View
16
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK MEREK TERDAFTAR
DARI PERBUATAN PASSING OFF DAN AKIBAT HUKUMNYA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ANWAR FAUZI
NIM: 11140480000051
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
ii
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata-1 (S1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Mei 2018
Anwar Fauzi
v
ABSTRAK
ANWAR FAUZI. NIM 11140480000051. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMILIK MEREK TERDAFTAR DARI PERBUATAN PASSING OFF DAN AKIBAT HUKUMNYA. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. x + 68 Halaman + 3 Halaman Daftar Pustaka + 5 Halaman Lampiran Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan pemboncengan reputasi (passing off) yang masih belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, melihat seperti apa perlindungan hukum yang diberikan oleh Direktorat Jenderal KI kepada pendaftar pertama merek, terutama tehadap merek terkenal seperti GS Yuasa, INK, dan TOYOTA, serta menjelaskan dampak akibat hukum terhadap pelaku usaha yang melakukan perbuatan passing off.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian yuridis-normatif dengan penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan. Jenis penelitian yang penulis lakukan menggunakan kualitatif yang dimana penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis pada putusan kasasi tersebut. Sumber data yang diperoleh melalui wawancara Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan library research.
Hasil penelitian menunjukan tidak adanya pengaturan mengenai tindakan-tindakan apa saja yang disebut sebagai persaingan curang yang terdapat dalam penjelasan Pasal 21, serta belum memadainya kriteria merek terkenal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis mengakibatkan munculnya masalah passing off terhadap merek terkenal. Bangsa Indonesia tunduk kepada instrumen internasional seperti (The Paris Convention for the Protection of Industrial Property/ Konvensi Paris) dan (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Good/TRIPs). Akan tetapi ketentuan ini memberikan kebebasan kepada setiap negara anggota untuk menetapkan dan mengatur keterkenalan suatu merek di negaranya masing-masing. Oleh sebab itu, penentuan keterkenalan suatu merek pada akhirnya tetap diserahkan kepada Majelis Hakim. Dasar hukum passing off maupun kriteria merek terkenal dirasa sangat diperlukan saat ini mengingat perkembangan dunia usaha dan juga era globalisasi yang sudah maju pada zaman modern ini.
Kata Kunci : Passing Off, Merek Terkenal, Putusan Pengadilan
Pembimbing : 1. Dra. Ipah Farihah, M.H
2. Hidayatulloh, M.H.
Daftar Pustaka : 1980 sampai 2014
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بســــــــــــــــــم هللا الرSegala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya, sehingga oleh karenanya Peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK MEREK TERDAFTAR
DARI PERBUATAN PASSING OFF DAN AKIBAT HUKUMNYA”. Adapun
maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini untuk memenuhi salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menemukan beberapa
hambatan, namun berkat bantuan, dukungan serta motivasi dari berbagai pihak,
akhirnya Peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu. Pada
kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat saya ingin
mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Para Wakil Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., sekertaris Program Studi
Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Hidayatulloh, M.H. dan Dra. Ipah Farihah., M.H. Dosen pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing Peneliti dengan
penuh kesabaran, ketelitian, dan tidak henti-hentinya memberikan
masukan, saran maupun kritik serta motivasi yang membangun demi
kebaikan serta terselesaikannya skripsi ini.
4. Kasubdit. Pelayanan Hukum dan Fasilitasi Komisi Banding Merek,
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia yang telah menjelaskan mengenai
kasus maupun berbagi ilmu pengetahuan mengenai bidang merek agar
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
vii
5. Seluruh pimpinan dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan; bagian Tata
Usaha Fakultas Syariah dan Hukum
6. Pihak-pihak terkait terutama kedua orang tua peneliti tercinta Ayahanda
dan Ibunda yang senantiasa dengan penuh kesabaran, kasih sayang yang
tidak henti-hentinya memberikan semangat, doa, saran, dan dukungan
moril, maupun materil sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
Semoga Allah S.W.T membalas semua kebaikan Bapak dan Ibu serta
teman-teman semua dengan berlipat ganda. Peneliti berharap semoga skripsi ini
bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.
Jakarta, 24 Mei 2018
Peneliti
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 7
D. Metode Penelitian ....................................................................... 8
E. Sistematika Penelitian ................................................................. 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA TENTANG MEREK DAN PASSING
OFF
A. Konsep Umum Merek ................................................................. 13
1. Pengertian Merek ................................................................. 13
2. Jenis dan Fungsi Merek ....................................................... 15
3. Persyaratan Merek ............................................................... 17
4. Pendaftaran Merek di Direktorat Jenderal KI ...................... 20
5. Penghapusan dan Pembatalan Merek .................................. 25
B. Konsep Passing Off Dalam Hukum Merek di Indonesia ............ 26
1. Pengertian Passing Off ........................................................ 26
2. Passing Off Menurut Undang-Undang Merek di Indonesia 30
C. Kajian Teoritis ............................................................................ 31
1. Teori Perlindungan Hukum .................................................. 31
2. Teori Kepastian Hukum ........................................................ 34
ix
D. Review (Tinjauan Ulang) Hasil Studi Terdahulu ....................... 35
BAB III DATA PENELITIAN TENTANG YURISPRUDENSI
PASSING OFF
A. Pelanggaran Merek di Indonesia.......................................... 38
B. Yurisprudensi Tentang Perbuatan Passing Off .................... 40
1. Sengketa Merek GS Yuasa dan GS Garuda Sakti Pada
Putusan M.A.R.I Nomor 55 K/Pdt.Sus-HKI/2015 ......... 40
2. Sengketa Merek Toyota dan Toyoko Pada Putusan
M.A.R.I Nomor 03 K/Pdt.Sus-HKI/2012 ....................... 44
BAB IV ANALISIS PERBUATAN PASSIG OFF TERHADAP HAK
ATAS MEREK DAN AKIBAT HUKUMNYA
A. Analisis Kasus Perbuatan Passing Off di Indonesia ................. 47
B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perbuatan Passing Off .... 58
C. Akibat Hukum Dari Perbuatan Passing Off ............................. 62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 66
B. Rekomendasi ............................................................................ 67
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 69
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang sangat pesat, juga
mendorong globalisasi Hak Kekayaan Intelektual. Suatu barang atau jasa
yang hari ini diproduksi di satu negara, di saat berikutnya telah dapat
dihadirkan di negara lain. Kehadiran barang atau jasa yang dalam proses
produksinya telah menggunakan Hak Kekayaan Intelektual, dengan demikian
juga telah menghadirkan Hak Kekayaan Intelektual, pada saat yang sama
ketika barang atau jasa yang bersangkutan dipasarkan. Kebutuhan untuk
melindungi Hak Kekayaan Intelektual dengan demikian juga tumbuh
bersamaan dengan kebutuhan untuk melindungi barang atau jasa sebagai
komoditi dagang. Kebutuhan untuk melindungi barang atau jasa dari
kemungkinan pemalsuan atau dari persaingan yang tidak wajar (curang), juga
berarti kebutuhan untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual yang
digunakan pada atau memproduksi barang atau jasa tadi, Hak Kekayaan
Intelektual tersebut tidak terkecuali mereka.1
Merek merupakan ruang lingkup dari pada Hak Kekayaan Intelektual
yang merupakan suatu hak kebendaan yang sah dan diakui oleh hukum atas
benda tidak berwujud berupa kekayaan/kreasi intelektual, yang dapat berupa
diantaranya hak merek, seperti hak kebendaan lainnya Hak Kekayaan
Intelektual dapat beralih atau dialihkan dan dapat dipertahankan
kepemilikannya oleh siapapun. Atas dasar ketentuan aturan-aturan serta
ketentuan Undang-Undang yang ada. Suatu merek yang menjadi merek
terkenal menjadi andalan pengusaha dalam memenangkan persaingan usaha
yang semakin ketat. Fakta itu merek-merek terkenal menjadi incaran tindakan
passing off bagi pihak-pihak yang beritikad tidak baik.
1 Budi Agus Riswandi dan Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.82.
2
Perlindungan terhadap merek terkenal, baik terdaftar maupun tidak
terdaftar, di Indonesia dapat diperoleh juga melalui hukum perdata. Ketentuan
yang melindungi merek terkenal, terdaftar ataupun tidak terdaftar, adalah
pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) atau Burgelijk
Wetboek (BW) tentang perbuatan melanggar hukum. Sebenarnya pasal ini
tidak ditujukan secara khusus untuk melindungi merek, tetapi ditujukan
secara umum pada semua aktifitas bisnis yang menimbulkan kerugian bagi
pihak lain.
Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran karena
publik sering mengaitkan suatu image, kualitas atau reputasi dan jasa dengan
merek tertentu. Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga
secara komersial. Passing off melindungi pemilik merek reputasi dan pihak-
pihak yang akan membonceng keberhasilan mereka, sehingga para
pembonceng tidak dapat lagi menggunakan merek, kemasan atau indikasi lain
yang bisa mendorong konsumen yakin bahwa produk yang dijual mereka
dibuat oleh orang lain.2
Pemboncengan reputasi pada merek atau biasa dikenal dengan sebutan
Passing Off pada sistem Common Law. Dalam passing off terkait erat dengan
apa yang dimaksud dengan kata reputasi yaitu sebagai sesuatu yang melekat
dalam merek dan selain itu kata goodwill sering juga diartikan “itikad baik”.
Reputasi atau goodwill dalam dunia bisnis dipandang sebagai kunci sukses
atau kegagalan dari sebuah perusahaan sehingga reputasi atau goodwill
sangatlah penting bagi produsen karena dapat meyakinkan pihak konsumen
untuk membeli produknya.3
Definisi umum dari doktrin passing off adalah: a common-law tort to
enforce unregistered trademark. Menurut definisi tersebut, maka ada dua
unsur dari passing off, yaitu:
2 Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, (Bandung: Mandar
Maju, 2012), h.112. 3 Tim Lindsey, dkk. Suatu Pengantar Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: PT. Alumni,
2013), h.152.
3
1. Passing off merupakan tort (yang sering kali disandingkan dengan
perbuatan melawan hukum pada Pasal 1365 BW).
2. Passing off merupakan upaya hukum yang dilakukan pemilik merek
yang belum didaftarkan untuk melindungi mereknya dari digunakan
oleh pihak lain.
Pengertian passing off menurut Black’s Law Dictionary yaitu:4
“The act or an instance of falsely representing one’s own product as that of another in an attempt to deceive potential buyers. Passing off is actionable in tort under the law of unfair competition. It may also be actionable as trademark infringement”.
Berdasarkan Black’s Law Dictionary, bahwa passing off adalah
tindakan atau suatu hal palsu yang menampilkan produknya sendiri seperti
produk orang lain dalam upaya menipu pembeli potensial. Passing off
ditindaklanjuti dalam perbuatan melawan hukum berdasarkan hukum
persaingan curang. Ini juga dapat ditindaklanjuti sebagai pelanggaran hak
merek.
Sebagai pengguna meskipun mereka secara langsung dapat
membedakan merek terkenal dengan merek terkenal palsu tetapi mereka
menghiraukan demi menunjang gaya hidup, keadaan seperti inilah yang perlu
diperhatikan pemerintah agar pemegang merek terkenal/investor mendapat
jaminan perlindungan hukum terhadap berkembangnya merek-merek terkenal
palsu dalam skala besar. Mereka harus memiliki daya pembeda yang cukup
(capable of distinguishing), artinya memiliki kekuatan untuk membedakan
barang atau jasa suatu perusahaan lainnya. Agar mempunyai daya pembeda,
merek itu harus dapat memberikan penentuan pada barang atau jasa yang
bersangkutan.5 Dalam Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis berbunyi:
4 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, (St. Paul,Minn: West
Publishing Co, 2004), h.1115. 5 Tomi Utomo Suro, Hak Kekayaan Intelektual di Era Global, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010), h.209.
4
“Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara
kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk
jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau
memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya”.
Dimaksudkan untuk melindungi pemilikan atas merek, investasi, dan
nama baik (goodwill) dalam suatu merek, dan untuk melindungi konsumen
dari kebingungan menyangkut asal usul suatu barang atau jasa. Namun masih
banyak perilaku masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap merek,
menunjukan bahwa masih rendahnya pemahaman terhadap norma-norma
hukum yang berlaku khususnya yang tercantum dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Merek dan Indikasi Geografis atau yang lebih
kita kenal dengan kesadaran hukum6.
Permasalahan sengketa merek semakin beragam tersebut juga terjadi
terkait dengan adanya perbuatan-perbuatan pelaku usaha yang berbuat curang
dalam melakukan persaingan usaha. Seperti merek yang sudah terdaftar lebih
dahulu di Dirjen KI sebagai Daftar Umum Merek yang ternyata ditemukan
adanya kesamaan dalam merek berupa kata dan pengucapan suara yang jelas
sama dengan pendaftar merek lain.
Ada salah satu contoh kasus passing off yang dialami oleh perusahaan
aki GS Yuasa Corporation yang berasal dari Jepang. Perusahaan tersebut
telah terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dari tahun 1974,
diperpanjang terus-menerus sampai tahun 2014 dengan datar nomor
IDM000027599 termasuk dalam kelas 9. Bahwa pihak GS Yuasa Corporation
mengetahui adanya pesaing yang pelafalan merek nya hampir serupa yaitu
“GS Garuda Sakti” milik Yudi Tanto yang telah disetujui pendaftarannya
oleh Direktorat Jenderal KI pada tahun 2008 di Indonesia. Dari kasus tersebut
terlihat persamaan pada pokoknya yaitu terlihat dalam penggunaan merek GS
Garuda Sakti, terdiri dari huruf GS yang dominan, bahkan sangat identik
dengan merek milik GS Yuasa. Dan merek GS milik Penggugat dengan
6 Jaya Sopyansyah, dan Durachman Yusuf, Etika Bisnis dan Hak Kekayaan Intelektual,
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h.182.
5
Tergugat, sama-sama didaftarkan pada barang kelas 9 khususnya pada jenis
barang accu. Selain itu, memiliki kesamaan dalam kata GS yang merupakan
pokok merek, sedangkan kata Garuda Sakti merupakan keterangan yang
menjelaskan kata GS. Hal ini didukung dengan tampilan kata GS pada merek
Tergugat yang lebih besar, dibandingkan dengan tampilan kata Garuda Sakti.
Dengan demikian tampilan kata GS pada merek Tergugat I sangat dominan.
Bahwa apabila merujuk dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek bahwa telah dijelaskan ketika telah ditemukan persamaan
pada pokoknya dan/atau keseluruhannya dengan merek milik orang lain yang
telah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa sejenis maka
Direktorat Jenderal KI harus menolaknya, akan tetapi ketika melihat fakta
kasus yang sudah terjadi Direktorat Jenderal KI tetap menerima pendaftaran
merek yang diidentifikasi memiliki persamaan merek.
Menurut peneliti perlindungan hukum bagi pemegang merek terdaftar
merupakan suatu hal yang krusial dalam kekayaan intelektual, karena masih
banyak pihak-pihak yang berani melakukan tindakan passing off yang sudah
sangat jelas merugikan bagi pihak pemegang merek terdaftar. Dengan adanya
ketidakpastian perlindungan hukum pemilik merek terdaftar dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis maka
peneliti tertarik mengangkat tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam
sebuah skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Pemilik Merek
Terdaftar Dari Perbuatan Passing Off Dan Akibat Hukumnya
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang disampaikan terdapat beberapa
persoalan yang berkaitan dengan perlindungan hukum pemilik merek
terdaftar dari perbuatan passing off dan akibat hukumnya.
