View
91
Download
3
Category
Preview:
DESCRIPTION
By : Adnin Armas, M.A.
Citation preview
PENGARUH PANDANGAN HIDUP BARAT DALAM LIBERALISASI
PEMIKIRAN ISLAM
Adnin Armas, M.A.
Terpengaruh dengan pandangan hidup Barat, para pemikir Liberal telah
merumuskan gagasan-gagasan sekular-liberal yang bertentangan dengan pandangan-
hidup Islam. Mereka menyamakan kebenaran agama pada tingkat esoterisme, menggugat
Mushaf Utsmani dan Syariah, menafikan wujudnya kebenaran yang tunggal, menolak
monopoli otoritas kebenaran dan membenarkan relatifitas penafsiran dan “menuhankan”
Manusia dan “memanusiakan” Tuhan.
1. Membenarkan Semua Agama
Budhy Munawar Rachman, seorang manajer program studi Islam di Yayasan
Paramadina, menolak eksklusifitas kebenaran Islam dan meyakini teologi Pluralis. Ia
meyakini pendapat para sarjana seperti Wilfred Cantwell Smith, John Harwood Hicks,
Paul Knitter, John B. Cobb Jr., Raimundo Panikkar, Frithjof Schuon, Seyeed Hossein
Nasr dan lain lain. Budhy misalnya mengutip pendapat Paul Knitter yang menyatakan All
religions are relative- that is, limited, partial, incomplete, one way looking at thing. To
hold that any religion is intrinsically better than another is felt to be somehow wrong,
offensif, narrowminded…”; Deep down, all religions are the same-different paths leading
to the same goal.”. ; Other religions are equally valid ways to the same truth (John
Hicks); Other religions speak of different but equally valid truths (John B. Cobb Jr.);
Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar).1
Pemikir lain, seperti Sukidi, kandidat doktor di Universitas Harvard Amerika
Serikat menyatakan: ”…semua agama pada hakikatnya benar, hanya cara mendekati
kebenaran itu sahaja yang menggunakan sekian banyak jalan.” Ia juga memeluk Islam
kerana alasan sosiologis bukan kerana Islam pasti yang paling benar, tapi kerana Islam
juga menyediakan sumber jalan yang sama untuk menuju Tuhan. Jadi, Islam menjadi
sumber yang equal dengan agama-agama lain dalam menunjukkan jalan kepada Tuhan.
1 Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaran Kaum Beriman (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001), xiii.
1
Dengan premis itu, proses pencarian kebenaran dari berbagai tradisi agama lain bias
dihargai.2
Pendapat para pemikir liberal dengan mudah dapat ditelusuri dari pemikiran para
sarjana Barat atau para sarjana didikan Barat seperti Rene Guenon, Frithjof Schuon,
Wilfred Cantwell Smith, John Hick dan lain-lain. Salah seorang tokoh Transendentalis,
Frithjof Schuon menegaskan semua agama mengajarkan kepada kebenaran dan kebaikan.
Oleh sebab itu semua agama sama pada tataran esoteris. Sekalipun dogma, hukum, moral,
ritual agama adalah berbeza, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, ada ‘a
common ground’. Inilah Agama Abadi (Religio Perennis), menurut Frithjof Schuon.3
Pemikiran tentang titik-temu antar agama yang ingin membenarkan semua agama
tidaklah tepat. Sebabnya, tidak semua agama benar. Selain Islam, agama lain tidak
benar. Kesalahan yang ada pada agama selain Islam, bukan hanya diketahui dari ajaran
Islam, namun dapat diketahui juga dari historisitas berbagai agama tersebut. Eksoterisme
dan Esoterisme agama Yahudi-Kristen misalnya, telah dikritik oleh para sarjana Yahudi-
Kristen sendiri.4 Padahal, kitab “suci” agama Yahudi-Kristen sebenarnya memuat
sejumlah permasalahan yang sangat mendasar. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Mereka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka melupakan
sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya”.5
Selain itu, titik-temu antar agama juga tidak terjadi pada level esoteris kerana
masing-masing agama memiliki konsep Tuhan yang ekslusif atau berbeza antara satu
sama lain. Pemikiran mengenai titik-temu agama-agama mungkin merupakan
2 http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=8463 Lihat lebih detil pembahasan mengenai konsep kesatuan transendent agama-agama dan teologi pluralis dalam majalah pemikiran dan peradaban Islam, ISLAMIA 1(2004), no. 3 dan 1 (2005), no. 4. 4 Lihat Robert R. Wilson, Sociological Approaches to the Old Testament (Philadelphia: Fortress Press, 1984). Lihat pembahasan Muhammad Mustafa al-Azami mengenai pendapat para sarjana Yahudi-Kristen mengenai Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam The History of the Quranic Text from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), muka surat 211-99. Untuk melihat masalah lebih detil dan mendalam mengenai sejumlah permasalahan mendasar dalam Perjanjian Baru, lihat karya Bruce M. Metzger, seorang pakar New Testament dalam The Text of the New Testament; Its Transmission, Corruption and Restoration (Oxford: Oxford University Press, 1968, edisi kedua). Begitu juga karyanya yang lain seperti A Textual Commentary on the Greek New Testament (Stuttgart: United Bible Societies, 1971) dan The Canon of the New Testament: Its Origin, Development and Significance (Oxford: Oxford University Press, 1987). Selain karya-karya tersebut, masih banyak karya lain yang mengkiritisi otentisitas Bibel sebagaimana ditunjukkan oleh pendekatan kritis-historis. Lihat juga misalnya karya Edgard Krentz, The Historical-Critical Method (Philadelphia: Fortress Press, 1975).5 Al-Qur’an surah Al-Maidah (5: 13). Lihat juga surah yang lain seperti: Al-Baqarah (2: 75); Al-Nisa (4: 46); dan al-Maidah (5: 41).
