View
45
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
Proceeding IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization
Faculty of Islamic Studies – University of Islam
Malang
IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 8
TAFSIR PANCASILA: REFORMULASI MODERASI BERAGAMA DALAM
PERSPEKTIF TAFSIR MAQĀṢDĪ
1 Lufaefi, 2 Ahmed Zaranggi Ar Ridho
1Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, 2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta e-mail: 1eepivanosky@gmail.com , 2zeranggi.reza@gmail.com
Abstract Pancasila and Islam are often contradicted. The moderate view in interpreting the meeting point between the two seems not firmly in stating Islam is in line with the essence of the five principles of Pancasila. Most emphatically, it only states that the ideological values of the nation are relevant and do not conflict with Islamic values. This idea raises criticism from extreme groups by asserting that the essence of Islam is its essence, not just its values. So that the problem of finding the culmination point between religious messages and the nation's ideology does not end and is increasingly problematic. The perspective of maqashidi interpretation provides an alternative in understanding and finding the essential messages of the five principles of Pancasila and Islam. The meaning of Pancasila with the maqashidi interpretation is through a studyof the meaning og ‘urfiyyah that logically the five values of Pancasila are really relevant to the condition of the Indonesian poeple as a diverse society, namely poeple who need divinity (no one of reliogion), humanity, unity, deliberation and social justice. Key words: Tafsir Pancasila, Tafsir Maqashidi, Religious Moderation.
INTRODUCTION
Moderasi beragama masih menjadi gagasan yang terus didiskusikan baik
di lembaga-lembaga formil akademik maupun di ruang publik secara umum.
Konsepsi ini dianggap sebagai konsep yang mampu mempertahankan kesatuan
dan persatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan golongan.
Digawangi oleh Kementerian Agama, moderasi beragama menjadi kajian yang
terus dilakukan.
Meski demikian, konsep moderasi beragama masih belum konkrit. Selain
karena belum berumur panjang, gagasan moderasi beragama identik hanya
untuk agama Islam. Dengan menerbitkan buku “Moderasi Beragama”, KEMENAG
memberikan perspektif pemahaman agama yang modera. Buku yang disambut
oleh Menteri Agama 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin itu secara umum
memberikan makna moderasi beragama, yakni sebagai sikap yang
mengutamakan keseimbangan perihal keyakinan, moral dan watak, baik
berhadapan dengan individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara
(Kemenag, 2019).
Kritik terhadap konsepsi moderasi beragama muncul dalam bentuk
(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)
IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 9
sebagai konsep yang datang dari Barat. Kritik ini disampaikan dalam sebuah riset
yang menyatakan bahwa moderasi beragama adalah konsep yang mengacu pada
gagasan Lembaga Kajian Strategik Amerika Serikat, Rand Corporation dalam
“Building Noderate Muslim Networks”, yang menerangkan bahwa karkter
moderasi beragama adalah mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM
termasuk kesetaraan gender, kebebasan beragama, menghormati suku lain, dan
menolak terorisme (Sukma, 2017).
Selain itu mengacu pada gagasan Robert Spencer, analis ternama Amerika
Serikat, menyebut seseorang yang masuk dalam kriteria moderat di dalam
beragama, yaitu menolak memberlakukan syariat Islam kepada non Muslim,
menolak supremasi Islam atas agama lain, menolak konsepsi murtad harus
dibunuh, mendorong agar orang Islam setuju dengan pernikahan beda agama,
dan lain sebagainya (Spancer, 2008). Dari sini dapat disimpulkan bahwa
meskipun moderasi menjadi harap bagi masa depan bangsa, namun masih
banyak yang mengkritik karena merupakan konsep yang sekuler, bukan dari
Islam.
Sebuah artikel di media online keislaman juga menyebut bahayanya
kurikulum moderasi beragama yang hendak diterapkan oleh Kementerian
Agama. Ini karena moderasi beragama menjauhkan generasi muda dari agama
Islam yang mulia. Bahkan dapat memicu kebencian terhadap hukum-hukum
Islam. Di sisi yang lain, moderasi beragama juga sangat toleran kepada ide-ide
kufur seperti HAM, pergaulan bebas, LGBT, dan feminisme (Muslim, 2019).
Gagasan moderasi beragama masih menyisakan konflik, baik dari sisi konsep
mauoun praktiknya.
Problem lain terkait dengan belum belum berhasilnya konsepsi moderasi
beragama di dalam wilayah praktik, masih banyaknya orang-orang yang
berfikiran radikal di dalam beragama. Bahkan, beberapa di antaranya melakukan
bom bunuh diri dengan mengatasnamakan penegakkan syariat Islam. Atas nama
menegakkan agama, sebagian orang menolak moderasi beragama, dan
tetapteguh dengan konsepsi Islam Kaffah dan Khilafah Islamiyyyah (Thayyib,
2016). Oleh sebab demikian amat perlu untuk kembali membuat formulasi baru
moderasi beragama, sebagai alternatif untuk mendudukkan konsepsi keagamaan
dan kebangsaan di dalam konteks bangsa Indonesia yang beragam, termasuk
beragam dalam keyakinan dan keagamaan.
