View
6.849
Download
3
Category
Preview:
DESCRIPTION
Ibarat sebuah pohon, i’tikad (keyakinan) yang mendalam merupakan akar pondasi yang menjadi dasar, sedangkan akidah merupakan satu batang penopang yang tegak tidak boleh menyimpang. Salah dalam I’tikad-akidah menyebabkan seseorang tersesat dan keluar dari Islam menjadi kafir. Sedangkan Fiqih merupakan dahan, ranting dan cabangnya. Dalam masalah Fiqih-amaliah yang ijtihadi sering terjadi perbedaan pendapat (khilafiah) diantara para imam mujtahid dan para ulama. Salah dalam ijtihad fiqih amaliah, tidak menyebabkan seorang muslim menjadi kafir, melainkan yang benar dapat dua pahala yang salah dapat satu pahala. Hadits Nabi yang menginformasikan akan adanya firqoh-firqoh Islam yang sesat dalam masalah Akidah (bukan masalah fiqih-amaliah Khilafiah) :
Citation preview
A. PendahuluanIbarat sebuah pohon, i’tikad (keyakinan) yang mendalam merupakan akar
pondasi yang menjadi dasar, sedangkan akidah merupakan satu batang penopang
yang tegak tidak boleh menyimpang. Salah dalam I’tikad-akidah menyebabkan
seseorang tersesat dan keluar dari Islam menjadi kafir.
Sedangkan Fiqih merupakan dahan, ranting dan cabangnya. Dalam masalah
Fiqih-amaliah yang ijtihadi sering terjadi perbedaan pendapat (khilafiah) diantara
para imam mujtahid dan para ulama. Salah dalam ijtihad fiqih amaliah, tidak
menyebabkan seorang muslim menjadi kafir, melainkan yang benar dapat dua pahala
yang salah dapat satu pahala. Hadits Nabi yang menginformasikan akan adanya
firqoh-firqoh Islam yang sesat dalam masalah Akidah (bukan masalah fiqih-amaliah
Khilafiah) :
“Bahwasannya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah (firqah) dan akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, semuannya masuk neraka kecuali satu:.Sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya: “Siapakah yang satu itu Ya Rasulullah?”Nabi Menjawab: “yang satu itu ialah orang yang berpegang(beri’tiqad) sebagai peganganku(I’tiqadku) dan pegangan sahabat-sahabatku1”(HR. Tirmidzi)
Bahwa 72 firqah yang sesat itu bertumpu pada 7 firqah yaitu2 :
1. Faham Syi’ah, kaum yang berlebih-lebihan memuja Saidina Ali bin
Abi Thalib. Mereka tidak mengakui Khalifah Rasyidin yang lain
seperti Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Khalifah Umar Ibnu Khattab
dan Khalifah Utsman bin Affan. Kaum Syi’ah terpecah menjadi 22
aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum Bahaiyah dan Kaum
Ahmadiyah Qad-yan.
1Sahih Tirmidzi, jilis 10, h. 109, sebagaimana dikutip oleh Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah wal jamaah(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2005), h. 9.
2Mufti Sheikh Sayid Abdurrahman, Bugyatul Mustarsyidin, (Kairo: Mathba’ah Amin Abdul Majid, 1331). h. 398. Sebagaimana dikutip Sirajuddin Abbas. h. 11-12.
1
2. Faham Khawarij, yaitu kaum kaum yang berlebih-lebihan membenci
Saidina Ali bin Abi Thalib, bahkan di antaranya ada yang
mengkafirkan Saidina Ali. Firqah ini berfatwa bahwa orang-orang
yang membuat dosa besar menjadi kafir. Kaum Khawarij terpecah
menjadi 20 aliran.
3. Faham Mu’tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat, bahwa manusia membuat pekerjaannya sendiri,
Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata dalam surga, orang yang
mengerjakan dosa besar diletakkan di antara dua tempat, dan mi’raj
Nabi Muhammad SAW hanya dengan roh saja, dll. Kaum Mu’tazilah
terpecah menjadi 20 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum
Qadariyah.