2
pengalaman individu-individu tertentu tentang agama-agama. Namun, pengalaman itu
bukanlah agama itu sendiri kerana pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada
masyarakat dan seluruh manusia, namun hanya diraih oleh golongan tertentu. Jadi,
kesatuan transendent (transcendent unity) seperti itu tidak dapat disebut sebagai ‘agama’,
namun hanya merupakan pengalaman keagamaan (religious experience).6
Oleh sebab itu, gagasan tentang titik temu agama-agama pada level esoteris
adalah melampaui tingkatan pengalaman keagamaan masyarakat umum. Ini jelas bukan
maksud agama yang diturunkan untuk ummat. Agama Islam adalah bukan untuk
golongan tertentu, namun untuk ummat. Bahkan bukan sahaja untuk ummat Islam,
namun untuk seluruh umat manusia di muka bumi ini.
2. Menggugat Mushaf Utsmani
Pemikir liberal juga menggugat Mushaf Utsmani. Taufik Adnan Amal, misalnya,
seorang dosen ‘Ulumul Qur’an di Universitas Islam Negeri Alauddin, Makasar menulis
sebuah artikel, berjudul Edisi Kritis al-Qur’an. Dalam artikel tersebut tersebut, ia
menyatakan: “Uraian dalam paragraph-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara
ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Alqur’an, sembari menegaskan bahawa
proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi
teks mahupun pemilihan bacaanya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini.
Kerana itu, tulisan ini juga akan memberikan solusi untuk menyelesaikan permasalahan
itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis al-Qur’an.7 Taufik Adnan Amal
menegaskan: “Edisi kritis Alquran ini tentunya diarahkan sedemikian
rupa untuk menghasilkan bentuk teks yang lebih memadai dan mudah
dibaca.”8
Pemikir lain yang menggugat Mushaf Utsmani adalah Luthfi
Assyaukanie, editor buku Wajah Liberal Islam di Indonesia. Ia
menyatakan: “Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahawa al-
Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata
6 Syed Muhammad Naquib al-al-Attas, Prolegomena, muka surat 8.7 Taufik Adnan Amal, “Edisi Kritis Alquran,” dalam Wajah Liberal Islam Indonesia, penyunting Luthfi Assyaukanie (Jakarta, JIL, Utan Kayu, 2002), 78-101, selanjutnya diringkas Edisi Kritis Alquran.8 Ibid., 87.
3
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik
kata-katanya (lafdhan) mahupun maknanya (ma‘nan). Kaum Muslim
juga meyakini bahawa al-Qur’an yang mereka lihat dan baca hari ini
adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat
ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih
merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang
dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin
Islam. Hakikat dan sejarah penulisan al-Qur’an sendiri sesungguhnya
penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi
dari perdebatan, pertentangan, intrik dan rekayasa.”9
Sebenarnya, pernyataan-pernyataan tersebut di atas sekedar
menggemakan kembali pendapat para orientalis. Salah seorang
orientalis yang pernah berambisi ingin merevisi Mushaf Utsmani
adalah Arthur Jeffery (m. 1959), berasal dari Australia. Menurut Jeffery,
sejarah al-Qur’an, sebagaimana kitab suci agama lain, sebenarnya
telah melalui berbagai masalah. Masyarakat yang selanjutnya
menjadikannya teks standart dan menanggapnya suci.10 Berambisi
untuk merevisi Mushaf Utsmani, al-Qur’an, Jeffery berencana
menyusun sebuah al-Qur’an dengan bentuk yang baru yang
disebutnya sebagai al-Qur’an edisi kritis (a critical edition of the
Qur’an).11
Pada umumnya para orientalis seperti Leone Caentani (m. 1935),
Friedrich Schwally (m. 1919), Arthur Jeffery,12 Richard Bell dan
Montogmery Watt,13Régis Blachère14 dan lain-lain15berpendapat bahawa Mushaf
9 http://www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=44710 Arthur Jeffery, “The Qur’an as Scripture,” The Muslim World 40 (1950), 41-43.11 Arthur Jeffery, “Progress in the Study of the Qur’an Text,” The Muslim World 25 (1935), 4-5.12 Arthur Jeffery, The Qur’an as Scripture (New York: Russell F. Moore Company, 1952), 94, selanjutnya disingkat Scripture.13 W. M. Watt & R. Bell, Introduction to the Quran (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970), 40-42, selanjutnya diringkas Introduction. 14 Dikutip dari ‘Abdu Sabur Shahin, Tarikh al-Qur’an (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), 108-09.15 Lihat kritikan saya terhadap pendapat para orientalis mengenai Mushaf Abu Bakr dalam Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 93-95, selanjutnya
4
Abu Bakr adalah mushaf pribadi dan riwayat yang menyatakan materi al-Qur’an pada
zaman khalifah pertama itu telah dihimpun berdasarkan kepada informasi yang tidak
tepat.
