View
3
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ii
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta,
sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa:
Kutipan Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,- (empat miliar rupiah).
Dr. Liesna Andriany
KATA DAN MAKNA:
SYAIR DALAM LISAN
iv
Kata dan Makna: Syair dalam Lisan Penulis: Dr. Liesna Andriany Layout: Imam Mahfudhi
Design Cover: Zulham Kautsar
Katalog Dalam Terbitan
Kata dan Makna: Syair dalam Lisan –/Dr. Liesna Andriany
Kota Tangerang: Mahara Publishing, 2020.
viii, 142 hal.; 24 cm
ISBN 978-602-466-165-6
1. Buku I. Judul
2. Majalah Ilmiah3. Standar
ISBN 978-602-466-165-6
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak dan menerjemahkan sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Penerbit:
Mahara Publishing (Anggota IKAPI)
Jalan Garuda III B 33 F Pinang Griya Permai
Kota Tangerang, Banten, Indonesia 15145
Narahubung: 0813 6122 0435
Pos-el: maharapublishing@yahoo.co.id
Laman: www.maharapublishing.com
v
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang. Atas rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan buku yang berjudul “Kata dan Makna: Syair dalam Lisan”
Buku ini merupakan uraian antara perpaduan linguistik, semantik,
pragmatik, dan sastra. Data dan contoh diambil dari syair lisan, sehingga
diuraikan juga metode pengambilan korpusnya dengan menggunakan
sastra yang disampaikan secara lisan. Dengan demikian diharapkan buku
ini akan menambah wawasan pembaca dalam hal linguistik dan sastra
lisan.
Penulis membagi buku ini menjadi 5 bab. Bab I memberi
gambaran tentang sastra lisan melayu beserta metode kajian lisannya
sampai pada cara mentranskripsi bahasa lisan ke dalam tulisan.
Kemudian Bab II mengemukakan tentang penutur lisan dan
penuturannya. Hal ini perlu untuk diketahui bagaimana penutur lisan
dapat menjadi professional, dan ini perlu diketahui untuk generasi
milenial sekarang ini. Berikutnya Bab III yang menguraikan tentang kata
dan pilihan kata yang digunakan penutur lisan secara spontan sehingga
lisan yang disampaikan berupa syair tersusun secara sistematis dan
harmonis. Bab V menguraikan dari hasil pembahasan dari Bab I sampai
Bab IV serta implikasi teoritik dan praktis dari materi pembahasan buku
ini. Pada buku ini juga diberikan glosarium untuk kata-kata yang kurang
lazim digunakan sehingga pembaca dapat memahami maknanya.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan buku ini tidak
terlepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik dari
kalangan akademik, keluarga, handaitaulan, maupun masyarakat. Oleh
vi
karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih, serta penghargaan yang setulusnya kepada pihak-pihak
yang membantu.
Secara khusus buku ini untuk mengenang almarhum suami
tercinta Hapcin Suhairy, SE. Ak. M.Si. Demikian pula perhatian anak-
anakku tercinta, Dian Permata Sari, Afni Benazir, Maulida Hadry
Sa’adillah, dan Fattah Kafrawi Suryaningrat yang selalu menemani
dalam doa, sangat membesarkan hati dan membantu kelancaran
penyelesaian buku ini.
Sebagai ungkapan rasa terima kasih, penulis memohon kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa semoga kepada semua pihak yang telah
berkenan memberikan dukungan dan bantuan selalu mendapat karunia-
Nya.
Penulis berkeyakinan bahwa buku ini masih sangat perlu
diperbaiki dan disempurnakan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
sifatnya membangun dan konstruktif sangan diharapkan untuk perbaikan
penulisan buku berikutnya. Akhirnya penulis berharap semoga buku ini
bermanfaat bagi pembaca dan berguna pula bagi pengembangan ilmu
pengetahuan bahasa Indonesia.
Medan, 1 April 2020
Penulis
Dr. Liesna Andriany
vii
Kata Pengantar ................................................................................ v
Daftar Isi ......................................................................................... vii
BAB I MEMAHAMI SASTRA LISAN MELAYU ................... 1
A. Keberadaan Sastra Lisan Melayu ............................................ 1
B. Perhatian terhadap Sastra Melayu ............................................. 3
C. Penelitian Sastra Melayu .......................................................... 4
D. Syair Putri Hijau Bagian dari Sastra Melayu ............................ 5
E. Metode dalam Kajian Lisan ....................................................... 6
F. Penentuan Informan .................................................................. 9
G. Transkripsi Bahasa Lisan .......................................................... 11
H. Tahapan Analisis Syair Lisan .................................................. 12
BAB II PENUTUR LISAN DAN PENUTURAN ........................ 15
A. Penutur ................................................................................ 15
B. Riwayat Hidup Penutur ........................................................ ... 16
C. Seniman Lisan ........................................................................ 22
D. Belajar Bersyair ........................................................................ 25
E. Teknik Penyampaian Lisan ....................................................... 29
F. Persiapan Sebelum Bercerita ..................................................... 30
G. Gaya Bersyair ........................................................................... 32
H. Tempat Bersyair ........................................................................ 34
viii
BAB III. KATA DAN PILIHAN KATA ....................................... 39
A. Konsep Sruktural ...................................................................... 39
B. Struktur Alur Cerita ................................................................... 42
C. Bait, Baris, dan Kata .................................................................. 47
D. Unsur Bunyi Kata ...................................................................... 75
1. Rima (Persajakan) ................................................................ 77
2. Aliterasi dan Asonansi ......................................................... 88
3. Irama .................................................................................... 92
E. Diksi (Pilihan Kata) ................................................................... 95
BAB IV GAYA BERBAHASA DAN BAHASA KIASAN ........... 105
A. Gaya Berbahasa ......................................................................... 105
1. Paralelisme .......................................................................... 106
2. Bentuk Inversi ..................................................................... 109
3. Bentuk Elips ........................................................................ 111
B. Bahasa Kiasan ........................................................................... 114
1. Majas Perbandingan ............................................................ 115
2. Majas Pertentangan ............................................................. 120
3. Majas Pertautan .................................................................. 123
BAB V PENUTUP .......................................................................... 129
A. Simpulan ............................................................................. 129
B. Implikasi Teoritik dan Praktis ............................................ 130
GLOSARIUM ................................................................................ 132
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 133
RIWAYAT HIDUP PENULIS ....................................................... 141
| 1 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Sastra Melayu lama merupakan suatu bentuk warisan dokumen
budaya bangsa pada masa lampau. Sastra Melayu lama mengandung
rekaman buah pikiran orang- orang terdahulu yang berupa adat istiadat,
kepercayaan, ajaran moral, dan ilmu pengetahuan. Jenis sastra Melayu
lama ada yang berbentuk puisi dan berbentuk prosa. Yang termasuk sastra
berbentuk puisi adalah pantun, syair, dan gurindam, sedangkan yang
termasuk ke dalam sastra yang berbentuk prosa adalah mite, legenda, fabel
dan dongeng (Jayawati, 1997:2).
Sastra Melayu lama baik yang berbentuk prosa maupun puisi
disampaikan dengan menggunakan bahasa Melayu dan penyampaiannya
kepada khalayak biasanya secara lisan. Disebarkan dari generasi ke
generasi dari ayah turun ke anak, dari anak turun ke cucu, dan seterusnya
secara lisan. Menurut Hutomo (1993:1) karya yang diciptakan dan
disampaikan secara lisan dengan mulut, naik di dalam suatu pertunjukan
seni maupun di luarnya disebut sastra lisan. Lebih lanjut menurut Hutomo
(1991:3) peranan sastra lisan lebih besar daripada sastra tulis dalam
masyarakat tradisional. Sastra lisan merupakan milik bersama rakyat
tradisional, dan disebut juga sebagai sastra rakyat (folk’s literature).
Sastra lisan Melayu merupakan sastra yang lahir dan berkembang
di lingkungan masyarakat Melayu yang tinggal hampir di sepanjang pantai
2 | Dr. Liesna Andriany
wilayah Indonesia. Salah satunya adalah sastra Melayu yang dimiliki
masyarakat Melayu yang berada di Sumatera Utara. Sastra lisan pada
masyarakat Melayu merupakan suatu bagian dari budaya masyarakat
pendukungnya dan dipelihara secara turun temurun. Gambaran
pertumbuhan dan perkembangan budaya masyarakat Melayu dapat dilihat
dari perkembangan dan pertumbuhan sastranya. Sastra adalah cermin dari
situasi dan kondisi serta adat istiadat suatu masyarakat (Hamye, 1998:1).
Sejalan juga dengan pendapat Finnegan (1979:242-243) bahwa sastra lisan
khususnya puisi lisan berisi kewibawaan raja pada masa lalu, pandangan
hidup yang diterima, struktur sosial yang dipertahankan dan berbagai
upacara. Dalam hal ini, sastra lisan dapat dipakai untuk mengungkapkan
keadaan pada masa lampau yang hampir terlupakan.
Sastra lisan Melayu merupakan warisan budaya daerah yang
berkembang turun-temurun dalam masyarakat pendukungnya baik secara
lisan maupun tulisan. Asumsi ini sejalan dengan pernyataan yang
dikemukakan Hardjono (1979:1-2) bahwa sastra lisan pada umumnya
merupakan warisan budaya nasional dan masih mempunyai nilai berharga
yang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kehidupan masa kini
dan masa yang akan datang antara lain hubungan dengan usaha pembinaan
apresiasi karya sastra, penciptaan karya sastra baru dan pembinaan
komunikasi antara pencipta dan masyarakat.
Sastra lisan Melayu sama halnya dengan sastra daerah lainnya yang
merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang
di tengah-tengah masyarakat. Pewarisan sastra lisan Melayu juga secara
turun temurun dan merupakan milik bersama. Sastra lisan Melayu
merupakan kebudayaan tradisional masyarakat Melayu yang dihasilkan
oleh anggota masyarakat dan untuk dinikmati oleh masyarakatnya pula.
Penyampaian sastra Melayu dilakukan dengan lisan dan tulisan.
Sastra Melayu yang disampaikan secara lisan merupakan cara
penyampaian yang tertua yang biasa dilakukan oleh masyarakat lama,
karena pada masa itu belum dikenal adanya tulisan. Sastra lisan di
| 3 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
sampaikan secara lisan atau melalui tuturan. Pendengar akan menangkap
cerita yang disampaikan itu sambil menyaksikan cara penyampaian cerita.
Bila cerita yang didengar itu ditulis ke atas kertas akan dapat dilihat
bentuk lahir suatu karya itu atau berupa karya sastra tulis. A. Teeuw
(1988:281) menyatakan bahwa karya-karya sastra yang dahulunya
berbentuk lisan kemudian oleh masyarakat ditulis dalam berbagai bentuk
dan juga berbagai variasi penyampaian. Dengan adanya peralihan dari
bahasa lisan ke bahasa tulis interaksi di antara sastra lisan dan sastra
tulisan dapat meningkatkan nilai seperti yang sering terpancar di dalam
genre syair. Seperti yang dikemukakan Djamaris (1984:11) syair
merupakan jenis puisi lama selain mantra, peribahasa, pantun, gurindam,
talibun, dan sebagainya.
Sejak tahun 1974 Pemerintah Republik Indonesia melalui
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mengadakan analisis bahasa
dan sastra, baik bahasa dan sastra Indonesia, Daerah, maupun asing
ditangani oleh Proyek Analisis Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
yang dipercayakan di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Tahun
1976 diberikan kepercayaan kepada daerah Sumatera Barat untuk
mengadakan analisis bahasa-bahasa di daerah Sumatera oleh Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Department Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. Hasil kerja dari Instansi tersebut hingga
saat ini telah mulai kelihatan. Khususnya untuk daerah Sumatera Utara
dapat didokumentasikan sastra lisan Melayu Sumatera Utara dan telah
dibuat berbentuk buku yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
4 | Dr. Liesna Andriany
Sastra Melayu Sumatera Utara yang telah diteliti sejak pada tahun
1987 di antaranya Sastra Lisan Melayu Langkat oleh Masindan, dkk. Pada
tahun 1990 Fungsi dan Kedudukan Sastra Lisan Melayu Sedang oleh Eddy
Setia, dkk. Pada tahun 1990 Struktur Sastra Lisan Melayu Serdang oleh
Eddy Setia, dkk. Pada tahun 1977 Analisis Struktur dan Nilai Budaya
Cerita Rakyat Sumatera Utara Sastra Melayu oleh Maini Trisna Jayawati,
dkk. Semua analisis tersebut lebih mengutamakan hanya pada
pengumpulan dan penyalinan walaupun ada pada tahap analisis, tetapi
tidak merupakan analisis yang mendalam.
Selanjutnya, pada tahun 1989, Irwansyah mengadakan analisis
dengan judul Syair Putri Hijau: Telaah Sejarah Teks dan Resepsi, yang
merupakan tesisnya di Universitas Gadjah Mada Jogyakarta. Pada analisis
tersebut Irwansyah (1989) hanya membahas kajian tentang telaah teks
mengarah ke filologi, Syair Putri Hijau hubungannya dengan sejarah, dan
resepsi pembaca. Begitu juga dengan penyelidikan perihal syair, telah
banyak dilakukan. Pada analisis mengenai Syair Putri Hijau ini
tumpuannya pada sastra lisan, berbeda dengan analisis-analisis
sebelumnya.
Pada masa kini minat dan perhatian terhadap sastra Melayu jauh
lebih rendah dibandingkan dengan masa yang lalu. Menurut Masindan,
dkk (1987) yang meneliti tentang sastra lisan Melayu Langkat melihat
bahwa masyarakat Melayu Langkat sekarang kurang memberikan
perhatian kepada sastra lisan yang ada pada lingkungan mereka
dibandingkan dengan masa lalu. Selain itu, kenyataan pula bahwa yang
masih dapat menceritakan hasil sastra lisan, khususnya syair hanyalah
orang-orang yang sudah tua usianya dan jumlahnya juga sedikit yang kian
hari jumlahnya kian berkurang. Oleh sebab itu, dikhawatirkan dalam
waktu yang tidak terlalu lama hasil sastra Melayu mungkin akan punah.
Hal ini tentu tidak saja akan merugikan masyarakat Melayu sebagai
| 5 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
pemilik dan pendukung sastra lisan tersebut, tetapi juga untuk bangsa
Indonesia.
Dengan kondisi yang demikian secara berangsur-angsur hasil
sastra daerah akan mengalami kepunahan di masyarakat Indonesia pada
umumnya dan masyarakat Melayu pada khususnya. Sesuai dengan tekad
pemerintah yang berusaha melestarikan dan memelihara bahasa dan
kebudayaan daerah untuk perkembangan bahasa dan kebudayaan nasional
sangat perlu diuraikan yang terkandung pada Syair Putri Hijau ini.
Pada umumnya syair berfungsi untuk penghibur hati karena syair
dapat membuat ketenangan pikiran dan dapat melepaskan diri dari desakan
emosi pada penikmat dan penuturnya. Begitu juga dengan strukturnya
yang mempunnyai perbedaan dari jenis-jenis karya sastra yang lain seperti
pantun dan gurindam. Syair biasanya disampaikan secara lisan, namun
syair hidup di dalam suasana bertulis. Bentuk penceritaannya bersifat
naratif, dan ada juga syair yang penceritaannya tidak bersifat naratif. Jadi,
akan lebih mudah untuk menyampaikan maknanya kepada penikmat. Syair
juga dapat berkembang mengikuti perubahan zaman.
Syair Putri Hijau merupakan sastra Melayu di Sumatera Utara
yang merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Selain itu,
Syair Putri Hijau mempunyai arti penting bagi masyarakat Melayu di
wilayah Sumatera Utara dan tergolong syair atau cerita yang disakralkan
oleh masyarakat setempat. Pada masyarakat Melayu Sumatera Utara syair
digunakan sebagai alat penghibur, sebagai alat pendidikan, sebagai alat
komunikasi, sebagai nyanyian untuk menidurkan anak, dan untuk mengisi
upacara adat. Syair Putri Hijau pada masyarakat Melayu Sumatera Utara
merupakan sastra yang hidup di daerah Sumatera bagian Timur yang
menggunakan bahasa Melayu sebagai alat penyampainnya. Untuk ini perlu
6 | Dr. Liesna Andriany
diadakan analisis secara seksama tentang struktur, nilai budaya, makna
simbolik, fungsi sosial, dan tanggapan masyarakat pada Syair Putri Hijau.
Oleh karena itu fenomena pada tulisan ini adalah Syair Putri Hijau
yang didendangkan secara Lisan oleh penyair yang terdapat di desa Pantai
Gemih, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan fenomena tersebut, yang menjadi fokus dalam analisis Syair
Putri Hijau ini adalah Struktur, nilai budaya yang terkandung, makna
simbolik, fungsi sosial bagi masyarakat yang mendukungnya, dan
tanggapan masyarakat terhadap Simbolik Syair Putri Hijau.
Diharapkan deskripsi Syair Putri Hijau ini bermanfaat memerikan
struktur sastra lisan khususnya perulangan puisi lisan yang biasanya
dipengaruhi oleh aturan-aturan bahasa yang terdapat pada sastra lisan
tersebut. Menurut Finnegan (1979) prosodi merupakan ciri khas yang
paling banyak memberi bentuk pada sebuah puisi. Pada Syair Putri Hijau
sistem prosodi dipengaruhi oleh aturan-aturan bahasa sastra lisan tersebut.
Pembahasan ini mengenai metode kajian lisan. Khususnya syair
yang dilisankan. Pembahasan Syair Putri Hijau ini dilakukan secara
kualitatif deskriptif. Hal itu relevan dengan sifat dan wujud data serta
tujuan yang akan dicapai. Analisis kualitatif menurut Taylor dan Bogdan
(1984:5) qualitative methodologies refer to research procedures which
produce descriptive data: people’s own written or spoken words and
observable behavior (mengacu kepada prosedur analisis yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang
dan perilaku yang dapat diamati)
Sehubungan dengan pembahasan secara deskriptif kualitatif ini,
Moleong (2000:4-8) memberikan beberapa karakter sebagai berikut.
Pertama, analisis kualitatif berlatar alamiah. Pada analisis
membawa peneliti memasuki dan melibatkan sebagian waktu analisis
| 7 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
untuk memahami fenomena analisis. Untuk keperluan ini, peneliti akan
banyak menghabiskan waktu analisis di tempat analisis. Hal ini
dimaksudkan, agar dalam mengamati dan memahami fenomena analisis,
peneliti dapat memperoleh informasi secara mendetail dan mendalam.
Pada analisis ini peneliti mempergunakan alat bantu, seperti tape recorder
dan kamera.
Kedua, manusia sebagai alat (instrument). Pada analisis ini penulis
sendiri merupakan alat pengumpul data utama; sedangkan penggunaan alat
ini sebatas sebagai alat bantu pengumpul data. Oleh karena itu, pada waktu
mengumpulkan data di lapangan, penulis berperan serta dalam kegiatan
kemasyarakatan yang disebut dengan pengamat berperan serta (participant
observation).
Ketiga, metode yang dipergunakan metode kualitatif. Metode ini
digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode
kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda;
kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara
peniliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat
menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan
terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
Keempat, analisis data secara induktif. Induktif dalam artian
bahwa penarikan kesimpulan berangkat dari data alamiah yang ditemui
oleh peneliti. Teori yang dikembangkan berdasarkan hal-hal khusus yang
berhasil dikumpulkan.
Kelima, teori dari dasar (grounded theory). Analisis kualitatif
lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori substansif yang
berasal dari data karena tidak ada teori a priori. Analisis ini mempercayai
apa yang dilihat, dan dari teori-dasar lebih dapat responsive terhadap nilai-
nilai kontekstual.
Keenam, deskriptif. Data analisis yang dikumpulkan berupa kata-
kata, gambar, dan bukan angka-angka. Selain itu, semua dikumpulkan
berkemungkinan
8 | Dr. Liesna Andriany
menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian,
laporannya pun akan lebih banyak berisi kutipan-kutipan data, apakah
kutipan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan laporan, atau
rekaman foto. Laporan yang ditulis sehubungan dengan analisis
menggunakan rancangan ini seringkali menampilkan kutipan data. Hal ini
dimaksudkan sebagai upaya menunjukkan pentingnya sesuatu yang
dijumpai oleh penulis pada saat mengadakan analisis.
Ketujuh, lebih mementingkan proses daripada hasil. Hal ini
disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang dianalisis akan jauh
lebih jelas apabila dalam proses.
Kedelapan, adanya “batas” yang ditentukan oleh “fokus”. Pada
analisis ini menghendaki ditetapkannya batas dalam analisis. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, batas menentukan kenyataan
ganda yang kemudian mempertajam fokus. Kedua, penetapan fokus dapat
lebih dekat dihubungkan oleh interaksi antara analisis dan fokus.
Kesembilan, adanya kritertia khusus untuk keabsahan data. Data
atau informasi dari satu pihak harus dicek kebenarannya dengan cara
memproleh data itu dari sumber lain. Tujuannya ialah membandingkan
informasi tentang hal yang sama yang diperoleh dari berbagai pihak, agar
ada jaminan tentang tingkat kepercayaan data. Cara ini juga mencegah
bahaya subjektivitas.
Kesepuluh, desain yang bersifat sementara. Penyusunan desain
secara terus menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Jadi tidak
menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku sehingga
tidak dapat diubah lagi.
Kesebelas, hasil analisis dirundingkan dan disepakati bersama.
Analisis ini menghendaki agar pengertian dan hasil interprestasi yang
diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh informan yang dijadikan
sumber data.
Objek analisis ini adalah Syair Putri Hijau dalam sastra lisan
Melayu di desa Pantai Gemi, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat,
| 9 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Propinsi Sumatera Utara. Legenda ini diangkat karena cerita Putri Hijau
sangat popular di daerah Sumatera bagian Timur (Sinar, 1971:28).
Pemilihan setting didasarkan dengan adanya tukang syair yang pandai
mensyair, di desa Pantai Gemi inilah terdapat pewaris aktif (tukang syair)
dan pewaris pasif dari folklor tersebut dan merupakan desa yang
masyarakatnya serta suasana desanya masih kental dengan nuansa adat
Melayunya. Dapat dilihat dari bahasa yang mereka pergunakan sehari-
hari, struktur rumah mereka yang masih banyak menggunakan rumah
tinggi dan bertangga atau rumah panggung, kepercayaan dan budaya
sehari-hari dibandingkan dengan desa-desa yang ada di Sumatera bagian
Timur lainnya.
Masyarakat Melayu tinggal di dalam wilayah Sumatera Utara
bahagian Timur yang meliputi daerah-daerah Aceh Timur, Langkat, Deli
Serdang, Asahan, dan Labuhan Batu (Husny, 1957:7). Kelima daerah
tersebut bila dilihat dari segi bahasanya akan kelihatan masing-masing
memiliki dialek di daerah Langkat atau di daerah Asahan dan Labuhan
Batu berbeda dengan dialek di daerah Langkat atau di daerah Deli Serdang,
hal tersebut juga tercermin pada penyampaian sastra lisannya. Misalnya,
di dalam penuturan syairnya. Walaupun syair-syair yang ada di daerah-
daerah tersebut sama judulnya serta sama isinya namun memiliki variasi
yang berbeda di dalam penuturannya. Dengan demikian informan yang
tepat untuk diambil datanya sangat penting agar mendapat data yang sesuai
dengan tujuan analisis.
Informan sangat diperlukan untuk mendukung dan menggali
informasi dari sesuatu yang ingin diketahui. Informannya ditetapkan
dengan beberapa pertimbangan. Sebelum menentukan informan terlebih
dahulu mengikuti beberapa ketentuan. Teknik penentuan informan dalam
analisis kualitatif sangat erat dengan faktor-faktor kontekstual. Penentuan
10 | Dr. Liesna Andriany
informan pada analisis ini digunakan teknik snowball. Menurut Nasution
(1996:32) snowball, responden diminta untuk menunjuk orang lain yang
dapat memberikan informasi, dan kemudian responden ini diminta pula
menunjuk orang lain, dan seterusnya yang dilakukan secara serial atau
berurutan. Pemilihan subjek yang dijadikan informan pada analisis
kualitatif tidak didasari teknik sampling, melainkan disesuaikan dengan
harapan yang paling mungkin informasi yang diinginkan tersebut dapat
diperoleh (Sunarto, 1997:46).
Terlebih dahulu penulis menjumpai ketua Majelis Adat Budaya
Melayu Indonesia (MBAMI) cabang Langkat. Selanjutnya, dari ketua
MABMI tersebut diketahui tentang orang yang mampu menyairkan
(tukang syair) Syair Putri Hijau. Setelah diperoleh informan, selanjutnya
identitas informan dideskripsikan dengan jelas, seperti yang berhubungan
dengan nama, usia, agama, pekerjaan, tingkat pendidikan, bahasa sehari-
hari yang dipakai, dan kedudukannya dalam masyarakat.
Syair lisan yang langsung dikumandangkan oleh tukang syair akan
direkam, setelah itu dibuat deskripsinya dengan mentranskripsikannya.
Menurut Hutomo (1991:77) cara perekaman ada dua jenis yaitu perekaman
dalam konteks asli, dan perekaman dalam konteks tidak asli. Pada analisis
ini teknik perekaman dalam konteks asli, artinya perekaman yang sengaja
diadakan pada saat pertunjukan berlangsung. Alat perekaman yang
digunakan yaitu tape recorder. Hasil rekaman pita suara (tape recorder)
tersebut difungsikan untuk menjaring data Syair Putri Hijau sesuai dengan
fokus dan tujuan dalam analisis ini.
Selain menggunakan perekaman juga dilakukan pencatatan.
Pencatatan sangat penting dalam analisis kualitatif, karena semua data
harus didukung oleh data konkret dan bukan ditopang dari ingatan.
Walaupun rekaman, wawancara, memiliki peranan yang sangat besar
dalam analisis, namun kesemua itu masih belum memadai. Di sinilah letak
pentingnya pencatatan data.
| 11 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Hal-hal yang perlu dibuat pencatatannya oleh peneliti adalah yang
menyangkut masalah perekaman, informan, dan bahan. Catatan yang perlu
dibuat sehubungan dengan rekaman adalah tanggal rekaman, tempat
rekaman, keadaan masyarakatnya. Mengenai informan, catatan yang perlu
dibuat adalah untuk mengetahui nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan,
pendidikan, bahasa sehari-hari yang dipakai, dan kedudukannya di
masyarakat.
Menurut Kridalaksana (1993:219) transkipsi ialah pengubahan
wicara menjadi bentuk tertulis, biasanya dengan menggambarkan tiap
bunyi/fonem dengan satu lambang. Pada ilmu folklor, yang disebut
transkripsi juga merupakan pemindahan dari bentuk lisan ke bentuk tulisan
(Hutomo, 1987:18). Jadi Syair Putri Hijau yang dituturkan oleh tukang
syair dapat ditranskripsikan dari bentuk lisan menjadi bentuk tulis.
Teknik transkripsi yang digunakan pada Syair Putri Hijau
mengikuti prinsip “pemindahan secara setia”. Hutomo (1987:18)
menyatakan bahwa “pemindahan secara setia” maksudnya, seluruh syair
yang dituturkan oleh tukang syair dipindahkan ke bentuk tulisan, maksud
menggunakan teknik ini agar hasil teks tidak jauh berbeda dengan
rekaman. Prinsip “pemindahan secara setia” ialah kata-kata yang
dituturkan oleh tukang syair semuanya dipindahkan ke bentuk tulisan, baik
itu ucapan yang salah, makna yang tidak jelas, salah dalam penggunaan
kata, maupun dialek (Hutomo, 1987:18). Pedoman yang digunakan dalam
penulisan transkripsi ini adalah pedoman penulisan pada Ejaan Bahasa
Indonesia. Bunyi-bunyi yang sesuai dengan bunyi bahasa dalam bahasa
Indonesia, ditulis dengan huruf vocal dan konsonan yang terdapat pada
Ejaan Bahasa Indonesia.
Setelah rekaman dialihkan ke bahasa tulisan, selanjutnya akan
dilakukan analisis. Menurut Kerlinger (1973:134) analysis means the
12 | Dr. Liesna Andriany
categorizing, ordering, manipulating, and summarizing of data to obtain
answers to research questions (analisis data berarti kategorisasi, penataan,
manipulasi, dan peringkasan data untuk memperoleh jawaban bagi
pertanyaan analisis). Selanjutnya Kerlinger, (1973:134) menyatakan The
purpose of analysis is to reduce data to intelligible and interpretable form
so that the relations of research problems can be studied and tested
(Kegunaan analisis data adalah mereduksikan data menjadi perwujudan
yang dapat dipahami dan ditafsirkan dengan cara tertentu hingga relasi
masalah penelitian dapat ditelaah serta diuji). Data rekaman
ditranskripsikan dari bentuk rekaman ke bentuk tulisan. Pemindahan
dilaksanakan beberapa jam sesudah direkam, agar kemungkinan salah
dengar dapat diperkecil. Jadi, tidak ditunggu sampai terkumpul semua
data. Transkripsi selalu diusahakan selama berada di lapangan. Teknik
pemindahan data dari bentuk rekaman ke bentuk tulisan dengan
“pemindahan secara setia”.
Analisis ini menggunakan teknik analisis deskriptif. Teknik
analisis deskriptif adalah teknik analisis data yang mendeskripsi dan
menginterpretasi kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang
tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat yang sedang terjadi, atau
kecenderungan yang tengah berkembang (Sumanto, 1990:47). Teknik ini
digunakan untuk mendeskripsikan struktur Syair Putri Hijau.
Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data.
Pengolahan data dilaksanakan dengan teknik analisis struktural yang
digabung dengan teknik yang dipakai oleh Ruth Finnegan. Analisis
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
(1) Struktur cerita dianalisis dengan cara
| 13 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
(a) Setelah data ditranskripsi kemudian dibaca secara seksama teks
yang ada untuk menghayati dan memahami seluruh kata dan
makna dari sumber data.
(b) Menggarisbawahi baris-baris frasa, atau kata untuk menentukan
adanya rima, aliterasi, serta asonansi.
(c) Menganalisis perbaris kata yang menentukan adanya rima,
aliterasi, dan asosiasi.
(d) Menganalisis rekaman dengan menggunakan rekaman yang
diulang berkali-kali, untuk menentukan irama dan jatuhnya
tekanan pemisah baris kata atas dua bagian.
(e) Menganalisis hubungan baris-baris kata yang menunjukkan
munculnya kata dan bahasa kiasan.
14 | Dr. Liesna Andriany
| 15 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Penutur lisan sangat erat hubungannya dengan sastra lisan. Sastra
lisan adalah sastra yang disampaikan dari mulut ke mulut. Dengan
demikian, peranan penutur sangat penting dalam penyampaian sastra dan
kelangsungan hidup sastra itu. Kesuksesan dan kebiasaan bercerita bagi
masyarakat Melayu memang dijumpai dimana-mana, namun untuk
menuturkan suatu cerita dengan baik bukanlah suatu hal yang mudah.
