View
263
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
1
Prolog
Hayua diponah-ponah
hayua dicawuh-cawuh
inya naker inya angger
inya ninyak inya rempag
(Jagan dimusnahkan, Jangan semena-‐mena, bila dipelihara akan tetap ada, bila di diinjak-‐injak/dirusak akan roboh)
Sumber: Teks di tepi bagian tebal, Prasasti Kawali I di kawasan Astana Gede.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
2
Paguyuban Pasundan dan Masyarakat Madani
Paguyuban Pasundan lahir tahun 1913, berdiri lima tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo. Saat itu berkembang ide untuk membangun kehidupan yang lebih baik lepas dari kungkungan penjajahan negeri. Semangat nasionalisme yang didasari kesadaran berpribadi, dan tumbuhnya semangat berkelompok dari kalangan bumiputera, tidak lepas dari pengaruh dinamika sosial yang terjadi. Tahun 1901 pemerintah kolonial menerapkan kebijakan politik etis, yang menurut Boeke (1940) dalam “De Etishe in de Nederlandch-‐Indische politiek”, murni sebagai kebijakan mengembangkan ekonomi masyarakat, yang ternyata berimbas pada masalah sosial (Furnivall,1956). Politik etis juga melahirkan banyak organisasi, antara lain Perkoempoelan Boemipoetera Pabean (1911), Persatoean Goeroe Bantoe (1912), Persatoean Pegawai Pegadaian Boemipoetera (1941). Kehadiran politik etis itu sendiri tidak terlepas dari kondisi eropa di awal abad 20 yang penuh konflik. Konflik melahirkan antara lain terjadinya Perang Dunia I, lahirnya ideologi baru seperti revolusi Rusia yang melahirkan ideologi komunis, resesi ekonomi. Belanda dengan politis etisnya, ingin mengambil hati masyarakat negara jajahannya untuk meringankan tekanan konflik di benuanya itu.
Walaupun secara formal Paguyuban Pasundan lahir dari “kebaikan hati” pemerintah kolonial, dan tidak pernah menyatakan secara terbuka berseberangan dengan pihak mereka, namun perjuangan kebangsaannya sangat jelas dengan fokus pada upaya memerangi kemiskinan dan kebodohan di kalangan bumi putra beretnis sunda dengan menekankan pada semangat swadaya. Kalaupun ada bantuan pemerintah, sebagaimana sekolah awal didirikan yakni HIS dan MULO di Tasikmalaya (1922); dan juga Centrale Bank Pasundan (1934) di bidang ekonomi, namun itu tidak menyebabkan ketergantungan dan kehilangan ruh perjuangan membangun kesadaran berpribadi yang dibutuhkan saat itu.
Sebagai orang yang pernah mengecap pendidikan di sekolah dasar pasundan di akhir tahun 60an, penulis merasakan aura perjuangan penggiat
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
3
Paguyuban Pasundan (saat bernama Parki). Para guru bekerja dengan gaji seadanya dan penghargaan yang hampir tidak ada dari pemerintah, namun perhatian terhadap murid sangat besar. Di masa orde baru saat nasionalisme di benturkan dengan keragaman budaya, menyebabkan simbol kedaerahan semakin tersudut. Saat itu pun juga Paguyuban Pasundan harus menanggung beban stigma “Negara Pasundan” yang dianggap berseberangan dengan NKRI, padahal antara Paguyuban Pasundan dengan Negara Pasundan tidak ada kaitan formal sama sekali. Namun hikmah dari itu, Paguyuban Pasundan terbiasa untuk berjuang dengan mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki dan menghindari ketergantungan kepada pihak manapun. Keteguhan menjaga kemandirian namun tetap memelihara silaturahim dengan pihak manapun, menemukan bingkainya saat reformasi digulirkan. Saat itu wacana pentingnya pemindahan bandul kekuasaan dari atas ke bawah serta memberi ruang yang luas pada partisipasi masyarakat, mengisyaratkan pentingnya masyarakat sipil (civil society) yang kuat.
Civil society merupakan antitesa dari “masyarakat politik” atau negara. Pemikiran itu dapat dilacak dari pendapatnya Hobbes, Locke, Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci dan lain-‐lain. Pemikiran mengenai masyarakat sipil tumbuh dan berkembang sebagai bentuk koreksi radikal kepada eksistensi negara karena peranannya yang cenderung menjadi alat kapitalisme. Dengan demikian pokoksoalnya terletak pada penggugatan hegemoni negara dan membangkitkan peran masyarakat. Sebenarnya Islam pun menjalankan prinsip masyarakat sipil yang mandiri ini, sejak awal pengembangannya di kota Madinah melalui konsep masyarakat peradaban, atau masyarakat madani (Nurcholis Madjid,1999).
Esensi masyarakat sipil adalah pada pemberian keberdayaan, kesetraan, dan keadilan sebagai fundamen sosial. Tirani yang memasung secara kultural maupun struktural inisiatif dan kreativitas masyarakat harus dihilangkan melalui sistem penciptaan partisipasi publik yang demokratis. Maka implikasi dari bergesernya bandul kekuasaan itu, terminologi pembangunan pun berubah menjadi pemberdayaan. Karena pemberdayaan lebih menjamin munculnya bottom up. Neera Candoke
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
4
(1995) menekankan public critical rational discource melalui demokrasi sebagai pilar masyarakat sipil yang kuat. Asumsinya sistem demokrasi yang baik yang didukung oleh sikap kritis masyarakat, dapat menekan praktik manipulasi informasi, pemaksaan kehendak, pembunuhan karakter, dan berbagai ketidakadilan lainnya oleh kelompok elit secara sepihak. Batas toleransi sikap kritis masyarakat dan kewenangan pemerintah di atur dalam berbagai regulasi dalam kerangka hukum formal. Maka dalam masyarakat sipil menempatkan supremasi hukum sebagai puncak kertajaminan rasa keadilan masyarakat itu. Dengan demikian, dapat disimpulkan ada tiga ciri struktural masyarakat madani atau masyarakat sipil, yakni (a) pemberdayaan, (b) demokratisasi, dan (c) supremasi hukum.
Ormas dan juga LSM merupakan pilar utama masyarakat sipil yang seyogyanya memiliki posisi tawar yang bermakna kala berhadapan dengan masyarakat negara. Maka penguatan pranata organisasi harus mampu membangun kemandirian, inisiatif, dan sikap kritis para penggiat yang diharapkan terakumulasi menjadi budaya organisasi. Pranata yang menjadi ciri kultural masyarakat sipil, mencakup (a) maindset keguyuban (kolektivisme), (b) keperdulian sosial, dan (c) kesadaran berpribadi. Ciri-‐ciri itu menjadi konstatasi yang memiliki linearitas dengan kemandirian kolektif untuk kemaslahatan sosial, yang boleh jadi, ini identik dengan konsep socioentrepreneurship, yang oleh J.G. Dess disebut sebagai spesies khusus dalam genus wirausaha (Dees,1998)
Kini reformasi sudah bergulir lebih dari lima belas tahun, namun masyarakat sipil yang diidam-‐idamkan masih jauh panggang dari api, alih-‐alih kemandirian terwujud, yang terjadi adalah ketergantungan kekuatan civil society yang makin kuat kepada anggaran publik (APBN/APBD). Mobilitas pun masih lebih kuat dari partisipasi, demokrasi berjalan absurd, supremasi hukum masih terkendala, kebebasan berpendapat belum produktif dan belum menjadi sarana efektif untuk mencerdaskan masyarakat, dan yang lebih parah korupsi kalu dulu milik elit, kini telah menjadi budaya kolektif dan masif.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
5
Paguyuban Pasundan dari masa ke masa, selalu mencoba menegakkan ciri struktural dan kultural masyarakat sipil itu, terlepas apakah itu timbul dari kesadaran atau timbul karena keterpaksaan oleh keadaan saja. Ciri struktural terlihat upaya menjaga jarak yang toleran dengan pusat kekuasaan, penyelenggaraan kongres yang teratur dan demokratis, transparansi dan taat azas dalam berorganisasi. Ada dinamika sepanjang perjalanan sejarahnya, namun secara relatif selalu ada solusi atas setiap permasalahan yang timbul. Ciri kultural melekat antara lain dalam pembiayaan program dan gaya kepemimpinan. Lembaga pendidikan ataupun pusat-‐pusat kegiatan di lingkungan pasundan hampir seluruhnya diinisiasi dan dibiayai oleh kekuatan kader. Kepemimpinan yang dikembangkan bukan tanpa cela, namun efektif memahami keadaan, dan menjadikan situasi yang dihadapi sebagai tantangan. Kearifan budaya memberi ruang untuk mendorong kader bepotensi sesuai kapasitasnya, dari proses ini kemudian lahir pemimpin dengan skala yang lebih menasional pada jamannya. Tugas ke depan bagaimana ciri struktural dan kultural tetap gumulung dalam jiwa kader sunda dan terus terjaga dalam pengabdian Paguyuban Pasundan yang mandiri dan independen di masa mendatang. Para pendahulu telah berhasil menanamkan bibit tradisi mentalitas yang baik untuk membangun masyarakat madani yang bermaslahat. Selanjutnya tugas peradaban menanti kader muda untuk menjaga dan mengembangkannya. Cag, Jaga nu geus aya, piara nu katara jeung karasa, riksa catangna mun ngarep supana.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
6
Jaya Lana di Bhuana
Saat tulisan ini dibuat, Paguyuban Pasundan memasuki tahun kesatu untuk abad kedua. Waktu yang panjang untuk kehidupan sebuah organisasi masyarakat yang lahir dari tuntutan kesejarahan menantang peradaban manusia yang lebih modern dengan berlandaskan pada basis budaya entitas. Dialektika sosial budaya yang dihadapi pada masa rentang waktu itu, telah membuat Paguyuban Pasundan menjadi kian kaya dengan pengalaman dan arif mensikapi setiap tantangan yang dihadapi, dan semoga ke depan, apa yang sudah dilakukan oleh panaratas maupun pupuhu setelahnya, bisa memberi inspirasi bagi generasi pelanjut untuk tetap konsisten dengan arah cita-‐cita perjuangan, yakni memerangi kemiskinan dan kebodohan khususnya bagi masyarakat Sunda, dan umumnya bagi peradaban manusia. Keadaan mendatang tidaklah ringan dan cenderung mendatangkan tantangan baru yang tidak mungkin dihadapi dengan sikap dan pendekatan berfikir yang sama seperti masa lalu dan saat ini. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan budaya kesejagatan yang berpotensi untuk menggerus eksistensi budaya lokal, namun optimisme harus tetap dibangun, karena segala kemungkinan selalu terbuka.
Sebagaimana dikatakan Naisbitt dalam Megatrend dan Global Paradox, yaitu “Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan”, dan dalam bidang ekonomi adagium itu berlaku, semakin menggurita ekonomi dunia, semakin kuat dominasi perusahaan kecil. Dalam perkembangan sejarah, paradoks itu sering terjadi sebagaimana diungkap oleh Daniel Bell dalam bukunya The Culture Contradictions of Capitalism (1976) yang memaparkan bagaimana konsep kerja keras yang menjadi wacana universal, rontok oleh munculnya fenomena revolusi industri, yang menempatkan kelompok borjuis sebagai pemenang
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
7
kehidupna. Dalam konteks itu, maka dapat disimpulkan bahwa keniscayaan yang pasti bagi perjuangan budaya sunda adalah kesungguhan. Siapa yang bersungguh-‐sungguh dialah yang akan menjadi menjadi pemenang masa depan.
Paguyuban Pasundan menyadari benar pentingnya membangun generasi petarung yang sanggup bersungguh-‐sungguh untuk menyongsong perubahan jaman. Sekian lama Paguyuban Pasundan diolok-‐olok sebagai organisasi yang hanya mampu “mengurus sekolahan” dan selalu gagal dalam perjuangan yang lebih pragmatis. Misal, sikap netral berpolitik kerap dituding sebagai tindakan a-‐politis, dan feminin berpolitik. Walau itu sering ditepis, bahwa politik tidak hanya sekedar bermakna sebagai kekuasaan mengelola negara namun lebih jauh dari itu. Tidak banyak pihak luar yang tahu, bahwa secara internal Paguyuban Pasundan mendorong kadernya untuk berkiprah pada berbagai urat nadi kehidupan, termasuk didalamnya berpolitik praktis. Maka tidak heran bila dalam pilpres yang baru lalu, secara organisasi menyatakan netral, namun banyak kadernya yang turun di lapangan untuk memenangkan salah satu calon. Atmosfir budaya yang ditebarkan kepada kadernya, menghasilkan dukungan yang bernuansa kearifan dan non-‐transaksional. Maka jelas sebagaian besar kader tak ayal lebih condong mendorong calon yang mewakili marwah kejuangan budaya ketimbang alasan lain yang lebih fragmatis.
Bila fenomena pemilu yang lalu menjadi acuan untuk pembelajaran budaya, maka tiga hal penting yang patut dipertimbangkan menjadi agenda Paguyuban Pasundan ke depan, yakni pertama, pendidikan harus menjadi prioritas pencapaian tujuan organisasi ke depan. Pemahaman budaya etik perlu ditanamkan secara sistimatis untuk berjalannya proses akselarasi revolusi budaya (jokowi mengatakan sebagai revolusi mental) secara masif. Pendidikan yang baik akan mendorong budaya demokratis yang bertanggung jawab dalam praktik. Demokrasi menurunkan dua
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
8
kemungkinan, yakni proses dan hasil; dalam dimensi proses sudah kita lalu dalam satu dekade ini, sedang pada dimensi hasil belum menampakan sosok yang jelas. Budaya demokrasi mempunyai pengertian kemampuan manusia yang berupa sikap dan kegiatan yang mencerminkan nilai-‐nilai demokrasi seperti menghargai persamaan, kebebasan, dan peraturan. Maka dimensi hasil menuntut implementasi atas hasil-‐hasil dari proses demokrasi yang dilalui berdasarkan azas persamaan, kebebasaan, dan keadilan substanstif. Kedua, mengembangkan metodologi transformasi budaya di luar jalur persekolahan. Ke depan harapan kita berharap, nilai-‐nilai budaya sunda bisa diletakkan sebagai landasan kebijakan dan strategi pengembangan karakter bangsa. Metodologi yang dimaksud itulah yang diharapkan mampu mendorong munculnya irisan antara budaya sunda dan budaya nasional dengan budaya global, yang lebih masif dan terdokumentasi. Urgensi irisan itu diarahkan untuk lahirnya sistem sintesis baru budaya Indonesia, diantaranya yang penting saat ini adalah memerangi sikap permisif masyarakat terhadap korupsi yang merajalela dengan pendekatan budaya. Inilah kontribusi nyata komunitas sunda terhadap bangsa ini tanpa memasuki wilayah kekuasan yang kadang abai terhadap urusan ini. Ketiga, mengembangkan sistem rekrutasi baru yang memungkinkan lahirnya kader-‐kader yang memiliki potensi membangun jaringan luas, dan kesadaran kelompok yang lebih kuat, dan sanggup bersinergi untuk pencapaian tujuan bersama. Ke depan masyarakat sunda tidak boleh lagi mengandalkan jumlah penduduk sebagai dasar keunggulan dalam berkomptensi, namun harus lebih memasuki ranah yang lebih kualitatif. Dan itu membutuhkan sarana dan proses serta perencanaan yang lebih adaftif dengan kondisi yang dihadapi.
Ketiga hal itu erat kaitannya dengan harapan nenek moyang Sunda yang bisa kita simak pada naskah prasasti Kawali bagian kesatu, yang penulis gubah, isinya “Berpa aya ma, nu ngeusi bhagya Sunda bari pakena kereta bener pakeun nanjeur na Juritan”. Yang berarti, semoga ada generasi
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
9
mendatang yang mengisi tatar sunda ini (dipenuhi) kebahagiaan, dengan membiasakan diri membuat kesejahteraan yang sejati agar menang dalam persaingan hidup. Doa kita di usia 101 tahun Paguyuban Pasundan, adalah, “...Aya Ma nu Pandeuri Pakena Gawe Rahayu Pakeun Heubeul JaYa Di Buana”. Semoga ada generasi mendatang yang bisa berbuat kebaikan agar jaya lana di buana. Semoga.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
10
Citra Utama Abad Kedua
Menjelang usia ke 102 Paguyuban Pasundan merumuskan fokus (citra) perjuangan untuk abad kedua. Pendidikan adalah citra utama abad pertama yang relatif berhasil dilalui melalui penyelenggaraan persekolahan dan media massa, “sipatahoenan” yang telah sukses di awal kemerdekaan. Citra pendidikan merupakan bentuk kongkrit dalam memerangi kebodohan. Merangan kabodoan jeung kamiskinan merupakan tujuan perjuangan sejak awal pendirian paguyuban pasundan. Dengan demikian citra utama abad kedua Paguyuban Pasundan diarahkan untuk memerangi kemiskinan. Disamping tetap memelihara dan mengembangkan pendidikan menjadi lebih baik lagi.
Harus diakui, kemiskinan musuh nyata masyarakat dunia, tak ayal KAA yang baru lalu telah menetapkan kemiskinan sebagai musuh bersama negara-‐negara di Asia dan Afrika. Khusus pada komunitas Sunda saat ini, setidak-‐tidaknya ada hal yang harus dicermati selain masih tingginya angka kemiskinan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, juga tingginya pekerja migrant asal Jabar. Potensi kemiskinan itu semakin mengkhawatirkan bila dikaitkan dengan posisi Jawa Barat dalam konstelasi perekonomian nasional khususnya dampak pemberlakuan pasar bebas. Badan Pusat Statistik Jawa Barat, mengumumkan bahwa saat ini indeks kebahagiaan penduduk Jabar sebesar 67,66 menempati posisi juru kunci di antara angka yang tercatat di provinsi lainnya di Pulau Jawa. Angka itu menempatkan Jawa Barat berada pada posisi 6 terendah nasional. Atau urutan ke-‐28 di atas Sumut dengan capaian angka 67,65 dan di bawah Sumsel sebesar 67,76. Indeks ini memang tidak sekedar dampak dari faktor ekonomi, namun bisa karena faktor lain, Namun jelas erat kaitannya dengan penguasaan faktor produksi dan jeratan kemiskinan. Keperdulian
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
11
paguyuban pasundan untuk turut dalam memerangi kemiskinan sejalan dengan telah keluarnya keputusan gubernur tahun ini, yang melibatkan paguyuban pasundan dalam tim penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat, ini kali pertama sekaligus tantangan baru bagi paguyuban pasundan
Berbicara kemiskinan, asumsi umum UMKM lah yang bisa menjadi alternatif solusinya. Namun faktanya masih banyak kendala dihadapi, antara lain aksesibilitas UMKM Jabar terhadap sumber pembiayaaan, mereka baru memanfaatkan jasa perbankan sekitar 14 persen saja. Rendahnya aksesibilitas sumber pembiyaaan ironis dengan kontribusi UMKM terhadap PDRB, yakni sebesar 57,8 persen. Sudah banyak program yang digulirkan untuk mengatasi masalah ini, namun belum cukup menjawab kebutuhan pembiayaan usaha si kecil. Paguyuban pasundan menyambut baik ide Bank Indonesia yang telah menggulirkan sistem keuangan inklusif. Itu diharapkan berfungsi menciptakan dinamika pembangunan ekonomi dan sosial yang menjangkau setiap lapisan masyarakat. Keuangan inklusif membuat penduduk, khususnya kelompok miskin, terhubung dengan peluang ekonomi. Keterbatasan akses pada layanan jasa keuangan membatasi kemampuan individu untuk memitigasi risiko dan fluktuasi penghasilan serta berinvestasi di bidang kesehatan, pendidikan, dan kegiatan produktif lainnya.
Mengapa koperasi?
Koperasi merupakan bentuk nyata untuk menjalankan sistem keuangan inklusif, walaupun tidak harus tunduk kepada Undang Undang (UU) Nomor 1/2013 mengenai Lembaga Keuangan Mikro, karena ada undang-‐undang lain yang memayunginya yakni Undang Undang (UU) Nomor 25/1992 tentang Perkoperasian. Sebagian besar koperasi dan BMT di Jabar, sebagaimana di lansir pihak BI Bandung, telah berkembang dengan pesat. Dengan memiliki nasabah loyal yang membutuhkan suntikan modal
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
12
kerja untuk pengembangan usaha. Peluang tersebut, bisa dimanfaatkan untuk mempercepat penyaluran kredit program pro-‐rakyat, kontribusi koperasi dalam menyalurkan KUR di Jabar diakui sangat signifikan. Keberadaan koperasi sekaligus menghentikan kiprah para renternir yang sangat merugikan rakyat kecil.
Paguyuban pasundan memiliki anggota yang tersebar di masyarakat dengan tempat tinggal, pekerjaan, dan kedudukan sosial yang jelas dan terdaftar. Mereka bisa menjadi elemen sel dalam mengembangkan wirausaha di lingkungan keluarga dan tempat kerjanya saat ini. Koperasi di lingkungan paguyuban pasundan memang kini cenderung bekarakter koperasi fungsional dengan keanggotaan karyawan, pegawai, guru, mahasiswa, siswa dan sejenisnya. Namun dalam perkembangannya bisa berpotensi menjadi koperasi dengan keanggotaan yang bergerak di sektor ril, sebagaimana pernah dicoba dalam beberapa tahun yang lalu di cabang Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Serang. Maka kehadiran koperasi khususnya dalam penyediaan pembiayaan usaha, dalam jangka pendek diharapkan dapat menumbuhkan kegiatan usaha anggota yang dapat menopang kehidupannya, melalui penyelamatan nilai tambah ekonomi dari setiap aktivitas ekonomi internal. Nilai tambah transaksi keuangan anggota, maupun unit kerja, saat ini jatuh di luar institusi organisasi, sehingga tidak banyak manfaat bagi organisasi secara berkelanjutan. Disamping itu, tidak jarang pula untuk memulai usaha akhirnya terjerat oleh lintah darat yang menambah beban usaha berkepanjangan. Padahal bila dikelola dengan baik potensi yang dimiliki cukup besar. Dan bila dijalankan dengan standar mutu profesional, maka sangat dimungkinkan dari unit layanan simpan pinjam saja dapat menciptakan sumber pembiyaan organisasi yang baru di satu sisi, juga sekaligus membantu masyarakat kecil untuk keluar dari jeratan renternir, serta hambatan birokrasi perbankan yang bagi usaha kecil masih sangat rumit dan membingungkan.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
13
Dalam jangka menengah, kehadiran layanan pembiayaan bentuk koperasi ini bisa ikut menciptakan kader-‐kader muda sunda yang sedia guyub dalam berbagai bidang, khususnya di bidang ekonomi. Pada jangka panjang, dengan memulai membenahi ekonomi anggota paguyuban pasundan diharapkan dapat memberi imbas bagi perkembangan dan dinamika perekonomian di wilayah unit kerja unit maupun cabang yang saat ini mulai menyebar ke beberapa propinsi dan mancanegara.
Pemilihan koperasi sebagai bangun usaha yang melayani kegiatan ekonomi anggota tidak semata pertimbangan ekonomis, namun juga pertimbangan sejarah. Dimana koperasi Indonesia pasca kemerdekaan digagas oleh aktivis koperasi paguyuban pasundan, yang akhirnya bermuara dalam kongres koperasi pertama di Tasikmalaya tahun 1947 yang digagas oleh Niti Somantri (Wasekjen Paguyuban Pasundan). Selanjutnya disusul dengan kongres II di Bandung tahun 1953 dimana salah seorang pemrasarannya adalah R.S. Soeria Atmadja (Kepala Direktorat Perekonomian Rakyat) yang saat ini telah menjadi tokoh paguyuban pasundan, beliau menyampaikan paparan tentang ”Perluasan tugas gerakan koperasi di Indonesia”. Kongres di Bandung inilah yang kemudian mengubah SOKRI menjadi Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin).
Dari hasil penelusuran dari Wikipedia, antara lain ditemukan Paguyuban Pasundan dalam kongresnya yang ke 19 di Tasikmalaya tahun 1934, telah berhasil mendirikan Centrale Bank Pasundan, yang berbentuk N.V, dengan pemimpinnya Iyos Wiriaatmadja. Pusatnya berada di Jakarta, sedang di daerah-‐daerah berdiri cabang-‐cabangnya. Dalam Kongres Paguyuban Pasundan ke 23 di Sukabumi, didirikan badan yang mengelola permasalahan ekonomi yang disebut Bale Ekonomi Pasundan. Pemimpin bale tersebut adalah Raden Soedarna Soeradiredja, yang juga merangkap sebagai Wakil Ketua pengurus besar Paguyuban Pasundan dan Direktur Centrale Bank Pasundan. Sedangkan dalam perkoperasian di lingkungan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
14
paguyuban pasundan juga cukup marak. Setiap cabangnya mendirikan koperasi yang kebanyakan disebut Koperasi Pasundan. Koperasi-‐koperasi tersebut bergerak dalam bidang keuangan, perdagangan, ada juga yang khusus menyediakan perabotan untuk para petani. Garapan bidang ekonomi lainnya yang cukup menonjol adalah pendirian lumbungpadi (leuit pare). Pemantauannya dilakukan oleh Puseur Lumbung Pasundan. Dengan demikian, koperasi dan pengelolaan keuangan mikro bukanlah hal yang baru bagi paguyuban pasundan. Cag, mugia ginulur na sakujur kalawan mawa bagja ka sasama.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
15
Peran Paguyuban Pasundan dalam Koperasi Indonesia
Pada setiap bulan juli Paguyuban Pasundan tepatnya pada tanggal 20 memperingati hari jadinya. Sedang Koperasi Indonesia juga memperingati ulang tahunnya setiap tanggal 12 Juli. Bertahun-‐tahun kejadian ini berulang, tanpa ada yang mengusik keterkaitannya satu sama lain. Namun setelah banyak data dan informasi diperoleh, saat beberapa kali memperingati hari koperasi di tingkat nasional, baru menyadari bahwa senyatanya kelahiran koperasi Indonesia memiliki kaitan erat dengan Paguyuban Pasundan yang saat itu sudah berusia 44 tahun. Saya bukan ahli sejarah namun mencoba melihat satu sisi kehadiran koperasi paska kemerdekaan di Indonesia, dan relevansinya dengan salah tujuan keberadaan Paguyuban Pasudan. Banyak orang tahu bahwa di Indonesia ide perkoperasian diperkenalkan oleh, R. Aria Wiraatmadja, tahun 1896 yang mendirikan sebuah Bank untuk para Pegawai Negeri. Selanjutnya diteruskan oleh De Wolffvan Westerrode, era koperasi pra kemerdekaan ini lahir dan berkembang secara lokal mengikuti pola budaya setempat.
Demikian pula secara umum, masyarakat tahu bahwa Pagoeyoeban Pasoendan lahir sebagai koreksi total terhadap kehadiran Budi Utomo, melalui inisiatif siswa-‐siswa Sunda di STOVIA (School Tot Opleiding voor Indlandsche Artsen) –sekolah kedokteran zaman Belanda di Batavia (Jakarta)-‐ mengupayakan pendirian organisasi untuk orang-‐orang Sunda. Selanjutnya, sampai tahun 1918, organisasi ini lebih banyak dikenal sebagai perkumpulan sosial-‐budaya. Yang dalam perkembangannya, terumuskan tujuan organisasi untuk merangan kabodoan jeung kamiskinan (melawan kebodohan dan kemiskinan).
Memerangi kebodohan sejauh ini terus dikembangkan oleh ratusan lembaga pendidikan pada semua tingkat pendidikan. Sedangkan untuk
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
16
memerangi kemiskinan, melalui kongres yang ke 19 di Tasikmalaya tahun 1934, didirikan Centrale Bank Pasundan, yang berbentuk N.V, dengan pemimpinnya Iyos Wiriaatmadja. Pusatnya berada di Jakarta, sedang di daerah-‐daerah berdiri cabang-‐cabangnya. Kemudian pada Kongres Paguyuban Pasundan ke 23 di Sukabumi, didirikan badan yang mengelola permasalahan ekonomi yang disebut Bale Ekonomi Pasundan. Pemimpin bale tersebut adalah Raden Soedarna Soeradiredja, yang juga merangkap sebagai Wakil Ketua PB Paguyuban Pasundan dan Direktur Centrale Bank Pasundan. Di tingkat akar rumput, tumbuh koperasi-‐koperasi. Hampir di setiap cabang didirikan koperasi, kebanyakan disebut Koperasi Pasundan. Koperasi-‐koperasi tersebut bergerak dalam bidang keuangan, perdagangan, ada juga yang khusus menyediakan perabotan untuk para petani. Garapan bidang ekonomi lainnya yang cukup menonjol adalah pendirian Lumbung Padi (Leuit Pare), yang pengendaliannya dilaksanakan oleh Puseur Lumbung Pasundan.
Dinamika pengelolaan ekonomi akar rumput ini diwarnai pula oleh semangat kebangsaan yang saat itu terus bergelora di setiap dada pemuda pasundan. Maka pada tanggal 12 Juli 1947 digagaslah kongres I gerakan koperasi di Tasikmalaya. Kongres perdana di masa awal kemerdekaan itu banyak melahirkan kesepakatan nasional, yang sangat mewarnai penyelenggaraan koperasi pada era-‐era selanjutnya. Salah satu poinnya adalah disepakati lahirnya organisasi gerakan koperasi bernama SOKRI. Gagasan peristiwa 12 Juli 1947 di Tasikmalaya, sekaligus dilaksanakan oleh para tokoh dan penggiat Paguyuban Pasundan. Tokoh populer saat itu, antara lain adalah Niti Somantri -‐yang kemudian diangkat sebagai Ketua Sokri/Dekopin pertama. Niti Somantri merupakan tokoh Paguyuban Pasundan yang sempat menjabat wakil Sekjen. Beliau bersama-‐sama dengan Ukar Bratakusumah dan Puradiredja –yang juga tokoh Paguyuban Pasundan-‐ menjadi korban penculikan. Sebagaimana dialami oleh Bapak Oto Iskandar Dinata. Namun, ketiga tokoh ini selamat dari kesalahpahaman
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
17
yang terjadi. dan berhasil kembali ke Bandung. Sedangkan Oto Iskandar Dinata nasibnya tragis di tangan orang-‐orang yang tidak bertanggung jawab.
