View
14
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
592
SINERGISITAS PENATAAN RUANG
(Suatu Penelitian terhadap Kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota di Aceh)*
Synergy Regulation of Spatial
(A Policy Research Provincial Government and Regency/Municipality in
Aceh)
Oleh: Efendi, M. Zuhri, Mukhlis dan M. Iqbal**
ABSTRACT
Kata Kunci: Sinergi, Penataan, Ruang
The purpose of this study is to investigate and explain the form of
policies, synergy of government, the appropriateness of policies issued by the
provincial and district governments with the authority granted by Act No. 26
of 2007
This research is a normative, legal source material is the primary law
materials and secondary legal materials, obtained through field research and
library research.
Aceh government policies and the policy of local governments has not
been able to resolve the border conflict districts. This affects the difficulty of
making the border spatial planning policy. Although the provinces and
Regency/Municipality in Aceh had formed the Coordinating Agency for
Spatial Planning Area (BKTRW), but BKTRW has not functioned optimally.
There are no known incompatibilities in spatial planning policy, because
local governments are still awaiting the birth of the provincial Qanun.
To local governments expected to make policy together adjacent to
resolve border issues in spatial planning. Forms of collective wisdom can be
shared qanun, joint regulation or collective decisions. In realizing synergy
spatial planning in Aceh, the provincial government and
Regency/Municipality is expected to optimize the function BKTRW Aceh and
BKTRW Regency/Municipality.
* Penelitian ini Dibiayai oleh Universitas Syiah Kuala, Kementerian Pendidikan Nasional,
sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Riset Unggulan Strategis Nasional
Batch II Nomor: 337/H11/A.01/APBN-P2T/2010 Tanggal 7 Juni 2010. **
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
593
A. PENDAHULUAN
Menurut ketentuan Pasal 63 ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a
Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
mempunyai kewenangan untuk menetapkan kebijakan pada tingkat daerah
masing-masing. Kebijakan yang dimaksudkan di sini termasuk kebijakan
yang berkaitan dengan penataan ruang. Kewenangan penataan ruang ini
secara tegas disebutkan dalam Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang No.
26/2007 tentang Penataan Ruang. Dalam Pasal 10 ayat (2) dikatakan bahwa
wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang
meliputi: perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah provinsi, sedangkan kewenangan kabupaten/kota menurut Pasai 11
ayat (2) meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan
ruang wilayah kabupaten/kota. Khusus untuk Aceh berkaitan dengan
kewenangan ini dipertegas dalam Pasal 142 ayat (3) Undang-Undang No.
11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyatakan kewenangan
Pemerintah Aceh dalam perencanaan, pengaturan, penetapan dan pemanfaatan
tata ruang Aceh bersifat lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan penataan ruang merupakan satu kesatuan, maka
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan haruslah bersinergi, hal ini sesuai
dengan salah satu asas yang terkandung dalam Pasal 2 huruf a Undang-
Undang No. 26/2007, yaitu asas keterpaduan. Maksud dari asas keterpaduan
ini menurut penjelasan Pasal 2 huruf a tersebut adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
594
lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Untuk
mewujudkan berbagai kepentingan ini lebih jauh diperlukan adanya berbagai
keterpaduan kebijakan antara pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota.
Permasalahan penataan ruang merupakan suatu gambaran yang
bersifat multi sektoral, terlebih lagi setelah diberlakukannya konsep otonomi
daerah. Kebijakan otonomi dalam pelaksanaan penataan ruang, dengan
berbagai pro dan kontranya, merupakan salah satu peluang yang dapat
mendekatkan penerapan tata ruang pada permasalahan lokal. Keterbatasan
pemerintah pusat dalam mengikuti dinamika lokal yang sangat komplek
seringkali mengakibatkan kegagalan di berbagai kasus penataan ruang.
Kompleknya permasalahan ini seharusnya konsep otonomi daerah dalam
melakukan penataan ruang hendaknya dilakukan secara sinergis antara
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Dalam kenyataannya sinergisitas ini belum dilakukan sepenuhnya oleh
pemerintah, khususnya pada tingkat pemerintahan provinsi dan
kabupaten/kota di Aceh.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Penyerahan berbagai kewenangan dalam penataan ruang kepada
daerah sebagai wujud dari penguatan pelaksanaan otonomi daerah. Dalam
pelaksanaannya penguatan otonomi daerah ini memiliki sisi negatif antara lain
sinergi pembangunan regional yang dikhawatirkan semakin menjauh akibat
lemahnya koordinasi diantara mereka. Kabupaten/kota bukannya menjalin
kerjasama untuk berbagi peran dalam penyelesaian masalah bersama, atau
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
595
meningkatkan daya saing dengan bersinergi, tetapi membiarkan kondisi tanpa
komunikasi, tanpa koordinasi bahkan tanpa kerjasama di tingkat regional.
