View
3
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
173
Implikasi Penyiaran Interaktif Terhadap
Pengelolaan Produksi Konten
Ido Prijana Hadi
Pendahuluan
Model komunikasi penyiaran interaktif/ dialogis telah lama dikembangkan
beberapa stasiun radio. Seperti era 1980-an di Radio ARH (Arif Rahman Hakim)
Jakarta dengan pendirinya (Alm) Zaenal Suryokusumo, biasa akrab di panggil Bang
Zen ketika siaran. Radio ARH mempunyai program “titik temu”, namun masih
konservatif dengan berkirim surat. Misalnya, surat seorang ibu menceritakan kalau
anaknya akan kuliah di kesehatan, maka kemudian menanyakan kira-kira dimana saja
terdapat Fakultas Kesehatan. Kemudian tim radio ARH itu mencarikan informasi
untuk diudarakan per 1 jam dan bisa diulang utuh beberapa jam kemudian.
174
Siaran interaktif radio kala itu terbatas hanya untuk memesan lagu atau titip
salam dalam program pilihan pendengar. Termasuk keluh-kesah atau berbagai
pendapat dan pengalaman, konsultasi atau tebakan kuis. Sementara program interaktif
sekarang jauh lebih berwarna dan beraneka. Pendengar terlibat langsung ‘mengudara’
dalam siaran. Pendengar terlibat aktif berinteraksi menggunakan telepon atau
handphone dengan penyiar atau narasumber (kehadiran pembicara yang diundang dari
luar) di studio siaran. Pendengar dalam beberapa kejadian, juga diundang hadir di
studio siaran. Karena sifatnya yang sarat muatan dialog ini, maka sering diberi istilah
sebagai talk show atau tontonan perbincangan.
Program interaktif di era kemudahan teknologi informasi bahkan menjadi
format, bukan lagi program. Siaran interaktif awalnya hanya siaran beberapa jam,
tetapi dengan berjalannya waktu tidak ada lagi konsep programming seperti di radio
lain pada umumnya. Seperti kasus di Radio Suara Surabaya (Radio SS), yang
ditegaskan Arifin (2010: 174) dialog dan interaktif ibarat “ruh”, karena
hampir setiap program atau acara selalu menghadirkan dialog interaktif. Pendengar
tidak sekedar berkomunikasi dua arah, tetapi juga ada motif hiburan, aktualisasi diri,
dan interaksi sosial.
Keterlibatan pendengar dalam proses produksi informasi terjadi setiap saat,
sehingga dengan format ini, radio berita bisa mengejar aktualitas berpacu melampau
media lainnya. Sinergi pendengar, gatekeeper, reporter dan penyiar menjadi sangat
penting, yang kemudian mengintegrasikan bagian- bagian tersebut dalam manajemen
siaran interaktif. Sebuah manajemen siaran yang mengemas nuansa siaran yang tidak
terpaku pada pola umum. Artinya setiap siaran yang sedang on-air bisa ‘disela’
dengan
175
informasi, apalagi bila sangat urgen untuk mengejar aktualitas berita. Fokus
pertanyaan penelitian yang ditelaah dalam penelitian ini adalah bagaimana implikasi
penyiaran interaktif terhadap pengelolaan produksi konten dalam studi kasus di Radio
SS?
Metode Penelitian
Paradigma penelitian ini adalah interpretif konstruktivis yaitu berusaha untuk
melakukan interpretasi dan memahami alasan-alasan dari para pelaku terhadap
tindakan sosial yang mereka lakukan, cara-cara dari para pelaku mengonstruksikan
kehidupan mereka dan makna yang mereka berikan kepada kehidupan tersebut.
Pendekatan penelitian kualitatif.
Metode penelitian yang digunakan studi kasus yaitu memfokuskan pada
pemahaman- pemahaman mendalam dari keunikan kasus itu sendiri, berusaha
menuturkan kisah atau bercerita seutuhnya, dengan etos etnografi dari kajian
interpretif, serta melacak makna-makna emik dari interpretasi subjek/ partisipan
terhadap suatu kasus. Sifat penelitian ideografis atau kasuistik, dimana fokus pada
pertanyaan tentang: apa yang dapat dipelajari dari kasus tunggal. Ini merupakan
pertanyaan epistemologis yang menjadi persoalan utama dalam penelitian ini.
Subyek penelitian sekaligus unit analisis adalah narasi-narasi kisah yang
diperoleh dari individu yang menjadi partisipan, memiliki kompetensi menjawab
fokus penelitian. Subyek penelitian dipilih secara purposive sampling dengan kriteria
mewakili pengelola radio, pejabat pemerintah, profesional, asosiasi radio, aparat
negara, dan pendengar aktif warga masyarakat biasa. Teknik pengumpulan data
melalui wawancara mendalam dengan subyek penelitian, pengamatan sebagai
partisipan dimana peneliti melakukan kontribusi
176
informasi ke SS sebagai pendengar aktif, penelaahan dokumen data hasil FGD dan
survei.
Hasil dan Pembahasan
Manajemen siaran di era teknologi komunikasi dan informasi sudah banyak
yang tidak membiasakan rapat redaksi secara fisik. Teknologi komunikasi mampu
menerabas ruang dan waktu, dimana sewaktu-waktu reporter dan pendengar bisa
melaporkan peristiwa dari manapun mereka berada. Di sisi lain, meskipun teknologi
sangat berperan, idealnya rapat redaksi satu meja secara periodik tetap dibutuhkan
agar ada diskusi tatap muka langsung antara manajer siaran atau pemberitaan dengan
tim reporter, bisa saling koordinasi dalam menjalankan peran news gathering di
lapangan.
Program interaktif dalam kasus di SS setiap hari, 60-70% berisi informasi lalu
lintas yang dilaporkan pendengar maupun narasumber polisi. Kepada penulis, Errol
Jonathans (Direktur Utama SS) menuturkan bahwa ia berharap kualitas materi
informasi lalu lintas makin meningkat, bukan sekedar melaporkan dan
menyampaikan. Tetapi, laporan informasi lalu lintas dari pendengar mampu
membentuk perilaku masyarakat untuk tertib berlalu lintas. Intinya, bila hanya
berhenti pada titik melaporkan saja, itu kompetensi dasar yang sudah tidak relevan,
masyarakat semakin menuntut. Pendengar merupakan sumber informasi sekaligus
inspirasi untuk mempengaruhi pendengar lain agar sadar dan tertib berlalu lintas.
