View
232
Download
4
Category
Preview:
Citation preview
Keadilan Prosedural dan Substantif dalamPutusan Sengketa Tanah Magersari
(Kajian Putusan Nomor74/PDT.G/2009/PN.YK)
By M. Syamsudin
WORD COUNT 47216 TIME SUBMITTED 27-JUL-2016 09:31AM
PAPER ID 24245517
KEADILAN PROSEDURAL DAN SUBSTANTIF DALAM PUTUSAN SENGKETA TANAH MAGERSARI
Kajian Putusan Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YK
PROCEDURAL AND SUBSTANTIVE JUSTICE IN THE CASE OF LAND DISPUTE OF MAGERSARI
An Analysis of Decision Number 74/PDT.G/2009/PN.YK
M. Syamsudin
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
J1. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta 55151
Email: sm.syamsudin@yahoo.com.au
Diterima tgl 7 November 2013/Disetujui tgl 24 Maret 2014
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji isi putusan hakim tentang sengketa tanah Magersari,
Yogyakarta, dengan mempertanyakan apakah
majelis hakim sudah metnpertimbangkan semua
fakta hukum yang terungkap di persidangan secara berimbang dan didasarkan pada hukum fonnil dan
materiil. Penelitian ini tergolong kajian hukum
doktrinal dengan pendekatan kasus. Objek kajian
adalah Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YK. Hasil kajian
meminjulckan bahwa isi putusan tersebut sudah
mencerminkan keadilan prosedural, karena sudah
memuat hal-hal yang hams ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana tercantum dalam
Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tatum 2009 dan Pasal
184 HIR/195 RBG dan sudah mencennati alat-alat
bukti yang sail sesuai dengan Pasal 164, 153, dan
154 I-HR atau 284, 180, dan 181 RBG. Akan tetapi
jika dilihat dari aspek keadilan substansial, isi
putusan tersebut belum sepenuhnya mencenninkan
keadilan substantif. Hal tersebut dapat diukur dari tidak adanya yurisprudensi yang diacu oleh hakim
dalam m.embuat pertimbangan hukum, absennya
doktrin atau teori yang dijadikan dasar pertimbangan
hukum, dan tidak ditemukannya penggalian hukum yang hidup di masyarakat.
Kata kunci: keadilan substantif, keadilan prosedural,
sengketa tanah.
ABSTRACT
This analysis is intended to review the District
Cowl's Decision Number 74/PDT.G/2009/PN.YK
regarding a case of land disputes in Magersari,
Yogyakarta, whether the judges have considered all
the legal facts revealed in the trial consistently and
based on formal and substantive law. This is just an
analysis of doctrinal law using a case approach.
In the analysis, it shows that the judge's decision
has reflected procedural justice. It contains the
conditions that must be present in a court decision
as contained in Article 2 paragraph (1) of Law
Number 48 of 2009 and Article 184 HIR/195 RBG,
and has the evidence revealed, as in accordance
with Article 164, 153, and 154 HIR or 284, 180,
181 Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014:18 - 33
and 181 RBG. On the other hand' the decision has
not filly reflected substantive justice. This can be
seen from the absence ofjurisprudence referred to
by the judge in making legal considerations, and the absence of doctrine or theory that forms the
basis of legal reasoning as well as legal values that
lives in the community.
Keywords: substantial justice, procedural justice,
land dispute.
I. PENDAHULUAN
Bagi masyarakat tradisional dan juga
modern, tanah mempunyai arti penting baik
dari aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Bahkan
tanah terkadang mempunyai makna magis bagi
masyarakat tertentu, khususnya masyarakat adat.
Arti penting itu antara lain sebagai tempat tinggal
untuk mempertahankan kehidupan, tempat
persemayaman terakhir, alat pengikat masyarakat
dalam suatu persekutuan dan juga sebagai modal
atau aset produksi utama dalam suatu hubungan
bisnis. Oleh karena itu, dalam realitas empiriknya
tanah justru sering menjadi sumber sengketa
di antara anggota warga masyarakat, baik
secara perseorangan maupun kolektif. Sengketa
tersebut dapat terkait dengan berbagai hal seperti
ketidakjelasan status, perbatasan, pengelolaan,
hak kepemilikan, penguasaan, pemakaian, dan
juga hubungan-hubungan transaksi lainnya.
Keberadaan tanah di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), mempunyai keunikan
tersendiri. Keunikan tersebut tentunya tidak
lepas dari sejarah pertanahan di DIY. Pertanahan
yang ada di DIY sekarang ini, tidak terlepas dari
kesinambungan sejarah yang tentunya sangat
dipengaruh oleh ugeran dan kebijakan Keraton
Yogyakarta. Termasuk dalam hal ini adalah Iradisi
hukum lokal terkait hak atas tanah yang disebut
"Ngindung" dan/atau "Magersari." Ngindung
dan/atau magersari merupakan hak perorangan
atas tanah yang lahir dari budi balk pemilik
tanah didasarkan pada asas tolong menolong dan
kekeluargaan. Seseorang yang diberi hak ngindung
dan/atau magersari oleh pemilik tanah, dapat
mendirikan bangunan rumah di atas tanah tersebut
atau mendiami sebagian bangunan rumah pemilik
tanah tersebut tanpa dipungut pembayaran tertentu.
Jika hal tersebut terdapat pembayaran, hanyalah
sekedar tanda (simbol) masuk pekarangan atau
rumah milik orang lain tersebut (Bzn, 1959: 115).
Dalam praktik, keberadaan status tanah
magersari di DIY tidak lepas dari berbagai
permasalahan yang muncul. Berikut ini
merupakan kasus tanah magersari yang diangkat
untuk dijadikan objek kajian. Permasalahan
diawali dengan munculnya kasus Sultan Ground
(SG) yang obyek sengketanya adalah tanah
dengan status magersari atas SG yang dikuasai
oleh CA, yang beralamat di Jalan Suryowijayan
No. 20 RT 23/RW 07 Kelurahan Gedongkiwo,
Kecamatan Mantrijeron, Daerah Istimewa
Yogyakarta. CA adalah pemilik sah sebidang
tanah yang terletak di J1. Suryowijayan No. 20 RT
23/RW 07 Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan
Mantrijeron, DIY sebagaimana yang tercantum
dalam Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor
M.1402/Gdk seluas 413 m2, gambar situasi No.
441 tanggal 1 Februari 1994 yang scat ini juga
sedang ditempatinya.
Di depan/batas sebelah timur tanah SHM
milik CA tersebut terdapat tanah milik Sri Sultan
Hamengku Buwono Keraton Yogyakarta yang
telah diberikan hak pakai/magersari kepada CA
sebagaimana tersebut dalam surat perjanjian
Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan SengketaTanah Magersari (M. Syamsudin) 119
Pinjam Pakai No. 60/HI/KPIC/2003 tertanggal 17
November 2003, seluas 124 m2, dengan gambar
situasi tertanggal 06-01-2003, dengan batas-batas
sebagai berikut:
Sebelah Utara : Jalan Kampung.
Sebelah Timur : Jalan Suryowijayan.
Sebelah Selatan : Tanah Kosong milik
Keraton Yogyakarta.
Sebelah Barat : Tanah SHM 1402 milik
Cahyo.
N am un tanah yang telah diberikan hak pakai
tersebut di atas oleh pihak keraton kepada CA
ternyata dalam kenyataannya dikuasai oleh MTH
yang beralamat di Kios J1. Suryowijayan No. 20,
Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron;
HM yang beralamat di J1. Suryowijayan No. 85
Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron;
ES yang beralamat di Suryowijayan Mj 1/404 RT
25/RW 07 Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan
Mantrijeron; SB yang beralamat di Suryowijayan
Mj 1/590 RT 30/RW 06 Kelurahan Gedongkiwo,
Kecamatan Mantrijeron; PY yang beralamat di
Suryowijayan Mj 1/335 RT 23/RW 07 Kelurahan
Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron dan PJ
yang beralamat di Suryowijayan Mj 1/265 RT
13/RW 02 Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan
Mantrijeron, Yogyakarta, yang tanpa memiliki
atas hak apapun bahkan tanpa izin dari CA selaku
pemegang hak pakai telah mendirikan bangunan
semi permanen untuk bed ualan.
Tanah yang diberikan hak pakai/magersari
tersebut awalnya akan dipergunakan sendiri oleh
CA sesuai dengan peruntukannya, karena itu
CA meminta para pihak yang menduduki tanah
tersebut untuk mengosongkannya, namun tidak
ditanggapi dengan baik, akibatnya CA sama
sekali tidak dapat menikmati hak atas tanah yang
dimilikinya itu bahkan tidak dapat hidup nyaman
tinggal di rumahnya sendiri akibat kehadiran
MTH dkk yang menguasai tanah tersebut.