Dari latar belakang berfikir tersebut terdapat berbagai masalah
yang muncul yaitu:
6
a. Ketentuan dan pengaturan mengenai kepemilikan merek terdaftar
di Indonesia.
b. Tata cara memperoleh perlindungan hukum bagi pemilik merek
terdaftar terhadap perbuatan pemboncengan reputasi (passing off).
c. Perlindungan konsumen akibat pelanggaran merek yang
merugikan.
d. Unsur itikad tidak baik dalam melakukan pendaftaran merek.
e. Ketegasan sistem pendafaran merek serta masa perlindungan
merek.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya
lebih jelas dan terarah sesuai yang diharapkan peneliti. Di sini peneliti
hanya akan membahas masalah yakni perlindungan hukum pendaftar
pertama merek terhadap praktik passing off di Indonesia. Kegunaan dari
pada batasan masalah yang saya timbulkan ini ada untuk membatasi
pembahasan materi saya agar lebih terarah dan fokus sehingga tidak
terjadi kesalahpahaman serta pemecahan konsentrasi pembahasan
nantinya.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan masalah dan pembatasan masalah yang telah diuraikan
di atas, maka peneliti merumuskan masalah utama adalah:
Bagaimana perlindungan hukum terhadap pemilik merek terdaftar
dari perbuatan passing off dan akibat hukumnya?
Selanjutnya pertanyaan riset dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut
a. Bagaimana pengaturan passing off dalam hukum merek di
Indonesia?
7
b. Bagaimana perlindungan hukum bagi pendaftar pertama merek
terhadap praktik passing off ?
c. Bagaimana akibat hukum dari adanya perbuatan passing off
terhadap merek terdaftar?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap hal berikut:
a. Untuk mengetahui pengaturan dan ketentuan passing off dalam sistem
hukum di Indonesia
b. Untuk mengetahui cara memperoleh perlindungan hukum terhadap
perbuatan passing off
c. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap perbuatan passing off
terhadap hak atas merek.
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan-tujuan tersebut diatas, skripsi ini juga diharapkan dapat
bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya :
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang dapat diperoleh dari penelitian ini, ialah:
1) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam
perkembangan ilmu hukum khususnya pada bidang Hak
Kekayaan Intelektual terkait tindakan passing off merek.
2) Diharapkan dapat memberikan dan menambah refrensi penulisan
Hak Kekayaan Intelektual khususnya mengenai perbuatan passing
off merek serta menjadi masukan daripada penulisan selanjutnya
dalam penulisan karya ilmiah pada masa yang akan datang.
3) Dapat menerapkan ilmu-ilmu yang selama ini ditempuh dalam
bangku perkuliahan dalam menganalisis maupun penerapannya
secara langsung dilapangan.
8
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini, ialah:
1) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada
lembaga atau instansi terkait dalam upaya permohonan dan
pendaftaran merek.
2) Diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam
menganalisis permasalahan perlindungan hukum merek dan
dalam memberikan kebijakan-kebijakan dan konsekuensi hukum
yang berkaitan dengan penegakan hukum dalam memberantas
tindak kecurangan dalam perbuatan passing off di Indonesia,
sehingga dapat tercipta nya persaingan usaha dalam praktek bisnis
yang seadil-adilnya.
3) Diharapkan dapat turut serta menginpirasi para masyarakat dan
mahasiswa.
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang akan digunakan oleh
penelitian ini adalah:
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian yang digunakan oleh penulis menggunakan metode
penelitian yuridis-normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu
pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan
dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat
atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.7
2. Jenis Penelitian
Mengenai jenis penelitian yang digunakan yaitu kualitatif. Jenis
penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang
7 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.105.
9
bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Proses dan
makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.8
Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus
penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga
bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian
dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.
Jenis penelitian ini secara lebih spesifik menggunakan jenis
penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini
dimaksud untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat
memberikan data seteliti mungkin tentang objek yang diteliti.9
3. Sumber Data dan Bahan Hukum
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data
primer dan sekunder. Data primer dapat diperoleh dari sumber pertama,
yakni perturan perundang-undangan, wawancara dengan pihak yang
terlibat secara langsung dan buku refrensi yang relevan dengan penelitian
peneliti dan sesuai dengan bahan hukum yang dapat dibagi menjadi:10
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif yang artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum
primer meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan atau putusan-putusan
hukum. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum utama.
Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah: Undang-
Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek dan Indikasi Geografis, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h.43.
10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), h.141.
10
Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang dapat
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang
diharapkan mendukung penulisan ini. Bahan hukum sekunder terdiri
dari buku-buku yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual
terkait hak merek, hukum bisnis, jurnal-jurnal, media cetak dan
media elektronik.11
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu berupa literature yang berasal dari
non hukum yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian dan
juga dapat membantu memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder sebelumnya. Bahan hukum tersier terdiri dari
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus hukum, majalah,
koran, internet, dan lainnya.12
4. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini, peneliti mempergunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen/kepustakaan (library research), yaitu dengan
mencari dan menganalisis peraturan perundang-undangan serta sumber
bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan merek dan
perlindungan hukum hak atas merek, doktrin, surat kabar, artikel, kamus,
dan juga berita yang peneliti peroleh dari internet. Tujuan dan kegunaan
studi kepustakaan pada dasarnya untuk menunjukan jalan pemecah
permasalahan penelitian, maka peneliti akan lebih siap dengan
pengetahuan yang lebih dalam dan lengkap.
11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), h.15. 12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum... h. 143.
11
5. Analisis Data
Bahan hukum seperti aturan perundang-undangan, penelitian
studi kepustakaan, dan artikel-artikel lainnya dihubungkan agar bahan
hukum tersebut tersusun secara runtut, sistematis sehingga akan
memudahkan peneliti dalam melakukan analisis.13 Setelah data tersebut
dihasilkan, selanjutnya peneliti melakukan pengolahan data dengan cara
kualitatif yaitu suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif
analisis, dimana data tersebut tidak menampilkan angka-angka sebagai
penelitiannya melainkan dihasilkan dalam bentuk pembahasan dengan
uraian kalimat-kalimat dan dipaparkan dalam bentuk tulisan.
Hasil dari analisis data ini akan diolah secara deduktif yaitu cara
berfikir yang menarik suatu kesimpulan dari suatu pertanyaan yang
bersifat umum menjadi suatu pertanyaan yang bersifat khusus yang mana
dari kesimpulan dapat diajukan beberapa saran terhadap permasalahan.
E. Sistematika Penelitian
Skripsi ini disusun berdasarkan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” terbitan tahun 2017
dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Untuk menjelaskan isi
skripsi secara menyeluruh ke dalam penulisan yang sistematis dan terstruktur
maka skripsi ini disusun dengan sistematika penulisan yang terdiri dari
beberapa sub bab, yaitu:
BAB I, pada bagian bab ini menguraikan mengenai alasan dalam
pemilihan judul, diuraikan juga mengenai Latar Belakang Masalah,
Identifikasi Masalah, Pembatasan, dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, , Metode Penelitian, Rancangan Sistematika Penulisan.
13 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Ahmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris”… h.180.
12
BAB II, dalam bab ini akan menguraikan tentang kerangka konseptual
dan selanjutnya akan dilanjutkan dengan teori-teori yang mendukung
permasalahan skripsi ini. Dalam teori ini peneliti akan membahas ketentuan
umum mengenai pengaturan merek di Indonesia, yang menguraikan teori
mengenai konsep umum tentang merek , pengertian merek, jenis merek,
fungsi merek. Diuraikan juga mengenai pendaftaran merek serta mekanisme
persyaratan merek, penghapusan dan pembatalan merek di Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual. Selanjutnya akan dibahas pula mengenai
konsep passing off dalam hukum merek di Indonesia, dan terdapat penjelasan
mengenai kajian teoritis yaitu teori perlindungan hukum dan teori kepastian
hukum, serta terdapat tinjauan review kajian terdahulu.
BAB III, dalam bab ini akan memaparkan tentang data penelitian yang
berisikan yurisprudensi passing off yang di dalamnya akan menjelaskan
beberapa putusan mengenai sengketa merek terhadap perbuatan passing off di
Indonesia.
BAB IV, bab ini merupakan inti dari penulisan skripsi yaitu berisi
analisis kasus perbuatan passing off di Indonesia, faktor-faktor penyebab
terjadinya perbuatan passing off, dan akibat hukum dari perbuatan passing off
BAB V, bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi, berisi
tentang kesimpulan dan rekomendasi peneliti yang didapatkan berdasarkan
pemaparan pada bab-bab sebelumnya.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA TENTANG MEREK DAN PASSING OFF
A. Konsep Umum Merek
1. Pengertian Merek
Pengertian merek perlu mendapat uraian dan penjelasan lebih jelas
dan terperinci untuk menghindari kesimpangsiuran dari arti yang
sebenarnya yang dapat menimbulkan salah pengertian, permasalahannya,
karena banyak bentuk kreasi yang berkaitan dengan ciptaan suatu barang
dan jasa tertentu masing-masing mempunyai ciri yang spesifik dan
menyerupai dengan yang lain.
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang 15 Tahun 2001 tentang Merek,
diberikan suatu definisi tentang merek yaitu; tanda yang berupa gambar,
nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam
kegiatan perdagangan barang atau jasa. Adapun, dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis terbaru
memberikan suatu definisi adalah tanda yang dapat ditampilkan secara
grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna,
dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram,
atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan
barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam
kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Perbedaannya yaitu pada UU
Merek yang baru telah memperluas merek yang akan didaftarkan. Di
antaranya penambahan merek 3 dimensi, merek suara, dan merek
hologram.
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa batasan atau definisi merek
dikalangan pakar hukum, meliputi:
a. Menurut Todung Mulya Lubis, menjelaskan “merek adalah tanda
pada dirinya terkandung daya pembeda yang cukup (capable of
14
distringuisshing) dengan barang-barang sejenis, kalau tidak ada
daya pembeda maka tidak mungkin disebut merek”.1
b. Pendapat R. Soekardono, definisi merek adalah suatu tanda (ciri atau tengger) dengan nama dipribadikan sebuah barang tertentu, dimana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitasnya barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain.2
c. Muhammad Djumhana dan R. Djubaidillah, memberikan rumusan bahwa Merek yaitu dengan mana dipribadikanlah suatu barang tertentu, untuk menunjukan asal barang, dan jaminan kualitasnya sehingga bisa dibandingkan dengan barang-barang sejenis yang dibuat, dan diperdagangkan oleh orang atau perusahaan lain.3
d. Iur Soeryatin, merumuskan merek dari meninjau aspek fungsinya yaitu, suatu merek dipergunakan untuk membedakan barang yang bersangkutan dari barang sejenis lainnya. Oleh karena itu, barang yang bersangkutan dengan diberi merek tadi mempunyai: tanda asal, nama, jaminan terhadap mutunya.4
e. Pendapat H.M.N Purwo Sutjipto, memberikan definisi “merek
adalah suatu tanda dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan,
sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis”.5
Beberapa pengertian di atas menunjukan bahwa pada mulanya merek
hanya diakui untuk barang. Merek jasa baru diakui Konvensi Paris (Paris
Conventin) pada perubahan di Lisabon tahun 1958. Di Inggris merek jasa
baru bisa didaftarkan, dan mempunyai konsekuensi yang sama dengan
1 Todung Mulya Lubis, Perselisihan Hak Atas Merek di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2000), h.5.
2 R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1983), h.149. 3 Djumhana dan Djubaidillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di
Indonesia), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.121. 4 Suryatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Prad Paramita, 1980), h.84. 5 H.M.N Purwo Sutjipto, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang, (Jakarta: Djambatan,
1984), h.82.
15
merek barang, setelah adanya undang-undang hasil revisi pada tahun 1958.
Di Inggris merek jasa baru bisa didaftarkan, dan mempunyai konsekuensi
yang sama dengan merek barang, setelah adanya undang-undang hasil
revisi pada tahun 1984 atas UU Trademarks 1938. Di Indonesia sendiri
merek jasa baru dicantumkan pada Undang-Undang Merek Tahun 1992.
Berdasarkan pendapat-pendapat sarjana tersebut, maupun dari
peraturan merek itu sendiri, secara umum dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa yang diartikan dengan perkataan merek adalah suatu tanda (sign)
untuk membedakan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan
atau diperdagangkan seseorang atau kelompok orang atau badan hukum
dengan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan oleh orang
lain, yang memiliki daya pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya
dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.6
2. Jenis dan Fungsi Merek
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan
Indikasi Geografis telah mengatur tentang jenis-jenis merek, yaitu:
a. Merek dagang, dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Merek dan Indikasi Geografis adalah merek
yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan barang sejenis lainnya. Hal ini berarti merek
dagang maupun merek barang adalah sama saja mengandung
pengertian yang sama yaitu merek barang. Contoh merek dagang
antara lain: Samsung, Panasonic, Miyako, LG, dan lain-lain;
b. Merek jasa, dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 Tentang Merek dan ndikasi Geografis adalah merek
yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
6 OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights),
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.345.
16
membedakan dengan jasa-jasa lainnya. Contoh merek jasa antara
lain: POS Indonesia, JNE, TIKI, dan lain-lain.
Selain jenis merek di atas, adapun jenis merek kolektif pada Pasal 1
Ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan
Indikasi Geografis adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau
jasa dengan karakteristik yang sama mengenai sifat, ciri, umum, dan mutu
barang atau jasa serta pengawasannya yang akan diperdagangkan oleh
beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk
membedakan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.
Di samping jenis merek sebagaimana tercantum dalam Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, terdapat beberapa jenis
merek yang dimaksudkan untuk membedakan dari jenis barang sejenis
milik orang lain menurut R.M. Suryodiningrat, yaitu:7
a. Merek kata yang terdiri dari kata-kata saja, misalnya: Good Year, Dunlop, sebagai mere kaki, ban mobil, dan ban sepeda
b. Merek lukisan adalah merek yang terdiri dari lukisan saja yang tidak pernah atau setidak-tidaknya jarang sekali dipergunakan;
c. Merek kombinasi kata dan lukisan, banyak sekali dipergunakan.
Sedangkan menurut Soeryatin telah mengklasifikasikan beberapa jenis
merek, yaitu:8
a. Merek Lukisan (beel mark); b. Merek Kata (word mark); c. Merek Bentuk (form mark); d. Merek Bunyi (klank mark); e. Merek Judul (little mark).
Fungsi utama dari sebuah merek agar konsumen dapat memilih suatu
produk (baik itu barang dan/atau jasa) yang dimiliki oleh perusahaan
sehingga dapat dibedakan dari produk perusahaan lain yang serupa atau
mirip yang dimiliki oleh pesaingnya. Karena bagi pengguna barang
7 OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights)… h.346. 8 Tim Lindsey, dkk. Suatu Pengantar Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: PT. Alumni,
2013), h.134.