Sehingga, meski tidak ada polisi di jalan, rambu lalu lintas tetap bisa bermakna.
Siaran interaktif informasi mendasarkan pada konsep jurnalistik dengan
memadukan jurnalistik warga. Seorang penyiar dan
177
petugas gatekeeper harus lebih menguasai jurnalistik dalam memandu laporan
pendengar. Laporan masuk pendengar yang menarik via telepon (bahkan via media
jejaring sosial) langsung dikembangkan gatekeeper. Mencari tahu dengan cepat,
mengejar dan menindaklanjuti informasi sesegera mungkin. Butuh pro-aktif,
kecakapan, kecepatan, ketepatan dan pengetahuan tersendiri untuk ‘mengangkat’ isu
menarik yang dilaporkan pendengar. Hal ini tidak bisa didiskusikan apalagi
dirapatkan di redaksi karena sesaat Dalam operasional sehari-hari, siaran interaktif
tetap mengedepankan keseimbangan. Muatan interaktif dan muatan pesan komersial
harus menjadi pilar yang berdiri sama kokoh. Tag line news- interaktif-solutif sebagai
ruh utama siaran seperti di SS dijaga dengan konsisten dan berkesinambungan 24 jam.
Kata solutif menjadi mindset kawan-kawan SS (sebutan akrab seluruh staf SS dan
pendengar). Bila mengangkat isu tertentu apa tujuannya, apakah untuk perorangan,
kelompok kecil, atau tujuan untuk masyarakat. Jadi feeling kawan-kawan SS terlatih
di situ.
Misalnya, kalau mengangkat isu jalan sering rusak dan banyak lobang harus
memberi solusi. Siapa pihak kompeten yang perlu dihubungi untuk mengambil
keputusan dan menjelaskan detail alokasi anggaran, mengapa jalan rusak menjelang
Pilkada. Apa ada hubungannya dengan program kampanye Cagub. Seperti dalam
Pilgub 2009 lalu kampanye Karsa (Soekarwo dan Saifullah Yusuf) salah satunya
mengusung tema, “Tiada Hari Tanpa Tambal Jalan”.
Tag-line tersebut akhirnya memberikan filosofi dan positioning sekaligus spirit
dalam bekerja, baik staf iklan, staf administrasi, staf teknik, reporter, penyiar,
gatekeeper maupun para pendengar setianya. Solusi artinya informasi memberi
manfaat bagi orang lain. Jadi
178
reporter, gatekeeper, penyiar dan pendengar adalah saling sinergi dalam praktik siaran
sehari-hari dari semua proses produksi konten siaran yang penuh dedikasi untuk
warga kota yang mereka layani.
Manajemen interaktif dalam proses siaran menentukan topik-topik siaran,
melalui insting para broadcaster, yaitu memilih topik-topik yang kira-kira bisa
menciptakan daya tarik siaran dan mampu menimbulkan partisipasi diskusi pendengar
yang besar. Bila insting redaksi sesuai bisa mendapat respon positif pendengar dan
pihak-pihak kompeten. Bila sebaliknya, hal ini bisa menimbulkan kontra produktif
karena tidak mengena, dan tidak semua isu besar menarik, justru isu lokal lebih
mempunyai ‘kedekatan’ emosional dengan warga.
Di sisi lain, hal paling sulit dalam manajemen siaran adalah menjaga prinsip
netralitas siaran, seperti diakui oleh Yoyong Burhanudin (Manajer Siaran SS) hasil
wawancara 1 Maret 2012, berikut ini:
“Unsur keberpihakan bukan sama sekali tidak ada, tetapi kecenderungan
keberpihakan kadang-kadang orang luar yang merasakan. Ada suara-suara
pendengar yang mengatakan SS terlalu membela polisi dalam persoalan lalu
lintas, kejaksaan, walikota, dsb. Kadang-kadang orang pemerintahan juga
bilang begitu, bahwa SS itu ‘mbelani’ rakyat ‘tok’. Membela komunitas ini, itu.
Sebenarnya dalam posisi ini ya barangkali kelemahan SS untuk tidak ‘pinter’
mengambil posisi netral. Walaupun SS sebenarnya berpegang dan menjaga
prinsip netralitas”
179
Secara profesionalitas dan teknik siaran, seorang penyiar dituntut menguasai
topik yang dibahas dengan wawasan pengetahuan yang luas, dan mampu membangun
imajinasi pendengar. Apa yang disampaikan memberikan penasaran publik pendengar,
dengan tetap menjaga prinsip netralitas dan menjaga pesan-pesan persuasi komersial
adlibs yang seimbang. Prinsip umum memproduksi dan mengelola siaran interaktif
harus memenuhi pola atau standar yang menjadi acuan radio agar fokus pada format
interaktif bisa berupa program talk show, liputan peristiwa harian, atau liputan khusus.
Prinsip-prinsip siaran interaktif di Radio SS yang berhasil diamati
penulis adalah: (1) penyiar di studio berfungsi sebagai moderator: membuka,
melemparkan gagasan, dan menutup acara; (2) gatekeeper menerima, mengutamakan,
dan menyeleksi telepon masuk untuk diteruskan ke penyiar di ruang studio untuk on-
air. (3) khusus program talk show, penyiar membuka dengan mengenalkan
narasumber, dan selanjutnya siaran diawali oleh narasumber di studio, kemudian
penelepon, dan seterusnya; (4) gatekeeper dan penyiar menerima para penelepon
dengan ramah; (5) penyiar dan narasumber di studio saling berdiskusi, dan berusaha
berkomentar imbang dengan melibatkan pendengar di luar studio.
