View
224
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
TANGIS BERU SI JAHE DI DESA SUKARAMAI,
KECAMATAN KERAJAAN, KABUPATEN PAKPAK
BHARAT: KONTINUITAS DAN PERUBAHAN PENYAJIAN,
KAJIAN TEKSTUAL DAN MUSIKAL
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA : ERNI JUITA BANJARNAHOR
NIM : 100707021
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2014
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2014
ERNI JUITA BANJARNAHOR
NIM : 100707021
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul “Tangis Beru Si Jahe Di Desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat: Kontinuitas Dan Perubahan Penyajian, Kajian Tekstual Dan Musikal”
Tangis beru si jahe merupakan nyanyian ratapan seorang gadis yang akan dipinang dan dinyanyikan menjelang pernikahannya. Nyanyian ini berisikan tentang ungkapan kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya dengan tujuan agar anggota keluarga yang mendengarkan merasa iba dan terharu kemudian mereka akan memberikannasihat-nasihat dan bantuan berupa materi kepada si gadis yang akan menikah tersebut. Nyanyian ini pada umumnya disajikan dengan gaya repetitif dengan mengutamakan teks daripada melodi(strofic-logogenic).
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang kontinuitas dan perubahan yang terjadi dalam penyajian tangis beru si jahe , hal-hal yang melatar belakangi terjadinya perubahan serta kajian tekstual dan musikal tangis beru si jahe. Nyanyian ini mengalami perubahan penyajian menjelang tahun 60-an (sesuai hasil wawancara dengan Tamma Br. Bancin, Pandapotan Solin, Sorti Br. Tinambunan) pada masa sekarang nyanyian ini sudah sering dipertunjukkan bahkan sesuai hasil wawancara penulis nyanyian ini sudah sering difestivalkan.
Untuk memperoleh data atau informasi tentang nyanyian ini, maka penulis melakukan wawancara langsung dengan informan yang mengetahui tentang nyanyian ini dan mengadakan kuisioner kepada beberapa masyarakat Pakpak yang ada disekitar lokasi penelitian untuk mengetahui bagaimana analisis pemikiran mereka tentang adanya perubahan yang terjadi dalam penyajian nyanyian ini.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah
memberikan kekuatan dan pengetahuan serta penyertaan kepada penulis sehingga
saat ini tulisan ini dapat terselesaikan.
Skripsi ini berjudul “Tangis Beru Si Jahe Di Desa Sukaramai,
Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat: Kontinuitas Dan Perubahan,
Kajian Tekstual Dan Musikal.” Skripsi ini merupakan syarat dalam memperoleh
gelar sarjana (S.Sn) di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam tulisan ini.
oleh sebab itu, sebelumnya penulis memohon maaf kepada pembaca dan
harapannya dapat dimaklumi.
Dalam menyelesaikan tulisan ini, banyak pihak yang telah memberi
bantuan serta dukungan kepada penulis baik dalam bentuk doa, semangat serta
materi supaya proses penyelesaian tulisan ini dan hal-hal yang dibutuhkan penulis
dapat terpenuhi. Maka daripada itu, penulis dalam kesempatan ini menghaturkan
banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memotivasi penulis dalam
menyelesaikan tulisan ini.
Teramat khusus penulis ucapkan banyak terimakasih yang tak terhingga
kepada kedua orangtua tercinta yaitu P.Banjarnahor dan A.Hutasoit atas motivasi,
cinta, kasih sayang, kesabaran, pengorbanan, didikan serta doa yang tiada henti
mereka panjatkan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan penulis selama proses
penyelesaian studi. Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua
tercinta sebagai salah satu kebanggan. Terimakasih Ayah, buat dorongan,
motivasi, kasih sayang, semangat dan kerja kerasmu. Terimakasih Ibu, buat
cintamu, doamu, dan motivasimu. Semoga Tuhan Yesus memberkati Ayah dan
Ibu. Aku mencintai Ayah dan Ibu. Kepada abang dan kakak tercinta Andi
Banjarnahor, Sutrisno Banjarnahor, Nurlela Banjarnahor dan Monita Banjarnahor
A.md yang telah memberikan motivasi dan doa kepada penulis. Terimakasih
banyak abang dan kakak buat semua hal yang kalian berikan, aku mengasihi
kalian.
Kepada keluarga besar yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu
diantaranya Oppung Andi dan Oppung Henri, Namboru Lamsan dan Amang boru
serta keluarga. Namboru dan Amang Boru Purba beserta keluarga. Trimakasih
buat dukungan dan doa yang kalian panjatkan untuk penulis.
Terima kasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan kepada Bapak Drs.
Torang Naiborhu, M.Hum, selaku pembimbing I yang telah membimbing penulis
dan memberikan arahan, saran-saran serta ilmu kepada penulis hingga tulisan ini
dapat selesai. Terima kasih kepada Bapak, semoga Tuhan memberkati. Serta
kepada Ibu Dra. Arifninetrirosa, SST. Selaku pembimbing II penulis yang sudah
banyak memberi dukungan dan arahan kepada penulis selama menyelesaikan
tulisan ini. Semoga Tuhan memberkati Ibu.
Kepada Bapak/Ibu dosen yang ada di Departemen Etnomusikologi yang
telah memberikan ilmu kepada penulis selama penulis duduk dibangku
perkuliahan. Terima kasih Bapak, terima kasih Ibu semoga Tuhan memberkati
dan menyertai selalu. Serta kepada Staf/pegawai yang ada di departemen
Etnomusikologi yang sudah membantu penulis dalam proses administrasi hingga
tulisan ini selesai dengan baik.
Kepada Ibu Tamma br. Bancin yang sudah banyak memberi masukan
kepada penulis. kepada Bapak Pandapotan Solin dan Ibu Marseti Munthe yang
selalu memberi dukungan selama penelitian selalu menyediakan tempat
penginapan bagi penulis selama penelitian. Kepada Ibu Sekdes Sukaramai yang
membantu dalam hal rekonstruksi ulang serta membantu menerjemahkan
nyanyian tersebut kedalam bahasa indonesia, Bang Mardi Boang Manalu yang
membantu penulis selama penelitian, Ibu Merti Tumangger yang banyak meberi
masukan dan arahan, Ibu Sorti Tinambunan, Tulang Hotman, Bapak Mansehat
Manik, Bapak Era Banurea, Namboru dan Amang Boru Epron dan masih banyak
lagi yang belum penulis sebutkan terima kasih banyak buat informasi, semangat,
dan bantuan kalian selama penelitian berlangsung. Semoga Tuhan membalas
kebaikan kalian dan semakin diberkati.
Kepada sahabat seperjuangan stambuk 2010 yang penulis sayangi:
Chandra, Tribudi, Miduk, AM Surung, Yosua, Anna, Friska, Gohanna, Jenni,
Ruth, Pretty, Frita, Upay, Maharani, Debora, Tita, Ayu, Selly, Deby, Kezia,
Yoseni, Nandes, Mery, Indra, Denata, Samuel, Supriadi, Tumpak, Bobby, Jasrel,
Luhut, Lido, Hosea, Rendy, Benny, Fery, jakry, Fajri, Syafwan, Woyo, Rony,
Yusuf, Rano, ai, Fendri, dan yang belum penulis sebutkan. Terima kasih buat
kasih sayang, perhatian, dorongan, semangat, pertolongan dan motivasi teman-
teman sekalian. Banyak hal yang tidak bisa penulis lupakan dari teman-teman
selama proses perkuliahan. Kiranya kita tetap saling mendukung antara satu sama
lain dan persaudaraan diantara kita tidak akan luntur. Teramat khusus buat Miduk
Melinda Nadeak yang selalu menemani penulis baik setiap penelitian bahkan
dalam proses pengerjaan tulisan ini, yang selalu memotivasi, membantu dan
menyemangati penulis, serta selalu ada saat penulis dalam kesusahan (trimakasih
sedalam-dalamnya Mel semoga Tuhan memberkatimu). Kepada Anna Purba yang
sudah memberi semangat dan motivasi dan masukan kepada penulis trimakasih
dan semoga Tuhan memberkati. Buat Chandra Marbun yang sudah menjadi
sahabat sekaligus menjadi saudara bagi penulis, terimakasih buat masukan dan
semangat yang diberikan mulai awal perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.
Kepada abang dan kakak alumni yang banyak memberikan dukungan
kepada penulis. Khususnya kepada Bang Monang Butar-Butar S.Sn yang banyak
memberi masukan dan motivasi, Bang Tomi Butar-Butar S.Sn yang sudah
memberi masukan dan bantuan kepada saya.
Tak lupa juga penulis ucapkan banyak terimakasih kepada Bang Roberto
Manik, S.Kom. atas dukungan, motivasi dan bantuan dalam pengeditan skripsi ini,
Bang Michael Yones Sibarani, S.Kom. atas bantuan dalam pengeditan. Teramat
spesial terimakasih kepada Bang Dussel SPB, S.Sn. buat dukungan, motivasi,
masukan, bantuan baik moril maupun materil dan arahan-arahan yang selalu
abang berikan selama ini semoga Tuhan memberkati. kepada sahabat penulis,
Erika Banurea yang selalu mendukung, memberi masukan dan dorongan sehingga
penulis tetap semangat mengerjakan skripsi ini. Kepada Grace Wandahana Napitu
(terima kasih buat ejekannya selama ini yang menjadi penyemangat bagi penulis).
