View
246
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
proposal
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permintaan akan minyak sawit Indonesia di pasar internasional semakin meningkat
setiap tahunnya. Laju permintaan konsumsi dan ekspor kelapa sawit untuk
menghasilkan minyak sawit naik hingga tahun 2007 mencapai 4,105 dan 12,65 juta ton
(Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2008). Tingginya kebutuhan minyak sawit Indonesia
mendorong pihak produsen untuk meningkatkan produksi industri minyak sawit
seoptimal mungkin. Pengembangan industri minyak kelapa sawit ini menyerap banyak
tenaga kerja, namun disisi lain menimbulkan limbah cair yang berbahaya bagi
lingkungan. Setiap ton minyak sawit yang dihasilkan akan mengeluarkan limbah cair
sebanyak 2,5 m3, berarti untuk mencapai produksi minyak sawit sebesar 17,1 juta ton
akan menghasilkan 42,75 juta m3 limbah cair. Data ini menunjukkan betapa besarnya
beban yang ditanggung oleh lingkungan akibat pencemaran lingkungan karena
karakteristik limbah cair tersebut mengandung COD (Chemical Oxygen Demand) yang
sangat tinggi berkisar 47.165-49.765 mg/L (Firmansyah & Saputra, 2001). Sementara
itu baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah RI melalui KEPMEN LH No.51 tahun
1995 adalah nilai COD sebesar 350 mg/L dan BOD5 100 mg/L. Namun, sampai saat ini
pengolahan limbah, terutama limbah cair kelapa sawit masih sangat kurang dalam segi
pemanfaatannya.
Biogas adalah gas yang dihasilkan dari limbah rumah tangga, kotoran hewan, kotoran
manusia, sampah organik, industri makanan dan sebagainya, yang mengalami proses
penguraian atau fermentasi oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa oksigen
(anaerobic). Biogas mulai berkembang di Indonesia sekitar tahun 1970 (Wahyuni, S.,
2011). Potensi biogas dapat dilihat dari hasil analisa penurunan COD. Konsentrasi COD
erat kaitannya dengan pembentukan metan (CH4) dan total asam volatil. Sehingga,
limbah cair kelapa sawit merupakan salah satu limbah yang berpotensi dijadikan sumber
biogas karena mengandung bahan-bahan organik yang tinggi.
1
Demi upaya pemanfaatan limbah cair kelapa sawit tersebut, maka perlu dilakukan
penelitian untuk melihat hasil biogas yang terbentuk dengan menggunakan bioreaktor
up-flow anaerobic sludge blanked (UASB).
1.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah dari latar belakang di atas adalah bagaimana potensi biogas pada
limbah cair kelapa sawit?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar biogas
yang dapat dihasilkan dari limbah cair kelapa sawit?
1.4 Batasan Masalah
Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada :
1. Limbah yang digunakan adalah limbah cair kelapa sawit.
2. Parameter yang akan diuji adalah COD removal.
3. Penelitian ini bersifat skala laboratorium.
4. Reaktor yang digunakan adalah reaktor dengan sistem up-flow anaerobic sludge
blanket.
5. Parameter yang akan diteliti adalah potensi biogas yang dihasilkan dalam waktu 60
hari penelitian atau saat biogas yang dihasilkan didapatkan hasil yang optimal.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biogas
Biogas didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan organik (seperti
kotoran ternak, kotoran manusia, jerami, sekam, dan daun-daun hasil sortiran sayur)
difermentasi atau mengalami proses metanisasi. Menurut Wahyuni (2009) biogas
merupakan campuran gas yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik yang terjadi pada
material-material yang dapat terurai secara alami dalam kondisi anaerobik. Menurut
Widodo et al (2006), teknologi biogas di Indonesia telah berkembang sejak lama namun
aplikasi penggunaannya sebagai sumber energi alternatif belum berkembang secara
luas. Beberapa kendalanya yaitu kekurangan technical expertise, reaktor biogas tidak
berfungsi akibat bocor atau kesalahan konstruksi, desain tidak user friendly,
penanganan masih secara manual, dan biaya konstruksi yang mahal. Kendala tersebut
dapat disikapi dengan cara merawat unit instalasi biogas, diantaranya:
1. Mengaduk campuran kotoran dan air yang terdapat pada digester setiap hari dengan
menggunakan bambu panjang agar kerak yang terdapat pada permukaan campuran
tidak menghambat produksi gas.