4. Faham Murjiah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa membuat
maksiat (kedurhakaan) tidak memberi mudharat jika sudah beriman,
sebaliknya membuat kebaikan dan kebajikan tidak bermanfaat jika
kafir. Kaum ini terpecah menjadi 5 aliran.
5. Faham Najariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa perbuatan
manusia adalah makhluk, yaitu dijadikan Tuhan, tetapi mereka
berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak ada. Kaum Najariyah terpecah
menjadi 3 aliran.
6. Faham Jabariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa manusia
“majbur”, artinya tidak berdaya apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada
sama sekali. Kaum ini hanya 1 aliran.
7. Faham Musyabbihah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa ada
keserupaan Tuhan dengan manusia, misal bertangan, berkaki, duduk di
kursi, naik dan turun tangga dll. Kaum ini hanya 1 aliran saja. Kaum
Ibnu Taimiyah termasuk dalam golongan ini, dan Kaum Wahabi
adalah termasuk kaum pelaksana dari faham Ibnu Taimiyah
2
“Maka bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi hidayah.3” (HR. Abu Dawud).
“Ada dua firqah dari umatku yang pada hakikatnya mereka tidak ada sangkut pautnya dengan Islam, yaitu kaum Murji’ah dan kaum Qadariyah.” (HR Tumrmidzi4).
“Bagi tiap-tiap umat ada Majusinya. Dan Majusi umatku ini ialah mereka yang mengatakan bahwa tidak ada takdir. Barangsiapa diantara mereka itu mati, maka janganlah kalian menshalati jenazahnya. Dan barangsiapa diantara mereka itu sakit, maka janganlah kalian menjenguknya. Mereka adalah golongan Dajjal dan memang ada hak bagi Allah untuk mengkaitkan mereka itu dengan Dajjal itu.” (HR Abu Dawud).
“Akan keluar suatu kaum di akhir jaman, orang-orang muda berfaham jelek. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyah” (ayat-ayat Allah). Iman mereka tidak melampaui kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama bagai meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa dengan kamu, lawanlah mereka.” (HR Bukhari)5.
B. Pengertian
1. Qadariyah
Qadariyah diambil dari bahasa Arab, dasar katanya adalah qadara yang
memiliki arti kemampuan atau kekuasaan. Adapun pengertian qadariyah berdasarkan
terminology adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi oleh Tuhan, artinya tanpa campur tangan Tuhan atau dengan kata lain
tidak mengakui adanya qadar bagi Tuhan. Mereka menyatakan, bahwa tiap-tiap
hamba Tuhan adalah pencipta bagi segala perbuatannya; dia dapat berbuat sesuatu
atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Dalam bahasa Inggris qadariyah ini
3Sunan Abu Daud, Jilid 4, h. 201, sebagaimana dikutip oleh Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2005), h. 7.
4Sahih Tarmidzi, Jilid 8, (Masriyah: Kairo 1931), h. 316 sebagaimana dikutip oleh Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah wal jamaah(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2005), h. 7.
5 bnu Hajar as Asqalani, Fathul Bari, Syarah Bukhari Jilid 15, h. 315.
3
diartikan sebagai free will and free act, bahwa manusialah yang mewujudkan
perbuatan-perbuatan dengan kemauan dan tenaganya.
2. Jabariyah
Jabariyah berasal dari kata yabara, berarti memaksa atau terpaksa. Menurut al-
Syahrastani, al-jabr berarti meniadakan perbuatan manusia dalam arti yang
sesungguhnya (nafy al-fi'l 'an al'abd haqiqah) dan menyan-darkan perbuatan itu
kepada Tuhan. Menurut paham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu. Karena itu,
manusia tidak dapat diberi sifat "mampu" (istitha'ah). Manusia sebagai dikatakan
Jahm ibn Shafwan, terpaksa atas perbuatan-perbuatannya, tanpa ada kuasa (qudrah),
kehendak, (iradah), dan pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan manusia, sebagaimana perbuatan Tuhan atas benda-benda mati. Oleh
karena itu, perbuatan yang disandarkan kepada manusia harus dipahami secara
majazy, seperti halnya perbuatan yang disandarkan pada benda-benda. Misalnya
ungkapan, "Pohon berbuah, air mengalir, dan batu bergerak.
