View
11
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT
(STUDI KOMPARATIF TAFSIR MARÂH LABÎD DAN
TAFSIR AL-KASYSYÂF)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Asep Fathurrahman
NIM: 1111034000129
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H./2016 M.
t'
pENAFSTRAN AYAT-AYA T MUTAs vinmAr(sruDr KoMrARATTF TAFstx uanA4 nanto DAN
^-TAf,'SIR,4.L'KASYSYAry
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.f)
Oleh:
Asep FathurrahmanNIM: 1111034000129
PROGRAM STT}DI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULT]DDIN
UNIYERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
.IAKAR'TA
M37 E.n*l6ItL
i
Pembimbing,
NIP: 19550725 200012 2 200
7
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudut PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYABIHAT
(sTUDr KOMPARATTF TAFSIR MAR lZ nqniO DAi\ TAFSTR ,4r-
KASYSYAry telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 10 Februari z}rc. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam
(S.Th.I) pada Program Studi Tafsir-Hadis.
lakarta" 10 Februari 2016
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
4/'sDr. Lilik Ummi Kaltsum. MANip: 19711003 199903 2 001
Penguji I
Dr. Mafri Amir" MANip: 19580301 199203 1001
Anggota,
Penguji II
Nip: 19721 024 200312 I 002
Nip: 19680618 199903 2 001
Pembimbing
19s50725 2000122200
LEMBAR PER}IYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau menrpakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Itr
iv
ABSTRAK
Asep Fathurrahman
PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT (STUDI KOMPARATIF
TAFSIR MARÂH LABÎD DAN TAFSIR AL-KASYSYÂF)
Kaum Musyabbihah dari kalangan Wahabiyah seringkali mengatakan
bahwa “pemaknaan istawâ dengan takwil istawlâ adalah pendapat orang-orang
Mu’tazilah, padahal kaum Mu’tazilah adalah kaum yang sesat sebagaimana telah
disepakati bersama. Dengan demikian bagaimana dapat dibenarkan jika
Asy’ariyyah-Maturidiyah mengambil pendapat kaum Mu’tazilah tersebut?”.
Berawal dari pernyataan kalangan Wahabiyah di atas penulis merasa perlu
mengkaji, membuktikan serta berusaha menjawab pernyataan dan pertanyaan
mereka di atas dengan tulisan ini; dengan menganalisa serta membandingkan
penafsiran Nawawî al-Bantanî; sebagai perwakilan dari Asy’ariyah-Maturidiyah
dan al-Zamakhsyarî; sebagai perwakilan dari Mu’tazilah. Dalam proses
menganalisa data, penulis menggunakan metode deskriptif-analitik-komparatif.
Dengan cara deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan pandangan atau
penafsiran Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî terhadap ayat-ayat
mutasyâbihât dalam al-Qur’an, menganalisa penafsiran-penafsiran Nawawî al-
Bantanî dan al-Zamakhsyarî untuk kemudian membandingkan penafsiran
keduanya secara proporsional sehingga akan didapat rincian jawaban atau
persoalan yang berhubungan dengan pokok pembahasan.
Temuan yang didapat dari hasil penelitian ini ialah baik Nawawî al-
Bantanî maupun al-Zamakhsyarî keduanya sama-sama mensucikan Allah dari
sifat-sifat keserupaan dengan makhluk sehingga ayat-ayat mutasyâbihât mereka
anggap sebagai bagian dari ayat-ayat mutasyâbihât yang harus ditakwilkan
kepada makna yang layak bagi kesucian Allah. Dan juga dalam mentakwil ayat-
ayat mutasyâbihât keduanya sama-sama menggunakan metode takwil tafsili.
Kemudian, perbedaan antara Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî hanya dalam
bentuk redaksi makna pentakwilannya saja. Ada yang sama, juga banyak yang
berbeda redaksi makna pentakwilannya. Dan juga terkadang Nawawî al-Bantanî
lebih rinci dalam mentakwil, terdakang al-Zamakhsyarî yang lebih rinci bahkan
banyak juga beberapa ayat yang tidak ditakwilkan oleh al-Zamakhsyarî.
Kemudian, sama sekali tidak masalah dalam hal ini jika al-Zamakhsyarî sebagai
perwakilan dari golongan Mu’tazilah menyamai Nawawî al-Bantanî sebagai
perwakilan dari golongan Asy’ariyah-Maturidiyah. Tidak semua apa yang
diyakini oleh orang-orang Mu’tazilah sebagai kesesatan atau kebatilan
sebagaimana yang banyak dikemukakan oleh orang-orang Musyabbihah dari
golongan Wahabiyah. Kebenaran atau kebatilan dilihat dari muatan pernyataannya
bukan orang atau golongan yang memberi pernyataannya.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penulis ucapkan sebagai rasa syukur yang tak terhingga
kepada Tuhan semesta alam, Allah Swt. atas segala limpahan rahmat, nikmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT (STUDI KOMPARATIF
TAFSIR MARÂH LABÎD DAN TAFSIR AL-KASYSYÂF).
Shalawat teriring salam, semoga selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Saw. yang kehadirannya di dunia ini menjadi pelita bagi umat serta
ajarannya yang senantiasa membimbing menuju kepada kebahagiaan dunia dan
akhirat. Semoga semua umatnya akan mendapat syafa’at dari beliau pada hari
penghisaban nanti. Amin.
Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan ini, banyak pihak yang turut
membantu memberi andil, baik yang telah memberikan ilmunya maupun yang
telah meluangkan waktunya unuk membimbing penulis, terutama kepada dosen
pembimbing, sehingga tulisan ini dapat penulis selesaikan. Maka dari itu penulis
ingin mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada berbagai pihak, diantaranya
adalah:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ibu Dr. Lilik Ummi
Kaltsum, MA. selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis, dan ibu Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd. selaku Sekertaris Jurusan Tafsir Hadis.
vi
3. Ibu Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA. selaku dosen pembimbing
penulisan skripsi ini; yang telah banyak membantu meluangkan waktunya,
memberikan ilmu, saran, motivasi, serta nasehatnya.
4. Prof. Dr. Said Aqil Husain Munawwar, MA. selaku dosen penasehat
akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingannya, sehingga
memudahkan penulis dalam pembuatan skripsi ini.
5. Seluruh dosen pada program studi Tafsir Hadis (TH) atas segala motivasi,
ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang
mendorong penulis selama menempuh studi. Dan juga seluruh staf
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Pimpinan dan segenap staf karyawan Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Kedua orang tua tercinta, yang jasanya tak pernah terbalas sepanjang
masa, ibunda Fatimah dan ayahanda Jamiluddin. Terimakasih yang tak
terhingga penulis ucapkan untuk keduanya. Terimakasih atas segala doa,
nasihat, semangat dan semuanya yang telah diberikan kepada penulis,
yang benar-benar penulis rasakan keberkahannya hingga saat ini. Semoga
ayah dan umi selalu dalam lindungan Allah Swt.
8. Kepada segenap keluarga, adinda Ahmad Syauqi Rahman, Agnia Aulia
Putri, semoga kalian juga dapat menyelesaikan sekolah sampai ke jenjang
bangku perkuliahan; sukses dunia-akhirat. Dan tak lupa teruntuk wanita
terkasih penulis yang begitu besar perannya dalam penulisan skripsi ini,
bahkan yang selalu ada menemani penulis semenjak awal masuk bangku
perkuliahan sampai skripsi ini selesai. Penulis persembahkan penyelesaian
vii
skripsi ini sebagai kado ulang tahunnya yang ke-23. Semoga pada tahun
ini penulis bisa menghalalkannya sebagai pendamping hidup selamanya.
Terimakasih wanitaku, Bintu Dzaar ♥.
9. Kepada semua kiyai, guru Ponpes Al-Itqan Cengkareng, Ponpes Ash-
Habul Aziziyah Leuwisadeng Bogor, warga komplek Masjid Assakinah
Gardenia Estate Ciputat, dan semua pihak yang telah membantu dan
mendoakan penulis selama menyusun skripsi ini, dan mohon maaf tidak
bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, penulis ucapkan terimakasih
yang tak terhingga.
10. Kawan-kawan UIN El-Q, kobong majlis Sirrul Asrar Cengkareng Timur;
Aizza Faqih yang sudah dahulu menjadi sarjana, Haikal Fadhil, Aristo
Rahman, semoga cepat selesai juga kuliahnya, dan lain-lain; mohon maaf
penulis tidak bisa sebutkan satu persatu namanya. Juga kepada Hani
Hilyati Ubaidah yang sekarang sedang melanjutkan S2 sekaligus menjadi
asisten Sekjur TH, terimakasih atas semua pinjaman buku-bukunya, terima
kasih atas segala informasi dan masukan-masukannya kepada penulis.
Semoga Allah Swt. mudahkan segala urusan kalian semua.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak
kelemahan dan kekurangan, karena itu kritk serta saran yang membangun sangat
penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para
pembaca pada umumnya. Amin.
Jakarta, 1 Februari 2016
Asep Fathurrahman
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI (ARAB-LATIN)
Transliterasi tulisan Arab ke tulisan Latin yang dipakai dalam penulisan
skripsi ini berpedoman pada pedoman menurut buku Pedoman Akademik
Program Strata 1, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010/2011. Dalam buku itu
ditetapkan sebagai berikut:
A. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan
B be
T te
Ts te dan es
J je
H h dengan garis bawah
Kh ka dan ha
D de
Dz de dan zet
R er
Z zet
S es
Sy es dan ye
S es dengan garis bawah
D de dengan garis bawah
T te dengan garis bawah
Z zet dengan garis bawah
‘ koma terbalik di atas hadap kanan
Gh ge dan ha
ix
F ef
Q ki
K ka
L el
M em
N en
W we
H ha
` apostrof
Y ye
B. Vokal Tunggal
Simbol Arab Nama Latin Keterangan
fathah a a ــَ
kasrah i i ــِ
dammah u u ــُ
C. Vokal Rangkap (Madd)/Diftong
Simbol Arab Nama Latin Keterangan
fathah dan ya ai a dan i ــَ
fathah dan waw au a dan u ــَ
D. Vokal Panjang (Madd)
Simbol Arab Latin Keterangan
â a dengan topi di atas
î i dengan topi di atas
û u dengan topi di atas
x
E. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu “ ” dialihaksarakan menjadi /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-tafsîr bukan at-tafsîr,
al-rijâl bukan ar-rijâl.
F. Tasydîd
Transliterasi tasydîd adalah dengan menggandakan hurufnya
(konsonan). Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima
tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-
huruf syamsiyyah. Contoh: tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-
darûrah.
G. Ta Marbûtah
Ada 2 transliterasi atau alih aksara bagi “ta marbûtah ( )”, yaitu:
1. Jika ta terdapat pada kata yang berdiri sendiri, atau diikuti oleh kata
sifat (na’t), atau harakatnya disukunkan, atau berada pada akhir
kalimat, maka transliterasinya adalah dengan huruf /h/.
2. Jika ta diikuti oleh kata benda (mudâf ilaih), maka transliterasinya
adalah dengan huruf /t/.
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING i
LEMBAR PENGESAHAN ii
LEMBAR PERNYATAAN iii
ABSTRAK iv
KATA PENGANTAR v
PEDOMAN TRANSLITERASI viii
DAFTAR ISI xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 10
C. Tujuan Penelitian 11
D. Manfaat Penelitian 11
E. Tinjauan Kepustakaan 12
F. Metodologi Penelitian 16
G. Sistematika Pembahasan 18
BAB II : DISKURSUS AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT
A. Definisi Ayat-ayat Mutasyâbihât 19
B. Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam al-Qur’an 23
C. Sikap Ulama Terhadap Ayat-ayat Mutasyâbihât 28
xii
BAB III : PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT MENURUT
NAWAWÎ AL-BANTANÎ DAN AL-ZAMAKHSYARÎ
A. Nawawî al-Bantanî dan Marâh Labîd Serta Penafsirannya Terhadap
Ayat-ayat Mutasyâbihât
1. Biografi dan Aktivitas Akademik Nawawî al-Bantanî 34
2. Sekilas Tentang Tafsir Marâh Labîd
a. Latar Belakang Penulisan 40
b. Metode dan Corak Penafsiran 43
3. Penafsiran Nawawî al-Bantanî Terhadap Ayat-ayat Mutasyâbihât
a. Berkenaan dengan wajh (wajah) 45
b. Berkenaan dengan yad (tangan) 49
c. Berkenaan dengan istawâ (bersemayam) 51
B. al-Zamakhsyarî dan al-Kasysyâf Serta Penafsirannya Terhadap Ayat-ayat
Mutasyâbihât
1. Biografi dan Aktivitas Akademik al-Zamakhsyarî 55
2. Sekilas Tentang Tafsir al-Kasysyâf
a. Latar Belakang Penulisan 60
b. Metode dan Corak Penafsiran 62
3. Penafsiran Nawawî al-Bantanî Terhadap Ayat-ayat Mutasyâbihât
a. Berkenaan dengan wajh (wajah) 67
b. Berkenaan dengan yad (tangan) 69
c. Berkenaan dengan istawâ (bersemayam) 70
xiii
BAB IV : ANALISA KOMPARATIF PENAFSIRAN NAWAWÎ AL-
BANTANÎ DAN AL-ZAMAKHSYARÎ
A. Persamaan Penafsiran Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî Terhadap
Ayat-ayat Mutasyâbihât
1. Persamaan Penafsiran terhadap Ayat-ayat Wajh 72
2. Persamaan Penafsiran terhadap Ayat-ayat Yad 74
3. Persamaan Penafsiran terhadap Ayat-ayat Istawâ 75
B. Perbedaan Penafsiran Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî Terhadap
Ayat-ayat Mutasyâbihât
1. Perbedaan Penafsiran terhadap Ayat-ayat Wajh 76
2. Perbedaan Penafsiran terhadap Ayat-ayat Yad 79
3. Perbedaan Penafsiran terhadap Ayat-ayat Istawâ 83
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan 85
B. Saran 85
DAFTAR PUSTAKA 87
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
al-Qur’an mengenalkan dirinya sebagai hudan (petunjuk) bagi umat
manusia, khususnya bagi orang-orang yang bertaqwa,1 ia mengandung berbagai
dimensi dan aspek kehidupan umat manusia itu sendiri. Diantaranya hukum-
hukum dan aturan peribadatan,2 etika kemasyarakatan,
3 politik dan sosial,
4 isyarat
ilmiah,5 sampai hal yang mendasar yakni aspek ‘aqîdah.
6 Semua itu berfungsi
sebagai sarana petunjuk yang dapat mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di
dunia, diantaranya dengan terciptanya kesejahteraan dan ketentraman.7 Dan
kebahagiaan di akhirat dengan bertemunya umat manusia sebagai hamba dengan
Allah sebagai Tuhannya dalam keadaan tenang (mutmainnah), ridho (râdiyah)
dan diridhai oleh Allah (mardiyyah).8
‘Aqîdah atau kepercayaan yang dimaksud adalah ‘aqîdah yang harus
dianut oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah dan
kepercayaan akan kepastian datangnya hari pembalasan.9 Dalam al-Qur’an, antara
lain doktrin ketauhidan dan keesaan Allah tertuang dalam surat al-Ikhlâs ayat 1-4
sebagai berikut :
1 QS. al-Bâqarah: 2, 185, QS. al-Isrâ’: 17.
2 QS. al-Bâqarah: 43, 83, 228, QS. al-Nisâ`: 43, QS. Hûd: 114.
3 QS. al-Hujurât: 13, QS. al-Hajj: 67, QS. al-Nisâ: 86.
4 QS. al-Syûrâ: 38, QS. al-Nisâ: 59, QS. Âli ‘Imrân: 110.
5 QS. al-Nahl: 89, QS. Yâsîn: 38, QS. Âli ‘Imrân: 190.
6 QS. al-Ra’d: 36, QS. Hûd: 2, 26, QS. al-Fâtihah: 4, QS. Tâhâ: 8.
7 QS. al-Sabâ’: 15, QS. al-Nahl: 97.
8 QS. al-Fajr: 27-30.
9 Mohammad Nor Ikhwan, Belajar al-Qur’an: Menyingkap Khazanah Ilmu-ilmu al-
Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis (Semarang: RaSAIL, 2004), h. 43.
2
“Katakanlah: Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.10
Ayat di atas menjelaskan unsur-unsur ketauhidan pada Allah, mengenai
keesaan Allah yang dimaksud ayat ini, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA, dalam
tafsirnya al-Misbah, berkata bahwa keesaan Allah mencakup keesaan zat, keesaan
sifat, perbuatan, serta keesaan beribadah kepada-Nya.11
Lebih lanjut beliau
menjelaskan bahwa keesaan zat mengandung pengertian bahwa Allah tidak terdiri
dari unsur-unsur atau bagian-bagian. Demikian surat al-Ikhlâs menetapkan
keesaan Allah secara murni dan menafikan kemusyrikan terhadap-Nya.12
Sedangkan ayat ketiga dan keempat memberikan petunjuk bahwa Allah
suci dari keserupaan dengan makhluk. Bahkan tidak ada sekutu bagi-Nya. Inilah
konsep ketauhidan yang diajarkan oleh al-Qur’an.
Selain itu, terdapat juga ayat lain yang menjelaskan bahwa Allah tidaklah
menyerupai makhluk-Nya. Allah befirman dalam QS. al-Syûrâ: 11,
……
“….. tidak ada yang serupa dengan Allah satu jua pun. Dan Dialah Zat
yang Maha mendengar lagi Maha melihat”.13
Dua ayat di atas adalah di antara dalil yang menunjukkan doktrin
ketauhidan pada Allah. Setelah diperhatikan, dapat diketahui bahwa dalâlah
(petunjuk) yang ditunjukkan oleh kedua ayat di atas sifatnya jelas dan terang.
10
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971). 11
M.Quraish Shihab, Tafsīr al-Misbāḥ (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol 15, h. 601. 12
Ibid., h. 616. 13 Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971).
3
Nash atau ayat al-Qur’an yang segi penunjukkannya jelas, terang, dan tidak
mempunyai arti yang samar disebut ayat muhkamât.
Perlu diketahui bahwa al-Qur’an yang memperkenalkan dirinya sebagai
petunjuk. Dalam kenyataannya, tidak selalu memberikan petunjuknya dengan
ayat-ayat yang muhkamât sebagaimana dua dalil di atas. Melainkan sebagian
petunjuknya juga, ia (al-Qur’an) ungkapkan dengan redaksi yang samar yang
tidak mudah untuk diketahui dalâlahnya. Ayat yang demikian disebut ayat-ayat
mutasyâbihât. Kenyataan ini telah dinyatakan sendiri oleh Allah sebagai author
dari al-Qur’an dalam surah Âli ‘Imrân ayat 7, sebagai berikut:
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitâb (al-Qur’an) kepada kamu. di antara
(isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamât, Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan
yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyâbihât daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyâbihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.14
14
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971).
4
Dari ayat inilah konsep muhkam dan mutasyâbih dikenal para ulama dan
cendekiawan. Dalam hal ini mereka juga mempunyai definisi yang beragam
mengenai konsep muhkam dan mutasyâbih tersebut.
