View
9
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
SANKSI PIDANA BAGI ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK
PIDANA PENCURIAN : ANALISIS PUTUSAN NOMOR
14/PID.SUS.ANAK/2015/PN.BKS.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)
Di Susun Oleh:
HALIMAH NURMAYANTI
NIM: 11150450000078
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2019 M
v
ABSTRAK
Halimah Nurmayanti (11150450000078) sanksi pidana bagi anak
yang melakukan tindak pidana pencurian (analisis putusan nomor
14/PID.SUS.Anak/2015/PN.Bks). Program studi Hukum Pidana Islam
(Jinayah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Tahun 2019 M/1441H.
``Dari berbagai permasalahan di Indoensia yang paling
mengkhawatirkan ialah perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Maka dari itu permasalahan utama dalam skripsi ini adalah tindak pidana
pencurian dalam pemberatan yang dilakukan seorang anak dibawah umur
dalam putusan nomor 14/PID.SUS.Anak/2015/PN.Bks Bahwa dalam
skripsi ini akan meneliti tentang pertimbangan serta penerapan hukum
yang diterapkan oleh hakim untuk anak pelaku tindak pidana pencurian
motor dalam pemberatan. Dan akan meneliti mengenai sanksi yang
diterapkan terhadap anak berdasarkan ketentuan hukum pidana positif.
Tujuan dari penelitian ini akan memaparkan ketentuan sanksi
pencurian yang dilakukan oleh anak dalam hukum pidana positif dan
hukum pidana Islam. Dan untuk mengetahui bagaimana perbedaan
ketentuan dalam pidana Islam dan pidana Positif dalam prncurian yang
dilakukan oleh anak sehingga dapat menambah khazanah pengetahuan.
Untuk mengetahui analisa hukum terhadap putusan pengadilan.
Metode penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum
normatif karena berdasarkan hukum jenis penelitian kualitatif dari putusan
Pengadilan Negeri Bekasi. -Metode yang digunakan adalah penelitian
kepustakaan, yakni metode penelitian yang diperoleh diperpustakaan
dengan menganalisa teori-teori melalui pengumpulan sumber-sumber yang
berkaitan dengan aspek materi yang diteliti serta mengkaji pendapat-
pendapat para ahli hukum yang terdapat dalam buku, undang-undang yang
terkait , KUHP, kitab-kitab fiqh, atau buku-buku yang lain yang berkaitan
dengannya.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan sanksi
yang diterapkan oleh hakim untuk si anak tersebut adalah suatu hal yang
sudah sesuai dengan ketentuan hukum dalam system peradilan pidana
anak, dengan beberapa pertimbangan hakim anak tersebut dihukum hanya
sepertiga dari hukuman penuh yang di tuntut oleh jaksa penuntut umum,
anak yang seharusnya dihukum selama 5 bulan tetapi atas pertimbangan
hakim anak tersebut dihukum hanya 2 bulan 15 hari.
Kata Kunci : Tindak Pidana Anak, Pencurian.
Pembimbing : Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum
Daftar Pustaka: 1990 s.d 2018
vi
KATA PENGANTAR
الرحيمبسم اهلل الرحمن
Segala Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayahnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat dan salam semoga tetap
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa risalah
kebenaran untuk semua umat khususnya kepada umat Islam.
Skripsi ini berjudul “SANKSI PIDANA BAGI ANAK YANG MELAKUKAN
TINDAK PIDANA PENCURIAN ANALISIS PUTUSAN NOMOR
14/PID.SUS.Anak/2015/PN.Bks.” disusun sebagai salah satu syarat akademis
untuk menyelesaikan program strata satu di Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis berharap skripsi ini
dapat memberikan manfaat keilmuan khususnya di Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah).
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sedalam-dalamnya atas bimbingan, masukan, saran serta dukungannya baik moril
maupun materiil kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H. Selaku Dekan Fakultas
Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Qosim Arsadani, M.A. Selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam
(Jinayah).
3. Mohamad Mujibur Rohman, M.A. Selaku Sekretaris Program Studi
Hukum Pidana Islam (Jinayah)
4. Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum. Selaku Dosen Pembimbing dalam
penulisan skripsi yang telah memberikan banyak masukan dan arahan
serta meluangkan waktunya dengan penuh keikhlasan kepada penulis.
5. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kepada kedua orangtua penulis tersayang dan tercinta Ayah M. Tolih dan
Ibu Khojanah yang selalu memberikan dukungan, semangat, motivasi serta
vii
doa yang tiada hentinya selama penulis menempuh perkuliahan di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan umur yang panjang, selalu diberikan kesehatan
dan dilampangkan rizkinya, Aamiin.
7. Kepada kakak penulis Khoirul Umam, Khoirunnisa, Lia Haryati, Kahfi
Fahtarudin yang selalu memberikan dukungan serta motivasi dalam
penyusunan skripsi, serta adik penulis Hela Wati yang tercinta.
8. Kepada sahabat-sahabat perjuanganku Ike Nurmala Sari, Mila Istiqomah,
Millati Azka, Arinda Yefa dan Jaguar yaitu, Khairan Abdul Mahmud,
Mardani, Syifa Ulkhair, Sofia Azmi yang telah memberikan support
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
9. Kepada teman-teman kosan Sari Ramadanti, Safira Mulidia, Alfida
Miftah Farhanah. Dan terkhusus untuk Uda Ifdal Lillahi S.H
10. Kepada teman-teman Jurusan Hukum Pidana Islam angkatan 2015,
terimakasih atas bantuan, doa serta dukungan untuk penulis, terimakasih
atas kebersamaan dan waktu yang telah kita alami bersama selama di
bangku perkuliahan, semoga di masa yang akan datang kita dapat meraih
apa yang kita harapkan.
11. Kepada teman-teman KKN kebangsaan ENJ (Ekspedisi Nusantara Jaya)
yang telah memberikan support dan berbagi cerita serta kesan-kesan
selama melaksanakan KKN di Anambas..
12. Kepada kanda dan yunda seluruh anggota organisasi penulis yaitu
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat Fakultas Syari‟ah dan
Hukum yang telah mengenalkan arti dari pentingnya berproses di sebuah
organsisasi serta mengajarkan penulis untuk selalu menjadi Insan yang
Akademis.
13. Kepada keluarga besar Abang dan Mpok FKMA (Forum Komunikasi
Mahasiswa Attaqwa) tercinta, yang senangtiasa selalu memberikan do‟a
dan semangat kepada penulis.
14. Kepada seluruh teman-teman LK II Cabang Padang.
viii
Akhirnya tiada untaian kata yang berharga selain ucapan
Alhamdulillahirabbil „Alamiin. Besar harapan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya, Aamiin.
Sekian dan terimakasih.
Jakarta, 18 November 2019 M
Rabi‟ul Awal 1441 H
Halimah Nurmayanti
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................................ii PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI .......................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vi
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar belakang Masalah ....................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................................. 8
C. Pembatasan Masalah ............................................................................................ 8
D. Perumusan Masalah ............................................................................................. 8
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 8
F. Review Studi Terdahulu........................................................................................ 9
G. Metode penelitian ................................................................................................ 11
H. Sistematika Penulisan ......................................................................................... 13
BAB II TINJAUAN UMUM .......................................................................................... 14
A. Tindak pidana dalam hukum positif ................................................................. 14
B. Tindak pidana dalam hukum Islam .................................................................. 26
C. Tindak Pidana Pencurian Perspektif Hukum Pidana Positif ......................... 31
D. Anak berhadapan dengan hukum ..................................................................... 34
BAB III KENAKALAN ANAK DAN KETENTUAN BAGI ANAK YANG
MELAKUKAN TINDAK PIDANA .............................................................................. 40
A. Pengertian Kenakalan Anak/Juvenale Delinquency ........................................ 40
B. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak .............................. 44
C. Ketentuan Terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana ........................ 52
D. Pengaturan Normatif Sanksi Pidana dalam Kajian Perbandingan ............... 55
E. Diversi .................................................................................................................. 63
BAB IV PENERAPAN HUKUM DAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM
MEMUTUS PERKARA NOMOR 14/PID.SUS.ANAK/2015/PN.BKS. ..................... 70
A. Penerapan hukum dalam perkara Nomor 14/PID.Sus.Anak/2015/PN.Bks. . 70
B. Pertimbangan Hakim dalam perkara Nomor 14/PID.Sus.Anak/2015/PN.Bks.
73
BAB V PENUTUP ........................................................................................................... 88
x
A. KESIMPULAN ................................................................................................... 88
B. SARAN/ REKOMENDASI ................................................................................ 89
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 90
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Anak dalam proses perkembang tumbuhnya mengalami perubahan
yang sangat signifikan. Dari mulai anak itu dilahirkan hingga kemudian anak
itu mengalami masa-masa purbertas, dimana dimasa itulah anak mengalami
proses pencarian identites jati diri. Dalam kondisi ini anak banyak melakukan
tindakan tindakan yang mereka sendiri tidak mengetahui secara menyeluruh
dalam hal dampak dari perbuatan yang dilakukanya. Padahal tindakan yang
dilakukan anak tersebut jika dinilai secara moral masyarakat tidak sesuai. Jia
melihat nilai moral yang tetapkan oleh masyarakat sebagai hukum yang
diterapkan masyarakat maka anak yang melakukan tindakan a moral adalah
anak yang melanggar hukum.
Ketika anak melakukan pelangaran hukum. Maka tindakan yang
dilakukan masyarakat seharusnya bukanlah pemberian hukuman. Anak
bukanlah untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan dan
pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal yang
sehat dan cerdas seutuhnya. Anak adalah anugerah Allah Yanga Maha Kuasa
sebagai calon generasi penerus bangsa yang masih dalam masa perkembangan
fisik dan mental. Terkadang anak mengalami situasi sulit yang membuatnya
melakukan tindakan yang melanggar hukum. Walaupun demikian, anak yang
melanggar hukum tidaklah layak untuk dihukum apalagi kemudian dimasukkan
dalam penjara.1
Apabila kita melihat kerangka bernegara Indonesia, mewujudkan
sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta
memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, maka pembinaan terhadap anak merupakan bagian yang integral dalam
upaya tersebut. Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan yang sebelumnya.
1 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h., 1.
2
mengemukakan mengenai anak-anak “nakal” yang kemudian bermasalah secara
hukum, maka harus diselesaikan secara komprehensif dalam rangka melindungi
hak anak agar mampu juga menjadi sumber daya manusia Indonesia yang
berkualtas sebagaimana telah disebutkan.2
Permasalahan tersbesar dari anak yang berhadapan dengan hukum
adalah karena UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak
relevan lagi, baik dari aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis. Undang-Undang
ini tidak memberikan solusi yang tepat bagi penanganan anak (dalam bahasa
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) sebagai anak yang
berhadapan dengan hukum. Anak yang berkonflik dengan hukum harus
diarahkan untuk diselesaikan ke pengadilan, akibatnya adalah akan ada tekanan
mental dan peikologis terhadap anak yang berkonflik dengan hukum tersebut,
sehingga mengganggu tumbuh kembangnya anak. Sehingga kemudian
semangat untuk meruah sitem tersebut dilakukan dengan munculnya undang-
undang No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak.
Proses penanganan anak dengan kategori tersebut3 dapat menimbulkan
permasalahan karena mereka harus ditangani secara hukum. Padahal,
kenyataannya, tidak jarang penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum tersebut tidak dipisahkan dengan orang dewasa, seperti pemenjaraan
yang disatukan dengan orang dewasa.
Sahabat Nabi Muhammad SAW, Umar ra pernah berucap: Barang
siapa ingin menggenggam nasib suatu bangsa, maka genggamlah para
pemudanya. Kata bijak ini menegaskan bahwa pemuda adalah elemen penting
dalam menentukan masa depan bangsa. Anak adalah cikal bakal pemuda. Oleh
karena itu, penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
janganlah sampai memunculkan stigmatisasi atau labelling dan kurangnya atau
2 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h., 3.
3 Dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di Pengadilan hingga
sampai dengan penempatan di Lembaga Pemasyarakatan Anak, Anak yang berkonflik dengan
hukum ditangani layaknya penjahat, sehingga akan mengganggu pertumbuhan mental psikologis
anak.
3
bahkan ketidaan pembinaan terhadap mereka sehingga membuyarkan harapan
mereka menjadi pemuda yang dapat berguna bagi bangsanya. Mengacu hal
tersebut penting untuk menyepakati model penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum.
Anak haruslah ditangani secara berbeda dengan orang dewasa. Untuk
itu, secara pradigma model penanganan yang berlaku melalui UU No. 3 Tahun
1997 jo UU No. 11 tahun 2012 sistem tentang Pengadilan pidana Anak, adalah
sama sebagaimana penanganan orang dewasa, dengan model rettributive
jistice, yaitu penghukuman sebagai pilihan utama atau pembalasan atas tindak
pidana yang telah dilakukan dirubah menjadi model restoratif justice. Model
ini yang ada pada UU No 3 tahun 1997 dengan model rettributive justice tidak
sesuai, setidaknya dikarenakan dengan tiga alasan : pertama, alasan
karakteristik anak. UU No. 23 Tahun 2002 menyebutkan: ..”untuk tumbuh dan
secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia,...” jadi
anak merupakan individu yang masih harus tumbuh dan berkembang dalam
segala aspek, sehingga anak belum dapat menentukan pilihan perbuatan secara
benar. Sejalan dengan hal ini, Nabi Muhammad SAW pernah
bersabda:”Dihapuskan ketentuan hukum dari tiga orang, dari orang yang tidur
sampai ia bangun dan dari orang gila sampai ia sembuh, serta dari anak kecil
sampai ia dewasa”.4
Kedua, alasan masa depan anak. Sebagaimana yang disampaikan
sebelumnya, anak yang dipidana terlabel dan terstigmatisasi selepas
pemidanaan sehingga meyulitkan pertumbuhan psikis dan sosial anak ke
depan. Ketiga, memulihkan hubungan antara anak yang berhadaoan dengan
hukum, korban, dan masyarakat.5 Sehingga kemudian hal tersebut dirubah
dengan UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem tindak pidana anak yang
mempunyai model restorative justice.
Pengertian anak secara sosiologis, Menurut pengetahuan umum, yang
dimaksud dengan anak adalah seseorang yang lahir dari hubungan pria dan
4 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h., 3.
5 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h., 4.
4
wanita. Sedangkan yang diartikan dengan anak-anak atau juvenale, adalah
seorang yang masih dibawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum
kawin. Pengertian dimaksud merypakan pengertian yang sering kali dijadikan
pedoman dalam mengkaji berbagai persoalan tentang anak.
Dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, yang dijadikan kriteria untuk
menentukan pengertian anak pada umumnya didasarkan kepada batas usia
tertentu. Namun demikian, karena setiap bidang ilmu dan lingkungan
masyarakat mempunyai ketentuan tersendiri sesuai dengan kepentingannya
masing-masing, maka sampai saat ini belum ada suatu kesepakatan dalam
menentukan batas usia seseorang dikategorikan sebagai seorang anak. Atas
dasar kenyataan itu, untuk memperoleh rumusan yang jelas tentang pengertian
anak, pembahasan akan dikaji dari berbagai aspek sosiologis, psikologis,
maupun aspek yuridis.
Dikemukakan oleh Ter Haar bahwa saat seseorang menjadi dewasa
ialah saat ia (laki-laki atau perempuan) sebagai orang yang sudah berkawin,
meninggalkan rumah ibu bapaknya atau ibu bapak mertuanya untuk baerumah
lain sebagai laki-bini muda yanag merupakan kelurga yang berdiri sendiri.6
Soepomo mengemukakan, bahwa tidak ada batas umur yang pasti
bilamana anak menjadi dewasa; hal itu hanya dapat dilihat dari ciri-ciri yng
nyata. Anak yang belum dewasa, di Jawa Barat disebut belum cukup umur,
belum balig, belum kuat, yaitu anak yang karena usianya masih muda, masih
belum dapat mengurus diri sendiri; yang sungguh masih kanak-kanak. Kami
tidak menemukan petunjuk bahwa hukum adat Jawa Barat mengenal batas
umur yang pasti, bila mana seorang dianggap telah dewasa sejak kuat gawe
(dapat bekerja); sejak ia mamapu mengurus diri sendiri dan melindungi
kepentingannya sendiri. Hanya dari ciri-ciri yang nyata dapat dilihat apakah
seseorang sudah dapat bekerja atau belum; apakah ia sudah dapat bekerja atau
belum; apakah ia sudah atau belum dapat berdiri sendiri dan ikut serta dalam
6 Syafiyudin Sastrawujaya, Beberapa Masalah Tentang Kenakalan Remaja, (Bandung:
PT. Karya Nusantara, 1997). h.,.18.
5
kehidupan hukum dan sosial di desa, daerah atau lingkungannya.7
Pengertian anak secara psikologis, Ditinjau dari aspek Psikologis,
pertumbuhan manusia mengalami fase-fase perkembangan kejiwaan yang
masing-masing ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Untuk menentukan kriteria
seorang anak, disamping ditentukan atas batas usia, juga dapat dilihat dari
pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang dialaminya.
Dalam perkembangan anak tersebutlah banyak melakukan tindakan-
tindak yang disebut dengan kenakalan. Kenakalan anak diambil dari istilah
juvenile delinguercy, tetapi kenakalan anak ini bukan kenakalan yang
dimaksud dalam Pasal 489 KUHP.8
Istilah Juvenile delinquency, berasal dari Juvenile artinya young, anak-
anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada
periode remaja; sedangkan delinquency artinya wrong doing,
terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-
sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat rebut, pengacau, penteror, tidak
dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.
Istilah kenakalan anak ini pertama kali ditampilkan pada Badan
Peradilan Anak di Amerika Serikat dala rangka membentuk suatu Undang-
Undang Peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam pembahasannya ada
kelompok yang menekankan segi pekanggaran hukummya, adapula kelompok
yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari
norma yang berlaku atau belum melanggar hukum.
Hukum acara pidana disebut juga sbagai hukum pidana formal.
Menurut Lamintang, hukum pidana formal memuat peraturan-peraturan yang
7 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h., 19.
8 Pasal 489 KUHP berbunyi:
(1) kenakalan terhahap orang atau barang sehingga dapat mendatangkan bahaya, kerugian atau
kesusahan dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp225,-
(2) jika pada waktu melakukan pelanggaran itu belum lalu satu Tahun, sejak ketetapan putusan
hukuman yang dahulu bagi si tersalah karena pelaggaran serupa itu juga, maka denda itu dapat
diganti dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga hari.
6
mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana bersifat abstrak itu harus
diberlakukan secara konkret.9 Sementara itu sudarto mengatakan bahwa
hukum pidana formal mengatur bagaimana negara dengan perantara alat-alat
perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana.10
Dengan demikian, hukum acara peradilan pidana anak merupakan
peraturan-peraturan yang mengatur agar hukum pidana anak yang bersifat
abstrak diberlakukan secara konkret. Dalam UU No. 11 Tahun 2012, acara
peradilan pidana anak diatur dalam Bab III mulai dari pasal 16 sampai dengan
pasal 62, artinta ada 47 pasal yang mengatur hukum acara pidana anak.
Mengingat hukum acara pidana anak ini sebagai lex specialis dari
hukum acara pidana (KUHAP), maka ketentuan beracara dalam hukum acara
pidana (KUHAP) berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali
ditentukan lai dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Sebagai bentuk pemberian jaminan perlindungan hak-hak anak, maka,
penyidik, penuntut umum, dan hakim wajib memberikan perlindungan khusus
bagi anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi
darurat serta perlindungan khusus dan dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi
tanpa pemberatan (Pasal 17).
Jaminan perlindungan hak-hak juga terdapat dalam pasal 18 yang
menyebutkan bahwa dalam menangani perkara anak, anak korban, dan/atau
anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan
Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat
atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan
terbaik bagi anak dan mengusahakan susasana kekeluargaan tetap terpelihara.
Untuk itu, Pasal 19 juga menyebutkan bahwa segala yang berhubungan dengan
identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam
pemberitaan di media cetak ataupun elektronik bahkan identitas sebagaimana
dimaksud di atas meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi,
9 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru,
1984), h., 10
10 Sudarto, Hukum Pidana I A, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990 cet. 2), h., 10.
7
nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati
diri anak, anak korban, dan/atau anak aksi. Apabila tindak pidana dilakukan
oleh anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke
sidang pengadilan di mana setelah anak yang bersangkutan melampaui batas
umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak (pasal 20).
Pada Pasal 21 ditentukan anak yang belum berumur 12 (dua belas)
tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:11
a. Menyerahkannya kembali kepada kedua orang tua/wali; atau
b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial di instansi ysng menangani bidang kesejahteraan
sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Seperti halnya dalam putusan pengadilan Nomor
14/PID.SUS.Anak/2015/PN.Bks Bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa
Penuntut Umum dengan dakwaan Tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal
363 ayat (1) ke- 4 KUHP jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP dalam putusan tersebut.
Hal ini menarik untuk dikaji bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus
perkara tersebut dan kemudian menarik juga dikaji bagaiman peranan pondok
pseantren dalam upaya untuk memulihkan perilaku anak yang telah melakuan
tindak pidana.
Oleh karena itu penulis dalam skripsi ini akan mengkaji terkait hal
tersebut dengan judul skripsi, “SANKSI PIDANA BAGI ANAK YANG
MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN : ANALISIS
PUTUSAN NOMOR 14/PID.SUS.Anak/2015/PN.Bks.”
11
M. Nasir Jamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2013), h.,
152-153.
8
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan dalam pembahasan latar belakang masalah di atas, dapat di
identifikasikan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Berapakah Sanksi hukuman terhadap pelaku pencurian di bawah umur?
2. Mengapa berbeda pendapat tentang ukuran sanksi didalam hukum pidana
Islam dan hukum Positif terhadap pencurian?
3. Tidak Relevansi nya ukuran sanksi dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana. Pada putusan pengadilan nomor
14/PID.SUS.Anak/2015/PN.Bks.