Siaran Interaktif Meniadakan Clock Programming
Praktisi broadcaster radio pada umumnya mengelola bisnis radio menggunakan
apa yang disebutnya sistem clock programming untuk program acara 24 jam
keseluruhan. Program acara yang disusun dalam satuan waktu dengan unsur-unsur
yang sudah setting
180
pengaturannya sesuai urutan terpola. Seperti narasi penyiar, siklus musik, iklan,
promo radio dan promo program, laporan lalu-
lintas, laporan cuaca, reportase, dan lain-lain. Susunannya menyesuaikan dengan
prediksi lifestyle
pendengar pada jam-jam tersebut.
Sementara dalam siaran interaktif sistem clock tidak relevan, karena harus
mengutamakan hot news atau breaking news (berita sela) sesegera mungkin, sehingga
seringkali waktu talkshow atau blocking iklan yang akan diputar, disela untuk
informasi terbaru. Karena mendesak dan penting segera disiarkan untuk menanggapi
isu atau berita tertentu, agar diketahui publik. Bila dibuat sistem clock, semua berita
akan menjadi tidak aktual lagi. Kecepatan informasi menjadi tidak ada lagi sebagai
karakteristik radio siaran. Sistem clock sudah terformat (terprogram komputer)
keseluruhan, dimana polanya yang harus diikuti secara manual. Kasus di SS lebih
menekankan rambu-rambu siaran daripada sistem clock.
Rambu-rambunya adalah pertama, informasi wajib dipancarkan. Kedua iklan
tidak boleh tidak terputar. Iklan wajib diputar dalam kondisi dan segenting apapun.
Sistem pengaturan iklan terserah penyiar yang harus pandai mengatur. Prinsipnya
iklan tidak boleh ada yang sejenis diurutkan, baik itu iklan spot maupun adlib. Ketiga
baru memutar musik, bila di jam program siaran itu ada musik. Tetapi musik bisa
dihilangkan, sehingga yang wajib adalah informasi dan iklan. Untuk sistem
pengaturannya menyerahkan ke penyiar, yang harus pandai mengatur untuk handling
siaran. Asas-asas jurnalistik berlaku mengingat karakteristik dengan kecepatannya
yang sangat berbahaya ketika salah.
Radio siaran interaktif sulit sekali melakukan ralat ucapan ketika sudah
terlanjur on air. Sehingga ini menjadi fokus perhatian
181
pengelola siaran. Kunci utama program interaktif sebagai mekanisme pengamanan
adalah pada penyiar dan gatekeeper (filter penerima telepon masuk dari pendengar
sekaligus berfungsi sebagai jurnalis) sebagai pengendali siaran yang satu sama lain
harus mengetahui. Jadi garbage in-garbage out berada di gatekeeper. Peran mereka
sangat terbantu dengan teknologi link-in komputer agar bisa memonitor siaran.
Di sisi lain, penyiar mempunyai andil cukup besar dalam handling siaran untuk
mendukung kebetahan kenyamanan pendengar berlama-lama mendengarkan, namun
rupanya SS masih mempunyai kekurangan dalam hal ini, seperti diakui Iman
Dwihartanto (Manajer Pemberitaan) kepada penulis, 8 Oktober 2012 lalu :
“Penyebab ketidaknyamanan pendengar diantaranya adalah kualitas interaktif dengan
pendengar yang kurang. Penyiar kurang kritis dalam memberikan pertanyaan seperti
kurang menguasai materi/ topik. Dari sisi pendengar yang ‘on air’, banyak komplain
pendengar terlalu berlebihan. Beberapa pendengar ini ‘kok’ selalu melihat dunia ini
dengan tidak ada benarnya. Dari sisi internal SS, teknik ‘announcing’ penyiar kurang
bagus. Penguasaan materi penyiar kurang, terdengar ketika penyiar dan reporter
‘interview’ yang tidak bagus. Jadi yang paling mendukung adalah wawasan atau
pengetahuan penyiar”.
Pendengar Sebagai Pemasok Informasi dan Akurasi Berita
Program interaktif (phone in programme) diminati pendengar salah satu
alasannya adalah program ini bisa ‘memecah dinding’ penghalang antara ‘tembok’
studio siaran dengan publik pendengar di
182
luar, sehingga keduanya bisa saling berkomunikasi interaktif secara langsung apa
adanya. Jalinan komunikasi antara studio siaran dan pendengar bukan lagi monolog
(dari penyiar ke pedengar), melainkan sebuah dialog. Informasi aktual tersiarkan lebih
cepat, dan peluang partisipasi pendengar lebih leluasa.
Program interaktif menjawab tuntutan fitri masyarakat, yaitu keinginan untuk
berinteraksi satu sama lain sebagai sesama manusia. Bahkan interaktif merupakan
demokrasi dalam wujud kecil, dimana sebuah soal dibahas dengan menghadirkan
pandangan dari berbagai sudut. Program interaktif memiliki implikasi yang signifikan
bagi penegakan demokrasi. Karena pada program diskusi atau perdebatan muncul
beragam pandangan dan pendapat, yang bisa memperkaya wawasan pemahaman
pendengar mengenai persoalan yang sedang dibicarakan.
Kekuatan program interaktif adalah melibatkan partisipasi pendengar sehingga
mampu menyumbang upaya membangun warga masyarakat yang lebih peduli, publik
yang partisipatif.
Membiarkan pendengar berbicara on air membuat sikap optimistis warga masyarakat
dalam menyikapi berbagai persoalan, membangun sikap kritis dan menghindari
masyarakat diam.
Beragam pendapat pro-kontra mewarnai perjalanan SS karena melibatkan
pendengar dalam laporan jurnalistiknya. Publik yang kontra mengatakan bahwa radio
bukan tempatnya membiarkan jurnalistik jalanan, karena berisiko tinggi. Kebohongan
dalam sejenak bisa terjadi, karena itu akurasi berita (ketepatan informasi berdasarkan
fakta jurnalistik) dipertanyakan. Seandainya terdapat laporan pendengar tidak sesuai
fakta alias berbohong, dan pendengar notabene bukan lah jurnalis tetapi melaporkan
kejadian. Di sisi lain,
183
masyarakat pada umumnya tidak mengetahui soal akurasi, tetapi mempercayai
kebenaran informasi itu sendiri.
