View
964
Download
103
Category
Preview:
DESCRIPTION
h
Citation preview
TUBERKULOSIS ANAK
Pembimbing : dr. Nataliandra, Sp.Rad
Di susun oleh : Awalia Astarina (110 2007 055)
Riris Sifa Fauziah (110 2007 237)
KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI
RSPAD GATOT SOEBROTO
JAKARTA
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul
“TB ANAK”.
Terima kasih kepada dokter-dokter spesialis radiologi beserta dokter resident atas
kesediaan, waktu dan kesempatan yang diberikan sebagai pembelajaran dalam pembuatan
referat ini, kepada teman sesama kepanitraan radiologi dan perawat yang selalu mendukung,
memberi saran, motivasi, bimbingan dan kerjasama yang baik sehingga dapat
terselesaikannya referat ini.
Tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan di
Departemen Radiologi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto serta untuk
menambah wawasan kami sebagai coass di bagian Radiologi dan sebagai calon dokter umum
mengenai “TB ANAK”.
Dalam penyusunan referat ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saran dan kritik
yang membangun sangat penulis harapkan, agar dapat memberikan karya yang lebih baik lagi
di masa yang akan datang.
Harapan penulis semoga referat berjudul “TB ANAK” ini dapat bermanfaat bagi
penyusun dan setiap pembacanya.
Jakarta, 17 Juli 2011
Penyusun
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut
dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam
tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Tuberkulosis anak mempunyai
permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan
yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan, pencegahan serta TB dengan
keadaan khusus.
Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa
sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan
angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru,
merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara
maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan
kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Menurut perkiraan WHO
pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan
menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun.
Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen
diagnostik yang dapat dipercaya. Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering
terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga
underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB
umumnya adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan asam positif sehingga
penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan pengobatan TB dewasa. Akibatnya
penanganan TB anak kurang diperhatikan.
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai TB pada anak.
3
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penyusunan referat ini adalah sebagai kajian keilmuan dalam hal
tuberkulosis pada anak. Untuk mengetahui definisi, etiologi, klasifikasi, pathogenesis,
gambaran klinis, diagnosis, terapi, dan prognosis dari tb anak. Sehingga pada akhirnya
dapat dihasilkan pemahaman materi secara lebih mendalam dalam rangka menunjang
kegiatan praktek di lapangan dengan pasien.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk
dari berbagai literatur.
4
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
1. DEFINISI
1.1. PENYAKIT TBC
1.2. PENYEBAB PENYAKIT TBC
1.2.1 KUMAN TBC
1.2.2 TERJADINYA TBC
1.3. CARA PENULARAN TBC
2. GEJALA TBC
2.1. GEJALA SISTEMIK/UTAMA
2.2. GEJALA KHUSUS
2.3. TANDA DAN GEJALA
3. DIAGNOSIS TBC
3.1. DIAGNOSIS PADA DEWASA
3.2. DIAGNOSIS MELALUI TEST KULIT
4. TBC PADA ANAK
5. RIWAYAT TBC
6. PENCEGAHAN TBC
6.1. TUJUAN PENCEGAHAN
6.2. PENCEGAHAN TBC
7. PEMBERANTASAN
7.1. TUJUAN PEMBERANTASAN
7.2. PEMBERANTASAN PENYAKIT TBC
8. PENGOBATAN
8.1. JENIS OBAT
8.2. PRINSIP OBAT
8.3. EFEK SAMPING OBAT
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Paru
Paru-paru manusia merupakan dua buah organ yang lunak dan berongga. Di dalam
mediastinum, paru dipisahkan oleh jantung, pembuluh darah, dan struktur lain mediastinum.
Masing-masing paru berbentuk konus, memiliki apeks yang tumpul dan menjorok keatas
serta dilapisi oleh pleura yang terikat dengan paru pada bagian hilusnya. Pada hilus
pulmonalis yang terletak di bagian medialnya terdapat suatu lekukan tempat masuknya
bronkus, pembuluh darah dan saraf ke paru-paru untuk membentuk radiks pulmonalis (Snell,
2007).
(Gambar 1: Lung anatomy, Sumber: http://www.newsperuvian.com/anatomy/lung-anatomy-2/ )
Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru kiri dan dibagi oleh fisura oblikua
dan fisura horisontalis menjadi 3 lobus, yaitu lobus superior, medius dan inferior. Sedangkan
6
paru-paru kiri dibagi oleh fisura oblikua menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan inferior
(Snell, 2007).
Bronkus merupakan bagian dari traktus respiratorius yang memasuki hilus paru.
Setiap bronkus lobaris akan bercabang menjadi beberapa bronkus segmentalis. Bronkus
segmentalis yang masuk ke lobus paru-paru secara struktural dan fungsional adalah
independen, dan dinamakan segmen bronkopulmonalis. Segmen ini berbentuk piramid,
mempunyai apeks yang mengarah ke radiks pulmonalis dan basisnya mengarah ke
permukaan paru-paru. Tiap segmen dikelilingi oleh jaringan ikat, dan selain bronkus juga
diisi oleh arteri, vena, pembuluh limfe dan saraf otonom (Snell, 2007).