Lekatnya sejarah perkoperasi dengan tatar pasundan diperkuat melalui kongres koperasi Indonesia yang ke II dilaksanakan di Bandung pada rentang waktu 15 sampai dengan 17 Juli 1953. Diantara keputusan yang dihasilkan selain penggantian nama dari SOKRI menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI yang selanjutnya berubah menjadi Dekopin), adalah menuntut Dekopin membentuk lembaga pendidikan koperasi dan mendirikan Sekolah Menengah Koperasi di provinsi-‐provinsi. Itulah yang melatarbelakangi pendirian Ikopin pada awal tahun 80-‐an; yang merupakan pengembangan dari Akademi Koperasi (Akop) yang sudah berjalan saat itu.
Cukilan sejarah yang mencoba mengkaitkan antara Paguyuban Pasundan dengan Koperasi nasional paska kemerdekaan, sedikitpun tidak terbersit untuk mengecilkan peran dan kontribusi kelompok lain. Ini semata ingin mengingatkan tiga (3) hal penting bagi generasi muda sunda, yakni: (a) perjuangan paguyuban pasundan dalam memerangi kemiskinan dalam skala nasional telah digulirkan sejak awal kemerdekaan dengan menggelorakan semangat ekonomi kerakyatan. Jadi tidak benar kalau ada yang beranggapan bahwa Paguyuban Pasundan hanya bergerak di bidang pendidikan saja, (b) perjuangan panaratas paguyuban pasundan bersifat terbuka dan multi dimensional, artinya tidak kurung batokeun dan tidak berfikir parsial dan memperkaya diri sendiri. Dan kemudian (c) keyakinan koperasi sebagai alat memerangi kemiskinan telah diyakini oleh masyarakat Sunda sejak dulu, karena koperasi dengan budaya Sunda memiliki banyak kesamaan cara pandang dalam melihat kesejahteraan, yang senantiasa didasari oleh karakter budaya sabilulungan. Mengenai hal itu dibuktikan dalam sejarah, silahkan tengok dalam berpakaian, berbahasa
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
18
sunda (asli) yang lebih egaliter; sebelum pengaruh Mataram masuk memporakporandakan harmoni sosial yang sudah terbangun lama.
Budaya Sunda ternyata bukan hanya melahirkan koperasi. Tetapi kearifan budayanya mengenal sistem lumbung sebagai bentuk ketahanan pangan. Sistem ini masih dilaksanakan di beberapa tempat kampung adat sebagai bentuk tanggung jawab kepada masyarakatnya. Bila kearifan budaya Sunda itu dipertahankan, tidak selayaknya kita harus menghadapi masalah kerawanan pangan yang saat ini menghantui negara-‐negara di belahan dunia ini.
Senyatanya kehidupan ekonomi ke depan akan banyak diwarnai oleh persaingan. Akan berat bila dihadapi sendiri-‐sendiri, ini membutuhkan kebersamaan, dan menuntut kesadaran dalam membangun sinergi antar komponen masyarakat kita. Ada beberapa catatan yang dapat disimak dari Buku “Managing Indonesia’s Transformation. An Oral History” karya Ginandjar Kartasasmita yang merupakan ketua Dewan Pangaping Paguyuban Pasundan, Bagaimana sikap orang Sunda memandang isyu kesejahteraan dengan mengutamakan kemandirian dan kebersamaan bidang ekonomi, dengan langkah (a) memperkuat industri dalam negeri, (b) pengentasan kemiskinan melalui pembangunan kelembagaan ekonomi di tingkat desa, dan (c) menyulap Bappenas –sebagai lembaga strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional-‐ yang asalnya beraroma Barkley menjadi lembaga pengusung tumbuhnya koperasi sebagai basis ekonomi rakyat.
Patriotisme seperti Ginandjar Kartasasmita dalam membangun kesejahteraan khususnya pekoperasian, juga jelas tersirat dalam pribadi Solihin GP. Sejak masih menjabat sebagai Gubernur, Sesdalobang, maupun saat berbincang lewat telepun satu bulan yang lalu, nadanya tetap sama yakni pentingnya keberpihakan pada usaha rakyat melalui koperasi.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
19
Usianya yang telah mencapai 80an tidak menghalangi semangat alumnus sekolah pasundan ini, untuk bicara konsisten dalam membangun perkoperasian.Sejujurnya Jawa Barat membutuhkan kebersamaan sebagai moral pembangunan. Akhmad Heryawan –Gubernur Jabar kini-‐ berulang mengatakan pada penulis, benar adanya bahwa koperasi adalah lembaga ekonomi yang berkeadilan yang layak mendapat tempat utama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat, yang didominasi oleh masyarakat pengusung budaya Sunda ini. Cag, wilujeng milangkala
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
20
Satyalencana Untuk Unpas
“Maaf pak, dari Unpas?”
Mata saya, demikian pula Prof.Ali Anwar dan pak Khaerul yang sedang sama-‐sama memasuki lobi hotel, menoleh ke arah datangnya suara. Seorang wanita muda dengan beberapa temannya menunggu kedatangan kami di pintu Hotel Luwansa di Palangkaraya, tanggal 12 Juli yang lalu. Kami bertiga mengangguk sedikit terheran-‐heran. Dia memperkenalkan diri sebagai alumnus Unpas angkatan 1991 sekarang telah bekerja di salah satu bank nasional milik pengusaha ternama dewasa ini.
“Saya menunggu bapak lebih dari setengah jam disini, untuk mengucapkan selamat, sekaligus rasa bangga saya sebagai alumnus, karena Unpas diucapkan berulang-‐ulang di acara tadi”, dia menjelaskan maksud menemui.
Memang beberapa waktu sebelumnya Budiono, Wapres RI, telah menyematkan penghargaan kepada saya sebagai guru besar Universitas Pasundan. Terbetik dalam pikiran ucapan syukur, karena ada warga Unpas yang merasa, saya telah memberikan sesuatu bagi kebanggaannya. Jujur sejak tahun 1991, dinobatkan sebagai finalis dosen teladan nasional, ada keinginan untuk terus membawa harum nama Unpas pada forum yang lebih luas. Tentu saja, itu juga keinginan anggota sivitas akademika yang lain tentunya saja.
Kembali kepada penghargaan yang baru diterima. Sebulan sebelumnya, dari pihak pemerintah provinisi memberitahu dan mengundang untuk hadir dalam acara validasi dengan pihak Sekretaris Militer Presiden. Ada pertanyaan dalam hati, “Untuk jasa apa penghargaan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
21
itu harus saya terima?” Saya berfikir, tidaklah banyak yang dilakukan setelah mendapat penghargaan Bakti Koperasi tahun lalu. Hanya berkunjung ke daerah mengunjungi gerakan koperasi untuk berbabagai kegiatan sosialisasi KUR, bintek, diskusi-‐diskusi, atau RAT di beberapa koperasi, misalnya. Tugas-‐tugas yang sayaanggap tidaklah terlalu berat, itupun dijalankan karena saya sebagai unsur pimpinan Dekopinwil Jabar dan sebagai dosen koperasi, lumayan untuk menambah bahan ajar di kelas. Kalaupun ada yang lebih dalam dari itu, adalah janji saya kepada Bapak Menteri KUMKM RI. Saat beliau menanyakan mengapa saya tidak meneruskan tugas di IKOPIN. Waktu itu saya menjawab, “Pak saya akan tetap di koperasi, walaupun tidak menjadi rektor”
Pertanyaan di atas kembali saya tanyakan kepada tim Sekmil Presiden, sebagai penanggung jawab pemberian gelar, saat pertemuan validasi atas penghargaan itu. Mereka menjelaskan, bahwa saya dengan beberapa nama lain diusulkan oleh Menteri KUMKM kepada Presiden untuk mendapat Satya Lencana Pembangunan Bidang Perkoperasian. Seingat saya itu penghargaan tertinggi untuk bidang itu.
“Pemerintah menilai saudara berjasa dalam membangun kembali IKOPIN”, penjelasan mereka kurang lebih seperti itu. Subhanallah. Tugas yang saya ambil kurang lebih empat-‐lima tahun yang lalu itu. Telah memberikan sesuatu yang bagi pihak lain patut dihargai. Jujur saja bukan tidak mendengar, banyak kalangan menilai, menerima posisi itu sebagai pilihan yang kurang cerdas. Bagaimana tidak, meninggalkan berbagai fasilitas dan jabatan di Unpas, untuk “membangkitkan batang terendam”. Yang terus menerus selama belasan tahun mengalami kemunduran.
Bagi koperasi kehadiran IKOPIN sangat strategis. Kemunduran yang dialami IKOPIN membuat banyak kalangan beranggapan masa depan koperasi semakin tidak jelas. Walaupun ketidakjelasan masa depan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
22
koperasi tidak hanya karena mundurnya IKOPIN saja. Bagi saya, masalah IKOPIN bukan sekedar masa depan ekonomi bangsa yang dititipkan para founding fathers. Tapi juga masalah kehormatan masyarakat Jawa Barat yang dititipi aset nasional, yang di awal-‐awal sebagai perintis, pejuang, dan pengelolanya, merupakan tokoh-‐tokoh terhormat masyarakat Sunda.
Masa satu periode dirasakan cukup membuat landasan untuk pengembangan lebih lanjut. Apalagi berbeda dengan masa kemarin, saat ini semakin banyak yang perduli. Perhatian banyak pihak terhadap IKOPIN sudah membuat hati senang. Setelah selesai menjalankan tugas di IKOPIN, setidak-‐tidaknya ada tiga universitas dan dua sekolah tinggi yang meminta kesediaan untuk memimpin perguruan tinggi yang dimaksud. Satu lagi universitas meminta memimpin pasca sarjananya. Yang terakhir ini tentu saja ditolak langsung, yang lain ditolak dengan hati-‐hati karena tidak ingin mengurangi harapan dan kepercayaan. Hal terakhir saya jelaskan, semata untuk menegaskan bahwa “imbalan” atas tugas di IKOPIN sudah amat cukup. Jadi tidak terpikirkan ada penghargaan bentuk lain, namun tetap bersyukur atas semuanya itu.
Jujur saja saat tanggal 12 Juli 2012, bukan penghargaan itu yang membuat hati terenyuh. Ada yang lain, yakni pertama, tetap disebutnya peran masyarakat Jawa Barat (baca, Sunda) dalam perjalanan sejarah perkoperasian nasional. Peristiwa itu berulang tiap tahun, tanpa mengurangi dampak sentimentil dalam hati saya. Apalagi bila dikaitkan dengan kenyatan dunia perkoperasian Jawa Barat tidaklah seindah sejarahnya. Tidak pula sesepektakuler jumlah unit yang ada terbesar secara nasional. Tidak sepatriotik pendiri IKOPIN di tahun 70-‐80 an. Dan tidak sepada dengan jumlah penerima penghargaan setiap tahunnya yang diberikan kepada para tokohnya. Kedua, ditetapkannya Kopma UPI sebagai koperasi terbaik nasional untuk katagori mahasiswa. Terbayang, peristiwa tiga puluh tahun yang lalu memulai segalanya dengan hambatan internal
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
23
yang sangat kuat. Tidak ada seorang pun teman di awalnya mau membantu karena koperasi embrionya bermasalah cukup berat. Setelah tiga tahun berselang semuanya menjadi lain. Dalam perjalanan wacana spritual pribadi, peristiwa 12 juli 2012, menegaskan satu nilai “keyakinan yang didasari oleh keikhlasan, pada akhirnya keindahan akan datang pada waktunya”. Tugas kita melakukan apa yang bisa kita kerjakan. Tanpa perlu meminta dan berharap, bila itu terbaik bagi kita dan Allah menghendaki semuanya akan berjalan dengan sendirinya.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
24
Pendidikan dalam Perspektif Kesejahteraan
Melihat duduk perkara pendidikan di Jabar dengan mengkaji data-‐data yang ada, memberikan gambaran, bagaimana pendidikan dikelola dalam format otonomi daerah telah menghasilkan beberapa kecenderungan. Awal tulisan dimulai dengan halite, agar masyarakat jangan dipusingkan dengan pengklaiman sepihak saat menerima penghargaan, dan saling menyalahkan saat ada masalah, antar pemangku kepentingan dalam urusan ini.
Jumlah Penduduk Jabar yang besar, yakni 43.021.826 jiwa yang merupakan 12% dari populasi nasional, sejauh ini masih diangap sebagai beban oleh sementara pihak. Boleh jadi karena mutu SDM, yang diidentifikasi oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM), masih cukup rendah. Sebagaimana kita ketahui dalam beberapa tahun terakhir ini pencapaian IPM Jabar walaupun mengalami kenaikan, tetapi tidak memenuhi target yang telah ditentukan sebelumnya. Bukan hanya tidak tercapai, tetapi hal yang perlu disesali, adalah kenyataan, Jabar menduduki rangking yang kurang terhormat secara nasional.
Memang bukan sesuatu yang membanggakan bagi provinsi, yang mempertemukan Habibie dan Ainun ini. Kedua beliau dipertemukan di tatar Sunda karena alasan daerah ini memiliki keunggulan di bidang pendidikan kala itu. Namun faktanya saat ini, harus memiliki Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan jauh dibanding dengan propinsi lain seperti Jatim dan Jateng. Mengenai itu Mendikbud menilai posisinya sangat jomplang (2012). Padahal penduduk Jatim dan Jateng tidak kalah banyaknya dengan Jabar. Bila rendahnya APK dikonfirmasi dengan kemampuan masyarakat.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
25
Diduga penyebab utama pendidikan masyarakat yang rendah, antara lain karena rendahnya daya beli masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan indeks daya beli yang hanya mencapai poin 62 jauh dari target yang diharapkan. Sebenarnya, rendahnya daya beli masyarakat ironis dengan posisi Jabar sebagai daerah paling utama tujuan investasi nasional. Dampak nyata tumbuhnya industri baru di beberapa kawasan, baru sampai mengurangi lahan subur pertanian yang sangat dibutuhkan dalam menjaga sistem ketahanan pangan kita. Dan belum mampu menyentuh perluasan kesempatan kerja yang memadai kepada penduduk Jabar. Transisi karakteristik pekerjaan dan paksaan kebutuhan hidup, mendorong usia kerja berbondong-‐bondong mengembara ke berbagai tempat di luar Jabar baik untuk sektor formal maupun informal. Maka walaupun pertumbuhan ekonomi termasuk tertinggi secara nasional, namun Jabar termasuk propinsi pengekspor TKW/I terbesar. Boleh jadi penolakan dunia industri terhadap angkatan kerja Jabar ini, dikarenakan pendidikan mereka tidak sepadan dengan kesempatan kerja yang ada.
Apa yang salah dari rentetan cerita panjang itu. Sepertinya tidak ada yang salah, belanja pendidikan Jabar dalam kurun waktu lima tahun telah mengeluarkan lebih dari 10 triliun rupiah. Sementara tahun 2012 alokasi anggaran fungsi pendidikan di Dinas Pendidikan Jabar mencapai 1,602 triliun rupiah, jika digabung dengan dinas lain maka anggaran fungsi pendidikan di Jabar mencapai dua triliun rupiah. Belum termasuk dana CSR dan dana masyarakat lainnya. Namun hasilnya hanya mampu menaikan Rata-‐rata Lama Sekolah sekitar satu tahun saja. Lebih dari itu, dana yang besar itu masih masih menyisakan sekitar 10 jutaan anak usia sekolah belum tertampung di lembaga persekolahan1.
1 Komponen Rata-‐rata Lama Sekolah (RLS) di Jabar dalam kondisi merah. Dari 26 kota/kabupaten,
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
26
Rendahnya APK pendidikan Jabar, khususnya di tingkat SMA, kemudian diperparah oleh kenyatan rendahnya keterterimaan lulusan SMA asal Jabar, di pendidikan tinggi Jabar sendiri. Misalnya, lulusan SMA yang berasal dari Jabar dan diterima di Universitas Padjadjaran (Unpad) hanya 5% dari dari 40 ribu siswa. Tanpa perlu mempersalahkan siapa yang keliru dengan fakta tersebut, dan tanpa perlu juga mempermasalahkan, apakah Unpad adalah representasi pendidikan tinggi di Jabar. Apalagi mempermasalahkan motif yang sebenarnya dari pengguliran isyu itu. Hal yang harus dipikirkan ke depan adalah pola pembelanjaan pendidikan seperti apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah, agar setiap rupiah yang dikeluarkan dalam APBD memiliki kemampuan untuk memberi daya bagi generasi muda lokal untuk bisa bersaing memperoleh kesempatan pendidikan yang layak. Dan akhirnya mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat muda Jabar dalam kancah persaingan global.
Dari llustrasi di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan permasalahan pendidikan dalam perspektif kesejahteraan masyarakat khususnys di Jabar, antara lain pertama, rendahnya aksesibilitas pendidikan akibat pola pembiayaan pembangunan pendidikan yang salah sasaran menyebabkan penduduk Jabar terasing di daerahnya. Kedua, rendahnya relevansi hasil pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Hal ini dibuktikan dengan kesempatan kerja yang justru tidak bisa diakses oleh hasil pendidikan masyarakat setempat. Ketiga, penyerahan semua urusan pendidikan kepada pemerintah boleh jadi perlu dikoreksi secara mendasar. Dari fakta itu tersembul pentingnya pelibatan masyarakat (sektor privat) dalam mengelola dan turut mengarahkan kegiatan pendidikan kita, dengan didukung oleh sistem pengendalian yang baik.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
27
Langkah Terobosan
Memahami permasalahan yang dihadapi dalam usaha kolektif kita, yakni membangun pendidikan di Jabar. Kata kuncinya adalah pentingnya membangun sinergi antar pelaku pendidikan. Dalam arti, penyelesaian dari sisi hulu, tidak bisa diserahkan sepenuhnya urusan pendidikan kepada pemerintah saja melalui persekolahan berstatus negeri. Dan di sisi hilirnya, penyelesaian masalah pendidikan kita tidak disederhanakan dengan hanya menambah jam tinggal siswa di sekolah, serta pengerucutan mata pelajaran semata. Tetapi pembelajaran harus mampu menjawab tantangan yang dibutuhkan seiring dengan konteksnya.
Implikasi dari memahami masalah pendidikan sebagai masalah bersama, adalah keharusan melihat pendidikan secara holistik. Ke depan seyogyanya tidak ada lagi kebijakan bersifat parsial, sederhana, dan lebih bernuansa populis. Yang akan berakibat fatal terhadap kearifan yang telah mapan dalam praktik pendidikan kita. Seperti pembangunan ribuan Ruang Kelas Baru (RKB) di sekolah negeri, tanpa memperhatikan faktor lainnya dalam keputusan masyarakat untuk memilih jasa pendidikan. Alih-‐alih dapat meningkatkan kesempatan pendidikan dan rasio lama sekolah (RLS) penduduk, faktanya hanya berakibat pada rontoknya pendidikan yang dilola oleh masyarakat. Padahal peran pendidikan swasta dalam perjalanan bangsa yang panjang, sangat besar dan penting. Peran pendidikan yang dikelola oleh masyarakat ke depan –sebagaimana negara maju-‐ dituntut lebih dominan karena sifatnya yang bisa berkembang dalam jumlah tak terhingga. Sebagaimana kita ketahui tuntutan pendidikan bergerak sebagaimana deret ukur, sementara pembiayaan pemerintah untuk itu hanya bergerak dalam takaran deret hitung saja.
Selain itu, pada tataran yang lebih hilir, sudah saatnya Jabar mengembangkan pendidikan berbasis IT. Kondisi geografis daerah selatan,
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
28
serta daya jangkau jaringan teknologi informasi, serta potensi SDM yang relatif lebih baik di banding propinsi lain; merupakan pendorong untuk mulai diterapannya e-‐learning dalam pelayanan pendidikan kita. Pengembangan e-‐Learning sangat baik untuk mengajak masyarakat mulai melek teknologi. Melek teknologi selanjutnya menjadi bagian penting dalam mengembangkan kreasi dalam bentuk usaha setelah pendidikan usai. Ini bisa dilakukan oleh pemerintah propinsi, dimana salah satu dari dua kewenangannya mengurusi sekolah bertaraf Internasional, yang sekarang keberlangsunggannya sudah final di MK. Wassalam.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
29
Pembangunan Sosial Budaya Dan SDM
Menjelmakan visi Jawa Barat sebagai provinsi termaju merupakan tantangan yang memiliki nilai relevan dengan kondisi saat ini. Selain berdekatan waktunya dengan pemilihan pimpinan tertinggi di pemerintahan daerah Jawa Barat. Bisa jadi, hasil bincangan ini diharapkan menjadi masukan berharga bagi siapa saja yang terpilih. Selain itu, berdasarkan hasil studi Abdulah dkk. (2002), ditemukan bahwa daya saing Jawa Barat berada di posisi 23 dari 26 provinsi yang diteliti, untuk aspek pemerintahan (government), yang mencakup faktor peraturan pemda di bidang investasi, pajak dan retribusi. Sementara, studi lain yang dilakukan oleh LPEM-‐FEUI (2001) di 9 kabupaten/kota di Jawa Barat, menyimpulkan bahwa pengusaha yang menjadi responden dalam penelitian tersebut, merasa iklim usaha belum kondusip. Diantaranya, adalah biaya usaha di Jawa Barat dirasakan sangat mahal. Baik pungutan resmi maupun tidak resmi. Hal yang terakhir mengindikasikan perlu adanya perbaikan kinerja pemerintahan, karena bila daya saing Jabar lemah, maka posisi “Provinsi Termaju” sulit terwujud.
Posisi pemerintah daerah provinsi dalam konstelasi paradigma otonomi daerah, model UU no. 22 tahun 1999, jelas berbeda dengan posisi lama. Namun melalui fungsi regulator, pemerintah provinsi tetap memiliki peran penting terutama dalam memberi garis tebal dalam kerangka hukum, untuk berbagai kebijakan pemerintah kabupaten/kota. Kemudian, harus diakui pula sampai saat ini otonomi daerah belum sepenuhnya berjalan dengan baik, sehingga peran pendampingan (advisor) untuk mengimplementasikan kewenangan dan keleluasaanbagi kabupaten/kota, masih perlu dijalankan oleh pemerintahan provinsi.
Mengacu pada Rencana Strategis Propinsi Jawa Barat (Jabar) 2001-‐2005, serta berdasarkan pengembangan pengamatan pribadi, dalam kapasitas dan posisi penulis, setidak-‐tidaknya ada beberapa permasalahan krusial yang dihadapi oleh Jabar dalam mengejar visi sebagai propinsi termaju, yakni rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM), kesenjangan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
30
kesejahteraan, rentannya daya saing, rendahnya partisipasi politik, kemorosotan moral, rapuhnya jati diri, dan penegakan hukum. Masalah-‐masalah itu sejauh ini, belum sepenuhnya di jawab tuntas oleh sistem perencanaan dan pengendalian pembangunan. Berbagai masalah tersebut bermuara pada rapuhnya kinerja governance. Upaya menuju good governance membutuhkan langkah sistimatis dan komprehensif.
Berubahnya konsep government (pemerintah) menjadi governance (kepemerintahan) dalam wacana birokrasi di Indonesia, berimplikasi luas pada kinerja pelayanan publik. Salah satu hal yang menonjol adalah orientasi birokrasi dari kekuasaan, menjadi kepuasan publik (customer driven). Berubahnya orientasi tersebut, senang ataupun tidak, memiliki dampak langsung kepada struktur dan kultur manajemen pemerintahan daerah, serta ukuran-‐ukuran kinerjanya. Seiring dengan tekad bangsa yang menekankan pesan reformasi dalam berbagai bidang, good governance yang ditopang oleh clean government, harus menjadi obsesi seluruh elemen dalam sistem birokrasi. Hanya dengan itu wibawa dan kehormatan birokrasi dapat berperan dalam proses pembentukan civil society. Yang pada gilirannya kesemuanya itu terakumulasi dalam suatu prestasi prima, yakni sebagai “Provinsi Termaju”.
Indeks Pembangunan Manusia
Kondisi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Jabar terasa sangat ironis. Dalam peta sejarah, pendidikan, kesehatan, maupun infra struktur ekonomi di Indonesia, Jabar mempunyai catatan yang patut dibanggakan. Tidak ada tempat yang paling lengkap mempunyai lembaga pendidikan sipil maupun militer seperti Jabar. Jabar juga banyak melahirkan kajian-‐kajian dan industri pendukung kesehatan masyarakat. Kemudian kelengkapan infrastuktur ekonomi serta besarnya investasi, sebagai akibat kedekatan dengan pusat pertumbuhan, juga mestinya menjadi pendukung yang baik untuk upaya menciptakan indeks daya beli. Namun faktanya IPM masih rendah, dibanding dengan daerah-‐daerah yang tidak memiliki sumber daya sehebat Jabar, jelas ini ada yang salah dalam format pembangunan.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
31
Pentingnya peran manusia dalam pembangunan Jabar, bukan semata tuntutan normatif semata, namun berkaitan langsung dengan penciptaan PDRB riil. Menurut hasil penelitian Hadiyanto dkk. (2003), saat ini satu (1) persen peningkatan dalam stok modal terhadap PDRB hanya mengakibatkan peningkatan rata-‐rata sekitar 0,128 persen dalam PDRB riil, namun peningkatan 1 persen faktor tenaga kerja akan mengakibatkan peningkatan rata-‐rata sekitar 2,9296 persen dalam PDRB riil. Kemudian fakta lain membuktikan intensitas faktor-‐faktor produksi agregat atau variabel inputnya pada perekonomian Jawa Barat periode tahun 1986-‐2000 menunjukan Labor Intensive, sehingga dapat dikatakan bahwa kegiatan perekonomian di Jawa Barat lebih banyak tergantung pada faktor manusia/ tenaga kerja.
Banyak variabel yang harus digerakan secara optimal untuk meningkatkan IPM. Mutu perencanaan dan pengendalian yang terkait dengan IPM harus diperbaiki. Saat ini program dan prioritas pembangunan seperti bukan derivasi dari pencapain indikator makro utama ini. Demikian pula dalam struktur alokasi APBD belum tergambar, bahwa pembangunan kualitas manusia menjadi arah dan kebijakan pembangunan, sebagaimana tekad Pola Dasar Pembangunan 2002-‐2006. Hal terakhir ini, secara langsung berkaitan dengan ketersediaan dan keterpakaian fasilitas pendukung perbaikan IPM.
Di lihat dari sisi kebijakan, perlu diambil kebijakan affirmative berupa pengendalian penduduk pendatang, sehingga pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan fasilitas tidak selalu berhadapan dengan pertumbuhan penduduk yang tak terkendali terutama di wilayah sekitar Bodebek dan Bandung raya. Di wilayah ini pertumbuhan penduduk sudah mengganggu kualitas hidup secara keseluruhan, sehingga perlu langkah-‐langkah untuk melakukan penanganan pertumbuhan penduduk, khususnya akibat migrasi di wilayah ini melalui kebijakan kependudukan. Kebijakan ini berkaitan langsung dengan kesiapan aparat di lapangan. Selain berkaitan dengan kompetensi juga berkaitan langsung dengan konsistensi komitmen.
Kebijakan affirmative juga perlu diarahkan dengan membuka kesempatan lebih luas bagi masyarakat pribumi untuk mengenyam
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
32
pendidikan tinggi, karena dari hasil penelitian Arief Anshori (2003) ditemukan, kualitas SDM yang dimiliki dari jenjang pendidikan “Orang Sunda” dengan “non sunda” tidak menunjukan perebedaan yang berarti untuk proporsi pendidikan SD, SMP atau SMA. Namun terdapat indikasi bahwa kualitas SDM “Orang Sunda” lebih rendah, mulai nampak jika dilihat dari proporsi mereka yang mengenyam jenjang pendidikan tinggi. Dalam arti lain, terdapat indikasi di Jabar, presentase “Orang Sunda” yang memperoleh pendidikan tinggi lebih sedikit dibandingkan orang “non sunda”.
Selain kebijakan yang berpihak, dukungan ketersediaan dan keterpakaian fasilitas perlu menjjadi perioritas. Insentif fasilitas penting artinya untuk membantu masyarakat dalam menggunakan haknya guna memperoleh layanan pendidikan dan kesehatan yang memeadai. Sebagaimana dikutip dari hasil survai Kompas (3/3-‐2003), saat ini proporsi siswa melanjutkan ke SLTP masih rendah, yakni 62,53% yang artinya Jawa Barat berada di posisi 4 terbawah di banding propinsi lainnya. Demikian pula fasilitas sekolah dan kesehatan yang mengalami kerusakan masih tinggi bila dibanding dengan propinsi lain.
Kesenjangan
Buah dari sistem ekonomi yang berorentasi pada pertumbuhan adalah munculnya kesenjangan. Berbagai kesenjangan pembangunan di Jabar yang terjadi telah banyak diketahui, terdapat indikadi kesenjangan antara penduduk di perkotaan dan pedesaan, kesenjangan ekonomi antar Jabar selatan dengan wilayah lain, atau kesenjangan yang diakibatkan oleh struktur ekonomi. Namun penelitian dari Arief Anshori (2003) dengan jelas menunjukan bahwa terdapat kesenjangan penghasilan yang cukup signifikan anatara ”orang sunda” dan “Non Sunda” di Jawa Barat. Besar kesenjangan penghasilan tersebut ternyata cukup besar yaitu sekitar 20 %, malahan dengan bentuk persamaan yang lain, menunjukan indikasi kesenjangan tersebut bisa mencapai 30 persen.
Masalah itu perlu diangap serius, di tengah semangat membangun entitas Sunda, kenyataan ini seolah memperkuat dugaan, bahwa
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
33
masyarakat Sunda tidak lagi menjadi tuan rumah di tatar-‐nya sendiri. Mengembangkan wacana seperti di masa lalu mungkin kurang relavan, namun bila berangkat dari semangat otonomi daerah yang melihat potensi lokal harus berkembang dan dikembangkan, maka hal ini menjadi sangat relavan. Apalagi bila disepakati bahwa prinsip keadilan dan kesetaraan dalam good governance tidak memiliki konotasi menyamaratakan namun lebih bersifat keadilan proporsional.