2. Agar digester dapat terus menghasilkan gas secara optimal, maka secara periodik
digester perlu dikuras/dibersihkan. Pembersihan digester dapat dilakukan setiap 5
atau 6 tahun sekali. Pembersihan digester dilakukan dengan terlebih dahulu
membuang gas metan dalam digester. Setelah tutup bagian atas dibuka, digester
dikuras, kemudian ditutup kembali dan kotoran dapat dimasukkan kembali (Anonim
2009).
2.2 Bahan baku Biogas
Menurut Hambali et al., bahwa ada tiga jenis bahan baku yang prospektif untuk
dikembangkan sebagai bahan baku biogas, diantaranya kotoran hewan dan manusia,
sampah organik dan limbah cair.
3
a. Kotoran Hewan dan Manusia
Pemanfaatan kotoran ternak dan manusia sebagai bahan baku biogas akan mengatasi
beberapa permasalahan yang timbul akibat kotoran tersebut bila dibandingkan limbah
lain yang menumpuk tanpa pengolahan. Kotoran hewan yang menumpuk akan
mencemari lingkungan. Jika kotoran tersebut terbawa air masuk kedalam tanah atau
sungai. Sebagai bahan baku biogas, ketersediaan kotoran hewan sangat melimpah.
Hewan-hewan tersebut diperlihara baik dalam jumlah besar di peternakan maupun
dipelihara secara individu dalam jumlah kecil oleh rumah tangga. Berdasarkan hasil
estimasi, seekor sapi dalam satu hari dapat menghasilkan kotoran sebanyak 10 - 30 kg,
seekor ayam menghasilkan kotoran 25 gram per hari dan seekor babi dewasa
menghasilkan kotoran 4,5 – 5,3 kg per hari. Berdasarkan hasil riset yang pernah ada
diketahui bahwa setiap 10 kg kotoran ternak sapi berpotensi menghasilkan 360 liter
biogas dan 20 kg kotoran babi menghasilkan 1,379 liter biogas.
b. Sampah Organik Padat
Secara garis besar, sampah dibedakan menjadi tiga jenis yaitu anorganik, organik dan
khusus. Sampah organik berasal dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang
diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan, kegiatan rumah
tangga, industri dan kegiatan lainnya. Sampah organik ini dengan mudah dapat
diuraikan dalam proses alami. Potensi sampah di Indonesia sangat besar. Khususnya
untuk rumah tangga, jumlah yang dihasilkan pada tahun 2020 diperkirakan akan
meningkat 5 kali lipat. Diprediksi peningkatan tersebut bukan saja karena pertambahan
penduduk, tetapi juga karena meningkatnya timbunan sampah perkapita yang
disebabkan oleh perbaikan tingkat ekonomi dan kesejahteraan. Berdasarkan hasil
penelitian, pembuatan biogas dari sampah organik menghasilkan biogas dengan
komposisi metan 51,33 – 58,18% dan gas CO2 41,82 – 48,67% campuran sampah
organik tersebut dengan kotoran dapat meningkatkan komposisi metan dalam biogas.