Traktus respiratorius berakhir pada alveolus. Alveolus adalah kantong udara terminal
yang berhubungan erat dengan jejaring kaya pembuluh darah. Sirkulasi pulmonal memiliki
aliran udara tinggi dengan tekanan yang rendah, kurang lebih 50 mmHg. Paru-paru dapat
menampung sampai 20% volume darah total, dan hanya 10% dari volume tersebut yang
tertampung dalam kapiler (Snell, 2007). Yang terpenting dari sistem ventilasi paru-paru
adalah upaya terus menerus untuk memperbarui udara dalam area pertukaran gas paru-paru.
Pertukaran gas secara difusi terjadi antara alveoli dan pembuluh kapiler paru-paru. Difusi
terjadi berdasarkan prinsip perbedaan tekanan parsial gas yang bersangkutan (Guyton dan
Hall, 1996).
2.2 Gambaran Radiologi Paru Normal
Untuk menilai keadaan paru-paru manusia diperlukan pemeriksaan thorax. Dalam
pemeriksaan thorax, terdapat pemeriksaan dalam dan luar. Memeriksa thorax luar dengan
inspeksi. Untuk mengetahui bagian dalam dilakukan pemeriksaan menggunakan
foto/pencitraan. Pencitraan tersebut menggunakan sinar x yang ditemukan oleh Wilhelm
Conrad Rontgen.
- Sesuatu yang menghalang sinar x maka akan memberikan gambaran putih (opaq).
- Sesuatu yang ditembus sinar x akan memberikan gambaran hitam (lucent)
7
(Gambar 2. Normal heart and lungs of a child, X-ray,Sumber: http://www.sciencephoto.com/media/311490/enlarge )
Pada gambar di atas pulmo nampak lucent karena mengandung banyak udara pada
alveolinya. Namun dibandingkan dengan udara di luar tubuh, udara dalam paru memiliki
warna lucent yang lebih rendah. Jika warna lucent paru-paru sama dengan udara luar tubuh
maka ada kemungkinan pnemothorax (thorax memiliki udara) misal saat luka tusuk yg
mengakibatkan paru-paru mengempis, maka di luar paru-paru terdapat udara.
Dalam melihat hasil foto Rontgen harus diperhatikan adanya kelainan-kelainan seperti
garis-garis putih, kabut atau gambaran bulat seperti koin (coin lesion) pada paru-paru. Di
Indonesia penyakit paru seperti TB (Tuberculosis) masih banyak. Cirinya : di paru-paru
nampak gambaran seperti awan, khususnya di bagian apex. Terjadi banyak dibagian apex,
karena vaskularisasi pada bagian apex relative sedikit, sehingga jika terdapat infeksi mudah
berkembang. Tetapi kalau gambaran seperti awan ada di bawah, bukan merupakan TB.
Kecuali pada orang yang lanjut usia, biasanya TB menyerang paru bagian bawah.
2.3 Tuberkulosis anak
1. Definisi
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang
sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih
8
sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia.
Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di seluruh
dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan masalah
kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit
(morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta
orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China dalam hal jumlah
penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di dunia.
Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992, menunjukkan bahwa
Tuberkulosis / TBC merupakan penyakit kedua penyebab kematian, sedangkan
pada tahun 1986 merupakan penyebab kematian keempat.
Kenyataan mengenai penyakit TBC di Indonesia begitu mengkhawatirkan, sehingga
kita harus waspada sejak dini & mendapatkan informasi lengkap tentang penyakit
TBC .
1.1. Epidemiologi Penyakit TBC
Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa
sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M.
tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin.
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya
di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap
merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik
di negara berkembang maupun di negara maju.
Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (1983-1993)
didapatkan 171 kasus TB anak usia <15 tahun. Diperkirakan jumlah kasus TB
anak per tahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Di Negara berkembang, TB
pada anak berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di
negara maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7%.
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di
Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar
9
140.000 orang per tahun. Jumlah seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit
Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086
penyandang TB. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%),
sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.
Terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya infeksi TB
maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi
menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi
penyakit. Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis,
kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat dan tempat penampungan umum
(panti asuhan, penjara atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien
TB dewasa aktif.
Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Berikut ini
adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB
menjadi sakit TB. Faktor risikonya adalah usia, infeksi baru yang ditandai
dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1
tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais, diabetes mellitus, gagal
ginjal kronik.
1.2. Penyebab penyakit TBC
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri
ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882,
sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch.
Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch
Pulmonum (KP).
10
Gambar 3. Bakteri Mikobakterium tuberkulosa
1.2.1 Kuman TBC
Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) disebabkan oleh kuman
TBC (Mycobacterium tuberculosis) yang sebagian kuman TBC
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain. Kuman
ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap
asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil
Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang
gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant,
tertidur lama selama beberapa tahun.