Di antara definisi yang beragam tersebut adalah definisi yang diungkapkan
oleh Muhammad Husain al-Taba‘tabâ‘î yang dikutip Nor Ikhwan, bahwa yang
dinamakan muhkam adalah ayat-ayat yang mengandung pengertian jelas,
sedangkan mutasyâbih adalah ayat-ayat yang memerlukan pemikiran dan
pengkajian lebih lanjut.15
Dari ayat ketujuh surat Ali ‘Imrān tersebut, disimpulkan bahwa secara
keseluruhan ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’an tidak terlepas dari dua model
tersebut. Hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa dalam ayat-ayat aqidah
(teologis) pun terdapat ayat-ayat muhkamât dan mutasyâbihât. Hal ini sebenarnya
termasuk salah satu permasalahan yang berhubungan dengan keimanan. Karena
jika hanya dilihat secara eksplisit (apa adanya, secara redaksional, tekstual), maka
ayat-ayat mutasyâbihât akan menimbulkan kesan bertentangan dengan doktrin
keimanan dan ketauhidan yang telah ditunjukkan dengan ayat-ayat muhkamât
seperti yang telah disebutkan di atas.
Untuk membuktikan statement tersebut, penulis paparkan beberapa dari
ayat-ayat mutasyâbihât tersebut. Misalnya QS. al-Fath ayat 10:
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu.
Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan
15
Nor Ikhwan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, h. 187.
5
mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar
janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada
Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar”.16
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan”.17
Pada ayat surat al-Fath di atas disebutkan kata . Jika kita hanya
memahami berdasarkan lahiriyah teks, maka artinya adalah tangan Allah. Jika
demikian Allah memiliki anggota badan. Maka tidak ada bedanya antara Allah
dan makhluk-Nya yang juga mempunyai anggota tubuh. Pemahaman ini jelas
bertentangan dengan ayat 11 surah al-Syûrâ yang menjelaskan tidak ada
sesuatupun yang menyerupai Allah.
Serupa dengan hal ini adalah ayat 27 surat al-Rahmân, pada ayat tersebut
tertulis kata (muka atau wajah Allah), jika hanya memahami sebatas
lahiriyah teks, maka pemahaman yang didapatkan akan sama seperti pemahaman
atas kata “tangan Allah” yakni Allah memiliki organ tubuh. Dan jelas bahwa ini
bertentangan dengan aqidah bahwa Allah berbeda dengan makhluk-Nya
(mukhâlafah li al-hawâdits).
Yûsuf al-Qardawî dalam bukunya menukil pendapat al-Syaukânî, bahwa
dalam menyikapi hal ini terdapat beberapa kecendrungan atau tiga mazhab:18
Pertama, tidak ada takwil padanya, dan nash-nash itu diambil hanya
pengertian zahirnya, tidak ditakwilkan sama sekali. Ini adalah pendapat al-
Musyabbihah.
16
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971). 17
Ibid. 18
Yûsuf al-Qardawî (selanjutnya disebut al-Qardawî), Berinteraksi dengan al-Qur’an.
Penterjemah Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), Cet I, h. 411.
6
Kedua, ia mempunyai takwil, namun menahan diri dari takwil itu, sambil
membersihkan keyakinan dari penyerupaan dan pengingkaran.
Ibn Burhân berkata ini adalah pendapat salaf. al-Syaukânî berkata bahwa
cukuplah salaf dijadikan panutan bagi orang yang ingin mengikuti, dan teladan
bagi orang yang meneladani.19
Asy‘âriyyah menyikapi ayat-ayat mutasyâbihât ini sebagaimana adanya
seperti yang terdapat dalam teks al-Qur'an. Meskipun mereka tidak menerima
bahwa Allah mempunyai sifat kebertubuhan yang sama dengan sifat kebertubuhan
pada manusia, tetapi tetap mengatakan bahwa Allah, sebagaimana dalam al-
Qur'an, mempunyai mata, wajah, telinga, dan sebagainya, tetapi tidak sama
dengan yang ada pada manusia. Asy‘âriyyah mengatakan bahwa Allah memiliki
sifat-sifat kebertubuhan tersebut dalam bentuknya sendiri yang "tidak diketahui
bagaimana" (bilâ kaif).20
Ketiga, ditakwilkan, ini adalah pendapat Mu’tazilah. Dalam pandangan
Mu'tazilah, adalah mustahil jika Allah menempati ruang dan waktu dan memiliki
(bagian-bagian) tubuh, sebab hal tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak lagi
bersifat kekal. Sebab, sifat materi yang membentuk kebertubuhan itu, pastilah
mengalami perubahan sebagaimana hukum materi. Selain itu, dengan mengatakan
bahwa Allah menempati ruang dan berada di dalam waktu, akan membatasi Allah
dengan segala sifat kemahaan-Nya, dan menjadikan Allah sebagai zat yang
terbatas.21
19
al-Qardawî, Berinteraksi dengan al-Qur’an. Penterjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), Cet I, h. 411. 20
al-Asy'ari, al-Ibânah 'an Usul al-Diyanah (Kairo: Dâr al-Ansâr, t.th.), h. 124-5. 21 al-Qardawî, Berinteraksi dengan al-Qur’an, h. 411.
7
Karena itu, menurut kalangan Mu'tazilah, ayat-ayat mutasyâbihât harus
diberi interpretasi yang lain. Kata al-istawâ (bersemayam/bertahta)
diinterpretasikan dengan "kekuasaan", al-'ain (mata) diinterpretasikan dengan
"ilmu atau pengawasan", dan al-wajh (wajah) diartikan dengan "zat/esensi", dan
al-yad (tangan) diartikan dengan "nikmat atau kekuasaan"22
Kemudian jika diamati dari tiga ragam pandangan di atas nampaknya ada
kesamaan antara pandangan mazhab kedua dan ketiga yaitu mazhab Asy’ariyyah
dan mazhab Mu’tazilah. Keduanya sama-sama meyakini adanya takwil terhadap
ayat-ayat mutasyâbihât.
Sebagai contoh, kaum Musyabbihah dari kaum Wahabiyah23
seringkali
mengatakan bahwa “pemaknaan istawâ dengan takwil istawlâ adalah pendapat
orang-orang Mu’tazilah, padahal kaum Mu’tazilah adalah kaum yang sesat
sebagaimana telah disepakati bersama. Dengan demikian bagaimana dapat
dibenarkan jika Asy’ariyyah mengambil pendapat kaum Mu’tazilah tersebut?”.24
Berawal dari pernyataan kaum Wahabiyah diataslah penulis merasa perlu
untuk membuktikan dimana letak kesamaan penafsiran mazhab Asy’ariyyah
dengan Mu’tazilah terhadap ayat-ayat mutasyâbihât?
Oleh karena itu, untuk membuktikannya dalam tulisan skripsi ini penulis
mencoba mengkaji dan membandingkan lebih jauh lagi antara mufasir
Asy’ariyyah yang diwakili oleh Nawawî al-Bantânî dengan tafsirnya Marâh
22
‘Abd al-Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah (Beirut: Maktabah Wahbah, 1988), h. 226-
8. 23
Pendiri paham ini adalah Muhammad ibn Abd al-Wahab (1702-1787 M.) Oleh karena
itu orang menamakan gerakannya dengan Wahabiyah, dibangsakan kepada Abd al-Wahab, bapak
dari Muhammad ibn Abd al-Wahab. Sebenarnya menamakan gerakan ini dengan “Wahabiyah”
adalah salah, karena pendirinya bernama Muhammad, bukan Abd al-Wahab. Lihat Siradjuddin
Abbas, h. 309. 24
Kholil Abu Fateh, Studi Komprehensif Tafsir “ISTAWA” (Jakarta: Syahamahpress,
2010), h. 108.
8
Labîd dan dengan mufasir Mu’tazilah yang diwakili oleh al-Zamakhsyarî dengan
tafsirnya al-Kasysyâf.
Penulis memilih Nawawî al-Bantânî sebagai barometer mufasir
Asy’ariyyah karena memang Nawawî al-Bantânî sendiri seorang ulama Nusantara
yang menganut paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah dalam pemikiran kalam atau
teologi, menganut mazhab Syafi’i dalam bidang fiqh.
Dari karyanya Fath al-Majid orang dengan mudah mengerti bahwa
Nawawi al-Bantani adalah pengikut al-Asy’ari. Nawawi al-Bantani berkali-kali
menyebut al-Asy’ari dengan atribut “al-Syaikh”, yang berarti “Sang Guru”.25
Mafri Amir dalam bukunya mengutip dari Mamat S. Burhanuddin pun
mengatakan bahwa corak penafsiran Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya
menganut Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah dalam bidang Teologi dan Syafi’iyah
dalam bidang Fiqih.26
Menurut Zamakhsyari Dhofier, ada enam orang ulama terkemuka yang
telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap pelestarian dan
perkembangan Islam tradisional27
di Jawa. Di antara keenam orang tersebut salah
satunya adalah Syaikh Nawawî al-Bantanî.28
Beliau adalah ulama Jawa yang
terkenal di Makkah dan Madînah dan telah tinggal di sana selama lebih dari
25
Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009), h. 58. 26
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), Cet II, h. 53-
54. 27
Suatu bentuk pemahaman yang merujuk pada pandangan ulama-ulama dan sarjana
terdahulu, baik yang diungkapkan dalam bentuk pandangan-pandangan pribadi maupun
pandangan-pandangan yang dikutip dari ulama-ulama sebelumnya. Lihat Muhammad Abed al-
Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. Imam Baehaqi, (Yogyakarta: LKiS, cet. 1, 2000), h. 9-10 28
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai
(Jakarta: LP3eS, cet. 4, 1985), h. 86
9
separuh hidupnya.29
Beliau begitu aktif mengarang kitab yang membahas tentang
fiqh, ushûl fiqh, ĥadîts, tasawuf, nahwu, dan tauhid.
Di pesantren-pesantren salaf yang banyak tersebar di Indonesia, kitab-
kitab karya Syaikh Nawawî sangat dikenal, bahkan bisa dikatakan bahwa
beberapa kitab karangannya dijadikan pedoman standar bagi para santri, terutama
bagi kalangan pemula. Di antara kitabnya yang menjadi pedoman para santri
adalah kitab Kâsyifat al-Sajâ (ulasan atas kitab Safînat al-Najâh, karya Salîm ibn
Samîr al-Ĥadhramî dalam bidang fiqh), Qatr al-Ghayts (ulasan atas kitab Masâ`il
Abî al-Layts karya Abû al-Layts dalam bidang tauhid), Mirqât Su‘ûd al-Tasdîq
(ulasan atas kitab Sullam al-Tawfîq karya ‘Abd al-Lâh ibn Husayn dalam bidang
tauhid, fiqh, dan tasawuf), dan masih banyak lagi.30
Selanjutnya, sebagai pembanding dari kalangan mufasir mazhab
Mu’tazilah penulis memilih al-Zamakhsyarî dengan tafsirnya al-Kasysyâf.
Dalam dunia khazanah keislaman, al-Zamakhsyarî adalah tokoh yang
selalu didengung-dengungkan terlebih dalam persoalan tafsir.31
al-Zamakhsyarî dalam perkembangan intelektualnya menganut paham
yang lebih berpijak pada rasionalitas yaitu Mu’tazilah. Bahkan menurut para
rivalnya yang berbeda paham dan aliran, beliau terkesan membela secara mati-
matian ideologi Mu’tazilah dengan menggunakan segala macam argumen yang
dapat diajukan untuk kepentingan tersebut.32
29
Baru pada abad ke-19 M, pesantren-pesantren di Jawa menghasilkan ulama yang
bertaraf internasional dan banyak yang berhasil menjadi guru besar di Makkah dan Madînah. Lihat
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 85. 30
HM. Usep Ramli, Syaikh Nawawî al-Jâwî: Tokoh Intelektual Internasional Asal Banten
(Banten: Fajar Banten, 2000), h. 5. 31
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 39. 32
Ibid.. h. 41. Lihat juga Muqaddimah tafsir al-Kasysyâf dari Alayan dalam Zamakhsyarî,
al-Kasysyaf (Beirut: Dâr al-Ma’rifah).
10
Siradjuddin Abbas dalam bukunya mencatat al-Zamakhsyarî sebagai salah
satu gembong dan pengarang kitab Mu’tazilah selain dari pada ‘Utsmân al-Jahiz,
Syarîf Radi, Abd al-Jabbâr ibn Ahmad, dan Ibn Abî al-Haddâd.33
Pada akhirnya, hemat penulis, kajian ayat-ayat mutasyâbihât ini akan
menarik dengan mengkomparasikan penafsiran kaum Asy’ariyyah yang diwakili
oleh Nawawî al-Bantanî dengan tafsirnya Marâh Labîd di satu sisi dan penafsiran
kaum Mu’tazilah yang diwakili oleh al-Zamakhsyarî dengan tafsirnya al-Kasysyâf
di sisi lain.
Berharap, semoga dengan kajian ini dapat membuktikan pernyataan yang
dibawa oleh kaum Musyabbihah dari kalangan Wahabiyah bahwa penafsiran
Asy’ariyyah terhadap ayat-ayat mutasyâbihât itu sama dengan penafsiran yang
dianut oleh kaum Mu’tazilah. Apakah benar sama? Dan dimana letak
kesamaannya? Jika berbeda, dimana letak perbedaannya?.
Kajian yang dimaksud, penulis tuangkan dalam karya skripsi yang
berjudul “PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM AL-
QUR’AN (STUDI KOMPARATIF TAFSIR MARÂH LABÎD DAN TAFSIR
AL-KASYSYÂF)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Banyaknya perbedaan pandangan mengenai ayat-ayat mutasyâbihât
membuat pembahasan ini menjadi begitu luas. Oleh karena itu, penulis membatasi
ayat-ayat mutasyâbihât ini dengan fokus kepada kajian terhadap ayat-ayat tajsim
atau tasybih. Ayat-ayat yang terdapat term yadd, wajh, dan istawâ sebagai batasan
kajiannya. Alasan pembatasan hanya pada term yang disebutkan karena penulis
33
Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wa al-Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
1979), h. 177.
11
menganggap ayat-ayat yang terdapat term tersebutlah yang banyak diperdebatkan
oleh para ulama.
Melalui latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan
masalah dalam pembahasan ini adalah Bagaimana perbandingan penafsiran
Nawawî al-Bantânî dan al-Zamakhsyarî tentang ayat-ayat mutasyâbihât?
C. Tujuan Penelitian
Secara formal, penulisan skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi syarat
memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) pada jurusan Tafsir Hadis, Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun tujuan non-
formal penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui penafsiran Nawawî al-Bantanî terhadap ayat-ayat
mutasyâbihât dalam tafsirnya Marâh Labîd dan al-Zamakhsyarî
dengan tafsirnya al-Kasysyâf.
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penafsiran Nawawî al-
Bantanî dan al-Zamakhsyarî terhadap ayat-ayat mutasyâbihât.
D. Manfaat Penelitian
Selain memiliki tujuan, penelitian ini diharapkan mempunyai
kontribusi dan manfaat, yaitu:
1. Secara teoritis, karya ini diharapkan dapat menambah wawasan
tentang penafsiran ayat-ayat mutasyâbihât dalam kepustakaan ilmu al-
Qur’an dan teologis sekaligus.
2. Secara praktis, hasil pembahasan ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi dalam pemahaman teologis dalam memahami sifat-sifat
Allah yang ditunjukkan al-Qur’an secara abstrak, dan mengetahui
12
lebih jauh penafsiran yang dilakukan Nawawî al-Bantanî dan al-
Zamakhsyarî terhadap ayat-ayat mutasyâbihât dalam al-Qur’an.
3. Dalam aspek teologis dan agama, diharapkan hasil penelitian ini dapat
menambah kekuatan dan keteguhan iman kita sebagai orang yang
beriman.
E. Tinjauan Kepustakaan
Ayat-ayat mutasyâbihât khususnya dalam penelitian ini adalah ayat-
ayat yang merupakan salah satu tanda dari sekian âyât (tanda-tanda)
kekuasaan Allah yang sampai sekarang menjadi pembahasan yang cukup
menarik untuk dikaji. Upaya pengkajian tentang masalah ini telah dilakukan
oleh para mufassir dalam bentuk dan corak yang berbeda-beda, ada yang
memahaminya dari segi i’jâz, segi bahasa, dan lain sebagainya.
Dalam penelusuran penulis terhadap berbagai karya tulis yang
membahas tentang ayat-ayat mutasyâbihât memang banyak terutama dalam
bentuk makalah, atau dalam buku-buku ilmu al-Qur’an, akan tetapi yang
membahas tentang ayat-ayat mutasyâbihât dalam tafsir Marâh Labîd dan al-
Kasysyâf penulis belum menemukannya. Di antara beberapa karya tulis yang
membahas tentang ayat-ayat mutasyâbihât secara komprehensif antara lain
dapat dilihat dalam al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya al-Zarkasyî, al-Itqân
fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya al-Suyutî, dan kitab atau buku-buku ilmu al-Qur’an
lainnya seperti Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya al-Zarqânî, dan
Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya al-Qattân.
Di samping itu, karya tulis yang membahas tentang ayat-ayat
mutasyâbihât juga tidak asing lagi di kalangan mahasiswa, baik berupa
13
skripsi, tesis, dll. Di antara karya tulis mahasiswa yang membahas tentang
ayat-ayat mutasyâbihât adalah:
1. “Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam Tafsir al-Jilânî Karya
Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jilânî” karya Moh.Hidayat (skripsi Prodi
Tafsir-Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah,
2012). Dalam skripsi ini hanya meneliti tentang kajian penafsiran
Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jilânî terhadap beberapa contoh ayat
mutasyâbihât (term yad, wajh, ‘aîn, dan istawâ) yang berbicara
seakan-akan Allah menyerupai makhluk-Nya, dan juga dibahas
aspek yang terkandung di dalam ayat tersebut menurut Syaikh
‘Abd al-Qâdir al-Jilânî. Moh.Hidayat menemukan adanya
perbedaan penafsiran Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jilânî terhadap ayat
yang terdapat empat kata tersebut dengan mufassir lainnya namun
ada beberapa penafsirannya yang sama persis dengan mufassir
lain yang non sufi.
2. “Pemaknaan Ayat Istawâ; Studi Komparatif Penafsiran Syaikh
Ibn Taimiyyah dan ‘Abd Allâh al-Harari” karya Zainal Nu’it
(skripsi Prodi Tafsir-Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah, 2014).
3. Pemaknaan Ayat-ayat Mutasyabihat (analisis terhadap terjemahan
al-Qur’an Depag RI). Sebuah skripsi yang ditulis oleh Rifa’i
Zarkasyi (skripsi Prodi Tafsir-Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN
Syarif Hidayatullah, 2008)., ia memaparkan beberapa contoh
ayat-ayat mutasyabihat.
14
4. Penafsiran Ayat-Ayat Mutasyabihat Dalam Tafsir Al-Misbah
Karya M. Quraish Shihab. Skripsi yang disusun oleh Dulatif
(skripsi Prodi Tafsir-Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah, 2006), di dalamnya ia membahas beberapa ayat-
ayat Mutasyâbihât menurut perspektif M. Qurasih Shihab.
5. “Pemikiran Metode al-Ta`wîl al-Tafsîlî Ibn Jam’ah terhadap
Sifat-sifat Allah” karya Misbahuddin (skripsi Prodi Aqidah
Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, 2013).
Dalam skripsi ini dipaparkan tentang bagaimana metode Ibn
Jam’ah menetapkan sifat-sifat bagi Allah dalam menganalisa
ayat-ayat mutasyâbihât maupun teks-teks lain yang berkaitan
dengan sifat-sifat Allah. Misbahuddin menemukan bahwa metode
yang dipakai Ibn Jam’ah terhadap teks-teks berkaitan dengan
sifat-sifat Allah dengan menggunakan metode al-ta`wîl al-tafsîlî.
Ditemukan kata al-yad dengan makna al-ni’mah (kenikmatan),
al-qudrah (kuasa), al-ihsan (kebaikan).