17
dan/atau jasa meskipun mereka secara langsung dapat membedakan merek
terkenal dengan merek terkenal palsu tetapi mereka menghiraukannya
demi menunjang gaya hidup, keadaan seperti inilah yang perlu
diperhatikan pemerintah agar pemegang merek terkenal/investor mendapat
jaminan perlindungan hukum terhadap berkembangnya merek-merek
terkenal palsu dalam skala besar.
Untuk memenuhi fungsinya, merek digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang dan/atau jasa. Fungsi merek adalah sebagai berikut:9
a. Tanda pengenal untuk membedakan produk perusahaan yang satu
dengan produk perusahaan yang lain (Produk Identity). Fungsi ini
juga menghubungkan barang atau jasa dengan produsennya sebagai
jaminan reputasi hasil usahanya ketika diperdagangkan.
b. Sarana Promosi dagang (means of trade promotion). Promosi
tersebut dilakukan melalui iklan produsen atau pengusaha yang
memperdagangkan barang atau jasa. Merek merupakan salah satu
good will untuk menarik konsumen merupakan simbol pengusaha
untuk memperluas pasar produk atau barang dagangannya.
c. Jaminan atas mutu barang atau jasa (quality guarantee). Hal ini
tidak hanya menguntungkan produsen pemilik merek, melainkan
juga perlindungan jaminan mutu barang atau jasa bagi konsumen.
d. Penunjukan asal barang atau jasa yang dihasilkan (source of
origin). Merek merupakan tanda pengenal asal barang atau jasa
yang menghubungakan barang atau jasa dengan produsen, atau
antara barang atau jasa dengan daerah/negara asalnya.
3. Persyaratan Merek
Terdapat syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap orang atau
badan hukum ketika ingin mendaftarkan merek tersebut harus memliki
9 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya
Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.84.
18
daya pembedaan yang cukup.10 Jika suatu barang atau hasil produksi suatu
perusahaan tidak mempunyai kekuatan pembedaan dianggap sebagai tidak
cukup mempunyai kekuatan pembedaan dan karenanya bukan merupakan
merek.
Merek juga harus didaftarkan dengan itikad baik. Jika seseorang
mencoba mendaftarkan sebuah merek yang disadarinya sebagai merek
milik orang lain atau serupa dengan milik orang lain, merek tersebut tidak
dapat didaftarkan. Persyaratan itikad baik juga berarti bahwa untuk dapat
didaftarkan, sebuah merek harus digunakan atau dimaksudkan untuk
digunakan dalam perdagangan barang dan atau jasa.11
Terdapat ketentuan merek yang tidak dapat didaftarkan yang telah
diatur dalam Pasal 20 huruf (a) sampai (f) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Bahwa merek tidak
dapat didaftarkan apabila mengandung salah satu unsur dibawah ini:
a. Bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-
undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, dan
ketertiban umum;
b. Sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang
dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya;
c. Memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal,
kualitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau
jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama
varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang
sejenis;
d. Memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat,
khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi;
e. Tidak memiliki daya pembeda;
f. Merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum.
10 OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights)…h.348. 11 Tim Lindsey, dkk. Suatu Pengantar Hak Kekayaan Intelektual…h.141.
19
Dengan menambah beberapa unsur terkait persyaratan merek yang
tidak dapat di daftarkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis, bahwa Dirjen KI (Kekayaan
Intelektual) lebih memperketat terkait syarat suatu merek yang tidak dapat
didaftarkan, agar seseorang atau badan hukum dapat mendaftarkan merek
nya dengan itikad baik dan lebih menjamin produk yang ingin didaftarkan
sesuai dengan penjelasan kualitas maupun manfaat dari produk tersebut
agar konsumen tidak dirugikan.
Dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis Permohonan ditolak jika merek
tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan:
a. Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh
pihak lain untuk barang dan/ataujasa sejenis;
b. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak
sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau
d. Indikasi Geografis terdaftar.
Dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis, permohonan ditolak jika merek
tersebut:
a. Merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama orang
terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain,
kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
b. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama,
bendera, lambang atau simbol atau emblem suatu negara, atau
lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan
tertulis dari pihak yang berwenang; atau
c. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel
resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah,
kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
20
4. Pendaftaran Merek di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual
Pendaftaran merek bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum dan
perlindungan hukum terhadap hak atas merek. Bahwa hak atas merek baru
bisa diperoleh jika merek tersebut telah didaftarkan terlebih dahulu di
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dibawah naungan Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Maka bersifat wajib hukumnya bagi
pemilik merek yang ingin mendapatkan perlindungan hukum dari
pemerintah dan bertujuan untuk meminimalisir maraknya perbuatan
passing off di Indonesia.
Secara Internasional menurut pendapat Soegondo Soemodiredjo yang
dikutip oleh OK. Saidin, bahwa ada 4 sistem pendaftaran merek, yaitu:12
a. Pendaftaran merek tanpa pemeriksaan merek terlebih dahulu. Menurut sistem ini merek dapat didaftarkan asal syarat-syarat permohonannya telah dipenuhi seperti pembayaran biaya permohonan, pemeriksaan, dan pendaftaran. Negara yang menganut sistem ini adalah Perancis, Belgia, Luxemberg, dan Rumania.
b. Pendaftaran dengan pemeriksaan merek terlebih dahulu. Hanya merek yang memenuhi syarat dan tidak mempunyai persamaan pada keseluruhan atau pada pokoknya dengan merek yang telah didaftarkan sebelumnya. Negara yang membangun sistem ini adalah Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Indonesia.
c. Pendaftaran dengan pengumuman sementara. Sebelum merek tersebut didaftarkan, akan diumumkan terlebih dahulu untuk memberi kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan-keberatan tentang pendaftaran merek tersebut. Sistem ini dianut oleh negara Spanyol, Columbia, Mexico, Brazil, dan Amerika.
d. Pendaftaran merek dengan pemberitahuan terlebih dahulu tentang adanya merek-merek terdaftar lain yang ada persamaannya. Negara yang menganut sistem ini adalah Swiss dan Australia.
Dalam kepustakaan dikenal dua macam sistem pendaftaran merek,
yaitu sistem konstitutif (first to file principle) dan sistem deklaratif (first to
use principle). Dalam sistem konstitutif, hak atas merek diperoleh melalui
pendaftaran, artinya hak eksklusif atas suatu merek diberikan karena
12 OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights)…h.362.
21
adanya pendaftaran (required by registration). Dengan ungkapan lain,
pada sistem konstitutif pendaftaran merek merupakan hal yang mutak
dilakukan. Merek yang tidak terdaftar, otomatis tidak akan mendapat
perlindungan hukum.13
Namun, di dalam sistem deklaratif, pendaftaran merek tidak
merupakan keharusan, jadi tidak ada wajib daftar merek. Pendaftaran
hanya untuk pembuktian, bahwa pendaftaran merek adalah pemakai
pertama dari merek yang bersangkutan. Pendaftaran itu bukanlah
menerbitkan hak, melainkan hanya, memberikan dugaan atau presumsition
iuris yaitu bahwa pihak yang mereknya terdaftar itu adalah pihak yang
berhak atas merek tersebut dan sebagai pemakai pertama dari merek yang
didaftarkan.14
Indonesia menganut sistem konstitutif dalam sistem pendaftaran
mereknya, sehingga yang berhak atas suatu merek adalah pihak yang telah
mendaftarkan mereknya. Pendaftaran itu menciptakan suatu hak atas
merek tersebut, pihak yang mendaftarkan ialah satu-satunya yang berhak
atas suatu merek dan pihak ketiga harus menghormati haknya pendaftar
sebagai hak mutlak.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan
Indikasi Geografis, merek dapat didaftarkan melalui 2 (dua) cara yaitu
melalui elektronik atau nonelektronik. Jika mendaftarkan melalui
elektronik maka dilakukan melalui laman resmi Direktorat Jenderal
Kekayaan Intelektual, dan apabila pendaftaran dilakukan melalui
noneleltronik maka pendaftaran harus dilakukan melalui Menteri
Permohonan pendaftaran merek harus diajukan dalam Bahasa Indonesia
dengan formulir rangkap 2 (dua) kepada Menteri, oleh pemohon atau
kuasa, dengan melampirkan bukti pembayaran biaya pendaftaran merek.
13 Rahmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia, (Jakarta: PT. Alumni, 2006), h.331. 14 Djumhana dan Djubaidillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di
Indonesia), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.225.
22
Dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67
Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek, bahwa dalam surat permohonan
harus dicantumkan sebagai berikut:
a. Tanggal, bulan, tahun Permohonan;
b. Nama lengkap, kewarganegaraan dan alamat pemohon;
c. Nama lengkap dan alamat kuasa apabila permohonan merek
diajukan melalui kuasa;
d. Warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya
menggunakan unsur-unsur warna;
e. Nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali
dalam hal permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.
f. Label merek
g. Kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau
jenis jasa.
Adapun permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas. Secara
umum hak prioritas ialah hak yang diberikan kepada pendaftar Hak
Kekayaan Intelektual, dimana tanggal penerimaan dianggap sama dengan
tanggal penerimaan pertama di negara asal. Dianggap sama berarti
bukanlah dalam pengertian yang sebenarnya, namun berupa pengakuan
saja. Sebagaimana dijelaskan juga hak prioritas dalam Pasal 1 Ayat (17)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis, yaitu:
“Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris tentang Pelindungan Kekayaan Industri (Paris Convention for the Protection of Industrial Property) atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization) untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan di negara anal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu, selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan perjanjian internasional dimaksud”
23
Permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas ini diatur dalam
Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek dan Indikasi Geografis, yaitu:
a. Diajukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak
tanggal penerimaan permohonan pendaftaran Merek yang
pertama kali diterima dinegara lain, yang merupakan anggota
dalam Paris Convention dor the Protection of Industrial Property
atau anggota Agreement Establishing the World Trade
Organization
b. Dilengkapi dengan bukti tentang penerimaan permohonan
pendaftaran merek yang pertama kali yang menimbulkan hak
prioritas tersebut.
c. Apabila terjadi ketidaklengkapan persyaratan pendaftaran merek,
maka jangka waktu pemenuhan kekurangan persyaratan tersebut
paling lama (tiga) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu
pengajuan permohonan dengan menggunakan hak prioritas.
Bagi pemilik merek yang bertempat tinggal di luar negeri tidak boleh
mengajukan permohonan pendaftaran merek secara langsung sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Undang-Undang ini mewajibkan
pemilik merek untuk mengajukan permohonan melalui kuasanya.
Pemohon tidak boleh menggunakan kuasa asing melainkan wajib
menggunakan kuasa yang berasal dari Indonesia. Selain itu juga undang-
undang merek mewajibkan pemohon memilih domisili di tempat tinggal
kuasanya di Indonesia. Peneliti akan menjelaskan mengenai perbandingan alur pendaftaran
merek dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek di
bandingkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek dan Indikasi Geografis, sebagai berikut:
24
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016
Permohonan Merek
Permohonan Merek
Pemeriksaan Administratif
Pemeriksaan Administratif
Pemeriksaan Substantif
Pengumuman
Tanggapan Keberatan
Pengumuman Sanggahan
Sanggahan Pemeriksaan Substantif
Pemeriksaan Kembali
Tanggapan
Sertifikasi Sertifikasi
25
5. Penghapusan dan Pembatalan Merek
Penghapusan dan pembatalan pendaftaran merek diatur dalam Pasal
72 sampai dengan 79 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek dan Indikasi Geografis, bahwa merek terdaftar dapat dihapuskan
karena empat kemungkinan yaitu:
a. Atas prakasa Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual;
b. Atas permohonan dari pemilik merek yang bersangkutan;
c. Atas putusan Pengadilan berdasarkan gugatan penghapusan;
d. Tidak diperpanjang jangka waktu pendaftaran mereknya;
e. Merek yang masih terikat dengan perjanjian lisesnsi dan
dihapuskan dengan disetujui oleh penerima lisensi tersebut.
Penghapusan pendaftaran merek atas prakarsa Direktorat Jenderal KI
tercantum pada Pasal 61 ayat 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek dapat dilakukan apabila:
a. Merek terdaftar tidak digunakan selama (tiga) tahun berturut-turut
dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal
pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan
yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal KI, yaitu: larangan
impor, larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang
yang menggunakan merek yang bersangkutan atas keputusan dari
pihak yang berwenang yang bersifat sementara atau larangan
serupa lainnya yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
b. Merek digunakan untuk barang dan/atau jasa yang tidak sesuai
dengan jenis barang dan/atau jasa yang dimohonkan
pendaftarannya, termasuk pemakaian merek yang tidak sesuai
dengan merek yang didaftarkan.
Untuk penghapusan pendaftaran merek di dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, telah
menambahkan mengenai penghapusan pendaftaran merek atas prakarsa
Menteri dalam Pasal 72 ayat 7 UU Merek dan Indikasi Geografis Tahun
2016, meliputi:
26
a. Memiliki persamaan pada pokoknya dan/atau keseluruhannya
dengan Indikasi Geografis;
b. Bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-
undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum;
atau
c. Memiliki kesamaan pada keseluruhannya dengan ekspresi budaya
tradisional, warisan budaya takbenda, atau nama atau logo yang
sudah merupakan tradisi turun temurun.
Pada Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis, gugatan pembatalan pendaftaran
merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 tahun sejak tanggal
pendaftaran merek. Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu
apabila merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas agama,
kesusilaan, atau ketertiban umum.
B. Konsep Passing Off Dalam Hukum Merek di Indonesia
1. Pengertian Passing Off dan Dasar Hukumnya
Passing off diartikan adalah tindakan yang mencoba meraih
keuntungan melalui jalan pintas dengan segala cara dan dalih melanggar
etika bisnis, norma kesusilaan maupun hukum. Tindakan ini dapat terjadi
dengan meniru atau memiripkan kepada merek kepemilikan pihak lain
yang telah memiliki reputasi baik dan cara meniru reputasi (good will) ini
dapat terjadi pada bidang merek, paten, desain industry maupun bidang
hak cipta. Passing Off dapat juga diartikan sebuah istilah untuk menyebut
suatu perbuatan yang tidak fair dalm bisnis (unfair competition), dimana
seseorang memanfaatkan ketenaran merek terdaftar pihak lain untuk
keuntungan pribadi.15
15 OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights)…h.312
27
Pengertian passing off menurut Black’s Law Dictionary yaitu:16
“The act or an instance of falsely representing one’s own product as that of another in an attempt to deceive potential buyers. Passing off is actionable in tort under the law of unfair competition. It may also be actionable as trademark infringement”. (Terjemahannya: tindakan atau suatu hal palsu yang menampilkan produknya sendiri seperti produk orang lain dalam upaya menipu pembeli potensial. Passing off ditindaklanjuti dalam perbuatan melawan hukum berdasarkan hukum persaingan curang. Ini juga dapat ditindaklanjuti sebagai pelanggaran hak merek).