Hal ini telah disadari SS, bahwa mengelola acara interaktif tidak semuanya
menguntungkan. Jika pengelola tidak waspada, acara seperti ini mempunyai sisi
berbahaya. Sehingga tindakan preventifnya, penyiar dan gatekeeper harus awas
terhadap penelepon ngawur, yang memberi informasi sembarangan, salah, atau
bahkan membahayakan. Tidak setiap penelepon bisa langsung on air, ada mekanisme
pengenalan, seleksi dan pendataan jatidiri setiap pendengar oleh gatekeeper. Hal ini
dilakukan, untuk menghindari ancaman informasi yang bias, tidak akurat sesuai fakta
dan data, serta tidak jujur terhadap realitas. Sehingga tidak bisa diukur kesahihannya,
serta bisa dengan sengaja menjerumuskan dan menyesatkan pendengar lain dan media
itu sendiri.
Tantangan radio siaran interaktif lebih besar dibanding radio pada umumnya,
karenanya setiap penelepon yang memberikan informasi akan selalu dikenali oleh
penyiar dan gatekeeper. Karakter orang yang menelepon sangat beragam. Ada yang
suka menjadi komentator, ada yang suka mengikuti diskusi semua lini, ada yang suka
curhat atau mengeluh, banyak pendengar yang hanya ingin melaporkan informasi lalu
lintas saja, tetapi tidak sedikit pula pendengar yang mempunyai second agenda ketika
mengudara. Seperti dikatakan Iman Dwihartanto (Manajer Pemberitaan dan Penyiar
SS) kepada penulis 8 Oktober 2012:
184
“Sering terjadi bahwa pendengar itu membawa ‘second agenda’, pertama
mereka mau gabung dengan penyiar, kemudian diloloskan ‘gatekeeper’. Karena
katanya mempunyai informasi ini, itu
. . . Nah informasi kedua tadi biasanya tidak diungkapkan ke ‘gatekeeper’.
Karena itu sebagai penyiar, saya mesti potong ketika mereka berbicara ‘second
agenda’ diluar percakapan yang sedang dibicarakan. Beberapa orang merasa
terganggu ketika dipotong, indikasinya langsung sms ke pimpinan SS dan saya
dipanggil”.
Seorang gatekeeper harus bisa bertindak tegas sebelum sambungan telepon
diteruskan ke penyiar di ruang studio siaran. Jika sambungan telepon sudah terlanjur
diteruskan ke penyiar dan mengudara, maka penyiar lah yang harus berani mengambil
sikap tegas “tadi”, yaitu menghentikan keterlibatan si penelepon, tentu dengan cara
yang sopan. Peran penyiar sebagai ujung tombak siaran sangat penting, seperti ramah,
bersedia mendengarkan pendapat orang, tegas dan otoritatif (berwibawa).
Di sisi lain, media perlu memiliki kesadaran bahwa ia memanfaatkan ruang
publik yang merupakan ranah publik. Ruang publik dimaknai sebagai zona yang
bebas dan netral, tempat berlangsungnya dinamika kehidupan secara pribadi dan
terbebas dari tekanan negara, pasar, dan kolektivisme. Karena itu media seperti ditulis
Ashadi Siregar (2003:xix), harus membayangkan khalayak sebagai individu yang
memiliki otonomi dan independensi. Media tidak boleh mendikte khalayak tentang
apa yang harus mereka lakukan. Media harus menyediakan forum diskusi publik
tentang
185
berbagai persoalan publik yang bisa dipakai khalayak sebagai referensi mereka untuk
menghilangkan kecemasan informasi.
Hal terpenting dalam praktik media di ruang publik adalah menjaga objektivitas
melalui prinsip faktualitas dan ketidakberpihakan. Media menyampaikan pesan ke
khalayak secara apa adanya, tidak dikurangi dan tidak ditambah. Sekalipun tidak
mudah bagi media untuk bersikap netral, tetapi media tetap harus mencoba untuk
netral. Kasus PT Lapindo Brantas adalah salah satu contoh betapa sulitnya SS
mengelola netralitas. Hanya dengan bersikap netral media bisa berfungsi sebagai
mediator.
Prinsip netralitas dijaga agar informasi berimbang dan adil, dalam istilah
jurnalistik selalu melakukan balancing, crosscheck, dan check and recheck pada
pihak-pihak yang berkepentingan. Feeling sesaat penyiar ketika siaran tidak mudah
terbawa arus, dan tidak memihak ketika berdiskusi. Misalnya pihak A mengatakan
tentang pihak B, media akan cek ke pihak B, dan bila mengatakan
sebaliknya akan dicari sumber kedua. Media juga melaporkan sudut pandang
alternatif dan penafsiran dengan cara yang sedapat mungkin tidak sensasional dan
tidak bias.
Westerstahl seperti dikutip McQuail (2011:224) menegaskan keadilan merupakan
‘sikap netral’ dan harus diraih melalui kombinasi keseimbangan (penekanan waktu/
tempat yang sama/ proporsional) di antara penafsiran, sudut pandang, atau versi
peristiwa yang saling berlawanan dan netralitas dalam siaran. Rujukannya adalah
kualitas konten informasi dari para pendengar dengan memperhatikan, memahami,
mengingat dan sebagainya.
186
Posisi netral atau ketidakberpihakan harus dilakukan secara profesional agar
media bisa mengemban fungsi mediator dengan baik. Media tidak tunduk pada
pengendalian kuasa modal, politik atau pemerintah. Media hanya tunduk pada
kebenaran dalam melayani berbagai kepentingan, dengan keutuhan laporan, akurasi,
dan niat untuk tidak menyesatkan atau menyembunyikan hal yang relevan (berkaitan
dengan proses seleksi). McQuail (2011:223) menegaskan bahwa faktualitas merujuk
pada bentuk peliputan yang berkaitan dengan peristiwa dan pernyataan yang dapat
diperiksa terhadap sumber dan ditampilkan bebas dari komentar apapun.