6. “Teori Mutasyâbih Syaikh Zakariyyâ al-Ansarî: Tahqiq dan
Dirasah Kitab Fath al-Rahmân bi Kasyf Mâ Yaltabis fî al-
Qur’ân” karya Nadia (Tesis S2 Prodi Agama dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010).
Penelitian ini merupakan kajian pemikiran dan ketokohan. Dalam
penelitian ini yaitu tokoh Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî. Di antara
beberapa karya tulis yang membahas tentang biografi tokoh Nawawî al-
Bantanî secara komprehensif antara lain dapat dilihat dalam “Sejarah
15
Pujangga Islam, Syech Nawawi Albanteni Indonesia” karya Chaidar, dan
“Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani” karya Amin
Syamsul Munir Amin.
Selain kitab atau buku-buku yang membahas tentang ayat-ayat
mutasyâbihât dan biografi tokoh, penulis juga dapati beberapa skripsi dan
tesis yang membahas kajian pemikiran tokoh Nawawî al-Bantanî dan al-
Zamakhsyarî, namun bukan pada ranah pemikiran Nawawî al-Bantanî dan al-
Zamakhsyarî terhadap ayat-ayat mutasyâbihât. Di antara skripsi yang
membahas kajian pemikiran tokoh Nawawî al-Bantanî yaitu karya
Muhammad Fatih (Prodi Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2010) dengan judul “Penafsiran Ibnu Abbas
Tentang Lailat al-Qadr dalam Kitab Marâh Labîd Karya Syaikh Nawawî al-
Bantanî”, Siti Nur Wakhidah (Prodi Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN
Sunan Kalijaga, tahun 2009) dengan judul “Penafsiran Nawawî al-Bantanî
tentang Fitrah dalam Tafsir Marâh Labîd dan Implikasinya dalam Kehidupan
Sosial, Zidni Ilman NZ (Prodi Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, tahun 2006) dengan judul “Sifat Tuhan
dalam Pemikiran Syaikh Nawawî al-Bantanî”, tesis karya Ahmad Asnawi
(Tesis Magister IAIN Jakarta, 1984) dengan judul “Pemikiran Syaikh
Nawawî al-Bantanî tentang Af’âl al-’Ibâd (Perbuatan Manusia)”, tesis karya
Hazbini (Tesis Magister IAIN Jakarta, 1996) dengan judul “Kitab Ilmu Tafsir
Karya Syaikh Muhammad Nawawî al-Bantanî”, dan tesis karya Muhammad
Hanafi (Prodi Agama dan Filsafat, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, tahun
2010) dengan judul “Pemikiran Kalam Imam Nawawî al-Bantanî dalam Kitab
16
Qatr al-Ghaits: Tahqîq dan Dirâsah”, skripsi karya Rifki Hadi (Prodi Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, tahun 2013)
dengan judul “Fadâil al-Suwar Perspektif al-Zamakhsyarî (Studi atas Kitab
al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-‘Aqâwîl fî Wujûh al-Tanwîl).
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (Library Research),
sehingga data yang diperoleh adalah berasal dari kajian teks atau buku-
buku yang relevan dengan pokok atau rumusan masalah di atas.34
2. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu data primer dan
sekunder. Yang dimaksud data primer dalam penelitian ini adalah kitab
tafsir Marâh Labîd karya Nawawî al-Bantanî dan tafsir al-Kasysyâf karya
al-Zamakhsyarî sebagai sumber utama. Sedangkan yang dimaksud sumber
sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku ilmu al-Qur’an, majalah,
jurnal, skripsi, tesis, maupun desertasi, dan artikel lain yang berkaitan
dengan tema pembahasan sebagai sumber pendukung.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dimaksud adalah suatu proses pengadaan
data primer sebagai rujukan utamannya, yaitu kitab tafsir Marâh Labîd
karangan Nawawî al-Bantanî dan tafsir al-Kasysyâf karya al-Zamakhsyarî.
Adapun data pelengkap (sekunder) sebagai penguat adalah kitab-kitab
tafsir yang bersangkutan secara langsung, juga berbagai literatur lain yang
34
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offet, 1995), Jilid I, h. 9.
17
membahasnya. Setelah data terkumpul sedemikian diolah sehingga
menjadi terarah dan sistematis, mula menuliskan data-data yang berkaitan
dengan tema pembahasan, mengedit, mengklarifikasi, mereduksi dan
menyajikan.35
.
4. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul untuk kemudian diolah, langkah berikutnya
adalah menganalisa data tersebut. Dalam proses menganalisa data, penulis
menggunakan metode deskriptif-analitik. Dengan cara deskriptif
dimaksudkan untuk menggambarkan pandangan atau penafsiran Nawawî
al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî terhadap ayat-ayat mutasyâbihât dalam al-
Qur’an.
Penelitian ini juga menggunakan metode analisis isi (Content
Analysis). Dalam analisis ini, penulis menggunakan pendekatan
interpretasi.36
Ini artinya penulis menyelami pemikiran Nawawî al-
Bantanî dan al-Zamakhsyarî terhadap ayat-ayat mutasyâbihât untuk
kemudian dikomparasikan antara keduanya.
Untuk teknik penulisan dan sistem transliterasi penelitian ini,
penulis merujuk pada buku Pedoman Akademik Program Strata 1 UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010/2011.
35
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 29. 36
Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), h. 63.
18
G. Sistematika Pembahasan
Seluruh pembahasan yang tercakup dalam skripsi ini, akan dituangkan
ke dalam bab-bab tertentu sesuai dengan tema pokoknya masing-masing,
yaitu:
Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi tentang diskursus ayat-ayat mutasyâbihât yang
meliputi pembahasan tentang definisi ayat-ayat mutasyâbihât, ayat-ayat
mutasyâbihât dalam al-Qur’an, dan sikap ulama terhadap ayat-ayat
mutasyâbihât.
Bab ketiga berisi tentang uraian biografi, kitab tafsir Nawawî al-
Bantanî dan al-Zamakhsyarî, serta penafsiran keduanya terhadap ayat-ayat
mutasyâbihât dalam al-Qur’an.
Bab keempat berisi pembahasan analisis komparatif penafsiran
Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî terhadap ayat-ayat mutasyâbihât
dalam al-Qur’an yang meliputi persamaan, perbedaan antara penafsiran
keduanya.
Bab kelima adalah penutup yang memuat kesimpulan dari keseluruhan
panelitian (skripsi) ini dan saran dari penulis.
19
BAB II
DISKURSUS AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT
A. Definisi Ayat-ayat Mutasyâbihât
Secara bahasa (etimologi) kata mutasyâbihât adalah bentuk plural
(jama’ muannats sâlim) dari mufrad mutasyâbih, yang terambil dari akar kata
syabah yang berarti serupa atau sama antara dua perkara atau lebih. Biasanya,
keserupaan itu menimbulkan kesamaran atau ketidakjelasan bahkan
kebingungan menentukan antara yang satu dengan yang lainnya. Seperti
dalam al-Qur’an (QS. al-Bâqarah 2:25) dan (QS. al-Bâqarah [2]: 70). Dalam pengucapannya ada yang mengistilahkankan
mutasyâbih ada juga yang mengatakan mutasyâbihât.1
Dengan penjelasan di atas bisa dipahami bahwa mutasyâbih terkadang
bermakna samar, serupa, sama, dan mirip. Dari arti bahasa inilah kemudian
term mutasyâbih digunakan untuk sesuatu yang serupa yang masih samar dan
belum jelas pada sebagian ayat-ayat al-Qur’an.
Secara istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan
mutasyâbih, sebagaimana perbedaan mereka dalam mengartikan istilah
muhkam. Dalam kitab Manâhil al-‘Irfân, Syaikh al-Zarqânî menginventarisir
sebelas pendapat ulama (empat diantaranya dianggap lemah) dalam
menetapkan makna muhkam dan mutasyâbih.2
1. Muhkam artinya yang jelas dilâlah-nya (penunjukannya pada makna
yang dituju) sehingga tidak mungkin terjadi nasakh (penghapusan),
1 Muhammad ‘Abd al-‘Azîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân (Kairo:
Dâr al-Hadis, 2001), Jilid II, h. 225. Lihat juga Nûr al-Dîn ‘Itr, ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm
(Damaskus: Matba’ah al-Sabâh, 1993), cet. Ke-5, h. 120. Lihat juga Muhammad Hâdî
Ma’rifah, al-Tamhîd fî ‘Ulûm al-Qur’ân (Iran: Muassasah al-Nasr al-Islâmî, 1416 H), cet. Ke-
3, Jilid III, h. 6. 2 Al-Zarqânî, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’ân, h. 227.
20
sedangkan mutasyâbih artinya yang samar yang tidak ditemukan
maknanya secara aqli atau pun naqli. Ia hanya diketahui Allah Swt.
seperti hari kiamat dan al-huruf al-muqatta’ah (huruf-huruf yang berada
pada awal surat). Menurut al-Alûsî pendapat ini adalah pendapatnya
ulama Hanafiyyah.
2. Muhkam adalah yang diketahui maksudnya baik karena jelas artinya atau
karena ditakwil, sedangkan mutasyâbih adalah apa yang hanya diketahui
oleh Allah Swt. seperti hari kiamat, keluarnya dajjal, dan al-huruf al-
muqatta’ah. Pendapat ini dinisbatkan kepada Ahl al-Sunnah dan
termasuk pendapat yang dipilih di kalangan mereka.
3. Muhkam adalah yang tidak memiliki kemungkinan kecuali pada satu
wajah takwil, sedangkan mutasyâbih yang memiliki beberapa
penakwilan. Pendapat ini dinisbatkan kepada Ibn ‘Abbâs dan dipakai
oleh mayoritas ulama Ushul.
4. Muhkam adalah yang mandiri dan tidak butuh pada penjelasan,
sedangkan mutasyâbih adalah yang tidak mandiri, ia butuh pada
penjelasan yang terkadang penjelasannya begini dan terkadang begitu.
Hal ini karena timbulnya khilâf dalam penakwilannya. Pendapat ini
dinisbatkan kepada Imam Ahmad.
5. Muhkam adalah yang benar rangkaian dan urutannya sehingga dapat
mendatangkan makna yang lurus tanpa ada perkara yang menghalangi,
sedangkan mutasyâbih adalah makna yang diharapkannya tidak diketahui
secara bahasa kecuali berbarengan dengan tanda atau indikasi lain. Dari
21
definisi ini, istilah musytarak termasuk dari mutasyâbih. Pendapat ini
dinisbatkan kepada Imam al-Haramain.
6. Muhkam adalah yang jelas maknanya dan tidak terdapat isykâl
(permasalahan), terambil dari kata al-ihkâm yang berarti al-itqân
(sempurna), sedangkan arti mutasyâbih adalah sebaliknya.
7. Muhkam adalah yang unggul penunjukkannya pada makna yang
dimaksud seperti nass dan zâhir, sedangkan mutasyâbih yang tidak
unggul seperti mujmal, mu‘awwal dan musykil.3
Setelah dianalisis, sebenarnya pendapat-pendapat di atas tidak saling
bertentangan atau kontradiktif, bahkan saling melengkapi satu sama lainnya.
Perbedaan tersebut lebih dikarenakan cara pandang yang berbeda dalam
memahami kedua istilah tersebut. Dari ketujuh pendapat di atas bisa
disimpulkan bahwa muhkam adalah yang jelas maknanya sedangkan
mutasyâbih adalah yang tidak jelas maknanya sehingga membutuhkan
pemahaman mendalam untuk menguak makna yang dimaksud.
Di samping definisi di atas, ada empat definisi lain mengenai muhkam
dan mutasyâbih, namun keempat definisi ini dianggap lemah dibandingkan
ketujuh definisi yang telah disebutkan di atas, yaitu:
1. Muhkam adalah yang diamalkan, sedangkan mutasyâbih adalah yang
hanya diyakini namun tidak diamalkan. Al-Suyûtî mengatakan bahwa
pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah, Qatâdah, dan yang lainnya.
Pendapat ini membatasi pengertian muhkam pada aspek amaliyah dan
mutasyâbih pada aspek keyakinan.
3 Al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 227. Lihat juga Hasan Ayyub, al-
Hadîts fî ‘Ulûm al-Qur’ân wa al-Hadîts (Kairo: Dâr al-Salâm, 2002), cet. Ke-1, h. 75-76.
22
2. Muhkam adalah sesuatu yang bisa dirasionalisasikan maknanya,
sedangkan mutasyâbih adalah sebaliknya. Seperti kewajiban salat dan
pengkhususan puasa di bulan Ramadhan, tidak di bulan Sya’ban. Tafsiran
ini tidak membahas segala sesuatu yang jelas dan yang samar.
3. Muhkam adalah yang tidak berulang-ulang lafaznya, sedangkan
mutasyâbih adalah yang berulang-ulang lafaznya. Definisi lebih dekat
pada arti bahasa bagi mutasyâbih dan tidak menyinggung kejelasan serta
kesamaran lafaz.
4. Muhkam adalah yang tidak dihapus (nasakh), sedangkan mutasyâbih
adalah yang telah dihapus.4
Dalam al-Qur’an terdapat tiga ayat yang secara lahir tampak
bertentangan, yaitu:
1. Firman Allah swt. (QS. Hûd 11:1) ayat ini menjelaskan
bahwa semua ayat al-Qur’an muhkam;
2. Firman Allah swt. (QS. al-Zumar 39:23)
ayat ini menyatakan bahwa semua ayat al-Qur’an mutasyâbih;
3. Firman Allah swt. (QS. Âli
‘Imrân 3:7) ayat ini menegaskan bahwa dalam al-Qur’an ada yang
muhkam dan ada yang mutasyâbih.
Ketiga ayat di atas tampak kontradiktif karena yang satu menyatakan
seluruh al-Qur’an muhkam sedangkan yang lain menyatakan seluruhnya
mutasyâbih. Di samping itu ada juga yang berpendapat bahwa dalam al-
Qur’an ada yang muhkam dan ada juga yang mutasyâbih. Al-Suyûtî, di dalam
kitabnya yang terkenal, “al-Itqân” berusaha menjawab kejanggalan di atas, ia
4Al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 230-231.
23
mengatakan bahwa maksud seluruhnya muhkam adalah kesempurnaan dan
tidak adanya cacat serta perbedaan, sedangkan yang dimaksud seluruhnya
mutasyâbih adalah antara satu dengan yang lainnya serupa dalam kebenaran
dan kemukjizatannya.5
B. Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam al-Qur’an
Perbedaan pengertian muhkam dan mutasyâbih yang telah
disampaikan para ulama di atas, nampak tidak ada kesepakatan yang jelas
antara pendapat mereka tentang muhkam dan mutasyâbih, sehingga hal ini
terasa menyulitkan untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk
muhkam dan mutasyâbih.
J.M.S Baljon, mengutip pendapat al-Zamakhsyarî yang berpendapat
bahwa termasuk kriteria ayat-ayat muhkamât adalah apabila ayat-ayat
tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan), sedangkan ayat-ayat
mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqîqât).6
’Ali Ibn Abî Talhah memberikan kriteria ayat-ayat muhkamât sebagai
berikut, yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang
menghalalkan, ayat-ayat yang mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung
kewajiban, ayat-ayat yang harus diimani dan diamalkan. Sedangkan ayat-ayat
mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, ayat-ayat yang
dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi
beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang boleh
diimani dan tidak boleh diamalkan.
5 Al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulum al-Qur’ân, h. 299.
6 Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa, 2003), h. 73.
24
Al-Raghîb al-Asfihâni memberikan kreteria ayat-ayat mutasyâbihât
sebagai ayat atau lafaz yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti
tibanya hari kiamat, ayat-ayat al-Qur’an yang hanya bisa diketahui maknanya
dengan sarana bantu, baik dengan ayat-ayat muhkamât, hadis-hadis sahih
maupun ilmu penegtahuan, seperti ayat-ayat yang lafalnya terlihat aneh dan
hukum-hukumnya tertutup, ayat-ayat yang maknanya hanya bisa diketahui
oleh orang-orang yang dalam ilmunya. Sebagaimana diisyaratkan dalam doa
Rasulullah untuk Ibn ’Abbâs, Ya Allah, karuniailah ia ilmu yang mendalam
mengenai agama dan limpahankanlah pengetahuan tentang ta’wil
kepadanya. Muhkam menyangkut soal hukum-hukum (farâid), janji, dan
ancaman, sedangkan mutasyâbih mengenai kisah-kisah dan perumpamaan.7
Secara umum, munculnya mutasyâbihât dikarenakan samarnya tujuan
yang dimaksud oleh syar’i. Kesamaran tersebut dapat diklasifikasikan
menjadi tiga bentuk atau bagian, semua penafsiran para mufassir tidak keluar
dari ketiganya: mutasyâbih min jihah al-lafz yaitu dari aspek lafaz;
mutasyâbih min jihah al-ma’na yaitu dari aspek makna; dan mutasyâbihât
min jihah al-lafz wa al-ma’na yaitu dari aspek keduanya; lafaz dan maknanya
sekaligus.8
1. Kesamaran dari aspek lafaz
Sebab kesamaran lafaz ini ada dua macam. Pertama, pada lafz mufrad
(kata yang belum tersusun menjadi sebuah kalimat). Hal ini terjadi, terkadang
7 M. Hasby Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Quran ( Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), h,
169. 8 Su’ud ibn ‘Abdullah al-Fanîsân, Ikhtilâf al-Mufassirîn Asbâbuh wa Âtâruh (Riyad: Dâr
Syabîliyâ,1997), cet. Ke-1, h. 157. Lihat juga Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abu Bakr al-
Suyûtî, al-Itqân fi ‘Ulum al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010), cet, ke-3, h.
310-311.
25
dari segi keasingan sebuah lafaz, seperti lafaz abban. Kata abban tersebut
jarang ditemukan dalam al-Qur’an, sehingga asing. Kalau tidak ada
penjelasan dari ayat berikutnya, arti kata Abbanan itu sulit dimengerti. Tetapi
ayat 32 surat ‘Abbasa menyebutkan (untuk kesenangan
kamu dan ternak-ternakmu), sehingga baru jelas bahwa yang dimaksud
dengan abban adalah rerumputan, seperti bayam, kangkung dan sebagainya
yang disenangi manusia dan binatang ternak.9 Dan terkadang dari segi
isytirâk al-lafz (satu kata bermakna ganda) seperti lafaz yadd dan ‘ain. Kedua,
pada lafal yang murakkab (tersusun). Bagian kedua ini terbagi lagi menjadi
tiga macam. Pertama, karena terlalu ringkasnya susunan kalam seperti firman
Allah Swt. (QS. Al-Nisa’ 4: 3).
Kedua, karena terlalu luasnya kalam seperti firman Allah Swt.
(QS. al-Syûra’: 11), tanpa tambahan kâf dalam kalimat mitslih, ucapan justru
lebih jelas bagi yang mendengarkan. Ketiga, kesamaran karena susunannya
yang kurang tertib meski terlihat indah, seperti firman Allah Swt.
(QS. al-Syûra’: 1) asalnya
.
2. Kesamaran dari aspek makna
Yang kedua ini disebabkan karena adanya kesamaran pada makna
ayat, seperti terkait dengan sifat-sifat Allah Swt. dan sifat-sifat hari kiamat.
Kedua sifat tersebut tidak dapat digambarkan oleh kita, karena kita tidak
9 Abd Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), cet. Ke-2, h. 245.
26
mampu berimajinasi untuk menemukan gambaran tentang keduanya. Dan
memang, keduanya bukan termasuk bagian dari sesuatu yang bisa
diimajinasi.