Untuk itu diperlukan suatu keahlian.
Penutur syair pada masyarakat Melayu Langkat dikenal dengan
sebutan tukang syair. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu
bersyair. Hal itu disebabkan penyampainnya yang berbeda dengan punutur
cerita. Bakat dan minat untuk seorang tukang syair itu diperlukan. Tidak
semua yang mampu bercerita mampu bersyair.
Penceritaan mempunyai arti penting bagi kelangsungan hidup
sastra lisan. Tanpa proses penceritaan, sastra lisan akan berangsur-angsur
hilang dan terlupakan. Kegiatan penuturan adalah ciri utama sastra lisan.
Penuturan sastra lisan dilaksanakan melalui cara menyanyikan,
mengucapkan, dan mendeklamasikan. Menurut Finnegan (1979:119)
pertunjukan atau penceritaan sastra lisan selalu dihubungkan dengan
istilah “menyanyikan” atau “melagukan” dan jarang dipakai istilah
“mengucapkan”. Penuturan syair selalu dilaksanakan dengan melagukan
16 | Dr. Liesna Andriany
atau menyanyikan. tukang syair bercerita dengan lagu yang berirama
dengan turun naiknya nada serta intonasi merupakan cirri penceritaannya.
Tukang syair berusaha memikat perhatian pendengar dengan
berbagai cara. Mereka menyampaikan cerita dengan berirama. Bahasa
berirama digunakan ketika menyampaikan cerita dengan tujuan untuk
memudahkan mereka mengingat ceritanya. Ini dilakukan dengan
pertolongan rentak irama, pemilihan kata-kata yang indah dan juga lagu.
Ada juga tukang syair yang memperlihatkan gerakan tangan, kepala,
hentakan kaki serta mimik untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa
yang diceritakannya. Tujuan tukang syair berbuat demikian karena hendak
mempengaruhi pendengar supaya terus mengikuti cerita dengan penuh
khikmat. Senada dengan pendapat Sweeney (1987:108) bahwa cerita yang
ditampilkan hendaklah dapat dinikmati oleh pendengar.
Kemampuan tukang syair melagukan syair yang indah dan menarik
dengan gaya yang istimewa tentu ada hubungannya dengan latihan dan
minat serta memiliki bakat seni. Juga tidak terlepas dari pengaruh latar
belakang hidup tukang syair. Pembahasan pada bab ini akan dibicarakan
hal-hal yang berhubungan dengan tukang syair serta yang berhubungan
dengan cara penyampaiannya. Yang berhubungan dengan tukang syair
akan dibahas riwayat hidup tukang syair dari kecil hingga sekarang,
kehidupan sehari-harinya dan cara belajar menyairkan sebuah syair
dengan tujuan untuk melihat sejauh mana bakat dan minat yang ada
padanya dan latihan yang diperolehnya sehingga dapat membentuk dirinya
sebagai seorang tukang syair yang professional. Dalam hubungan dengan
penyampaian syair akan dikemukakan persiapan sebelum bersyair, dan
gaya bersyair. Terakhir yang akan dibahas mengenai tempat penceritaan.
Pak Djakfar dikenal sebagai tukang syair. Pak Djakfar
menerangkan bahwa dia telah berumur 50 tahun, suatu angka yang dikira-
| 17 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
kira olehnya. Dia sendiri tidak tahu persis kapan dia lahir, Karena orang
tuanya tidak mencatat tanggal kelahirannya, karena orang tua dahulu tidak
seperti orang tua sekarang yang mencatat tanggal kelahiran anaknya.
Namun ia tahu bahwa ia dilahirkan di Desa Pantai Gemi. Dari mulai lahir,
dewasa, berkeluarga, dan hingga sudah bercucu di desa ini, tidak pernah
tinggal di daerah lain. Desa Pantai Gemi salah satu desa yang ada di
Kecamatan Stabat, kabupaten Langkat.
Nama lengkapnya Djakfar bin Rasyat atau biasa dipanggil Djakfar.
Perawakannya tinggi dan kurus, warna kulitnya hitam manis. Dia selalu
kelihatan riang gembira, karena sifatnya yang periang. Supel dalam
bergaul sehingga cepat akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Bila
berbicara dengan pak Djakfar selalu lawan bicaranya tertawa, karena
beliau selalu jenaka dalam berbicara. Tingkah lakunya sangat menjunjung
sopan santun, peramah dan sangat merendahkan diri bila berbicara perihal
pribadinya. Prinsip dalam pergaulannya adalah niat yang baik, jangan
mudah berbohong dan jangan mudah menfitnah.
Pak Djakfar merupakan keturunan masyarakat Melayu Deli sejati
karena ibu dan bapaknya sama-sama berasal dari desa Pantai Gemi. Ibunya
bernama Jariah berasal dari desa Pantai Gemi dan bapaknya bernama
Rasyat berasal dari desa Pantai Gemi juga. Dia menyatakan bahwa ia
penduduk desa ini dan dibesarkan desa ini dan mungkin sampai mati
tetap di desa ini1. Sebagian besar keluarganya tinggal di Desa Pantai Gemi.
Dia termasuk orang yang dituakan di desanya. Berdasarkan tutur keluarga
banyak yang sudah memanggil wak dan atok kepadanya.
Pak Djakfar memiliki keluarga besar. Hasil perkawinan bapak dan
ibu Pak Djakfar mendapat sepuluh orang anak, enam perempuan dan
empat laki-laki. Pak Djakfar merupakan anak yang keenam dari sepuluh
bersaudara. Bapak Pak Djakfar seorang yang pandai bersyair juga namun
tidak begitu terkenal seperti Pak Djakfar. Antara sepuluh orang bersaudara
itu hanya anak laki-laki saja yang mengikuti jejak langkah bapaknya
sebagai tukang syair.
18 | Dr. Liesna Andriany
Djakfar terlahir dari keluarga yang pintar bersyair. Bapaknya
Rasyat pintar bersyair, begitu juga dengan saudara-saudara bapaknya
Bahkan adiknya Mail dan Zailani dan kakaknya Kasim pintar bersyair.
Djakfar tidak pernah diajarkan bersyair oleh bapak atau saudara-
saudaranya namun dorongan dari orangtua terutama bapaknya cukup kuat.
Dia belajar bersyair secara alami.
Selain bapak pak Djakfar, adik kandung bapaknya juga pintar
bersyair. Juga beberapa orang anak dari adik bapaknya atau saudara
sepupu dari Pak Djakfar. Mereka semua merasa senang dan gemar bila
berhubungan dengan kesenian dan budaya. Bahkan mereka membentuk
group bordah yaitu nyanyian yang menggunakan teks keagamaan dan
umumnya diiringi oleh alat musik, namun mereka tidak memberikan
identitas nama untuk group tersebut. Walaupun tanpa nama group
bordah tersebut telah dikenal oleh penduduk desa Pantai Gemi dan
sekitarnya. Setiap ada acara perkawinan, sunatan atau hari-hari besar Islam
lainnya mereka sering dipanggil untuk menampilkannya.
Ia menikah dengan wanita yang bernama Asmah seorang yang
bersuku Karo namun sudah lama tinggal di Desa Pantai Gemi, sehingga
tidak kelihatan lagi budaya Karonya tetapi sudah menjadi suku Melayu.
Dari perkawinannya dengan Asmah mereka mempunyai delapan anak.
Sekarang Pak Djakfar sudah menjadi seorang atok yang sesungguhnya
dalam artian beliau telah memiliki dua orang cucu, walaupun sebenarnya
cucunya sudah tiga orang, namun satu orang cucunya telah meninggal
dunia. Sudah dua orang anaknya yang berkeluarga dan sekarang tinggal di
samping rumahnya4. Masing-masing anaknya yang sudah kawin memiliki
seorang anak. Hidup berdampingan antara orang tua dan anak dengan
rukun dan damai, dan kelihatan terpancar kebahagiaan diwajah-wajah
mereka.
Menurut pengakuan Pak Djakfar ia beragama Islam, bersuku
Melayu, dan seorang Islam yang taat. Keluarga Djakfar merupakan
penganut Islam yang taat. Saat penulis berkunjung ke rumahnya terlihat
| 19 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
berserakan perangkat alat sholat seperti telekung/mukena, sarung, sajadah,
dan kopiah. Dan pada waktu masuk sholat Zuhur penulis berserta keluarga,
dan tamu lain bergantian melaksanakan sholat Zhuhur, kebetulan ketika
peneliti di sana, ada dua orang tamu yang datang.
Rumah Pak Djakfar terletak di dusun V Desa Pantai Gemi, kira-
kira 6 kilometer dari jalan raya Stabat, dan menghadapt ke jalan desa.
Untuk sampai ke rumahnya dapat menggunakan sepeda motor atau mobil
pribadi. Kendaraan umum yang dapat masuk hanyalah ojek dengan ongkos
sekali jalan Rp. 3000,- Rumahnya terbuat dari kayu dan berbentuk rumah
suku Melayu umumnya sejak dahulu yang disebut rumah panggung.
Rumahnya berdiri di atas tiang-tiang yang tinggi, setidak-tidaknya 1 meter
dari atas tanah. Atapnya terbuat daripada nipah atau rumbia yang dianyam
sendiri. Untuk naik ke atas rumah, disediakan di depan pintu rumah sebuah
tangga, dengan lima buah anak tangga, dan biasanya anak tangga rumah
Melayu berjumlah ganjil. Lantai rumah terbuat dari papan, suhu udara di
rumah terasa sejuk sebab rumah penuh dengan jendela dan jerejak
(ventilatie) sehingga sirkulasi udara cukup. Di dalam rumah terdapat meja,
kursi sederhana, dan almari sederhana. Tidak terdapat alat elektronik di
dalam rumah seperti radio, TV. Hanya saja belum dapat dikatakan rumah
yang memenuhi syarat karena tidak memiliki MCK (mandi, cuci, dan
kakus). Yang ada hanya sebuah sumur di luar rumah dan tidak ada
penyekat sumur agar bisa dijadikan tempat mandi. Bila ingin membuang
hajat, harus berjalan beberapa meter dari belakang rumahnya atau di parit
yang berada di depan rumah. Di sekeliling rumahnya banyak pepohonan,
seperti rambutan, kelapa, dan pohon karet. Di samping kanan dan belakang
rumah beliau adalah rumah anak-anaknya.
Pendidikan Pak Djakfar hanya sampai di SR (Sekolah Rakyat)
sekarang SD kira-kira tahun 60-an dan tidak meneruskan ke SLTP karena
keadaan ekonomi orang tua yang tidak memungkinkan. Masyarakat
Melayu dahulu tidak mementingkan pendidikan umum, yang penting
pengetahuan keagamaan yang diperdalam. Kebanggaan orang tua
20 | Dr. Liesna Andriany
masyarakat Melayu dahulu, bila anaknya pintar mengaji (menguasai
hukum agama Islam dan pintar membaca Al’quran). Sehingga untuk
belajar agama sangat ditekankandan diusahakan semaksimal mungkin,
sedangkan pendidikan umum kurang mendapat perhatian. Ada beberapa
bahasa yang dikuasainya dengan baik, yaitu bahasa daerah seperti bahasa
Karo, bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa sukunya sendiri yaitu
bahasa Melayu.
Pekerjaan pokok Pak Djakfar yaitu sebagai pedagang atau penjual
keliling dan membawa dagangannya dengan menggunakan sepeda.
Barang dagangan yang dijualnya tidak tetap, bila musim durian, ia menjual
durian, bila musim rambutan ia menjual rambutan, bila dapat pisang,
pisang yang dijual, dan bila ada ikan, ikan yang dijual. Namun lebih sering
ia menjual ikan karena ikan ini yang setiap hari ada. Dalam memenuhi
kebutuhan hidup keluarga, Djakfar dibantu istri dan anak gadisnya yang
sudah tamat sekolah tingkat SLTA bekerja sebagai petani, menggarap
sawah dan ladangnya. Di waktu senggang sambil melepas lelah selepas
pulang dari ladang istri dan anaknya mengambil daun rumbia yang banyak
tumbuh diladangnya untuk dijadikan atap. Pendapatan dari sawah dan
ladang serta atap tersebut dapat menambah penghasilan keluarga Pak
Djakfar.
Pak Djakfar juga memiliki berbagai macam kegemaran, seperti
menangkap ikan. Teknik menangkap ikannya dengan beberapa cara,
kadang-kadang dengan menggunakan pancing, dan kadang-kadang
dengan menggunakan bubu (merupakan jalinan buluh/bambu, kosong di
dalam, dinding dalam diberi berduri). Mulutnya di sebelah pangkal muka
bundar besar (tempat ikan masuk), di ujungnya kecil. Bubu diletakkan di
sungai pada sore hari dan pada pagi hari baru diambil, kalau rezeki
biasanya ikan sudah ada tertangkap di dalamnya. Bila ikan yang tertangkap
itu ikan gurami atau ikan besar lainnya biasanya dijual kepada
langganannya, karena harga ikan yang masih hidup lebih mahal dari ikan
yang sudah mati. Langganan ikan Pak Djakfar biasanya suku bangsa Cina.
| 21 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Selain itu Pak Djakfar juga senang mengikuti perkembangan
politik baik politik di tanah air maupun di luar negeri. Ia senang sekali
dengan perubahan di tanah air ini. Era reformasi yang membuat banyak
perubahan di tanah air baik dari segi politik maupun dari segi sosial
budayanya. Pada tahun 1965 dia sudah ikut dalam gerakan BPRPI (Badan
Pengurus Rakyat Penunggu Indonesia) merupakan organisasi masyarakat
Melayu (rakyat penunggu) yang menuntut hak atas tanah yang
dipinjamkan kerajaan Melayu dahulu kepada Belanda, dan sekarang
dikuasai oleh Negara. Pernah ditahan selama satu minggu pada tahun 1968
karena menggerakkan massa berdemonstrasi untuk menuntut tanah
perkebunan yang dikuasai oleh Negara. Pada masa Orde Baru pernah
menjadi ketua BPRPI cabang Langkat selama tiga tahun yakni kira-kira
tahun 19987. Dan sampai sekarang tetap aktif memperjuangkan hal ulayat
tanah adat Melayu.
Hubungan Pak Djakfar dengan tetangga dan masyarakat di desanya
terjalin dengan baik. Dia sering menghadiri acara yang diselenggarakan
oleh penduduk desa pantai Gemi dan penduduk tetangga desanya. Seperti
acara kenduri perkawinan, pengajian dan gotong royong. Menjenguk
orang yang sakit dan takjiah bila ada tetangga dan kerabat yang ditimpa
kemalangan. Dia bahkan dikenal baik oleh pegawai-pegawai bupati
Langkat dan bahkan akrab dengan Camat Stabat. Begitu luas
pergaulannya, Pak Djakfar tidak memilih-milh dalam bergaul, baik
kalangan masyarakat atas maupun kalangan masyarakat bawah semua
sama saja baginya.
Pak Djakfar tidak ingat persis kapan, namun diperkirakannya kira-
kira tahun 1980-an ia diutus mewakili kontingen Langkat mengikuti
festival Budaya Melayu untuk membawakan syair. Ia mendapat juara
Harapan I dalam festival PBM (Pekan Budaya Melayu) se Asean tersebut.
Dengan kemenangan ini namanya semakin popular. Ia mulai mendapat
panggilan bersyair setiap ada kegiatan budaya Melayu. Dan selalu menjadi
utusan dari Kabupaten Langkat.
22 | Dr. Liesna Andriany
Sebagai seorang seniman tidaklah langsung menjadi seniman yang
memiliki talenta sebagai seorang seniman. Menjadi seniman memerlukan
proses. Seperti juga pak Djakfar dari Desa Pantai Gemi ini. Menurut Pak
Djakfar pertama sekali ia mendengar cerita dan syair dari ‘bangsawan’
atau tonil/sandiwara sewaktu masih kanak-kanak. Kemudian ia juga sering
mendengar cerita dan syair pada waktu senggang dan kadnag-kadang
sewaktu seseorang dalam suasana bersendih atau mengenang nasib.
Adapun waktu-waktu senggang yang dimaksud ialah pada waktu
beristirahat dari pekerjaan bertani/berladang atau saat melepas lelah dari
seharian bekerja. Begitu pula pada waktu mencari ikan, di dalam sampan
sambil memilah-milah ikan hasil tangkapan. Juga cerita dan syair itu
dilakukan pada waktu menjelang anak-anak hendak tidur.
Masyarakat Melayu menyebut orang yang biasa menceritakan dan
menampilkan syair adalah tukang syair. Pak Djakfar sudah dikenal oleh
masyarakat Melayu Deli sebagai tukang syair. Ia dihargai sebagai seorang
yang berbakat dan sebagai seniman daerah. Ia dihargai karena memiliki
keahlian bersyair dari bakat. Siapa pun yang berbakat dan mampu
menceritakan dan melagukan syair disebut tukang syair. Untuk menjadi
seorang tukang syair tidak perlu suatu penobatan atau upacara. Seseorang
akan dikatakan sebagai seorang tukang syair, secara berlahan-lahan dapat
disandangnya kalau ia telah sering menceritakan dan melagukan syair di
depan kelompok pendengar. Selain bersyair ia juga mahir dalam ‘kasidah’,
‘barzanji’, ‘marhaban’, ‘bordah’, dan ‘bededeh’.
Pada masa mudanya, Pak Djakfar senang mendengarkan orang
yang bersyair. Dari kesenangannya mendengar syair itulah, ia menguasai
lagu dan ceritanya. Pada saat senggang lagu-lagu meluncur dari mulut,
bersama cerita yang diingatnya. Berikutnya ia baru mendatangi guru atau
orang yang pintar bersyair untuk belajar syair. Secara tidak disadari
kesenian ini telah mendarah daging ditubuhnya, ia belajar bersyair lebih
| 23 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
kurang enam tahun, setelah itu dia pindah ke guru seni budaya Islam,
maksudnya belajar menyanyikan ‘kasidah’, ‘berzanji’, dan ‘marhaban’.
Bakat seninya sudah tampak, ketika Pak Djakfar berumur duabelas
tahun, sambil belajar mengaji, dia pun belajar bersyair. Belajar mengaji
dilakukan setelah sholat Maghrib dan selesai sholat Isya, setelah itu
dilanjutkan dengan belajar bersyair. Belajar bersyair sering dilakukan
sampai larut malam.
Djakfar menerangkan bahwa ia belajar bersyair mula-mula dari
ketertarikannya dengan tukang syair dalam mensyairkan terdengar sangat
merdu dan indah cerita dan melagukannya. Kemudian terus mencoba dan
mencoba sendiri untuk mengikuti irama lagu, hingga akhirnya ia bisa
melagukan syair. Di samping kemungkinan ada ‘bakat alam’. Disebut
bakat alam karena lahirnya sebagai penyair tidak melalui peresapan iklim
pikiran dewasa ini serta pengalaman kemasyarakatan dan kemanusiaan
secara intens, melainkan dengan mempersenyawakan yang diturunkan dari
keturunan yang berjiwa seni. Menurut Djakfar bapak, adik, kakak, dan
saudara-saudara dari bapaknya mahir bersyair. Hanya sayang bapaknya
tidak mengajarkannya bersyair. Djakfar hanya selalu mendengar bapaknya
ketika di sampan melantunkan syair, dan sangat merdu didengar. Dari
situlah keinginannya untuk mensyair secara tidak sengaja timbul.
Bagi Pak Djakfar pekerjaan tukang syair merupakan perkerjaan
sambilan dan suatu kegemaran. Bersyair merupakan panggilan jiwa
seninya dan bukan semata-mata untuk mencari nafkah. Dia bersyair itu
tidak mengharapkan upah, karena ia mempunyai pekerjaan pokok. Ia
bersyair hanya didorong oleh bakat seni dan kegemarannya bernyanyi.
Namun ia tidak menolak kalau diberi hadiah atau uang atas penceritaan
syair itu, ia tidak pernah menentukan jumlah yang pasti untuk sekali
mensyair, bahkan tidak keberatan kalau tidak diberi hadiah atau upah. Bagi
Pak Djakfar yang mempunyai pekerjaan tetap, kegiatan bercerita dengan
mensyairkannya hanya sebagai penyalur bakat seninya.
24 | Dr. Liesna Andriany
Pak Djakfar tidak menggantungkan hidupnya dengan bersyair,
karena ia memiliki pekerjaan tetap sebagai pedagang keliling. Bahkan ia
merasa bahagia kalau orang lain senang mendengar syairnya. Penghasilan
dari penampilan bersyair tidak pernah mencukupi bagi pemenuhan
kehidupan sehari-hari. Dia tidak mengharapkan pemberian dari
pendengarnya, kecuali pemberian ala kadarnya dari pendengar. Namun
biasanya pendengar syair itu selalu memberi hadiah atau upah ala
kadarnya.
Sudah banyak tempat yang dikunjunginya untuk menunjukkan
kebolehannya sebagai seorang tukang syair. Pak Djakfar dulu sering
dipanggil untuk membawakan syair oleh orang yang memiliki hajatan,
seperti pesta perkawinan. Dia pernah bersyair di kota Labuhan Batu,
Rantau Prapat dalam acara PBM (Pekan Budaya Melayu) dan kota
Kisaran. Setiap tahun ikut mengisi acara TBM (Taman Budaya Medan)
dalam rangka Pekan Budaya Melayu. Juga sering tampil pada Pekan Raya
Sumatera Utara (PRSU) pada stan Melayu. Namun setelah reformasi ini
kegiatan kesenian budaya Melayu sementara waktu ini terhenti. Otomatis
kegiatan Pak Djakfar untuk menunjukkan kebolehannya bersyair juga
fakum, karena sekarang ini sudah jarang sekali orang yang mau
menanggap tukang syair untuk acara hajatan.
Penggemar syair sekarang ini menurut Djakfar sudah sangat
sedikit. Hanya orang tua-tua saja yang inin mendengarkan syair, itu pun
hanya sekedar mengenang masa lalu mereka. Seperti ketika peneliti
mendengarkan syair yang dilantunkan pak Djakfar di rumah salah seorang
anggota DPRD Tingkat II Langkat. Seorang laki-laki tua berumur lebih
kurang 60 tahun mengatakan bahwa dia sudah jarang sekali mendengar
syair ini. Dari komentar pendengar tadi dapat disimpulkan bahwa lantunan
syair itu sudah sangat jarang terdengar atau dilakukan. Dengan kondisi
yang memprihatinkan ini, dan rasa tanggungjawabnya sebagai seorang
seniman Melayu ada keinginan Djakfar untuk melestarikan dengan
membuat kaderisasi. Tetapi anak-anak sekarang menurut Djakfar sudah
| 25 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
tidak tertarik lagi dengan kesenian tradisional khususnya syair ini.
Umumnya mereka enggan untuk belajar bersyair, mereka menganggap
kuno dan kolot. Hanya ada beberapa anak-anak yang ingin belajar bersyair
dan inilah yang terus dipacu oleh Pak Djakfar yang diharapkannya nanti
menjadi penggantinya kelak.
Pak Djakfar bukan saja mahir bersyair tetapi juga mahir
membawakan kesenian Melayu lainnya. Seperti kasidah, marhaban,
barzanji, dan bordah. Dengan kemampuannya ini dia terkenal sebagai
seniman daerah Melayu Langkat khususnya daerah langkat.
Sekali seorang anak tertarik minatnya untuk menjadi tukang syair,
ia akan selalu mencari kesempatan mendengarkan tukang syair bersyair.
Seperti yang dituturkan oleh Djakfar, demikian cintanya ia mendengarkan
syair, bahkan sejak ia masih duduk di Sekolah Rakyat sekarang Sekolah
Dasar. Setiap malam dia selalu ke rumah tukang syair yang pandai untuk
mendengar cerita dan syairnya.
Keahlian bersyair selain memerlukan bakat juga memerlukan
latihan dan pengetahuan. Cara belajar setiap tukang syair tidak sama.
Djakfar belajar menjadi tukang syair dengan secara langsung pada seorang
guru atau tukang syair. Belajar secara langsung menjadi tukang syair
dimaksudkan sebagai berikut, Djakfar sebagai seorang calon tukang syair
mengabdikan diri kepada tukang syair tua dengan cara mengikuti semua
petunjuknya. Djakfar belajar menjadi tukang syair dengan cara membantu
mengasuh anaknya yang masih kecil di rumah tukang syair tersebut.
Belajar menjadi tukang syair seperti ini tidak ada persyaratan pembayaran.
Pak Djakfar mempunyai beberapa guru, dan dari tiap guru itu, ia
akan meniru segi-segi tertentu pada gaya dan teknik mereka yang paling
menarik. Tukang syair yang menarik hatinya adalah Mahyin yang tinggal
di desa Pantai Gemi itu juga dan masih ada hubungan famili. Di sinilah
26 | Dr. Liesna Andriany
Pak Djakfar mengabdikan dirinya. Pak Djakfar biasa memanggil Pak
Mahyin dengan sebutan atok. Pemilihan Djakfar terhadap tukang syair
tertentu didasarkan atas kekagumannya terhadap keterampilan atau
pengetahuan istimewa yang dimiliki Pak Mahyin tersebut, yang
diharapkannya akan bisa dimilikinya pula.
Kendati pun Pak Mahyin menganggap kepada Pak Djakfar sebagai
cucunya sendiri, namun dalam keluarga guru sering kali tetap
membedakannya dengan anak kandungnya. Dalam hal-hal tertentu
sesungguhnya ia memang pembantu (abdi), karena sebagai imbalan atas
ilmu yang diberikan kepadanya diharapkan bantuannya untuk melakukan
pekerjaan mengasuh anaknya. Sebagai imbalan atas pengabdiannya
dimasa datang tersebut. Ia belajar tentang berbagai macam cerita, gaya
melagukan gurunya yang istimewa. Cara bagaimana pengetahuan itu
disampaikan oleh guru kepada muridnya pada hakekatnya tidak berbeda
dari apa yang sudah menjadi terbiasa bagi si murid di rumah. Di sini pun
cara itu agak tidak diatur, dan sedikit banyak tergantung kepada prakarsa
Pak Djakfar dan kepada minat Pak Mahyin terhadapnya. Juga di sini proses
penyampaian itu ditandai dengan, sampai taraf tertentu, sifatnya yang
mengacak.
Pak Djakfar telah belajar menjadi tukang syair kepada dua orang
tukang syair sekaligus. Mula-mula ia belajar dengan tukang syair yang
bernama Pak Mahyin dan Pak Ramli yang keduanya masih ada hubungan
keluarga. Dalam waktu yang sama dia belajar dengan Pak Mahyin dan juga
dengan pak Ramli. Teknik belajarnya juga hampir sama, dengan yang
diterapkan Pak Mahyin dan Pak Ramli. Secara bergiliran dia belajar,
kadang-kadang belajar dengan Pak Mahyin dan kadang-kadang dengan
Pak Ramli. Dalam belajar beryair selalu beriring dengan belajar mengaji,
karena budaya Melayu identik dengan budaya Islam.
Cara belajarnya tidak khusus, tetapi sambil lalu. Sambil belajar
mengaji dia belajar bersyair. Pak Djakfar pertama sekali belajar bersyair
dari atoknya yaitu Pak Mahyin. Dari atoknya ini mula-mula didengar cerita
| 27 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
dan dongeng yang disampaikan dengan cara disyairkan. Teknik belajarnya
tidak menggunakan tulisan, tetapi yang dipentingkan adalah kemampuan
menghafal. Pertama-tama dia disuruh menghafal cerita baris demi baris.
Setelah ia dapat menghafal cerita tersebut, lalu ia dilatih melagukannya.
Pada tahap pertama atoknya melagukan cerita itu, kemudian ia disuruh
mengulanginya. Kalau ada kesalahan, atoknya akan memberi petunjuk
bagaimana sebaiknya dan bagaimana seharusnya. Kadang-kadang bila
atoknya sedang melagukan, ia mengikuti pelan-pelan.
Pak Djakfar yang belajar secara langsung menggunakan hafalan
sebagai dasar utama untuk menguasai suatu cerita. Pada tahap pertama ia
harus menggunakan daya hafal untuk memperlancar penceritaan sehingga
susunan cerita dan baris-baris cerita sebagian besar dilahirkan sama
dengan susunan cerita dan baris-baris cerita dari gurunya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Friedman (dalam Finnegan, 1979:53) yang menyatakan
bahwa ‘Memorization… is the basic vehicle of oral tradition’ (hafalan
adalah wahana utama tradisi lisan). Begitu juga dengan hasil analisis
Arthur Waley (dalam Finnegan, 1979:53) bahwa that ‘he had merely
repeated the epic as he had learnt it’ (penerimaan hanya mengucapkan
epik seperti yang telah dipelajarinya). Parry dan Lord (1976:27-28) juga
menyatakan bahwa kadang-kadang pencerita di Yugoslavia dapat
mengulang secara tepat cerita-cerita yang sama yang telah mereka dengar
dari pencerita lain, kata demi kata, bahkan baris demi baris. Walaupun
demikian, penghafalan itu sedikit banyak telah mengalami penghausan.
Pak Djakfar tidak dapat menghafal seratus persen sama dengan apa yang
dipelajarinya. Selalu ada perubahan pada beberapa bagian walaupun tidak
terlalu besar.
Pak Djakfar belajar dengan Pak Ramli bukan hanya belajar
mengaji dan bersyair saja, tetapi juga seni Islam lainnya seperti kasidah,
marzanji, marhaban, dan bordah. Dengan Pak Ramli di samping belajar
ngaji, bersyair, dan kesenian lain juga diajarkan mengenai hukum-hukum
Islam. Jadi orang belajar bersyair bukan hanya diajar bersyair, tetapi juga
28 | Dr. Liesna Andriany
dibina dalam ajaran agama. Gurunya lebih senang mengambil murid yang
berbudi luhur, selain berbakat. Selain kesenian, dia juga belajar membaca
Al-Qur’an dengan cara dilagukan yang dalam bahasa Melayu disebut
bekaah. Setelah dirasa Pak Djakfar telah menguasai semuanya dia pun
berhenti dan tidak lagi belajar dengan kedua gurunya tersebut.
Pak Djakfar mulai merasa tidak ada sesuatu lagi yang perlu
dipelajari dari gurunya, ia pun mulai mencoba sendiri. Sambil berjalan
sendiri ia mencari tukang syair lain lagi untuk belajar kepadanya barang
sebentar. Setelah berhenti belajar dari Pak Mahyin dan Pak Ramli , bukan
berarti dia puas sampai disitu. Pak Djakfar terus mencari guru yang lain
yang dirasanya dapat menambah kemampuannya tentang kesenian ini.
Kemudia Pak Djakfar belajar bededeng yaitu lagu solo tanpa iringan alat
musik untuk hiburan pada pesta perkawinan atau panen dengan Pak Halim
Majid. Lama belajarnya tidak tentu karena belajarnya tergantung bila
mereka bertemu saja, karena Pak Halim seorang pegawai Diknas Stabat
dan tinggalnya di Binjai. Dari Pak Halim inilah dia dapat mengikuti acara
PBM untuk bersyair. Jadi setiap ada acara PBM dimana pun Pak Djakfar
tampil sebagai tukang syair.
