View
238
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
1
SEMINAR SEHARI 14 April 2012
Memperingati 30 Tahun Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi
PROSPEK BISNIS MASYARAKAT DALAM PENYEDIAAN
BAHAN BAKAR BIOETANOL
Budy Rahmat
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi
ABSTRAK
Indonesia sebenarnya memiliki sumber bahan baku bioetanol yang berlimpah dan
beragam sumber karbohidrat, seperti macam gula, molases, nira; pati yang berasal dari
singkong, ubi jalar, gadung dll.; dan selulosa. Proses produksi bioetanol meliputi dua tahap,
yaitu proses sakarifikasi dan fermentasi. Proses sakarifikasi bertujuan untuk memecah
karbohidrat menjadi monomer gula. Proses fermentasi dilangsungkan pada pH 4-6, suhu 30-
35oC, dan kondisi anaerobik. Mikroba yang berperan dalam proses fermentasi adalah
Saccharomyces cerevisiae atau Zimomonas mobilis. Proses fermentasi mampu menghasilkan
etanol sampai kadar 12%. Selanjutnya distilasi mampu menghasilkan etanol dengan
kemurnian maksimum 95,6%. Etanol yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar harus
mempunyai grade 99,5 - 100%. Untuk mencapai standar itu, bisa dilakukan dengan alternatif
: menambahkan entrainer, pemisahan dengan membran, evaporasi, atau menggunakan
penyaringan molekul. Selain untuk bahan bakar, etanol biasa digunakan sebagai bahan baku
industri farmasi, kosmetik, parfum, bahan dasar turunan alkohol, dan minuman keras.
Analisis kelayakan usaha produksi bioetanol berbahan baku singkong diperagakan dalam
simulasi pabrik bioetanol kapasitas 37 liter per hari. Ternyata usaha tersebut layak hingga
pada tingkat suku bunga bank 16%, karena memiliki BC Ratio > 1 dan NPV= 80.956,737.
Penggunaan dan produksi bioetanol cocok dengan kondisi sumberdaya Indonesia, sehingga
penyediaan bahan bakar bioetanol memberi peluang bagi bisnis masyarakat
Kata kunci: bahan bakar, bioetanol, bisnis masyarakat, fermentasi.
I. PENDAHULUAN
Kontinuitas penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuel) memunculkan dua ancaman
serius, yaitu: (i) faktor ekonomi, berupa jaminan ketersediaan bahan bakar fosil untuk
beberapa dekade mendatang, masalah pasokan, harga dan fluktuasi; (ii) polusi akibat emisi
pembakaran bahan bakar fosil ke lingkungan. Polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran
bahan bakar fosil memiliki dampak langsung maupun tidak langsung kepada derajat
kesehatan manusia. Polusi langsung bisa berupa gas-gas berbahaya, seperti CO, NOx, dan
2
hidrokarbon yang tidak terbakar, serta unsur metal seperti timbal (Pb). Sedangkan polusi
tidak langsung mayoritas berupa peningkatan jumlah molekul CO2 yang berdampak pada
pemanasan global. Kesadaran terhadap ancaman serius tersebut telah mengintensifkan
berbagai riset yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber energi ataupun pembawa energi
yang lebih terjamin keberlanjutannya dan lebih ramah lingkungan.
Pemerintah berupaya keras mencari sumber-sumber bahan bakar alternatif yang dapat
diperbaharui yaitu bahan bakar nabati (BBN/biofuel) sebagai pengganti sumberdaya energi
fosil yang tidak dapat diperbaharui. Sumber BBN adalah tanaman pertanian, utamanya kelapa
sawit dan jarak pagar yang menghasilkan biodiesel sebagai pengganti solar; dan ubikayu dan
tebu yang menghasilkan bioetanol sebagai pengganti premium (Prajogo et al., 2006).