Muhammad Djumhana dan Djubaedillah memberikan definisi mengenai passing off yaitu tindakan yang mencoba meraih keuntungan melalui jalan pintas dengan segala cara dan dalih dengan melanggar etika bisnis, norma kesusilaan maupun hukum. Tindakan ini bisa terjadi dengan mendompleng dengan secara meniru atau memirip-miripkan kepada kepunyaan orang lain yang telah memiliki reputasi baik. Cara mendompleng reputasi ini bisa terjadi pada bidang merek, paten, desain industri maupun hak cipta.17
Ketentuan mengenai passing off dalam Undang-Undang Merek di
Indonesia tidak diatur secara khusus, akan tetapi terkait perlindungan
hukum terhadap praktik passing off adalah termasuk mengenai reputasi
nama baik (good will). Dengan demikian diperlukan penjelasan lebih
lanjut mengenai perlindungan hukum terhadap pemilik merek terdaftar
dari perbuatan passing off yang dapat dijelaskan melalui KUHPer, KUHP,
dan Agreement on Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights
Including Trade Counterfeid Goods (TRIPs). Dari semua sumber hukum
yang telah disebutkan diatas bahwa sebenarnya belum terdapat pasal
tertentu yang menjelaskan secara spesifik mengenai passing off, namun
pada hakikatnya ketentuan passing off dapat dilihat dari sisi dasar hukum
dan merujuk pada berbagai pasal yang berkaitan dengan passing off, yaitu:
a. Pasal 15 ayat (1) TRIPs berbunyi:
16 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, (St. Paul,Minn: West
Publishing Co, 2004), h.1115.
17 Djumhana dan Djubaidillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia)…h.265.
28
Any sign, or combination of sign, capable distinguishing the goods or services of one undertalking, shall be capable of constituting a trademark. Such signs in particular words including personal names, letters, numerals, figurative elements and combination of colors as well as any combination of such signs shall be eligible for registration as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or services, members may require as a condition of registration that sign be visually perceptible; (Terjemahannya: tiap apapun atau kombinasi apapun dari tanda, yang dapat membedakan barang atau jasa satu perusahaan dari perusahaan lain, dapat menjadi merek dagang. Tanda-tanda tersebut khususnya kata-kata termasuk nama pribadi, huruf-huruf, angka-angka, elemen-elemen figurative dan kombinasi dari warna seperti juga halnya dengan kombinasi dari tanda-tanda tersebut dapat disetujui untuk mendaftarkan sebagai merek dagang. Dimana tanda-tanda tidak secara langsung dapat membedakan barang atau jasa yang relevan, para anggota dapat membuat hal yang dapat didaftarkan bergantung pada pembedaan yang didapat melalui penggunaan. Para anggota dapat meminta sebagai suatu kondisi pendaftaran bahwa tanda-tanda dapat dilihat dengan jelas).
b. Pasal 16 ayat (1) TRIPs, berbunyi:
The owner of a registered trademark shall have the exclusive rights to prevent all third parties not having the owner’s consent from us-ing in the course of trade identical or similar signs for goods or services which are identical or similar to those in respect of which the trademark is registered where such use would result in a likehood of confusion shall be presumed. The right described above shall not prejudice any existing prior rights, not shall the affect the possibility of members making rights available on the basic of use. (Terjemahannya: pemilik suatu merek dagang terdaftar memiliki hak ekslusif untuk mencegah pihak ketiga yang tidak memperoleh izin dari pemilik atas penggunaan dalam perdagangan tanda-tanda yang sama atau identik untuk barang atau jasa yang identik atau serupa dengan yang sehubungan dengan merek dagang yang didaftarkan dimana penggunaan tersebut dapat mengakibatkan suatu kesesatan atas keserupaannya. Dalam hal penggunaan atas suatu tanda yang identik untuk barang atau jasa yang identik, suatu kesesatan atas keserupaann harus dianggap ada. Hak-hak yang dielaskan di atas tidak boleh merugikan hak-hak yang telah ada, atau mempengaruhi kemungkinan dari para anggota agar hak-hak menjadi dapat digunakan atas dasar penggunaan).
29
Berdasarkan Pasal 15 dan Pasal 16 dalam perjanjian TRIPs tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa Indonesia selaku Negara anggota,
diwajibkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap merek dari
perbuatan passing off sebagai konsekuensi dan keikutsertaan dalam
instrument internasional sebagaimana kedua pasal tersebut. Namun pada
hakikatnya dalam perjanjian TRIPs tidak terdapat penjelasan secara khusus
mengenai passing off, namun pada Negara-negara yang menganut
common law system, passing off berkembang sebagai bentuk praktik
persaingan curang dalam usaha perdagangan atau perniagaan, seperti Pasal
10 bis paris convention lebih mengenal persaingan curang adalah setiap
perbuatan persaingan yang bertentangan dengan kejujuran dan kepatutan
dalam praktiknya dibidang perindustrian perdagangan.18
Secara umum lahirnya peraturan dalam bidang perlindungan
konsumen ini merupakan suatu bentuk upaya pemerintah untuk menjaga
iklim usaha yang sehat dan upaya terciptanya keseimbangan kedudukan
antara pelaku usaha dan para konsumen. Terkait dengan perlindungan
konsumen, maka pelanggaran terhadap hak merek dapat memberikan
dampak yang cukup fatal bagi konsumen, hal ini disebabkan karena merek
memiliki keterkaitan dengan kebutuhan konsumen.
Lebih lanjut, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Hak konsumen adalah:
“Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
Pada Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
mendefinisikan bahwa:
“Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan atau
18 Suyud Margono dan Amir Pamungkas, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum
Bisnis, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), h.160.
30
jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha”
2. Passing Off Menurut Undang-Undang Merek di Indonesia
Dalam pengaturan hukum merek di Indonesia tidak mengenal adanya
passing off karena passing off lebih dikenal di negara-negara penganut
Common Law sebagai bagian dari hukum persaingan curang. Passing Off
sering diartikan sebagai pemboncengan reputasi pada merek terkenal atau
hakim biasanya mengartikan passing off sebagai penyerupaan atau
peniruan sebuah merek.
Perbuatan passing off sebenarnya memenuhi kriteria Pasal 21 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis, karena di dalam Pasal tersebut juga menegaskan adanya
tindakan untuk mengecoh atau menyesatkan konsumen yang didasari oleh
persaingan curang. Perbuatan itu dilandasi dengan itikad buruk untuk
mengelabui konsumen, sehingga konsumen dirugikan. Atas dasar itu
ketentuan Pasal tersebut sebenarnya memungkinkan untuk dipergunakan
sebagai alasan hak untuk mengajukan gugatan apabila terjadi perbuatan
passing off
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis tersebut merupakan
persyaratan yang wajib dipenuhi agar suatu tanda bisa didaftar sebagai
merek. Khusus mengenai persyaratan bahwa suatu merek harus memiliki
daya pembeda, maka jika dikaitkan dengan perbuatan passing off hal itu
sangat signifikan. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa perbuatan
passing off umumnya menggunakan merek yang tidak memiliki daya
pembeda dengan merek yang telah ada, sehingga hal itu merupakan suatu
pelanggaran.
Ketentuan selanjutnya yaitu dalam Pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Merek tersebut merupakan
persyaratan yang juga harus dipenuhi. Ketentuan mengenai bahwa suatu
31
merek tidak boleh mengandung persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan merek terdaftar juga memiliki hubungan yang erat
dengan perbuatan passing off. Pada umumnya perbuatan passing off
dilandasi dengan itikad buruk untuk menggunakan merek yang
mengandung persamaan pada pokoknya atau persamaan pada
keseluruhannya dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan sendiri
bagi pelaku usaha tersebut yang dapat mengakibatkan kerugian bagi
pemilik hak atas merek, konsumen, serta membuat persaingan usaha tidak
sehat.
C. Kajian Teoritis
1. Teori Perlindungan Hukum
Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip oleh Satjipto Raharjo awal
mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori
hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato,
Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran
hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang
bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh
dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral
adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan
manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.19
Fitzgerald menjelaskan teori pelindungan hukum Salmond bahwa
hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai
kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan,
perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan
cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum
adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum
memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang
perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan
19 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h.53.
32
yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala
peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya
merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan
prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan
dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.20
Menurut Satijipto Raharjo, mengemukakan rumusannya bahwa
perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi
manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan
kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan
oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan
yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif
dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum
kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan
sosial.21
Perlindungan hukum dalam bidang merek di Indonesia pertama kali
diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek
Dagang dan Merek Perniagaan. Selanjutnya diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Merek. Selanjutnya dalam rangka
penyesuaian terhadap ketentuan Trade Related Aspect of Intellectual
Property Rights Including Trade in Counterfeid Goods (TRIPs) dilakukan
penyempurnaan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 melalui
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Perubahan UU Merek,
yang dimuat dalam Lembaran Negara (LN) No. 31/1997 dan Memori
Penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN) No.
3681/1997 serta dinyatakan berlaku efektif tanggal 7 Mei 1997, namun
pengaturan merek berikut penyempurnaan aturannya sangat tidak praktis.
Selanjutnya untuk penyempurnaan dan kepraktisannya dibuatlah Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Adapun pertimbangannya
20 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum…h.54. 21 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum…h.55.
33
adalah sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah
diratifikasi oleh Indonesia, maka dirasakan peranan merek sangat penting
untuk menjaga persaingan usaha yang sehat. Untuk melengkapi
pengaturan merek yang lebih memadai, maka diterbitkan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 dengan menambah 6 (enam) unsur-unsur baru agar
pengaturan merek dapat lebih seimbang.
Phillipus M. Hadjon, juga merumuskan bahwa perlindungan hukum
bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan
represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-
hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan
yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa,
termasuk penangananya di lembaga peradilan.22
Perlindungan hukum meliputi dua hal, yakni:
a. Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum
di mana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan
keberatan atau pendapat sebelum suatu keputusan pemerintah
mendapat bentuk yang definitif,
b. Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum
di mana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa.23 Perlindungan hukum preventif merupakan sebuah bentuk
perlindungan yang mengarah pada tindakan yang bersifat pencegahan.
Tujuannya adalah meminimalisasi peluang terjadinya pelanggaran merek
dagang. Langkah ini difokuskan pada pengawasan pemakaian merek,
perlindungan terhadap hak ekslusif pemegang hak atas merek dagang
terkenal asing, dan anjuran-anjuran kepada pemilik merek untuk
mendaftarkan mereknya agar hak nya terlindungi. Sedangkan perlindungan
22 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1987), h.29. 23 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), h.41.
34
hukum represif adalah perlindungan yang dilakukan untuk menyelesaikan
atau menanggulangi suatu peristiwa atau kejadian yang terjadi, yaitu
berupa pelanggaran hak atas merek. Tentunya dengan demikian peranan
lebih besar berada pada lembaga peradilan dan aparat penegak hukum
lainnya seperti kepolisian, Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan
kejaksaan untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran merek.24
Perlindungan hukum juga dapat menimbulkan pertanyaan yang
kemudian meragukan keberadaan hukum. Hukum harus memberikan
perlindungan terhadap semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena
setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Aparat
penegak hukum wajib menegakkan hukum dan dengan berfungsinya
aturan hukum, maka secara tidak langsung pula hukum akan memberikan
perlindungan pada tiap hubungan hukum atau segala aspek dalam
kehidupan masyarakat yang diatur oleh hukum. Mengenai perlindungan hukum terhadap hak atas merek, bahwa suatu
merek dapat memperoleh suatu perlindungan hukum oleh pemerintah jika
suatu merek tersebut telah didaftarkan terlebih dahulu di Dirjen KI
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis, menjelaskan mengenai syarat dan
tata cara permohonan pendaftaran merek.
2. Teori Kepastian Hukum
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau
ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai
pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang
suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan
dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Kepastian
24 Jisia Mamahit, “Perlindungan Hukum Merek Dalam Perdagangan Barang dan Jasa”
Jurnal Lex Privatum. Vol.I No.3 (diakses pada, 13 Februari 2018 pukul 20:25 WIB)
35
hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif,
bukan sosiologi.25
Keharusan akan adanya peraturan dalam masyarakat merupakan syarat
pokok untuk adanya kepastian hukum sehingga peraturan merupakan
kategori tersendiri yang tidak bersumber kepada ideal maupun kenyataan.
Yang menjadi sasarannya bukanlah untuk menemukan ide-ide, juga bukan
tuntutan praktis sehari-hari, melainkan tuntutan agar peraturannya ada.26
Menurut Utrecht yang dikutip oleh Zainuddin Ali, bahwa kepastian
hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.27
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Pertama, skripsi berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Pendaftar
Pertama Merek Dalam Tindakan Passing Off yang disusun oleh Safira
Maharani, Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum dari Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2016, dalam penulisan
ini terfokus terhadap bagaimana perlindungan hukum terhadap pendaftar
pertama merek dalam tindakan passing off yaitu PT. White House Ceramic
Indonesia vs White Horse Ceramic CO, LTD. Taiwan. Yang dimana
keduanya dinilai memiliki kesamaan nama, logo dan produk dan hampir tidak
memliki daya pembeda dari kedua merek tersebut. Berbeda dengan skripsi
yang peneliti susun, dimana lebih memfokuskan bagaimana cara mekanisme
perlindungan hukum merek yang sudah termasuk klasifikasi merek terkenal
25 Insan Budi Maulana, Bianglala HAKI (Hak Kekayaan Intelektual), (Jakarta: Hecca Publishing, 2012), h.33. 26 Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 16. 27 Zainudin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.24.
36
sekaligus sudah terdaftar lebih dahulu, menghadapi upaya pemboncengan
reputasi (passing off) yang berusaha memperoleh perlindungan dengan cara
mendaftarkan ke Dirjen KI. Serta peneliti akan menjelaskan bagaimana
konsep passing off di Indonesia yang masih sering terjadi dan meneliti
korelasi Jurisprudensi hakim mengenai berbagai kasus passing off dengan
peraturan-peraturan yang ada
Kedua, buku karangan Prof. Tim Lindsey dkk. berjudul “Suatu
Pengantar Hak Kekayaan Intelektual” diterbitkan oleh PT. Alumni tahun
2013. Dalam buku ini terfokus dengan penegakan hukum terkait
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, bahwa dalam buku ini memiliki
substansi terkait semua unsur Hak Kekayaan Intelektual yaitu berupa hak
cipta dan hak kekayaan industry berupa paten, merek, desain industri dan
desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, dan indikasi geografis.
Berbeda dengan berbagai buku pada umumnya mengenai Hak Kekayaan
Intelektual, buku ini menekankan political will atau tekad bersama dari
masyarakat pengguna Hak Kekayaan Intelektual terhadap penegakan hukum
dalam perlindungan Hak kekayaan Intelektual, terdapat pembahasan
mengenai definisi merek, jangka waktu perlindungan merek, dan merek
terkenal.