Memercayai pendapat para orientalis tersebut, Taufik Adnan juga
menyatakan mushaf yang telah dihimpun pada zaman Abu Bakr
bukanlah mushaf resmi, tetapi mushaf pribadi. Menurut Taufik Adnan,
motivasi yang mendorong dihimpunnya mushaf tersebut bukanlah
disebabkan banyaknya para Qurra’ yang meninggal dalam perang
Yamamah.16
Luthfi Assyaukanie juga menyatakan:
“Ibnu Mas‘ud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah sebagai bagian dari al-Qur’an. Sahabat lain yang menganggap surah “penting” itu bukan bagian dari al-Qur’an adalah Ali bin Abi Talib yang juga tidak memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari al-Qur’an atau ia hanya merupakan “kata pengantar” sahaja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab suci. Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian dari al-Qur’an adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahawa al-Fatihah hanyalah “ungkapan liturgis” untuk memulai bacaan al-Qur’an. Ini merupakan tradisi popular masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam. Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: “Siapa sahaja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah] maka pekerjaannya menjadi sia-sia.”17
Pendapat yang menyatakan al-Fatihah bukanlah bagian daripada
al-Qur’an sudah dikemukakan oleh Arthur Jeffery. Menurut Jeffery, al-
Fatihah adalah do’a yang diletakkan di depan dan dibaca sebelum
membaca al-Qur’an, sebagaimana kitab-kitab suci yang lain. Jeffery
diringkas Metodologi Bibel.16 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Yogyakarta: Forum kajian Budaya dan Agama, 2001), 141-51.17 http://www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=447.
5
mengatakan: “Tentu sahaja terdapat kemungkinan al-Fatihah sebagai
sebuah doa dikonstruksi oleh Nabi sendiri, tetapi penggunaannya dan
posisinya di dalam al-Qur’an kita saat ini disebabkan para
penyusunnya, yang menempatkannya, mungkin di halaman awal
Mushaf Standar.”18
Untuk menguatkan argumentasinya, Jeffery berpendapat bukan
hanya dari kalangan para sarjana Barat sahaja yang menyatakan al-
Fatihah bukan bagian dari al-Qur’an. Dari kalangan Muslim juga ada
yang berpendapat demikian, seperti Abu Bakr al-Asamm (m. 313),
sebagaimana yang disebutkan oleh Fakhr al-Din al-Razi.19
Pendapat Jeffery yang mengutip informasi dari al-Razi tidaklah
tepat. Sebabnya, al-Razi sendiri mengakui bahawa al-Fatihah adalah
bagian dari al-Qur’an. Bahkan al-Razi menyebut al-Asas sebagai nama
lain dari al-Fatihah. Salah satu alasannya, al-Fatihah merupakan surat
pertama dari al-Qur’an (annaha awwal surah min al-Qur’an).20 Bahkan
al-Razi sendiri menolak pendapat yang mengatakan bahawa ‘Abdullah
bin Mas‘ud mengingkari al-Fatihah sebagai bagian dari al-Qur’an.21
Selain itu, al-Fatihah adalah surah di dalam al-Qur’an yang paling
sering dibaca dan bagian yang integral dari setiap rakaah shalat. Di
dalam sholat yang dapat didengar, al-Fatihah dibaca 6 kali dalam satu
hari dan 8 kali pada hari Jum’at. Oleh sebab itu, al-Baqillani
menyimpulkan Ibnu Mas‘ud tidak pernah menyangkal bahawa al-
Fatihah dan surah al-mu‘awwidhatain adalah bagian dari al-Qur’an
18 Lihat Arthur Jeffery, “A Variant Text of the Fatiha,” The Moslem World 29 (1939), 158.19 Ibid.20 Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, 11 jilid (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabiyy, cetakan ketiga 1999), 1:158. 21 Ibid.,1: 190.
6
atau orang lain yang salah dengan mengatas namakan pendapat
‘Abdullah bin Mas‘ud.22
Luthfi Assyaukanie menyatakan: “Bahkan menurut Ibnu Nadim
(w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibnu Mas‘ud tidak
menyertakan surah 113 dan 114.”23
Pendapat Luthfi sekedar mengikuti pendapat Arthur Jeffery j(m.
1959) yang juga menggunakan informasi yang ada dalam karya Ibnu
Nadim. Sekalipun Ibnu Nadim memang menyebutkan mushaf
ÑAbdullah bin Mas‘ud tidak memasukkan surah al-Nas dan al-Falaq di
dalam mushafnya, namun ini tidak seharusnya bermakna Ibnu MasÑud
menganggap kedua surah tersebut bukan bagian dari al-Qur’an.
Sebabnya, murid-murid Ibnu Mas‘ud seperti ‘Alqama, al-Aswad,
Masruq, al-Sulami, Abu Wa’il, al-Shaibani, al-HamadanÊ dan Zirr
meriwayatkan al-Qur’an dari Ibnu Mas‘ud secara keseluruhan 114
surat. Hanya seorang murid ‘Asim, yang meriwayatkannya berbeza.24
Selain itu, seandainya Surah al-Nas dan al-Falaq bukan bagian
dari al-Qur’an, niscaya banyak riwayat akan muncul yang
membenarkan fakta tersebut. Namun riwayat tersebut tidak ada. Oleh
sebab itu, maka Mushaf Ibnu Mas‘ud tidak bisa dijadikan tolak ukur
untuk menolak kesahihan Mushaf ‘Utsman.