Jadi nama Jabariah diambil dari kata jabara yang mengandung arti terpaksa.
Memang dalam aliran ini, sebagai dijelaskan Harun Nasution, terdapat paham bahwa
manusia mengerjakan perbuatan nya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah Inggris,
paham ini disebut fatalisme atau predistination. Perbuatan-perbuatan manusia telah
ditentukan sejak semula oleh qada dan qadarTuhan.
C. Paham Jabariah
1. Sejarah Jabariah
Kaum Jabariyah diduga lebih dahulu muncul dibandingkan dengan kaum
Qadariyah, karena Jabariyah nampaknya sudah dapat diketahui secara jelas ketika
Mu’awiyah Ibn Ali Sofyan (621 H) menulis surat kepada al Mughirah ibn Syu’bah
(salah seorang sahabat Nabi) tentang doa yang selalu dibaca Nabi, lalu Syu’bah
4
menjawab bahwa doa yang selalu dibaca setiap selesai shalat adalah yang artinya
sebagai berikut :
“Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu baginya, Ya Allah tidak ada sesuatu yang dapat menahan apa-apa yang Engkau telah berikan, tidak berguna kesungguhan semuanya bersumber dariMu ” (H.R Bukahri)
Dilihat dari segi pendekatan kebahasaan, Jabariyah berarti ‘keterpaksaan’ ,
artinya suatu paham bahwa manusia tidak dapat berikhtiar. Dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah fatalism atau predestination (segalanya ditentukan oleh Tuhan)
Memang dalam aliran ini paham keterpaksaan melaksanakan sesuatu bagi manusia
sangat dominan, karena segala perbuatan manusia telah ditentukan semula oleh
Tuhan.
Ada dua tokoh di dalam paham Jabariyah sebagai pencetus dan penyebar
aliran ini : Ja’ad Ibn Dirham (wafat 124 H) di Zandaq, dikenal sebagai pencetus
paham Jabariyah. Selanjutnya paham ini disebarluaskan oleh Jahm ibn Shafwan yang
dalam perkembangannya paham Jabariyah menjadi terkenal dengan nama Jahmiyah.
Jahm Ibn Shafwan pada mulanya dikenal sebagai seorang budak yang telah di
merdekakan dari Khurasan dan bermukim di Kufah (Iraq). Aliran ini lahir di Tirmiz
(Iran Utara). Jahm ibn Shafwan terkenal sebagai seorang yang pintar berbicara
sehingga pendapatnya mudah diterima oleh orang lain.
Perlu dicatat bahwa Jahm ibn Shafwan juga mempunyai hubungan kerja
dengan al Harits ibn Suriah yakni sebagai sekretaris yang menentang kepemimpinan
Bani Umayyah di Khurasan Perlawanan al Harits dapat dipatahkan, sehingga ia
sendiri dijatuhi hukuman mati pada tahun 128 H/ 745 M. Sementara Jahm
diperlakukan sebagai tawanan yang pada akhirnya juga dibunuh.
Pembunuhan pada dirinya bukan karena motif mengembangkan paham Jabariyah,
tetapi karena keterikatannya dangan pemberontakan melawan pemerintahan Bani
Umayyah bersama dengan al Harits, Pembunuhan Jahm Ibn Shafwan kurang lebih
5
dua tahun setelah kematian al Harits yakni pada 747 M, yang pada saat itu pemerintah
Bani Umayyah dipimpin oleh Khalifah Marwan bin Muhammad (744 – 750 M).
2. Pokok- pokok paham Jabariyah
Paham Jabariyah(predestinarians) bertolak belakang dangan paham
Qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak memiliki daya dan upaya kehendak
maupn pilihan dalam setiap tindakannya6. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan
manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia
tetap mendapatkan pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang
dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya
perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
Para penganut mazhab ini ada yang ekstrim, ada pula yang bersikap moderat.