c. Limbah Organik Cair
Limbah cair merupakan sisa pembuangan yang dihasilkan dari suatu proses yang sudah
tidak dipergunakan. Kegiatan-kegiatan yang berpotensi sebagai penghasil limbah cair
antara lain kegiatan industri, rumah tangga, peternakan, dan pertanian. Saat ini kegiatan
4
rumah tangga mendominasi jumlah limbah cair dengan persentase sekitar 40 % dan
diikuti oleh limbah industri 30% dan sisanya limbah rumah sakit, pertanian, peternakan,
atau limbah lainnya. Komponen utama limbah cair adalah air (99%) sisanya yaitu bahan
padat yang bergantung pada asal buangan tersebut. Tidak semua limbah cair dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas, hanya limbah cair organik yang dapat
digunakan sebagai bahan baku biogas. Limbah tersebut diantaranya urin hewan, limbah
cair rumah tangga, dan limbah cair industriseperti, industri tahu, tempe, tapioka, brem
dan rumah potong hewan. Pengolahan limbah cair untuk biogas dilakukan dengan
mengumpulkan limbah cair dengan digester anaerob yang diisi dengan media
penyangga yang berfungsi sebagai tempat hidup bakteri anaerob.
2.3 Limbah cair Kelapa sawit
Pabrik kelapa sawit adalah pabrik yang mengelola bahan baku berupa kelapa sawit
hingga menghasilkan CPO (crude palm oil) atau minyak kelapa sawit sebagai hasil
utama dan inti sawit (palm kernel) sebagai hasil sampingan. Untuk menghasilkan CPO
dan inti sawit terdapat tujuh stasiun kerja yang terkait, yaitu : stasiun penerimaan buah,
stasiun perebusan, stasiun penebah, stasiun kempa, stasiun klarifikasi, stasiun pabrik biji
dan stasiun penunjang yang mendukung kegiatan produksi seperti stasiun pembangkit
tenaga, stasiun water treatment, laboratorium, dan pengolahan limbah.
Proses pengolahan kelapa sawit menghasilkan limbah yang berasal dari stasiun-stasiun
pengolahan. Limbah tersebut dapat dibedakan menjadi limbah padat dan limbah cair.
Limbah padat yang berasal dari stasiun penebahan berupa tandan sawit kosong. Limbah
padat yang berasal dari stasiun kempa berupa serat buah, sedangkan limbah padat yang
berasal dari stasiun biji berupa cangkang inti sawit. Sebagian besar limbah-limbah
tersebut dimanfaatkan sebagai sumber energi yang dibakar langsung. Limbah padat
yang berasal dari stasiun klarifikasi berupa lumpur akan diolah bersama dengan limbah
cair dan dialirkan ke kolam penampungan limbah.
Limbah cair pabrik kelapa sawit merupakan limbah terbesar dari proses pengolahan
kelapa sawit.Limbah cair yang dihasilkan oleh pabrik minyak kelapa sawit berasal dari
5
air kondensat pada proses sterilisasi, air dari proses klarifikasi, air hydrocyclone
(claybath) dan air pencucian pabrik.
Menurut Eckenfelder (1980), parameter-parameter yang digunakan sebagai tolak ukur
penilaian kualitas air, yaitu: biochemical oxygen demand (BOD), chemical oxygen
demand (COD), total organik carbon (TOC), padatan tersuspensi dan teruapkan
(suspended dan volatile solids), kandungan padatan keseluruhan, pH alkalinitas dan
keasaman, kandungan nitrogen dan fosfor, dan kandungan logam berat.
Berdasarkan Kepmen LH Nomor 51/MEN LH/10/1995, standar baku mutu
pembuangan limbah cair pengolahan kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.1 Standar baku mutu limbah cair pengolahan kelapa sawit
Parameter Baku Mutu Limbah
pH 6-9
BOD (g/l) 110
COD (g/l) 250
TSS (g/l) 100
Kandungan Nitrogen Total (g/l) 20
Oil and grease (g/l) 30
Sumber : Kepmen LH Nomor 51/MEN LH/10/1995
2.3 Proses Pembentukan Biogas
Secara umum proses pembentukan biogas yaitu fermentasi bahan organik kompleks
menjadi gas oleh mikroorganisme anaerob. Berdasarkan aliran bahan baku, reaktor
biogas (biodigester) dibedakan menjadi:
1. Bak (batch)
Pada tipe ini, bahan baku reaktor ditempatkan di dalam wadah (ruang tertentu) dari awal
hingga selesainya proses digesti. Umumnya digunakan pada tahap eksperimen untuk
mengetahui potensi gas dari limbah organik.