Bila dilihat dari konteks penciptaan good governance ini sebuah tantangan, bagaimana kebijakan affirmative bisa dijalankan. Kebijakan itu terutama diarahkan pada pembukaan peluang (opportunity), karena secara umum faktor lain yang mempengaruhi penghasilan masyarakat menurut hasil penelitian itu, berindikasi sama. Peluang yang dimaksud dapat diimplementasikan dengan mengalokasikan sumber daya pembangunan kepada kelompok pribumi, misal: prioritas kesempatan kerja, atau kesempatan memperoleh kredit usaha. Saat ini penduduk pendatang lebih banyak bekerja di sektor jasa dan industri dengan status pekerjaan mayoritas sebagai buruh/pekerja. Sedang penduduk pribumi lebih banyak di sektor pertanian. Tingkat partisipasi angkatan kerja pendatang lebih besar dibanding pribumi sehingga tingkat pengangguran terbuka pendatang lebih kecil dari pada pribumi. Keadaan ini jelas membutuhkan koreksi di tingkat kebijakan dan pelayanan publik yang berpihak. Disamping memang perlu ada upaya sistimatis dalam memperbaiki etos kerja pekerja pribumi.
Daya Saing
Salah satu studi yang menyoroti kondisi relatif daya saing daerah Jawa Barat dilakukan oleh Abdillah dkk. (2002). Dalam studi tersebut, dilakukan pemetaan daya saing antar daerah di Indonesia. Darai hasil yang didapatkan, secara keseluruhan, Propinsi Jawa Barat masih masuk kedalam sepuluh besar daerah dengan daya saing tertinggi di Indonesia (berada pada peringkat ke tujuh). Walaupun demikian, terdapat beberapa catatan yang relevan dengan topik yang dibahas dalam artikel ini, yakni kinerja pemerintahan. Diantara faktor-‐faktor yang secara relatif merugikan bagi kondisi daya saing Jawa Barat adalah faktor pemerintahan. Untuk aspek ini,
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
34
sebagaimana dikemukakan di atas, Jabar berada di rangking 23 dari 26 provinsi yang disurvey.
Studi lain yang kurang lebih juga menyoroti masalah yang sama dilakukan oleh LPEM-‐FEUI (2001). Studi ini dilakukan berdasarakan opini dunia usaha yang disurvey di 60 kabupaten/kota di Indonesia, Khusus untuk daerah Jawa Barat, terdapat 9 kabupaten/kota yang masuk ke dalam daerah responden, yaitu : Kabupaten Karawang, Kota dan Kabupaten Bogor, Kota dan Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bekasi, Cianjur dan Purwakarta. Dari hasil survei tersebut, ditentukan bahwa pada umunya kondisi biaya berusaha di kota-‐kota yang mewakili Propinsi Jawa Barat tersebut berada pada tingkat yang kurang kondusif (pengecualian terjadi untuk Kota bogor yang dianggap masih relatif kondusif dalam menopang iklim usaha). Hal tersebut diperkuat lagi dengan situasi yang kurang kondusif dari kota-‐kota wakil Jawa Barat tersebut sebagai akibat dari besarnya nilai biaya tambah yang diberikan kepada aparat pemerintah dalam memperlancar jalannya usaha yang bersangkutan. Dengan kata lain, para pengusaha yang menjadi responden cenderung merasa bahwa biaya melakukan usaha di Jawa Barat (sebagaimana diwakili oleh kabupaten/kota yang termasuk dalam sample) masih cukup mahal, lebih jauh lagi, hal tersebut juga berasal dari kontribusi tambahan biaya yang bersumber dari sektor pemerintah daerah (baik yang bersifat pungutan formal maupun informal).
Problema rendahnya daya saing, di lihat dari aspek kinerja pemerintah, harus di jawab dengan dua hal, yakni: kebijakan baru di bidang fiskal (affirmative policy), danperbaikan mutu layanan aparat (kinerja aparat). Kedua hal ini perlu ditopang secara signifikan oleh perencanaan pembangunan yang handal, serta dukungan fasilitas kerja yang sepadan. Karena selama ini sulit terlaksananya kebijakan pemerintah sering disebabkan oleh lemahnya sistem perencanaan, serta terbatasnya fasilitas kerja dan fasilitas pengendalian.
Partisipasi Politik
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
35
Proporsi kesertaan masyarakat pribumi (Sunda pituin) dalam lembaga legislatif di Jabar kerap menjadi gugatan sampai sekarang. Maka sangat wajar bila rendahnya kesertaan masyarakat Sunda dalam infra struktur politik di Jabar, di imbangi oleh merebaknya isyu kesertaan yang signifikan pada sufra struktur politik. Walaupun sementara pihak, dan juga sikap Paguyuban Pasundan, membatasi isyu kesundaan yang dimaksud, sebagai isyu yang lebih bernuansa kultural ketimbang genetik. Namun jelas, hal ini sebagai indikasi adanya tuntutan untuk terakomodasinya kepentingan etnis mayoritas (lokal) dalam berbagai kebijakan publik (baca, politik). Tuntutan itu wajar-‐wajar saja. Karena bila kesertaan unsur wanita dalam legislatif dapat diakomodasi dalam UU Politik kita, maka tidak perlu disalahkan bila masyarakat Sunda juga meminta bagian yang proporsional dalam konstelasi politik daerah.
Lagi-‐lagi dibutuhkan suatu affirmative policy, yang saya maknai sebagai kebijakan yang berpihak pada kelompok mayoritas. Keadilan dan kesetaraan yang menjadi ciri dari good governance harus dimaknai dalam kerangka “keadilan kontributif”. Keadilan tidak mengandung makna sama arta dan sama rasa, dimana setiap kelompok harus diperlakukan sama. Keadilan hakiki harus dilihat dalam kerangka yang lebih luas dan proporsional. Sebagai analogi, kehidupan beragama di jamin sepenuhnya oleh konstitusi kita, maka wajar bila mereka dapat tumbuh bersama-‐sama. Namun karena populasi umat Isalam lebih banyak, maka wajar bila jumlah mesjid di Indonesia lebih bayak dari tempat beribadah lainnya. Dan wajar pula bila alokasi anggaran untuk pembinaan umat muslim lebih besar. Inilah keadilan yang dikehendaki oleh masyarakat Sunda. Dan itu membutuhkan dukungan berarti dan kearifan semua pihak, terutama dari infra dan supra politik kita.
Jati Diri
Ekplosi jumlah penduduk akibat migrasi, khususnya di BODEBEK dan Bandung Raya, memberikan dampak berarti bagi keberlangsungan budaya Sunda. Hampir dipastikan sebagaian besar wilayah itu, dalam waktu pendek, akan menjadi daerah metropolis yang tidak memiliki pijakan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
36
budaya yang jelas. Keadaan itu berimbas pada ketahanan budaya dan ketangguhan jati diri. Fenomena ini semakin merata dengan tingginya angka urbanisasi dan penglaju (commuter), serta meruyaknya bisnis berbasis elektronis. Dan Jawa Barat menjadi pasar penting bagi berkembangnya bisnis berbasis elektronis ini.
Proporsi masyarakat Sunda yang bertutur dalam bahasa ibu kian lama, kian berkurang. Sopan santun serta keramahtamahan telah bergeser ke arah upacara yang seremonial. Sementara peraturan daerah yang berkaitan dengan kebudayaan dan bahasa Sunda, dalam pelaksanaannya masih dihadapkan pada berbagai kendala. Dalam iklim kepemerintahan yang baik (good governance climate) masa mendatang, tampaknya mengimplementasikan peraturan daerah mengenai budaya Sunda harus menjadi garapan penting.
Penegakan Hukum
Upaya menegakan tidak lepas dari sistem hukum yang berlaku, namun mengenai itu tidak dibahas dalam kesempatan ini. Yang paling penting untuk dihadapi saat ini adalah konsistensi dan komitmen aparat hukum. Kinerja aparat hukum memberikan jaminan penegakan hukum dan kepastian hukum, dan itu harus menjadi conditio sine quanon bagi Jabar di masa depan.
Pergeseran budaya, meningkatnya iklim persaingan hidup, problematika dunia pendidikan, rangsangan kemewahan dan gemerlapnya dunia hiburan, serta merebaknya pragmatisme; telah membentuk moral masyarakat sedemikian rupa yang semakin jauh dari tuntunan norma hukum dan bahkan agama manapun. Fenomena tersebut banyak menciptakan paradoksal. Paradoksal dimaksud yaitu terjadinya distorsi antara lain, pemahaman agama dengan pengamalan agama.
Sulit terbentuknya masyarakat yang bercirikan civil society, sebagai syarat terbentuknya good governance, tanpa adanya kesadaran terhadap norma hukum dan etika serta agama yang tinggi.
Perencanaan Pembangunan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
37
Sebagaimana ketentuan perundangan yang ada, Rencana strategi (Renstra), Arah dan Kebijakan Umum (AKU), dan Strategi dan Porioritas Pembangunan (SPP); merupakan serangkaian perencanaan induk yang seyogyannya menjadi acuan bagi penyusunan renstra dan perencanaan di di tingkat dinas. Saat ini masih ditemukan berbagai masalah dalam perencanaan induk Jawa Barat ini. Anatara lain, ditemukan berdasarkan hasil penelitian STPDN (2002) aspirasi masyarakat belum sepenuhnya terakomodasi dalam visi dan misi maupun dalam renstra secara keseluruhan. Dengan demikian renstra belum sepenuhnya menggambarkan kebutuhan nyata masyarakat Jabar. Atau setidak renstra yang ada baru merupakan renstra eksekutip saja, belum menjadi renstra provinsi yang mengikat eksekutip dan legisltatip. Selain itu panduan/manual yang disesuaikan dengan karakteristik Tupoksi masing-‐masing intitusi/dinas, belum ada. Sehingga perencanaan belum menjadi sesuatu yang terintegrasi dengan perenacaan di bawahnya.
Sistem dan prosuder penyusunan AKU dan SPP yang merupakan pengembangan dari renstra dan sekaligus panduan untuk realisasi APBD telah diatur dalam KEPMENDAGRI No. 29 Tahun 2002. SPP diarahkan untuk mengatasi permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh daerah dalam pencapaian Arah dan Kebijakan umum APBD. Ada beberapa hal yang perlu disoroti mengenai AKU dan SPP ini, yang menonjol antara lain, masalah metode penyusunan dan sistimatika penyajian. Kedua hal ini diduga menjadi masalah dalam memahami isi dan tujuan. Masalah pertama mencakup, antara lain, (a) komitmen dan kemampuan meredusir kegiatan pembangunan dalam sistem perencanaan yang terintegrasi belum sepenuhnya tercapai. Sehingga program dan prioritas pembangunan seperti bukan derivasi dari pencapain target utama (IPM), (b) orientasi pembangunan masih lebih bersifat sektoral belum sistemik dan terintegrasi, (c) penetapan target kuantitatif belum sepenuhnya menggambarkan komitmen, sebagai proses menuju “Propinsi Termaju di Indonesia”, (d) belum terakomodasinya isyu-‐isyu aktual dalam priorotas, misal masalah hengkangnya investor akibat sistem perpajakan, dan penegakan hukum. Belum ada perencanaan lebih nyata sistimatis untuk mengatasi masalah tersebut. Ada baiknya dalam AKU maupun S&P dieplisitkan tentang
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
38
pentingnya “crisis center”. Masalah kedua, mencakup, antara lain: (a) penggunaan dan keterampilan berbahasa yang belum optimal, sehingga menyebabkan potensi salah tafsir atau ketidakjelasan dalam memahami kegiatan pembangunan sulit dihindari, (b) Sistimatika strategi dan prioritas belum sepenuhnya mengacu pada SK Mendagri nomor 29 tahun 2002, ada beberapa terminologi yang dipersepsikan kurang tepat.
Mengatasi problematika kekinian Jabar sudah barang tentu tidak bisa menggunakan format lama yang telah terbukti tidak mampu memberikan hasil yang menggembirakan semua pihak. Esensi perubahan format terletak pada reposisi peran pemerintah. Format baru seyogyanya memposisikan birokrasi sebagai faktor pendorong untuk terciptanya clean government guna terwujudnya good governance . Untuk menuju ke arah itu, perlu dukungan kerangka hukum (regulatory framework) dan aparat birokrasi yang amanah. Hulu masalah dari kesemua itu adalah kinerja kepemimpinan yang efektip. Itu bisa terjadi bila pemimpin tersebut memiliki karakteristik moralitas yang unggul (nyantri), memiliki ketangguhan inteketual dan kecerdasan sepadan dengan harapan komunitas (nyakola), memiliki visi dan tanggung jawab budaya etnis mayoritas (nyunda), serta akhirnya memiliki wawasan serta pengalaman yang cukup dalam bidang kepemerintahan (nyantika).
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
39
Pengelolaan Pendidikan Tinggi Berbasis Kemandirian
Perguruan Tinggi (PT) sebagai penyelenggara pendidikan tinggi pada dasarnya adalah lembaga yang memiliki fungsi sebagai agen perubahan tertinggi dalam masyarakat modern. Fungsi tersebut akan berjalan efektif manakala PT siap pula menyikapi berbagai perubahan yang terjadi dalam lingkungan strategisnya dengan senatiasa terbuka untuk melakukan berbagai perubahan paradigma internal. Kebutuhan perubahan paragdima internal PT menjadi kian relavan bila dikaitkan dengan sistem tata kelola pendidikan tinggi yang bergeser pendulumnya dari sentralistik ke desentralisasi. Untuk menghadapi berbagai permasalahan aktual yang dihadapi, perubahan yang dimaksud mutlak menyentuh pada tataran struktur organisasi, maupun budaya organisasi dan manajemen PT. Setidak-‐tidaknya ada tiga (3) tantangan besar yang dihadapi perguruan tinggi pada umumnya, yakni (a) pembiayaan pendidikan tinggi, (b) terjaminnya proses pendidikan dengan mutu yang telah disepakati (stadarisasi), (c) relevansi dan daya saing lulusan.
Ketiga masalah tersebut, berlaku universal, tak terkecuali di negara maju sekali pun. Masalah pembiayaan merupakan faktor yang menentukan bejalan atau tidaknya proses pendidikan yang baik, maupun kinerja lulusan. Prof. Nicholas Barr, profesor ekonomi publik dari London School of Economics (LSE), mengajukan resep untuk mengatasi masalah pembiayaan pendidikan. Versi ringkas pikiran Prof.Barr sudah diterbitkan di harian The Guardian edisi Juni 12, 2003 dengan judul “How best to widen university access – by abolishing fees as Tories suggest, or by enhancing loans, as the government plans”? Versi lebih lengkap diterbitkan dalam bentuk whitepaper berjudul “Financing Higher Education: Comparing the Options” yang disusunnya untuk Partai Buruh yang sedang berkuasa di Inggris.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
40
Mengatasi problematika pembiayaan, membutuhkan paradigma baru dalam sistem tata kelola lembaga, pendidikan tinggi sudah menjadi domain privat bukan lagi domain publik. Artinya, penyediaan anggaran tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada anggaran pemerintah, atau anggaran pemrintah tidak bisa memenuhi semua kebutuhan pendidikan tinggi yang berkualitas secara merata. Paradigma baru PT menuntut kreativitas pengelola, dimana arah kreativitas diarahkan kepada tiga sasaran penting, yakni (1) terciptanya kemandirian, yang harus berjalan seiring dengan tumbuhnya kesadaran dan keberdayaan dan partisipasi masyarakat, internal dan eksternal PT, untuk turut serta dalam setiap implementasi tridharma, (2) meningkatnya efisiensi dan efektivitas, (3) membangun net working secara vertikal dan horizontal berdasarkan prinsip simbiose mutualistik.
Kemandirian sebagai Kompetensi Dasar
Lulusan PT dan Kemandirian Lulusan PT di era globalisasi di tuntut menguasai soft skill dan hard skill sama baiknya. Hard skill atau keterampilan teknis, harus diikuti oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skills). Pendidikan soft skills bertumpu pada pembinaan mentalitas agar lulusan dapat menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. Dunia kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi juga kuat dalam aspek soft skillnya. Kemampuan yang dikatagorikan sebagai hard skill, antara lain: oral communication skill, knowledge of field, knowledge of technology, dan writen communication skill. Sedang ability to team work setting, analitical skill, logicalskill, dan ability to independently. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-‐mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
41
hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill. Harus kita akui bahwa pendidikan di Indonesia saat ini lebih memberikan porsi yang lebih besar untuk muatan hard skill, bahkan bisa disebut melupakan soft skill. Indikasi ke arah itu sangat kuat bila dikaitkan dengan fakta bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan diraih oleh manusia Indonesia, semakin tinggi ketergantungannya dan semakin rendah kemandiriannya. Hal ini didukung oleh data bahwa lulusan perguruan tinggi yang memilih berwirausaha hanya 6% saja, sedang sisanya lebih banyak menjadi pegawai. Kebalikannya lulusan pendidikan di bawahnya semakin besar pula yang memilih bekerja secara mandiri. Maka dapat disimpulkan keberhasilan pendidikan di Indonesia tidak berkorelasi dengan meningkatnya pendapatan nasional, sebagaimana terungkap dari data UNESCO-‐UECD.
Tridarma Instrumen Kemandirian
Bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa usaha mandiri yang lebih menjanjikan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Masalahnya, bagaimana jiwa bebas (kemandirian) itu terbentuk di kalangan lulusan PT, taakala, pengalaman pembelajaran kita masih berkutat pada level academic knolwledge. Dan lebih parah lagi atmosfir yang berkembang di PT dalam melaksanakan tridarma pendidikan tinggi pun tidak memiliki krakteristik kemandirian. Sejauh ini tridharma diposisikan sebagai cost center yang dijalankan sebagai bagian dari proses formalisme, dan berujung pada angka kumulatip dan akreditasi. Dimana kedua hal terakhir itu dalam praktiknya dapat “diakali” sehingga substansinya menjadi hilang.
Bila kita cermati lebih seksama, tridarma sebenarnya dapat menjadi sumber daya lembaga di tengah kelangkaan sebagaimana terungkap di atas. Disamping, secara simultan dapat mengatasi masalah peningkatan mutu dan relevansi proses pendidikan, serta lulusan. Selain itu, pengelolaan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
42
tridharma dengan pendekatan entrepreuneurhip akan memberikan pengalaman bagi peserta didik untuk terlibat dalam proses pembentukan soft skill mereka.
Konsep dasar paradigma baru pendidikan tinggi terletak pada ukuran mutu yang terkait dengan empat aspek, yaitu otonomi, akuntabilitas, akreditasi, dan evaluasi. Dengan fokus pada pencapaian target kulitatif, di mana penelitian dijadikan soko guru pengembangan perguruan tinggi akademik. Berubahnya manajemen pembinaan penelitian merupakan kunci penting untuk tumbuhnya budaya baru perguruan tinggi di Indonesia.
Penelitian adalah simpul strategis dalam konstelasi tridarma perguruan tinggi. Tanpa ada penelitian, pada dasarnya tidak terjadi pula kehidupan akedemik yang sehat. Sejauh ini, yang perlu digarap dalam manajemen penelitian adalah, (a) terciptanya iklim meneliti yang kondusif, (b) tersedianya SDM yang memiliki kemampuan dan kepedulian terhadap penelitian, (c) tersedianya dana yang sepadan dalam alokasi anggaran perguruan tinggi. Dilihat dari sisi pendanaan dan manajemen keuangan, bila badan hokum PT disyahkan menjadi undang-‐undang sama sekali tidak memiliki konotasi berkurangnya peran dan kontribusi pemerintah dalam mengembangkan PT, namun lebih banyak pada perubahan skala prioritas, dan distribusi tanggungjawab. Mana yang harus menjadi perhatian manajemen PT dan mana porsi pemerintah sebagai bagian dari stakeholder PT. Pola ini merangsang keterlibatan masyarakat luas dalam turut mengembangkan PT, karena masyarakat selain sebagai stakeholder juga dapat diposisikan sebagai shareholder.
Manfaat dari strategi pendidikan tinggi yang baru tersebut adalah: 1) mencegah terjadinya dilema selama ini yang sangat sulit dipecahkan, yaitu pilihan penekanan pada kuantitas dan kualitas; 2) memberikan kontribusi kepada usaha nasional dalam melakukan pembenahan struktural; 3)
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
43
meningkatkan rasa memiliki dan efisiensi serta menjamin sustainability; 4) meningkatkan relevansi dan akuntabilitas; 5) meningkatkan kinerja; dan 6) meningkatkan efisiensi sistem.
Dipihak lain, risiko-‐risiko yang dihadapi dari penerapan strategi baru tersebut adalah kemungkinan terjadinya kegagalan dalam hal, 1) mengadopsi mekanisme pendanaan; 2) mengubah sikap dan budaya staf perguruan tinggi; 3) mempertahankan konsistensi dan komitmen pihak-‐pihak yang terlibat; dan 4) meyakinkan pemerintah daerah untuk menerima konsep baru tersebut. Melalui penelitian yang baik dan fokus diharapkan dapat teridentifikasi program unggulan yang dapat dikembangkan sebagai bahan ajar, maupun bahan untuk pengabdian masyarakat. Melalui keunggulan lembaga diharapkan peserta didik dapat dibentuk menjadi lulusan yang memiliki daya saing dalam menentukan posisi di dalam kehidupannya.
Tridarma Sumber Pembiayaan
Perguruan tinggi membutuhkan biaya besar dan mahal untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu. Biaya tersebut dibutuhkan untuk antara lain (a) tenaga akademik yang berkualitas, (b) sarana perpustakaan, (c) peralatan laboratorium, (d) ruang kuliah dan kantor, (e) riset, dan (e) fasilitas pendukung lainnya.
Dengan keterbatasan pendanaan pendidikan, baik yang bersumber dari pemerintah maupun masyarakat, manajemen PT perlu berikhtiar mencari alternatif sumber pembiayaan pendidikan tinggi secara kreatif. di AS, Survei Economist menyarankan untuk mencapai keberhasilan (excellence and mass access) sistem pendidikan tinggi, melalui. Pertama, dengan mendiversifikasi sumber pemasukan untuk penyelenggaraan pendidikan dengan tidak mengandalkan pendanaan negara. Kedua, dengan ekstensifikasi munculnya institusi pendidikan tinggi. Asumsinya, pertama
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
44
berlakunya mekanisme pasar dalam aktivitas pendidikan tinggi. Kedua, suka atau tidak suka, PT harus siap memasuki persaingan, dan implikasinya mutlak berlaku hukum bisnis, yakni peningkatan kualitas merupakan tuntutan kompetisi, dan seleksi alam akan menyisihkan pihak yang kalah.
Fenomena kapitalisme global terus berkembang dengan cepat pasca perang dingin usai. Terlepas setuju atau tidak, saya termasuk orang yang beranggapan, bahwa ekspansi kapitalisme global sulit terhalangi lagi dan akan menjadi basis uniformitas budaya mondial, saat ini maupun di masa datang. Dan ekspansi itu terus merambat ke seluruh sektor kehidupan, termasuk di dalamnya pendidikan. Bentuk ekstrim dari ekspansi kapitalisme global dalam bidang pendidikan adalah membawa lembaga pendidikan menjadi mesin pencetak tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kapitalistik. Industralisasi pendidikan terlihat dengan diserahkannya arah, tujuan, dan bentuk penyelenggaraan pendidikan pada kebutuhan pasar (customer driven). Masyarakat mau membayar berapapun biaya suatu kegiatan pendidikan yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan praktisnya. Merembaknya bimbingan belajar mengalahkan segalanya usaha sistimatis para guru di kelas -‐ kelas konvensional.
Adagium ”pendidikan yang baik membutuhkan dana yang cukup” menjadi pembenaran terhadap penetapan modal sebagai faktor penting dalam pendidikan. Dan uang juga yang menjadi daya tarik hadirnya ”bisnis pendidikan”. Celakanya sisdiknas kita memberi peluang untuk tumbuhnya hal itu. Sejak tahun ini mulai diberlakukan kebijakan diijinkannya perguruan tinggi asing (PTA) hadir di Indonesia kota Bandung akan resmi di mulai tahun 2007. Kebijakan ini akan memancing datangnya PTA berlabel (baca, beritikad) macam-‐macam. Bagi PTA yang ”asal cari untung” Indonesia merupakan lahan subur untuk mengeruk keuntungan.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
45
Liberalisasi pendidikan, yang dalam bahasa lain sering disebut sebagai pelibatan masyarakat, sebagaimana di AS terbukti telah memberikan daya hidup untuk berkembangnya PT. Sistem konservatif ala Eropa yang mengandalkan pendanaan pemerintahnya ternyata gagal. Yang menjadi tantangan kemudian, adalah bagaimana model liberalisme itu bisa masuk dengan tepat dalam kondisi dan iklim pendidikan tinggi di Indonesia, tentunya dalam tujuan mencapai arah pendidikan tinggi Indonesia yang lebih baik, kompetitif dan dapat diakses lebih luas.
Dalam mewujudkan diversifikasi maupun ektensifikasi, PT setidak-‐tidaknya dapat melakukan tiga kegiatan penggalian sumber pembiayaan. Pertama, menjalin kerja sama dengan pusat-‐pusat industri dan dunia usaha melalui pengembangan berbagai jenis kegiatan produktif yang mendatangkan keuntungan ekonomi. Kegiatan produktif tersebut bisa dalam bentuk research and development bagi kepentingan pusat-‐pusat industri bersangkutan; atau, pelayanan jasa konsultasi bagi pengembangan dunia usaha. Kedua, memanfaatkan perkembangan IT dengan memperluas jaringan pelayanan akademik maupun layanan profesional. Misalnya menyelenggarakan distance learning atau pendampingan melalui sistem jaringan. Mempublikasikan lewat media internet dapat juga menjadi sarana efektif dalam menggalang dana eksternal yang bersumber dari perorangan, terutama pengusaha sukses atau lembaga-‐lembaga independen yang memiliki potensi dana besar. Kita mempunyai banyak sekali pengusaha sukses dengan bisnis raksasa berskala internasional, yang tentu saja mendatangkan keuntungan besar setiap tahunnya. Kita perlu melakukan langkah-‐langkah persuasif agar mereka bersedia mendonasikan sebagian keuntungan bisnisnya, untuk kepentingan pembangunan pendidikan nasional. Saat ini PT dapat mengakses Corporate Social Responsibility (CSR) dari BUMN atau perusahaan swasta lainnya. Ketiga, memanfaatkan komitmen pemerintah melalui kewajiban konstitusional 20% dari APBN/APBD melalui berbagai program pengembangan tridarma PT. Dalam
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
46
bentuk lain pemerintahpun memberi kompensasi, misalnya, berupa pengurangan beban pajak kepada PT yang sampai saat ini masih menjadi beban khusunya bagi PTS.
Model penggalian dana eksternal seperti ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Cara kreatif ini lazim dilakukan oleh berbagai perguruan tinggi di banyak negara maju, terutama Amerika. Sebagai perbandingan, mungkin ada baiknya bila dielaborasi secara lebih detil bagaimana pengalaman universitas di Amerika, yang dikenal memiliki banyak perguruan tinggi terpandang itu, dalam menggali alternatif sumber pembiayaan. Selain uang kuliah (tuition) dan subsidi dari pemerintah federal dan negara bagian, sumber pembiayaan pendidikan didapat dari hasil bisnis dan pelayanan jasa (penelitian, konsultasi) serta donasi dari individu dan lembaga swasta. Mereka sukses menghimpun dana melalui kegiatan produktif dengan cara menjalin kerjasama dengan pusat-‐pusat industri dan dunia usaha serta memperoleh dana hibah dan wakaf (grant, endowment) dari pebisnis-‐pebisnis sukses baik domestik maupun mancanegara.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
47
AEC: Liberalisasi Ekonomi Implikasinya pada Manajemen Pendidikan Tinggi
ASEAN Economic Community (AEC) adalah salah satu dari 3 pilar
konsep ASEAN Integration yang telah disetujui bersama oleh kepala negara dari 10 negara anggota ASEAN dalam pertemuan di Bali tahun 2003, kemudian dikukuhkan lewat Declaration of ASEAN Concord II atau yang dikenal dengan BALI Concord II. Konsep utama dari AEC adalah menciptakan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan kesatuan basis produksi dimana terjadi free flow atas barang, jasa, faktor produksi, investasi dan modal serta penghapusan tarif bagi perdagangan antar negara ASEAN yang kemudian diharapkan dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi diantara negara-‐negara anggotanya melalui sejumlah kerjasama yang saling menguntungkan. Pasar tunggal dan basis produksi diharapkan membuat ASEAN lebih dinamis dan produkif, dan menjadikan segmen yang lebih kuat dari rantai pasokan global. Melalui terwujudnya AEC posisi tawar ASEAN di perekonomian global menjadi lebih kuat dan berdaya saing.
Selanjutnya yang bisa dipetik dari kesepakatan itu adalah diperolehnya kesempatan berbagai peluang usaha dan peluang kerja lintas negara antar Negara ASEAN. Hal ini berpotensi sangat menguntungkan terutama bagi masyarakat. Hambatan birokrasi dan tarif menyebabkan mobilitas barang dan jasa akan semakin mudah, cepat, dan murah, dengan demikian aktivitas ekonomi antar masyarakat menjadi kian terbuka dan saling menguntungkan. Hal itu dimungkinkan, karena pembentukan komunitas tersebut berimplikasi untuk terciptanya pasar tunggal dan basis produksi akibat bebas dan menyatunya aliran barang dan jasa di satu pihak, dan aliran investasi, modal, dan tenaga kerja terampil di lain pihak. Ini
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
48
berarti pembentukan komunitas tersebut dapat memacu dan memicu daya saing komoditas barang dan jasa serta kualitas SDM negara antar Negara ASEAN. Ini mengandung makna pula, berpotensi mendorong barang dan jasa dari suatu negara untuk memasuki pasar dunia karena sokongan berbagai kemudahan yang akan diperoleh dari negara tetangga.