3. Kesamaran dari aspek lafal dan makna
Bagian yang terakhir ini dibagi lagi menjadi lima macam. Pertama,
dari aspek kuantitas (al-kammiyah) sebagaimana al-‘umûm wa al-khusûs
seperti firman Allah Swt. . Kedua, dari aspek kualitas (al-
kayfiyyah) sebagaimana al-wujûb wa al-nadb seperti firman Allah Swt.
. Ketiga, dari aspek masa seperti nasikh-mansukh contohnya
. Keempat, dari aspek tempat seperti firman Allah Swt.
dan . Bagi orang yang tidak
mengetahui kebiasaan orang-orang jahiliyah, akan sulit mengetahui
interpretasi kedua ayat di atas. Kelima, dari aspek syarat yang bisa
menjadikan sah/tidaknya sebuah amal, seperti syarat shalat dan nikah.10
Telah dikemukakan bahwa ayat-ayat mutasyâbihât itu banyak
bentuknya. Dalam skripsi ini penulis membahas khusus tentang ayat-ayat
mutasyâbihât yang menyangkut sifat-sifat Allah, yang dalam istilah al-Suyûtî
“âyat al-sifât”, dan dalam istilah Subhi al-Shaleh “mutasyâbihât al-sifât”.11
Ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini banyak, diantaranya adalah:
10
Al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 313-314. Markaz al-Tsaqâfah wa al-Ma’ârif
al-Qur’âniyyah, ‘Ulum al-Qur`ân ‘Ind al-Mufassirîn (Iran: Maktab al-I’lâm al-Islâm, 1417),
cet. Ke-1, vol. III, h. 65-66. Lihat juga Al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulum al-Qur’ân, h.
231-232. 11
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), h. 90.
27
1. QS. Tâhâ: 5
“(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy”.12
2. QS. al-Baqarah: 29
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan
Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan
Dia Maha mengetahui segala sesuatu”.13
3. QS. al-Rahmân: 27
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan”.14
4. QS. al-Fath: 10
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka”.15
Terkait hal ini oleh ibn Labban dipisahkan tersendiri di dalam
kitabnya yang berjudul Radd al-Mutasyâbihât ilâ Âyât al-Muhkamât.16
Di
12
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971). 13
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971). 14
Ibid.. 15
Ibid..
28
dalam kitab tersebut ibn Labban memaparkan beberapa tema lafaz-lafaz yang
mengandung unsur mutasyâbihât al-sifât, baik yang terdapat dalam al-Qur’an
maupun hadis Nabi Saw. di antara tema-tema lafaznya adalah, 1) Lafaz wajh,
Di dalam kitabnya tersebut ibn Labban tidak meyebutkan secara rinci
bilangan ayat-ayat yang terdapat lafaz wajh dalam al-Qur’an namun hanya
mengatakan bahwa ayat-ayat yang terdapat lafaz wajh itu banyak jumlahnya,
diantaranya adalah QS. al-An’âm 52, QS. al-Qasas 88, QS. al-Bâqarah 115.17
2) Juga lafaz sam’, basr, ‘ain, dan a’yun pada QS. al-Anfâl: 21, QS. al-
A’râf 198, QS. Tâhâ 124, QS. al-Qamar 19, dll.18
3) lafaz nafs disebutkan
dalam al-Qur’an seperti dalam QS. Âli ‘Imrân 27, dan QS.al-Mâidah 116.19
4) Lafaz batsy terdapat dalam QS. al-Burûj 12.20
5) Lafaz yad, ibn Labban
meyebutkan beberapa ayat yang terdapat lafaz yad, diantaranya QS. Sâd 75,
QS. Âli ‘Imrân 26, QS. al-Fath 10, QS. Yâsîn 71, QS. al-Mu`minûn 88, dll.21
6) Dan lafaz istawâ disebutkan dalam al-Qur’an dibanyak tempat seperti
dalam QS. al-Bâqarah 29, QS. Fusilat 11, QS. Yûnus 3, dan banyak lagi.22
C. Sikap Ulama Terhadap Ayat-ayat Mutasyâbihât
Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi ayat-ayat mutasyâbihât,
apakah mungkin diketahui artinya dengan cara ditakwil atau tidak mungkin
16
Al-Itqân. Ibn laban adalah Muhammad ibn Ahmad ibn Abd al-Mu`min al-As’ardi
Syams al-Dîn, seorang ahli tafsir di kalangan penduduk Damsyik. Wafat 749 H. (al-A’lam, III. H.
853). 17
Ibn Laban, h. 130. 18
Ibn Laban, h. 139-140. 19
Ibn Laban, h. 141-142. 20
Ibn Laban, h. 145. 21
Ibn Laban, h. 149-150. 22
Ibn Laban, h. 174-175.
29
diketahui sama sekali dan hanya Allah Swt. yang mengetahui rahasia tersebut.
Dalam hal ini ada tiga pendapat ulama:23
1. Mazhab Salaf, dikenal dengan sebutan mazhab al-mufawwidah, yaitu
golongan yang menyerahkan maksud dari ayat-ayat mutasyâbihât kepada
Allah swt. setelah membersihkan-Nya dari zahirnya teks-teks al-Qur’an
yang berbicara sesuatu yang mustahil bagi-Nya. Mereka berargumentasi
dengan dua dalil; a) dalil aqli, mereka mengatakan bahwa penentuan
maksud dari ayat-ayat mutasyâbihât itu berlandaskan pada kaidah-kaidah
bahasa dan penggunaan orang-orang Arab. Kedua hal tersebut bersifat
zann (asumsi), sedangkan keyakinan atas sifat-sifat Allah Swt. tidak cukup
dengan asumsi, melainkan harus dengan keyakinan. Padahal pada
kenyataannya tidak ada jalan untuk menuju kesana, maka yang bisa
dilakukan hanya pasrah dan menyerahkannya kepada Allah yang Maha
Tahu. b) dalil naqli, mereka berpegang pada beberapa dalil: 1) hadis
‘Aisyah24
; 2) hadis Abî Mâlik al-Asy’arî25
; 3) hadis kakeknya Ibn
Murdawih26
; 4) hadis Sulaiman ibn Yasâr27
; 5) apa yang diriwayatkan dari
Imam Malik28
.
23 al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 234.
24 bunyi hadisnya:
25
bunyi hadisnya:
26
bunyi hadisnya:
27
bunyi hadisnya:
30
2. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafaz yang makna
lahirnya mustahil bagi Allah kepada makna yag lain dengan Zat Allah.
Karena itu mereka disebut juga dengan mazhab muawwilah atau mazhab
takwil. Mereka memaknakan istawâ` dengan ketinggian yang abstrak,
berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan.
Kedatangan Allah diartikan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas
hambaNya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada disuatu tempat,
“sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan zat, “mata” dengan
pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dll. Demikian metode
penafsiran ayat-ayat mutasyâbihât yang ditempuh oleh ulama khalaf.
Semua lafaz yang mengandung makna “cinta”, “murka” dan “malu” bagi
Allah ditakwil dengan makna majaz yang terdekat. Mereka berkata:
“setiap sifat yang makna hakikatnya mustahil bagi Allah ditakwil dengan
kelazimannya”. Pendapat ini dinisbatkan kepada Ibn Burhân dan golongan
muta`akhkhirîn.
3. Mazhab Moderat, yaitu golongan yang memerinci penafsiran; apabila
takwilnya dekat dengan lisan orang Arab maka tidak diingkari tetapi
apabila takwilnya melenceng jauh kita diam dan hanya meyakini sesuai
apa yang dikehendaki-Nya. Seperti Firman Allah dalam QS. al-Zumar: 56.
28 Ketika Imam Malik ditanya tentang makna surat Tâhâ beliau
menjawab: istiwa maklum tapi caranya tidak diketahui, sedangkan bertanya tentangnya adalah
bid’ah. Kemudian beliau berkata kepada orang yang bertanya Aku mengira engkau adalah
lelaki jelek. lihat al-Suyûtî, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 312. al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân
fi ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 239-240.
31
“Supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar penyesalanku
atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang
aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan
(agama Allah)”.
Menurut mereka, “sisi Allah” diartikan dengan hak Allah. Pendapat ini
dinukil dari Ibn Daqîq al-‘Îd.29
Menurut al-Zarqânî, para ulama sepakat pada tiga hal dalam memahami
ayat-ayat mutasyâbihât dalam sifat Allah Swt. Pertama, ulama sepakat untuk
membelokkan pengertian zahirnya yang mustahil dan meyakini bahwa
pengertian zahir tidak dikehendaki oleh Allah Swt. Kedua, jika demi membela
Islam memerlukan takwil, maka wajib hukumnya mentakwil. Ketiga, jika ayat
tersebut hanya memiliki satu pengertian yang dekat, maka harus dengannya,
seperti firman Allah Swt. wa huwa ma’akum ainamâ kuntum (QS. Al-Hadîd
:4). Keberadaan Dzat Allah Swt. bersama makhluk-Nya adalah mustahil
berdasarkan dalil qat’i. Karena itu tidak ada penakwilan lain kecuali dengan al-
ihâtah ‘ilman, sam’an, basharan, qudratan, wa irâdatan (luas pengetahuannya,
pendengarannya, penglihatan, kemampuan, dan kehendak).30
29
al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 234. Bandingakan dengan al-
Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulum al-Qur’ân, tahqiq Muhammad Abû Fadl Ibrâhîm (Beirut: Dâr al-
Ma’rifah, 1391 H),cet. Ke-3 vol. II, h. 78. 30
‘Abd al-‘Azîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-
Hadîts, 2001), h. 238.
32
Ada sebuah pertanyaan, apakah ayat-ayat mutasyâbihât dapat diketahui
maknanya atau hanya Allah Swt. yang mengetahui sedangkan selain-Nya
tidak? Ulama berbeda pandangan dalam menjawab pertanyaan di atas.
Perbedaan tersebut timbul karena perbedaan mereka dalam memahami firman
Allah swt. (QS. Âli ‘Imrân 3:7) apakah
wawu dalam sebagai wawu ‘âtifah yang berfaedah menyambungkan
pada lafaz Allah atau wawu isti’nâfiyah. Bagi golongan pertama, yang dapat
mengetahui takwilan mutasyâbihât tidak hanya Allah Swt. melainkan mereka
juga yang mendalam pengetahuan dan pemahamannya. Mereka yang
cenderung pada pendapat pertama diantaranya: Ibn ‘Abbâs31
, Mujâhid32
,
Dahhâk, al-Nawawî33
, dan Ibn Hâjib34
. Sedangkan menurut golongan kedua
hanya Allah Swt. yang mengetahui takwilan mutasyâbihât. Mayoritas sahabat,
tabiin, tabi’ tabiin, dan orang setelahnya cenderung memilih pendapat yang
kedua.35
Ibn Taimiyah berpendapat bahwa tidak mungkin dalam al-Qur’an
terdapat ayat yang tidak ketahui maknanya oleh Nabi Saw. atau umatnya,
karena hal itu menimbulkan kesia-siaan. Baginya, istilah mutasyâbihât adalah
perkara nisbî, maksudnya ialah terkadang ia samar bagi sebagian tetapi jelas
31
Beliau meyakini termasuk orang yang mengetahui takwilnya. 32
Beliau berkata: apabila orang-orang yang mendalam ilmunya tidak mengetahui
takwilan mutasyâbihât dan mereka hanya berkata “aku beriman”. Maka tidak ada keutamaan
yang membedakannya dari orang bodoh, karena setiap orang berkata demikian. 33
Beliau berkata: pendapat ini adalah pendapat yang al-Assah karena tidak mungkin
Allah berfirman kepada makhluknya dengan pernyataan yang tidak dapat dipahami. 34
Beliau berkata: ini adalah pendapat yang zhahir. 35
al-Suyûtî, al-Itqân fi ‘Ulum al-Qur’ân, h. 300. Lihat juga Muhammad Fâkir al-
Mîbadî, Qawâid al-Tafsîr Ladâ al-Syî’ah wa al-Sunnah (Irân: Markaz al-Tahqîqât wa al-
Dirasât al-‘Ilmiyyah, 2007), cet. Ke-1, h. 370.
33
bagi sebagian yang lainnya. Jadi, pada dasarnya kesamaran itu bukan pada
substansi ayat tetapi samar bagi pembaca yang kesusahan dalam memahami
ayat tersebut. Dan kesamaran tersebut akan segera hilang dengan bertanya pada
orang-orang yang mendalam ilmunya dengan cara membandingkannya dengan
ayat-ayat yang muhkamât. Bagi mereka yang râsikh fî al-‘ilm tidak ada
bedanya antara ayat yang muhkam dan yang mutasyâbih.36
Lantas siapakah yang dimaksud dengan al-râsikhûn fî al-‘ilm yang
disinggung dalam surat Âli ‘Imrân telah diberi anugerah oleh Allah Swt. dapat
memahami ayat-ayat mutasyâbihât? Menurut M. Fâkir, mereka adalah orang-
orang yang memiliki kemampuan menggali kandungan ayat-ayat
mutasyâbihât, yang mengetahui sebagian dari apa yang diketahui Allah Swt. Ia
juga mengutip pendapat al-Tabrasî bahwa mereka adalah orang-orang yang
teguh, kuat, dan mendalam pengetahuannya.37
Menurut Hâdî Ma’rifah, al-râsikhûn fî al-‘ilm adalah mereka yang pada
mulanya mendapati kejanggalan dalam sebuah ayat (mutasyâbih), kemudian
mereka berusaha menggalinya sehingga dapat menemukan maksud yang benar
dari ayat tersebut. Mereka adalah orang-orang yang telah mengetahui dasar-
dasar agama dan mampu mengkontekstualisasikan pesan-pesan syariat,
sehingga ketika menemukan kejanggalan dalam sebuah ayat, mereka akan
mengetahui bahwa ayat tersebut membutuhkan takwil yang bisa diterima dan
sesuai dengan konteksnya.38
36
Ihsân Amîn, Manhaj al-Naqd, h. 292. Bandingkan dengan Muhammad Hâdî
Ma’rifah, al-Ta’wil fi Mukhtalaf al-Madzâhib wa al-Arâ (Irân: Markaz al-Tahqîqât wa al-
Dirasât al-‘Ilmiyyah, 2006), cet. Ke-1, h. 23. 37
Muhammad Fâkir al-Mîbadî, Qawâid al-Tafsîr Ladâ al-Syî’ah wa al-Sunnah, h. 373. 38
Muhammad Hâdî Ma’rifah, al-Ta’wil fi Mukhtalaf al-Madzâhib wa al-Arâ, h. 29
34
BAB III
PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT MENURUT NAWAWÎ
AL-BANTANÎ DAN AL-ZAMAKHSYARÎ
A. Nawawî al-Bantanî dan Marâh Labîd Serta Penafsirannya Terhadap
Ayat-ayat Mutasyâbihât
1. Biografi dan Aktifitas Akademik Nawawî al-Bantanî
Nawawî al-Bantanî memiliki nama lengkap Muhammad
Nawawî ibn ‘Umar ibn ‘Arabî al-Tanara al-Jâwî al-Bantanî, dan lebih
dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawî al-Bantanî. Sedangkan dalam
lingkungan keluarga, ia biasa dipanggil Abû ‘Abd al-Mu‘tî. Ayahnya
bernama ‘Umar ibn ‘Arabî, seorang pejabat penghulu (pemimpin Masjid)
di Tanara yang mengajar secara langsung ketiga anaknya, Nawawî,
Tamîm, dan Ahmad.1
dan ibunya bernama Zubaidah, wanita penduduk asli
Tanara.2
Ia dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten, pada tahun 1815
M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawwâl 1314, Nawawî menghembuskan
nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Beliau wafat pada saat sedang
menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan kitab Minhâj
al-Tâlibîn karya Yahyâ ibn Syaraf ibn Murâ ibn Hasan ibn Husain.3 Ia
dimakamkan di Ma‘lâ, dekat makam Siti Khadîjah. Sebagai tokoh
kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, umat Islam di desa
1 Sri Mulyati, Sufism In Indonesia: An Analysis of Nawawî al-Banteni's Salâlim al-
Fudhalâ`, Unpublished Thesis, h. 27. 2 Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawî al-Bantanî (Banten: Yayasan
Pendidikan Pelajar al-Haddad Pandeglang, 1999), h. 3. 3 Didin Hafiduddin, “Tinjauan atas Tafsir al-Munîr Karya Imâm Muĥammad Nawawî
Tanara”, dalam Ahmad Rifa’i Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia: Telaah atas
Karyakarya Klasik (Bandung: Mizan, 1987), h. 39.
35
Tanara, Tirtayasa, Banten, setiap tahun di hari Jum‘at terakhir bulan
Syawwâl selalu diadakan acara haul untuk memperingati jejak
peninggalannya.
Ia mempunyai dua orang istri, masing-masing bernama Nasimah
dan Hamdanah. Dari Nasimah, ia memiliki tiga orang putri, yaitu Maryam,
Nafisah, dan Ruqayah. Sedangkan Hamdanah hanya memberinya seorang
putri yang dinamai Zahrah.4
Nawawî al-Bantanî dikenal sebagai penulis produktif. Tulisan-
tulisannya dalam bentuk buku (kitab) berjumlah puluhan, dan seluruhnya
ditulis dalam bahasa Arab sehingga ia dikenal di Mesir, Syam, Turki, dan
Hindustan.5
Karya-karya besar Nawawî yang gagasan pemikiran
pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi ke dalam
tujuh kategorisasi bidang, yakni bidang fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, hadis,
sejarah Nabi, serta bahasa. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa
kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Menurut
Snouck, keistimewaan yang ia miliki tidak terletak dilidahnya, melainkan
di penanya.6
Semua karyanya, pada umumnya, menampilkan nuansa-nuansa
tradisionalisme dan sufisme. Tradisionalisme biasanya ditandai dengan
kecenderungan yang kuat pada upaya-upaya mempertahankan kemapanan
dan konservatif. Teks-teks suci biasanya, termasuk karya ulama klasik,
4 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, cet. 1, 2005), h. 291. 5 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, h. 292.
6 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 119.
36
dibaca dan dipahami secara literal. Sikap kritis dan rasional dalam pola
pemikiran seperti ini seakan-akan menjadi tidak relevan. Sedangkan pola
pikir sufisme seringkali ditampilkan dalam fenomena gemar beribadah dan
rajin melakukan ritual-ritual yang mendalam, intens, dan asketis. Dalam
tulisan Nawawî, penekanan pada aspek ini sangat kuat. Dua hal inilah,
mungkin, yang menyebabkan tulisan Nawawî digemari oleh tradisi
keilmuan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu.7
Mengenai jumlah karya Nawawî al-Bantanî, Menurut Nurcholish
Madjid, karyanya sebanyak seratus kitab yang beredar terutama di wilayah
Timur Tengah yang berbasis madzhab Syâfi‘î. Dari sana umat Islam
membawanya ke Indonesia. Baru sesudah merdeka, karya-karya itu
dicetak ulang di Singapura, Jakarta, Cirebon, Bandung, Surabaya, Penang,
dan Kota Baru, Malaysia.8
Zamakhsyari Dhofier, dengan mengutip hasil penelitian Yusuf
Alian Sarkis dalam bukunya yang berjudul Dictionary of Arabic Printed
Books from the Beginning of Arabic Printing Until the End, menyebutkan
karangan Nawawî sebanyak 34 buah, bahkan ada yang mengatakan lebih
dari itu.9
Snouck Hurgronje mengatakan bahwa tidak kurang dari 22 karya
Nawawî al-Bantanî masih beredar, dan 11 judul dari kitab-kitabnya
termasuk 100 kitab yang paling banyak digunakan di pesantren.10
7 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 173-174.
8 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, h. 292.