Kepada seluruh keluarga besar UKM PSM USU yang telah banyak
memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis selama masuk dalam
organisasi serta selama proses menyelesaikan skripsi ini. Jayalah PSM dan
semakin maju. Semua kenangan kita tidak akan pernah terlupakan. Pahit manis
yang kita jalani bersama tidak akan pernah terlupakan.
Kepada junior Etnomusikologi yang penulis kasihi khusus kepada Mario
Yosua Sinaga yang sudah membantu penulis dalam hal pentranskripsian, kepada
Deby Hutabarat dan Lisken Angkat yang sudah banyak memberikan motivasi dan
dukungan kepada penulis.
Kepada orang yang penulis sayangi, Tribudi Syahputra Purba terimakasih
buat motivasi dan dukungan selama ini. semoga Tuhan memberkati dan
melindungi dimanapun berada dan sukses kedepannya.
Akhirnya penulis berharap penuh tulisan ini menjadi salah satu bahan
pembelajaran yang baru bagi setiap pembaca dan dapat berguna dan menambah
wawasan serta informasi bagi semua kalangan. Terutama bagi kalangan
masyarakat Pakpak.
Medan, Oktober 2014
Hormat saya,
Erni Juita Banjarnahor
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................i ABSTRAKSI......................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xi DAFTAR TABEL............................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 LatarBelakangMasalah ..................................................................................... 1 1.2 PokokPermasalahan ......................................................................................... 5 1.3 TujuanPenelitian .............................................................................................. 6 1.4 Manfaat penelitian ............................................................................................ 6 1.5 Konsep .............................................................................................................. 6 1.6 Kerangka Teori ................................................................................................. 6 1.7 Metode Penelitian ........................................................................................... 14
1.7.1 StudiKepustakaan ..................................................................................... 15 1.7.2 Obserfasi .................................................................................................. 16 1.7.3 Wawancara ............................................................................................... 17 1.7.4 Kerja Laboratorium .................................................................................. 17
1.8 LokasiPenelitian ............................................................................................. 18
BAB II ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT PAKPAK DI DESA SUKA RAMAI, KECAMATAN KERAJAAN, KABUPATEN PAKPAK BHARAT ................................................................................................... 19
2.1 Wilayah BudayaEtnikpakpak ......................................................................... 19 2.2. LokasiPenelitian ............................................................................................ 20 2.3. Sistem Mata Pencarian .................................................................................. 21 2.4. SistemKepercayaandanReligi ....................................................................... 22
2.4.1 KepercayaanTerhadapDewa-Dewa ................................................... 22 2.4.2 KepercayaanTerhadapRoh-roh .......................................................... 24
2.5 SistemKekerabatan ......................................................................................... 25 2.5.1 SulangSilima ...................................................................................... 25
2.6 Bahasa ............................................................................................................ 28 2.7Kesenian ….......................................................................................................29 2.7.1 Seni Musik ...................................................................................... 29 2.7.2 Seni Suara ........................................................................................ 34 2.7.3 Seni Tari .......................................................................................... 38 BAB III KONTINUITAS DAN PERUBAHAN PENYAJIAN NYANYIAN
TANGIS BERU SI JAHE ...................................................................... 41 3.1 Tangis Beru Si Jahe ........................................................................................ 41 3.2 DeskripsiPenyajianNyanyianTangisBeru Si JaheMenjelangTahun 60-an ..... 42 3.3DeskripsiPenyajiannyanyian Tangis Beru Si Jahe Pada Masa Sekarang ........ 45
3.3.1 PenyajianNyanyianTangisBeru Si Jahe ........................................... 45 3.3.2 PelakuFestifalTangisBeru Si Jahe ................................................... 53
3.3.3 Lokasi Festival ................................................................................ 54 3.3.4 Jalanya Festival ............................................................................... 54
3.4 Perubahan Yang Terjadi Dari Nyanyian Tangis Beru Si Jahe ....................... 55 3.4.1 Perubahan Penyajian Dan Kontinuitas Tangis Beru Si Jahe ........... 55 3.5 Hal-hal Yang MelatarBelakangiTerjadinyaPerubahan .................................. 57 3.6 FungsiTangisBeru Si Jahe .............................................................................. 59 3.6.1 Fungsi Pengungkapan Emosional ................................................... 60 3.6.2 Fungsi Komunikasi ......................................................................... 61 3.6.3 Fungsi Perlambangan ..................................................................... 62 3.6.4 Fungsi Reaksi Jasmani .................................................................... 63 3.6.5 Fungsi Norma-norma Sosial ........................................................... 63 3.6.6 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan .............................................. 63 3.6.7 Fungsi Lembaga Sosial ................................................................... 64 3.6.8 Fungsi Hiburan / Pertunjukan ......................................................... 64 BAB IV KAJIAN TEKSTUAL DALAM MUSIKAL TANGIS BERU SI JAHE ............................................................................................... 65 4.1 KajianTekstual Tangis Beru Si Jahe .............................................................. 65 4.1.1 Analisis Seniotik Terhadap Teks Tangis Beru Si Jahe Menangisi Inangna dan Memnagisi Puhunna Oleh Ibu Tamma Br.Bancin ..... 65 4.1.2 Isi Teks ........................................................................................... 68 4.1.3 Makna Teks ..................................................................................... 69 4.1.4 Pemilihan Teks ................................................................................ 70 4.2KajianMusikalTangisBeru Si Jahe ….............................................................. 71 4.2.1 Tangga Nada (Scale) ....................................................................... 72 4.2.2 Nada Dasar (Pitch Center) .............................................................. 72 4.2.3 Wilayah Nada (Range) .................................................................... 73 4.2.4 Jumlah Nada .................................................................................... 73 4.2.5 Jumlah Interval ................................................................................ 74 4.2.6 Pola Kadensa (Candence Patterns) .................................................. 75 4.2.7 Formula Melodi (Melody Formula) ................................................ 75 4.2.7.1 Analisis Bentuk dan Frasa Pada Tangis Beru Si Jahe ......... 76 4.2.8 Kontur (countour) ........................................................................... 76 4.2.9 Analisis Ritem ................................................................................. 78 4.2.10 Pola Melodi Yang Diulang ............................................................ 78 BAB V PENUTUP .............................................................................................. 80 5.1 Kesimpulan .................................................................................................... 80 5.2 Saran ............................................................................................................... 81 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 82 DAFTAR INFORMAN ...................................................................................... 84
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Genderang Sisibah ..................................................................... 32 Gambar 2 : Tamma Br.Bancin Penyaji tangis beru si jahe .......................... 44 Gambar 3 :Mencontohkan salah satu gerakan dembas (tarian Pakpak) ....... 45 Gambar 4 : Juara harapan tahun 2012 Festival Tangis Beru Si Jahe
(br.Solin dan br. Munthe) ............................................................. 48 Gambar 5 :Rekonstruksi ................................................................................ 49 Gambar 6 : Foto hasil rekonstruksi Nasi Putih ............................................. 50 Gambar 7 : Foto rekonstruksi Manuk tasak/ayam yang sudah dimasak ....... 51 Gambar 8 : Foto rekonstruksiBaka berisi sirih ............................................. 52 Gambar 9 : Foto rekonstruksi Tikar/belagen ................................................ 52 Gambar 10 : Foto rekonstruksi Keseluruhan Perlengkapan ............................ 53
DAFTAR TABEL Tabel 1 : Jumlah Interval............................................................................ 87
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari pastinya berdasar
kepada kebudayaan. Budaya yang dimiliki akan menjadi ciri utama kelompok-
kelompok individu yang menggunakannya. Kebudayaan tersebut hadir sebagai
salah satu bentuk untuk meregenerasikan kepada keturunan yang baru.
Kebudayaan sebagaimana halnya mengatur tentang siklus perjalanan hidup
manusia mulai dari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, dewasa, tua, sampai
meninggal dunia. Demikian halnya dengan yang terjadi dalam kebudayaan
Pakpak.
Setiap etnis yang ada di Sumatera Utara, baik dari kelompok etnis Batak
maupun etnis lainnya pastinya memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang
masing-masing memiliki keunikan tersendiri dan setiap kebudayaan tersebut tidak
dapat dibandingkan mana yang lebih baik. Demikian juga halnya dengan etnis
Pakpak, masyarakat Pakpak memiliki kebudayaan yang diwariskan secara turun
temurun oleh leluhurnya, baik secara lisan maupun tulisan. Kesenian pada
masyarakat Pakpak diantaranya terdiri atas seni rupa, seni tari, seni ukir dan seni
musik. Dalam tulisan ini, penulis lebih terfokus untuk mengkaji tentang aspek
musiknya.1
1Skripsi Sarjana Saridin Tua Sinaga
Seni musik dalam masyarakat Pakpak dibagi kedalam tiga kategori: vokal,
instrumen yang terdiri atas dan gabungan antara vokal dengan instrumen. Dalam
hal ini penulis tertarik mengkaji tentang salah satu vokal Pakpak.
Masyarakat Pakpak memiliki alat musik yang dapat dimainkan secara
ensambel maupun secara solo. Masyarakat Pakpak membagi alat musiknya secara
folk taxonomies yang berdasar pada bentuk penyajian yang masih dibagi dalam
dua kelompok yaitu: Gotchi dan Oning-oning.dan cara memainkan yang terdiri
atas Sipaluun, Sisempulen, dan Sipiltiken.