Tentu saja, yang salah bukanlah konsepsi moderasi beragamanya, akan
tetapi – bisa sangat mungkin – adalah dasar-dasar yang dibangun untuk
membangun konsepsi moderasi beragama. Oleh demikian, makalah ini
(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)
IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 10
mengajukan reformulasi moderasai beragama dalam kacamata tafsir Maqashidi.
Melalui telaah atas sila-sila Pancasila, dan kaitannya teks-teks suci Al-Qur’an,
formulasi moderasi beragama tidak terkesan sekuler. Formulasi moderasi
beragama – dalam pandangan tafsir Maqashidi atas Pancasila – tetap berpegang
pada teks Al-Qur’an dengan tetap dalam koridor cita-cita meneguhkan kesatuan,
persatuan, dan persaudaraan antar semua umat.
METHOD
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, di mana data-data yang
terkumpul merupakan data-data pustaka (library research). Langkahnya,
penelitian ini menggambarkan gambaran moderasi beragama dan
problematikanya, kemudian memberikan perspektif baru tentang moderasi
beragama dengan nilai-nilai Pancasila secara deskripsitf analitik. Cara pandang
yang digunakan dalam penelitian ini adalah tafsi maqāṣidī, yaitu penafsiran yang
arahnya untuk mewujudkan visi Al-Quran, baik universal ataupun partikular,
dengan memerhatikan tujuan kemaslahatan bagi manusia. Cara pandang ini
mempertimbangkan tafsir pada ma’an al-haqīqiyyah (aksiomatik) atau ma’an al-
‘urfiyyah (pengalaman/fakta) yang relevan dengan kebutuhan dan kemaslahatan
manusia.
RESULT AND DISCUSSION
1. Moderasi beragama
Moderasi Beragama adalah istilah yang muncul dan berkembang untuk
mengatasi dan menyikapi ketegangan antar umat beragama yang hidup
berdampingan. Terdiri dari dua kata, moderasi dan agama. Agama yang
dimaksud di sini adalah prinsip kepecayaan kepada Tuhan dengan serangkaian
aturan peribadatan tertentu. Sementara moderasi adalah sikap menengah di
antara dua sisi yang ekstrem. Selanjutnya akan dipaparkan secara bahasa dan
istilah dari ungkapan moderasi beragama.
Kata moderasi mulanya terambil dari bahasa Latin moderâtio, yang
bermakna sedang; tidak kelebihan dan tidak kekurangan. Apabila dalam
tindakan, kata ini merujuk pada sikap pengendalian diri untuk tidak berlebihan
dan berkekurangan (Kemenag, 2019). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) disajikan dua pengertian dari kata moderasi, yakni, (1) selalu
menghindar dari perilaku atau pengungkapan yang ekstrem; (2)
berkecenderungan kearah dimensi atau jalan tengah (Chulsum & Novia, 2006).
Dengan demikian, jika seseorang dikatakan bersikap moderat, maka
(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)
IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 11
pernyataan itu bermakna bahwa ia bersikap netral, biasa-biasa saja dan tidak
ekstrem.
Dalam bahasa Inggris, kata moderation merujuk pada pengertian
average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak
berpihak) (Echols & Shadilly, 2003). Sebagaimana kata moderator, yaitu
seorang pemimpin yang bertindak sebagai penengah dalam suatu rapat atau
diskusi di suatu forum pembicaraan. Secara umum, moderat berarti
mengutamakan keseimbangan dalam berkeyakinan, bermoral dan bersikap,
baik kepada diri sendiri, orang lain maupun kepada institusi negara. Sementara
dalam bahasa Arab, kata moderasi dipadankan dengan kata wasaṭ atau
wasaṭiyyah. Kata ini memiliki arti yang lebih luas, namun tetap memiliki
keselarasan dengan makna-makna di atas.
Menurut Manẓūr (2010), wasaṭ adalah sesuatu yang terdapat di antara
kedua ujungnya atau pertengahan dari segala sesuatu. Kata ini di dalam bahasa
Arab memiliki padanan makna dengan kata tawassuṭ (tengah-tengah), i’tidāl
(adil), tawazzun (berimbang). Selain itu, kata wasaṭiyyah dalam bahasa Arab
juga dapat bermakna sebagai “pilihan yang terbaik”. Misalkan ada perkataan,
‘Dia dari wasaṭ kaumnya’, maka itu berarti dia termasuk orang yang terbaik
dari komunitas dan lingkungannya (Shihab, 2019). Sebagaimana menurut ahli
bahasa Arab, kata wasaṭ ini memiliki makna “segala yang baik sesuai dengan
objeknya”. Misalkan kata dermawan, yang bermakna sikap pertengahan antara
pelit dan boros, atau kata pemberani, yang berarti sikap di antara pengecut dan
nekad, dan begitu seterusnya.
Dengan demikian, moderasi beragama bermakna sebuah sikap
berimbang dalam mengimplementasikan ajaran agama, baik dalam internal
pemeluk agama maupun eksternal antar pemeluk agama (Qosim, 2020).