Disebabkan sikap Ibnu MasÑud kepada Mushaf Utsmani sering
dijadikan argumentasi untuk menggugat otentisitas Mushaf Utsmani,
maka perlu kiranya mengeksplorasi sikap sebenarnya Ibnu MasÑud
kepada Mushaf Utsmani. Memang pada awalnya Ibnu Mas‘ud menolak
menyerahkan mushafnya ketika ‘Utsman ra. mengirim teks standart ke
22 Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’anic Text, from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 199-00, selanjutnya disingkat The History of the Qur’anic Text.23 http://www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=447.24 Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’anic Text, 200-01.
7
Kufah dan memerintahkan supaya teks-teks yang lain dibakar. Ibnu
Mas‘ud marah kerana teks standart tersebut diprioritaskan. Padahal
teks tersebut disusun oleh Zayd bin Thabit yang jauh lebih muda.
Ketika Ibnu Mas‘ud sudah menjadi Muslim, Zayd masih berada dalam
pelukan orang-orang kafir. Bagaimanapun, Ibnu Mas‘ud menimbang
kembali pendapatnya yang awal dan akhirnya kembali lagi kepada
pendapat ‘Utsman dan para Sahabat lainnya. Ibnu Mas‘ud menyesali
dan malu dengan apa yang telah dikatakannya.25
Kritikan kepada Mushaf Utsmani juga dilakukan oleh Ahmad
Baso, direktur Yayasan Desantara. Menurut Ahmad Baso, Mushaf
Utsmani adalah konstruk Quraisy terhadap al-Qur’an dengan
mengabaikan sumber-sumber mushaf lainnya. Misalnya, Mushaf
Abdullah bin Mas‘ud yang sempat diabaikan oleh Utsman,
menyebutkan bacaan, “Inna al-dina ‘inda Allah al-hanifiyyah,” bukan
“al-Islam.” Versi ini disingkirkan oleh Utsman dalam mushafnya kerana
Ibnu Mas‘ud tidak merepresentasikan kekuasaan Quraisy. Abdullah bin
Mas‘ud berasal dari kalangan suku marjinal Hudzail. Dan yang perlu
diketahui, kekuasaaan Utsman adalah representasi dari kekuasaan
hegemoni Quraisy yang memonopoli segenap produk-produk cultural
dan keagamaan dalam sejarah awal… mana yang mewakili kalamullah,
Mushaf Utsmani atau Mushaf Abdullah bin Mas‘ud?26
Pendapat Ahmad Baso yang mengkaitkan tindakan pembakaran
mushaf disebabkan motivasi politis sudah dikemukakan juga
sebelumnya oleh Arthur Jeffery. Menurut Jeffery, sebenarnya terdapat
25Kitab al-Mabani, yang diedit oleh Jeffery pada tahun 1954 menyebutkan Ibn Mas‘ud menyesali sikapnya dan menyetujui Mushaf ‘Uthmani. Lihat Muqaddimatani fi ‘Ulum al-Qur’an wa Huma Muqaddimah Kitab al-Mabani wa Muqaddimah Ibn ‘Atiyyah, editor Arthur Jeffery (Kairo: Maktabah al-Khanji, 1954), 95, selanjutnya disingkat Kitab al-Mabani. Bandingkan juga dengan Bandingkan juga dengan karya Abu Bakr ‘Abdullah bin Abi Daud Sulayman Ibn al-Ash’ath al-Sijistani, Kitab al-Masahif, editor Muhibbuddin ‘Abd Subhan Wa‘iz, 2 jilid (Beirut: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, cetakan kedua, 2002), 1: 193-195, selanjutnya diringkas sebagai Kitab al-Masahif. 26 Lihat buku penulis, Pengaruh Kristen-Orientalis, 85.
8
beragam Mushaf yang beredar di berbagai wilayah kekuasaan Islam
dan berbeza dengan Mushaf ‘Utsman. Bagaimanapun, ketika Mushaf
‘Utsmani dijadikan satu teks standart yang resmi dan digunakan di
seluruh wilayah kekuasaan Islam, maka kanonisasi tersebut tidak
terlepas dari alasan-alasan politis (political reasons).27
Selain itu, Ahmad Baso juga tidak tepat ketika menyatakan Ibnu
Mas‘ud dengan sengaja disingkirkan dari dari tim penyusun al-Qur’an
kerana bukan berasal dari suku Quraisy. Jawaban yang tepat
sebenarnya kerana pada saat pembentukan tim kodifikasi, Ibnu Mas‘ud
berada di Kufah. Padahal, ketika itu ‘Utsman ra. sangat terdesak untuk
membentuk tim kodifikasi di Medinah.28 Isu perkauman juga bukan
persoalan pokok dalam penyusunan al-Qur’an kerana Zayd bin Thabit
sendiri, sebagai sebuah ketua tim kodifikasi Mushaf Utsmani adalah
seorang Ansar dan bukan berasal dari suku Quraisy.