Ketika diadakan festival budaya Melayu di Rantau Prapat, dia
belajar dengan Ibu Ramli yang berasal dari Tanjung Pura. Karena memang
bakat seni Pak Djakfar sudah ada ditambah dengan minatnya yang tinggi
terhadap syair, dalam waktu dua jam saja Ibu Ramli mengajarkan not
untuk irama syair, sudah dapat dikuasai oleh Pak Djakfar. Sebenarnya
syair sudah dikuasai dari hasil belajarnya secara alamiah, tinggal hanya
membetulkan yang kurang tepat atau kurang baik saja. Pada saat festival
itulah Pak Djakfar mendapat juara Harapan I dalam bersyair. Ia tidak
menyangka kalau dapat menang pada waktu itu, karena lawannya berasal
dari Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailan yang penampilan
bersyairnya baik.
Piala kemenangannya itu tidak dibawanya pulang menjadi milik
pribadi. Namun piala itu dititipkannya di Kantor Pemda Tingkat II
| 29 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Kabupaten Langkat. Menurut penuturan Djakfar, piala itu bila disimpan di
rumahnya tidak memberi banyak arti. Dijual pun tidak cukup untuk
membeli beras. Bila piala itu diletakkan di kantor Pemda, semua orang bisa
melihat dan mengenangnya. Ternyata pandangan Djakfar benar, mulai dari
itu setiap ada kegiatan yang berhubungan dengan budaya Melayu, Djakfar
tidak pernah dilupakan sebagai tukang syair.
Teknik penyampaian antara tukang syair yang satu dengan tukang
syair yang lain berbeda-beda. Bila dilihat dari alat pembantu yang
digunakan untuk bersyair, maka ada tukang syair yang memakai alat
pembantu yaitu alat musik dan ada yang tidak menggunakan alat pembantu
berarti tanpa alat musik. Tukang syair yang menggunakan alat musik,
bercerita sambil memainkan alat musik seperti rebab atau gambus untuk
mengiringi cerita yang dilagukan mereka. Cara ini dianggap istimewa.
Sebagian besar tukang syair bercerita tanpa alat musik, dia hanya
mengandalkan suaranya.
Selain hal tersebut, teknik penyampaian syair dapat dilakukan
dengan dua cara. Pertama, secara formal, dan kedua secara tidak formal.
Pertama, teknik penyampaian syair secara formal maksudnya
penyampaian syair dilakukan atas dasar permintaan bila ada yang
mengundang atau pada acara-acara resmi. Seperti mengisi acara di kantor-
kantor, mengisi acara PBM yang setiap tahun diadakan oleh Pemda
Sumatera Utara, atau undangan orang yang punya hajatan di rumahnya.
Sedangkan teknik kedua tukang syair menyampaikan syair ialah secara
tidak formal. Penyampaian syair cara ini dapat dilakukan dimana saja dan
kapan saja, tergantung keinginan dan selera tukang syair itu sendiri.
Pembahasan berikutnya akan dikemukakan bagaimana Djakfar
tukang syair menyampaikan syairnya. Djakfar dalam menyampaikan
syairnya tidak menggunakan alat musik. Sedangkan mengenai cara
30 | Dr. Liesna Andriany
penyampaiannya sebenarnya hampir sama antara cara formal dengan
tidak formal. Walaupun begitu akan dikemukakan perbedaan kedua cara
tersebut.
Persiapan sebelum bercerita tergantung pada cara pelaksanaannya.
Pelaksanaan secara tidak formal tentu akan berbeda dengan cara
pelaksanaan secara formal. Bila penyampaian secara tidak formal, tentu
saja penyampaian cerita dapat dipertunjukkan di sembarang tempat, kapan
saja tukang syair itu mau bersyair. Dapat dilakukan di pasar, di warung
kopi, di ladang atau di rumah tergantung selera tukang syair itu sendiri.
Pakaian tukang syair pun biasa saja. Misalnya memakai pakaian kemeja
berlengan panjang dan bercelana panjang, atau menggunakan kaus oblong
saja beserta celana panjang. Ringkasnya, cerita disampaikan dengan cara
yang bersahaja, berbeda dengan penyampaian secara formal.
Bila penyampaian syair secara formal, maka sebelum tukang syair
menyampaikan suatu cerita, pihak yang mengundangnya perlu
menyediakan beberapa persediaan. Seperti tempat bercerita dan
persembahan untuk upacara sebelum bercerita. Biasanya tempat bercerita
tukang syair disediakan pada suatu tempat khusus yang bisa dilihat oleh
orang banyak. Tujuan menempatkan tukang syair ditempat tertentu ialah
supaya penonton dapat menyaksikan seluruh gerak-geriknya sewaktu
bercerita dan dapat mendengar ceritanya dengan jelas.
Pakaian yang digunakan juga disesuaikan dengan tempat dia akan
menyampaikan. Pak Djakfar akan memakai pakaian lengkap adat
Melayu yaitu pakaian ‘teluk belanga’. Pakaian teluk belanga umumnya
berleher bulat belahan 15cm pada bagian muka dan keliling leher diberi
tusuk-tusuk hias. yang berwarna kuning, hitam atau hijau. Kemudian
dipinggangnya dililitkan kain songket atau kain tekat. Sebagai tutup
kepalanya Pak Djakfar menggunakan kopiah atau peci.
| 31 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Khusus bagi Syair Putri Hijau dalam penyampaiannya tidak seperti
syair-syair yang lain. Pak Djakfar dan masyarakat Melayu memiliki
keyakinan bahwa Puteri Hijau itu masih ada dan memiliki kekuatan gaib.
Sehingga dipercayai bila akan menampilkan segala sesuatu yang
menyangkut tentang sang Puteri, seperti Syair Puteri Hijau harus terlebih
dahulu memberi tabik kepada sang Puteri untuk minta izin.
Cara minta izin dengan Puteri Hijau dengan memberi
persembahan. Persembahan inilah yang harus dipersiapkan terlebih dahulu
oleh yang mengundang. Benda-benda yang dipersiapkan itu terdiri dari
kapal kecil yang terbuat daripada pelepah pohon pinang yang mereka sebut
‘upik’. Pelepah pohon pinang itu dibentuk sedemikian rupa sehingga
menyerupai kapal layar. Di dalam kapal diisi dengan bunga rampai, bertih,
dan telur, setapak sirih serta kemenyan. Setelah itu kapal dihanyutkan ke
sungai. Sebelum dihanyutkan kemenyan diletakkan di suatu tempat
kemudian dibakar, setelah itu dimasukkan ke dalam kapal untuk
dihanyutkan. Kegunaan persembahan ini untuk mohon restu dan
keselamatan. Masih diyakini, bila tidak dilakukan maka bala akan
menimpa baik bagi tukang syair itu sendiri, pemilik hajat, maupun
masyarakat sekitarnya.
Persembahan tersebut dapat diganti dengan ‘nasi balai’. Seperti
ketika SPH akan dilantunkan oleh Pak Djakfar, ketua Tengku Syamsul
Azhar sebagai ketua MABMI Langkat meminta peneliti untuk membuat
sebuah ‘nasi balai’. Sebelum acara dilaksanakan balai ini diserahkan
kepada Pak Djakfar sebagai tukang syair yang katanya untuk meminta izin
dan mohon keselamatan agar semua tujuan dapat tercapai tanpa mendapat
hambatan. Bentuk ‘nasi balai’ bertingkat-tingkat dan pada umumnya
berkaki empat, seperti meja. Tinggi balai kira-kira setengah meter. Bentuk
susunannya sebagai berikut: tingkatan balai yang pertama berisi oulut
kuning, tingkatan paling atas berisi panggang ayam; di sekelilingnya
ditancapkan bunga telur dan beberapa batang merawal. Kemudian di
32 | Dr. Liesna Andriany
tengah-tengah dihiasi dengan bunga balai sedemikian rupa sehingga
menarik perhatian.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa Pak Djakfar dalam
bersyair tidak menggunakan alat musik, ia hanya mengandalkan suaranya
saja. Sebelum melagukan syair, Pak Djakfar minum air putih terlebih
dahulu dengan alasan, agar kerongkongannya tidak kering. Setelah Pak
Djakfar mengucapkan assalamu allaikum waalaikum nassalam yang
merupakan suatu kebiasaannya bila akan memulai pembicaraan.
Umumnya orang hanya mengucapkan assalamualaikum warrahmatullahi
wabarakatu atau dipendekkan hanya assalamualaikum saja. Pak Djakfar
mulai dengan suara yang tenang, nada yang agak rendah. Suaranya merdu
dan caranya mengucapkan kata-kata sangat sempurna. Untuk mendukung
irama lagunya, ia menggunakan telapak tangannya yang ditepuk-tepukkan
ke pahanya, serta kakinya dihentak-hentakkan ke lantai. Setiap
melantunkan suara yang agak tinggi, ia sering memejamkan matanya.
Ketika ditanya, dia menjawab, “untuk dapat mengkonsentrasikan pada
nada suara yang tinggi agar suara tidak pecah”.
Ciri-ciri umum yang terdapat pada pencerita sastra lisan pada
umumnya, terdapat juga dalam penceritaannya, di samping cirri-ciri
individualnya. Ia memiliki potensi suara yang merdu dengan vocal yang
bulat. Dalam bersyair dia merupakan seorang yang tenang, tidak begitu
banyak menggerakkan badan, ada pun gerakan badan dan gerakan anggota
badan hanya untuk menyesuaikan irama lagu ceritanya. Gaya tambahan
yang sering dilakukannya adalah anggukan kepala, tatapan mata, juga gaya
meletakkan tangan di pipi seperti orang mengumandangkan azan. Kadang-
kadang tangannya dipukul-pukulkan ke paha sambil menghentakkan
kakinya. Selain gerakan badan dan anggota badan, juga mimik wajah,
| 33 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
kerutan dahi, senyuman, ceria, dan ekspresi muka yang sedih, semua gaya
ini dipakai untuk mengisi penceritaannya.
Penceritaan dibagi menjadi duabelas tahap, yang dapat dibagi
secara garis besar menjadi tiga bagian yaitu tahap pendahuluan atau
pembukaan, tahap isi cerita, dan tahap menutup. Setiap selesai
penyampaian satu tahap, ia akan beristirahat sejenak. Dalam masa istirahat
itu ia akan mengambil kesempatan untuk meminum air putih atau
mengusap peluhnya. Setelah itu dilanjutkan kembali.
Pada waktu ia melagukan “meskipun cerita mustahil rasanya”
kepalanya ikut digelengkannya, sama dengan orang yang menyatakan
tidak mungkin. Pada bagian-bagian tertentu, adakalanya kepalanya
diangguk-anggukkan seolah-olah menyatakan setuju, gaya ini fungsinya
untuk memperkuat gaya penceritaan. Jadi suatu penceritaan hakekatnya
bukan hanya mengucapkan kata-kata atau baris-baris, tetapi merupakan
kegiatan yang menyangkut perbuatan anggota badan, pikiran, dan
penghayatan cerita. Sangat tepatlah bila dikatakan bahwa seorang syair di
samping harus mampu mengingat dan menceritakan cerita, juga harus
dapat melakonkan cerita itu di depan pendengarnya agar cerita itu benar-
benar hidup.
Gaya penceritaan yang dilakukan Pak Djakfar ketika bersyair,
tentu saja memiliki tujuan tertentu. Misalnya ia melakukan hal tersebut
untuk memancing pendengar agar tertarik pada cerita yang sedang mereka
dengarkan. Di samping itu, gerakan itu berguna pula untuk menghilangkan
kelakuan dan sifat monoton. Selain itu, di samping juga untuk dapat
menguasai cerita, tukang syair juga harus dapat menguasai dirinya agar
dapat bercerita secara wajar dan murni, bukan dibuat-buat, atau secara
tidak sadar. Di pihak lain, ia harus mampu menguasai pendengar agar
segala perbuatannya dalam penceritaan dapat disesuaikan pula dengan
pendengar. Jadi, tukang syair dan pendengar akan terikat oleh satu suasana
penceritaan yang serasi.
34 | Dr. Liesna Andriany
Pada gambaran penceritaan Pak Djakfar ini, jelas terlihat bahwa
tukang syair dalam mempertunjukkan kebolehannya bersyair, telah
memeras pikiran, perasaan, dan daya ingatnya agar penceritaannya baik
dan sempurna. Ia juga memanfaatkan suaranya dengan baik, gerak badan
dan anggota badan, agar makna cerita dapat lebih dipahami secara
mendalam oleh pendengar. Tidak ada unsur sekecil apa pun yang tidak
memiliki makna. Apa saja yang dibuatnya dalam penceritaan merupakan
cara untuk memperjelas cerita kepada pendengar. Pendengar harus dapat
menangkap cerita itu secara jelas dan utuh. Oleh karena itu, Pak Djakfar
harus dapat menciptakan suasana yang mendukung adegan yang
merupakan isi cerita Puteri Hijau.
Semua yang dilakukan oleh Pak Djakfar memiliki fungsi.
Pendengar cerita itu merasa jelas dan tertarik disebabkan oleh adanya gaya
yang menghiasi penceritaan seperti gelengan kepala, anggukan kepala,
gerakan tangan, hentakan kaki, mimik wajah yang berubah-ubah, variasi
suara yang tinggi-rendah, dan tempo yang cepat-lambat. Sedang bagi Pak
Djakfar, semua itu menjadi alat untuk membantu menghidupkan cerita dan
memperkuat makna cerita. Jadi dalam penampilan, ia menggunakan
semaksimal mungkin apa yang dipunyainya, agar cerita itu bisa dipahami
oleh pendengar dengan sebaik-baiknya.
Sifat enggan berterus terang dari masyarakat Melayu Deli
menyebabkan penyampaian sesuatu nasehat, petunjuk, dan sesuatu
maksud diungkapkan dengan mempergunakan ungkapan-ungkapan dan
perlambangan-perlambangan. Untuk maksud itu mereka mempergunakan
ungkapan-ungkapan tertentu melalui pantun, prosa liris, dan syair.
Masyarakat Melayu Deli, seperti masyarakat lainnya juga suka berkumpul
bila waktu lowong. Mereka sekembali dari ladang/sawah, hutan atau
bekerja lainnya untuk melepas lelah dan berkomunikasi dengan orang
| 35 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
sekelompoknya, mereka saling berkumpul. Sewaktu berkumpul mereka
mengisi waktu dengan jalan berbual ‘bercerita’, bokombu(r) ‘bercerita’
mendongeng dan lain-lain. Dalam pertemuan-pertemuan seperti itu
kemudian lahirlah apa yang dinamakan tukang cerita.
Seiring dengan masuknya agama Islam, tertumpang pula sastra
yang berbentuk syair dan sejenisnya sebagai penunjang penyebaran agama
Islam. Dengan demikian lahirlah tukang syair yang mampu menyairkan
tentang peristiwa sejarah, tentang asal-usul nama tempat, tentang makhluk
halus, dan sebagainya. Sehubungan dengan pengisian waktu lowong,
kemudian diikuti dengan keinginan akan hiburan, syair menjadi begitu
digemari oleh masyarakat Melayu Deli.
Pada masa dahulu, sering terdengar seseorang melagukan syair.
Seperti acara pesta perkawinan, saat menanam dan memanen padi,
membangun rumah dan sebagainya. Syair selain dipergunakan dalam
upacara-upacara tertentu, seperti upacara perkawinan, dipergunakan pula
untuk keperluan komunikasi antara petugas-petugas pemerintah dengan
masyarakat, misalnya, untuk menyampaikan penerangan atau lainnya.
Kadang-kadang juga seseorang bersyair untuk menghilangkan hati yang
sedih dan mengenang nasib.
Penyampaian syair dapat dilakukan pada tempat tertentu (secara
formal) sesuai dengan permintaan penanggap dan dimana saja (tidak
formal) sesuai dengan keinginan tukang penyair atau pun pendengarnya.
Bersyair dan mendengar syair merupakan hiburan yang digemari
masyarakat Melayu. Kebanyakan masyarakat Melayu di pedesaan adalah
petani, menurut Isa (1987:6-7) dalam masyarakat tani yang masih tebal
dengan unsur-unsur tradisional itu, hiburannya juga berupa hiburan
tradisional. Pertunjukan syair biasanya pada masa dulu selain pelengkap
acara hajatan, juga sebagai hiburan setelah orang selesai bekerja.
Masyarakat Melayu gemar bersyair atau pun mendengarkannya.
Bila musim menanam dan musim panen padi tiba, seorang pria atau wanita
yang pintar bersyair akan melagukan syair dengan irama yang merdu,
36 | Dr. Liesna Andriany
sementara yang lainnya mendengarkan sambil duduk atau berbaring
dengan santai, setelah lelah bekerja. Syair juga dilagukan ketika waktu-
waktu senggang, yang dimaksudkan waktu senggang ialah pada waktu
beristirahat selepas kerja seharian dari kebun/ladang atau dari laut selesai
menangkap ikan, biasanya diwaktu malam hari hingga menjelang dini hari,
bahkan kadang sampai beberapa malam. Juga sering dilakukan orang tua
yang bercerita kepada anaknya, berceritanya dalam bentuk syair
menjelang hendak tidur21.
Di Yugoslavia, menurut Lord (1976:14-16) puisi epik Yugoslovia
merupakan hiburan utama bagi penduduk laki-laki dewasa yang tinggal di
desa-desa atau di kota-kota kecil. Penceritaannya dapat dilaksanakan di
salah satu rumah tempat orang berkumpul pada waktu senggang sesudah
bekerja, di kedai minuman, di pasar, di pesta, dan pada waktu bulan puasa.
Sedang pada masyarakat Melayu, bersyair dapat dilakukan disembarang
tempat, dan digemari oleh tua dan muda baik itu laki-laki maupun
perempuan, juga pertunjukan syair bagi masyarakat Melayu merupakan
sarana hiburan.
Penyampaian syair sering dilakukan di acara perkawinan, acara
promosi wisata, dan divestifal budaya Melayu. Pada acara perkawinan
penyampaian syair dilakukan pada saat ‘malam berinai’ yaitu malam
sebelum menikah, calon pengantin dihiasi menurut perkawinan pengantin,
yaitu pakai dester dan sebagainya. Didudukkan di atas pelaminan,
ditepungtawari, sambil memalitkan sedikit inai ketapak tangan calon
pengantin (Husny, 1972:98)
Malam sebelum akad nikah diadakan acara berinai, kuku dan ujung
jari tangan serta kaki calon pengantin dibungkus dengan inai, kemudian
calon pengantin didudukkan di pelaminan. Pesta berinai ini biasanya
dimeriahkan dengan hiburan-hiburan dari kesenian budaya Melayu seperti
tari inai, marzanzi, marhaban, bordah, dan syair. Untuk menampilkan
hiburan tersebut dibuat pantas yang diletakkan sedemikian rupa sehingga
dapat dilihat oleh calon pengantin dan para undangan. Biasanya
| 37 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
penyampaian syair dilakukan pada bagian akhir setelah hiburan-hiburan
lain ditampilkan, karena penyampaian syair biasanya lama dan bisa
semalam suntuk. Dipercayai dengan adanya hiburan ini menambah
kekuatan gaib dari inai yang memang sudah memiliki kekuatan gaib untuk
mengusir setan dan lain-lainnya (Husny, 1972:99). Namun sekarang acara
adat seperti ‘malam berinai’ yang sudah menjadi tradisi ini sudah mulai
hilang, karena untuk mengadakan acara ini harus mengeluarkan biaya
besar. Hanya orang-orang yang mampu saja yang bisa melaksanakan
tradisi seperti ini. Selain itu kemajuan di bidang hiburan seperti radio,
televise, dan media cetak menyebabkan terjadinya pengaruh terhadap
penggunaan peranan syair sebagai hiburan.
Syair juga disampaikan pada acara promosi wisata. Pemda
Sumatera Utara tiap setahun sekali selalu mengadakan bulan promosi, baik
promosi industri maupun promosi wisata yang ada di Sumatera Utara.
Acara tersebut disebut “Medan Fair”, setiap kabupaten menempati sebuah
vaviliun dan disinilah diperkenalkan hasil industri dan daerah wisata, serta
kesenian dan kebudayaan daerah diperkenalkan kepada pengunjung.
Setiap malam untuk memeriahkan suasana, ditampilkan kesenian daerah
masing-masing. Seperti vaviliun Kabupaten langkat pada bulan April 2002
menampilkan kesenian daerah Melayu berupa tari-tarian Melayu,
bededeng, dan syair. Menurut Zainal (ketua Persatuan Kesenian Melayu
Langkat) dengan adanya “Medan Fair” ini manfaatnya banyak bagi
perkembangan kesenian budaya Melayu. Group kesenian yang dibinanya
sering diundang oleh kerajaan Malaysia untuk mengisi acara-acara
kesenian di Negara tersebut, seperti tari-tarian Melayu, bededeng, dan
syair.
Akhir-akhir ini, syair diceritakan dalam pertandingan di desa-desa
dan di kecamatan, bahkan antarnegara Asean. Usaha untuk melestarikan
pertunjukan syair ini Pemda telah membuat jadwal yang rutin diadakan
setiap tahun. Pelaksanaannya dilakukan di Taman Budaya Medan dengan
tajuk Pekan Budaya Melayu. Tapi sayang menurut Pak Djakfar setelah era
38 | Dr. Liesna Andriany
reformasi ini kegiatan tersebut terhenti. Mudah-mudahan keadaan ini tidak
berlangsung lama, karena bila tidak ada usaha untuk menjaganya dari
kepunahan, kemungkinan kebudayaan Melayu yang memiliki nilai seni
yang tinggi akan hilang.
Selain adanya kehendak masyarakat untuk mempertahankan
tradisi, dijumpai pula kelenturan dalam mempertahankan tradisi ini. Kaum
muda sudah banyak yang tidak lagi memperhatikan kelangsungan tradisi
nenek moyang mereka, sebab ada hal-hal menurut mereka kurang serasi
dengan perkembangan keadaan. Upacara-upacara adat yang dilaksanakan
secara panjang kurang menarik perhatian mereka, karena tidak sesuai
dengan kondisi masa kini. Pertunjukan syair ini diancam kepunahan,
karena penutur syair sekarang adalah orang-orang yang sudah lanjut usia,
sedangkan tokoh muda untuk melanjutkannya tidak kelihatan.
| 39 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Konsep yang digunakan sebagai pola acuan dalam struktur ini ialah
teori struktural. Luxemburg (1989:36) menjelaskan bahwa struktur adalah
kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala. Kaitan tersebut
diadakan oleh seorang peneliti berdasarkan observasinya. Ditegaskan lagi
oleh Luxemburg, sebuah karya sastra atau peristiwa di dalam masyarakat
menjadi keseluruhan karena adanya relasi timbal balik antara bagiannya
dan antara bagian-bagian dengan keseluruhan. Karya sastra merupakan
suatu bentuk keseluruhan yang bagian-bagiannya saling terjalin
Analisis struktural pada prinsipnya bertujuan untuk membongkar
dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin
keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek yang terkandung, yang
bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, 1984:135).
Karya sastra mempunyai sebuah sistem yang terdiri atas seperangkat unsur
yang saling berhubungan. Maka untuk mengetahui kaitan antar unsur
dalam sebuah karya sastra itu penelaah teks sastra diawali dengan
pendekatan struktural.
Pendekatan struktural memusatkan perhatiannya pada sastra itu
sendiri, sebagai suatu dunia otonom. Sastra sebagai suatu totalitas
mengandung suatu struktur yang hanya dapat dipahami berdasarkan
unsur-unsurnya. Demikian juga unsur-unsur tersebut memainkan peranan
40 | Dr. Liesna Andriany
yang hakiki. Oleh karena itu struktur karya sastra merupakan hubungan
antara unsur-unsur oembentuk dalam suatu keseluruhan.
Sebagai konsekuensi praktisnya, analisis struktural terhadap karya
sastra dilakukan dengan memusatkan amanatnya hanya pada karyanya,
mengungkapkan unsur-unsur pembangun strukturnya, dengan menelitinya
secara cermat, dan mengamati bentuk pertalian antar unsur yang
membangunnya menjadi satu struktur yang utuh, bulat, dan menyeluruh.
Syair adalah struktur yang merupakan susunan keseluruhan yang utuh.
Antara bagian-bagiannya saling berhubungan erat. Tiap unsur dengan
situasi tertentu tidak mempunyai arti dengan sendirinya, melainkan
ditentukan oleh hubungan dengan unsur-unsur lainnya yang terlibat dalam
situasi itu.
Untuk menganalisis struktur Syair Putri Hijau digunakan
pendekatan Ruth Finnegan. Finnegan (1979:90) menyatakan (forms and
genres are recognised because they are repeated. The collocations of line
or stanza or refrain are based on their repeated recurrence: metre, rhythm
or stylistic features like alliteration or parallelism are also based on
repeated patterns or sound, syntax or meaning). (bentuk dan genre
dikenali karena perulangan yang diulang. Kolokasi dari baris atau stanza
atau ulangan (refrain) berdasarkan perulangan yang diulang-ulang, seperti
rima, ritme, atau ciri khas stilistik seperti alliterasi, paralelisme juga
berdasarkan perulangan pola-pola bunyi, sintaks atau makna). Menurut
Finnegan (1979:90) the prosodic system is perhaps the feature which most
immediately gives form to a poem (sistem prosodic merupakan cirri khas
yang lebih banyak memberikan bentuk pada sebuah puisi). Tidak hanya
rima, tetapi juga mencakup aliterasi, asonansi, ritme, perulangan nada,
atau paralelisme. Pembahasan sistem prosodic tersebut harus ditujukan
pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat ‘istimewa’ atau khusus,
yaitu yang dipergunakan untuk mendapat efek puitis atau nilai seni.
Ritme timbul dari perulangan bunyi berturut-turut dan bervariasi,
misalnya rima akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena adanya
| 41 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
paralelisme, ulangan-ulangan kata, ulangan-ulangan bait. Juga disebabkan
oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian, disebabkan oleh sifat-sifat
konsonan dan vokalnya atau panjang pendeknya kata, juga disebabkan
oleh kelompok-kelompok sintaksis: gatra atau kelompok kata (Finnegan,
1907:90-109).
Penyair berusaha mengekspresikan jiwanya dalam puisi. Sarana
untuk mengekspresikan jiwanya dengan menggunakan makna kata dan
efek yang ditimbulkan oleh kata tersebut, seperti denotative, konotatif,
kosa kata, diksi, bahasa kiasan, citra, sarana retorika, faktor
ketatabahasaan, dan lain-lain yang berhubungan dengan struktur kata-kata
atau kalimat puisi. Namun penyair juga menggunakan kata-kata untuk
mengekspresikan perasaannya demgan kata-kata yang tidak dimengerti
oleh pendengarnya. Seperti dikemukakan Quain (dalam Finnegan,
understands…to fit his rhytms’ (bahkan ada pula pada situasi tertentu
dimana pengarang memilih kata-kata yang hanya ia sendiri yang mengerti
– untuk mencocokkan ritme puisinya).
Syair mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan,
merangsang imajinasi yang dikemas dalam susunan yang berirama.
Semua itu merupakan satu struktur yang utuh, bulat dan menyeluruh, yang
diekspresikan, dinyatakan dengan menarik. Syair merupakan rekaman dan
interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang
berkesan.
Kajian struktural merupakan kajian yang berusaha melihat
interelasi unsur atau bagian karya sastra. Hubungan antarunsur yang
diciptakan oleh karya sastra lebih penting daripada karya sastra itu sendiri.
Makna karya sastra sepenuhnya baru dapat diperoleh jika unsur-unsur itu
terintegrasi di dalam struktur yang merupakan keseluruhan satuan-satuan.
Keindahan puisi (baca syair) sebenarnya berada dalam
keterpaduan, kekompakan dan tidak dalam keadaan terpisah-pisah.
Pradopo (1987: 118) menyatakan, kajian struktural adalah kajian yang
melihat bahwa unsur-unsur sajak itu berhubungan secara erat, saling
42 | Dr. Liesna Andriany
menentukan arti. Jadi, sebuah unsur tidak mempunyai makna dengan
sendirinya terlepas dari unsur-unsur lainnya.
Teeuw (1983b:61) menyatakan, kajian struktural adalah suatu
tahap analisis sastra yang sukar dihindari sebelum menuju ke kajian
selanjutnya. Oleh sebab itu sebelum pembahasan mengenai nilai-nilai
budaya, fungsi, dan makna simbolik serta resepsi masyarakat terlebih
dahulu menganalisis struktural.
Untuk mempermudah dalam melihat contoh, akan digunakan
singkatan SPH, angka rumawi sebagai petunjuk tahapan dalam syair, dan
angka arab sebagai petunjuk bait pada syair. Contoh: SPH, IV: 127-130
artinya SPH: Syair Putri Hijau, IV: tahap keempat yang diberi judul
“Mencari Cahaya Hijau”, dan 127-130: bait ke-127 sampai bait ke-130.
SPH merupakan suatu cerita yang dapat dibagi atas beberapa
bagian yang disebut tahapan. Tahap awal merupakan pembukaan dari
cerita yang dimulai dengan Bismillah, yang artinya ‘dengan nama Allah’.
Kata ‘bismillah’ berasal dari kata Arab yang diambil dari ayat suci Al-
Qur’an yaitu Bismillaahirrohmanirrahiim yang artinya ‘dengan nama
Allah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang’. Tukang syair memilih
kata lain sebagai kata pendamping pada kata ‘Bismillah’ dengan
mempertimbangkan persesuaian bunyi akhir dengan kata yang menjadi
inti pada tahap pembukaan. Dengan terlebih dahulu mengucap Bismillah
dengan ditambah dengan kata-kata lain pada permulaan baris pembukaan,
tukang syair ingin menyatakan bahwa syair segera dimulai.
Nor (1986:28) menyimpulkan bahwa biasanya syair Melayu, pada
permulaan syair itu dituliskan puji-pujian kepada Allah seperti terdapat
pada ‘Syair Perang Mengkasar’, ‘Syair Burung Pungguk’, ‘Syair Cinta
Berahi’, ‘Syair Sultan Yahya’. ‘Syair Bidasari’ dan beberapa syair yang
lain lagi. Hal ini berlaku pula pada SPH, kata ‘Bismillah’ pada
| 43 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
pendahuluan SPH erat kaitannya dengan pandangan hidup masyarakat
Melayu, bahwa Melayu itu harus Islam. Masyarakat Melayu sangat
berpegang teguh pada ajaran Islam. Setiap memulai melakukan suatu
kegiatan harus dimulai dengan kata Bismillahirrahmaniirahiim.
Pendahuluan SPH adalah sebagai berikut:
Bismillah itu bermula kata
dengan nama Allah Tuhan Semesta
dikarangkan syair suatu cerita
orang dahulu empunya kata
(SPH, I:1)
Kata ‘cerita’ merupakan inti dari baris pembukaan syair ini.