Bioetanol memiliki nama kimia etanol (C2H5OH) atau alkohol yang dibuat dari bahan
hasil tumbuhan. Bioetanol merupakan bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman
yang mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung dan sagu. (Allen et al., 2001;
BPPT, 2005). Alkohol atau etanol biasa digunakan sebagai bahan baku industri farmasi,
kosmetik, parfum, bahan dasar turunan alkohol, minuman keras, dan bahan bakar. Mengingat
pemanfaatan etanol beraneka ragam, sehingga grade-nya yang dimanfaatkan harus berbeda
sesuai dengan penggunaannya. Etanol yang mempunyai grade 90-96,5% dapat digunakan
pada industri, sedangkan grade 96-99,5% dapat digunakan sebagai campuran untuk minuman
keras dan bahan dasar industri farmasi. Etanol yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk
kendaraan harus betul-betul kering (anhydrous) supaya dapat bercampur dengan bensin dan
tidak korosif, sehingga etanol harus mempunyai grade sebesar 99,5 hingga 100%
(Departemen ESDM, 2005).
Memperhatikan prospek strategis alkohol seperti diuraikan di atas, maka teknologi
pengolahan hasil-hasil pertanian karbohidrat menjadi alkohol menjadi penting untuk dikuasai
terus dikembangkan oleh segenap stake holder di Indonesia. Paper ini bertujuan mengkaji
beberapa pustaka untuk mengungkap prospek pengembangan bisnis produksi bioetanol di
masyarakat pada level usaha mikro, kecil, dan menengah.
II. PROSES PRODUKSI BIOETANOL
Proses produksi bioetanol yang selama ini sudah dikembangkan dan diterapkan secara
umum meliputi dua tahap, yaitu proses sakarifikasi dan fermentasi. Proses sakarifikasi
bertujuan untuk memecah karbohidrat (seperti gula, selulosa dan hemiselulosa) menjadi
monomer gula.
3
Pada bahan baku molase, gula bit, dan gula tebu yang selama ini sudah digunakan
secara luas sebagai bahan baku etanol, proses pembuatan etanol lebih sederhana karena bahan
baku tersebut dapat langsung disakarifikasi dengan menambahkan glukoamilase (Be Miller et
al., 1996). Sedangkan untuk bahan baku berpati, sebelum proses sakarifikasi harus dilakukan
proses liquefaksi terlebih dahulu, proses dengan bahan baku berpati ini sudah diterapkan
secara luas terutama di Brazil dan di Amerika untuk menghasilkan bioetanol, tetapi di
Indonesia masih dilangsungkan pada skala rumah tangga (Prihandana et al., 2008). Proses
liquefaksi dilakukan karena mikroorganisme fermentasi etanol tidak dapat mengkonversi pati
menjadi etanol secara langsung, diperlukan enzim untuk mengkonversi oligosakarida pada
pati menjadi maltosa, kemudian melalui proses sakarifikasi diubah menjadi gula sederhana
yang mudah difermentasi.
Tahapan proses produksi bioetanol adalah sebagai berikut:
(1) Proses Liquefaksi
Pada tahap liquefaksi terjadi proses gelatinasi untuk memecah pati sehingga pati
mejadi dekstrin. Proses liquefaksi dilangsungkan pada suhu tinggi yaitu 80-90 oC dan pH 5
selama 30 menit (Albrecht et al., 2007), proses pemecahan pati dilakukan dengan
menambahkan enzim amilase. Amilase yang ditambahkan bisa terdiri dari dua tipe, yaitu
endo-amilase yang akan menyerang ikatan a-1,4 glikosidik pada polimer pati secara acak dan
ekso-amilase yang akan menghidrolisis glukosa atau maltosa dari ujung pereduksi polimer
pati (Agu et al., 1996).
(2) Proses Sakarifikasi
Proses sakarifikasi bertujuan untuk mengkonversi dekstrin yang dihasilkan pada
proses liquefaksi sehingga menghasilkan mono- atau di-sakarida (Albrecht et al., 2007).