Peluang program interaktif dalam perkembangan radio masa depan semakin
besar. Masyarakat kota semakin kritis, terbuka dan pintar untuk menjadi aktor-aktor,
sumber komunikasi, sekaligus penerima. Tentunya dibarengi dengan memahami
prinsip-prinsip jurnalistik yang telah dikuasai oleh pengelola radio siaran swasta dan
pendengarnya. Senada dengan Wibowo (2012:56) kemampuan dalam penguasaan
prinsip-prinsip jurnalistik akan semakin membuka kemungkinan dialog menjadi
bermutu dan kreatif. Inilah bentuk pengembangan dalam perspektif teori media
demokratik partisipan, media untuk kepentingan dan kebaikan publik melalui medium
radio siaran interaktif.
Radio siaran swasta harus menyakinkan pada para pendengarnya bahwa program
yang baik bukan sekedar menghibur, melainkan program yang sungguh bermanfaat
untuk meningkatkan pengetahuan. Memiliki komitmen dan keberpihakan pada
kepentingan publik, sehingga radio memiliki kekuatan demokrasi yang baik dalam
rangka keseimbangan dan keadilan sosial.
187
Program Siaran Interaktif Unpredictable
Program interaktif itu unpredictable, tidak mengikuti pola sistem clock atau delay
sistem yang lebih aman bagi station. Risiko dan tantangan radio interaktif jauh lebih
besar. Karena tidak mengenal mekanisme sensor informasi atau berita diplintir seperti
sering terjadi media cetak. Karena itu bila tidak berhati-hati justru bisa menjadi
bumerang, kredibilitas radio dipertaruhkan. Rambu-rambu sebagai code of ethic dalam
berbicara perlu diberikan ke pendengar. Prinsipnya bicara “nyablak” atau buka-
bukaan diperbolehkan asalkan informasinya akurat dan tidak ngawur.
Penelitian ini telah mengaktualkan kembali tentang konsep pendengar pasif dan
aktif. Dalam kasus pertama, pendengar dipandang sebagai populasi besar yang dapat
dibentuk oleh media. Dalam kasus kedua, pendengar dipandang sebagai anggota
kelompok-kelompok kecil yang berbeda dan sangat dipengaruhi oleh rekan-rekan
mereka. Disamping itu, hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa penulis lebih
melihat dalam kondisi apa, dan kapan mereka membutuhkan media.
Misalnya, kecenderungan tindakan pendengar menelepon SS adalah ketika
mereka menjumpai sesuatu yang menjadi masalah atau keluhan atas pelayanan
lembaga layanan publik. Mereka membutuhkan SS untuk menyuarakan masalah atau
aspirasi mereka, sekaligus berharap mendapatkan respon pihak-pihak yang kompeten
menjawab. Sehingga proposisi teori sebagai hasil penelitian ini menyatakan bahwa,
tindakan pendengar menyampaikan informasi atau pendapat sebagai bagian dari
ekspresi mereka yang berhubungan dengan tujuan (model siklus partisipasi
pendengar, gambar 2). Mereka
188
membutuhkan media sebagai saluran aspirasi dan kepedulian mereka terhadap
sesama. Jadi mereka tidak semata-mata hanya menjadi obyek terpaan media.
Di samping itu, media informasi interaktif yang memfasilitasi komunikasi
interaktif antara pendengar dengan penyiar, dan pendengar dengan pendengar tidak
lagi hanya one way traffic atau informasi satu arah. Tetapi bisa terjadi multi traffic
yaitu interaksi pendapat yang terjadi antara sesama pendengar dalam waktu
bersamaan. Konsep interaktif multi-arah, siapapun pendengar bisa memberi tanggapan
atau komentar dari pernyataan narasumber maupun pendengar lainnya.
Ranah inilah yang kemudian menjadi embrio demokrasi dalam siaran radio.
Pendengar dan narasumber diberikan peluang untuk bicara dan menyampaikan
informasi atau pendapatnya. Konsep interaktif membuka peluang bagi pendengar
radio menyampaikan masalahnya di udara. Di sisi lain,
banyaknya keluhan yang ‘mengudara’ dari pendengar mengesankan pesimisme dari
pada solusi terhadap masalah yang dikemukakan. Namun, setidaknya hasil penelitian
ini, secara teoritis memperkaya kajian pendengar media dalam perspektif media
interaktif yang selama ini dominan mainstream linier.
Siklus Partisipasi Pendengar dan Proses Produksi Berita On Air
SS mengandalkan informasi peristiwa atau kejadian dari pendengar yang
langsung menelepon memberikan laporannya, dimana reporter SS mungkin belum
mengetahui peristiwa atau kejadian sebenarnya. Sebagai contoh, di daerah X terjadi
kebakaran, reporter
189
belum mengetahui peristiwa itu. Sementara pendengar yang kebetulan melewati dan
mengetahu peristiwa atau kejadian langsung melaporkan on air. Informasi dari
pendengar menjadi data awal SS, yang kemudian didalami dan ditindaklanjuti tim
gatekeeper dengan mengembangkan informasi awal tersebut, serta menghubungi
pihak terkait yang berkompeten untuk konfirmasi kejadian secara jelas dan lengkap.
Sementara reporter SS ke lapangan untuk melengkapi kebenaran informasi dan fakta
kejadian untuk live report.
Penyiar secara terus menerus mengudarakan peristiwa atau kejadian tersebut ke
pendengar, sambil mempersuasi pendengar lain yang mengetahui peristiwa atau
kejadian yang sama untuk update informasi. Pendengar yang mengetahui atau dekat
dengan peristiwa atau kejadian akan melaporkan informasi ke SS sebagai bagian dari
kepedulian mereka untuk sesama pendengar lainnya. Sehingga dari tindakan
jurnalistik pendengar inilah SS mendapatkan data dan informasi lengkap atas
peristiwa atau kejadian yang sebenarnya.
Penggambaran tindakan jurnalistik dari pendengar yang bersifat sosial, dilakukan
individu atau kelompok interpretif dalam interaksi dan situasi sosial tertentu, tidak
saja sebagai upaya individu selaku pendengar dalam ikut memproduksi konten
informasi, tetapi juga bagian dari ekspresi mereka yang berhubungan dengan tujuan.
