenaga kerja melaksanakan tugasnya dengan tata tertib dan
lancar, termasuk penahanan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang menyimpang
dari peraturan. Dale dalam Sudjadi (2005) menjelaskan bahwa disiplin yang utuh
adalah suatu kondisi atau sikap yang ada pada pegawai yang tunduk dan taat pada
peraturan perusahaan. Warsono (dalam Kusumawarni, 2007), mengungkap bahwa
disiplin kerja juga diartikan sebagai sikap ketaatan seseorang terhadap suatu aturan
atau ketentuan yang berlaku dalam organisasi yaitu menggabungkan diri dalam
organisasi itu atas dasar kesadaran diri bukan karena adanya paksaan. Kedisiplinan
(Hasibuan, 2008) adalah kesadaran dan ketaatan seseorang terhadap peraturan
perusahaan atau lembaga dan norma sosial yang berlaku. Sedarmayanti (2009),
disiplin merupakan sikap mental yang tercermin dalam perbuatan tingkah laku
perorangan, kelompok, atau masyarakat berupa kepatuhan atau ketaatan terhadap
peraturan, ketentuan, etika, norma, dan kaidah yang berlaku.
Gordon dalam Moenir (2010) disiplin dalam pengertian yang utuh adalah
suatu kondisi dan sikap yang ada pada semua anggota organisasi yang tunduk dan
taat pada aturan organisasi. Disiplin menurut Moenir (2010) adalah suatu bentuk
ketaatan terhadap aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Disiplin kerja, pada
dasarnya dapat diartikan sebagai bentuk ketaatan dari perilaku seseorang dalam
mematuhi ketentuan-ketentuan ataupun peraturan-peraturan tertentu yang berkaitan
dengan pekerjaan, dan diberlakukan dalam suatu organisasi atau perusahaan.
Kedisiplinan suatu perusahaan dikatakan baik, jika sebagian besar karyawan menaati
peraturan-peraturan yang ada. Hukuman diperlukan dalam meningkatkan kedisiplinan
9
dan mendidik karyawan supaya menaati semua peraturan perusahaan. Pemberian
hukuman harus adil dan tegas terhadap semua karyawan. Peraturan tanpa diimbangi
dengan pemberian hukuman yang tegas bagi pelanggarannya bukan menjadi alat
pendidik bagi karyawan. Tanpa dukungan disiplin karyawan yang baik, sulit bagi
perusahaan untuk mewujudkan tujuannya. (Gusti, 2012).
Tujuan disiplin kerja adalah memperlancar pekerjaan setiap karyawan agar
pencapaian tujuan organisasi dapat dilakukan dengan tepat waktu, tepat sasaran,
efektif dan efisien (Srieyono, Djiwanto & Hasibuan, 2006). Sutrisno (2009)
mengungkap bahwa disiplin kerja dapat dilihat sebagai sesuatu yang besar
manfaatnya, baik bagi kepentingan organisasi maupun bagi para karyawan.
Organisasi yang menjunjung tinggi disiplin kerja akan menjamin terpeliharanya tata
tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas, sehingga diperoleh hasil yang optimal,
sedangkan bagi karyawan akan diperoleh suasana kerja yang menyenangkan sehingga
akan menambah semangat kerja dalam melaksanakan pekerjaannya. Karyawan dapat
melaksanakan tugasnya dengan penuh kesadaran serta dapat mengembangkan tenaga
dan pikirannya semaksimal mungkin dengan terwujudnya tujuan organisasi.
Sastrohadiwirjo (2003) menyebutkan pembinaan disiplin kerja dapat dikelompokkan
menjadi dua garis besar, yaitu :
1. Tujuan umum penerapan disiplin kerja adalah demi kelangsungan perusahaan
sesuai dengan motif perusahaan yang bersangkutan, baik hari ini maupun masa
yang akan datang.
