View
31
Download
4
Category
Preview:
DESCRIPTION
Referat Mata
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
Cholelithiasis di Indonesia merupakan penyakit yang sering menyerang saluran
pencernaan. Namun penyakit ini sering tidak mendapat perhatian dari
penderitanya karena minimnya gejala yang tampak pada penderitanya. Pasien-
pasien yang memiliki cholelithiasis jarang mengalami komplikasi. Walaupun
demikian, bila cholelithiasis telah menimbulkan serangan nyeri kolik yang
spesifik maka risiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus
meningkat. Cholelithiasis umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi
batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu
menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder.
Sekitar 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai batu saluran
empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di
dalam saluran empedu intra-atau-ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung
empedu. Perjalanan cholelithiasis belum sekunder belum jelas benar, tetapi
komplikasi akan lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu
asimptomatik.(1)
Penyakit cholelithiasis adalah salah satu penyakit yang sering mengenai
traktus digestivus. Dari autopsi didapatkan prevalensi dari cholelithiasis adalah
11-36%. Prevalensi cholelithiasis berhubungan dengan banyak faktor termasuk
umur, jenis kelamin, dan latar belakang etnik. Beberapa kondisi yang merupakan
predisposisi berkembangnya cholelithiasis adalah obesitas, kehamilan, faktor
3
makanan, rendahnya konsumsi kopi, penyakit Crohn, reseksi ileum terminal,
operasi gaster, hereditary spherocytosis, sickle cell disease, dan thalassemia.
Semua ini akan meningkatkan resiko terjadinya cholelithiasis. Wanita 3 kali lebih
sering terjadi cholelithiasis di bandingkan laki-laki dan insidensinya meningkat
sesuai dengan usia(1,2)
Sementara ini di dapat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia
lebih umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi di bandingkan dengan
angka yang terdapat di negara barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga
seperti Singapura, Malaysia, Muangthai, dan Filipina. Hal ini menunjukan bahwa
faktor infeksi empedu oleh kuman gram negatif E.coli ikut berperan penting
dalam timbulnya batu pigmen. Di wilayah ini insiden batu primer saluran empedu
adalah 40-50% dari penyakit batu empedu sedangkan di dunia barat sekitar 5%. 2
Batu empedu terbanyak di temukan di dalam kandung empedu tetapi sepertiga
dari batu empedu merupakan batu ductus choledochus. (2)
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan kristal di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu atau pada kedua-duanya. Batu kandung
empedu merupakan gabungan beberapa unsur dari cairan empedu yang
mengendap dan membentuk suatu material mirip batu di dalam kandung empedu
atau saluran empedu. Komponen utama dari cairan empedu adalah bilirubin,
garam empedu, fosfolipid dan kolestrol. Batu yang ditemukan di dalam kandung
empedu bisa berupa batu kolestrol, batu pigmen yaitu pigmen coklat atau pigmen
hitam, atau batu campuran. (1).
B. Faktor Risiko
Pada dasarnya semua penyakit kronik memiliki riwayat alamiah yang yang
bersifat multifaktorial termasuk disini adalah Cholelithiasis yang diakibatkan dari
interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan akhir-akhir ini
dianggap berakibat dari tumbuhnya gaya hidup yang modern, termasuk disini
adalah tingginya asupan karbohidrat, prevalensi tinggi timbulnya obesitas dan
non-insulin dependent diabetes mellitus, dan gaya hidup yang cenderung sedenter
Hipotesis genetik mendukung teori colelithiasis berkembang dari
hubungan keluaga, survey epidemiologi yang telah ada memberikan kesan bahwa
ras amerika dan bangsa indian memiliki gen lithogenik lebih tinggi. Karena
5
kolesterol dalam empedu kebanyakan berasal dari kolesterol yang dibentuk dari
lipoprotein plasma, beberapa studi dan penelitian memfokuskan pada gen yang
terkait dengan transport dari kolesterol tersebut, termasuk ekspresi dari apoprotein
E, B dan A-I dan cholesterol ester transfer protein. Pada percobaan dengan
menggunakan tikus dan hamster telah ditemukan memang ada suatu gen yang
dapat membantu terbentuknya batu empedu kolesterol (1)
Faktor-faktor yang mendasari terjadinya batu empedu pada beberapa
penelitian adalah jenis kelamin, usia, kolesterol HDL yang rendah, BMI yang
tinggi, persentase lemak tubuh, kadar glokosa serum yang yang lebih tinggi
terutama pada wanita (dengan atau tanpa NIDDM), paritas dan hiperinsulinemia.