CA sudah berkali-kali mengingatkan MTH
dkk untuk secara sukarela segera mengosongkan
tanah tersebut karena ditempati tanpa izin
dan juga telah menghalangi jalan masuk ke
rumah CA, bahkan sudah berulangkali pula
mengusahakan dialog secara musyawarah dan
kekeluargaan dengan mengundang MTH dkk,
yang juga dihadiri dan disaksikan oleh pengurus
RT dan RW setempat, Lurah Gedongkiwo, Camat
Mantrijeron, Kapolsek Mantrijeron, Danramil
Mantrijeron, namun tidak juga ditanggapi positif
oleh MTH dkk. Padahal CA sudah membayar
biaya pisungsung/penanggalan sebesar
Rp.48.800,- (empat puluh delapan ribu delapan
ratus rupiah) setiap tahunnya untuk jangka waktu
6 tahun, sehingga totalnya adalah Rp.292.800,-
(dua ratus sembilan puluh dua ribu delapan ratus
rupiah).
Menurut HM, alasan kenapa mereka tidak
mau untuk mengosongkan tanah tersebut adalah
karena sejak awal penerbitan Surat Kekancingan
yang dimiliki CA sudah tidak wajar. Mereka
beralasan bahwa sudah menempati tanah itu
sejak tahun 1973 dan tidak pernah diajak bicara
tentang proses penerbitan kekancingan tersebut
dan tiba-tiba ada orang yang membawa Surat
Kekancingan dan mengusirnya. Menurutnya,
pada saat terjadi proses ukur dari pengurus
setempat yaitu dari RT, RW, Kelurahan, sampai
petugas Panitikismo tidak pernah memberikan
penjelasan, saat ditanyapun jawaban mereka
adalah "tidak tahu."
HM juga mengatakan, penerbitan Surat
Kekancingan tersebut penuh dengan kejanggalan,
201 Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014:18 - 33
surat tersebut juga bertolak belakang dengan
pernyataan HB X soal tanah-tanah Sultan
Ground yang menyatakan tidak ada penggusuran
terhadap tanah-tanah keprabon atau tanah-tanah
di luar keprabon yang telah ditempati oleh
rakyat, langkah yang dilakukan hanya penertiban
administrasi. HM menambahkan, hal ini tentu saja
merupakan pengingkaran atau pembangkangan
terhadap amanat Sultan Hamengku Buwono X.
MH menambahkan, bahwa awal mula
tanah tersebut adalah tanah tempat pembuangan
sampah, hingga akhirnya pada tahun 1973
dirinya mengolah tanah tersebut menjadi warung,
kemudian pada tahun 1990-an, setelah rumah di
belakang (yang sekarang kediaman CA) dijual,
tiba-tiba pemiliknya mengusir kami (Putusan PN
Yogyakarta Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YK).
H. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan gambaran permasalahan
yang telah diuraikan di bagian pendahuluan,
dirumuskan pertanyaan hukum yaitu "Apakah
dalam mem buat putusan, hakim sudah
mempertimbangkan semua fakta hukum yang
terungkap di persidangan secara berimbang
dan didasarkan pada norma-norma hukum balk
formil dan materiil, yurisprudensi, doktrin dan
juga nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat
sehingga menghasilkan putusan yang adil balk
secara substantif maupun prosedural?
III. STUDI PUSTAKA
Paham realisme hukum berpandangan
bahwa putusan hakim adalah hukum yang
sebenar-benarnya (the real law). Doktrin yang
menjadi asumsi dasarnya adalah adagium yang
berbunyi all the law is judge made law, artinya
semua hukum itu pada hakikatnya adalah
putusan hakim. Berdasarkan cara berpikir seperti
ini, posisi dan kedudukan hakim inenjadi sangat
sentral dalam konteks pembentukan hukum (Gray
dalam Darmodiharjo & Shidarta, 2004: 138).
Oleh karena itu putusan hakim sebagai hukum
yang sejatinya, harus dapat mewujudkan tujuan
dan hukum itu sendiri. Setidak-tidaknya terdapat
tiga tujuan hukum yang harus diwujudkan dalam
putusan hakim, yaitu keadilan, kepastian dan
kemanfaatan (Ali, 1996: 84-96).
Ketiga tujuan hukum tersebut (keadilan,
kemanfaatan dan kepastian) dalam praktik sulit
diwujudkan secara bersamaan sekaligus dalam
putusan hakim. Dalam praktik sering terjadi
benturan atau tegangan antara kepastian hukum
dengan kemanfaatan, antara keadilan dengan
kepastian, dan pule keadilan dengan kemanfaatan.
Menurut Radbruh, jika terjadi hal seperti itu
disarankan agar digunakan asas prioritas, di
mana prioritas pertama jatuh pada keadilan,
baru diikuti kemanfaatan dan kepastian. Achmad
Ali sendiri menyarankan menggunakan asas
prioritas yang kasuistis. Artinya ketiga tujuan
hukum itu diprioritaskan sesuai dengan konteks
kasus yang dihadapi. Oleh karena itu dapat saja
kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan,
kasus B prioritasnya pada kepastian, dan kasus C
prioritasnya pada keadilan (Ali, 1996: 96).
Proses pembuatan putusan oleh hakim
di pengadilan, merupakan suatu proses yang
kompleks dan sulit dilakukan sehingga
memerlukan pelatihan, pengalaman, dan
kebijaksanaan. Menurut Artidjo Al kostar, sebagai
figur sentral penegak hukum, para hakim memiliki
kewajiban moral dan tanggung jawab profesional
untuk menguasai knowledge, memiliki skill beru pa
legal technical capacity dan kapasitas moral yang
standar. Dengan adanya kecukupan pengetahuan
dan keterampilan teknis, para hakim dalam
Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan SengketaTanah Magersari (M. Syamsudin) 121
memutus suatu perkara akan dapat memberikan
pertimbangan hukum (legal reasoning) yang
tepat dan benar. Jika suatu putusan pengadilan
tidak cukup mempertimbangkan (Ovoldoende
Gemotiveeni) tentang hal-hal yang relevan
secara yuridis dan salt muncul di persidangan,
maka akan terasa adanya kejanggalan yang akan
menimbulkan matinya akal sehat (the death
of common sense). Putusan pengadilan yang
tidak logis akan dirasakan pula oleh masyarakat
yang paling awam, karena putusan pengadilan
menyangkut nurani kemanusiaan. Penegak
hukum bukanlah budak kata-kata yang dibuat
pembentuk undang-undang, tetapi lebih dari itu
mewujudkan keadilan berdasarkan norma hukum
dan akal sehat (Alkostar, 2009: 3).
Menurut Mertokusumo, seorang sarjana
hukum, khususnya hakim, selayaknya menguasai
kemampuan menyelesaikan perkara yuridis
(the power of solving legal problems), yang
terdiri dari tiga kegiatan, yaitu: (i) merumuskan
masalah hukum (legal problem identification);
(ii) memecahkannya (legal problem solving); dan
(iii) mengambil putusan (decision making). Oleh
karena itu dibutuhkan langkah-langkah penalaran
hukum yang tepat dalam proses memecahkan
masalah hukum itu (Mertokusumo, 1990: 4).
Setidak-tidaknya terdapat enam langkah
utama dalam proses penalaran hukum dalam
proses pembuatan putusan hakim, yaitu: (i)
mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan
suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh
diyakini oleh hakim sebagai kasus yang nil terjadi;
(ii) menghubungkan (mengsubsumsi) struktur
kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum
yang relevan, sehingga is dapat menetapkan
perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis
(legal term); (iii) menyeleksi sumber hukum
dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian
mencari tahu kebijakan yang terkandung di
dalam aturan hukum itu (the policies underlying
those rule), sehingga dihasilkan suatu struktur
(peta) aturan yang koheren; (iv) menghubungkan
struktur aturan dengan struktur kasus; (v)
mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang
mungkin; dan (vi) menetapkan pi filian atas salah
satu alternatif untuk kemudian diformulasikan
sebagai putusan akhir (Shidarta, 2004: 177).
Penalaran hukum tersebut perlu memberikan
ruang kepada pendekatan-pendekatan socio
legal. Dengan pendekatan socio legal akan dapat
memahami persoalan hukum dalam masyarakat
lebih kontekstual terkait dengan kondisi sosio-
kultural masyarakatnya. Hal-hal demikian itulah
yang dianggap melahirkan keadilan substantif.