Sedangkan untuk semua jenis musik vokal masyarakat Pakpak memberi
nama ende-ende. Kemudian untuk membedakan jenis nyanyian yang satu dengan
yang lain, dibelakang kata ende-ende tersebut dicantumkan nama nyanyian yang
dimaksudkan. Misalnya; ende-ende merkemenjen yaitu nyanyian mengambil
kemenyan; ende-ende memuro yaitu nyanyian pada saat menjaga padi dan
tanaman-tanaman diladang. Selain nyanyian tersebut ada juga yang disebut ende-
ende tangis milangi yang mana disebut juga sebagai tangis-tangis yang
merupakan kategori nyanyian ratapan(lamenta) yang disajikan dengan gaya
menangis yang terdiri atas Tangis beru si jahe, Tangis anak melumang yaitu
nyanyian ratap seorang anak ketika terkenang pada salah satu atau kedua orang
tuanya yang sudah meningal, dan tangisi mate yaitu nyanyian ratapan kaum
wanita ketika salah seorang anggota keluarga meninggal dunia. Selain itu ada juga
yang disebut dengan ende-ende mendedah yaitu sejenis nyanyian lullaby yang
dipakai oleh sipendedah(pengasuh) baik pria ataupun wanita, yang terdiri atas
orih-orih yaitu nyanyian untuk menidurkan anak dimana sianak digendong dan
sambi dinina bobokan dengan nyanyian yang liriknya berisi tentang nasehat,
harapan, cita-cita, ataupun curahan kasih sayang terhadap si anak tersebut.
Berikutnya ada juga disebut oah-oah(kodeng-kodeng) yang merupakan jenis
nyanyian dimana teksturnya sama dengan orih-orih. Yang membedakan adalah
cara dalam menina bobokan si anak. Oah-oah disajikan dengan mengayunkan si
anak pada ayunan yang digantungkan pada sebatang kayu dirumahmaupun
digubuk. Ada juga yang disebut dengan cido-cido yaitu nyanyian untuk mengajak
si anak bermain. Selanjutnya ada yang disebut dengan Nangan yaitu nyanyian
yang disajikan pada waktu mersukut-sukuten (dongeng atau ceritera rakyat). Dan
yang terakhir ada yang disebut dengan ende-ende merdembas merupakan bentuk
nyanyian permainan dikalangan anak-anak usia sekolah yang dipertunjukkan pada
malam hari di halaman rumah saat terang bulan purnama. Mereka menari
berbentuk lingkaran, membuat lompatan-lompatan kecil secara bersama-sama
berpegangan tangan, sambil melantunkan lagu-lagu secara koor (chorus) maupun
nyanyian solo yang disambut koor(solo chorus). 2
Dalam hal ini penulis lebih terfokus untuk mengkaji tentang nyanyian
Tangis Beru Si Jahe.
Tangis beru si jahe merupakan nyanyian ratapan seorang gadis yang akan
dipinang dan dinyanyikan menjelang pernikahannya. Nyanyian ini berisi tentang
ungkapan kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya dengan
tujuan agar anggota keluarga yang mendengarkan merasa iba dan terharu
kemudian mereka akan memberikan nasihat-nasihat dan bantuan berupa materi
kepada si gadis yang akan menikah tersebut. Secara tekstual nyanyian ini banyak
menggunakan bahasa-bahasa simbolis yang mengandung makna-makna tertentu,
2Drs.Torang Naiborhu, M.Hum. “Music Pakpak Dairi-Sumatera Utara” dalam
buku Pluralitas Music Etnik(147-163)
sebagai gambaran dari sesuatu hal ataupun representasi dari situasi sosial
kemasyarakatan pemilik budaya ini. Digarap dengan nuansa kesedihan (Pakpak:
lolo ate) melalui teknik sillabis dan melismatis yang dituangkan dalam melodi
lagu dalam bentuk strofic logogenic yaitu mengutamakan pesan melalui teks
daripada garapan melodi lagunya, melalui teks yang selalu berubah sedangkan
melodi cenderung diulang-ulang 3 . Namun dalam perkembangannya beberapa
tahun belakangan ini tangis beru si jahe bukan lagi disajikan untuk upacara adat
namun menjadi salah satu bentuk hiburan dan telah difestivalkan.
Tangis beru si jahe hanya dinyanyikan oleh perempuan. Tangis beru si
jahe disajikan dan ditujukan kepada orangtua beru si jahe, kerabat terdekat
dengan cara mendatangi rumah mereka masing-masing. Selain itu, orang-orang
yang didatangi oleh beru si jahe tersebut akan memberi dia makan(nakan
pengindo tangis) dimana tinggi rendahnya status sosial adat beru si jahe tersebut
ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah kepala ayam yang nantinya akan
dibawa menuju tempat mertuanya. Semakin banyak kepala ayam yang diterima
oleh beru si jahe, maka akan semakin tinggi pula status sosial adatnya dihadapan
keluarga suaminya4.
Pada umumnya teks dari tangis beru si jahe berisikan tentang kiasan dan
perumpamaan. Yang dinyanyikan pada umumnya kebalikan dari kenyataan karena
si gadis merasa bahwa seolah-olah orang tuanya sudah tidak perduli bahkan
mencampakkan dia. Selain itu dia nantinya tidak bisa merasakan kebahagiaan
seperti apa yang dirasakan selama ini di lingkungan keluarganya.
3 Tesis Strata-2 Drs. Torang Naiborhu, M.Hum
4 Skripsi sarjana Monang Butar-Butar tentang Analisis tekstual dan musikologi tangis beru sijahe Pakpak Dairi di desa Silima Kuta Kecamatan Salak.
Mengapa harus menangis? Hal tersebut dikarenakan si beru jahe merasa
takut jika nantinya dikeluarganya yang baru dia tidak akan merasakan
kebahagiaan seperti yang selama ini diterima dilingkungan keluarganya. Dia
khawatir jika nantinya dia akan dijadikan budak dan dianggap hanya untuk alat
penyambung keturunan keluarga suaminya.
Pada saat sekarang, nyanyian ini telah mengalami perubahan konsep
penyajian. Sampai tahun 1960-an tangis beru si jahe masih disajikan untuk
upacara adat. Berbeda halnya dengan masa sekarang, sesuai dengan
perkembangan zaman dan faktor pendukung lainnya, nyanyian tersebut sudah
menjadi suatu bentuk hiburan dan telah dipertunjukkan didepan khalayak umum.
Namun urutan penyajian nyanyian tetap sama dengan yang sebenarnya. Ungkapan
perasaan yang dinyanyikan si gadis berbeda-beda kepada setiap anggota keluarga
yang disebutkan diatas. Dengan kata lain isi teks nyanyian nya berbeda kepada
setiap orang yang ditujukan namun melodinya tetap sama.
Dari uraian latar belakang masalah tersebut, Maka penulis tertarik untuk
meneliti, mengkaji, serta menuliskannya kedalam sebuah tulisan ilmiah yang dibe
ri judul : ” Tangis Beru Si jahe Di Desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan,
Kabupaten Pakpak Bharat: Kontinuitas Dan Perubahan Penyajian, Kajian
Tekstual Dan Musikal”
1.2 Pokok Permasalahan
1. Hal-hal apa sajakah yang melatar belakangi terjadinya perubahan tangis
beru si jahe?
2. Perubahan apa saja yang terjadi dari nyanyian tersebut?
3. Bagaimana kajian tekstual dan musikal tangis beru si jahe?
1.3. Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui hal-hal yang melatar belakangi terjadinya perubahan
penyajian nyanyian tangis beru si jahe
2) Untuk mengetahui perubahan apa saja yang terjadi dari nyanyian tangis
beru si jahe
3) Untuk mengetahui kajian tekstual dan musikal tangis beru sijahe
1.4 Manfaat Penelitian
1) Menjadi salah satu sarana dalam memperluas ilmu pengetahuan tentang
tangis beru si jahe dari kesenian masyarakat Pakpak
2) Menjadi salah satu bahan dokumentasi tambahan tentang informasi tangis
beru si jahe
3) Sebagai suatu perwujudan tentang ilmu yang telah diperoleh penulis
selama menjalani perkuliahan di Departemen Etnomusikologi
1.5 Konsep
Konsep merupakan rangkaian ide atau pengertian yang diabstrakkan dari
peristiwa kongkrit(Kamus besar bahasa indonesia, Balai Pustaka, 1991:431).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun
1988, kata ‘kontinuitas’ memiliki arti kelanjutan, kelangsungan dan
kesinambungan. Pada penjelasan ini berkaitan dengan masih adanya hal-hal yang
masih tetap eksis dipertahankan dan berkelanjutan sampai saat ini.
Kata ‘perubahan’ memiliki arti situasi dan keadaan yang berubah serta
peralihan dan pertukaran. Dalam hal ini terjadi perubahan penyajian tangis beru si
jahe menjadi sebuah sarana hiburan/dipertunjukkan kepada khalayak umum.
‘Penyajian’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id)
merupakan proses, cara, perbuatan menyajikan
Sedangkan ‘nyanyian’ merupakan bagian dari seni musik, dimana secara
umum seni musik dibagi kedalam tiga bagian: 1) musik vokal, 2) musik
instrumental, dan 3) gabungan dari musik vokal dan instrumental.
Beru adalah anak gadis, sedangkan si jahe adalah yang akan dinikahkan (i
pejahekan) Beru sijahe merupakan sebutan kepada seorang gadis yang akan
berpisah dengan keluarganya disebabkan perkawinan.