Pada penelitian yang secara konsisten dan sering ditemukan adalah hubungan
antara konsentrasi kolesterol HDL serum dengan terjadinya batu empedu, yang
memberikan kesan bahwa abnormalitas dari metabolisme kolesterol HDL yang
mendasari terjadinya batu empedu. (1)
C. Epidemiologi
Cholelithiasis umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu
tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu
menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder.
Sekitar 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai batu saluran
empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di
dalam saluran empedu intra-atau-ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung
6
empedu. Perjalanan cholelithiasis belum sekunder belum jelas benar, tetapi
komplikasi akan lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu
asimptomatik.(2,3)
Penyakit cholelithiasis adalah salah satu penyakit yang sering mengenai
traktus digestivus. Dari autopsi didapatkan prevalensi dari cholelithiasis adalah
11-36%. Prevalensi cholelithiasis berhubungan dengan banyak faktor termasuk
umur, jenis kelamin, dan latar belakang etnik. Beberapa kondisi yang merupakan
predisposisi berkembangnya cholelithiasis adalah obesitas, kehamilan, faktor
makanan, rendahnya konsumsi kopi, penyakit Crohn, reseksi ileum terminal,
operasi gaster, hereditary spherocytosis, sickle cell disease, dan thalassemia.
Semua ini akan meningkatkan resiko terjadinya cholelithiasis. Wanita 3 kali lebih
sering terjadi cholelithiasis di bandingkan laki-laki dan insidensinya meningkat
sesuai dengan usia(1,2)
Sementara ini di dapat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia
lebih umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi di bandingkan dengan
angka yang terdapat di negara barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga
seperti Singapura, Malaysia, Muangthai, dan Filipina. Hal ini menunjukan bahwa
faktor infeksi empedu oleh kuman gram negatif E.coli ikut berperan penting
dalam timbulnya batu pigmen. Di wilayah ini insiden batu primer saluran empedu
adalah 40-50% dari penyakit batu empedu sedangkan di dunia barat sekitar 5%. 2
Batu empedu terbanyak di temukan di dalam kandung empedu tetapi sepertiga
dari batu empedu merupakan batu ductus choledochus(1).
D. Etiologi
7
1. Batu kolesterol
Batu kolesterol murni jarang di dapatkan dan terdapat hanya kurang dari 10%.
Batu ini biasanya multipel, ukurannya bervariasi, bila keras berbentuk ireguler,
bila lunak berbentuk mulberi. Warnanya bervariasi dari kuning, hijau, dan hitam.
Batu kolesterol biasanya radiolusen, kurang dari 10% radioopak. Baik batu
kolesterol murni atau campuran, proses pembentukan batu kolesterol yang
terutama adalah supersaturasi empedu dengan kolesterol. Kolesterol adalah
nonpolar dan tidak larut dalam air dan empedu. Kelarutan kolesterol bergantung
pada konsentrasi dari kolesterol, garam empedu, dan lesitin (fosfolipid utama pada
empedu). Supersaturasi hampir selalu disebabkan oleh hipersekresi kolesterol di
bandingkan pengurangan sekresi dari fosfolipid atau garam empedu.(4,5)
2. Batu pigmen
Batu pigmen di klasifikasikan menjadi batu pigmen coklat dan hitam.(a). Batu
pigmen hitam biasanya di hubungkan dengan kondisi hemolitik atau sirosis. Pada
keadaan hemolitik beban bilirubin dan konsentrasi dari bilirubin tidak
terkonjugasi meningkat. Batu ini biasanya tidak berhubungan dengan empedu
yang tidak terinfeksi dan lokasinya selalu di kandung empedu.Batu pigmen hitam
bersifat radioopak,(b.) batu pigmen coklat mempunyai struktur yang sederhana
dan biasanya di temukan pada duktus biliaris dan terutama pada populasi Asia.