1.2.2 Terjadinya TBC
Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali
dengan kuman TBC. Percikan dahak yang terhirup sangat kecil
ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier
bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap
disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak
dengan cara membelah diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di
11
dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar
limfe disekitar hilus paru dan ini disebut sebagai kompleks primer.
Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks
primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan
dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi
positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas
seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat
menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun demikian ada
beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant
(tidur). Kadang-kadang daya tubuh tidak mampu menghentikan
perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita TBC.
Tuberkulosis Pasca Primer
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa
bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan
tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi buruk. Ciri khas
dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura.
1.3. Cara Penularan TBC
12
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan
bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC
batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita
TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru
akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya
tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau
kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi
hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran
pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian
organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru.
Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka
dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat).
Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan
berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh
sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di
sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant
13
(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai
tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
1.4. Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terkena TBC
Daya Tahan Tubuh yang kurang
Kemampuan untuk melawan infeksi adalah kemampuan pertahanan tubuh
untuk mengatasi organisme yang menyerang. Kemampuan tersebut tergantung
pada usia yang terinfeksi. Namun kekebalan tubuh tidak mampu bekerja baik
pada setiap usia. Sistem kekebalan tubuh lemah pada saat kelahiran dan
perlahan-lahan menjadi semakin baik menjelang usia 10 tahun. Hingga usia
pubertas seorang anak kurang mampu mencegah penyebaran melalui darah,
sekalipun lambat laun kemampuan tersebut akan meningkat sejalan dengan
usia.
Tinggal berdekatan dengan orang yang terinfeksi aktif
Pekerjaan kesehatan yang merawat Pasien TB
Pasien-pasien dengan dahak yang positif pada hapusan langsung (TB tampak
di bawah mikroskop) jauh lebih menular, karena mereka memproduksi lebih
banyak TB dibandingkan dengan mereka yang hanya positif positif pada
pembiakan. Makin dekat seseorang berada dengan pasien, makin banyak dosis
TB yang mungkin akan dihirupnya.
Gizi Buruk
Terdapat bukti sangat jelas bahwa kelaparan atau gizi buruk mengurangi daya
tahan terhadap penyakit ini. Faktor ini sangat penting pada masyarakat miskin,
baik pada orang dewasa maupun pada anak. Kompleks kemiskinan seluruhnya
ini lebih memudahkan TB berkembang menjadi penyakit. Namun anak dengan
status gizi yang baik tampaknya mampu mencegah penyebaran penyakit
tersebut di dalam paru itu sendiri.
Pengidap Infeksi HIV/AIDS
Pengaruh infeksi HIV/AIDS mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan
tubuh, sehingga jika terjadi infeksi seperti tuberculosis maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.
Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TBC
14
akan meningkat, dengan demikian penularan TBC di masyarakat akan
meningkat pula.
2. Patogenesis TBC
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuklei yang terhirup
dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi pada sebagian
kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang
sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat
tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB
berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu. Pada saat
terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat
diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun seluler
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil kuman TB
akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman
TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan oleh imunitas seluler
spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).
15
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus
akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil. Obstruksi
total dapat menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamsi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gangguan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang,
ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi
tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut
16
Gambar 4. Patogenesis tuberkulosis
dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi
TB apeks paru saat dewasa.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun pertama)
biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru
kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat reaktivasi
kuman di dalam fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang
terjadi pada anak tetapi sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi TB
pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis sistem
skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun,
tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi
5-25 tahun setelah infeksi primer.
3.
17
Perjalanan alamiah
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan,
sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya
TB di berbagai organ.
Gambar 5. Kalender perjalanan penyakit TB primer
Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya
positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal
terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum,
tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB
primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung
dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis
sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua
dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah
infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun
pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada
tahun pertama setelah diagnosis TB.
18
3. Gejala TBC
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik.
a. Gejala sistemik/utama
1. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
2. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
3. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
4. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
b. Gejala khusus
1. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar,
akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai
sesak.
2. Kalau ada cairan dirongga pleura, dapat disertai dengan keluhan sakit
dada.
3. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
4. Pada anak-anak dapat mengenai otak dan disebut sebagai meningitis,
gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-
kejang.
19
4. Gambaran klinis TBC
a. Tuberkulosis primer
Gambaran klinis dari tuberkulosis primer mayoritas pada anak yang terinfeksi
relatif tidak bergejala. Dan bila terdapat gejala, biasanya akan mulai nampak
1-6 bulan sesudah terinfeksi. Kompleks primer (fokus Ghon) mungkin tidak
tampak di X- foto thorax. Tuberkulosis primer terbagi atas: TBC paru-paru,
TBC extra-thorax, TBC neonatus.