9 Ma’ruf Amin dan M. Nashruddin Anshari Ch., Pemikiran Syaikh Nawawî al-Bantanî
(Jakarta: Pesantren, vol. VI, no. I, 1989), h. 105. Bandingkan dengan Sri Mulyati, Sufism In
Indonesia, h. 41. 10
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, h. 37.
37
Sejak kecil, Nawawî al-Bantanî telah mendapat pendidikan agama
dari orang tuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara lain bahasa
Arab, fiqh, dan ilmu tafsir. Selain itu, ia belajar kepada Kiai Sahal di
daerah Banten dan Kiai Yûsuf di Purwakarta.11
Pada usia 15 tahun, ia
mendapat kesempatan untuk pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan
ibadah haji. Di sana ia memanfaatkan waktunya untuk belajar ilmu kalam
(teologi), bahasa dan sastra Arab, ilmu hadîts, tafsir, tasawuf, dan fiqh.12
Dan pada usia 18 tahun, ia sudah mampu menghafal al-Qur`an.13
Otaknya
memang cemerlang. Sayangnya, menurut Snouck Hurgronje,14
ia lemah
memulai diskusi jika tak dipancing.
Setelah tiga tahun belajar di Makkah, ia kembali ke daerahnya
tahun 1248 H/1831 M dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif
cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawî,
yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya, langsung mendapat
simpati dari masyarakat. Kedatangannya membuat pesantren yang dibina
ayahnya didatangi oleh santri yang datang membludak dari berbagai
pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian, ia memutuskan
11
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, cet. 2, jilid 4, 1984), h. 23. 12
Minat umat Islam Indonesia untuk belajar di Timur Tengah diwujudkan baik dengan
tujuan khusus untuk mencari ilmu maupun naik haji. Tidak sedikit kaum Muslim Indonesia yang
menetap (muqîm) di tanah suci ketika musim haji telah berakhir. Kondisi demikian itulah yang
secara berturut-turut melahirkan tokoh-tokoh terkemuka seperti ‘Abd al-Ra`ûf al-Sinkilî dan
Muĥammad Yûsuf al-Maqassârî (abad ke-17); ‘Abd al-Shamad al-Falimbânî, Arsyad al-Banjârî,
Aĥmad Khathîb al-Minankabâwî, Nawawî al-Bantanî (abad ke-18 dan 19); Ahmad Dahlan, Wahid
Hasyim, Abdul Wahab Hasbullah, Abdul Halim Majalengka. Hal itu tidak hanya menunjukkan
besarnya minat belajar agama di Timur Tengah, tetapi juga menunjukkan besarnya arti pusat-pusat
studi di Timur Tengah di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Lihat juga Hilmy
Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia (Jakarta: eLSAS, cet. 1, 2004),
h. 114. 13
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 24. 14
Seorang tokoh orientalis asal Belanda. Ia pernah mengadakan penelitian di Makkah
selama enam bulan pada tahun 1884/1885. Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang
Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, cet. 1, 1984), h. 117.
38
berangkat lagi ke Makkah sesuai dengan impiannya untuk menetap di
sana.15
Tidak seperti orang Makkah pada umumnya, bentuk fisiknya
terbilang pendek, bahkan untuk ukuran orang Melayu sekalipun.
Badannya bungkuk. Jika ia berjalan, seolah semesta dunia adalah sebuah
kitab besar yang asyik dia baca.16
Di Makkah, ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal.
Pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syaikh Khathîb Sambas
(penyatu tarekat Qâdirîyah-Naqsyabandîyah di Indonesia) dan Syaikh
‘Abd al-Ghanî Bima, dua di antara ulama asal Indonesia yang bermukim
di sana. Setelah itu ia belajar pada Sayyid Ahmad Dimyâtî dan Ahmad
Zaini Dahlân. Sedangkan di Madînah, ia belajar pada Muĥammad
Khathîb al-Hanbâlî.17
Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-
ulama besar di Mesir dan Syâm (Syiria) seperti Syaikh Yûsuf
Sumbulâwînî dan Syaikh Ahmad Nahrâwî yang keduanya merupakan
guru sejatinya.
Selain nama-nama di atas terdapat pula guru-gurunya yang lain,
yaitu Syaikh Muĥammad ibn Sulaymân Hasb Allâh al-Mâlikî, Syaikh
Zayn al-Dîn Aceh, Syaikh Syihâb al-Dîn, Syaikhah Fâthimah bint Syaikh
‘Abd al-Shamad al-Falimbânî, Syaikh Yûsuf ibn Arsyad al-Banjârî,
Syaikh ‘Abd al-Shamad ibn ‘Abd al-Raĥmân al-Falimbânî, Syaikh
Maĥmûd Kinân al-Falimbânî, dan Syaikh ‘Aqîb ibn Ĥasanuddin al-
15
Zidni Ilman NZ, “Sifat Tuhan dalam Pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani”, (Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006 M), h. 14. 16
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 119. 17
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 24.
39
Falimbânî. Beliau memang seorang yang sangat haus akan ilmu
pengetahuan. Hal ini tercermin dalam perkataannya, “Saya adalah debu
yang lekat pada orang yang mencari ilmu”.18
Setelah ia memilih hidup di Makkah bersama istrinya, Tamîm
(adiknya), dan Marzûqî (keponakannya) sekaligus meninggalkan
kampung halamannya pada tahun 1860, Syaikh Nawawî mulai mengajar
di lingkungan Masjid al-Ĥarâm19
di perguruan Nasyr al-Ma‘ârif al-
Dînîyah. Setiap pagi ia memberi tiga kuliah mulai pukul 7.30 sampai
12.00 yang direncanakan sesuai dengan kebutuhan jumlah para
muridnya.20
Sebenarnya ia merasa tidak pantas mengajar di Masjid al-
Ĥarâm karena ia menganggap pakaian yang dikenakannya jelek, dan
mengaku kepribadiannya kurang mulia dibanding profesor asli Arab. Dia
terlalu merendah, demikian kesan Snouck.
Dalam mengajar, Nawawî tetap berpegang kepada madzhab Imam
Syâfi‘î seperti yang juga dilakukan oleh Aĥmad Khathîb. Khusus di
bidang aqidah, pengajaran mereka berdua memberikan dorongan untuk
mengikuti tradisi besar dalam dunia Islam secara lebih intensif. Dan
berkat usaha mereka itulah penyelewengan dalam tarekat ditolak, kiblat
serta bacaan Arab diperbaiki, dan studi langsung kepada kitab berbahasa
18
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam, h. 119. 19
Selain Nawawî, ada dua orang ulama Indonesia yang mengajar di Masjid al-Ĥarâm,
yaitu Aĥmad Khathîb (w. 1915) dan Maĥfûzh Termas. Mereka bertiga mengilhami gerakan agama
di Indonesia dan mendidik banyak ulama yang kemudian berperan penting di tanah air, seperti
Hasyim Asy‘ari. Aĥmad Khathîb sendiri adalah orang Indonesia pertama yang mengajar di Masjid
al-Ĥarâm sekaligus menjadi imam di sana. Sedangkan Maĥfûzh Termas merupakan ulama yang
sangat dihormati oleh para kiai di Jawa melebihi Syaikh Nawawî. Beliau adalah ulama Indonesia
pertama yang mengajar kitab Ĥadîts Shaĥîĥ al-Bukhârî. Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab
Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, cet. 3,
1999), h. 37-39, 52. 20
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 119.
40
Arab lebih dipermudah. Mereka berdua juga mengadakan hubungan
langsung dengan dunia ilmu agama di negara Arab, yang begitu penting
bagi kelangsungan reformisme di abad ke-20.21
Setelah dia menuntut ilmu yang sangat banyak, men-syarh kitab-
kitab bahasa Arab dalam berbagai disiplin ilmu yang sangat banyak pula,
maka ia digelari Imam Nawawî al-Tsânî, artinya Imam Nawawî Yang
Kedua. Orang pertama memberi gelar demikian ialah Syaikh Wan Aĥmad
bin Muĥammad Zayn al-Fathânî. Gelar yang diungkapkan oleh Syaikh
Aĥmad al-Fathânî dalam seuntai gubahan syairnya itu akhirnya diikuti
oleh semua orang yang menulis riwayat ulama yang berasal dari Banten
itu. Dari sekian banyak ulama dunia Islam yang lahir sejak sesudah Imam
Nawawî yang pertama (wafat 676 H/1277 M) sampai sekarang ini, belum
ada satu pun di antara mereka yang mendapat gelar Imam Nawawî al-
Tsânî, kecuali Nawawî al-Bantanî, ulama kelahiran Banten yang
dibicarakan ini. Rasanya gelar demikian memang dipandang layak, tidak
ada ulama yang sezaman dengannya maupun sesudahnya yang
mempermasalahkan keahliannya dalam bidang ilmu keislaman secara
tradisional yang telah ada semenjak beberapa abad silam.
2. Sekilas Tentang Tafsir Marâh Labîd
a. Latar Belakang Penulisan
Salah satu karya Nawawî al-Bantanî yang menyebabkan beliau
mendapat penghargaan dari para ulama Makkah dan Mesir, adalah
karyanya dibidang tafsir al-Qur`an yaitu al-Tafsir Marâh Labîd li
21
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 6.
41
Kasyf Ma’nâ Qur’ân Majîd. Melalui karya tafsir ini, ia dikenal
sebagai ulama tafsir di dunia Arab, karena di samping menulisnya
dalam bahasa Arab dengan merujuk kitab-kitab tafsir sebelumnya,
kitab tersebut juga menafsirkan al-Qur`an secara keseluruhan (30 juz)
sesuai tata urutan ayat dan surah yang tertulis dalam Mushaf
‘Utsmani.
Tafsir ini terdiri dari dua jilid yang ditulis di Makkah oleh
Nawawî al-Bantanî (1815-1898) dari sebuah kampung Tanara di
Banten, Jawa Barat, yang telah menetap secara permanen di Makkah
setelah tahun 1835.22
Nawawî menamakan tafsirnya dengan Marâh
Labîd li Kasyf Ma’nâ Qur’ân Majîd, yang kemudian lebih dikenal di
kalangan ulama dengan nama al-Tafsîr Munîr li Ma’âlim al-Tanzîl
yang diterbitkan di Kairo pada 1305 H oleh penerbit ‘Abd al-Razzâq.
Selanjutnya pada 1355 H tafsir ini kembali dicetak di Kairo oleh
penerbit al-Bâbi al-Halabî. Tafsir ini juga dicetak di Saudi Arabia oleh
penerbit al-Maimanah dengan nama Tafsîr al-Nawawî. Perubahan
nama kitab ini adalah atas inisiatif penerbit yang ingin menisbatkan
kitab tersebut kepada penulisnya. Sudah menjadi tradisi yang
menisbahkan kepada penulisnya telah menjadi tren dalam dunia tafsir,
seperti tafsir yang ditulis oleh Ibn Jarîr al-Tabarî yang bernama Jâmi’
al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân yang lebih populer dengan nama Tafsîr
al-Tabarî.23
22
Antthony H.Jons, “Tafsir al-Qur`an di Dunia Indonesia – Melayu” dalam Jurnal Studi
al-Qur`an Vo 1 No.3, 2006, h. 472. 23
Mustamin Arsyad, “Signifikasi Tafsir Marah Labid Terhadap Perkembangan Studi
Tafsir di Nusantara” dalam Jurnal Studi al-Qur’an, h. 624-625.
42
Keberanian Nawawî al-Bantanî menulis tafsir ini pada
awalnya sempat terkendala ketika mengingat sebuah hadis Nabi Saw.
yang menyebutkan:
“Barang siapa berkata tentang (tafsir) al-Qur`an dengan
pikirannya, walaupun benar, tetap dinyatakan salah”.24
“Barang siapa berkata tentang al-Qur`an dengan pikirannya,
sama dengan mempersiapkan dirinya untuk mendapat
tempat di dalam neraka”.25
Setelah menimbang perlunya meneruskan misi para
pendahulunya yang telah banyak menulis tafsir al-Qur`an dan sejalan
dengan kebutuhan penuntut ilmu untuk memahami kandungan al-
Qur`an, menurutnya setiap zaman memerlukan pembaharu dalam
ilmu. Dengan rendah hati Nawawî al-Bantanî menegaskan bahwa ia
hanya melakukan cara baru dalam menyampaikan ilmu dan tidak
menambahkan apapun melainkan hasil rujukan dan bacaannya dari
beberapa kitab tafsir yang ada.
Latar belakang Nawawî al-Bantanî adalah tipikal dari banyak
ulama Jawa yang tidak dikenal, meskipun tidak banyak yang
menyamai kedalaman pengetahuannya.26
Kita beruntung karena
Hurgronje bertemu dengannya di Makkah tahun 1884, dan pada
volume kedua karyanya Mekkah in the Latter Part of the Nineteenth
24
Muḥammad Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd li Kasyf Ma’ânî al-Qur`ân al-Majîd (Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H), Cet I, Jilid I, h. 5. 25
Ibid.. 26
Siti Nur Wakhidah, “Penafsiran Nawawi al-Bantani Tentang Fitrah dalam Tafsir
Marah Labid dan Implikasinya dalam Kehidupan Sosial”, (Skripsi S1 Fahultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009 M), h. 40.
43
Century, ia memberi sketsa pendek yang sangat indah (an exquisite
thumbnail) tentang kepribadian Nawawî al-Bantanî.27
Dari pernyataan di atas yang terpenting adalah Snouk
Hurgronje bahwa Nawawî al-Bantanî telah menulis sebuah tafsir utuh
atas al-Qur`an yang kemudian diterbitkan oleh penerbit Makkah.28
Sekiranya Nawawi mengirimnya ke penerbit sekitar tahun 1884 dan
telah meluangkan waktu untuk menulisnya sekitar lima belas tahun
lebih awal, maka dapat diperkirakan bahwa ia mulai menulisnya
menjelang akhir 1860-an, kitab tersebut kemudian dicetak ulang oleh
penerbit al-Halabi di Kairo dalam dua volume yang masing-masing
terdiri dari 500 halaman. Dengan karya al-Wahidi (w. 1076) kitab al-
wajîz fî tafsîr al-qur’ân al-‘azîz di garis pinggir (margin/hasyiyah).29
b. Metode dan Corak Penafsiran
Di dalam muqaddimah kitab Marâh Labîd-nya, Nawawî al-
Bantanî menyatakan bahwa beliau tidak melakukan perubahan yang
signifikan di dalam metodologi penafsiran. Beliau mengadopsi metode
penafsiran ulama pendahulunya – yakni tahlilî – dengan memberikan
beberapa pengembangan.30
Metode tahlilî adalah sebuah metode atau cara penafsiran yang
digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur`an dengan jalan
meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya. Teknis
metode ini dimulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat,
27
Antthony H.Jons, “Tafsir al-Qur`an di Dunia Indonesia – Melayu” dalam Jurnal Studi
al-Qur`an Vo 1 No.3, 2006, h. 473. 28
Ibid.. 29
Ibid., h. 474. 30
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 5.
44
maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munâsabah) dengan
bantuan asbâb al-nuzûl, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi
Muhammad Saw., sahabat, dan tabi’in. Prosedur ini
diimplementasikan sesuai dengan urutan mushaf, ayat perayat, surat
persurat.31
Aplikasi dari prosedur tahlilî dapat ditemukan disetiap
penafsiran yang dilakukan oleh Nawawi, seperti menafsirkan satu ayat
dengan ayat yang lain,32
menguraikan ayat atau bagian ayat menurut
gramatika bahasa Arab,33
pemaparan qirâ`at tujuh imam, mengutip
riwayat baik dari hadis, qaul sahabat atau pendapat ulama terhadap
sebuah ayat,34
mencantumkan asbâb al-nuzûl ayat, serta munâsabah.35
Di samping itu, Nawawî al-Bantanî juga menambahkan
beberapa hal sebagai penyempurna, diantaranya adalah memaparkan
berbagai alternatif pemaknaan,36
kesimpulan dari berbagai
pemaknaan,37
dan pencantuman tanbîh sebagai sebuah aksentuasi
terhadap hal-hal yang penting.38
Selain itu, perlu diketahui bahwa di dalam muqaddimah,
Nawawî al-Bantanî menyatakan bahwa beliau menjadikan lima kitab
tafsir sebagai rujukan penafsirannya, yakni al-Futuhât al-Ilâhiyyah,
31
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’I dan Cara Penerapannya, terj.
Rosihon Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 23-24. 32
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 65. 33
Ibid., Jilid II, h. 532. 34
Ibid., Jilid I, h. 8. 35
Ibid., h. 8. 36
Ibid., h. 39. 37
Ibid., h. 20. 38
Ibid., h. 51.
45
Mafâtih al-Ghaib, al-Sirâj al-Munîr, Tanwîr al-Miqbâs fî Tafsîr ibn
Abbâs, dan Tafsîr Abû al-Su’ûd.39
3. Penafsiran Nawawî al-Bantanî Terhadap Ayat-ayat Mutasyâbihât
Seperti diterangkan dalam bab sebelumnya bahwa ayat-ayat
mutasyâbihât banyak sekali jumlahnya, baik yang berkaitan dengan lafaz,
makna, atau keduanya. Di sini penulis akan membahas penafsiran
Nawawî al-Bantanî terhadap ayat-ayat mutasyâbihât yang berkaitan
dengan sifat-sifat Allah Swt. dan terbatas pada ayat-ayat yang terdapat
term wajh, yad, dan istiwâ, untuk kemudian akan dibandingkan dengan
penafasirannya al-Zamakhsyarî pada sub bab selanjutnya.
a. Berkenaan dengan wajh (wajah)
Dituturkan dalam kamus ”al-Mu’jam al-Wasît” bahwa makna
wajh adalah sayyid dan syarîf (yang mulia). Di samping itu ia juga
bermakna bagian dari kepala yang terdapat dua mata, mulut, dan
hidung. Bisa juga bermakna setiap yang menghadap dari segala
sesuatu, zat, permulaan waktu, yang tampak, arah yang ada pintunya,
arah, dan sisi.40
Dalam al-Qur’an, kata wajh yang maknanya disandarkan
kepada Allah Swt. berjumlah 9.41
Nawawî al-Bantanî mentakwil wajh dengan beberapa makna,
yaitu:
39
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 5. 40
Majma’ al-lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasît, h. 1057. 41
‘Alamî Zâdah Fayd al-Lâh ibn Mûsâ al-Hasanî al-Maqdisî, Fath al-Rahmân li Tâlib
Âyât al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 756.
46
1) al-Ridâ (keridhaan). Nawawî al-Bantanî mentakwil wajh
dengan al-ridâ pada ayat QS. al-Bâqarah [2]: 115, QS. al-An'âm [6]:
52, dan QS. al-Ra'd [13]: 22.
QS. al-Bâqarah [2]: 115.
Pada ayat di atas Nawawî al-Bantanî selain mengutip pendapat
Imam Mujâhid yang mentakwil lafaz wajh dengan qiblat juga
mengutip sebuah riwayat qira`at yang membaca lafaz tuwallû menjadi
tawallau dengan lafaz wajh ditakwil menjadi makna al-ridâ.42
QS. al-An'âm [6]: 52.
Pada ayat di atas Nawawî al-Bantanî selain mentakwil lafaz
wajh dengan mahabbah juga mentakwilnya dengan al-ridâ yang
bermakna orang-orang yang ikhlas.43
QS. al-Ra'd [13]: 22.
42
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 41. 43
Ibid., h. 320.