2. Tujuan khusus penerapan disiplin kerja adalah (1) agar para tenaga kerja menepati
10
segala peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan maupun peraturan dan kebijakan
perusahaan yang berlaku, baik tertulis maupun tidak, serta melaksanankan
perintah manajemen, (2) dapat melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya
serta mampu memberikan pelayanan maksimum kepada pihak tertentu, (3) dapat
menggunakan dan memelihara sarana dan prasarana, barang dan jasa perusahaan
dengan sebaik-baiknya, (4) dapat bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma-
norma yang berlaku di perusahaan, (5) tenaga kerja mampu memperoleh tingkat
produktivitas yang tinggi sesuai dengan harapan perusahaan.
Terdapat beberapa tipe kegiatan pendisiplinan menurut Davis dan Newstrom
(2005) serta Mathis dan Jackson (2002), antara lain :
1. Disiplin Preventif
Adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mendorong para karyawan agar
mengikuti berbagai standar dan aturan, sehingga penyelewengan-penyelewengan
dapat dicegah. Tujuan pokok dari disiplin preventif ini adalah mendorong
karyawan untuk disiplin diri.
2. Disiplin Korektif
Adalah kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran terhadap aturan-
aturan dan mencoba untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut.
Disiplin korektif ini biasanya berupa jenis hukuman tertentu yang ditetapkan
organisasi misalnya peringatan atau penskoran yang lebih dikenal dengan tindakan
disipliner.
3. Disiplin Progresif
11
Adalah memberikan hukuman-hukuman yang lebih berat terhadap pelanggaran-
pelanggaran yang berulang. Disiplin progresif melembagakan sejumlah langkah
dalam membentuk perilaku karyawan. Penerapan disiplin ini dilakukan dengan
pemberian hukuman yang lebih berat terhadap pengulangan kesalahan yang
dilakukan.
Disiplin dibuat untuk mengatur tata hubungan yang berlaku tidak saja dalam
perusahaan-perusahaan besar atau kecil, tetapi juga pada seluruh organisasi yang
mempekerjakan banyak sumber daya manusia untuk melaksanakan pekerjaan.
Pembuatan suatu peraturan disiplin dimaksudkan, agar para karyawan dapat
melaksanakan pekerjaan tersebut sesuai dengan apa yang diharapkan. Tetapi
penerapan disiplin itu banyak menemui hambatan dalam pelaksanaannya.
Menurut Nurmansyah (2011), bahwa faktor-faktor yang dapat menunjang
kedisiplinan tersebut adalah sebagai berikut: (a) Adanya peraturan yang pasti dan
jelas untuk dijadikan pegangan seluruh karyawan. (b) Adanya ketegasan terhadap
pelanggaran disiplin. (c) Adanya ancaman atau sanksi yang diberikan terhadap
pelanggaran disiplin. (d) Memperhatikan tingkat kesejahtraan karyawan. e) Adanya
partisipasi karyawan. (f) Menunjang tugas serta sesuai dengan kemampuan karyawan.
(g) Adanya keteladanan dari pemimpin. Wadji, Farid dan Harnowo Narmado (2006),
menjelaskan aspek-aspek dalam disiplin kerja, antara lain: (1) disiplin terhadap
waktu, meliputi tingkat absensi dan waktu kerja. (2) disiplin terhadap waktu kerja,
meliputi efektifitas kerja, penggunaan peralatan dan sikap hati-hati dalam
12
melaksanakan tugas. (3) disiplin terhadap prosedur kerja, yang meliputi ketaatan pada
tata tertib dan menguasai cara kerja.
Indikator disiplin kerja menurut Singodimendjo dalam Sutrisno (2009) adalah
sebagai berikut:
1. Taat terhadap aturan waktu
Dilihat dari jam masuk kerja, jam pulang, dan jam istirahat yang tepat waktu
sesuai dengan aturan yang berlaku di perusahaan.
2. Taat terhadap peraturan perusahaan
Peraturan dasar tentang cara berpakaian, dan bertingkah laku dalam pekerjaan.
3. Taat terhadap aturan perilaku dalam pekerjaan
Ditunjukan dengan cara-cara melakukan pekerjaan-pekerjaan sesuai dengan
jabatan, tugas dan tanggung jawab serta cara berhubungan dengan unit kerja lain.
4. Taat terhadap peraturan lainnya diperusahaan
Aturan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para
pegawai dalam perusahaan.