Semua masalah diupayakan penanganan sendiri-sendiri. Ada beberapa
fenomena paska orde baru terkait makin perlunya memperhatikan manajemen
regional:
a. melemahnya koordinasi pembangunan tingkat regional, kesannya berjalan
sendiri-sendiri dan kurang terkoordinasi secara regional pada
penyelenggaraan pembangunan antar kabupaten/kota;
b. kurangnya ruang untuk manajemen regional pada hirarkhi perundangan;
c. kurang tertanganinya dengan baik masalah atau konflik horizontal antar
kabupaten/kota yang berdekatan.1
Ruang perlu ditata agar dapat memberikan keseimbangan lingkungan
dan dukungan yang nyaman terhadap manusia serta makhluk hidup lainnya
dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara
normal. Ruang harus dimanfaatkan secara arif dan efisien, sehingga
memungkinkan pemanfaatan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya
dapat secara optimal dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terdapat
pemborosan pemanfaatan ruang dan penurunan kualitas ruang. Diperlukan
penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran
kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang dan estetika lingkungan.
Untuk menjaga kelangsungannya, maka ruang perlu ditata dan dikendalikan
serta direncanakan sehingga dapat memberikan dampak positif bagi mahluk
1 Pendapat Hardi Warsono, dalam Agus Pramusinto dan Erwan Agus Purwanto, 2009,
Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik, Gava Media, Jian UGM, dan
MAP UGM, Yogyakarta.
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
596
hidup di atasnya untuk jangka panjang dan berkelanjutan. Tata ruang
merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan, baik direncanakan
maupun tidak. Maknanya adalah bahwa bentuk ruang yang terjadi merupakan
manifestasi dari hampir seluruh aspek kehidupan, baik fisik, sosial, ekonomi,
budaya, politik, pertahanan dan keamanan.2
Sistem dan pola hubungan pemerintahan antara pemerintah dengan
pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota di bidang tata ruang sama
seperti pola hubungan bidang pemerintahan yang lainnya, oleh karena
perencanaan tata ruang hanyalah sebagian penyerahan urusan dari pemerintah
kepada pemerintah daerah otonom. Landasan yuridis hubungan pemerintahan
tersebut tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hasil
amandemen ke-3 yang menegaskan bahwa, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.3
Mencermati hubungan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota,
khususnya dalam konteks perencanaan tata ruang, sesungguhnya pemerintah
provinsi, dalam hal ini gubernur, masih mempunyai kewenangan, minimal
untuk memberikan pengarahan-pengarahan kepada daerah kabupaten/kota
dalam mengambil berbagai kebijakan perencanaan tata ruang di daerah. Hal
itu dimaksudkan agar tidak ada kesan bahwa bupati/walikota seolah-olah
berjalan masing-masing dalam menentukan kebijakan-kebijakan perencanaan
2 Imam S. Ernawi, 2008, Kebijakan Penataan Ruang Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007
Dalam Rangka Penyelenggaraan Infrastruktur Pekerjaan Umum, Direktur Jenderal
Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. 3 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, 2008, Hukum Tata Ruang Dalam Konsep Kebijakan
Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
597
tata ruang. Adapun bentuk kebijakan dimaksud berupa menetapkan,
mengarahkan dan membebaskan.4
Menurut Miriam Budiardjo, kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan
keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam
usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu.5 Pada prinsipnya,
pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk
melaksanakannya. Dalam perkembangan kekuasaan pemerintahan tidak hanya
sebagai pelaksana dari undang-undang saja, tetapi juga menjalankan peran
legislatif yaitu sebagai pembuat kebijakan yang utama yaitu membuat
rancangan undang-undang dan membimbingnya dalam badan perwakilan
rakyat sampai menjadi undang-undang.