Tangis beru si jahe merupakan nyanyian ratapan seorang gadis yang akan
dipinang dan dinyanyikan menjelang pernikahannya. Nyanyian ini berisikan
tentang ungkapan kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya
dengan tujuan agar anggota keluarga yang mendengarkan merasa iba dan terharu
kemudian mereka akan memberikan nasihat-nasihat dan bantuan berupa materi
kepada si gadis yang akan menikah tersebut. Dengan demikian tulisan ini
bertujuan untuk memperoleh hasil dari kelanjutan dan perubahan yang terjadi dari
penyajian tangis beru si jahe.
Tekstual merupakan hal-hal yang berkaitan dengan teks atau tulisan dari
suatu nyanyian. Teks atau syair dari nyanyian tersebut akan menghasilkan suatu
makna. Makna tersebut adalah suatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi dari
suatu kata atau teks yang kemudian terbagi menjadi dua bagian, yaitu makna
konotatif dan makna denotatif. Makna konotatif adalah makna kata yang
terkandung arti tambahan sedangkan makna denotatif adalah kata yang tidak
mengandung arti tambahan atau disebut dengan makna sebenarnya (Keraf,
1991:25). Istilah musikal menunjukkan kata sifat yang berarti bersifat musik,
memiliki unsur-unsur musik seperti melodi, tangga nada, modus, dinamika,
interval, frasa, serta pola ritem.
1.6 Kerangka Teori
Menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk
menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan
dengan pertumbuhan masyarakat (Soekanto 1992;21). Suatu kebudayaan tidaklah
bersifat statis, melainkan selalu berubah dengan kemajuan zaman sebab
kebudayaan bukanlah sesuatu hal yang lahir hanya sekali (Ihromi 1987:32).
Demikian halnya dengan nyanyian tangis beru si jahe yang mengalami perubahan
penyajian sesuai dengan kemajuan zaman.
Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan
kelanjutan merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil
dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan.
Perubahan-perubahan dari penyajian tangis beru si jahe tersebut terjadi
karena berbagai hal yang berasal dari dalam masyarakat maupun dari luar. Dari
pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perubahan
adalah sebuah konsep yang mencakup perubahan dari berbagai unsur kebudayaan,
termasuk perubahan sikap pandangan masyarakat di berbagai tingkat kehidupan.
Kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan seperti,
pengetahuan, ekonomi, teknologi, atau geografi, merupakan faktor-faktor
penyebab terjadinya perubahan pada berbagai aspek sosial lainnya. Perubahan
sosial dan kebudayaan, disamping itu juga harus diperhatikan situasi dan kondisi
dari tempat atau lokasi dimana suatu perubahan terjadi.
Alan P. Merriam dalam bukunya yang berjudul’The Anthropology of
Music’(1964:16), mengatakan bahwa:
“the ultimate interest of man himself, and music is part of what he
does and part and part of what he studies about himself”.
Yang artinya bahwa perhatian manusia yang utama/pokok adalah manusia
itu sendiri, dan musik yang termasuk didalamnya merupakan bagian yang
dikerjakannya sebagai dirinya sendiri.
Merriam juga mengatakan bahwa dalam aspek musikal terdapat dua unsur
pokok yang dominan---maksudnya nyanyian---yaitu teks lagu dan melodinya.
Berkaitan dengan studi teks nyanyian, isi dari teks nyanyian tersebut adalah hal
yang penting lainnya untuk dipelajari (Echols dan Shadily, 1986:369).5
William P.Malm dalam bukunya yang berjudul’Music Cultures Of The
Pasific, The Near, and Asia’(1977:9) juga mengatakan bahwa:
“in vocal music, another important characteristik is the relation
of music to text, the style is’Syllabic’, if one Syllable is used with
many notes, the style is’Melismatic’”.
Yang berarti bahwa “dalam musik vokal, hal lain yang paling
penting adalah karakteristik hubungan antara musik dan teks, yang
disebut “Sillabik”, jika satu Sillabik digunakan dengan banyak nada, itu
disebut ‘Melismatik’”.
5 Skripsi Sarjana Monang Butar-Butar tentang Kajian Tekstual dan Musikologis Tangis
Beru Sijahe Pakpak Dairi di desa Silima Kuta Kecamatan Salak.
Dalam pembahasan tangis beru si jahe budaya Pakpak yang berada di
Desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat ini, penulis
menggunakan teori fungsionalisme. Dalam disiplin ilmu etnomusikologi, Merriam
dalam bukunya (1964: 7-18) menyatakan bahwa dalam studi Etnomusikologi,
maka para ahlinya tidak bisa terlepas dari konteks kebudayaan secara keseluruhan.
Untuk memahami fungsi musik dalam tangis beru sijahe, penulis mengacu kepada
pendapat Alan P. Merriam dalam bukunya “The Anthropology of Music“(1964:
209-226) yang menyatakan tentang penggunaan musik yang meliputi perihal
pemakaian musik dan konteks pemakainya atau bagaimana musik itu digunakan.
Berkenaan dalam hal penggunaan yang dikemukakan oleh Alan P.Merriam (1964:
217-218) menyatakan perihal penggunaan musik sebagai berikut: (1) penggunaan
musik dengan kebudayaan material, (2) penggunaan musik dengan kelembagaan
sosial, (3) penggunaan musik dengan manusia dan alam, (4) penggunaan musik
dengan nilai-nilai estetika, (5) penggunaan musik dengan bahasa.
Untuk menemukan jawaban dari fungsi musik dalam tangis beru sijahe,
Merriam menyebutkan ada sepuluh fungsi musik dalam Ilmu Etnomusikologi
yakni: 1) fungsi pengungkapan emosional, 2) fungsi pengungkapan estetika, 3)
fungsi hiburan, 4) fungsi komunikasi, 5) fungsi perlambangan, 6) fungsi reaksi
jasmani, 7) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, 8) fungsi pengesahan
lembaga sosial, 9) fungsi kesinambungan kebudayaan, 10) fungsi pengintegrasian
masyarakat.
Dalam mengkaji strukstur dan makna tekstual tangis beru sijahe, penulis
menggunakan teori semiotika. Dimana teori ini digunakan untuk memahami
bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang
membangun sebuah peristiwa seni. Ada dua tokoh perintis semiotika yakni
Ferdinand de Sausurre ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Pierce, filosof
berkebangsaan Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang
membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau
signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai
lambang bunyi tersendiri.
Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi
terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: 1) representatum, 2) pengamat
(interpretant), 3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitung-
kan peranan seniman, pelaku, dan penonton sebagai pengamat dari lambang-
lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses
penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang kedalam tiga kategori: pertama
simbol, kedua indeks dan yang terakhir simbol. Apabila lambang itu menyerupai
yang dilambangkan seperti foto, maka disebut sebagai ikon. Jika lambang itu
menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api disebut
dengan indeks. Apabila lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti
burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan
simbol.
Semiotika atau semiologi adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign) serta
tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Defenisi yang sama
dikemukakan pula oleh seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar linguistik dari
Swiss Ferdinand De Sausurre. Menurut beliau semiotika adalah kajian mengenai
“kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.”
Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh pleh filosof Inggris pada abad ke-
17 yaitu John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu,
dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi,
baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika
munculnya karya-karya Saussure dan karya-karya seorang filosof Amerika
Serikat, Charles Sanders Peirce.
Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukkan
perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefenisikan tanda sebagai
“sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu
sumbangannya yang besar bagi semiotika adalah pengkategoriannya mengenai
tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: 1) ikon, yang disejajarkan dengan ikonnya
(misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan; 2) indeks, yang
disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan 3) simbol, yang
berkaitan referennya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal
grafik). Ketiga aspek tanda ini penulis pergunakan untuk mengkaji teks tangis
beru sijahe.6
Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan
dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain,
pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
Semiotika dan teori komunikasi adalah dua hal yang sangat mirip sehingga sering
disebut sebagai semiotika komunikasi. Komunikasi terjadi dengan perantaraan
tanda-tanda dengan mengemukakan sesuatu (representamen) berdasarkan makna
denotatum, designatum atau makna yang ditunjuknya.7 Dalam melakukan analisis
semiotika, pembahasannya antara lain mencakup pada hal-hal yang berkaitan
6 Skripsi sarjana Marliana Manik 7 Tesis Torang Naiborhu
dengan: semiotika binatang (zoosemiotics); paralinguistik (paralinguistics);
bahasa alam (natural language); komunikasi visual (visual communication);
kode-kode musik (musical codes); kode rahasia; sistim objek; dan lain-lain.8
Dalam pengerjaan tulisan, penulis lebih berpedoman pada teori yang
dikemukakan oleh William P.Malm (1977:3) yang dikenal dengan teori weighted
scale. Dimana dikatakan bahwa hal-hal yang harus diperhatikan dalam
pendeskripsian melodi, adalah: tangga nada (scale), nada dasar (pitch center),
wilayah nada (range), jumlah nada (frequency of note), jumlah interval, pola
kadensa, formula melodi (melody formula), dan kontur (contour).
Untuk mengungkap perubahan yang terjadi dari nyanyian tangis beru
sijahe, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Alan P Merriam
(1964:303) yang dikemukakan dalam tulisannya tentang Music and Culture is
Dynamic dalam buku The anthropology of Music yang mengatakan “culture
change begins with the processes of innovation. Type of innovation is variation,
invention, tentation, dan culture borrowing”.