Mengenai qira‘ah yang ada di dalam mushaf Abdullah ibn
MasÑud tidak seharusnya itu adalah al-Qur’an. Ini sebabnya sebuah
qira‘ah itu memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi sebagaimana
kesepakatan para ulama. Mushaf ‘Utsmani disebarkan ke berbagai
kota sekaligus diiringi dengan para Qurra’. Mereka mengajarkan
qira‘ah berdasarkan kepada otoritas yang relevan. Ini yang
menetapkan apakah teks tersebut adalah al-Qur’an atau bukan, bukan
berdasarkan kepada manuskrip yang illegal dan tidak dapat
disahkan.29
Para penggugat Mushaf Uthmani juga mengabaikan bahawa
perbuatan ‘Utsman ra. melakukan standartisasi teks kerana justru
ingin menghindari berbagai kesalahan yang akan terjadi pada al-
27 Arthur Jeffery, Materials, 7-8.28Dikutip dari Ahmad ‘Ali Imam, Variant Readings of the Qur’an: A Critical Study of Their Historical and Linguistic Origins (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1998), 29. 29 Ibid.
9
Qur’an, sebagaimana telah terjadi kepada sejarah kitab suci agama
Yahudi dan Kristen.30 Hal tersebut memang perlu dilakukan. Oleh
sebab itu, para sahabat menerima dengan senang hati keputusan
‘Utsman ra. untuk melakukan standardisasi. Menurut Mus‘ab bin Sa‘d,
tak seorangpun dari Muhajirin, Ansar dan orang-orang yang berilmu
mengingkari perbuatan ‘Utsman ra. (adrakat al-nas hina fa‘ala
‘Utsman ma fa‘ala, fama raitu ahadan ankara dhalika, ya‘ni min al-
muhajirin wa al-ansar wa ahl al-‘ilm).31 Mengomentari tindakan
‘Utsman yang membakar mushaf-mushaf, ‘Ali ra. mengatakan:
“Seandainya Ia belum melakukannya, maka aku yang membakarnya
(law lam yasna’hu ‘Utsman lasana‘tuhu).32 ‘Ali ra. juga mengatakan:
“Seandainya aku yang berkuasa, niscaya aku akan berbuat mengenai
Mushaf sebagaimana yang ‘Utsman buat (law waiÊtu, lafa‘altu fÊ al-
Masahif alladhi fa‘ala ‘Utsman).33 Thabit bin ‘imarah al-Hanafi
mengatakan: Aku telah mendengar Ghanim bin Qis al-Mazni
mengatakan: “Seandainya ‘Utsman belum menulis mushaf, maka
manusia akan mulai membaca puisi.” (law lam yaktub ‘Utsman al-
mushaf, latafiqa al-nas yaqra’una al-shi‘r).34 Abu Majlaz mengatakan:
“Seandainya ‘Utsman tidak menulis al-Qur’an, maka manusia akan
terbiasa membaca puisi.”(law la anna ‘Utsman kataba al-Qur’an
laulfiyat al-nas yaqra’una al-shi‘r).35
Kritik kepada Mushaf Utsmani masih terus berlanjut. Mushaf
Utsmani dianggap mengalami pembekuan dan pembakuan disebabkan
30 Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi sharh Sahih al-Bukhari, editor ÑAbd Azis bin Abdullah ibn Baz dan Muhammad Fuad Abd al-Baqi, 14 Jilid (Kairo: Dar al-Hadits, 1998), 9: 20-21.31 Abu‘Ubayd al-Qasim bin Sallam, Fada’il al-Qur’an, editor Wahbi Sulayman Ghawaji (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), 194; 157, selanjutnya disingkat Fada’il al-Qur’an. Bandingkan juga dengan Ibnu Abi Daud Sulayman Ibn al-Ash’ath al-Sijistani, Kitab al-Masahif, editor Muhibbudin ÑAbd Subhan WaÑiz, 2 jilid (Beirut: Dar al-Basha´ir al-Islamiyyah, edisi kedua, 2002) I: 178, selanjutnya disingkat Kitab al-Masahif.32 Ibnu Abi Da’ud al-Sijistani, Kitab al-Masahif, 1:177. 33 Abu ‘Ubayd, Fada’il al-Qur’an, 157.34 Lebih detilnya lihat Ibnu Abi Daud al-Sijistani, Kitab al-Masahif, 1: 178. 35 Ibid., 1: 179.
10
pembatasan ikhtiyar Ibnu Mujahid (245-324 H/859-936). Taufik Adnan
Amal mengkritik tindakan Ibnu Mujahid yang membatasi ikhtiyar.
Menurut Taufik Adnan, ortokdosi Islam menyepakati qiraah tujuh, yang
dihimpun Ibnu Mujahid, sebagai bacaan-bacaan otentik bagi textus
receptus disebabkan otoritas politik Abasiyah-dimotori para wazirnya,
Ibnu Muqla dan Ibnu Isa. Dalam pandangannya, ortodoksi Islam telah
melakukan berbagai cara menyeragamkan teks bacaan Alqur’an.
Bahkan ortodoksi Islam juga secara sistematis telah memeras keluar
gagasan-gagasan yang mengganggu kemapanan teks dan bacaan al-
Qur’an, seperti bacaan Ibnu Shannabudz dan Ibnu Miqsam.36
Pendapat Taufik Adnan kembali mengulangi pendapat Arthur
Jeffery. Dalam pandangan Jeffery, keragaman qira’ah lambat laun
mengalami pembatasan kerana tekanan politis. Jeffery mengecam
pembatasan ikhtiyar yang dilakukan oleh sultan Ibnu Muqla (m. 940 M)
dan sultan Ibnu ‘Isa (m. 946 M) pada tahun 322 H. Menurut Jeffery,
para penguasa tersebut bertindak atas desakan dan rekayasa Ibnu
Mujahid (m. 324/936 M). Padahal, dalam pandangan Jeffery, pada
periode awal Islam, keragaman qirÉ’ah itu beragam dan tumbuh subur
sebagaimana terungkap dalam berbagai Mushaf.37
Melanjutkan kritikannya terhadap pembatasan ikhtiyar, yang
menandai babak baru dalam sejarah teks al-Qur’an, Jeffery
berpendapat sebenarnya Ibnu Shannabudz di Baghdad (m. 328/939)
dan Ibnu Miqsam (m. 362 H) menentang pembatasan tersebut.