Dampak dalam sebuah organisasi memiliki dampak yang kuat bagi individu-
individu yang berada di dalamnya. Tegaknya standar organisasi dan keteraturan pola
tingkah laku individu dalam organisasi dapat dicapai melalui disiplin kerja (Davis &
Newstrom, 2005). Mathis dan Jackson (2002) mengatakan bahwa disiplin dapat
berdamak pada kinerja. Tindakan pendisiplinan dengan menegakkan standar
organisasi dapat medorong adanya norma kelompok dan menghasilkan peningkatan
kinerja serta rasa keadilan. Anoraga (2006), berpendapat bahwa seorang pekerja yang
13
berdisiplin tinggi, masuk kerja, dan pulang tepat pada waktunya, selalu taat pada tata
tertib, belum akan efisien tugasnya jika tidak memiliki keahlian pada bidang
tugasnya. Oleh karena itu perlu upaya yang dapat menimbulkan dan meningkatkan
kesadaran akan disiplin kerja karyawan, terutama displin kerja, karena disiplin yang
paling baik adalah disiplin kerja (Strauss & Sayles, 1990; Harris, 1984; Davis &
Newstrom, 1989). Oleh karena itu peneliti memutuskan meneliti variabel disiplin
kerja sebagai variabel dependen dalam penelitian ini.
Berdasarkan dari pendapat para ahli, penulis menarik kesimpulan bahwa
komponen perilaku yaitu disiplin kerja dari teori penilaian kinerja PNS yang
digunakan dalam pengembangan skala penelitian dan definisi disiplin kerja yang
digunakan adalah suatu ketaatan terhadap peraturan organisasi untuk mencapai
perilaku yang dikendalikan melalui penyesuaian diri terhadap aturan dan pelaksanaan
hukuman. Dari uraian di atas aspek yang dipakai dalam penelitian aspek adalah
ketepatan waktu, penyelesaian tugas dan mematuhi semua peraturan perusahaan.
Indikator yang dipakai dalam penelitian ini adalah indikator yang terdapat dalam
disiplin kerja yang dipakai pada penelitian ini adalah taat terhadap aturan waktu, taat
terhadap peraturan perusahaan dan pekerjaan.
Selain faktor-faktor yang telah dipaparkan diatas ada pula anteseden yang
dapat mempengaruhi serta meningkatkan disiplin kerja, yaitu kepuasan kerja
(Tarigan, V., & Ariani, D. W., 2015; Toni, L. & Bambang S., 2006; Widia, A., 2014)
dan komitmen organisasi (Anggi, 2014; Hasan, 2012; Vandenberghe & Trembla,
2008). Davis dan Newstrom (1989) menyatakan kepuasan kerja yang rendah akan
14
meyebabkan sikap yang negatif seperti pemogokan, kemunduran kerja, absensi dan
turnover. Sedangkan menurut (Hussain & Saleem, 2014); Robbins (2003); Kreitner
dan Kinicki (2010) dan Wexley dan Yulk (2000) adanya ketidakpuasan dapat
mengakibatkan perilaku penarikan diri yang terlihat dari adanya absensi dan perilaku
agresif. Ketidakpuasan karyawan tersebut juga mengarahkan mereka melakukan
tindakan yang bertentangan dengan peraturan organisasi, mengakibatkan karyawan
suka membolos dan menjadi kurang kooperatif yang mana ketidakdisiplinan
karyawan.
Kepuasan kerja merupakan salah satu kriteria mengukur kesehatan organisasi
(Crossman & Abou-Zaki, 2003). Salah satu faktor yang juga mempengaruhi disiplin
kerja karyawan adalah kepuasan kerja, karena pada dasarnya kepuasan kerja
merupakan dambaan setiap karyawan di dalam bekerja. Pada dasarnya kepuasan kerja
merupakan sesuatu yang bersifat individual. Locked (1976) mendefinisikan kepuasan
kerja sebagai suatu keadaan emosi yang menyenangkan atau keadaan emosi yang
positif sebagai akibat dari penilaian seseorang terhadap pekerjaan atau pengalaman
kerjanya. Semakin karyawan merasa lebih dihargai oleh organisasi dengan
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan, khususnya kebutuhan fisiologis dan rasa aman,
maka karyawan akan berinvestasi lebih besar dalam organisasi, dalam hal ini
komitmen yang terbentuk akan semakin kuat (Barling & Cooper, 2008).