C. Pembatasan Masalah
Dari permasalahan-permasalahan yang ada, maka penulis membatasi
masalah hanya dengan satu masalah yaitu sanksi hukuman terhadap tindak
pidana pencurian yang dilakukan oleh anak.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalah
utama penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan hukum terhadap putusan Nomor
14/PID.SUS.Anak/2015/PN.Bks ?
2. Bagaimana pertimbangan hakim, dalam memutus perkara Nomor
14/PID.SUS.Anak/2015/PN.Bks.?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulis meneliti hal ini tidak lepas dari beberapa tujuan. Tujuan
tersebut adalah:
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelaskan bentuk tindak pidana pencurian menurut hukum
pidana Islam dan hukum positif
9
b. Untuk memaparkan ketentuan sanksi pencurian yang dilakukan oleh
anak dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.
c. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan ketentuan dalam pidana Islam
dan pidana Positif dalam prncuian yang dilakukan oleh anak sehingga
dapat menambah khazanah pengetahuan.
d. Untuk mengetahui analisa hukum terhadap putusan pengadilan.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah:
a. Manfaat Akademis
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan tambahan keilmuan
dalam bidang hukum pidana islam dan hukum pidana positif pada
umumnya dan tentang pencurian yang dilakukan oleh anak.
b. Manfaat Praktis
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan penjelasan kepada
masyarakat luas tentang dampak anak yang melakukan pencurian. Dan
penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan dalam pengambilan
keputusan terhadap kasus-kasus tindak pidana anak.
F. Review Studi Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis pada kajian terdahulu
sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan dalam penelitian ini.
Adapun kajian terdahulu yang menjadi acuan anatara lain:
Skripsi karya oleh Dewi rohmayanti yang berjudul
“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR
DALAM KASUS PENCURIAN DITINJAU DALAM HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF” dalam skripsi ini menjelaskan tentang
petanggungjawaban seorang anak yang melakukan tindak pidana akan
tetapi proses hukum nya itu tidak sesuai dengan peraturan pasal 6 undang-
undang nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, yang
10
menjelaskan tentang anak seharusnya di kembalikan kepada kedua orang
tua/wali untuk di didik dan di bimbin oleh lembaga penempatan anak
sementara (LPSK) bukan penjara.12
Skripsi karya oleh Muhammad Fakhruddin Zuhri yang berjudul
“ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM UNDANG-
UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN
ANAK”. Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana konsep
pertanggungjawaban anak berdasarkan Undang-Undang No. 3 tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak dan menurut Hukum Islam dengan skripsi
tersebut memberikan gambaran bahwa ketentuan hukum terhadap
pemenjaraan yang dilakukan oleh pemerintah (aparat penegak hukum) atas
kesalahan yang dilakukan anak dibawah umur adalah suatu yang tidak
dibenarkan dalam pandangan hukum Islam. Dikarenakan anak dalam
hukum Islam belum wajib dikenakan pembebasan hukum (Taklif).13
Imam Zamahsari, “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PASAL 26 UU NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG PENJATUHAN
PIDANA BAGI ANAK NAKAL”. Dalam skripsi tersebut mengkaji
tentang pasal 26 UU No. 3 Tahun 1997 tentang pidana anak nakal dalam
perspektif hukum Islam. Dengan memakai metode deskriptif analitis, dan
menggali latar belakang serta substansi dari pasal tersebut ditemukan
bahwa penjatuhan pidana bagi anak nakal merupakan sesutau yang tepat
karena sesuai dengan pasal 5 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945. Dari
kajian yang dilakukan oleh si penulis, dapat dikatakan bahwa berbagai
macam persoalan yang terkait dengan anak nakal, maka pasal 26 tersebut
12
Dewi Rohmayanti, “Pertanggungjawaban Pidana Anak Di Bawah Umur Dalam Kasus
Pencurian Ditinjau Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif”, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2018
13 Muhammad Fakhruddin Zuhri, Analisis Terhadapa Batas Usia Dan
Pertanggungjawaban Pidana Anak Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak, Semarang: Iain Wali Songo, 2012
11
menjadi substansi penting dalam melindungi anak tersebut dan secara
yuridis formal tidak ada alsan bagi yudikatif untuk tidak menjalankan
dalam memberikan vonis bagi anak nakal yang terlibat pidana sesuai
dengan UU tersebut. Adanya Pasal tersebut, secara substansi sangat
berpengaruh dalam melindungi kondisi psikologi anak.14
Skripsi karya oleh Ahmad Afif yang berjudul
“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK (STUDI
PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN
1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN HUKUM
ISLAM)” yang menjelaskan tentang jenis-jenis kenakalan yang dilakukan
anak serta tata cara pengadilan dan sistem peradilan anak.
Dalam penelitian ini belum dibahas tentang penerapan serta sanksi
yang diterapkan bagi anak yang melakukan percobaan tindak pidana
pencurian dalam pemberatan dalam putusan Nomor 14/PID.Sus.Anak
/2015 PN.Bks. sehingga penulis ingin mengetahui penerapan hukuman
menurut hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.
G. Metode penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum
normatif karena berdasarkan hukum jenis penelitian kualitatif dari
putusan Pengadilan Negeri Bekasi. Metode yang digunakan adalah
penelitian kepustakaan, yakni metode penelitian yang diperoleh
diperpustakaan dengan menganalisa teori-teori melalui pengumpulan
sumber-sumber yang berkaitan dengan aspek materi yang diteliti serta
mengkaji pendapat-pendapat para ahli hukum yang terdapat dalam buku,
undang-undang yang terkait , KUHP, kitab-kitab fiqh, atau buku-buku
yang lain yang berkaitan dengannya.
14
Imam Zamahsari, “Tinjauan hukum Islam terhadap pasal 26 UU No. 3 Tahun 1997
Tentang Penjatuhan Pidana Bagi Anak Nakal” Semarang: Iain Wali Songo, 2012
12
2. Teknik pengumpulan data dan sumber data.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi dokumentasi, yakni dengan mengumpulkan data-data dan
sumber-sumber. Maka pada tahap pengumpulan data menggunakan
bahan-bahan pustaka tentang pembunuhan dan pertanggung jawaban
pidananya.15
Hukum pidana Islam dan hukum positif yang relevan.
Sebagai data primer dalam penelitian ini dalam Al-Quran dan Hadits
yang merupakan sumber hukum islam, dan KUHP serta UU No 11 tahun
2012 tentang sistem hukum acara pidana anak, sedangkan data
sekundernya adalah buku-buku atau bahan pustaka lainnya yang
berkaitan dengan bahasan mengenai pembunuhan dan pertanggung
jawaban pidananya baik menurut hukum pidana Islam dan hukum positif.
3. Teknik Analisa Data
Analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif yang berarti
membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum, termasuk
yang terkandung dalam hukum Islam.metode analisis data yang
digunakan seluruhnya adalah metode kualitatif, yaitu menganalisis
masalah berdasarkan data-data yang didapat dalam bentuk kata-kata atau
kalimat yang didapat dari buku-buku, karya-karya, literatur atau norma-
norma dengan bersifat penelitian deskriptif, yaitu dengan
menggambarkan permasalahan yang ada, mencari data-data yang relevan,
menyeleksi dan mengambil kesimpulan dari data-data tersebut . teknik
analisis data yang digunakan adalah tehnik analisis secara kualitatif.
Alasan penulis menggunakan teknik ini adalah ingin membandingkan
tinjauan hukum pidana positif dan hukum pidana islam terhadap
permasaahan pada penelitian ini.
15
Sunggono Bambang, metodologi penelitian hukum , (Jakarta:P.T Raja Grafindo
Persada) h.,35.
13
4. Teknik Penulisan
Pada penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian skripsi
yang mengacu pada contoh proposal serta buku pedoman penulisan
skrpisi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2018.
H. Sistematika Penulisan
Pembahasan ini dapat tersaji secara teratur dan tersusun secara
sistematis, pembahasannya akan disajikan dalam lima bab.
Bab I berisi pendahuluan yang diawali dengan latar belakang masalah
berisi penjelasan, data-data yang dijadikan alasan bagi penulis
dalam memilih pembahasan ini, pembatasan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika.
Bab II berisi tinjauan umum tentang tindak pidana, unsur-unsur tindak
pidana, jenis-jenis tindak pidana dan tindak pidana pencurian
dalam hukum pidana Positif dan hukum pidana Islam.
Bab III berisi tentang tinjauan umum tentang hukum pidana islam mengenai
anak yang melakukan tindak pidana, dan bentuk pemidanaan
terhadap anak yang melakuan tindak pidana.
Bab IV bab ini merupakan pembahasan utama dalam penelitian ini berisi
tentang analisa terhadap Putusan Nomor
14/PID.SUS.Anak/2015/PN.Bks.
Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan atau saran-saran.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Tindak pidana dalam hukum positif
1. Pengertian tindak pidana
Dari berbagai literature dapat diketahui, bahwa istilah tindak
pidana hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata
strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata strafbaarfeit kemudian
diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit
oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, perbuatan
pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan
berbagai istilah untuk menunjuk pada pengertian kata strafbaarfeit.
Beberapa istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut antara
lain:
a. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam undang-
undang dasar sementara tahun 1950 khususnya dalam pasal 14.
b. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.
c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam
Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan
Ordonantie Tijdelike Byzondere strafbepalingen.
d. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam Undang-
Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Pneyelesaian
Perselisihan Perburuhan.
e. Tindak pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang,
misalnya:
1) Undang-undang Darurat nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan
Umum.
15
2) Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.
3) Penetapan presiden Nomor 4 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja
Bakti Dalam Rangka Pemasyarakatannya bagi Terpidana karena
melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan.
Molejatno dalam hal ini mempertanyakan para sarjana yang
menyamakan istilah peristiwa pidana, tindak pidana dan sebagainya
dengan istilah strafbaarfeit tanpa ada penjelasan apapun. Moeljatno yang
menggunakan istilah perbuatan pidana sebagai salinan kata strafbaarfeit
mengatakan, bahwa untuk melihat apakah istilah perbuatan pidana dapat
disamakan dengan istilah strafbaarfeit itu sendiri. Menurut Simons,
strafbaarfeit dapat diartikan sebagai kelakuan yang diancam dengan
pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan
kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Sementara menurut Van Hammel, strafbaarfeit adalah kelakuan orang
yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut
dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Bertolak dari dua pendapat di atas, terimpul, bahwa strafbaarfeit
pada dasarnya mengandung pengertian seperti berikut:
a. Bahwa kata feit dalam istilah strafbaarfeit mengandung arti kelakuan
atau tingkah laku.
b. Bahwa pengertian strafbaarfeit dihugungkan dengan kesalahan orang
yang mengadakan kelakuan tersebut.
Apa yang disebut dalam butir a di atas, menurut Moeljatno
pengertiannya berbeda dengan perbuatan dalam istilah perbuatan pidana.
Sebab menurut beliau perbuatan mengandung makna kelakuan + akibat,
bukan hanya berarti kelakuan saja. Sementara apa yang disebut dalam butir
b, maknanya juga berbeda dengan perbuatan pidana, sebab dalam istilah
perbuatan pidan tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan
pertanggungjawaban pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana.
16
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya menunjuk pada
sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana
apabila dilanggar. Persoalan apakah orang yang melanggar itu kemudian
benar-benar dipidana atau tidak, hal ini akan tergantung pada keadaan
bathinnya dan hubungan batin antara pembuat/pelaku dengan
perbuatannya. Dengan emikian menurut Moeljatno, perbuatan pidana
dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana. Hal ini menurut Moeljatno,
berbeda dengan istilah strafbaarfeit yang selain memuat atau mencakup
pengertian perbuatan pidana sekaligus juag memuat pengertian kesalahan.
Dalam pandangan Moeljatno, istilah perbuatan pidana sama
pengertiannya dengan istilah criminal act dalam bahasa Inggris. Sebab,
criminal act juga mengandung arti kelakuan + akibat. Selain itu criminal
act juga dipisahkan dari criminal responsibility (pertanggungjawaban
pidana). Pandangan Moeljatno merupakan pandangan dualistis tentang
perbuatan pidana.
Dengan pemahaman seperti tersebut di atas, maka menurut
Moeljatno, untuk adanya pertangungjawaban pidana tidak cukup hanya
dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, tetapi di samping itu juga
harus ada kesalahan.
Setelah diketahui berbagai istilah yang dapat digunakan untuk
menunjuk pada istilah strafbaarfeit atau tindak pidana berikut ini akan di
bahas tentang tindak pidana. Sebagai salah satu masalah essential dalam
hukum pidana, masalah tindak pidana perlu diberikan penjelasan yang
memadai. Penjelasan ini dirasa sangat urgent oleh karena penjelasan
tentang masalah ini akan memberikan pemahaman kapan suatu perbuatan
dapat dikualifikasi sebagai perbuatan/tindak pidana dan kapan tidak.
Dengan emikian dapat diketahui dimana batas-batas suatu perbuatan dapat
disebut sebagai perbuatan/ tindak pidana.
Secara doktrinal dalam hukum pidana dikenal adanya dua
pandangan tentang perbuatan pidana, yaitu pandangan monistis dan
pandangan dualistis. Untuk mengetahui bagaimana dua pandangan
17
tersebut memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud
perbuatan/tindak pidana, di bawah ini akan diuraikan tentang
batasan/pengertian tindak pidana yang diberikan oleh dua pandangan
tersebut.
a. Pandangan Monistis
Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat
keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan
sifat dari perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip
pemahaman, bahwa di dalam pengertian perbuatan/tindak pidana
sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act)
dan pertanggungjawaban pidana/ kesalahan (criminal responbility). Di
bawah ini disajikan beberapa batasan/ pengertian tindak pidana dari
para sarjana yang menganut pandangan monistis.
b. Pandangan Dualistik
Berbeda dengan pandangan monistis yang melihat keseluruhan
syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan
dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban
pidana. Apabila menurut pandangan monistis dalam pengertian tindak
pidana sudah tercakup didalamnya baik criminal act maupun criminal
responsbility, menurut pandangan dualistis dalam tindak tindak pidana
hanya dicakup criminal act, dan criminal responsbility tidak menjadi
unsur tindak pidana. Menurut pandangan dualistis, untuk adanya pidana
tidak cukup hanya apabila telah terjadi tindak pidana, tetapi
dipersyaratkan juga adanya kesalahan/pertanggungjawaban pidana.
Untuk memberikan gambaran tentang bagaimana pandangan
dualistis mendefinisikan apa yang dimaksud perbuatan/tindak pidana, di
bawah ini dikemukakan batasan tentang tindak pidana yang diberikan
oleh para sarjana yang menganut pandangan dualistis.
Untuk memberikan gambaran tentang bagaimana pandangan
dualistis mendefenisikan apa yang dimaksud perbuatan/tindak pidana,
18
di bawah ini dikemukakan batasan tentang tindak pidana yang diberikan
oleh para sarjana yang menganut pandangan dualistis.
Setelah diketahui dua pandangan tentang perbuatan pidana yaitu
pandangan monistis dan pandangan dualistis, berikut ini akan dijelaskan
seberapa jauh urgensi pembedaan itu dalam hukum pidana.
Apabila dikaitkan dengan syarat adanya pidana atau syarat
penjatuhan pidana, kedua pandangan di atas sebebnarnya tidak
mempunyai perbedaan yang mendasar. Dua pandangan itu, baik
pandangan monistis maupun pandangan dualistis, sama-sama
mempersyaratkan, bahwa untuk adanya pidana harus ada
perbuatan/tindak pidana (criminal act) dan pertanggung-jawaban pidana
(criminal responbilitylcriminaliability). Yang membedakan dua
pandangan di atas adalah, bahwa dalam pandangan ponistis keseluruhan
syarat untuk adanya pidana dianggap melekat pada perbuatan pidana
oleh karena dalam pengertian tindak pidana tercakup baik criminal act
maupun criminal responsibility ---sementara dalam pandangan dualistis
keseluruhan syarat untuk adanya pidana tidak melekat pada perbuatan
pidana--- oleh karena dalam pengertian tindak pidana hanya mencakup
criminal act tidak mencakup criminal responbility. Ada pemisahan
antara perbuatan (pidana) dengan orang yang melakukan perbuatan
(pidana) itu.
Dengan penjelasan yang panjang lebar tersebut di atas sebenarnya
ingin disampaikan, bahwa secara teoretis adanya pembedaan dalam dua
pandangan tersebut haruslah dicermati. Secara konseptual dua
pandangan ini sama-sama dapat diikuti dalam memberikan penjelasan
tentang perbuatan pidana, tetapi apabila harus diikuti salah satu
pandangan, maka juga harus diikuti dan dipahami secara konsisten.
Apabila diikuti pandangan monistis, maka harus dipahami, bahwa
dengan telah terjadinya tindak pidana, maka syarat untuk adanya pidana
sudah dipenuhi. Sementara apabila diikuti pandnagan dualistis, dengan
telah terjadinya tindak pidana tidak berarti syarat untuk adanya pidana
19
sudah dipenuhi, sebab menurut pandangan dualistis tindak pidana itu
hanya menunjuk pada sifatnya perbuatan, yaitu sifat dilarangnya
perbuatan, tindak mencakup kesalahan, padahak syarat untuk adanya
pidana mutlak harus ada kesalahan.
Pemahaman terhadap dua pandangan di atas sangat penting,
terutama agar dipahami, bahwa batasan/pengertian tindak pidana tidak
dibangun berdasarkan kerangka berpikir yang sama dari para ahli
hukum. Sebagian ahli hukum bertolak dari kerangka berpikir secara
monistis dan sebagian ahli hukum yang lain bertolak dari kerangka
berpikir secara dualistis dalam memberikan batasan/ pengertian tentang
tindak pidana. Dengan demikian, kepada para pembaca terutama para
pemula yang yang sedang mempelajari hukum pidana-dimohonkan
kehati-hatuannya dalam mengikuti bangunan konsep tentang tindak
pidana. Untuk dapat memahami bangunan konsep tentang tindak pidana
yang diberikan para hali hukum, alangkah baiknya apabila para
pembaca memahami dua pandangan tentang tindak pidana seperti di
atas. Penegasan ini dikemukakan dengan maksud, agar para pembaca
dapat memahami batasan/pengertian tentang tindak pidana secara benar.
2. Jenis-jenis tindak pidana
a. Penggolongan Tindak Pidana Menurut Doktrin
Secara umum tindak pidana dapat dibedakan ke dalam beberapa
pembagian sebagai berikut:
1) Tindak pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas
kejahatan dan pelanggaran
(a) Kejahatan
Secara doktrinal kejahatan adalah rechtdelicht, yaitu
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan,
terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu
undang-undang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan
sebagai delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-
20
benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan keadilan. Jenis tindak pidana ini juga
sering disebut mala per se. Perbuatan-perbuatan yang dapat
dikualifikasikan sebagai rechtdelicht dapat disebut antara lain
pembunuhan, pencurian, dan sebagainya.
(b) Jenis tindak pidana ini disebut wetsdelicht, yaitu perbuatan-
perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai suatu
tindak pidana, karena undang-undang merumuskannya
sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini baru disadari sebagai
tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-undang
mengancamnya dengan sanksi pidana. Tindak pidana ini
disebut juga mala quia prohibita. Perbuatan-perbuatan yang
dapat dikualifikasikan sebagai wetsdelicht dapat disebut
misalnya memarkir mobil di sebelah kanan jalan, berjalan di
jalan raya di sebelah kanan, dan sebagainya.
2) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana formil dan
tindak pidana materiil
1) Tindak pidana formil
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya
dititik beratkan pada perbuatan yang dilarang. Dengan kata lain
dapat dikatakan, bahwa tindak pidana formil adalah tindak pidana
yang telah dianggap terjadi/ selesai dengan telah dilakukannya
perbuatan yang dilarang dalam undang-undang, tanpa
mempersoalkan akibat. Tindak pidana yang diklasifikasikan
sebagai tindak pidana formil dapat disebut misalnya pencurian
sebagaimana diatur dalam pasal 362 KUHP, menghasutan
sebagaiman diatur dalam pasal 160 KUHP, dan sebagainya.
2) Tindak pidana materiil
Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang perumusannya
dititikberatkan pada akibat yang dilarang. Dengan kata lain, dapat
dikatakan, bahwa tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang
21
baru dianggap telah terjadi, atau dianggap telah selesai apabila
akibat yang dilarang itu btelah terjadi. Jadi, jenis tindak pidana ini
mempersyaratkan terjadinya akibat untuk selesainya. Apabila
belum terjadi akibat yang dilarang, maka belum bisa dikatakan
selesai tindak pidana ini, yang terjadi baru percobaannya. Sebagai
contoh dapat diswbut misalnya tindak pidana pembunuhan yang
diatur dalam pasal 338 KUHP, penipuan dalam pasal 378 KUHP
dan sebagainya.
3) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana/ delik
comissionis, delik omisonis dan delik comisionis peromissionis
comissa
1) Delik Comissionis
Delik comissionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap
larangan, yaitu berbuat sesuatu yang dilarang, misalnya melakukan
pencurian, penipuan, pembunuhan, dan sebagainya.
2) Delik Omissionis
Delik omissionis adalah delik yang merupakan pelanggaran
terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah
misalnya tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan
sebagaimana ditentukan dalam pasal 522 KUHP.
3) Delik Comissionis Per Omissionis Comissa
Delik comissionis per omissionis comissa adalah delik yang berupa
pelanggaran terhadap larangan, akan tetapi dilakukan dengan cara
tidak berbuat.
4) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana kesengajaan
dan tindak pidana kealpaan (delik dolus dan delik culpa)
1) Tindak pidana kesengajaan/ delik dolus adalah yang memuat unsur
kesengajaan. Misalnya tindak pidana pembunuhan dalam pasal 338
KUHP, tindak pidana pemalsuan mata uang sebagaimana diatur
dalam pasal 245 KUHP, dan sebagainya.
22
2) Tindak pidan kealpaan/ delik culpa adalah delik-delik yang
memuat unsur kealpaan. Mislanya: delik yang diatur dalam pasal
359 KUHP, yaitu karena kealpaannya mengakibatkan matinya
orang, delik yang diatur dalam pasal 360 KUHP, yaitu karena
kealpaannya mengakibatkan orang lain luka dan sebagainya.
5) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana/ delik tunggal
dan delik berganda
1) Delik tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan satu kali
perbuatan. Artinya, delik ini dianggap telah terjadi dengan hanya
dilakukan sekali perbuatan. Misalnya : pencurian, penipuan,
pembunuhan.
2) Delik berganda adalah delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi
apabila dilakukan beberapa kali perbuatan. Misalnya : untuk dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana/ delik dalam pasal 481
KUHP, maka penadahan itu harus terjadi dalam beberapa kali.
Apabila hanya terjadi sekali, maka masuk kualifikasi pasal 480
KUHP (penadahan-biasa).
6) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana yang
berlangsung terus dan tindak pidana tidak berlangsung terus
1) Tindak pidana yang berlangsung terus adalah tindak pidana yang
mempunyai ciri, bahwa keadaan/perbuatan yang terlarang itu
berlangsung terus. Dengan demikian, tindak pidananya
berlangsung terus menerus. Contoh tindak pidana ini misalnya
tindak pidana yang diatur dalam pasal 333 KUHP yaitu tindak
pidana merampas kemerdekaan orang lain. Dalam tindak pidana
ini, selama orang yang dirampas kemerdekaannya itu belum
dilepas (masih disekap di dalam kamar, mislanya), maka selama itu
pula tindak pidana itu masih berlangsung terus.
2) Tindak pidana yang tidak berlangsung terus adalah tindak pidana
yang mempunyai ciri, bahwa keadaan yang terlarang itu tidak
berlangsung terus. Jenis tindak pidana ini akan selesai dengan telah
23
dilakukannya perbuatan yang dilarang atau telah timbulnya akibat.
Contoh : tindak pidana pencurian, pembunuhan, penganiayaan dan
sebagainya.
7) Tindak pidna dapat dibedakan atas tindak pidana aduan dan
tindak pidana bukan aduan.
1) Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya
hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena
atau yang dirugikan. Dengan demikian, apabila tidak ada
pengaduan, terhadap tindak pidana itu tidak boleh dilakukan
panuntutan. Tindak pidana aduan dapat dibedakan dalam dua jenis,
yaitu:
a) Tindak pidana duan absolut
Tindak pidana aduan absolut, yaitu tindak pidana yang
mempersyaratkan secara absolut adanya pengaduan untuk
penuntutannya. Contohnya : tindak pidana perzinaan dalam
pasal 284 KUHP, tindak pencemaran nama baik dalam pasal
310 KUHP, dan sebagainya. Jenis tindak pidana ini menjadi
aduan, karena sifat dari tindak pidananya sendiri.
b) Tindak pidana aduan relatif
Pada prinsipnya jenis tindak pidana ini bukanlah merupakan
jenis tindak pidana aduan. Jaadi pasa dasarnya tindak pidana
aduan relatif merupakan tindak laporan (tindak pidana biasa)
yang karena dilakukan dalam lingkungan keluarga, kemudian
menajdi tindak pidana aduan. Contoh tindak pidana ini
misalnya tindak pidana pencurian dalam keluarga dalam pasal
367 KUHP, tindak pidana penggelapan dalam keluarga dalam
pasal 367 KUHP, dan sebagainya.
2) Tindak pidana bukan aduan, yaitu tindak pidana-tindak pidana
yang tidak memepersyaratkan adanya pengaduan untuk
penuntutannya. Misalnya: tindak pidana pembunuhan. Tindak
pidana penggelapan, dan sebagainya.
24
8) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana biasa (dalam
bentuk pokok) dan tindak pidana yang dikualifikasi.
1) Tindak pidana dalam bentuk pokok adalah bentuk tindk pidana
yang paling sederhana, tanpa adanya unsur yang bersifat
memberatkan.
2) Tindak pidana yang dikualfikasi yaitu tindak pidana dalam bentuk
pokok yang ditambah dengan adanya unsur pemberat, sehingga
ancaman pidananya menajdi lebih berat.
3. Unsur-unsur tindak pidana
Asas-asas dalam hukum pidana merupakan sisi lain daripada
pembentukan undang-undang. Sekalipun perkembangan mutakhir dalam
hukum pidana menunjukkan bahwa asas hukum tersebut tidak lagi
diterapkan secara kaku tetapi asas hukum tersebut sampai sekarang telah
dipertahankan sebagai asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana
sekalipun dengan berbagai modifikasi dan perkembangan. Dengan
demikian, seseorang hanya dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana
apabila orang tersebut melakukan perbuatan yang telah dirumuskan dalam
ketentuan undang-undang sebagai tindak pidana.
Simons berpendapat, untuk adanya suatu tindak pidana harus
dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:16
a. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun
perbuatan negatif (tidak berbuat);
b. Diancam dengan pidana;
c. Melawan hukum;
d. Dilakukan dengan kesalahan;
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab;
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Moeljatno pengertian
16
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana (Yogyakarta: PuKAP-Indonesia, 2012), hal.39.
25
tindak pidana sebenarnya terdapat tiga unsur-unsur sebagai berikut:17
a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang
dan diancam pidana.
b. Lerangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman
pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh
karena antara kejadian dan orag yang menimbulkan kejadian itu ada
hubungan erat pula. Kejadian tidak dapat dilarang jika yang
menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika
tidak karena kejadian yang ditimnulka olehnya.
Moeljatno juga menegaskan tentang unsur-unsur pidana yaitu:18
a. Kelakuan dan akibat;
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
d. Unsur melawan hukum yang objektif;
e. Unsur melawan hukum yang subjektif;
Dengan adanya asas-asas di dalam hukum pidana, unsur tindak
pidana dapat dan mudah dipahami oleh masyarakat, sebagaimana hukum
pidana bersifat imperatif (perintah) yang bertujuan untuk mencegah
kejahatan serta mewujudkan ketertuban umum. Sehingga apabila ada yang
melakukan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana.
Selain itu juga mengenai persoalan kemampuan bertanggung
jawab ini pembentuk KUHP berpendirian, bahwa setiap orang dianggap
mampu bertanggung jawan. Konsekuensi dari pendiri itu bahwa masalah
kemampuan bertanggung jawab itu tidak perlu dibuktikan adanya di
17
Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1985),
hal.34. 18
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hal. 104.
26
pengadilan kecuali apabila terdapat keragu-raguan terhadap unsur
tersebut.19
Berbagai pendapat yang dikemukakan tentang tindak pidana,
bahwa perbuatan tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk,
yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan (misdrijven) menunjuk pada
suatu perbuatan yang menurut nilai-nilai kemasyarakatan dianggap sebagai
perbuatan tercela, meskipun tidak diatur dalam ketentuan undang-undang.
Oleh karena itu, disebut dengan rechtedelicten. Sementara pelanggaran
menunjuk pada perbuatan yang dianggap oleh masyarakat bukan sebagai
perbuatan yang tidak tercela
B. Tindak pidana dalam hukum Islam
1. Pengertian tindak pidana dalam Hukum Islam
Dalam konteks hukum (pidana) Islam istilah tindak pidana sering
juga disebut dengan istilah jarimah. Menurut hukum (pidana) Islam tindak
pidana (jarimah) adalah pebuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara‟
yang pelakunya diancam dengan pidana huud atau ta‟zir. Untuk
memberikan gambaran yang lebih utuh tentang apa yang dimaksud tindak
pidana dalam konteks hukum pidana Islam, berikut ini disajukan dasar
filosofi atau „illat hukum yang melatarbelakangi ditetapkannya suatu
perbuatan sebagai tindak pidana (jarimah).
Menurut para ahli filsafat hukum Islam, setidaknya ada 5 (lima)
kepentingan pokok yang menjadi pusat perhatian dan titik tolak setiap
pengaturan hukum. Artinya, hukum Islam menegnai apapun yang telah
ditetapkan dalam nash Al-Qur‟an, al hadist, al qonun (perundang-
undangan) maupun yang masih akan ditetapkan sebagai respon yuridis
terhadap problem-problem baru yang muncul, harus bersifat mendukung
terhadap terwujudnya lima kepentingan tersebut.
Kelima kepentingan pokok tersebut adalah :
19
Tongat, Hukum Pidana Materiil, (Malang: UMM Press, 2006), hal,. 5.
27
a. Terpeliharanya masalah eksistensi agama
b. Terjaminnya hak hidup (jiwa) manusia
c. Terjaganya masalah hak milik (harta)
d. Terjaganya kesucian akal
e. Terjaganya kesucian keturunan dan harga diri (martabat) manusia.
Melihat kelima kepentingan pokok yang menjadi titik tolak
pengaturan hukum-hukum Islam di atas tersimpul, bahwa maksud
disyari‟atkannya hukum Islam adalah demi terwujudnya kemaslahatan
atau kebaikan dalam hidup manusia dan sekaligus untuk mencegah
timbulnya mafsadah atau kerusakan dalam hidup manusia itu sendiri.
Dengan demikian secara argumentatif a contrario dapat disimpulkan,
bahwa perbuatan apapun yang dapat menghambat/ mencegah terwujudnya
maksud di-syariat-kannya hukum Islam tersebut harus dilihat atau
dinyatakan sebagai tindak pidana (jarimah), dalam arti sebagai perbuatan
yang tercela/terlarang.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa jarimah yang oleh
sebagianpakar dianggap sama dengan jinayah adalah segala perbuatan,
baik berupa melakukan sesuatu maupun tidak, di mana hal itu dilarang
oleh Allah dan diancam dengan hukuman had (hudud) atau takzirr.
Walaupun dalam hal ini tidak disebutkan diancam hukuman qisas, tetapi
menurut pendapat penulis, telah termasuk ke dalam kata had (hudud).
Kalau qisas tidak termasuk ke dalam definisi di atas, berarti qisas berada di
luar konsep jarimah, sementara penganiayaan dan pembunuhan merupakan
sesuatu yang dularang (al-mahdzurat atau fi‟l mahzhur).
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, bisa disimpulkan
bahwa hukum pidana Islam atau fiqh jinayah adalah ilmu tentang hukum-
hukum syariah yang digali berkaitan dengan keamanan jiwa (nyawa) dan
anggota tubuh, baik menyangkut lima aspek (agama, nyawa, akal,
kehormatan (nasab), dan harta) maupun tidak.
28
2. Jenis-jenis tindak pidana Islam
Untuk mengetahui penggolongan tindak pidana dalam konteks hukum
pidana Islam, berikut ini akan dikemukakan kembali apa yang dimaksud
tindak pidana menurut hukum pidana Islam, tindak pidana (jarimah)
diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara‟ yang
pelakunya diancam dengan pidana hadd dan ta‟ziir. Berdasarkan batasan
tersebut maka tersimpul, bahwa secara umum dalam konteks hukum
pidana Islam tindak pidana (jarimah) dapat dibedakan menjadi 2 jenis,
yaitu tindak pidana yang diancam dengan pidana hadd (bentuk jama‟ dari
kata hadd adalah hudud) dan tindak pidana yang diancam dengan pidana
ta‟ziir. Tindak pidana yang diancam dengan pidana hudud disebut tidnak
pidana (jarimah) hudud fan tindak pidana yang diancam dengan pidana
ta‟ziir disebut tindak pidana (jarimah) ta‟ziir. Dengan demikian
pembagian/pembedaan tindak pidana dalam konteks hukum pidana Islam
didasarkan pada jenis sanksi yang diancamkan, yang terbagi menajdi 2
yaitu:
a. Tindak pidana (Jarimah) hudud
Tiddak pidana hudud adalah tindak piadana yang diancam dengan
pidana hudud. Adapun pidana hudud adala pidana yang telah
ditentukan secara jelas dan tegas di dalam nas/hukum (baik berupa Al
Qur‟an maupun As Sunnah) menegnai jenisnya, berat ringannya
maupun cara pelaksanaannya. Dengan demikian, pidana hudud ini
telah ditentukan secara limitatif di dalam nash baik Al Qur‟an maupun
As Sunnah. Jenis pidana ini merupakan hak mutlak dari Allah dan
Rasulullah SAW, sehinggan ketentuan pidana hudud tidak bida
dihapuskan ataupun sekedar dirubah baik oleh perseorangan (yang
menajdi korban jarimah) maupun oleh masyarakat yang
implementasinya diwakili oleh negara melalui institusi peradilan. Oleh
karena sifatnya yang sangat limitatif (rigid) itulah, maka dapat
dipahami apabila ruang lingkup perbuatan yang dikualifikasi sebagai
tindak pidana hudud -diaman pelakunya dapat dikenai sanksi pidana
29
hudud-dangatlah terbatas. Beberapa perbuatan yang dikualifikasi
sebagai tidnak pidana hudud adalah:
1) Zina;
2) Qodzaf (menuduh orang lain telah berbuat sina tanpa disertai
bukti);
3) Sirqoh (pencurian);
4) Khirobah (perampokan);
5) Syurbah (minum-minuman keras);
6) Riddah (keluar dari agama Islam);
7) Albaghyu (pemberontakan);
Patut dicatat, bahwa dari ketujuh macam perbuatan yang
merupakan jarimah hudud di atas, hanya empat saja yang merupakan
ittifaaqul fuqoha‟ (disepakati seluruh ahli hukum pidana Islam sebagai
jarimah hudud), yaitu zina, qodzaf, sirqoh, dan khirobah. Sementara
tiga lainnya yaitu syurbah, riddah, dan albaghyu masih bersifat
khilaafiah (ada pandangan berbeda-beda di anatar fuqoha).
b. Tindak Pidana (Jarimah) Ta’ziir
Tindak pidnaa ta‟ziir adalah tindak pidana yang diancam pidana
ta‟ziir. Pidana ta‟ziir adalah pidana yang tidak ditentukan secara jelas dan
tegas dalam nash (baik Al Qur‟a maupun As Sunnah). Penetapan pidana
ini baik mengenai jenisnya, berat ringannya maupun cara pelaksanaannya
menjadi kewenanagan manusia melalui keputusan penguasa berbentuk
peraturan perundang-undnagan, dengan syarat penetapan undang-undang
tersebut harus sesuai dengan kepentingan masyarakat dan tidak boleh
berlawanan dengan nash-nash syara‟ serta prinsip-prinsipnya yang
bersifat umum. Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan tindak
pidana ta‟ziir pada hakikatnya mencakup segala macam petbuatan
mudlarat yang tidak disebutkan dalam Al Qur‟an dan As Sunnah. Oleh
karena itumenurut Marsum, wujud atau bentuk konkret dari tindak
pidana ta‟ziir dapat berupa “seribu satu” macam perbuatan manusia yang
akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat
30
manusia, sepanjang dalam perbuatan tersebut mengandung unsur
madlarat baik terhadap diri pelaku jarimah maupun terlebih lagi terhadap
orang lain dan secara kategoris tidak termsuk kelompok perbuatan yang
merupakan jarimah hudud.
Dengan melihat paparan tersebut di atas tersimpul, bahwa secara
umum dalam konteks hukum pidana Islam, tindak pidana (jarimah)
dibedakan menjadi 2 (dua) macam. Namun demikian, oleh karen terdapat
juga pandangan yang membedakan jarimah menajadi 3 (tiga) macam
yaitu jarimah hudud, jarimah qishosh, dan jarimah ta‟ziir, maka berikut
ini akan dikupas sedikit tentang persoalan tersebut. Dalam tulisan ini
diikuti pandangan, oleh karena sanksi pidana qishosh maupun diyat
(pengganti pidana qishosh) yang diancamkanterhadap tindak pidana
Qishosh, telah ditentukan batas-batasnya dalam nash Al Qur‟an maupun
Al Hadits, maka dapat dikatakan, bahwa tindak pidana qishosh
sesungguhnya termasuk dalam kualifikasi sebagai tindak pidana hudud,
karena sanksi pidanaya telah di-hadd (ditentukan) secara jelas dan tegas
dalam nash/hukum Al Qur‟an maupun Al Hadits.
Namun demikian, patut menjadi catatan juga, bahwa oleh karena
konsep qishosh dalam hukum Islam ini terdapat suatu “keunikan”
tertentu, maka terdapat juga pandangan yang tetap
mengkualifikasikannya sebagai tindak pidana tersendiri di luar tindak
pidana hudud dan ta‟ziir. Adapun yang dimaksud dengan “keunikan”
tertentu di atas adalah, bahwa dalam qishosh, penegakan hukumnya
sangat tergantung kepada sikap akhir yang ditunjukkan oleh korban
tindak pidana qishosh (dalam hal tindak pidana qishosh berupa
penganiayaan) atau oleh keluarga korban 9dalam hal tindak pidana
qishosh berupa pembunuhan). Dengan demikian, konteks ini apakah
korban atau keluarga korban akan menuntut pidana qishosh kepada
pelaku ataukah memaafkannya secara mutlak (tanpa tuntutan ganti rugi),
dalam hal ini terpulang kepada korban atau keluarga korban sendiri.
Konsepsi ini didasarkan pada ajaran Q.S. Al Baqarah ayat 178 yang
31
berbunyi: “fa man „uhiya lahuu bi ihsaan.” Artinya, maka barangsiapa
yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang
memaafkan itu mengikuti (melakukannya) dengan cara yang baik, dan
hendaklah yang di beri maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik pula.
C. Tindak Pidana Pencurian Perspektif Hukum Pidana Positif
1. Pencurian Menurut Hukum Positif
Menurut bahasa, pencurian berarti mengambil sesuatu yang bersifat harta
atau lainnya secara sembunyi-sembunyi dan dengan suatu taktik. Sedangkan
menurut istilah atau syara‟, pencurian adalah seseorang yang sadar dan sudah
dewasa mengambil harta orang lain dalam jumlah tertentu secara sembunyi-
sembunyi dari tempat penyimpanannya yang sudah maklum (biasa) dengan
cara yang tidak dibenarkan oleh hukum dan tidak karena syubhat.20
Secara sembunyi-sembunyi tanpa seizin dari pemiliknya dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum dan perbuatan tersebut dilarang oleh
Undang-undang serta diancam dengan ketentuan pidana.
Seperti halnya dengan hukum pidana positif, dalam hukum pidana Islam
juga dikenal dengan istilah pencurian yang biasa disebut sebagai jarimah
sariqah.Dalam hukum pidana Islam jarimah syariqah mempunyai dua definisi,
antara lain :
a. Pencurian menurut bahasa adalah mengambil sesuatu barang atau lainnya
dengan sembunyi-sembunyi.
b. Pencurian menurut istilah adalah seseorang yang mangambil barang
(harta) orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya
dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum dan tidak karena
subhat.Sariqah merupakan terjemahan dari bahasa Arab yang berarti
pencurian, yang menurut etimologi berarti melakukan sesuatu tindakan
terhadap orang lain secara tersembunyi.
20
Ali as-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam as-Shabuni Jilid I Terjemahan Muammal Hamidi
dan Imran A.Manan, (Dar al-Ilmiyah, 1995), hlm. 499.
32
Kata sariqah menurut bahasa berarti mengambil sesuatu atau lainnya
yang bersifat benda secara sembunyi-sembunyi tanpa izin pemiliknya. Imam
Ibn Rusydi merumuskan pencurian dengan mengambil harta orang lain secara
sembunyi-sembunyi tanpa dipercayakan kepadanya. Syarbin Khotib
memberikan rumusan mengambil harta sembunyi-sembunyi secara kejahatan,
kadar seperempat dinar, yang dilakukan oleh seorang mukallaf dari tempat
simpanan.21
Menurut Mahmud Syaltut pencurian adalah mengambil harta orang lain
dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai
menjaga berang tersebut. Menurut beliau definisi tersebut menjelaskan perbedaan
pencurian dengan penggelapan. Penggelapan dilakukan oleh orang yang
dipercayai menjaganya sedangkan pencurian dilakukan oleh orang yang tidak
dipercaya untuk menjaganya.22
Dari semua definisi mengenai pengertian pencurian tersebut diatas semuanya
hampir mempunyai kesamaan pandangan mengenai pencurian. Tidak ada
pertentangan mengenai definisi pencurian dikalangan fuqaha
2. Pencurian Menurut Hukum Pidana Islam
Bentuk pencurian menurut hukum pidana Islam berdasarkan ancaman
hukumannya dan berdasarkan kadar nilai barang yang diambil terdiri dari :
a. Pencurian yang harus dikenai sanksi.
Pencurian yang harus dikenai sanksi adalah pencurian yang dilakukan oleh
seseorang akan syarat-syarat penjatuhan hukuman had tidak lengkap. Jadi
Karena syarat-syarat penjatuhkan hukuman tidak lengkap, maka pencurian ini
tidak dikenakan hukuman had tetapi dikenai sanksi.23
Rasulullah SAW telah memberikan putusan dengan melipat gandakan
tanggungan atas orang yang mencuri barang, dimana pencuri tidak dikenai
hukuman potong tangan. Pencurian pada buah-buahan yang masih tergantung
21
Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta : UII Press Yogyakarta, 1991),
h., 94 22
Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), h., 95 23
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 9, Terj. Mohammad Nabhan Husein, (Bandung
:Maarif, 1984), h., 214.
33
pada pohonnya dengan tidak membawa pulang buah-buahan tetapi
memakannya ditempat.24
b. Pencurian yang harus dikenai had
Pencurian yang dapat dikenai had adalah pencurian yang dilakukan dengan
semua syarat-syarat penjatuhan hukuman had telah terpenuhi. Ancaman
hukuman pada pencurian ini adalah hukuman potong tangan. Bentuk
pencurian ini masih dibagi lagi menjadi dua macam bentuk yaitu:
1. Pencurian kecil (sariqah al-sugra)Pencurian kecil (sariqah al-sugra) adalah
pencurian biasa yang hanya wajib dikenakan hukuman had potong tangan.
Dalam hukum pidana Islam sariqah al-sugra biasa dikenal dengan sariqah
saja dan seperti diketahui bahwa ancaman hukumannya adalah had potong
tangan. Pencurian ini dilakukan dengan tanpa adanya beberapa keadaan
yang mengakibatkan pencurian ini berubah menjadi besar.