Ketiga, Jurnal Rechtvinding Vol. 5 No. 01 April 2016 yang ditulis oleh
Edy Santoso mengenai “Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Merek
Dagang Terkenal Melalui Peran Kepabeanan Sebagai Upaya Menjaga
Keamanan dan Kedaulatan Negara”. Jurnal ini terfokus terhadap
perlindungan merek dagang, peran Kepabeanan sebagai upaya menjaga
keamanan perdistribusian merek yang dirasa belum optimal nya peran
kebabeanan tersebut, dan bentuk-bentuk pelanggaran merek dagang,
Sedangkan skripsi yang disusun oleh peneliti, lebih terfokus mengenai
perlindungan hukum terhadap merek terkenal yang sudah terdaftar terlebih
37
dahulu terhadap tindakan passing off, karena belum optimalnya pengawasan
Dirjen KI dalam praktik passing off yang masih sering terjadi.28
28 Eddy Santoso, “Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Merek Dagang Terkenal
Melalui Peran Kepabeanan Sebagai Upaya Menjaga Keamanan dan Kedaulatan Negara” diakses dari http://rechtsvinding.bphn.go.id diakses pada 7 November 2017 pukul 16:20
38
BAB III
DATA PENELITIAN TENTANG YURISPRUDENSI PASSING OFF
A. Pelanggaran Merek di Indonesia
Pelanggaran merek seringkali dilakukan karena terkait dengan fungsi
merek sebagai identitas suatu produk atau jasa yang telah mempunyai
reputasi dan juga terkait dengan fungsi merek sebagai jaminan terhadap
kualitas barang. Hal ini dikarenakan dalam merek melekat keuntungan
ekonomis, terutama merek terkenal. Merek terkenal sering menjadi objek
pelanggaran karena terkait dengan reputasi yang dimiliki oleh merek terkenal
tersebut.
Ada beberapa faktor atau alasan yang menyebabkan pihak-pihak
tertentu melakukan pelanggaran merek milik orang lain menurut Adi Supanto
selaku Kasubdit Pelayanan Hukum dan Komisi Banding Merek, diantaranya:
1. Memperoleh keuntungan secara cepat dan pasti oleh karena merek
yang dipakai atau ditiru itu biasanya merek-merek yang laris di
pasaran
2. Tidak mau menanggung resiko rugi dalam hal harus membuat suatu
merek baru menjadi terkenal karena biaya iklan dan promosi
biasanya sangat besar
3. Selisih keuntungan yang diperoleh dari menjual barang dengan
merek palsu itu jauh lebih besar jika dibandingkan dengan
keuntungan yang diperoleh jika menjual barang yang asli, karena
pemalsu tidak perlu membayar biaya riset sendiri dan
pengembangannya, biaya iklan dan promosi serta pajak, sehingga
bisa memberikan potongan harga yang lebih besar kepada pedagang.
Selanjutnya, menurut Adi Supanto (Kasubdit Pelayanan Hukum dan
Komisi Banding Merek) menjelaskan mengenai persamaan merek pada
pokoknya, yaitu kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan
antara merek yang satu dengan merek yang lain sehingga menimbulkan kesan
39
bahwa adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara
penulisan, atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan,
yang terdapat dalam merek tersebut, sesuai dengan penjelasan yang tercantum
dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan
Indikasi Geografis.
Ada 3 (tiga) bentuk pelanggaran merek yang perlu diketahui yaitu:1
1. Pembajakan merek (Trademark Piracy);
2. Pemalsuan merek (Counterfeiting mark);
3. Peniruan label dan kemasan suatu produk (Imitations of Labels and
Packaging).
Pembajakan merek terjadi ketika suatu merek biasanya merek terkenal
asing, yang belum terdaftar kemudian didaftarkan oleh pihak yang tidak
berhak. Akibatnya permohonan pendaftaran pemilik merek yang asli ditolak
oleh kantor merek setempat karena dianggap serupa dengan merek yang
sudah terdaftar sebelumnya.
Pelanggaran merek selanjutnya adalah pemalsuan merek. Pemalsuan
merek dapat terjadi ketika suatu produk palsu atau produk dengan kualitas
lebih rendah ditempeli dengan merek terkenal. Pemalsuan merek dapat
dikatakan sebagai kejahatan ekonomi, karena para pemalsu merek tidak
hanya menipu dan merugikan konsumen dengan produk palsunya namun juga
merusak reputasi dari pengusaha aslinya.
Pelanggaran merek yang mirip dengan pemalsuan merek adalah
peniruan label dan kemasan produk. Bedanya, pada pemalsuan merek label
atau kemasan produk yang digunakan adalah tiruan dari yang aslinya,
sedangkan pada peniruan, label yang digunakan adalah miliknya sendiri
dengan menggunakan namanya sendiri. Pelaku peniruan ini termasuk pesaing
yang melakukan perbuatan curang.
Pada prinsipnya, ketika terdapat unsur persamaan identik atau mirip
maka peniruan ini memiliki unsur yang sama dengan unsur perbuatan
1 Tim Lindsey, dkk. Suatu Pengantar Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: PT. Alumni, 2013), h.178.
40
membonceng reputasi (Passing Off). Karena adanya persamaan identik dan
persamaan yang mirip tersebut dapat menyebabkan kebingungan (likehood of
confusion) dan juga mengarahkan masyarakat atau konsumen kepada
penggambaran yang keliru (misspresentation).
B. Yurisprudensi Tentang Perbuatan Passing Off
Berikut contoh kasus perbuatan terindikasi passing off di Indonesia, yaitu:
1. Sengketa Merek GS Yuasa dan GS Garuda Sakti Pada Putusan M.A.R.I
Nomor 55 K/Pdt.Sus-HKI/2015.
a. Duduk Perkara
Kasus ini bermula pada merek sejenis aki (accu) PT. GS Yuasa
Corporation selaku pemegang merek aki “GS” dan variasinya. Merek
GS milik Penggugat/Pemohon Kasasi salah satu produsen terbaik di
dunia dalam produk aki maupun sepeda motor. Merek GS pertama kali
digunakan di Jepang pada tahun 1913 yang terdaftar pada No.0058670-
2 untuk melindungi barang kelas 9. Di Indonesia terdaftar pada
Direktorat Merek cq. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dalam
No.63999 tanggal 21 Juli 1958, lalu di perpanjang terus-menerus yaitu
dalam No.IDM000027599 tanggal 24 Oktober 2014, dan Penggugat
mendaftarkan merek GS dengan huruf dan logo yang baru pada tahun
1987 dan diperbaharui terus-menerus sampai berakhir pada tahun 2018
pada No. IDM000205167.
PT. GS Yuasa Corporation yang berkedudukan di Jepang, adalah
pemilik merek aki GS untuk jenis barang kelas 9 yaitu berupa produk
segala macam aki kering, aki basah, sel aki. Kata “GS” selain
digunakan oleh Penggugat/Pemohon Kasasi sebagai merek, juga
merupakan bagian dari nama badan hukum Penggugat/Pemohon Kasasi
yaitu GS Yuasa Corporation. Merek GS milik penggugat telah terdaftar
di negara asalnya, Jepang, maupun di berbagai negara di dunia.
Terjadinya kasus ini berawal dari pihak GS Yuasa Corporation
selaku pemilik merek aki GS yang telah diperbaharui masa
41
perlindungan merek dagangnya pada barang kelas 9 pada tahun 1958
terus-menerus di perpanjang di bawah Nomor 103873, 187327, 340407
dan IDM000027599 berlaku sampai 24 Oktober 2014. Akan tetapi,
pihak Penggugat mengetahui dalam Daftar Umum Merek yang
diterbitkan oleh turut Tergugat/Termohon Kasasi atas nama Yudhi
Tanto telah terdaftar merek GS Garuda Sakti dalam daftar
No.000174207, 000174208, 000174209, 000174210 tanggal 25
Agustus 2008 untuk melindungi barang kelas 9.
Berdasarkan hal tersebut, pihak Penggugat/Pemohon Kasasi GS
Yuasa Corporation beranggapan bahwa merek GS Garuda Sakti
memliki persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya dengan
merek-merek dagang aki GS milik Penggugat/Pemohon Kasasi, dimana
persamaan tersebut terdiri dari persamaan susunan huruf/kata, bunyi
pengucapan, persamaan perlindungan jenis barang nya, varian warna
yang mirip dari produk tersebut. Bahwa kata “GS” bukan hanya
merupakan merek dagang Penggugat/Pemohon Kasasi namun juga
merupakan bagian dari nama badan hukum Penggugat/Pemohon Kasasi
yang di khawatirkan akan menyesatkan masyarakat terkait sebuah
merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dan dengan jelas
membonceng reputasi (passing off) serta keterkenalan merek GS milik
Penggugat/Pemohon Kasasi, sehingga dapat menimbulkan terjadi nya
praktik persaingan curang.
Melihat alasan Penggugat diatas, Penggugat mengajukan gugatan
melalui pengadilan maka telah ditetapkan putusan PN. Niaga Nomor
13/Pdt.Sus-Merek/HKI/2012 yang menyatakan mengabulkan eksepsi
yang diajukan oleh pihak Tergugat. Terhadap amar putusan tersebut,
Penggugat merasa keberatan atas putusan yang diatuhkan oleh tingkat
Judex Facti tersebut. Akhirnya melalui kuasa hukumnya pihak
Penggugat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung
dengan harapan agar merek aki GS milik Penggugat dapat
42
memenangkan dalam sengketa tersebut sehingga dapat memperoleh hak
ekslusif terhadap merek tersebut.
b. Putusan Hukum
Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 13/Pdt.Sus-
Merek/HKI/2012 menyebutkan bahwa gugatan Penggugat ditolak
seluruhnya dan menerima eksepsi Tergugat untuk seluruhnya serta
menghukum Penggugat membayar biaya perkara sebesar
Rp.17.000.000 (Tujuh Belas Juta) sehingga Penggugat merasa tidak
puas, lalu mengajukan Kasasi yang amar putusannya dalam Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 709 K/Pdt.Sus-HKI/2012 berbunyi telah
menolak permohonan kasasi Penggugat untuk seluruhnya dan
membebankan biaya perkara.
Pertimbangan hakim menolak gugatan Penggugat/Permohon
Kasasi selaku pemilik merek GS, yaitu menimbang dalam hal putusan
Pengadilan Niaga ternyata judex facti tidak salah menerapkan hukum
dan telah memberi pertimbangan yang cukup benar, karena gugatan
Penggugat/Pemohon Kasasi tidak memuat alamat yang sebenarnya dari
Tergugat/Termohon Kasasi. Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan diatas, lagi pula ternyata bahwa putusan judex facti dalam
perkara ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: GS Yuasa
Corporation tersebut harus ditolak. Menimbang, bahwa oleh karena
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ditolak, maka dibebankan
biaya perkara sebesar Rp.5.000.000 (lima juta).
Terdapat beberapa fakta yang muncul dalam putusan kasasi
tersebut dan perlu untuk diteliti kembali, diantaranya Majelis Hakim
tidak memperdulikan keterkenalan merek aki GS milik
Penggugat/Pemohon Kasasi, persamaan merek pada pokoknya dan/atau
keseluruhan dapat dilihat dengan jelas antara merek aki GS Yuasa milik
Penggugat/Pemohon Kasasi dengan merek aki GS Garuda Sakti milik
Tergugat/Termohon Kasasi. Namun Majelis Hakim seolah-olah enggan
43
menafsirkan hukum lebih jelas terkait kriteria-kriteria merek terkenal
yang wajib dilindungi sesuai diamanatkan dalam Undang-Undang
Merek dan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi
oleh Indonesia, sehingga judex juris hanya menguatkan hasil amar
putusan dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang telah menolak
gugatan Penggugat seluruhnya.
Selanjutnya, Penggugat mengajukan kembali gugatan terhadap
Tergugat pemilik merek GS Garuda Sakti di tahun 2014 yang
menghasilkan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor
24/Pdt.Sus-Merek/HKI/2014 yang amar putusannya dalam eksepsi yang
diajukan oleh pihak Tergugat dan Turut Tergugat telah ditolak
seluruhnya oleh Majelis Hakim dan dalam pokok perkarapun
dinyatakan bahwa menolak gugatan Penggugat untuk seluruhya.
Terhadap amar putusan tersebut Penggugat merasa masih
keberatan dan sangat dirugikan terhadap amar putusan Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat, putusan yang dirasa merugikan bagi pihak
Penggugat selaku pemegang merek terkenal “GS” dan akhirnya melalui
kuasa hukum pihak Penggugat/Pemohon Kasasi melakukan pengajuan
kasasi ke Mahkamah Agung dengan menggugat Tergugat/Termohon
Kasasi dengan maksud menjelaskan atas ketidakpuasan terhadap
Putusan Pengadilan Negeri sebelumnya.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 55 K/Pdt.Sus-HKI/2015
menyatakan mengabulkan gugatan Penggugat/Pemohon Kasasi
sebagian dan menyatakan Tergugat/Termohon Kasasi mempunyai
persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal milik Penggugat
dengan barang sejenis dan terdaftar lebih dahulu.
Amar putusan tersebut diputuskan berdasarkan pertimbangan
Majelis Hakim bahwa telah dapat dibuktikan adanya persamaan pada
pokoknya antara merek Penggugat GS Yuasa dengan merek Tergugat
GS Garuda Sakti, kedua merek diproduksi dalam jenis barang yang
sama yaitu sama-sama produk Aki, oleh karena itu termasuk dalam
44
kelas 9. Unsur dominan pada merek GS Garuda Sakti yang hampir
menyerupai merek Penggugat GS Yuasa, maka perbuatannya tersebut
dapat menimbulkan kebingungan dan dapat mengelabui serta
mengacaukan opini dan visual khalayak ramai. Bahwa perusahaan GS
milik Penggugat termasuk sudah kategori merek terkenal dan memiliki
karyawan puluhan ribu di Indonesia dan mendatangkan devisa bagi
negara. Bahwa Majelis Hakim berdasarkan ketentuan Pasal 68 Jo. Pasal
4 Jo. Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b Jo. Pasal 6 ayat (3) huruf a Undang-
undang nomor 15 tahun 2001 tentang merek dan telah mempedomani
Putusan Mahkamah Agung Nomor 20 PK/Pdt.Sus/2007, maka hal
tersebut gugatan Penggugat harus dikabulkan, serta membatalkan
semua jenis merek milik Tergugat yang didaftarkan dalam Daftar
Umum Merek, membebankan biaya perkara Rp.6.000.000 (enam juta).
2. Sengketa Merek Toyota dan Toyoko Pada Putusan M.A.R.I Nomor 03
K/Pdt.Sus-HKI/2012.
a. Duduk Perkara
Terjadinya kasus ini berawal dari PT. Toyota Jidosha Kabushiki
Kaisha (Toyota Motor Corporation) yang berkedudukan di Jepang,
adalah pemilik merek “Toyota” untuk jenis barang kelas 12 yaitu
berupa “produk kendaraan bermotor maupun tidak bermotor untuk
bergerak di darat, udara, air dan bagian-bagiannya serta perlengkapan-
perlengkapannya”. Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha selaku pemilik
merek dagang “Toyota” milik penggugat telah terdaftar di berbagai
negara antara lain Eropa, Amerika, dan Asia, yang berarti
mengindikasikan bahwa merek tersebut merupakan jenis merek
terkenal. Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha sudah terdaftar pada
Direktorat Merek cq. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, yaitu
dalam No.302.190 tanggal 3 Maret 1993 dan diperbaharui terus
menerus hingga 12 April 2004 dan diperbaharui kembali masa
45
pendaftarannya hingga 2014 dengan No.IDM000003376 untuk
melindungi barang kelas 12.