Gejala klinis tuberkulosis primer pada anak:
1. Umum: Febris <39°C ~1-2 minggu, menggigil (chills), batuk lebih dari 2 minggu, anorexi, lesu, flu, tidak mau main seperti biasa.
2. Batuk produktif (beriak) & hemoptysis amat jarang3. Pada X-foto Thorax (Pesan lateral, bila AP “normal”)
a. Limfadenopati pada hilum, mediastinum, leherb. Infiltrat di segmen atau lobus, jarang konsolidasic. Atelektasisd. Efusi plura: lebih sering pada remaja, nyeri dadae. Motif milier: seperti “badai salju”
Gambar 6. Tuberkulosis primer dengan limfadenopati para-tracheal.
20
Gambar 7. Tuberkulosis primer infiltrat di paru-paru kanan lobus atas, serta atelektasis.
Gambar 8. Tuberkulosis primer serta efusi pleura kanan
Gejala klinis TBC extra-thorax pada anak:
1. Kelenjar superfisial: “cold abcess”
2. Skrofula: kelenjar-kelenjar leher yang bergabung, bernanah.
3. Tulang dan sendi:
- Spondilytis (40%): kyphosis, skoliosis
- Pelvis-femur: pincang, nyeri, kaki pendek
- Tulang mastoid: mirip dengan otitis media kronis
21
4. Mata: konjungtivitis berat
5. Abdomen: nyeri perut, diare, asites, atau obstruksi usus
6. Perikarditis: lemah, denyut jantung terdengar jauh.
7. X-foto: jantung besar seperti “kresek penuh air”
Gambar 9. TBC extra-thorax. Skofula: tuberkulosis limfadenitis serta
ulserasi.
Gambar 10. TBC extra-thorax. Tuberkulosis tulang spinus serta abses
paravertebral.
22
Gambar 11. TBC extra-thorax. Tuberkulosis primer dengan perikarditis
konstriktif. Denyut jantung terdengar jauh.
Gejala klinis TBC milier pada anak:
- Biasanya terjadi 1-3 bulan sesudah infeksi- Gejala awal: lemah, lesu, nyeri, kepala pusing, takikardia- X-foto: banyak flek kecil di semua lobus, bagaikan “badai salju”
Gambar 12. Tuberkulosis milier dengan kavitas di paru kanan lobus bawah.
23
Gambar 13. Tuberkulosis milier pada bayi yang berumur 10 bulan.
Gambar 14. Tuberkulosis milier pada remaja.
b. TBC paru-paru sekunder/reaktivasi
TBC paru-paru sekunder umumnya terjadi pada remaja atau pemuda. Gejala
awalnya didahului dengan batuk kering yang kemudian diikuti dengan
keluarnya sputum mukus, lalu mukopurulen, lalu bercampur darah. Gejala
ringan lainnya yang mungkin ada antara lain adalah malaise, anoreksia, berat
badan menurun, serta keringat malam. Pada gambaran X-foto thorax dapat
telihat adanya bayangan pada apex, lalu akan meluas sampai konsolidasi
lobus-lobus, hingga dapat terjadi pneumothorax, efusi pleura, dan empyema.
24
Gambar 15. Tuberkulosis sekunder dengan infiltrat dan kavitas di lobus
atas pada paru-paru kanan.
5. Diagnosis TBC
Diagnosis TB pada anak ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala
klinis, uji tuberkulin serta pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan radiologi.
Uji tuberkulin (tes Mantoux) menjadi alat diagnostik utama pada kasus TB anak.
Sebanyak 0,1 ml tuberkulin jenis PPD-RT 23 2 TU atau PPD-S 5 TU disuntikan
intrakutan di bagian volar lengan bawah. Setelah 48-72 jam, daerah suntikan dibaca
dan dilaporkan diameter indurasi yang terjadi dalam satuan milimeter. Perlu
diperhatikan bahwa diameter yang diukur adalah diameter indurasi bukan diameter
eritema. Untuk meminimalkan kesalahan pengukuran, lakukan palpasi secara halus
pada daerah indurasi, lalu tentukan tepinya.
Hasil uji tuberkulin dapat dipengaruhi oleh status BCG anak. Pengaruh BCG
terhadap reaksi positif tuberkulin paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah
penyuntikan. Jadi, ketika membaca uji tuberkulin pada anak di atas 5 tahun, status
BCG dapat dihiraukan.
Uji tuberkulin dinyatakan positif apabila diameter indurasi ≥5 mm pada anak
dengan faktor risiko seperti menderita HIV dan malnutrisi berat; dan ≥10 mm pada
anak lain tanpa memandang status BCG. Pada anak balita yang telah mendapat BCG,
25
diameter indurasi 10-15 mm masih mungkin disebabkan oleh BCG selain oleh infeksi
TB. Bila indurasi ≥15 mm lebih mungkin karena infeksi TB daripada BCG.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah hitung sel darah, laju
endap darah, urinalisis, enzim hati dalam serum (SGOT/SGPT). Asam urat sebaiknya
diperiksa apabila akan diberikan pirazinamid dan penglihatan harus diperiksa bila
diberikan ethambutol. Pungsi lumbal sebaiknya dilakukan pada TB milier atau bila
ada tanda-tanda kecurigaan TB milier atau meningitis TB.