2. Pencurian besar (sariqah al-Kubra)Pencurian kubra yaitu mengambil harta
orang lain dengan jalan paksaan (mengalahkan) dan pencurian besar ini
dinamakan juga hirabah (perampokan).24Hukuman had dapat gugur
apabila dari para pelaku kejahatan, baik itu kejahatan pencurian (Sughra
dan kubra), maupun kejahatan yang lain, jika mereka bertaubat sebelum
mereka dapat ditangkap. Karena Allah SWT berfirman dalam Surat Al-
Baqarah ayat 160 :
نوا فأولئك أتوب عليهم اب الراحيم إلا الاذين تابوا وأصلحوا وب ي ا وا وأنا الت ا
“kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan
menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima
taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha
Penyayang.”
Selain bertaubat, perbaikan tingkah laku mereka juga turut
menentukan apakah had menjadi gugur atau tidak. Firman Allah SWT :
نا نا فمن تاب من ب عدظلمه وأصلح ف إ ا غفوررحيم ي ت وب عليه إ ا
24 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Mohammad Nabhan Husein, Bandung, h., 215.
34
“Barang siapa yang bertaubat sesudah aniaya dan memperbaiki
(amalannya), maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penyayang”.
D. Anak berhadapan dengan hukum
1. Pengertian anak
a. Pengertian anak secara sosiologis
Menurut pengetahuan umum, yang dimaksud dengan anak
adalah seseorang yang lahir dari hubungan pria dan wanita. Sedangkan
yang diartikan dengan anak-anak atau juvenale, adalah seorang yang
masih dibawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin.
Pengertian dimaksud merypakan pengertian yang sering kali dijadikan
pedoman dalam mengkaji berbagai persoalan tentang anak.
Dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, yang dijadikan kriteria
untuk menentukan pengertian anak pada umumnya didasarkan kepada
batas usia tertentu. Namun demikian, karena setiap bidang ilmu dan
lingkungan masyarakat mempunyai ketentuan tersendiri sesuai dengan
kepentingannya masing-masing, maka sampai saat ini belum ada suatu
kesepakatan dalam menentukan batas usia seseorang dikategorikan
sebagai seorang anak. Atas dasar kenyataan itu, untuk memperoleh
rumusan yang jelas tentang penegrtian anak, pembahasan akan dikaji
dari berbagai aspek sosiologis, psikologis, maupun aspek yuridis.
Dikemukakan oleh Ter Haar bahwa saat seseorang menjadi
dewasa ialah saat ia (laki-laki atau perempuan) sebagai orang yang
sudah berkawin, meninggalkan rumah ibu bapaknya atau ibu bapak
mertuanya untuk baerumah lain sebagai laki-bini muda yanag
merupakan kelurga yang berdiri sendiri.25
Soepomo mengemukakan, bahwa tidak ada batas umur yang
25
Teer Haar dalam Syafiyudin Sastrawujaya, Beberapa Masalah Tentang Kenakalan
Remaja, PT. Karya Nusantara, Bandung, 1997. h.,18.
35
pasti bilamana anak menjadi dewasa; hal itu hanya dapat dilihat dari
ciri-ciri yng nyata. Anak yang belum dewasa, di Jawa Barat disebut
belum cukup umur, belum balig, belum kuat, yaitu anak yang karena
usianya masih muda, masih belum dapat mengurus diri sendiri; yang
sungguh masih kanak-kanak. Kami tidak menemukan petunjuk bahwa
hukum adat Jawa Barat mengenal batas umur yang pasti, bila mana
seorang dianggap telah dewasa sejak kuat gawe (dapat bekerja); sejak
ia mamapu mengurus diri sendiri dan melindungi kepentingannya
sendiri. Hanya dari ciri-ciri yang nyata dapat dilihat apakah seseorang
sudah dapat bekerja atau belum; apakah ia sudah dapat bekerja atau
belum; apakah ia sudah atau belum dapat berdiri sendiri dan ikut serta
dalam kehidupan hukum dan sosial di desa, daerah atau
lingkungannya.26
b. Pengertian anak secara psikologis
Ditinjau dari aspek Psikologis, pertumbuhan manusia
mengalami fase-fase perkembangan kejiwaan yang masing-masing
ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Untuk menentukan kriteria seorang
anak, disamping ditentuian atas batas usia, juga dapat dilihat dari
pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang dialaminya. Dalam fase-
fase perkembangan ayang dialami seorang anak, Zakiah Daradjat27
menguraikan bahwa:
1) Masa kanak-kanak terbagi dalam:
a) Masa bayi, yaitu masa seorang anak dilahirkan sampai umur 2
tahun.
(a) Pada masa tersebut seseorang anak amsih lemah belum
mampu menolong dirinya, sehingga sangat tergantung kepada
pemeliharaan ibu atau ibu pengganti. Pada masa ini terhadap
anak terjadi beberapa peristiwa penting yang mempunyai
26
Ibid. h., 19 27
Zakiah Daradjat, Remaja Harapan dan Tantangan. Ruhama, Jakarta, 1994. h., 11
36
pengaruh kejiwaan seperti, disapih, tumbuh gigi, mulai
berjalan dan berbicara.
(b) Menurut Soesilowindradini, karena bayi masih membutuhkan
bantuan dan tergantung kepada orang dewasa,Maka ia masih
muda diatur.Hal tersebut menyebabnyakan orang dewasa dan
anak yang lebih besar dari padanya akan senang kepadanya
b) Masa Kanak-Kanak pertama, yaitu antara usia 2-5 tahun.
Pada masa ini anak-anak sangat gesit bermain dan
mencoba. Mulai berhubungan dengan orang-orang dengan
lingkunganya serta mulai terbentuknya pemikiran tentang
dirinya. Pada masa ini anak-anak sangat suka meniru dan
emosinya sangat tajam. Oleh karena itu diperlukan suasana yang
tenang dan memperlakukanya dengan kasih sayang serta stabil.
c) Masa Kanak-Kanak, yaitu antara usia 5-12 tahun.
Anak pada fase ini berangsur-angsur pindah dari tahap
mencari kepada tahap kepada tahap memantapkan. Pada tahap
ini terjadi pertumbuhan kecerdasan yang cepat, suka bekerja,
lebih suka bermain bersama,serta berkumpul tanpa aturan
sehingga bisa disebut dengan gang age. Pada tahapan ini disebut
juga masa anak sekolah dasar atau periode intelektual.
d) Masa remaja antara usia 13-20 tahun.
Masa remaja adalah masa dimana perubahan cepat
terjadi dalam segala bidang pada tubuh dari luar dan dalam,
perubahan perasaan, kecerdasan, sikap sosial. Pada masa
tersebut merupakan masa goncangan karena banyak perubahan
yang terjadi dan tidak stabilnya emosi yang sering kali
menyebabkan timbulnya sikap dan tindakan yang oleh orang
dinilai sebagai perbuatan nakal.
Sama halnya dengan apa yang dikemukakan Zakia
Drajat, Soesilowindradini yang membagi masa remaja kedalam
masa remaja awal dan masa remaja akhir. Pada masa yang
37
pertama adalah masa seorang anak menginjak usia 13 sampai 17
tahun. Dalam masa periode ini status anak remaja dalam
masyarakat boleh dikatakan tidak dapat ditentukan dan
membingungkan. Bahkan pada suatu waktu dia diperlakukan
sebagaimana layaknya anak-anak.
Sedangkan pada masa yang disebut terakhir adalah masa
antara usia 17 sampai 21 tahun. Pada masa seorang anak telah
menunjukan kestabilan yang bertambah bila dibandingkan
dengan masa remaja sebelumnya.
e) Masa dewasa muda antara usia 21-25 tahun.
Pada masa dewasa muda ini pada umumnya masih dapat
dikelompokan kepada generasi muda. Walaupun dari segi
perkembangan jasmaniah dan kecerdasan telah betul-betul
dewasa, dan emosi juga sudah stabil, namun dari segi
kemantapan agama dan ideology masih dalam proses
pemantapan.
c. Pengaturan anak dalam hukum positif
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
Pasal 330 ayat (1) memuat batas antara belum dewasa
(minderjarigheid) dengan telah dewasa (menderjarighheid) yaitu
21 tahun dan pendewasaan (venia aetetis, Pasal 419 KUHPer)
Pasal ini senada dengan pasal 1 Angka 2 UU No. 4 Tahun
1979 tentang kesejahteraan Anak
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
KUHP tidak merumuskan secara eksplisit tentang
pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45
dan pasal 72 yang memakai batasan usia 16 tahun,
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-undang ini tidak secara eksplisit menagtur tentang
38
batas usia penegrtian anak, namun dalam Pasal 153 ayat (5)
memeberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang
belum mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang.
4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) UU
Nomor 1 Tahun 1974, maka batsan untuk disebut anak adalah
belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan pernikahan.
5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak.
Menurut ketentuan Pasala 1 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun
1979, maka anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 (dua
puluh satu) tahuh dan belum pernah kawin.
6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga
Kemasyarakatan
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 huruf a, b dan c UU
12/1995 bahwa abak didik pemasyarakatan baik Anak Pidana,
Anak Negara dan Anak Sipil untuk dapat dididik di Lembaga
Pemasyarakatan Anak adalah paling tinggi sampai berumur 18
(delapan belas) tahun
7) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Dalam Pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah setiap
manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut demi kepentingan.
8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
Dalam Pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
39
9) Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha
Kesejahteraan Anak bagi Anak yang Mmempunyai Masalah
Menurut ketentuan ini, anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
10) Hukum adat dan Yurispudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia
Dalam hukum adat Indonesia, batasan umur untuk disebut
anak bersifat pluralistik. Dalam artian kriteria untuk menyebut
bahwa seseorang tidak lagi disebuat anak dan telah dewasa
beraneka ragam istilahnya. Misalnya: telah “kuat gawe”, “aqil
Baliq” “menek bajang”, dan lain sebagainya.
Sedangkan menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung yang
berorientasi pada hukum adat di Bali menyebutkan batasan umur
anak adalah di bawah 15 (lima belas) tahun seperti Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor: 53 K/Sip/1952 tanggal 1 Juni 1955
dalam perkara antara 1 Wayan Ruma melawan Ni Ktut Kartini.
Kemudian di wilayah Jakarta adalah 20 (dua puluh) tahun seperti
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 601 K/Sip/1976 tanggal 2
November 1976 dalam perkara antara Moch. Eddy Ichsan dan
kawan-kawan melawan FPM Penggabean dan Edward Penggabean.
Pengertian anak dalam kaitan dengan perilaku anak nakal
(juvenile delinquency), biasanya dillakukan dengan mendasarkan
pada tingkatan usia, dalam arti tingkat usia berapakah seseorang
dikategorikan sebagai anak. Selain itu adapula yang melakukan
pendekatan psikososial dalam usahanya merumuskan tentang anak.
Pada hakikatnya, batasan anak dalam kaitan hukum pidana
yang berarti melingkupi pengertian anak nakal menurut Maulana
Hasan Wadong (2000)28
meliputi dimensi pengertian sebagai
berikut:
28
Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,
(Jakarta: PT Grasido, 2000), h., 22.
40
1. Ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana;
2. Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubtitusikan hak-
hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata
negara, dengan maksud untuk mensejahterakan anak;
3. Rehabilitas, yaitu anak berhak untuk mendapatkan perbaikan
mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang
dilakukan anak itu sendiri;
4. Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan;
5. Hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.
40
BAB III
KENAKALAN ANAK DAN KETENTUAN BAGI ANAK YANG
MELAKUKAN TINDAK PIDANA
A. Pengertian Kenakalan Anak/Juvenale Delinquency
Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, bahwa
dipandang dari segi perbuatan sesungguhnya tidak ada perbedaan antara tindak
pidana yang dilakukan anak dengan tindak pidana yang dilakukan orang
dewasa. Yang dapat membedakan di antara keduanya terletak pada pelakunya
itu sendiri. Perbedaan tersebut menyangkut kepada persoalan motivasi atas
tindak pidana yang dilakukannya.
Karena pada umumnya tindak pidana yang dilakukan anak bukan
didasarkan keoada motif yang jahat (evil will/evil mind), maka anak yang
melakukan penyimpangan dari norma-norma soaial, terhadap mereka para ahli
kemasyarakat lebih setuju untuk memberikan pengertian sebagai “anak nakal”
atau dengan istilah “juvennale delinquency”. Dengam istilah tersebut
terhadapnya dapat terhindar dari golongan yang dikategorikan sebagai penjahat
(criminal).
Kejahatan itu sendiri dilihat dari konsep yuridis, berarti tingkah laku
manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana. Namun, kejahatan
juga bukan hanya suatu gejala hukum. Para ahli krminologi berpendapat bahwa
walaupun terdapat klasifikasi kejahatan,namun klasifikasi tersebut
sesungguhnya menimbulkan ketidakadilan terhadap mereka yang dianggap
bersalah melakukan kejahatan dan melemahkan stigma atas kejahatan serius,
sehingga membawa kepada usaha-usaha untuk menyusun klasifikasi baru
tentang pelanggaran terhadap hukum pidana. Mereka berpendapat bahwa bagi
kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja, dipergunakan istilah
“Delinquency”. Istilah ini mencerminkan perasaan keadilan masyarakat bahwa
perlu ada petbuatan pertimbangan bagi pelanggaran yang dilakukan anak-anak
atau remaja dibandingkan yang dilakukan oleh orang dewasa.29
29
Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi, Rajawali, Jakarta. 1984. h., 31-33.
41
Di negara-negara yang telah memiliki dan menerapkan hukum pidana
secara khusus untuk anak, penggunaan istilah khusus bagi pelaku anak siakui
sebagai dasar psikologis. Bahwa anak yang melakukan pelanggaran bukan
merupakan orang-orang jahat, melainkan anak-anak nakal saja (juvenile
Delinquency). Dasar ini merupakan hasil riset puluhan tahun dari ilmu
psikologi.30
Secara etimologis, istilah juvenile Delinquency berasal dari bahasa latin
juvenils yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda,
sifat-sifat khas pada periode remaja; dan delinquere yang berarti terabaikan,
mengabaikan. Kemudain diperluas artinya menjadi jahat, sosail, kriminal,
pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacu, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi,
durjana, dursila, dan lain-lain. Dengan demikian, juvenile Delinquency adalah
perilaku jahat/dursila atau kejahtan/kenakalan anak-anak muda‟ merupakan
gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh suatu bentuk pengabdian sosial, sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.31
Thing Tjip Nio, seorang mantan hakum khusus pada Penagdilan Negeri
Istimewa Jakarta untuk perkara pidana, menyatakan bahwa:
Apakah artinya “A Juvenile Delinquency” kita tidak mempunyai suatu
definisi yang tetap, definisi itu tergantung dari sudut mana kita memandang
problem ini. Seorang sosiolog akan memberikan definisi yang berkaitan
dengan seorang sarjana hukum, begitu juga undang-undang di berbagai negara
mempunyai ketentuan yang berlainan, apakah yang disebut suatu juvenile
delinquen.32
Menurut simanjuntak,33
suatu perbuatan itu disebut delinquen apabila
perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada
dalam masyarakat di amna ia hidup, suatu perbuatan yang anti-sosial yang di
dalamnya terkandung unsur-unsur antinormatif. Dalam uraian lain dijelaskan
30 D. Y. Atta, Pokok-Pokok Pelaksanaan Sidang Perkara Anak Di Pengadilan Negeri
Dalam Daerah Hukum Pengadilan Tinggi Jakarta, Bina Cipta, Jakarta, 1979., h., 43. 31
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Rajawali, Jakarta, 1992., h., 7. 32
Laporan Hasil Survei Fakultas Hukum UNPAD tentang Peradilan Anak. 33
Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Sosiologi, Tarsito, Bandung, 1977., h., 295
42
bahwa juvenile Delinquency adalah perbuatan dan tingkah laku perkosaan
terhadap norma hukum pidana dan pelanggaran-pelanggaran kesusilaan yang
dilakukan oleh anak berumur di bawah 21 tahun, yang termasuk dlama
yuridiksi pengadilan anak.34
Menurut Paul Meodikdo, semua perbuatan dari orang dewasa
merupakan kejahtan, bagi anak-anak merupakan delinquency, jadi semua
tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti: pencurian, penganiayaan,
dan sebagainya.35
Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan
Bimo Walgito36
, bahwa Juvenila Delinquency adalah tiap perbuatan yang bila
dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan. Jadi,
perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh anak, khususnya anak
remaja.
Kusumanto Setyonegoro, berpendapat Deliquent adalah tingkah laku
individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang
dianggap sebagai aksetabel dan baik oleh sesuatu lingkungan masyarakat atau
hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan tertentu. Apabila
individu itu masih anak-anak maka sering tingkah laku yang serupa itu disebut
dengan istilah tingkah laku yang sukar atau nakal (behavior problem). Jika ia
berusia adolesant atau preadolesant, maka tingkah laku itu sekarang disebut
kriminal (criminal behavior).
Walaupun banyak definisi yang dikemukakan, istilah juvenile
delinquency belum terdapat keseragaman dalam bahasa Indonesia. Beberapa
istilah yang dikenal antara lain adalah kenakalan anak, kenakalan remaja,
kenakalan pemuda, delikuensi anak, dan tuna sosial. Kesulitan untuk
memberikan istilah Juvenile Delinquency dihadapi juga di beberapa negara
Asia dan Timur Jauh. Dalam penelitian perbandingan hukum tentang juvenile
delinquency yang dibatasi terhadap tujuh negara-negara di Asia dan Timur
Jauh, yaitu Burma, Ceylon, India, Jepang, Pakistan, Piliphina, dan Thailand.
34
B. Simanjuntak. Latar Belakang Kenakalan Remaja, Alumni, Bandung, 1984., h., 47 35
B. Simanjuntak. Ibid., h., 50 36
Bimo Walgito, Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency), Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi UGM, Jogyakarta, 1982., h., 2.
43
Dalam peraturan perundang-undangan negara-negara tersebut tidak diberikan
definisi apa yang di maksud dengan istilah Juveline Delinquency, namun
berdasarkan kebiasaan diartikan bukan sebagai orang dewasa. Umur dari
juveline delinquency serta sifat dari pelanggaran yang dilakukan oleh karena
bergabagai pertimbangan penting diakui sebagai definisi dari Juveline
Delinquency.37
Di beberapa negara Asia Timur Jauh dalam mengartikan Juvenile
delinquency menitikberatkan kepada anak umur dan sifat dari perbuatan yang
dilakukannya. Dengan demikian, pengertian juvenile delinquency terbatas pada
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh mereka yang tergolong kepada
kelompok kepada young person.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang NO. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, memakai istilah anak nakal. Anak nakal yaitu:
1) Anak yang melakukan tindak pidana, atau
2) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan, maupun menurut peraturan hukum
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Berpijak pada apa yang telah diuraika di atas, sebagai pegangan dalam
kajian ini, istilah perilaku delinkuensi anak dapat dikonsepsikan dengan
sebagai seseorang yang memiliki batas usia antara 8-18 tahun yang melakukan
tindak pidana atau perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang
hidup dan berlaku salam masyarakat.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang diuraikan tentang perilaku
delinkuensi anak sebagai perwujudan criminal offences dan status offences.
Criminal Offences, diartikan sebagai perilaku delinkuensi anak yang
merupakan tindak pidana apabila dilakukan oleh orang dewasa. Adapun Status
Offences, adalah perilaku delinkuensi anak yang erat kaitannya dengan status
sebagai anak, perilaku-perilaku tersebut pada umumnya tidak dikategorikan
37
United Nation, Comparative On Juveline Delinquency. Part IV, Asia and The Far East,
1953
44
sebagai suatu tindak pidana bila dilakukan oleh orang dewasa. Sebagai contoh,
pergi meninggalkan rumah tanpa ijin orang tua, membolos sekolah, melawan
terhadap orang tua, mengkonsumsi minuman beralkohol dan lain sebagainya.
Perluasan pengerrian delinkuensi, dengan memasukkan status offences,
merupakan konsekwensi dari azas Parent Patrie. Asas yang ebrarti negara
berhak mengambil alih peran orang tua apabila ternyata orang tua, wali atau
pengasuhnya tidak menjalankan perannya sebagai orang tua.38
B. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak
Dalam hukum pidana, pengertian anak pada hakikatnya menunjuk
kepada persoalan batas usia pertanggungjwaban pidana (criminal
liability/toerekeningvtasbaarheid). Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak,
batas usia pertanggung jawaban pidana ditentukan antara usia 8-18 tahun.
Adanya rentang batasan usia dalam Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut,
diakui sebagai suatu kemajuan bila dibandingkan dengan pengaturan yang ada
dalam KUHP yang sama sekali tidak mengatur batas usia minimum. Apabila
kita telusuri ketentuan instrumen internasional, ditentukannya batas usia antara
8-18 tahun seudah sejalan denga apa yang ditegaskan dalam Standard
Minimum Rule For The Administration of Juvenile Justice (The Beijing
Rules).
Di dalam Rules 4 anatra lain dinyatakan, bahwa: Pada sistem hukum
yang mengakui konsep usia pertanggungjwaban pidana bagi anak-anak, awal
usia itu tidak dapat ditetapkan pada tingkat usia yang lebih rendah, mengingat
kenyataan-kenyataan kedewasaan emosional, mental dan intelektual. Dalam
penjelasannya ditegaskan, bahwa usia minimum pertanggungjwaban pidana
berbeda secara luas oleh karnena sejarah dan budaya. Pendekatan modern akan
mempertimbangkan apakah seorang anak dapat berbuat sesuai dengan
komponen-komponen moral da psikologis dari pertanggungjawaban pidana;
artimya apakah seorang anak, berdasarkan atas kejernihan pikirannya dan
38
Paulus Hadisupranto, Pemberian Malu Integratif sebagai Sarana Non-Penal
Penaggulangan Perilaku Delinkuensi Anak disertai Doktor Ilmu Hukum, UNDIP, 2003., hlm. 30
45
pemahaman individualnya, dapat dianggap bertanggung jawab atas perilaku
pada dasarnya anti sosial. Jika usia pertanggung jawaban pidana ditetapkan
terlalu rendah atau jika ada batsan usia yang lebih rendah sama sekali,
pengertian tanggung jawab tidak akan memiliki arti. Pada umumnya, terdapat
suatu hubungan yang dekat antara pengertian tanggung jawab terhadap
perilaku kriminalitas atau yang melanggar hukum pidana dengan hak-hak serta
tanggung jawab sosial, seperti status perkawinan, kedeewasaan
berkewarganegaraan, dan lain-lain.