Kepuasan kerja dianggap sebagai salah satu variabel penting dalam rangka
manajemen sumber daya manusia karena jika seseorang karyawan telah mendapatkan
kepuasan di dalam bekerja maka akan menimbulkan motivasi diri untuk bekerja lebih
15
maju, karena kepuasan itu sendiri mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu
yang dilakukan dan telah dianggap berhasil, sebaliknya jika tingkat kepuasan kerja
rendah maka mengakibatkan ketidaklancaran perusahaan dan proses produksi yang
dikarenakan tingginya keterlambatan dan kemangkiran serta tingginya tingkat keluar
masuknya karyawan juga pindah kerja (Tuhumena, 2004). Hussain & Saleem (2014)
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan dan sikap positif ataupun negatif
terhadap suatu pekerjaan. Selain itu kepuasan kerja juga merupakan sikap atau
perasaan seseorang mengenai pekerjaannya, gaji, promosi, hubungan dengan
pemimpin dan beban kerja.
Teori tentang kepuasan kerja yang cukup dikenal dalam (Rivai, 2004) adalah
teori dua faktor (Two factor theory) oleh Herzberg (1966). Menurut teori ini kepuasan
kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan
ketidakpuasan terhadap pekerjaan bukan merupakan variabel yang kontinyu. Teori ini
merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfies
(motivator) dan dissatisfies. Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan
sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari pekerjaan : pekerjaan yang menarik,
penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan memperoleh
penghargaan dan promosi. Dissatisfies (hygiene faktor) adalah faktor-faktor yang
menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: gaji atau upah, pengawasan,
hubungan antar pribadi, kondisi kerja dan status.
Aspek-aspek kepuasan kerja yang dikemukakan oleh Locke (1969) dan
Luthans (2005), Riyono (1991) membagi kepuasan kerja menjadi lima aspek, yakni
16
pekerjaan itu sendiri; upah dan kesejahteraan pengawasan; meliputi supervisi,
perusahaan dan pengakuan; rekan kerja; dan promosi. Kelima aspek ini merupakan
bentuk ringkas dari aspek yang dikemukakan oleh Locke (1969) dan Luthans (1985),
yang dinilai paling cocok untuk menggambarkan kepuasan kerja pada karyawan.
Mathis dan Jackson (2001), kepuasan kerja mempunyai banyak dimensi. Tahap yang
diamati adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, pengakuan, hubungan
antara atasan dengan karyawan, dan kesempatan untuk maju. Setiap dimensi
menghasilkan perasaan puas secara keseluruhan dengan pekerjaan itu sendiri, namun
pekerjaan juga mempunyai definisi yang berbeda bagi orang lain.
Ketidakpuasan kerja dapat mengarahkan karyawan melakukan tindakan yang
bertentangan peraturan organisasi (Cascio, 1978), mengakibatkan mereka suka
membolos dan menjadi kurang kooperatif (Mitchel, 1982) dan hal ini menunjukkan
ketidakdisiplinan karyawan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ancok dan Rasimin
(1988) yang menyatakan bahwa karyawan yang kurang produktif, seringkali
mengambil waktu istirahat di luang jam kerja yang telah ditentukan dan sering pula
datang terlambat ke tempat kerja. Murdiasih (2007) mengemukakan bahwa kepuasan
kerja adalah hasil suatu hubungan yang harmonis antara karyawan dengsn
lingkungannya sehingga akan berdampak positif ke lingkungan kerja serta terhadap
sikap dan perilaku kerjanya. Menurut Strauss dan Sayles (1990) menjelaskan bahwa
karyawan yang tidak memperoleh kepusahan kerja tidak akan pernah mencapai
kematangan secara psikologis dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan
seperti ini akan menampakkan perilaku-perilaku seperti sering melamun, semangat
17
kerja yang rendah, cepat lelah dan bosan, sering absen dan tidak melakukan
kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang harusnya dilakukan.