Keadilan yang ukurannya bukan kuantitatif
sebagaimana yang muncul dalam keadilan formal,
tapi keadilan kualitatif yang didasarkan pada
moralitas publik dan nilai-nilai kemanusiaan dan
mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan
bagi masyarakat (Umar, 2011: 44).
Putusan keadilan substantif tidak hanya
mengakomodir aturan yang berlaku dalam
tahapan penemuan keadilan yang paling sosial.
Keadilan bukan semata-mata persoalan yuridis
semata, akan tetapi masalah sosial yang dalam
banyak hal disoroti oleh sosiologi hukum.
Karakter keadilan substantif yang bertumpu pada
`respon' masyarakat, dengan indah membentuk
penyelesaian permasalahan bersandar pada
hukum yang `mendalami suara hati masyarakat.'
Artinya, hukum mampu mengenali keinginan
publik dan punya komitmen bagi tercapainya
keadilan substantif (Ridwan, 2008: 170).
Isi dari keadilan subtantif dalam putusan
hakim, lebih lanjut dijelaskan oleh Luthan dan
Syamsudin (2013: 67) sebagai berikut: keadilan
22 Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014:18 - 33
substantif terkait dengan isi putusan hakim dalam
mengadili suatu perkara, yang dibuat berdasarkan
pertimbangan yang objektif ,jujur, imparsial dan
rasional (logis). Berdasarkan konsep tersebut, ada
empat ciri untuk mengukur apakah putusan hakim
mengandung keadilan substantif atau tidak, yaitu
adanya objektivitas, kejujuran, imparsialitas, dan
rasionalitas.
Istilah objektif sering dipertentangkan
dengan istilah subjektif, di mana parameter
objektif menggunakan kriteria eksternal yang
bersifat rasional yang berada di luar dirt orang
yang memberi penilaian, sedangkan istilah
subjektif menggunakan parameter internal
yang terdapat dalam diri orang yang memberi
penilaian, misalnya berdasarkan persepsi,
berdasarkan asumsinya atau keyakinannya.
Suatu keterangan atau pendapat atau informasi
atau fakta dikualifikasikan objektif bila sesuai
dengan keadaan yang sesungguhnya tentang
objek tersebut.
Dalam penelitian, suatu putusan hakim
dikualifikasikan bersifat objektif bila informasi,
keterangan, fakta atau bukti yang dijadikan
dasar untuk membuktikan kesalahan terdakwa/
tergugat adalah informasi, keterangan, fakta atau
bukti yang sesungguhnya dan bukti yang benar.
Parameter objektif itu dilihat dari empat hal,
yaitu (i) terdakwa/tergugat terbukti melakukan
perbuatan/tindak pidana dengan didukung alasan
yang kuat; (ii) pernyataan terdakwa/tergugat
terbukti melakukan tindak pidana/perbuatan
yang melawan hukum didukung oleh dua alat
bukti; (iii) kualitas pertimbangan hakim dalam
menyimpulkan terdakwa/tergugat terbukti
melakukan tindak pidana/perbuatan melawan
hukum sekurang-kurangnya dengan nilai cukup;
dan (iv) kualitas argumentasi hakim dalam
membuktikan tindak pidana/perbuatan melawan
hukum yang dilakukan terdakwa/tergugat dengan
nilai cukup.
Parameter kedua dari keadilan substantif
adalah pertimbangan yang jujur. Jujur atau
kejujuran berarti adanya korelasi antara
keberadaan (esensi atau sifat atau identitas atau
kualitas yang melekat atau dimiliki sesuatu hal
sesuai dengan pemyataan mengenai keberadaan
atau sifat identitas atau kualitas mengenai sesuatu
hal tersebut). Misalnya keberadaan atau sifat atau
identitas atau kualitas suatu informasi bersesuaian
dengan pemyataan mengenai keberadaan atau
sifat atau identitas informasi tersebut. Infonnasi
atau keterangan yang salah dinyatakan sebagai
informasi atau keterangan yang salah, informasi
atau keterangan yang benar dinyatakan sebagai
informasi atau keterangan yang benar.
Indikator pertimbangan yang jujur diukur
dari: (i) adanya kesesuaian antara keberadaan
fakta-fakta yang diterangkan saksi-saksi dan
terdakwa atau terdakwa-terdakwa atau tergugat
di persidangan dengan keterangan fakta-fakta
yang disimpulkan hakim sebagai fakta yang
benar, (ii) adanya kesesuaian antara fakta dalam
persidangan dan fakta dalam putusan; dan (iii)
sikap kejujuran hakim dalam membuktikan
unsur-unsur tindak pidana/perbuatan yang
didakwakan/digugat kepada terdakwa/tergugat
dan dalam membuktikan kesalahan terdakwa/
tergugat bernilai cukup.
Parameter ketiga dari keadilan substantif
adalah pertimbangan imparsialitas. Imparsial
yang berasal dari kata impartial dalam anti
leksikal ditempatkan sebagai lawan kata dari
partial (memihak), bias (condong), dan prejudice
(prasangka). Secara konseptual imparsial dapat
dikonsepsikan sebagai sikap atau tindakan yang
tidak memihak bila menghadapi dua hal yang
Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan SengketaTanah Magersari (M. Syamsudin) 123
berbeda atau dua kepentingan yang bertolak
belakang. Imparsial dapat juga dikonsepsikan
se bagai si kap atau ti ndakan mem perlakukan segala
sesuatu secara sama, tanpa membeda-bedakan
(dislcriminasi), atau tanpa mengistimewakan
(priviligasi).
Putusan hakim dalam mengadili suatu
perkara dikualifikasikan bersifat imparsial
apabila dalam memutuskan perbuatan yang
didakwakan/digugat kepada terdakwa/tergugat
dan memutuskan kesalahan terdakwa/tergugat
apakah terbukti atau tidak hakim bersikap
tidak memihak di antara pihak yang berkonflik,
yaitu antara negara atau masyarakat yang
direpresentasikan oleh jaksa dan terdakwa /
tergugat yang diduga melakukan tindak pidana/
perbuatan melawan hukum. Walaupun misalnya
jaksa dalam persidangan peradilan pidana
mewakili kepentingan negara atau masyarakat
(kepentingan publik) sedangkan terdakwa
mewakili dan memperjuangkan kepentingan
pribadinya. Walaupun hakim hams bersikap
imparsial atau tidak memihak, tapi dia harus
berpihak kepada kebenaran, informasi yang
benar, keterangan yang benar, fakta yang benar,
alat bukti yang benar, dan ketentuan hukum yang
benar.
Parameter pertimbangan imparsial diukur
dan (i) bobot uraian keterangan saksi atau
saksi-saksi a charge proporsional dengan uraian
keterangan terdakwa/tergugat dan keterangan
saksi-saksi a de charge; (ii) dalam membuktikan
unsur-unsur tindak pidana/perbuatan hakim
mempertimbangkan keterangan terdakwa/
tergugat dan keterangan saksi a decharge;
(iii) dalam membuktikan unsur-unsur tidak
pidana/perbuatan yang dilakukan terdakwa/
tergugat dan kesalahan terdakwa/tergugat hakim
mempertimbangkan pembelaan penasihat hukum
dan atau pembelaan terdakwa/tergugat, dan sikap
imparsialitas hakim tergambar claim pembuktian
unsur-unsur tindak pidana/perbuatan melawan
hukum tergugat dan kesalahan terdakwa/tergugat.
Parameter keempat dan keadilan
substantif adalah pertimbangan yang rasional
yang melahirkan putusan yang rasional dan
logis. Rasional artinya sesuai dengan nalar atau
dapat diterima oleh akal sehat, dan logis artinya
sesuai dengan logika dan hukum-hukum logika.
Indikator parameter rasional diukur dari (i)
kualitas pemikiran hukum hakim yang runtut dan
logis; (ii) kualitas penalaran hukuin hakim dalam
memberikan argumentasi yang minimal bernilai
cukup; dan (iii) tingkat kemudahan memahami
pemikiran hakim dan argumentasinya.
Dalam konteks putusan pengadilan tentang
sengketa tanah magersari di Yogyakarta, hakim
berkewajiban untuk menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup di dalam masyarakat (Pasal 5 UU No.
48/2009 jo. Pasal 27 ayat (1) UU No. 14/1970).
Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di
dalam masyarakat tersebut tentunya dapat digali
dari cumber-stunber hukum yang berlaku secara
faktual di masyarakat, seperti hukum adat.
Dalam hukum adat di Yogyakarta yang
terkait dengan tanah, dikenal adanya lembaga
ngindung dan/atau magersari. Sebutan ngindung
lazimnya diperuntukan dan dilcaitkan dengan tanah-
tanah yang titel haknya dimiliki oleh masyarakat
pada umumnya. Di sisi lain sebutan magersari
diperuntukan dan dikaidcan dengan pengertian
khusus untuk tanah pekarangan yang titel haknya
dimiliki oleh Keraton Yogyakarta dan antara
orang dengan tanah tersebut terdapat ikatan yang
bersifat historik (Pasal 1 Keputusan Kawedanan
Hageng Punokawan Wahono Harto Kriyo Nomor
24 I Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014:18 - 33
29/W&K1/1981).
Walaupun UUPA telah diberlakukan
secara penuh di DIY sejak tahun 1984, namun
pengaruh latar belakang sejarah atas penguasaan
tanah dengan status hak ngindung dan magersari
masih berlangsung terus sampai sekarang.
Dalam perkembangaimya sekarang ini, Kumoro
menjelaskan bahwa hak ngindung atau magersari
atas tanah menampaldcan did dengan karakteristik
sebagai berikut:
1. Hak ngindung atas tanah pada dasarnya Whir
dari suatu hubungan hukum atau perjanjian
yang sepihak yakni hanya meletakkan beban
kewajiban pada salah satu pihak saja. Hak
ngindung atas tanah terjadi pada saat izin atau
perkenan untuk mendirikan dan memiliki
bangunan rumah diberikan oleh pihak pemilik
tanah. Ditinjau dari hukum perdata barat, hak
ngindung atas tanah dapat digolongkan pada
perjanjian cuma-cuma, karena keuntungan
atau manfaat dari hubungan ngindung hanya
dapat dirasakan oleh salah satu pihak saja
yaitu pihak pengindung.
2. Hubungan hukum yang melahirkan
hak ngindung atas tanah pada dasamya
hanya mengikat pihak pemilik tanah dan
pengindung saja. Oleh karenanya ahli warts
pengindung yang meneruskan hak ngindung
tanpa sepengetahuan dan seizin pemilik tanah
dapat dikualifikasi sebagai telah melakukan
perbuatan menempati atau menggunakan
tanah milik orang lain tanpa hak. Atas dasar
itu make orang yang bersangkutan dapat
digugat sebagai telah melakukan perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatigedaad).
3. Sejalan dengan adanya kecenderungan
masyarakat untuk mengadakan perubahan-
perubahan guna menyesuaikan diri dengan
perkembangan yang terjadi, hubungan
hukum yang melahirkan hak ngindung atas
tanah yang pada mulanya disandarkan pada
hubungan batih (kekeluargaan) bergeser
ke arah hubungan yang bersifat pamrih.
Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban
memberikan pembayaran tetap untuk setiap
bulan atau tahun yang lazim disebut dengan
istilah uang sewa atau uang penanggalan
(Kumoro, 1996: 115-116).
Sebenarnya proses terjadinya hubungan
ngindung atau magersari di atas tanah milik
Keraton Yogyakarta telah diatur dalam Surat
Keputusan Kawedanan Hageng Punokawan
Wahono Sarto Kriyo Keraton Ngayogyakarta
No. 29/W 7K/1981. Dalam Pasal 2 disebutkan,
bahwa hak ngindung diberikan kepada mereka
yang menempati/menggunakan tanah Keraton
Ngayogyakarta dan kemudian dibuat suatu
perjanjian dengan membayar uang sewa
setinggi-tingginya 3% x harga tanah setiap
tahun. Sementara itu hubungan ngindung di atas
tanah milik perorangan pada umumnya hanya
didasarkan pada kesepakatan lisan atau tidak
tertulis. Hal ini berakibat pada ketidakjelasan
mengenai ketentuan-ketentuan yang menyertai
timbulnya atau terjadinya hubungan hukum
antara pengindung dengan pemilik tanah.
Terkait dengan ngindung atau magersari
ini, pihak Keraton telah menetapkan syarat-
syarat yang harus dipenuhi oleh siapa saja yang
menempati atau menggunakan tanah Keraton
Ngayogyakarta dalam status sebagai pengindung
atau pemagersari. Syarat-syarat tersebut tertuang
dalam suatu naskah surat perjanjian yang
diterbitkan oleh Kantor Panitikismo dengan
menggunakan Bahasa Jawa sebagai berikut:
I. Samangsa pekarangan kagungan
Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan SengketaTanah Magersari (M. Syamsudin) I 25
Dalem ingkang !aria engeni wau wonten
karsa Dalem bade kagem kula inggih
nywnanggaaken, boten bade dame! angel
punapa-pzinapa, nanzun nyuwun paring
Dalem kerugian (1/3) sapara tiganipun
pengaosing griya miniml tapsiran, sarta
nyuwun inah turnrap bede pindah /aria
saking ngriki lami-laminipun (3) ligang
wulan kapetang wiwit titimangsa serat
dawuh. (Sewaktu pekarangan kepunyaan
Sultan yang saya tempati tadi akan
dipergunakan Sultan, saya akan mengikuti
dan tidak akan mempersulit, akan tetapi
saya mohon ganti kerugian sepertiganya
(1/3) harga rumah sesuai perkiraan harga,
dan minta waktu kurang lebih tiga bulan
diznulai surat ini diberlakukan);
Tumrap tetaneman kula piyambak ingkang
kula tanem wonten ngriku boten bade
nyuwun kerugian pmapa-punapa. (Untuk
tanaman yang saya tanam di tanah tersebut,
saya tidak akan meminta ganti kerugian);
3. Boten kenging ngrisak zrtawi unchrh-unchrh
kerangkitri ing pekarangan kagungan
Dalem ingkang kula enggeni, kajawi
sampan angsal izin Dalem mawi semi.
(Dilarang merusak atau memetik hasil
tanaman di pekarangan tanah kepunyaan
Sultan yang saya tempati, kecuali sudah
ada izin dengan surat);
4. Boten kenging: ngewahi wewangunaning
griya punapa dene ngedeaken griya enggal
sakderengipzin angsal izin Dalem mawi
serat, angliyaraken wewenang dados
magersari dateng iiyang sanes sarta
sade griya tanpo izin Dalem mawi smut.
(Dilarang mengubah bentuk rumah dan
menambah bangunan ban' sebelum ada
izin dari Sultan dengan surat, mengalihkan
hak inagersari pada orang lain dan juga
menjualnya tanpa surat izin dari Sultan);
5. Samangsa bade andadosi griya
ingkang risak langung rumiyin kedah
ngawuningaken angsal izin Dalem !naive
semi boten kenging miyagah lajeng
andadosi sakajeng kula piyambak.