Proses sakarifikasi dilangsungkan dengan menambahkan glukoamilase. Pada proses ini
terjadi pelepasan a-D-glukosa dari ujung gula non pereduksi 1,4-a-glukan. Reaksi
berlangsung pada pH 4-5 dan pada temperatur 50-60 oC selama 2 jam (Allen et al., 2001;
Prihandana et al., 2008).
(3) Proses Fermentasi
Proses fermentasi dilangsungkan pada pH 4-6, pada temperatur 30-35 oC (Albrecht et
al., 2007; Prihandana et al., 2008) dan kondisi fermentasi dijaga anaerobik. Mikroba yang
membantu proses fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae atau Zimomonas mobilis.
4
Proses fermentasi mampu menghasilkan etanol sampai kadar 12% karena di atas kadar
tersebut mikroorganisme yang membantu proses fermentasi tidak dapat bekerja lagi.
(4) Proses Pemisahan dan Pemurnian
Untuk memisahkan broth etanol dengan biomassa mikroba dilakukan dengan
dekantasi. Sebagian biomassa dikembalikan lagi pada tangki fermentasi untuk melakukan
fermentasi selanjutnya. Untuk memisahkan etanol dari broth fermentasi dapat dilakukan
dengan distilasi secara bertingkat karena kandungan air pada broth masih tinggi. Distilasi
bertingkat mampu menghasilkan etanol dengan kemurnian maksimum 95,6%, karena pada
kemurnian tersebut etanol membentuk azeotrop dengan air sehingga tidak dapat dipisahkan
lagi dengan pemisahan biasa. Untuk mendapatkan etanol standar bahan bakar, kemurnian
99%, dapat dilakukan dengan menambahkan entrainer, pemisahan dengan membrane secara
evaporasi, ataupun dengan menggunakan molecular sieve (Albrecht et al., 2007).
III. PROSPEK BIOETANOL SEBAGAI BAHAN BAKAR
Penggunaan etanol sebagai bahan bakar mulai diteliti dan diimplementasikan di AS
dan Brazil sejak terjadinya krisis bahan bakar fosil di kedua negara tersebut pada tahun 1970-
an. Brazil tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki keseriusan tinggi dalam
implementasi bahan bakar etanol untuk keperluan kendaraan bermotor dengan tingkat
penggunaan bahan bakar etanol saat ini mencapai 40% secara nasional. Di AS, bahan bakar
relatif murah, E85, yang mengandung etanol 85% semakin populer di masyarakat dunia.
Indonesia memiliki sumber bahan baku, yang berlimpah dan beragam. Dengan
demikian, produksi etanol dari bahan alami (bioetanol) dapat disesuaikan dengan
ketersediaan bahan baku di daerah setempat. Bahan pembuat karbohidrat bisa menggunakan
bahan dasar gula semacam gula, molases (tetes tebu), nira. Ada juga bahan dasar karbohidrat
atau pati, yang berasal dari singkong (ubi kayu), ubi manis (ubi jalar), hingga selulosa.
Terdapat beberapa karakteristik internal etanol yang menyebabkan penggunaan etanol
pada mesin lebih baik daripada bensin. Etanol memiliki angka research octane 108.6 dan
motor octane 89.7 (umumnya motor octane < research octane). Angka tersebut, terutama
research octane melampaui nilai maksimal yang mungkin dicapai oleh bensin walaupun
setelah ditambahkan aditif tertentu. Sebagai catatan, bensin yang dijual Pertamina memiliki
angka research octane 88. Untuk rasio campuran etanol dan bensin mencapai 60:40%,
tercatat peningkatan efisiensi hingga 10%.