Berdasarkan uraian dari definisi kepuasan kerja yang telah dijelaskan di atas,
maka peneliti dapat menarik kesimpulan dari pendapat para ahli diatas dan mengacu
pada definisi bahwa penilaian, perasaan atau sikap pegawai terhadap pekerjaannya
yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Aspek-aspek kepuasan kerja yang akan
dipakai dalam penelitian ini yakni berdasarkan Riyono (1991), yakni pekerjaan itu
sendiri; upah dan kesejahteraan; pengawasan yang meliputi supervisi, perusahaan dan
pengakuan; rekan kerja; serta promosi.
Komitmen organisasi merupakan salah satu faktor yang juga dapat
memperngaruhi disiplin kerja. Faktor komitmen organisasi mampu memprediksi
disiplin kerja. Komitmen pada organisasi yang tinggi berarti pemihakan pada
organisasi yang mempekerjakannya (Robbins, 2001; Malik, M. E., Nawab, S. &
Naeem, B, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Nouri dan Parker (dalam
Murwaningsari, 2008); Vandenberghe & Tremblay (2008), memaparkan bahwa
komitmen organisasi yang tinggi merupakan sebuah bentuk penerimaan karyawan
terhadap tujuan organisasi dan kesediaan untuk berusaha demi kepentingan
organisasi guna meningkatkan performa manajerial. Komitmen organisasi mampu
mendorong seorang karyawan untuk menunjukkan perilaku yang positif seperti,
meningkatkan disiplin kerja, mematuhi kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan
organisasi, membangun hubungan yang baik dengan rekan kerja, serta meningkatkan
pencapaian dalam pekerjaan (Dwianasari dan Mardiasmo, 2004), oleh karena itu
sangat penting menanamkan suatu komitmen terhadap organisasi agar tercipta
18
disiplin kerja pegawai sehingga segala tujuan yang ingin dicapai oleh instansi dapat
tercapai.
Meyer dan Allen (1991), mengemukakan aspek-aspek komitmen organisasi
terdiri dari tiga aspek yaitu: kelekatan afektif, faktor biaya yang dirasakan dan faktor
kewajiban (kondisi ini kemudian disebut sebagai komitmen keberlanjutan).
a. Komitmen Afektif
Salah satu komponen pembentuk komponen adalah aspek komitmen afektif
karyawan terhadap perusahaan tempatnya bekerja. Seorang karyawan dikatakan
memiliki komitmen afektif dengan organisasi tempatnya bekerja bila yang
bersangkutan bersedia untuk menerima nilai-nilai yang dianut oleh organisasi,
memiliki kemauan untuk berusaha keras demi kemajuan organisasi, dan memiliki
keinginan untuk tetap berada dalam organisasi.
b. Komitmen Keberlanjutan
Aspek kedua ini adalah persepsi mengenai biaya. Hal ini merupakan suatu keadaan
dimana seorang karyawan terus berada dalam organisasi karena adanya
pertimbangan biaya yang ia rasakan bila ia berhenti bekerja pada organisasi
tersebut.
a. Komitmen Normatif
Aspek kewajiban merupakan sebuah kondisi dimana karyawan tetap bertahan pada
perusahaan karena merasa harus memenuhi kewajibannya terhadap organisasi.
Pada penelitian ini untuk mengungkap perilaku disiplin kerja, peneliti hanya
akan menggunakan aspek afektif, hal ini disebabkan bahwa aspek afektif terbentuk
19
apabila pegawai mengalami pengalaman kerja maka akan muncul perilaku disiplin
kerja. Karyawan dengan komitmen afektif yang tinggi akan tetap bekerja karena
karyawan merasa ingin tetap bekerja, oleh karena itu peneliti ingin meneliti variabel
komitmen afektif untuk memprediksi disiplin kerja. Komitmen karyawan menjadi
penting bagi organisasi, maka upaya-upaya untuk mengelola dan meningkatkan
komitmen karyawan telah banyak dilakukan, yakni dengan menciptakan dalam diri
setiap karyawan rasa keikatan, yaitu sejauh mana seorang karyawan
mengidentifikasikan dirinya dan melibatkan dirinya terhadap organisasi tempatnya
bekerja (Marchiori & Henkin, 2004; Mowday, Steers, & Porter, 1972). Penelitian
hingga saat ini banyak terfokus pada efek langsung dari peristiwa yang dialami
karyawan ketika bekerja dengan komitmen mereka terhadap organisasi, padahal
peristiwa yang dialami karyawan dalam bekerja menumbuhkan emosi dan keyakinan
tertentu terlebih dahulu kemudian barulah perasaan ini menumbuhkan komitmen
mereka terhadap organisasi.