Namun, akhirnya nasib mereka ditindas dan dipaksa untuk bertobat
kerana qira’ah nya berbeza dengan Mushaf ‘Utsmani.38
36 Taufik Adnan Amal, “Edisi Kritis al-Qur’an,” 85; bandingkan juga 90-91.37Arthur Jeffery, Scripture, 99.38 Arthur Jeffery, Materials, 8-9. Lihat kritikan Jeffery yang lebih mendetil terhadap Ibn Mujahid dalam buku penulis, Metodologi Bibel, 116-19.
11
Pendapat Taufik Adnan yang mengikuti Jeffery dengan
menyalahkan tindakan Ibnu Mujahid kerana membatasi periode
ikhtiyar tidaklah tepat. Qira’ah bukanlah berarti membaca al-Qur’an
dengan bebas. Keragaman qira’ah bukanlah hasil dari ikhtiyar, namun
dari Rasulullah saw. Syarat yang paling utama qira’ah harus memiliki
sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw. Qira’ah itu harus
mengikuti qira’ah yang telah ditentukan oleh Rasulullah saw yang dan
diajarkan kepada para sahabat.39 Al-‘Abbas bin Muhammad bin Hatim
al-Duri mengatakan bahawa Abu Yahya al-Himmani mengatakan
kepada kami: al-A‘mash dari Habib dari ‘Abdurrahman al-Sulami dari
Abdullah bin Mas‘ud menyatakan: “Ikutilah dan jangan kamu
mengada-ada maka cukup bagimu.” (Ittabi‘u wa la tabtadi‘u faqad
kufÊtum). ‘Ali bin Abi Talib menyatakan: “Sesungguhnya Rasulullah
saw menyuruhmu supaya membaca al-Qur’an sebagaimana kamu
diajarkan.” (Inna Rasulallah sallallah ‘alayhi wa sallam ya’murukum an
taqrau’ al-Qur’an kama ‘ullimtum) Abu ‘Amru bin al-‘Ala menyatakan:
“Seandainya bukan kerananya aku tidak akan membaca melainkan
dengan apa yang telah dibaca aku membaca huruf seperti ini dan itu
dan begini dan begitu.”(Law la annahu laysa li an aqra’a illa bima qad
quri’a bihi laqaraqtu harf kadha kadha wa harf kadha kadha) Paman
‘Abdurrahman berkata: Aku bertanya kepada ‘Amru bin al-‘Ala (wa
barakna ‘alayh ) dalam satu tempat dan (wa tarakna ‘alayh) pada satu
tempat bagaimana ini diketahui? Maka Ia menjawab: “Ini hanya dapat
diketahui dengan mendengar dari para shaykh terdahulu.” Zayd bin
Thabit dari ayahnya berkata: “al-Qira’ah sunnah.” Zayd bin Thabit dari
ayahnya menyatakan: “Qira’ah adalah sunnah, maka bacalah
sebagaimana kamu menemukannya.” (al-Qira’ah sunnah, faqra’uhu
kama tajidunahu). Muhammad bin al-Munkadir berkata: “Qira’ah
adalah sunnah yang orang lain mempelajarinya dari orang-orang yang
39 Ibnu Mujahid menyebutkan secara utuh sanad-sanad tersebut. Lihat Ahmad bin Musa bin Mujahid, Kitab al-Sab‘ah fi al-Qira’at, editor Shawqi Dif (Kairo: Dar al-Ma‘arif, edisi ketiga, tt), 46-52.
12
awal.” (al-Qira’ah sunnah ya’khudhuha al-akhar ‘an al-awwal) ‘Amir al-
Sha‘bi menyatakan: “Qira’ah adalah sunnah, maka bacalah
sebagaimana orang-orang terdahulu telah membacanya.” (al-Qira’ah
sunnah, faqra’u kama qara’a awwalukum) ‘Urwah bin al-Zubayr
berkata: “Sesungguhnya Qira’ah al-Qur’an termasuk dari sunnah,
maka bacalah sebagaimana kamu diajarkan.”(Innama qira’at al-Qur’an
sunnah min al-sunan, faqra’u kama ‘ullimtumuh).40
Selain itu, sikap Ibnu Mujahid terhadap Ibnu Shannabudz dan
Ibnu Miqsam didukung oleh para ulama lain. Membiarkan
berkembangnya bacaannya Ibnu Shannabudz dan Ibnu Miqsam akan
mengacaukan al-Qur’an. Jadi, Ibnu Mujahid menolak qira’ah Ibnu
Shannabudz dan Ibnu Miqsam kerana Ibnu Shannabudz menyepelekan
ortografi Mushaf ‘Utsmani dan Ibn Miqsam menyepelekan sanad.