Adapun menurut Kemenag (2019), moderasi serupa gerakan yang cenderung
menuju titik pusat, moderasi beragama dapat dipahami sebagai cara pandang,
sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak
adil, dan tidak berlebihan dalam beragama. Sikap seperti inilah yang dapat
mengatasi gesekan dalam beragama di Indonesia yang memiliki banyak
pemeluk agama dan memberi solusi untuk bersikap, menghargai antar
pemeluk agama tanpa meninggalkan keyakinan yang dipeluk sendiri.
Hal ini juga dikukuhkan oleh Shihab (2019), bahwa beragama harus
didasari oleh sikap moderasi atau wasaṭiyyah. Karena moderasi adalah
keseimbangan dalam segala persoalan hidup duniawi dan ukhrawi, yang selalu
harus disertai upaya menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi
(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)
IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 12
berdasarkan petunjuk agama dan kondisi objektif yang sedang dialami.
Moderasi yang menjadi ciri ajaran Islam adalah keseimbangan antara ruh dan
jasad, dunia dan akhirat, agama dan negara, individu dan masyarakat, ide dan
realitas, yang lama dan yang baru, akal dan naqal (teks keagamaan), agama dan
ilmu, modernitas dan tradisi.
Adapun menurut Nasaruddin Umar, dalam konteks Indonesia, moderasi
beragama dapat terbentuk dari adanya perpaduan antara budaya lokal yang
telah ada dengan nilai-nilai syariat. Sehingga, proses perpaguan inilah yang
menjadi jalan panjang moderasi beragama di Indonesia (Umar, 2019). Selain
itu, Afifuddin Muhajir merinci lebih lanjut, wasaṭiyyah Islam adalah metode
kontekstualisasi Islam di tengah peradaban global, dengan mengedepankan
keseimbangan antara ketuhanan dengan kemanusiaan, teks dengan nalar, nash
al-Qur’an dan hadis, dengan tujuan syariat, ketegasan dengan kelenturan dan
idealism, realisme (Afifuddin Muhajir, 2017).
Dengan demikian, moderasi beragama menjadi poros lahirnya toleransi
dan kerukunan, baik di level terkecil higga terbesar. Moderasi dengan menolak
ekstrimisme dan radikalisme dalam beragama mendukung terciptanya
keseimbangan dan perdamaian dalam peradaban. Melalui langkah ini, setiap
pemeluk umat beragama dapat saling menghormati, menghargai dan hidup
bersama dalam harmoni. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia,
moderasi adalah sebuah keniscayaan yang harus dijalankan.
a. Moderasi; Antara Teori Dan Praktik
Konsep moderasi beragama semakin banyak dikaji dan digagas, baik
oleh para pemuka agama maupun pihak pemerintah yang diwakili oleh
kementrian agama. Hal ini merupakan upaya yang penting dan mendasar
dalam merumuskan etika dan sikap hidup di dalam masyarakat Indonesia yang
majemuk dan beragam budaya. Pengenalan dan penanaman gagasan ini banyak
dilakukan, baik melalui seminar, pelatihan, penyusunan buku tentang moderasi
beragama, hingga undang-undang moderasi beragama dalam sistem
Pendidikan dan peraturan presiden (Perpres). Mengingat, aksi kekerasan dan
radikalisme semakin meresahkan masyarakat. Sehingga, upaya semacam ini
menjadi keniscayaan. Lalu, bagaimana dengan praktiknya? Sudahkah sejalan
sebagaimana konsep dan teorinya?
Secara politik dan sosial, Indonesia dianugerahi modal yang kuat untuk
mewujudkan upaya moderasi beragama. Terdapat tiga prinsip dasar negara
Indonesia. Pertama. Indonesia adalah negara kebangsaan yang berketuhanan
(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)
IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 13
atau beragama. Bukan negara yang sekuler, dan bukan juga negara yang
menetapkan satu hukum agama sebagai hukum nasional. Kedua, negara
berkewajiban memberikan jaminan dan perlindungan kebebasan beragama
yang lapang dan bertanggung jawab. Dan yang ketiga, negara melindungi
kebinekaan atau keragaman dalam agama, budaya dan ras. Melalui tiga prinsip
inilah masyarakat dengan mudah dan percaya diri dalam mengamalkan
moderasi beragama di Indonesia.
Sebagai contoh, berdasarkan penelitian Sugiyarto dan Adang (2020)
tentang moderasi beragama di Makassar, menyatakan bahwa kendati
masyarakat Makassar memiliki keragaman agama dan budaya dan sering
terjadi gesekan antar mereka, mereka tetap bisa hidup bersama, saling toleran
dan menghargai. Kehidupan yang harmonis ini dapat terjadi karena didukung
oleh kearifan lokal masyarakat Makassar, setidaknya ada lima, mencakup tau’
(memahami ragam manusia), siri’ (harga diri), pacce’ (rasa iba pada orang lain),
pangalik (rasa hormat) dan pangngadakkang (adat istiadat/bersopan santun).