Ruang wilayah merupakan wadah tempat bagi manusia dan makhluk
lainnya hidup dan melakukan kegiatannya, merupakan karunia Allah Yang
Maha Kuasa, oleh karena itu ruang wajib dikembangkan dan dilestarikan
pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi kelangsungan hidup
yang berkualitas.6 Kondisi wilayah Indonesia yang terdiri dari wilayah
nasional, provinsi, dan kabupaten dan/kota, yang masing-masing merupakan
subsistem ruang menurut batasan administrasi, dan di dalam subsistem
tersebut terdapat sumber daya manusia dan berbagai macam kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan tingkat
pemanfaatan ruang yang berbeda-beda. Apabila tidak dilakukan penyusunan
rencana tata ruang yang baik, kemungkinan ketidakseimbangan laju
pertumbuhan antar daerah dan merosotnya kualitas lingkungan hidup akan 4 Robinson Tarigan, 2005, Perencanaan Pembangunan Wilayah, Bumi Aksara, Jakarta.
5 Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
6 I Gde Pantja Astawa, 2009, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Alumni,
Bandung.
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
598
semakin meningkat. Mengingat bahwa penataan ruang di suatu daerah akan
berpengaruh pada daerah lain, yang pada gilirannya akan mempengaruhi
sistem ruang secara keseluruhan, dalam perencanaan tata ruang menuntut
dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya
(Penjelasan Undang-Undang No. 26/2007).
Dalam rangka itu, diperlukan satu dokumen produk penataan ruang
yang bisa dijadikan pedoman untuk menangani berbagai masalah lokal, lintas
wilayah, dan yang mampu memperkecil kesenjangan antar wilayah yang
disusun. Seiring dengan perkembangan pelaksanaan otonomi daerah, masalah
penataan ruang yang dihadapi pun semakin kompleks. Untuk itu diperlukan
kebijakan dan strategi penataan ruang dan pengembangan wilayah yang
mampu menjawab berbagai isu-isu pembangunan yang berkembang dewasa
ini. Produk penataan ruang itu berupa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), Rencana Tata
Ruang Wilayah kabupaten/kota (RTRWK). Hal itu berarti perlu adanya suatu
kebijakan nasional tentang penataan ruang yang dapat mensinergikan
berbagai kebijakan pemanfaatan ruang.
Rencana tata ruang diklasifikasikan berdasarkan hierarki rencana
mulai dari rencana ditingkat pusat (RTRWN), di tingkat provinsi (RTRWP),
dan di tingkat kabupaten/kota (RTRWK). Penyusunan rencana tata ruang
dilakukan secara berjenjang dan komplementer, artinya rencana tata ruang
mulai dari tingkat pusat hingga rencana tata ruang kabupaten/kota harus
saling melengkapi satu dengan lainnya, tidak boleh saling bertentangan, dan
tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraannya.7
7 Imam S. Ernawi, 2008, Op. Cit.
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
599
Persoalan mengenai perencanaan tata ruang tentunya memerlukan
koordinasi di antara pemerintah, baik itu pemerintah pusat, daerah provinsi,
maupun pemerintah kabupaten/kota, hal tersebut diperlukan oleh karena
kondisi ruang antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya memiliki
keterkaitan satu sama lain. Dengan demikian, setiap pemerintahan dalam
melakukan kegiatan pembangunan hendaknya melakukan perencanaan tata
ruang dengan melakukan koordinasi di antara pemerintahan.8 Wujud dari
koordinasi ini terdiri dari dua bentuk yaitu koordinasi dalam bentuk
horizontal dan koordinasi dalam bentuk vertikal. Koordinasi dalam bentuk
horizontal merupakan koordinasi yang terjadi antara sesama instansi dalam
suatu wilayah, sedangkan koordinasi vertikal merupakan koordinasi antara
pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.9
Perencanaan tata ruang merupakan perencanaan dalam perspektif
hukum administrasi negara atau dapat dikatakan rencana yang dibuat oleh
administrasi negara. Dalam perspektif hukum administrasi negara,
perencanaan dikategorikan sebagai intrumen pemerintahan, yang sifat
hukumnya berada diantara peraturan kebijaksanaan, peraturan perundang-
undangan, dan ketetapan. Dengan demikian perencanaan memiliki bentuk
tersendiri (sui generis), patuh pada peraturan-peraturannya sendiri, serta
mempunyai tujuan sendiri, yang berbeda dengan peraturan kebijaksanaan,
peraturan perundang-undangan dan ketetapan. Hal ini berarti bahwa
perencanaan merupakan himpunan kebijaksanaan yang akan ditempuh pada
masa yang akan datang, tetapi ia bukan merupakan peraturan kebijaksanaan
8 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, 2008, Op. Cit.
9 Guritno Soerjodibroto, 2006, Tata Ruang Dalam Pembangunan Kota Yang Berkelanjutan,
Subur Printing, Jakarta.