Jahm bin Shafwan termasuk orang yang ekstrim, sedangkan yang moderat antara lain
adalah : Husain bin Najjar, Dhirar bin Amru, dan Hafaz al Fardi yang mengambil
jalan tengah antara Jabariyah dan Qadariyah.
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang yang digerakkan
oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Pandangan tersebut didasarkan pada beberapa ayat dalam al
Qur’an, seperti QS. Al Anfal yang terjemahnya :
“Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan di dalam buku sebelum kamu wujud”
Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam.
Keadaan mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam yang gersang dan tandus,
menyebabkan mereka tidak dapat melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan
kemauan mereka. Akibatnya, mereka lebih bergantung pada kehendak alam. Keadaan
ini membawa mereka pada sikap pasrah dan fatalistik.
6Taufiq Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam(Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoece, 2002) h. 135.
6
Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu sudah ada. Perdebatan di
antara para sahabat di seputar masalah qadar Tuhan merupakan salah satu
indikatornya. Rasulullah saw. menyuruh umat Islam beriman kepada takdir, tetapi
beliau melarang mereka membicarakannya secara mendalam. Pada masa sahabat
(Khulafa at-Rasyidin) kelihatannya sudah ada orang yang berpikir Jabariyah.
Diceritakan bahwa Umar ibn al-Khatab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika
diintrogasi, pencuri itu berkata, "Tuhan telah menentukan aku mencuri." Umar
menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali. Ketika keputusan itu
ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: "Hukum potong tangan untuk kesalahannya
mencuri, sedang cambuk (jilid) untuk kesalahannya menyandarkan perbuatan dosa
kepada Tuhan.
Sebagian sahabat memandang iman kepada takdir dapat menia-dakan rasa
takut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kota yang di dalamnya
terdapat wabah penyakit, mereka berkata, "Apakah Anda mau lari dari takdir Tuhan?"
Umar menjawab: "Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain." Perkataan
Umar ini menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam segala
keadaan. Akan tetapi, manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebabterjadinya
sesuatu, karena setiap sesuatu yang memiliki sebab berada di bawah kekuasaan
manusia (maqdurah)
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan tentang jabar semakin
mencuat kepermukaan. Abdullah ibn Abbas dengan suratnya,memberi reaksi keras
kepada penduduk Siria yang diduga berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan
pula oleh Hasan Basri kepada penduduk Basrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
pada waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa cikal-bakal paham Jabariyah
sudah muncul sejak awal periode Islam. Namun, Jabariyah sebagai suatu pola pikir
(mazhab) yang dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan
7
Bani Umayah. Paham ini ditimbulkan buat pertama kalinya oleh Ja'ad ibn Dirham.
Akan tetapi yang menyebarkannya adalah Jahm ibn Shafwan. Ja'ad sendiri menerima
paham ini dari orang Yahudi di Siria. Pendapat lain menyatakan bahwa Ja'ad
menerimanya dari Aban ibn Syam'an, dan yang terakhir ini menerimanya dari Thalut
ibn Ashamal-Yahudi.Dengan demikian, paham Jabariyah berasal dari pemikiran
asing, Yahudi maupun Persia. Sungguh-pun demikian, di dalam al-Qu'ran sendiri
terdapat ayat-ayat yang dapat dibawa pada paham Jabariyah. Misalnya, ayat-ayat
berikut ini:
Artinya: Mereka sebenarnya tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendaki. (QS. al-An'am: 112).
Artinya: Bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi Allahlah yang melontar (mereka). (QS. al-Anfal: 17),
Artinya: Kamu tidak menghendaki, kecuali Allah menghendaki. (Q.S. al-lnsan: 30).
Ayat-ayat ini jelas dapat dibawa pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah
sebabnya, mengapa hingga kini pola pikir Jabariyah itu masih tetap terdapat di
kalangan umat Islam sungguhpun para penganjurnya yang pemula telah lama tiada.