Akan tetapi, Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha melihat laman berita
resmi merek tahun 2011 dan melihat pasar otomotif di masyarakat
ternyata menemukan merek yang hampir mirip yaitu merek dagang
Toyoko oleh Tjong Lie Jun selaku Tergugat I yang telah didaftarkan ke
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual suatu merek dagang pada 14
Februari 2011 dibawah No.IDM000293454. Atas indikasi tersebut
bahwa Toyota Jidosha Kabushiki Kaisha melihat adanya tindakan
passing off (pemboncengan reputasi) secara diam-diam yang dilakukan
oleh pihak Tjong Lie Jun selaku pemilik merek dagang Toyoko, karena
dinilai adanya persamaan pada pokoknya dari frasa kata, kelas barang,
dan jenis barang, serta dari bunyi pengucapan kata maupun suara yang
identik dengan merek Penggugat.
Berdasarkan alasan diatas, pihak Penggugat selaku pemilik merek
Toyota merasa keberatan atas tindakan pemboncengan reputasi yang
dilakukan oleh Tergugat merek Toyoko dengan memasarkan jenis
barang suku cadang yang memiliki persamaan pada pokoknya dan/atau
keseluruhan sehingga dapat mengelabui konsumen. Melalui kuasa
hukumnya telah mengajukan gugatan pembatalan merek terdaftar atas
pendaftaran merek Toyoko No.IDM000293454 untuk jenis barang kelas
12 berupa produk kendaraan bermotor dan tidak bermotor beserta alat-
alat/sparepartnya.
b. Putusan Hukum
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
No: 03/ K/Pdt.Sus-HKI/2012 yang amar putusannya mengabulkan
Penggugat untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa Penggugat adalah
pemegang khusus di Indonesia, dan menyatakan bahwa adanya
persamaan pada pokoknya pada merek “Toyoko” milik Tergugat I
46
sehingga pendaftaran merek dengan Nomor IDM000293454 harus
dibatalkan.
Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara ini sudah
sangat jelas bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa merek Toyota adalah
merek terkenal (well known mark) yang dapat dilihat dari pengetahuan
umum masyarakat mengenai merek tersebut, adanya reputasi terkenal
yang diperoleh dengan promosi yang gencar, dan investasi di beberapa
negara terkait merek tersebut.
Pertimbangan hukum yang dinyatakan Majelis Hakim bahwa benar
merek Toyota telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek sejak tahun
1993 dan terdaftar terlebih dahulu jika dibandingkan dengan merek
Toyoko milik Tergugat. Menimbang, bahwa merek Toyota telah
melakukan promosi yang gencar dan besar-besaran dengan adanya
bukti brosur dari produk barang merek Toyota, sehingga pengetahuan
umum di masyarakat mengenai barang merek Toyota sangat dikenal
baik terkait kualitasnya. Merek Penggugat telah terdaftar di beberapa
Negara sehingga dengan didaftarkannya merek Toyota milik Penggugat
di beberapa negara dapatlah dipandang bahwa Penggugat telah
melakukan investasi di beberapa negara tersebut. Menimbang, bahwa
merek Toyota milik Penggugat adalah dapat dikategorikan sebagai
merek terkenal Internasional dan merek Tergugat mempunyai
persamaan pada pokoknya dan/atau keseluruhan dengan kelas barang
dan jenis yang sama yaitu kelas 12. Maka telah dibebankan biaya
kepada pihak Tergugat sebesar Rp.7.000.000 (tujuh juta).
47
BAB IV
ANALISIS PERBUATAN PASSING OFF TERHADAP HAK ATAS
MEREK DAN AKIBAT HUKUMNYA
A. Analisis Kasus Perbuatan Passing Off
Berikut adalah analisis kasus perbuatan passing off yaitu:
1. Analisis Peneliti Terhadap Putusan M.A.R.I Nomor 55 K/Pdt.Sus-
HKI/2015 (GS Yuasa vs GS Garuda Sakti)
Berdasarkan pada penjelasan duduk perkara pada bab sebelumnya,
peneliti berpendapat bahwa pada putusan yang dijatuhkan oleh judex
facti di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dirasa
belum tepat. Karena seharusnya Majelis Hakim dalam pemeriksaan dan
pertimbangan hukum harus melihat fakta-fakta hukum berdasarkan bukti
yang dimiliki oleh pihak Penggugat/Pemohon Kasasi.
Menurut peneliti Majelis Hakim tidak tepat dalam
menginterpretasikan hukum dalam putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 709 K/Pdt.Sus-HKI/2012 berbunyi telah menolak permohonan
kasasi Penggugat untuk seluruhnya dan membebankan biaya perkara
kepada Penggugat. Sangat disayangkan, bahwa penafsiran hakim terkait
memutuskan tersebut dirasa kurang jelas, karena hakim tidak
memahami kriteria-kriteria merek terkenal yang sudah seharusnya
dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan maupun
perjanjian Internasional. Melihat putusan tersebutlah tercermin
bagaimana praktik passing off (pemboncengan reputasi) sangat sulit
dikendalikan ataupun dihilangkan di Indonesia.
Sengketa merek aki GS Yuasa melawan GS Garuda Sakti tidak
berhenti sampai situ saja. Memasuki tahun 2014 GS Garuda Sakti
mencoba kembali menggugat pihak GS Garuda Sakti sebagai Tergugat,
agar hak ekslusif terhadap mere kaki GS milik Penggugat dapat
memperoleh perlindungan yang pasti. Pada tingkat pertama, Majelis
Hakim telah menetapkan amar putusan sebagai berikut dalam putusan
48
Nomor 24/Pdt.Sus/Merek/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst pada judex facti (dalam
hal ini Pengadilan Negeri disebut judex facti), Majelis Hakim dalam
Eksepsi bahwa telah menolak eksepsi Tergugat dan Turut Tergugat
seluruhnya, namun dalam pokok perkara menyatakan bahwa menolak
gugatan Penggugat untuk seluruhnya dan menghukum Penggugat untuk
membayar biaya perkara.
Melihat amar putusan dalam judex facti tersebut bahwa Majelis
Hakim dalam pertimbangannya sangatlah mengesampingkan aturan-
aturan yang ada sebagaimana fakta-fakta yang terlampir dan telah keliru
menerapkan Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 Undang Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek dan juga di dalam perjanjian Internasional yang telah
diratifikasi.
Selanjutnya mengenai merek terkenal, Pasal 16 ayat (2) Perjanjian
TRIPs memperluas perlindungan yang diatur dalam Pasal 6 bis Konvensi
Paris bagi merek terkenal. Bunyi lengkap ketentuan Pasal 16 ayat (2)
Perjanjian TRIPs sebagai berikut:
Article 6 bis of the Paris Convention (1967) shall apply, mutatis
mutandis, to services. In determining whether a trademark is well-known,
memers shall take account of the knowledge in the member concerned
which has been obtained as a result of the promotion of the trademark.
Pasal ini menetapkan kewajiban bagi badan berwenang negara-
negara anggota untuk memperhatikan faktor-faktor tertentu antara lain
pada saat mengevaluasi suatu merek adalah merek terkenal atau tidak,
negara anggota harus memperhatikan beberapa unsur yaitu:
a. Pengetahuan mengenai merek itu dalam sektor yang relevan
bagi masyarakat
b. Dan pengetahuan di negara anggota yang bersangkutan yang
telah diperoleh sebagai hasil promosi dari merek yang
bersangkutan.
49
Pasal 16 ayat (3) Perjanjian TRIPs juga mengatur bentuk
perlindungan bagi pemilik merek terkenal yang diperluas hingga
menjangkau merek-merek terkenal yang tidak terdaftar.
Bahwa merek Penggugat “GS” telah mendaftarkan merek nya di
Indonesia pada tahun 1958 pada No.63999 yang diperpanjang terus-
menerus hingga tahun 2014, dan memohonkan pendaftaran merek
dengan mengubah bentuk dan logo yang baru pada tahun 1987
diperpanjang terus-menerus sampai tahun 2018 dengan
No.IDM000205167 pada barang kelas 09.
Berikut ini apabila merek GS milik Penggugat disandingkan
dengan merek GS Garuda Sakti milik Tergugat yang didaftarkan ke
Direktorat Jenderal KI, terbukti terdapat persamaan pada pokoknya
dan/atau keseluruhan pada kedua merek tersebut yaitu berikut:1
No. Merek Penggugat Merek Tergugat Tanggapan
1.
Terdaftar di bawah Daftar Nomor IDM000000456. Dimohonkan pendaftarannya tanggal 11 Februari 2003.
Terdaftar di bawah Daftar Nomor IDM000000455.
Terdaftar di bawah Daftar Nomor IDM000174208. Dimohonkan pendaftarannya tanggal 17 Januari 2007.
Tergugat
memintakan
pendaftaran
mereknya 4 tahun
setelah merek
Penggugat
dimohonkan
pendaftarannya.
1 https://dgip.go.id//pdki, Diakses pada tanggal 22 April 2018, Pukul 19.45.
50
Dimohonkan pendaftarannya tanggal 11 Februari 2003.
2.
Terdaftar di bawah Daftar Nomor IDM000000458. Dimohonkan pendaftarannya tanggal 11 Februari 2003.
Terdaftar di bawah Daftar Nomor IDM000174209. Dimohonkan pendaftarannya tanggal 17 Januari 2007.
3.
Terdaftar di bawah Daftar Nomor IDM000163184. Dimohonkan pendaftarannya tanggal 27 September 2006.
Terdaftar di bawah Daftar Nomor IDM000174207. Dimohonkan pendaftarannya tanggal 17 Januari 2007.
Tergugat
memintakan
pendaftaran
mereknya 4 bulan
setelah merek
Penggugat
dimohonkan
pendaftarannya.
Berdasarkan penjelasan diatas sudah jelas terbukti bahwa merek
Tergugat memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek GS milik
Penggugat, khususnya karena merek milik Penggugat telah terlebih
dahulu terdaftar di Indonesia setidaknya-tidaknya dari 45 tahun dan 16
tahun terlebih dahulu dari saat Tergugat mengajukan permohonan
pendaftaran pertamanya untuk GS Garuda Sakti. Unsur dominan dan
51
menonjol dari merek Tergugat adalah GS walaupun Tergugat
menambahkan variasi kata GS dengan kata Garuda Sakti , akan tetapi
konsumen akan tetap melihat dan menyebut produk Tergugat sebagai aki
GS.
Bukan hanya dari bentuk huruf (font), cara penempatan dari huruf
GS yang ditiru oleh Tergugat, namun pihak Tergugat menjiplak dari
bentuk kemasan produk dari pihak Penggugat yaitu pemilik GS, bisa
dilihat seperti berikut:2
Kemasan produk/barang milik
Penggugat
Kemasan produk/barang milik
Tergugat
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan pada
pokoknya dari bentuk produk/kemasan dari GS dengan GS Garuda Sakti,
terlihat dari variannya terdapat persamaan kata “Premium”, penempatan
kata GS yang sangat dominan menyerupai merek GS milik
Penggugat/Pemohon Kasasi, serta warna yang dipilih sama-sama biru
dan menurut peneliti sangat diyakinkan bahwa merek GS Garuda Sakti
terindikasi atau berpotensi melakukan tindakan passing off.
Sudah sangat jelas menunjukan adanya upaya Tergugat selaku
pemilik merek aki GS Garuda Sakti untuk memboceng keterkenalan
merek aki GS milik Penggugat, agar dapat mengelabui konsumen
sehingga akan mengira bahwa merek aki GS Garuda Sakti memiliki
hubungan dengan merek aki GS. Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang
2 https://dgip.go.id//pdki, Diakses pada tanggal 22 April 2018, Pukul 23.20.
52
Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek menjelaskan bahwa permohonan
harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut
mengandung unsur:
a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu
untuk barang dan/atau jasa yang sejenis.
b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang
dan/atau sejenis.
c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan indikasi geografisnya yang sudah dikenal.
Ada sedikit penambahan muatan materi mengenai persyaratan
permohonan yang ditolak oleh Direktorat Jenderal KI yaitu dalam Pasal
21 huruf (c) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan
Indikasi Geografis, berbunyi:
“Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak
sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu”.
Melihat bunyi Pasal tersebut mengartikan adanya penambahan
muatan materi merek terkenal, sehingga diperluas tidak hanya terhadap
barang dan atau jasa sejenis, melainkan juga untuk barang dan atau jasa
tidak sejenis. Sementara untuk mengukur keterkenalan suatu merek
dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat
mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Disamping
itu, diperhatikan pula reputasi merek terkenal yang diperoleh karena
promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di berbagai negara di
dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran
merek tersebut di beberapa negara.
Menurut peneliti, merek GS Garuda Sakti milik Tergugat telah
terindikasi melakukan perbuatan passing off karena sudah sesuai dengan
unsur-unsur passing off, diantaranya ialah:
53
a. Reputasi. Pelaku tindakan passing off sering menggunakan
persamaan pada pokoknya terhadap merek terkenal sehingga merek
tersebut data mudah diterima di masyarakat. Pemilik GS Garuda
Sakti-pun melakukan hal serupa, ia mencoba melakukan tindakan
passing off terhadap merek terkenal yaitu GS milik Penggugat yang
sudah teridentifikasi keterkenalannya di berbagai Negara dengan
promosi besar-besaran, sehingga dengan melakukan perbuatan
passing off merek GS Garuda Sakti dapat mudah diterima oleh
konsumen dan/atau masyarakat.
b. Dapat mengelabui konsumen (Misspresentation). Dengan adanya
persamaan pada pokoknya dan/atau keseluruhan, konsumen akan
merasa bahwa merek dari aki GS Garuda Sakti yang beredar di
pasaran adalah bagian dari produk aki GS milik Penggugat karena
memiliki persamaan pada susunan kata, huruf, dan warna dari
semua varian yang sangat identik dengan merek GS milik
Penggugat. Sehingga dengan minimnya daya pembeda dari produk
GS Garuda Sakti tersebut maka konsumen dapat terkecoh, khilaf
atau tertipu dengan merek tersebut.
c. Kerugian (Damage). Dengan adanya perbuatan passing off tersebut
maka dipastikan timbulnya kerugian materil maupun kerugian
imaterial yang dialami oleh pihak Penggugat yaitu merek aki GS.
Karena sengketa ini pun memakan waktu yang lama hingga
mencapai kepastian hukum yang tepat dan sangat dirasakan terkait
besaran kerugiannya yang ditanggung.
Pada putusan Mahkamah Agung Nomor 55 K/Pdt.Sus-HKI/2015,
bahwa Majelis Hakim selaku judex juris (dalam hal ini Majelis Hakim
Mahkamah Agung disebut judex juris) dalam pertimbangannya
berpendapat bahwa putusan yang dijatuhkan oleh judex facti telah salah
menerapkan hukum dan membatalkan putusan Nomor
24/Pdt.Sus/Merek/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst dengan segala pertimbangan
54
bahwa merek GS milik Penggugat/Pemohon Kasasi adalah pemegang
tunggal merek GS yang harus dilindungi keterkenalan mereknya dari
segala macam praktik pemboncengan reputasi (passing off).
Kasus passing off yang terjadi di Indonesia terbilang cukup
banyak. Namun karena tidak ada undang-undang yang mengatur khusus
mengenai persaingan curang, maka Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual hanya menangani kasus passing off yang juga terindikasi
pelanggaran merek. Istilah passing off atau pemboncengan reputasi
sendiri memang tidak terlalu dikenal di Indonesia, tetapi bukan berarti
perbuatan passing off tidak diatur dalam peraturan yang ada di Indonesia
hanya saja aturan-aturan mengenai perbuatan tersebut tidak diatur secara
jelas dan khusus.3
Di Indonesia sendiri terkait passing off itu termasuk perbuatan
melawan hukum dan/atau pelanggaran merek, perwujudannya tersirat
dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 76, dan Pasal 90 Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001, akan tetapi sangat disayangkan meskipun
Undang-Undang Merek telah diperbaharui yaitu Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis namun muatan
materi passing off dan penjelasan merek terkenal belum dimasukan
secara jelas mengenai definisi dan pengaturannya.