Batu coklat lebih sering terdiri dari kolesterol dan kalsium palmitat dan terjadi
sebagai batu primer pada pasien di negara barat dengan gangguan motilitas bilier
dan berhubungan dengan infeksi bakteri. Dalam hal ini bakteri memproduksi
8
slime dimana berisi enzim glukuronidase. Batu pigmen cokelat bersifat
radiolusen(5)
3. Batu Campuran
Batu campuran antara kolestrol dan pigmen dimana mengandung 20 – 50%
kolesterol. (5)
E. Patogenesis
Patogenesis dari batu kolesterol multifaktorial, tetapi intinya terdiri dari 3
tahap. (1) supersaturasi kolesterol pada empedu (2) nukleasi kristal dan (3)
pertumbuhan batu. Mukosa kandung empedu dan fungsi motorik juga berperan
pada pembentukan batu empedu. Kunci untuk mempertahankan kolesterol dalam
bentuk cairan adalah pembentukan micelles (kompleks garam empedu-kolesterol-
fosfolipid) dan vesikel kolesterol-fosfolipid. Teori mengatakan dalam keadaan
produksi kolesterol berlebih vesikel ini juga akan meningkatkan kemampuannya
untuk mentransport kolesterol, dan pembentukan kristal dapat terjadi. Kelarutan
kolesterol bergantung pada konsentrasi kolesterol, garam empedu dan fosfolipid.
Dengan memperhatikan persentasi masing-masing komponen koordinat pada
segitiga zona micellar dimana kolesterol benar-benar larut dapat terlihat pada area
bagian atas empedu mengalami supersaturasi kolesterol dan pembentukan kristal
kolesterol dapat terjadi.(5)
Proses nukleasi adalah proses dimana terbentuk kristal kolesterol
monohidrat padat. Proses nukleasi terjadi lebih cepat pada empedu di kandung
empedu pada pasien dengan batu kolesterol di bandingkan pada pasien dengan
9
empedu yang jenuh kolesterol tanpa batu. Batu empedu untuk bisa menimbulkan
gejala klinis harus mencapai ukuran yang cukup yang dapat menyebabkan trauma
mekanik pada kandung empedu atau obstruksi dari traktus biliaris. Pertumbuhan
batu dapat terjadi lewat 2 jalan: Pembesaran progresif kristal atau batu oleh
endapan dari presipitat yang tidak larut pada batas sekitar batu empedu. Penyatuan
kristal atau batu dan membentuk gumpalan yang lebih besar. Sebagai tambahan
defek pada motilitas kandung empedu menyebabkan waktu empedu berada lebih
lama di kandung empedu, dengan demikian akan memainkan peran dalam
pembentukan batu. Pembentukan batu juga dapat terjadi pada keadaan klinis
dimana terdapat stasis kandung empedu seperti puasa dalam jangka waktu lama,
pengunaan nutrisi parenteral dalam jangka waktu lama, setelah vagotomy dan
pada pasien dengan tumor yang memproduksi somatostatin atau mendapatkan
trapi stomatotatin jangka panjang.(5)
F. Patofisiologi
Batu Kolesterol
Empedu yang disupersaturasi oleh kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari
90 persen batu empedu di negara barat. Sebagian besar batu ini merupakan batu
kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 persen kolesterol
berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa
organik dan inorganik lain. Batu kolesterol murni terdapat dalam sekitar 10 persen
dari semua batu kolesterol. Sifat fisikomia empedu bervariasi sesuai konsentrasi
relatif garam empedu, lesitin dan kolesterol. Kolestrol dilarutkan dalam empedu
dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah
10
relatif garam empedu dan lesitin. Hubungan antara kolesterol lesitin dan garam
empedu ini dapat dilihat dalam grafik segitiga. Yang koordinatnya merupakan
persentasi konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol. Empedu yang
mengandung kolesterol seluruhnya di dalam micelles digambarkan oleh area di
bawah garis lengkung ABC (cairan micelle) ; tetapi bila konsentrasi relatif garam
empedu, lesitin dan kolesterol turun ke area di atas garis ABC, maka ada
kolesterol di dalam dua fase atau lebih (cairan micelle dan kristal kolesterol).(4)
Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama
yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan:
1. Supersaturasi kolesterol empedu.
2. Hipomotilitas kantung empedu.
3. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol.