Namun, di sisi yang bersebrangan, faktanya masih terjadi sikap-sikap
intoleransi dan pertikaian yang terjadi di tengah masyarakat. Baik itu dipicu
oleh pemahaman keagamaan yang keras atau pun pertikaian antar suku
budaya. Namun, akhir-akhir ini, pemahaman keagamaan yang radikal lebih
banyak memapar masyarakat. Sebagai contoh, seperti kasus pembakaran
masjid Muhammadiyah di Bireun Aceh (2017); pengusiran pengikut Syi’ah
Sampang (2012); pengusiran jemaat Ahmadiyah (2018) dan aksi bom bunuh
diri di Gereja Katredal Makassar (2021).
Sikap keberagaman yang ekslusif dan radikal adalah akar masalahnya.
Sikap ini membuat mereka merasa yang paling benar. Hal ini dapat
menimbulkan gesekan antar kelompok agama. Secara umum, konflik
keagamaan di Indonesia bermula dari sikap beragama yang eksklusif,
kemudian memperlakukan agama lain tanpa adanya rasa toleransi, karena
setiap agama saling merasa benar dan lainnya salah (Akhmadi, 2019). Hal ini
yang menjadi tantangan besar dalam upaya mewujudkan masyarakat yang
moderat dalam beragama. Masyarakat yang moderat akan bisa menghargai dan
bersikap toleransi terhadap perbedaan keyakinan dan keragaman yang ada.
Artinya, secara praktik, upaya moderasi beragama ini perlu dikuatkan lagi di
tengah-tengah masyarakat. Baik itu dipelopori oleh para tokoh agama,
pemerintah, institusi Pendidikan maupun para aktivis sosial-keagamaan.
Sehingga, kesadaran akan toleransi dapat berperan aktif dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)
IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 14
Sebagai buktinya, dalam Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang
diterbitkan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (2019),
dalam terciptanya masyarakat yang rukun, toleransi memiliki peran yang
paling utama. Sehingga, kerukunan umat beragama merupakan sebuah kondisi
kehidupan umat beragama yang berinteraksi secara harmonis, toleran, damai,
saling menghargai, dan menghormati perbedaan agama dan kebebasan
menjalankan ibadat masing-masing.
2. PANCASILA
a. Sejarah berdirinya
Pancasila memiliki sejarah panjang hingga akhirnya menjadi dasar
negara, ideologi serta falsafah hidup bangsa Indonesia. Beragam pendapat
dikemukakan terkait para tokoh yang mencetuskan lima nilai dasar tersebut.
Ada yang menyebut Ir. Soekarno yang mengagas nama Pancasila sekaligus
kandungannya. Ada pula yang berpendapat bahwa sebelum pidato Soekarno
pada tanggal 1 Juni 1945, M. Yamin dan Soepomo telah menyampaikan lima
pokok pikiran ini di depan siding BPUPKI. Sementara itu, yang lain
berpendapat bahwa pidato Ir. Soekarno adalah pidato penutup, artinya pidato
tersebut merupakan kompilasi dari pikiran para tokoh dalam sidang tiga hari
sebelumnya. Alhasil, Ir. Soekarno, M. Yamin dan Soepomo adalah para tokoh
yang merumuskan calon lima dasar negara Indonesia (Brata dan Bagus, 2017).
Menarik untuk dicatat, bahwa terdapat serangkaian revisi dari awal
perumusan Pancasila hingga hasil akhir penetapan lima butir Pancasila.
Sebelum itu, perlu dikemukakan bahwa latar belakang dirumuskannya
Pancasila sebagai dasar negara adalah untuk mengkokohkan Indonesia serta
menjadi dasar pemersatu setiap elemen bangsa Indonesia. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ir. Soekarno, bahwa Pancasila adalah sebagai dasar falsafah
negara dan pandangan hidup bangsa Indonesai (philosophische grondslag) atau
pandangan dunia (worldview).
Perubahan atau revisi yang penting dicatat adalah perubahan sila
pertama. Sebelumnya, dirumuskan bahwa sila pertama yang memuat asas
ketuhanan berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun, setelah sidang pengesahan yang
representatif bagi bangsa Indonesia yaitu PPKI, terdapat usulan dari daerah
Maluku, Sulawesi Utara dan Bali (sunda kecil) untuk mengubah sila pertama
menjadi empat kata saja, yaitu berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Revisi ini
berupaya memayungi segala keragaman agama dalam satu keyaninan pada
(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)
IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 15
Tuhan yang maha esa serta tidak hanya melegalkan satu hukum agama
tertentu.
Dengan demikian, Pancasila menjadi dasar dan pandangan dunia yang
universal, sehingga siap diuji ketahananya di setiap zaman dengan segala
tantangan dan perkembangannya masing-masing. Kemudian, tetap kokoh dan
relevan untuk memayungi segala ragam perbedaan dalam satu harmoni
persatuan dan perdamaian.
b. Pro-Kontra
Usia Pancasila sudah tujuh puluh enam tahun dan Pancasila masih
kokoh menjadi dasar negara republik Indonesia. Usia tersebut bukanlah hal
mudah, mengingat setiap era dan perkembangan zaman Pancasila terus diuji
ketahanannya sebagai simbol persatuan dan kesatuan bangsa. Pasalnya, nilai
dan ruh Pacasila tidak terpatri dengan baik dalam masyarakat. Selain itu, tak
sedikit yang mempersoalkan kesaktian dan relevansi Pancasila di era sekarang.