Menurut Carol R. Ember (1987 : 32), suatu kebudayaan tidaklah pernah
bersifat statis, melainkan selalu berubah. Walaupun pada kenyataan perubahan itu
bukan atas gangguan yang datangnya dari luar, suatu kebudayaan pasti akan
mengalami perubahan. Hal ini berhubungan dengan waktu, bergantinya generasi
serta perubahan dan kemajuan tingkat pengetahuan masyarakat.
Alan P. Merriam mengemukakan bahwa perubahan berasal dari dalam
lingkungan kebudayaan atau internal, dan perubahan juga bisa berasal dari luar
kebudayaan atau eksternal. Perubahan secara internal meurpakan perubahan yang
8 Tesis Torang Naiborhu
timbul didalam dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri, dan juga
disebut inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang
timbul akibat pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup budaya
tersebut. Merriam menambahkan bahwa kelanjutan dan perubahan merupakan
suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang
melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori
kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi
dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi
dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (1964: 305).
1.7 Metode Penelitian
Metode adalah cara yang digunakan dalam melaksanakan suatu pekerjaan
agar hasil dari pekerjaan tersebut sesuai dengan yang diharapkan dan dikehendaki
melalui cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksaan suatu kegiatan
guna mencapai tujuan yang telah ditentukan(Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka 2005). Sementara penelitian merupakan kegiatan dalam
mengumpulkan, mengolah, menganalisis serta menyajikan data yang dilakukan
secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji
suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum(Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 2005).
Untuk memperoleh data secara sistematis, maka penulis menggunakan
metode penelitian dengan pendekatan analisis deskriptif. Penelitian yang bersifat
deskriptif bertujuan untuk memaparkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,
keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekwensi atau
penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat
(Koentjaraningrat 1990:29).
Dalam hal ini, penulis melakukan rekonstruksi ulang terhadap penyajian
nyanyian ini. Selain itu, penulis juga melakukan rekonstruksi ulang terhadap
contoh festival tangis beru si jahe yang pernah dilaksanakan. Penulis melakukan
rekonstruksi ulang di rumah Bapak Pandapotan Solin (Lembaga Pelatihan Musik
Pakpak) yang berlokasi di Desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten
Pakpak Bharat. Tujuan penulis merekonstruksi kembali karena jadwal untuk
festival ini tidak menentu namun lebih seringnya dilaksanakan satu kali dalam dua
tahun.
Menurut Whitney (1960) metode deskriptif analitis merupakan metode
pengumpulan fakta melalui interpretasi yang tepat. Dengan tujuan untuk
mempelajari permasalahan yang timbul dalam masyarakat dalam situasi tertentu,
termasuk didalamnya hubungan masyarakat, kegiatan, sikap, opini, serta proses
yang tengah berlangsung dan pengaruhnya terhadap fenomena tertentu dalam
masyarakat. Selain itu menurut Soegiyono(2009) metode deskriptif analitis
bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap suatu objek
penelitian yang diteliti melalui sampel atau data yang telah terkumpul dan
membuat kesimpulan yang berlaku umum.
1.7.1 Studi Kepustakaan
Untuk mendukung keseluruhan data yang disertakan penulis, maka penulis
juga terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan untuk mengumpulkan data-data
yang mendukung tulisan. Mulai dari menelaah berbagai buku seperti: Theory and
Method In Ethnomusicology, The Anthropology of Music, Music Culture of
Pasific, the Near East and Asia, Masyarakat Kesenian Di Indonesia, dan juga
membuka situs-situs internet yang berhubungan dengan data penelitian,
mengumpulkan beberapa referensi, buku dan skripsi-skripsi terdahulu yang
berhubungan dengan topik penelitian. Data diperoleh melalui literatur berupa
catatan dan informasi lain yang berkaitan dengan penulisan
Studi pustaka diperlukan untuk melengkapi teori-teori yang berhubungan
dengan topik penelitian penulis sehingga dapat menambah data yang kongkrit
terhadap kebenaran penelitian.
Nyanyian tangis beru si jahe pada awalnya sudah pernah dikaji oleh
alumni Etnomusikologi. Salah satunya oleh Monang Butar-Butar pada tahun
1992. Beliau mengkaji tekstual dan musikologis dari tangis beru si jahe. Namun
beliau belum menyebutkan bahwa dalam penelitiannya telah terjadi perubahan
penyajian dari nyanyian ini. Maka oleh sebab itu, penulis memutuskan untuk
meneliti serta menuliskan tentang bagaimana proses perubahan dan kelanjutan
dari penyajian nyanyian tangis beru si jahe dan hal-hal yang melatar belakangi
terjadinya perubahan dalam nyanyian tangis beru sijahe pada masa sekarang.
1.7.2. Observasi
Teknik pengumpulan data dengan observasi merupakan metode yang
dipakai dengan menggunakan pengamatan dan pengindraan untuk menghimpun
data penelitian. Menurut Bungin(2007:115) metode observasi merupakan kerja
pancaindera mata dengan dibantu pancaindera lainnya.
Untuk memperoleh informasi yang lebih akurat mengenai tulisan ini maka
penulis melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian yang telah penulis
ketahui sebelumnya yang berlokasi di desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan,
Kabupaten Pakpak Bharat.
1.7.3. Wawancara
Salah satu teknik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara
berfokus (focus interview) yaitu membuat pertanyaan yang berpusat terhadap
pokok permasalahan. Selain itu penulis juga melakukan wawancara bebas (free
interview) yaitu membuat pertanyaan yang tidak hanya terfokus pada pokok
permasalahan saja tetapi pertanyaan berkembang terhadap pokok permasalahan
lainnya namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan (koentjaraningrat,
1985:139). Dalam hal ini penulis tidak hanya berpatokan terhadap hal-hal yang
akan diteliti, namun penulis juga melakukan wawancara bebas untuk mengetahui
bagaimana kehidupan informan sehari-hari.
1.7.4 Kerja Laboratorium
Seluruh data yang penulis peroleh berasal dari berbagai sumber yaitu dari
hasil pengamatan langsung di lapangan. Hasil wawancara tersebut kemudian akan
diolah dalam kerja laboratorium. Selain itu penulis juga akan mentranskripsikan
nyanyian tersebut sebagai sesuatu yang baru.
Setelah penulis melakukan kerja laboratorium, penulis membuatnya
menjadi sebuah tulisan ilmiah berbentuk skripsi sesuai dengan aturan penulisan
sebuah karya ilmiah. Maka dengan demikian, tulisan ini diharapkan memiliki
manfaat dan dapat menambah wawasan pengetahuan di bidang Etnomusikologi
dan bermanfaat untuk seluruh kalangan
1.8 Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh informasi yang lebih akurat mengenai tulisan ini maka
penulis melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian yang telah penulis
ketahui sebelumnya yang berlokasi di desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan,
Kabupaten Pakpak Bharat. Alasan penulis memilih lokasi ini dikarenakan masih
banyak yang mengalami peristiwa ini dan di Sukarami sudah berkali-kali
dilakukan festival Tangis Beru Si Jahe. Bahkan masih banyak di daerah ini
tinggal seniman-seniman yang mengetahui tentang budaya Pakpak.
BAB II
ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT PAKPAK DI DESA SUKARAMAI, KECAMATAN KERAJAAN,
KABUPATEN PAKPAK BHARAT
2.1 Wilayah Budaya Etnik Pakpak
Etnis Pakpak adalah salah satu suku pribumi di Provinsi Sumatera Utara
dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yang terbagi menjadi beberapa bagian,
yaitu :
1. Kabupaten Dairi ibukota Sidikalang yang terdiri dari 15 Kecamatan dan 184
Desa. Kelurahannya meliputi Suak Keppas dan Pegagan.
2. Kabupaten Aceh Singkil ibukotana Singkil yang terdiri dari 15 Kecamatan
dan 148 Desa. Kelurahannya meliputi seluruh daerah Suak Singkil Boang.
3. Kabupaten Pakpak Bharat ibukotanya Salak yang terdiri dari 8 kecamatan
dan 59 Desa. Kelurahannya meliputi Suak Simsim dan sebagian daerah
Keppas.
4. Kotamadya subbul sallam ibukotanya Salak yang terdiri dari 5 kecamatan
dan (64) Desa/Kelurahan yang merupakan pemekaran dari Aceh Singkil dan
masih termasuk Suak Singkil Boang.
5. Kabupaten tapanuli tengah ibukotanya Pandan yang terdiri dari 6 kecamatan
dari daerah (wilayah) Kabupaten Tapanuli Tengah adalah hak ulayat Tanah
Pakpak Suak Kelasen) yang terdiri dari Kecamatan Barus, Barus Utara,
Sosar Godang, Andam Dewi, Manduamas dan Sirandorung dan 56
Desa/Kelurahan.
6. Kabupaten Humbang Hasundutan ibukotany Dolok Sanggul yang terdiri
dari 3 Kecamatan, yaitu Kecamatan Pakkat, Parlilitan, dan Kecamatan Tara
Bintang dan masih termasuk kedalam Suak Kelasen. Luas wilayah yang
menjadi wilayah persebaran masyarakat Pakpak keseluruhan adalah
8.331,12 km2 yang terdiri dari 52 Kecamatan dan 471 Desa/Kelurahan.