Tukang syair menitikberatkan syair pada kata ‘cerita’ dan ‘dahulu’.
Dengan kata ‘cerita’ berarti syair yang akan disampaikan berupa sebuah
cerita dan kata ‘dahulu’ menunjukkan waktu terjadinya cerita tersebut
pada masa dahulu atau masa silam.
Dalam pembukaan syair ini dinyatakan bahwa SPH berdasarkan
kisah nyata dan benar-benar terjadi di tanah Deli Sumatera Timur. Wujud
tiga peninggalan yang dibicarakan sebagai bukti yaitu sebuah pancuran
mandi Putri Hijau di Deli Tua, Meriam Puntung di istana Maimun
Medan, dan bekas tempat turun naga di sungai Deli Medan. Untuk lebih
jelasnya akan dikutipkan cuplikan syair tersebut sebagai berikut:
Cerita ini nyata terjadi
di Sumatera Timur di tanah Deli
konon cerita lama sekali
hikayat osorang raja yang asli
(SPH, I:4)
44 | Dr. Liesna Andriany
Tiga keterangan saya tunjukkan
tuan dan puan boleh saksikan
bersama-sama kita pikirkan
benarkah ia atau pun bukan
(SPH, I:9)
Keterangan pertama mula dibagi
sebuah pancuran tempatnya mandi
sampai sekarang tinggallah sendi
di Deli Tua adalah lagi
(SPH, I:10)
Kerangan keterangan kedua lagi suatu
di istana maimun tempatnya mandi
meriamlah puntung asalnya ratu
beratapkan ijuk berlantaikan batu
(SPH, I:12)
Keterangan ketiga konon kabarnya
seekor naga yang amat besarnya
sungailah Deli tempat lalunya
sampai sekarang ada bekasnya
(SPH, I:13)
Bukti-bukti yang tersebut di atas itulah yang dianggap sebagai
peninggalan Putri Hijau. Sehingga cerita Putri Hijau ini dianggap tukang
syair bukanlah hanya sekedar dongeng atau legenda tetapi merupakan
cerita sejarah.
| 45 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Setelah tahap pembukaan, selanjutnya tahap yang menceritakan
rangkaian peristiwa, yang penyampainnya dalam bentuk bersajak atau
berirama. Setiap tahapan itu biasanya dimulai dari awal sampai akhir
peristiwa, urutan penceritaannya dari satu tahapan ke tahapan berikutnya
(linear). Proses ini ada hubungannya dengan penceritaan secara lisan yang
tidak memungkinkan untuk melompat dari satu peristiwa ke peristiwa
yang lain. Jika terjadi lompatan peristiwa besar kemungkinan tukan syair
akan menemukan kesulitan untuk menjalin kembali ceritanya. Selain itu
cara ini juga untuk memudahkan ingatan pencerita sehingga tukan syair
lancer menyairkannya.
Pergantian dari tahapan satu ke tahapan berikutnya ditandai oleh
judul yang dikemukakan oleh tukang syair. Dengan judul yang
dikemukakan itu si pendengar dapat mudah mengikuti jalannya cerita.
Tukang syair akan menguraikan dengan cara melagukan atau
menyairkannya tahapan demi tahapan sehingga tahapan itu menjadi satu
rangkaian cerita yang utuh.
Tahapan-tahapan disusun oleh tukang syair dengan merangkaikan
baris-baris menjadi bait. Masing-masing bait terdiri atas empat baris, dan
biasanya berisi empat atau lima kata setiap barisnya. Bait itu hanya
merupakan bagian terkecil dari tahapan, jadi bukan merupakan tahapan.
Sesudah satu bait dibeberkan, tukan syair berhenti sejenak untuk menarik
nafas, baru kemudian melanjutkan pada bait berikutnya. Namun kadang-
kadang pemisahan antara satu bait dengan bait yang lain diantarai oleh
perhentian yang agak pendek namun bernada menurun. Pemisahan antara
satu bait dengan bait yang lain ditandai dengan suku kata pada akhir
baris diucapkan panjang. Satu baris biasanya terjadi dua kali perpanjangan
kasta pada suku kata, yaitu pada suku kata terakhir kata kedua, dan suku
kata terakhir pada kata keempat atau kelima.
46 | Dr. Liesna Andriany
Ada tahapan pembukaan tentu ada tahapan penutup. Tahapan akhir
merupakan tahapan penutup yang diberi judul ‘akhirulkalam’. Pada
tahapan penutup ini tukang syair merendahkan diri dan mohon maaf apa
bila ada kesalahan, juga harapan untuk dapat berjumpa kembali dilain
waktu. Sejarah Putri Hijau tidak akan pernah berakhir. Tukang syair
menundukkan kepala memberi hormat dan tanda mohon diri dari pada
pendengar. Tukang syair menutupnya sebagai berikut:
Sampai disini syair pun tamat
syairnya banyak tak betul amat
mengarangkan dia habislah cermat
pinggang dan tengkuk rasanya lumat
(SPH, XII:271)
Akhirulkalam saya berperi
tangan diangkat sepuluh jari
sembah diatur kanan dan kiri
ampun dan maaf mohon diberi
(SPH, XII:273)
Kapal berlayar ke pulau pinang
hendak menuju ke negri sebrang
sejarah Putri Hijau tidakkan hilang
selagilah bumi lagi terbentang
(SPH, XII:275)
Bagian penutup juga kita dapati nama tukang syair. Dapat dilihat pada bait
terakhir.
| 47 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Daun selasih di atas dulang
Dulang berseni di atas tikar
Terimalah kasih yang kami lagukan
Yang melagukan djakfar (SPH, XII:277)
C. Bait, Baris, dan Kata
Jumlah bait, baris, kata termasuk suku kata dalam puisi tradisional
(baca syair) sangat diperhitungkan. Jumlah bait dalam sebuah syair
tergantung pada panjangnya cerita yang akan disampaikan. Seperti
dikemukakan Finnegan (1979:93) In the east, by contrast, syllable
counting is a common basis for metrical forms (di timur, perhitungan suku
kata adalah dasar umum untuk bentuk-bentuk berima). Edmonson (dalam
Finnegan, 1979:93) memberi contoh, for instance, in Japanese court
poetry, Toda song’s, Malay and Balinese verse, and in much of the poetry
of China, Mongolia and Korea (puisi di kalangan istana Jepang, lagu-lagu
Toda, puisi Melayu dan Bali, dan dalam banyak puisi Cina, Mongolia dan
Korea). Baris dalam puisi biasanya dibentuk dari frase dan pada akhir frase
biasanya bernada tinggi dan diikuti oleh jeda yang menunjukkan larik itu
belum lengkap atau biasa disebut dengan enjambemen. Karena peristiwa
sambung menyambungnya isi dua larik sajak yang berurutan disebut
dengan enjambemen (Sudjiman, 1986:25).
Fungsi bait menurut Luxemburg (1989: 196) adalah membagi
sebuah teks menjadi bab-bab pendek. Pembagian ini mendukung susunan
tematik yang ingin diuraikan atau diutamakan penyair. Bentuk bait puisi
apabila diuraian dalam bentuk alinea, maka akan terdiri dari beberapa
kalimat panjang. Sedangkan baris-baris puisi merupakan pemadatan dari
baris-baris kalimat biasa, maka sering ditemui tidak adanya kata
penghubung atau kata tunjuk seperti halnya dalam kalimat sehari-hari.
48 | Dr. Liesna Andriany
Secara fungsional bentuk bait mempunyai kesamaan dengan bentuk baris,
yakni menambah kesan estetis dan kesan puitis.
Ciri-ciri umum bentuk syair, terdiri dari empat baris, setiap baris
mengandung empat kata sekurang-kurangnya teridir dari sembilan sampai
dua belas suku kata (Fang, 1993:201). Suku kata bahasa Melayu biasanya
berupa dua atau tiga suku kata, sehingga jumlah suku kata pada tiap baris
bisa menjadi delapan hingga dua belas suku kata. Hanya persajakan akhir
syair memakai skema rima aaaa (Hartoko, 1986:140). Walaupun begitu
mungkin ada juga sebagai variasi dalam skema rima yang lain seperti aaba.
Pada analisis ini akan dicoba mencari faktor-faktor tersebut di atas dari
SPH ini.
SPH terdiri atas 12 tahapan. Setiap tahapan memiliki judul dan
memuat beberapa bait. Masing-masing bait terdiri atas empat baris dan
biasanya berisi tiga kata, empat kata, lima kata, bahkan enam kata per
baris. Jumlah suku katanya ada yang tujuh suku kata, delapan suku kata,
sembilan suku kata, 10 suku kata, 11 suku kata, 12 suku kata, 13 suku kata,
14 suku kata, 15 suku kata, dan 16 suku kata setiap baris.
Tahapan I dengan judul “Syair Putri Hijau” terdiri dari 14 bait.
Masing- masing bait tediri atas empat baris. Setiap baris jumlah katanya
bervariasi, ada tiga kata, empat kata, dan ada enam kata. Jumlah suku
katanya ada yang 10 suku kata, 11 suku kata, 12 suku kata, dan 15 suku
kata setiap baris. Seperti contoh berikut ini:
Cerita ini nyata terjadi
di Sumatera Timur di tanah Deli
konon cerita lama sekali
hikayat osorang raja yang asli
(SPH, I:4)
| 49 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Tiga keterangan saya tunjukkan
tuan dan puan boleh saksikan
bersama-sama kita pikirkan
bernarkah ia atau pun bukan
(SPH, I:9)
Karangan keterangan kedua lagi suatu
di istana maimun tempatnya itu
meriam puntung asalnya ratu
beratapkan ijuk berlantaikan batu
(SPH, I:12)
Bait (4), (9), dan (12) masing-masing berisi empat baris, pada bait
(4), baris pertama empat kata dan jumlah suku katanya sepuluh suku kata,
baris kedua enam kata dan jumlah suku katnaya 11 suku kata, baris ketiga
empat kata dengan jumlah suku katanya 10 suku kata, dan baris keempat
lima suku kata dengan jumlah suku katanya 11 suku kata. Pada bait (9),
baris pertama empat kata dan jumlah suku katanya 11 suku kata, baris
kedua lima kata dan suku katanya berjumlah 10 suku kata, baris ketiga
tiga suku kata dengan jumlah suku katanya sepuluh, dan baris keempat
empat kata dengan jumlah suku katanya sepuluh. Bait (12), baris bertama
lima kata dan jumlah suku katanya 15 suku kata, barus kedua lima kata
dan jumlah suku katanya 12, barus ketiga empat kata dengan jumlah suku
katanya 11, dan baris keempat empat kata dengan jumlah suku katnaya 12
suku kata.
Tahapan II dengan judul “Sultan Sulaiman” terdiri atas 14 bait.
Masing-masing bait terdiri atas empat baris. Setiap baris jumlah katanya
ada yang tiga kata, empat kata, dan lima kata. Jumlah suku kata masing-
masing baris bervariasi, ada sembilan suku kata, 10 suku kata, 11 suku
50 | Dr. Liesna Andriany
kata, 12 suku kata, 14 suku kata, dan 15 suku kata. Seperti contoh berikut
ini
Wajahnya bersinar berseri-seri
laksana paras anakkan peri
tiada bandingnya di dalam negeri
mahal didapat sukar dicari
Putih kuning tubuhnya sedan
giginya berkilat sebagai intan
laksana sinar bintang selatan
menjadikan lupa segala ingatan
(SPH, II 19-20)
Pertolongan tabib pun tiada berfaedah
semakin gering sultan yang syahda
ajal baginda hampirlah sudah
ke negeri baka akan berpindah
(SPH, II:24)
Selesai setelah selesai pekerjaan itu
tinggallah putranya berhati mutu
duduk bermenung setiap waktu
ingkatkan ayahda paduka ratu
(SPH, II:27)
Bait (19), (20), (24), dan (27) masing-masing terdiri atas empat
baris. Baris pertama pada bait (19) berisi tiga kata dengan jumlah suku
katanya 11, baris kedua berisi empat kata dan jumlah suku katanya 10 suku
kata, baris ketiga berisi lima kata dan suku katanya berjumlah 12 suku kata,
dan baris keempat empat kata dengan jumlah suku katanya 10 suku kata,
| 51 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
dan bait (20) setiap baris terdiri atas empat kata namun jumlah suku
katanya berbeda, baris pertama jumlah suku katanya sembilan suku kata,
baris kedua 11 suku kata, baris ketiga 10 suku kata, dan baris keempat 12
suku kata. Pada bait (24) setiap baris terdiri dari lima kata kecuali baris
ketiga terdiri atas empat kata, sedangkan jumlah suku katanya bervariasi,
baris pertama 14 suku kata, baris kedua dan ketiga 10 suku kata, dan
baris keempat 11 suku kata. Bait (27) selain baris pertama yang berisi lima
kata, setiap barisnya terdiri atas empat kata, jumlah suku katanya masing-
masing berbeda, baris pertama 15 suku kata, baris kedua dan keempat 11
suku kata dan baris ketiga 10 suku kata.
Tahapan III dengan judul “Raja Aceh” terdiri atas 11 bait. Masing-
masing bait berisi empat baris. Setiap baris bervariasi jumlah katanya, ada
yang tiga kata, empat kata, dan lima kata. Baris-baris tersebut ada yang
memuat sembilan suku kata, 10 suku kata, 11 suku kata, 12 suku kata, dan
13 suku kata. Seperti contoh berikut.
Ada kepada masa suatu
petang Jum’at malamnya sabtu
Baginda berdiri di muka pintu
Sambil memandang ke sini Satu
(SPH, III:32)
kepada wajir baginda berkata
wahai pamanda coba cerita
cahaya apakan demikian yang nyata
belumlah pernah dipandang masa
(SPH III:35)
Setelah siang sudahlah hari
52 | Dr. Liesna Andriany
Baginda semacam balairungsari
dihadap oleh perdana mentri
wajahnya muram tiada terperi
(SPH, III:37)
Bait (32), (35), dan (37) terdiri atas empat baris. Bait (32), baris
pertama dan kedua berisi empat kata, dan baris ketiga serta baris keempat
berisi lima kata, sedangkan jumlah suku katanya bervariasi, baris pertama
dan keempat 10 suku kata, sedangkan baris kedua dan ketiga sembilan
suku kata dan 11 suku kata. Pada bait (35) setiap baris terdiri atas empat
kata kecuali baris ketiga lima kata, jumlah suku kata baris pertama 11
suku kata, baris kedua dan keempat 10 suku kata, dan baris ketiga 13
suku kata. Pada bait (37), setiap baris terdiri atas empat kata kecuali baris
kedua terdiri atas tiga kata, jumlah suku kata baris pertama 10 suku kata,
baris kedua 12 suku kata, baris ketiga dan keempat 11 suku kata.
Tahapan IV dengan judul “Mencari Cahaya Hijau” terdiri atas 52
bait. Masing-masing bait berisi empat baris. Masing-masing baris ada yang
berisi tiga kata, empat kata, dan lima kata. Sedangkan jumlah suku kata
setiap baris bervariasi, ada sembilan suku kata, 10 suku kata, 11 suku kata,
12 suku kata, 13 suku kata, dan 14 suku kata. Dapat dilihat pada contoh
berikut.
Dengan takdir Robbulijaji
sampailah mereka ke Labukan Deli
ke dalam kota langsung sekali
sambil menyamar sebagai kuli
(SPH, IV:46)
Cantiklah sungguh puteri bangsawan
| 53 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
bersama dengan budi dermawan
mukanya jujur kilau-kilauan
memberi asyik laki-laki dan perempuan
(SPH, IV:55)
Setelah kelengkapan sedia belaka
sauh ditarik layar dan jangka
kapal melancar di Selat Malaka
hilang dimata dengan seketika
(SPH, IV:57)
Bait (46), (55), dan (57) terdiri atas empat baris. Pada bait (46),
baris pertama berisi tiga kata, baris kedua dan ketiga berisi lima kata, dan
baris keempat berisi empat kata, sedangkan jumlah kata pada baris pertama
sembilan suku kata, baris kedua 12 suku kata, dan baris ketiga dan keempat
10 suku kata. Bait (55), baris pertama dan kedua terdiri atas empat kata,
baris ketiga tiga kata, dan baris keempat lima kata, jumlah suku kata pada
baris pertama 11 suku kata, baris kedua dan ketiga 10 suku kata, dan baris
keempat 14 suku kata. Bait (57), baris pertama dan keempat berisi empat
kata, dan baris kedua dan ketiga berisi lima kata, jumlah suku kata baris
pertama 13 suku kata, baris kedua 10 suku kata, dan baris ketiga dan
keempat 11 suku kata.
Tahapan V yang berjudul “Raja Aceh Pergi Menyerang” terdiri
atas 41 bait. Setiap bait berisi empat baris. Masing-masing baris ada yang
mengandung tiga kata, empat kata, dan lima kata. Jumlah suku kata tiap-
tiap baris bervariasi, ada sembilan suku kata, 10 suku kata, 11 suku kata,
12 suku kata, 13 suku kata, 14 suku kata, dan 15 suku kata. Dapat dilihat
pada contoh berikut.
54 | Dr. Liesna Andriany
Baginda pun lalu mengadakan musyawarah
maksud hendak berkirim surat
ke Deli disampaikan hasrat
supaya tiada kekurangan syarat
(SPH, V:101)
Tersebut kisah di dalam istana
Baginda mufakat dengan sempurna
menghimpun laskar dimana-mana
dengan seketika menderu bahana
(SPH, V:109)
Setelah malamlah sianglah tentu
lengkaplah sudah semuanya itu
keluarlah laskar dari kota batu
akan bertempur membela ratu
(SPH, V:111)
Begitulah kebanyakan manusia sekarang
melihat uang matanya terang
meskipun lehernya akan diparang
berani lenyap setianya kurang
(SPH, V:123)
| 55 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Bait (101), (109), (111), dan (123) terdiri dari empat baris. Pada
bait (101), baris pertama dan ketiga berisi lima kata, baris kedua dan
keempat berisi empat kata, sedangkan jumlah suku kata baris pertama 14
suku kata, baris kedua dan ketiga sembilan suku kata, baris keempat 12
suku kata. Bait (109), baris pertama memuat lima kata, baris kedua empat
kata, baris ketiga tiga kata, dan baris keempat empat kata, jumlah suku
kata baris pertama dan kedua 11 suku kata, baris ketiga 10 suku kata, dan
baris keempat 12 suku kata. Pada bait (111) baris pertama dan baris ketiga
terdiri atas lima kata, dan baris kedua dan keempat empat kata, jumlah
suku kata pada baris pertama 13 suku kata, baris kedua 11 suku kata, baris
ketiga 12 suku kata, dan baris keempat 10 suku kata. Pada bait (123), setiap
baris terdiri atas empat kata, sedangkan jumlah suku katanya bervariasi,
baris pertama 15 suku kata, baris kedua 10 suku kata, dan baris ketiga
serta baris keempat 11 suku kata.
Tahapan VI yang berjudul “Raja Aceh dengan Putri Hijau” terdiri
atas 16 bait. Masing-masing bait berisi empat baris. Setiap baris ada yang
memuat tiga kata, empat kata, lima kata, dan enam kata. Jumlah kata
masing-masing baris ada yang sembilan suku kata, 10 suku kata, 11 suku
kata, 12 suku kata, 13 suku kata, dan 14 suku kata. Seperti contoh berikut.
Setelah tiba di dalam istana
puteri dicarinya ke sini ke sana
hatinya suka terlalu bena
perampangnya menang dengan sempurna
Demi terpandang oleh Baginda
atas paras puteri yang syahda
iman tergoyang di dalam dada
56 | Dr. Liesna Andriany
berahinya terbit berganda-ganda
(SPH, VI:137-138)
Hanya sedikit permohonan ada
pada tuanku usul yang syahda
jika ada rahim adinda
harap kabulkan jangan tiada
(SPH, VI:142)
Baginda mendengar kata begitu
hatinya riang bukan suatu
kelengkapan kesediaan ini dan itu
inang pengasuh untuk membantu
(SPH, VI:139)
Bait (137), (138), (142), dan (149) terdiri atas empat baris. Pada
bait (137), baris pertama mengandung lima kata, baris kedua enam kata,
baris ketiga dan keempat empat kata, jumlah suku kata baris pertama dan
baris keempat 11 suku kata, baris kedua 13 suku kata, dan baris ketiga 10
suku kata. Bait (138), baris pertama berisi empat kata, baris kedua dan
ketiga lima kata, dan baris keempat tiga kata, sedangkan jumlah kata baris
pertama dan ketiga 10 suku kata, baris kedua 12 suku kata, dan baris
keempat 11 suku kata. Bait (142), setiap baris berisi empat kata, kecuali
baris kedua lima kata, sedangkan jumlah kata. Baris pertama 11 suku kata,
baris kedua dan keempat 10 suku kata, dan baris ketiga sembilan suku kata.
Pada bait (149), setiap baris berisi empat kata kecuali baris ketiga lima
| 57 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
kata, jumlah suku kata baris pertama 11 suku kata, baris kedua dan
keempat 10 suku kata, dan baris ketiga 14 suku kata.
Tahapan VII dengan judul “Putri Hijau Berlayar ke Aceh” terdiri
atas 13 bait. Setiap bait berisi empat baris. Masing-masing baris ada yang
mengandung tiga kata, empat kata, lima kata, dan enam kata, sedangkan
jumlah suku katanya ada yang sembilan suku kata, 10 suku kata, 11 suku
kata, 12 suku kata, 13 suku kata, dan 14 suku kata. Contoh tersebut dapat
dilihat beikut ini.
Di Tanjung Jambu Air kapal berhenti
banyaklah orang datang melihati
supaya semuanya sangat berbesar hati
melihat rajanya tiada mati
Baginda pun lalu mengulang kata
ayuhai adinda puteri juita
negeri Aceh sampailah kita
marilah turut bersama serta
(SPH, VII:154-155)
Masinglah-masing membawa persembahannya
segenggam bertih sebutir telurnya
setiap orang demikian halnya
di tepi pantai longgokkan semuanya
(SPH, VII:158)
58 | Dr. Liesna Andriany
Banyak orang heran di hati
melihat perbuatan demikianlah peri
kerana belum pernah dilihati
pekerjaan aneh nyatalah pasti
(SPH, VII:163)
Bait (154), (155), (158), dan (163) terdiri atas empat baris. Pada
bait (154), baris pertama berisi enam kata, baris kedua dan keempat empat
kata, dan baris ketiga lima kata, jumlah suku kata baris pertama 12 suku
kata, baris kedua dan keempat 11 suku kata, dan baris ketiga 14 suku kata.
Pada bait (155) baris pertama dan baris ketiga berisi lima kata, dan baris
kedua serta baris keempat empat kata, jumlah suku kata baris pertama dan
baris ketiga 11 suku kata, baris kedua 12 suku kata, dan baris keempat 10
suku kata. Bait (158), baris pertama berisi tiga katam baris kedua dan
ketiga empat kata, dan baris keempat lima kata, jumlah suku kata baris
pertama 13 suku kata, baris kedua dan ketiga 11 suku kata, dan baris
keempat 12 suku kata. Bait (163), setiap baris berisi empat kata kecuali
baris pertama berisi lima kata, jumlah suku kata baris pertama sembilan
suku kata, baris kedua 14 suku kata, baris ketiga dan keempat 11 suku
kata.
Tahapan VIII yang berjudul “Putri Hijau Dilarikan Naga” terdiri
atas 16 bait. Setiap bait berisi empat baris. Masing-masing baris ada yang
mengandung tiga kata, empat kata, dan lima kata. Jumlah suku kata
masing-masing baris ada yang sembilan suku kata, 10 suku kata, 11 suku
kata, 12 suku kata, 13 suku kata, dan 14 suku kata. Seperti contoh berikut.
Dengan kodrat Tuhan semesta
waktu menteri sedang meminta
| 59 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
hari pun jadi gelap gulita
gelombang pun besar badai pun serta
(SPH, VIII:171)
Keranda terapung tiadalah tenggelam
kelihatannya puteri berbaring di dalam
wajahnya bersih laksana nilam
bagaikan bulan di waktu malam
Ia kemudian naga lalu menyelam
bersama keranda lalulah tenggelam
betapa akhirnya Allahualam
sampai sekarang tinggallah kelam
(SPH, VIII:176-177)
Bait (171), (176), dan (177) terdiri atas empat baris. Pada bait
(171), baris pertama dan kedua berisi empat kata, baris ketiga lima kata,
dan baris keempat enam kata, jumlah suku kata baris pertama sembilan
suku kata, baris kedua dan ketia 10 suku kata, dan baris keempat 11 suku
kata. Pada bait (176), baris pertama dan ketiga berisi empat kata, dan baris
kedua dan keempat lima kata, jumlah suku kata baris pertama 13 suku kata,
baris kedua 14 suku kata, baris ketiga dan baris keempat masing-masing
10 suku kata. Bait (177), baris pertama berisi lima kata, baris kedua dan
keempat empat kata, dan baris ketiga tiga kata, sedangkan jumlah suku
kata baris pertama 13 suku kata, baris kedua 12 suku kata, baris ketiga dan
keempat masing-masing 10 suku kata.
60 | Dr. Liesna Andriany
Tahapan IX yang berjudul “Mambang Yazid” terdiri dari 36 bait.
Masing-masing bait berisi empat baris. Setiap baris ada yang memuat tiga
kata, empat kata, lima kata, dan enam kata. Jumlah suku katanya ada yang
delapan suku kata, sembilan suku, kata 10 suku kata, 11 suku kata, 12 suku
kata, 13 suku kata, 14 suku kata, 15 suku kata, dan 16 suku kata. Contoh
tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
Sangatlah heran di dalam hati
naga pun lenyap naga berganti
lengkap dengan dayang siti
sekalian cantik nyatalah pasti
Sedang puteri termenung loka
memikirkan kejadian itu ketika
dengan tiada disangka-sangka
berdiri dihadapan-hadapannya paduka
(SPH, IX:186-187)
Bakarlah kemenyan sebutlah nama
Mambang Yazid raja panglima
dengan seketika akan menjelma
membela adikku muda utama
(SPH, IX:192)
Ke Deli Baginda baginda kembali
menuju arah ke negeri asli
| 61 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
maksud mencari Mambang Khayali
seorang semoga dipertemukan Robbulijali
(SPH, IX:199)
Pesan kakanda adinda dengarkan
janganlah sekali adinda abaikan
perbuatan baik itulah diutamakan
angkara murka jangan turutkan
(SPH, IX:213)
Setelah sudah demikianlah itu
lalu diciptakan tempat suatu
di mercu Sibayak di celah batu
indahnya permai bukan suatu
(SPH, IX:216)
Bait (186), (187), (192), (199), (213), dan (216) terdiri atas empat
baris. Pada bait (186), setiap baris berisi empat kata kecuali baris pertama
berisi lima kata, jumlah suku kata baris pertama dan baris kedua masing-
masing 10 suku kata, baris ketiga delapan suku kata, dan baris keempat 11
suku kata. Bait (187), baris pertama dan kedua berisi empat kata, baris
ketiga tiga kata, dan baris keempat lima kata, jumlah suku kata baris
pertama dan baris ketiga masing-masing 12 suku kata, baris ketiga 13 suku
kata, dan baris keempat 15 suku kata. Bait (192), masing-masing baris
berisi empat kata, jumlah suku katanya bervariasi, baris pertama, ketiga,
dan keempat masing-masing 11 suku kata, dan baris kedua sembilan suku
62 | Dr. Liesna Andriany
kata. Pada bait (199), setiap baris berisi empat baris kecuali baris kedua
berisi lima kata, jumlah suku kata baris pertama 12 suku kata, baris kedua
11 suku kata, baris ketiga 10 suku kata, dan baris keempat 16 suku kata.
Bait (213), setiap baris berisi empat kata, namun jumlah suku katanya
bervariasi, baris pertama 11 suku kata, baris kedua 12 suku kata, baris
ketiga 14 suku kata, dan baris keempat 10 suku kata. Pada bait (216), setiap
baris berisi empat kata kecuali baris ketiga enam kata, jumlah suku kata
baris pertama 12 suku kata, baris kedua dan ketiga masing-masing 11 suku
kata, dan baris keempat 10 suku kata.
Tahapan X dengan judul “Sumpah Mambang Yazid” terdiri atas 12
bait. Masing-masing bait berisi empat baris. Setiap baris ada yang terdiri
atas tiga kata, empat kata, lima kata, dan enam kata. Jumlah suku katanya
setiap katanya bervariasi ada sembilan suku kata, 10 suku kata, 11 suku
kata, 12 suku kata, 13 suku kata, 14 suku kata, dan 15 suku kata. Dapat
dilihat pada contoh berikut.
Jika dikabulkan Robbulijali
sumpahku makbul sama sekali
tidaklah aku akan kembali
membuat onar di tanah Deli
(SPH, X:224)
Setelah Baginda mengucapkan sumpahnya
merasa puas dalam hatinya
gunung pun lalu tinggalkannya
menuju kembali ketempat kediamannya
| 63 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Begitulah menurut cerita orang
entahlah lebih atau pun kurang
di Tanjung Jambu Air naga berenang
darilah dahulu hingga sekarang
(SPH, X:227-228)
Bait (224), (227), dan (228) terdiri atas empat baris. Pada bait
(224), baris pertama berisi tiga kata, baris kedua dan ketiga berisi empat
kata, dan baris keempat berisi lima kata, jumlah suku kata masing-masing
baris 10 suku kata kecuali baris pertama berjumlah 11 suku kata. Bait
(227), setiap baris berisi empat kata, namun jumlah suku katanya
bervariasi, baris pertama 13 suku kata, baris kedua 10 suku kata, baris
ketiga sembilan suku kata, dan baris keempat 14 suku kata. Pada bait
(228), baris pertama dan baris keempat berisi empat kata, baris kedua lima
kata, baris ketiga enam kata, jumlah suku kata baris pertama dan baris
ketiga masing-masing 12 suku kata, baris kedua berisi 10 suku kata, dan
baris keempat 11 suku kata.
Tahapan XI dengan judul “Bertemu dengan Putri Hijau” terdiri atas
42 bait. Setiap bait berisi empat baris. Masing-masing baris ada yang
memuat tiga kata, empat kata, lima kata, dan enam kata. Jumlah suku
katanya ada yang sembilan suku kata, 10 suku kata, 11 suku kata, 12 suku
kata, 13 suku kata, 14 suku kata, dan 15 suku kata. Terlihat pada contoh
berikut.