Pemberlakuan AEC sudah sudah sangat dekat, yaitu pada 31 Desember 2015, dalam pelaksanaannya tentu akan memberikan konsekuensi bagi masyarakat ekonomi Indonesia, mengingat persaingan semakin terbuka dan tajam. Harus diakui, bahwa disamping peluang, AEC inipun meninggalkan berbagai persoalan. Potensi Hambatan, dan tantangan yang akan dihadapi oleh kita berkenaan dengan pelaksanaan AEC ini, antara lain:
a. Mind-‐set masyarakat, khususnya pelaku usaha Indonesia yang belum seluruhnya mampu melihat AEC 2015 sebagai peluang. Menurut Journal of Current Southeast Asian Affairs (Guido Benny dan Kamarulnizam Abdullah–2011), kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai ASEAN masih sangat terbatas;
b. Global Competitive Index oleh World Economic Forum menempatkan Indonesia pada urutan ke 50, di bawah sebagian negara ASEAN (Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand).
c. Lemahnya Infrastruktur, khususnya bidang transportasi dan energi menyebabkan biaya ekonomi tinggi, utamanya sektor produksi dan bagi pasar, pelaku usaha yang inward-‐looking;
d. Besarnya pasar domestik mendorong pelaku usaha untuk memprioritaskan memenuhi kebutuhan pasar domestik saja;
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
49
e. Birokrasi yang ada, belum efisien dan belum sepenuhnya berpihak pada pebisnis. Disamping itu, sinkronisasi program & kebijakan pemerintah (pusat dengan daerah) masih memerlukan koordinasi lebih baik lagi.
Bila hal di atas dibiarkan, akan mengganggu keberlangsungan kehidupan ekonomi di era AEC nanti. Tentu kita masih ingat bagaimana dampak ACFTA yang telah berjalan sejak tahun 2010 itu. Dalam satu tahun saja, ACFTA mampu menganggu produksi kita yang turun sekitar 25-‐50%, total penjualan juga turun 10-‐25%, keuntungan pun turun 10-‐25%, demikian pula serapan tenaga kerja turun 10-‐25% (sumber: Kementerian Perindustrian RI, Kompas, 2011). Tidak kurang dari 360 jenis produk kita rontok dari saat mulai diberlakukannya ACFTA tahun 2010.
Kemudian dampak selanjutnya kita merasakan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun tidak diikuti oleh bergeraknya sektor ril, ini menyebabkan melebarkan kesenjangan antar kelompok pendapatan. Tugas selanjutnya, adalah bagaimana tantangan dan hambatan itu menjadi peluang, dengan mengoptimalkan kekuatan yang dimiliki. Kekuatan dalam konteks itu, antara lain:
a. Jumlah penduduk 237 juta jiwa, merupakan 40% dari total penduduk di Asia Tenggara, angka yang besar untuk munculnya pasar yang prosfektif;
b. Kelas menengah (middle class) Indonesia yang terus meningkat, dari hanya sebesar 37,7% pada 2003, menjadi 56,6% pada 2010 atau mencapai 134 juta jiwa (Bank Dunia),
c. Total PDB Indonesia terbesar di ASEAN dan ke-‐16 di dunia (satu-‐satunya anggota ASEAN yang menjadi anggota G20).
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
50
Walaupun kegaduhan politik dalam negeri sudah terasa dampaknya terhadap ekonomi nasional, dan sulit dibayangkan keadaan akhirnya. Demikian pula kondisi eksternal, berupa krisis ekonomi global yang belum pulih benar ditambah rebalancing ekonomi AS saat ini. Namun kita tetap harus optimisme, semoga pemerintah baru dapat berjalan dengan efektif di tengah rongrongan yang ada.
Kekuatan bangsa seyogyanya mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan setelah diberlakukannya AEC tahun 2015 nanti, tak terkecuali perguruan tinggi. Perguruan tinggi perlu membenahi diri untuk menyongsong AEC ini, setidak-‐tidaknya karena dua alasan, yakni pertama, pendidikan sebagai salah satu dari beberapa jasa yang nantinya akan ikut berkompetisi dalam pasar tunggal AEC. Kedua, sebagai produsen sumberdaya manusia terdidik, yang luarannya selain menjadi komoditas ekonomi bangsa, juga sebagai sumber kreativitas yang diharapkan mengungkit keunggulan baru, di tengah semakin terbatasnya sumberdaya alam dan sumberdaya modal yang kita miliki.
Kedua hal itu menuntut perguruan tinggi untuk merumuskan visi baru, dengan dukungan kepemimpinan visioner yang mampu melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan terobosan yang tidak biasa dalam bidang mutu. Pemerintah telah cukup mendorong terciptanya suasana yang mendukung “budaya mutu” itu dengan berbagai regulasi. Antara lain dengan keluarnya undang-‐undang tentang pendidikan tinggi, ataupun yang terakhir telah keluar permendikbud no 49 tahun 2014, yang diharapkan mampu menghasilkan standar mutu baru bagi pendidikan tinggi kita. Namun sekali lagi, regulasi nasional tersebut belum cukup karena harus didukung oleh rumusan program internal perguran tinggi yang baik pula.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
51
Perguruan tinggi memiliki peran sebagai perisai pasar tenaga kerja dalam negeri dari serbuan tenaga kerja lulusan perguruan tinggi tetangga. Bila abai maka lulusan perguruan tinggi kita hanya bisa menonton saja maraknya dinamika kawasan ASEAN di kemudian hari. Dengan demikian lulusan pendidikan tinggi harus berbasis kompetensi dan memiliki kemampuan beradaftasi yang kuat dengan perubahan yang terjadi. Dewasa ini pasar tenaga kerja cepat sekali berubah akibat berkembangnya teknologi. Teknologi informasi melahirkan tidak kurang dari 50 jenis pekerjaan baru, dan telah menghapus beberapa jenis pekerjaan serta mengurangi umlah perimintaan pada beberapa jenis pekerjaan lainnya. Demikian pula penguasaan bahasa kedua (bilingual) menjadi penting artinya. Banyak negara saat ini menyelenggarakan pembelajaran bahasa Indonesia, sebagai bahasa asing yang harus dikuasai. Hal ini sangat berpotensi mengganggu penguasaan pasar produk dalam negeri yang merupakan 40% dari pasar ASEAN. Dan sekaligus menjadi ancaman bagi pasar tenaga kerja lokal dari serbuan tenaga kerja asing.
Maka dalam memperkuat kapasitas kelembagaan menyongsong tantangan AEC, perguruan tinggi perlu melakukan Good University Governance atau Tatakelola (Tata Pamong) yang Baik. Setidak-‐tidaknya ada tiga (3) hal strategis yang harus dilakukan dalam konteks itu, yakni (a) coopetation, (b) kecakapan terbuka, (c) budaya mutu. Ketiga hal itu lahir dari kebutuhan yang muncul dari aspek strategis perguruan tinggi.
Aspek Kebutuhan Strategi Otonomi Bersinergi dengan PT lain, yang pada dasarnya merupakan
pesaing Coopetition
Relevansi Program akademik yang mendukung Technology and Knowledge based Economy
Kecakapan Terbuka
Mutu Membangun komitmen dan keterlibatan pemangku kepentingan dalam membangun daya saing
Budaya Unggul
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
52
Pertama, mengembangkan konsep coopetition antar perguruan tinggi dengan melakukan sharing sumberdaya. Kerjasama yang saling menguntungkan dengan sesama perguruan tinggi dalam negeri maupun dengan perguruan tinggi luar negeri khususya kawasan ASEAN perlu terus dikembangkan. Baik melalui proyek-‐proyek penelitian bersama. Joint seminar, menghadirkan, dan menjadi dosen tamu internasional, pertukaran mahasiswa, mutual recognition arrangemment (MRA), ataupun gelar ganda dan sejenisnya.
Para pengelola perguruan tinggi perlu menyadari bahwa era spesialization telah mendorong ke arah coopetition antar perguruan tinggi menggambungkan semangat competitiondan cooperation. Sungguh sulit dan tidak akan efisien bila segala sesuatu dikerjakan sendiri, alih-‐alih menciptakan produktivitas tinggi, yang terjadi adalah kekurangfokusan dalam menghadapi berbagai persoalan yang ada. Coopetitionadalah kerjasama sambil berkompetisi, salah satu fungsinya adalah terjadinyakegiatan menakar standar mutu baru dengan membuat patok duga pada mitra strategis, dengan demikian sivitas akademika terbiasa dengan berfikir luas dan membiasakan bertindak kolaborarif yang saling menguntungkan.Dampak edukasi bagi para mahasiswa, prinsip coopetition bisa membangun kecerdasan sosial.
Kedua, mengembangkan kecakapan terbuka bagi para mahasisnya dalam program akademik secara terstruktur. Tugas dari Perguruan Tinggi selain menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dalam bidang keilmuan juga dituntut untuk mampu membekali lulusannya dengan jiwa wirausaha (entrepreneurship) dan inovatif. Sehingga perguruan tinggi tidak hanya mampu mencetak lulusan yang menguasai ilmu pengetahuannya dengan baik, namun juga mampu membekali kemandirian bagi para lulusannya. Berkaitan dengan ini maka kegiatan akademik harus mampu menyampaikan dengan baik konsep Technology and knowledge based
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
53
economy. Dalam konteks ini dapat dipahami sebagai urgensi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kerangka pengembangan kekuatan ekonomi. Hayek (1936) pun telah menegaskan pentingnya hal ini. Knowledge based economy adalah perekonomian yang secara langsung didasarkan atas produksi, distribusi serta penggunaan knowledge (OECD,1996). Asumsinya, kondisi perekonomian denganproses produksi, diseminasi dan aplikasi knowledge menjadi mesin utama untuk menghasilkan dan menjaga pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Implikasinya adalah pembelajaran yang dikembangkan seyogyanya mampu menumbuhkan prakarsa dan itikad kemandirian untuk terlibat memikirkan kehidupan praktisnya.
Abad 21 ini ditandai dengan terbentuknya masyarakat purna kapitalis (post capitalist society) yang dikenalkan satu dasa warsa lalu oleh Peter Drucker (1993) menghasilkan productivity revolutionyang massif dan membutuhkan “kecakapan terbuka” bagi lulusan perguruan tinggi. Dalam kaitan perlu dipertimbangkan pendapat, A.Bartiett Giamatti (1938-‐1989), yang menyatakan bahwa entrepreneurship adalah masalah mindset, maka kurikulum bukan satu-‐satunya penentu tercapainya tujuan pembelajaran, namun membutuhkan suasana kebebasan dalam sistem pendidikan dan manajemen pendidikan tingi, yang kemudian teraktualisasikan dalam tindakan pengajaran melalui model-‐model pembelajaran. Esensi kecakapan terbuka bagi lulusan perguruan tinggi menjadi kian penting seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan pergeseran budaya belajar, dari belajar berpusat pada pendidik menjadi berpusat pada peserta didik. Kemampuan profesional services perguruan tinggi harus mampu menjawab tantangan pendidikan abad 21, sebagaimana dikatakan oleh Kenichi Ohmae, sebagai “belajar tanpa batas waktu dan ruang”. Yang menurut saya, bisa berkembang menjadi “belajar tanpa batas kebenaran tunggal”. Maka materi dengan substansi kreativitas, kepemimpinan, kemandirian, sinergi, dan inovatif merupakan jenis kompetensi baru yang harus tersedia dalam diri
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
54
lulusan perguruan tinggi. Itulah senyatanya yang saya sebut dengan pembelajaran yang mengembangkan kecakapan terbuka.Laporan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) Tahun 2007, telah menegaskan bahwa “Dari proses kreativitas berpikir, kreativitas bertindak, dan dilandasi pengetahuan ekonomi yang baik maka akan lahir generasi kreatif yang bisa membuat dan menghasilkan produk/jasa kreatif yang memiliki value atau benefit untuk masyarakat.”
Ketiga, perguruan tinggi perlu mengembangkan budaya unggul berbasis potensi lokal. Harus disadari bahwa masa depan adalah buah karya dari aktivitas saat ini, dan disadari pula bahwa kondisi internal dan eksternal masa depan akan sangat berbeda dengan keadaan saat lalu dan saat ini. Masa depan cenderung memiliki karakteristik dinamis dan sarat perubahan sebagai dampak berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, meniscayakan perguruan tinggi untuk bisa menata dan mempersiapkan diri segala sesuatunya dengan tidak biasa, di tengah berkembangnya kompetitor baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Upaya sistimatis, masif, dan terstruktur yang dirancang saat ini diharapkan agar perguruan tinggi itu dapat memainkan peran yang bermakna untuk menjalankan tugas kesejarahan sebagaimana harapan masyarakat di masa depan. Salah satu langkah penting untuk itu, adalah dengan memperkuat keunggulan potensial (local genius) yang dimiliki oleh setiap unit yang ada di perguran tinggi, yang akhirnya secara kumulatif akan membawa kepada keunggulan kolektif, komparatif, dan substanstif bagi perguruan tinggi yang bersangkutan. Hal itu membutuhkan program yang berkarakter akseleratif dan visioner guna mendukung penguatan kelembagaan berdimensi panjang dan berkelanjutan. Dimana dalam pelaksanaannya perlu melibatkan secara optimal para pemangku kepentingan untuk melakukan langkah-‐langkah sinergitas yang berkesinambungan, sehingga setiap unit memiliki keunggulan yang dapat
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
55
dijadikan pilar kokoh bagi daya saing pengembangan dan pembangunan perguruan tingi ke depan.
Program studi (prodi), adalah unit terkecil dalam pelaksanaan tri darma PT, sekaligus menjadi garda terdepan dalam memberikan pelayanan inti perguruan tinggi. Prodi memiliki nilai strategis untuk dikembangkan sebagai basis kekuatan dalam pencapaian visi sebuah perguruang tinggi. Adakalanya prodi dalam sebuah perguan tinggi memiliki kecenderungan kinerja yang berbeda. Namun belum tentu tidak memiliki keunggulan. Diantara kekurangan pada satu sisi sisi, sangat mungkin tercuat potensi yang bisa dijadikan karakter dasar pengembangan. Karakter dasar pengembangan, yang selanjutnya diidentifikasi sebagai local genius dapat dijadikan pilar kokoh untuk menghembangkan keunggulan yang bersifat unik. Dan bila ini dikelola secara baik dan totalitas, maka akan menghasilkan keunggulan kolektif, komparatif, dan substanstif sebagaimana yang dimaksud di atas.
Sangat mungkin di masa depan akan berkembang local genius lain, yang dapat dijadikan dasar pengembangan unit prodi yang lain. Dan itu sangat terbuka bagi semua prodi untuk memiliki keunikan tersendiri dalam mengembangkan misi normatif sbagaimana dituntut dalam statuta. Dan boleh jadi keempat local genius itu tidak terdistribusi secara parsial, karena sangat mungkin satu prodi memiliki beberapa karakteristik local genius sekaligus. Oleh sebab itu, dalam merumuskan kegiatan menuju unggul pada logical genius tertentu perlu pengkajian yang mendalam dan sistimatis.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
56
Manajemen Layanan di Pendidikan Tinggi Jepang
Jepang merupakan contoh negara yang bisa berperan sangat signifikan dalam pergaulan ekonomi kesejagatan namun tetap mempertahankan budayanya sendiri. Sehingga AS secara khusus mempelajari bagaimana busaya menjadi penopang kuat dalam ekonomi masyarakat Jepang. Sehingga tahun 80an di kepustakaan bisnis di AS mulai mengenal konsep “Budaya Perusahaan” yang sering juga dikenal dengan “Budaya Organisasi”. Keberhasilan Jepang dalam melestarikan budayanya di tengah liberalisasi ekonomi tidak lepas dari peran dunia pendidikan yang dijalankan di persekolahan.
Bisa terlibat langsung dalam proses perkuliahan, di negara, dan di perguruan tinggi yang maju dari berbagai aspek, adalah menjadi pengalaman yang amat sangat berharga bagi saya. Waseda University (WU), merupakan salah satu universitas yang masuk rangking terhormat dalam daftar 50 perguruan tinggi di Asia; berada di sebelah selatan barat kota Tokyo. Fasilitas kampus yang menyatu dengan masyarakat,mengingatkan saya pada kampus kita, atau kampus ITB, Unpad Dipati Ukur, atau UPI. Namun walupun menyatu dengan masyarakat, sangat terasa atmosfir perguruan tingginya, tidak malah kebalikannya. Kampus yang besar dan asri di tengah keramaian kota yang berkarakter pendidikan, memberi suasana yang nyaman untuk terlaksananya kegiatan akademis yang baik. Tentu tidak fair kalau saya membandingkan fasilitas, atau kemajuan teknologi yang ada di WU, dengan Unpas. WU sebuah PTS yang dilola secara profesional oleh sebuah badan swasta. Selain menerima tuition fee dari sekitar 30.000 mahasiswa, yang jumlahnya beberapa belas kali lipat dari jumlah SPPnya kita. Juga pihak badan pengelola mengembangkan usaha lain seperti, beberapa guest house, toko, rumah makan. Usaha tersebut di
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
57
kembangkan melalui Cooperative of University (koperasi universitas). Demikian pula membandingkan kesiapan para mahasiswa dalam mengikuti kegiatan akademik, serta attitude yang diperlihatkannya. Kurang relavan dan tidak realistis. Setting budaya dan variabel lain yang melatarbelakanginya jelas berbeda. Performance mahasiswa, menurut saya adalah produk dari sistem yang dikembangkan baik oleh PT maupun masyarakat. Namun ada beberapa hal yang menarik, yang bisa dijadikan acuan dalam mengembangkan perguruan tinggi kita, di luar kelengkapan fasilitas, dan performance mahasiswa. Salah satunya adalah bagaimana komitmen karyawan, dosen, dan pengelola dalam membentuk budaya akademik dengan etos kerja ala Jepang.
Pertama, karyawan di Jepang ternyata tidak seperti bayangan awal saya. Mereka baru berdatangan pas jam 9.00 saat perkuliahan akan di mulai. Dengan kemajuan alat transportasi di Jepang mereka dengan mudah diantar oleh kereta di bawah tanah, dari berbagai peloksok Tokyo, sampai ke Eqi (statsiun) Waseda. Walau udara musim dingin sangat menyiksa, saat itu mentari jam 9.00 membantu mereka untuk berjalan 10 menit sampai di kampus. Pikiran saya melayang kepada karyawan kita yang harus datang lebih pagi dengan dari berbagai peloksok, adakalanya dari luar Bandung, dengan sarana transportasi umum yang jauh dari keyamanan. Jujur saja saya merasa bangga sekaligus prihatin. Demikian pula jam kepulangan, tidak jauh berbeda dengan kita jam 4 sore, mereka pun disana sudah mulai meninggalkan ruangan.
Apa yang salah dengan di kita pikir saya? Setelah dua hari, tiga hari, baru ditemukan bedanya. Mereka di saat jam kerja senantiasa menyibukan diri. Terlihat di sela-‐sela kerja bersenda gurau di antara mereka, tapi tangan, kaki, dan mulutnya tidak berhenti bekerja. Ada saja yang selalu di buka, di tulis, dicari, dikerjakan tangannya. Kakinya terus bergerak di ruang kerjanya. Mulutnya tidak berhenti menyapa dan tersenyum kepada orang
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
58
dihadapinya, termasuk kepada para mahasiswa yang meminta informasi. Tak terlihat ada yang membaca koran, nonton, tivi, atau ngobrol yang menghabiskan waktu tanpa mengerjakan apapun. Sederhana memang bedanya, tapi hasilnya luar biasa.
Kedua, kinerja dosen patut ditiru. Tanpa harus malu, saya harus mengatakan, ”kita harus masih banyak belajar”. Tiga hal yang harus dicatat, dalam masalah ini. Pertama, kesadaran profesi diperlihatkan dengan persiapan mengajar dan penguasaan bahan. Mengajar lebih dari satu mata kuliah dalam satu semester, hampir sulit ditemukan. Kajian materi perkuliahan senantiasa komprehensif dan tuntas. Saya yang ditugasi membantu Prof.Ginandjar Kartasasmita dalam mata kuliah Kebijakan Publik, lebih concern hanya pada kajian ekonomi khususnya dalam membahas kasus kemiskinan dan pembangunan di Indonesia. Selebihnya beliau mempersiapkan sendiri, di bantu anggota tim lain yang kompeten di bidangnya. Kedua, pemanfaatan teknologi informasi sangat optimal. Di ruang dosen kelengkapan internet tersedia. Saya jadi ingat di ruang-‐ruang dosen kita malah yang tersedia tayangan TV. Di masa datang kelihatannya asesoris ruangan itu harus dilihat ulang. Hubungan dosen dengan mahasiswa berjalan dengan baik dengan. Sikap ramah, bersahabat dari para dosen, di respon rasa hormat dari mahasiswa. Mahasiswa sangat menghormati posisi dosen, dan dosen senantiasa merasa terpanggil untuk membantu mahasiswanya. Fenomena itu, coba saya kritisi, kemungkinan hipotetisnya banyak. Jawaban hipotetis akhir, adalah pada perbaikan sistem insentif, dan rekayasa sosial dalam mengapresisasi profesi pendidik, di samping kesadaran internal pendidik terhadap profesi juga tak kalah penting.
Ketiga, adanya pembagian yang jelas antara pengelola dengan dosen dan karyawan. Masing-‐masing bermain di posisi yang berbeda. Pengelola memiliki tugas menyediakan sarana dan prasarana. Dosen mengembangkan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
59
otoritas akademiknya. Dan karyawan menjalankan fungsi administrasi dan pelayanan. Semuanya berjalan dengan kompetensinya masing-‐masing, dan berjalan dengan sangat simpel dan terus mengalir. Tampaknya dalam waktu yang panjang akan menekan peluang konflik yang akan membuang banyak energi untuk hal yang tidak perlu. Dari banyak hal, tiga hal itu, yang tampaknya bisa kita pelajari dengan cepat dari saudara tua kita itu. Rasa-‐rasanya bisa. Arigato Gozaimas.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
60
Budaya Sunda dalam Liberalisasi Pendidikan
Adalah sebuah keniscayaan yang sulit terbantahkan bahwa paham internasionalisasi (baca, globalisasi) sudah ada dalam kehidupan kita. Setelah itu apa yang harus dilakukan agar budaya lokal dapat tetap hadir di tengah masyarakat Sunda, setidak-‐tidaknya terakomodasi dalam program estafeta budaya lewat pendidikan. Banyak literatur yang mengemukakan bahwa, internasionalisasi sering dimaknai sebagai suatu tatanan yang berciri uniform. Tidak tersedia ruang untuk terjadinya disparitas budaya dan tumbuhnya budaya lokal. Walau arah uniform itu dilalui lewat proses kompromi dari keragaman yang ada, namun harmonisasi dilalui melalui mekanisme yang lazim berlaku dalam sistem ekonomi pasar. Dimana penguasaan source ekonomi berperan siginifikan dalam penentuan hasil akhir. Sehingga banyak orang berpendapat internasionalisasi erat kaitannya dengan kapitalisasi.
Fenomena kapitalisme global terus berkembang dengan cepat paska perang dingin. Terlepas setuju atau tidak, saya termasuk orang yang beranggapan, bahwa ekspansi kapitalisme global sulit terhalangi lagi dan akan menjadi basis uniformitas budaya mondial, saat ini maupun di masa datang. Dan ekspansi itu terus merambat ke seluruh sektor kehidupan, termasuk di dalamnya pendidikan. Bentuk ekstrim dari ekspansi kapitalisme global dalam bidang pendidikan adalah membawa lembaga pendidikan menjadi mesin pencetak tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pemilik modal. Mutu pendidikan diukur oleh seberapa besar lulusan pendidikan dapat memenuhi harapan dunia usaha, dan seberapa mampu kinerja mereka dapat melipatgandakan aset perusahaan.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
61
Dunia pendidikan tidak bisa berbuat apapun selain mengikuti selera pasar. Alih-‐alih mampu mengkoreksi keadaan, pendidikan pun pada akhirnya tunduk pada hukum pasar. Pendidikan tidak lagi semata dilihat dalam perspektif pelnjut sistem nilai, namun sudah dilihat sebagaai aktivitas industri, dimana nilai efisiensi dan efketivitas menjadi alat kendali utama kualitas pendidikan. Prinsip industralisasi dalam pendidikan terlihat dengan diserahkannya arah, tujuan, dan bentuk penyelenggaraan pendidikan diantaranya pada kebutuhan pasar (customer driven). Masyarakat mau membayar berapapun biaya suatu kegiatan pendidikan yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan praktisnya. Merembaknya bimbingan belajar mengalahkan segalanya usaha sistimatis para guru di kelas-‐kelas konvensional. Fenomena pemenuhan kebutuhan pragmatis juga berlaku untuk penyelenggaraan pendidikan internasional.
Ada dua penyebab utama kehadiran pendidikan atau sekolah internasional, pertama, dari sisi demand yakni meningkatnya permintaan masyarakat terhadap pendidikan yang terstandarisiasi internasional untuk mengisi posisi dalam ruang kerja bisnis global. Dan kedua, dari sisi suplay yakni meningkatnya ekpansi lembaga pendidikan internasional sebagai dampak World Trade Organization (WTO) memasukan sektor jasa pendidikan sebagai salah satu sektor yang diperundingan dalam kerangka Doha Development Round (DDA). Dalam kaitan ini jasa pendidikan yang diperdagangkan adalah pendidikan swasta dan tidak berkaitan dengan tugas pemerintah untuk menyelenggarkan pendidikan bagi warganya.2
2Berdasarkan ketentuan WTO, khususnya Perjanjian Perdagangan Jasa (General Agreement on Trade In Services/GATS), beberapa cara dapat dilakukan untuk memperdagangkan sektor jasa pendidikan. Pertama, dilakukan dengan internet-‐based courses (cross-‐border supply) atau sarana komunikasi lainnya. Kedua, membolehkan mahasiswa Indonesia belajar di luar negeri (consumption abroad), Ketiga, membolehkan perguruan tinggi asing mendirikan perguruan tinggi di Indonesia (commercial presense). Terakhir, membolehkan pengajar asing memberikan kuliah di perguruan tinggi di Indonesia (presense of natural person).
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
62
Adagium ”pendidikan bermutu tidak murah” menjadi pembenaran terhadap penetapan modal sebagai faktor penting dalam pendidikan. Dan uang juga yang menjadi daya tarik hadirnya ”bisnis pendidikan”. Celakanya sisdiknas kita memberi peluang untuk tumbuhnya hal itu. Sejak tahun ini mulai diberlakukan kebijakan diijinkannya perguruan tinggi asing (PTA) hadir di Indonesia. Kebijakan ini akan memancing datangnya PTA berlabel (baca, beritikad) macam-‐macam. Bagi PTA yang ”asal cari untung” Indonesia merupakan lahan subur untuk mengeruk keuntungan. Data dari Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas menunjukkan saat ini 4 juta mahasiswa terdaftar pada lebih kurang 2381 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta. Dengan jumlah penduduk usia 19-‐24 tahun sebesar lebih kurang 28 juta orang, berati tingkat partisipasi pendidikan tinggi nasional baru sekitar 14 persen saja.
Ada apa dengan liberalisasi pendidikan?
Fenomena masuknya pendidikan internasional menandai masuknya liberalisasi pendidikan. Budaya baru bukan sekedar menciptakan ketakutan hilangnya pasar domestik bagi pelaku pendidikan lokal. Atau menguapnya sebagian sumberdaya ekonomi nasional ke luar negeri melalui lembaga pendidikan yang boleh jadi abal-‐abal. Namun lebih jauh dari pada itu rusaknya sistem nilai dan hilangnya simpul peradaban yang akan terasa dampaknya sampai pada beberapa generasi ke depan. Dampaknya bukan sekedar, seperti berubahnya kecenderungan masyarakat saat ini dari makan jeruk Pontianak menjadi jeruk Cina. Atau terkaparnya kehidupan petani lokal karena maraknya produksi pertanian eks-‐import. Jelas lebih parah dari itu. Karena keruksakan pranata pendidikan akan berdampak sangat panjang terhadap peradaban suatu bangsa.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
63
Salah satu karakter kapitalisme global adalah sekulerisme. Gejala sekulerisme sebenarnya juga tercium pekat dalam undang-‐undang sisdiknas kita, taatkala pendidikan agama didikotomiskan dengan pendidikan umum dan kejuruan. Pemisahan imperatip pendidikan agama di luar pendidikan umum dan kejuruan, dapat memiliki makna, bahwa pendidikan agama tidak menjadi bagian yang terintegrasi dengan kedua jenis pendidikan itu. Sehingga menjadi wajar kekhawatiran sementara pihak tentang kemungkinan terjadinya kekeringan spiritual dalam muatan pendidikan dan pengajaran kita di masa datang.
Sebagaimana diungkap di atas, internasionalisasi sulit terbendung. Sekolah dan kelas internasional akan segera memenuhi papan iklan di kota-‐kota besar kita. Sejauh berpegang pada standar nasional pendidikan, kehadiran lembaga pendidikan internasional sah-‐sah saja. Akan tetapi bila tidak, tampaknya perlu penyikapan yang jelas dari kelompok cendekia agar masyarakat kebanyakan tidak menerima getah praktik kapitalisme global yang amat sangat pragmatik dan berdampak luas pada generasi mendatang.
Penyikapan tidak selalu harus bernada menerima atau menolak. Hal yang penting dilakukan oleh kita, adalah merekontruksi pemahaman tentang konsep internasionalisasi maupun internasionalisasi pendidikan. Agar upaya menginternasionalkan pendidikan kita tidak bertabrakan dengan kepentingan kita membangun bangsa secara utuh. Dalam perspektip lain ngigeulan jaman harus berdampingan dengan keinginan dan kemampuan ngigeulkeun jaman. Kalau tidak, kita harus puas dengan posisi sub-‐ordinasi dalam peradaban dunia, seperti saat ini.