Kemudian, mereka yang menyangsikan Pancasila membenturkan dengan
ajaran agama, lalu serta merta mengharapkan ideologi lain sebagai solusi
pengganti yang lebih baik dan relevan.
Upaya penanaman nilai-nilai Pancasila adalah tugas pemerintah dan
seluruh elemen masyarakat, sebagai upaya mensyukuri dan menguatkan
persatuan bangsa. Namun, bagi sebagian umat Islam, kesalahan dalam memilih
bentuk dan ideologi negara adalah penyebab utamanya, bukan perihal
kegagalan pemerintah dalam mengelola negara. Sehingga, solusinya adalah
mengganti sistem republik NKRI dengan sistem pemerintahan Khilafah
Islamiyah dengan mengganti Pancasila dengan syariat Islam sebagai ideologi
Negara (Nashir, 2013).
Dalam pandangan Miharja (2018), Faktor utama sebagian umat ingin
sekali “memimpikan” NKRI ini bersyariah ada tiga poin yaitu: Pertama,
persoalan ekonomi, yaitu adanya kesenjangan ekonomi dari waktu ke waktu di
kalangan bawah. Kedua, masifnya paham baru di luar Pancasila, hal ini terbukti
mampu menarik warga muslim untuk mengkajinya lebih dalam. Ketiga, tidak
efektifnya penguatan pemahaman ideologi Pancasila kepada masyarakat.
Uraian tersebut juga menunjukkan bahwa sosialisasi pemahaman
terhadap Pancasila belum berjalan dengan baik. Terlebih, konsep relasi antara
Pancasila dan agama belum banyak dikemukakan dan disosialisasikan ke
tengah masyarakat. Akibatnya, harapan mendirikan Negara Islam di Indonesia
masih diupayakan oleh kelompok-kelompok seperti NII, Hizbut Tahrir
(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)
IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 16
Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Anshorut Tauhid
(JAT) dan sebagainya (Baidhawy, 2016).
c. Pancasila dan Piagam Madinah
Di antara tema kajian dalam relasi antara Pancasila dan Agama Islam
adalah piagam Madinah. Hal ini menjadi dasar teori dan praktik bagaimana
Nabi Muhammad mengatur sebuah komunitas masyarakat dalam satu kota.
Dengan mencermati konsep dan kandungan dari piagam Madinah, dapat pula
dirumuskan bagaimana relasinya dengan Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia. Piagam Madinah sebagai ketetapan Nabi dan Nabi adalah penerima
wahyu Alquran, nantinya dapat pula dilihat bagaimana relasi dan kesesuaian
antara Pancasila dan nilai-nilai Alquran. Apakah bertentangan atau justru
selaras dan sejalan tanpa pertentangan sedikit pun.
Setelah memahami bahwa Pancasila sebagai dasar pemersatu bangsa
Indonesia yang plural dan multikultural, selanjutnya akan dikaji bagaimana
peran piagam Madinah pada situasi masyarakat di saat Nabi hidup. Saat itu,
piagam Madinah dihadirkan oleh Nabi sebagai suatu kontrak sosial yang
mengikat, demi terciptanya masyarakat yang sejahtera dan harmonis (Nafis,
2015). Mengingat, penduduk Madinah majemuk baik dari sisi suku dan agama,
maka piagam Madinah menjadi perjanjian yang dapat melindungi setiap
keragaman budaya dan keyakinan.
Sebagaimana dalam piagam Madinah, bahwa kandungannya memayungi
dan merangkul segala keragaman penduduk Madinah. Di antaranya, merangkul
prinsip umat, persatuan, keadilan, perdamaian, penegakan hukum dan yang
paling penting dalam konstitusi negara Madinah adalah asas kemerdekaan;
seperti kemerdekaan berbudaya dan bertradisi, kemerdekaan dari penindasan,
kemerdekaan dari rasa takut, kemerdekaan berpendapat dan kemerdekaan
dalam memeluk agama.
Terdapat dua prinsip yang termuat dalam piagam Madinah. Pertama,
setiap pemeluk agama adalah satu umat betapapun terdapat perbedaan suku
dan bangsa. Kedua, Relasi antar umat beragama berpaku pada beberapa
prinsip: Berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik, saling membantu dalam
menghadapi musuh yang akan mengancam kota Madinah, membela kaum yang
lemah dan teraniaya, saling menasehati dalam koridor kebersamaan dan
kebenaran, saling menghargai dan menghormati serta memberikan toleransi
dalam menentukan kebebasan beragama (Lukman, 2019).