2.2 Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian yang penulis ambil berlokasi di Desa Sukaramai,
Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat dimana daerah ini merupakan
salah satu daerah atau wilayah bermukimnya suku Pakpak yang disebut dengan
Suak Simsim dan sebagian daerah keppas. Luas Wilayah Kabupaten Pakpak
Bharat adalah 121.830 Ha. (1.218,30 Km2), terletak di wilayah pantai barat
Sumatera Utara yaitu pada 2.000 – 3.000 Lintang Utara dan 96.000 – 98.000
Bujur Timur dengan ketinggian berkisar antara 250 – 1.400 meter di atas
permukaan laut. Kabupaten pakpak Bharat terbentuk dari dari hasil pemekaran
dari Kabupaten Dairi. Secara administratif Kabupaten Pakpak Bharat terdiri dari
52 Desa dalam 8 (delapan) Kecamatan Kabupaten Pakpak Bharat adalah :
1) Kecamatan Salak, 2) Sitellu Tarli Urang Jehe, 3) Pangindar, 4) Sitellu
Tali Urang Julu, 5) Pargeteng-geteng Sengkut, 6) Kerajaan, 7) Tinada, dan
8) Siempat Rube.
Adapun batas wilayah Kabupaten Pakpak Bharat adalah sebagai berikut:
Sebelah timur berbatasan dengan : Kecamatan Parbuluan Kabupaten
Dairi dan Harian Kabupaten Samosir.
Sebelah barat berbatasan dengan : Kabupaten Aceh Singkil Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Sebelah utara berbatasan dengan : Kecamatan Silima Pungga-Pungga,
Kecamatan Lae Parira, Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi.
Sebalah selatan berbatasan dengan : Kecamatan Tara Bintang
Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kecamatan Manduamas
Kabupaten Tapanuli Tengah.
Adapun batas-batas wilayah dari desa sukaramai adalah :
Sebelah timur berbatasan dengan : Desa Kuta Saga.
Sebelah barat berbatasan dengan : Desa Surung Mersada.
Sebelah selatan berbatasan dengan : Desa Pardomuan.
Sebelah utara berbatasan dengan : Desa Kuta Meriah.
2.3 Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Pakpak khusunya yang berada di wilayah
Kabupaten Pakpak Bharat sangat beragam, disesuaikan dengan keahlian pribadi
yang dimiliki oleh seseorang, dan tidak terbatas pada satu bidang saja. Banyak
warga Pakpak yang bekerja sebagai pedagang, petani, PNS (pegawai negeri sipil),
guru, pegawai swasta, dan lain-lain. Dari hasil wawancara dengan beberapa
narasumber, bahwa pekerjaan yang paling banyak digeluti masyarakat Pakpak
yang berdomisili di wilayah kabupaten Pakpak Bharat adalah bercocok tanam.
Kopi, padi, tanaman palawija, durian dan jeruk. Menurut penuturan beliau,
banyak diantara pegawai negeri sipil maupun pegawai swasta menekuni pekerjaan
bercocok tanam selain dari pekerjaan utamanya. Begitu juga dengan para
pedagang maupun pengusaha kecil memiliki ladang bercocok tanam serta
menekuni kegiatan tersebut sebagai penopang hidup.
2.4 Sistem Kepercayaan dan Religi
Sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke wilayah Pakpak, masyarakat
setempat menganut kepercayaan yang disebut persilihi atau perbegu. Persilihi
atau perbegu ini ialah suatu kepercayaan yang meyakini bahwa alam ini berada
dibawah kuasa pengaruh roh-roh gaib atau dengan adanya Dewa-Dewa maupun
roh-roh nenek moyang yang dikultuskan (lihat, Naiborhu, 1988 : 22-26).
2.4.1 Kepercayaan Terhadap Dewa-Dewa
Sebelum agama masuk ke lingkungan masyarakat Pakpak,masyarakat
mempercayai kekuatan alam gaib dan percaya bahwa alam adalah sumber
kehidupan. Masyarakat pakpak percaya terhadap Debata Guru/Batara Guru yang
dikatakan dalam bahasa Pakpak Sitempa/Sinembe nasa si lot yang artinya maha
pencipta segala sesuatu yang ada di bumi ini yang diklasifikasikan
atau diistilahkan sebagai berikut:
Debata Guru/ Batara Guru menjadikan wakilnya untuk menjaga dan
melindungi, yaitu :
1) Beraspati Tanoh.
Diberi simbol dengan menggambar cecak yang berfungsi melindungi segala
tumbuh-tumbuhan. Jadi, jika seorang orang tua menebang pohon bambu, kayu
atau tumbuhan lainnya, maka ia harus meminta izin kepada Beraspati Tanoh.
2) Tunggung Ni Kuta
Tunggung Ni Kuta diyakini memiliki peranan untuk menjaga dan melindungi
kampung atau desa serta manusia sebagai penghuninya. Oleh karena hal tersebut,
maka tunggung ni kuta memberikan kepada manusia beberapa benda yaitu
sebagai berikut :
a. Lapihen, terbuat dari kulit kayu yang didalamnya terdapat tulisan-tulisan
yang berbentuk mantra atapun ramuan obat-obatan serta ramalan-ramalan.
b. naring, wadah yang berisi ramuan sebagai pelindung kampung. Apabila
satu kampung akan mendapat ancaman, maka naring akan memberikan
pertanda berupa suara gemuruh ataupun siulan.
c. Pengulu balang, sejenis patung yang terbuat dari batu yang memiliki fungsi
untuk memberikan sinyal atau tanda berupa gemuruh sebagai pertanda
gangguan, bala, musuh, atau penyakit bagi masyarakat suatu desa.
d. Sibiangsa, yaitu wadah berbentuk guci yang diisi ramuan yang ditanam di
dalam tanah yang bertugas mengusir penjahat yang datang.
e. Sembahen Ni Ladang, yaitu roh halus dan penguasa alam sekitarnya yang
diyakini dapat menggangu kehidupan dan sekaligus dapat melindungi
kehidupan manusia apabila diberi sesajen.
f. Tali Solang, yaitu tali yang disimpul di ujungnya, mempunyai kepala ular
yang digunakan untuk menjerat musuh.
g. Tongket Balekat, yaitu terbuat dari kayu dan hati ular yang berukuran lebih
kurang satu meter yang diukir dengan ukiran Pakpak dan dipergunakan
untuk menerangi jalan.
h. Kahal-kahal, yaitu menyerupai telapak kaki manusia untuk melawan
musuh.
i. Mbarla, yaitu roh yang berfungsi untuk menjaga ikan di laut, sungai dan
danau.
j. Sineang Naga Lae, yaitu roh yang menguasai laut, danau dan air.
2.4.2 Kepercayaan Terhadap Roh-Roh
Kepercayaan terhadap roh-roh, yang meliputi :
a. Sumangan, yaitu tendi (roh) orang yang sudah meniggal mempunyai
kekuatan yang menentukan wujud dan hidup seseorang yang dikenang.
b. Hiang, yaitu kekuatan gaib yang dibagikan kepada saudara secara turun
temurun.
c. Begu Mate Mi Lae atau disebut juga dengan begu Sinambela, yaitu roh
orang yang sudah meninggal diakibatkan karena hanyut di sungai.
d. Begu Laus, yaitu sejenis roh yang menyakiti orang yang datang dari
tempat lain serta dapat membuat orang menjadi sakit secara tiba-tiba.
Kepercayaan- kepercayaan diatas sudah jarang dilaksanakan oleh
masyarakat Pakpak khususnya yang berada di wilayah Kecamatan kerajaan
sejak masuknya agama di daerah tersebut.
Masyarakat Pakpak di daerah ini sebagian besar sudah memeluk agama yang
tetap, yaitu agama yang sudah diakuai oleh pemerintah. Sebagian besar
masyarakat yang ada di daerah ini beragama Islam, Kristen dan sebagian kecil
beragama Katolik.
2.5 Sistem Kekerabatan
Masyarakat Pakpak sejak dahulu kala sudah ada ikatan yang mengatur tata
krama dan sopan santun dalam kehidupan sehari-hari dan ditaati oleh masyarakat
itu sendiri. Sistem tersebut selalu ada dan diterapkan dalam upacara-upacara adat
termasuk juga dalam upacara kematian (kerja njahat). Sistem tersebut yaitu:
2.5.1 Sulang Silima
Sulang silima adalah lima kelompok kekerabatan yang terdiri dari
kulakula, dengan sebeltek siampun-ampun/anak yang paling kecil, serta anak
berru. Sulang silima ini berkaitan dengan pembagian sulang/jambar dari daging-
daging tertentu dari seekor hewan seperti kerbau, lembu atau babi yang
disembelih dalam konteks upacara adat masyarakat Pakpak. Pembagian
daging/jambar ini disesuaikan dengan hubungan kekerabatannya dengan pihak
kesukuten atau yang melaksanakan upacara. Dalam adat masyarakat Pakpak,
kelima kelompok tersebut masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab
yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam acara adat.
a. kula-kula
kula-kula merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam sistem
kekerabatan pada masyarakat Pakpak. kula-kula adalah kelompok/pihak
pemberi istri dalam sistem kekerabatan masyarakat Pakpak dan merupakan
kelompok yang sangat dihormati dan dianggap sebagai pemberi berkat oleh
masyarakat. Dengan demikian, kula-kula juga disebut dengan istilah Debata Ni
Idah (Tuhan yang dilihat). Oleh karena itu, pihak kula-kula ini haruslah dihormati.
Sikap menentang kula-kula sangat tidak dianjurkan dalam kebudayaan Pakpak.