Tidak ada lagi monopoli terhadap publikasi berita. Media bekerja tidak semata
berdasar pada apa yang disebut Altheide dan Snow (dalam McQuail, 2011:68) logika
media (media logic), yaitu untuk menggambarkan cara media melihat dan
menafsirkan masalah sosial, yang selalu mendasarkan pada format/ standar yang
berakar dari tradisi, dibuat oleh media. Bagaimana materi diatur dalam
190
programming yang terpola, gaya yang ditampilkan, fokus atau penekanan topik atau
berita (framing), dan sebagainya.
Sementara dalam media interaktif sifatnya unpredictable, berpacu dengan
kecepatan, keinginan dan aktualitas informasi dari pendengar. Standar baku
programming siaran menjadi tidak relevan, karena cara pendengar dalam menafsirkan
masalah sosial tentu berbeda dengan media. Logika media tunduk pada harapan untuk
memenuhi keinginan para pendengarnya. Media menjadi saluran atau aspirasi
pendengar dalam memaknai realitas untuk beragam tujuan.
Dari penjelasan tersebut, penulis menggambarkan siklus partisipasi pendengar
dengan media dalam media interaktif dalam Gambar 1 model berikut ini:
Gambar 1 :
Model Siklus Partisipasi Pendengar
Sumber : hasil olahan penulis
191
Proposisi teori sebagai implikasi penyiaran interaktif terhadap produksi konten adalah
proses produksi konten media penyiaran interaktif tidak semata-mata mendasarkan pada
logika media, tetapi pendengar merupakan aktor komunikasi dalam siaran sebagai
partisipan awal informasi dalam memberikan straight news, sementara reporter
menindaklanjuti ke lapangan untuk mendapatkan
kedalaman berita. Sehingga dalam penelitian ini model interaksi proses produksi
berita dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2 :
Model Proses Produksi Berita On Air SS
Sumber : hasil olahan penulis
L
E
M
B
A
G
A
TERKAIT TERKAIT L
E
M
B
A
G
A
TERKAIT
L
E
M
B
A
G
A PERISTIWA
KEJADIAN
K
E
L
A
P
A
N
G
A
N
192
Model proses produksi berita radio SS (Gambar 2) digambarkan melingkar,
maknanya menunjukkan bahwa satu sama lain saling terlibat dan berhubungan erat
dalam proses produksi berita. Misalnya, ada laporan peristiwa yang masuk ke SS
dari pendengar akan didalami dan diverifikasi tim gatekeeper, supervisor gatekeeper
koordinasi dengan manajer pemberitaan dan reporter di lapangan. Sementara, tim
gatekeeper mengonfirmasi kembali per telepon ke pihak-pihak terkait dalam usaha
mengumpulkan fakta dan data, untuk diolah sebelum informasi siap on-air oleh
penyiar atau reporter.
Bila segala sesuatu telah siap on-air, tim gatekeeper akan memberi sandi (lewat
tangan) ke penyiar yang sedang on air di studio, untuk memberi kesempatan
reporter melaporkan berita atau informasi live ke pendengar. Sinergi kerjasama
pendengar, tim gatekeeper, penyiar, dan reporter sangat penting dalam mengelola
kecepatan, aktualitas dan akurasi berita.
Konsep gatekeeping tentunya memiliki sejumlah kelemahan, namun secara
terus menerus disempurnakan. Titik lemahnya komunikasi menjadi satu wilayah
pintu dan memiliki kriteria seleksi, subyektifitas pada pandangan dan pasokan berita
dari pendengar. Hal ini terjadi, karena gatekeeper dihadapkan pada berbagai
tindakan pemilihan informasi yang masuk dan beragam, serta berurutan. Seperti
dikatakan McQuail (2010:43) bahwa konsep gatekeeping merupakan tindakan
jurnalistik yang otonomi, bukan atas pilihan yang dipaksa oleh tekanan ekonomi
pada level organisasi berita atau oleh tekanan politik dari luar.
193
Konvergensi Menjadi Platform Produksi Konten
Perkembangan teknologi yang demikian pesat menjadikan internet sebuah
ruang publik baru tempat dimana orang bisa mendapatkan informasi dengan cepat.
Wacana isu-isu apa pun berkembang sangat cepat melalui internet. Seperti
dinyatakan oleh Jenkins (dalam McQuail, 2010:71) perkembangan teknologi
memunculkan apa yang disebut budaya konvergen (convergence culture), yaitu
serangkaian fenomena yang berhubungan dan bermula dari konvergensi teknologi.
Implikasinya, wujud diseminasi program siaran atau penyampaian pesan tidak saja
bersifat broadcast (dipancarkan lewat frekuensi) tetapi juga melalui komputer dan
jaringan internet.
Tuntutan ini menjadikan media siaran menajamkan visi pelayanan yang
berorentasi pada kepuasan maksimum publik pendengar, merangsang kreativitas dan
penemuan baru dari sisi teknologi siaran dan programming. Konvergensi media
penyiaran dalam era internet dan satelit menjadi sebuah keniscayaan, yang
memunculkan harapan sekaligus sinisme akan apa yang disebut kematian frekuensi
(the death of frequency), yang akhirnya mengiringi kematian geografis (the death of
geography) terjadi.
Radio penyiaran terestrial masih menjadi platform distribusi pesan yang
penting, namun perkembangan teknologi menunjukkan bahwa radio online telah
menjadi pelengkap radio FM. Teknologi internet mampu menciptakan manajemen
dan produksi isi sebagai alat untuk proses mengumpulkan informasi (news
gathering) dan sumber informasi (source of information). Radio siaran era teknologi
mengkombinasikan platform analog dan digital untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan pendengar dalam rutinitas penggunaan media.
194
Mengingat generasi baru pendengar radio tidak lagi membeli produk pesawat
radio. Mereka lebih memilih membeli gadget yang bisa menjadi alat komunikasi
sekaligus menunjang aktifitas mereka. Fitur-fitur audio video sudah tertanam dalam
alat tersebut sekaligus sebagai fasilitas pendukung. Misalnya tersedia fitur untuk
koneksi ke radio, televisi, jejaring sosial, permainan, sistem penentuan posisi atau
arah, dan sebagainya. Implikasinya, pelaku bisnis radio harus mengetahui perilaku
pendengarnya dalam memenuhi kebutuhan penggunaan media, dengan tidak
melupakan konsumen lama, sekaligus mampu memanjakan dan menggaet
konsumen baru.