6
2. Mengalir (continuous)
Untuk tipe ini, aliran bahan baku masuk dan residu keluar pada selang waktu tertentu.
Lama bahan baku selama dalam reaktor disebut waktu retensi hidrolik (hydraulic
retention time/HRT).
Bapat et al., (2006), menambahkan satu jenis fermentasi yaitu feed batch. Fermentasi
feed batch merupakan proses fermentasi dengan penambahan nutrien pada interval
waktu tertentu dan tak ada media yang dipindahkan, berbeda dengan fermentasi
kontinyu yang dilakukan penambahan feed secara terus-menerus serta produknya
dipindahkan secara bersamaan. Penguraian bahan-bahan organik menjadi biogas dibagi
menjadi 4 tahap yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis, dan metanogenesis yang
berlangsung terus secara berantai sampai pada suatu keadaan dimana tidak ada lagi
bahan organik yang dapat dihidrolisa.
1. Hidrolisis
Grup mikroorganisme hydrolytic mengurai senyawa organik kompleks menjadi
molekul-molekul sederhana dengan rantai pendek. Senyawa tersebut diantaranya adalah
glukosa, asam amino, asam organik, etanol, karbon dioksida, dan hidrokarbon yang
dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan energi bagi bakteri untuk melakukan
fermentasi. Proses hidrolisis dikatalis oleh enzim yang dikeluarkan bakteri seperti
selullase, protease, dan lipase. Bakteri selulotik memecah atau memotong molekul
selulosa yang merupakan molekul dengan berat yang tinggi menjadi selulobiose
(glukosa-glukosa) dan menjadi glukosa bebas (free glucose). Glukosa kemudian
difermentasi secara anaerob menghasilkan bermacam-macam produk fermentasi seperti
asetat, propionat, butirat, H2, dan CO2.
Protein dan lemak juga dapat mengalami proses fermentasi anaerob yang menghasilkan
metana. Meskipun kandungan protein dan lemak lebih sedikit daripada karbohidrat,
tetapi metana yang dihasilkan dari fermentasi protein dan lemak dapat menambah
jumlah metana yang digunakan untuk biogas. Semakin banyak kandungan 59 bahan
organik yang terdapat dalam slurry maka mikroorganisme dapat tumbuh dan
7
berkembang dengan baik serta semakin banyak bahan organik yang dapat diubah
menjadi metana.
2. Asidogenesis
Tahap hidrolisis segera dilanjutkan oleh pembentukan asam pada proses asidogenesis.
Pada proses ini bakteri acidogenesis mengubah hasil dari tahap hidrolisis menjadi bahan
organik sederhana (kebanyakan dari rantai pendek, keton, dan alkohol).
3. Asetogenesis (Tahap Pembentukan Asam)
Pada tahap ini terjadi pembentukan senyawa asetat, CO2, dan hidrogen dari molekul-
molekul sederhana yang tersedia oleh bakteri aseton penghasil hidrogen. Bakteri
pembentuk asam antara lain Pseudomonas, Escherichia, Flavobacterium, dan
Alcaligenes yang mendegradasi bahan organik menjadi asam-asam lemak. Asam lemak
yang teruapkan dari hasil asidogenesis akan digunakan sebagai energi oleh beberapa
bakteri obligat anaerobik. Tetapi bakteribakteri tersebut hanya mampu mendegradasi
asam lemak menjadi asam asetat. Salah satunya adalah degradasi asam propionate oleh
Synthophobacter wolinii (Weismann 1991).