47
Pada ayat di atas Nawawî al-Bantanî mentakwil lafaz wajh
rabb dengan al-ridâ yang bermakna semata-mata menuntut ke-ridâ-an
Allah secara khusus tanpa mengharap pujian dari makhluk dengan
berbuat riyâ` dan sum’ah.44
2) al-Dzât (dzat). Nawawî mentakwil wajh dengan al-dzât pada
ayat QS. al-Qasas [28]: 88,45 dan QS. al-Rahmân [55]: 27.46
QS. al-Qasas [28]: 88.
QS. al-Rahmân [55]: 27.
Pada ayat di atas Nawawî al-Bantanî mentakwil lafaz wajh
dengan dzât al-lâh yang Maha Agung, yang keagunganNya dan
kemulianNya itu tidak terjangkau oleh akal.
3) Mahabbah (kasih sayang). Nawawî al-Bantanî mentakwil
wajh dengan mahabbah pada ayat QS. al-An'âm [6]: 52.47
44
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 558. 45
Ibid.,Jilid II, h. 209. 46
Ibid., h. 447. 47
Ibid., Jilid I, h. 320.
48
Pada ayat di atas Nawawî al-Bantanî mentakwil lafaz wajh
dengan mahabbat al-lâh dan al-ridâ yang bermakna orang-orang yang
ikhlas.
4) al-Taqarrub (mendekatkan diri). Nawawî mentakwil wajh
dengan al-taqarrub pada ayat QS.al-Rûm [30]: 38.48
Pada ayat di atas Nawawî al-Bantanî mentakwil lafaz wajh
dengan al-taqarrub yang bermakna semata-mata bermaksud
mendekatkan diri kepada Allah bukan untuk kepentingan yang lain.
5) al-Tsawâb (ganjaran). Nawawî mentakwil wajh dengan al-
tsawâb pada ayat QS al-Insân [76]: 9.49
6) Dalam mentakwil lafaz wajh, Nawawî al-Bantanî mengutip
pula pendapat Imâm Mujâhid seperti pada tafsiran QS.al-Bâqarah [2]:
115. Imâm Mujâhid mentakwil lafaz wajh dengan al-qiblah (kiblat).50
48
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid II, h. 231. 49
Ibid., h. 587. 50
Ibid., Jilid I, h. 40.
49
b. Berkenaan dengan yad (tangan)
Kata yad banyak sekali ditemukan dalam al-Qur’an baik yang
disandarkan kepada Allah Swt. seperti atau yang disandarkan
kepada makhluk-Nya seperti . disebutkan dalam kamus
“Fath al-Rahmân” penggunaan kata yad dalam al-Qur’an dengan
berbagai bentuknya (mufrâd, tatsniyyah, dan jama’) mencapai 90 ayat
lebih.51
Dalam kamus ”al-Mu’jam al-Wasît” dituturkan, yad artinya
salah satu bagian anggota tubuh yaitu dari mulai bahu sampai ujung
jari jemari. Apabila digunakan untuk baju dan semisalnya maka kata
yad artinya lengan baju. Di samping makna di atas, ia juga bisa
bermakna al-ni’mah (kenikmatan), al-ihsân (kebaikan), al-sultân
(kekuasan), al-qudrah (kemampuan), al-quwwah (kekuatan), al-milk
(kepemilikan), al-kafâlah (tanggungan), al-tâ’ah (ketaatan), al-
inqiyâd (ketundukan), dan al-istilâm (kepasrahan).52
Untuk Nawawî al-Bantanî, beliau tidak banyak memberikan
komentar lebih spesifik terkait takwilan lafaz yad. Namun ditemukan
takwilan makna yad dibeberapa tempat dalam tafsirnya. Nawawî
mentakwil lafaz yad dengan 1) ni’mah, 2) nusrah, 3) dan hifz dalam
QS. al-Fath: 10.53
51
‘Alamî Zâdah Fayd al-Lâh ibn Mûsâ al-Hasanî al-Maqdisî, Fath al-Rahmân li Talib
Âyat al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), cet. Ke-1, h. 791-793. 52
Majma’ al-lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasît (Mesir: Maktabah al-Syurûq al-
Dawliyyah, 2008), cet. Ke-4, h. 1107. 53
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid II, h. 425.
50
4) Ayat berlafaz yad ditakwil oleh Nawawî al-Bantanî dengan
qudrah-irâdah dalam QS. Âli ‘Imrân: 73,54
al-Mulk: 1,55
dan Sâd:
75.56
QS. Âli ‘Imrân: 73.
Pada ayat di atas Nawawî al-Bantanî mentakwil lafaz yad
dengan qudrah (kuasa) dengan makna bahwa qudrah Allah Maha
Sempurna sehingga Allah berkuasa penuh dalam memberikan karunia
kepada siapapun yang Dia kehendaki.
QS. al-Mulk: 1.
Pada ayat di atas Nawawî al-Bantanî mentakwil lafaz yad
dengan qudrah (kuasa) dengan makna bahwa semua makhluk menjadi
ada karena kuasa Allah yang tersuci dari kebertubuhan, bertempat, dan
tersuci dari semua sifat-sifat makhluk.
54
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 134. 55
Ibid., Jilid II, h. 545. 56
Ibid., Jilid II, h. 322.
51
QS. Sâd: 75.
Pada ayat di atas, lafaz yad ditakwil dengan qudrah dan irâdah
dengan makna bahwasanya Iblis diciptakan dengan kuasa dan
kehendak Allah, yang menciptakannya dengan tanpa perantara bapak
dan ibu.
5) Ayat berlafaz yad ditakwil oleh Nawawî al-Bantanî dengan
qabdah dalam QS. Yâsîn: 83, dengan makna bahwa setiap kerajaan
beserta pembendaharaannya semua dalam genggaman kuasa Allah
Swt.57
6) Dan ayat berlafaz yad ditakwil oleh Nawawî al-Bantanî
dengan tasarruf dalam QS. Hadîd: 29, dengan makna bahwa karunia
itu urusan dan hak Allah Swt. yang Ia berikan kepada siapapun yang
Dia kehendaki.58
c. Berkenaan dengan istawâ (bersemayam)
Dalam al-Qur’an penggunaan kata istawâ yang disandarkan
kepada Allah Swt. berjumlah 9 ayat.
57
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid II, h. 296. 58
Ibid., Jilid II, h. 497.
52
Nawawî al-Bantanî ketika dihadapkan dengan term istawâ
beliau mentakwil dengan berbeda-beda penafsiran, yaitu:
1) Nawawî mentakwil istawâ dengan qasada (berkehendak),
setelah terciptanya bumi Allah hendak/bermaksud menciptakan langit.
Takwilan Nawawî seperti ini terdapat dalam QS.al-Bâqarah [2]: 2959
dan QS. Fussilat [41]: 11.60
QS.al-Bâqarah [2]: 29.
QS. Fussilat [41]: 11.
2) Selain qasada, Nawawî juga mentakwil lafaz istawâ dengan
istaulâ (menguasai), seperti dalam tafsiran QS. al-Ra'd [13]: 2.61
Pada ayat di atas Nawawî al-Bantanî mentakwil lafaz istawâ
dengan istaulâ dengan makna bahwa Allah menguasai ‘Arsy dengan
pemeliharaan dan pengaturanNya. Kemudian tampaklah pengaturan
59
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 14. 60
Ibid., Jilid II, h. 359. 61
Ibid., Jilid II,h. 552.
53
Allah pada ‘Arsy ini setelah Ia menciptakan langit. Nawawî al-
Bantanî juga menjelaskan bahwa lafaz istawâ merupakan sebuah
kinâyah dari makna telah berlakunya segala pengaturan dan hukum-
hukum.
3) Istawâ ditakwil dengan istaqâma (menjaga/mengamati),
seperti tafsirannya dalam QS. al-Sajadah [32]: 4, dengan makna
bahwa Allah Swt. menjaga atau mengamati kerajaanNya serta
mengaturnya dengan pengaturan yang sempurna.62
4) Dalam menafsirkan lafaz istawâ, Nawawî al-Bantanî
dominan mentakwilnya dengan tasarrafa (mengatur)63. Setelah Allah
menciptakan semua makhluk, Allah atur kerajaanNya itu dengan
pengaturan yang sempurna.64 Takwilan seperti ini terdapat dalam
tafsiran QS.al-A’râf [7]: 54,65
QS. Yûnus [10]: 3,66
QS. Tâhâ [20]: 5,67
QS. al-Furqân [25]: 59,68
dan QS. al-Hadîd [57]: 4.69
QS.al-A’râf [7]: 54.
62
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid II, h. 241. 63
Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia lengkap (Penerbit: Pustaka
Progressif, 1984), h. 775. 64
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid II, h. 138. 65
Ibid., Jilid I, h. 375. 66
Ibid., h. 478. 67
Ibid., Jilid II, h. 20. 68
Ibid., h. 137-138. 69 Ibid., h. 489.
54
QS. Yûnus [10]: 3.
QS. Tâhâ [20]: 5.
QS. al-Furqân [25]: 59.
55
QS. al-Hadîd [57]: 4.
B. al-Zamakhsyarî dan al-Kasysyâf Serta Penafsirannya Terhadap Ayat-
ayat Mutasyâbihât
1. Biografi dan Aktifitas Akademik al-Zamakhsyarî
Dalam penulisan nama al-Zamakhsyarî terdapat perbedaan.
Perbedaan tersebut berkisar pada mencantumkan atau tidak
mencantumkan nama kakek dan nama ayah dari kakeknya, dan perbedaan
dalam meletakkan nasab al-Khawârizmî dan al-Zamakhsyarî. al-Dzahabî
menulis nama lengkap al-Zamakhsyarî adalah Abû al-Qâsim Mahmûd ibn
‘Umar ibn Muhammad ibn ‘Umar al-Khawârizmî, al-Imâm al-Hanafî al-
Mu’tazilî. Sedangkan dalam kitab tafsirnya, al-Kasysyâf, tertulis nama
lengkap al-Zamakhsyarî adalah Abî al-Qâsim Mahmud ibn ‘Umar ibn
Muhammad al-Zamakhsyarî. Adapaun nama gelarnya adalah Jâr al-lâh
yang berarti tetangga Allah.70
Tokoh Mu’tazilah ini lahir pada hari Rabu, 27 Rajab 467 H atau 18
Maret 1075 M di Zamakhsyar, sebuah desa di wilayah Khawarizmi.71
Beliau berasal dari keluarga miskin dan taat beragama.72
Bapaknya adalah
seorang alim di kampung halamannya. Di kampung halamannya inilah
sejak kecil dia sudah belajar membaca, menulis, dan menghafal al-Qur’an
70
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/ Tafsir (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), h. 292. 71
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1993), Jilid V, h. 231. 72
Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki
(Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), h. 103.
56
melalui bimbingan orang tuanya. Kemudian, setelah remaja dia
meneruskan studinya ke Khawârizmî.73
Untuk mengetahui lebih dalam tentang biografi al-Zamakhsyarî
perlu diungkapkan tentang seting historisnya. Berdasarkan data sejarah,
dia hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang sedang mengalami
perpecahan yang kendali pemerintahannya sudah tak berada di tangan
khalifah Bani Abbas, tapi berada di tangan amîr al-umara yang pada
waktu itu berada di tangan Bani Saljuk. Pusat pemerintahannya pun sudah
tidak di Baghdad lagi. Sementara itu, pihak khalifah hanya sebagai simbol
belaka yang tidak mempunyai kebijakan dan kekuasaan politik.
Jika dasar-dasar pemerintahan Bani Abbas diletakkan dan
dibangun oleh Abu al-Abbâs dan Abu Ja’far al-Mansûr, maka puncak
keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah berikutnya. Yaitu
pada masa al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775-786 M), Harun al-Rasyîd
(786-809 M), al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tasim (833-842 M), al-
Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).74
Pada masa
merekalah Bani Abbas berada dalam puncak kejayaan. Banyak bidang
kehidupan mengalami perkembangan pesat, seperti kesejahteraan sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, serta
kesusasteraan. Pada pemerintahan Bani Abbas periode pertama lahir
tokoh-tokoh madzhab fikih yang popular seperti Imam Abu Hanîfah (700-
767 M), Imâm Mâlik (713-795 M), Imâm Syafi’i (767-820 M), dan Imâm
73
Muhammad Nashuha, “Pemikiran Teologi al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyâf”,
Laporan Penelitian Individu (Semarang: Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, 2011), h. 58. 74
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h.
52.
57
Ahmad ibn Hanbal (780-855 M). Selain itu, aliran teologi juga
bermunculan, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Penulisan
hadis dan satra pun berkembang pesat pada masa ini.75
Namun, pada masa pemerintahan al-Mutawakkil, Bani Abbas
mulai mengalami disintegrasi yaitu setelah masuknya unsur Turki ke
dalam pemerintahan Bani Abbas. Pemerintahan di bawah kendali orang-
orang Turki dan khalifah Bani Abbas hanya sebagai simbol, tidak punya
wewenang apapun. Melihat kondisi seperti itu, para tokoh-tokoh daerah
bangkit memerdekakan diri dan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil. Jika
pada periode kedua dikuasai oleh Turki, maka setelahnya yaitu pada
periode ketiga, pemerintahan dikuasai oleh Bani Buwaih yang bermadzhab
Syi’ah. Pada masa ini muncul ilmuwan-ilmuwan besar seperti al-Farabi
(w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Farghani, Abd al-Rahman al-Sûfi
(w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu al-A’lâ al-Ma’arri (973-
1057 M), dan kelompok Ikhwân al-Safâ.76
Penguasaan Bani Buwaih atas Bani Abbas tidak bertahan lama dan
digantikan dengan Bani Saljuk di bawah kepemimpinan Thugruk Bek. Hal
ini menandai awal periode keempat pemerintahan Bani Abbas. Dalam
kekuasaan Bani Saljuk, posisi khalifah mendapat tempat yang lebih layak,
setidaknya wibawanya dalam bidang keagamaan dikembalikan setelah
dirampas oleh Bani Buwaih yang berorientasi Syi’ah. Saat dikuasai Bani
Saljuk, pusat pemerintahan Bani Abbas tidak lagi berada di kota Baghdad
seperti pada waktu pemerintahan Bani Abbas periode pertama. Pusat
75
Badri Yatim, Sejarah, h. 56-57. 76
Badri Yatim, Sejarah, h. 71.
58
pemerintahan dipindahkan Thugrul Bek ke Naisabur dan kemudian ke Rai.
Selain itu, kerajaan-kerajaan kecil yang sebelumnya memisahkan diri,
setelah ditaklukkan Thugrul Bek kembali mengakui kedudukan Baghdad.
Bahkan, mereka menjaga keutuhan dan keberadaan Bani Abbas untuk
membendung paham Syi’ah dan menyebarkan ajaran Sunni yang dianut
mereka.
Setelah Tughrul Bek (455 H/ 1063 M), kerajaan Bani Saljuk
berturut-turut diperintah oleh Alp Arselan, Maliksyah, Mahmûd,
Barkiyaruq, Maliksyah II, Abu Syuja’ Muhammad dan Abu Harîs Sanjar.
Pemerintahan Bani Saljuk ini dikenal dengan nama al-Salâjiqah al-Kubra
(Saljuk Agung). Pada waktu pemerintahan Alp Arselan, tentaranya
berhasil mengalahkan tentara Romawi yang besar yang terdiri dari tentara
Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis, dan Armenia.
Daerah kekuasaan Bani Saljuk sudah sangat luas ketika Maliksyah
menduduki kursi pemerintahan. Wilayahnya membentang dari Kasgor
(sebuah daerah di ujung wilayah Turki) sampai ke Yerussalem. Selain itu,
ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya juga mengalami kemajuan yan
pesat. Universitas Nizamiyah dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad
merupakan institusi-institusi pendidikan yang dibangun atas prakarsa
Nizhamul Mulk. Universitas Nizamiyah juga membuka cabang-cabang di
kota selain Baghdad.
Pada kondisi sosio-politik-kultural seperti itulah al-Zamakhsyarî
lahir dan tumbuh. Dia tumbuh di lingkungan keluarga yang taat beragama.
Perlu ditambahkan, bahwa pada periode Maliksyah dan perdana menteri
59
Nizâmul Mulk juga muncul tokoh-tokoh besar lainnya seperti Abu Hamîd
al-Ghazâlî yang merupakan salah seorang guru besar di Universitas
Nizamiyah, al-Qusyairî yang merupakan penulis kitab tasawuf Risâlat al-
Qusyairiyyah, Farid al-Dîn al-Atar dan ‘Umar Khayyâm yang ahli dalam
bidang sastra.77
Meskipun dalam aqidah al-Zamakhsyarî adalah seorang Mu’tazilî,
dalam bidang fikih dia mengikuti kajian fikih madzhab Hanafi yang
disampaikan oleh ad-Damaghani al-Syarîf ibn al-Sajari.78
Dari Baghdad
al-Zamakhsyarî menuju ke Mekkah dengan tujuan membersihkan diri dari
dosa-dosanya di masa lampau dan menjauhi penguasa serta menyerahkan
diri secara total kepada Allah. Dia di Mekah selama dua tahun dan waktu
yang cukup lama ini dia gunakan untuk mempelajari kitab Sibawaih yang
merupakan pakar ilmu nahwu yang sangat terkenal (w. 518 H). Setelah
dari Mekah, dia meluangkan waktu untuk berkunjung ke berbagai daerah
di jazirah Arab. Baru kemudian dia kembali ke kampung halamannya di
Khawarizmi.
Ketika al-Zamakhsyarî menyadari bahwa umurnya sudah tak lama
lagi, dia memutuskan untuk kembali lagi ke Mekah. Dia ke Mekah untuk
kedua kalinya pada 526 H dan menetap di sana sampai 529 H. Di Mekah,
dia bertempat di dekat Baitullah sehingga ia mendapat gelar jâr al-lâh.
Dari Mekah dia pergi lagi ke Bahgdad dan selanjutnya dia kembali ke
Khawarizmi. Setelah beberapa tahun berada di tanah airnya, ia wafat di
Jurjaniyah pada malam ‘Arafah tahun 538 H.
77
Muhammad Nashuha, Pemikiran, h. 62. 78
A. Rofiq (ed.), Studi, h. 45-46.
60
al-Zamakhsyarî hidup membujang. Sebagian besar waktunya
dihabiskan untuk ilmu dan menyebarluaskan faham yang dianutnya.79
2. Sekilas Tentang Tafsir al-Kasysyâf
a. Latar belakang Penulisan
Kitab tafsir yang berjudul al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq Ghawâmid al-
Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta'wîl ini mulai ditulis oleh al-
Zamakhsyarî ketika ia berada di Mekkah pada tahun 526 H dan selesai
pada hari Senin, 23 Rabi’ul Akhir 528 H.80
Alasannya menulis tafsir ini
adalah karena adanya permintaan yang menamakan diri mereka sebagai al-
Fi’ah al-Najiyyah al-‘Adiyyah. Kelompok ini adalah kelompok
Mu’tazilah. Dalam muqadimah tafsir al-Kasysyâf disebutkan sebagai
berikut: “…mereka menginginkan adanya sebuah kitab tafsir dan mereka
saya supaya mengungkapkan hakikat makna al-Qur’an dan semua kisah
yang terdapat didalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya”.81
Atas permintaan itulah, akhirnya al-Zamakhsyarî menulis kitab
tafsirnya itu. Dia mendiktekan kepada orang-orang yang meminta tersebut
mengenai fawâtih al-suwar dan beberapa pembahasan tentang hakikat-
hakikat surat al-Bâqarah. Ternyata penafsirannya ini mendapatkan
sambutan hangat dari berbagai negeri. Dalam perjalanannya yang kedua ke
Mekah, banyak tokoh yang dijumpainya menyatakan keinginannya untuk
mendapatkan karyanya tersebut.82
Bahkan, setelah ia tiba di Mekah, ia
79
A. Rofiq (ed.), Studi, h. 47. 80
Abû al-Qâsim Jâr al-lâh Mahmûd ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyarî, al-
Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta'wîl (Beirût: Dâr al-
Kutub Ilmiyyah, 1995), Jilid IV, h. 820. 81
A. Rofiq (ed.), Studi, h. 48. 82
Muhammad Nashuha, Pemikiran, h. 68.