Lalu menjawab datuk nahoda
wahai Ahmad orang yang muda
jikalah tuan merasa muda
64 | Dr. Liesna Andriany
kepada beta keberatan tiada
Beta doakan mudah-mudahan
engkau menyelam dipeliharakan Tuhan
terhindar sekalian bencana kesusahan
berhasil hendaknya usaha kepayahan
(SPH, XI:241-242)
Sangatlah ia merasa ketakutan
menentang paras puteri pingitan
disangkakan menjelma jelmaan dewa lautan
datangnya hendak berbuat kejahatan
(SPH, XI:249)
Tidak sekali patik menyangka
jauh kedalaman taman duli paduka
diharap tuanku janganlah murka
kepada patik orang celaka
(SPH, XI:254)
Bait (241), (242), (249), dan (254) terdiri atas empat baris. Pada
bait (241) setiap baris berisi empat kata, namun jumlah suku katanya
bervariasi, baris pertama dan baris ketiga masing-masing 10 suku kata,
baris kedua sembilan suku kata, dan baris keempat 12 suku kata. Bait
(242), setiap baris berisi empat kata kecuali baris pertama berisi tiga kata,
jumlah suku kata baris pertama 10 suku kata, baris kedua dan baris
keempat masing-masing 13 suku kata, dan baris ketiga 14 suku kata. Pada
| 65 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
bait (249), masing-masing baris terdiri atas empat kata kecuali baris ketiga
terdiri atas lima kata, jumlah suku kata baris pertama dan keempat masing-
masing berisi 12 suku kata, baris kedua 11 suku kata, dan baris ketiga 15
suku kata. Bait (254), setiap baris berisi empat kata kecuali baris kedua
berisi enam kata, jumlah suku kata baris pertama dan keempat 10 suku
kata, baris kedua 12 suku kata, dan baris ketiga 11 suku kata.
Tahapan XII dengan judul “Akhirulkalam” terdiri atas 7 bait.
Masing-masing bait berisi empat baris. Setiap baris ada yang terdiri atas
tiga kata, empat kata, lima kata, dan enam kata. Jumlah suku katanya
setiap baris bervariasi ada tujuh suku kata, 10 suku kata, 11 suku kata, 12
suku kata, 13 suku kata. Dapat dilihat pada contoh berikut.
Sampai di sini syair pun tamat
sajaknya banyak tak betul amat
mengarangkan dia habislah cermat
pinggang dan tengkuk rasanya lumat
Sedikit saja saya pohonkan
menyalin syair hendaklah lagukan
supaya gembira yang amat mendengarkan
faedahnya banyak tentu didapatkan
(SPH, XII:271-272)
Daun selasih di atas dulang
dulang berseni di atas tikar
terimalah kasih yang kami lagukan
yang melagukan Djakfar
(SPH, XII:277)
66 | Dr. Liesna Andriany
Bait (271), (272), dan (277) terdiri atas empat baris. Pada bait (271)
baris pertama berisi enam kata, baris kedua dan keempat berisi lima kata,
dan baris ketiga berisi empat kata, jumlah suku kata setiap baris masing-
masing 10 suku kata kecuali baris ketiga 11 suku kata. Bait (272), setiap
baris berisi empat kata kecuali baris ketiga berisi lima kata, jumlah suku
kata baris pertama 10 suku kata, baris kedua 11 suku kata, baris ketiga 13
suku kata, dan baris keempat 12 suku kata. Pada bait (277), setiap baris
berisi lima kata kecuali baris keempat berisi tiga kata, jumlah suku kata
baris pertama dan kedua masing-masing 10 suku kata, baris ketiga 12 suku
kata, dan baris keempat tujuh suku kata.
Berdasarkan uraian tersebut, pada umumnya jumlah kata dalam
baris SPH memiliki kecenderungan bervariasi antara tiga kata sampat
enam kata. Jumlah kata SPH, rata-rata dalam sebaris mengandung empat
atau lima kata, dan empat kata adalah merupakan baris-baris yang
terbanyak dalam SPH. Namun begitu ada juga baris-barisnya yang
mengandung tiga atau enam kata, tetapi keadaan begini tidaklah begitu
banyak. Antara baris pertama dan kedua bukan merupakan sampiran dari
baris ketiga dan keempat, akan tetapi masing-masing baris sudah
merupakan isi.
Kalau dilihat dari jumlah suku katanya pada tiap baris umumnya
bervariasi. Setiap baris cenderung berjumlah antara sembilan hingga dua
belas suku kata. Jarang-jarang ditemukan baris-baris yang mengandung
lebih dari dua belas suku kata. Kecenderungan yang paling besar ialah
sepuluh dan sebelas suku kata dan yang paling banyak adalah baris-baris
yang terdiri dari sepuluh suku kata. Sepertinya tukang syair selalu
mempertahankan jumlah suku kata pada baris sebanyak sepuluh dan
sebelas suku kata ini berkaitan hubungannya dengan irama. Pada
umumnya panjang baris dalam puisi lisan atau cerita yang berbentuk puisi
| 67 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
mempunyai jumlah suku kata yang dipertahankan oleh pencerita (Tuloli,
1991:135). Kadang-kadang sering pula terjadi penyimpangan atau
kesalahan di dalam baris sehingga baris-baris itu menjadi sangat panjang
atau sangat pendek (Lord, 1976:38).
Tukang syair berusaha mempertahankan jumlah suku katanya pada
tiap baris sepuluh dan sebelas suku kata dapat dilihat pada perhitungan
yang telah dilakukan pada SPH. Caranya ialah dengan menghitung seluruh
suku kata pada setiap baris SPH. Dari hasil perhitungan suku kata tiap baris
tersebut dapat dibuktikan kecenderungan tukang syair mempertahankan
jumlah suku kata pada baris. Hasil perhitungan itu dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
68 | Dr. Liesna Andriany
Tabel 1
Rekapitulasi Suku Kata Dalam Baris
No
Suku kata
perbaris
Jumlah
baris
Prosentase Tingkat
kecenderungan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
7 suku kata
8 suku kata
9 suku kata
10 suku kata
11 suku kata
12 suku kata
13 suku kata
14 suku kata
15 suku kata
16 suku kata
2
1
32
416
396
179
47
24
5
2
0,18
0,11
2,89
37,68
35,87
16,21
4,26
2,17
0,45
0,18
VIII
IX
V
I
II
III
IV
VI
VII
VIII
Jumlah 1104 100
Berdasarkan tabel rekapitulasi suku kata dalam baris tersebut dapat
dibuktikan bahwa SPH cenderung berjumlah sepuluh kata dan sebelas kata
dalam tiap baris. Dari 1104 baris syair, terdapat 416 baris yang
menggunakan sepuluh suku kata atau sekitar 37,68% dan 396 baris
bersuku kata sebelas atau sekitar 35,87%. Jumlah keduanya bila
digabungkan menjadi 732 baris atau 73,55%. Sedangkan tingkat
kecenderungan ketiga sebanyak 179 baris atau 16,21% adalah
berjumlah dua belas suku kata tiap baris dan tingkat kecenderungan
| 69 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
keempat adalah tiga belas suku kata tiap baris sebanyak 47 baris. Hanya
terdapat 35 baris saja yang mengandung kurang dari sepuluh suku kata,
atau 3,18% dari jumlah keseluruhan baris, yaitu tujuh suku kata, delapan
suku kata, dan sembilan suku kata. Seperti contoh di bawah ini.
Tujuh suku kata.
Ya Allah ya Tuhanku (SPH, X:219)
1 2 1 3 = 7
Delapan suku kata.
Lengkap dengan dayang siti (SPH, IX:186)
2 2 2 2 = 8
Sembilan suku kata.
Putri Hijau putri kedua (SPH, II:17)
2 2 2 3 = 9
Bait (219) baris ‘ya Allah ya Tuhanku’ terdiri atas tujuh suku kata. Bait
(186) pada ‘lengkap dengan dayang siti’ terdiri atas delapan suku kata.
Bait (17) pada ‘Putri Hijau putri kedua’ terdiri atas sembilan suku kata.
Terdapat 31 baris yang mengandung empat belas suku kata, lima
belas suku kata, dan enam belas suku kata tiap baris atau sekitar 2,80%.
Seperti contoh di bawah ini:
Empat belas suku kata.
Perbuatan baik itulah diutamakan (SPH, IX:213)
4 2 3 5 = 14
70 | Dr. Liesna Andriany
Lima belas suku kata.
Selesai setelah selesai pekerjaan itu (SPH, II:27)
3 3 3 4 2 = 15
Enam belas suku kata.
Sebab pun permintaan-permintaan patik begitu (SPH, VI:146)
2 1 4 4 2 3 = 16
Bait (213) pada ‘perbuatan baik itulah diutamakan’ terdiri atas 14 suku
kata. Bait (27) pada ‘selesai setelah selesai pekerjaan itu’ terdiri atas 15
suku kata. Bait (146) pada ‘sebab pun permintaan-permintaan patik begitu’
jumlah suku katanya 16.
Jika tukang syair berusaha untuk mempertahankan jumlah suku
kata yang tetap dalam baris, namun masih ada baris yang terlalu pendek
atau terlalu panjang ini berarti merupakan suatu kekeliruan. Tapi tidak
semua karena kekeliruan, tukang syair memanjangkan atau memendekkan
baris karena ia juga tetap ingin mempertahankan irama dan jumlah suku
katanya. Hal lain lagi yang dapat dianggap sebagai suatu kekeliruan,
kadang-kadang kata-kata dalam baris yang diucapkan tukang syair terlepas
dari pengawasannya (tidak terkontrol). Namun baris yang seperti ini tidak
banyak. Misalnya seperti contoh baris di bawah ini.
‘hikayat osorang raja yang asli’ (SPH, I:4)
Kerangan keterangan kedua lagi suatu (SPH, I:12)
Selesai setelah selesai pekerjaan itu (SPH, II:27)
Lajunya kapal bukan kebebuatan (SPH IV:58)
Syahbandar mendengar dengannya mata (SPH, IV:64)
| 71 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Bait (40) seharusnya ‘Hikayat seorang raja yang asli’. Bait (12)
seharusnya ‘Keterangan kedua lagi sesuatu’. Bait (27) seharusnya ‘Setelah
selesai pekerjaan itu’. Bait (58) seharusnya ‘Lajunya kapan bukan buatan’.
Bait (64) seharusnya ‘Syahbandar memandang dengannya mata’.
Tukang syair dalam mempertahankan irama dan juga jumlah suku
katanya pada setiap baris dengan cara memperpanjang kata. Cara yang
dipakai untuk memperpanjang kata ialah dengan menambahkan ‘lah’ dan
memberi ‘perulangan’.
Cara yang pertama ialah dengan penambahan ‘lah’ pada salah satu
katanya. Penambahan kata ‘lah’ merupakan cirri dialek bahasa Melayu
Deli. Menurut Hollander, (1984:115) guna ‘lah’ untuk lebih memberikan
tekanan kepada kata itu, atau untuk menarik perhatian pendengar atau
pembaca secara lebih tertentu kepada kata tersebut atau benda/hal yang
diberi arti oleh –lah. Contoh baris yang ditambah ‘lah’ pada katanya
sehingga berjumlah sepuluh kata adalah sebagai berikut.
Padalah patik empunya kira (SPH, III:36)
3 2 3 2 = 10
Barulah senang di dalam dada (SPH, IV:63)
3 2 1 2 2 = 10
Jikalah ada Allah membantu (SPH, IV :72)
3 2 2 3 = 10
Kapallah Aceh tibalah tentu (SPH, IV:88)
3 2 3 2 = 10
Janganlah banyak pikir dan kira (SPH, IV:91)
72 | Dr. Liesna Andriany
3 2 2 1 2 = 10
Sudahlah takdir Tuhan yang satu (SPH, V:127)
3 2 2 1 2 = 10
Kata yang ditambah ‘lah’ pada bait (36) ialah ‘pada’, bait (63) pada kata
‘baru’, bait (72) pada kata ‘jika’, bait (88) pada kata ‘kapal’ dan ‘tiba’, bait
(91) pada kata ‘jangan’, dan bait (127) pada ‘sudah’. Penambahan ‘lah’
pada kata-kata tersebut untuk memperpanjang kata, sehingga jumlah suku
katanya menjadi 10 suku kata.
Contoh baris yang ditambah’lah’ pada katanya sehingga berjumlah
sebelas suku kata adalah sebagai berikut.
Tersebutlah pula kisah yang satu (SPH, III:29)
4 2 2 1 2 = 11
Rajalah Aceh tiada bandingnya (SPH, III:30)
3 2 3 3 = 11
Kayalah miskin muda dan remaja (SPH, III:31)
3 2 2 1 3 = 11
Supayalah patik menurut malu (SPH, III:39)
4 2 3 2 = 11
Tidaklah patik merasalah negri (SPH, III:41)
3 2 4 2 = 11
Mereka tercengan lalulah lama (SPH, IV:50)
3 3 3 2 = 11
| 73 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Katalah orang yang empunya madah (SPH, IV:52)
3 2 1 3 2 = 11
Penambahan ‘lah’ di bait (29) pada kata ‘tersebut’, bait (30) pada kata
‘raja’, bait (31) pada kata ‘kaya’, bait (39) pada kata ‘supaya’, bait (41)
pada kata ‘tidak’, bait (50) pada kata ‘lalu’, dan bait (52) pada kata ‘kata’.
Penambahan ‘lah’ pada kata-kata tersebut untuk memperpanjang kata
sehingga jumlah suku katanya menjadi 11 suku kata.
Cara kedua, memberi perulangan pada baris yang memiliki tiga
kata. Contoh baris yang terdiri dari tiga kata yang diberi perulangan
sehingga berjumlah sepuluh suku kata sebagai berikut.
Setelah sudah berkata-kata (SPH, IV:64)
3 2 5 = 10
Setelah sudah berperi-peri (SPH, IV:92)
3 2 5 = 10
Pada bait (64) kata yang diulang ‘kata’ sehingga menjadi 10 suku kata.
Bait (92) kata yang diulang ‘peri’ sehingga jumlah suku katanya menjadi
10 suku kata.
Contoh baris yang terdiri dari tiga kata yang diberi perulangan
sehingga berjumlah sebelas suku kata sebagai berikut.
Beramuk-amukan tiada terhemat (SPH, V:112)
6 3 3 = 11
Berahinya terbit berganda-ganda (SPH, IV:138)
4 2 5 = 11
74 | Dr. Liesna Andriany
Dindingnya hablur berkilat-kilatan (SPH, XI:245)
3 2 6 = 11
Bait (112) kata yang diulang ‘amuk’ sehingga jumlah suku katanya dalam
satu baris menjadi 11 suku kata. Bait (138) kata yang diulang ‘ganda’
sehingga jumlah suku kata dalam satu baris menjadi 11 suku kata. Bait
(245) kata yang diulang ‘kilat’ sehingga jumlah suku katanya dalam
sebaris menjadi 11 suku kata.
Semua yang bercetak miring adalah kata tambahan. Ternyata
penambahan ‘lah’ dan penambahan kata yang diulang bukan saja untuk
mononjolkan kata sebagai bagian penting dalam kalimat, tetapi juga
mempertahankan jumlah suku kata dalam baris, dan untuk memperlancar
pengucapan baris demi baris. Keharmonisan dalam irama dan keindahan
bunyi antar baris akan terwujud, jika jumlah sukunya dipertahankan
sepuluh suku kata atau sebelas suku kata pada tiap baris.
Dengan demikian, jelas terdapat variasi penggunaan kata dan suku
kata pada tiap baris. Namun tukang syair berusaha mempertahankan
jumlah suku katanya. Dalam mempertahankan jumlah suku kata ini tukan
syair menggunakan cara yaitu memanjangkan baris dengan menambah
‘lah’ dan mengulang kata tertentu.
Syair merupakan suatu genre puisi Melayu tradisional yang umum
diketahui dan digemari dalam seluruh masyarakat Melayu. Syair terdiri
dari empat baris serangkap atau sebait, pada umumnya mengandung empat
kata tiap baris. Setiap stanza syair merupakan sebagian dari puisi yang
panjang Syair berskema rima aaaa dan sedikit sekali berirama dalaman.
Puisi atau sajak secara umum terdiri atas struktur estetik dan
ekstraestetik. Kedua bagian ini terbagi lagi atas unsur-unsur sajak yang
lebih kecil. Puisi mempunyai sifat, struktur, dan konvensi-konvensi yang
| 75 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
khusus. Oleh karena itu, untuk memahaminya perlu dimengerti dan
dipelajari konvensi-konvensi dan struktur puisi itu.
Berbicara tentang struktur syair atau puisi, tidak terlepas dari
berbicara mengenai elemen-elemen syair atau puisi dan efek-efeknya.
Berbeda dari bahasa dalam prosa, bahasa dalam syair amatlah terstruktur.
Hal-hal yang termasuk pada struktur syair merupakan pola-polanya yang
menyangkut diksi dan imaji, susunan kata-katanya, pembagiannya dalam
baris-baris, bentuk ritme atau meter (metrumnya), pengulangan suara
seperti pada rima dan pembagiannya atas bait sajak atau stanza. Selain
yang tersebut di atas, masih terdapat faktor-faktor lain yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari struktur verbal puisi. Sebagai contoh,
arti keseluruhan dari perasaan yang dituangkan dalam diksi sebuah larik,
tidak terpisahkan dari bentuk metriknya. Perasaan dan bentuk tidak
terpisah-pisah, melainkan merupakan satu kesatuan yang utuh.
Pada analisis analisis ini, penganalisisan struktur Syair Putri Hijau
(selanjutnya disingkat SPH) merupakan analisis struktur sastra lisan.
Penguraian struktur SPH akan dilakukan dengan cara menganalisis yang
berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut. Struktur alur cerita SPH yang
meliputi bagian-bagian dalam susunan cerita, yaitu tahapan. Bentuk baris-
baris akan ditinjau dari segi jumlah kata dan suku kata. Selain itu, juga
akan dianalisis unsur-unsur bunyi yang berhubungan dengan rima,
aliterasi, asonansi, serta irama. Analisa gaya bahasa akan meliputi
paralelisme, inversi, ellipsi. Juga akan dianalisis nantinya dalam
pembahasan struktur ini adalah pemilihan kata (diksi) dan
mengungkapkan bahasa kiasan dan digunakan.
Syair mempunyai konvensi sastra sendiri yang memenuhi
persyaratan keindahan luaran yaitu bunyi. Wellek dan Warren (1989:198)
menyatakan bahwa efek bunyi tidak bisa dipisahkan dari makna dan nada
76 | Dr. Liesna Andriany
setiap baris puisi. Pernyataan tersebut memberi ketegasan bahwa bunyi-
bunyi dalam puisi mempunyai peranan yang penting bagi ekspresi, sebab
kecuali hiasan bunyi-bunyi tersebut mempunyai ekspresi dan ikut
membawa nada, irama, suasana, perasaan, serta gejolak batin tukang syair.
Bunyi dalam puisi mempunyai peranan yang sangat penting karena
bunyi merupakan norma utama pembentuk puisi. Unsur sebuah puisi
dibina terutama dalam kemerduan bunyi (Esten, 1984:10). Roman
ingarden (dalam Wellek dan Warren, 1989:187) mengemukakan bahwa
lapis bunyi (sound stratum) adalah lapus norma pertama yang menjadi
dasar timbulnya lapis kedua, yaitu lapis arti (unit of meaning).
Pembicaraan tentang bunyi dalam puisi bersifat estetik, artinya bunyi
merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga
ekspresif.
Menurut Finnegan (1979:90) The most marked feature of poetry is
surely repetition (cirri khas yang paling banyak pada puisi adalah
perulangan). Perulangan bunyi dalam puisi atau epik puisi terjadi hampir
dalam seluruh baris-barisnya. Perulangan bunyi itu mempengaruhi makna
yang terpantul dari puisi itu (Luxemburg, 1993:89). Kegunaan bunyi
dalam puisi menurut Pradopo adalah bunyi bersifat estetik, merupakan
unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekpsresif. Bunyi ini
erat hubungannya dengan anasir-anasir music, misalnya: lagu, melodi,
irama, dan sebagainya. Bunyi ini di samping hiasan dalam puisi, juga
mempunyai tugas yang lebih penting lagi yaitu untuk memperdalam
ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas,
menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya (1987:22). Dengan
kata lain, unsur bunyi dengan segala aspeknya turut menentukan
keberhasilan atau kegagalan suatu puisi.
Pada SPH bunyi juga dimanfaatkan tukang syair sebagai penanda
tahapan, bait, adanya hubungan makna dan struktur antar unsur dalam
| 77 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
baris atau antara baris dengan baris. Berkenaan dengan pendapat Finnegan
(1979:90) The prosodic system is perhaps the feature which most
immediately gives form to a poem (sistem prosodi ciri khas yang paling
banyak memberi bentuk pada sebuah puisi). Akan tetapi yang perlu
mendapat perhatian pada prosodi adalah unsur-unsur yang hanya dimiliki
oleh puisi.
Pada puisi sering dijumpai persamaan bunyi atau perpaduan bunyi.
Kadang-kadang persamaan bunyi terdapat dalam satu baris, tetapi tidak
jarang terdapat pada baris yang berlainan. Persamaan bunyi itu disebut
rima. Menurut Brunvand (1968: 60) rhyme is a basic Stylistic device of
verbal folklore (rima adalah sebuah sarana dasar stilistik pada folklor
verbal). Sajak atau rima bisa terdapat pada awal dan akhir baris, dan
sebagai pengulangan bunyi, rima mempunyai fungsi efoni (Wellek dan
Warren, 1989:199). Menurut Pradopo (1987:37) rima atau sajak pada
umumnya dibagi atas sajak akhir, sajak dalam, sajak tengah, aliterasi, dan
asonansi.
Rima di dalam SPH terutama pada akhir baris, merupakan tanda
tahapan, dan bait. Unsur rima yang terdapat pada akhir baris dapat
berfungsi untuk menciptakan keindahan akustik bagi pendengarnya.
Pendengar tidak semata-mata tertarik pada isi cerita saja, tetapi juga pada
keindahan yang ditimbulkan oleh rimanya. Ada bermacam-macam rima
yang dipergunakan sebagai unsur kepuitisan SPH yaitu rima awal, rima
tengah, rima akhir, aliterasi, dan asonansi. Pada bagian ini akan dibahas
satu persatu bentuk rima yang tersebut di atas.
(1) Rima Awal
Rima awal merupakan persamaan bunyi yang terdapat pada awal
baris. Rima awal banyak dijumpai pada SPH. Contoh penggunaan rima
awal sebagai berikut:
78 | Dr. Liesna Andriany
(1) Dengan beberapa daya upaya
dapatlah mereka berita cahaya
di Deli Tua nyatalah dia
dalam istana tempat yang mulia
(SPH, IV:47)
(2) Keterangan ketiga konon kabarnya
seekor naga yang amat besarnya
sungailah Deli tempat keluarnya
sampai sekarang ada bekasnya
(SPH, I:13)
(3) Sultan Sulaiman nama baginda
kaya hukumnya adil cacat tiada
kaya miskin tua dan muda
dihukumkan baginda tidak berbeda
(SPH, II:16)
(4) Mendengar sembah Ahmad Bahari
merasa belas hatinya puteri
dengan manisnya lalu berseri
jika demikian maaf kuberi
(SPH, X:225)
Bait (47) rima awal terdapat pada seluruh baris yang merupakan
unsur konsonan d, dan berkombinasi dengan rima akhir dengan unsur
bunyi vokal a. Pada bait (13) terdapat rima awal pada baris kedua, ketiga,
keempat, yang merupakan unsur bunyi konsonan s. Rima awal ini
berkombinasi dengan rima akhir dengan bunyi vokal a. Dalam bait (16)
rima awal terdapat pada bunyi kaya yang berupa satu kata, terlihat adanya
repetisi. Rima awal ini berkombinasi dengan rima akhir dengan bunyi
vokal a. Pada bait (255) rima awal terdapat pada bunyi me yang merupakan
unsur bunyi prefix me-. Rima awal ini berkombinasi dengan rima akhir
dengan bunyi ri.
| 79 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Untuk dapat terciptanya kesamaan dan keharmonisan bunyi tukang
syair harus memilih kata dan membentuk kata. Dalam masalah rima awal
ini, untuk memilih kata dan pembentukan kata yang dapat mendukung
terciptanya kesamaan dan keharmonisan bunyi dilakukan dengan cara
mengulang kata-kata yang sama pada posisi awal baris, memilih kata-kata
yang mempunyai bunyi awal yang sama, dan membentuk kata-kata dengan
pola afiks yang sama.
(2) Rima Tengah
Rima tengah adalah persamaan bunyi yang terdapat dibagian
tengah baris. Persamaan bunyi pada bagian tengah baris tidak banyak
dijumpai pada bait-bait SPH. Untuk lebih jelasnya akan dikutip cuplikan
syair tersebut sebagai berikut:
(1) Janganlah adinda berhati pilu
Ingatkan masa-masa yang telah lalu
Musuhlah telah kakandalah palu
Hapuslah sudah aib dan malu
(SPH, IX:189)
(2) Setelah kelengkapan sedia belaka
sauh ditarik layar dan jangka
kapal melancar di Selat Melaka
hilang di mata dengan seketika
(SPH, VI:57)
(3) Supaya tuan mengetahui terang
kami hendak pergi berperang
ke Deli hendak pergi menyerang
membawa laskar seribu orang
(SPH, I:3)
(4) Di tepi pantai semuanya dilonggokkan
banyaknya tiada lagi terperikan
80 | Dr. Liesna Andriany
apabila semuanya sudah dilengkapkan
ke dalam laut disuruh buangkan
(SPH, VII:161)
Bait (189) bunyi lah yang terletak di tengah baris yang diulang,
yaitu pada kata ‘janganlah’, ‘telah’, ‘masuklah’, dan ‘hapuslah’.
Perulangan bunyi lah pada baris pertama, ketiga, dan keempat merupakan
unsur bunyi partikel ‘lah’. Bunyi lah ini merupakan persamaan rima
tengah yang berkombinasi dengan rima akhir. Pada bait (57) bunyi ‘di’
yang diulang pada baris kedua sebagai unsur bunyi prefiks di- dan pada
baris ketiga dan keempat bunyi yang diulang merupakan unsur bunyi di
sebagai kata depan (preposisi). Bunyi di yang diulang merupakan rima
tengah yang berkombinasi dengan rima akhir. Namun dalam bait (99) dan
bait (162) terdapat variasi tidak semua baris yang mendapat perulangan
bunyi yang sama. Pada bait (99) bunyi yang diulang terdiri dari dua kata
yaitu hendak pergi, terletak hanya pada baris ketiga dan keempat, dan pada
bait (162) bunyi yang diulang hanya satu kata yang terletak pada baris
pertama dan ketiga, kata yang diulang ‘semuanya’. Dapat dilihat unsur
bunyi yang diulang terdiri atas dua bunyi, tiga bunyi, satu kata, bahkan dua
kata. Ada beberapa variasi, yaitu pada satu bait semua baris yang diulang,
namun pada bait yang lain beberapa baris saja bunyi yang diulang.
(3) Rima Akhir
Rima akhir adalah persamaan bunyi yang terdapat pada akhir baris.
Rima akhir ini dijumpai pada hampir semua bait SPH, karena kekuatan
syair ini bertumpu pada pilihan kata untuk menghasilkan rima pada akhir
baris. Contoh penggunaan rima akhir pada SPH sebagai berikut:
(1) Adapun maksud syair dikarangkan
Bukanlah ahli saya tunjukkan
Riwayat yang benar saya paparkan
Lebih dan kurang harap maafkan
| 81 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
(SPH, I:2)
(2) Lemah lembut baginda merasa
Wahai wazirku usul yang syahda
Perintahkan ya orang jangan tiada
Mencari cahaya dimana saja
(SPH, III:40)
(3) Giginya putih cahaya cemerlang
Umpama diam di dalam baling
Gaya dan sikap indah terbilang
Jika terpandang semangat hilang
(SPH, IV:56)
Bait (2) bunyi kan merupakan bunyi yang diulang pada akhir
semua baris, merupakan unsur bunyi sufiks ‘-kan’. Bunyi sufiks ‘-kan’
yang diulang terletak pada kata ‘dikarangkan’ pada baris pertama, kata
‘tunjukkan’ pada baris kedua, kata ‘paparkan’ pada baris ketiga, dan kata
‘maafkan’ pada baris keempat. Pada bait (40) rima terdapat pada bunyi a
yang diulang pada akhir baris, hanya satu bunyi saja yaitu pada kata
‘merasa’,’syahda’,’tiada’, dan ‘saja’. Pada bait (56) rima akhirnya tiga
bunyi pada setiap baris, bunyi yang diulang adalah lang. bunyi lang
yang diulang terletak di baris pertama pada kata ‘cemerlang’, pada kata
‘balang’ di baris kedua, pada kata ‘terbilang’ di baris ketiga, dan pada kata
‘hilang’ di baris keempat. Dengan memperhatikan contoh tersebut dapat
dilihat bahwa penggunaan bentuk rima akhirnya berpola aaaa, yang
merupakan ciri khas syair. Pengulangan bunyi yang menjadi titik tolak
pembentukan rima lebih banyak didapatkan pada akhir baris.
Beberapa baris syair akan dijumpai bunyi nya, namun jumlahnya
tidak banyak hanya 32 baris. Contoh penggunaan bunyi nya dapat dilihat
sebagai berikut:
Masinglah-masing membawa persembahannya
82 | Dr. Liesna Andriany
Segenggam bertih sebutir telurnya
Setiap orang demikian halnya
Di tepi pantai longgokkan semuanya
(SPH, VII:158)
Bait (158) bunyi ‘nya’ merupakan bunyi yang diulang pada akhir semua
baris. Bunyi ‘nya’ yang diulang terletak di baris pertama pada kata
‘persembahan’, di baris kedua pada kata ‘telur’, di baris ketiga pada kata
‘hal’, dan di baris keempat pada kata ‘semua’. Bunyi nya ini digunakan
tukang syair sebagai kata yang ditambahkan dengan tujuan untuk
kesamaan dan keharmonisan bunyi rima akhir. Karena jika dilihat pada
keseluruhan baris itu, tidak dapat diberikan sufiks yang sesuai untuk
menyamakan rima akhirnya agar indah dan harmonis kedengaran.
Selain bunyi nya, penambahan bunyi an dan bunyi ‘kan’ sebagai
unsur bunyi sufiks juga terdapat dalam SPH. Contoh penggunaan sufiks ‘-
an’ dan sufiks ‘-kan’ dapat dilihat sebagai berikut:
Lajunya kapal bukan buatan
berlayar menyusur tepi daratan
berkibar bendera haluan buritan
Labuhan Deli jadi tempatan
(SPH, VI:58)
Putri Hijau baginda peliharakan
apa kehendaknya baginda turunkan
tiada pernah baginda bantahkan
kasih dan sayang tiada terperikan
(SPH: II:22)
| 83 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Bait (58) semua barisnya berima akhir bunyi ‘an’ yang merupakan unsur
bunyi sufiks ‘-an’. Bunyi sufiks ‘-an’ yang diulang terletak pada kata
‘kebebuat’ di baris pertama, pada kata ‘darat’ di baris kedua, pada kata
‘burit’ di baris ketiga, dan pada kata ‘tempat’ di baris keempat. Bait (22),
bunyi kan merupakan bunyi yang diulang pada akhir semua baris,
merupakan unsur bunyi sufiks ‘-kan’. Bunyi sufiks ‘-kan’ yang diulang
terletak pada kata ‘pelihara’ di baris pertama, di baris kedua pada kata
‘turun’, di baris ketiga pada kata ‘bantah’, dan di baris keempat pada kata
‘terperi’. Sufiks ‘-kan’ yang merupakan frekuensi paling banyak dijumpai,
yaitu 76 baris dan sufiks ‘-an’ sebanyak 28 baris. Sufiks ‘-an’ dan sufiks
‘-kan’ ini juga untuk mendapatkan rima akhir yang sama. Penggunaan
sufiks ‘-an’ dan sufiks ‘-kan’ untuk membantu kata lain agar mendapat
rima akhir yang sama.