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa nilai-
nilai dasar Pancasila sejalan dengan kandungan Piagam Madinah. Kedua dasar
(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)
IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 17
ini menjadi kontrak sosial masyarakat yang mengakuinya sebagai sistem nilai
berkehidupan dan berbangsa. Saling menghormati dan mengedepankan
toleransi atas berbagai perbedaan suku, budaya dan keyakinan. Demi satu
tujuan bersama yaitu menuju masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis.
3. TAFSIR MAQASHIDI
Kata tafsir merupakan bentuk masdhar dari fassara. Kata tersebut
merupakan bentuk tsulāsi mazīd dari fi’il tsulāsinya, yaitu fa-sa-ra. Menurut Abdul
Mustaqim, Tafsir berarti menyingkap yang tersembunyi, menerangkan dan atau
menjelaskan (Mustaqim, 2012). Sementara itu definisi tafsir secara terminologi
adalah menjelaskan kalaumllah untuk menghasilkan apa yang ingin dimaksudkan-
Nya, sesuai kadar kemampuan manusia (Ya’qub, 1425 H).
Kalimat bentukan dari tafsir dan maqāṣidī – yang kemudian menjadi istilah
tersendiri: tafsir maqāṣidī – adalah salah satu corak penafsiran yang arahnya
adalah mewujudkan visi Al-Quran, baik universal ataupun partikular, dengan
memerhatikan tujuan kemaslahatan bagi manusia (Zaid, t.th). Sedangkan definisi
lain, sebagaimana yang diajukan oleh Abd Khalid, tafsir maqāṣidī adalah salah satu
bentuk penafsiran yang dilakukan dengan cara menggali makna yang tersirat pada
ayat-ayat Al-Quran serta memperhatikan tujuan dari ayat yang akan ditafsirkan
(Khalid, 2011).
Meskipun dua definisi di atas tidak lah sama secara literal, namun secara
substantif keduanya memiliki kesamaan, yaitu bahwa tafsir maqasidi adalah satu
bentuk penafsiran Al-Quran yang mengedepankan tujuan-tujuan yang maslahat
bagi manusia secara umum. Secara historis, tafsir maqāṣidī sudah diterapkan sejak
zaman sahabat – tepatnya pada masa sahabat Umar Ibn Khattab, di mana ia
menerapkan praktik-praktik hukum dengan mengedepankan kemaslahatan
bersama, seperti pembagian harta rampasan perang, pencuri yang ditangguhkan
hukumannya, larangan menikah beda agama dan shalat tarawih berjamaah
(Hasan, 2017).
Mufasir yang kemudian melanjutkan visi Al-Quran dengan maqāṣid al-
syarī’ah ialah Ibn ‘Arabi. Hanya saja, ia kurang berani untuk secara terang-terangan
menjadikan maqāṣid al-syarī’ah sebagai basis hukum. Ia hanya menjadikan
maqāṣid al-syarī’ah sebagai hikmah syariah untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Seperti ketika Ibn Arabi menafsirkan Qs. An-Nur ayat 4 mengenai qadzf atau
tuduhan melakukan zina. Menurutnya, ayat itu bukan sekadar ayat qadzf, tapi juga
ayat peringatan sagarmanusia tidak melakukan keburukan itu (zina) (‘Arabi,
2003).
(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)
IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 18
Selanjutnya, tokoh yang tidak kalah masyhur yang menjadikan maqāṣid al-
syarī’ah sebagai basis pendekatan penafsiran Al-Quran adalah Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha. Dengan tafsirnya; Al-Manar, mereka berdua menafsirkan ayat-
ayat Al-Quran dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat bersama. Seperti
misalnya ketika berbicara ayat poligami; Al-Maidah: 3. Menurut Abduh, ayat
tersebut bukan berbicara mengenai kebolehan poligami, akan tetapi tentang
perlindungan kepada anak yatim (Abduh, 1947).
Dan selanjutnya adalah Tahir Ibn ‘Ᾱshur. Ciri khas tafsir maqāṣidī Ibnu
‘Ashur adalah teori tafsirnya yang sudah jelas. Ia memberikan sumbangsih besar
dalam pemikirannya tentang tafsir maqasidi dan menata ulang teori-teorinya
secara jelas serta memosisikan maqasid al-syariah dalam menafsirakn Al-Quran
(Al-Wazzani, 2013).
a. Konseptualisasi Tafsir Maqāṣidī
Konseptualisasi tafsir maqāsidī adalah pengaplikasikan maqāṣid al-
syarī’ah sebagai basis untuk menafsirkan Al-Quran (‘Asyur, t.th). Maqāṣid al-
syarī’ah yang dapat digunakan sebagai pijakan hukum harus bersifat ma’an al-
haqīqiyyah atau ma’an al-‘urfiyyah. Yang pertama maksudnya adalah bersifat
aksiomatik, artinya, eksistensi maqāṣidī ini dapat diterima langsung oleh akal,
tanpa mempertimbangkan hukum/undang-undang terlebih dahulu. Misalnya,
keadilan, yang secara aksioma memberi manfaat manusia, dan tidak
diperdebatkan lagi (Asyur, 2011). Sedangkan maksud ma’an al’-‘urfiyyah
adalah pengalaman empiris setiap orang atau mayoritas dari mereka , seperti
misalnya memberi efek jera kepada pelaku perbuatan kejahatan (Asyur, t.th).