4. Metanogenesis (Tahap Pembentukan Metan)
Tahapan metanogenesis merupakan tahapan konversi anaerobik terakhir dan paling
menentukan, yaitu dilakukan penguraian dan sintesis produk tahap sebelumnya untuk
menghasilkan gas methana (CH4). Hasil lain dari proses ini berupa karbon dioksida, air,
dan sejumlah kecil senyawa gas lainnya. Bakteri yang terlibat pada proses ini yaitu
bakteri metanogenik dari sub divisi acetocalstic methane bacteria yang terdiri atas
Methanobacterium, Methanosarcina, dan Methanococcus. Pada proses di dalam reaktor,
pertumbuhan bakteri ini bergantung pada temperatur, keasaman, serta jumlah material
organik yang akan dicerna. Pada tahap awal pertumbuhannya, bakteri metanogenik
bergantung pada ketersediaan nitrogen dalam bentuk ammonia dan jumlah substrat yang
digunakan. Bakteri metanogenik mensintesis senyawa dengan berat molekul rendah
menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi, misalnya bakteri ini menggunakan
hidrogen, CO2, dan asam asetat untuk membentuk metana dan CO2 (Amaru 2004). Haq
dan Soedjono (2009) menyebutkan bahwa bakteri ini memiliki pertumbuhan yang lebih
8
lambat dibandingkan dengan bakteri yang ada pada tahap satu dan dua. Bakteri
methanogen sangat tergantung pada bakteri lainnya yang terdapat pada tahap
sebelumnya untuk menghasilkan nutrien dalam bentuk yang sesuai. Bakteri methanogen
secara alami dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti: air bersih, endapan air laut,
sapi, kambing, lumpur (sludge) kotoran anaerob ataupun TPA (Tempat Pembuangan
Akhir).
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses terbentuknya Biogas
Menurut Wahyuni (2009), proses fermentasi mengacu pada berbagai reaksi dan
interaksi yang terjadi diantara bakteri metanogen dan non-metanogen serta bahan yang
diumpankan ke dalam digester sebagai input. Hal ini adalah phisiko-kimia yang
kompleks dan proses biologis yang melibatkan berbagai faktor dan tahapan bentuk dan
dinamakan sebagai faktor abiotis. Faktor-faktor yang memengaruhi proses fermentasi
bahan organik menjadi biogas meliputi:
1. Starter
Starter yang mengandung bakteri metana diperlukan untuk mempercepat proses
fermentasi anaerob. Beberapa jenis starter antara lain :
Starter alami, yaitu lumpur aktif sebagai lumpur kolam ikan, air comberan atau
cairan septic tank, sludge, timbunan kotoran, dan timbunan sampah organik.
Starter semi buatan, yaitu dari fasilitas biodigester dalam stadium aktif.
Starter buatan, yaitu bakteri yang dibiakkan secara laboratoriun dengan media
buatan.
2. Komposisi nutrien
Menurut Hartono (2009), parameter penting pada proses anaerobik adalah total bahan
organik yang merupakan ukuran suatu material seperti karbohidrat, protein, dan lemak.
Seluruh substrat itu dapat dikonversi menjadi asam-asam teruapkan dan metan.
Ketersediaan nutrisi yang cukup berpengaruh pada gas metan yang akan dihasilkan.
9
3. Ukuran Bahan
Laju produksi biogas dapat ditingkatkan melalui pemberian pretreatmentsubstrat.
Maksudnya yaitu menghancurkan struktur organik kompleks menjadi molekul
sederhana sehingga mikroorganisme lebih mudah mendegradasi bahan tersebut. Bahan
dengan ukuran lebih kecil akan lebih cepat terdekomposisi daripada bahan dengan
ukuran yang lebih besar. Hal tersebut dikarenakan bahan dengan ukuran lebih kecil
memiliki luas kontak permukaan yang lebih besar dibandingkan bahan berukuran besar.
Menguatkan bahwa degradasi dan potensi produksi biogas dari limbah berserat dapat
secara signifikan meningkat dengan perlakuan awal yaitu memperkecil ukuran partikel.