Dalam pandangan Ibnu Mujahid, sebuah qira’ah itu memiliki syarat-
syarat. Tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut, maka qira’ah tersebut
adalah salah dan tidak dapat diterima.41
Pemikiran liberal hanyalah mengikuti dan mengulangi pendapat para orientalis.
Padahal kajian para orientalis yang mengkritik al-Qur’an tidaklah tepat untuk diikuti.
Sebabnya, pemikiran orientalis terpengaruh dengan problematika yang dihadapi Bibiel.
Al-Qur’an adalah Kalam Ilahi yang berbeda dengan teks Bibel, yang merupakan
perkataan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Seandainya dia
(Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang
dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”.42
Allah juga berfirman yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’Én)
menurut kemahuan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).43
40 Ibid., 46-52. 41 Lihat kritikan penulis kepada Arthur Jeffery dalam masalah qiraah Ibn Miqsam dan Ibn Shannabudz dalam Metodologi Bibe, 116-26.42 Surah al-Haqqah (69: 44-46).43 Surah al-Najm (53: 3-4). Lihat juga firman Allah dalam surah-surah yang lain, seperti: Surah Fussilat (41: 42); al-Shu‘ara’ (26: 192); al-Sajdah (32: 2); al-Zumar (39: 1); al-Mu’min (40: 2); Fussilat (41: 2); al-
13
Selain itu, para orientalis mengabaikan faktor keimanan ketika mengkaji al-
Qur’an. Padahal Abu Hurayrah, Ibn ÑAbbas, Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, al-Hasan al-
Basri, al-Dahhak, Ibrahim al-Nakhai pernah menyatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah
din (agama). Oleh sebab itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.” (inna
hadza al-Ñilm din fanzuru Ñamman ta´khuzuna dinakum).44 Selain itu, al-Tabari
(w. 310/923) menegaskan bahwa syarat utama seseorang yang menafsirkan al-Qur’an
adalah memiliki akidah yang benar dan komitmen mengikut sunnah. Orang yang
akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk mengemban amanah yang berkaitan dengan
urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan!45
3. Menggugat Syariah
Syariat Islam tidak luput dari kritikan para aktifis Islam Liberal. Luthfi
Assyaukanie, misalnya menyatakan: “Saya pribadi menganggap bahawa konsep “syariat
Islam” tidak ada. Itu adalah karangan orang-orang yang datang belakangan yang
memiliki idealisasi yang berlebihan terhadap Islam (sama seperti “negara Islam,”
“ekonomi Islam,” bank Islam,” matematika Islam,“ etc).46 Ia bahkan menyatakan:
“Ibadah haji sahaja warisan jahiliah, zakat warisan Romawi yang direvisi, shalat warisan
Dawud (dalam tradisi Judaic) yang dimodifikasi, dan dalam system ekonomi, Rasulullah
menyetujui semua praktik ekonomi orang-orang Romawi yang saat itu mendominasi
hamper semua urusan adminsitrasi dan tata negara, kecuali riba (orang-orang Romawi
atau siapa pun sesungguhnya akan berkeberatan jika riba yang dimaksud adalah transaksi
merugikan orang lain).47
Pendapat syariat Islam itu tidak ada juga sudah lama dikemukakan oleh para
orientalis. W. St. Clair-Tisdall, misalnya, seorang misionaris Inggris
untuk Isfahan, menyimpulkan Islam itu bukan bersumber dari ‘langit’, tapi
dari ragam agama dan budaya. Menurut Tisdall, konsep Islam tentang Tuhan, haji, cium
hajar aswad, menghormati kabah, semuanya diambil dari budaya jahiliyah. Shalat 5
Jathiyah (45: 2); al-Ahqaf (46: 20) al-Waqi‘ah (56: 80); al-Haqqah (69: 43).44 Imam Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, Kitab al-Majruhin min al-Muhaddithin wa al-DhuÑafa wa al-Matrukin (editor Mahmud Ibrahim Zayed (Halb/Aleppo: Dar al-WaÑy, 1396 H), 1: 21-23.45 Dikutip dari Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi Ñulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 2003), 854.46 Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis, 33. 47 Ibid., 33-34.
14
waktu dari tradisi Sabian. Kisah Nabi Ibrahim, Sulaiman, Ratu Balqis, Harut
Marut, Habil Qabil dari Yahudi. Ashabul Kahfi dan Maryam dari Kristen.
Tidak ketinggalan dari Hindu dan Zoroaster, iaitu Isra' Mi'raj dan
jembatan (shirath) di hari kiamat.48
Pendapat para orientalis di atas tidaklah tepat. Sekalipun terdapat
persamaan dengan Yahudi-Kristen, Islam adalah agama yang
membawa ajaran baru. Islam meluruskan, mengislamkan ajaran yang
salah dari Jahiliyah, Yahudi dan Kristen. Islam bersumber dari wahyu
Allah yang otentik dan sempurna.
Sekalipun pernyataan Luthfi tidak memiliki asas yang kukuh, namun
pemikirannya mendapat pembelaan dari Mun’im A. Sirry, mahasiswa yang mendapat S1
dan S2 dari Universitas Islam Antar Bangsa Pakistan (1990-1996), penulis buku Sejarah
Fikih Islam: Sebuah Pengantar dan editor buku Fiqih Lintas Agama. Mun’im
menyatakan: “tidak ada itu hukum Islam.” Pertama, Rasulullah saw. sendiri tidak pernah
melakukan klasifikasi hukum seperti yang kita kenal, seperti wajib,haram, dan
seterusnya. Kedua, pemahaman tentang hukum itu sendiri sebenarnya paradoks bila
dikaitkan dengan Islam. Saya ambil contoh ayat yang mengandung arti ‘anti hukum’ iaitu
“tidak ada paksaan dalam agama.”… Ketiga, hukum Islam diawali dengan asumsi
bahawa orang atau masyarakat harus dibatasi untuk melakukan tindakan yang islami.