Sudah sepatutnya diperhatikan secara meneliti bagaimana
penentuan kriteria suatu merek terkenal, jangka waktu perlindungan
hukum yang dijaminkan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual,
merek yang jelas memiliki persamaan merek pada pokoknya dan/atau
keseluruhannya, lampiran filling date, klasifikasi kelas merek, karena
dari semua hal tersebut dapat berdampak terhadap putusan hakim yang
memeriksa dan mengadili suatu perkara, sehingga dapat menyebabkan
putusan tersebut tidak memiliki interpretasi yang jelas terkait merek yang
memiliki persamaan pada pokoknya dan/atau keseluruhan.
3 Adi Supanto, Kasubdit Pelayanan Hukum dan Fasilitasi Komisi Banding Merek,
Interview Pribadi, Jakarta Selatan, 2 April 2018.
55
Hemat peneliti berpendapat bahwa putusan kasasi Nomor 55
K/Pdt.Sus-HKI/2015 yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim dirasa sudah
tepat karena sudah cukup alasan dan pertimbangannya untuk
membatalkan merek GS Garuda Sakti milik Tergugat/Termohon Kasasi
yang dirasa telah melakukan adanya perbuatan passing off yang mencoba
untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, dan telah
melakukan mengecoh atau mengelabui konsumen yang berfikir bahwa
produk aki GS Garuda Sakti merupakan bagian dari merek aki GS milik
Penggugat/Pemohon Kasasi sehingga sangat merugikan pemilik merek
terdaftar karena akibat yang ditimbulkannya dapat menyesatkan
konsumen lalu mereka beralih ke merek yang palsu dan merusak dari
reputasi merek itu sendiri.
Akan tetapi seharusnya Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual
lebih teliti kembali dalam menerima pendaftaran merek yang memang
teridentifikasi persamaan pada pokoknya dan/atau keseluruhannya, serta
sangat diperlukan muatan materi pemboncengan reputasi (passing off) di
dalam konstitusi untuk lebih memproteksi terhadap merek terkenal yang
sudah didaftarkan maupun belum didaftarkan sehingga dapat dijaminkan
perlindungannya oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.
2. Analisis Peneliti Terhadap Putusan M.A.R.I Nomor 03 K/Pdt.Sus-
HKI/2012. (TOYOTA dan TOYOKO)
Berdasarkan penjelasan yang diuraikan pada Bab sebelumnya,
maka menurut peneliti terkait Putusan No. 03 K/Pdt.Sus-
HKI/2012/PN.Niaga sudah cukup tepat, melihat pertimbangan Majelis
Hakim berupa bukti mengenai merek TOYOTA milik Penggugat adalah
merek terkenal (well known mark). Bahwa untuk dapat dikategorikan
suatu merek adalah merek sudah terkenal, tercantum dalam penjelasan
Pasal 6 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek, menyebutkan hal-hal sebagai berikut:
56
a. Pengetahuan umum masyarakat mengenal merek dibidang usaha
yang bersangkutan;
b. Reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang
gencar dan besar-besaran;
c. Investasi di beberapa Negara di dunia yang dilakukan oleh
pemilikya;
d. Bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa Negara.
Kejelasan tersebut terlihat kembali dengan terlampirnya data-data
pembuktian yang diajukan oleh pihak Penggugat yaitu merek TOYOTA,
tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat pada umumnya pasti
mengetahui merek dagang TOYOTA yang dipasarkan dalam industri
otomotif maupun suku cadang. Promosi yang gencar dan besar-besaran
telah dilakukan demi menunjang kesuksesan merek dagang TOYOTA
dimata konsumen.
Investasi di beberapa negara-pun sudah dilakukan oleh pihak
Penggugat yang berdasarkan bukti pendaftaran merek di negara asalnya
Jepang dan di seluruh dunia termasuk Indonesia. Berikut apabila merek
TOYOTA milik Penggugat disandingkan dengan merek TOYOKO yang
didaftarkan oleh Tergugat, terbukti terdapat persamaan pada pokoknya
atau keseluruhan pada kedua merek tersebut yang mengacu pada
perbuatan passing off yaitu sebagai berikut:4
No. Merek Penggugat Merek Tergugat Tanggapan
1.
Terdaftar di bawah Daftar Nomor 302190 tanggal 3 Maret 1993, yang diperpanjang dibawah daftar No.IDM000003376 tanggal
Terdaftar di bawah Daftar Nomor IDM000293454. Pada tanggal 14 Februari 2011.
Tergugat
melakukan
pendaftaran 3
tahun
sebelum
berakhirnya
4 https://dgip.go.id//pdki, Diakses pada tanggal 25 April 2018, Pukul 07.25.
57
3 Maret Maret 2003, sampai saat ini.
masa berlaku
merek
Penggugat.
Bahwa apabila melihat merek TOYOKO yang dimiliki oleh
Tergugat, menurut peneliti mempunyai persamaan pada pokoknya,
maksud pada persamaan pada pokoknya yaitu kemiripan yang
disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang
satu dengan yang lain yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan
baik mengenai bentuk cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi
antara unsur-unsur atau persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam
merek tersebut yaitu merek TOYOKO karena memiliki persamaan pada
pokoknya mengenai ucapan kata, maupun suara yang terbilang sama dan
hanya huruf akhiran huruf “TA” dengan “KO”, serta sama-sama
melindungi barang kelas 12 sejenis yaitu mengenai suku cadang.
Tindakan ini berakibat kerugian yang dialami oleh pihak lain,
mengecoh, dan menyesatkan konsumen/mengacaukan publik berkenaan
dengan sifat dan asal usul barang. Adanya persamaan pada pokoknya
dan/atau keseluruhannya didasarkan pada itikad tidak baik untuk
mendompleng atau membonceng keterkenalan merek (passing off)
sehingga bisa mendapatkan keuntungan yang besar dalam waktu yang
cepat tanpa mengeluarkan biaya untuk melakukan promosi. Jadi,
penilaian ada tidaknya unsur itikad tidak baik sangat perlu
memperhatikan unsur persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
yang terdapat dalam merek tersebut.5
5 Adi Supanto, Kasubdit Pelayanan Hukum dan Fasilitasi Komisi Banding Merek,
Interview Pribadi, Jakarta Selatan, 2 April 2018.
58
Selanjutnya, singkat peneliti berpendapat bahwa interpretasi hakim
dalam memutuskan perkara ini sudah tepat, karena merek TOYOKO
memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya
dengan mengelabui konsumen melalui pemboncengan reputasi (passing
off) terhadap merek TOYOTA. Majelis Hakim mengacu pada bukti-bukti
yang dilampirkan oleh Penggugat dan juga mengacu pada Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dalam memutus perkara.
B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perbuatan Passing Off
Merek dagang memenuhi berbagai sasaran dalam dunia perdagangan,
antara lain merek meyakinkan konsumen untuk cepat dan mudah
mengidentifikasi barang-barang yang mereka inginkan untuk cepat dan
mudah mengidentifikasi barang-barang yang mereka inginkan untuk dibeli.
Kemudahan mengidentifikasi barang-barang yang diinginkan akan
menghemat waktu dan uang serta akan menciptakan suatu persaingan pasar
bebas. Ada beberapa argumentasi yang menyatakan bahwa merek dagang
adalah inti utama dalam suatu kompetisi untuk meyakinkan konsumen. Merek
membedakan produksi yang saling bersaing dan mendrong produsen untuk
meningkatkan kualitas dan memperoleh keuntungan karena reputasi yang
baik.
Kekuatan suatu merek untuk menarik sebanyak mungkin konsumen
dapat melalui media elektronik ataupun non-elektronik, salah satunya adalah
iklan. Iklan dilakukan melalui saluran TV (televisi), radio, media cetak, dan
billboard. Begitu besarnya kekuatan suatu merek melalui promosi iklan
tersebut membawa dampak lain, yaitu adanya keinginan yang dilakukan oleh
produsen lain untuk memalsu dan meniru merek terkenal itu. Peneliti akan
menjabarkan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran merek yaitu passing off, sebagai berikut:
1. Tidak adanya pedoman mutlak mengenai apa yang disebut sebagai
merek terkenal
Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan oleh Kasubdit
Pelayanan Hukum dan Fasilitasi Komisi Banding Merek pada
59
Direktorat Jenderal KI, selama ini Dirjen KI tidak pernah menolak
pendaftaran merek pihak lain, selama merek yang didaftarkan itu tidak
sama dengan yang telah ada sebelumnya. Mereka tidak pernah melihat
dari merek-merek terkenal lokal maupun merek terkenal asing yang
belum terdaftar di Indonesia. Selama merek itu belum terdaftar di
Daftar Umum merek, maka mereka akan menerimanya dan baru jika
pada saat publikasi dilakukan ternyata ada pihak-pihak yang
mengajukan keberatan, maka mereka akan memprosesnya. Akan tetapi,
jika tidak ada pihak yang mengajukan keberatan, maka merek tersebut
akan terdaftar dalam Daftar Umum Merek walaupun merek tersebut
ternyata merupakan merek terkenal.
Dahulu pihak Dirjen KI pernah memiliki daftar merek terkenal
namun daftar tersebut saat ini sudah tidak dipergunakan lagi, karena
tidak pernah diperbaharui. Pihak Dirjen KI menyatakan bahwa mereka
belum bisa mengeluarkan batasan-batasan apa yang disebut merek
terkenal itu karena belum ada Peraturan Menteri juga yang
mengaturnya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 21 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis.
Hal itulah yang menurut peneliti menyebabkan banyaknya pelaku
usaha pesaing yang dengan sengaja mendaftarkan merek terkenal lokal
maupun asing yang belum terdaftar, bahkan merek yang sudah terdaftar
saja masih banyak pelaku usaha yang memberanikan untuk
mendaftarkan mereknya. Hal tersebut sangat jelas akan menguntungkan
pihak pelaku usaha baru yang melakukan pemboncengan reputasi
(passing off) merek terkenal tersebut, tetapi akan sangat merugikan
pihak yang memiliki merek terkenal tersebut.
2. Aparatur Penegak Hukum yang lemah
Penegakan hukum yang baik akan membawa perlindungan merek
yang baik. Karena, bagaimanapun perlindungan merek adalah untuk
melindungi masyarakat dari kebohongan/penipuan, untuk membantu
60
persaingan yang jujur, dan memberikan jaminan kepada masyarakat
bisnis suatu reputasi yang menguntungkan. Di samping itu,
perlindungan merek yang baik menjadi lebih penting jika ekonomi
tumbuh berdasarkan persaingan di pasar. Hal ini baru dapat terwujud
apabila aparatur penegak hukum kuat. Sebaliknya, apabila aparatur
penegak hukum lemah, maka pemalsuan dan pembajakan merek
menjadi lebih meluas.
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana
dibidang merek. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Direktorat
Jenderal KI tersebut diberikan wewenang sebagaimana yang tercantum
pada Pasal 99 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek dan Indikasi Geografis, berbunyi:
a. Pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana dibidang Merek;
b. Pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang merek;
c. Permintaan keterangan dan barang bukti dari orang sehubungan
dengan tindak pidana di bidang merek;
d. Penggeledahan dan pemeriksaan di tempat yang diduga terdapat
barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain yang
berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;
e. Penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang
dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang
merek;
f. Permintaan keterangan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang Merek
61
g. Permintaan bantuan kepada instansi terkait untuk melakukan
penangkapan, penahanan, penetapan daftar pencarian orang, dan
pencegahan terhadap pelaku tindak pidana di bidang merek;
h. Penghentian penyidikan jika terdapat cukup bukti adanya tindak
pidana di bidang merek.
Menurut Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan
Indikasi Geografis, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang
ditunjuk dari Direktorat Jenderal KI, memberitahukan dimulainya
penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kejelasan ketentuan mengenai penyidikan ini sangat penting bagi
aparat penyidik dalam melaksanakan tugas nya. Untuk itu perlu sebuah
penegasan bahwa sekalipun Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di
lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputi pembinaan di bidang merek, diberi wewenang khusus sebagai
penyidik, tetapi hal itu tidak meniadakan fungsi Penyidik Pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai penyidik utama. Dalam
melaksanakan tugasnya, penyidik PPNS berada dibawah kordinasi dan
pengawasan Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Namun fakta yang terjadi bahwa penegakan hukum merek masih sangat
lemah, seperti tidak berdaya, dengan masih banyaknya pemalsuan
merek atas indikasi passing off dan perdagangan barang-barang
bermerek palsu. Akibat pemalsuan merek, kerugian yang diderita
Indonesia mencapai US $ 70-80 juta per tahun. Menurut data yang ada
yang ada, hanya sekitar 12% perangkat yang dijual di Indonesia asli,
selebihnya merupakan barang bajakan6
3. Pihak pelaku usaha saingan yang tidak mau mengeluarkan biaya
promosi mereknya
6https://economy.okezone.com/read/2016/06/09/320/1410336/akibat-pembajakan-
kerugian-negara. Diakses pada tanggal 24 April 2018, Pukul 12.20.
62
Selain kelemahan-kelemahan dari segi hukumnya, ada satu faktor
yang juga dapat menyebabkan terjadinya pemboncengan merek yang
berakibat pada persaingan curang, yaitu pesaing usaha yang tidak mau
mengalami kerugian. Seperti yang kita ketahui, untuk membangun
sebuah merek menjadi merek yang terkenal di seluruh dunia bukanlah
hal yang mudah. Seperti contoh kasus yang peneliti jabarkan pada Bab
III, yaitu merek aki GS Yuasa dengan GS Garuda Sakti, merek helm
INK dengan INX, serta merek TOYOTA dengan TOYOKO.
Untuk menjadikan suatu merek itu menjadi yang dikenal oleh
khalayak ramai, pemilik merek harus malakukan publikasi besar-
besaran dan terus-menerus hingga akhirnya merek tersebut dapat
dikenal oleh masyarakat luas. Dengan melakukan pengiklanan secara
terus-menerus itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena
itulah, pihak pesaing usaha sering melakukan pemboncengan reputasi
terhadap merek terkenal.
Dengan pemboncengan reputasi merek tersebut pesaing usaha
tidak perlu lagi mengeluarkan biaya yang besar untuk melakukan iklan
terhadap produknya, karena masyarakat akan mengira itu adalah produk
yang sama atau memiliki hubugan yang sama dengan merek yang sudah
dikenal lebih dahulu.
C. Akibat Hukum Dari Perbuatan Passing Off
Pengertian akibat hukum teah dirumuskan oleh R. Soeroso yaitu akibat
hukum ialah suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat
yang dikehendaki oleh si pelaku dan diatur oleh hukum. Tindakan ini disebut
tindakan hukum. Jadi dengan lain perkataan, akibat hukum adalah akibat dari
suatu tindakan hukum. Contoh membuat wasiat, penyataan berhenti
menyewa.7
7 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.131-132.