Saat ini standar pendidikan internasional sering hanya ditandai dengan penggunaan bahasa internasional saja, dalam hal ini Bahasa Inggris. Padahal pendidikan internasional harus dimaknai sebagai pendidikan yang menjadikan anak didik berpikir secara terbuka dan meng-‐internasional
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
64
tanpa meninggalkan jati diri sebagai manusia berahlak lokal. Openand international minded perlu terjadi, karena senang atau tidak senang, para anak didik kelak akan menjadi manusia yang ‘berwarga negara internasional’ atau global citizent. Akan tetapi kesadaran bahwa mereka lahir dan besar dalam lingkup kultur tertentu mutlak ditanamkan.
Secara historis masyarakat Sunda cukup terbuka dalam mensikapi perubahan paradigma pendidikan. Masa kerajaan Tarumanegara (358-‐669M), mandala kawikwan (=kawikuan) merupakan lembaga pendidikan yang diberi tugas untuk menggembleng para calon sinuhun kerajaan. Kemudian di masa kerajaan Kendan/Galuh serta kerajaan lainnya sekitar tahun 536-‐1297M) peran itu digantikan oleh Kabuyutan. Masa kerajaan Pakuan Padjajaran (1311-‐1521M) lembaga pendidikan dikenal dengan sebutan Binayapanti. Masuknya agama Islam mulai dikenal lembaga pendidikan model pesantren, antara lain dimulai di Karawang oleh Syeh Qura (abad XVI M). Kemudian kehadiran kolonialisme Belanda di abad yang sama, masyarakat Sunda di kenalkan dengan pendidikan model kolonial. Yang kemudian diteruskan dengan model Republik masa setelah kemerdekaan. Sampai akhirnya 2003 kita mengenal model sisdiknas yang memberi ruang yang lebih lebar untuk berinteraksi dengan dunia internasional. Dari rentetan sejarah perubahan paradigma pendidikan di atas, sadar atau tidak, ada nilai budaya Sunda yang tertransformasikan. Buktinya sampai sekarang jutaan orang masih merasa menjadi suku sunda. Dan masih cukup banyak, pihak yang terusik saat simbol-‐simbol kesundaan terganggu.
Menurut Bana G Kartasasmita, sangat terbuka peluang masuknya muatan lokal ke dalam proses pembelajaran model pendidikan internasional. Akan tetapi pertanyaan lanjutan beliau, aspek apa dari budaya lokal kita yang diminati dunia pendidikan luar negeri? Budaya lokal (baca, Sunda) menyimpan sekumpulan nilai dan keyakinan dasar yang
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
65
menurut pemahaman relatip saya, memiliki tingkat relevansi dengan ”moral” masyarakat dunia. Maka langkah bijak yang harus kita lakukan dalam menyikapi kehadiran pendidikan internasional, adalah menemukan nilai-‐nilai dan keyakinan dasar budaya lokal untuk dijadikan acuan perilaku manusia Sunda di masa datang. Nilai dan keyakinan dasar ini khususnya berkaitan dengan tatanan moral (ahklak, budipekerti, atau pun etika) seperti apakah yang harus hadir saat manusia global tersebut berinteraksi dengan faktor penting lainnya dalam kehidupan. Hidayat Suryalaga (2005) menyebutnya dengan SAD KAMANUSAAN, yang meliputi: moral manusia terhadap TUHAN (MMT), moral manusia terhadap PRIBADI (MMP), moral manusia terhadap MANUSIA lainnya (MMM), moral manusia terhadap ALAM, moral manusia terhadap WAKTU (MMW), moral manusia terhadap pencapaian kesejahteraan LAHIR DAN BATIN (MMLB).
Bila disepakati enam relasi sebagai pijakan awal pengembangan moralitas hasil pendidikan tinggi kita ke depan. Maka kita telah selangkah lebih maju dalam membawa budaya lokal untuk memberikan kontribusi kepada peradaban melalui jalur pendidikan internasional. Sekolah-‐sekolah di lingkungan pasundan seyogyanya bisa menjadi pelopor untuk menjalankan prinsip berfikir global namun berwatak lokal, dalam hal ini bagaimana muatan budaya Sunda menjadi pijakan kokoh dalam mengembangkan intelektual peserta didik sehingga mereka mampu berperan dalam kancah pergaulan kesejagatan namun tetap mampu berkeripadian Sunda, yang someah, handap asor, sumujud ka nukawasa, tur nyaah ka kolot jeung ngawula ka sarakan dan lain sebagainya.Walahualam.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
66
Doktor Kehormatan untuk Kang Tjetje
Saat Prof.HM Didi Turmudzi, Rektor Unpas, menyampaikan usulan kepada senat untuk memberikan gelar doktor honouris causa kepada politisi gaek asal Jabar, yakni Tjetje Hidayat Padmadinata; serta merta disambut baik oleh seluruh anggota senat yang hadir. Secara pribadi, saya amat gembira dengan usulan itu, karena memang kita sepantasnya aktif mengapresiasi setiap komitmen, prestasi yang dijalankan secara konsisten oleh seseorang pada satu bidang yang digelutinya. Universitas Pasundan sebagai aset intelektual masyarakat Sunda sangat pantas memelopori pemberian apresiasi itu kepada tokoh yang berasal dari tatar Sunda ini.
Doktor Hounaoris Causa (HC) atau doktor kehormatan, berbeda dengan gelar doktor akademik. Doktor akademik diraih melalui rentetan ritual proses kegiatan akademis yang berhulu pada kegiatan riset. Sedang doktor HC merupakan penghargaan tertinggi ilmu pengetahuan yang dilatarbelakangi oleh penghargaan terhadap komitmen, integritas, dan kapabilitas. Dengan demikian walaupun bersifat ad eundem – jure dignitatis – gelar doktor pemberian ini tetap memiliki harkat yng terhormat. Acapkali, karena kriterianya serba kualitatf, sering gelar ini dimanfaatkan oleh para pihak pendamba popularitas, dan para politisi untuk perkuatan posisinya. Walaupun untuk itu harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit. Atau bagi pejabat politik, ia harus siap memberi konsesi berupa kemudahan fasilitas melalui kebijakan yang dikeluarkannya. Kecenderungan terakhir inilah yang kemudian membuat gelar ini kurang sakral lagi di mata publik. Apalagi pada kesempatan lain, justru adakalanya perguruan tinggi, yang aktif mencari berbagai keuntungan, dengan memberikan gelar tersebut kepada salah seorang figur tertentu.
Kiprah di bidang politik Tjetje Hidayat Padmadinta (THP), sudah saya kenal melalui cerita-‐cerita pendek ayah saya saat itu. Sampai saat ini secara
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
67
pribadi saya pun mengenal THP dengan baik. Dari pengenalan itu dapat keyakinan, bahwa THP tidak termasuk tokoh yang memiliki kemampuan “membeli” gelar itu dengan uang. Dia tidak cukup kaya untuk itu. Demikian pula dengan kemampuan memberi harapan fasilitas. Walaupun THP adalah politikus kahot di Jabar, tetapi tidak memiliki potensi untuk memberi konsesi politik apapun kepada lembaga pemberinya. Sebagaimana bila pemberian itu diberikan kepada para pejabat politis seperti presiden, menteri, gubernur, atau sederajat. Sebagai politisi praktis, perjalanan hidup THP banyak diwarnai oleh “kekalahan”. THP lahir di Bandung 22 Juni 1935 memulai kiprahnya dalam politik praktis pada usia 20 tahun. Sejak 1955 terjun dalam politik praktis, dengan mengusung semangat kesundaan, namun partainya memperoleh hasil yang buruk. Di awal era orde baru pun beberapa kali masuk penjara. Di awal era reformasi THP mencoba terjun kembali di dunia politik dengan menggunakan partai baru yakni PKP, hasilnya pun tidak menggembirakan. Diluar jabatannya sebagai anggota legislatif di tahun 90-‐an melalui Golongan Karya hampir tidak ada karir politik yang membanggakan. Demikian pula saat ia merasa terkecoh– beserta banyak tokoh Jabar lainnya-‐ masuk salah satu ormas yang digadang-‐gadang akan mengadakan perubahan namun ujung-‐ujungnya masuk kancah politik dan menjadi partai politik pula. THP pun akhirnya sambil menggerutu, hengkang dari ormas tersebut.
Kekalahan politik yang sering dialami, tidak kemudian THP menyerah atau malahan menjadi komprador politik, dengan harapan mendapat keuntungan pribadi. THP mencoba hadir dalam setiap dinamika politik dengan memberikan pencerahan kepada generasi muda maupun pelaku politik di Jabar melalui forum-‐forum diskusi maupun tulisan di mass media. Jujur saja, dari sisi substansi sering isi yang dilontarkan tidak sehebat pemikir politik yang sering saya dengar di seminar maupun media nasional.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
68
Namun sikap istiqomah serta kesediaan mendengar –disamping berbicara-‐ merupakan kelebihan lain THP. Maka tidak jarang saya ataupun teman lain dengan terbuka mengkritik pendapatnya. Dia dengan sabar mendengar dan mengakui kebenaran yang kami lontarkan, namun menjawab dengan tulus setiap pendapat yang berbeda dengan sangat bijaksana, bila pendapat kami salah. Sikapnya yang bijak tidak menutup sikapnya yang lain, meledak-‐ledak dan emosional, tanpa tedeng aling-‐aling sering mengkritik siapapun yang dianggapnya kurang pantas memainkan role politiknya. Salah satu bentuk ketegasannya dalam bersikap, pada saat THP lebih memilih di luar jalur Paguyuban Pasundan, organisasi yang pernah ia besarkan dan boleh jadi ia dibesarkan. Karena Paguyuban Pasundan saat itu, dianggap sudah keluar dari jihadnya sebagai katalisator perjuangan ki-‐Sunda melalui jalur pendidikan dan budaya. Menurutnya Paguyuban Pasundan terlalu dalam masuk ke wilayah politik. Walaupun dalam kesempatan lain, THP pun sebagaimana tokoh lain, sering mengeluh karena kurangnya partisipasi politik masyarakat Sunda dalam perpolitikan nasional.
Dari tiga epilog tadi, yakni pertama, kiprahnya di politik praktis walau sering gagal tapi tidak menyerah dan harus mendekam di penjara. Kedua, penolakan terhadap politik praktis yang tidak etis, saat keluar dari ormas, dan sikap tegasnya kepada Paguyuban Pasundan. Ketiga, keluhannya terhadap peran politik ki-‐Sunda di kancah nasional yang masih sangat kecil. Tersembul sebuah pelajaran penting dalam berpolitik bagi generasi muda ki-‐Sunda, yakni Politik tak hanya berkaitan dengan proses meraih kekuasaan. Bagaimana diraihnya, dijalankan atau pun dipertahankan; membutuhkan etika yang mendasarinya. Jika itu diabaikan maka idelogi, nilai budaya malahan ajaran agama yang diagungkan sekalipun, hanya menjadi sekedar alat belaka. Dalam konteks itu, pemikiran THP selaras dengan pandangan Albert Camus yang melihat politik sebagai perjuangan. Dari sana lahir pengakuan terhadap komitmen, keterlibatan tanpa henti,
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
69
dan ketabahan dalam perjuangan. Bravo kang, anda layak mendapat penghargaan itu. Dan Unpas dengan bangga memberikannya. Wassalam
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
70
Demokrasi dan Budaya Kekuasaan Sunda
Menulis sebuah makalah dengan karakteristik ilmiah untuk judul di atas, jelas bukan pekerjaan mudah bagi saya, yang tidak secara intens belajar tentang budaya. Namun dengan berbagai pertimbangan, antara lain untuk sekedar beropini, hal itu tampaknya tidak ada salahnya. Sebagai elemen pendukung budaya Sunda memang seharusnya merasa terpanggil untuk concern terhadap dinamika dan problematika masyarakat sunda yang kerap merasa termarjinalisasikan dalam kancah perebutan kekuasaan melalui mekanisme demokrasi yang telah berkembang dalam satu dasa warsa terakhir ini.
Kajian saya tentu saja tidak akan menapak lekat pada budaya dalam perspektif sejarah. Selain kajian bernuansa sejarah pasti telah dibahas oleh penyaji sebelumnya yang jelas lebih berkompeten, sebagaimana dalam jadwal acara, juga tidak ada salahnya melihat topik ini dari perspektif kekinian. Yakni pada saat wacana demokrasi yang berkembang di masyarakat, boleh jadi baik semangat maupun implementasinya, kurang relavan dengan pengalaman hidup “urang Sunda” di masa lalu.Ide-‐ide globalisasi dan demokratisasi yang berkembang saat ini, pada dasarnya tidak akan menghapus eksistensi kelompok-‐kelompok budaya yang ada di masyarakat dunia, malah boleh jadi akan menjadi pengikat yang kuat untuk itu. Hal itu sebagaimana prediksi John Naisbit tentang kemunculan gejala tribalisme di tengah gejolak globalisme. Sehubungan dengan itu, maka saya anggap diskusi mengenai topik ini sangat penting, khususnya sebagai upaya mencari benang merah serta interelasi antara budaya Sunda dengan fenomena global. Sehingga budaya Sunda tetap mampu memberikan kontribusi berarti bagi kehidupan, khususnya kepada masyarakat pendukung budayanya.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
71
Kekuasaan dalam Budaya Sunda
Membincangkan kekuasaan dalam perspektif lama budaya Sunda seolah berhadapan dengan tudingan ketabuan. Kekuasaan dipersepsikan sebagai simbol keserakahan dan amibisi, yang senatiasa meniscayakan tumbuhnya konflik, apalagi bila diraih di luar tatanan yang sudah ada. Dinamika budaya selama ini belum memposisikan kekuasaan sebagai resources. Ini mengandung makna, kekuasaan belum dilihat sebagai bagian penting dalam mengembangkan martabat budaya dan masyarakat sunda di tengah semangat kebangsaan dan kesejagatan. Sementara sinyal masa depan mengasumsikan, tidak akan ada eksistensi budaya lokal tanpa resources kekuasaan yang signifikan dari pendukung budayanya.Realitas budaya sunda dalam meraih kekuasaan terdeskripsikan dalam kecenderungan masyarakat ini dalam berpolitik. Sikap masyarakat sunda yang cenderung pasif dalam berpolitik memang mengakibatkan berbagai dampak pada keputusan politik yang diambil, yang bagi sementara fihak tidak menguntungkan bagi etnis dengan populasi kedua terbesar di Indonesia ini.
Saat PNI berjaya di masa orde lama, ataupun Golkar di masa orde baru, Jawa Barat selalu menjadi penyumbang suara sangat signifikan bagi kedua kekuatan politik tersebut. Demikian pula fakta PKI yang tidak pernah berhasil menguasai Indonesia, karena selalu tidak pernah berhasil menguasai masyarakat Jabar yang religius. Namun hasilnya apa?, sangat tidak banyak elit-‐elit politik nasional selanjutnya yang lahir benar-‐benar dari kesejarahan budaya Sunda dari keloyalan terhadap bangsa ini. Fenomena terisinya sebagian besar kursi di DPRD Jabar oleh kelompok mukimin, memperkuat dugaan bahwa masyarakat Sunda “tidak pandai berpolitik” namun tetap sebagai “pendukung politik potensial”. Jelas gambaran itu tidak menggambarkan penguasaan resources yang elegant
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
72
ditengah kancah pergumulan kehidupan yang bernuansa kompetisi antar kelompok dalam masyarakat.
Hampir sulit saat ini menemukan figur nasional Sunda yang memiliki latar belakang kuat dengan perjuangan ki-‐Sunda. Wajar bila mereka kemudian tidak memiliki hutang sejarah dengan perkembangan budaya Sunda. Kalaupun ada, hanya elit-‐elit politik untuk skala lokal, yang nyaring bersuara kepentingan “Budaya Sunda” namun kecil akseptabilitas pada permasalahan akar rumput. Isyu-‐isyu kedaerahan sering dijadikan agenda politik, namun tidak pada implementasi kebijakan. Dalam bahasa sehari-‐hari mahasiswa, fenomena ini disebut “Lebih berciri retorika ketimbang realita”.
Hampir sulit dipahami keadaan di atas, bagaimana maraknya kehidupan pendidikan di Jabar, lembaga tinggi sipil (PTN maupun PTS) dan militer (Sesko-‐sesko) berwibawa ada disini. Alhasil anggaran pendidikan yang bergulir disini jelas berjumlah signifikan, namun hasilnya apa khususnya bagi ki-‐Sunda? Tamatan SD yang melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi masih di bawah 65%, tingkat pendidikan masyarakat Sunda pituin untuk pendidikan tinggi masih lebih rendah dari para pendatang, dlsb.Sampai saat ini jumlah investasi (PMA dan PMDN) di Jabar masih paling besar di banding daerah lain di Indonesia. Namun faktanya jumlah TKI (unskill) asal Jabar masih tetap dominan, backwash effect terhadap tabungan masyarakat Jabar juga masih tetap berjalan. Ironisnya tingkat pendapatan masyarakat, serta angka partisipasi tenaga kerja, masyarakat Sunda pituin di Jabar juga lebih buruk keadaanya di banding masyarakat pendatang.Ujung-‐ujungnya angka Indek Pembangunan Manusia Jabar berada di posisi yang tidak berwibawa, dibanding daerah lain di Indonesia. Bila patokan di atas digunakan, dimana tingkat kehidupan masyarakat Sunda pituin, lebih rendah dibanding masyarakat pendatang. Maka IPM urang sundapituin lebih parah lagi keadaanya.Data-‐data di atas, memberi
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
73
gambaran yang jelas mengenai lemahnya posisi bargaining power masyarakat Sunda dalam budaya kekuasaan. Serta terjadinya paradoksal antara potensi masyarakat Sunda dengan implementasi kebijakan publik bagi keuntungan masyarakat dan budaya sunda. Paradoksal itulah yang menyebabkan jurang kelompok akar rumput dengan elit politik lokal semakin menganga. Dan karena itu pula sering keputusan politik masyarakat bawah menyebabkan kekecewaan kelompok elit lokal.
Perubahan Budaya Kekuasaan
Komitmen reformasi serta semangat Indonesia baru, adalah momen yang tepat untuk mengkoreksi persepsi masyarakat Sunda dalam mengapresiasi budaya kekuasaan. Budaya kekuasaan yang bernuansa ramah, toleran, dan insklusive; seyogyanya segera dipertimbangkan kembali. Pandangan hidup orang sunda terhadap kekuasaan, adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan pandangan hidup orang sunda dalam mengejar lahir batin (Yus Rusyana,dkk.,1989). Secara umum, pandangan hidup orang Sunda dalam mengejar lahir batin telah banyak bergeser dari pola lama. Hal ini banyak disebabkan oleh pengaruh dinamika kebudayaan, baik dari dalam maupun dari luar. Maka dalam konteks budaya kekuasaan, ruang perubahan paradigma politik masyarakat sunda harus pula dibuka selebar-‐lebarnya.
Hampir sulit membayangkan hadirnya sebuah eksistensi tanpa keseriusan yang berarti dalam mengelola potensi politik yang dimiliki. Dalam konteks kekinian masyarakat Sunda, prasyarat untuk itu adalah mengubur stigma politik dalam wacana budaya masyarakat. Kemudian perlu dilakukan pula upaya memobilisasi partisipasi kelompok-‐kelompok kepentingan dalam satu irama kerja yang harmonis. Jelas membutuhkan waktu untuk proses, namun harus segera di mulai.Secara generik, budaya Sunda memiliki karakteristik egalitarian sebelum terganggu dengan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
74
masuknya pengaruh budaya “mataraman” ke dalam struktur sub-‐kultur Priangan. Ini potensi yang besar untuk terjadinya mobiliasi horizontal, maupun menanamkan nilai-‐nilai demokratisasi. Fenomena ini di satu sisi, memberi angin segar untuk munculnya potensi partisipasi, namun di sisi lain akan menggugat budaya kekuasaan yang sudah berjalan selama ini yang bakarakter paternalistik yang cenderung membawa harmonisasi dalam kehidupan masyarakat sunda. Sebuah pilihan sulit, namun harus diputuskan. Semoga.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
75
Sikap Politik Paguyuban Pasundan
Pertama-‐tama mengucapkan terima kasih atas dinamika wacana yang terjadi dimasyarakat atas peran Paguyuban Pasundan dalam kancah perpolitikan nasionalsaat ini. Hal itu, antara lain sebagaimana direpresentasikan oleh tulisan Kang IipD.Yahya (IDY) dan Kang Ijang Faisal (IF) di HU Pikiran Rakyat beberapa waktu yang lalu.Tuntutan peran politik Paguyuban Pasundan yang lebih bernas, juga kerap terjadi sepanjang perjalanansejarah 100 tahun terakhir ini. Hal ini sangat wajar bila dilihat dari akar kesejarahanPaguyuban Pasundan, yang bercorak perjuangan eksistensi masyarakat sunda pada kehidupan budayadalam konteks yang luas, sebagaimana yang dilansir oleh IDY dalam tulisannya. BagiPaguyuban Pasundan sendiri, kiprahnya dalam dunia pendidikan, ekonomi, hukum, dan berkesenianpada hakekatnya merupakan perjuangan politik ki-‐Sunda yang berdimensi internal daneksternal. Walaupun banyak pihak sering meminta lebih dari itu, diantaranya harapan Paguyuban Pasundan memasuki ranah politik dalam konotasi kekuasaan sebagaimana yang di“gugat”oleh IF.
Paguyuban Pasundan tidak mungkin apolitis dalam pengertian kedua, oleh sebab itu jauh-‐jauh hari sebelum kampanye pileg tahun ini, mendorong para kadernya untuk terlibat aktif dalam perhelatan politik melalui partai manapun. Lebih jauh dari itu, secara gamblang menyodorkan lima (5) nama yang dianggap layak untuk terlibat dalam tampukkepemimpinan nasional, yakni Ginandjar Kartasasmita, Akhmad Heryawan, TB Hasanudin, Rhoma Irama, dan Jumhur Hidayat. Walau tidak sedikit para pemangku kepentingan menanyakan kemunculan nama-‐nama tersebut yang terkesan ujug-‐ujug. Terutama kemunculan nama Rhoma Irama. Tetapi dapat dijelaskan bahwa itu merupakan hasil “konvensi budaya” yang dilakukan setelah mengamati wacana publik melaluimedia massa. Maka saat merebak wacana “Rhoma Effect” pada hasil pileg PKB baru lalu, bagi kalangan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
76
internal Paguyuban Pasundan itu sama sekali bukan kejutan.
Sejujurnya Paguyuban Pasundan lebih tertarik untuk terlibat dalam kancah berfikir politik pada artian luas. Maka berkaitan dengan itu, seluruh Paguyuban Pasundan menghormati dan mengucapkan selamat kepada seluruh caleg dari partai manapun yang telah dinyatakan syah sebagai wakil rakyat dan daerah, khususnya pada caleg terpilih yang memiliki keperdulian terhadap pelestarian dan pengembangan budaya dan masyarakat Sunda; dari manapun dia berasal. Bagi Paguyuban Pasundan hasil itu bukan kebetulan, namun hasil proses kerja budaya yang melibatkan kinerja intelektual dan emosional masyarakat pemilih sebagai refleksikebutuhan jaman. Masalah penting selanjutnya, adalah bagaimana hasil kerja yanglalu menjadi modal utama dalam proses perubahan budaya yang lebih substansial kedepan. Dan masyarakat Sunda, serta budayanya, berperan penting di dalam perubahanitu (ngigeulkeun jaman) melaui wakil-‐wakilnya.
Berkaitan dengan itulah, maka dalam rapat yang diadakan 23/4 2013 diputuskan sikap politik, setelah melihat kondisi masyarakat khususnya paska reformasi yang telah berjalan 16 tahun terakhir ini. Sikap itu adalah. Pertama, Agar UUD 1945 hasil amandemen ditinjau kembali, karena pada beberapa bagian penting konstitusi kita telah menciptakan potensi keadaan yang mengancam paham dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni hilangnya faham kebersaman atas dasarkekeluargaan. Demokrasi barat berdasar pada liberalisme dan individualisme telah meracuni kearifan budaya nasional yang berciri silih asih, asah, dan asuh. Sehingga kini berkembang budaya pragmatisme, hedonisme, dan transaksionalisme yang mengancam budaya luhur secara masif.
Kedua, pentingnya penguatan Pancasilasebagai ideologi negara melalui kehadiran metodologi yang mendorong lahirnyakompatibilitas
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
77
produk perundang-‐undangan yang sesuai dengan tujuan dan nilai-‐nilai Pancasila itu sendiri. Pemerintah yang akan datang seyogyanya proaktif untuk menyusun metodologi yang dimaksud agar ideologi bangsa benar-‐benar bisa hadir dalam setiap kebijakan pembangunan.
Ketiga, penyehatan kehidupan ekonomi nasional melalui upaya mengembalikan marwah demokrasi ekonomi sebagai mana yang dicita-‐citakan para pendiri bangsa, yakni ekonomi nasional yang berkarakter Pasal 33 UUD 1945 yang asli. Pasal 33 UUD 45 amandemen (baca UUD 2002) telah memberi ruang tak berbatas untuk penguasaan sumberdaya nasional untuk kepentingan luar dan meninggalkan ketidakadilan yang cukup dalam. Konsideran dari konstitusi baru itu, menampung faham liberalisme, dengan ciri yang menonjol, padapengutamaan pemodal kuat. Pemempatan modal sebagai “sentral-‐substansial” sangat keliru, karena seharusnya yang berposisi sebagai sentral-‐substansial itu adalah rakyat. Saat ini tidak bisa membedakan lagi mana yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak; dengan kepentingan pemilik modal. Efisiensi ekonomi telah mengusir rakyat kita dari tanah tumpah darahnya sendiri, yang pada akhirnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, hanya bersifat fatamorgana.
Keempat, perlu adanya kerja kolektif bangsa untuk membenahi kerancuan sistem pendidikan nasional yang selama ini membuat kemandegan dan keterasingan generasi muda kita dalam lingkungannya. Pendidikan agar dijadikan titik sentral dalam pembangunan nasional/daerah. Realitas pendidikan saat ini sudah sangat berkarakter kapitalisme dan bertandar pada faham barat. Dalam artian, liberalisme pendidikan telah menciptakan kolonialisme baru (dominasi hegemoni, ideologi dialektika,materialisme, atheis dan sekuleristik) yang membuat peserta didik asing dengan budaya dan cita-‐cita bangsanya sendiri. Kelima, agar pemerintahan baru menjadikan komite pemberantasan korupsi (KPK)
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
78
lebih kuat lagi. Saat ini faktor-‐faktor etika dan moral yang secara langsung maupun tidak langsung ditunjukan oleh para elit politik, seperti pemerintah beserta birokrasinya, serta terakhir adalah mentalitas pengusaha Indonesia; sudah tidak bisa ditangani dengan cara biasa. Penguatan KPK seyogyanya sejalan pula dengan upaya reformasi sistem penegakan hukum secara luas, sehingga ke depan upaya pemberantasan korupsi menjadi agenda bersama para penegak hukum dalam membangun pemerintah yang bersih dan berwibawa. Keenam, menghimbau segenap warga Paguyuban Pasundan di seluruh wilayah, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk tampil aktif mendorong putra-‐putri bangsa terbaik yang mampu menyelesaikan masalah bangsa untuk memimpin bangsa ini lima tahun mendatang, dengan mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa demi terjaganya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan sikap politik Paguyuban Pasundan di atas, tentu tidak akan memuaskan semua pihak, terutama yang menghendaki Paguyuban Pasundan tampil sebagai boldozer untuk kepentingan yang lebih praktis. Alasan legal normatif sebagaimana diungkap IDY memang menjadi kendala, namun lebih dari itu harus disadari bersama, perjuangan budaya merupakan perjalanan panjang yang harus menembus lapisan-‐lapisan waktu sehingga membutuhkan daya tahan yang kuat, dan nafas yang panjang, serta kerja kolektif yang disusun secara sistimatis di atas kepatutan, dan kearifan budaya. Senyatanya pula masyarakat Sunda di akar rumput tidak statis atau terus bergerak sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Gerakanya cenderung ekplosif, malahan akseleratif, dan kerap susah diduga. Kecenderungan ini sering di luar jangkauan pemikiran kelompok elit dan politisi kahot sekalipun. Cag ah.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
79
Visi Ekonomi Kerakyatan Para Capres
Sejujurnya harus diakui visi dan misi ekonomi kerakyatan sebagai dasar kemandirian ekonomi yang dibuat oleh kedua pasangan capres/cawapres, yang tertuang dalam Nawa Cita (Jokowi/JK) dan Agenda Nyata (Prabowo/HR); tidak menunjukkan hal yang luar biasa dan baru sama sekali, malah cenderung miskin terobosan. Namun bagaimanapun hal ini harus diapresiasi -‐ sebagaimana sering penulis kemukakan dalam sepuluh tahun terakhir ini-‐ ekonomi kerakyatan seolah hampir dilupakan dalam ingatan para pejabat publik terutama pada tahapan mplementasi. Kedua konsep tersebut mencoba menjawab tantangan perekonomian yang berimbas pada kesejahteraan rakyat, hal ini tepat, karena selama ini ekonomi kita ditandai paradoksal makro ekonomi dengan mikro ekonomi. Disatu sisi indikator makro tumbuh luar biasa di sisi lain sektor ril cenderung stagnan, karena pertumbuhan dipompa oleh konsumsi bukan produksi. Ditengah harapan kembalinya ekonomi konstitusi yang asli, dan membaiknya kesejahteraan rakyat untuk lima tahun mendatang, bangsa ini patut mempertanyakan kesungguhan dalam mewujudkan visi dan misi itu. Setidak-‐tidaknya ada tiga kekhawatiran yang mendasari pertanyaan itu.