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
600
karena kewenangan untuk membuatnya ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan atau didasarkan pada kewenangan pemerintahan yang jelas.10
C. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah berbagai
peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hukum tata ruang
khususnya menyangkut kebijakan bidang penataan ruang yang dikeluarkan
oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kebijakan yang dimaksudkan
di sini adalah berbagai peraturan perundang-undangan daerah (khususnya
Qanun RTRW provinsi dan kabupaten/kota) yang dikeluarkan oleh
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang berkaitan dengan penataan
ruang. Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif yang
bertujuan mengkaji sinergisitas berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sebagai wujud
implementasi otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan bidang penataan
ruang.
Kebijakan pemerintah daerah yang dikaji di sini adalah kebijakan yang
berasal dari 6 (enam) kabupaten/kota dari 23 (dua puluh tiga) kabupaten/kota
yang ada di Aceh, ditambah dengan kebijakan pemerintah provinsi. Ke-6
(enam) kabupaten/kota ini meliputi; 2 kota (Kota Banda Aceh dan Kota
Langsa) dan 4 (empat) kabupaten (Kabupaten Bireun, Kabupaten Aceh
Tengah, Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Barat Daya). Pemilihan
6 (enam) kabupaten/kota ini berdasarkan pertimbangan bahwa wilayah
tersebut mencerminkan representasi kabupaten dan kota yang ada di Aceh.
10
Hasni, 2008, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, PT. Radjagrafindo
Persada, Jakarta.
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
601
Sumber bahan hukum utama dalam penelitian ini adalah bahan hukum
primer yang bersumber dari kebijakan bidang penataan ruang yang
dikeluarkan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Selain
itu untuk mendapatkan informasi lebih jauh dari kebijakan yang dikeluarkan
akan diwawancarai pejabat dalam lingkungan pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota yang mempunyai kewenangan dalam mengeluarkan kebijakan
penataan ruang. Untuk mendukung bahan hukum primer diperlukan juga
bahan hukum sekunder yaitu bahan yang diperoleh melalui kajian
kepustakaan yang bersumber dari berbagai teori-teori, hasil penelitian yang
berkaitan dengan objek penelitian dan berbagai peraturan perundang-
undangan nasional yang relevan dengan penelitian ini.
Bahan hukum yang telah diperoleh dalam penelitian ini baik bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder akan ditabulasikan dan
digeneralisasi serta selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Bentuk Kebijakan Penataan Ruang Yang Dikeluarkan oleh
Pemerintah Provinsi Dan Pemerintah Kabupaten/Kota
Bentuk kebijakan penataan ruang yang dikeluarkan/akan dikeluarkan
oleh Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota (Bireun,
Aceh Tengah, Kota Langsa, Kota Banda Aceh, Aceh Barat dan Aceh Barat
Daya) adalah Qanun Provinsi, Qanun Kabupaten/Kota, Peraturan Gubernur,
Peraturan Bupati/Walikota dan Keputusan Gubernur, Keputusan
bupati/walikota. Dasar dari pembentukan kebijakan penataan ruang di Aceh
adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh untuk kebijakan tingkat
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
602
provinsi, sedangkan untuk kebijakan pada tingkat kabupaten/kota didasarkan
pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota.
Dalam pelaksanaannya proses pembuatan kebijakan di Aceh berupa
qanun RTRW propinsi dan RTRW kabupaten/kota belum berjalan sesuai
dengan amanat Pasal 78 ayat (4) huruf b dan c Undang-Undang No. 26/2007
yang menyebutkan bahwa semua peraturan daerah provinsi tentang rencana
tata ruang wilayah provinsi disusun atau disesuaikan paling lambat dalam
waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak undang-undang ini diberlakukan; dan
semua peraturan daerah kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota disusun atau disesuaikan paling lambat 3 (tiga) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
Sampai saat ini qanun provinsi dan kabupaten/kota di Aceh belum
selesai melaksanakan penyesuaian sebagaimana dimaksud. Dari 6
kabupaten/kota yang menjadi wilayah penelitian hanya Banda Aceh yang
telah mengeluarkan qanun penatan ruang penyesuaian dengan Undang-
Undang No. 26/2007 yaitu Qanun Kota Banda Aceh No. 4/2009 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029,
Selebihnya 5 (lima) kabupaten/kota yang lain belum merampungkannya.