4. Rasio C/N
Hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen yang terdapat pada bahan organik
dinyatakan dalam rasio karbon/nitrogen (C/N). Apabila rasio C/N sangat tinggi,
nitrogen akan dikonsumsi sangat cepat oleh bakteri metan sampai batas persyaratan
protein dan tidak lama bereaksi ke arah kiri pada kandungan karbon pada bahan.
Sebagai akibatnya produksi metan akan menjadi rendah, sebaliknya apabila rasio C/N
sangat rendah, nitrogen akan bebas dan akan terakumulasi dalam bentuk amonia (NH4)
yang berdampak pada meningkatnya pH pada digester. Syarat ideal C/N untuk proses
digesti sebesar 25–30. Oleh karena itu, untuk mendapatkan produksi biogas yang tinggi,
maka penambangan bahan yang 61 mengandung karbon (C) seperti jerami atau N
(misalnya urea) perlu dilakukan untuk mencapai rasio C/N tersebut.
2.5 Up-Flow Anaerobic Sludge Blanket
UASB (Up-flow Anaerobic Sludge Blanket) merupakan salah jenis reaktor anaerobik
yang paling banyak diterapkan untuk pengolahan berbagai Jenis limbah cair. Berbeda
dengan proses aerobik, dimana bahan organik dikonversi menjadi produk akhir berupa
karbon dioksida dan air, pada proses anaerobik sebagai produk adalah gas metana dan
karbon dioksida.
Perbedaan lain antara proses aerobik dan anerobik terletak pada karakteristik biomassa
yang menentukan jalannya proses perombakan. Pada proses aerobik, biomassa terdiri
atas berbagai jenis mikroorganisme, tetapi masing-masing merombak bahan organik
10
untuk keperluannya masing-masing. Pada proses anaerobik, sebenamya biomassa juga
terdiri atas berbagai jenis mikroorganisme, tetapi merombak bahan organik satu setelah
yang lain dafi bahan organik hingga biogas. Dengan demikian, proses berlangsung
sempurna hingga menghasilkan produk akhir, hanya jika proses pertukaran massa pada
setiap mikroorganisme yang terlibat berlangsung dengan kecepatan sama. Karena
alasan tersebut, proses anaerobik lebih sensitif terhadap pengaruh bahan toksik, pH,
dan temperatur dibanding dengan proses aerobik.
Berbagai jenis reaktor anaerobik telah dikembangkan, antara lain reaktor teraduk
sempurna fixed bed reactor, fluidized bed reactor, dan up-flow anaerobic sludge blanket
(UASB). Salah satu jenis reaktor anaerobik yang piling banyak diterapkan untuk
pengolahan limbah cair pada skala teknis adalah UASB. Reakator UASB merupakan
reaktor anaerobik, dimana influen dialirkan dari bawah menuju ke atas, Akibat
pertumbuhan mikroorganisme, pada bagian bawah reaktor terbentuk lapisan biomassa
(sludge). Pendukan media terjadi akibat aliran influen dan aliran gas yang terbentuk.
Sistem UASB dilengkapi dengan fasilitas pengeluaran gas, yang sekaligus berfungsi
sebagai unit pemisahan biomassa.
Kelebihan reaktor UASB adalah konstruksi sederhana, tanpa bahan untuk pertumbuhan
mikroorganisme, paling banyak diterapkan pada skala teknis sehingga banyak
pengalaman praktis. Kekurangan reaktor UASB antara lain adalah sangat sensitif
terhadap perubahan beban Hidrolik dan beban organik laju perombakan relatif rendah
dibanding dengan reaktor anaerobik lainnya, seperti reaktor fluidized bed. Kadar bahan
organik dalam efluen UASB umumnya masih tinggi, sehingga memerlukan
pengolahan tambahan, misalnya dengan proses aerobik.