(Sewaktu akan memperbaiki rumah yang
rusak harus mendapat izin terlebih dahulu
dari Sultan dengan surat dan tidak boleh
memperbaiki sekehendak sendiri);
6. Kedah anjagi rata tentzeming pekarangan
ingkang kula anggeni, awit saking punika
mila boten kenging dame! reroyoman
ingkang hmnfju dateng reresah. (Harus
menjaga ketentraman pekarangan yang
saya tempati, dan tidak boleh berbuat
kegaduhan);
7. Pangindung menawi nrajang (nyulayani)
prajanjian kasebat salah salunggal,
menawi wonten dawuh Dalenz andikakaken
kesah, inggih kedah kesah boten mawi
nymvun kerugian punapa-punapa
(Pengindung apabila mengingkari janji
dari salah satu butir dalam surat ini, dan
diminta meninggalkan pekarangan oleh
Sultan, maka tidak akan mendapatkan ganti
kerugian apapun);
8. Menawi wonten dawuh Dalem Ngewahi
tatananing magersari, kulo inggih sagah
angestoaken. (Jika ada peruba han perjanjian
ini, saya juga akan mengikutinya);
9. Kula sagah bayar arta penanggalan ing
sabers wulanipun Rp , (Saya sanggup
membayar uang "penanggalan" setiap
bulan Rp....);
261 Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014:18 - 33
10. Menawi ladosan arta penanggalan ngantos kasep tigang wulan chimuginipun pilung
wulan mboten ngadosi, menawi wonten
dawuh Dalem andikaaken kesah inggih
kedah kesah boten mawi nyuwun kerugian
punapa-punapa. (Jika pembayaran
terlambat dari tiga bulan sampai dengan
tujuh bulan, jika Sultan meminta
meninggalkan pekarangan tersebut, maka
harus meninggalkan tanpa adanya ganti
kerugian);
11. Samangsa kula filar donyo, waris supados ngawuningaken ing Ngarsa Dalem (Jika
saya meninggal dunia, maka ahli waris
supaya memberitahukan ke Sultan);
12. Yen salebetipzm (1) satzmggal tahun
kepetang saking titirnangsa serat izin siti geKhrhanipun wail boten dipun degi griya,
siti wan kaanggep lamdur, hak anggaduh
lajeng sampun lebur (Jika dalam waktu
satu tahun terhitung dari pemberlakuan
surat ini, kemudian tidak didirikan rumah,
maka tanah tersebut dianggap kembali ke
Sultan, dan haknya hapus) (Syamsudin,
2012: 10)
Berdasarkan ugeran yang ditetapkan oleh
keraton tersebut dapat dipahami bahwa hak
ngindung dan/atau magersari atas tanah pada
hakikatnya adalah hak menumpang bangunan
rumah di atas tanah milik orang lain. Ini dapat
dimaknai bahwa hak ngindung atas tanah tersebut
bersifat sementara. Oleh karena itu wajar bahwa
pemilik tanah men syaratkan agar bangunan rumah
milik pengindung tidak berbentuk pennanen. Ini
dimaksudkan jika sewaktu-waktu pengindung
harus memindahkan bangunan rumah miliknya
berhubung tanah tersebut akan digunakan
sendiri oleh pemiliknya atau ahli warisnya, maka
tidak kesulitan untuk membongkamya. Sifat
sementara atas hak ngindung atas tanah ini yang
seringkali kurang disadari oleh para pengindung.
Tidak jarang dijumpai pengindung yang setelah
beberapa lama mendiami atau tinggal di atas
tanah milik orang lain itu bukannya kemudian
berusaha mencari tanah pekarangan yang dapat
dimilikinya sendiri, malahan justru sedikit demi
sedikit berusaha memperbaiki rumah miliknya
itu, bahkan ada juga yang mengarah kepada
bentuk yang lebih permanen (Kumoro, 1996).
IV. ANALISIS
Analisis yang dimaksud di sini adalah
kegiatan penelaahan dan interpretasi atas fakta-
fakta hukum dikaitkan dengan bahan-bahan
hukum yang relevan. Penelaahan dan interpretasi
ini didasarkan pada isu atau masalah hukum yang
telah diajukan untuk dicari pemecahannya atau
penyelesaiannya dari segi hukurnnya. Bahan-
bahan hukum tersebut berfungsi sebagai patokan
dan dasar yang dipergunakan untuk menilai
fakta-fakta hukum yang ada, sehingga akan dapat
ditemukan jawabannya dari pertanyaan hukum
yang diajukan. Jika isu atau masalah hukum
itu sudah dapat ditemukan hukumnya, berarti
masalah hukum itu sudah terpecahkan atau sudah
teijawab (Syamsudin, 2008: 40).
Analisis pada kajian ini lebih ditekankan
untuk menggali isi dari putusan hakiin terkait
dengan keadilan prosedural dan substantif yang
terdapat dalam putusan hakim. Secara konseptual,
untuk kebutuhan analisis didasarkan pada
parameter-parameter keadilan seperti padaTabel 1.
Hasil kajian terhadap putusan Pengadilan
Negeri Yogyakarta Nomor 74/PDT.G/2009/
PN.YK yang mengacu pada lima parameter
keadilan prosedural dapat dipaparkan bahwa
Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan SengketaTanah Magersari (M. Syamsudin) 127
Keadilan Substantif Keadilan Prosedural
Penjabarannya: Penjabarannya:
• Asumsi dasar:
• Keadilan substantif adalah keadilan yang terkait
dengan isi putusan hakim dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang
hams dibuat berdasarkan pertimbangan
rasionalitas, kejujuran, objektivitas, tidak
memihak (imparsiality), tanpa diskriminasi dan
berdasarkan hati nurani (keyakinan hakim).
• Has il pengukuran:
• Jika hasil pengukuran nilainya positif, maka
dianggap tnetnenuhi keadilan substantif,
sebaliknya jika hasil pengukuran nilainya
negatif tidak ada keadilan substantif.
• Asumsi dasar:
• Keadilan prosedural adalah keadilan yang
terkait dengan perlindungan hak-hak hukum
pare pihak penggugat/tergugatipihak yang
berkepentingan ) dalam setiap tahapan proses
acara di pengadilan.
• Hasil pengukuran:
• Jika hasil pengukuran nilainya positif, maka
dianggap terdapat keadilan prosedural.
sebaliknya jika hasil pengukuran nilainya
negatif maka tidak ada keadilan prosedural.
1. Apakah hakim menggunakan yurisprudensi
sebagai dasar pertimbangan?
2. Apakah hakim menggunakan sumber hukum
berupa doktrin sebagai dasar pertimbangan?
3. Apakah putusan hakim menggunakan sumber
berupa nilai-nilai hukuin yang hidup dalam
masyarakat, yaitu berupa hukum adat, hukum
lokal, dan/atau kebiasaan?
4. Apakah amar putusan hakim merupakan
kesimpulan yang logis terkait dengan fakta dan
hukum?
5. Apakah konklusi dalam putusan hakim ini
sudah runtut dan sistematis yang didukung
oleh pertimbangan fakta dan hukum, sehingga
tidak ada konklusi yang dipaksakan?
6. Dalam menetaplcan amar putusan, apakah
teridentifikasikan adanya pertimbangan faktor-
faktor non-yuridis (psikologis, sosial, ekonomi,
edukatif, lingkungan, religius)?
1. Apakah putusan hakim sudah memuat hal-
hal yang harus ada dalam suatu putusan
pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan
Pasal 184 H1R/195 RBG?
2. Apakah putusan hakim sudah mencennati
alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal
164, 153, dan 154 H1R atau 284, 180, dan 181
RBG, yang digunakan di dalam memutuskan
perkara?
3. Apakah penerapan hukum pembuktian sesuai
dengan perjanjian/undang-undang, doktrin
dan/atau yurisprudensi?
4. Apakah hakim sudah memuat secara
proporsional antara argumen penggugat dan
tergugat di dalam pertimbangannya?
5. Apakah hari/tanggal dilakukan musyawarah
majelis hakim PN (dalam pengambilan
keputusan) berbeda dengan hari/tanggal
putusan diucapkan?
Tabel 1. Parameter Keadilan Substantif dan Prosedural
pada Putusan Pengadilan dalam Perkara Perdata
Sumber: Diadopsi dari Term of Reference Penelitian Putusan Hakim Komisi Yudisial RI 2012, dengan
penyederhanaan seperlunya berdasarkan teori-teori keadilan subtantif dan prosedural.
281 Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014:18 - 33
Tabel 2. Basil Pengukuran Keadilan Prosedural
pada Putusan PN Yogyakarta Tentang Sengketa Tanah Magersari
Parameter Temuan dalam Isi Putusan
I. Apakah putusan hakim sudah memuat hal-hal
yang hams ada dalam suatu putusan pengadilan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1)
UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 184 HIR/195
RBG?
1. Majelis hakim sudah memuat hal-hal yang
hams ada dalam suatu putusan pengadilan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat
(1) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 184
FDR/195 RBG;
2. Apakah putusan hakim sudah mencermati
alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal
164, 153, dan 154 HIR atau 284, 180, dan 181
RBG, yang digunakan di dalam memutuskan
perkara?
2. Majelis hakim sudah mencermati alat-alat
bukti yang sah sesuai dengan Pasal 164,
153, dan 154 HIR atau 284, 180, dan 181
RBG, yang digunakan di dalam memutuskan
pedcara;
3. Apakah penerapan hukum pembuktian sesuai
dengan perjanjian/undang-undang, doktrin dan/
atau yurisprudensi?
3. Majelis hakim sudah menerapkan hukum
pembuktian;
4. Apakah hakim sudah memuat secara
proporsional antara argumen penggugat dan
tergugat di dalam pertimbangannya?
4. Majelis hakim sudah memuat secara
proporsional antara argumen penggugat dan
tergugat di dalam pertimbangannya;
5. Apakah hari/tanggal dilakukan musyawarah
majelis hakim PN (dalam pengambilan
keputusan) berbeda dengan hari/tanggal
putusan diucapkan?