4. Hipersekresi mukus di kantung empedu
1. Supersaturasi Kolesterol empedu
Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada
metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu
akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti
garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam
empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal.
11
Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah,
kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen
berpolar lipid seperti senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel
dan tersusun berbatasan dengan fase berair sementara komponen rantaian
hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel. emakin meningkat saturasi
kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang akan ditemukan terdiri atas
campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar
10 kali lipat lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid bilayer tanpa
mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel turut
diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan dengan fase berair ekstenal
sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk bagian dalam dari
lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam bentuk misel, yang
mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi vesikel
berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk
beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal. Small dkk
(1968) menggambarkan batas solubilitas kolesterol empedu sebagai faktor yang
terkait dengan kadar fosfolipid dan garam empedu dalam bentuk diagram segitiga,
keseimbangan titik P mewakili empedu dengan komposisi 80% garam empedu,
5% kolesterol dan 15% lesitin. Garis ABC mewakili solubilitas maksimal
kolesterol dalam berbagai campuran komposisi garam empedu dan lesitin. Oleh
karena titik P berada di bawah garis ABC serta berada dalam zona yang terdiri
atas fase tunggal cairan misel maka empedu disifatkan sebagai tidak tersaturasi
dengan kolesterol.
12
Empedu dengan campuran komposisi yang berada atas garis ABC akan
mengandung konsentrasi kolesterol yang melampau dalam sehingga empedu
disebut sebagai mengalami supersaturasi kolesterol. Empedu yang tersupersaturasi
dengan kolesterol akan wujud dalam keadaan lebih daripada satu fase yaitu dapat
dalam bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan cenderung
mengalami presipitasi membentuk kristal yang selanjutnya akan berkembang
menjadi batu empedu. Dalam arti kata lain, diagram keseimbangan fase turut
memudahkan prediksi komposisi kolesterol dalam empedu (fase misel, vesikel,
campuran misel dan vesikel atau kristal). (4,5)
Selain itu, diagram keseimbangan turut menfasilitasi penentuan indeks
saturasi kolesterol (CSI) sebagai indikator tingkat saturasi kolesterol dalam
empedu. CSI didefinisikan sebagai rasio konsentrasi sebenar kolesterol bilier
dibanding konsentrasi maksimal yang wujud dalam bentuk terlarut pada fase
keseimbangan pada model empedu. Pada CSI >1.0, empedu dianggap
tersupersaturasi dengan kolesterol yaitu keadaan di mana peningkatan konsentrasi
kolesterol bebas yang melampaui kapasitas solubilitas empedu. Pada keadaan
supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk vesikel
unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga
membentuk vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil.
Agregasi dan fusi yang berlanjutan akan menghasilkan kristal kolesterol
monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada saat ini mengusulkan
bahwa keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor utama
yang menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu empedu.
13
Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama yang
menentukan litogenisitas empedu. Berdasarkan diagram fase, faktor-faktor yang
mendukung supersaturasi kolesterol empedu termasuk: (5)
1. Hipersekresi kolesterol.
Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supersaturasi
kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh:
1. peningkatan uptake kolesterol hepatik
2. peningkatan sintesis kolesterol
3. penurunan sintesis garam empedu hepatik
4. penurunan sintesis ester kolestril hepatik
Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki
aktivitas koenzim A reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih
tinggi dibanding kontrol.Aktivitas HMG-CoA yang tinggi akan memacu
biosintesis kolesterol hepatik yang menyebabkan hipersekresi kolesterol empedu.