Untuk mencapai pada tingkatan maqāṣid al-haqīqiyyah dan al-‘urfiyyah,
diperlukanlah empat syarat, yaitu mundabit; memiliki batasan yang jelas dan
dapat didefinisikan. Kedua, muttarid; berlaku secara umum dan bersifat
continu. Ketiga, thābit; adanya maksud secara pasti atau mendekati pasti. Dan
keempat, zahir; makna yang diidentifikasi sebagai maqasid jelas dan tidak
ambigu (Ashur, t.th). Keempat tingkatan ini juga dapat menjadi pijakan dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur’a yang memiliki esensi sejalan dengan nilai-nilai
Pancasila.
4. TAFSIR PANCASILA
Apa yang dimaksudkan oleh penulis dengan tafsir Pancasila adalah
pemaknaan secara islami atas lima sila Pancasila. Ini berawal dari klaim bahwa
Pancasila bukanlah ideologi yang layak diyakini oleh orang Islam sebab bukan
merupakan ideologi Islam. Pancasila dianggap sebagai ideologi yang bertentangan
(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)
IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 19
dengan sumber agama Islam. Padahal hemat penulis, kenyataannya tidaklah
demikian.
Jika kita telaah lebih mendalam, lima sila Pancasila betapapun sangat islami,
bahkan eksistensinya dikonfirmasi dan didukung oleh ayat-ayat Alquran. Berikut
penjelasan tentang itu. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama ini
merupakan pelindung kokoh bagi mereka yang terburu-buru menerapkan ideologi
syariat Islam di Indonesia. Konsep ke-Tuhan-an Yang Maha Esa merupakan inti
dari setiap kehidupan manusia, mentauhidkan Tuhan. Penggunaan sila pertama ini
pun mampu merangkul semua agama yang ada di dalam Indonesia, mengingat
bahwa kemerdekaan Indonesia adalah anugerah dari Tuhan untuk Indonesia yang
berbeda-beda keyakinan, selain juga agar tidak menimbulkan diskriminasi
pemeluk agama lain. Sila pertama ini erat sekali dengan firman Allah QS. Al-
Baqarah [2]: 163 yang artinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak
ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila kedua ini mengajarkan
manusia untuk saling berbuat adil dan sopan santun. Jika sila pertama berkaitan
dengan relasi manusia dengan Tuhannya, maka sila kedua ini berkaitan dengan
relasi antar sesama manusia. Ini selaras dengan al-QS. Al-Mā’idah [5]: 8 yang
artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmuterhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Sila ketiga ialah Persatuan Indonesia. Sila ketiga ini mengisyaratkan
pentingnya persatuan dalam bingkai perbedaan suku, budaya dan agama di
Indonesia. Dalam Islam konsep persatuan dinamakan dengan Ukhuwah Islamiyah
(persaudaraan sesama orang Islam) dan Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan
sesama manusia). Sila ketiga ini sejalan dengan QS. Al-Ḥujurāt [49]: 10 yang
artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.
Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan. Sila ini menunjukkan bahwa musyawarah
adalah solusi utama untuk menyelesaikan masalah dalam lingkup negara maupun
individu. Dengan bermuasyawarah, beragam persoalan akan mudah diatasi
bersama. Hal ini sangat tepat dengan al-Quran QS. Al-Mā’idah [3]: 159 yang
(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)
IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 20
artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.
Sila terakhir, kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Melalui sila ini, Pancasila menjunjung tinggi nilai keadilan dalam memperlakukan
setiap masyarakat. Siapapun harus diberi keadilan, walau berbeda agama, ras,
suku, dan sebagainya. Hal ini selaras dengan Islam yang selalu mengutamakan
keadilan sebagai asas utama dalam memperlakukan diri sendiri dan orang lain. Al-
Quran melegalkan keadilan dalam QS. An-Naḥl [16]: 90 yang artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.
5. REFORMULASI MODERASI BERAGAMA
Formulasi moderasi beragama dengan menggali esensi nilai-nilai Pancasila
dibangun atas dasar adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang relevan dengan nilai-nilai
dalam lima sila Pancasila. Lima ayat Al-Qur’an, yaitu QS. Al-Ikhlas Ayat 1 tentang
ketuhanan; sila kedua dengan QS. An-Nisa Ayat 35 tentang kemanusiaan; sila
ketiga dengan QS. Al-Hujurat Ayat 13 tentang persatuan; sila keempat dengan QS.
Syura Ayat 38 tentang musyawarah; dan sila kelima dengan QS. An-Nahl Ayat 90
tentang keadilan sosial, kesemuanya relevan untuk nilai-nilai yang ada dalam
moderasi bergama. Pemahaman ini dilandasi atas dasar adanya pemaknaan
Pancasila dengan tafsir maqashdi melalui penelaahan makna ‘urfiyyah, bahwa
secara nalar, lima nilai Pancasila sungguh relevan dengan kondisi ‘urf masyarakat
Indonesia sebagai masyarakat yang beragam.