5. Hari/tanggal dilakukan musyawarah majelis
hakim PN (dalam pengambilan keputusan)
berbeda dengan hari/tanggal putusan
diucapkan.
putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor
74/PDT.G/2009/PN.YK sudah mencerminkan
keadilan prosedural, karena semua parameter
yang ditetapkan sudah dipenuhi oleh majelis
hakim. Hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.
Sementara itu untuk pengukuran enam
parameter keadilan subtantif dalam putusan dapat
dipaparkan hasilnya sebagaimana pada Tabel 3.
Berdasarkan pada tabel tersebut dapat
diketahui bahwa tidak semua parameter yang
dijadikan dasar untuk menganalisis putusan
Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 74/
PDT.G/2009/PN.YK dapat terpenuhi.
Berdasarkan enam parameter yang ditetapkan
terdapat tiga parameter yang ditemukan dalam
putusan dan tiga parameter lain tidak ditemukan
dalam putusan. Tiga parameter yang tidak
ditemukan dalam putusan yaitu:
1. Tidak adanya yurisprudensi yang dijadikan
acuan majelis hakim dalam membuat
pertimbangan hukum;
2. Tidak adanya doktrin atau teori-teori hukum
yang dijadikan referensi dalarn menyusun
pertimbangan hukum;
Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan SengketaTanah Magersari (M. Syamsudin) 129
Tabel 3. Hasil Pengukuran Keadilan Substantif
pada Putusan PN Yogyakarta Tentang Sengketa Tanah Magersari
Parameter Temuan dalam Isi Putusan
1. Fakta-fakta hukum yang terungkap di
persidangan.
1 Terbukti bahwa tanah sengketa seluas 124 m=
adalah milik Keraton Yogyakarta;
2. Terbukti bahwa penggugat adalah sebagai
penyewa yang mempunyai hak pakai/magersari
dengan bukti antara lain adanya surat peijanjian
pinjam pakai antara KGPH HW a.n. Sultan
HB IX dengan penggugat (CA) yang diperkuat
dengan keterangan para saksi;
3. Terbukti bahwa tergugat mengakui sudah
menguasai dan menempati tanah sengketa
selama bertahun-tahun akan tetapi tidak
mempuyai surat izin dari keraton dan tidak ada
upaya untuk mendapatkan izin dari keraton;
4. Terbukti bahwa penggugat sudah berupaya
menyelesaikan sengketa tanah tersebut dengan
musyawarah dengan para tergugat dengan
bukti-bukti dari pengakuan para saksi.
2. Dasar hukum yang digunakan. 2. Tergugat dinyatakan telah melakukan
perbuatan melawan hukum (pmh) akan tetapi
tidak disebut pasalnya.
3. Ada tidaknya yurispiudensi yang dijadikan
acuan.
3. Tidak ada dasar yurispnidensi yang diacu oleh
majelis hakim dalam membuat pertimbangan
hukum.
4. Ada tidaknya doktrin atau teori-teori hukum
yang dijadikan referensi.
4. Tidak ada doktrin atau teori yang dijadikan
dasar pertimbangan hukum oleh majelis hakim.
5. Ada tidaknya hakim menggali nilai-nilai hukum
yang hidup di masyarakat.
5. Tidak ditemukan mejelis hakim menggali
nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat
dalam membuat pertimbangan hukum.
6. Logis tidaknya dasar pertimbangan dengan
putusan yang dijatuhkan.
6. Pertimbangan hukum sudah menunjuldcan hal
yang logis dikaitkrui dengan putusan yakni
majelis hakim berhasil membuktikan kebenaran
dalil gugatan oleh penggugat dan membuktikan
ketidakbenaran eksepsi dan tergugat sehingga
putusannya mengabulkan gugatan penggugat
dan menghukum para tergugat.
301 Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014:18 - 33
3. Hakim tidak menggali nilai-nilai hukum
yang hidup di masyarakat.
Terkait dengan kedudukan yurisprudensi
dalam putusan hakim di Indonesia, khususnya
yang memutuskan tentang sengketa magersari
atau ngindung sudah ada Yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
778 K/Pdt/1989. Yurisprudensi ini selayaknya
menjadi dasar dan referensi hakim dalam
memutuskan perkara magersari tersebut meski pun
pennasalahannya berbeda. Hal ini penting untuk
memperkaya pengetahuan dan informasi majelis
hakim dalam proses pengambilan putusan dalam
rangka memperkuat argumentasi dan dasar
pembenar hakim dalam menyusun pertimbangan
hukumnya. Meskipun memang dalam sistem
hukum Indonesia yang mengikuti sistem hukum
sipil seperti di Belanda posisi yurisprudensi tidak
mengikat hakim dalam memutuskan perkara,
tidak seperti pada sistem hukum di Inggris atau
Amerika.
Menurut Mertokusumo (1986: 93)
dalam sistem Anglo Saxon putusan pengadilan
(yurisprudensi) itu bersifat 'binding precedent,'
sebaliknya di dalam sistem Kontinental putusan
pengadilan itu bersifat 'persuasive precendent,'
artinya tidak mempunyai kekuatan mengikat
tetapi kekuatan yang meyakinkan. Akan tetapi
sejak abad ke-19 kedua sistem tersebut sating
bertemu dan pada saat sekarang ini batas yang
tarn antara keduanya dapat dikatakan tidak
ada lagi. Di Indonesia sendiri tidak lagi dapat
dikatakan bahwa secara mutlak hakim tidak
terikat pada yurisprudensi, demikian sebaliknya
di negara-negara Anglo Saxon tidak lagi dapat
dikatakan bahwa hakim terikat sepenuhnya pada
yurisprudensi. Doktrin atau teori-teori hukum
juga mempunyai arti penting bagi hakim dalam
menyusun pertimbangan-pertimbangan hukum
terkait dengan landasan teori atau keilmuannya.
Dengan acuan teori atau doktrin hukum yang kuat
maka pertimbangan hukum hakim memperoleh
dasar pembenar dari segi keilmuan hukum.
Landasan teori atau doktrin tentang tanah
magersari atau ngindung sebagaimana diuraikan
pada bagian landasan teori dalam tulisan ini
selayaknya dapat dijadikan dasar pertimbangan
hakim PN Yogyakarta dalam membuat dasar
pertimbangan dalam putusan hakim. Tanpa
landasan teori atau doktrin dalam membuat
pertimbangan hukum, maka isi putusan hakim
menjadi kering dan jauh dari dasar pembenar
dari segi keilmuan hukum. Jika demikian adanya
maka putusan tersebut pertanggungjawaban
isinya jauh dari kebenaran hukum. Sebagaimana
kita ketahui bahwa doktrin atau teori-teori dalam
keilmuan hukum merupakan sumber informasi
untuk menggali kebenaran-kebenaran hukum.
Penggalian nilai-nilai hukum yang hidup
di masyarakat menjadi kewajiban hakim dalam
menyusun dasar pertimbangan. Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa
hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (jo.
Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970).
Dengan konstruksi norma hukum
sebagaimana terdapat pada Pasal 5 ayat (1)
tersebut, maka konsekuensinya hakim yang
memutuskan perkara tidak menggali nilai-nilai
hukum yang hidup di masyarakat maka dapat
dikenai sanksi. Namun demikian kelemahan
undang-undang tersebut tidak mengatur tentang
sanksi bagi hakim yang tidak melakukan
penggalian nilai-nilai yang hidup tersebut,
sehingga pasal tersebut tidak berlaku efektif.
Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan SengketaTanah Magersari (M. Syamsudin) 131
Dengan tidak adanya atau tidak
ditemukannya yurisprudensi, doktrin dan
penggalian nilai-nilai hukum yang hidup
di masyarakat dalam putusan Pengadilan
Negeri Yogyakarta Nomor 74/PDT.G/2009/
PN.YK dalam menyelesaikan sengketa tanah
magersari, maka dapat dikatakan bahwa
putusan tersebut kurang mencerminkan sebuah
standar putusan yang balk dan komprehensif
dari segi subtansinya. Ini berkonsekuensi pada
pertimbangan-pertimbangan yang dibuat oleh
majelis hakim kurang mendapatkan landasan
yang kuat dari segi dasar yurisprudensi yang
menjadi kekuatan meyakinkan hakim, dasar teori
atau doktrin hukum yang banyak memberikan
informasi tentang kebenaran keilmuan hukum
dan dasar sosiologis tentang nilai-nilai hukum
yang hidup di masyarakat yang mendukung dasar
pertimbangan hakim.