Konsentrasi kolesterol yang tinggi dalam empedu supersaturasi kolesterol
pembentukan kristal kolesterol.
2. Hiposintesis garam empedu/perubahan komposisi relatif cadangan asam
empedu. Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan
perannya sebagai pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu misalnya
pada keadaan mutasi pada molekul protein transpor yang terlibat dalam sekresi
14
asam empedu ke dalam kanalikulus (disebut protein ABCB11) akan menfasilitasi
supersaturasi kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis empedu. Komposisi
dasar garam empedu merupakan asam empedu di mana terdapat tiga kelompok
asam empedu utama yakni : (5)
1. Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik.
2. Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik.
3. Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik.
Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid
pool) dan masing-masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat
hidrofobisitas yang berbeda ini akan mempengaruhi litogenisitas empedu.
Semakin hidrofobik asam empedu, semakin besar kemampuannya untuk
menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi sintesis asam empedu.
Konsentrasi relatif tiap asam empedu yang membentuk cadangan asam empedu
tubuh akan mempengaruhi CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang berbeda.
Asam empedu primer dan tertier bersifat hidrofilik sementara asam empedu
sekunder bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu umumnya mempunyai
cadangan asam kolik yang kecil dan cadangan asam deoksikolik yang lebih
besar.Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu meningkatkan CSI
dengan meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu nukleasi.
Sebaliknya, asam ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan asam empedu
hidrofilik yang berperan mencegah pembentukan batu kolesterol dengan
mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol. Asam ursodeoksikolik turut
15
menurunkan CSI dan memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara
melemahkan aktivitas protein pronukleasi dalam empedu.
3. Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid
95% daripada fosfolipid empedu terdiri atas lesitin. Sebagai komponen utama
fosfolipid empedu, lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi
kolesterol. Mutasi pada molekul protein transpor fosfolipid (disebut protein
ABCB4) yang berperan dalam sekresi molekul fosfolipid (termasuk lesitin) ke
dalam empedu terkait dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan dewasa
muda.
2. Hipomotilitas kantung empedu.
Motilitas kantung empedu merupakan satu proses fisiologik yang mencegah
litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu dari kantung empedu ke dalam
usus sebelum terjadinya proses litogenik.
Hipomotilitas kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus
proses absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa lebih cepat dari evakuasi
empedu peningkatan konsentrasi empedu proses litogenesis empedu.
Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat : Kelainan intrinsik dinding
muskuler yang meliputi: Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya
kolesistokinin (CCK), meningkatnya somatostatin dan estrogen. Perubahan
kontrol neural (tonus vagus). Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat
evakuasi empedu normal. Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas
16
kantung empedu pada batu empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu,
diduga hipomotilitas kantung empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol
berlebihan yang menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu
transduksi sinyal yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan
membran sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis,penderita batu empedu dengan
defek pada motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan
pola makan terutamanya penurunan selera makan serta sering ditemukan volume
residual kantung empedu yang lebih besar. Selain itu, hipomotilitas kantung
empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu.Stasis merupakan faktor
resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi sesuai
dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan gangguan
aliran empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi
enterohepatik. Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid berkurang dan ini
memudahkan kejadian supersaturasi.Stasis yang berlangsung lama menginduksi
pembentukan lumpur bilier (biliary sludge) terutamanya pada penderita dengan
kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk periode lama, terapi oktreotida
yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat badan mendadak.
Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini
terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat,
granul kalsium bilirubinat dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses
yang mendasari pembentukan batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur
bilierakan mengalami aglomerasi berterusan untuk membentuk batu makroskopik
17
hingga dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam litogenesis batu
empedu.
3. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol.
Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami proses
nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan
kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus
daripada empedu supersaturasi. Nukleasi kolesterol merupakan proses yang
dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi dan pronukleasi yang
merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu, faktor
pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi
berinteraksi dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi yang paling
penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang
terbukti menginduksi pembentukan batupada keadaan in vivo. Inti dari
glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu mengikat
kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya dengan
kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu proses
nukleasi. Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem
empedu termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin
dan glikoprotein asam -1. Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal
distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi nukleasi
kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya
mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik. Faktor antinukleasi
18
termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA ±II.