61
diberi tahu bahwa pemimpin pemerintahan Mekkah, Ibn Wahhâs,
bermaksud mengunjunginya di Khawarizm untuk memperoleh kitab
tafsirnya itu. Melihat semua respon tersebut, al-Zamakhsyarî menjadi
bersemangat untuk memulai menulis tafsirnya, meskipun dalam bentuk
yang lebih ringkas dari yang ia diktekan sebelumnya.83
Penafsiran yang ditempuh al-Zamakhsyarî dalam kitab tafsirnya ini
sangat menarik karena uraiannya singkat tapi jelas. Sehingga para ulama
Mu’tazilah mengusulkan agar tafsir tersebut dipresentasikan pada para
ulama Mu’tazilah dan mengusulkan agar penafsirannya dilakukan dengan
corak i’tizâlî, dan hasilnya adalah tafsir al-Kasysyâf yang ada sekarang
ini.84
Kitab ini terdiri dari empat jilid dan dicetak oleh percetakan al-
Istiqâmah di Kairo pada 1953 M. Kemudian pada tahun 1968, tafsir al-
Kasysyâf dicetak ulang pada percetakan Mustafâ al-Bâbi al-Halabi di
Mesir.85
Jilid pertama diawali dengan surat al-Fâtihah dan diakhiri dengan
surat al-Mâidah. Jilid kedua dimulai dengan surat al-An’âm dan diakhiri
dengan surat al-Kahf. Jilid ketiga diawali dengan surah Maryam dan
diakhiri dengan surat Fâtir. Jilid keempat berisi tafsir surah Yâsîn sampai
surat al-Nâs. Bersama kitab ini di hamis-nya ditulis kitab al-Intisâf karya
Ahmâd ibn Munîr al-Iskandari, kitab al-Kâfî al-Syâfî fî Takhrîj Ahadîts al-
Kasysyâf tentang takhrîj hadis-hadis yang terdapat dalam al-Kasysyâf
karya Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Hasyiyyah Syaikh Muhammad ‘Ulyan al-
Marzuqî ‘alâ Tafsîr al-Kasysyâf karya Syaikh Marzuqî, serta Masyâhid al-
83
A. Rofiq (ed.), h. 48. 84
A. Rofiq (ed.), Studi, h. 49. 85
Muhammad Nashuha, Pemikiran, h. 68.
62
Insâf ‘alâ Syawâhid al-Kasysyâf karya Syaikh Muhammad ‘Ulyan al-
Marzuqî.
b. Metode dan Corak Penafsiran
Tafsir al-Kasysyâf disusun dengan tartib mushafi, yaitu
berdasarkan urutan ayat dan surah dalam Mushaf ‘Utsmani, yang terdiri
dari 30 juz dan 114 surah, dimulai dari al-Fâtihah dan diakhiri dengan
surah al-Nâs. Setiap surat diawali basmalah kecuali surah al-Taubah.
Dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Zamakhsyarî lebih dahulu
menuliskan ayat al-Qur’an yang hendak ditafsirkan, kemudian memulai
penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional yang didukung
dengan dalil-dalil dari riwayat atau ayat al-Qur’an, baik yang berhubungan
dengan sabâb al-nuzûl suatu ayat atau dalam hal penafsiran ayat.
Meskipun begitu, ia tak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Kalau
ada riwayat yang mendukung penafsirannya maka ia akan mengambilnya,
jika tidak ada riwayat ia akan tetap melakukan penafsiran.86
Metode yang digunakan al-Zamakhsyarî adalah metode tahlîli.
Metode tahlîli atau yang menurut Muhammad Baqir Sadr sebagai metode
tajzi'i (al-ittijâh al-tajzî’iy) adalah suatu metode penafsiran yang berusaha
menjelaskan al-Qur'an dengan menguraikan berbagai seginya dan
menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al-Qur'an. Seorang mufasir
menafsirkan al-Qur'an sesuai dengan tertib susunan al-Qur'an mushaf
Usmani, menafsirkan ayat demi ayat kemudian surah demi surah dari awal
surah al-Fâtihah sampai akhir surah al-Nâs. la menguraikan kosa kata dan
86
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), h. 50.
63
lafaz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan
kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’jâz, balâghah dan keindahan susunan
kalimat, menjelaskan apa yang dapat diistinbatkan dari ayat yaitu hukum
fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, akidah atau
tauhid, perintah, larangan, janji, ancaman, hakikat, majaz, kinayah, serta
mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surah
sebelum dan sesudahnya. Penafsir juga merujuk pada sebab-sebab turun
ayat (asbâb al-nuzûl), hadis-hadis Rusulullah saw., dan riwayat dari para
sahabat dan tabi'in.87
Seperti yang telah disebutkan bahwa dalam melakukan penafsiran,
al-Zamakhsyarî lebih mengutamakan penafsiran rasional maka tafsir al-
Kasysyâf bisa digolongkan tafsir bi al-ra`yi. Bahkan menurut Hasbie ash-
Shidqie tafsir al-Kasysyâf merupakan puncak tafsir bi al-ra`yi pada
masanya.88
Meskipun bercorak bi al-ra`yi, al-Zamakhsyarî dalam tafsirnya
masih menggunakan riwayat sebagai pendukung penafsirannya. Namun,
karena al-Zamakhsyarî tidak begitu menguasai ilmu hadis, ia tidak bisa
begitu mengkritisi beberapa hadis. Karena itu, dalam tafsir al-Kasysyâf
terdapat hadis-hadis maudu’ yaitu hadis-hadis tentang keutamaan surah.
Ibn Hajar al-‘Asqalânî merasa tergerak untuk meneliti hadis-hadis yang
terdapat dalam al-Kasysyâf dan hasil penelitiannya ini dituangkan dalam
karyanya al-Kâfî al-Syâfî. Buku ini dapat dibaca dalam hamis-nya tafsir
al-Kasysyâf yang diterbitkan oleh penerbit al-Istiqamah Kairo yang
87
Akhmad Arif Junaidi, Pembaruan Metodologi Tafsir al-Qur’an: Studi atas Pemikiran
Tafsir kontekstual Fazlur Rahman (Semarang : Gunung Jati, 2001), h. 27. 88
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/ Tafsir (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), h. 245.
64
diterbitkan pada tahun 1953 M.89
Meskipun begitu, di dalam tafsir al-
Kasysyâf tidak terdapat dongeng-dongeng Isra’iliyat yang sering dijumpai
pada tafsir-tafsir bi al-ma`qûl.90
Contoh penafsiran bi al-ra`yi dengan metode tahlili dalam tafsir al-
Kasysyâf dapat dilihat pada penafsian Q.S. al-Bâqarah/ 2: 115,
.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun
kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.91
(wa li al-lâh al-masyriq wa al-magrib) menurut
al-Zamakhsyarî adalah timur dan barat, serta seluruh penjuru bumi,
semuanya milik Allah. Dia yang memiliki dan menguasai seluruh alam.
(fa’ainamâ tuwallû) maksudnya kemanapun manusia menghadap
Allah, hendaknya menghadap kiblat sesuai dengan firman Allah dalam
Q.S. al-Bâqarah[2]: 144.
.
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit,
maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-
89
Muhammad Nashuha, Pemikiran, h. 68. 90
Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1985), h. 390. 91
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971).
65
orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitâb (Taurat dan Injil)
memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah
benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang
mereka kerjakan”.92
(fatsamm wajh al-lâh) menurut al-Zamakhsyarî
maksudnya di tempat (Masjid al-Harâm) itu ada Allah, yaitu tempat yang
disenangi-Nya dan manusia diperintahkan untuk menghadap Allah pada
tempat tersebut. Maksud ayat di atas adalah apabila seorang muslim akan
melakukan shalat dengan menghadap Masjid al-Harâm dan Bait al-
Maqdis, akan tetapi dia ragu akan arah yang tepat untuk menghadap ke
arah tersebut, maka Allah memberikan kemudahan kepadanya untuk
menghadap ke arah manapun dalam shalat, dan di tempat manapun
sehingga ia tak terikat oleh lokasi tertentu.93
Asbâb al-nuzûl ayat ini menurut Ibn ‘Umar berkenaan dengan
shalat musafir di atas kendaraan, ia menghadap ke arah mana
kendaraannya menghadap. Tetapi menurut ‘Atâ`, ayat ini turun ketika
tidak diketahui arah kiblat oleh suatu kaum, lalu mereka shalat ke arah
yang berbeda-beda (sesuai keyakinan masing-masing). Setelah pagi hari
ternyata mereka salah menghadap kiblat, kemudian mereka
menyampaikan peristiwa tersebut kepada Nabi lalu turunlah ayat ini. Ada
92
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971). 93
Abî al-Qâsim Mahmud ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an
Haqâiq Ghawâmid al-Tanzîl (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Arabî, 1407 H), Jilid I, h. 180.
66
juga yang berpendapat bahwa kebolehan menghadap mana saja itu adalah
dalam berdoa, bukan dalam shalat.94
Selain bercorak bi al-ra`yi, tafsir al-Kasysyâf juga bercorak sastra
bahasa. Ini dikarenakan al-Zamakhsyarî adalah seorang yang ahli dalam
bahasa Arab yang meliputi sastranya, balaghah-nya, nahwunya atau
gramatikanya, maka tidak mengherankan kalau keahliannya itu mewarnai
penafsirannya. Subhi as-Salih menyatakan bahwa tafsir al-Kasysyâf
mempunyai aspek keutamaan dalam mengetengahkan aspek balaghah dan
membuktikan beberapa bentuk i’jâz dengan cara adu argumentasi.95
Aspek nahw dan gramatika juga sangat kental dalam tafsir ini.
Sebagai contoh, berkenaan dengan masalah damîr (kata ganti). Ketika
menafsirkan Q.S. al-Bâqarah [2]: 23,
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur`an yang
Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat
(saja) yang semisal al-Qur`an itu dan ajaklah penolong-penolongmu
selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.96
Menurut al-Zamakhsyarî, kembalinya damîr (kata ganti) hi pada
kata (mitslih) adalah pada kata (mâ nazzalnâ) atau pada kata
(‘abdinâ). Tetapi, yang lebih kuat adalah damir itu kembali pada kata
(mâ nazzalnâ) sesuai dengan maksud ayat tersebut, sebab yang
94
al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid I, h. 180. 95
Subhi al-Salih, Membahas, h. 390. 96
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971).
67
dibicarakan dalam ayat tersebut adalah al-Qur’an, bukan Nabi
Muhammad.97
Tafsir al-Kasysyâf juga bisa dimasukkan ke dalam tafsir yang
bercorak teologi. Ini dikarenakan al-Zamakhsyarî yang merupakan salah
satu tokoh Mu’tazilah dan penafsirannya mendukung mazhab yang
dianutnya. Jika ia menemukan dalam al-Qur’an suatu lafaz yang kata
lahirnya tidak sesuai dengan pendapat Mu’tazilah, ia berusaha dengan
segenap kemampuannya untuk membatalkan makna lahir dan menetapkan
makna lainnya yang terdapat dalam bahasa. Contohnya ketika ia
menafsirkan Q.S. al-Qiyâmah [75]: 22-23.
“22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-
seri. 23. kepada Tuhannyalah mereka melihat”.
al-Zamakhsyarî mengesampingkan makna lahir kata
(nâzirah) yaitu melihat, sebab menurut Mu’tazilah Allah tidak dapat
dilihat. Oleh karena itu, kata (nâzirah) diartikan dengan al-rajâ’
(menunggu, mengharapkan).98
3. Penafsiran al-Zamakhsyarî Terhadap Ayat-ayat Mutasyâbihât
a. Berkenaan dengan wajh (wajah)
al-Zamakhsyarî mentakwil lafaz wajh dengan beberapa
makna, yaitu:
97
al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid I, h. 96. 98
Ibid., Jilid IV, h. 662.
68
1) Amr (perintah) dan 2) al-Ridâ (keridhaan), al-
Zamakhsyarî mentakwil wajh dengan al-ridâ dan amr pada ayat
QS. al-Bâqarah [2]: 115, dengan makna arah yang diperintah dan
diridhai Allah.99
3) al-Dzât (dzat atau hakikat), al-Zamakhsyarî mentakwil
wajh dengan al-dzât pada ayat QS. al-An'âm [6]: 52,100
dan QS. al-
Qasas [28]: 88.101
QS. al-An'âm [6]: 52.
Pada ayat di atas al-Zamakhsyarî mentakwil wajh dengan
al-dzât dengan makna bahwa lafaz wajh pada ayat di atas
merupakan sebuah ungkapan dari makna dzat dan hakikat sesuatu.
QS. al-Qasas [28]: 88.
(
4) al-Ikhlas dan 5) al-taqarrub, al-Zamakhsyarî mentakwil
wajh dengan al-ikhlas dan al-taqarrub pada ayat dan QS.al-Rûm
[30]: 38.102
99
al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid I, h. 180. 100
Ibid., Jilid II, h. 27. 101
Ibid., Jilid III, h. 437. 102 Ibid., Jilid III, h. 481.
69
b. Berkenaan dengan yad (tangan)
al-Zamakhsyarî, ketika dihadapkan dengan ayat-ayat yg
terdapat lafaz yad cenderung memberikan penjelasan bahwa lafaz
yad merupakan bentuk majaz (metafor) dari sebuah makna lain
yang berbeda dari makna asalnya. Berikut takwilan yad oleh al-
Zamakhsyarî:
1) Di dalam QS. Sâd ayat 75 al-Zamakhsyarî mentakwil
lafaz yad dengan majaz yang bermakna penciptaan dengan tanpa
perantara.103
2) Di dalam QS. al-Mâidah ayat 64, lafaz yad ditakwil
dengan majaz yang bermakna sifat bukhl (pelit), dan jûd
(dermawan).104
3) Di dalam QS. al-Fath ayat 10 lafaz yad ditakwil dengan
majaz yang bermakna tangan Rasulullah bukan tangan Allah
103
al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid IV, h. 107. 104
Ibid., Jilid I, h. 654.
70
karena Allah tersuci dari pada sifat-sifat kebertubuhan dan dari
segala sifat-sifat benda, dengan makna bahwa akad penjanjian atau
persetujuan dengan Nabi itu seperti akad perjanjian dengan Allah
dari tanpa perbedaan di antara keduanya. Membuat perjanjian
dengan Nabi berarti membuat perjanjian dengan Allah. Seperti
firman Allah “siapa orang yang taat kepada Rasul maka sungguh ia
telah pula taat kepada Allah”.105
c. Berkenaan dengan istawâ (bersemayam)
Dalam menafsirkan lafaz istawâ, al-Zamakhsyarî dominan
melewati ayat ini tanpa mentakwilnya. Dari Sembilan ayat lafaz
istawâ hanya dua ayat yang ditafsirkannya yaitu QS. al-Bâqarah:
29 (al-i’tidâl, al-istiqâmah, qasada)106
dan QS. Fusilat: 11 ditakwil
dengan istaqama dan imtadda.107
QS. al-Bâqarah: 29.
105
al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid IV, h. 335. 106
Ibid., Jilid I, h. 123. 107
Ibid., Jilid IV, h. 189.
71
QS. Fusilat: 11.
)
Pada ayat di atas al-Zamakhsyarî mentakwil lafaz istawâ
dengan istaqama dan imtadda dengan makna tegak dan lurus
sebagaimana antonim dari kata bengkok. Lurus dengan tidak
menoleh kepada yang lain.
72
BAB IV
ANALISA KOMPARATIF PENAFSIRAN NAWAWÎ AL-BANTANÎ DAN AL-
ZAMAKHSYARÎ
Adanya persamaan dan perbedaan dalam hasil pemikiran merupakan suatu
keniscayaan. Oleh karena itu, adalah suatu yang pasti jika terdapat persamaan dan
perbedaan dalam penafsiran yang dilakukan Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî
terhadap ayat-ayat mutasyâbihât. Sebagaimana telah dipaparkan satu persatu
penafsiran yang dilakukan Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî terhadap ayat-ayat
mutasyâbihât pada bab sebelumnya, maka pada bab ini akan dipaparkan beberapa
persamaan dan perbedaan penafsiran mereka.
A. Persamaan Penafsiran Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî Terhadap
Ayat-ayat Mutasyâbihât
1. Persamaan Penafsiran terhadap Ayat-ayat Wajh
Mengenai penafsiran mereka terhadap ayat-ayat mutasyâbihât terdapat
persamaan antara Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî. Persamaan itu dapat
dilihat ketika mereka menafsirkan QS. al-Qasas : 88.
“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan
apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia.
73
tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan,
dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.1
Pada ayat ini, Nawawî al-Bantanî tidak banyak memberikan komentar
terkait pentakwilan lafaz wajh dalam tafsirnya, beliau to the poin mentakwil
lafaz wajh dengan Dzat Allah Ta’ala.2 Hal ini serupa dengan pentakwilan al-
Zamakhsyarî, dia juga tidak banyak memberikan komentar terkait lafaz wajh
pada ayat ini, al-Zamakhsyarî juga mentakwil lafaz wajh dengan Dzat Allah
Ta’ala.3
Takwilan yang serupa antara Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî
terkait lafaz wajh juga terdapat dalam QS. al-Rahmân : 27.
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan”.4
Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî terkait pentakwilan lafaz wajh
pada ayat di atas juga sama-sama mentakwilnya dengan Dzat Allah.5
1 Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971).
2 Muḥammad Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd li Kasyf Ma’ânî al-Qur`ân al-Majîd, Cet I,
(Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H), Jilid II, h. 209. 3 Abû al-Qâsim Jâr al-lâh Mahmûd ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf
‘an Haqâiq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta'wîl, (Beirût: Dâr al-Kutub
Ilmiyyah, 1995), Jilid III, h. 473. 4 Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971).
5 Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid II, h. 447. lihat juga al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid
IV, h. 446.
74
2. Persamaan Penafsiran terhadap Ayat-ayat Yad
Secara tekstual, pentakwilan Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî
terhadap ayat-ayat berlafaz yad banyak berbeda, namun ditemukan persamaan
pentakwilan mereka dalam QS. al-Mâidah : 64.
“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu",
sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila'nat
disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (tidak demikian), tetapi kedua-
dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. dan
al-Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan
menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan
Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai
hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah
memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak
menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.”6
6 Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971).
75
Pada ayat ini, Nawawî al-Bantanî banyak mengutip pendapat mufasir,
diantaranya pendapat Ibn Abbas, ‘Ikrimah, al-Dahak, dll. yang pada intinya
adalah mentakwil ayat atau lafaz yad sebagai sebuah majaz dari sifat al-bukhl
(pelit) bukan makna yad secara tekstual.7
Hal ini serupa dengan pentakwilan al-Zamakhsyarî, bahwa terbelenggu
dan terbentangnya tangan pada ayat ini merupakan majaz atau kiasan dari sifat
al-bukl (pelit) dan al-jûd (dermawan).8
3. Persamaan Penafsiran terhadap Ayat-ayat Istawâ
Secara tekstual, pentakwilan Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî
terhadap ayat-ayat berlafaz istawâ hampir semuanya berbeda dikarenakan
banyak ayat dalam hal ini yang ditakwil Nawawî al-Bantanî tetapi al-
Zamakhsyarî tidak mentakwilnya (tidak ada penjelasan), namun ada satu ayat
ditemukan persamaan pentakwilan mereka dalam QS. al-Bâqarah: 29.