V. SIMPULAN
Berdasarkan permasalahandan hash I anal isi s
terhadap isi putusan, dapat disimpulkan bahwa
putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor
74/PDT.G/2009/PN.YK sudah mencerminkan
keadilan prosedural, karena sudah memuat:
1. Hal-hal yang harus ada dalam suatu putusan
pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan
Pasal 184 HIR/195 RBG;
2. Sudah mencermati alat-alat bukti yang
sah sesuai dengan Pasal 164, 153, dan 154
HIR atau 284, 180, dan 181 RBG, yang
digunakan di dalam memutuskan perkara;
3. Hakim sudah menerapkan hukum
pembuktian;
antara argumen penggugat dan tergugat di
dalam pertimbangannya; dan
5. Hari/tanggal dilakukan musyawarah
majelis hakim PN (dalam pengambilan
keputusan) berbeda dengan hari/tanggal
putusan diucapkan.
Akan tetapi jika dikaji dari aspek keadilan
substansial putusan tersebut belum sepenuhnya
mencerminkan keadilan substantif dilihat dari
aspek-aspek sebagai berikut:
1. Tidak ada dasar yurisprudensi yang diacu
oleh hakim dalam membuat pertimbangan
hukum;
2. Tidak ada doktrin atau teori yang dijadikan
dasar pertimbangan hukum oleh majelis
hakim;
3. Tidak ditemukan mejelis hakim inenggali
nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
Dengan tidak adanya yurisprudensi,
doktrin dan penggalian nilai-nilai hukum yang
hidup di masyarakat dalam putusan Pengadilan
Negeri Yogyakarta tersebut dalam menyelesaikan
sengketa tanah magersari, maka dapat dikatakan
bahwa putusan tersebut kurang mencerminkan
sebuahstandarputusanyang baikdankomprehensif
dari segi substansinya. Ini berkonsekuensi pada
pertimbangan-pertimbangan yang dibuat oleh
majelis hakim kurang mendapatkan landasan
yang kuat dari segi dasar yurisprudensi yang
menjadi kekuatan meyakinkan hakim, dasar teori
atau doktrin hukum yang banyak memberikan
informasi tentang kebenaran keilmuan hukum
dan dasar sosiologis tentang nilai-nilai hukum
yang hidup di masyarakat yang mendukung dasar
pertimbangan hakim.
4. Hakim sudah memuat secara proporsional
32 I Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014:18 - 33
DAFI'AR PUSTAKA
Ali, Ahmad. 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu
Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta:
Chandra Pratama.
Alkostar, Artidjo. 2009. "Peran dan Upaya
Mahkamah Agung dalam Menjaga dan
Menerapkan Hukum yang Berkepastian
Hukum, Berkeadilan dan Konsisten
melalui Putusan-Putusan MA." Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional
PROSPEK POLITIK PENEGAKAN
HUKUM DI INDONESIA: Pemberdayaan
Peran Institusi Penegakan Hukum dan
HAM dalam Menjunjung Tinggi Peradilan
Bermartabat, Berwibawa, dan Berkeadilan
oleh Center for Local Law Development
Studies UII di Auditorium UII Lt. 3, JI Cik
Dik Tiro No. 1 Yogyakarta, Sabtu, 7 Maret
2009.
Bzn, Ter Haar. 1959. Asas-asas dan Susunan
Hokum Adat. Terjemahan K.Ng.Soebekti
Poesponoto. Jakarta: Pradnya Paramita.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta. 2004. Pokok-
PokokFilsafatHukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Keputusan Kawedanan Hageng Punokawan
Wahono Harto Kriyo Nomor
29/W&K.I/198 1 .
Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2012.
"Term of Reference Penelitian Putusan
Hakim 2012."
Kumoro, Endro. 1996. "Aspek-Aspek Hukum
Hak Ngindung atas Tanah di Kotamadya
Yogyakarta." Tesis Program Pascasarjana
Universitas Airlangga Surabaya.
Luthan, Salman & Muhamad Syamsudin.
2013. "Kajian Putusan-Putusan Hakim
untuk Menggali Keadilan Substantif dan
Prosedural". Laporan Penelitian Unggulan
Perguruan Tinggi 2013. Direktorat
Penelitian Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno. 1986. MengenalHukum.
Ctk pertama. Yogyakarta: Liberty.
. 1990. "Pendidikan
Hukum di Indonesia dalam Sorotan."
Kompas. 7 Nopember 1990.
Ridwan. 2008. "Mewujudkan Karakter
Hukum Progresif dari Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik Solusi Pencarian
dan Penemuan Keadilan Substantif."
Juinal Hukum Pro Justicia Vol. 26 No.2.
Shidarta. 2004. Karakteristik Penalaran Hukum
dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung:
CV. Utama.
Syamsudin, Muhamad. 2008. Mahir Menulis
Legal Memorandum. Ctk ke-2. Jakarta:
Prenada Media Group.
. 2012. "NGINDUNG
& MAGERSARI: A Harmonization
of Local Law Dealing with State Law
and Shifting Meaning in Jogjakarta."
Proceding on THE 4th INTERNATIONAL
GRADUATE STUDENT CONFERENCE
ON INDONESIA INDIGENOUS
COMMUNITIES AND "THE PROJECT
OF MODERNITY" OCTOBER 30-31,
2012. Organized by: Graduate School,
Gadjah Mada University.
Umar, Sholehudin. 2011. Ihrkinn & Keadilan
Masyarakat. Malang: Setara Press.
Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan SengketaTanah Magersari (M. Syamsudin) 133
0%SIMILARITY INDEX
EXCLUDE QUOTES OFF
EXCLUDE BIBLIOGRAPHY OFF
EXCLUDE MATCHES < 2%
Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan SengketaTanah Magersari (Kajian Putusan Nomor74/PDT.G/2009/PN.YK)ORIGINALITY REPORT
PRIMARY SOURCES
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA Kampus Universitas Islam Indonesia, Gedung Rektorat, J1. Kaliurang Km. 14,5, Yogyakarta 55584
Telp. (0274) 898444 (Hunting); Fax. (0274) 898459; Http://www.uii.ac.id; E-mail: rektorat uii.ac.id
Berita Acara Hasil Pengecekan Keaslian Karya Ilmiah Atas Nama Dr. M Syamsudin, S.H., M.H
Untuk kenaikan Jabatan Dari Lektor (300 AK) Ice Lektor Kepala (700 AK)
Pada tanggal 24 Juli 2017 telah dilakukan pengecekan Originality atau Similarity terhadap karya Ilmiah Dosen
Tetap Universitas Islam Indonesia:
Nama : Dr. M Syamsudin, S.H., M.H
NIDN/NIK :0504096901/954100104
Prodi : Ilmu Hukum
Fakultas : Fakultas Hukum
NO KARMA ORIGINALITY
REPORTKETERANGAN
1
Jurnal Hukum, Vol. XVII, No.2, Hal. 156-171, Juni 2008 dengan judul
"Tanggungjawab Hukum Pelaku Usaha Periklanan Atas Produk Iklan
Yang Melanggar Etika Periklanan (Kajian Kritis UU Perlindungan
Konsumen) ISSN: 1412-2723, Terakreditasi No.26/DIKTI/KEP/2005
7%
2
Jurnal Hukum FH Unissula Vol.XVIII, No.2 Hal. 282-314, September
2008 dengan judul "Perlindungan Hukum Konsumen Penumpang
Kapal Laut (Studi di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya), ISSN:1412-
2723
Terakreditasi no : No.26/DIKTI/KEP/2005
0%
3
Jurnal Media Hukum Vol.15, No.2, Hal. 187-207, Desember 2008
dengan judul "Kecenderungan Paradigma Berfikir Hakim dalam
Memutus Perkara Korupsi," ISSN:0854-8919, Terakreditasi no :
No.43/DIKTI/Kep/2008
0%
4
Jurnal Hukum & Dinamika Masyarakat, Vol.4, No.2, Hal.183-193, April
2009 dengan judul "Model Pengembangan Hukum Untuk Proyeksi
Perubahan Masyarakat Indonesia Agraris Ke Industri Modern,
ISSN:0854 2031,Terakreditasi no : SK. Dirjen Dikti No.