Kelima kabupaten/kota ini meskipun belum menyelesaikan qanun RTRW,
tetapi draf qanun penyesuaian tersebut sudah ada. Bahkan Kota Langsa,
Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Barat Daya draft tersebut sudah
diserahkan pada Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota untuk dibahas.
Adapun alasan dari kabupaten/kota belum merampungkan rancangan qanun
RTRW tersebut adalah adanya kekhuatiran nantinya akan bertentangan
dengan aturan yang lebih tinggi sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
603
Undang No. 26/2007, dimana RTRW kabupaten/kota harus mengacu pada
RTRW provinsi dan RTRW provinsi mengacu pada RTRW Nasional.
Sementara itu sampai saat ini Qanun RTRW Aceh belum diselesaikan. Alasan
lain yang dikemukakan adalah masih adanya konflik perbatasan antar
kabupaten/kota bersebelahan. Misalnya Kabupaten Aceh Tengah dengan
Kabupaten Bireun, Kabupaten Aceh Barat dengan Kabupaten Nagan Raya.
Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 26/ 2007 berbunyi:
1) Penetapan rancangan peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang
wilayah provinsi dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus
mendapat persetujuan substansi dari Menteri;
2) Penetapan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu
harus mendapat persetujuan substansi dari menteri setelah mendapatkan
rekomendasi Gubernur.
Melihat ketentuan Pasal Pasal 18 ayat (1) dan Ayat (2) Undang-
Undang No. 26/2007, proses lahirnya qanun RTRW Kota Banda Aceh sudah
melalui prosedur. Hal ini terlihat dari proses lahirnya qanun ini sudah
mengikuti prosedur dimaksud. Adapun proses yang dilalui itu adalah :
a. Walikota Banda Aceh dengan suratnya Nomor 180/05871 tanggal 9 Juli
2009 mengajukan surat permohonan rekomendasi kepada Gubernur Aceh;
b. Setelah dilakukan pembahasan dan konsultasi dengan Badan Koordinasi
Penataan Ruang Aceh (BKPRA), melalui Surat Gubernur Nomor
032/55564 tanggal 28 Juli 2009 perihal rekomendasi Pemberian
Persetujuan Substansi Rancangan Qanun Kota Banda Aceh tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh memenuhi permohonan
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
604
tersebut, dengan beberapa catatan. Salah satu catatan menyatakan bahwa
apabila nanti terdapat perbedaan substansi setelah ditetapkan Qanun
Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA), maka perlu dilakukan
penyesuaian;
c. Selanjutnya dengan Surat Walikota Banda Aceh nomor 650/06869/2009
tanggal 30 Juli 2009 tentang Perihal Permohonan Rekomendasi
Persetujuan Substansi Rancangan qanun Kota Banda Aceh tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh, mengajukan permohonan
pemberian rekomendasi persetujuan substansi rancangan qanun Kota
Banda Aceh tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh
kepada Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia;
d. Setelah dibahas dalam forum koordinasi kelompok kerja teknis Badan
Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKTRN) beserta pemerintah daerah
terkait, Menteri Pekerjaan Umum dengan suratnya Nomor HK.01.03-
Dr/496 tanggal 3 September 2009 perihal Persetujuan Substansi atas
Rancangan Peraturan Daerah (Qanun) Kota Banda Aceh tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh permohonan tersebut disetujui.
Pemerintah propinsi dalam mewujudkan lahirnya Qanun RTRW Aceh
sebagai landasan lahirnya qanun kabupaten/kota mengalami kendala, karena
dokumen draft rancangan qanun RTRW Aceh oleh 7 (tujuh) kabupaten/kota
ditolak. Kondisi ini akan memperlampat proses lahirnya qanun dimaksud.
Padahal qanun RTRW Aceh ini harus segera dituntaskan. Hal ini mengingat
adanya Surat Edaran dari Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen
Pekerjan Umum Nomor 04/SE/Dr/2010 tanggal 14 September 2010 tentang
Percepatan Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
605
Ruang Wilayah Propinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/Kota.
Dalam surat edaran ini kepada provinsi dan kabupaten/kota dimintakan untuk
segera menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah baik pada tingkat
Provinsi maupun pada kabupaten/kota sebagai dasar pemberian izin
pemanfaatan ruang di daerahnya.
Dalam penataan ruang diperlukan adanya penetapan kebijakan bersama
antar wilayah, ini dimaksudkan untuk mewujudkan keserasian dan sinergisitas
antara rencana tata ruang provinsi, kabupaten dan kota di Aceh. Penetapan
kebijakan bersama antar wilayah, baik itu antar provinsi dengan
kabupaten/kota maupun kerjasama antar kabupaten/kota yang satu dengan
kabupaten/kota yang lain harus sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat.