5
Etanol memiliki satu molekul OH dalam susunan molekulnya. Oksigen yang
berikatan di dalam molekul etanol tersebut membantu penyempurnaan pembakaran antara
campuran udara dan bahan bakar di dalam silinder. Ditambah dengan rentang keterbakaran
(flammability) yang lebar, yakni 4.3 – 19 v% (dibandingkan dengan gasoline yang memiliki
rentang keterbakaran 1.4 – 7.6 v%), pembakaran campuran udara dan bahan bakar etanol
menjadi lebih baik. Hal ini dipercaya sebagai faktor penyebab relatif rendahnya emisi CO
dibandingkan dengan pembakaran udara dan bensin, yakni sekitar 4%. Etanol juga memiliki
panas penguapan yang tinggi, yakni 842 kJ/kg. Tingginya panas penguapan ini menyebabkan
energi yang dipergunakan untuk menguapkan etanol lebih besar dibandingkan bensin.
Konsekuensi lanjut dari hal tersebut adalah temperatur puncak di dalam silinder akan lebih
rendah pada pembakaran etanol dibandingkan dengan bensin.
Indonesia telah mengeluarkan regulasi tata-niaga produksi dan pemanfaatan bioetanol
melalui Keputusan Menteri tertanggal 26 September tahun 2008 yang memungkinkan dunia
usaha mengembangkan produksi bioetanol (biofuel) untuk kebutuhan dalam negeri maupun
ekspor. Disamping itu, Kementrian ESDM dan Timnas Bioetanol terus menggalakkan inovasi
pengembangan produksi bioetanol di Indonesia. Isi regulasi tersebut adalah :
1) Kewenangan setingkat Gubernur untuk izin operasional kapasitas produksi di atas
5.000 ton/tahun sampai 10.000 ton/tahun.
2) Kewenangan setingkat Bupati/Walikota, untuk izin operasional kapasitas produksi
hingga 5.000 ton/tahun.
3) Setiap daerah Propinsi/Kabupaten-Kota wajib memanfaatkan penggunaan bioetanol
hingga 15% dari kuota BBM di daerahnya.
4) Penggunaan untuk kendaraan otomotif maksimal 10% dari kuota nasional, dalam
bentuk campuran.
Catatan: campuran 9 liter bensin premium + 1 liter bioetanol = Petramax-Plus
5) Indikasi harga disesuaikan dengan mekanisme pasar, atau di bawah BBM nonsubsidi
6) Peluang distribusi secara mandiri (independen).
7) Peluang ekspor bioetanol
Alokasi pemanfaatan produk bioetanol
1) Kadar 60% - 70%, sebagai substitusi produk alkohol (industri farmasi) sebagai
substitusi BBM jenis minyak tanah
2) Kadar 70% - 80%, sebagai substitusi produk alkohol (industri farmasi)
6
3) Kadar 70% - 90%, sebagai bahan pendukung produksi makanan & minuman
4) Kadar 99,5% sebagai substitusi BBM jenis bensin.
Peluang industri pendukung produksi bioetanol:
1) Kompor Bioetanol,
a. Teknologi produksi sederhana dan mudah dikembangkan (inovasi)
b. Tidak membutuhkan alat pendukung seperti tabung gas elpiji
c. Nilai efisiensi dan ekonomis sangat tinggi : (i) satu liter bioetanol sama dengan
dua setengah liter minyak tanahl; (ii) proses pemasakan tidak berjelaga (bercak
hitam) pada wadah memasak; (iii) proses pengapian sangat aman; (iv) kualitas
pengapian lebih baik dibandingkan gas
d. Peluang pasar yang besar dan lebar
2) Depo distribusi bioetanol
a. Penjualan produk cCampuran
b. Penjualan eceran rumah tangga dan industri
3) Bengkel modifikasi
4) a. Sparepart modifikasi sederhana kendaraan roda dua, atau bengkel modifikasi
b. Sparepart modifikasi sederhana generator listrik, atau bengkel modifikasi
Bioetanol dalam bentuk lain adalah spirtus, yaitu cairan berwarna biru yang
digunakan untuk menyalakan lampu tekan (petromaks). Etanol yang digunakan berkadar 70%
dan diberi warna karena etanol asli tidak berwarna alias bening.