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.
Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”9
Pada ayat ini, Nawawî al-Bantanî tidak banyak memberikan komentar
terkait pentakwilan lafaz istawâ dalam tafsirnya, Nawawî mentakwil lafaz
7 Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 281.
8 al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid I, h. 654-656.
9 Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971).
76
istawâ dengan qasada (bermaksud), istawâ bermakna bahwa Allah bermaksud
menciptakan langit.10
Begitupun al-Zamakhsyarî, pada ayat ini lafaz istawâ
bermakna qasada.11
B. Perbedaan Penafsiran Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî Terhadap
Ayat-ayat Mutasyâbihât
1. Perbedaan Penafsiran terhadap Ayat-ayat Wajh
Sejauh penelusuran penulis, sekurang-kurangnya terdapat empat ayat
dalam surah yang berbeda terkait perbedaan redaksi penafsiran ayat-ayat
mutasyâbihât (wajh) oleh Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî. Perbedaan
redaksi penafsiran tersebut terdapat dalam QS. al-Bâqarah: 115, QS. al-
Bâqarah: 272, QS. al-An’âm: 52, dan QS. al-Ra’d: 22.
1) QS. al-Bâqarah: 115.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-
Nya) lagi Maha Mengetahui”.12
Pada ayat di atas Nawawî al-Bantanî mentakwil lafaz wajh al-lâh
dengan qiblat al-lâh dan mardât al-lâh.13
Sedangkan al-Zamakhsyarî
mentakwilnya dengan jihat amarabihâ (arah yang Allah ridhai).14
10 Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 14.
11 al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid I, h. 123.
12 Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971).
13 Nawawî al-Jâwî, Marâḥ, Jilid I, h. 41.
14 al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid I, h. 180.
77
2) QS. al-Bâqarah: 272.
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan
tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan
Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu
membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa
saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi
pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya
(dirugikan).15
Pada ayat di atas tidak ditemukan takwilan Nawawî al-Bantanî terhadap
lafaz wajh al-lâh.16
Sedangkan al-Zamakhsyarî mentakwil lafaz wajh al-lâh
dengan ‘indahu (di sisi Allah).17
15
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971). 16
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 100-101. 17
al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid I, h. 317.
78
3) QS. al-An’âm: 52.
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya
di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya. Kamu
tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan
merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu,
yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk
orang-orang yang zalim)”.18
Pada ayat ini Nawawî al-Bantanî mentakwil lafaz wajh dengan
mahabbah dan ridâ yang bermakna ikhlas semata-mata karena Allah.19
Sedangkan al-Zamakhsyarî mentakwil lafaz wajh dengan dzât dan haqîqat Al-
lâh.20
4) Dan QS. al-Ra’d: 22.
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya,
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada
18
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971). 19
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 320. 20
al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid II, h. 27.
79
mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan
dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang
baik)”.21
Pada ayat di atas Nawawî al-Bantanî mentakwil lafaz wajh al-lâh
dengan talaban li ridâhu (mencari ridha Allah).22
Sedangkan al-Zamakhsyarî
mentakwil lafaz wajh al-lâh dengan ‘ind al-lâh (di sisi Allah).23
2. Perbedaan Penafsiran terhadap Ayat-ayat Yad
Dalam hal ini hampir semua berbeda redaksi penafsiran antara Nawawî
al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî terkait penafsiran mereka terhadap ayat-ayat
mutasyâbihât (yad). Sejauh penelusuran penulis semua redaksi penafsirannya
berbeda, cuma satu ayat yang redaksi penafsirannya sama yaitu dalam QS. al-
Mâidah : 64. Redaksi penafsiran mereka yang berbeda yaitu terdapat dalam QS.
al-Fath: 10, QS. Âli ‘Imrân: 73, QS. Yâsîn: 83, QS. al-Mulk: 1, QS. Sâd: 75,
dan QS. al-Hadîd: 29.
1) QS. al-Fath: 10.
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu.
Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan
21
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971). 22
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 558. 23
al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid II, h. 256.
80
mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia
melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati
janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”24
Pada ayat ini Nawawî al-Bantanî mentakwil lafaz yad dengan ni’mat,
nusrah (pertolongan), dan Nawawî juga mengutip sebuah pendapat yang
mentakwil lafaz yad dengan hifz (pemeliharaan).25
Sedangkan al-Zamakhsyarî
mentakwil lafaz yad dengan yad al-rasûl al-lâh. Menurut al-Zamakhsyarî,
Allah tersucikan dari kebertubuhan dan juga tersuci dari sifat-sifat kebendaan.
Oleh karena itu, yang dimaksud yad al-lâh pada ayat ini adalah tangan Rasul
bukan tangan Allah, melakukan akad dengan Rasul sama halnya melakukan
akad dengan Allah, al-Zamakhsyarî mendatangkan misal dalam hal ini seperti
ayat ketaatan, taat kepada Rasul berarti juga taat kepada Allah, begitupun
sebaliknya.26
2) QS. Âli ‘Imrân: 73.
“Dan janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti
agamamu. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah
24
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971). 25
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid II, h. 425. 26
al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid IV, h. 335.
81
petunjuk Allah, dan (janganlah kamu percaya) bahwa akan diberikan kepada
seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan (jangan pula kamu
percaya) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu".
Katakanlah: "Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan
karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Luas
karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui".27
Pada ayat di atas Nawawî al-Bantanî mentakwil lafaz yad al-lâh dengan
qudrah.28
Sedangkan dalam tafsir al-Zamakhsyarî, pada ayat di atas tidak
ditemukan takwilannya terhadap lafaz yad al-lâh .29
3) QS. Yâsîn: 83.
“Maka Maha suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala
sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.30
Pada ayat ini Nawawî al-Bantanî mentakwil lafaz yad dengan qudrah.31
Sedangkan al-Zamakhsyarî mentakwil lafaz yad dengan mâlik yang bermakna
kepemilikan segala sesuatu.32
4) QS. al-Mulk: 1.
27
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971). 28
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 134. 29
al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid I, h. 372. 30
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971). 31
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 320. 32
al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid II, h. 27.
82
“Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu”.33
Pada ayat ini Nawawî al-Bantanî juga mentakwil lafaz yad dengan
qudrah.34
Sedangkan al-Zamakhsyarî mentakwil lafaz yad sebagai majaz dari
makna sebuah kekuasaan yang meliputi segala kerajaan (al-ihâtah bi al-
mulk/al-istîlâ` ‘alaih).35
5) QS. Sâd: 75.
“Allah berfirman: "Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud
kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu
menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang
(lebih) tinggi?".36
Pada ayat ini Nawawî al-Bantanî juga mentakwil lafaz yad dengan
qudrah dan iradah.37
Sedangkan al-Zamakhsyarî mentakwil lafaz yad dengan
majaz yang bermakna penciptaan dengan tanpa perantara.38
33
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971). 34
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 320. 35
al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid II, h. 27. 36
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971). 37
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid I, h. 320. 38
al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid II, h. 27.
83
6) Dan QS. al-Hadîd: 29.
“(Kami terangkan yang demikian itu) supaya ahli kitab mengetahui
bahwa mereka tiada mendapat sedikitpun akan karunia Allah (jika mereka
tidak beriman kepada Muhammad), dan bahwasanya karunia itu adalah di
tangan Allah. Dia berikan karunia itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan
Allah mempunyai karunia yang besar”.39
Pada ayat di atas Nawawî al-Bantanî mentakwil lafaz yad al-lâh dengan
tasarruf.40
Sedangkan dalam tafsir al-Zamakhsyarî, pada ayat di atas tidak
ditemukan takwilannya terhadap lafaz yad al-lâh .41
3. Perbedaan Penafsiran terhadap Ayat-ayat Istawâ
Seperti perbedaan penafsiran ayat-ayat yad, dalam hal ini juga hampir
semua berbeda redaksi penafsiran antara Nawawî al-Bantanî dan al-
Zamakhsyarî terkait penafsiran mereka terhadap ayat-ayat mutasyâbihât
(istawâ). Sejauh penelusuran penulis juga semua redaksi penafsirannya
berbeda, cuma satu ayat yang redaksi penafsirannya sama yaitu dalam QS. al-
Bâqarah: 29 dengan takwilan qasada. Beberapa redaksi penafsiran mereka yang
berbeda yaitu terdapat dalam QS. al-A’râf: 54, QS. Yûnus: 3, QS. al-Ra’d: 2,
QS. Tâhâ: 5, QS. al-Furqân: 59, QS. al-Sajadah: 4, QS. Fussilat: 11, dan QS. al-
39
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971). 40
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid II, h. 497. 41
al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid IV, h. 483.
84
Hadîd: 4. Dikatakan berbeda karena banyak dalam beberapa ayat ini yang
ditakwil oleh Nawawî al-Bantanî namun tidak ditakwil oleh al-Zamakhsyarî.
Ada satu ayat yang ditakwil oleh keduanya dengan takwilan yang berbeda yaitu
dalam QS. Fussilat: 11.
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih
merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah
kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa".
keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".42
Pada ayat ini Nawawî al-Bantanî mentakwil lafaz istawâ dengan qasada
(bermaksud) yang bermakna bahwa Allah bermaksud menciptakan langit
setelah Allah menciptakan bumi.43
Sedangkan al-Zamakhsyarî mentakwil lafaz
istawâ dengan istaqâma dan imtadda, sebagai antonim dari al-i’wijâj
(bengkok).44
42
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: YPPA, 1971). 43
Nawawî al-Jâwî, Marâḥ labîd, Jilid II, h. 359. 44
al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Jilid IV, h. 189.
85
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berawal dari rumusan masalah “Bagaimana perbandingan penafsiran
Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî terhadap ayat-ayat mutasyâbihât?” dan
setelah dilakukan penelitian, penulis berkesimpulan bahwa:
1. Ada persamaan penafsiran Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî
terhadap ayat-ayat mutasyâbihât. Keduanya sama-sama mensucikan
Allah dari sifat-sifat keserupaan dengan makhluk sehingga ayat-ayat
mutasyâbihât mereka anggap sebagai bagian dari ayat-ayat yang harus
ditakwilkan kepada makna yang layak bagi kesucian Allah.
2. Ada perbedaan antara penafsiran Nawawî al-Bantanî dan al-Zamakhsyarî
terhadap ayat-ayat mutasyâbihât. Perbedaan tersebut hanya dalam bentuk
redaksi makna pentakwilannya saja. Ada yang sama, juga banyak yang
berbeda redaksi makna pentakwilannya. Dan juga terkadang Nawawî al-
Bantanî lebih rinci dalam mentakwil, terdakang juga al-Zamakhsyarî
yang lebih rinci bahkan banyak juga beberapa ayat yang tidak
ditakwilkan oleh al-Zamakhsyarî.
B. SARAN
Pembahasan yang penulis angkat, merupakan pembahasan yang selalu
menarik dan luas untuk dibicarakan terbukti dari banyaknya perdebatan dari
berbagai ulama madzhab atau golongan dengan pendapat dan argumentasinya
masing-masing, baik melalui buku-buku bahkan di media sosial sekarang ini.
86
Jika dikemudian hari ada peneliti yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut,
penulis berharap peneliti tersebut dapat lebih membahasnya secara detail dari
setiap bagian bahasan, serta dapat memberikan informasi baru yang mungkin
belum pernah dibahas. Sehingga hal tersebut dapat menambah khazanah bagi
para pembaca, khususnya bagi yang ingin mengetahui lebih jauh bagaimana para
ulama tafsir menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât dalam al-Qur’an .
87
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin. I’tiqad Ahlussunnah wa al-Jama’ah, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1979.
Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013, Cet II.
Amin, Ma’ruf dan Ch., M. Nashruddin Anshari. Pemikiran Syaikh Nawawî al-
Bantanî, Jakarta: Pesantren, vol. VI, no. I, 1989.
Amin, Syamsul Munir. Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani,
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009.
ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/ Tafsir, Jakarta:
Bulan Bintang, 1980.
al-‘Asy’arî, Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismâ’îl ibn Ishâq. al-Ibânah ‘an Usûl al-
Diniyah, Kairo: Dâr al-Ansâr, t.th.
Ayyub, Hasan. al-Hadits fî ‘Ulûm al-Qur’ân wa al-Hadits, Kairo: Dâr al-Salâm,
2002.
Baidan, Nashiruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998.
Bakker, Anton dan Zubair, Achmad Charis. Metodologi Penelitian Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Boullata, Issa J. Al-Qur’an yang Menakjubkan: Bacaan Terpilih dalam Tafsir
Klasik Hingga Modern dari Seorang Ilmuan Katolik, diterjemahkan
dari buku aslinya: I’jaz al-Qur’ân al-Karîm ‘Abra al-Tarikh, oleh
Bachrum B., Taufik A.D., dan Haris Abd. Hakim. Tangerang: Lentera
Hati, 2008, Cet I.
Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi
Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, Cet. 3, 1999.
88
Buchori, Didin Saefuddin. Pedoman Memahami Kandungan al-Qur’an, Bogor:
Granada Sarana Pustaka, 2005, Cet I.
Chaidar, Sejarah Pujangga Islam, Syech Nawawi Albanteni Indonesia, Jakarta:
CV. Sarana Utama, 1978.
Departmen Agama, al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta: Yamunu, l97O.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, cet. 2, Jilid 4, 1984.
Djalal, Abd. Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
Dolfier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai,
Jakarta: LP3eS, Cet. 4, 1985.
al-Fanîsân, Su’ud ibn ‘Abdullah. Ikhtilâf al-Mufassirîn Asbâbuh wa Âtâruh,
Riyad: Dâr Syabîliyâ,1997.
al-Farmawi, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Maudu’I dan Cara Penerapannya, terj.
Rosihon Anwar, Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Fateh, Kholil Abu. Studi Komprehensif Tafsir ISTAWA, Jakarta: Syahamah Press,
2010.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offet, 1995.
Hafiduddin, Didin. “Tinjauan atas Tafsir al-Munîr Karya Imâm Muĥammad
Nawawî Tanara”, dalam Ahmad Rifa’i Hasan, Warisan Intelektual
Islam Indonesia: Telaah atas Karyakarya Klasik, Bandung: Mizan,
1987.
Hanafi, Muhammad. “Pemikiran Kalam Imâm Nawawî al-Bantanî dalam Kitab
Qatr al-Gaits: Tahqîq dan Dirâsah”. Tesis S2, 2010.
al-Hasanî, Muhammad ibn ‘Alawî al-Mâliki. Samudra Ilmu-ilmu al-Qur’an:
Ringkasan Kitab al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân Karya al-Imâm Jalâl al-
Dîn al-Suyutî, diterjemahkan dari buku aslinya, Zubdah al-Itqân fî
89
‘Ulûm al-Qur’ân, oleh Tarmana Abdul Qosim. Bandung: Arasy PT
Mizan Pustaka, 2003, Cet I.
Hermawan, Acep. Ulumul Qur’an Ilmu untuk Memahami Wahyu. Bandung:
Rosda Karya, 2011.
‘Itr, Nûr al-Dîn. ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, Damaskus: Matba’ah al-Sabâh, 1993.
al-Jabbâr, ‘Abd. Syarh al-Usûl al-Khamsah, Beirût: Maktabah Wahbah, 1988.
al-Jâwî, Muhammad Nawawî. Marâh labîd li Kasyf Ma’ânî al-Qur`ân al-Majîd.
Cet I, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiah, 1417 H.
Junaidi, Akhmad Arif. Pembaruan Metodologi Tafsir al-Qur’an: Studi atas
Pemikiran Tafsir kontekstual Fazlur Rahman, Semarang: Gunung Jati,
2001.
al-Mâlikî, Muhammad ibn ‘Alawî. Samudra Ilmu-ilmu al-Qur`an, terj.Tarmana
Abdul Qasim. Cet. 1, Bandung: Arasy Mizan, 2003.
Ma’rifah, Muhammad Hâdî. al-Tamhîd fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Iran: Muassasah al-
Nasr al-Islâmî, 1416 H.
al-Maqdisî, ‘Alamî Zâdah Fayd al-Lâh ibn Mûsâ al-Hasanî. Fath al-Rahmân li
Talib Âyat al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. ke-1,
2005.
al-Mîbadî, Muhammad Fâkir. Qawâid al-Tafsîr Ladâ al-Syî’ah wa al-Sunnah,
Irân: Markaz al-Tahqîqât wa al-Dirasât al-‘Ilmiyyah, 2007.
Mohammad, Nor Ichwan. Belajar al-Qur’an: Menyingkap Khazanah Ilmu-ilmu
al-Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis, Semarang: RaSAIL, 2004.
____________. Memahami Bahasa al-Qur`an, Semarang: Pustaka Pelajar atas
kerjasama dengan Walisongo Press, Cet. 1, 2002.
____________. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Semarang: RaSAIL, 2008.
Muhajir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.
90
Muhammadiyah, Hilmy dan Fatoni, Sulthan. NU: Identitas Islam Indonesia,
Jakarta: eLSAS, Cet. 1, 2004.
al-Munawar, Said Agil Husin. al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005.
Munawir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia lengkap.
Penerbit: Pustaka Progressif, 1984.
Nashuha, Muhammad. “Pemikiran Teologi al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-
Kasysyâf”, Laporan Penelitian Individu, Semarang: Fakultas
Ushuluddin IAIN Walisongo, 2011.
Nuriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori-Aplikasi.
Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009.
NZ, Zidni Ilman. “Sifat Tuhan dalam Pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani”,
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta,
2006 M.
al-Qardawî, Yûsuf. Berinteraksi dengan al-Qur’an, diterjemahkan dari buku
aslinya: Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’ân al-‘Azîm, oleh Abdul
Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press, 2001, Cet I.
al-Qattân, Manna’ Khalîl. Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qur’ân, terj.Mudzakir AS. Bogor:
PT. Pustaka Litera Antarnusa, 2009.
Ramli, HM Usep. Syaikh Nawawi al-Jawi: Tokoh Intelektual Internasional Asal
Banten, Banten: Fajar Banten, 2000.
Rodiana, Yuyun, “Syaikh Nawawi al-Bantani: Riwayat hidup dan sumbangannya
terhadap islam”, Skripsi S1 Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
Jakarta, 1990.
al-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu al-Qur`an, Pustaka Firdaus, t.th.
Shihab, M.Quraish. Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997.
91
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19,
Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 1, 1984.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, Cet. 1, 2005.
al-Suyutî, Jalâl al-Dîn. al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ûn, Beirût: Dâr al-Fikr, 1979.
Syibromalisi, Faizah Ali dan Azizy, Jauhar. Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011.
Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qur’an, Jakarta: Rajawali Pers, 1993.
Wakhidah, Siti Nur. “Penafsiran Nawawi al-Bantani Tentang Fitrah dalam Tafsir
Marah Labid dan Implikasinya dalam Kehidupan Sosial”, Skripsi S1
Fahultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2009 M.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003.
Zaid, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an,
diterjemahkan dari buku aslinya, Mafhûm al-Nas Dirâsah fî ‘Ulûm al-
Qur’ân, oleh Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta,
2003, Cet III.
Zainudin, Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996.
al-Zamakhsyarî, Abî al-Qâsim Mahmud ibn ‘Umar ibn Muhammad. al-Kasysyâf
‘an Haqâiq Ghawâmid al-Tanzîl, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Arabî, Cet
I, 1407 H.
al-Zarkasyî, Muhammad ibn ‘Abd al-Lâh. al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Mesir:
Dâr Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th.
al-Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-‘Azîm. Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
Kairo: Dâr al-Hadis, 2001.
Recommended