Pengaruh komitmen organisasi terhadap kinerja telah banyak diteliti, antara
lain Meyer dkk. (1989) menemukan adanya korelasi positif antara komitmen afektif
dengan pengukuran kinerja yang dilakukan oleh atasan mereka. Sebaliknya, korelasi
antara komitmen keberlanjutan dengan kinerja memiliki korelasi negatif. Penelitian
Abbott dkk. (2005) menemukan bahwa keinginan untuk meninggalkan organisasi
lebih diprediksi oleh komitmen afektif. Komitmen nomatif dan komitmen
keberlanjutan tidak menunjukkan adanya hubungan yang jelas dengan keinginan
untuk meninggalkan organisasi, bahkan komitmen keberlanjutan cenderung justru
20
berkebalikan daya prediksinya. Dengan kata lain, keterlibatan emosi pada komitmen
afektif memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap keinginan karyawan untuk tetap
bekerja di organisasi yang bersangkutan dibanding adanya keharusan ataupun hitung-
hitungan biaya ketika akan meninggalkan organisasi. Chai-Amonphaisal dan
Ussahawanitchakit (2008) pada perusahaan yang memiliki ISO di Thailand
membuktikan bahwa komitmen afektif terhadap organisasi memiliki pengaruh yang
kuat terhadap kinerja karyawan. Chen dkk. (2009) meneliti pengaruh kepemimpinan
konsiderasi dan kepemimpinan ideal, kepuasan dan kepercayaan terhadap kinerja
dengan dimoderatori oleh komitmen organisasi dan menemukan bahwa komitmen
organisasi memiliki hubungan kuat dengan kinerja.
Meyer dan Herscovitch (2001) mengartikan komitmen sebagai kekuatan yang
mengikat seorang individu untuk mengejar suatu tindakan yang relevan dengan satu
atau lebih target tertentu. Kekuatan yang mengikat ini dapat dialami dengan cara yang
berbeda, seperti kelekatan emosioanl dan keterlibatan dengan target (komitmen
afektif), kewajiban yang dirasakan (komitmen normatif), dan kesadaran dari biaya
yang berkaitan dengan penghentian keterlibatan dengan target (komitmen
keberlanjutan) (Scrima, Di Stefano, Guarnaccia, Lorito, 2015). Komitmen afektif
merupakan proses identifikasi, keterlibatan, dan nilai dengan target tertentu (Meyer &
Herscovitch, 2001). Penelitian Siders dkk. (2009) juga menemukan bahwa komitmen
afektif berkorelasi dengan kinerja yang diukur dengan pengukuran obyektif, dalam
penelitian ini pekerjaan yang diteliti adalah karyawan penjualan dengan kinerja yang
21
terukur secara kuantitatif sekaligus dihargai organisasi dalam bentuk bonus capaian
penjualan.
Penelitian terdahulu juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Ali dan
Zilli (2013) yang menemukan bahwa komitmen afektif. Komitmen afektif memiliki
asosiasi dengan tingkat absensi dan performansi. Turnover dan intensi untuk turnover
merupakan hal yang memiliki hubungan paling kuat dengan komitmen afektif.
Pengalaman yang didapatkan selama proses bekerja seperti penghargaan organisasi,
keadilan prosedural dan dukungan yang diperoleh dari pengawas menunjukan
asosiasi yang kuat dengan komitmen afektif dibandingkan dengan aspek-aspek
struktural seperti desentralisasi atau karakteristik personal dari karyawan (Eby, 2000).