Mekanisme fisiologik yang mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-
faktor ini masih belum dapat dipastikan. Nukleasi yang berlangsung lama
selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan
kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu
empedu telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal.
Waktu nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi
proses litogenesis empedu.
4. Hipersekresi mukus di kantung empedu
Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor
yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu hewan.
Mukus yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol makroskopik
karena mukus dalam kuantitas melampau ini berperan dalam memerangkap kristal
kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu dari kantung empedu.
Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor utama yang
bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam
patofisiologi batu empedu. Saat ini, stimulus yang menyebabkan hipersekresi
mukus belum dapat dipastikan namun prostaglandin diduga mempunyai peran
penting dalam hal ini. Sebagian besar pasien batu kolesterol mensekresi empedu
hati litogenik. Kelompok tertentu mempunyai kumpulan garam empedu total yang
berkontraksi (1,5 sampai 2g) yang merupakan separuh ukuran orang normal. Bisa
timbul akibat hubungan umpan balik garam empedu abnormal dengan penurunan
19
sintesis hati bagi garam empedu atau hilangnya garam empedu secara berlebihan
melalui feses akibat malabsorpsi ileum primer atau setelah reseksi atau pintas
ileum. Kelompok lain, terutama orang yang gemuk, mensekresi kolesterol dalam
jumlah yang berlebihan. Beberapa bukti menggambarkan bahwa masukan diet
kolesterol dan atau kandungan kalori diet bisa mempengaruhi sekresi kolesterol
juga. Mekanisme lain yang diusulkan bagi pembentukan batu, melibatkan
disfungsi vesika biliaris. Stasis akibat obstruksi mekanik atau fungsional, bisa
menyebabkan stagnasi empedu di dalam vesika biliaris dengan resorpsi air
berlebihan dan merubah kelarutan unsur empedu Penelitian percobaan
menggambarkan bahwa peradangan dinding kandung empedu bisa menyebabkan
resorpsi garam empedu berlebihan, perubahan dalam rasio lesitin/garam empedu
serta sekresi garam kalsium, mukoprotein dan debris organik sel; perubahan ini
bisa merubah empedu hati normal menjadi empdu litogenik di dalam vesika
biliaris. Peranan infeksi dalam patogenesis pembentukan batu kolesterol bersifat
kontroversial. Walaupun organisme usus tertentu bisa dibiak dari inti batu
kolesterol atau dari dinding vesika biiaris, namun sebagian besar batu kolesterol
terbntuk tanpa adanya infeksi.
H. Diagnosis
1. Gambaran Klinis
Pasien dengan batu empedu, dapat dibagi menjadi 3 kelompok : pasien dengan
batu asimptomatik, pasien dengan batu dengan batu empedu simptomatik, dan
pasien dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis dan
pankreatitis). Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik
20
waktu dengan diagnosis maupun selama pemantauan. Hampir selama 20 tahun
perjalanan penyakit, sebanyak 50% pasien tetap asimptomatik, 30% mengalami
kolik bilier dan 20% mendapat komplikasi. Pada penderita batu kandung empedu
yang asimtomatik keluhan yang mungkin bisa timbul berupa dispepsia yang
kadang disertai intoleransi pada makanan-makanan yang berlemak. Gejala batu
empedu yang khas adalah kolik bilier, keluhan ini didefinisikan sebagai nyeri di
perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam, biasanya lokasi
nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi bisa juga di kiri dan prekordial.
Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul
tiba tiba.
Gejala kolik ini terjadi jika terdapat batu yang menyumbat duktus sistikus
atau duktus biliaris komunis untuk sementara waktu, tekanan di duktus biliaris
akan meningkat dan peningkatan kontraksi peristaltik di tempat penyumbatan
mengakibatkan nyeri viscera di daerah epigastrium, mungkin dengan penjalara ke
punggung yang disertai muntah.
Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula, atau ke
puncak bahu, disertai mual dan muntah. Jika terjadi kolesistitis, keluhan nyeri
menetap dan bertambah pada waktu menarik napas dalam dan sewaktu kandung
empedu tersentuh ujung jari tangan sehingga pasien berhenti menarik napas, yang
merupakan tanda rangsangan peritoneum setempat.(2,)
2. Pemeriksaan fisik
Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung empedu,
21
empiema kandung empedu, atau pankreatitis.2 Pada pemeriksaan ditemukan nyeri
tekan dengan punktum maksimum di daerah letak anatomi kandung empedu.
Tanda Murphy postitif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik
napas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik napas.(2)
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium Biasanya, jika sudah terjadi infeksi, maka akan ditemukan
leukositosis (12.000-15.000/mm3). Jika terjadi obstruksi pada duktus komunikus
maka serum bilurubin total akan meningkat 1-4 mg/dL. Serum aminotransferase
dan alkali fosfatase juga meningkat (>300 U/mL). Alkali fosfatase merupakan
enzim yang disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Pada obstruksi saluran
empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis
enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, menggambarkan obstruksi saluran empedu.
USG Merupakan teknik yang cepat, tidak invasive, dan tanpa pemaparan
radiologi. Ultrasonografi mempunyai derajat spesifitas dan sensitivitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan ultrasonografi juga dapat dilihat
dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem karena
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang udara di dalam usus. ERCP (Endoscopic
Retrograde Cholangiopancreatography) Tes invasive ini melibatkan langsung
saluran empedu dengan kanulasi endoskopi Ampulla Vateri dan disuntikan
retrogad zat kontras. Selain pada kelainan pancreas, ERCP digunakan dalam
22
pasien ikterus ringan atau bila lesi tidak menyumbat seperti batu duktus
koledokus. Keuntungan ERCP yaitu kadang-kadang terapi sfingterotomi
endoskopi dapat dilakukan serentak untuk memungkinkan lewatnya batu duktus
koledokus secara spontan atau untuk memungkinkan pembuangan batu dengan
instrumentasi retrograde duktus biliaris. PTC (Percutaneous Transhepatik
Cholangiography) Merupakan tindakan invasive yang melibatkan pungsi
transhepatik perkutis pada susunan duktus biliaris intrahepatik yang menggunakan
jarum Chiba dan suntikan prograd zat kontras. Teknik ini memungkinkan
dekompresi saluran empedu non bedah pada pasien kolangitis akut toksik,
sehingga mencegah pembedahan gawat darurat. Drainage empedu per kutis dapat
digunakan untuk menyiapkan pasien ikterus obstruktif untuk pembedahan dengan
menghilangkan ikterusnya dan memperbaiki fungsi hati. Foto polos perut
biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15%
batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat pada foto polos.
Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops,
kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan
atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.(5)
I. Tatalaksana
1. Penatalaksanaan kandung empedu
Penanganan profilaktik untuk batu empedu asimptomatik tidak dianjurkan.
Sebagian besar pasien dengan batu asimptomatik adalah tidak akan mengalami
keluhan dan jumlah, besar dan komposisi batu tidak berhubungan dengan
23
timbulnya keluhan selama pemantauan. Untuk batu empedu simptomatik, dapat
digunakan teknik kolesistektomi laparoskopik, yaitu suatu teknik pembedahan
invasive minimal di dalam rongga abdomen dengan menggunakan
pneumoperitoneum, sistem endokamera dan instrument khusus melalui layar
monitor tanpa menyentuh dan melihat langsung kandung empedu. Kolesistektomi
laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk pengangkatan kandung empedu
simptomatik. Keuntungan kolesistektomi laparoskopik ini yaitu dengan teknik ini
hanya meliputi operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal
2. Penatalaksanaan batu saluran empedu
ERCP theurapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopi untuk
mengeluarkan batu empedu. Saat ini teknik ini telah berkembang pesat menjadi
standard baku terapi non operatif untuk batu saluran empedu. Selanjutnya batu di
dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon ekstraksi
melalui muara yang sudah besar menuju lumen duodenum sehingga batu dapat
keluar bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama skopnya. Pada
kebanyakan kasus, ekstraksi batu dapat mencapai 80-90% dengan komplikasi dini
7-10%. Komplikasi penting dari sfingterotomi dan ekstraksi batu meliputi
pankreatitis akut, perdarahan dan perforasi.(5,6)
Penatalaksanaan non bedah
Pada orang dewasa alternatif terapi non bedah meliputi penghancuran
batu dengan obat-obatan seperti chenode-oxycholic atau ursodeoxycholic acid,
extracorporeal shock-wave lithotripsy dengan pemberian kontinyu obat-obatan,
penanaman obat secara langsung di kandung empedu. Oral Dissolution Therapy
24
adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-obatan oral.
Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripada chenodeoxy-
cholic karena efek samping yang lebih banyak pada penggunaan
chenodeoxycholic seperti terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan
hiperkolesterolemia sedang. Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu
pada 60% pasien dengan kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka
kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi.
Ursodeoxycholic acid adalah asam empedu tersier yang memiliki potensi untuk
mengurangi tingkat kejenuhan asam empedu, sehingga akan menekan
pembentukan batu kolesterol dan memperbaiki gangguan pada aliran asam
empedu. Ursodeoxycholic acid menekan sintesis dan sekresi kolesterol dari hati
dan juga menghambat penyerapan kolesterol pada usus. Ursodeoxycholic
acid juga memiliki aktivitas penghambatan kecil pada sintesis dan sekresi asam
empedu endogen, tanpa mempengaruhi sekresi fosfolipid ke dalam empedu.
Indikasinya untuk pasien dengan batu empedu radiolusen tanpa kalsifikasi
(diameter < 20 mm) sebelum dilakukannya tindakan cholecystectomy elektif,
kecuali pada pasien dengan penyakit sistemik, pasien lanjut usia, reaksi
idiosinkrasi terhadap anestesi umum, atau pasien yang menolak tindakan
pembedahan.
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu
kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu
melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter
nasobilier. Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini
25
dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya
mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam. Kelemahan teknik
ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang kolesterol yang
radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi
ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL) menggunakan gelombang suara
dengan amplitudo tinggi untuk menghancurkan batu pada kandung empedu.
Pasien dengan batu yang soliter merupakan indikasi terbaik untuk dilaskukan
metode ini. Namun pada anak-anak penggunaan metode ini tidak
direkomendasikan, mungkin karena angka kekambuhan yang tinggi.
L. Prognosis
Semakn cepat ditangani maka akan semakin baik prognoasisnya dan
tergantung penyebab yang mendasarinya,pada dasarnya progonosisnya akan baik
apabila belum terjadi komplikasi yang berat dan sampai merusak kantong epedu.
26
BAB 3
PENUTUP
Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan kristal di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu atau pada kedua-duanya. Batu
kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur dari cairan empedu yang
mengendap dan membentuk suatu material mirip batu di dalam kandung empedu
atau saluran empedu. Komponen utama dari cairan empedu adalah bilirubin,
garam empedu, fosfolipid dan kolestrol. Batu yang ditemukan di dalam kandung
empedu bisa berupa batu kolestrol, batu pigmen yaitu pigmen coklat atau pigmen
hitam, atau batu campuran.
Cholelithiasis merupakan penyakit yang memiliki prognosis yang baik
apabila penanganan yang cepat berdasarkan penyebab terjadinya.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
2. Sabiston David C. Jr.. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:EGC.2010.115-128
3. Shaffer EA. Epidemiology and risk factors for gallstone disease: Has the
paradigm changed in the 21st century. Curr Gastroenterol Rep.
2005;7(2):132-40.
4. Marschall H-U, Einarsson C . Gallstone disease. J Intern Med 2007; 261:
529–542.
5. Tjandra J. J. A.J. Gordon. Dkk. Textbook Of Surgery.Third Edition.New
Delhi:Blackwell Publishing.2006.
6. Bansal Arpit, Akhtar Murtaza, Bansal Ashwani Kumar. A clinical study:
prevalence and management of cholelithiasis. Int Surg J. 2014; 1(3): 134-
139.
28
Recommended