Foto rontgen harus diambil dari 2 sisi yaitu postero-anterior dan lateral.
Gambaran yang umum terlihat adalah pembesaran kelenjar hilus atau paratrakea.
Dapat juga ditemukan kolaps atau konsolidasi dengan hiperinflasi lokal yang terjadi
akibat obstruksi bronkus parsial. Diagnosis banding pembesaran kelenjar
hilus/paratrakea pada anak adalah infeksi Mycoplasma, atau keganasan (limfoma sel
T dan neuroblastoma). Pada beberapa kasus, interpretasi foto rontgen sulit dilakukan
sehingga CT-Scan mungkin diperlukan.
UKK Respirologi IDAI 2007 menyusun sistim skoring yang dapat digunakan
sebagai uji tapis bila sarana memadai. Bila skor ≥6, beri OAT selama 2 bulan, lalu
evaluasi. Bila respon positif maka terapi diteruskan, tetapi bila tidak ada respon, rujuk
ke rumah sakit untuk ditinjau lebih lanjut. Rujukan ke rumah sakit dilakukan sesegera
mungkin bila ditemukan tanda-tanda bahaya seperti gambaran milier pada foto
rontgen, gibbus, skrofuloderma, dan terdapat tanda infeksi sistim saraf pusat (kejang,
kaku kuduk, kesadaran menurun), serta kegawatan lain. [Tabel 1]
26
Seorang anak akan dinyatakan menderita TB anak jika skor nya lebih dari atau
sama dengan 5. Untuk anak yang keadaan klinisnya menunjukkan TB namun skornya
kurang dari 5, maka akan dilakukan observasi terlebih dahulu, dan setelah 2 minggu
akan dilakukan pemeriksaan ulang untuk mengetahui progresivisitas penyakit.
WHO membuat kriteria anak yang diduga menderita TB, bila:
1. Sakit, dengan riwayat kontak dengan seseorang yang diduga atau dikonfirmasi
menderita TB paru;
2. Tidak kembali sehat setelah sakit campak atau batuk rejan (whooping cough);
27
3. Mengalami penurunan berat badan, batuk, dan demam yang tidak berespon
dengan antibiotik saluran nafas;
4. Terdapat pembesaran abdomen, teraba massa keras tak terasa sakit, dan
ascites;
5. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening superfisial, tidak terasa sakit, dan
berbatas tegas;
6. Mengalami gejala-gejala yang mengarah ke meningitis atau penyakit sistim
saraf pusat.
5. 1. Manifestasi klinis
Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat
bervariasi dan bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi diantara
keduanya.Faktor kuman bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan
faktor penjamu bergantung pada usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu
pada awal terjadinya infeksi.
Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda
dan gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan sedangkan pada
kelompok dengan rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent dissease.
5.1.1. Manifestasi sistemik
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi
sistemik yang dapat dialami anak yaitu:
1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang
dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan
demam pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus.
2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan
dengan penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik
pertumbuhan.
3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan
tidak naik dengan adekuat (failure to thrive).
28
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya
multipel.
5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi
pada anak bukan merupakan gejala utama.
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
1.2. Manifestasi Spesifik Paru
TB Asimptomatis
Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang
diasosiasikan dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes tuberkulin positif tanpa
gejala klinis dan manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran nodus
limfe di rongga dada, walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadang-kadang,
demam subfebris ditemukan pada onset penyakit. Sekiranya anak berkontak dengan
individu dengan TB menular yg tes tuberkulin positif, diagnosis TB asimptomatis
harus segera disingkirkan setelah rontgen foto thorak dan pemeriksaan fisik yang
teliti.
TB Paru Primer
Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis dan
limfadenitis regional. Tanda yang khas pada penyakit ini adalah daerah adenitis yang
relatif besar berbanding lokus pada paru. Karena aliran limfatik thorak berlangsung
secara predominan dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas paratrakeal sering
dinilai paling terafeksi.
Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan terlihat jelas
apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila nodus limfe
membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi dan
berlanjut kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit ini mirip penyakit
yang disebabkan oleh aspirasi benda asing. Atelektasis segmental dan lesi hiperinflasi
dapat terjadi bersamaan.
29
Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perbahan diameter saluran
nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom yang paling sering adalah batuk
non produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya obstruksi bronkus
dengan tanda adanya air trapping dan gejala wheezing jarang dikeluhkan.
TB Paru Progresif
TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru primer.