Keuntungan penggunaan bioetanol adalah adanya unsur oksigen sehingga emisi gas
karbon monoksida (CO) pada kendaraan bensin turun signifikan. Namun keberadaan unsur
oksigen itu menyebabkan etanol bersifat korosif.
Meskipun demikian, adanya "sumbangan" oksigen membantu proses pembakaran
dalam mesin bisa berlangsung sempurna, maka power atau tenaga yang dihasilkan jauh lebih
tinggi. Rumus kimia etanol adalah C2H5OH, sedangkan bensin adalah C6H6 yang hanya
mengandung unsur karbon dan hidrogen.
Campuran bensin etanol juga bisa meningkatkan angka oktan bensin premium.
Angka oktan (RON) etanol adalah 117, sedangkan RON bensin premium adalah 88. Jadi jika
menggunakan campuran 10% etanol, angka oktan bensin menjadi (90% X 88) + (10% x 117)
= 90,9, sedangkan angka oktan jika menggunakan campuran 20% etanol menjadi 93,8.
7
Berdasarkan analisis biaya, ambil saja etanol dari singkong. Setiap 6,5 kg singkong
menghasilkan 1 liter bioetanol. Harga jual bioetanol adalah Rp 6.000,00/liter, sedangkan
biaya kotor produksi sekitar Rp 3.400,00/liter. Biaya produksi ini terdiri dari penggunaan
bahan baku, enzim, ragi, upah kerja, bahan bakar kompor, dan lain-lain. Jadi ada selisih
keuntungan kotor Rp 2.600,00/liter.
Jika menggunakan campuran bensol 10%, berarti untuk setiap liter bensol
memerlukan anggaran (90% X Rp 4.500,00/liter bensin) + (10% X Rp 6.000,00/liter etanol)
= Rp 4.650,00. Memang ada kenaikan harga Rp 150,00/liter, namun jika kuota subsidi BBM
premium tahun ini 17 juta kiloliter, penggunaan 10% campuran etanol akan mengurangi
subsidi menjadi 15,3 juta kiloliter atau berkurang 1,7 juta kl.
Dengan asumsi harga subsidi premium Rp 1.421,00 hingga Rp 3.639,00 setiap liter,
ada penghematan anggaran sebesar Rp 2,42 triliun hingga Rp 6,19 triliun. Selisih anggaran
itu bisa digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk mendorong tumbuhnya industri
bioetanol berbasis potensi daerah. Kalau hal ini sudah berjalan, maka Pertamina tak perlu
mengangkut BBM ke Papua yang menyebabkan harga jual bensin lebih tinggi. Cukup
mengolah sagu atau jagung yang tumbuh subur di sana.
Ada beberapa hambatan dan tantangan yang bisa ditemui dalam pengembangan
produksi dan penggunaan bioetanol, yaitu:
1) Kapasitas produksi tertinggi bioetanol yang diizinkan pemerintah tidak mencukupi
untuk memenuhi pasokan kebutuhan nasional dan mengurangi peluang pencapaian
laba maksimum.
2) Pengembangan jaringan produksi dan pemasaran pada setiap wilayah kerja setingkat
provinsi dan kabupaten dalam bentuk kemitraan terintegrasi (pendekatan konsorsium)
adalah tantangan yang menjanjikan bagi pertumbuhan usaha dan investasi
3) Pergerakan pasar cenderung bersifat lokal – teritorial, sehingga kualitas dan stabilitas
kultur korporasi dan kebijakan manajemen menjadi isu utama untuk dibakukan.
Memang tak dapat dipungkiri, kendala mendasar dari penerapan bioetanol di
Indonesia belum adanya kendaraan bermotor yang bisa mengadopsi bioetanol hingga 100%
seperti negara Brasil. Kalaupun ada, saat ini baru sebatas mencampur bensin dengan etanol
pada rasio campuran 90% bensin dengan 10% etanol atau 80% bensin dengan 20% etanol.