Sebagai perbandingan dapat di lihat batas usia yang diatur di negara
Inggris, dimana batas usia minimum ditentukan 8 tahun, di Swedia 15 tahun,
sedang di Australia Anak yang berusia di bawah 8 tahun tidak dapat
dipertanggungjaeabkan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang
dilakukannya. Dilain pihak,, seminar Amerika Latin di Rio de Janeiro pada
tahun 1953, telah menghimbau agar disetiap negara menetapkan batas usia
yang sama dalam peraturan perundnag-undangan pidana nya, yang tidak boleh
kurang dari 14 tahun. Dengan demikian anak di bawah 14 tahun dianggap tidak
dapat dipertanggungjwabkan.39
Di negara Eropa variasinya adalah 16 tahun, sedangkan di Belgia dan
Sweden mencapai usia 21 tahun. Yuridiksi di Amerika Serikat telah
menetapkan batas usia antara 16 sampai 21 tahun, tergantung kepada negara
bagian dan sebagian besar negara bagian menetapkan usia 18 tahun. Di
Amerika Latin 14 sampai 20 tahun, batas usia maksimum tergantung
negaranya, namun rata-rata menetapkan usia 18 tahun. Di Asia menetapkan
antara usia 15 tahun sampai 20 tahun, dan di Jepang menetapkan usia 20
tahun.40
Hal yang sama dapat dilihat hasil survey PBB di negara-negara
Amerika Utara, di samping ditentukan sebagaimana telah diungkapkan di atas.
Dalam kasus-kasus tertentu bats usia anak bisa mencapai usia 21 tahun. Dalam
beberapa ketentuan termasuk pemerintah Federal dan Negara-negara bagian
39
Ida Z Fahrudin, Beberapa Catatan Mengenai Pendidikan Anak-Anak di Bandung,
Fakultas Hukum Unpad, 1961, h., 4. 40
Encyclopedia Americana, 1974. Seri 16, h., 270
46
Columbia, batas usia maksimal adalah 18 tahun. Bagaimanapun di beberapa
wilayah terjadi tumpang tindih antara batas suatu tindak pidana dan perbuatan
kenakalan anak serta peradilan anak. Di beberapa bagian negara lainnya
mempergunakan batas usia 7 tahun. Lagi pula sebagian dari negara-negara
tersebut, peradilan pidana mempunyai kewenangan yang istimewa terhadap
pelaku tindak pidana, terlebih lagi untuk pembunuhan yang direncanakan
(murder), atau terhadap kasus-kasus besar. Di beberapa negara lainnya, untuk
perkara-perkara istimewa atau untuk beberapa kejahatan yang serupa.41
Adanya batas usia minimum 7 tahun di beberapa negara bagian,
didasarkan pada Common Law Raw, yang menyatakan bahwa seseorang anak
dibawah 7 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan melakukan kejahatan.
Sedangkan The National Advisory Commision untuk The Law Enforcement
Assistence administration, telah merekomendasikan agar semua negara bagian
menetapkan batas usia 10 tahun.42
Beberapa negara bagian yang menetapkan batas usia maksimal 17
tahun memperluas batas usia tersebut sampai seorang anak delinkuen hingga
usia 18 tahun. Sedangkan beberapa Negara bagian lain menetapkan batas usia
sampai 20 tahun, bahkan lebih dari 40 tahun negara bagian menetapkan bats
usia 21 tahun.43
Berdasarkan hasil survey di beberapa Negara Asia dan Timur Jauh,
mengungkapnkan adanya bermacam-macam perbedaan dalam menentukan
batas usia pertanggungjawaban anak. Dalam undang-undang yang berlaku di
beberapa Negara Timur Jauh, membagi pelaku pelanggaran ke dalam kategori
pelaku pelanggaran di sebut “child”, dan pelaku pelanggaran yang di sebut
“young person” atau “child” dan “Juvenile”.44
Di Birma, Cylon, India, dan
Pakistan, batas usia kenakalan anak (age limits of juvenile delinquency) antara
41
United Natoins, Comparative Survey on Juvenile Delinquency, Part I. Nort America,
Departemen of Social Affairs Devition of Social Welfare, New York, 1953., h., 6 42
Hazel B. Kapper and J. Israel, Introduction To The Criminal Justice System, Second
Edition, 1979, h., 390-391. 43
Hazel B. Kapper and J. Israel, Introduction To The Criminal Justice System, Second
Edition. h., 340 44
United Natoins, Comparative Survey on Juvenile Delinquency, Part I. Nort America,
Departemen of Social Affairs Devition of Social Welfare, New York, 1953., h., 1.
47
7 sampai 16 tahun. Namun tidak dianggap sebagai pelaku pelanggaran bagi
anak yang berusia antara 7 sampai 12 tahun. Kecuali di Bombay, ditentukan
lagi bats usia untuk “anak” antara 7 sampai 14 tahun, dan “pemuda”/”remaja”
antara 14 sampai 16 tahun.
Di Jepang batas usia anak antara 14 sampai 20 tahun, Piliphina usia
antara 9 sampai 16 tahun dianggap anak nakal, namun anak antara usia 9
sampai 15 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan di Thailand,
dianggap sebagai anak nakal terhadap anak usia 7 sampai 18 tahun, namun
ditentukan batas usia untuk “anak” antara 7 sampai 14 tahun, dan “remaja”
antara 14 sampai 18 tahun.45
Berdasarkan hasil survey di beberapa Negara Timur Tengah, dalam
perundang-undangan hukum pidana Mesir, Syi‟ria, Libanon, dan Irak, terdapat
ketentuan tentang kenakalan anak yang dilakukan oleh anak laki-laki dan
perempuan yang berusia 7 tahun, tetapi belum mencapai usia 15 tahun dan
ditemukan adanya kesalahan, terhadap pelaku dijatuhi sanksi pidana. Di pihak
lain, dalam hukum pidana Irak dan Turki ditentukan dengan tegas batas usia
anak nakal antara usia 11 smpai 18 tahun. Di Saudi Arabia dan Yaman tidak
terdapat undang-undang pidana ataupun undnag-undang khusus untuk pelaku
kenakalan anak, tetapi dalam Al-Qur‟an sebagai kitab suci agama Islam, dan
hukum Islam diterangkan bahwa, seorang anak dianggap sebagai anak nakal
jika dia telah dijatuhi hukuman sebagai pelaku setelah mencapai usia remaja,
tetapi belum mencapai dewasa.46
Dalam KUHP Korea, batas usia minimal untuk dapat
dipertanggungjawabkan pidana, adalah usia 14 tahun, sebagaimana juga
dipakai di Jepang dan Norwegia. Dalam Article 9 The Corean Criminal Code,
dinyatakan bahwa, “seseorang yang berusia dibawah 14 tahun tidak dapat
dipidana atas perbuatan pidana yang dilakukannya.”47
Section 46 The
Norwegian Penal Code menyatakan, “Tindak seorangpun dapat dipidana atas
45 Idem., h., 1-4.
46 United Natoins, Comparative Survey on Juvenile Delinquency, Part I. Nort America,
Departemen of Social Affairs Devition of Social Welfare, New York, 1953., h., 1. 47
KUHP Republik Korea sebagai Perbandingan. Seri KUHP Negara-Negara Asing,
Editor. Andi Hamzah, Ghalia Indonesia, 1987., h., 56.
48
perbuatan yang dilakukannya sebelum memenuhi usia 14 tahun”. Begitu juga
di dalam Article 41 Criminal Statute, dinyatakan, bahwa: “Perbuatan seseorang
yang berumur 14 tahun tidak dipidana”.48
Adanya perbedaan menentukan batas usia minimal maupun usia
maksimal dalam pertanggungjwaban pidana anak, sesungguhnya bukan suatu
hal yang tidak mungkin. Sebab, menentukan kriteria tersebut disesuaikan
dengan situasi, kondisi, dan latar belakang sejarah serta kebudayaannya
masing-masing negara. Sebagaimana ditegaskan dalam Rules 4 Beijing Rules
bahwa di dalam sistem hukum yang mengenal batas usia pertanggungjawaban
itu janganlah ditetapkan terlalu rendah dengan mengingat faktor kematangan
emosional, mental dan intelektualitas anak.
Dengan melihat berbagai ketentuan batas usia minimum baik yang
berlaku di beberapa negara maupun pedoman sebagaimana diatur dalam
instrumen internasional; mengingat pula kondisi objektif negara Indonesia
yang tergolong sebagai negara berkembang, maka perkembangan masyarakat
pada umumnya baik dibidang sosial, politik, maupun ekonomi, relatif masih
terbelakang. Baik secara langsung maupun tidak, hal tersebut memberikan
dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak pada umumnya. Oleh
karena itu, batas usia minimum 8 (delapan) tahun bagi anak yang dapat diminta
pertanggungjwaban pidana dirasakan masih terlalu rendah. Dengan demikian,
penentuan batas usia yang terlalu rendah tidak sejalan dengan hakikat
memberikan perlindungan terhadap anak. Begitu juga hak anak untuk
memperoleh perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dpaat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan
wajar, tidak berjalan dengan baik, sesuai dengan apa yang diharapkan.
Dilihat dari aspek perkembangan psikologis, sebagaimana diungkapkan
para ahli, pada umumnya telah membedakan tahap perkembangan antara anak
dan remaja/pemuda secara global masa remaja/pemuda berlangsung antara usia
12 sampai 21 tahun. E. J. Monks dan kawan-kawan mengungkapkan dalam
48
KUHP Jepang Sebagai Perbandingan. Seri KUHP Negara-Negara Asing, Editor. Andi
Hamzah, Ghalia Indonesia, 1987., h., 84.
49
buku-buku Angelsaksis, istilah pemuda (youth), yaitu suatu masa peralihan
antara masa remaja dan masa dewasa. Dipisahkan pula antara adolesensi usia
antara 21 sampai 18 tahun, dan masa pemuda usia antara 19 sampai 24 tahun.49
Sedangkan Zakiah Daradjat, membagi rentang usia manusia sejak kandungan
sampai usia lanjut kedalam kelompok umur: anak-anak, remaja, dewasa, dan
usia tua. Kanak-kanak pada umumnya disepakati mulai lahir, bahkan dari janin
dalam kandungan sampai usia 12 tahun.50
Begitu juga pendapat Kartini Kartono51
, ia mengatakan bahwa
seseorang baru memiliki sikap yang logis dan rational kelak ketika mencapai
usia 13-14 tahun. Pada usia ini emosionalitas anak jadi semakin berkurang,
sedangkan unsur intelektual dan akal budi (ratio-pikir) jadi semakin menonjol.
Minat yang objektif terhadap dunia sekitar menjadi semakin besar. Namun, ia
juga mengatakan bahwa pada masa ini anak tidak lagi banyak dikuasi oleh
dorongan-dorongan endogin atau stimulus-stimulus dari luar.
Menyangkut perkembangan fungsi pengamatan anak, William Stern
dalam teorinya mengungkapkan empat stadium dalam perkembangan fungsi
pengamatan anak, yaitu:
1) Stadium-keadaan, 0-8 tahun. Disamping mendapatkan gambaran total yang
samar-samar, anak kini mengamati benda-benda dan beberapa orang secara
teliti;
2) Stadium-perbuatan, 8-9 tahun. Anak menaruh minat besar terhadap
pekerjaan dan perbuatan orang dewasa serta tingkah laku binatang;
3) Stadium-hubungan, 9-10 tahun dan selanjutnya. Anak mengamati
relasi/hugungan dalam dimensi ruang dan waktu; juga hubungan kausal dari
benda-benda dan peristiwa.
4) Stadium-perihal (sifat): anak mulai menganalisa hasil pengamatannya,
dengan mengkonstransir ciri-ciri dari benda.
Oswald Kroh, dalam bukunya: “Die Psykologie des Grundschulkindes”
49
Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, 1991., h., 8. 50
Zakiah Daradjat, h., 7. 51
Kartini Kartono, Psikologi Anak, Alumni, Bandung, 1979, h., 137
50
(Psikologi Anak Dasar Sekolah), menyatakan adanya empat periode dalam
perkembangan fungsi kematangan anak, yaitu:
1) Periode sintese-fantasi, 7-8 tahun. Artinya bahwa segala hasil pengamatan
merupakan kesan totalitas, sifatnya masih samar-samar. Selanjutnya,
kesan-kesan ini dilengkapi dengan fantasi anak. Asosiasi dengan ini, anak
suka sekali pada dongeng-dongeng, sage, mythe, legende, kisah-kisah dan
cerita khayal;
2) Periode realisme naif, 8-10 tahun. Anak sudah bisa membedakan bagian,
tetapi belum mampu menghubung-hubungkan satu dengan lainnya dalam
hubungan totalitas. Unsur fantasi sudah banyak diganti dengan
pengamatan kongkrit.
3) Periode pengamatan kritis, 10-12 tahun. Pengamatannya bersifat realistis
dan kritis. Anak sudah bisa mengadakan sintese logis, karena pengertian,
wawasan dan akalnya sudah mencapai taraf kematangan. Anak kini bisa
menghubungkan bagian-bagian jadi satu kesatuan atau menjadi datu
struktur;
4) Fase subyektif, 12-14 tahun. Unsur emosi atau perasaan muncul kembali,
dan kuat sekali memengaruhi penialian anak terhadap semua
pengamatannya. Masa ini dibatasi oleh gejala Pubertas kedua (masa
menentang kedua).
Memperhatikan usia perkembangan anak dari aspek psikologis,
tampaknya seorang anak usia di bawah 12 tahun masih, berada dalam kondisi
yang belum stabil. Walaupun anak sudah dapat berpikir rational, dapat
melakukan penilaian terhadap sesuatu, namun pemikiran serta pandangannya
masih bersifat farsial belum secara totalitas. Namun, anak usia di atas 12 tahun
pun tidak berarti sudah matang secara rational maupun emosional, karena
unsur dari luar lebih besar berpengaruh terhadap kondisi emosi dan perasaan.
Oleh karena itu mereka pun belum sepenuhnya dapat
mempertanggungjawabkan segala akibat dari tindakan dan perbuatan yang
dilakukannya.
51
Apabila diperhatikan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 168 Tahun 1948
tentang Undang-Undang Anak di Jepang, seorang dikategorikan “anak” atau
“shoonen” orang yang berumur kurang dari 20 tahun. Sedangkan pengertian
anak yang dapat diajukan ke sidang Pengadilan Keluarga, meliputi:
1) Anak kejahatan (“hanzaishoonen/juvenali offender”), yaitu anak yang
berumur sekurang-kurangnya 14 tahun tidak lebih dari 20 tahun yang
melakukan kejahatan.
2) Anak pelaku pelanggaran hukum (“shokuho oshoonen/children offender”),
yaitu anak yang berumur kurang dari 14 tahun yang melakukan kejahatan.
3) Anak pre-delinquen (“guhan-shoonen/pre-delinquent juvenile”), yaitu anak
yang memiliki kecendenrungan berperilaku nakal, serta dapat dipandang
akan melakukan pelanggaran hukum.
Dalam ketentuan Undang-Undang Anak Jepang, walaupun anak
dibawah 14 tahun dapat diajukan ke Pengadilan Keluarga, namun anak
tersebut tidak dapat dipidana. Menurut Undang-Undang Hukum Pidana
Jepang, orang yang berumur kurang dari 14 tahun dianggap belum mampu
bertanggungjawab atas perbuatannya, sehingga terhadap anak tersebut
diperlakukan secara berbeda dalam peradilan Anak.52
Atas dasar hal itu, agar hakikat hukum pidana anak yang bertujuan
memberikan jaminan perlindungan dapat tercapai, maka penentuan batas
minimum pertanggung jawaban anak yang saat ini berlaku harus dikaji dan
ditinjau kembali sehingga ditetapkan sekurang-kurangnya ssampai usai 12
tahun. Penetapan usia minimum 12 tahun sejalan dengan konsep hukum
Islam, dia tidak dikategorikan Mumayis (anak kecil) namun ia pun belum
dikategorikan balig walaupun sudah memiliki tanda-tanda balig yaitu laki-
laki yang sudah mimpi basah dan wanita sudah haid. Kondisi demikian
masuk kategori remaja yaitu perubahan dari akhir masa anak-anak memasuki
masa dewasa antara usai 12 tahun sampai 21 tahun. Sejalan pula dengan
rancangan sebagaimana ditegaskan pada Pasal 113 konsep KUHP. Batas usia
52
Tatsuya Ota., h., 110-111
52
minimum 12 tahun diharapkan bisa ditetapkan sebagai perubahan dalam
konsep Hukum Pidana Anak yang baru.
C. Ketentuan Terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana
Di atas telah disinggung sedikit tentang kenakalan remaja, bahwa
remaja melakukan kenakalan timbul karena dari segi pribadinya mengalami
perkembangan fisik dan perkembangan jiwa. Emosinya belum stabil, mudah
tersinggung dan peka terhadap kritikan, sehingga mempengaruhi dirinya untuk
bertindak yang kadang-kadang tidak umum dan di luar aturan yang berlaku di
masyarakat.
Di samping itu kenakalan remaja juga disebabkan karena pengaruh
lingkungan, terutama lingkungan di luar rumah. Berkumpul dengan teman-
temannya baik teman di sekitar rumah, teman satu sekolah atau teman satu
kelompok. Kalau teman-temannya di lingkungan tersebut berbuat yang tidak
baik, biasanya si anak terpengaruh sikapnya, tanpa menilai terlebih dahulu.
Sikap yang mudah terpengaruh ini tidak terlepas dari perkembangan pibadi
remaja. Pada pertengahan tahun 1980-an dulu ada tari yang berasal dari
kebudayaan asing namanya breakdance, remaja kita cepat sekali terpengaruh
oleh tari tersebut, sampai-sampai ke pelosok desa remajanya ber-breakdance-
ria.
Kenakalan remaja merupakan suatu perbuatan yang dilakukan kaum
remaja yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di amsyarakat.
Kenakalan remaja dapat dibedakan menjadi kenakalan biasa dan kenakalan
yang merupakan tindak pidana. Kenalakan biasa seperti halnya bermain gitar
dan bernyanyi ramai-ramai di pinggir jalan sampai tengah malam, mencoret-
coret tembok orang, ngebut dengan kendaraan di jalan umum. Sedang
kenakalan remaja yang merupakan tindak pidana, perbuatannya diancam
dengan hukuman pidana, antara lain mencuri ayam tetangga dapat dipidana
berdasarkan Pasal 362 KUHP. memperkosa teman sekolah, diancam Pasal 285
KUHP. membawa senajata penikam atau senjata api, diancam dengan pidana
yang diatur dalam Undang-undang Darurat No. 12 Tahun 1951. Sanksi Pidana
53
Penjara Dan Sanksi Administrasi Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012
UU SPPA mengancam sanksi pidana penjara dan sanksi administratif
bagi aparat yang terlibat dalam peradilan pidana Anak. Akan tetapi, setelah
dilakukan judicial review oleh Pengurusa Pusat Ikatan Hakim Indonesia
(IKAHI) maka berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-
X/2012 tanggal 28 Maret 2013 hakikatnya ancaman sanksi pidana penjara bagi
aparat (hakim dan pejabat pengadilan) yang terlibat dalam peradilan pidana
Anak, seperti dalam ketentuan Pasal 96, Pasal 100, Pasal 101 UU SPPA yang
tidak melaksanakan kewajiban Diversi, dengan sengaja tidak mengeluarkan
Anak demi hukum dan memberikan petikan putusan oleh Mahkamah
Konstitusi dinyatakan tindak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan
bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensi logisnya, bagi penyidik dan
penuntut Umum yang diatur sebagaimana ketentuan Pasal 98, Pasal 99 UU
SPPA yang tidak dilakukan judicial review dan tidak termaktub dalam putusan
tersebut, sanksi pidana penjara tersebut masih tetap berlaku.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 tanggal
28 Maret 2013, ancaman pidana penjara dan sanksi administratif masih berlaku
sebagaimana ketentuan Pasal 95, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99 UU SPPA.
Ketentuan sanksi pidana penjara sebagaiana ketentuan Pasal 95, Pasal
97, Pasal 98, Pasal 99 UU SPPS dapat dijabarkan sebagai berikut:
a) Setiap orang yang tidak merahasiakan identitas anak, anak kkorban,
dan/atau anak saksi, dalam pemberitaan di media cetak atau elektronik,
dipidana paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
b) Penyidik yang sengaja tidak mengeluarkan demi hukum, anak yang
berakhir jangka waktu penahanannya, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun.
c) Penunutut umum yang sengaja tidak mengeluarkan demi hukum, anak
yang telah berakhir jangka waktu penahannanya, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun.
54
Ketentuan sanksi administratif diatur dalam Pasal 95 UU SPPA yang
berbunyi:
“Pejabat atau petugas yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7 ayat (1), pasal 14 ayat (2), pasal 17,
pasal 18, pasal 21 ayat (3), pasal 27 ayat (1) dan ayat (3),
pasal 29 ayat (1), pasal 39, pasal 42 ayat (1) dan ayat (4),
pasal 55 ayat (1), serta pasal 62 dikenai sanksi administratif
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”
Apabila dijabarkan, sanksi administratif tersebut dapat dikenakan terhadap:
a) Penyidik, penuntut umum, dan hakim yang lalai mengupayakan diversi.
b) Pembimbing kemasyarakatan yang tidak melakukan pendampingan,
pembimbingan, dan atau pengawasan.
c) Penyidik Anak, penuntut umum Anak, dan hakim Anak yang tidak
memeberikan perlindungan khusus bagi anak yang disangka melakukan
tindak pidana dalam situasi darurat.
d) Pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, tenaga
kesejahteraan sosial, penyidik Anak, penuntut umum Anak, hakim Anak,
dan advokat/ pemberi bantuan hukum lainnya yang tidak memerhatikan
kepentingan terbaik bagi anak dan tidak mengusahakan terpeliharanya
suasana kekeluargaan.
e) Petugas bapas yang tidak melakukan evaluasi perhadap program
pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan kepada anak yang mengikuti
program di instansi pemerintah atau LPKS.
f) Penyidik Anak yang tidak meminta pertimbangan atau saran dari
pembimbing kemasyarakatan.
g) Penyidik Anak yang tidak meminta laporan sosial dari pekerja sosial
profesional atau tenaga kesejahteraan sosial.
h) Penyidik Anak yang tidak mengupayakan diversi dalam tenggang waktu 7
(tujuh) dari sejak penyidikan dimulai.
i) Petugas tempat anak ditahan yang tidak segera mengeluarkan anak, yang
telah habis masa penahanannya dari tahanan.
j) Penuntut umum Anak yang tidak mengupayakan diversi dalam tenggang
waktu 7 (tujuh hari) sejak berkas diterima dari penyidik Anak.