Kompleks primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak mengalami kalsifikasi
membesar dengan stabil membentuk caseous centre yang kemudiannya meleleh ke
dalam broncus adjacent membentuk kavitas primer. Likuifikasi ini berhubungan
dengan besarnya jumlah basil TB, merupakan faktor yang menyebabkan seorang anak
dapat mentransmisikan M. tuberkulosis kepada individu lainnya. Dapat terjadi
diseminasi lanjut basil tuberkel ke lobus lain dan ke seluruh paru. Gambaran klinis
pada penyakit ini adalah bronkopneumonia dengan demam tinggi, batuk sedang
sampai berat, keringat malam, dullness pada perkusi, rales, dan penurunan bunyi
nafas.
TB Paru Kronis/Reaktivasi
Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat
jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak
yang mempunyai strata sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada anak
dengan diagnosis TB yang lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan pada
remaja berbanding anak dengan gambaran radiologis mirip pada orang dewasa,
dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan kavitas. Anak dengan penyakit ini
cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise, penurunan berat badan, keringat
malam, batuk produktif, nyeri dada dan hemoptisis.
Efusi pleura
Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau
digeneralisir, unilateral atau bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak
kurang dari 2 tahun dan hampir tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun.
Onset dari pleurisy berlangsung cepat mirip pneumonia bakteri, dengan gambaran
30
klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi dullness dan penurunan bunyi nafas. Demam
tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung beberapa minggu.
6. Pemeriksaan penunjang
1. Uji tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat
antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah
terinfeksi TB, maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji
tuberkulin cara mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU
secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam
setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak
timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai negatif.
Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm
dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar
disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi
BCG atau infeksi M. atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter
indurasi 10-14 cm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi
TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran
indurasinya 15 mm sangat mungkin karena infeksi alamiah. Apabila diameter
indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 cm dinyatakan
positif meragukan. Pada keadaan imunokompromais atau pada pemeriksaan foto
thorak terdapat kelainan radiologis hasil positif yang digunakan 5mm.
2. Uji interferon
Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen tertentu,
diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut telah
tersensitisasi dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan interferon
gamma yang kemudian di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini
belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.
3. Radiologi
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.
31
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:
Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
Konsolidasi segmental/lobar
Milier
Kalsifikasi dengan infiltrat
Atelektasis
Kavitas
Efusi pleura
Tuberkuloma
4. Serologi
Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB,
mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga
saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara
infeksi TB dan sakit TB.
5. Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan
mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman
M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR.
Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit
mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas
lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur
hasil dinyatakan positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini
PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk
pemeriksaan klinis rutin.
6. Patologi Anatomik
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya
kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma
tresebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah
granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans.
Untuk memudahkan diagnosis TB paru pada anak, IDAI merekomendasiskan
diagnosis TB anak dengan sistem skoring, yaitu pembobotan terhadap gejala atau
tanda klinis yang dijumpai.
32
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas -
Laporan
keluarga (BTA
negatif atau
tidak jelas)
BTA(+)
Uji Tuberkulin
Negatif - - Positif (≥ 10 mm
atau ≥ 5 mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan / Status
Gizi
- BB/TB < 90% atau
BB/U < 80%
klinis gizi
buruk atau
BB/TB < 70%
atau BB/U <
60%
-
Demam tanpa sebab
yang jelas
- ≥ 2 minggu - -
Batuk - ≥ 3 minggu - -
Pembesaran kelenjar
koli, aksila, inguinal
- ≥ 1 cm,
jumlah> 1,
tidak nyeri
- -
Pembengkakan
tulang / sendi
panggul, lutut,
falang
- Ada pembengkakan - -
Foto Thorak Normal/kelainan tidak
jelas
Gambaran sugestif
TB
- -
Catatan:
Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter.
Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.
Berat badan dinilai saat datang.
Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.
Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan
33
infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam
skor karena diperlakukan secara khusus.
Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak,
maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.
Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤ 7
hari) harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan
merupakan alat diagnostik.
Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6, (skor maksimal 13).
Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks,
dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan
penurunan kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien
harus di rawat inap di RS.
Gambar 16. Bagan skrining tuberkulosis
34
7. Pencegahan TBC
a. Tujuan pencegahan
1. Menyembuhkan penderita
2. Mencegah kematian
3. Mencegah kekambuhan
4. Menurunkan tingkat penularan
b. Pencegahan TBC
1. Saat batuk seharusnya menutupi mulutnya, dan apabila batuk lebih dari 3
minggu, merasa sakit di dada dan kesukaran bernafas segera dibawa
kepuskesmas atau ke rumah sakit.
2. Saat batuk memalingkan muka agar tidak mengenai orang lain.
3. Membuang ludah di tempat yang tertutup, dan apabila ludahnya bercampur
darah segera dibawa kepuskesmas atau ke rumah sakit.
4. Mencuci peralatan makan dan minum sampai bersih setelah digunakan oleh
penderita.
5. Bayi yang baru lahir dan anak-anak kecil harus diimunisasi dengan vaksin
BCG. Karena vaksin tersebut akan memberikan perlindungan yang amat
bagus.