Kebijakan bersama yang dimaksudkan di sini adalah membuat qanun bersama
antara kabupaten/kota dan peraturan/keputusan bersama antar kabupaten/kota
berbatasan. Dengan kebijakan seperti ini apa yang dituangkan dalam qanun
bersama dan peraturan/keputusan bersama dapat mengikat kedua wilayah
berbatasan dimaksud.
2. Sinergisitas Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
Dalam Penataan Ruang
Berbicara sinergisitas maka tidak dapat dipisahkan dengan persoalan
koordinasi antara berbagai lembaga dalam suatu wilayah baik pada tingkat
provinsi maupun pada tingkat kabupaten/kota, serta koordinasi antar
kabupaten/kota dan antar kabupaten/kota dengan propinsi di Aceh. Perlunya
koordinasi ini sebagai konsekuensi logis dari adanya pembagian wilayah
ruang berdasarkan aspek administratif, dimana ruang wilayah di bagi atas
wilayah nasional, ruang wilayah provinsi dan ruang wilayah kabupaten/kota.
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
606
Koordinasi dalam penataan ruang bersifat hirarkhis yaitu dari pemerintah
pusat, pemerintah provinsi dan seterusnya ke pemerintahan kabupaten/kota.
Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam
penyelenggaraan penataan ruang.
Dalam penetapan kebijakan bidang penataan ruang di Aceh baik pada
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, fungsi koordinasi dalam rangka
mensinergiskan kebijakan belum berjalan maksimal. Kondisi ini terlihat pada
pembahasan rancangan qanun RTRW Aceh yang diprakarsai oleh Badan
Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Aceh pada rapat koordinasi yang
dihadiri oleh Bupati/walikota dan kepala Bappeda Kabupaten/Kota. Dalam
rapat koordinasi tersebut 7 (tujuh) kabupaten/kota menolak untuk
menandatangani dokumen rancangan qanun tentang RTRW Aceh Tahun
2010-2030. Adapun kabupaten/Kota yang menolak adalah Aceh Besar, Bener
Meriah, Aceh Tengah, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Kota
Subussalam. Adapun alasan penolakan terhadap dokumen draft rancangan
RTRW Aceh tersebut adalah:
a. Tidak diakomodirnya masukan dari kabupaten/kota;
Pembagian wilayah permukiman dan wilayah hutan budidaya belum sesuai
dengan yang diusulkan oleh kabupaten/kota, misalnya Kabupaten Aceh
Barat Daya mengusulkan supaya areal permukiman dan pertanian untuk
budidaya diberikan di atas 20 (dua puluh) persen dari luas total
wilayahnya, tetapi dalam dokumen draft qanun RTRW Aceh tersebut
menetapkan kurang dari 20 (dua puluh) persen;
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
607
b. Tidak sesuainya kondisi lapangan dengan apa yang diatur dalam dokumen
RTRW Aceh, misalnya di Aceh Tengah kawasan permukiman dan
perkebunan kopi masuk dalam kawasan hutan lindung;
c. Observasi lapangan dalam penentuan penetapan kawasan tidak melibatkan
pemerintah kabupaten/kota secara langsung, sehingga data yang dihimpun
tidak akurat;
d. Data yang digunakan dalam perumusan kebijakan (rancangan qanun
RTRW Aceh) tidak sesuai lagi dengan kondisi di lapangan;
e. Persoalan konflik perbatasan antar kabupaten bersebelahan belum
terselesaikan.
Keputusan Presiden No. 62/2000 tentang Koordinasi penataan ruang
nasional menetapkan adanya Badan Koordinasi Tata Ruang pada beberapa
tingkatan. Pada tingkat nasional dinamakan Badan Koordinasi Tata Ruang
Nasional (BKTRN), pada tingkat provinsi dinamakan Badan Koordinasi Tata
Ruang Daerah (BKTRD) Provinsi dan pada tingkat kabupaten/kota
dinamakan Badan Koordinasi Tata Ruang Daerah (BKTRD) Kabupaten/Kota.