11
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Balai Riset dan Standardisasi Industri Samarinda (Baristand
Industri Samarinda) pada bulan Mei 2013 s.d. bulan Juli 2013. Adapun limbah yang
digunakan adalah limbah cair dari industri kelapa sawit.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang akan digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut ;
1. Bak penampung limbah
2. unit Reaktor up-flow anaerobic sludge blanket
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ;
1. Limbah cair Kelapa sawit
2. Aquades dan air
3. Kotoran Sapi sebagai starter
3.3 Tahap pengumpulan Data
Tahap pengumpulan data dalam penelitian ini peneliti melakukan pengumpulan data-
data yang dapat menunjang penelitian sehingga memudahkan perancangan. Adapun
data-data yang dikumpulkan meliputi :
a. Data primer
Data primer adalah data utama yang diperoleh dari hasil pengamatan dan penelitian
di lapangan.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data-data pendukung dalam penelitian ini, seperti
pengumpulan data berdasarkan penelitian sebelumnya dan buku-buku terkait dengan
12
bahasan penelitian. Dimana data-data tersebut berupa gambar, grafik, tabel, dan data
pendukung lainnya.
3.4 Variabel Penelitian
Adapun variabel penelitian ini terdiri dari variable terikat dan variabel bebas.
a. Variabel terikat penelitian ini terdiri dari varibel terikat dan variabel bebas.
i. Limbah cair kelapa sawit yang digunakan
ii. Reaktor Up-Flow anaerobic Sludge Blanket
iii. Parameter yang diuji berupa COD awal dan akhir
iv. Kotoran sapi sebagai starter
b. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah :
i. pH yang berkisar antara 6.0 – 9.0
ii. Pengkondisian suhu
3.5 Metode Penelitian
Sumber biogas yang dipakai dalam penelitian ini adalah limbah cair kelapa sawit
dengan penambahan starter.
3.6 Prosedur Penelitian
Dalam teknik pengumpulan data yang akan digunakan untuk memperoleh data primer
dan data sekunder, penelitian akan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:
3.6.1 Tahap Persiapan
- Studi pustaka, dilakukan untuk mendapatkan literatur-literatur yang ada
hubungannya dengan penelitian baik buku-buku pustaka maupun hasil penelitian
terdahulu.
- Penyiapan bahan dan alat penelitian.
3.6.2 Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah cair kelapa sawit dan kotoran
sapi sebagai stater.
13
3.6.3 Pengoperasian Alat
Kotoran hewan yang telah diambil sebagai sampel untuk starter dimasukkan kedalam
unit reaktor. Kemudian memasukkan limbah cair kelapa sawit yang sebelumnya telah
diukur kadar COD awalnya.
3.6.3 Analisis Data
Pengambilan sampel limbah cair kelapa sawit untuk diuji kadar COD awal dan COD
akhir dari limbah cair kelapa sawit tersebut. Analisa COD limbah cair kelapa sawit ini
bertujuan untuk melihat COD removal yang diperoleh dari reaktor yang digunakan.
Kemudian menghitung produksi biogas limbah cair kelapa sawit yang dihasilkan dari
reaktor up-flow anaerobic sludge blanket (UASB) pada waktu tinggal tertentu yang
paling optimal.
Gambar 3.1 Skema peralatan bioreaktor UASB dalam skala laboratorium
14
3.7 Bagan Alur
Gambar 3.2 Bagan Alur
(sumber : Data Primer, 2013)
15
Ide studi pengolahan limbah kelapa sawit menjadi biogas dengan menggunakan bioreaktor up-flow anaerobic sludge (UASB)
Studi literatur
Perumusan masalah
Pengumpulan data Persiapan alat Persiapan bahan
Data sekunder- Jurnal- Penelitian sebelumnya- Buku yang terkait
bahasan
Data primer- Pengamatan dan
penelitian di laboratorium
- Pembuatan starter- Pengambilan limbah
cair kelapa sawit
Analisis data hasil penelitian- Produksi biogas- Nilai COD awal dan COD akhir limbah cair kelapa
sawit
Kesimpulan dan Saran
Recommended