Jika menggunakan etanol murni, dikhawatirkan akan melarutkan karet-karet seal klep, tetapi
untuk kendaraan di atas tahun 2000 bisa menggunakan bioetanol..
8
Seandainya akan menggunakan campuran bensin etanol tak perlu ada modifikasi
pada mesin kendaraan, cukup mengatur sistem pengapian agar waktu pembakaran tepat. Jika
melihat sejarah pembuatan mesin mobil, Otto dan Henry Ford membuat mesin mobil generasi
pertama menggunakan bahan bakar bioetanol berkadar 99%. Pada saat itu belum dikenal
bensin yang diperoleh dari pengolahan minyak bumi.
IV. KELAYAKAN USAHA BIOETANOL
Analisis kelayakan usaha produksi bioetanol berbahan baku singkong diperagakan
dalam pabrik skala rumah tangga berkapasitas 37 liter per hari seperti disajikan pada Tabel 1.
Langkah awal untuk melakukan analisis kelayakan pada kasus investasi
pembangunan digester biogas adalah membuat diagram aliran kas (cash flow diagram) untuk
memperjelas fungsi dan posisi dari semua transaksi yang dilakukan (Kastaman, 2005).
Tabel 1. Simulasi transaksi biaya dan penerimaan usaha produksi bioetanol 37 L/hari
Pos Jenis Transaksi Rincian (Rp) Jumlah (Rp)
A. Investasi :
1. Pengadaan Instalasi Pengolah 6.000.000
2. Pengadaan alat dan bangunan penunjang 2.000.000
Jumlah A 8.000.000
B. Biaya Tetap per Tahun :
1. Biaya depresiasi 1.160.000
2. Biaya perawatan instalasi dan bangunan 500.000
Jumlah B 1.660.000
C. Biaya Variabel per Tahun :
1. Singkong:250 kg x 240 hari x Rp 500 30.000.000
2. Amilase : 15 g x 240 hari x Rp 80 288.000
3. Urea : 0,4 kg x 240 hari x Rp 3000 288.000
4. NPK : 0,1 kg x 240 hari x Rp 5000 120.000
5. Ragi : 5 g x 240 hari x Rp Rp 80 96.000
6. Minyak bakar : 4 L x 240 hari x Rp 6000 5.760.000
7. Upah kerja : 240 hari x Rp 60.000 14.400.000
8. Listrik : 12 bulan x Rp 200.000 2.400.000
Jumlah C 53.352.000
D. Penerimaan per Tahun :
1. Bioetanol 95% : 37 L x 240 hari x Rp 6000 53.280.000
2. Kompos Stilage 100 kg x 240 hari x Rp 175 4.200.000
Jumlah D 57.480.000
9
Rajendran et al. (2012) mengemukakan bahwa, metode yang dapat digunakan untuk
menilai kelayakan ekonomi suatu investasi usaha dan dapat dilakukan sekaligus, yaitu:
1) Metode rasio manfaat dan biaya (benefit cost ratio analysis) atau lebih dikenal dengan
BC Ratio.
2) Metode ekivalensi nilai sekarang (present worth analysis) atau lebih dikenal dengan NPV
(Net Present Value).
3) Metode tingkat suku bunga pengembalian modal (rate of return analysis) atau lebih
dikenal dengan IRR (Internal Rate of Return).