Jika seseorang menganut paham ini, akan menjadikan ia pasrah, tidak ada
kreatifitas dan semangat untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat,
sehingga tetap terbelakang.
D. Paham Qadariah
1. Sejarahnya
Mazhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran mazhab
ini banyak persamaannya dengan ajaran Mu’tazilah. Mereka berpendapat sama
tentang, misalnya, manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya, Tuhan
tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala
sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah swt.
8
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad al Juhani Al Bisri dan Ghailan al
Dimasyqi, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (687-705 M)
kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qadar. Semasa
hidupnya, Ma’bad al Juhani berguru pada Hasan al Basri, sebagaimana Washil bin
Atha’ ; tokoh pendiri Mu’tazilah, Jadi, Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua
sesudah Nabi, sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato
sehingga banyak orang tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya menjadi
maula (pembantu) Usman bin Affan. kelihatannya paham ini diambil dari seorang
Kristen yang masuk islam di irak, dan ma’bad memasuki dunia politik dan memihak
Abd Al Asy’as, gubernur Sajistan7.
Kedua tokoh Qadariyah ini mati terbunuh, Ma’bad al Juhani terbunuh dalam
pertempuran melawan al Hajjaj tahun 80 H. Ia terlibat dalam dunia politik dengan
mendukung Gubernur Sajistan, Abdurrahman al Asy’ats, menentang kekuasaan Bani
Umayyah. Sedangkan Ghailan al Dimasyqi dihukum bunuh pada masa pemerintahan
Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M), yaitu khalifah dinasti Umayyah
yang ke-sepuluh. Hukuman bunuh atas Ghailan dilakukan karena ia terus
menyebarluaskan paham Qadariyah yang dinilai membahayakan pemerintah. Ghailan
gigih menyiarkan paham Qadariyah di Damaskus sehingga dapat tekanan dari
Khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720 M). Meskipun mendapat tekanan, Ghailan
tetap melakukan aktivitasnya hingga Umar wafat dan diganti oleh Yazid II (720-724
M).
Akar qadariah bersumber dari ketidak mampuan akal mereka dalam
memahami qadar Allah, perintah dan larangannya, janji dan ancamannya, serta
mereka mengira hal-hal seperti itu dilarang untuk difikirkan.8
7Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliraan Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta:UI-Press, 1986). h. 32.
8Muhammad A Hadi, Manhaj Dan Aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah Menurut Paham Salaf(Jakarta:Gema Insani Press, 1994), h. 183-184.
9
Latar belakang timbulnya firqoh Qadariyah ini sebagai isyarat menentang
kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggap kejam dan dzalim. Apabila
firqoh Jabariyah berpendapat bahwa khalifah Bani Umayyah membunuh orang, hal
itu karena sudah ditakdirkan Allah dan hal ini berarti merupakan ‘legitimasi’
kekejaman Bani Umayyah, maka firqoh Qadariyah mau membatasi masalah takdir
tersebut.
Mereka mengatakan bahwa kalau Allah itu adil, maka Allah akan menghukum
orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat kebajikan.
Manusia harus bebas memilih dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih
perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah telah menentukan takdir manusia
dan memaksakan berlakunya, maka Allah itu zalim. Mengapa Allah menyiksa
manusia karena sesuatu yang telah ditadirkan dan dipaksakan terjadi oleh Nya ?
Karena itu manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar bebas atas perbuatannya.
Orang-orang yang berpendapat bahwa amal perbuatan dan nasib manusia
hanyalah tergantung pada takdir Allah saja, selamat atau celaka sudah ditentukan oleh
takdir Allah sebelumnya, pendapat tersebut adalah keliru menurut mereka. Sebab
pendapat tersebut berarti menentang keutamaan Allah dan berarti menganggapNya
pula yang menjadi sebab terjadinya kejahatan-kejahatan. Mustahil Allah melakukan
kejahatan. Jadi firqoh Qadariyah menolak adanya takdir Allah dan berpendapat
bahwa manusia bebas merdeka menentukan perbuatannya.