Komitmen afektif memiliki hubungan yang positif dengan keinginan yang berasal
dari individu untuk bersedia memberikan usaha yang lebih terhadap pekerjaan yang
mereka lakukan. Komitmen afektif merupakan suatu hal yang dapat diprediksi untuk
memiliki hubungan dengan kegiatan pemberian dan penerimaan tentang pengetahuan
yang sehubungan dengan aktivitas pada suatu organisasi (van den Hoof, 2004).
Berdasarkan pendapat para ahli dapat diambil kesimpulan definisi komitmen
afektif yang dipakai dalam penelitian ini bahwa tingkatan kondisi individu
memposisikan dirinya pada nilai-nilai organisasi dan kemauan untuk mengupayakan
pencapaian kepentingan organisasinya. Aspek - aspek komitmen organisasi (Meyer
dan Allen, 1991) yang akan dipakai dalam penelitian ini peneliti hanya akan
menggunakan aspek afektif, hal ini disebabkan bahwa aspek afektif terbentuk apabila
pegawai mengalami pengalaman kerja maka akan muncul perilaku disiplin kerja.
22
Adomi (2004) dan Siagian (1999) menjelaskan bahwa disiplin karyawan
dapat mendorong anggota organisasi memenuhi tuntutan berbagai ketentuan yaitu
dari memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku karyawan
sehingga karyawan secara sukarela berusaha bekerja secara kooperatif dengan rekan
kerjanya serta meningkatkan prestasi kerja. Naderi (2012); Silva (2006) dan Gunlu
(2010) menyatakan studi saat ini mendukung adanya korelasi positif yang signifikan
antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Sebuah penjelasan logis dari hasil ini
dapat bahwa komitmen organisasi merupakan fungsi dari kepuasan kerja. Dimensi
kepuasan kerja seperti kepuasan dengan gaji, rekan kerja, supervisi, dan bekerja
sendiri dibutuhkan oleh para pekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Temuan Boles (2007) dan Azeem (2010) menggambarkan bahwa aspek-aspek
yang menunjukan kepuasan kerja berhubungan dengan komitmen afektif karyawan.
Adapun aspek kepuasan kerja yang dipergunakan pada penelitian ini adalah promosi,
gaji, pekerjaan, supervisi pimpinan, kelompok kerja. Komitmen afektif merupakan
proses identifikasi, keterlibatan, dan nilai dengan target tertentu (Meyer &
Herscovitch, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Maryadi (2012), dimana hasil
penelitian menunjukkan adanya hasil signifikan antara kepuasan kerja terhadap
disiplin kerja. Tenaga guru yang merasa puas akan memiliki sikap positif dengan
pekerjaannya, sehingga dapat memacu kinerjanya dan otomatis juga disiplin kerjanya
akan baik, namun bila tenaga guru tersebut tidak merasa puas maka kinerja mereka
akan tidak baik begitupula halnya dengan disiplin kerja mereka yang menjadi tidak
baik pula. Berdasarkan uraian penelitian dari beberapa ahli di atas dijelaskan bahwa
23
kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan aspek afektif adalah faktor yang
penting dalam memprediksi disiplin kerja pegawai.
Hasil dari penelitian dari Chan (2006) dan English (2010) menjelaskan bahwa
komitmen yang dimiliki oleh anggota kelompok akan memberikan energi dan
memotivasi dalam bekerja lebih baik. Anggota kelompok yang berkomitmen tinggi
akan saling menerima, belajar dari anggota kelompok yang lain dan berpartisipasi
penuh dalam setiap kegiatan organisasi. Mereka akan menciptakan norma mereka
sendiri untuk menangani anggota lainnya yang tidak disiplin, mereka akan
mengembangkan norma tersebut, sehingga anggota yang berkomitmen tinggi
berusaha mempertahankan disiplin mereka dan membuat anggota yang lain ikut
memiliki disiplin seperti mereka. Meyer (2002), komitmen afektif yang tinggi
ditemukan berhubungan dengan turnorver karyawan yang rendah, ketidakhadiran
rendah dan kinerja lebih baik. Hasil penelitian Wicaksono (2009), menjelaskan
bahwa disiplin kerja sangat berperan penting dalam produktivitas kerja dalam
organisasi. Penelitian dari Yiing, Lee Huey (2009) yaitu hasil yang signifikan antara
kepuasan kerja dan komitmen organisasi terhadap kinerja dalam disiplin kerja. Hal ini
dapat dilihat dari hasil penelitian menunjukkan jika karyawan memiliki kepuasan
kerja dan komitmen organisasi yang tinggi maka disiplin kerja juga tinggi dan
berdampak pada kinerja.