Tabel 2. Analisis finansial pengolahan bioetanol
Suku Bunga
(%) Σ PV Pengeluaran
(Rp) Σ PV Penerimaan
(Rp) NPV (Rp)
BC ratio
12 206305948.4 207202536.1 896587.67 1.00434591
13 201489926.2 202170452.9 680526.75 1.00337747
14 196860650.3 197333494.1 472843.83 1.00240192
15 192408756.3 192681875 273118.78 1.00141947
16 188125442.5 188206399.2 80956.737 1.00043033
17 184002431.1 183898417.4 -104013.7 0.99943472
Berdasarkan analisis metode rasio manfaat dan biaya (benefit cost ratio analysis)
atau lebih dikenal dengan BC Ratio. Usaha produksi bioetanol tersebut dinilai layak hingga
suku bunga bank 16%, karena memiliki nilai BC Ratio > 1. Demikian pula berdasarkan
metode ekivalensi nilai sekarang (present worth analysis) atau lebih dikenal dengan NPV
(Net Present Value), usaha tersebut layak karena memiliki NPV > 0 sampai suku bunga bank
16%. Selain itu kelayakan usaha itu bisa dinilai dengan metode tingkat suku bunga
pengembalian modal (rate of return analysis) atau lebih dikenal dengan IRR (Internal Rate of
Return). Pada suku bunga IRR akan diperoleh NPV = 0; dan nilai IRR > dari MARR
(minimum attractive rate of return).
10
V. PENUTUP
Penggunaan dan produksi bioetanol cocok dengan kondisi sumberdaya alam
Indonesia. Prospek penyediaan bahan bakar bioetanol memberi peluang bagi bisnis
masyarakat. Bisnis ini berbasis sumberdaya lokal, tapi perlu kreativitas masyarakat
PUSTAKA
Agu, R.,C., Amadife, A., E., Ude, C., M., Onyia, A.,1997, Combined Heat Treatment and
Acid Hydrolysis of Cassava Grate Waste (CWG) Biomass for Etanol Production,
Vol. 17, Elsevier Science Ltd, Britain, pp. 91-96.
Albrecht, A., Grondin, O., Le Berr, F., Le Solliec, G. 2007. Towards a stronger Simulation
support for engine control design, a methodological point of view, Oil & Gas
Science and Tecnology – Rev. IFB, 62(4), 437-456.
Allen, S. G., Schulman, D., Lichwa, J, 2001. A comparison between hot liquid water and
steam fractionation of corn fiber. Ind. Eng. Chem. Res., 40, 2934-2941.
BeMiller, J. N. &Whistler, R. L. 1996. Carbohydrates. In Food Chemistry (3rd ed. 157-223).
New York; New York, Marcel Deker.
BPPT, 2005, Kajian Lengkap Prospek Pemanfaatan Biodiesel Dan Bioetanol Pada Sektor
Transportasi Di Indonesia. Balai Besar Teknologi Pati-BPPT, Jakarta.
Departemen ESDM, 2005, Blue Print Pengelolaan Energi Nasional2005-2025, Pola Pikir
Pengelolaan Energi Nasional.
Dhewanto, W., 2007, Bioetanol dan Swasembada Energi, Harian Bisnis Indonesia, Jakarta.
Kastaman, R., Herwanto, T., dan Iskandar, Y., 2005, Rancang Bangun dan Uji Kinerja
Reaktor Kompos Skala Rumah Tangga. Jur. Agrikultura April 2006. Vol. 17: 1-10.
Hikmiyati, N., Sandrie, N., 2008, Pembuatan Bioetanol dari Limbah Kulit Singkong Melalui
Proses Hidrolisis Asam dan Enzimatis. Jurusan Teknik Kimia, Fak. Teknik,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Prihandana, Rama, Roy Hendroko. 2008. Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan.
Jakarta : AgroMedia Pustaka.
Prihandana, Rama, Roy Hendroko. 2008. Energi Hijau. Jakarta : Penebar Swadaya.
Rajendran, K., Aslanzadeh, S., and Taherzadeh, M.J., 2012, Household Biogas Digesters -A
Review. Energies Journal, 5(4): 2911-2942
Ranola, Roberto F. 2009. Enchancing The Viability of Cassava Feedstock for Bioetanol In
The Philipphines. Jurnal (terhubung berkala).
11
12
.
Recommended