Di Provinsi Aceh pembentukan badan koordinasi tata ruang diatur dengan
Keputusan Gubernur Aceh Nomor 050/07/2010 tentang Pembentukan Badan
koordinasi Penataan Ruang Daerah Aceh tanggal 15 Januari 2010. Sedangkan
di Kabupaten/Kota Badan Koordinasi Tata Ruang kabupaten/kota diatur
dengan Keputusan Bupati/Keputusan Walikota. Contoh: Keputusan Bupati
Aceh Tengah Nomor 050.13/34/Bappeda/2010 tanggal 25 Januari 2010
tentang Penunjukan/Penetapan Personil Badan Koordinasi Penataan Ruang
Daerah (BKPRD) Kabupaten Aceh Tengah)
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
608
Berdasarkan fungsi koordinasi sebagaimana diamanatkan oleh
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang pedoman
koordinasi penataan ruang daerah, BKTRD memiliki peran yang strategis,
karena segala hal yang berkaitan dengan kebijakan penatan ruang baik pada
tingkat propinsi maupun pada tingkat kabupaten/kota berada dibawah
koordinasinya. Oleh karena itu efektivitas fungsi koordinasi yang ada pada
lembaga BKTRD ini menentukan sinergisitas penatan ruang antar propinsi
dengan kabupaten/kota, antara kabupaten/kota dengan kabupaten kota yang
lainnya serta lintas sektor pada satu wilayah.
Aspek penataan ruang begitu luas, oleh karena itu perlu
pengembangan mekanisme koordinasi pada tingkatan wilayah. Hal ini sesuai
dengan amanat Keppres Nomor 50 Tahun 2009 yang membentuk badan
koordinasi sebagaimana disebutkan di atas. Koordinasi dalam penataan ruang
baik pada tingkat Propinsi dan Kabupaten Kota di Aceh selama ini
menggunakan 2 model yaitu model koordinasi horizontal yaitu koordinasi
yang dibangun antara dinas dan lembaga terkait, misalnya koordinasi antara
Bappeda dengan Dinas Pekerjaan Umum dan koordinasi vertikal yaitu
koordinasi antara tingkatan yang lebih tinggi kedudukannya dengan yang
dibawahnya, misalnya antara propinsi dan kabupaten/kota. Meskipun
koordinasi horizontal dan vertikal pada tingkat provinsi maupun pada tingkat
kabupaten/kota sudah berjalan, tetapi itu belum dilakukan secara optimal. Hal
ini terjadi dikarenakan belum berjalannya fungsi, tugas dan wewenang
koordinasi sebagaimana diamanatkan oleh peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 50 Tahun 2009, sehingga masing-masing tingkatan koordinasi tidak
mengetahui siapa mengkoordinasikan apa.
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
609
3. Kesesuaian Kebijakan Penataan Ruang Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota Dengan Kewenangan yang Diberikan Undang-
Undang No. 26/2007
Kebijakan penataan ruang Aceh dimaksudkan untuk mewujudkan
keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan pembangunan di seluruh Aceh.
Semua pembangunan pada dasarnya bertumpu pada tata ruang, oleh sebab itu
tata ruang merupakan landasan atau dasar yang utama dalam pengelolaan
suatu wilayah (pada tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota). Dalam
kenyataannya penataan ruang sebagai dasar pembangunan di Aceh belum
sepenuhnya dijalankan hal ini dikarenakan kompleknya persoalan tata ruang
di Aceh. Salah satu penyebab belum tuntasnya persoalan ini adalah adanya
perubahan kebijakan dalam penataan ruang pada tingkat nasional (Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah dan lainnya). Konsekuensi dari kondisi ini
kebijakan pada tingkat daerah (Qanun Propinsi, Qanun Kabupaten/Kota,
Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, Keputusan Gubernur,
Keputusan Bupati.walikota) harus direvisi.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi dan
kabupaten/Kota tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu Undang-Undang No. 26/2007 dan
Peraturan Pemerintah No. 15/2010 harus menjadi dasar bagi semua kebijakan
yang dikeluarkan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pasal 10
dan Pasal 11 Undang-Undang No. 26/2007 berturut-turut mengatur tentang
wewenang Pemerintah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan penataan ruang. Adapun yang menjadi salah satu wewenang
pemerintah daerah provinsi dan Kabupaten/kota adalah pengaturan tata ruang.
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
610
Selanjutnya dalam Pasal 16 disebutkan pengaturan penataan ruang ini
dilakukan melalui penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang
penatan ruang.