2. Pokok-pokok Paham Qadariyah
Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, ia
melakukan perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan itu adalah
perbuatan baik maupun perbuatan buruk.
10
Aliran qadariah sering juga diidentikkan dengan aliran mu’tazila, aliran
qadariah memahami bahwa manusia itu bebas memilih atas perbuatannya (kholiqul
af-al). mereka berpendapat bahwa kemauan manusia itu bebas, dan itu berarti bahwa
manusia bebas untuk berbuat atau bertindak, sehingga manusia bertanggung jawab
untuk berbuat atau tidak berbuat, sehingga manusia bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap perbuatannya.9
Dalam paham ini manusia merdeka dalam segala tingkah lakunya,
berdasarkan kemauan dan daya yang dimiliki. Dialah yang menentukan nasibnya,
bukan Tuhan yang menentukan, pandangan tersebut didasarkan pada beberapa ayat al
Qur’an, antara lain QS. Al Ra’d ayat 11:
Artinya :
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu bangsa, sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka”
Qadariah terbagi menjadi tiga golongan10:
1. Golongan qadariah yang pertama adalah mereka yang mengetahui qadha dan qadar
serta mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan, mereka berkata
jika Allah berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak
mempersekutukanNya, dan kami tidak mengharamkan apapun.
2. Qadariah majusiah, adalah mereka yang menjadikan Allah berserikat dalam
penciptaan-penciptaanNya, sebagai mana golongan-golongan pertama menjadikan
sekutu-sekutu bagi Allah dalam beribadat kepadanya, sesungguhnya dosa-dosa yang
terjadi pada seseorang bukanlah menurut kehendak Allah, kadang kala mereka
berkata Allah juga tidak mengetahuinya.
9 Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam(Bandung:Pustaka Sedia,1998)h. 145.
10 Ibid, hal. 187-189.
11
3. Qadariah Iblisiyah, mereka membenarkan bahwa Alah merupakan sumber
terjadinya kedua perkara(pahala dan dosa)
Adapun yang menjadikan kelebihan dari paham ini membuat manusia menjadi
kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin maju dan berkembang sesuai
dengan tuntutan zaman, namun demikian mengeliminasi kekuasaan Allah juga tidak
dapat dibenarkan oleh paham lainnya(Ahlussunah wal jamaah).11Dalam sejarah
teologi islam selanjutnya paham qadariah dianut oleh kaum mu’tazilah.
E. Kritikan Atas Paham Jabariah dan Qadariah
Jabariyah meyakini bahwa segala perbuatan manusia telah diatur dan dipaksa
oleh Allah sehingga manusia tidak memiliki kemampuan dan kehendak dalam hidup,
sementara qadariyah meyakini bahwa Allah tidak ikut campur dalam kehidupan
manusia sehingga manusia memiliki wewenang penuh dalam menentukan hidupnya
dan dalam menentukan sikap, dalam paham jabariah adalah mereka mengi’tiqadkan
bahwa tiada dosa kalau memperbuat kejahatan(dosa) karena yang memperbuat itu
pada hakikatnya adalah tuhan, ditariknya lebih panjang bahwa kalau mereka mencuri
maka tuhanlah yang mencuri, kalau berzina maka tuhanlah yang berzina, begitu juga
sebaliknya kalau ia shalat maka tuhanlah yang shalat, sebahagian mereka menarik
labih jauh lagi sehingga disatukan dirinya dengan tuhan, wujudnya dan wujud
tuhannya satu, dari sinilah muncul paham wahdatul wujud, yakni paham bahwa yang
ada hanya satu, yaitu DIA.12 Adapun yang membedakan I’tiqad jabariah dengan
ahlusunnah wal jama’ah adalah bahwa memang semua dijadikan oleh tuhan, tetapi
tuhan pula yang menjadikan adanya ikhtiar dan kasab bagi manusia.
11Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliraan Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta:UI-Press, 1986). h. 37.
12Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jama’ah(Jakarta:Pustaka Tarbiyah, 2005), h. 278-279.