Pada dasarnya rima akhir di dalam SPH terdiri atas dua huruf.
Pertama adalah vokal dan yang kedua adalah konsonan. Kedua jenis huruf
tersebut yang terdapat dalam SPH adalah vokal a, i, dan u, serta konsonan
n, h, t, r, dan ng. contoh penggunaan rima akhir pada SPH dapat dilihat
sebagai berikut.
Ketika hari sudahlah siang
keduanya bangun lalulah sembahyang
dalam hatinya sangatlah riang
tempat cahaya sudah terbayang
Dengan takdir Robbulijaji
sampailah mereka ke Labuhan Deli
ke dalam kota langsung sekali
sambil menyamar sebagai kuli
84 | Dr. Liesna Andriany
Dengan beberapa daya upaya
dapatlah mereka berita cahaya
di Deli Tua nyatalah dia
dalam istana tempat yang mulia
Itulah cahaya puteri ratu
bukanlah sinar jin dan hantu
Puteri Hijau namanya tentu
parasnya cantik bukan suatu
Parasnya elok bagai digambar
memandang puteri bagai pendekar
indah puteri tiada terkabar
lalu mengucap Allahuakbar
(SPH, IV:45-49)
Katalah orang yang empunya wadah
ke negri Aceh sampailah sudah
tiadalah lagi berhati gundah
ke dalam kota menyampaikan wada
(SPH, IV:52)
Cantiklah sungguh puteri bangsawan
bersama dengan budi dermawan
| 85 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
mukanya jujur kilau-kilauan
memberi asyik laki-laki dan perempuan
(SPH, IV:55)
Nama bersuami ampunlah patik
kerana mengeluh bukanlah setitik
belum mengetahui bunga dan putik
tak dapat membedakan sutera dan batik
(SPH, IV:77)
Bait (45) rima terdapat pada bunyi ng yang diulang pada akhir
baris. Bunyi ng yang diulang pada akhir baris terletak di baris pertama
pada kata ‘siang’, di baris kedua pada kata ‘sembahyang’, di baris ketiga
pada kata ‘riang’, dan di baris keempat pada kata ‘terbayang’. Bait (46)
rima terdapat pada bunyi i yang diulang pada akhir baris.Bunyi i yang
diulang pada akhir baris terletak di baris pertama pada kata ‘Robbulijaji’,
dibaris kedua pada kata ‘Deli’, di baris ketiga terletak pada kata ‘sekali’,
dan di baris keempat terletak pada kata ‘kuli’. Bait (47) rima terdapat pada
bunyi a yang diulang pada akhir baris. Bunyi a yang diulang pada akhir
baris terletak di baris pertama pada kata ‘upaya’, di baris kedua pada kata
‘cahaya’, di baris ketiga terletak pada kata ‘dia’, dan di baris keempat
terletak pada kata ‘mulia’. Pada bait (48) rima terdapat pada bunyi u yang
diulang pada akhir baris. Bunyi u yang diulang pada akhir baris terletak di
baris pertama pada kata ‘tentu’, dan di baris keempat terletak pada kata
‘suatu’. Bait (49) rima terdapat pada bunyi r yang diulang pada akhir baris.
Bunyi r yang diulang pada akhir baris terletak di baris pertama terletak
pada kata ‘digambar’, di baris kedua terletak pada kata ‘pendekar’, di baris
ketiga terletak pada kata ‘terkabar’, dan di baris keempat terletak pada kata
86 | Dr. Liesna Andriany
‘Allahuakbar’. Bait (52) rima teradapat pada bunyi h yang diulang pada
akhir baris. Bunyi h yang diulang pada akhir baris terletak di baris pertama
pada kata ‘wadah’, di baris kedua terletak pada kata ‘sudah’, di baris ketiga
terletak pada kata ‘gundah’, dan di baris keempat terletak pada kata
‘wadah’. Bait (55) rima terdapat pada bunyi n yang diulang pada akhir
baris. Bunyi n yang diulang pada akhir baris terletak di baris pertama pada
kata ‘bangsawan’, di baris kedua terletak pada kata ‘dermawan’, di baris
ketiga terletak pada kata ‘kilau-kilauan’, dan di baris keempat terletak pada
kata ‘perempuan’. Pada bait (77) rima terdapat pada bunyi k yang diulang
pada akhir baris. Bunyi k yang diulang pada akhir baris terletak di baris
pertama pada kata ‘patik’, di baris kedua terletak pada kata ‘setitik’, di
baris ketiga terletak pada kata ‘putik’, dan di baris keempat terletak pada
kata ‘batik’.
Hal yang menonjol dalam rima akhir ialah penggunaan bunyi a dan
i yang sangat banyak. Huruf-huruf vokal dan konsonan yang dipilih untuk
rima di akhir baris biasanya merupakan huruf yang sudah umum di dalam
bahasa Melayu. Oleh karena itu tidak ada ditemukan rima di akhir baris
yang mempergunakan vokal o dan e, maupun konsonan j, q, v, w, x, y, dan
z. Dari tiga vokal utama bahasa Melayu, ternyata bunyi a lebih dominan
dalam pembentukan rima akhir. Bunyi-bunyi lain dipergunakan dengan
frekuensi yang rendah. Sesudah bunyi a, bunyi i termasuk yang lebih
banyak dipakai sebagai rima akhir jika dibandingkan dengan bunyi u.
setelah dihitung rima akhir dengan bunyi a dalam SPH terdapat 376 baris
yang berakhir dengan bunyi a dari 1104 baris atau 32,98%. Baris-baris
yang berakhir dengan bunyi i mencapai 263 baris atau 23,07%, dan baris-
baris yang berakhir dengan bunyi u sebanyak 96 baris. Selain bunyi vokal
yang dominan, bunyi konsonan yang paling banyak dipergunakan sebagai
rima akhir adalah bunyi n sebanyak 153 baris, setelah itu bunyi ng 64 baris,
selebihnya bunyi t, h, dan r.
| 87 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Selain dari bentuk rima akhir aaaa yang umum bagi syair, dalam
SPH ini terjadi beberapa bait yang memiliki bentuk rima yang berlainan
namun jumlahnya tidak banyak hanya 9 bait. Pola rima akhirnya abbb,
abaa, dan abab. Dapat dilihat pada contoh berikut:
(1) Rima abbb
Baginda pun lalu mengadakan musyawarah
Maksud hendak berkirim surat
Ke Deli di sampaikan hasrat
Supaya tiada kekurangan syarat
(SPH, V:101)
(2) Rima abaa
Laskarlah Deli nyata kelihatan
ke sana ke mari berlompat-lompat
memungut uang berebut-rebutan
hatinya suka bukan buatan
(SPH, V:122)
(3) Rima abab
Kalaulah ada sumur di ladang
bolehlah kita menumpang mandi
kalaulah ada umur yang panjang
acaralah ini disambung lagi
(SPH, XII:276)
Bait (101) baris pertama berima akhir bunyi h yang terletak pada kata
‘musyawarah’, baris kedua berima akhir bunyi t, yang terletak pada kata
‘surat’, baris ketiga berima akhir bunyi t yang terletak pada kata ‘hasrat’,
dan baris keempat berima akhir bunyi t yang terletak pada kata ‘syarat’.
Jadi bait (101) pola rima akhirnya abbb. Pada bait (122) baris pertama
berima akhir bunyi n yang terletak pada kata ‘kelihatan’, baris kedua
berima akhir bunyi t yang terletak pada kata ‘berlompat-lompat’, dan baris
88 | Dr. Liesna Andriany
ketiga dan baris keempat berima akhir bunyi n yang terletak pada kata
‘berebut-rebutan’ dan kata ‘buatan’.Bait (122) pola rima akhirnya abaa.
Pada bait (276) baris pertama dan baris ketiga sama-sama berima akhir
bunyi ng yang terletak pada kata ‘ladang’ dan kata ‘panjang’, sedangkan
baris kedua dan keempat sama-sama berima akhir bunyi i yang terletak
pada kata ‘mandi’ dan kata ‘lagi’. Sehingga bait (276) pola rima akhirnya
abab. Kelainan-kelainan rima akhir ini mungkin disengaja oleh tukang
syair, karena tiadanya kata-kata yang sesuai untuk mendapatkan rima akhir
yang sama. Dikatakan demikian karena perbedaan rima akhir antara satu
baris dengan baris yang lain tidak jauh berbeda.
Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bunyi vokal
a dan vokal i merupakan bunyi yang terbanyak dipakai oleh tukang syair
dalam membentuk atau membangun rima pada akhir baris. Penggunaan
vokal a dan i serta konsonan n yang terbanyak dipilih, hal ini berkaitan
dengan kecenderungan kata-kata bahasa Melayu yang umum
dipergunakan lebih banyak akhir katanya berbunyi a dan i, serta untuk
konsonan adalah bunyi n. Dapat dikatakan bahwa unsur bunyi yang
digunakan tukang syair untuk membangun atau membentuk rima tidak
terlepas dari sistem fonetik bahasa Melayu. Jadi dapat disimpulkan bahwa
dalam masalah rima tukang syair harus mengadakan pemilihan kata dan
pembentukan kata yang dapat mendukung terciptanya bunyi yang sama
dan harmonis. Kesamaan dan keharmonisan bunyi ini dilakukan tukang
syair dengan cara memilih kata yang memiliki bunyi kata akhir yang
sama, mengulang suku kata yang sama pada akhir baris, dan membentuk
kata-kata dengan pola sufiks yang sama. Dengan adanya bunyi-bunyi yang
sama maka syair kedengaran merdu dan tentunya menyenangkan.
2. Aliterasi dan Asonansi
Bunyi dalam puisi (baca syair) dipergunakan juga sebagai
orkestrasi, yaitu sebagai sarana untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi
| 89 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
vokal dan bunyi konsonan yang disusun sedemikian rupa akan
menimbulkan bunyi-bunyi merdu dan berirama. Jika dilihat dengan
seksama, di samping rima awal, rima tengah, dan rima akhir, di dalam puisi
sering dijumpai persamaan bunyi dalam satu baris. Persamaan itu ada yang
berupa bunyi konsonan dan ada pula yang berupa bunyi vokal. Reske
(1966:21) menyatakan alliteration: the repetition of the same sound at the
beginning of several words which are near one another (perulangan bunyi
pada awal beberapa kata yang berdekatan suku dengan lainnya disebut
aliterasi), selanjutnya Reaske (1966:21) menyatakan assonance is the use
of identical vowel sounds surrounded by different kinds of consonant
sounds in close proximity to each other (asonansi digunakan pada bunyi
vokal yang sama yang dikelilingi oleh bunyi konsonan yang berbeda
dalam kedekatan kata masing-masing lainnya). Fungsi aliterasi dan
asonansi adalah untuk memperdalam rasa, selain untuk orkestra dan
memperlancar ucapan (Pradopo, 1987:37).
Menurut Finnegan (1979:93) variasi rima untuk memberikan
struktur bait juga dihasilkan oleh aliterasi, asonansi, rima, atau
paralelisme. Demikian juga tukang syair, selain mementingkan rima juga
mementingkan aliterasi dan asonansi. Bila diperhatikan dengan teliti,
selalu terdapat ulangan bunyi konsonan dan vokal, atau kombinasi bunyi
konsonan dan vokal pada setiap baris dalam tahapan, dan bait.
Penggunaan aliterasi dan asonansi banyak dijumpai pada SPH. Hal
ini dapat dilihat pada contoh yang berasal dari sebagian tahapan yang
diberi judul ‘Putri Hijau Berlayar ke Aceh’ berikut:
Baris (601) Sekalian rakyat Deli negeri
merasa pilu tiada terperi
ditinggalkan oleh tuannya puteri
90 | Dr. Liesna Andriany
masinglah-masing duduk termenung diri
Baris (605) Tersebutlah pula kisah angkatan
beberapa hari menempuh hutan
kemudian berlayar di dalam lautan
jauh dari tanah-tanah daratan
Baris (609) Haluan menuju ke sebelah utara
terberang berdenging berputar jentera
kapal pun laju tiada terkira
laksana butung di atas udara
Baris (613) Di Tanjung Jambua Air kapal berhenti
Banyaklah orang datang melihati
Supaya semuanya sangat berbesar hati
Melihat rajanya tiada mati
Baris (617) Baginda pun lalu mengulang kata
ayuhai adinda puteri juwita
ke negeri Aceh sampailah kita
marilah turut bersama serta
(SPH, VII:151-155)
Tahapan ini terdapat 13 bait yang masing-masing terdiri atas empat
baris. Pada contoh di atas bait-bait yang berdekan unsur aliterasi dan
asonansinya terjadi ketidaksamaan pada setiap baris. Pengulangan bunyi
konsonan pada setiap baris bervariasi, namun pengulangan bunyi vokal a
| 91 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
terdapat pada semua baris dalam tahapan itu. Pada bait (151) aliterasi
bervariasi, masing-masing baris berbeda, baris (601) merupakan
perulangan konsonan l, baris (602) dengan baris (603) merupakan
perulangan konsonan t, baris (604) merupakan perulangan m, dan asonansi
dibangun oleh perulangan yang sama pada setiap baris dengan vokal a, e,
dan i. bait (152) baris (605) dan baris (607) barisnya diciptakan dengan
aliterasi l, baris (606) aliterasinya merupakan perulangan konsonan h, dan
baris (608) aliterasinya d dan t, sedangkan asonansi setiap baris pada bait
ini dibangun oleh vokal a, i, u. Pada bait (153) baris (609) aliterasi tercipta
oleh perulangan konsonan l, baris (610) aliterasi tercipta oleh perulangan
konsonan b dan t, bairs (611) aliterasinya berupa konsonan p dan t, baris
(612) aliterasinya berupa konsonan d dan asonansi setiap baris tercipta
oleh perulangan vokal a. Selanjutnya, bait (154) baris (613) perulangan
konsonan t dan j merupakan unsur pembangunan aliterasi, baris (614)
unsur pembangunan aliterasinya konsonan t, baris (615) unsur
pembangunan aliterasinya konsonan s, baris (616) unsur pembangunan
aliterasinya konsonan m dan t, dan perulangan vokal a pembangun
asonansi. Bait (155) baris (617) aliterasinya pada konsonan l, baris (618)
perulangan konsonan d dan t merupakan pembangun aliterasi, baris (619)
aliterasinya merupakan perulangan konsonan k, dan baris (620)
perulangan konsonan m,s dan t, merupakan pembangun aliterasinya,
sedangkan asonansi dibangun oleh perulangan vokal a. Pengulangan bunyi
vokal yang paling dominan adalah bunyi a yang terdapat pada semua baris.
Berdasarkan analisis rima, aliterasi, dan asonansi dapat dikatakan
bahwa tukang syair bukan hanya mengulang kata yang sama, memilih
kata-kata yang mempunyai bunyi suku kata yang sama, dan membentuk
kata-kata dengan pola afiks yang sama tetapi juga menggunakan pola
penggunaan bunyi yang teratur dan ekspresif. Dengan variasi ini akan
menimbulkan bunyi merdu dan berirama sehingga suasana akan menjadi
dinamis dan tidak monoton. Perulangan bunyi konsonan dan vokal ini akan
92 | Dr. Liesna Andriany
menciptakan satu suasana music yang menimbulkan keindahan bagi
telinga pendengar.
3. Irama
Irama mempunyai peranan yang penting dalam puisi (baca syair).
Irama yang ekspresif, sebagai aspek gaya, berhubungan erat dengan irama
teratur yang digunakan oleh penyair dalam kebanyakan puisi. Alunan yang
dikesankan oleh perulangan dan pergantian kesatuan bunyi dalam arus
panjang pendeknya bunyi, keras lembutnya tekanan dan tinggi rendahnya
nada yang disebut dengan irama (Sudjiman, 1986:35). Irama diperoleh
dengan mengulang kombinasi interval antara suara atau tekanan keras dan
lemah. Pertentangan suara antara lemah, tinggi, rendah yang terjadi
berulang-ulang secara teratur akan menimbulkan irama atau ritme.
Pada kehidupan sehari-hari banyak dijumpai irama. Dengan irama
itu kita berbicara, berbaris, bernyanyi, bersenam, menari, dan sebagainya.
Dalam karya sastra irama membuat rangkaian kata seolah-olah hidup dan
bernyawa. Di samping itu, irama juga berperan dalam menambah
keindahan dan menjelaskan maksud puisi.
Menurut Pradopo (1987:40) irama ada dua macam yaitu metrum
dan ritme. Matra berasal dari kata Latin metrum, yaitu irama. Dalam hal
ini matra ialah bagan yang dipakai dalam penyusunan baris-baris sajak
yang berhubungan dengan jumlah, panjang, atau tekanan suku kata
(Shadily, 1983:2173). Metrum adalah irama yang tetap, artinya
pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu yang disebabkan oleh
jumlah kata yang sudah tetap saja (Pradopo, 1987:40). Selanjutnya
Luxemburg (1989:100) menyatakan bahwa matra (metrum) distribusi
tekanan atau kepanjangan suku kata, atau bunyi dalam larik-larik dan
kumpulan larik secara skematis. Dari beberapa pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa matra merupakan distribusi tekanan dan jumlah kata
yang teratur pada setiap baris. Sedangkan Ritme adalah irama yang
| 93 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara
teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan
hanya menjadi gema dendang sukma penyair (Pradopo, 1987:40).
Kondisi matra dan pola susunan baris setiap sastra lisan tidak sama.
Lord (1976: 21 dan 32) dalam analisisnya terhadap cerita di Yugoslavia
menemukan adanya matra. Dalam tradisi lisan Yugoslavia setiap baris
terdiri dari 10 suku kata dengan perhentian sesudah suku kata keempat.
Selain itu, Finnegan (1979:96) menyatakan In languages where the tone
of a syllable is significant in defining its meaning…this feature too may be
used as a structuring device in poetry-oral particularly (dalam bahasa-
bahasa dimana tone pada suku kata adalah penting dalam memerikan
makna, ciri khas ini juga mungkin digunakan sebagai sarana menyusun
puisi lisan), ini karena sistem bahasanya yang demikian. Dalam baris-baris
SPH terasa ada irama yang tetap dan berulang-ulang. Artinya pada setiap
baris, letak suku-suku kata yang mendapat tekanan atau sama lain jaraknya
ditempuh dalam waktu yang hampir sama. Namun karena tekanan kata
bahasa Melayu tidak membedakan arti maka metrumnya tidak dapat
dicari. Sejalan dengan pendapat Teeuw bahwa sampai sekarang belum
pernah dikemukakan sesuatu yang tahan uji dari segi ilmiah mengenai soal
irama dalam bahasa Indonesia, belum ada yang cocok dengan struktur
bahasa Indonesia. Satuan yang merupakan dasar larik sajakl Indonesia
adalah kata, bukan suku kata (1983:23). Setiap baris terbagi atas dua
bagian dengan tanda garis miring (/) sebagai tanda pembagiannya. Tanda
garis miring (/) merupakan tanda perhentian atau biasa disebut dengan
caesura. Beberapa contoh yang diambil dari sebagian tahapan
‘pembukaan’ sebagai berikut.
Bismillah itu / bermula kata Baris 1
3 2 3 2
94 | Dr. Liesna Andriany
dengan nama Allah / Tuhan semesta
2 2 2 2 3
dikarangkan syair / suatu cerita
4 2 3 3
orang dahulu / empunya kata
2 3 3 2
Adapun maksud / syair dikarangkan Baris 5
3 2 2 4
bukanlah ahli / saya tunjukkan
3 2 2 3
riwayat yang benar / saya paparkan
3 1 2 2 3
lebih dan kurang / harap maafkan
2 1 2 2 3
Tetapi karena / terniat sudah Baris 9
3 3 3 2
mensyairkan syair / suatu nan madah
4 2 3 1 2
mudah-mudahan / jadi cebaidah
5 2 3
| 95 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
untuk pelipur / hati yang gundah
2 3 2 1 2
(SPH,I:1-3)
Dengan contoh tersebut dapat dilihat bahwa baris (1), (3), (4), (6),
(8), (10), (11), (12) merupakan baris-baris yang suku katanya berjumlah
genap, maka perhentian tengah terdapat pada bagian tengah baris atau pada
akhir suku kata yang bercetak miring. Baris-baris yang suku katanya
berjumlah ganjil seperti baris (2), (5), (7), dan (9) perhentian terletak pada
unsur semantisnya. Pada baris-baris yang terdiri empat kata, perhentian
terletak di antara keempat kata itu atau pada akhir kata kedua, seperti baris
(1), (3), (4), (5), (6), dan (9). Baris-baris yang jumlah katanya tiga dan lima
perhentiannya terletak setelah akhir frase atau pada unsur semantiknya,
seperti baris (2), (7), (8), (10), (11) dan (12). Berdasarkan pemisahan baris
itu, susunan ritmenya dapat dilihat sebagai berikut: 5-5, 6-6, 6-5, 5-6.
Dari data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa SPH ini ada irama
yang tetap dan berulang-ulang sehingga menimbulkan irama yang teratur.
Waktu yang diperlukan antara pengucapan satu suku kata yang ditekan –
yaitu yang dicetak miring – dengan suku kata yang ditekan lainnya dalam
larik di atas adalah sama. Dengan demikian terjadilah irama yang teratur.
Hal ini disebabkan oleh (a) jumlah kata pada perhentian tengah tetap pada
kata yang kedua, (b) perhentian tetap pada akhir frase, (c) perhentian tetap
memperhatikan semantic, sehinggatekanannya tetap, hingga alun suara
yang menaik dan menurun juga tetap saja. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa SPH cenderung menggantungkan daya ungkapnya pada
lagu atau intonasi.
E. Diksi (Pilihan Kata)
Keindahan puisi banyak ditemukan oleh pemilihan dan
penempatan kata di dalam baris. Dalam puisi penempatan kata-kata sangat
96 | Dr. Liesna Andriany
penting artinya dalam rangka menumbuhkan suasana puitik yang
membawa pada penikmatan dan pemahaman yang menyeluruh dan total.
Kata-kata yang sudah dipilih oleh penyair dalam puisinya bersifat absolute
dan tidak dapat diganti dengan padanan katanya, sekali pun maknanya
sama (Waluyo, 1987,73). Keestetisan komposisi puisi akan terganggu jika
kata-kata dalam puisi diganti dengan padanan katanya.
Kalau di dalam puisi pengarang untuk menyatakan perasaannya
sangat memperhatikan pilihan kata, demikian pula halnya di dalam syair.
Pilihan kata atau diksi di dalam syair dipakai sebagai penyampai pesan
yang dikombinasikan dengan unsur bunyi pada rima akhir. Kadang-
kadang pilihan kata itu melanggar rima yang sudah umum, akan tetapi dari
segi bunyi maupun arti hal itu terpaksa dilakukan.
Diksi di dalam syair penting untuk menciptakan rima akhir. Rima
yang tidak mengikuti rumus aaaa atau pun jumlah baris dalam satu bait
disebabkan diksi yang sulit dicari. Untuk tidak menghilangkan isi cerita,
syair kadang-kadang terpaksa menyimpang dari konvensi yang sudah ada.
Seperti terlihat pada contoh berikut:
Baginda pun lalu mengadakan musyawarah
maksud hendak berkirim surat
ke Deli disampaikan hasrat
supaya tiada kekurangan syarat
(SPH, X:223)
Kalaulah ada sumur diladang
bolehlah kita menumpang mandi
kalaulah ada umur yang panjang
| 97 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
acaralah ini disambung lagi
(SPH, XII:271)
Dengan memperhatikan penggunaan bentuk rima pada bait
tersebut, akan diperoleh bait (223) berpola abaa dan bait (271) berpola
abab. Pola rima ini menyimpang daru ketentuan rima syair yang baik,
apalagi nilai estetika rima sebuah syair terletak pada rima akhir. Namun
ketidaksamaan rima akhir ini mungkin disengaja oleh tukang syair karena
tidak ada pilihan kata yang sesuai untuk mendapatkan rima akhir yang
sama atau karena kecepatan harus menyusun kata, sehingga tidak sempat
untuk memikirkan sinonim kata tersebut. Pilihan kata ‘musyawarah’,
‘surat’, ‘hasrat’, dan ‘syarat’ pada bait (223) tidak ada padanan kata untuk
menggantikan kata-kata tersebut. Bila diganti akan memberi kesan dan
pengertian yang berbeda sehingga syair yang merupakan media
penyampai pesan tidak tercapai. Namun begitu perbedaan rima akhir
antara satu baris dengan baris yang lain tidak jauh bedanya. Sehingga tidak
mempengaruhi penampilan syair. Begitu juga pada bait (271) kata
‘ladang’, ‘mandi’, ‘panjang’, dan ‘lagi’ yang berupa serangkap pantun
juga diciptakan karena tidak adanya pilihan kata yang tepat untuk
menggantikan kata tersebut sehingga harus mengorbankan bunyi rimanya.
Kedatangan bangsa Arab di tengah-tengah bangsa Melayu banyak
memberi pengaruh, baik dari tatanan kehidupan sehari-hari, kepercayaan,
maupun pada sastranya. Salah satu pengaruh bangsa Arab pada sastra
masyarakat Melayu adalah kehadiran syair sebagai salah satu seni yang
diminati bangsa Melayu. Tentu saja syair terikat oleh aturan-aturan yang
berlaku sebagaimana syair pada bangsa Arab. Begitu pada dalam hal
pilihan kata (diksi) pada syair. Istilah-istilah keagamaan yaitu agama Islam
dan kosa kata yang berasal dari bahasa Arab sangat besar pengaruhnya.
Menurut Finnegan (1979:111) A literary language may have polical as
well as prosodic implications (bahasa sastra memiliki politik di samping
98 | Dr. Liesna Andriany
implikasi prosodic). Begitu juga dengan SPH, kata-kata Arab tampak pada
contoh berikut:
Bismillah itu bermula kata
dengan nama Allah Tuhan semesta
dikarangkan syair suatu cerita
orang dahulu empunya kata
(SPH, I:1)
Baginda berpulang ke Rahmatullah
tahta kerajaan tinggallah sudah
harta dunia sudah berjumlah
kepada yang lain diberikan Allah
(SPH, II:25)
Parasnya elok bagai digambar
Memandang puteri bagai pendekar
Indah puteri tiada terkabar
lalu mengucap Allahuakbar
(SPH, IV:49)
Pilihan kata Bismillah pada bait (1) yang artinya ‘dengan nama
Allah’ merupakan kata yang langsung dikutip dari kitab suci agama Islam
Al-Qur’an. Merupakan bahasa Arab yang menandakan bahwa segala
sesuatu pekerjaan harus terlebih dahulu dimulai dengan mengucapkan
Bismillah. Demikian juga dalam memulai syair harus dimulai dengan kata
| 99 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Bismillah atau Bismillahirrohmanirrahim’yang sama artinya ‘dengan
nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’. Pada syair ini
kata Bismillahirrohmanirrahim disingkat hanya Bismillah. Penggunaan
kata tersebut lebih tepat berpasangan dengan kata ‘itu bermula kata’ dari
pada kata Bismillahirrohmanirrahim saja sebagai baris awal pembukaan.
Apalagi bila kata Bismillahirrohmanirrahim berpasangan dengan kata ‘itu
bermula kata’, tentu menyimpang dari jumlah suku kata yang lazim dalam
syair. Pada bait (25) terdapat penggunaan kata rahmatullah yang juga
berasal dari bahasa Arab. Kata rahmatullah bersinonim dengan kata
‘meninggal dunia’, ‘wafat’, ‘mangkat’, ‘gugur’, ‘mati’, dan ‘mampus’.
Diyakini oleh umat yang beragama Islam bahwa orang yang meninggal
dunia adalah orang yang mendapat rahmat dari Tuhan. Walaupun kata
rahmatullah sama artinya dengan kata ‘meninggal dunia’, ‘wafat’,
‘mangkat’, ‘gugur’, ‘mati’, dan ‘mampus’ namun kedudukan kata
rahmatullah tidak dapat diganti meskipun sama artinya. Dari segi
keestetisan bunyi, kata rahmatullah akan mendukung rima pada larik
berikutnya yaitu ‘sudah’. Persamaan rima akhir dengan bunyi ah pada kata
rahmatullah, kata ‘sudah’, kata berjumlah, dan Allah jelas sebagai
pertimbangan tersendiri. Bait (49) terdapat kata yang berasal dari bahasa
Arab ‘Allahuakbar’ yang artinya sama dengan ‘Tuhan Maha Besar’.
Walaupun bunyi akhir kata Allahuakbar dan kata padanannya “Tuhan
Maha Besar” sama-sama berbunyi ar, namun kata-kata Allahuakbar tidak
dapat diganti dengan padanan katanya. Bila hanya dilihat dari segi
kesamaan bunyi pada akhir baris untuk menyamakan rima akhir, kata
‘Tuhan Maha Besar’ dapat saja digantikan, akan tetapi pilhan katanya
tidak tepat, karena kata Allahuakbar nilai rasanya tidak sama dengan
kata ‘Tuhan Maha Besar’. Dengan kata Allahuakbar terasa bahwa tukang
syair sangat mengagungkan Tuhan. Kata Allahuakbar merupakan kata
pertama yang diucapkan pada waktu menghadap Tuhan (Sholat) bagi umat
yang beragama Islam dan kata ini tidak dapat diganti dengan bahasa apa
pun. Pilihan kata Bismillah, rahmatullah, dan Allahuakbar selain
100 | Dr. Liesna Andriany
dianggap lebih tepat mewakili gagasan yang ingin disampaikan, kata-kata
itu sendiri sebagai bentuk yang diwarnai oleh konteks sosial budaya
masyarakat Melayu. Juga mengandung nilai ideologis bahwa masyarakat
Melayu identik dengan Islam, dalam arti kata seseorang dikatakan Melayu
kalau dia seorang yang beragama Islam. Ada istilah yang terkenal pada
masyarakat Melayu “masuk Melayu – masuk Islam” (Sinar, 1994:23).