Proses pembuatan qanun tata ruang sebagai wujud pelaksanaan
kewenangan yang diberikan oleh Pasal 11 dan 12 sedang dilakukan. Bahkan
untuk Rancangan Qanun RTRW Aceh oleh pihak pemerintah sudah
disampaikan pada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, dan sudah pada tahap
pembahasan di Komisi D. Sedangkan rancangan qanun RTRW Kota Langsa,
Kabupaten Bireun, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Barat dan
Kabupaten Aceh Barat Daya semuanya sudah dalam bentuk draft rancangan
qanun penataan ruang. Semua qanun kabupaten/kota (kecuali Kota Banda
Aceh) dilakukan penundaan pembahasan sampai lahirnya Qanun RTRW
Aceh. Penundaan ini dimaksudkan supaya qanun RTRW kabupaten/kota yang
dihasilkan nanti tidak bertentangan dan bersinergi dengan peraturan yang
lebih tinggi. Meskipun Kota Banda Aceh sudah menyelesaikan Qanun
RTRW-nya, tetapi dari hasil kajian yang dilakukan substansi tersebut tidak
ada pertentangan dengan Undang-Undang No. 26/2007, hanya saja
Pemerintah Kota Banda Aceh tidak mengindahkan ketentuan Pasal 6 ayat (2)
dan 14 ayat (2) yang mengatakan, bahwa penataan ruang wilayah nasional,
penataan ruang wilayah provinsi, dan penatan ruang wilayah kabupaten/kota
dilakukan secara berjenjang dan komplementer. Selanjutnya Pasal 14 ayat (2)
menyatakan, bahwa perencanaan tata ruang harus berhierarki, berturut-turut
dari RTRW Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota.
Meskipun substansi Qanun RTRW Aceh belum diketahui, tetapi pemerintah
Kota Banda Aceh akan melakukan penyesuaian nantinya. Hal ini sesuai
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
611
dengan syarat yang diberikan dalam Surat Gubernur Nomor 032/55564
tanggal 28 Juli 2009 perihal Rekomendasi Pemberian Persetujuan Substansi
Rancangan Qanun Kota Banda Aceh tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Banda Aceh, bahwa apabila nanti terdapat perbedaan substansi setelah
ditetapkan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA), maka perlu
dilakukan penyesuaian.
E. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Kebijakan pemerintah Aceh dan kebijakan pemerintah kabupaten/kota
belum mampu menyelesaikan konflik perbatasan kabupaten/kota. Ini
berdampak pada sulitnya membuat kebijakan penataan ruang
perbatasan.
b. Meskipun di provinsi dan kabupaten/kota di Aceh sudah terbentuk
Badan Koordinasi Penataan Ruang Wilayah (BKTRW), tetapi BKTRW
tersebut belum difungsikan secara optimal.
c. Tidak ditemukan adanya ketidaksesuaian kebijakan dalam penataan
ruang, karena pemerintah kabupaten/kota masih menunggu lahirnya
qanun provinsi.
2. Saran
a. Kepada pemerintah kabupaten/kota berbatasan diharapkan membuat
kebijakan bersama untuk mengatasi persoalan perbatasan dalam
penataan ruang. Bentuk kebijakan bersama tersebut dapat berupa qanun
bersama, peraturan bersama atau keputusan bersama.
Efendi dkk, Sinergisitas Penataan Ruang
KANUN No. 52 Edisi Desember 2010
612
b. Dalam mewujudkan sinergisitas penataan ruang di Aceh, kepada
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota diharapkan mengoptimalkan
fungsi BKTRWAceh dan BKTRW Kabupaten/Kota.
DAFTAR PUSTAKA
Guritno Soerjodibroto, 2006, Tata Ruang Dalam Pembangunan Kota
Yang Berkelanjutan, Subur Printing, Jakarta.
Agus Pramusinto dan Erwan Agus Purwanto, 2009, Reformasi Birokrasi,
Kepemimpinan dan Pelayanan Publik), Kerjasama Gava Media,
Jian UGM, dan MAP UGM, Yogyakarta.
Hasni, 2008, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, PT.
Radjagrafindo Persada, Jakarta.
I Gde Pantja Astawa, 2009, Problematika Hukum Otonomi Daerah di
Indonesia, Alumni, Bandung.
Imam S. Ernawi, 2008, Kebijakan Penataan Ruang Berdasarkan UU
No. 26 Tahun 2007 Dalam Rangka Penyelenggaraan Infrastruktur
Pekerjaan Umum, Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen
Pekerjaan Umum, Jakarta.
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, 2008, Hukum Tata Ruang Dalam
Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung.
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Robinson Tarigan, 2005, Perencanaan Pembangunan Wilayah, Bumi
Aksara, Jakarta.
Syarifuddin Hasyim, 2008, Hukum Administrasi Negara, Syiah Kuala
University Press, Banda Aceh
Recommended