55A/DIKTI/KEP/2006
0%
5
Jurnal Hukum Vol.17, No.3, Hal. 406-429, Juli 2010 dengan judul
"Faktor-Faktor Sosiolegal yang Menentukan dalam Penanganan
Perkara Korupsi di Pengadilan, ISSN: 0854-8498
Terakreditasi no : No.65A/DIKTI/KEP/2008
0%
6
Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 22, No.3, Hal. 498-519, Oktober 2010
dengan judul "Pemaknaan Hakim Tentang Korupsi dan Implikasinya
Pada Putusan : Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum, ISSN:0852-
100X, Terakreditasi no : Nomor : 51/DIKTI/Kep/2010
6%
7
Jurnal Dinamika Hukum Vol.11 No.1 Hal. 10 - 19, Januari 2011 dengan
judul "Rekonstruksi Pola Pikir Hakim Dalam Memutuskan Perkara
Korupsi Berbasis Hukum Progresif, ISSN:1410-0797
Terakreditasi no : Nomor 51/DIKTI/Kep/201
0%
8
Jurnal Hukum, Vol. 18, Edisi Khusus, Hal 127-145, Oktober 2011 dengan judul "Rekonstruksi Perilaku Etika Hakim dalam Menangani Perkara Berbasis Hukum Progresif, " ISSN:0854-8498 Terakreditasi no : No. 65A/DIKTI/KEP/2008
2%
9
Jurnal Yudisial Vol. 7 No 1 April 2014, April 2014 dengan judul "Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan Sengketa Tanah Magersari (Kajian Putusan Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YK, " ISSN:1978-6506, Terakreditasi no : LIPI No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012
0%
10
Jurnal Media Hukum: Vol.21, No.1, 2014 dengan judul: Urgensi Pembaharuan Commercial Code di Bidang Pelayaran Guna Menjamin Perlindungan Hukum Konsumen (Studi Perbandingan di Pelabuhan Portklang Malaysia), ISSN: 0854-8919 Terakreditasi Dikti no: 81/DIKTI/Kep/2011
0% .
11
Book Chapter: dengan judul "Memahami Pemikiran Mohammad Koesnoe tentang Hukum Islam dan Penerapannya di Indonesia (Salah satu penulis dalam buku Mohammad Koesnoe Dalam Pengembaraan Gagasan Hukum Indonesia), Penerbit : Epistema Institute, Hal. 177-206, ISBN:978-602-19461-7-6
0%
12
Jurnal Internasional Bereputasi (Impact Factor): EJEFAS European Journal of Economics, Finance & Administrative Sciences, Issue 55, Page 97-105, Desember 2012 dengan judul "Understanding Corruption from Behavioral Perspective: A Case Study of Yogyakarta Special Province," ISSN:1450-2275
0%
13
Jurnal Internasional Bereputasi (Impact Factor): International Journal of Social Science and Humanity, Vol.3, No.2, Hal.156-159, Maret 2013 dengan judul "The Importance of Progressive Interpretation for Judge in Handling Corruption Cases in Indonesia, ISSN:2010-3646
0%
14
Jurnal Internasional Bereputasi: Valley International Journals Volume 1, Issuel-3, April-June 2014, April 2014 dengan judul " Understanding The Typology of Judge's Behaviour in Handling Corruption Cases in Indonesia," ISSN:2349-2031
0%
15
Jurnal Internasional Bereputasi: International Journal of Business and Management Study Volume 1, Issue 2, May 2014, Mel 2014 dengan judul "The Budget Misallocation Mechanism in Indonesia's Bureaucracy, " ISSN:2372-3955
2%
16
Jurnal Internasional: International Journal of Humanities and Social Science Invention, Vol.3 Issue 11, Nopember 2014 dengan judul "Understanding the Meaning of Justice in the Judge's Verdict for Private Cases in Indonesia," ISSN:2319-7714
0%
17
Jurnal Ilmiah Internasional: International Journal of Humanities and Social Science Invention Vol. 4, Issue: 9, September 2015, ISSN: 2319- 7714, berjudul: Discovering the Meaning of Justice in Judges' Verdicts on Narcotics Crimes in Indonesia
3%
18 Jurnal Ilmiah Nasional Tidak Terakreditasi: Jurnal Hukum Vol. 15, No.3, HaI.338-351, Juli 2008 dengan judul "Beban Masyarakat Adat Menghadapi Hukum Negara, ISSN:0854-8498
4%
19
Jurnal Ilmiah Nasional Tidak Terakreditasi: Jurnal Yudisial, Vol - V/No-01/Apri1/2012, Hal. 38-53, April 2012 dengan judul "Keadilan Substantif yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan Kajian Putusan Nomor 42/PDT/2011/PT.Y," ISSN:1978-6506
0%
20
Proseding: The4th International Graduate Studens Conference on Indonesia Theme Indigenous Communities and "The , Oktober 2012 dengan judul "Ngindung & Magersari : The Harmonization of Customary Law and State Law Dealing with Land Ownership and its Shifting Meaning in Jogjakarta," ISBN:978-602-8683-26-5
0%
21
Proseding: Asean Conference Educating Asean Societies for Integrity The Role of Educators & Students in Buildin, April 2013 dengan judul "Understanding The Typology of Judge's Behaviour in Handling Corruption Cases
0%
22
Proseding pada Konferensi Nasional Hukum, Politik dan Kekuasaan, Oktober 2009 dengan judul "Beberapa Permasalahan yang Dihadapi Pelaut Indonesia dan Urgensi Perlindungan Hukumnya Menghadapi Dampak Globalisasi dan Perdagangan Bebas, ISBN:978-6028011-06-8;
18%
23
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora, Desember 2011 dengan judul "Aspek Yuridis Pembangunan Peron Tinggi di Stasiun Kereta Api sebagai Sarana Perlindungan Hukum Konsumen, ISSN:2089-3590
3%
24
Prosiding: Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Kehidupan Masyarakat yang Madan' dan Lestari, DPPM Ull, Desember 2011 dengan judul "Urgensi Standarisasi Layanan sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Penumpang Kapal Kelas Ekonomi dengan Waktu Pelayaran di atas 8 jam," ISBN:978-602-95472-1-4
0%
25 Prosiding Seminar Nasional Hukum Islam FH UNDIP, September 2012 dengan Judul "Ilmu Hukum Profetik : Gagasan Awal dan Kemungkinan Pengembangannya," ISBN:978-602-8259-42-2
0%
26
Makalah Seminar Internasional Non Prossiding: Berjudul "Exploring Indonesian Legal Structure To Reduce Corruption Do Judge's Verdicts Really Fight Against Corruption?, Presented on the Corruption Seminar, held by Indonesian Islamic Society of South Australia (MIIAS) , pada Desember 2008 .
0%
27 Koran pada Examinasi Edisi 1 Tahun 2011, Hal. 9, Nopember 2011 dengan judul "Korupsi Dalam Perspektif Hukum Adat,
2%
28
Editing/Sunting Buku Ilmiah: Menghasilkan Karya Ilmiah berupa Editing pada Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum Ull, Desember 2013 dengan judul "Ilmu Hukum Profetik (Gagasan Awal Landasan Kefilsafatan dan Kemungkinan Pengembangannya di Era Postmodern), ISBN :978-602-1123-01-0
8%
29
Jurnal Nasional Terakreditasi: Hasanuddin Law Review, Vol.3, No.1, April 2017, berjudul: An Effective Supervision Model of a Standard Clause for Consumer Protection in Business Transactions, ISSN: 2442-9880
596
-Or
Viandang Sutrisno, S.H., LLM., M.Hum., Ph.D.
Pengecekan di atas menggunakan alat IThenticate dengan meniadakan (exclude) beberapa hal dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Meniadakan (exclude) hasil cek kesamaan karya yang kurang dari 2 persen.
2. Meniadakan (exclude) hasil cek kesamaan karya yang disitasi oleh pihak lain.
3. Meniadakan (exclude) hasil cek kesamaan karya yang terindikai plagiasi kepada karya ilmiah yang
bersangkutan.
4. Meniadakan (exclude) hasil cek kesamaan karya yang menunjukan url atau laman karya ilmiah yang
bersangkutan.
5. Meniadakan (exclude) hasil cek kesamaan karya yang diupload dalam bentuk yang berbeda (online pribadi)
yang terdeteksi merupakan karya sendiri bukan merupakan laman publikasi Jurnal resmi hanya untuk
kepentingan sharing (seperti https://www.researchgate.net facebook.com dll ) sehingga bukan termasuk
auto-plagisasi/self plagiarism.
Berdasarkan hasil pengecekan di atas, maka karya ilmiah tersebut diatas dapat diteruskan usulannya ke kopertis
Wilayah V.
Yogyakarta, 25 Juli 2017
Wakil Rektor I
Dr.-Ing. Ir. Ilya Fadjar Maharika, MA., IACk
Recommended