Pegawai dapat melakukan disiplin kerja jika mengalami subjective well being
yang positif. Subjective well being meliputi evaluasi subjektif seseorang terhadap
keadaan dirinya saat ini dan merupakan kombinasi antara adanya afek positif atau
24
ketiadaan afek negatif serta kepuasan hidup secara umum (Diener, 2008). Seseorang
dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika mereka merasa puas
dengan kondisi hidup mereka dan faktor-faktor yang didapatkan di lingkungan kerja
yang sesuai dengan keinginan pegawai, seringkali merasakan emosi positif dan jarang
merasakan emosi negatif. Pada penelitian ini subjective well being memakai
pendekatan secara hedonic memandang well-being tersusun atas kebahagiaan
subjektif dan berfokus pada pengalaman yang mendatangkan kenikmatan (Edington,
2005 dalam Arbiyah, Nurwiyanti & Oriza, 2008).
Subjective well being kondisi individu melakukan evaluasi pengalaman secara
kognitif yaitu tentang kepuasan hidup dan afektif yaitu afeksi positif maupun negatif
yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang telah diterima. Pegawai dapat
dikatakan memiliki subjective well being yang tinggi, jika pegawai tersebut lebih
banyak menerima hal-hal yang positif pada pengalamannya dan mendatangkan
kebahagiaan. Seorang pegawai memiliki subjective well being yang positif yaitu
pegawai merasakan perasaan yang nyaman dan puas terhadap lingkungan kerja dan
mengalami pengalaman bekerja yang baik yang dilakukan secara afektif, serta
pegawai dapat mengevaluasi secara koginitif yaitu penilaian kepuasan pada
pekerjaannya. Ketika pegawai merasakan kepuasan yang tinggi maka akan timbul
keinginan berkomitmen afektif.
Huang dan Hasio (2007) menyatakan adanya hubungan signifikan dan positif
antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi. Karyawan akan memiliki
komitmen organisasi yang tinggi ketika merasa puas dengan pekerjaan, supervisi,
25
gaji, promosi dan rekan kerja (Harrison dan Hubbard, 1998). Hal tersebut setelah
diterima sesuai dengan harapan dari pegawai maka akan timbul keinginan dan
kemauan untuk berusaha bekerja secara optimal untuk kepentingan institusi dan
keinginan tetap berada di institusi tersebut. Sehingga dampaknya adalah pegawai
tersebut dapat melakukan disiplin kerja yaitu dengan menaati peraturan di institusi
baik tertulis dan tidak tertulis dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya dengan
mengerjakan pekerjaan secara tepat waktu. Hal ini akan berdampak positif untuk diri
pegawai dan sesuai dengan tujuan institusi sehingga produktivitas dari institusi
menjadi efektif dan efisien. Kerangka penelitian yang diajukan oleh peneliti:
Komitmen Afektif
Disiplin Kerja
Kepuasan Kerja
Gambar 1. Kerangka Konseptual Hubungan Antar Variabel
Disiplin kerja para pegawai terhadap organisasi adalah faktor yang penting,
terutama pada bidang pendidikan. Hal ini dikarenakan banyaknya persaingan antara
institusi pendidikan dalam hal kualitas sumber daya manusia. Apabila institusi
memiliki pegawai yang mempunyai disiplin kerja maka kualitas institusi pendidikan
juga semakin tinggi. Maka dari itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk melihat
disiplin kerja dari para pegawai yang bekerja di Universitas X. Peneliti membangun
sebuah kerangka penelitian yaitu kepuasan kerja dan komitmen afektif secara
Recommended