SPH banyak menggunakan kata-kata arkais, yaitu kata-kata kuno
yang menurut Aminuddin (1997:235) kuno merujuk pada kata yang sudah
terasa janggal digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Penggunaan kata-
kata lama ‘arkais’ bertujuan untuk menimbulkan suasana kembali kemasa
lalu atau nostalgia, atau sebaliknya membawa masa lalu ke masa kini
(Atmazaki, 1993:38). Terlihat pada contoh berikut:
Pertolongan tabib pun tiada berfaedah
semakin gering Sultan yang Syahda
ajal baginda hampirlah sudah
ke negeri baka akan berpindah
(SPH, II:24)
Itulah permohonan patik yang lata
harap dikabulkan oleh sangnata
jika membantah duli mahkota
naik ke darat mohonlah beta
(SPH, VII:159)
Penggunaan kata ‘tabib’, ‘gering’, ‘syahda’, ‘patik’, ‘lata’,
‘sangnata’, ‘duli’, dan ‘beta’ sudah terasa janggal digunakan dalam
| 101 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
komunikasi sehari-hari. Untuk zaman modern ini, kata-kata itu
memberikan kesan kembali ke masa silam. Pada bait (24) terdapat kata
‘tabib’ yang artinya orang yang pintar mengobati orang sakit dengan
pengobatan tradisional, kata ‘gering’ yang artinya ‘sakit’, kata ‘syahda’
yang artinya ‘mulia’. Penggunaan kata ‘tabib’ memberi makna bahwa
pada masa itu tidak ada dokter, yang ada hanya seorang tabib yang
sekarang sama pengertiannya dengan dokter. Tabib pada masa lalu
merupakan orang yang disegani karena memiliki pengetahuan yang dapat
menyembuhkan orang sakit. Kalangan istana biasanya akan memanggil
tabib bila ada anggota keluarganya yang sakit. Sekarang tabib sudah
langka diganti dengan dokter. Pemilihan kata ‘tabib’ sangat tepat untuk
menggambarkan suasana istanasentris pada masa lalu. Kata ‘gering’ juga
merupakan kata yang sudah tidak dipergunakan lagi dalam komunikasi
sehari-hari. Arti kata ‘gering’ adalah ‘sakit’, merupakan kata khusus yang
hanya digunakan kepada raja, bukan untuk rakyat kebanyakan. Pemilihan
kata ‘syahda’ merupakan pemilihan kata yang tepat untuk mendukung
gagasan yang disampaikan penyair. Kata ‘syahda’ selain untuk
menghormati Sultan karena artinya ‘mulia’, tetapi juga untuk rima akhir
agar menghasilkan irama yang merdu. Walaupun tidak sama benar namun
bunyinya tidak jauh berbeda. Pada bait (159) ditemukan penggunaan kata
arkais seperti kata ‘patik’ yang artinya sebutan diri untuk seorang ‘budak
belian’ yang digunakan terhadap atasan terutama kepada raja ‘lata’ yang
artinya ‘hina’, sangnata yang artinya ‘raha’, kata ‘duli’ yang artinya ‘kata
kehormatan yang dipakai apabila berkata kepada raja atau berbicara
tentang raja’, dan kata ‘beta’ yang artinya ‘hamba sahaya’. Kata ‘beta’
dikemukakan dalam syair, dan di dalamnya tidak ada perbedaan pangkat
(Hollander, 1984:143). Pemilihan kata ini untuk menggambarkan suasana
kerajaan sehingga terasa lebih hidup, seakan-akan pendengar berada pada
masa raja-raja. Kata ‘patik’ berpasangan dengan kata ‘lata’, bukan hanya
sekedar menyamakan rima akhir pada larik berikutnya tetapi juga
menyatakan kerendahan hati dari yang memohon. Seseorang yang
102 | Dr. Liesna Andriany
bermohon atau yang meminta sesuatu agar dapat terkabul tentu harus
merendahkan diri, meminta berarti tangan di bawah. Kata ‘patik’ adalah
kata ganti orang pertama tunggal bagi budak belian dan kata ‘lata’
mempertegas kata ‘patik’. Pemilihan kata ‘patik yang lata’ sesuai untuk
mengungkapkan seorang manusia hina yang tingkat sosialnya sangat
rendah. Kata ‘patik’ saja sudah menggambarkan bahwa orang tersebut
orang yang rendah tingkatannya, ditambah lagi dengan kata ‘lata’ berarti
seseorang yang rendah derajatnya bahkan dibawah hamba belian. Pada
baris terakhir bait (159) pengganti orang pertama tunggal tidak lagi
menggunakan kata ‘patik’ tetapi menggunakan kata ‘beta’, ini semata-
mata untuk menyamakan rima akhir. Kata ‘patik’, dan ‘beta’ sama artinya
dengan ‘saya’ atau ‘aku’. Pemilihan kata ‘lata’, ‘sangnata’, dan ‘beta’
bukan secara kebetulan, di samping artinya lebih tepat bunyi yang
ditimbulkan dari kata-kata tersebut terdengar indah. Apabila kata-kata
tersebut diganti dengan padanannya meskipun artinya sama, maka
keindahan suara terganggu karena rimanya tidak sama. Akibat lain, makna
kata padanan tersebut kurang bisa mewakili gagasan penyair.
Oleh karena sebuah syair biasanya merupakan lukisan cerita yang
panjang, maka sulit tukang syair membuat syair itu sempurna sesuai
dengan syarat sebuah syair yang baik. Dengan jumlah suku kata yang
sama tiap baris, irama yang teratur, bunyi yang terdengar sama, dan arti
kata yang selalu sesuai dan mudah dipahami. Sering terjadi syarat-syarat
tersebit tidak dapat dipenuhi, semata-mata tersusun empat baris sebait
yang disusun tidak memperhatikan arti dan pilihan kata yang tepat
sehingga tersimpul dalam tiap-tiap kata.
Menurut Quain (dalam Finnegan, 1979:110) There is even the
situation where the poet chooses ‘words which he alone understands’… to
fit his rhytms (ada situasi dimana penyair memilih ‘kata kata yang dia
sendiri yang mengerti’… untuk mencocokkan ritmenya). Hal tersebut
| 103 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
berlaku pula pada SPH, sering digunakan pilihan kata yang tidak tepat,
penggunaan kata yang tidak jelas lagi artinya, digunakan sekedar untuk
membuat keempat baris itu berima akhir sama. Kutipan bait yang
penggunaan katanya kurang jelas artinya sebagai berikut.
Nakhoda menjawab lancer berkata
ayuhai saudara syahbandar yang pokta
kami dari Aceh membawalah warta
bukannya hendak melanggar kota
(SPH, IV:62)
Bentara berjalan masuk ke dalam
bertemu dengan azirulkalam
ia pun segera memberi salam
menyampaikan titah duli syahalam
(SPH, IV:89)
Segala pahlawan bangsa berani
berkendaraan di atas kuda sembrani
memakai baju besi kursani
peluru senapang boleh tertahani
(SPH, V:110)
Penggunaan kata ‘pokta’ pada bait (62), kata ‘azirulkalam’ pada
bait (89), dan kata ‘kursani’ pada bait (110) merupakan kata yang tidak
jelas lagi artinya. Penggunaan pilihan kata tersebut hanya sekedar untuk
104 | Dr. Liesna Andriany
membuat keempat baris berima akhir yang sama. Kata-kata tersebut
merupakan kata-kata yang asing buat telinga. Bila arti kata ‘pokta’, kata
‘azirulkalam’, dan kata ‘kursani’ dihubungkan dengan seluruh baris
masing-masing bait pun makna kata tersebut tidak dapat secara tepat
diketahui. Kata ‘pokta’ dan kata ‘kursani’ merupakan kata adjectival,
sedangkan kata azirulkalam merupakan kata nomina. Pemilihan kata-kata
tersebut hanya sebagai pendukung rima pada larik berikutnya. Jelas di sini
pemilihan kata-kata tersebut adalah berdasarkan pertimbangan kemerduan
bunyi tanpa melihat arti sehingga terdengar indah.
Dilihat dari pembahasan diksi (pilihan kata) pada SPH tampak
adanya kecenderungan tukang syair dalam pemilihan kata. Di samping
mencari keselarasan bunyi, juga mengungkapkan pesan sesuai dengan
sosial budaya Melayu yaitu dengan menampilkan penggunaan kata-kata
yang berasal dari kitab suci Al-Qur’an.
| 105 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Istilah gaya berbahasa digunakan pada tulisan ini untuk
membedakan stily (gaya seseorang berbicara) dengan bahasa kiasan.
Sastra sebagai cipta seni yang bermedium bahasa tidak terlepas dari unsur
kata dan maknanya. Gaya pengungkapan penyair sebagian besar terwujud
dan dapat dinikmati lewat bahasa yang digunakannya. Karena bahasa
sebagai medium karya seni yang berbentuk sastra. Setiap penyair
mempunyai gaya tersendiri dalam mengungkapkan perasaannya. Gaya
tersebut yang menjadikan ciri khas penyair dan mampu membedakan
antara penyair yang satu dengan penyair yang lain.
Gaya bahasa dapat merupakan cermin dari kepribadian, watak, dan
kemampuan dari seseorang yang menggunakan bahasa itu. Sehingga
dikenal adanya pernyataan stilus, virum, arguit atau ‘gaya mencerminkan
orangnya (Aminuddin, 1997:26). Semakin baik gaya bahasa seseorang,
semakin baik pula penilaian orang lain terhadapnya, begitu juga
sebaliknya, semakin buruk gaya bahasa seseorang semakin buruk
penilaian yang diberikan kepadanya. Lewat pemilihan dan penggunaan
gaya bahasa seseorang dapat diketahui tingkat pendidikan, kelompok
sosial, dari lingkungan sosial budayanya.
106 | Dr. Liesna Andriany
Biasanya gaya bahasa yang dipakai tukang syair selain untuk
keindahan dalam bersyair juga untuk mempermudah pemahaman makna
penceritaan. Sesuai dengan pendapat Pradopo (1987:93) gaya bahasa dapat
menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa
yang akan dibahas di sini adalah cara penggunaan bahasa si penutur atau
tukang syair secara khusus.
Ada beberapa gaya bahasa yang dipakai pada penutur lisan dalam
menyampaikan syairnya, pada pembahasan ini akan dikemukakan sebagai
berikut.
1. Paralelisme
Menurut Finnegan (1979:98) Parallelisme is another important
structural device in oral poetry. It consists basically of a type of repetition
(usually a binary pattern) in which one element is changed, the other-
usually the syntactic frame itself remaining constant (Paralelisme
merupakan sarana struktur penting lain dalam puisi lisan. Paralelisme
berdasarkan pada sebuah tipe perulangan (biasanya sebuah pola binary)
sebuah unsurnya diganti, yang lain – biasanya kerangka sintatik itu sendiri-
tetap konstan. Bentuk perulangan merupakan satu bentuk dasar dalam
segala jenis puisi. Menurut Pradopo (1987:97) paralelisme (persejajaran)
ialah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Paralelisme
berusaha menjelaskan suatu hal dengan mengulang kata-kata yang sama
secara berurutan.
Paralelisme merupakan bentuk pengulangan sintaksis yaitu
kesamaan struktur antarkalimat atau bagian kalimat. Paralelisme sering
juga disertai dengan pengulangan kata, frasa, atau konstruksi gramatikal
yang sama (Luxemburg, 1989:62). Pengulangan dan penyusunan kata
secara paralelisme memberi kesan bahwa kata-kata yang diulang dan
disusun secara parallel tersebut mendapat penekanan khusus. Bagi
pendengar, paralelisme sangat membantu guna mendapatkan makna
| 107 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
gagasan penyair secara lebih jelas. Bunyi-bunyi kata yang diulang tersebut
kedengarannya nyaring dan merdu antara baris. Paralelisme yang terdapat
pada SPH ada tiga yaitu (1) paralelisme perulangan antara baris, (2)
paralelisme perulangan dalam sebaris, dan (3) paralelisme selang baris.
Paralelisme Perulangan antara Baris
Pada beberapa baris yang berdekatan terdapat kata atau frasa yang
diulang di puisi yang sama dan memiliki struktur gramatikal yang sama.
Makna yang terkandung pada baris-baris yang parallel ada yang mirip dan
ada yang tidak. Contoh paralelisme antara baris sebagai berikut.
Baris (22) yang sulit itu menjadi nyata
(23) lautan boleh menjadi kota
(24) gunung yang tinggi menjadi rata
(SPH, I:6)
(394) kami hendak pergi berperang
(395) ke Deli hendak pergi menyerang
(SPH, V:99)
(470) ke dalam meriam kita cobakan
(471) ke dalam meriam kita tembakkan
(SPH, V:118)
(478) ke tengah padang lalu dihadangkan
(479) sumbu ditaruh lalu dibubarkan
(SPH, V:120)
108 | Dr. Liesna Andriany
Pada contoh tersebut terdapat pola baris sebagai berikut: baris (22),
(23), dan (24) verba + nomina, dan memiliki makna yang berbeda. Baris
(394) dan (395) verba + verba, dan memiliki makna yang mirip. Baris
(470) dan (471) adverbial + nomina + nomina + verba, dan memiliki
makna yang hampir sama. Baris (478) dan baris (479) adverbial + verba,
dan maknanya berbeda.
Paralelisme Perulangan dalam Sebaris
Paralelisme perulangan dalam sebaris merupakan perulangan dua
kata atau dua frasa yang terdapat dalam satu baris dan struktur gramatikal
yang sama. Makna pada kedua kata atau frasa tersebut terkadang ada yang
hampir sama dan ada yang berbeda. Contoh paralelisme dalam sebaris
sebagai berikut.
Baris (76) mahal didapat sukar dicari (SPH, II,19)
(311) bersama hidup bersama fani (SPH, IV:78)
(145) setelah siang sudahlah hari (SPH, III, 37)
(405) diperbuat surat diberikan pahlawan (SPH, V:102)
(1055) membuka lemari membuka peta (SPH, XI:265)
Pola baris contoh tersebut yaitu: baris (76) adjektival + verba dan
adjektival + verba, memiliki makna yang hampir sama. Baris (311) verba
+ nomina dan verba + nomina, memiliki makna yang berlawanan. Baris
(145) adjektival + nomina dan adjektival + nomina, memiliki makna yang
hampir sama. Baris (405) verba + nomina dan verba + nomina, memiliki
makna berbeda. Baris (1055) verba + nomina dan verba + nomina,
memiliki makna berbeda.
| 109 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Paralelisme Perulangan Selang Baris
Perulangan beberapa baris secara berselang seling. Struktur dan
unsur baris pertama diulang pada baris yang lain setelah diselingi oleh
baris lain. Contoh paralelisme selang baris sebagai berikut.
Baris (1089) kalaulah ada jarum yang patah
(1090) jangan disimpan di dalam peti
(1091) kalaulah ada kata yang salah
(1092) jangan disimpan atau ditolong diperbaiki
(SPH, XII:274)
(1097) kalaulah ada sumur di ladang
(1098) bolehlah kita menumpang mandi
(1099) kalaulah ada umur yang panjang
(1100) acaralah ini disambung lagi
(SPH, XII:276)
Baris (1089) pola baris adverbial interogatif + nomina + adjektival
diulang pada baris (1091). Baris (1090) polanya negasi + verba diulang
pada baris (1092). Selanjutnya pada baris (1097) pola baris adverbial
interogatif diulang pada baris (1099).
2. Bentuk Inversi
Bentuk inversi untuk bentuk pembalikkan merupakan urutan kata
yang normal dalam kalimat diubah. Inversi di dalam sastra berfungsi agar
suatu gambaran menjadi ekspresif atau untuk memberi tekanan khusus
kepada kata tertentu (Luxemburg, 1989:63). Fungsi inversi pada SPH
110 | Dr. Liesna Andriany
berbeda dengan yang dikemukakan Luxemburg. Bentuk inversi pada SPH
berfungsi untuk menyamakan irama akhir. Sebab bila kalimat inversi
tersebut dikembalikan ke bentuk normal kemungkinan kesamaan bunyi
rima akhir tidak dapat dipertahankan.
Misalnya pada bait di bawah ini
mereka berjalan sehari-hari
sehingga sampai malamnya hari
sambil melihat kian kemari
maksudnya cahaya hendak dicari
(SPH, IV:43)
Kalimat inversi pada bait (43) adalah ‘maksudnya cahaya hendak dicari’.
Bila kalimat tersebut dibalik menjadi susunan kalimat yang normal
menjadi ‘maksudnya hendak mencari cahaya’, maka rima akhir pada bait
(43) tidak akan sesuai dengan baris-baris normal yang lain. Rima pada
baris-baris yang susunannya normal berakhir dengan bunyi i, sedangkan
rima baris yang susunannya diubah dari bentu inversi ke bentuk normal
rimanya berakhir dengan bunyi a.
Bentuk inversi banyak terdapat pada SPH, ini sesuai dengan
pendapat Luxemburg (1989:63) bahwa dalam syair Melayu banyak
terdapat susunan seperti ini. Contoh bentuk inversi yang lain pada SPH.
Baris (233) kapal berlabuh sauh diturunkan
(234) gemuruh meriam orang tembakkan
(235) orang di pasar yang mendengarkan
(236) musuh menyerang mereka sangkakan
(SPH, IV:59)
| 111 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Kalimat inversi pada bait (59) adalah ‘musuh menyerang mereka
sangkakan’. Bila kalimat tersebut dibalik menjadi susunan kalimat normal
menjadi ‘mereka sangkakan musuh menyerang’, maka rima akhir pada
bait (59) tidak akan sesuai dengan baris yang lain. Rima pada baris-baris
yang lain dengan bunyi n, sedangkan rima akhir pada kalimat yang diubah
ke bentuk normal rimanya berakhir dengan bunti ng.
3. Bentuk Elips
Bentuk elips adalah bentuk yang terjadi kalau bagian kalimat
tertentu tidak ada (Luxemburg, 1989:64). Bila dilihat satu persatu baris-
baris yang terdapat dalam SPH akan banyak dijumpai bentuk elips.
Sebagian besar baris-barisnya berbentuk elips. Bentuk kalimat lengkap
minimal memiliki unsur pola S (subjek), P (predikat), dan O (objek) maka
bentuk elips merupakan bentuk yang salah satu unsur-unsur tersebut
hilang. Bisa saja unsur yang dihilangkan itu berupa subjek, predikat, atau
objek. Misalnya dapat kita lihat pada (SPH, VII:151) di bawah ini.
Sekalian rakyat Deli negeri
S
merasa pilu tiada terperi
P O
ditinggalkan oleh tuannya putri
P O
masinglah-masing duduk termenung diri
S P O
Bait (151) setiap baris merupakan kalimat yang berbentuk elips
kecuali baris keempat. Baris pertama adalah ‘sekalian rakyat Deli negeri’
112 | Dr. Liesna Andriany
hanya memiliki unsur subjek dan baris kedua ‘merasa pilu tiada terperi’
unsurnya terdiri dari predikat dan objek. Bila kedua baris ini dihubungkan,
subjek yang hilang pada baris kedua dapat ditemukan pada baris pertama.
Kalau kedua kalimat ini disatukan akan menjadi kalimat yang lengkap
yaitu ‘sekalian rakyat Deli negeri merasa pilu tiada terperi’. Namun hal ini
tidak lajim untuk sebuat syair karena terlalu panjang dan menyalahi aturan
syair.
Contoh lain kalimat elips yang terdapat pada SPH yang diambil
dari bagian tahapan yang berjudul ‘Putri Hijau Berlayar ke Aceh’.
…………………….
beberapa hari menempuh hutan
(subjek hilang)
kemudian berlayar di dalam hutan
(subjek hilang)
……………………..
(SPH, VII:152)
……………………..
harap dikabulkan oleh sang nata
(subjek hilang)
jika membantah duli mahkota
(subjek hilang)
…………………………
| 113 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
(SPH, VII:159)
………………………….
seorang sebutir telur yang nyata
(predikat hilang)
…………………………..
(SPH, VII:160)
……………………………
melihat perbuatan demikianlah peri
(subjek hilang)
…………………………….
(SPH, VII:163)
Bait (152) pada ‘beberapa hari menempuh hutan’ hanya memiliki unsur
predikat dan objek sedangkan subjeknya hilang, pada ‘kemudian berlayar
di dalam hutan’ juga hanya memiliki unsur predikat dan objek, sedangkan
subjeknya hilang. Bait (159) pada harap dikabulkan oleh sang nata’ dan
pada ‘jika membantah duli mahkota’ sama-sama hanya memiliki unsur
predikat dan objek, sedangkan subjeknya hilang. Pada bait (160) pada
‘seseorang sebutir telur yang nyata’ hanya memiliki unsur subjek dan
objek, sedangkan predikatnya hilang. Pada bait (163) pada ‘melihat
perbuatan demikianlah peri’ hanya memiliki unsur predikat dan objek,
sedangkan subjeknya hilang. Jadi pemilihan dan pembuatan kalimat elips,
bagi tukang syair bukan saja keefisienan penggunaan kata saja yang
diperhatikan melainkan juga usaha untuk mempertahankan jumlah suku
kata yaitu sepuluh atau sebelas suku kata.
114 | Dr. Liesna Andriany
B. Bahasa Kiasan
Bahasa kiasan merupakan penggunaan bahasa yang maknanya
tidak seperti di dalam kamus, tetapi memiliki makna tambahan atau makna
kiasan. Hal ini salah satunya disebabkan karena ingin menyampaikan
sesuatu tidak secara langsung, tetapi menggunakan perbandingan, analogi,
dan juga persamaan. Penggunaan kata atau kalimat yang tidak langsung
dan memiliki makna lain selain makna yang sesungguhnya atau makna
kiasan ini disebut juga dengan majas atau gaya bahasa atau bahasa kiasan.
Puisi atau sajak mengatakan sesuatu tetapi artinya lain.
Maksudnya, terdapat ketidaklangsungan arti dalam sajak yang bisa
disebabkan oleh penggantian arti, penyimpangan arti, atau penciptaan arti
(Riffaterre, 1978:1-2). Bahasa kiasan atau majas ‘figurative language’
termasuk kepada ketidaklangsungan ucapan berupa penggunaan arti.
Sebuah atau sekelompok kata tidak mengandung arti denotasi tetapi arti
lain karena telah dimasuki oleh unsur-unsur tertentu.
Penghadiran diksi secara cermat, penggunaan makna konotatif
lebih banyak daripada makna denotative merupakan aspek eksentuasi
estetis puisi sekaligus merupakan gambaran ekspresi emosi penyair. Selain
itu, ada cara lain untuk mempertinggi kapasitas keindahan puisi, yakni
dengan menggunakan majas atau bahasa kiasan atau bahasa figuratif.
Bahasa kiasan membuat puisi menjadi menarik. Menurut Pradopo
(1987:62) bahasa kiasan adalah mempersamakan sesuatu hal lain supaya
gambaran menjadi jelas, lebih menarik dan hidup. Bahasa kiasan
merupkan sarana ungkap yang halus, karena sesuatu hal yang dimaksud
pengarang diungkapkan dengan membandingkan hal yang lain. Sarana
puisi sebagai perlambang atau kiasan wacana tidak langsung yang
berbicara dengan metonomia dan metafora, yang membandingkan dua
dunia, serta dapat menyampaikan tema melalui pemindahan dari satu
| 115 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
idiom ke idiom lain merupakan bahasa kiasan atau biasa juga disebut
majas (Wellek dan Warren, 1989:236).
Jenis majas umumnya terbagi atas (1) majas perbandingan seperti
simile (umpamaan), metafor (kiasan), analogi, personifikasi (insanan), (2)
majas pertentangan seperti ironi, hiperbola, litotes; (3) majas pertautan
seperti metonomia, sinekdoke, kilatan, eufemisme. Di bawah ini akan
dibahas beberapa jenis majas yang ada pada SPH.
1. Majas Perbandingan
Majas perbandingan atau perumpamaan atau simile merupakan
bahasa kiasan yang membandingkan dua hal berbeda yang secara ekspilit
menggunakan kata-kata pembanding bagai, seperti, laksana, bak,
seumpama, dan lain-lain (Pradopo, 1987:62). Terdapat empat istilah untuk
menganalisis gaya perbandingan yaitu pembanding dikenal dengan istilah
vehicle, pebanding (yang dibandingkan) dikenal dengan istilah tenor, kata
perangkai, dan motif (Luxemburg, 1989:65). Namun kadang-kadang tidak
semuanya istilah itu ditampilkan.
Kutipan di bawah ini merupakan contoh penggunaan majas similie
pada SPH.
Putri Hijau disebut nama
cantiknya tidak dapat disama
bagai dewa turun menjelma
…………………………..
(SPH, II:18)
…………………………..
Tentara bagai semut melata
116 | Dr. Liesna Andriany
(SPH, V:100)
………………………….
Hatiku hancur bukan suatu
laksana kaca jatuh ke batu
(SPH, VIII:170)
Bait (18), unsur pebanding ialah ‘Putri Hijau disebut nama’, sebagai
pebandingnya ialah ‘dewa turun menjelma’, kata perangkai ialah ‘bagai’,
dan ‘cantiknya’ merupakan motif yang mendasari perbandingan yang
dapat diadakan antara ‘Putri Hijau’ dan ‘dewa’. Bait (100) pembanding
ialah ‘tentara’, kata perangkai ialah ‘bagai’, pembandingnya ‘semut
melata’. Motifnya tidak ditemukan dalam perumpamaan itu. Oleh sebab
itu, motif harus diinterpretasikan berdasarkan sifar pembanding. ‘Semut
melata’ berarti ‘berjalan berbaris seperti iring-iringan semut’. Pada bait
(170) terlihat sebagai pebandingnya ‘hatiku’, sedangkan pembandingnya
‘kaca jatuh ke batu’, kata perangkai ialah ‘laksana’, dan motifnya ‘hancur’.
Perbandingan antara ‘hatiku’ dengan ‘kaca jatuh ke batu’ didasari oleh
motif ‘hancur’.
Jenis majas berikutnya yang akan dianalisis adalah majas metafora.
Majas metafora (kiasan) adalah majas yang mengandung perbandingan
yang tersirat sebagai pengganti kata atau ungkapan lain untuk melukiskan
kesamaan atau kesejajaran makna diantaranya (Sudjiman, 1986:41). Kata
perangkai ‘seperti’, ‘sebagai’, ‘laksana’, dan sebagainya tidak ada dalam
majas metafora. Sering sekali maksud sebuah metafora-implisit hanya
berdasarkan asosiasi-asosiasi pribadi karena memang tidak ada aturan
untuk maksud tiap metafora (Atmazaki, 1993:52)
Majas metafora pada SPH dapat dilihat sebagai berikut:
| 117 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
…………………………
ke negeri baka akan berpindah
(SPH, II:24)
………………………….
menetang paras puteri utama
cantik majelis dewi menjelma
………………………….
(SPH, IV:50)
………………………….
Pada adikku dewa lukisan
…………………………..
(SPH, IX:212)
Bait (24) tidak ada unsur pembanding, kata perangkai, dan motif, yang ada
hanya pembandingnya saja yaitu ‘ke negri baka akan berpindah’, oleh
karena itu harus lebih dalam memahami sifat dari pembanding agar dapat
menginterpretasi motifnya karena beberapa unsurnya tidak ada. Untuk
mengetahui pebanding kita harus mencari lewat konteks. Tentu saja
terlebih dahulu harus dicari motif yang melekat pada pembandingnya.
‘Baka’ bersifat kekal dan selama lamanya, dan ‘negri baka’ merupakan
suatu negri yang abadi, kehidupan abadi menurut kepercayaan agama
Islam adalah kehidupan setelah mati, maka dapat diinterpretasikan bahwa
motifnya berpadanan dengan ‘mati’, ‘mampus’, ‘meninggal’, ‘wafat’,
‘gugur’, ‘mangkat’, dan ‘meninggal dunia’. Pada bait (50) pebandingnya,
‘paras puteri’, pembandingnya ‘dewi’, dan motifnya ‘cantik’, tidak ada
118 | Dr. Liesna Andriany
kata perangkai. Walaupun tidak ada kata perangkai namun dapat dikaitkan
antara pebanding, pembanding, dengan motifnya. Selanjutnya bait (212)
unsur pebanding, ialah ‘adikku’, dan sebagai pembandingnya ialah ‘dewa
lukisan’, tidak memiliki motif dan kata perangkai. Motifnya tidak ada
dalam perumpamaan itu, sehingga motif harus diinterpretasikan
berdasarkan sifat pembanding. ‘Dewa’ bersifat sempurna dan cantik,
kecantikannya tidak ada bandingnya. Jadi ‘adikku’ diumpamakan seperti
seorang yang sempurna dan cantik.
Selanjutnya, pembahasan mengenai majas personifikasi (insanan).
Majas personifikasi adalah majas yang memberikan sifat-sifat manusia
kepada barang yang tidak bernyawa (Sudjiman, 1986:35). Dengan majas
personifikasi benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa
digambarkan memiliki sifat kemanusiaan.
Hal ini dapat dilihat pada contoh berikut.
………………………….
orang Aceh banyaklah mati
disapu peluru meriam sakti
(SPH, V:128)
di mercu Sibayak gunung perkasa
………………………….
(SPH, X:218)
Kiasan majas personifikasi pada bait (128) menyuratkan benda
mati dapat melakukan pekerjaan seperti halnya manusia. Itulah sebabnya
peluru meriam sakti dapat melakukan pekerjaan membersihkan sesuatu.
Bila seseorang menyapu tentu saja yang akan dibersihkan atau dibuang
| 119 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
sesuatu yang tidak berguna dan biasanya sampah. Peluru meriam sakti
dapat mengusir orang Aceh yang dianggap sebagai orang-orang yang tidak
berguna (sampah) karena mereka adalah musuh. Pada bait (218)
memperlihatkan fenomena metaforik yang berbeda. Benda mati
menyerupai sifat manusia. Perkasa merupakan sifat yang dimiliki oleh
manusia. Untuk menggambarkan gunung yang kokoh diumpamakan
gunung itu seperti manusia perkasa. Penggunaan personifikasi ini dibuat
untuk lebih mengkongkritkan bayangan, sehingga syair menjadi lebih
hidup dan lukisan angan jadi lebih terang.
Analisis selanjutnya beralih pada majas perbandingan berupa
majas analogi. Majas analogi adalah kesamaan sebagai ciri antara dua
benda atau hal yang dapat dipakai sebagai dasar perbandingan (Sudjiman,
1986:6) Pada SPH majas perbandingan berupa analogi relatif kecil
dipergunakan. Berdasarkan data yang ada majas analogi hanya ada pada
bait (56) dan bait (69). Penggunaan majas analogi dapat dilihat pada data
berikut.
giginya putih cahaya cemerlang
……………………………..
(SPH , IV:56)
……………………………..
jika tiada suatu yang menghalang
memohon mustika cahaya gemilang
(SPH, IV:69)
Bait (56) gigi putih disepadankan dengan cahaya cemerlang, putih
bersifat bersih dan cemerlang sehingga bercahaya. Oleh karena itu gigi
yang putih dapat dianalogikan dengan cahaya cemerlang. Dalam bait (69),
120 | Dr. Liesna Andriany
mustika merupakan permata yang sangat berharga, cantik, mahal, dan
sukar didapat. Sifat permata memancarkan cahaya. Pada bait tersebut, bila
dihubungkan dengan bait-bait sebelumnya yang dikatakan mustika adalah
Putri Hijau, karena Putri Hijau merupakan permata kerajaan Deli.