Pertama, Jusuf Kala (JK) atau Hatta Rajasa (HR) yang akan menjadi nakhoda perekonomian dalam lima tahun ke depan, tidak cukup memberi keyakinan untuk mampu mewujudkan harapan tersebut. Seolah telah menjadi karakter keduanya dalam keikutsertaan menjalankan roda perekonomian nasional selama masa reformasi ini. Program BLT yang digagas JK bukanlah ide yang baik dalam membangun karakter kemandirian, dan jauh panggang dari api untuk membangun UMKM yang tangguh dan berdaya saing. Demikian pula program MP3EI yang dibidani HR, lebih cenderung memompa pertumbuhan ketimbang memperhatikan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
80
pemerataan. Sulit dibayangkan komiten HR dalam mewujudkan agenda pembangunan ekonomi kerakyatan yang berbasis kemandirian tanpa memasukan kelembagaan ekonomi yang sesuai. Dokumen percepatan ekonomi yang digagas HR dalam lima tahun terakhir ini, tidak ada satu kata pun memasukan koperasi didalamnya.
Kedua, membangun kemandirian ekonomi di tengah ketergantungan sistem produksi nasional kepada asing, disertai oleh membengkaknya utang luar negeri lebih dari dua kali lipat sejak kejatuhan orde baru. Menyebabkan beberapa pihak beranggapan, konsep kemandirian sebagai nasionalisme yang absurd. Sekian lama dunia industri kita -‐sisi suply dan sisi demand-‐ dibiarkan tergantung pada impor secara akut dan masif. Nilai impor pada 10 produk unggulan tumbuh lebih cepat dari ekspor dan realisasi produksi dalam negeri. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa untuk melaksanakan komitmen ekonomi karakyatan sebagai basis kemandirian ekonomi membutuhkan metodologi dan pendekatan yang baru dan tidak bisa mensadarkan diri pada teori-‐teori yang ada saat ini. Bila ini tidak terpenuhi, maka visi, misi, dan program ekonomi kerakyatan para capres, tidak lebih tidak kurang, hanya sebagai janji politik biasa saja.
Ketiga, sangat sulit merubah paradigma pembangunan ekonomi nasional bila sandaran konsitusinya masih pada pasal 33 UUD 2002 (amandemen). Kehadiran pasal 4 dan juga pasal 5, telah membuka hadirnya ekonomi pragmatisme yang berpotensi menghilangkan kedaulatan ekonomi rakyat. Pasal 4 mengisyaratkan pentingnya ekonomi nasional yang mengedepankan efisiensi, sejauh ini diinterpretasikan oleh para penyelenggara negara sebagai alat pembenar bagi kebijakan impor. Misal, impor kedelai jauh lebih mudah, murah, dan menguntungkan ketimbangmenggerakan rakyat untuk memproduksi kedelai. Kita tidak punya banyak pilihan dalam menghadapi serangan globalisasi ekonomi, namun kekayaan terbesar yang masih kita miliki saat ini adalah kekuasaan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
81
untuk menetapkan nasib bangsa ini ke depan.
Penulis beranggapan ada beberapa hal untuk dipertimbangkan membangun ekonomi kerakyatan dalam jangka panjang untuk akhirnya membangun kemandirian ekonomi yang lebih masif. Pertama, kembalikan rumusan awal pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasan sebagai ruh perjuangan kemandirian ekonomi bangsa. Kedua, membangun ekonomi kerakyatan sebagai kemandirian ekonomi perlu disertai dengan upaya perkuatan lembaga dan kelembagaan ekonomi berazas kemandirian. Kembalinya pasal 33 beserta penjelasannya akan mengembalikan marwah koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat, yang secara empiris di negara manapun mampu mengangkat harkat dan martabat usaha mikro, kecil dan menengah. Ketiga, pemerintah harus menentukan program prioritas yang memiliki daya ungkit bagi tumbuhnya ekonomi rakyat, seperti infrastruktur, pembiayaan usaha, dan birokrasi. Ketiga hal itu, selama ini membuat usaha ekonomi rakyat menjadi tidak kompetitif. Keempat, perlu pengembangkan riset perekonomian nasional yang berbasis kemandirian. Untuk mengimplementasikan konsep itu membutuhkan pijakan yang kokoh didasari oleh teori yang gayut. Kelima, Pentingnya peta jalan Pembangunan Ekonomi Nasional Berbasis Kemandirian yang mampu dijalankan bersama oleh penyelenggara negara di pusat maupun di daerah. Peta jalan ini benar dibuat secara partisipatif oleh pemangku kepentingan. Sehingga setiap pihak memiliki keterpanggilan untuk menjalankan konsep ini tanpa melihat sekat kepentingan partai dan kelompok. Keenam. Upaya membangun ekonomi kerakyatan, dan juga kemandirian, lebih banyak sebagai upaya merubah mindset bangsa. Asumsi dasar untuk itu adalah terbangunnya spirit pemberdayaan di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, perlu didorong skema program pembedayaan masyarakat yang mebangkitkan inisiatif dan kreativitas masyarakat.
Implementasi komitmen membangun ekonomi kerakyatan sebagai
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
82
basis kemandirian dalam lima tahun ke depan akan menetukan, apakah kita akan tetap menjadi pasar produk negara lain, dan rakyat kita tetap menjadi buruh dengan upah murah dalam sistem ekonomi yang samasekali kita tidak memahaminya. Walahualam.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
83
Menunggu Jokowinomics
Tanpa ingin merecoki proses politik yang tengah berjalan khususnya pada pasca pilpres. Tanpa juga bermaksud membuat lebih galau para pihak yang terganggu dengan kinerja kabinet Jokowi. Tulisan ini hanya ingin mengembalikan ingatan pubik terhadap pentingnya perikehidupan ekonomi yang berkeadilan sebagaimana diamanatkan oleh para pendiri bangsa. Dimana tugas penting negara dalam urusan ini, adalah melaksanakan diktum, “perekonomian disusun.....”. Sementara ini perekonomian kita saat ini bernuansa, perekonomian “tersusun” oleh sistem pasar yang sangat tidak berkeadilan.
Istilah –nomics berkembang tahun 80-‐an di Amerika, menggambarkan pemikiran ekonomi yang merefleksikan kebijaksanaan ekonomi yang ditempuh oleh Ronald Reagan, Presiden AS pada waktu itu. Dalam perkembangan pemikiran pembangunan ekonomi nasional yang terkenal adalahWidjojonomics, dan Habibienomics. Atau diluar negeri pun dikenal selainReagenomics, juga dikenal Thaksinomics di Thailnad, dan Mahathirnomics yang selanjutnya dikenal new deal economics. Widjojo Nitisastro peletak fundamen ekonomi masa orde yang dikenal sebagai penganut keynesianism dari Bekeley menekankan pentingnya optimalisasi sumber daya alam dengan tata kelola bersama antara intervensi pemerintah dengan mekanisme pasar. Hasilnya cukup lumayan antara lain swasembada pangan, negara kita masuk dalam jajaran “macan Asia” di bidang ekonomi, dan akselerasi pendapatan nasional. Walau sementara pihak beranggapan bahwa salah satu pemicu pertumbuhan ekonomi karena dipicu “bom minyak” di awal tahun 70an. Dan akhirnya di penghujung abad lalu, Widjojonomics kandas karena wabah korupsi dan kolusi.
Habibienomics yang meneruskan ide Soeharto dengan adagium, “siap, tidak siap kita harus masuk era globalisasi”. Mengkoreksi pemikiran
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
84
Widjojo, yang mensandarkan diri pada prinsip keuntungan komparatif (comparative advantage) dalam dunia industri dan perdagangan internasional. Habibienomics meninggalkan prinsip keuntungan komparatif menuju kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage). Implikasinya antara lain dalam memandang manusia, widjojonomicsmelihat tenaga kerja murah dan sumberdaya alam ditempatkan sebagai keunggulan komparatif. Sedang Habibinomics melihat manusia adalah unsur penting dalam pengembangan kompetitif bila dibekali tekhnologi. Sumberdaya manusia merupakan penghasil nilai tambah tinggi dan pencipta keunggulan bersaing. Walaupun yang kedua inipun kandas karena keterbatasan sumberdaya dana untuk memodali teknologi yang diusungnya.
Kini, walaupun tidak disebut SBYnomics, malahan sementara pihak menyebut dengan Hattanomics, karena hatta Rajasa dianggap sebagai desainer ekonomi saat ini. Pada dasarnya kebijakan yang diambil meneruskan apa yang sudah dilakukan pendahulunya, maka hasilnya pun tidak jauh berbeda. Kenaikan pertumbuhan ekonomi serta beberapa indikator ekonomi makro lainnya relatif baik, namun sektor ril lambat bergerak. Memang ada penurunan angka kemiskinan namun belum mencapai target, malahan antara biaya pengentasan kemiskinan dengan penurunan angka kemiskinan kurang proporsional dibanding masa Soejarto. Kesenjangan ekonomi melebar, malahan lebih lebar dibanding periode-‐periode sebelumnya. Angka kedalaman kemiskinan juga meningkat, serta utang luar negeri dalam sepuluh terakhir ini naik cukup signifikan, mencapai angka dua kali lipat dari saat kejatuhan orde baru.
Mencari format kebijakan pembangunan nasional tanpa cela bukanlah hal yang mudah. Apalagi di tengah ketidakpastian ekonomi global, dan harus mengelola manusia dalam jumlah yang banyak dengan tingkat disparitas yang tinggi. Namun para pendiri bangsa sudah sangat tegas menunjuk arah untuk memajukan kesejahteraan umum dengan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
85
menggariskan pada pasal 33 dalam UUD 1945 non-‐amandemen beserta penjelasannya. Ekonomi Indonesia disusun sebagai usaha bersama berazaskan kekeluargaan, yang memberi makna pentingnya pembangunan cohessivenes bangsa dengan didasari oleh peran negara yang secara aktif ikut dalam proses penyusunan pencapaian kesejahteraan bersama. Dan pasal 33 UUD 1945 itupun menegaskan prinsip demokrasi ekonomi sebagai (a) dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, (b) kekeluargan sebagai asas, (c) peningkatan kesejahteraan rakyat dijadikan barometer berlangsung tidaknya proses demokrasi, (d) peran negara dalam pengelolaan sumberdaya strategis untuk kemakmuran rakyat.
Penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang murni pun menunjuk dengan jelas tentang wujud nyata dari badan usaha yang dimasud sebagai koperasi. Sementara orang di sekitar kita menganggap itu kuno dan tidak terbukti. Padahal fakta yang terjadi di negara-‐negara maju menunjukan kebalikannya. Contoh eksterim, RRC dengan tidak meninggalkan faham politiknya yang komunis dengan pengaturan negara yang ketat, namun faktanya bisa mengembangkan kehidupan ekonomi dengan sistem pasarnya yang lebih elegan dari kita. Demikian pula Singapura, Jepang, Perancis, Inggirs, bahkan di Amerika yang mentasdikkan sebagai negara kapitalis, namun koperasinya berkembang luar biasa. Sementara di sisi lain, negara kita saat ini telah bergulir amat jauh menjadi negara kapitalis tanpa tapal batas. Kini Jakarta menjadi kota yang memiliki mall terbanyak di dunia. Mall sebagai representasi pemodal kuat telah melindas usaha-‐usaha eceran rakyat sampai ke peloksok, dan membunuh eksistensi usaha rakyat. Demikian pula ekspansi lembaga keuangan dengan modal kuat kini menjadi mesin penghisap usaha koperasi di bidang ini secara pasti.
Kita berharap di masa depan perlu mengkoreksi secara total sistem pengelolaan kebijakan pembangunan yang berfihak kepada si kecil. Tapi mengapa Jokowinomics? Setidak-‐tidaknya ada tiga alasan kuat. Pertama,
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
86
pemikiran pembangunan yang bersandarkan diri pada kemandirian selaras dengan salah satu pemikiran Soekarno, yang mencita-‐citakan menjadi bangsa yang “berdikari di bidang ekonomi”. Artinya ketergantungan ekonomi karena alasan apapun termasuk globalisasi dan liberalisasi ekonomi, harus dihindari secara masif. Jokowi sebagai capres yang lahir dari proses kaderisasi partai yang kuat ajaran Bung Karno, tentu memiliki tanggung jawab idelogis untuk merealisasikan cita-‐cita kesejahteraan sebagaimana yang dipikirkan oleh sang proklmator itu. Partai ini masih memiliki hutang idelogis kepada konstituennya dalam urusan ini, saat Megawati dipercayai menjadi presiden banyak rakyat yang kecewa. Namun saat itu kondisi ekonomi kita sedang berada pada posisi tidak memilki banyak pilihan.
Kedua, Jokowi memiliki latar belakang kehidupan yang sangat mengenaskan di masa kecil, saat harus menghadapi kenyataan kapitalisasi membuat rumah kecil yang dihuni keluarganya harus digusur. Sebagai orang yang bukan siapa-‐siapa, orang tuanya mengais rejeki lewat usaha kecil yang terus merambat naik. Tentu bisa merasakan bagaimana ekonomi si kecil harus berhadapan dengan kekuatan pemodal yang kuat serta arogansi sistem perbankan kita yang belum berpihak. Upaya untuk menolak ide suatu bangunan milik pemerintah daerah dialihfungsikan sebagai mall di kota Solo adalah bukti keberpihakan, karena dia yakin kalau itu dilakukan akan menyebabkan ratusan atau bahkan ribuan pedagang kecil terpinggirkan. Walau upaya itu berbuntut hubungan tidak baik dengan pimpinan daerah di atasnya, dia terus konsisten dengan sikapnya. Demikian pula saat dia memindahkan pedagang kaki lima di Pasar Tanah Abang ke kios G, menurut pandangan penulis, ini bukan semata keamanan dan ketertiban semata. Namun lebih sebagai upaya mengangkat harkat derajat pedagang tak berlokasi menjadi penghuni kios yang lebih terhormat. Untuk itu dia menginisiasi pendirian koperasi pedagang di Blok G ini.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
87
Alasan terakhir, atau ketiga, Jokowi memiliki karakteristik kepribadian yang peduli terhadap rakyat. Sikapnya yang sahaja, hemat dan tidak meladeni berbagai pihak yang dengan terang-‐terang menyudutkan dengan berbagai isyu. Menunjukan kepedulian kepada orang kecil bukan hanya sekedar polesan pencitraan semata. Menurut penulis, sikap dasar ini penting karena akan menentukan konistensi tindakan dan kekuatan tekad untuk membela si lemah. Semoga.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
88
Menuju Pembangunan yang Inklusif
Fakta tingginya angka pertumbuhan ekonomi kita dewasa ini, yang diikuti oleh kenyataan tingginya angka kesenjangan ekonomi antara kelompok pendapatan dalam masyarakat, menyimpulkan adanya kesalahan dalam konsep pembangunan kita. Angka gini ratio yang dicapai saat ini merupakan angka terjelek sejak kita merdeka (0,41). Ini mengandung arti, bahwa agresivitas dunia usaha tidak berdampak kepada tingkat kesejahteraan kolektip masyarakat yang merupakan salah tujuan bernegara. Asian Development Bank (ADB) mencanangkan pentingnya kemajuan ekonomi yang dirasakan oleh semua komponen dalam masyarakat, dan melibatkan mereka juga dalam proses pencapaiannya. Oleh sebab itu ADB menganggap pentingnya pertumbuhan Inkkusif, dengan berpegang pada dimensi: (i) mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan yang akan menciptakan dan memperluas peluang ekonomi, dan (ii) menjamin akses yang lebih luas terhadap kesempatan ini sehingga anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari pertumbuhan (ADB,2010). ADB melaluii riset yang dilakukannya di tahun 2010, menemukan capaian skor Indonesia untuk itu hanya 4,40 dari kemungkinan skor 10 dengan predikat “which is only marginally satisfactory”.Keadaan tersebut seyogyanya menjadi catatan penting bagi para pihak yang terlibat dalam pembangunan ekonomi. Bila tidak, dalam era pasar bersama ASEAN 2015, kita hanya akan berposisi sebagai pasar bagi produk barang dan jasa negara tetangga kita. Sangat sulit pengusaha lokal kita bersaing dengan pengusaha negara jiran dengan berbagai kelebihan fasilitas usaha yang disediakan melalui kebijakan pemerintah dan perbankannya, serta dukungan riset kelompok cendekia yang memadai.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
89
Patut diakui saat ini sinergitas antar kelompok pelaku pembangunan kita masih sangat lemah. Di satu sisi banyak regulasi yang justru menghambat laju dunia usaha serta berdampak negatif terhadap iklim usaha. Contoh kasus, munculnya kebijakan UMR yang dilakukan tanpa koordinasi yang tuntas dan membebani pengusaha. Kebijakan yang kurang bijak ini, secara statistik mengangkat sebagian kelompok masyarakat dari kemiskinan, namun di sisi lain angka keparahan kemiskinan semakin tinggi pula. Karena angkatan kerja setengah menganggur menjadi penganggur permanen sebagai akibat ketidakmampuan pengusaha untuk memberi insentif sesuai ketentuan. Demikian pula di sisi lain. Cost efectiveness yang dijalankan pengusaha banyak berdampak buruk pada lingkungan dan kearifan lokal dalam masyarakat. Perilaku buruk pengusaha yang hanya mengais keuntungan kerap menciptakan biaya tambahan pembangunan yang berdimensi luas, termasuk memburuknya mental aparat birokrasi. Dan diujung lain, triliunan rupiah setiap tahun uang rakyat digunakan untuk riset para akademisi, yang sebenarnya dapat mengurai secara jernih permasalahan di atas dan membantu solusinya, tetapi hasilnya hanya berujung di tumpukan perpustakaan dan jurnal ilmiah semata.
Jawa Barat dengan keuntungan strategis berupa tingginya investasi nasional yang tertanam disini, kemudian kinerja pengusaha lokal yang cukup memadai, serta dukungan reputasi perguruan tinggi terbaik di Indonesia; seyogyanya bisa turut mendorong pemerintah daerah menciptakan daya saing ekonomi yang lebih baik. Melihat potensi yang ada, bila dilakukan pengamatan perkomponen daya saing, “negara” Jawa Barat tidak harus kalah bersaing dengan Malaysia, ataupun Singapura. Namun faktanya saat ini, bila Jawa Barat diasumsikan sebagai sebuah negara, skor daya saingnya masih di bawah skor nasional. Faktor penyebabnya adalah posisi sumberdaya manusia masih dirasakan sebagai liabilities ketimbang sebagai aset. Ini mengandung makna, bahwa pembangunan ekonomi Jawa
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
90
Barat ke depan mutlak melibatkan potensi lokal yang optimal, dengan didasari oleh penjelasan nalar yang benar dan prospektif.
Kondisi di atas membutukan sinergi antar pemangku kepentingan. Sinergi pembangunan yang perlu dilakukan oleh para pemangku kepentingan Jabar, antara lain melalui (1) dialog dengan pengambil kebijakan maupun dunia usaha untuk menanggapi isu dan kebijakan ekonomi yang berkembang baik di tingkat global, nasional maupun regional yang berimbas langsung kepada Jawa Barat, (2) kajian-‐kajian dan memberikan saran-‐saran terhadap isu dan kebijakan yang memiliki dampak strategis bagi pembangunan ekonomi dan bisnis di Jawa Barat, (3) menyampaikan hasil kajian dan hasil diskusi kepada masyarakat melalui media massa, (4) memberikan masukan pada pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi kepentingan ekonomi dan dunia usaha di Jawa Barat. Dengan demikian tidak akan terjadi duplikasi peran baik dengan Bappeda, Kadin, maupun lembaga lain yang ada sebagai konstributor serta pelaku pembangunan ekonomi yang sudah ada.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
91
Filosofis Kepemimpinan Madani
Seseorang berdiri di bibir pantai melihat jauh ke depan, selepas mata memandang yang dilihatnya hanya laut biru. Pada saat-‐saat tertentu tapi pasti, debur ombak pecah di muka bibir pantai. Ia tahu jauh nun disana terdapat sebuah daratan yang penuh keindahan dan kaya dengan potensi alamnya. Sebagai seorang yang memiliki pandangan jauh ke depan, ia amat besar keinginannya untuk sampai ke pulau harapan itu. Yang ia lakukan kemudian adalah berusaha untuk memperoleh perahu, membuat atau mencari tumpangan perahu, kalau proses menuju ke tujuan itu ingin lebih cepat maka ia harus memiliki perahu dan kendali kapal sepenuhnya ada pada dirinya.
Untuk perjalanan yang panjang dan penuh rintangan, dia harus mempersiapkan perahunya yang kuat, jika perlu melengkapi kapalnya dengan alat navigasi yang canggih. Demikian pula dia harus melengkapi kapalnya dengan anak buah kapal yang cekatan dan memiliki komitmen yang sama dengannya. Sepanjang perjalanan itu dia harus berhadapan dengan kenyataan, terpaan angin yang kadang-‐kadang berubah yang berdampak terhadap pada besarnya dan karakteristik ombak yang datang menerpa perahunya. Oleh sebab itu, dia harus cekatan menugaskan anak buah kapal untuk menurunkan dan menaikan layar perahunya, serta menugaskan anak buah yang lainnya untuk membuang air yang masuk ke dalam perahu. Sebagai nakhoda yang baik, ia pun harus tahu kapan mesin kapalnya harus dikontrol sehingga tetap terjaganya sampai perahunya merapat di pulau harapan, membawa penumpang kapal dengan selamat dan sama-‐sama menikmati kelebihan pulau harapan itu.
Pada dasarnya ia, adalah seorang pemimpin. Dan perahu yang harus ia siapkan dan dijaga selama perjalanan, merupakan analog dari sebuah
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
92
organisasi. Produk akhir seorang pemimpin adalah kondisi dimana semua penumpang perahu merasa senang saat tiba di pulau harapan. Untuk itu, ia harus merumuskan lebih dahulu tujuan yang ingin dicapai, serta menjelaskan strategi yang akan diambil, termasuk memberi komando kepada anak buah kapal itu untuk membuang sauh atupun memasang layar; apa yang ia kerjakan itu pada dasarnya, adalah manajemen.
Dengan analogi itu, saya ingin memberi gambaran tentang, (a) organisasi, manajemen, dan kepemimpinan merupakan paket dalam sistem pencapaian tujuan sebuah kelompok, (b) pemimpin yang buruk –seberapa canggihnya pun kapalnya-‐ memiliki resiko yang besar terhadap goncangan ombak, kapal akan terombang-‐ambing di tengah lautan. Ini terjadi karena nakhodanya tidak memiliki komitmen dan kapasitas yang cukup untuk mengendalikan kapal.
Kepemimpinan yang baik akan sangat tergantung pada pemimpin yang baik pula. Artinya sistem kepemimpinan akan lekat dengan kualitas orang yang memimpin. Pemimpin berkarakter Abu Bakar Sidiq senantiasa dalam masa kepemimpinannya menampilkan kinerja yang baik, bertanggung jawab, professional, dan menjadi panutan; tipe seperti ini akan banyak dikenang orang karena kebaikannya. Pemimpin berkarakter Abu Jahal, senantiasa dalam hidupnya tidak lepas dari kemungkaran, jahil, dan berlaku tidak adil; tipe seperti ini senantiasa dikenang orang karena kezolimannya. Sedang pemimpin berkarakter Abu Nawas, senantiasa dalam hidupnya penuh senda gurau, canda, dan tawa; tipe seperti ini membuat lingkungan kerja menjadi cair tidak ada sekat yang membuat komunikasi tersumbat.
Paparan di atas dimaksudkan untuk memberi penekanan pada pemahaman, bahwa kepemimpinan adalah luaran dari sebuah proses memilih. Bila prosesnya berjalan baik, maka hasilnya dapat dipastikan akan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
93
baik pula. Tapi bila prosesnya dipenuhi dengan intrik, pembelian suara, intimidasi, rekayasa dukungan; maka hasilnya bisa dipastikan akan meninggalkan persoalan dikemudian hari. Dan akan menentukan tingkat keterterimaan konstituen terhadap pemimpinnya. Saya mempunyai tesa tentang hirarki keterterimaan konsituen terhadap pemimpinannya.
Pemimpin pada tingkatan awal minimal bisa diterima, terlepas pada prosesnya khalayak dilibatkan atau tidak, terlepas pula saat proses pemilihan khalayak merasa memilih atau tidak; faktanya khalayak suka atau tidak suka menerima seseorang sebagai pemimpin karena “tekanan” legalitas. Contoh pada tingkatan ini, adalah pada kepemimpinan sebelum adanya pemilihan langsung, atau pada pimpinan unit kerja yang ditetapkan melalui surat keputusan pihak otoritas.
Pada tingkatan kedua, apakah pemimpin itu bisa dipercaya atau tidak. Dalam arti diterimanya pemimpin oleh kelompok khalayak harus dimanfaatkan oleh pemimpin untuk membangun kepercayaan dari khalayak anggota kelompok. Kepercayaan bisa timbul karena komitmen dan ide pemimpin yang baik, bisa juga percaya pada ketangguhan pimpinan menghadapi goncangan pihak yang kontra. Membangun kepercayaan sangat tergantung seberapa mampu si pemimpin meyakinkan khalayak melalui tampilan, (a) moralitas, (b) kecerdasan, (c) phisik. Tampilan moralitas merupakan ukuran dasar untuk menumbuhkan kepercayaan. Bagi khalayak yang memiliki latar belakang budaya timur yang religius, tampilan ini sangat penting dan menentukan untuk tumbuhnya kepercayaan pada anggota kelompok. Tampilan kecerdasan, memiliki peran penting untuk tumbuhnya kepercayaan khususnya pada kelompok khalayak yang memiliki karakteristik terdidik. Sedang tampilan phisik dapat menciptakan kepercayaan khalayak, khususnya pada ketangguhan, daya tahan, dan kesehatan. Contoh kepemimpinan tingkat ini, misalnya muncul saat bangsa Indonesia mempercayai Soeharto sebagai
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
94
Presiden RI selama 32 tahun. Rakyat yakin setiap upaya menggoyah tidak akan berhasil, maka rakyat apatis.
Pada tingkatan ketiga, bila pemimpin telah dipercaya sebaiknya meningkatkan diri menjadi pihak yang diikuti. Walaupun pada masyarakat demokratis kebenaran tidak selamanya berasal dari pimpinan, akan tetapi pemimpin mutlak memberi inspirasi dan paluang untuk tumbuhnya suasana kreatip. Pemimpin yang diikuti oleh khalayak yang dipimpinnya, adalah mereka yang mampu memberi kemaslahatan baik bagi organisasi, maupun anggota kelompok secara parsial. Oleh sebab itu, pemimpin mutlak memahami kebutuhan khalayak yang dipimpinnya. Dan dengan kesungguhan hati serta kesediaan untuk bekerja keras berusaha memenuhi kebutuhan kolektip khalayak, maupun kebutuhan yang lebih parsial lagi. Walaupun untuk diikuti oleh khlayaknya, seorang pemimpin bisa melakukan dengan pemaksaan, kekerasan, atau rekayasa infromasi. Itulah pentingnya komunikasi sosial pemimpin dengan khalayaknya, pemimpin yang mampu berkomunikasi baik dengan khalayaknya, adalah mereka yang berpotensi untuk mengetahui kebutuhan organisasi dan khalayaknya. Contoh pemimpin pada tingkatan ini, misal pada Musolini, Nepoleon, Stalin, ataupun Presiden AS Bush.
Tingkatan keempat, pemimpin yang dicintai oleh khalayaknya. Pemimpin pada tingkatan ini, adalah mereka yang berhasil memunculkan keperdulian dan emphaty yang pada akhirnya menimbulkan rasa tentram dan harapan yang lebih baik bagi khalayak. Implikasi perilaku, dari mulai memberi senyum, menepuk pundak, menengok saat musibah, sehingga inner beutiful muncul dengan keikhlasan tanpa kepura-‐puraan. Keikhlasan berbuat terbaik bagi siapapun secara adil, akan diapresiasi oleh khalayak anggota dengan rasa cinta dengan kesedian untuk berbakti kepada pemimpin secara ikhlas pula. Keberadaan pimpinan menjadi inspirasi, ketiadaanya menjadi munculnya rasa kehilangan bagi khalayak. Contoh
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
95
kepemimpinan tingkatan ini, yakni kecintaan masyarakat Jepang kepada kaisarnya.
Tingkatan kelima, adalah tingkatan dimana pemimpin ada atau tidak, hidup atau sudah tiada segala ajaran dan programnya tetap dijalankan oleh khalayaknya. Karena khalayak tidak terpaku oleh kehadiran phisik pemimpin. Mereka melaksanakan pesan dan petunjuk pimpinan dengan penuh kesadaran, bahwa itu baik bagi dirinya, baik untuk lingkungannya, dan baik untuk kelompoknya. Pemimpin seperti ini sudah mencapai tingkat tertinggi, karena yang ia tekankan bukan semata pada pesan pisik akan tetapi sudah jauh menyentuh pandangan hidup serta kemaslahatan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Khalayak mau mengorbankan apa saja untuk keagungan pemimpin beserta ajarannya. Contohnya, adalah pada kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.
Pada akhirnya unggul tidaknya pemimpin dapat dilihat dari, seberapa tepat ia mampu hadir dalam kelompoknya, dengan memberi
kemaslahatan bersama. Pemimpin yang sesungguhnya dihormati adalah pemimpin yang dihormati dan dihargai, saat ia masih ada dalam lingkungannya atau pun sudah tidak ada dalam tampuk formal kepemimpinannya.
P
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
96
Menyoal Kepemimpinan Sunda ke Depan
Seolah menjadi antiklimaks munculnya kasus yang melibatkan kepala SSK Migas beberapa tahun yang lalu, terhadap rindunya masyarakat sunda untuk melihat kader terbaiknya terlibat dalam pengelolaan negara. Memang belakangan ini semakin kuat aspirasi untuk tampilnya pemimpin nasional dari kelompok etnis kedua terbesar ini. Walaupun disadari akses kepada infrastruktur politik amat sangat lemah. Namun tetap diyakini, bahwa berdasarkan catatan sejarah, masyarakat sunda memiliki keunggulan lain, antara lain profesionalisme individual dan modal intelektual. Sejarah mencatat banyak tokoh sunda yang masuk melalui pintu tersebut. Mantan Kepala SSK Migas yang pituin Sunda, dia berhasil menerobos labirin elit nasional berkat profesionalisme yang teruji, boleh jadi tidak menggunakan kongkalingkong lobi partai politik. Dan boleh jadi pula, sangat sedikit elit sunda yang mengenalnya secara baik, sehingga saat terpuruknya seperti saat ini, tidak ada satupun elit Sunda yang berkomentar, dan merasa bersalah.