55
k) Penuntut Anak yang tidak menyampaikan berita acara diversi dan
melimpahkan perkara ke pengadilan tidak dilampiri laporan hasil
penelitian masyarakat.
l) Hakim Anak yang tidak memerintahkan orang tua/Wali atau pendamping,
advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan pembimbing
kemasyarakatan untuk mendampingi anak.
m) Pejabat pengadilan yang lalai memberikan petikan putusan pada hari
putusan diucapkan dan atau lalai memberikan salinan putusan dalam
tenggang waktu 5 (lima) hari sejak putusan diucapkan kepada atau advokat
atau pemberi bantuan hukum lainnya, pembimbing kemasyarakatan, dan
penuntut umum Anak.
D. Pengaturan Normatif Sanksi Pidana dalam Kajian Perbandingan
1. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
a. Pidana Pokok
1) Pidana Peringatan
Pidana peringatan diatur dalam Pasal 72 UU SPPA. Pada
ketentuan tersebut tidak diatur tentang pengertian pidana peringatan,
juga tidak diatur dan dijelaskan mengapa peringatan dimasukkan
kualifikasi sebagai pidana dan bukan sebagai tindakan. Dalam
ketentuan Pasal 72 UU SPPA ditentukan bahwa, pidana peringatan
merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan
kebebasan Anak. Pidana peringatan tidak dapat dijatuhkan kepada
Anak yang tidak dapat dijatuhkan kepada Anak yang belum berumur
14 (Empat belas) tahun. Dikaji dari perspektif UU SPPA yang
mengedepankan perlindungan kepentingan tarbaik bagi Anak sebagai
penerus bangsa, seyogyanya pidana peringatan bukanlah sebagai
“pidana”, melainkan lebih tepat sebagai “tindakan”.
Pada hakikatnya, pidana peringatan dalam UU SPPA
penjabarannya dalam bentuk peraturan pelaksanaan in casu Peraturan
Pemerintah belum terbit. Akan tetapi, pidana peringatan dalam
56
Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Pelaksanaan Atas
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (selanjutnya disingkat RPP UU SPPA) sebagai ius
constituendum diatur dalam Bab V tentang Bentuk dan Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Bagian Ketiga Paragraf 1 tentang Pidana
Peringatan pada Pasal 99 dan 100.
2) Pidana dengan Syarat
Ketentuan pidana dengan syarat Pasal 71 ayat (1) huruf b UU
SPPA ini hakikatnya telah dikenal dalam KUHP Indonesia. Pidana
dengan syarat ini dikenal sebagai pidana percobaan (voordardelijke
verordering), sebagaimana ketentuan Pasal 14 a sampai dengan f
KUHP. Pada UU SPPA, pidana dengan syarat ini dilakukan melalui
pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau
pengawasan. Kemudian, berdasarkan ketentuan Pasal 73 UU SPPA
ditentukan tentang pidana dengan syarat yaitu, yaitu:
(1) Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan Hakim dalam hal pidana
penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan syarat umum
dan syarat khusus.
(3) Syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Anak
tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa
pidana dengan syarat.
(4) Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah untuk
melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang diterapkan
dalam putsan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan
Anak.
(5) Masa pidana dengan syarat khusus lebih lama daripada masa
pidana dengan syarat umum.
(6) Jangka waktu masa pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun.
57
(7) Selama menjalin masa pidana dengan syarat, penuntut Umum
melakukan pengawasan dan pembimbing kemasyarakatan
melakukan pembimbingan agar Anak menempati persyaratan
yang telah ditetapkan.
(8) Selama anak menjalani pidana dengan syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), Anak harus mengikuti wajib belajar 9
(sembilan) tahun.
Apabila dijabarkan lebih intens ketentuan pidana dengan syarat
sebagaiman ketentuan Pasal 73 UU SPPA menentukan beberapa
dimensi, yaitu:
(1) Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan apabila hakim Anak
menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
Pidana dengan syarat harus memenuhi syarat umum yaitu tidak
akan melakukan tindak pidana lagi, terhadap tindak pidana
apapun selama menjalani masa pidana dengan syarat. Kemudian
syarat khusus yaitu untuk melakukan atau tidak melakukan hal
tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim Anak. Syarat
khusus harus tetap memperhatikan kebebasan Anak. Tegasnya,
syarat khusus tersebut tidak boleh bertentangan dengan
kebebasan Anak, termasuk untuk kebebasan beragama (pasal 73
angka (4) UU SPPA jo Pasal 14e ayat (3) KUHP).
(2) Jangka waktu batas maksimal masa pidana dengan syarat adalah
3 (tiga) tahun (pasal 73 ayat (6) UU SPPA). Pasal ini tidak
menentukan secara spesifik dan khusus apabila tenggang waktu
tersebut dimaksudkan untuk masa pidana dengan syarat umum
dan syarat khusus. Konsekuensi logisnya, tentu harus
diinteprasikan sebagai masa pidana dengan syarat khusus,
mengingat masa pidana dengan syarat khusus, mengingat masa
pidana dengan syarat khusus tersebut sebagai masa pidana yang
lebih lama dengan syarat umum (Pasal 73 ayat (5) UU SPPA),
58
sehingga konsekuensi logisnya masa pidana dengan syarat
umum ditafsirkan harus lebih rendah dari 3 (tiga) tahun.
(3) Pengawasan pidana dengan syarat dilakukan penuntut umum
Anak, sehingga apabila terjadi kegagalan dalam memenuhi
syarat umum dan syarat khusus, penuntut umum Anak
berkewajiban meminta Hakin Anak yang mamutus perkara pada
tingkat pertama untuk memerintahkan agar pidana yang telah
dijatuhkan putusan terdahulu harus dijalankan (Pasal 14 KUHP).
Oleh karena itu, seorang Anak dianggap telah gagal memenuhi
syarat umum, jikalau Anak tersebut telah terbukti melakukan
tindak pidana dalam masa pidana yang dengan syarat umum dan
hal tersebut dibuktikan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Kemudian seorang Anak dianggap telah gagal memenuhi syarat
khusus apabila Anak tersebut telah terbukti tidak memenuhi
syarat khusus, dan hal ini dibuktikan dengan putusan hakim
Anak. Berikutnya, untuk membantu Anak dalam memenuhi
syarat umum dan syarat khusus maka undnag-undang
mewajibkan kepada pembimbing kemsyarakatan sebagai pihak
yang berkewajiban untuk membantu akan memenuhi syarat
umum dan syarat khusus (Pasal 73 ayat (7) UU SPPA).
(4) Masa pidana dengan syarat dapat melapaui batas usia Anak
yaitu 18 (delapan belas) tahun, dan apabila Anak gagal
memenuhi syarat umum dan syarat khusus, konsekuensinya
pidana dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 86 UU SPPS, yaitu:
a) Anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA dan
telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan
ke lembaga pemsayarakatan pemuda.
b) Dalam hal Anak telah mencapai umur 21 (sua puluh satu)
tahun, tetapi belum selesai menjalani pidana, Anak
59
dipindahkan ke lembaga pemsayarakatan dewasa dengan
memperhatikan kesinambungan pembinaan Anak.
c) Dalam hal tidak terdapat lembaga pemsayarakatan pemuda,
kepala LPKA dapat memindahkan Anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ke lembaga
pemasyaratan dewasa berdasarkan rekomendasi dari
pembimbing kemsyarakatan.
Dalam UU SPPA, terhadap Anak yang dijatuhka pidana
dengan syarat, diwajibkan pula untuk dikenakan salah satu 3 (tiga)
kemungkinan pembinaan.
Pertama, pembinaan diluar lemabag. Konteks ini dapat
berupa mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang
dilakukan oleh pejabat pembina, mengikuti terapi dirumah sakit
jiwa dan mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol,
narkotika, psikotropika, dan adiktif lainnya. Masa pembinaan di
luar lembaga dapat diperpanjang selama 2 (dua) kali masa
pembinaan yang belum dijalani, dalam hal tidak dipenuhinya syarat
khusus sebagaiman ketentuan Padal 73 ayat (4) UU SPPA, dan
oleh karena itu masa pembinaan di luar lembaga tidak dapat
melebihi batas 3 (tiga) tahun, yang merupakan maksimal dari masa
pidana dengan syarat.
Kedua, pidana pelayanan masyarakat. Konteks pidana ini
diartikan untuk mendidik Anak mengingatkan kepeduliannya pada
kegiatan kemasyarakatan yang positif. Kegiatan tersebut dapat
berupa kegiatan membantu pekerjaan di lembaga pemerintah atau
lembaga kesejahteraan sosial. Bentuk pelayanan masyarakat
misalnya berupa membantu lansia, orang cacat atau anak yatim
piatu di panti dan membantu administrasi ringan di kantor
kelurahan (penjelasan Pasal 76 UU SPPA). Kemudian pidana
pelayanan masyarakat dijatuhkan untuk paling singkat 7 (tujuh)
jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam, dan dapat
60
diulang baik seluruhnya maupun sebagian dalam hal Anak tidak
memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban (Pasal 76 ayat (3) UU
SPPA). Kemudain teknis dan kondisi Anak ketika melakukan
pelayanan masyarakat, dapat dilihat sebagaimana ketentuan Pasal
109 RPP UU SPPA yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Selama masa pemidanaan pelayanan masyarakat, Anak tetap
berada dalam lingkungan keluarga, dengan ketentuan segala
persayaratan pembinaan yang telah diputus oleh pengadilan
wajib dilaksanakan oleh Anak dengan pendampingan dari
orang tua/walinya.
(2) Pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Anak.
(3) Pelayanan masyarakat sebagaiman dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan pada waktu siang hari untuk jangka waktu paling
lama 3 (tiga) jam dala 1 (satu) hari kerja dan tidak boleh
mengganggu hak belajar Anak.
(4) Pembimbing kemsayarakatan wajib melakukan pembimbingan
dan pendampingan dalam pelaksanaan pembinaan pelayanan
masyarakat dengan pengawasan Jaksa Anak.
(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilaksanakan untuk mengetahui perkembangan dan hasil
pembinaan Anak.
Ketiga, pidana pengawsan. Ketentuan pasal 77 ayat (1) UU
SPPA menentukan pidana pengawasan hanya dapat dijatuhkan
kepada Anak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 71 ayat (1)
huruf b angka 3 UU SPPA paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 2 (dua) tahun. Kemudian Anak ditempatkan di bawah
pengawasan penuntut umum Anak dan dibimbing oleh
Pembimbing Kemasyarakatan. Anak dalam kehidupan sehari-hari
dirumah Anak dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh
61
Pembimbing Kemsyarakatan (Penjelasan Pasal 77 ayat (1) UU
SPPA).
Kemudian terhadap dimensi pidana pengawasan ini,
ketentuan Pasal 111 dan pasal 112 RPP UU SPPA.
3) Pelatihan Kerja
Ketentuan Pasal 78 UU SPPA menentukan bahwa pidana
pelatihan kerja dilaksanakan di lembaga yang melaksanakan
pelatihan kerja yang sesuai dengan usia Anak. Lembaga yang
imaksud dapat beripa balai latihan kerja, lembaga pendidikan vokasi
yang dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintah dibidang ketenagakerjaan, pendidikan atau sosial. Pidana
pelatihan kerja tersebut dikenakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 1 (satu) tahun. Untuk ketentuan pasal 71 ayat (1) huruf c
pidana pokok Anak berupa pelatihan kerja dimensinya diatur lebih
lanjut dalam ketentuan Pasal 113, 114 dan 115 RPP UU SPPA.
4) Pembinaan dalam Lembaga
Pembinaan dalam lembaga merupakan bentuk pidana pokok
keempat yang diatur dalam ketentuan Pasal 71 ayat (1) huruf d UU
SPPA, kemudian ketentuan Pasal 80 UU SPPA menentukan, bahwa:
a) Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat
pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan,
baik oleh pemerintah maupun swasta.
b) Pidana pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan apabila keadaan
dan perbuatan Anak tidak membahayakan masyarakat.
c) Pembinaan dalam lembaga dilaksanakan paling singkat 3 (tiga)
bulan dan paling lama 24 ( dua puluh empat) bulan.
d) Anak yang telah menjalani ½ (satu persdua) dari lamanya
pembinaan di dalam lembaga dan tidak kurang dari 3 (tiga) bulan
berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
62
Pada hakikatnya, UU SPPA menyebutkan bahwa pembinaan
dalam lembaga dilakukan oleh Lembag Penyelenggara
Kesejahteraan Sosial (LPKS). Kemudian terhadap pembinaan i
dalam lemabag dalam RPP UU SPPA diatur dalam ketentuan Pasal
116 dan 117.
5) Penjara
Pidana penjara adalah pidana pokok kelima dari ketentuan
Pasal 71 ayat (1) huruf e UU SPPA. Pidana penjara merupakan
pidana alternatif terakhir dari UU SPPA yang lebih mengkedepankan
sifat ultimum remedium dari para orimum remedium. Kemudian
ketentuan pidana penjara ini dijabarkan dalam ketentuan Pasal 81
UU SPPA yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
a) Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan
perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat.
b) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada kepada Anak paling
lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara
bagi orang dewasa.
c) Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak berumur 18
(delapan belas) tahun.
d) Anak yang telah menjalani ½ (datu perdua) dari lamanya
pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan
pembebasan bersyarat.
e) Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya
terakhir.
f) Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun.
Subsatansi pidana penjara, dengan tolok ukur ketentuan UU
63
SPPA hanya dapat dijatuhkan dengan syarat, bahwa:
a) Anak telah berusia 14 (empat belas) tahun (pasal 32 ayat (2)
huruf a UU SPPA).
b) Hanya dilakukan dalam hal Anak melakukan tindak pidana berat
atau tindak pidana yang disertai kekerasan (Pasal 79 ayat (1)
SPPA).
c) Keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat
(pasal 81 ayat (1) UU SPPA).
d) Maksimum pidana penjara adalah ½ (satu per dua) dari
maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (Pasal 81
ayat (2) UU SPPA).
e) Jika tindak pidana yang dilakukan Anak diancam dengan
maksimum pidana mati atau seumur hidup, maka maksimum
pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak adalah 10 (sepuluh)
tahun (Pasal 81 ayat (6) UU SPPA).
f) Maksimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap Anak
(Pasal 79 ayat (3) UU SPPA).
g) Pidana penjara terhadap Anak dilaksanakan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA). UU SPPA mewajibkan dalam
tenggang waktu 3 (tiga) tahun sejak undang-undang diberlakukan,
setiap lembaga pemsayarakatan Anak melakukan perubahan
sistem menjadi LPKA. Disamping itu, undang-undnag juga
mewajibkan dalam waktu 5 (lima) tahun sejak doberlakukan
setiap provinsi wajib membangun LPKA (Pasal 105 ayat (1)
huruf e UU SPPA).
Pidana penjara ini, lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal
118, 119, 120 dan 121 RPP UU SPPA.
E. Diversi
Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang
diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke
64
penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan
korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing
Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa dan Hakim.53
Oleh karena itu tidak semua perkara anak yang berkonflik dengan
hukum harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal, dan memberikan
alternatif bagi penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif maka, atas
perkara anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan diversi demi
kepentingan terbaik bagi anak dengan mempertimbangkan keadilan bagi
korban.
Pada pembahasan di tingkat Panja, baik pemerintah maupun fraksi-
fraksi masyarakat sepakat dengan ide diversi yang merupakan salah satu
implementasi keadilan restoratif, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutatn,
dan pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini menajdi politik hukum bersama
antara pemerintah dan DPR dalam memebrikan upaya terbaik bagi anak yang
berkonflik dengan hukum.
Pada Pasal 6 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan tujuan
diversi, yakni antara lain:
a) Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
b) Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
c) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
d) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e) Menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak;
Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan
restoratif yang berupa mengembalikan pemulihan terhadap sebuah
permasalahan, bukan sebuah pembalsan yang selama ini dikenal dalam hukum
pidana.
Pada rapat panja, berkaitan dengan tyjuan diversi, F-PDIP
mengusulkan penambahan berupa menghindari dan mencegah terjadinya
stigmatisasi yang berimplikasi pada perkembangan anak. Sementara F-
Gerindra mengusulkan penambahan berupa menanamkan kesadaran terhadap
53
Dalam Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, h., 48
65
perbuatannya yang salah.54
Usulan tersebut dibawa ke Rapat Timus, yang
kemudian melihat bahwa dua usulan tersebut sudah diakomodir pada tujuan
diversi sebelumnya, sehingga tidak perlu dituliskan kembali.
Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri.55
Kata “wajib diupayakan”
mengundang makna bahwa penegak hukum anak dari penyidik, penuntut dan
juga hakim diwajibkan untuk melakukan upaya agar proses diversi bisa
dilaksanakan. Hal inilah yang membuat perdebatan dalam Panja RUU SPPA,
bahwa bagi penegak hukum anak apabila tidak melakukan upaya diversi
haruslah diberikan sanksi.56
Terkait dengan sanksi pidana (Pasal 96) terjadi
perdebatan, di satu pihak yang pro menginginkan agar aparat penegak hukum
harus mampu bertanggung jawab atas tindakannya apabila lalai tidak
melakukan upaya diversi, dipihak yang lain akan mengakibatkan kriminalisasi
terhadap aparat penegak hukum. Hal ini yang mungkin akan di judicial
review, oleh para hakim karena akan mempengaruhi kinerja dia dalam
memeriksa dan memutus perkara.
Kembali pada permasalahan diversi, bahwa kewajiban mengupayakan
diversi dari mulai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara ank di
pengadilan negeri, dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: (a)
diancam dengan pidana di bawah 7 (tujuh) tahun; dan (b) bukan merupakan
pengulangan tindak pidana.57
Ketentuan ini menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana
yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun dan merupakan sebuah
pengulangan maka tidak wajib diupayakan diversi, hal ini memang penting
mengingat kalau ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh) tahun tergolong pada
tindakan pidana berat, dan merupakan suatu pengulangan, artinya anak pernah
54
Lihat DIM RUU Sistem Peradilan Pidana Anak. 55
Lihat Pasal 7 ayat (1) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 56
Lihat Pasal 95 UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang memberikan ancaman sanksi
administratif dan Pasal 96 UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang memberikan ancaman pidana
paling lama 2 (dua) tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah). 57
Lihat Pasal 7bayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
66
melakukan tindak pidana baik itu sejenis maupun tidak sejenis termsuk tindak
pidana yang diselesaikan melalui diversi. Pengulangan tindak pidana oleh
anak, menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni menanamkan
rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang
berupa tindak pidana. Oleh karena itu, upaya diversi terhadapnya bisa saja
tidak wajib diupayakan.
Pada pembahasan di Panja, F-PDIP mendefinisikan tindak pidana berat
bagi anak adalah 5 (lima) tahun. Menurut F-PDIP pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun sangat lama dalam ukuran seorang anak, karena dapat
mengganggu pertumbuhan fisik anak. Setelah dijelaskan bahwa ukuran
ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sesuai dengan ketentuan
pidana, apalagi menyangkut ancaman pidana bagi anak, maka ancaman pidana
paling lama 7 (tujuh) tahun lebih menguntungkan bagi anak, maka disepakati
sesuai dengan usulan pemerintah.
Sementara itu, dalam DIM (Daftar Inventarisasi Masalah), sesuai
dengan arahan penulis, F-PKS berpandangan bahwa tindak pidana yang
dilakukan diversi nailai perkaranya bisa dikesampingkan karena lasan
keadilan restoratif, misalnya kasus Raju yang pernah mengemuka, dan kasus
anak-anak yang mencuri voucher Rp. 10.000,. tetapi dipidana selama 7 (tujuh)
tahun, ini tidak mencerminkan keadilan restoratif. Usulan ini menegaskan
bahwa F-PKS berpandangan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum
wajib diupayakan diversi berapa pun ancaman hukumannya atau juga
merupakan pengulangan tindak pidana.
Usulan F-PKS tersebut rupanya tidak bisa diterima oleh kebanyakan
fraksi dan juga dari pemerintah, dengan alasan bahwa dalam sistem
pemidanaan pemberian efek jera harus tetap ada, sehingga harus ada batasan
yang jelas ukuran diberikan diversi.
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak
dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan
67
keadilan restoratif.58
Selain itu juga, dalam hal diperlukan, musyawarah
tersebut juga dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau
masyarakat.59
Peoses diversi sendiri wajib memperhatikan:60
a) Kepentingan korban;
b) Kesejahteraan dan tanggung jawab anak;
c) Penghindaran stigma negatif;
d) Penghindaran pembalasan;
e) Keharmonisan masyarakat; dan
f) Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Pada proses penegak hukum pidana anak, maka aparat baik itu
penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus
mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian,
kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan lingkungan keluarga dan
masyarakat.61
Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau
keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya. Hal ini
mengindikasikan bahwa harus ada keaktifan dari korban dan keluarganya
dalam proses diversi, agar proses pemulihan keadaan dapat tercapai sesuai
dengan keadilan restoratif. Kesepakatan diversi tersebut dapat dikecualikan
untuk (a) tindak pidana berupa pelanggaran, (b) tindak pidana ringan, (c)
tindak pidana tanpa korban, dan (d) nilai kerugian korban tidak lebih dari
nilau upah minimum provinsi setempat.62
Bentuk-bentuk hasil kesepakatan diversi antara lain berupa:63
a) Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b) Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
58
Lihat Pasal 8 ayat (1) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 59
Lihat Pasal 8 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 60
Lihat Pasal 8 ayat (3) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 61
Lihat Pasal 9 ayat (1) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 62
Pasal 9 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 63
Pasal 11 UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
68
c) Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pedidikan atau
LPKS paling lama 3 (tiga) bulan;atau
d) Pelayanan masyarakat.
Hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan
diversi. Apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau tidak
dilaksanakan, maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan untuk setiap
tingkatannya.64
Berkaitan dengan Hukum Acara Peradilan Pidana Anak akan
dibahas dalam bab tersendiri.
1. Pidana dan Tindakan
Pada pasal 71 UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) ini
ditentukan bahwa pidana pokok bagi anak terdiri atas:
a) Pidana peringatan, yakni pidana ringan yang tidak mengakibatkan
pembatasan kebebasan kebebasan anak;
b) Pidana dengan syarat:
1) Pembinaan di luar lembaga;
2) Pelayanan masyarakat; atau
3) Pengawasan;
c) Pelatihan kerja;
d) Pembinaan dalam lembaga; dan
e) Penjara.
Selain itu juga terdapat pidana tambanahan tang terdiri atas
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau
pemenuhan kewajiban adat. Apabila dalam hukum materiil diancam
pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan
pelatihan kerja. Hal yang ditekankan juga bahwa pidana yang dijatuhkan
kepada anak dilarang melanggar harkat dan mertabat anak.
Agar dijatuhi pidana di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak
(LPKA) apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan
64
Pasal 13 UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
69
masyarakat. Pidana penjara terhadap anak ini hanya digunakan sebagai
upaya terakhir. Adapun pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak
paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi
orang dewasa. Untuk pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai anak
berumur 18 (delapan belas) tahun. Sementara itu, jika tindak pidana yang
dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Sementara itu, untuk tindakan kepada anak meliputi:
a) Pengembalian kepada orang tua/wali;
b) Penyerahan kepada seseorang;
c) Perawatan di rumah sakit jiwa;
d) Perawatan di LPKS;
e) Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang
diadakan oleh pemerintah atau bawan swasta;
f) Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g) Perbaikan akibat tindak pidana;
Tindakan tersebut dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam
tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling
singkat 7 (tujuh) tahun. Dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak ini
ditentukan bahwa anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya
dapat dikenai tindakan.65
65
Lihat Pasal 69 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
70
BAB IV
PENERAPAN HUKUM DAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM
MEMUTUS PERKARA NOMOR 14/PID.SUS.ANAK/2015/PN.BKS.
A. Penerapan hukum dalam perkara Nomor
14/PID.Sus.Anak/2015/PN.Bks.
1. Dakwaan jaksa penuntut umum
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal
363 ayat (1) ke-4 KUHP jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP Menimbang, bahwa
terhadap dakwaan Penuntut Umum, Penasehat Hukum Terdakwa tidak
mengajukan keberatan / Eksepsi; Menimbang, bahwa telah didengar
keterangan Pembimbing Kemasyarakatan dari BAPAS Bogor yang
bernama SUPRIATA NIP. 19610126 198303 1 001 yang pada pokoknya :
Hakim dalam memutuskan perkara ini, Pembimbing Kemasyarakatn (PK)
menyarankan agar klien atas nama Riki Nur Alvian Alias Riki Bin Rinan
agar diputus pidana seringan-ringannya, mengacu kepada Undang Undang
RI No. 11 Tahun 2012 tentang Pengadilan Anak Pasal 29 ayat (1) dan UU
RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sehingga Klien bisa
menjadi warga Negara yang baik dikemudian hari.
2. Analisis penulis terhadap penerapan hukum jaksa penuntut
umum
Penerapan hukum dalam putusan dalam menjerat terdakwa adalah
dengan menerapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak dalam penerapan tersebut jaksa penuntut
umum melihat kronologi yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Bahwa
Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan
Tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal 363 ayat (1) ke- 4 KUHP jo.
Pasal 53 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
Pertama, unsur barang siapa, bahwa yang dimaksud “barang siapa”
tersebut adalah menunjuk kepada orang sebagai subyek hukum yang
mampu bertanggung jawab atas setiap perbuatannya, dalam hal ini subyek
71
hukum dimaksud adalah Terdakwa dengan identitas nya sebagaimana
disebutkan didalam dakwaan Penuntut Umum; Menimbang, bahwa
dipersidangan Terdakwa tidak membantah identitas tersebut, Terdakwa
juga dapat menjawab setiap pertanyaan diajukan dipersidangan, sehingga
dapat disimpulkan Terdakwa mampu bertanggung jawab atas setiap
perbuatannya ; Berdasarkan fakta tersebut maka unsur barang siapa telah
terpenuhi.
Kedua, unsur mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap
dipersidangan,bahwa pada hari Senin tanggal 23 Pebruari 2015 sekira jam.
21.00 Wib, bertempat di Perum Pondok Ungu Permai Blok AL 16/04 RT.
005/011 Kelurahan Bahagia Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi,
terdakwa telah mengambil sesuatu barang berupa 1 (satu) Unit sepeda
motor merk Honda Vario warna Hitam tahun 2013 No. Pol. B-3142-FLS
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan MUHAMAD DESTIO
SUGIATO, mengambil sepeda motor tersebut dengan cara PUDIK alias
ERIK masuk keteras rumah dan menuju sepeda motor, lalu PUDIK alias
ERIK berdiri disamping sepada motor sambil memegang kunci letter T
kemudian merusak kontak sepeda motor namun saat PUDIK alias ERIK
sedang merusak kunci kontak sepeda motor yang akan diambil datanglah
saksi korban MUHAMAD DESTIO SUGIARTO meneriaki PUDIK alias
ERIK karena panik kemudian PUDIK alias ERIK yang belum sempat
mengambil sepeda motor langsung kabur; Berdasarkan fakta tersebut
maka unsur mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum telah terpenuhi.
Berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan, bahwa PUDIK
alias ERIK pada hari telah mencoba mengambil 1 (satu) Unit sepeda
motor merk Honda Vario warna Hitam tahun 2013 No. Pol. B-3142-FLS
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan MUHAMAD DESTIO
72
SUGIATO yang diletakkan di teras rumah yang berada dalam pekarangan
tertutup yang dilakukan PUDIK alias ERIK dengan cara merusak kontak
sepeda motor dengan menggunakan kunci letter T, pada saat PUDIK alias
ERIK sedang merusak kunci kontak sepeda motor yang akan diambil
datanglah saksi korban MUHAMAD DESTIO SUGIARTO meneriaki
PUDIK alias ERIK karena panik kemudian PUDIK alias ERIK yang
belum sempat mengambil sepeda motor langsung kabur melewati
terdakwa sedangkan saksi korban MUHAMAD DESTIO SUGIARTO
yang berada dibelakang PUDIK alias ERIK melihat terdakwa sedang
menunggu di sepada motor dan berusaha kabur namun terdakwa berhasil
ditangkap dan diamankan ke Polsek Babelan guna di proses lebih lanjut;
Berdasarkan fakta tersebut maka unsur pada waktu malam dalam sebuah
rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya telah terpenuhi.
Ketiga, unsur dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-
sama, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan bahwa pada
saat untuk mengambil sepeda motor tersebut dimana terdakwa bertugas
menunggu diujung gang dekat rumah saksi korban untuk mengawasi
sedangkan PUDIK alias ERIK bertugas mengambil sepeda motor tersebut
dengan cara PUDIK alias ERIK masuk keteras rumah dan menuju sepeda
motor, lalu PUDIK alias ERIK berdiri disamping sepada motor sambil
memegang kunci letter T kemudian merusak kontak sepeda motor namun
saat PUDIK alias ERIK sedang merusak kunci kontak sepeda motor yang
akan diambil datanglah saksi korban MUHAMAD DESTIO SUGIARTO
meneriaki PUDIK alias ERIK karena panik kemudian PUDIK alias ERIK
yang belum sempat mengambil sepeda motor langsung kabur melewati
terdakwa sedangkan saksi korban MUHAMAD DESTIO SUGIARTO
yang berada dibelakang PUDIK alias ERIK melihat terdakwa sedang
menunggu di sepada motor dan berusaha kabur namun terdakwa berhasil
ditangkap Berdasarkan fakta tersebut maka unsur dilakukan oleh dua
orang atau lebih secara bersama-sama telah terpenuhi.
Keempat, unsur Jika niat untuk itu telah nyata dari adanya
73
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri, Bahwa berdasarkan
fakta yang terungkap dipersidangan bahwa pada saat mengambil sepeda
motor tersebut dengan cara PUDIK alias ERIK masuk keteras rumah dan
menuju sepeda motor, lalu PUDIK alias ERIK berdiri disamping sepada
motor sambil memegang kunci letter T kemudian merusak kontak sepeda
motor namun saat PUDIK alias ERIK sedang merusak kunci kontak
sepeda motor yang akan diambil datanglah saksi korban MUHAMAD
DESTIO SUGIARTO meneriaki PUDIK alias ERIK karena panik
kemudian PUDIK alias ERIK yang belum sempat mengambil sepeda
motor langsung kabur melewati terdakwa sedangkan saksi korban
MUHAMAD DESTIO SUGIARTO yang berada dibelakang PUDIK alias
ERIK melihat terdakwa sedang menunggu di sepada motor. Oleh karena
itu perbuatan terdakwa mengambil barang berupa sepeda motor tersebut
tidak jadi selesai karena perbuatan terdakwa telah diketahui saksi
MUHAMAD DESTIO SUGIARTO ; Berdasarkan fakta tersebut maka
unsur Jika niat untuk itu telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan,
dan tidak selesainya pelaksanaan iu, bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri telah terpenuhi.
Dari penjabaran diatas, penulis sependapat dengan apa yang telah
diterapkan oleh jaksa penuntut dalam menerapkan pasal percobaan
pencurian tersebut. Hal tersebut penulis nilai sesuai dengan judex facti
sebagaimana keterangan yang didapat dari BAP yang digunakan sebagai
dasar penuntutan oleh jaksa penuntut umum.
B. Pertimbangan Hakim dalam perkara Nomor
14/PID.Sus.Anak/2015/PN.Bks.
1. Kronologi Kasus
Bahwa terdakwa Riki Nur Alvian Alias Riki Bin Rinan dan PUDIK
Alias ERIK (masih dalam pencarian) pada hari Senin tanggal 23 Pebruari
2015 sekira jam. 21.00 Wib atau pada waktu lain dalam bulan Pebruari
74
2015 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2015, bertempat
di Perum Pondok Ungu Permai Blok AL 16/04 RT. 005/011 Kelurahan
Bahagia Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi atau setidak-tidaknya pada
suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan
Negeri Bekasi, yang memeriksa dan mengadili perkara ini, telah
mengambil sesuatu barang berupa 1 (satu) Unit sepeda motor merk Honda
Vario warna Hitam tahun 2013 No. Pol. B-3142-FLS yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan MUHAMAD DESTIO SUGIATO atau setidak
tidaknya milik orang lain selain terdakwa dengan maksud untuk dimiliki
barang itu dengan melawan hukum, dilakukan oleh dua orang bersama-
sama atau lebih, dan jika niat itu untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Perbuatan tersebut
dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut:
Pada awalnya Terdakwa dan PUDIK Alias ERIK sepakat untuk
mencari sepeda motor yang dapat diambil dengan melawan hukum. Lalu
pada saat terdakwa dan PUDIK Alias ERIK melintasi Perum Pondok Ungu
Permai Blok AL 16/04 RT. 005/011 Kelurahan Bahagia Kecamatan
Babelan Kabupaten Bekasi, terdakwa dan PUDIK Alias ERIK melihat ada
1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Vario milik MUHAMAD DESTIO
SUGIARTO yang sedang terparkir di teras rumah dalam keadaan kunci
stang, kemudian timbul niat terdakwa dan PUDIK alias ERIK untuk
mengambil sepeda motor tersebut dimana terdakwa bertugas menunggu
diujung gang dekat rumah MUHAMAD untuk mengawasi sedangkan
PUDIK alias ERIK bertugas mengambil sepeda motor tersebut dengan
cara PUDIK alias ERIK masuk keteras rumah dan menuju sepeda motor,
lalu PUDIK alias ERIK berdiri disamping sepada motor sambil memegang
kunci letter T kemudian merusak kontak sepeda motor namun saat PUDIK
alias ERIK sedang merusak kunci kontak sepeda motor yang akan diambil
datanglah MUHAMAD DESTIO SUGIARTO meneriaki PUDIK alias
ERIK karena panik kemudian PUDIK alias ERIK yang belum sempat
75
mengambil sepeda motor langsung kabur melewati terdakwa sedangkan
MUHAMAD DESTIO SUGIARTO yang berada dibelakang PUDIK alias
ERIK melihat terdakwa sedang menunggu di sepada motor dan berusaha
kabur namun terdakwa berhasil ditangkap dan diamankan ke Polsek
Babelan guna di proses lebih lanjut.
1. PERTIMBANGAN HAKIM
a. Tuntutan oleh Penuntut Umum
1. Menyatakan terdakwa RIKI NUR ALVIAN Alias RIKI Bin
RINAN terbukti secara sa h dan meyakinkan telah bersalah
melakukan tindak pidana ”Percobaan Pencurian dengan
Pemberatan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 ayat (1) ke-5
KUHP jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa RIKI NUR ALVIAN
Alias RIKI Bin RINAN selama: 5 (lima) bulan dikurangi selama
terdakwa dalam tahanan sementara;
3. Menetapkan barang bukti berupa :
- 1 (satu) Unit sepeda motor merk Honda NC12A1CF A/T
(Vario 125) warna Hitam tahun 2013 No. Pol. B-3142-FLS
Noka : MH1JFB11XDK499304, Nosin : JFB1E1499472;
- 1 (satu) buah STNK asli sepeda motor merk Honda
NC12A1CF A/T (Vario 125) warna Hitam tahun 2013 No. Pol.
B-3142-FLS Noka : MH1JFB11XDK499304, Nosin :
JFB1E1499472 atas nama TIO AUZAN HAWALI alamat Pd.
Ungu Permai Blok AL-16/4 RT.5/11 Bahagia Babelan
Kabupaten Bekasi, Agar dikembalikan kepada TIO AUZAN
HAWALI
- 1 (satu) Unit sepeda motor merk Honda VARIO warna Putih
Biru No. Pol. B-3336-UCW Agar dirampas untuk Negara ;
4. Menetapkan terdakwa supaya dibebani membayar biaya perkara
sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah)
76
b. Keterangan Saksi-Saksi
Menimbang, bahwa untuk membuktikan dakwaannya Penuntut Umum
telah mengajukan saksi-saksi sebagai berikut :
a. Saksi MUHAMAD DESTIO SUGIARTO, dibawah sumpah/janji pada
pokoknya menerangkan sebagai berikut:
1) Bahwa saksi tidak kenal dengan terdakwa, tidak ada hubungan
keluarga dengan terdakwa.
2) Bahwa pada hari Senin tanggal 23 Pebruari 2015 sekira jam. 21.00
Wib, bertempat di Perum Pondok Ungu Permai Blok AL 16/04 RT.
005/011 Kelurahan Bahagia Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi,
telah mengambil sesuatu barang berupa 1 (satu) Unit sepeda motor
merk Honda Vario warna Hitam tahun 2013 No. Pol. B-3142-FLS
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan MUHAMAD
DESTIO SUGIATO.
3) Bahwa saksi mengetahui ada kejadian tersebut akan keluar dari
dalam rumah saksi, kemudian saksi melihat ada seorang laki-laki
berada diteras rumah sedang berdiri disamping sepeda motor Honda
Vario Techno 125 milik saksi, saksi melihat orang tersebut
memegang besi seperti kunci letter T yang akan dipergunakan untuk
merusak kinci kontak, kemudian saksi berkata ”Ngapain kamu
disitu” dijawab olah orang tersebut ”saya mau mencari teman saya”
saksi berkata ”kamu mau mencuri motor saya” kemudian orang
tersebut melarikan diri dan saksi mengejar orang tersebut sambil
berteriak ”maling” dan warga sekitar keluar rumah mengejar laki-
laki tersebut.
4) Bahwa pada waktu di ujung gang saksi melihat seorang laki-laki
sedang memegang sepeda motor, kemudian saksi berkata ”kamu
teman yang akan mengabil motor saya” orang tersebut melarikan diri
77
sambil menuntun sepada motor, kemudian orang tersebut dapat
ditangkap oleh warga kemudian diamankan ke kantor RW;
Atas keterangan saksi, terdakwa membenarkan.
b. Saksi AGUS SALIM, dibawah sumpah/janji pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
a. Bahwa saksi tidak kenal dengan terdakwa, tidak ada hubungan
keluarga dengan terdakwa.
b. Bahwa pada hari Senin tanggal 23 Pebruari 2015 sekira jam. 21.00
WIB, bertempat di Perum Pondok Ungu Permai Blok AL 16/04 RT.
005/011 Kelurahan Bahagia Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi,
telah mengambil sesuatu barang berupa 1 (satu) Unit sepeda motor
merk Honda Vario warna Hitam tahun 2013 No. Pol. B-3142-FLS
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan MUHAMAD
DESTIO SUGIATO.
c. Bahwa saksi mengetahui ada kejadian tersebut akan keluar dari
dalam rumah saksi, kemudian saksi melihat ada seorang laki-laki
berada diteras rumah sedang berdiri disamping sepeda motor Honda
Vario Techno 125 milik saksi, saksi melihat orang tersebut
memegang besi seperti kunci letter T yang akan dipergunakan untuk
merusak kinci kontak, kemudian saksi berkata ”Ngapain kamu
disitu” dijawab olah orang tersebut ”saya mau mencari teman saya”
saksi berkata ”kamu mau mencuri motor saya” kemudian orang
tersebut melarikan diri dan saksi mengejar orang tersebut sambil
berteriak ”maling” dan warga sekitar keluar rumah mengejar laki-
laki tersebut.
d. Bahwa pada waktu di ujung gang saksi melihat seorang laki-laki
sedang memegang sepeda motor, kemudian saksi berkata ”kamu
teman yang akan mengabil motor saya” orang tersebut melarikan diri
sambil menuntun sepada motor, kemudian orang tersebut dapat
ditangkap oleh warga kemudian diamankan ke kantor RW.
Atas keterangan saksi, terdakwa membenarkan.
78
c. Saksi Taskim Bin Warkin (Alm), dibawah sumpah/janji pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
1) Bahwa saksi tidak kenal dengan terdakwa, tidak ada hubungan
keluarga dengan terdakwa.
2) Bahwa pada hari Senin tanggal 23 Pebruari 2015 sekira jam. 21.00
Wib, bertempat di Perum Pondok Ungu Permai Blok AL 16/04 RT.
005/011 Kelurahan Bahagia Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi,
ada pencurian 1 (satu) Unit sepeda motor merk Honda Vario warna
Hitam tahun 2013 No. Pol. B-3142-FLS yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan MUHAMAD DESTIO SUGIATO.
3) Bahwa pada awalnya saksi sedang bertugas sebagai petugas
keamanan /Security Rw.012 sedang berkeliling/berpatroli melihat 2
(dua) lali-laki mengendari sepeda motor Honda Vario warna putih
biru melintas masuk kewilayah RW.012, saksi mengira bahwa kedua
orang tersebut adalah tamu warga RW. 012.
4) Bahwa kemudian saksi mendapat informasi dari warga, bahwa warga
telah mengamankan seorang laki-laki di kantor RW yang diduga
telah melakukan Percobaan Pencurian, setelah sampai di kantor RW
saksi melihat seorang lakilaki yang melintas masuk ke Perumhanan
RW.012 dan melihat sepeda motor Honda Vario warna putih biru
tersebut, dan telah diamankan ke kantor RW; Atas keterangan saksi,
terdakwa membenarkan.
d. Kesaksian Terdakwa dipersidangan telah memberikan keterangan yang
pada pokoknya sebagai berikut:
1) Bahwa pada hari Senin tanggal 23 Pebruari 2015 sekira jam. 21.00
Wib, bertempat di Perum Pondok Ungu Permai Blok AL 16/04 RT.
005/011 Kelurahan Bahagia Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi,
telah mengambil sesuatu barang berupa 1 (satu) Unit sepeda motor
merk Honda Vario warna Hitam tahun 2013 No. Pol. B-3142-FLS
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan MUHAMAD
DESTIO SUGIATO.
79
2) Bahwa pada awalnya Terdakwa dan PUDIK Alias ERIK sepakat
untuk mencari sepeda motor yang dapat diambil, pada saat terdakwa
dan PUDIK Alias ERIK melintasi Perum Pondok Ungu Permai Blok
AL 16/04 RT. 005/011 Kelurahan Bahagia Kecamatan Babelan
Kabupaten Bekasi, terdakwa dan PUDIK Alias ERIK melihat ada 1
(satu) unit sepeda motor merk Honda Vario milik yang sedang
terparkir di teras rumah dalam keadaan kunci stang.
3) Bahwa kemudian timbul niat terdakwa dan PUDIK alias ERIK untuk
mengambil sepeda motor tersebut dimana terdakwa bertugas
menunggu diujung gang dekat rumah saksi korban untuk mengawasi
sedangkan PUDIK alias ERIK bertugas mengambil sepeda motor
tersebut dengan cara PUDIK alias ERIK masuk keteras rumah dan
menuju sepeda motor, lalu PUDIK alias ERIK berdiri disamping
sepada motor sambil memegang kunci letter T kemudian merusak
kontak sepeda motor namun saat PUDIK alias ERIK sedang merusak
kunci kontak sepeda motor yang akan diambil datanglah saksi
korban MUHAMAD DESTIO SUGIARTO meneriaki PUDIK alias
ERIK karena panik kemudian PUDIK alias ERIK yang belum
sempat mengambil sepeda motor langsung kabur melewati terdakwa
sedangkan saksi korban MUHAMAD DESTIO SUGIARTO yang
berada dibelakang PUDIK alias ERIK melihat terdakwa sedang
menunggu di sepada motor dan berusaha kabur namun terdakwa
berhasil ditangkap dan diamankan ke Polsek Babelan guna di proses
lebih lanjut.
Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut
Umum dengan dakwaan Tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal
363 ayat (1) ke- 4 KUHP jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP yang unsur-
unsurnya adalah sebagai berikut:
1. barang siapa ;
80
2. mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum ;
3. dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama
4. Jika niat untuk itu telah nyata dari adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-
mata disebabkan karena kehendaknya sendiri;
c. Pembelaan Penasehat Hukum
Setelah mendengar pembelaan Penasihat Hukum Terdakwa yang
pada pokoknya sebagai berikut:
A. UTAMA
1. Memperingan, merehabilitasi, merekomendasi Bapak Bogor saat
siajukan permohonan didepan sidang pada hari Kamis tanggal 19 Maret
2015, selanjutnya untuk membebaskan klien kami dari tahanan Bulak
Kapal (LP Bulak Kapal Bekasi) karena itu adalah tahanan orang
dewasa;
2. Bahwa klien kami sangat menyesal atas perbuatannya, sehingga
mengakibatkan diri dantubuh terdakwa babak belur, berlumuran darah
dihakimi masa;
3. Bahwa klien kami yakin apa yang diperbuat tidak ada niat apalagi
rencana dan hanya kekhilafan belaka (sebagai manusia tidak sempurna)
karena terpancing dengan telpon yang tidak jelas dari Sdr. Erik yang
saat ini DPO;
Bahwa klien kami sangat menyesal dan telah bertobat saat dilakukan
penunjukan sebagai Penasihat Hukum ditingkat Kepolisian dan klien
kami tidak sebagai terdakwa pencuri motor (wa allahu alam bi sawwab)
karena apes / naas ada pada manusia tetapi sabab musababnya berbeda
beda (kriminalisasi)
2. ALTERNATIF
Apabila Ibu Hakim berpendapat lain, mohon diadili sendiri dengan
81
prinsip keadilan berlaku bagi terdakwa dalam pidana khusus anak masih
muda usia demi kemanusiaan sebagai tercermin demi keadilan berdasatkan
KETUHANAN YANG MAHA ESA. Setelah mendengar tanggapan
Penuntut Umum terhadap pembelaan Penasehat Hukum
Terdakwamenyatakan tetap pada tuntutannya; Setelah mendengar
tanggapan Penasehat Hukum Terdakwa terhadap tanggapan Penuntut
Umum yang pada pokoknya menyatakan tetap pada pembelaannya;
d. Pertimbangan hakim dalam penerapan hukum
Menimbang, bahwa selanjutnya Hakim akan mempertimbangkan
apakah berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut diatas, Terdakwa dapat
dinyatakan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya; Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut
Umum dengan dakwaan Tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal 363
ayat (1) ke- 4 KUHP jo.
Pasal 53 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. barang siapa ;
2. mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum ;
3. dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama
4. Jika niat untuk itu telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan,
dan tidak
selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya
sendiri;
Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur tersebut Hakim
mempertimbangkan
sebagai berikut:
a. Unsur barang siapa :
82
Menimbang, bahwa yang dimaksud ”barang siapa” tersebut
adalah menunjuk kepada orang sebagai subyek hukum yang
mampu bertanggung jawab atas setiap perbuatannya, dalam hal ini
subyek hukum dimaksud adalah Terdakwa dengan identitas nya
sebagaimana disebutkan didalam dakwaan Penuntut Umum;
Menimbang, bahwa dipersidangan Terdakwa tidak membantah
identitas tersebut, Terdakwa juga dapat menjawab setiap
pertanyaan diajukan dipersidangan, sehingga dapat disimpulkan
Terdakwa mampu bertanggung jawab atas setiap perbuatannya ;
Berdasarkan fakta tersebut maka unsur barang siapa telah
terpenuhi.
b. Unsur mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum :
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap
dipersidangan,bahwa pada hari Senin tanggal 23 Pebruari 2015
sekira jam. 21.00 Wib, bertempat di Perum Pondok Ungu Permai
Blok AL 16/04 RT. 005/011 Kelurahan Bahagia Kecamatan
Babelan Kabupaten Bekasi, terdakwa telah mengambil sesuatu
barang berupa 1 (satu) Unit sepeda motor merk Honda Vario warna
Hitam tahun 2013 No. Pol. B-3142-FLS yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan MUHAMAD DESTIO SUGIATO,
mengambil sepeda motor tersebut dengan cara PUDIK alias ERIK
masuk keteras rumah dan menuju sepeda motor, lalu PUDIK alias
ERIK berdiri disamping sepada motor sambil memegang kunci
letter T kemudian merusak kontak sepeda motor namun saat
PUDIK alias ERIK sedang merusak kunci kontak sepeda motor
yang akan diambil datanglah saksi korban MUHAMAD DESTIO
SUGIARTO meneriaki PUDIK alias ERIK karena panik kemudian
PUDIK alias ERIK yang belum sempat mengambil sepeda motor
langsung kabur; Berdasarkan fakta tersebut maka unsur mengambil
83
barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum telah
terpenuhi.
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap
dipersidangan, bahwa PUDIK alias ERIK pada hari telah mencoba
mengambil 1 (satu) Unit sepeda motor merk Honda Vario warna
Hitam tahun 2013 No. Pol. B-3142-FLS yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan MUHAMAD DESTIO SUGIATO
yang diletakkan di teras rumah yang berada dalam pekarangan
tertutup yang dilakukan PUDIK alias ERIK dengan cara merusak
kontak sepeda motor dengan menggunakan kunci letter T, pada
saat PUDIK alias ERIK sedang merusak kunci kontak sepeda
motor yang akan diambil datanglah saksi korban MUHAMAD
DESTIO SUGIARTO meneriaki PUDIK alias ERIK karena panik
kemudian PUDIK alias ERIK yang belum sempat mengambil
sepeda motor langsung kabur melewati terdakwa sedangkan saksi
korban MUHAMAD DESTIO SUGIARTO yang berada
dibelakang PUDIK alias ERIK melihat terdakwa sedang menunggu
di sepada motor dan berusaha kabur namun terdakwa berhasil
ditangkap dan diamankan ke Polsek Babelan guna di proses lebih
lanjut; Berdasarkan fakta tersebut maka unsur pada waktu malam
dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya
telah terpenuhi.
c. Unsur dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-
sama
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap
dipersidangan bahwa pada saat untuk mengambil sepeda motor
tersebut dimana terdakwa bertugas menunggu diujung gang
dekat rumah saksi korban untuk mengawasi sedangkan PUDIK
alias ERIK bertugas mengambil sepeda motor tersebut dengan
cara PUDIK alias ERIK masuk keteras rumah dan menuju
84
sepeda motor, lalu PUDIK alias ERIK berdiri disamping sepada
motor sambil memegang kunci letter T kemudian merusak
kontak sepeda motor namun saat PUDIK alias ERIK sedang
merusak kunci kontak sepeda motor yang akan diambil
datanglah saksi korban MUHAMAD DESTIO SUGIARTO
meneriaki PUDIK alias ERIK karena panik kemudian PUDIK
alias ERIK yang belum sempat mengambil sepeda motor
langsung kabur melewati terdakwa sedangkan saksi korban
MUHAMAD DESTIO SUGIARTO yang berada dibelakang
PUDIK alias ERIK melihat terdakwa sedang menunggu di
sepada motor dan berusaha kabur namun terdakwa berhasil
ditangkap Berdasarkan fakta tersebut maka unsur dilakukan oleh
dua orang atau lebih secara bersama-sama telah terpenuhi.
d. Unsur Jika niat untuk itu telah nyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan
iu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri:
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap
dipersidangan bahwa pada saat mengambil sepeda motor
tersebut dengan cara PUDIK alias ERIK masuk keteras rumah
dan menuju sepeda motor, lalu PUDIK alias ERIK berdiri
disamping sepada motor sambil memegang kunci letter T
kemudian merusak kontak sepeda motor namun saat PUDIK
alias ERIK sedang merusak kunci kontak sepeda motor yang
akan diambil datanglah saksi korban MUHAMAD DESTIO
SUGIARTO meneriaki PUDIK alias ERIK karena panik
kemudian PUDIK alias ERIK yang belum sempat mengambil
sepeda motor langsung kabur melewati terdakwa sedangkan
saksi korban MUHAMAD DESTIO SUGIARTO yang berada
dibelakang PUDIK alias ERIK melihat terdakwa sedang
menunggu di sepada motor.
85
Menimbang, bahwa oleh karena itu perbuatan terdakwa
mengambil barang berupa sepeda motor tersebut tidak jadi
selesai karena perbuatan terdakwa telah diketahui saksi
MUHAMAD DESTIO SUGIARTO ; Berdasarkan fakta tersebut
maka unsur Jika niat untuk itu telah nyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan iu,
bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri
telah terpenuhi.
3. Amar Putusan
Dalam analisis putusan tersebut hakim mengadili :
1. Menyatakan terdakwa RIKI NUR ALVIAN Alias RIKI Bin RINAN
tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana "Percobaan Pencurian dalam keadaan
memberatkan ";
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama : 2 (dua) bulan dan 15 (lima belas) hari;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5. Menetapkan barang bukti berupa :
- 1 (satu) Unit sepeda motor merk Honda NC12A1CF A/T (Vario
125) warna Hitam tahun 2013 No. Pol. B-3142-FLS Noka :
MH1JFB11XDK499304, Nosin : JFB1E1499472;
- 1 (satu) lembar STNK asli sepeda motor merk Honda NC12A1CF
A/T (Vario 125) warna Hitam tahun 2013 No. Pol. B-3142-FLS Noka
: MH1JFB11XDK499304, Nosin : JFB1E1499472 atas nama TIO
AUZAN HAWALI alamat Pd. Ungu Permai Blok AL-16/4 RT.5/11
Bahagia Babelan Kabupaten Bekasi, Dikembalikan kepada TIO
AUZAN HAWALI;
- 1 (satu) Unit sepeda motor merk Honda VARIO warna Putih Biru
No. Pol. B-3336-UCW.
86
Dirampas untuk Negara ;
6. Membebankan terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp.
2.000,- (dua ribu
rupiah);
Dalam hal ini, putusan hakim anak harus mempertimbangkan
mengenai unsur-unsur yang di dakwa oleh jaksa penuntut umum. Dalam
hal ini hakim harus melihat terpenuhinya unsur-unsur tersebut karena
apabila ada salah satu unsur yang tidak terpenuhi/terbukti maka anak
akan diputus bebas. Dalam putusan pertimbangan hakim anak tersebut
harus merujuk pada ketentuan alat bukti yang terdapat dalam pasal 184
KUHAP dan juga berdasarkan menurut para ahli maupun yurisprudensi
untuk menentukan batasan lamanya hukuman pidana tersebut. Hakim
anak juga menguraikan tentang keadaan baik yang meringankan maupun
yang memberatkan.
Dari uraian pertimbangan majelis hakim diatas, penulis
sependapat dengan pendapat putusan majelis hakim yang memutus
perkara dengan menghukum terdakwa dengan pidana 2 bulan 15 hari.
Hal tersebut diuraikan sebagai berikut:
Petama, bahwa dalam memutus perkara tersebut majelis hakim
mempertimbangkan segala, aspek. Baik dalam segi subjektif perilaku
dalam persidangan maupun tindakan yang dilakukan oleh terdakwa.
Sehingga apa yang telah ditetapkan oleh majelis hakim sudah sesuai
dengan judex facti yang diperoleh dari persidangan. Baik dari keterangan
seksi maupun dari bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan.
Kedua, dengan pemidanaan tersebut tentu akan menimbulan
dampak penyesalan dari terdakwa untuk tidak melakukan tindakan
tersebut untuk selanjutnya. Itu artinya tujuan untuk memberikan efek jera
kepada terdakwa akan dapat diperoleh. Hukuman berupa 2 bulan 15 hari
ini bukanlah suatu hukuman yang besar apabila melihat bahwa terdakwa
tidak besetatus sebagai pelajar. Dimana pelaku adalah seorang buruh
yang nota bene dengan pergaulan setiap harinya dapat dikatakan telah
87
dewasa. Sehingga pemidanaan selama 2 bulan 15 hari, menurut penulis
tidak terlalu memberatkan.
Ke tiga, bahwa apabila dilihat dari aspek keadilan, maka
pemberian hukuman dengan pertimbangan yang dilakukan oleh majelis
hakim menurut penulis sudah adil. Dimana semua permohonan yang
diminta oleh terdakwa yang memalui pembelan yang ia lakukan sebagai
pertimbangan diakomodir oleh majelis hakim sehingga memutus perkara
tersebut dengan pidana yang cukup ringan. Dengan seperti ini manurut
penulis telah sepadan anata petimbangan permohonan dan akibat
tindakan terdakwa.
Ke empat, bahwa pemberian hukuman terhadap terdakawa oleh
majelis hakim sudah mencerminkan sifat kemanfaatan hukum yang
diterapkan. Dimana tentu dengan dipidanakannya terdakwa sebagai
bentuk upaya jera terhadap terdakwa untuk tidak melakukan tindakan
tersebut dikemudian hari akan bermanfaan terhadap ketentraman
kehidupan masyarakat. Tentu dengan dipidanakannya terdakwa akan
bermanfaat pula bagi calon pelaku untuk tidak melakukan tindakan
serupa.
Ke lima, secara hukum pidana islam, seorang anak adalah mereka
yang belum baligh. Apabila sudah memasuki usia baligh maka dia sudah
dikatakan sebagai mukallaf (orang yang dibebani hukum syariat).
Biasanya seorang laki-laki akan memasuki usia baligh pada usia 15
tahun, dari usia itulah mereka harus memulai melakukan kewajiban yang
harus dijalani setiap muslim. Jika melihat peritiwa diatas, bahwa usia
terdakwa dalah 17 tahun maka sudah dipastikan secara hukum islam
terdakwa sudah dapat dikenakan hukum secara kaffah. Akan tetapi bila
melihat hukum posistif maka dia
masih dikategorikan anak-anak. Dari itu maka penulis
menganggap bahwa pemberian hukuman tersebut sudah sesuai sebagi
konsekwensi terhadap tindakan seorang yang telah berakal (dapat
menentukan baik dan buruk) dan baligh.
88
88
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Penerapan hukum yang ditetapkan oleh jaksa penuntut umum dalam putusan
nomor 14/PID.SUS.Anak/2015/PN.Bks). Penerapan hukum dalam
menjerat terdakwa adalah dengan menerapkan Pasal 363 ayat (1) ke-5
KUHP jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP dalam penerapan tersebut jaksa penuntut
umum melihat kronologi yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Bahwa
Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan
Tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal 363 ayat (1) ke- 4 KUHP jo. Pasal
53 ayat (1) KUHP. Dari pasal yang digunakan tersebut jaksa penuntut
umum menyesuaikan dengan keterangan baik dari saksi maupun dari
katerangan bukti. Sehingga dari penerapan hukum (dakwaan) tersebut, jaksa
penuntut umum melakukan penuntutan berupa, 1 Menyatakan terdakwa
Riki Nur Alvian Alias Riki Bin Rinan terbukti secara sah dan meyakinkan
telah bersalah melakukan tindak pidana ”Percobaan Pencurian dengan
Pemberatan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP
jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP. 2 Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Riki
Nur Alvian Alias Riki Bin Rinan selama: 5 (lima) bulan dikurangi selama
terdakwa dalam tahanan sementara dan menetapkan barang bukti yang
digunakan dalam proses peradilan.
2. Pertimbangan yang dilakukan dalam putusan nomor
14/PID.SUS.Anak/2015/PN.Bks). berkaitan dengan dakwaan yang telah
dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Dimana dalam persidangan jaksa
penuntut umum telah memaparkan kronologis kasus dengan menghadirkan
saksi-saksi untuk dimintai keterangan-keterangan kemudian didatengkan
bukti-bukti sebagai pertimbangan dalam memutus perkara tersebut.
Sehingga dari semua pembuktian tersebut majelis hakim menyatakan bahwa
perbuatan terdakwa secara sah dan meyakinkan telah melanggar pasal 363
ayat (1) ke 5 KUHP jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP. Kemudian
89
mempertimbangkan hal-hal yang meringankan berupa bahwa terdakwa telah
menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulangi kembali.
Mepertimbangkan bahwa perbuatan terdakwa telah membuat keresahan bagi
masyarakat sehingga harus ada upaya prefentif terhadap terdakwa. Dari
semua pertimbangan tersebut hakim menghukum terdakwa dengan pidana 2
bulan 15 hari.
B. SARAN/ REKOMENDASI
1. Kepada aparatur penegak hukum, penulis memberikan saran bahwa
dalam menangani perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak harus
memperhatikan dampak kedepan bagi anak apabila ia akan dikenakan
hukum berupa pemidanaan. Penegak hukum harus mengupayakan
adanya diversi apabila memungkinkan untuk dilaksanakan. Apabila
diversi tidak dapat dilaksanakan karena syarat untuk pelaksanaanya tidak
terpenuhi, maka majelis hakim seharusnya memberikan hukuman berupa
pembinaan kepada anak, sehingga proses pendidikan yang harus
diperoleh oleh anak dapat tetap terlaksana.
2. Kepada orang tua, penulis memberikan saran agar kedua orang tua harus
lebih memperhatikan anak nya, dan memberikan education yang lebih
kepada anak. Agar anak paham dengan suatu hal atau tindakan yang
tidak boleh dilakukan maupun yang boleh dilakukan. Agar anak lebih
memahami ketentuan-ketentuan hukum di Indonesia maupun Hukum
Islam itu sendiri.
3. Kepada Masyarakat, penulis memberikan saran agar masyarakat lebih
memberikan perhatian kepada anak-anak. Apabila ada seorang anak yang
melakukan tindak pidana seharusnya masyarakat memberikan
perlindungan dan pembelajaran terhadap anak tersebut. Agar anak
tersebut tidak mengulangi perbuatan nya lagi.
90
DAFTAR PUSTAKA
As-Shabuni, Ali. Tafsir Ayat Ahkam as-Shabuni Jilid I Terjemahan Muammal
Hamidi dan Imran A.Manan, Dar al-Ilmiyah, 1995.
Atmasasmita, Romli. Bunga Rampai Kriminologi, Rajawali, Jakarta. 1984.
B. Simanjuntak. Latar Belakang Kenakalan Remaja, Alumni, Bandung, 1984.,
Bimo Walgito, Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency), Yayasan Penerbit
Fakultas Psikologi UGM, Jogyakarta, 1982.,
D. Y. Atta, Pokok-Pokok Pelaksanaan Sidang Perkara Anak Di Pengadilan
Negeri Dalam Daerah Hukum Pengadilan Tinggi Jakarta, Bina Cipta,
Jakarta, 1979.,
Daradjat, Zakiah. Remaja Harapan dan Tantangan. Ruhama, Jakarta, 1994.
Djamil, M. Nasir, Anak Bukan Untuk Dihukum catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013.
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier, Yogyakarta: Liberty, 1998.
Fahrudin, Ida Z. Beberapa Catatan Mengenai Pendidikan Anak-Anak di Bandung,
Fakultas Hukum Unpad, 1961,
Hadisupranto, Paulus. Pemberian Malu Integratif sebagai Sarana Non-Penal
Penaggulangan Perilaku Delinkuensi Anak. Disertai Doktor Ilmu Hukum,
UNDIP, 2003.,
Hamzah, Andi. KUHP Jepang Sebagai Perbandingan. Seri KUHP Negara-
Negara Asing, Editor. Ghalia Indonesia, 1987.,
Hamzah, Andi. KUHP Republik Korea sebagai Perbandingan. Seri KUHP
Negara-Negara Asing, Editor. Ghalia Indonesia, 1987.,
Hazel B. Kapper and J. Israel, Introduction To The Criminal Justice System,
Second Edition, 1979,
Ilyas, Amir. Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: PuKAP-Indonesia, 2012
Kartono, Kartini. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Rajawali, Jakarta, 1992.,
Kartono, Kartini. Psikologi Anak, Alumni, Bandung, 1979
91
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru,
1984
Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), Yogyakarta : UII Press Yogyakarta,
1991.
Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,
Jakarta: PT Grasido, 2000.
Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Bina Aksara,
1985),
Mulyadi, Lilik, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, PT Alumni ,
Bandung, 2014.
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Anak di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2012.
Nation, United. Comparative On Juveline Delinquency. Part IV, Asia and The Far
East, 1953.
Natoins, United. Comparative Survey on Juvenile Delinquency, Part I. Nort
America, Departemen of Social Affairs Devition of Social Welfare, New
York, 1953.,
Rohmayanti, “Pertanggungjawaban Pidana Anak Di Bawah Umur Dalam Kasus
Pencurian Ditinjau Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif”, Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2018.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah, Jilid 9, Terj. Mohammad Nabhan Husein, Bandung
:Maarif, 1984.
Sambas, Nandang, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen
Internasional Perlindungan Anak serta Penerapannya, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2013.
Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Sosiologi, Tarsito, Bandung, 1977.,
Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, 1991.,
Sudarto, Hukum Pidana I A, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990.
92
Sunggono Bambang, metodologi penelitian hukum , Jakarta:P.T Raja Grafindo
Persada.
Syafiyudin Sastrawujaya, Beberapa Masalah Tentang Kenakalan Remaja,
Bandung: PT. Karya Nusantara, 1997.
Teer Haar dalam Syafiyudin Sastrawujaya, Beberapa Masalah Tentang
Kenakalan Remaja, PT. Karya Nusantara, Bandung, 1997.
Tongat, Hukum Pidana Materiil, Malang: UMM Press, 2006.
Zamahsari, Imam. Tinjauan hukum Islam terhadap pasal 26 UU No. 3 Tahun
1997 Tentang Penjatuhan Pidana Bagi Anak Nakal, Semarang: IAIN Wali
Songo, 2012.
Zuhri, Muhammad Fakhruddin. Analisis Terhadapa Batas Usia Dan
Pertanggungjawaban Pidana Anak Dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Semarang: Iain Wali Songo, 2012
Recommended