Dalam acara-acara adat, kelompok kula-kula diwajibkan untuk hadir, termasuk
juga dalam adat kematian dan mendapat peran yang penting.
b. Dengan sebeltek/Senina
Dengan sebeltek/senina adalah mereka yang mempunyai hubungan tali
persaudaraan yang mempunyai marga yang sama. Mereka adalah orang-orang
yang satu kata dalam permusyawaratan adat. Selain itu, dalam sebuah upacara
adat ada kelompok yang dianggap dekat dengan sebeltek, yaitu senina. Dalam
sebuah acara adat, senina dan seluruh keluarganya akan ikut serta dan mendukung
acara tersebut. Secara umum, hubungan senina ini dapat disebabkan karena
adanya hubungan pertalian darah, se subklen/semarga, memiliki ibu yang
bersaudara, memiliki istri yang bersaudara dan memiliki suami yang bersaudara.
c. Anak beru
Anak beru artinya anak perempuan yang disebut dengan kelompok pengambil
anak dara dalam sebuah acara adat, anak berru lah yang bertanggung jawab atas
acara adat tersebut. Tugas anak berru adalah sebagai pekerja, penanggung jawab
dan pembawa acara pada sebuah acara adat.
Sedangkan situaan adalah anak yang paling tua, siditengah adalah anak tengah
dan siampun-ampun adalah anak yang paling kecil. Mereka adalah pihak yang
mempunyai ikatan persaudaraan yang terdapat dalam sebuah ikatan keluarga.
Kelima kelompok diatas mempunyai pembagian sulang (jambar) yang
berbeda, yaitu sebagai berikut :
1) Kula-kula (pihak pemberi istri dari keluarga yang berpesta) akan
mendapat sulang per-punca naidep. Situaan (orang tertua yang
menjadi tuan rumah sebuah pesta akan mendapat sulang per-
isang-isang).
2) Siditengah (keluarga besar dari keturunan anak tengah) akan
mendapat sulang per-tulantengah.
3) Siampun-ampun (keturunan paling bungsu dalam satu keluarga)
akan mendapat sulang per-ekur-ekur.
4) Anak beru (pihak yang mengambil anak gadis dari keluarga yang
berpesta) akan mendapat sulang perbetekken atau takal peggu.
Biasanya penerimaan perjambaren anak beru disertai dengan takal
peggu. Yang artinya mempunyai tugas dan tanggung jawab yang
besar terhadap berjalannya pesta. Anak beru lah yang bertugas
menyiapkan makanan serta menghidangkan selama pesta
berlangsung.
2.6 Bahasa
Pada umumnya, bahasa yang dipakai oleh masyarakat di Kecamatan
Kerajaan adalah bahasa Pakpak karena mayoritas penduduk disana adalah suku
Pakpak. Hal ini menyebabkan kehidupan sehari- hari penduduk disana
menggunakan bahasa Pakpak begitu juga dalam acara adat.
Terdapat juga sebagian kecil suku lain seperti suku Toba, Karo, Nias dan
Jawa yang datang kedaerah Kecamatan Kerajaan, tetapi setelah tinggal beberapa
lama disana, masayarakat dari suku-suku tersebut diatas sudah mengerti dan fasih
menggunakan bahasa Pakpak. Selain bahasa Pakpak, bahasa yang digunakan
dalam komunikasi sehari-hari adalah bahasa Indonesia yang digunakan di tempat-
tempat umum, seperti sekolah, puskesmas dan kantor Kelurahan.
Ada beberapa jenis gaya bahasa yang digunakan dalam kehidupan
masyarakat Pakpak, yaitu :
1. Rana telangke yaitu kata-kata perantara atau kata-kata tertentu untuk
menghubungkan maksud si pembicara terhadap objek si pembicara.
2. Rana tangis yaitu gaya bahasa yang dituturkan dengan cara menangis atau
bahasa yang digunakan untuk menangisi sesuatu dengan teknik bernyanyi
(narrative songs atau lamenta dalam istilah etnomusikologi) yang disebut
tangis mangaliangi (bahasa tutur tangis)
3. Rana mertendung yaitu gaya bahasa yang digunakan dihutan,
4. Rana nggane yaitu bahasa terlarang, tidak boleh diucapkan di tengah-
tengah kampung karena dianggap tidak sopan
5. Rebun (rana tabas atau mangmang) yaitu bahasa pertapa datu atau bahasa
mantera oleh guru (Naiborhu, 2002:51).
2.7 Kesenian
2.7.1 Seni Musik
Masyarakat Pakpak membagi alat musiknya berdasarkan bentuk
penyajiannya dan cara memainkannya. Berdasarkan cara memainkannya,
instrumen musik tersebut dibagi atas dua kelompok, yaitu gotchi dan oning-
oningen.
Sedangkan berdasarkan cara memainkannya, instrument musik tersebut
terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu : sipaluun (alat musik yang dimainkan
dengan cara dipukul), sisempulen (alat musik yang dimainkan dengan cara ditiup)
dan sipiltiken (alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik). Istilah gotchi dan
oning-oningen sudah mendapat pergeseran arti dikalangan masyarakat Pakpak.
Menurut wawancara dengan beberapa pemusik tradisi Pakpak sekarang
menyebutkan bahwa gotchi adalah istilah untuk beberapa ensambel seperti :
ensambel genderang sisibah, genderang sipitu-pitu, genderang silima,
gendangmsidua-dua, gerantung, mbotul dan gung. Sedangkan istilah oning-
oningen digunakan untuk ensambel yang terdiri dari gendang sitelu-telu, gung
sada rabaan, lobat (aerophone), kalondang (xylophone), dan kucapi
(chordophone), yang pada penggunaannya di gunakan untuk upacara mbaik
seperti upacara pernikahan (merbayo).
1. Instrumen Musik Berdasarkan Bentuk penyajian
Gotchi adalah isntrumen musik yang disajikan dalam bentuk seperangkat
(ensambel) yang terdiri dari : ensambel genderang sisibah, genderang sipitu-pitu,
genderang silima, gendang sidua-dua, gerantung, mbotul dan oning-oningen.
Genderang si sibah (drum-chime) merupakan salah satu alat musik
tradisional masyarakat suku Pakpak yang juga merupakan bagian dari kelompok
gotci. Dikatakan genderang si sibah karena alat musik ini terdiri atas sembilan
buah gendang satu sisi yang diletakkan dalam satu rak yang dipukul dengan
menggunakan stik (pemukul). Genderang si sibah ialah seperangkat gendang satu
sisi yang berbentuk konis (single headed conical nine drums). Genderang ini
dipakai untuk mengiringi upacara-upacara adat yang ada di Pakpak, melus bulung
bulu, melus bulung sempula, dan melus bulung simbernaik. Didalam ensambel ini
juga terdapat alat musik kalondang (xylophone), lobat (aerofon, recorder), kecapi
dan gong. Disamping alat musik tersebut juga ada ensambel musik genderang si
pitu, yang terdiri dari 7 buah gendang (drum set) yang diletakkan pada satu rak.
Permainan kalondang biasanya dimainkan dengan melodi yang sama dengan
vokal dengan pukulan gendang yang variatif. Sejauh ini tradisi musik Pakpak
belum banyak mengalami perubahan.
Masing-masing nama dari kesembilan gendang ini dari ukuran terbesar
sampai ukuran terkeci adalah sebagai berikut :
Gendang 1, Si Raja Gumeruhguh (suara bergemuruh) atau disebut
juga sebagai gendang induk (menginang-inangi/mengindungi)
Gendang 2, Si Raja Dumerendeng atau Si Raja Manjujuri dengan
pola ritmis menjujuri atau mendonggildonggili (mengagungkan,
mentakbiri, menghantarkan)
Gendang 3-7, Si Raja Menak-menak dengan pola ritmis benna
kayu yang merupakan pembawa melodi (menenangkan,
menenteramkan)
Gendang 8, Si Raja Kumerincing dengan pola ritmis menehtehi
(menyeimbangkan)
Gendang 9, Si Raja Mangampuh dengan pola ritmis menganak-
anaki atau tabil sondat (menghalang-halangi). Namun terdapat
juga nama lain dari instrumen ini dalam bentuk kelompok
permainannya, yaitu untuk gendang 1 dan 2 disebut menginang-
inangi (induk); untuk gendang 2 sampai 7 disebut benna kayu
(pembawa lagu); dan gendang 7 sampai 9 disebut manganaki
(anak).9
Dalam bentuk seperangkat, kesembilan gendang ini dimainkan bersamaan
dengan gung sada rabaan (seperangkat gung yang terdiri dari empat buah, yaitu
9Wawancara dengan Bapak Pandapotan Solin tahun 2011
panggora (penyeru), poi (yang menyahut), tapudep (pemberi semangat) dan
pong-pong (yang menetapakan). Instrumen lain yang digunakan adalah sarune
(double reed oboe) dan cilat-cilat (simbal concussion). Dalam penyajiannya,
ansambel ini hanya dipakai pada jenis upacara suka cita (kerja mbaik) saja pada
tingkatan upacara terbesar atau tertinggi saja.
Gambar 1 : Genderang Sisibah (Dokumentasi Pribadi Tahun 2011)
Keterangan : Nomor pada penjelasan diambil dari genderang terbesar sampai terkecil seperti pada gambar.