63
Jika dikaitkan pada konsep passing off terutama pada Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, dapat
disimpulkan bahwa di dalam Undang-undang ini dapat melahirkan atau
menimbulkan suatu hak dan kewajiban bagi si pemilik merek yang dimana
pemilik hak merek tersebut mempunyai hak untuk memonopoli perdagangan
dengan menggunakan mereknya tersebut. Jika mereknya tersebut
disalahgunakan oleh orang atau pihak yang tidak bertanggung jawab maka ia
mempunyai hak untuk melakukan penghapusan dan pembatalan merek yang
digunakan oleh orang tersebut dan ia juga berhak mengajukan gugatan ganti
rugi karena ia merasa haknya sudah dilanggar yang mengakibatkan pangsa
pasarnya menurun atau terganggu yang diakibatkan beredarnya merek yang
sama (merek palsu), atau merek yang dimiripkan dari pihak lain dengan
membonceng ketenaran mereknya. Dan ia juga mempunyai suatu kewajiban
jika mereknya tersebut inigin mendapatkan perlindungan hukum melalui
Undang-undang yang berlaku maka ia harus mendaftarkan merek tersebut
terlebih dahulu ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.8
Dalam kasus telah terjadi passing off maka timbul suatu peristiwa
hukum yang dimana telah terjadi pelanggaran terhadap hak merek yang
dimiliki oleh pemilik merek terdaftar yang menimbulkan suatu akibat adanya
gugatan pembatalan atas hak merek yang tidak memiliki hak dalam
penggunannya dan hal ini menunjukan bahwa produsen yang telah memenuhi
kewajibannya selaku pemilik merek maka ia harus diberikan hak berupa
perlindungan terhadap mereknya tersebut yang sesuai prinsip yang dianut
oleh Indonesia yaitu first to file principles yang mengandung arti bahwa
merek yang diberikan perlindungan hukum adalah merek yang telah terdaftar.
Selain itu pula, pemboncengan reputasi tersebut mengandung pula adanya
unsur perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum. Perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum tersebut karena jika
8 Adi Supanto, Kasubdit Pelayanan Hukum dan Fasilitasi Komisi Banding Merek,
Interview Pribadi, Jakarta Selatan, 2 April 2018.
64
perbuatan tersebut tidak memiliki itikad baik dapat diajukan tuntutan secara
hukum karena telah melanggar dari perundang-undangan berlaku
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis tidak mengatur secara tegas bahwa terhadap merek harus
didaftarkan, namun pada Undang-undang tersebut hanya mengatur prosedur
pendaftarannya. Apabila sudah dilakukan pendaftaran merek maka
pemiliknya akan mendapatkan hak atas merek. Akibat hukum yang
didapatkan setelah pendaftaran merek berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis adalah
mendapatkan perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat
diperpanjang. Apabila suatu merek telah didaftarkan oleh pemiliknya, maka
secara otomatis produsen pemilik merek terdaftar mempunyai hak dalam
mengajukan gugatan ganti rugi maupun gugatan pembatalan merek yang
melakukan passing off maka hal ini didukung pula dengan ketentuan pidana
yang diajukan gugatannya oleh pemegang merek terdaftar dan pemerintah
selaku pihak penerima pendaftaran merek.
Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
telah menetapkan ketentuan pidana dalam Pasal 100 ayat (1), (2) dan (3) bagi
pemilik merek yang melakukan passing off merek terkenal terdaftar terdapat
persamaan pada keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa sejenis yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau dendan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah). Sedangkan bagi pemilik merek yang melakukan passing
off merek terkenal terdaftar terdapat persamaan pada pokoknya untuk barang
dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Namun jika pelaku usaha
tersebut melanggara ketentuan ayat (1) dan (2) serta menimbulkan gangguan
kesehatan, gangguan lingkungan hidup, dan/atau mengakibatkan kematian
65
manusia, maka dapat dikenakan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun, serta denda paling banyak Tp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Namun pada Pasal diatas jarang para pemilik merek yang menjadi
korban passing off untuk melaporkan tindakan tersebut ke Kepolisian karena
akan menyita banyak waktu biaya yang relative tidak sedikit dibandingkan
langsung ke Pengadilan Niaga.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pokok permasalahan dan pembahasan pada bab-bab
sebelumnya, maka peneliti menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Perlindungan hukum terhadap merek terdaftar dari perbuatan passing off
belum diatur secara jelas di dalam perundang-undangan merek di
Indonesia secara spesifik, akan tetapi terdapat beberapa peraturan
perundangan-undangan yang ketermuatannya mengatur mengenai
passing off dilihat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek dan Indikasi Geografis, pada Pasal 20, 21, dan untuk mengajukan
gugatan dapat dilihat dalam Pasal 83, serta dapat dilihat dalam UU
Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The
World Trade Organization. Perbuatan passing off dapat juga
dikategorikan persaingan curang, namun tidak bisa dikategorikan
persaingan usaha tidak sehat yang tercantum dalam UU Nomor 5 Tahun
1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Passing off juga termasuk kategori perbuatan melawan hukum
sehingga dapat menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata.
2. Undang-Undang merek di Indonesia dalam beberapa ketentuan pasalnya
telah melindungi hak atas merek terhadap tindakan passing off. Prinsip
itikad baik yang terkandung dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang
Merek mempunyai pengertian bahwa pemohon yang mendaftar
mereknya harus dilandasi kejujuran, itikad baik, dan tanpa ada niat
apapun untuk membonceng, meniru, dan menjiplak ketenaran merek
pihak lain. Jadi prinsip itikad baik dapat melindungi hak atas merek
terhadap tindakan passing off karena terkandung unsur
misrepresentation. Selain itu, perlindungan hukum terhadap merek dapat
diperoleh ketika didaftarkan sesuai prinsip first to file, akan tetapi merek
GS Yuasa, dan TOYOTA adalah bukti nyata terkait maraknya passing off
67
yang tidak bisa dicegah dengan hanya bergantung pada prinsip first to
file, mekipun ketiga merek tersebut sudah didaftarkan.
3. Akibat hukum bagi pelaku tindakan passing off dapat berupa ganti
kerugian sesuai kerugian dari tindakan passing off baik kerugian materil
maupun immateril, penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan
penggunaan Merek tersebut (penghapusan merek), dan dapat
dipindanakan sesuai dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
B. Rekomendasi
Berdasarkan permasalahan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh
peneliti, bahwa layak untuk direkomendasikan sebagai berikut:
1. Karena melihat perkembangan zaman dalam dunia usaha dan kebutuhan,
maka layak untuk direkomendasikan bila pengaturan passing off bisa
dimasukan kedalam muatan materi Undang-Undang Merek saat ini.
Mengingat bahwa passing off dapat membuat persaingan curang,
sehingga tidak adanya kepastian hukum yang dimiliki oleh pemilik
merek terdaftar.
2. Sudah saatnya membentuk aturan khusus mengenai ketentuan merek
terkenal berikut juga mengenai passing off yang berlaku di Indonesia
sebagaimana telah banyak merek-merek terkenal masuk ke pasar
Indonesia. Sebab itu, direkomendasikan untuk menambahkan muatan
materi passing off ke dalam beberapa Pasal pada Undang-Undang Merek
saat ini, agar terciptanya kepastian hukum mengenai perlindungan merek
yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.
3. Majelis Hakim yang memeriksa sengketa merek juga perlu hati-hati
dalam memberikan pertimbangan hukumnya. Hakim harus dapat
menggali hukum dari peristiwa hukum yang terjadi. Kekosongan hukum
tidak boleh menjadi alasan untuk memberikan pertimbangan yang tidak
adil. Hakim harus mengadopsi peraturan-peraturan yang terkait hingga
peraturan Internasional dimana bangsa kita terikat. Hal ini semata-mata
68
untuk menghindari precedent buruk atas perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual di mata dunia Internasional. Perlindungan kekayaan
intelektual yang tidak baik tentu akan dapat membawa dampak yang
kurang baik juga bagi bangsa dan negara kita khususnya dalam
perkembangan sektor ekonomi saat ini masih membutuhkan investasi
dari pada investor luar negeri.
69
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
A. Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, St. Paul,Minn: West Publishing Co, 2004.
Arrasjid, Chainur , Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Budi, Maulana Insan, Bianglala HAKI (Hak Kekayaan Intelektual), (Jakarta: Hecca Publishing, 2012.
Djumhana, Muhammad dan R. Djubaedillah Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Lindsey, Tim, dkk. Suatu Pengantar Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT. Alumni, 2013.
Lubis, Todung Mulya, Perselisihan Hak Atas Merek di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2000.
Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987.
Margono, Suyud, dan Amir Pamungkas, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2011.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009.
Miru, Ahmadi, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Nur Dewata, Mukti Fajar, dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Purwaningsih, Endang, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, Bandung: Mandar Maju, 2012.
Soekardono, R., Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1983.
70
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
Riswandi, Budi Agus dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Saidin, OK., Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Press, 2011.
__________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1983.
Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Sopyansyah, Jaya, dan Durachman Yusuf, Etika Bisnis dan Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009.
Suryatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Prad Paramita, 1980), h.84. Sutjipto, H.M.N, Purwo, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang, Jakarta:
Djambatan, 1984.
Tomi Utomo Suro, Hak Kekayaan Intelektual di Era Global, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Usman, Rahmadi, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Jakarta: PT. Alumni, 2006.
BAHAN ONLINE
Edy Santoso, “Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Merek Dagang Terkenal Melalui Peran Kepabeanan Sebagai Upaya Menjaga Keamanan dan Kedaulatan Negara”, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 5 No. 1, April 2016.
https://pakarkomunikasi.com/jenis-metode-penelitian-kualitatif diakses pada 5 November 2017.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15211/gugatan-pembatalan-dan-penghapusan-merek-delifrance diakses pada 7 November 2017
71
https://economy.okezone.com/read/2016/06/09/320/1410336/akibat-pembajakan-kerugian-negara. Diakses pada tanggal 24 April 2018, Pukul 12.20.
https://dgip.go.id//pdki, Diakses pada tanggal 22 April 2018, Pukul 19.45. Jisia Mamahit, “Perlindungan Hukum Merek Dalam Perdagangan Barang dan Jasa” Jurnal Lex Privatum. Vol.I No.3 (diakses pada, 13 Februari 2018 pukul 20:25 WIB)
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 67 Tahun 2016 Tentang
Pendaftaran Merek. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
UU Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization.
Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Paris dan
WIPO
PERJANJIAN INTERNASIONAL
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeid Goods/TRIPs.
Paris Convention and Berne Convention
HASIL WAWANCARA
Nama : Anwar Fauzi
Kasubdit Pelayanan Hukum dan Fasilitasi Komisi Banding Merek, Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual
Jakarta Selatan, 2 April 2018
1. Apa tugas dan wewenang Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual mengenai
merek?
Melakukan perumusan kebijakan di bidang perlindungan hukum
kekayaan Intelektual, penyelesaian permohonan pendaftaran, penyidikan,
penyelesaian sengketa, pelaksanaan pemantauan, evaluasi, pelaporan di
bidang perlindungan hukum kekayaan intelektual dan lain-lan.
2. Apa pengertian persamaan merek pada pokoknya dan persamaan merek pada
keseluruhannya menurut Bapak/Ibu? Dan apakah pihak Direktorat Jenderal
KI pernah menerima suatu merek dari kedua persamaan tersebut?
Persamaan merek pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan
oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan merek
yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai
bentuk, cara penempatan, cara penulisan dan kombinasi antara unsur-unsur
ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.
Namun, dalam hal ini kami menegaskan pihak Direktorat Jenderal KI tidak
pernah menerima suatu merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dan
atau keseluruhannya.
3. Bagaimana kriteria merek terkenal menurut bapak/ibu?
Dalam Pasal 21 telah disebutkan beberapa kategori merek terkenal dan
tambahan dari saya untuk memasukan ketentuan merek tersebut menjadi
merek terkenal tentu harus terdaftar di beberapa Negara serta dibuktikan juga
dengan promosi gencar-gencaran untuk memperluas pangsa pasar dan
terdapatnya pengetahuan masyarakat atas merek tersebut. Dan menurut saya
sih masih kurangnya pengaturan secara spesifik mengenai merek terkenal di
Indonesia sehingga atas kasus merek terkenal beberapa hakim dapat
melakukan interpretasi hukum.
4. Apakah merek GS Yuasa, INK, dan TOYOTA merupakan merek terkenal?
Melihat fakta-fakta hukum dan alasan-alasan hukum dalam amar
putusan dari masing-masing kasus diatas, telah terbukti bahwa ketiga merek
tersebut merupakan merek terkenal.
5. Apakah diperbolehkan mendaftarkan merek pada klasifikasi kelas barang
yang sama?
Persamaan klasifikasi kelas barang bukanlah yang menjadi persoalan
karena yang harus diperhatikan yakni jenis barangnya, maksudnya ialah
ketika kelas barang dan/atau jasa sama dan jenis barang atau uraian barang
atau deskripsi klasifikasi barang dan/atau jasa berbeda maka merek tersebut
dapat diterima, contoh satu perusahaan mendaftarkan merek dagangnya
kedalam kelas 25 dengan jenis dompet sedangkan satu perusahaan lain
mendaftarkan jenis baju yang juga termasuk pada kelas barang 25, maka
kedua merek tersebut dapat diterima.
6. Bagaimana pemahaman Bapak/Ibu mengenai passing off dalam konteks
merek?
Passing off hanya berlaku untuk merek terkenal dan lebih dikenal di
negara yang menganut common law dan hal tersebut juga dekat kaitannya
dengan persaingan tidak sehat.
7. Bagaimana pendapat ibu/bapak terhadap suatu merek jasa atau barang yang
bukan termasuk merek terkenal tetapi tetap mengajukan terdapatnya tindakan
passing off?
Tentu saja dalam hal passing off pada merek perlu dipahami hanya
berlaku untuk merek terkenal saja dan harus telah mempunyai reputasi tinggi
dan pihak yang merasa dirugikan harus dapat membuktikan reputasi
mereknya.
8. Perlukah penambahan materi pada Undang-Undang Merek saat ini dengan
mengadopsi aturan common law yakni tindakan passing off?
Saya rasa tidak perlu, karena kita sudah menganut prinsip first to file.
9. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal KI dalam
menimalisir praktik passing off yang masih sering terjadi?
Kami tegaskan kembali bahwa Dirjen KI sudah memfasilitasi dengan
pendaftaran merek sehingga dapat memperoleh perlindungan hukum yang
kami jaminkan. Namun terkait kasus yang terjadi itu kembali ke masing-
masing pihak yang bersangkutan.
10. Bagaimana tolak ukur yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal KI terkait
suatu merek yang didaftarkan dengan itikad tidak baik?
Dengan adanya persamaan pada pokoknya dan/atau keseluruhan yang
mengarah kepada pelanggaran merek dengan merek pesaing yang sudah
terdaftar lebih dahulu, hal tersebut merupakan pendaftaran dengan niat itikad
tidak baik.
11. Bagaimana motif atau alasan pertimbangan Direktorat Jenderal KI dalam
menerima pendaftaran merek ?
Kami menerima pendaftaran merek jika merek tersebut dapat
memenuhi syarat administratif dan pemeriksaan substantif dalam Direktorat
Merek ini.
Recommended