Biarlah ranah hukum yang akan menyelesaikan akhir kisah anak pelataran Gunung Galunggung tersebut. Budaya Sunda tidak pernah mengajarkan chauvinisme sempit; benar dan salah harus mendapatkan imbalan yang wajar. Senyatanya, terlalu kecil tingkah polah kepala SSK ini merepresentasikan manusia sunda secara keseluruhan. Kita pun tidak usah membuang energi dengan mendiskusikan adanya muatan politis, atau tidak, dalam urusan itu. Kalaupun harus berbuat, berdoalah semoga dia terbukti tidak bersalah. Doa yang sama juga untuk para tokoh lainnya yang tengah menghadapi masalah serupa. Dengan harapan, agar adanya kekhawatiran terjadi stigmatisasi terhadap cela integritas masyarakat sunda tidak melekat secara masif dan permanen.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
97
Namun dari perspektif yang lain, fenomena ini sangat menarik untuk dijadikan pelajaran berharga bagi siapapun yang berkepentingan dalam proses pembangunan manusia Sunda sebagai kader bangsa yang handal. Pada kasus yang dipaparkan di atas, kemunculan kader sunda dalam forum nasional karena kemampuan individu di atas rata-‐rata. Bukan hasil kerja kolektif komunitas budaya. Demikian pula tanpa mekanisme sistimatik rekayasa budaya yang sistimatis. Bagi penulis, hal ini mengindikasikan beberapa hal, antara lain.
Pertama, patut diakui bahwa pola rekrutasi dalam proses kaderisasi kepemimpinan yang dibangun para elit Sunda sejauh ini, masih belum efektif dibanding kerja parsial poros profesional. Maka kinerja kader lebih menampilkan nuansa profesional dengan berlatar budaya global yang pragmatis. Fenomena ini cenderung melahirkan kader yang apolitis bahkan kemungkinan asosial, dan relatif tidak punya beban sejarah kepada komunitas budaya. Kepekaan yang lemah secara politis dan kultural sering menyebabkan sang kader sekedar menjadi kuda troya semata bagi kelompok kepentingan pragmatis. Pandangannya pun lazimnya sangat pragmatis sesuai kaidah sistem ekonomi pasar yang mewarnai sebagian besar literatur yang ia baca. Patut diakui bahwa rekrutasi profesional modernitas hanya melahirkan menak-‐menak baru yang melihat jabatan sebagai kesempatan untuk meraih simbol kemajuan. Kaitan terhadap komunitasnya semata lebih didominasi oleh alasan romatisme nostaljik ketimbang sebagai kesadaran budaya. Malahan pada kasus-‐kasus tertentu, romantisme itu lebih berciri pragmentaris kemewahan. Simbol-‐simbol masyarakat hedonis menjadi ornamen kehidupan sunda baru, yang menggeser paham teu nanaon kunanaon dari perspektif kearifan budaya menjadi lebih bernuansa arogansi kekuasaan. Tanpa harus menyebut tokoh satu persatu, fenomena ini terus berulang, sejak negara ini mulai memasuki era pembangunan. Korban berjatuhan tanpa meninggalkan bekas apapun pada perilaku elit Sunda selanjutnya.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
98
Sebagai solusi, kaderisiasi yang dilakukan dalam membangun kelompok elit sunda baru, seyogyanya memasukan pendidikan politik sebagai bagian integral dalam pembangunan profesionalisme. Selain daripada itu, penting maknanya pendidikan budaya sebagai elemen strategis dalam pembentukan watak dan karakter calon pemimpin kita ke depan. Berkaitan dengan itu, maka keluarga dan lingkungan sekolah harus menjadi bagian tidak terpisahkan dalam proses pembangunan watak berbasis budaya. Pendidikan keluarga dan pendidikan persekolahan harus mampu menunjukan kembali indikator capaian kinerja hidup, berdasarkan kearifan budaya yang selama ini diyakini sebagai keluhuran budi. Perlu dijelaskan perbedaan substansial antara, manfaat dan maslahat.
Kedua. Kelembagaan masyarakat sunda perlu melengkapi alat kendali sosial terhadap kinerja elit yang tengah berkiprah. Hal ini menghindari kemungkinan resiko “nanggeuy di bongkokna” sebagaimana yang sering terjadi. Peran media massa serta kemajuan teknologi informasi bisa menjadi alat dukung untuk optimalnya mekanisme pengendalian sosial yang dimaksud. Kontrol sosial yang diikuti oleh sangsi sosial perlu dilakukan ketat, kritis, dan terus menerus diharapkan dapat menjadi pengendali perilaku menyimpang dari para pemimpin. Sikap ini bisa jadi antitesis dari budaya toleransi berlebihan dalam tradisi kita. tradisi pemaaf, cepat lupa, dan memaklumi kesalahan orang lain; pada dasarnya adalah baik. Namun akan lebih baik lagi, bila kita tidak perlu memaafkan, karena ia tidak berbuat salah secara sadar. Dan itu karena kita telah mengingatkan sebelumnya. Masyarakat Sunda memang tidak memiliki pranata seperti “banjar: di Bali, atau “keraton” di Jawa sebagai pranata pengontrol perilaku. Namun bukan berarti sama sekali tidak ada. Karena sebagai bagian dari masyarakat paternalistik, tentu kelembagaan “patron” itu pernah ada. Sebut saja sebagaimana puun dan jaro di kanekes sana. Tinggal sekarang masalahnya, bentuk seperti apa yang bisa kita wujudkan di masa kini.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
99
Ketiga. Tanpa harus kita menduplikasi sistem keparanataan yang telah punah secara fisik, niat untuk membuka ruang komunikasi verbal melalui berbagai media, seyogyanya harus terus diupayakan. Jujur saja, pola komunikasi yang sekarang berkembang cenderung elitis, searah, dan masih bernuasa budaya feodal. Orang muda harus banyak mendengar orang tua atau inohong berbicara. Semetara yang dibicarakan pun lebih banyak pengulangan, dan sudah tidak lagi menapak pada realita dan tuntutan kekinian. Sementara ruang publik lebih banyak dikuasai para pihak yang tidak menguasai tata krama dan kesantunan budaya dalam mengartikulasikan berbagai kepentingan. Dengan demikian, menurut hemat penulis, penting maknanya membuka saluran komunikasi secara egaliter untuk semua kelompok generasi dan strata sosial. Saat ini, masing-‐masing kelompok asyik berkomunikasi dengan bahasa dan dunianya sendiri. Dan masing-‐masing sudah merasa paling hebat sendiri. Tidak memiliki musuh bersama yang permanen yang harus dihadapi dengan semangat sabilulungan. Macetnya komunikasi antar kelompok, antar generasi, antar strata, antar sub kultur; menimbulkan kejengahan sosial di kalangan kaum muda profesional. Alih-‐alih terbangunnya sinergi, malah memunculkan adagium “mun hayang nempo urang sunda pasea, pek titah ngariung wae”.
Membangun kepemimpinan pada dasarnya adalah kerja budaya. Perlu persiapan, proses, dan perbaikan terus menerus tanpa henti. Kerja budaya ini harus dilakukan, bila kita ingin tetap ada. Kecuali kita beranggapan bahwa ketiadaan sama dengan ada. Edward W. Said, (Culture and Resistance, 2003: 159) menyatakan, Culture is a way of fighting against extincition and obliteration, atau kebudayaan adalah cara berjuang suatu bangsa untuk melawan kepunahan dan kemusnahannya. Wassalam
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
100
Pembunuhan Karakter dan Kekuasaan
Guliran demokrasi yang tengah kita jalankan saat ini sudah di luar akal sehat dan mengingkari etika pada budaya manapun. Tujuan jauh lebih menarik daripada proses yang dilalui. Bila ada jalan yang lebih pintas mengapa harus mengikuti jalur resmi. Adagium itu mewakili kecenderungan kita untuk memudahkan persoalan. Pragmatisme dalam menghadapi persoalan semakin menjerumuskan kita pada praktik menihilkan nilai kemanusiaan, antara lain dengan untuk mengurangi, menghilangkan, atau menistakan karakter seseorang atau lazim disebut character assassination (pembunuhan karakter) merupakan tindakan yang kurang berbudaya dan tidak dibenarkan oleh agama manapun.
Pembunuhan karakter dilakukan dengan sistimatis dan metodis dengan cara menyebarkan gibah, berita bohong, fitnah, maupun tekanan fisik, sampai pada pemusnahan jiwa. Dengan maksud merusak mental, reputasi, dan kepercayaan diri seseorang atau kelompok. Bentuk ekstrim dari pembubuhan karakreter bisa dicermati pada novel “The Odessa” atau “The Day of The Jackal”, novel karya Frederick Forsyth ini menceritakan pembantaian bangsa Yahudi oleh bangsa Jerman. Jutaan manusia disiksa, dibantai, dimasukkan kamar gas, ditelanjangi, dan dihinakan seperti binatang. Pembantaian dan penistaan yang berlangsung pada rentang waktu 1933-‐1945, memakan korban khususnya bangsa Yahudi. Kekejian itu bermaksud menghambat eksistensi bangsa Yahudi yang diprediksi memiliki potensi besar untuk menghalangi kejayaan bangsa aria (baca Jerman) di dunia.
Motif kekuasaan selalu menjadi pemicu munculnya fenomena pembunuhan karakter. Publik masih ingat konflik politik di Malaysia yang
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
101
menghantarkan Anwar Ibrahim ke jeruji besi dengan tuduhan melakukan sodomi. Peradilan yang dianggap melegitimasi pembunuhan karakter bagi lawan politik Mahathir Mohammad ini, tak ayal mendapat sorotan publik dan mengundang gelombang protes dalam negeri yang cukup masif. Di negara kita pun terjadi, misalnya saat penahanan Bung Karno di Wisma Yaso sampai menghembuskan nafas terakhir, bukan saja meruntuhkan rezim orde lama, tapi sekaligus kepercayaan rakyat terhadap kesaktian azimat revolusi yang merupakan marwah caracter national bulding yang dirintis sejak awal kemerdekaan.
Motif kekuasaan juga yang menyebabkan pembunuhan karakter terus berulang pada setiap rentang jaman dalam ragam skala. Seolah-‐olah kekuasaan lekat kaitannya dengan upaya menghilangkan eksistensi orang atau kelompok lain. Ketimbang menjadi pemicu munculnya budaya baru dengan karakter yang positif. Hal itu tidak terlepas dari berkembangnya budaya pragmatisme yang hedonistic yang kandung menghalalkan berbagai cara untuk meraih kekuasaan dan kesenangan duniawi tanpa mengindahkan norma-‐norma yang berlaku dalam masyarakat. Perilaku kebanyakan para politisi belakangan ini sudah sangat tidak wajar. Bahkan tidak tanggung-‐tanggung, kadang-‐kadang agama pun menjadi alat pembenar ketidakwajaran itu. Berbicara dengan nada jauh dari kesantunan, berisi hujatan dan tuduhan, yang sangat berpotensi membunuh karakter orang atau kelompok ketimbang beradu argumen untuk memberi jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi masyarakat. Atmosfir negatif itu menemui puncaknya saat menjelang pilpres kali ini. Seakan para politisi tidak belajar dari pengalaman sebelumnya, mereka lupa masyarakat diam-‐diam mengamati sepak terjang politisi yang selalu gagah berbicara dengan bahasa tinggi seolah tak bersalah dan melemparkan kesalahan pada pihak lawan. Politisi yang menurut Prof.Sahetapi “bermulut bau” itu, akhirnya banyak divonis masyarakat untuk tidak dipilih lagi pada pileg yang lalu.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
102
Pembunuhan karakter sering pula bersembunyi dalam ketidaksportifan, misal melalui penyebaran informasi pada akun palsu, atau sms (short massage service) gelap, malahan tidak tanggung-‐tanggung dengan menerbitkan media cetak bodong yang motifnya semata memfitnah lawan politik. Fenomena tersebut sebenarnya hanya balutan kepentingan politik sesaat namun dampak sosialnya sangat besar di tengah masyarakat.
Konflik sesaat antar elit itu berjalan karena dalam politik berlaku adagium ”tidak ada musuh dan kawan sejati, yang ada kepentingan sejati”, sekarang bermusuhan dulu bermesraan, dan sesaat lagi mereka minum kopi bersama, seolah tanpa bekas. Namun dampaknya di masyarakat akan sangat masif dan berjangka panjang. Berkaitan dengan itu maka masyarakat harus selektif menerima informasi, karena boleh jadi mereka hanya menjadi objek kepentingan sesaat. Militansi dan fanatisme sebaiknya bukan pada tokoh, tapi pada kepentingan yang lebih berdimensi luas.
Akhirnya, masyarakat pula yang bisa membedakan mana loyang dan mana emas. Mana yang benar-‐benar telah bekerja untuk kemaslahatan bersama-‐sama, mana pula yang hanya pandai beretorika dan bersandiwara untuk kepentingan kekuasaan. Penulis yakin, dari sekian banyak masyarakat yang telah berhasil dipengaruhi oleh kampanye hitam yang bernuansa pembunuhan karakter ini, masih lebih banyak lagi masyarakat yang sudah tidak mau lagi dibodohi oleh elit-‐elit politik yang selama ini berbicara “demokrasi” namun bergaya hidup jauh dari kebiasaan rakyat kita pada umumnya.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
103
Silaturahmi Nasional
Iedul fitri sering dijadikan momentum untuk bersilaturahmi oleh masyarakat kita secara turun temurun entah sejak kapan itu dimulai. Dan keniscyaan itu melahirkan budaya mudik yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari momentum lebaran oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Kemudian dengan motif yang sama, hahal bil halal pun digelar menjadi bagian ritual lebaran yang tidak pernah senyap, walau kerap menuai kontroversi di tengah masyarakat. Sebagai fenomena budaya, silaturahmi berenkarnasi dari waktu ke waktu, dulu menjelang lebaran masyarakat saling antar mengantar dari rumah ke rumah makanan khas lebaran, seperti ketupat, semur ayam dan lain sebagainy; kini tergantikan dengan budaya baru khususnya di perkotaan, yakni saling mengirim parsel atau kartu lebaran kepada kerabat, teman sekerja, mitra bisnis, dan orang yang layak dihormati. Bentuk-‐bentuk yang disebut terakhir itu bukanlah akhir dari silaturahmi, pada kelompok tertentu silaturahmi saat lebaran pun berkembang dengan semakin memasyarakatnya acara open house yang digelar secara bervariasi tergantung status sosial pihak pengundangnya. Kelak dikemudin hari bentuk-‐bentuk ini kemungkinan akan berubah seiring dengan berkembangnya teknologi informasi. Namun apapun bentuknya, esensi silaturahmi yang merupakan bagian penting dalam membangun kohesi sosial untuk menciptakan kehidupan bumi yang lebih baik, seyogyanya tetap diapresiasi tanpa mempermasalahkan apakah di “Arab”-‐nya berjalan seperti itu atau tidak, karena Islam diakui pada dasarnya rakhmatin lilalamin.
Silaturahmi menjadi bagian penting dalam konteks pergulatan sosial yang saat terakhir ini semakin panas dan penuh konflik, perjuangan kepentingan yang semakin agresif, ketamakan yang semakin merajalela, bodoh-‐jujur dan pintar-‐licik semakin sulit dibedakan; maka saat dimana semua pihak secara kolektif bersedia meminta dan memberi maaf
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
104
merupakan katup pendingin yang amat penting artinya untuk menjaga keseimbangan. Keseimbangan itu penting artinya, manakala kita berasumsi bahwa tidak mungkin konflik di tengah masyarakat di tekan sampai titik nol, dan ketamakan sebagai buah liberasm of capitalism tetap hidup sebagai pranata sosial masyarakat berkarakter “modern”. Uang dan kekuasaan menjadi motif dan sumber utama terciptanya disharmoni kehidupan dalam ragam implementasi instrumen dan variasi strata. Reformasi yang digadang-‐gadang sebagai insrumen menuju masyarakat yang lebih baik, ternyata meninggalkan berbagai dampak untuk terbukanya ruang disharmoni secara masif. Mobilitas vertikal yang setadinya terlaksana secara reguler, tertata, skematik sebagaimana pada masyarakat paternalistik berubah menjadi sarana pergulatan bebas dan terbuka, sebagaimana diisyarakatkan dalam faham dasar liberalism. Sehingga proses menuju ke arah itu menjadi penuh dinamika, penuh siasat, penuh romatika, bahkan penuh kesadisan. Buah kelaziman dari proses seperti itu adalah munculnya beragam konflik yang hampir setiap malam gunjingannya kita saksikan di televisi. Asumsi lain dari faham liberal adalah menempatkan hukum formal sebagai sarana efektif untuk mengatasi berbagai persoalan dari dampak kebebasan itu. Namun di tengah sakitnya sistem dan penegakan hukum, maka ruang konflik itu serta merta diserahkan pada mekanisme kultural yang kadang berada di ruang privat bukan lagi ruang publik. Dan kualitas pemaknaan silaturahmi bagi setiap individu menjadi penting artinya dalam menentukan kualitas penyelesaian konflik sosial yang terjadi.
Bangsa ini tidak mungkin terpenjara seumur hidup oleh peristiwa Malari, Kudatuli, Talangsari, Trisakti, dan sejenisnya bahkan peristiwa tahun 1965 yang sudah terjadi puluhan tahun lalu. Ini harus ada penyelesaian kultural dengan didasari oleh semangat keutuhan berbangsa. Penulis sengaja menggunakan peristiwa tahun 1965, dan tidak mengatakan G30 S PKI sebagaimana nomenklatur sejarah yang berlaku, karena diyakini
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
105
akan ada pihak yang merasa teraniaya seumur hidup karena itu. Ini bukan sekedar dampak opini-‐opini yang berkembang belakangan ini, namun sebagai refleksi kejadian yang dialami tiga tahun lalu saat mengunjungi Desa Savanajaya di Pulau Buru, tempat dimana sebagian eks-‐tapol 1965 sampai kini tinggal. Walau anaknya yang berjumlah 6 orang sudah menjadi sarjana dari perguruan tinggi ternama di tanah air, dan diantaranya ada yang sudah menjadi guru PNS dan bahkan menjadi anggota DPRD provinsi, namun trauma setengah abad yang lalu itu, masih sangat terlihat dari perilaku suami istri eks tapol yang ditemui secara acak itu. Terlepas dari persoalan politik, ada persoalan kemanusian yang ternyata belum tuntas selama ini. Ruang publik dan ruang privat itu harus mampu menjawab peristiwa-‐peristiwa kemanusiaan itu dengan tepat tanpa prasangka buruk melalui prinsip silaturahmi yang kita miliki, bila bangsa ini mau tetap tegak melawan kapitalisasi yang telah menjadi mainstream dunia.
Praktik berlebaran dalam masyarakat kita memang tidak seluruhnya diatur dalam hadist tetapi bila ternyata baik, dan tidak menyalahi akidah serta keimanan selayaknya tidak perlu dipertentangkan. Biarlah agama berada pada tahta yang paling suci dalam kehidupan dunia dan keakhiratan, biarlah puasa kita menghapus keikhilafan, kebodohan, kepapaan, dan perilaku buruk selama ini yang kandung dilakukan. Dan biarkan pula silaturahmi menghilangkan hati yang tidak lurus selama ini, sikap dendam yang tidak pernah tuntas, fitnah dan gibah yang terlanjur terucap, penilaian yang kurang berdasar dan sangkaan tanpa bukti yang jelas, pilihan putusan yang tidak adil dan memihak, serta perilaku yang tidak sadar menyakiti orang lain. Semoga silaturahmi tetap menjadi kearifan bangsa ini, biarkan peristiwa privat ini menjadi peristiwa kolektif yang berujung pada keguyuban yang melegakan semua pihak. Beu, paheuyeuk-‐heuyeuk leungeun paantay-‐antay panangan malar jamuga dina raga walagri dina diri, keur hirup huripna manusa jeung alamna. Mugia.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
106
Artikel Berbahasa Sunda
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
107
Urang Sunda Teu Heureut Deuleu
Plato (427 – 347 SM) nétélakan yén puluhan rébu taun katukang aya daratan raksasa anu kaitung rohaka disabudeureun Samudera Atlantik sakuloneun Laut Tengah rahayatna geus kaetung maju dina sagala widang. Maranehna geus mampu ngahasilkeun emas kalawan perak anu kaetung reana. Kakawasaanana ngawengku daratan éropa jeung daratan nu aya di afrika. ATLANTIS digambarkeun miboga peradaban teknologi nu geus maju kacida. Malahan mah, ceuk sakaol kapal terbang ge geus aya harita. Ku alatan kajadian alam, utamana bituna gunung-‐gunung, nu di susul ke lini jeung banjir anu kaetung rohaka sarta lééhna és di sabaraha bagian wilayah. Jadi musabab sabagian daratana titeuleum diteureuy bumi, sakitar 11.600 taun katukang. Bagian anu leungit eta nu ku sabagian ahli kakoncara disebut ”Benua yang hilang atau Atlantis”. Perkara éta kaunggel dina catatan dialog Plato, ngaliwatan buku Critias jeung Timaeus. Tug nepi kaayeuna para ahli nitenan kalayan imeut dilebah mana wilayah Benua Atlantis anu tilem eta saéstuna.
Salah sahiji panaluntikan nu dilakukan ku Aryso Santos salila 30 tahun, negeskan yen Atlantis téh wilayah anu ayeuna disebut Indonesia. Hal eta kaunggeul dina bukuna The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato‘s Lost Civilization (2005). Santos oge boga kayakinan anu dirojong sabagian arkéolog Amérika Serikat (AS), yén benua Atlantis teh, baheulana hiji daratan gede anu disebut Sunda Land, wilayahna anu ngawengku Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Pantes pisan baheula Indonesia teh dibagi jadi Sunda Besar jeung Sunda Kecil, saacan Mohamad Yamin salaku menteri pendidikan ngahapus istilah eta. Lamun panaluntikan Aryso Santos teh bener, beu teu ku henteu reueus kacida. Geuning sunda teh jembar boga karuhun anu sakitu onjoyna.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
108
Naha urang Sunda kahareup bakal digjaya siga karuhunna? Kuring mah yakin, bisa pisan. Sumber daya alam kaasup lubak-‐libuk upama dibanding daerah lianna. Sumberdaya manusia, karuhan lembaga pendidikannana oge hararade. Matak ITB, IPB, IPDN, IKOPIN (paguron anu khas, sanes universitas) aya di tatar sunda oge ciciren urang langkung siap. Kari modal sosial, har apan aya Paguyuban Pasundan, anu pancénna méré syiar budaya malar urang sunda boga tetekon keur kahirupanana. Dina sajarah, sumbangan Paguyuban Pasundan kana kamekaran bangsa teu kinten gedena, ngan asa can kaguar kabéh.
Basa menang pancén mupuhuan kagiatan milangkala Paguyuban Pasundan ka 89 asana namah. Ngahaja mukaan ensklopedia heubeul, ari gorehel teh menang info nu sakitu alusna. Yén Ir H.Djuanda teh kantos mancén janten sekjen Paguyuban Pasundan. Mantenna urang Sunda mah geus apal ti leleutik, atuh yasanya kana lemah cai di araku ku séké sélér lianna di lemah cai urang. Can lila sabada kuring menang tugas mupuhuan IKOPIN, karak engeuh yen nu mokalan koperasi di Indonesia teh geuning oge tokoh Paguyuban Pasundan. Dina satiap Hari Koperasi 12 Juli, ngaran Niti Somantri pasti disebut-‐sebut, disebut dina inyana mangsa éta jadi Wakil Sékjén Paguyuban Pasundan. Sabada dipaluruh teu loba nu apal perkara éta di lingkungan Paguyuban Pasundan. Heueuh keun wae, ngan jadi leuwih panceg yén urang teh boga sajarah anu jembar ngan acan kaguar.
Jembarna Sunda Kiwari
Kang Ibing pernah nganaha-‐naha ka sim kuring basa ngariung saacan acara walimahan puterana, “Teu rido kang amah mun urang Sunda punta penta kadudukan, kuduna oge di rebut ku kamampuh”, kuring mah mesem wae da ngarti pamaksudanana. Harita Kang Ganjar (Rektor Unpad) mairan ku harepan. Kuring sapamadegan, yen urang sunda teu kudu nungguan
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
109
dibéré kesempatan tapi kudu neangan jeung nyiar kasempeten. Salian ti dibéré mah wirang ongkoh, tapi pan urang mah turunan karuhun nu unggul.
Aya dua kesempatan keur kuring tepung jeung tokoh dunia ngawakilan nagara. Kahiji taun 2008 basa ngarencangan Pa Ginandjar Kartasasmita, salaku ketu DPD-‐RI, nepungan PM Jepang harita, Fukuda. Harita salian kuring jeung Dubes RI keur Jepang, Yusuf Anwar, urang Singaparna. Diajak oge Iwan, penterjemah ti Kedubes RI di Jepang, manehna ngaharewos “Ieu mah utusan ti nagara Pasundan”, bari ngaheheh da manehna oge urang Cianjur pituin. Kadua, basa awal bulan Juli taun ieu, nyarengan ka Timor Leste (TL), Ibu Menteri Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas Prof.Dr. Armida Alisyahbana (kuring mah asa lebih anteb keneh nyebut Armida Kusumaatmadja, bari heureuey, wani heureuy teh pedah dina acara informal diantara anggota delegasi mantenna nyebat kuring sobat nu geus lila wawuh); tepung jeung Ramos Horta (presiden TL) jeung Xanana (PM TL). Harita kuring ditugaskan ku Kementerian Koperasi dan UKM, sedeng nu ditugaskeun ti Bappenas salasawiosna Kang Dida, ari ti utusan Menko Perekonomian dipimpin ku Kang Yudi, sarua jeung kang Dida, papada urang Bandung. Atuh Sabatae, di ditu teh ngobrol make basa Sunda wae. Sok komo rombongan ti Unpad nu dipimpin ku Pa Zul (Pembantu Rektor IV) oge ceu Erni (Dekan FE) nyandak balad teh urang sunda pisan. “Kongrés urang Sunda” di Timor Leste, di jengkepan ku Kang Dedi, Dubes RI di ditu, anu oge pituin Sunda lulusan FH Unpad. Tuh ceuk saha urang sunda teu ngambah nagara. Sigana silaturahmi papada urang kudu ditingkatkeun boh kuantitas oge kualitasna. Salah saurang sobat sim kuring, manehna jadi deputi di salah sahiji kementerian, pernah ngageuri ku kabiasaan urang Sunda. Dilahirkeun di Cirebon, sakola di Jogja, lila NTB, tapi ngarasa urang Sunda. Inyana humandeuar, hayang pisan ngariung jeung batur salembur ti tatar Sunda, sok sanajana kalan-‐kalan mah sok jadi deukeut kana pipaseaeun oge, majar teh. Jadi inget ka ibu Eti, urang Cipetir Sukabumi, muka warung timbel di kota Medan bari teu
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
110
petot-‐petot ngembarakeun Wargi Pasundan keur riung mungpulung ngumbar katineung ka lemah cai banjar pamidangan; kalawan mayeng di bumina.
Dina dua bulan ieu (Juni-‐Juli) sok remen ider-‐ideran salian ti Médan, kota-‐kota lianna nu datangan sok bari ngahaja nepungan urang sunda nu keur bubuara. Hasilna, teu weudeu ngajenghokna. Dina babasaan, prototife urang sunda mah heureut deuleu, pondok lengkah, jeung sok nyalindung ka gelung. Geuning henteu kitu, transmigran urang boh nu aya di Bolaang Mongodow (Sulut), jeung Namlea (Pulau Buru) kaitung arulet pisan. Khusus nu di Namléa, hiji kabupaten pamekaran tapi maju ngelehkeun kabupatén asalna. Ceuk bupati na ka kuring, “Kuncinya saya di dukung oleh Korpri”. Can ditembalan, inyana nyambung “Korpri itu Korp Priangan” bari gumujeng. Pantes waé geuning, sékda na urang Tasik, kadisna urang Sumedang, Dandim na urang Subang, Kajari jeung Kapolrésna lila di Sukabumi. Ampir sarua jeung nu pernah diomongkeun ku Fadel Muhamad 3 (tilu) taun ka tukang ka kuring di bumina pa Ginandjar, di Gorontalo ceuk inyana sering rapat teh maké basa sunda waé, da loba pajabatna urang sunda cenah. Geuning simana horéng, kabuktian urang sunda lain hayam pelung, nu ngan bisa kongkorongok di lembur sorangan sabada di usapan, tapi satria-‐satria pinilih anu paningalna jembar, teuneung ludeung tandang makalangan lain ngan saukur jago kandang. Kasaksén pisan jembarna urang sunda mangsa kiwari oge mangsa bihari keur pieunteungeun urang ka hareup. Boa enya, jeung anggap enya wae, yén urang teh turunan séké seler nu pernah jugala rébuan taun katukang. Pagawean nalikung manéh, bari sisiku ka papada dulur, heureut deuleu pondok ténjo; eta lain watek urang. Namung da teu rék wuri-‐wuri kanu badé ngemut mung saukur kitu. Cag ah.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
111
89 Taun Aboeng Koesman: Ngimeutan Pamingpin Tuladeun
Tuladeun mah bisa ti nu iraha waé. Kitu deui nulad pamingpin, lian ti nu kiwari téh bisa ti nu bihari. Ngan, saha tuladeun pamingpin ti Sunda
téh? Bisa ngimeutan ti mangsa ka mangsa. ***
Pilihan umum geus lekasan, tapi héabna mah karasa kénéh. Komo da baris disambung ku pilihan présiden. Merenah mun loba nu ngotéktak ngiker-‐ngiker pipamingpineun. Malah, sawatara pihak mah keur nataharkeun ‘jagona’ abenkeuneun dina pilpres.Milih pamingpin, hartina milih ‘ajenna’. Nya dina kaayaan kitu, teu anéh upama loba pihak nu ngabanding-‐banding pamingpin nu aya boh nu sajaman boh nu béda mangsana. Urang Sunda gé kitu, bisa ngabanding-‐banding inohong Sunda kiwari jeung nu kiwari atawa nu kiwari jeung nu bihari. Ti waktu ka waktu di Sunda gé teu weléh aya pamingpin tuladeun.