Konvergensi teknologi siaran sebagai sinergi media, komputer dan
telekomunikasi memberikan nilai tambah untuk proses eksistensi media dan
menciptakan peluang baru dalam memberikan layanan maksimal ke pendengar atau
pengakses dengan menciptakan komunikasi interaktif yang melibatkan mereka
dengan memperhatikan unsur kesegeraan sebagai respon terhadap peristiwa atau
kejadian.
Era teknologi internet, stasiun radio telah mengembangkan isi siaran yang
multimedia, mampu untuk menyimpan dan berbagi informasi secara online menjadi
sehingga menjadi sebuah sajian antarmuka menarik dalam bentuk teks, audio, video,
arsip audio dan gambar. Konsep ini menunjukkan adanya hubungan strategis dalam
mengelola informasi, produksi dan distribusi. Dipertegas oleh Cordeiro (2012:498),
konvergensi memberikan perubahan dalam komunikasi media linier, tetapi juga
menciptakan bentuk komunikasi one-to-one, many-to-one atau many-to-many,
memungkinkan percakapan diantara users.
195
Radio siaran dalam lansekap media baru mengalami metamorfose menjadi
bentuk baru radio yang menjadikan pendengarnya “the e-listener”. Isi radio
diproduksi, diakses secara online dan tersedia secara streaming. Radio siaran
mengombinasikan penyiaran terestrial FM dengan online streaming yang memberi
pendengar pilihan diantara platform yang ada (siaran FM atau streaming internet)
dan format isi. Jika mendengarkan pada format siaran FM, hanya tersedia suara. Jika
menggunakan internet, suara tersedia (on stream audio on demand, arsip files),
tetapi juga memungkinkan untuk membaca dan melihat video liputan.
Pada tahun 2000, SS menjadi pelopor konvergensi Radio Internet dan Pelopor
Teknologi Digital Broadcasting pada tahun 2003. Pengembangan teknologi siaran
interaktif di SS, merupakan platform produksi SS ke depan. Konvergensi dimaknai
sebagai integrasi utuh seluruh aspek kegiatan atau aktivitas penyiaran baik on-air,
off-air event, on-line, dan on-mobile yang satu sama lain saling terintegrasi
mendukung layanan penyiaran.
Paradigma konsumen radio dengan revitalisasi praktis berubah. Saat ini tidak
hanya mempunyai pendengar, tetapi juga ada pengakses SS (the e-listeners) bagi
mereka yang mengakses SS lewat gadget (smartphone, ipad, laptop, dsb) on mobile
maupun satelit. Terdapat juga informasi yang diakses tidak secara auditif, yakni
melalui media sosial Facebook dan Twitter. Artinya media memasuki era teknologi
tidak bisa bertahan lagi pada kejayaan masa lalu, di sisi lain harus mempertahankan
visi yang dibawa pendiri di masa lalu, yakni tentang manfaat bagi orang banyak.
196
Media jejaring sosial yang ditengarai bisa menjadi entitas tersendiri di luar
media konvensional menjadi pesaing media konvensional dalam waktu relatif cepat.
Media harus memitrakan keduanya dengan saling memanfaatkan kelebihan dan
kelemahan masing-masing. Sinergi media sosial dengan media konvensional
membuka peluang para pengakses media untuk berkontribusi informasi di e-listener.
Sehingga memungkinkan pendengarnya berbagi informasi setiap waktu tanpa harus
capek antri menelepon ke redaksi.
Hal ini membuktikan bahwa keberadaan radio tidak akan pernah tergerus oleh
zaman. Teknologi membuat radio siaran mengubah ‘tampilan luar’ radio. Radio
tetap bisa melayani lintas generasi pendengar yang technology minded. Radio jalur
terestrial frekuensi tidak lekang oleh waktu, namun disinergikan dengan teknologi
komunikasi internet. Ini untuk meraih generasi baru pendengar dan pengakses radio
abad 21 yang mobile tekoneksi internet.
Radio tidak out of date. Radio tetap menjadi bagian terpenting bagi
perkembangan manusia sebagai individu dan sebagai warga masyarakat. SS
mengintegrasikan radio terestrial dengan internet karena konvergensi menawarkan
fleksibilitas operasional industri radio, seperti dalam diseminasi informasi,
membangkitkan nilai produksi dan meningkatkan kualitas suara. Konvergensi
mengintegrasikan radio ke dalam bentuk multimedia sebagai sebuah kesatuan
menjadi bentuk baru dari penyiaran. Sehingga industri radio mampu menatap masa
depan dengan menyeimbangkan aspek sosial dan aspsek bisnis ditengah pesimisme
pelaku media siaran.
197
Penulis melihat bahwa era e-listener para broadcaster mengimplementasikan
konvergensi teknologi sebagai usaha mengintegrasikan siaran terestrial dengan
internet untuk mendapatkan nilai tambah. Siaran on-air bisa mengambil materi
informasi dari portal berita online, sehingga penyiar tidak perlu susah payah
mentranskrip informasi seperti sebelumnya. Penyiar dan gatekeeper tinggal
membacakan langsung informasi yang sudah ada hasil liputan jurnalistik
reporternya.
Konvergensi dalam kasus di SS sebagai integrasi dari apa yang disebut sebagai
model 4 “O” secara utuh dalam praktik radio siaran swasta dengan model bisnis
terkini. Proposisi teori yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah partisipasi
khalayak dalam proses produksi konten merupakan kunci budaya media konvergen.