2. Majas Pertentangan
Majas pertentangan merupakan bahasa kiasan yang secara eksplisit
mempertemukan dua hal yang berbeda secara koordinatif atau sebaliknya
memisahkan dua hal yang sama, yang kudus dengan profan, yang baik
dengan yang buruk, yang hitam dengan putih (Yuwana dkk, 2000:59).
Pada SPH hanya majas ironi dan hiperbola saja yang ada sedangkan majas
litotes tidak ditemukan.
Pembahasan pertama majas pertentangan mengenai majas ironi.
Majas ironi adalah majas yang menyatakan makna yang bertentangan
dengan kenyataan yang sesungguhnya, misalnya dengan mengemukakan
(1) makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya; (2)
ketidaksesuaian antara harapan dan kenyatann; (3) ketidaksesuaian antara
suasana yang diketengahkan dan kenyataan yang mendasarinya
(Sudjiman, 1986:36).
Majas ironi dalam SPH sangat langka, setelah diadakan
pengamatan dengan cermat, ditemukan sebagai berikut.
………………………………
memegang pedang hatinya hambar
(SPH, V:121)
……………………………….
menjadi hina orang yang mulia
(SPH, V:133)
| 121 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Bait (121) ‘memegang pedang hatinya hambar’ merupakan makna yang
bertentangan antara kata ‘memegang pedang’ dengan ‘hatinya hambar’.
Seseorang yang memegang benda tajam seperti pedang biasanya memiliki
semangat yang menggebu-gebu, namun pada bait (121) berlawanan
artinya, bukan memiliki semangat yang besar tetapi menjadi tidak
bergairah karena hatinya hambar. (pada bait (133) ‘menjadi terhina orang
yang mulia’, seseorang yang memiliki kekuasaan dan kedudukan tinggi
yang selalu dimuliakan oleh orang banyak ternyata menjadi terhina dan
tidak memiliki harga diri lagi, ini adalah sebuah keadaan yang ironi.
Namun pada bait lain majas ironi berubah menjadi majas sarkasme
yakni penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau
mengkritik (Waluyo, 1995:86). Lihat (SPH, V:123) berikut.
begitulah kebanyakan manusia sekarang
melihat uang matanya terang
……………………………..
Bait (123) terlihat majas yang mengeritik secara keras kepada orang yang
karena uang segalanya menjadi lancer/terang. Kata-katanya tajam dank
eras, langsung pada sasaran tidak lagi menggunakan sindiran.
Pembahasan selanjutnya mengenai majas hiperbola. Menurut
Sudjiman (1986:12) majas hiperbola adalah majas yang didalam
ungkapannya melebih- lebihkan apa yang sebenarnya dimaksudkan. Majas
ini banyak dipergunakan pada SPH. Berikut ini contoh majas hiperbola.
………………………………
lautan boleh menjadi kota
gunung yang tinggi menjadi rata
(SPH, I:6)
122 | Dr. Liesna Andriany
demi baginda mendengarkan kabar
hatinya goncang darah berdebar
……………………………….
(SPH, IV:71)
…………………………………
kalaulah tidak tentu di serang
kota dijadikan abu dan arang
(SPH, V:106)
…………………………………
merah dan padam warna mukanya
tetapi dapat disabarkannya
(SPH, V:107)
lalu menderam bunyi menderu
memenuhi lautan segenap penjuru
………………………………….
(SPH, IX:183)
Bait (6) penggunaan kata-kata yang berlebih-lebihan pada ‘lautan boleh
menjadi kota / gunung yang tinggi menjadi rata’, suatu yang terlalu sulit
dilakukan oleh orang biasa, membuat laut menjadi kota dan meratakan
gunung yang tinggi. Pada bait (71) penggunaan kata-kata yang berlebihan
pada ‘hatinya goncang dara berdebar’, untuk menggambarkan orang yang
sangat marah. Bait (106) penggunaan kata-kata tersebut berarti
‘menghancurkan kota’. Bait (107) penggunaan kata-kata yang berlebih-
lebihan pada ‘merah dan padam warna mukanya’, juga untuk menyatakan
orang yang sangat marah dan (183) terlihat penggunaan kata-kata yang
| 123 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
berlebih-lebihan pada ‘lalu menderam bunyi menderu / memenuhi lautan
segenap penjuru’, untuk menyatakan suara yang sangat keras, suara
menderamnya sampai ke segala penjuru, sesuatu yang terlalu berlebih-
lebihan.
Pada contoh tersebut terlihat penggunaan kata-kata yang berlebih-
lebihan, dalam kaitan ini diartikan sebagai sesuatu yang tidak mungkin
terjadi. Gunanya hanya untuk memberikan penegasan – tidak terdapat di
dalamnya sindiran atau ejekan seperti dalam ironi. Suatu keadaan
dilukiskan secara berlebihan sehingga muncul ekspresif yang diinginkan.
3. Majas Pertautan
Majas pertautan adalah majas yang menghubungkan dua hal yang
berbeda secara fisik, tetapi memiliki kesamaan sifat atau kesamaan hakikat
tanpa melalui kata-kata atau ungkapan penghubung kebahasaan (Yuwono
dkk, 2000:62). Majas pertautan yang ditemukan pada SPH hanya majas
sinekdoke. Menurut Waluyo (1995:85) majas sinekdoke adalah
menyebutkan sebagian untuk keseluruhan atau menyebutkan keseluruhan
untuk maksud sebagian. Majas pertautan yang menyebutkan nama bagian
sebagai pengganti nama keseluruhan disebut pars pro toto, dan majas
pertautan yang menyebutkan nama keseluruhan sebagai pengganti nama
bagiannya disebut totum pro parte (Sudjiman, 1986:70). SPH yang
mengandung majas sinekdoke, dapat dilihat pada data berikut.
……………………………..
kedengaran suara gegap gempita
persembahan pada paduka ratu
kapallah Aceh tibalah tentu
(SPH, IV:88)
124 | Dr. Liesna Andriany
…………………………….
segala pahlawan Aceh negara
sebagai harimau dalam penjara
(SPH, V:113)
………………………………
orang Aceh banyalah mati
disapu peluru meriam sakti
(SPH, V:128)
tersebutlah pula kisah angkatan
beberapa hari menempuh hutan
……………………………..
(SPH, VII:152)
Bait (88) kata ‘kapallah Aceh’ untuk menyebut kapal Aceh yang kembali
ke Aceh dari negri Deli dalam rangka melamar Putri Hijau. Penggunaan
‘kapallah Aceh’ hanyalah untuk menyebut kapal yang pergi sebagai utusan
untuk melamar Putri Hijau, bukan seluruh kapal yang ada di Aceh. Bait
(113) terdapat kata ‘segala pahlawan Aceh’ memiliki arti ‘tentara Aceh
yang ikut berperang di tanah Deli untuk merebut Putri Hijau saja’, bukan
termasuk tentara Aceh keseluruhannya, baik yang berada di Aceh maupun
yang ikut ke tanah Deli. Jadi, menyebutkan seluruhnya untuk menyatakan
sebagian yang disebut totum pro parte. Pada bait (128) penggunaan kata
‘orang Aceh’ berarti orang Aceh banyak yang mati karena kena tembakan
meriam sakti. Sebenarnya yang dimaksudkan dengan ‘orang Aceh’ di sini
adalah orang Aceh yang pergi ke negri Deli untuk berperang
| 125 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
memperebutkan Putri Hijau, tidak seluruh orang Aceh dan tidak termasuk
orang Aceh yang berada di negri Aceh. Jadi kata-kata itu termasuk totum
pro parte. Kata ‘angkatan’ yang terdapat pada bait (40) adalah pars pro
toto, untuk menyebut para pasukan negri Aceh yang membawa Putri Hijau
ke negri Aceh digantikan dengan kata ‘angkatan’. Maksud tukang syair
‘angkatan’ adalah rombongan yang membawa Putri Hijau, berarti bukan
hanya pasukan Aceh atau tentara Aceh saja yang termasuk di situ, tetapi
juga Putri Hijau, Raja Aceh, dayang-dayang, dan hulu balang mentri.
Penggunaan bahasa kiasan sinekdoke untuk mengintensifkasikan arti dan
memberikan kesan yang kuat kepada pendengar tentang persoalan yang
dibicarakan.
Hasil analisis struktur tersebut selanjutnya didiskusikan dengan
hasil temuan ahli sebagai berikut. Finnegan (1979) menyatakan bahwa
ciri khas puisi adalah perulangan, dan sistem prosodic merupakan sifat
yang paling banyak memberikan bentuk pada puisi. Pada prinsipnya
perulangan yang diulang itu berupa rima, aliterasi, asonansi, dan
paralelisme. Pada bahasa-bahasa yang tekanan suku katanya membedakan
arti maka puisi lisannya disusun berdasarkan tekanan suku kata. Seperti
bahasa Cina dan bahasa Yoruba di Afrika Barat.
Lord (1976) pernah mengkaji cerita rakyat Yugoslovia. Temuan
yang dihasilkan menunjukkan bahwa adanya matra pada cerita-cerita di
daerah tersebut. Dalam tradisi lisan Yugoslovia ditemukan bahwa pada
setiap baris terdiri dari 10 kata dengan perhentian sesudah suku kata
keempat.
Pertemuan Ilmiah Nasional III Hiski pernah menelaah tentang
unsur-unsur syair Siti Zubaidah Perang Cina edisi Abdul Mutalib Abdul
Gani. Temuan yang dihasilkan menunjukkan bahwa, karena syair terikat
pada pola maka bentuk syair sangat terbatas dan daya kreativitas kurang.
Pada syair tersebut tidak dijumpai rima dalam seperti rima awal, rima
126 | Dr. Liesna Andriany
tengah, aliterasi, dan asonansi. Kekuatan syair hanya bertumpu pada
pilihan kata untuk menghasilkan rima pada akhir baris.
Temuan yang dihasilkan Mohd Yusof Nor (1986) memiliki
kemiripan dengan temuan yang dihasilkan Finnegan. Mohd. Yusof Nor
meneliti mengenai Syair Sinyor Kosta, temuan yang dihasilkan
menunjukkan bahwa perulangan, rima, asonansi, dan paralelisme terdapat
pada syair tersebut. Kesemua unsur bertujuan untuk menarik perhatian
atau untuk menunjukkan intensiti serta berfungsi menunjukkan ekonomi
kata.
Berbagai analisis tersebut dapat dideskripsikan ke dalam tabel
berikut.
Tabel 2
Temuan Struktur
No Peneliti Judul Temuan
1
2
Finnegan
(1979) Alber B.
Lord
(1976)
Pertemuan
Oral Poetry The
Singer of Tales
Unsur-unsur
Syair
Siti Zubaidah Pe-
Ciri khas puisi adalah
perulangan dan sistem
prosodik merupakan sifat
yang paling banyak
memberikan bentuk pada
puisi. Pada bahasa-bahasa
yang penekanan suku kata
membedakan arti, akan
digunakan sebagai sarana
menyusun puisi lisan.
Cerita-cerita di daerah
Yugoslovia memiliki
matra. Tidak dijumpai rima
dalam, se perti rima awal,
rima tengah, aliterasi, dan
asonansi, yang ada hanya
rima pada akhir baris.
| 127 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
3
Ilmiah
Nasional
III Hiski (1990)
Mohd. Yusof
Nor(1986)
Liesna
Andriany
(2002)
rang Cina edisi
Abd.Mutalib
Abdul Gani
Syair Sinyor
Kosta
Syair Putri Hijau
dalam sastra
Lisan Melayu
Deli
Syair Sinyor Kosta
dibangun oleh perulangan,
rima aliterasi, asonansi, dan
paralelisme.
Syair Putri Hijau dibentuk
dari perulangan sistem
prosodic. Sistem
perulangan yang didukung
oleh matra tidak
ditemukan, karena tekanan
kata bahasa Melayu tidak
membedakan arti. Pola
baarisnya cenderung
menggantungkan daya
ungkapannya pada lagu
atau intonasi, sehingga
dalam baris-barisnya terasa
ada irama yang tetap dan
berulang.
Berdasarkan tabel 2 tersebut dapat dikemukakan bahwa temuan
dalam analisis SPH berbeda dengan analisis sebelumnya, khususnya
mengenai sistem perulangan yang didukung oleh matra yang tetap pada
suku kata tertentu. Dari analisis struktur SPH ditemukan bahwa SPH
sebagai karya sastra yang merupakan sebuah struktur yang dibangun oleh
perulangan sistem prosodic. Keseluruhan komponen itu merupakan satu
kesatuan yang bulat yaitu hubungan antara komponen-komponennya
saling berkaitan dan saling menunjang secara fungsional. Hal tersebut
memperkuat perdapat Finnegan (1979), namun terdapat perbedaan yang
128 | Dr. Liesna Andriany
besar pada sistem perulangan yang terdapat pada SPH. Dalam SPH tidak
ditemukan sistem perulangan yang didukung oleh matra yang tetap pada
suku kata tertentu, karena bahasa Melayu tidak mengenal perbedaan
tekanan suku kata.
Dari urutan tersebut, dapat dikemukakan temuan yang berupa
konsep sebagai berikut, “struktur sastra lisan khususnya perulangan puisi
lisan dipengaruhi oleh aturan-aturan bahassa yang terdapat dalam sastra
lisan tersebut”.
| 129 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Kajian lisan dari segi kata telah menemui beberapa temuan. Syair
mempunyai susunan yang teratur dan khusus. Sebagai ragam sastra lisan,
syair mempunyai ciri-ciri yang sama dengan ragam lain selain ciri-ciri
khususnya. Persamaan itu terutama dalam keterikatan pada jumlah baris
tiap bait, kata dan suku kata tiap baris, rima, dan paralelisme.
Unsur bunyi dalam Syair mempunyai peranan penting dalam
pembentukan rima, aliterasi, dan asonansi. Variasi penggunaan ketiga
unsur bunyi ini berfungsi selain untuk menimbulkan bunyi yang indah dan
menciptakan suasana yang dinamis, juga berfungsi memperkuat makna,
dan memperdalam kesan. Bunyi juga mempunyai fungsi pengikat antara
tahapan yang satu dengan tahapan yang lain, serta berkaitan dengan sistem
fonetik bahasa Melayu.
Pada syair kondisi matra tidak ada karena tekanan bahasa Melayu
tidak membedakan arti. Perhentian sementara tidak berada pada suku kata
tetap seperti pada matra, tetapi bervariasi secara dinamis. Hal tersebut
disebabkan oleh (1) jumlah kata pada perhentian tengah tetap pada kata
yang kedua, (2) perhentian tetap pada akhir frase, dan (3) perhentian tetap
memperhatikan semantic. Yang utama adalah irama yang sesuai dengan
unsur gramatikal bahasa itu sendiri.
130 | Dr. Liesna Andriany
Penggunaan gaya berbahasa atau cara penggunaan bahasa lisan
pada penyampaian syair meliputi paralelisme, bentuk inversi, dan bentuk
elips. Khusus paralelisme, terdapat jenis (1) paralelisme perulangan antara
baris, (2) paralelisme perulangan dalam sebaris, dan (3) paralelisme selang
baris. Kesemua pengguna gaya bahasa pada syair untuk menghidupkan
cerita dan menimbulkan rasa tertentu. Pilihan kata atau diksi dalam syair
pada dasarnya sebagai pendukung rima pada akhir baris sehingga
terdengar keselarasan bunyi. Diksi selain sebagai mewakili gagasan
tukang syair, juga untuk pengungkapan pesan sosial.
Bahasa kiasan dalam syair setelah dianalisis terdapat majas simile,
majas metafora, majas personafikasi, dan majas analogi. Majas-majas
pembanding ini digunakan tukang syair untuk membuat cerita menjadi
hidup dan lukisan angan menjadi lebih terang. Majas pertentangan juga
dijumpai pada syair, yang terdiri dari majas ironi dan hiperbola. Selain
majas tersebut di atas ada juga majas pertautan antara lain majas pars pro
toto dan maja totum pro parte.
B. Implikasi Teoristik dan Praktis
Temuan yang telah diungkapkan sebelumnya, sedikitnya dapat
menambah wawasan teori lisan, khususnya di Indonesia. Konstribusi
teoretik analisis ini berupa penerapan konsep struktur lisan yang
ditawarkan Ruth Finnegan (1979). Meskipun konsep tersebut tidak
sepenuhnya sesuai dengan syair yang menggunakan bahasa Indonesia.
Konsep struktur yang ditawarkan Ruth Finnegan bahwa ciri khas puisi
adalah perulangan dan sistem prosodi merupakan sifat yang paling banyak
memberikan bentuk pada puisi. Pada prinsipnya perulangan yang diulang
itu berupa rima, aliterasi, asonansi, dan paralelisme.
Telah terbukti dalam tulisan ini bahwa syair memiliki perulangan-
perulangan sistem prosodik. Hal tersebut memperkuat pendapat Finnegan.
Secara umum, terdapat persamaan antara hasil temuan Finnegan dengan
| 131 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
temuan dalam tulisan ini yaitu, adanya perulangan sistem prosodic. Namun
terdapat perbedaan yang sangat besar antara sistem perilangan yang
ditemukan Finnegan pada sastra lisan Cina dan Yoruba di Afrika Barat
dengan sistem perulangan yang terdapat dalam syair. Dalam syair lisan
tidak ditemukan sistem perulangan yang didukung oleh matra yang tetap
pada suku kata tertentu. Karena tekanan kata bahasa Melayu tidak
membedakan arti maka pada SPH pola barisnya cenderung
menggantungkan daya ungkapnya pada lagu dan intonasi.
Temuan dalam analisis ini minimal dapat dijadikan bahan
pertimbangan terhadap konsep perulangan Finnegan. Konsep itu belum
mencakup semua sistem perulangan yang terdapat pada berbagai ragam
sastra lisan. Namun perlu diakui bahwa hasil analisis Finnegan itu telah
memberi dasar teoretis.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut disarankan kepada para
pengajar sastra baik di SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi, untuk
menggunakan hasil analisis ini sebagai bahan pengajaran bahasa lisan.
Saran ini dikemukakan mengingat kata dan pilihan kata serta penutur dan
tuturannya yang terdapat pada syair dapat dijadikan sumbangan untuk
pengajaran bahasa lisan. Selanjutnya untuk menjaga kelestarian syair
sebagai seni yang khas dan menjadi identitas daerah masyarakat Melayu
disarankan kepada pemerintah daerah setempat, seniman, dan masyarakat
secara bersama-sama menjaga kelestariannya.
132 | Dr. Liesna Andriany
GLOSARIUM
Bait 21 Syahda: yang mulia
23 gering: sakit
33 kumala: batu yang indah dan bercahaya
35 wazir: perdana mentri
36 patik: budak belian
56 balang: botol berleher panjang
62 pokta: terbaik, mulia
65 lata: buruk, kotor, hina
67 gana: besar
78 fani: mati
87 bentara: pembantu raja
153 jentera: roda pemintal kincir
158 bertih: beras yang disangrai di kuali sampe
kulitnya pecah
159 sagnata: baginda
159 duli: kata kehormatan yang dipakai apabila
berkata kepada raja atau berbicara tentang
raja
172 lancang: perayu layar yang sangat laju
179 ingau-ingauan:terlalu berharap memperoleh sesuatu
202 madah: kata-kata pujian
256 kersik: batu kerikil halus
| 133 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1997 .Stilistika. Semarang: IKIP Semarang Press
Astuti, Sri Retna, dkk.1996/1997 Unsur-Unsur Nilai Budaya dalam Serat
Witaradya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Atmazaki. 1993 Analisis Sajak. Bandung: Angkasa
Atmazaki 1990 Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.
Awaluddin, S. 1986 Kebudayaan Nasional. Jakarta: Karunika
Bascom, William R. 1965 “Four Functions of Folklore” in The Strudy
of Floklore. Englewood Eliffs, N.J: Prentice-Hall, Inc. p. 290-294
Brown, A.R.Radcliffe. 1990 Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat
Primitif. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian
Pelajaran Malaysia
Brunvand, Jan Harold 1968 The Study of American Folklore: An
Introduction. New York: W.W. Norton and Company Inc.
Chadman, Gary dan Ross Campbell. 2000 Lima Bahasa Kasih untuk
Anak-Anak. (Alih bahasa oleh Meitasari Tjandrasa). Batam:
Interaksi
Chadwick, Charles. 1991 Simbolisme. (Penerjamah Samsiah Mohd. Said).
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian
Pendidikan Malaysia.
134 | Dr. Liesna Andriany
Danandjaja, James. 1990 “Metode Analisis Kualitatif dalam Peneltian
Folklor” dalam Pengembangan Analisis Kualitatif Bidang Bahasa
dan Sastra. Malang: Hiski Komisariat Malang (Penyunting
Aminuddin), 93-98.
Danandjaja, James. 1997Ilmu Gosip, Gongeng, dll. Jakarta: Grafiti Pers.
Daud, H. Mohammad Ali. 1998 .Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Djamaris Edwar. 1984 Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik (Sastra
Indonesia Lama) Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan
Daerah.
Dundes, Alan. 1965 The Study of Folklore. Englewood Cliffs, N.J:
Prentice-Hall, Inc.
Esten, Mursal. 1984 Sastra Indonesia dan Tradisi Sub Kultur. Bandung:
Angkasa.
Faisal, Tengku Bakri. 1997 Resam Adat Budaya Melayu. Langkat:
MABMI Kabupaten Tingkat II Langkat.
Fang, Liaw Yock. 1993 Sejarah Kesastraan Melayu Klasik. Jakarta:
Erlangga.
Fanani, M, dkk. 1997 Analisis Struktur dan Nilai Budaya Hikayat Indra
Dewa, Hikayat Dewa Mandu, Hikayat Maharaja Bikramasakti.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Fanani, M, dkk. 1998 Analisis Struktur dan Nilai Budaya dalam Hikayat
pendawa Lima, Maharaja Garebag Jagat, dan Lakon Jaka Sukara.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
| 135 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Finnegan, Ruth. 1979 Oral Poetry. London: Cambridge University Press.
Hanye, Paternus, dkk. 1998 Sastra Lisan Kayaan, Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Herusatoto,B Hartoko, Dick dan B. Rahmato. 1986 Pemandu di Dunia
Sastra. Yogyakarta: Kanisius
Herusatoto, Budiono. 1985 Simbolisme dalam Budaya Jawa.
Yogyakarta: Hanindia
Husny, Tengku. H.M.Cah. 1975 Lintasan Sejarah Peradabandan Budaya
Penduduk Melayu Pesisir Deli. Medan: B.P. Husny.
Hutomo, Suripan Sadi. 1991 Mutiara yang Terlupakan Pengantar Studi
Sastra Lisan. Hiski: Komisarit Jawa Timur.
Hutomo, Suripan Sadi. 1993 Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Hollander, S.J.de. 1987 Pedoman Bahasa dan sastra Melayu. (Penerjemah
T.W. Kamil). Jakarta: PN Balai Pustaka Seri ILDEP
Ikram, Achadiati, (ed). 1988 Bunga Rampai Bahasa Sastra dan Budaya.
Jakarta: Intermasa.
Irwansyah. 1989. Syair Putri Hijau: Telaah Sejarah Teks dan Resepsi.
Yogyakarta:
UGM (Tesis)
Isa, Mustafa Mohd. 1987. Awang Belanga Penglipur Lara dari Perlis.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan pustaka Kementrian
Pendidikan Malaysia.
136 | Dr. Liesna Andriany
Jakari, Muhammad. 1995 “Deskripsi Umum Sejarah dan Eksistensi
Kebudayaan Musikal Etnis Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara”
dalam Lantun (Editor Z. Pangaduan Lubis, dkk) Medan: USU
Press.
Kerlinger, Fred.N. 1973 Foundations of Behavioral Research. New
York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamis Linguistik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Krampen, Martin. 1996. “Ferdinand De Saussure dan Perkembangan
Semiologi” dalam Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Hlm. 55-63Lord, Albert B.
Krampen, Martin.1976. The Singer of Tales. New York: Antheneum.
Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, dan Wiliem g. Weststeijn. 1989 Tentang
Sastra (Diterjemahkan oleh Achadiati Ikram) ILDEP. Jakarta: PT
Intermasa.
Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, dan Wiliem g. Weststeijn.1992
Pengantar Ilmu Sastra. (Diindonesiakan oleh Dick Hartoto).
Jakarta Gramedia.
Mahadi. 1975 Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu atas
Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-1975). Bandung:
Alumni.
Masindan, dkk.1987 Sastra Lisan Melayu Langkat. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Meuraxa, Dada. 1973 Sejarah Kebudayaan Suku-Suku di Sumatera
Utara. Medan: Sasterawan Medan
| 137 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Miles, Matthew. B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data
Kualitatif. (Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI-
Press.
Moleong, Lexy, J. 2000. Metodologi Analisis Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosda.
Nasution,S. 1996. Metode Analisis Naturalistik Kualitatif. Bandung:
RTarsito.
Nor, Mohd. Yusof. 1988. Syair Sinyor Kosta. Kuala Lumpur: Teks
Publishing Sdn. Bhd.
Noth, Winfried. 1993 Handbook of Semiotics. Indiana: The Assosiation of
American University Presses.
Ong, Walter J. 1988 Orality and Literary. The Technologizing of the
Word. London dan New York. Metheun.
Pertemuan Ilmiah Nasional III Hiski
1990 Analisis Unsur-unsur “Syair Siti Zubaidah Perang China”
Edisi Abdul Gani. Malang: Hiski.
Pradopo, Rachmad Djoko. 1989. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Pradopo, Rachmad Djoko.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik,
dan Penerapannya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Phillips, Bernard.S. 1976 Social Research Strategy and Tactics. New
York: Macmillan Publishing Co.Inc.
Reaske, Christopher Russell. 1996.How to Analyze Poetry. New York:
Monarch Press.
138 | Dr. Liesna Andriany
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. Bloomington: Indiana
University Press.
R.Rosmawati, dkk. 1990. Struktur Sastra Lisan Melayu Serdang. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Said, H. Mohammad. 1981 Aceh Sepanjang Abad. Medan: Waspada
Sastrowardojo, Subagio. 1971.Bakat Alam dan Intelektualisme. Jakarta:
Pustaka jaya.
Shadily, Hasan. 1983 Ensiklopedia Indonesia. Jakarta:
Ichtiar Baru-Van Hoeve.
Sinar, Tengku Luckman. 1994. Jatidiri Melayu, Medan: Lembaga
Pembinaan dan Pengembangan Seni Budaya Melayu-MABMI
Sinar, Tengku Luckman.1971. Sari Sedjarah Serdang. Medan: Pustaka
Pribadi
Steinberg, David J. 1982. “Alam Kehidupan Petani” dalam Elite dalam
Perspektif Sejarah. Penyunting Sartono Kartodirdjo. Jakarta:
LP3ES. Hm. 1-23
Sudikan, Setya Yuwana. 2001a. Metode Penilitian Kebudayaan.
Surabaya: Unesa Unipress dan Citra Wacana.
Sudikan, Setya Yuwana. 2001a.2001b. Metode Analisis Sastra Lisan.
Surabaya: Citra Wacana.
Sudjiman. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sumanto. 1990. Metodologi Analisis Sosial dan Pendidikan. Yogyakarta:
Andi Offset.
| 139 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Sunarto. 1997 Dasar dan Konsep Analisis. Surabaya: Program
Pascasarjana
Supratno, Haris. 1998 Transformasi Cerita Damarwulan ke Dalam
Pertunjukan Wayang Krucil di Tuban. Surabaya: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Surabaya Lembaga Analisis.
Sweeney, Amin. 1987 A Full Hearing. Berkeley, Los Engeles dan
London: University of California Press.
Taylor, J.Steven dan Robert Bogdan. 1984 Introduction to Qualitative
Research Methods. The Search for Meanings. New York: John
Wiley & Sons Inc.
Teeuw, Andreas. 1984a. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tim Penyusun Departemen Agama Republik Indonesia. 1995. Al-Qur’an
dan Terjemahannya. Jakarta: Khadiun Al-Haramain Asy-
Syarifain.
Tim Penyusun Kamus. 1990 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Tuloli, Nani. 1991. Tanggomo Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo.
Jakarta: Intermasa.
Vredenbregt, Jacob. 1984. Metode dan Teknik Analisis Masyarakat.
Jakarta: Gramedia.
Walizer, Michael H. dan Paul L. WienirS. 1991. Metode dan Analisis
Analisis Mencari Hubungan (alih bahasa oleh Arief Sukadi
Sudiman) Jakarta: Erlangga.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
140 | Dr. Liesna Andriany
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1992. Teori Sastra. (diindonesiakan
oleh Melani Budianta). Jakarta: PT. Gramedia.
Yuwana, Setya, dkk. 2000. Pendekatan Stilistik dalam Puisi Jawa Modern
Dialek Using. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Kebudayaan.
Zoest, Aart Van. 1993 Semiotika. (Diterjemahkan oleh Ani Soekowati).
Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Zoest, Aart Van. 1996 “Interpretasi dan Semiotika” dalam Serba-Serbi
Semiotika. Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (ed). Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 1-25.
| 141 KATA DAN MAKNA: SYAIR DALAM LISAN
Dr. Liesna Andriany lahir di Jakarta. 4 Pebruari 1963.
Mengenyam Pendidikan Sarjana Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Seni Indonesia di IKIP Negeri Medan,
1987. Program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra
Universitas Negeri Surabaya. 2002 dan Program
Doktor Linguistik Universitas Sumatera Utara, 2011.
Ditengah kesibukan menjalankan amanah pengabdian secara profesional
sebagai pengajar di Universitas Islam Sumatera Utara dan struktural di
universitas. Penulis telah mampu menghasilkan berbagai karya ilmiah.
Tulisan tersebut diantaranya;
• Model Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Berbasis
Kompetensi di SMA Medan
• Analisis Pemakaian Bahasa Skripsi Mahasiswa (Studi Kasus
Mahasiswa FKIP-UISU Medan)
• Analisis Kesalahan Pemakaian Bahasa Skripsi Mahasiswa dalam
Rangka Pengembangan Model Pembelajaran Bahasa Indonesia
sebagai Kelompok Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB)
• Pemanfaatan Barang Bekas sebagai Media Pembelajaran.
• Pengembangan Model Pendidikan Karakter dalam Pembentukan
Karakter Bangsa (Studi Pendidikan Karakter di Universitas Islam
Sumatera Utara).
142 | Dr. Liesna Andriany
• Konsep Dasar Leksikogramatika Interpersonal (Kajian Linguistik
Fungsional Sistemik dalam Pembelajaran).
• Model Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi (Terinternalisasi
dalam Catur Dharma dan Budaya Kampus)
• Analisis dan Interpretasi Leksikogrmatika Interpersonal dalam
Wacana Kelas.
• Javanese Lectical Configuration
Recommended