Memang, urang Sunda gé loba nu jadi pamingpin nasional kalayan payus ditulad generasi sapandeurieunana. Di antawisna, sapertos pa Aboeng Koesman, manten Wakil Gubernur Jawa Barat atanapi pa Ginandjar Kartasasmita, oge nu lianna.Salasawios ti eta nyaeta, H. Aboeng Koesman téh, asa kaemutan warsih ieu, mantenna panceg dina ping 24 April ieu, yuswana 89 tahun. Sesepuh nu kantos oge jadi Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan (1995-‐2000). Kapamingpinanana, ngotrétkeun tapak nu gedé mangpaatna keur balaréa. Anjeunna, tiasa janten alternatif nu tiasa diconto. Kuring neundeun katineung kana pribadi manten Wagub Jawa Barat, lantaran dina raraga milangkala 70 taun kantos kenging kapercantenan nulis buku “Aboeng Koesman 70 Tahun”, mémang loba sipat-‐sipat hadéna, saperti tegas, jujur, jauh mikirna ka hareup, jeung hadé
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
112
sangka ka nu lian. Dina kaayaan ‘saateun’ kapamingpinan kawas ayeuna, pigur sapertos kitu payus janten conto.
Lahir ping 24 April 1925 di Sadang Garut, ngaliwatan sababaraha jaman. Jaman panjajahan Belanda, Jepang, Perjuangan kamerdikaan, Orde Lama, Orde Baru, tug dugi ka Orde reformasi. Hirup dina mangsa orde baru anu cenah jaman werit ku korupsi. Kapahing pisan anjeunna kalebet anu jujur bari hirup sederhana. Saestuna, hal eta katangen oge dina sikap jeung kanyataan pa Ginandjar Kartasasmita. Dina nyanghareupan pasualan jeung pacéngkadan, H. Aboeng Koesman, bisa akur jeung ngakurkeun. Akur ka ditu ka dieu, lantaran tinimbanganana, landung kandungan laér aisan. Dina mutuskeun pasualan, tandes, teu cueut ka nu hideung tara ponténg ka nu konéng. Ku margi kitu, pihak sanes nu pasalia paham gé ngaraos ditempatkeun dina tempat anu merenah ku Pa Abung mah.
Sikepna anu teu pilih kasih, saperti waktu H. Aboeng Koesman ancrub kana organisasi Paguyuban Pasundan. Harita, eta paguyuban téh keur aya dina pacengkadan. Dina mémérés nu pacéngkadan, H. Aboeng Koesman mah lir nu apal carana ngaherangkeun cai kiruh. Apan mun cai saperti kitu, diancruban langsung terus dikucek kalah tambah kiruh. Tapi, ari sina namper heula mah, bibit-‐bibit nu ngiruhan téh bisa dipisahkeun jeung cai herangna. Kitu di antara pasipatan H. Aboeng Koesman nu namper dina sawangan kuring.Pasipatan séjén éta wagub nu payus jadi catetan jeung pincontoeun, teu weléh nyambungkeun silaturahmi nu bihari jeung kiwari. Kituna téh, cenah, lain ukur lalambé da puguh natrat dina paripolahna. H. Abung Kusman, remen nyutat kekecapan tina naskah heubeul Amanat Galunggung nu unina, “hana nguni hana mangké, tan hana nguni tan hana mangké...” Intina, mah ayana nu ayeuna téh lantaran ayana nu baheula, atuh mun euweuh nu baheula mah, moal aya nu ayeuna. Larapna, dina paripolahna, éta wagub Jawa Barat manten téh, ngupama ka nu ti heula jeung ngajénan ka generasi sapandeurieunana. H. Abung
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
113
Kusman teu weléh nyontoan, sangkan nu hirup kiwari ngajénan jasa-‐jasa nu ti heula. Sabalikna, deuih, éta inohong Sunda téh, kacida ngajurung jeung ngajénanana ka para nonoman. Teu weleh nyumangetan nonoman sangkan langkung majeng, kuring nulis lalampahan hirup H. Abung Kusman dina milangkala ka-‐70 salapan welas taun ka tukang. Taun ieu, anjeunna nincak yusawa 89 taun. Tina lalampahanana seueur tuladeun, mugi dipasihan kasehatan tur manjang barokah.
Pasipatan sejen, H. Abung Kusman, ngajenan pisan ka saluhureun. Tapi, ari pribadina mah, nempatkeun diri ‘sajajar’ jeung saha waé. Ku lantaran kitu, ‘yunior’ téh bisa deukeut jeung akrab ka éta wagub mah.Nyaahna ka nonoman, bukti deuih ku cara méré ‘lolongkrang’ dina regenerasi. Apan, H. Abung gé kungsi nyarankeun sangkan anggota dewan téh, cukup ngajabat dua kali, ulah tuluy-‐tuluyan. Makudna, méré ‘panto’ ka nu leuwih ngora. Sikepna kitu, luyu jeung paripolahna, da waktu dicalonkeun deui jadi anggota dewan, anjeunna nolak.
Nyaah ka Sunda
H. Abung Kusman, dina 25 April 2014 panceg yuswa 89 taun. Tapak lacakna ngendat, ngotrétkeun tapak. Jadi salasahiji ‘obor’ nonoman Sunda kiwari. Saapal kuring, anjeunna mah meunteun nu sanes téh nu saéna wungkul, tara ngagogoréng. Dina sawangan kuring éta wagub manten téh, lain ukur inohong lokal, tapi deuih ‘nganasional’. Anjeunna, nu asalna ti ABRI boga sawangan jauh ka hareup sarta bisa ditarima ku sélér séjén. Buktina, apan pancen gawena gé lain ukur di tatar Sunda, tapi deuih di tingkat nasional. Malah, apan kungsi meunang kapercayaan jadi minijer Tim Uber Cup di Tokyo (1972). Atuh, dina taun 1992 dipercaya kénéh mingpin rombongan badmnton di Cina.
Kanyaahna ka tatar Jawa Barat jinek naker. Aya conto nyata. Hiji waktu, H. Abung Kusman saparakanca, mémérés pasualan Bandara
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
114
Sukarno-‐Hatta, Tanggerang, nu harita, sacara adminsitrasif rék diasupkeun ka DKI Jakarta. Alesanna, kahiji, eta bandara téh maké sabagian lahan milik DKI; kadua, Jakarta boga pasilitas leuwih hadé batan Jawa Barat; jeung katilu, Tanggerang bisa narima duit konvensasi tina masrahkeun éta Bandara ka wilayah Jakarta.Kahayang DKI kawas kitu, ditolak ku Abung Kusman saparakanca. Tangtu kalayan alesan nu leuwih kuat. Da, memang butkina mah, taya lahan sajeungkal ogé nu kaasup milik Jakarta. Atuh, mun enya ogé aya bagian lahan milik Jakarta di wewengkon Jawa Barat, teu perelu jadi pindah administratif. Tumali jeung duit konvensasi, najan mangsa harita Kabupaten Tanggerang butuh duit, ogé lain hartina bisa ku cara masrahkeun lahanna ka pihak séjen. Alesan-‐alesan kitu, kahartieun ku nu ‘di luhur’. Ahirna, Bandara Sukarno-‐Hatta, tetep aya dina kakawasan Jawa Barat mangsa harita.
Abung Kusman, teureuh Garut. Karirna, dimitembeyan tina militer. Saterusna, jadi birokrat, jadi walikota Cirebon, sarta jadi Wakil Gubernur Jawa Barat. Réngsé mancén gawe jadi wagub, ngabdikeun diri jadi anggota DPR RI. Dina kagiatan kasundaan, kungsi jadi ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan. Kanyaah kasarakan nantrat nepi ka kiwari. Ieu inohong Sunda nu lahir taun 1925 téh tepung taun nu ka-‐89, dina 25 April 2014. H. Abung Kusman, salah saurang inohong Sunda, nu ceuk kuring mah kaasup salaaurang pamingpin Sunda nu payus jadi tuladeun balarea, bari dareuda nambahan catur, “Wilujeung Milad pa Aboeng mugia bapa ginulur kawilujengan bari janten enteung keur nonoman Sunda kapayun”.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
115
Ngaran Provinsi Pasundan
Basa kang Adjie Efsa, oge dialokan ku kang Acil Bimbo, ngogan dina hiji gempungan anu rek madungdengkeun perkara ngaganti ngaran propinsi Jawa Barat, kuring sisinarieun rada giak. Lima taun ieu geus rada teu purun ngilu gempungan perkara kasundaan teh, sok komo anu ngoganna aya pakuat-‐pakait jeung partai politik mah. Sok teu beres alang ujurna, asa ngabuntut bangkong. Duka kuring keur oge keur katarajang panyakit “selebritism” nu kiwari keur narajang warga urang kitu? Leuwih percaya keneh ka selebitis tinimnbang ka ulama, kitu saur pa Miftah Faridl oge. Malah aya apanan, salah saurang patandang calon gubernur nu keukeuh hayang diwakilan ku selebiritis, sigana ngarasa kurang populer, sanajan geus masang baliho di unggal pengkolan oge.
Pasualan ngaganti ngaran propinsi Jawa Barat, lain kakara ayeuna. Majar ti taun 1957, hasil kongres Masyarakat Sunda anu diaos ku Ajip Rosidi, bejana salah sahiji putusanana menta ngaran Jawa Barat diganti ku nu lewih nonjolkeun kasundaan. Pon keneh kitu, Paguyuban Pasundan, dina taun 1999 pernah ngahudangkeun deui perkara eta. Sarua hasilna nyamos, loba karisi jeung karempan, pangpangna ari imeutan kuring mah, urang acan bisa nguniangkeun tekad jeung common sense balarea. Alesan anu sifatna emosional, sentimentil, atawa niatan nanggarkeun wawanen wungkul mah bakal nyanghareupan sikeup sabalikna tipapada urang keneh.
Keur sakuringeun, anu teu boga implengan politis jeung setimen budaya, da rumasa bapa kuring mah bibit buitna ti wetan sok sanajan lila ngajar di sakola Pasundan. Newak sikeup subordinate ti masyarakat Sunda. Taun 80an, di Bandung; di kampus, di mall, oge tempat umum liannya, kakacapangan mun nyebut jalma anyar pinanggih teh ku sesebutan “Mas jeung Mba” sok sanajan ayeuna tos rada ngurangan. Tapi aya deui anu rada aneh, kiwari tukang kadaharan (kuliner, basana) anu ayeuna keur mahabu
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
116
di Bandung oge kota lianna di Jabar. Sok sanajan katanggar urang Sunda, mun diajak ngobrol sunda teh, eh balik deui make basa Indonesia. Aya kahariwang pokal kitu teh, pedah teu ngarasa reueus make basa indung. Leuwih jauh, ngarasa jadi urang Sunda mah jadi kasta nomer dua.
Sikep kurang percaya diri masyarakat urang. Kagambar prototipe anu kungsi kadenge waktu sempal guyon di Jakarta. Yen mun urang inget ka pengacara pasti urang Batak cenah, mun ngobrol dagang pasti urang padang, mun ngimeutan gaya pejabat pasti urang jawa, mun perlu tukang pukul atawa tentara pasti urang Ambon atawa Flores, mun tukang maen bal pasti urang Irian. Mun ngobrol kasatiaan badega, tah ieu sok nganyerikeun hate, cenah urang Sunda. Beu, nepika kakituna, tapi teu bisa mangka pulia basa dikonfirmasi kana data yen ti urang pisan apanan panglobana ngirimkeun TKI/TKW teh. Da ngarep-‐ngarep janji sajuta lapangan kerja teh asa teu puguh juntrunganana.
Can aya memang hasil panalungtikan anu medar, yen aya hubungan antara hal eta jeung ngaran propinsi. Tapi ceuk teori pemasaran Creating Brand Insistence anu neueulkeun yen ngaran teh sawadina boga lima syarat (The Five Driver) nyaeta awareness, relevant differentation, value, accessiblity, jeung emotional connection. Karasana, urang butuh wacana anyar perkara ngaran wewengkon masyarakat sunda ieu. Dina pikiran eta, pantes Jawa Barat sababaraha indikator penting kahirupan urang masih disahadapeun propinsi Jawa Tengah jeung Jawa Timur. Perkara anu sifatna makro seperti pangangguran, kamiskanan, angka korupsi, jumlah pekerja migran, Angka Partisipasi Pendidikan. Atuh dina sisi mikrona penyerapan dana KUR, kondisi UMKM masih dihandapeun dua propinsi tadi. Boa-‐boa hayang jadi propinsi termaju di Indonesia teh moal kahontal, sabab urang boga mental subordinate tadi.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
117
Sok disambung-‐sambung. Basa masyarakat Bali di usir ti Lampung. Masyarakat Bali ngagorowok tarik pisan, yen rek kaluar ti NKRI upama konflik di Lampung teu bisa direngsekeun bari teu ngarugikeun seler Bali. Pon keneh kitu, urang Aceh wani arek misahkeun ti NKRI, sok sanajan penduduk lobana ampir sarua jeung sakacamatan di urang. Teu kudu urang mah ngancam hayang misahkeun diri sagala. Oge teu kudu ngarenghik kudu loba anggota kabinet ti urang Sunda sagala. Komo bari jeung menta affirmative policy supaya presiden 2019 ti seler Sunda, bari jeung can karuhan aya dampak nanaon keur balarea. Nu kudu jadi implengean para elit Sunda kiwari, kumaha najeurkeun harkat martabat sunda malar masyarakat pituin teu ngarasa tumamu di sarakanana sorangan, hirup bari hurif.
Ceuk R.W. van Bemmelen (1949) Sunda teh istilah nu geus dipake heubeul pisan keur ngaran hiji wewengkon anu aya di bagian barat laut wilayah India wetan, nepika dataran bagian tenggara nu ngaranna Sahul. Dataran Sunda dikurilingan ku Gunung Sunda (circum Sunda Mountain System) panjang kira-‐kira 7.000 km. Kaasup wewengkon urang ayeuna. Sunda ku ahli ilmu bumi ti Yunani, Ptolemaeus geus kacatet dina bukuna tahun 150 Masehi. Saterusna ti kitu, kerajaan Sunda mimiti ditaratas tahun 670 M basa Tarumanagara dipecah jadi dua kerajaan, nyaeta Karajaan Sunda jeung Karajaan Galuh, Citarum jadi watesna. Kasimpulanana, urang boga tuturus keur ngawangun karakter masyarakat, anu bisa disimbolkeun ku ngaran wewengkon tangtuna oge. Payus upama wewengkon ieu dingaranan “tempat urang sunda bumen-‐beumen”, atawa “Pa-‐Sundaa-‐an”, bisa disingket jadi Pasundan.
Tangtuna bakal aya kahariwang. Kumaha upama Cirebon menta misah, atawa tatar Galuh baheula hayang make Provinsi Galuh? Perkara Cirebon mah saacana oge geus aya kahayang misah ti sabaraha elitna, malah sempet dijanjian apanan ku calon gubernur taun 2008 harita. Ah teu kudu
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
118
hariwang, diajar ka Cina wae, waktu taun 1997, Hongkong lepas ti Inggris balik ka Cina. Harita pemerintah Cina ngajamin kahirupan masyarakat Hongkong. Perkara tatar Galuh kiwari mah, sigana malah geus ngarasa leuwih nyunda, batan masyarakat wewengkon karajaan Sunda heubeul (Banten, Jakarta, jeung Bogor).
Tina pangalaman katukang, kaasup pangalaman Hongkong, masyarakat mah bakal ngorojong kana satiap parobahan. Asal aya jaminan bakal ningkatkeun kahirupan jeung karaharjaanana. Ku kituna, mangga bral kang Adji Esa Putra, Kang Acil Bimbo; maksad sae eta urang kawitan. Meungpeung masyarakat masih keneh aya nu dipercaya, nyaeta selebritis. Bari implik-‐implikna, tong cena maksad sae eta dijadikan alat politik para cagub anu kiwari keur ikhtiar ngadulang sora, komo calon nu geus kabuktian ngan bisa nyieun janji wungkul bari hengker dina ngalaksanakeunana. Cag ah.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
119
Sunda Bubuara di Papua
Asa mobok manggih gorowong basa meunang tugas keur nguji calon doktor (S3) di Universitas Cendrawasih ping 12 jeung 15 Desember 2014 kamari mah. Universitas Cendrawasih hiji paguron luhur (PTN) pang kolotna di pulo Papua mah, geus boga program S3 anu ngabiasakeun ari mungkas tugas akhir mahasiswana teh sok kudu diuji ku panguji ti luar. Ari nu pikabungaheun teh, pédah nu di uji ayeuna mah nyaéta Yusuf Wally, Bupati Kabupatén Keerom. Geus lila boga kapanasaran hayang lolongok ka warga Sunda anu aya di wewengkon éta. Ari nguriling nepungan urang sunda di wewengkon deungeun mah geus jadi pagawéan matuh kuring dina sapuluh taun ieu mah, bari nedunan tugas nu lian sakalian wae pikir téh. Husus Keerom, kuring kataji maca situs dina media éléktronik, keur ukuran organisasi kawargian bari jeung aya di wewengkon papua mah asa modern boh kagiatanana boh media informasina. Kapanasaran asa nambahan, kusabab maranéhanana bet make ngaran Paguyuban Pasundan.
Basa pamaksudan ditepikeun ka bupati, inyana teu burung atoheun, majar teh basa opat taun katukang manéhna menang di pilkada, oge sabab didukung ku Paguyuban Pasundan. Aya kurang leuwih 3000 jiwa masyarakat nu bubuara ti Jawa Barat, nu tos bumen di Keerom, distrik Arso, leuwih ti welasan taun lilana. Ceuk inyana, masyarakat pasundan (kitu nyebutna) kaitung kréatif kalawan kompak, jeung ngiras kana budayana. Bari jeung terus nyebut sabaraha rupa kasenian sunda, cek éta bupati teureuh asli papua teh. Ieu Bupati kaasup hadé gawe, malah kungsi meunang panglélér salaku Tokoh Tempo 2012, bareng jeung Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani, Wali Kota Banjar Herman Sutrisno, Wali Kota Sawahlunto Amran Nur, Wali Kota Wonosobo Abdul Kholiq Arif, Bupati
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
120
Enrekang La Tinro La Tanurung, jeung Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan.
Keerom teh hiji kabupaten di Propinsi Papua. Ti kota Jayapura mah kurang leuwih 40 km. Mun turun di Bandara Sentani mah, saacan Jayapura lebah distrik Abepura, mengkol ka lebah katuhu arah anu ka wates negri jeung PNG. Kabupaten anu dicicingan ku kira-‐kira 100 rewu jiwa ieu, disubadanan ku APBD anu gedena 699 milyar rupia.
Ari sajarah Paguyuban Pasundan di Kabupaten Keerom di mimitian taun 2004. Awalna dingaranan Perkumpulan Warga Jawa Barat diluluguan ku kokolot masyarakat sunda, boh nu geus lila bumen di diditu oge nu datang sabab jadi transmigrasi. Maksudna ngahijikeun tékad keur babakti ka sarakan ku jalan mupusti budaya karuhun, oge dina raraga silih asih papadaning baraya saba rasa di pangumbaraan. Kiwari geus boga Anggaran Dasar jeung Anggaran Rumah Tangga anu maneuh kalawaan di légalkeun ku Surat Keputusan Nomer : 103/Kpts.PWJB-‐JPR/VI/2009 dina Rapat Umum Paguyuban Pasundan, tanggal 16 juni 2009.
Teu meunang raratan anu leuwih ti kitu, da bongan sajrutna turun di palataran dayeuh manggungna baraya sunda di tengah leuweung papua, hate nu loba ngomong batan sungut nu hayang tatanya. Sok komo sabada anjog ka kampung Sanggaria, minangka dumukna kokolot Paguyuban Pasundan, dibejaan yén, bapa Nandi Supriatna minangka panaratas kakara pisan tilar dunya. Hate teh tambah ngalongkéwang, di wewengkon anu jauh réwuan kilo ti lembur, hawar-‐hawar kadéngé gamelan maturan haleuangna tembang “Bangbung ranggaék” bogana Upit Sarimanah. Barudak lulumpatan make seragem penca silat aya dalapan urang wae mah, muru hiji wangunan resik, bari récét cocorowokan make basa Sunda. Kuring ngan bisa papelong-‐pelong jeug Mayor Budi teureuh Ujung Berung nu keur tugas di Kodam Cendrawasih. Inyana maturan kuring bari jeung hayang nyaho
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
121
oge kaayaan batur salembur cenah. Sumpahna ogé teu asa di lembur deungeun. Rada beda rasa téh, basa kuring ngulampreng ka kampung Espé di Manokwari, oge di Namléa jeung Tual di Maluku, Bengkalis jeung daerah lianna teu pati bisa newak aura sunda, didieu mah karasa pisan.
Panon miceun ka jauhna, tetempoan teh lingkunganana hégar jeung pinuh ku tatangkalan raresik. Rarasaan mah asa di kampung kuring di Nagrak taun 70an. Buruan lalega, imah ngajalajar sok sanajan teu méwah tapi pikabetaheun. Ketang Nagrak tahun 70an mah jalanna goréng pisan, didieu mah jalan leuwih alus ti batan jalan lembur di urang kiwari ogénan. Otis asal ti Garut, ngajak kuring nepungan batur-‐baturna keur manggung. Ditepungkeun jeung warga pasundan lianna. Aya nu ti Ciamis, Sukabumi, Serang, Garut, Bandung. Cecep minangka pupuhu Paguyuban Pasundan cabang Sanggarasa, ngajelaskeun kagiatan mimitran salilala ieu. Duh asa matak reueus, geuning urang Sunda teh lalampar bari jeung geuning bisa ngahiji, sareundeuk saigel sabobot sapihanéan. Geus majana urang ngilu ngadorong laku baraya nu aya sakulibeng alam dunya, malar maranéhna bisa hirup bari hurip, da ari geus kabutuh séwangna kacumpon mah, tangtuna oge pasti inget ka baraya di lembur. Cukup bukti kumaha bangsa Cina, India, komo Israel mah kahirupan bangsa na teh di rojong pisan ku nu bubuara (overseas). Paguyuban Pasundan geus lila mukakaeun lalangsé haté jeung ngalegaan panénjo, kusabab kitu Ir H. Djuanda pisan, mantan sekjen Paguyuban Pasundan, anu mokalan zona ékonomi eklusif (ZEE) anu diaku ku nagara-‐nagara lian tug nepi ka ayeuna. Mugia, kapayun Paguyuban Pasundan tiasa leres-‐leres janten tuturus rahayu keur jembarna komara sunda dimana waé ayana. Rancagé haténa, jembar paningalna, jeung asih kapapadaning baraya dijauhkeun tina sikap codeka, silih bintih ku sisirik, silih asah ku laku fitnah. Mugia.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
122
Nyi Mangle, Sing Manjang Ngawal Budaya 122
Manjing awal taun 70an kuring mimiti mikawanoh majalah Manglé téh, keur kuring harita, nu dumuk dipilemburan teu loba piliheun keur ngeusi waktu sabada réngsé sakola madrasah. Salian ti ngojay di leuwi, gawe teh nya ngagulang geper nyi Mangle anu harita mah katarima saban poé kemis. Kataji pisan seratan Ki Umbara, Tjandrahajat, atuh beh dieuna mah Mien Resmana jeung réa-‐réa deui. Tina sawangan kuring harita, nu masih umur welasan taun, manglé teu weléh dianti-‐anti kalawan gemet dibaraca ku balaréa tina sabaraha lapisan umur. Ceuk rarasaan, kanyaah masyarakat sunda masih nganteng tug dugi kiwari. Teu ngabibisani, teu nginjeum panon, basa aya pancén ka hiji nagara deungeun, kabeneran loba pisan urang sunda di kadutaan siga na mah, nyi Manglé mendengkreng dina rak majalah ruang tamu. Teu weudeu ngilu reueus, pon keneh kitu di lingkungan wargi sunda nu aya dipangumbaraan, di luar pulau jawa, masih ngaraku masih keneh maraca manglé. Majar teh, sok sanajan teu bisa rutin, maca mangle teh wawakil hate keur nu di lembur.
Gambaran pamungkas, mikasieup yén manglé bakal terus aya kalawan dibutuhkeun. Minangka namah jadi wawakil sarakan Sunda, anu simbol komarana kiwari makin dieu makin ngurangan. Tinangtu teu gampil ngokolakeun hiji media jaman kiwari, anu pajamanana geus jauh béda jeung taun 70an. Kiwari barudak geus loba pisan pilihaneun kagiatan keur ngeusi waktu. Pon keneh kitu, geus loba pisan robahna perilaku masarakat ayeuna dina ngamanfaatkeun média. Boh keur hiburan oge keur nyuprih pangaweruh, kaasup niténan budaya Sunda. Teu ngan suukur média cétak anu boga wanda kasundaan, saperti “Hanjuang”, “Giwangkara”, “Kujang” jrrd, wanda nu leuwih “menasional” oge milu teuleum, sapertos majalah musik “Aktuil”, atawa majalah ilmiah populer “Prisma”, jjrd. Mun teu salah
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
123
mah sarua hirup kumbuh di Bandung, jeung nanjeur pisan kalawan boga segmen khusus. Tah mun ngaca kadinya mah, manglé mah kaasup anu kuat, sok sanajan pasti na ogénan masalah mah tangtu aya. Dina hal éta, urang sunda kudu méré pangajén keur nu ngokolakeunana, sabab masih bisa kénéh manglé medal tug dugi ka kiwari. Dina hal éta oge, pihak manajemen Manglé kudu yakin, yén urang sunda teh masih aya, tur maturan dina mangsa kakeueung.
Kamajuan di widang téknologi informasi kaasup pertelevisian jeung radio, hanteu-‐kuhanteu tangtuna bakal ngamangaruhan hirup huripna ieu média anu diparajian ku kang Wahyu Wibisana saparakanca, 57 taun katukang. Dukungan dana teu cukup keur bisa ngigeulan jaman, diperlukeun kaparigeulan anyar anu tangtuna oge béda tangéh jeung kaayaan tahun 60-‐70an. Tapi kamajuan dina widang nu disebut diluhur bisa mangaruhan positif keur kamekaran budaya sunda kaasup Manglé. Upami di talungtik, masyarakat Jawa Barat oge Banten, relatif leuwih “melek” teknologi informasi dibanding daérah nu lian. Facebook, tweeter, jeung media sosial lianna loba pisan digunakeun ku sélér urang sabab aya sababaraha kauntungan teknis. Teu anéh, mun dina sarana média sosial, ku imeutan sim kuring, pang lobana nitizen nu make bahasa daerah, nya bahasa Sunda pisan. Pon keneh kitu, televisi jeung radio, sigana sélebritis masih didominasi ku sélér urang. Teu anéh mun dina acara televisi loba pisan obrolan maranéhanana nu ngagunakeun kecap sunda. Bisa waé keur para ahli basa hal eta mah teu pira pisan, tangtuna ogé keur urang anu salawasna nonton televisi di Bandung. Tapi henteu kitu keur urang Sunda hususna nu aya di pangumbaraan, eta bisa ngahudangkeun kanyaah jeung kamelang kana budaya karuhun. Eta mindeng pisan kadéngé mun kuring kukurilingan ka sabaraha daérah ti mimiti ujung kulon Sumatera nepika daerah Arso perbatasan Papua jeung PNG. Asa ngimpi basa ngadéngé barudak Timor Leste nu sapopoéna make basa Tetun, ngahaleuang “Talak Tilu” nu sok ditembangkeun ku Sule. Asa kagagas oge, basa minggu kamari
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
124
di bandara Hasanudin, Makasar, réa jalma ngariung televisi leutik di hiji kios, anu hawar-‐hawar kadéngé sora Cianjuran. Dideukeutan teh geuning keur acara persiapan Raffi Akhmad. Jadi teknologi mantuan pisan keur jembarna budaya jeung basa Sunda. Naha geus dimanfaatkeun ku Manglé kitu?
Euforia budaya sunda anu kiwari keur mahabu khususna di lingkungan nonoman sabab media sosial jeung televisi effect ulah dianggap sapira, komo dihulag bari dinaha-‐naha, kulantaran basa jeung budaya nu kurang dimaksud mah lain saperti kitu. Satemenna kaayaan éta bisa dijadikeun milles stone keur cita-‐cita ngawangun masarakat anu sadar budaya Sunda. Sok komo ari budaya jeung bahasa mah pan hirup sifatna. Basa sunda Mangle jamanna ki Umbara tangtuna oge teu persis sarua jeung basa nu dipake nu panulis kiwari. Euforia eta oge katangen dina kaluarna kawijakan wajib “berbahasa dan berpakaian Sunda” boh keur PNS oge barudak sakola. Sababaraha instansi ngawajibkeun make basa sunda boh dina gempungan resmi oge sapopoe. Malah mah pan asa geus lila kaluarna perda ngeunaan budaya jeung basa Sunda teh, asana mah tujuh taun ka tukang, sanajan can katangen pisan prakna mah. Ngan tangtuna ari keur bisa ngahirup huripkeun sa-‐manglé-‐eun mah sigana leuwih ti cukup. Kasadaran kiwari keur micinta budaya jeung basa Sunda, boh sabab dorongan euforia balarea bohku sabab peraturan, itu bisa jadi modal gédé pisan keur ngalaksanakeun “revolusi mental” dina widang budaya jeung basa Sunda anu dampakna gede pisan keur karaharjaan balaréa. Tah lebah dinya mah kuring masih gédé harepan, manglé masih bisa tetep renggenek aya dina haté jeung kanyaah urang Sunda. Bral geura makalangan, urang silih asih, silih jurung ku mampu, malar Sunda Jaya di Buana. Cag ah.
Litbang Paguyuban Pasundan 2010-2015
125
Recommended