12
Jabariyah menyatakan bahwa iman cukup kalau sudah mengakui dalam hati
saja, walaupun tidak diikrarkan dengan lisan, hal ini berbeda dengan allusunnah yang
menyatakan iman tidak cukup hanya dengan ikrar dihati saja tetapi iman itu ialah
membenarkan dalam hati dan mengakui dengan lidah.
Dalam masalah takdir ada dua golongan yang tersesat yaitu:13
1. Golongan jabariah, yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia itu terpaksa
atas perbuatannya, tidak punya iradah(kemauan) dan qudrah(kuasa).
2. Golongan qadariah yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia dalam
perbuatannya ditentukan oleh kemauan serta kemampuannya kehendak dan takdir
Allah tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Daya yang dimiliki manusia dalam kaitannya dengan perbuatannya
mempunyai dua kemungkinan, yaitu daya itu efektif atau daya itu tidak efektif peran
kekhalifahan dengan tegas dan amanat yang menyertainya berarti manusia
berhadapan dengan suatu tantangan, disisi lain peran kekhalifahan tuhan dibumi
adalah suatu pendelegasian wewenang, dengan kata lain hal itu merupakan pemberiah
otonomi kepada manusia.14
Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi Balasan dengan apa yang diusahakannya. tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah Amat cepat hisabnya15.
13Syaikh Muhammad bin salah Al Ustsaimin, Prinsip dasar keimanan(Riyadh:Haiatul iqhatsan al islamiah, 2003)
14Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an(Jakarta:Pt. Bulan Bintang, 1992). h. 108.
15Al Mu’min 17.
13
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia16.
Sesuai dengan beberapa ayat diatas kirannya tidak meneyandarkan sesuatu
yang buruk bagi tuhan, umpamanya dikatakannya” Tuhan Mencuri” walaupun pada
hakikatnya semua yang terjadi di dunia adalah dijadikan Tuhan. Walaupun Tuhan
yang menjadikan sesuatu, tetapi ia bukan ikut mengerjakan sesuatu,
Manusia mempunyai daya dan kekuatan untuk menentukan nasibnya,
melakukan segala sesuatu yang diinginkan baik dan buruknya. Jadi surga atau neraka
yang didapatnya bukan merupakan takdir Tuhan melainkan karena kehendak dan
perbuatannya sendiri, berbeda dengan yang di I’tiqadkan ahlusunnah wal jama’ah
yang menyatakan pekerjaan manusia pada lahirnya dikerjakan oleh manusia tetapi
pada kahikatnya tuhanlah yang menjadikan dan manusia adalah perantara sebagai
sebab terjadinnya(dengan ikhtiyar dan kasab)
Daftar Pustaka
Abbas Siradjuddin, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
2005.
Abu Daud, Sunan (Kairo:Tijariah,1935)
Al Qur’an dan Terjemahannya.
Hadi A Muhammad, Manhaj Dan Aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah Menurut Paham Salaf, Jakarta:Gema Insani Press, 1994.
16Ar Rum 41.
14
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliraan Sejarah Analisa Perbanding,
Jakarta:UI-Press, 1986.
Mufti Sheikh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar(Ba’Alawi),
Bugyatul Mustarsyidin, Kairo: Mathba’ah Amin Abdul Majid Kairo, 1960.
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung:Pustaka Sedia, 1998.
Muhammad bin salah Al Ustsaimin, Syaikh, Prinsip Dasar Keimanan, Riyadh:Haiatul iqhatsan al islamiah, 2003.
Rahman Jalaluddin, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1992.
Taufiq Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Isla, Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoece, 2002).
Tirmidzi, Sahih, Kairo:Masriyah,1931.
http://ahmadfaruq.blogdetik.com/ushuludin.
http://latenrilawa-transendent.blogspot.com/2010/04/silabi-ilmu-kalam-qadariyah-
dan.html.
http://cakrowi.blogspot.com/2010/05/kajian-ilmu-kalam-qadariah-dan-jabariah.html.
http://farida90.blogspot.com/2009/10/jabariyah-dan-qadariah.html..
15
Recommended