Kesimpulan ini tentu tidak untuk menolak konsepsi moderasi beragama
yang telah ada, akan tetapi sebagai model baru di dalam membangun konsepsi
beragama. Bahwa, moderasi beragam dalam Pancasila dan kaitannya dengan tafsir
Al-Qur’an, yaitu berpacu pada lima dasar, yakni ketuhanan, kemanusiaann,
persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Kelimanya juga dapat menjadi
karakter moderasi beragama dalam pandangan tafsir Maqashidi atas Pancasila.
(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)
IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 21
REFERENCES
‘Ᾱshur, Muhammad Ṭāhir Ibn. 2011. Maqāṣid Al-Syarīah Al-Islāmiyyah. Kairo: Dār Al-Kutub Al-Mishri.
‘Ᾱshur, Muhammad Ṭāhir Ibn. T.th. At Tahrīr wa At-Tanwīr. Beirut: Mu’assisah At-
Tārikh. Abduh, Muhammad. 1947. Tafsir Al-Quran Al-Azhim. Kairo: Dar Al-Manar. Akhmadi, Agus. Vol. 13, no. 2, 2019. Moderasi Beragama dalam Keragaman
Indonesia. Jurnal Diklat Keagamaan. Arabi, Abu Bakr Ibn . 2003. Ahkam Al-Quran. Kairo: Dar Al-Kitab Al-‘Ilmiyyah. Baidhawy, Z. Vol. 11, no. 1, 2016. Pancasila Tauhid Sosial dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara. Maarif. Brata, Ida Bagus, Ida Bagus Nyoman Wartha. Vol. 7, No. 1, 2017. Lahirnya Pancasila
Sebagai Pemersatu Bangsa Indonesia. Jurnal Santiaji Pendidikan. Chulsum, Umi dan Windy Novia. 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kashiko:
Surabaya. Echols, John M. & Hassan Shadilly. 2003. Kamus Inggris-Indoesia. PT. Gramedia:
Jakarta. Hasan, Mufti. 2017. “Tafsir Maqasidi: Penafsiran Al-Quran berbasis Maqasid Al-
Syariah”, Maghza 2, no. 2 (Juli-Desember). Kementrian Agama RI. 2019. Indeks Kerukunan Umat Beragama. Jakarta:
Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan RI. Kementrian Agama RI. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI. Kholid, Nahswan Abdul. 2011. Al-Jazur At-Tarikhiyyah li At-Tafsir Al-Maqasidi li Al-
Quran Al-Karim. Malasyia: UII. Lukman. Vol. 2, no. 1, 2019. Piagam Madinah Sebagai Konsep Budaya dan
Peradaban. Jurnal Bina Ummat. Manẓūr, Ibn. 2010. Lisān al-‘Arab. Dār Ihyā’ al-Turāth: Beirut.
(Lufaefi, Ahmed Zaranggi Ar Ridho)
IConIGC: International Conference on Islamic and Global Civilization 22
Miharja, Sakrim. Vol. 1, no. 1, 2018. Islam, Negara Dan Streotif Anti Pancasila. Kelola: Jurnal Ilmu Sosial.
Muhajir, Afifuddin. 2017. Fiqh Tata Negara. Yogyakarta: IRCiSod. Muslim, Muhammad Nur Icwan. 2016. Kaffah dalam Beragama, dalam
www.muslim.or.id. Mustaqim, Abdu. 2012. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LkiS. Nashir, H. 2013. Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia.
Bandung: Mizan dan Maarif Institute. Qosim, Muhammad. 2020. Membangun Moderasi Beragama Umat melalui Integrasi
Keilmuan. Alauddin University Press: Gowa. Shihab, M. Quraish. 2019. Wasathiyyah: Wawasan Islam tetnag Moderasi Beragama.
Lentera Hati: Tangerang. Spencer. 2008. Stealth Jihad: How Radical Islam Is Subverting America Without Guns
or Bombs. USA: Simon Schuster. Sugiyarto, Wakhid dan Adang Nofandi. 2020. Dinamika Moderasi Beragama di
Indonesia. Jakarta: Litbangdiklat Press. Sukm, Riska Bening. Kita Butuh Islam Kaffah, Bukan Moderasi Islam. Sukma, Riska Bening. Kita Butuh Islam Kaffah, Bukan Moderasi Islam, dalam
www.beritasriwijaya.com. Thayyib, Syaikh Ahma. 2016. Jihad Melawan Teror, Muchlis M. Hanafi (ed.), Ciputat:
Lentera Hati. Umar, Nasaruddin. 2019. Islam Nusantara: Jalan Panjang Moderasi Beragama di
Indonesia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Wazzani, At-Tihami. 2019. Tauzif Al-Maqasid fi Fahm Al-Quran wa Tafsirihi,
makalah diunduh dari http://riyadhalelm.com, Ya’qub, Tahir Mahmud Muhammad. 1425. Asbab Al-Khoto Fi At-Tafsir. Saudi: Dar
Ibn Jauzi.
Recommended