Persoalannya, siapa yang memiliki otoritas menentukan tindakan yang islami atau tidak
islami? Kaum konservatif akan cenderung mengatakan bhawa pendapat ulamalah ayang
otoritatif.49
Makna syariah Islam juga telah diberi makna dan nuansa baru oleh Dr. Siti
Musdah Mulia bersama tim dan kontributor Pengarusutamaan Gender Departemen
Agama. Mereka telah mengkritik metodologi para ulama yang berwibawa dan
mengusulkan metodologi baru seperti berikut: Pertama, mengungkapkan dan
merevitalisasi kaidah usul marginal yang tidak terliput secara memadai dalam sejumlah
kitab usul fikh.-, seperti alÑibrah bi khusus al-sabab la bi Ñumum al-lafaz; takhsis bi al-
48 Lihat artikel W.St. Clair-Tisdall, “The Sources of Islam,” dalam The Origins of the Koran, editor Ibn Warraq (New York: Prometheus Books, 1998), 227-292. 49 Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis, 38.
15
Ñaql wa takhsis bi al-Ñurf, al-amr iza zaqa ittasaÑa. Kedua, sekiranya usaha pertama
tidak lagi memadai untuk menangani dan menyelesaikan problem-problem kamanusiaan,
maka upaya selanjutnya adalah membongkar bangunan paradigma usul fikih lama: (1)
mengubah paradigma dari teosentrisme ke antroposentrisme, dari elitis ke populis; (2)
bergerak dari eisegese ke exegese. Dengan exegese, para penafsir berusaha semaksimal
mungkin untuk menempatkan nash sebagai “obyek” dan dirinya sebagai “subyek” dalam
suatu dialektika yang seimbang. (3) Mem-fikihkan syariÑat atau merelatifkan syariÑat.
SyariÑat harus diposisikan sebagai jalan (wasilah, hajiyat) yang berguna bagi
tercapainya prinsip-prinsip Islam (ghayat, daruriyat) berupa keadilan, persamaan,
kemaslahatan, penegakan HAM. Jadi, shalat, zakat, puasa, haji adalah wasilah dan bukan
ghayah-daruriyat. (4) Kemashlahatan sebagai rujukan dari seluruh kerja penafsiran. (5)
Mengubah gaya berfikir deduktif ke induktif (istiqra’iy). Disinilah letak pentingya KHI
menimba sebanyak-banyaknya dari kearifan-kearifan lokal (local wisdom, al-Ñurf).50
Dengan menggunakan metodologi sekular seperti yang telah disebutkan di atas,
Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama Republik Indonesia (2004)
merumuskan beberapa kaidah usul fikih alternatif seperti al-ibrah bi al-maqasid la bi al-
alfaz, jawaz naskh al-nusus bi al-maslahah dan tanqih al-nusus bi al-aql al-mujtamaÑ.
Tim tersebut juga berpendapat yang menjadi visi dan landasan hukum Islam adalah
pluralisme (al-taÑddudiyyah), nasionalitas (muwatanah), penegakan HAM (iqamat al-
huquq al-insaniyyah), demokratis, kemaslahatan (al-maslahat) dan kesetaraan gender (al-
musawah al-jinsiyyah).51
Berikut ini hukum Islam mengenai kewanitaan versi tim Pengarusutamaan
Gender Departemen Agama Republik Indonesia (2004). Wanita boleh menikahkan
dirinya tanpa wali kerana wali nikah bukan termasuk rukun perkawinan; mahar wajib
diberikan bukan sahaja oleh calon suami, tetapi juga calon istri atau kedua-duanya;
perkawinan beda agama dibolehkan, poligami dilarang untuk dilakukan, perkawinan
diatur jangka waktunya (kawin kontrak); ‘iddah berlaku juga untuk suami; pembagian
50 Pembaharuan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), 23-24. 51 Ibid., 24-30.
16
waris bagi anak laki-laki dan perempuan adalah sama 1:1 atau 2:2, waris beda agama
dibolehkan, dan berbagai materi lainnya.52
4. Kesimpulan
Pemikir liberal telah menjadi penyebar sekularisasi-liberalisasi Islam. Mereka
menolak Islam dan menegaskan Islams (Islam warna-warni). Penafsiran mereka kepada
Islams, telah dipengaruhi oleh pandangan hidup Barat. Menghadapi masuknya pandangan
hidup Barat ke dalam pemikiran kaum Muslimin,53 maka para sarjana Muslim yang
berwibawa perlu terlibat kritis dengan peradaban Barat. Unsur-unsur asing yang telah
masuk ke dalam studi Islam perlu diseleksi, dimodifikasi, ataupun ditolak jika memang
tidak sesuai dengan ajaran Islam.
52 Ibid., 32-74.53 Syed Muhammad Naquib al-Attas mengidentifikasi konsep-konsep asing dalam pemikiran Muslim sebagai Deislamisasi (Deislamization). Lihat karyanya The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999, terbit pertama kali tahun 1980), 45.
17
Recommended