Istilah ini merujuk pada serangkaian fenomena yang bermula dan berhubungan
dengan konvergensi teknologi, yang kemudian berimplikasi pada perubahan
aktivitas produksi, yang sebelumnya dikuasai media, sementara khalayak hanya
mengonsumsi. Melalui media interaktif, aktivitas produksi bisa dilakukan khalayak
dan konsumsi bisa dilakukan oleh media. Adapun modelnya digambarkan sebagai
berikut :
198
Sales
Pemerintah
Keterlibat
an
Pendenga
r,
Kesediaan Lebih bernilai
Mendengarkan bagi Pengiklan
Kesetiaan
On
mobile
On Air
RADI
O
OWNE
R
order
Off
Air
On Line
Lebih
Bernil
ai
Ke
pendengar
Pendapat
an Radio
Regulator
Gambar 4 : Model Aplikasi Konvergensi 4 “O” di Radio SS
Sumber : hasil olahan penulis
Konvergensi media memberikan implikasi bisnis radio dan bagi pengiklan,
sekaligus membuka peluang meraih target market generasi pendengar baru. Fenomena
konvergensi media ini akhirnya memunculkan beberapa konsekuensi logis. Di ranah
praktis, konvergensi media bukan saja memperkaya informasi yang disajikan, melainkan
juga memberi pilihan kepada pendengar atau pengakses untuk memilih informasi yang
Program
Order
Response
Pen
den
gar
Pen
gik
lan
199
sesuai dengan selera mereka. Konvergensi media juga memberikan kesempatan baru
yang radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk
informasi baik yang bersifat tekstual, audio, visual, data dan sebagainya.
Aplikasi teknologi komunikasi terbukti mampu mem-by pass jalur transportasi
pengiriman informasi media kepada pendengar dan pengaksesnya. Dengan
konvergensi, radio menjadi multimedia. Radio juga bisa melayani kebutuhan semua
indera, baik indera pendengaran, penglihatan, bahkan tidak menutup kemungkinan
teknologi bisa membuat radio melayani indera penciuman.
Radio yang diprediksi akan mati karena kehadiran televisi dan internet, tidak
terjadi. Radio merupakan media yang unik, dapat dinikmati oleh anak-anak hingga
orang tua. Radio merupakan media yang sangat murah dan dapat didengarkan dimana
saja. Namun, radio yang berinovasi dan terus meningkatkan kemampuan sertas
kredibilitasnya, mampu bersaing dengan media-media lain.
Bagi seorang Errol Jonathans yang telah hampir 30 tahun tahun sebagai
profesional radio berpendapat, radio “lokal” harus mempertegas fungsi dan peran
lokalnya dulu sebelum mengglobal (on line). Bila peran lokalnya sangat kuat dan
dibutuhkan, radio akan tetap eksis. Artinya, wibawa global tercipta, lahir dari sikap
radio yang memberdayakan publik lokal. Mengingat ‘kelokalan’ atau media berbasis
lokal bisa mendapatkan kekuatan dan kemandirian berkat ikatan emosional dengan
komunitas atau kota yang mereka layani.
200
Kesimpulan
Keberadaan media siaran awalnya lebih bersifat linier (saluran penyebaran
informasi searah, indoktrinatif, penyuluhan) dalam perkembangannya telah menjadi
model komunikasi menggunakan pendekatan dialogis atau interaktif. Hubungan yang
kaku antara sumber informasi (sender) dan penerima informasi (receiver) bergeser ke
arah diskusi terbuka di ruang publik, dimana setiap orang bisa mengekspresikan
pemikiran, pandangan dan saran-saran mereka sendiri atas sesuatu, sehingga
mengonstruksi peran bagi orang-orang biasa (ordinary person) yang berpartisipasi
dalam proses komunikasi dan kehidupan sosial politik.
Isi siaran yang berorientasi kepada kepentingan publik lebih mengedepankan
kepada apa yang publik butuhkan dan inginkan sebagai warga masyarakat biasa
dengan quality programming dan informasi penting, sehingga menjadi sebuah
lembaga penyiaran yang mengangkat isu-isu yang berangkat dari masyarakat untuk
melayani kepentingan publik demi kebaikan publik.
Implikasi penyiaran interaktif terhadap pengelolaan produksi konten yaitu siaran
interaktif telah menjadi format, bukan sekedar program acara. Format interaktif
diterapkan untuk semua segmen program acara siaran, dan siaran interaktif
meniadakan konsep programming pada umumnya seperti format clock, karena
interaktif unpredictable. Peran tim gatekeeper sebagai editor siaran on-air menjadi
tumpuan harapan siaran.
Partisipasi pendengar sebagai sumber dan pemasok informasi untuk sesama
pendengar, melahirkan ‘reporter’ jalanan. Menariknya, pendengar tidak pernah
mendapatkan teknik pelaporan jurnalistik radio. Journalism lebih menarik bagi in
coming generation karena gadget
201
komunikasi mampu memproduksi konten dan menjadi medium penyiaran interaktif
yang bisa mengirim, mengolah, dan mempublikasikan informasi kepada
komunitasnya. Individu secara rutin setiap saat menyesuaikan kebutuhan informasi
mereka. Sementara, media konvensional telah jauh mengintegrasikan ke teknologi
internet atau media sosial. Implikasi teoritis bagi penelitian masa depan adalah
partisipasi audience merupakan kunci dalam budaya media konvergensi modern.
Daftar Pustaka
Arifin BH dan Emka, Zainal Arifin. editor. (2010). Suara Surabaya Bukan Radio.
Surabaya: Suara Surabaya.
Cordeiro, Paula. (2012). Radio Becoming R@dio: Convergence, Interactivity and
Broadcasting Trends in Perspective. Participations: Journal of Audience &
Reception Studies. Vol. 9, Issue 2. November 2012. Hlm. 492-510.
McQuail, Denis. (2010) Denis. 2010. McQuail’s Mass Communication Theory. 6th
edition. London: SAGE Publications, Inc.
-----------, Denis. (2011). Teori Komunikasi Massa Mcquail. Terjemahan. Putri Iva Izzati.
Jakarta:
Salemba Humanika.
Wibowo, Fred. (2012). Teknik Produksi Program Radio Siaran. Buku I
Mengenal Medium dan Program Radio Siaran. Yogyakarta: Grasia Book Publisher.
202
.
Biodata Penulis
Ido Prijana Hadi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen
Petra, Jl. Siwalankerto 121 – 231 Surabaya, Email: ido@petra.ac.id
203
204
Recommended