8. Pemberantasan
7.1 Tujuan pemberantasan
Pemberantasan penyakit TBC didasarkan untuk memutus mata rantai
virulenci penularan penyakit TBC supaya tidak terjadi prevalensi penyakit
TB yang lebih besar.
7.2 Pemberantasan penyakit TBC
1. Pengobatan pada penderita hingga sembuh
2. Perlakuan pada rumah penderita untuk lebih memperhatikan faktor
kesehatan lingkungan dengan menambah ventilator sebagai pengganti
udara, genteng kaca supaya sinar matahari dapat masuk, dan faktor
higiene lingkungan yang lain yang lebih baik.
3. Sterilisasi rumah pasca penderita.
35
9. Kemoprofilaksis
Seorang anak dapat terinfeksi kuman TB tetapi belum tentu bermanifestasi
menjadi sakit TB. Apabila daya tahan tubuh anak menurun atau virulensi kuman
TB yang menginfeksi ganas maka anak yang semula ‘hanya’ terinfeksi menjadi
sakit TB.
Ada 2 macam kemoprofilaksis TB pada anak. [Tabel 2] Kemoprofilaksis
primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi tuberkulosis pada anak,
dengan memberikan isoniazid 5-10 mg/kgBB/hari, dosis tunggal. Kemoprofilaksis
primer dihentikan bila sumber kontak tidak menular lagi dan anak ternyata tetap
tidak infeksi – dibuktikan dengan uji tuberkulin ulang. Kalau ternyata hasil uji
tuberkulin positif maka harus dievaluasi lebih lanjut.
Kemoprofilaksis sekunder bertujuan mencegah aktifnya infeksi sehingga anak
tidak sakit – yang ditandai dengan uji tuberkulin positif tetapi gejala klinis dan
radiologis normal. Yang diberikan adalah isoniazid 10 mg/kgBB/hari selama 6-12
bulan. Kelompok anak terinfeksi TB yang berisiko tinggi menderita TB adalah:
1. usia <5 tahun
2. menderita penyakit infeksi (morbili, varisela)
3. mendapat obat imunosupresif jangka panjang (sitostatik, steroid)
4. usia pubertas
5. infeksi paru TB, konversi uji tuberkulin dalam kurang dari 12 bulan.
Tabel 2. Klasifikasi Kelas TB pada Anak
Kelas Kontak Infeksi Sakit Tatalaksana
0
1
2
3
-
+
+
+
-
-
+
+
-
-
-
+
-
Profilaksis 1
Profilaksis 2
Terapi TB
10. Pengobatan TB
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid
(H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid
merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan
streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid
36
(PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin,
mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin,
yang digunakan jika terjadi MDR.
Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat
efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan
metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman
yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke
dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites,
jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangat
rendah.
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15
mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian.
Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam
bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga
tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan
CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam.
Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid
lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih
tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid
dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai
janin/bayi tidak membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis
perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa
dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien
anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah
yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa
penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan
pertama, tetapi karena jarang menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan
laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala dan tanda klinis.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh
oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada
37
saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2
jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20
mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali pemberian per hari. Jika
diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis rifampisin tidak melebihi 15
mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan
isoniazid.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang
menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air
mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah
gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis)
yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang
asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko
hepatotosisitas, dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid
menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan
trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan
dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin,
teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya
tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai
digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat
dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum
bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.
Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan
diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis
15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45
µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena
pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang timbul akibat jumlah
kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-
kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa
atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis
hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas,
anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak.
38
Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat
digerus dan diberikan bersamaan makanan.
Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata.
Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan
pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis
tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam
bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan
anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi tidak
berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan
etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta
warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang
belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir
mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak
dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB
berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak
dapat digunakan.
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh
kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB
tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB
dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40
mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50 µg/ml dalam waktu 1-2
jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak
dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada
jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya
saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika
anak menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis
VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga
39
berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat
menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita
hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita
tuli berat.
Nama Obat Dosis harian
(mg/kgBB/hari)
Dosis maksimal
(mg/hari)
Efek Samping
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang,
buta warna merah-hijau, penyempitan lapang
pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik
*Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.
Gambar 17. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya
Panduan Obat TB
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama)
dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat
pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan
atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman
intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk
membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan.
Berbeda pada orang dewasa , OAT diberikan pada anak setiap hari, bukan dua atau
tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan
menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini
panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah panduan
rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin,
40
isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin
dan isoniazid.
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti milier,
meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal
empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau
streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan.
Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis
TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan
dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam tida dosis, maksimal 60mg dalam satu hari.
Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tappering off selama 2-4 minggu.
2 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 12 Bulan
Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
Prednison
Gambar 18. Paduan Obat Antituberkulosis
Evaluasi hasil pengobatan
Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan
setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak
sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED.
Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya
kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan
berat badan, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain.
Apabila respon pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara
rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier,
efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks
41
perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi
pleura TB pengulangan foto rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap
darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya
tinggi.
Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak
terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih
lanjut mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah
misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien
ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih
tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi
kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat, kemungkinan
adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-
12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto rontgen
toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.
Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu
subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam
tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya kekambuhan.
Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi menunjukkan angka
kekambuhan yang tidak berbeda bermakna dengan pengobatan 6 bulan.
Evaluasi efek samping pengobatan
OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup
sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek
samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak
melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari
dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-
Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat Transaminase
(SGPT) hingga ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas normal (40 U/I) disertai
dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan
SGOT/SGPT dengan beberapa nilai beberapapun yang disertai dengan ikterus,
anoreksia, nausea dan muntah.
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang
terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan
42
perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase
yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa
penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan ≥ 5 kali tanpa gejala, atau ≥ 3 kali batas
normal disertai dengan gejala memerlukan penghentian rifampisin sementara atau
penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi mengingat pentingnya rifampisin dalam
paduan pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini cukup menimbulkan
keraguan. Akhirnya, isoniazid dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan
dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan
tepat.
Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali
batas normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar
enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan
kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya dilakukan dengan
cara memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara
bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat.
Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis
diberikan langsung secara penuh (full-dose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan
pengobatan.
Putus obat
Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama ≥ 2 minggu.
Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien
datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat telah
terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.
Multi Drug Resistance (MDR) TB
Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap
dua atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin.
Kecurigaan adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan
pengobatan. Manajemen TB semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap
OAT yang biasa dipakai. Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT
yaitu pemakaian obat tunggal, penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk
pencampuran obat yang tidak dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan
menelan obat.
Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan
obat tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan
43
tetapi diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat.
Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data
mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila
pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5 %, sedangkan dengan
pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi directly observed
treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya 1,6% saja.
Tabel 3. Dosis Obat Antituberkulosis Lini Pertama
Obat Dosis Harian
(mg/kgBB/hari)
Dosis
Max
(mg/hari)
Efek Samping
Isoniazid
Rifampisin**
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
5-15*
10-20
15-30
15-20
15-40
300
600
2000
1250
1000
Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Gastrointestinal, reaksi kulit,
hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan tubuh
berwarna orange kemerahan
Toksisitas hepar, artralgia,
gastrointestinal
Neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah hijau,
hipersensitivitas, gastrointestinal
Ototoksik, nefrotoksik
* Bila INH dikombinasi dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabitias rifampisin
44
11. Komplikasi dan prognosis
11.1. Komplikasi
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis,
penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang
dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar
untuk menderita tuberkulosis. Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang
mengancam jiwa harus dipikirkan pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau
adanya lesi pada daerah hilus.
11. 2. Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif
dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal.
Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus
diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai
rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut.
Pasien dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke
waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak
adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan.
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin,
angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT
45
Tabel 4. Dosis OAT Kombinasi pada TB anak
Berat Badan
(kg)
2 Bulan
RHZ (75/50/150 mg)
4 Bulan
RH (75/50 mg)
5-9
10-19
20-32
1 tablet
2 tablet
4 tablet
1 tablet
2 tablet
4 tablet
Catatan:
· Bila BB ≥33 kg dosis disesuaikan dengan Tabel 2 (perhatikan dosis maksimal)
· Bila BB <5 kg sebaiknya dirujuk ke RS
· Obat harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah)
(terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier.
Tanpa terapi OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan
Pulmonary TB. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain
dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari pulmonary TB.
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi
sistemik yang dapat dialami anak yaitu, demam lama (>2 minggu) dan/atau
berulang tanpa sebab yang jelas, berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak
naik dalam 1 bulan ,anoreksia dengan failure to thrive, pembesaran kelenjar limfe
superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu,
diare persisten serta malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji tuberculin, interferon, radiologi,
tes serologi, mikrobiologi dan pemeriksaan patologi anatomi.
Untuk memudahkan diagnosis dapat digunakan sistem skoring TB
Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif dan
dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Obat
TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),
pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid
merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan
streptomisin.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah Limfadenitis, meningitis, osteomielitis,
arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit
dapat terjadi.
3.2 Saran
46
Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi TB menyebabkan tingginya biaya pengobatan
yang diperlukan. Oleh karena itu, pencegahan infeksi TB merupakan salah satu upaya
penting yang harus dilakukan. Pencegahan ini dilakukan dengan pengendalian
berbagai faktor resiko infeksi TB.
Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, diperlukan usaha penyegaran kembali
tentang TB anak, khususnya bagi dokter umum maupun dokter anak yang sering
menangani kasus TB anak.
47
DAFTAR PUSTAKA
1. Tuberculosis: http://www.emedicine.com/ped/topic2321.htm2. Pediatrics in Review Vol. 18, 1997, No. 2, hal. 50 –58.3. Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15, 1996 hal.1028 – 1043
48
Recommended