Selanjutnya adalah ensambel genderang sipitu-pitu. Ensambel ini terdiri
dari 7 buah gendang konis yang berasal dari genderang sisibah. Ketujuh gendang
ini berasal dari genderang sisibah dengan hanya menggunakan gendang mulai
dari urutan I sampai VII. Instrumen lainnya yang terdapat dalam ensambel ini
adalah gung sada rabaan, Sarune, dan cilat-cilat sebagaimana yang terdapat
dalam genderang sisibah. Ensambel ini biasanya digunakan untuk kerja mbaik
dalam tingakatan tertentu saja.
Selanjutnya adalah ensambel genderang Si lima yaittu seperangkat
gendang satu sisi berbentuk konis yang terdiri dari lima buah gendang. Kelima
gendang ini berasal dari genderang sisibah dengan hanya menggunakan gendang
pada bilangan ganjil saja diurut dari gendang terbesar, yaitu gendang I, III, V, VII
dan IX. Fungsi dari kelima gendang tersebut sama dengan fungsinya masing-
masing seperti pada genderang sisibah. Instrumen lainnya yang terdapat dalam
ensambel ini adalah gung sada rabaan, Sarune, dan cilat-cilat sebagaimana yang
terdapat dalam genderang sisibah. Ensambel ini digunakan pada upacara dukacita
(kerja njahat) saja, seperti upacara kematian, mengongkal tulan (mengangkat
tulang-tulang) pada tingkatan upacara terbesar dan tertinggi secara adat.
Selanjutnya terdapat ensambel gendang sidua-dua. Ensambel gendang ini
terdiri dari sepasang gendang dua sisi berbentuk barrel (double head two barrel
drums). Kedua gendang ini terdiri dari gendang inangna (gendang induk, gendang
ibu) yaitu gendang yang terbesar dan gendang anakna (gendang anak, jantan)
yaitu gendang terkecil. Instrumen lain yang terdapat dalam instrument ini adalah
empat buah gong (gung sada rabaan) dan sepasang cilat-cilat (simbal).
Ensambel ini biasanya digunakan untuk upacara ritual, seperti mengusir
roh penunggu di hutan sebelum diolah menjadi lahan pertanian (mendeger uruk)
dan hiburan saja seperti upacara penobatan raja atau mengiringi tarian pencak.
Kemudian ensambel musik mbotul adalah seperangkat alat musik gong
(idiophones) berpencu yang terdiri dari 5, 7, atau 9 buah gong. Disusun berbaris
diatas rak seperti kenong pada tradisi gamelan Jawa. Dalam penggunaannya,
instrumen ini berperan sebagai pembawa melodi dan secara ensambel dimainkan
bersama-sama dengan gung sada rabaan.
Selanjutnya adalah ensambel oning-oningen. Ensambel ini terdiri dari
gendang sitelu-telu(membranophone single head), gung sada rabaan, lobat
(aerophone), kalondang (xylophone), dan kucapi (chordophone). Ensambel ini
digunakan pada upacara suka cita (kerja mbaik) seperti upacara penikahan
(merbayo) dan untuk mengiringi tarian (tatak).
b. Instrumen Musik Berdasarkan Cara memainkannya.
1. Sipaluun: Genderang, kalondang, gung, cilat-cilat, ketuk, mbotul, deng-
deng, doal, gerantung, gendang si dua-dua.
2. Sisempulen: Sarune, lobat, sordam
3. Sipiltiken: Kucapi
2.7.2 Seni Suara
Masyarakat Pakpak memiliki beberapa jenis seni suara ataupun nyanyian.
Nyanyian yang dimaksud adalah musik vokal. Masyarakat Pakpak memberi nama
ende-ende (baca :nde-nde) terhadap semua musik vokalnya. Ada beberapa jenis
musik vokal yang terdapat pada masyarakat Pakpak yang dibedakan berdasarkan
fungsi dan penggunaannya masing-masing yaitu sebagai berikut:
(i) tangis milangi atau disebut juga tangis-tangis adalah kategori nyanyian
ratapan (lamenta) yang disajikan dengan gaya menangis. Disebut tangis milangi
karena hal-hal mengharukan yang terdapat didalam hati penyajinya akan ditutur-
tuturkan (dalam bahasa Pakpak: ibilangbilangken, milangi) dengan gaya
menangis (Pakpak : Tangis). Ada beberapa jenis tangis milangi yang terdapat
pada masyarakat Pakpak, yaitu sebagai berikut.
a. tangis si jahe adalah jenis nyanyian yang disajikan oleh gadis (female
song) menjelang pernikannya. Teks nyanyian ini berisi tentang ungkapan
kesedihannya karena akan meninggalkan keluarganya dan memasuki
lingkungan keluarganya. Nyanyian ini ditujukan supaya orang yang
mendengar merasa iba dan memberi petuah-petuah tentang hidup berumah
tangga. Nyanyian ini disajikan dalam bentuk melodi yang berubah-ubah
(repetitif) dengan teks yang berubah-ubah.
Tangis beru si jahe hanya dinyanyikan oleh perempuan. Tangis
beru si jahe disajikan dan ditujukan kepada orangtua beru si jahe, kerabat
terdekat dengan cara mendatangi rumah mereka masing-masing. Selain
itu, orang-orang yang didatangi oleh beru sijahe tersebut akan memberi
dia makan (nakan pengindo tangis) dimana tinggi rendahnya status sosial
adat beru si jahe tersebut ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah
kepala ayam yang nantinya akan dibawa menuju tempat mertuanya.
Semakin banyak kepala ayam yang diterima oleh beru si jahe, maka akan
semakin tinggi pula status sosial adatnya dihadapan keluarga suaminya
b. Tangis anak melumang, nyanyian ini disajikan oleh pria ataupun wanita.
Nyanyian ini berisi tentang kesedihan seseorang yang ditinggal mati orang
tuanya. Nyanyian ini biasanya disajikan pada saat-saat tertentu, seperti
ketika berada di hutan, di ladang, di sawah atau tempattempat sepi lainnya.
Teksnya berubah-ubah dengan melodi yang sama.
c. Tangis si mate adalah nyanyian ratapan (lament) kaum wanita ketika salah
seorang anggota keluarganya meninggal dunia. Disajikan di depan si mati
dan teksnya berisi tentang kisah hidup si mati, berisi tentang perilaku yang
paling berkesan dari si mati smasa hidupnya. Nyanyian ini adalah nyanyian
strofik yang lebih mementingkan isi teks daripada melodi.
(ii) ende-ende mendedah adalah sejenis nyanyian lullaby atau nyanyian
menidurkan anak yang dinyanyikan oleh sipendedah (pengasuh) baik kaum pria
maupun wanita untuk menidurkan atau mengajak si anak bermain. Jenisnya terdiri
dari , oah-oah dan cido-cido. Ketiga nyanyian jenis nyanyian ini menggunakan
teks yang selalu berubah-ubah dengan melodi yang diulang-ulang (repetitif).
a. Orih-orih ialah nyanyian untuk menidurkan anak yang dinyanyikan oleh
sipendedah (pengasuh) orangtua atau kakak baik pria maupun wanita.Si
anak digendong sambil i orih-orihken (sambil menina bobokan si anak
dalam gendongan) dengan nyanyian yang liriknya berisi tentang nasehat,
cita-cita, harapan maupun curahan kasih sayang terhadap si anak.
b. Oah-oah sering disebut juga dengan kodeng-kodeng, yaitu jenis nyanyian
yang teksturnya sama dengan orih-orih. Yang membedakannya adalah cara
menidurkannya, jika orih-orih disajikan dengan cara menggendong, maka
oah-oah disajikan sambil mengayun si anak dalam ayunan.
c. Cido-cido adalah nyanyian untuk mengajak si anak bermain. Tujuannya
adalah agar si anak merasa terhibur dengan gerakan-gerakan lucu sehingga
si anak merasa terhibur dan tertawa. Teks lagu yang dinyanyikan biasanya
berisi tentang harapan-harapan agar kelak si anak menjadi orang yang
berguna.
(iii) Nangan ialah nayanyian yang disajikan pada waktu bersukut-sukuten
(mendongeng). Setiap ucapan dari tokoh-tokoh yang terdapat pada cerita
tersebut di sajikan dengan cara bernyanyi. Ucapan tokoh yang dinyanyikan
tersebut dalam cerita disebut dengan nangen, sedangkan rangkaian
ceritanya disebut sukut-sukuten.
Secara tekstur, cerita sukut-sukuten umumnya berisi tentang pedoman
pedoman hidup dan teladan yang harus dipanuti berdasarkan perilaku yang yang
diperankan oleh tokoh yang terdapat dalam cerita.
Persukuten haruslah orang yang cukup ahli menciptakan tokoh-tokoh melalui
warna nangen. Adapun sukut-sukuten yang cukup dikenal oleh masyarakat pakpak
adalah Sitagandera, Nan tampuk mas, Manuk-manuk Si Raja Bayon, Si buah
mburle, dan lain sebagainya.
(iv) Ende-ende mardembas adalah bentuk nyanyian permainan dikalangan anak-
anak usia sekolah yang dipertunjukkan pada malam hari di halaman rumah
pada saat terang bulan purnama. Mereka menari dan membentuk lingkaran
dan membuat lompatan kecil sambil bernyanyi secara chorus (koor) maupun
solo chorus (nyayian solo yang disambut dengan koor). Isi teksnya biasanya
berisi tentang keindahan alam serta kesuburan tanah kampungnya dan
dinyanyikan dengan pengulangan melodi (repetitif) serta teks yang berubah-
ubah sesuai pesan yang disampaikannya.
(v) Ende-ende Memuro Rohi, naynyian ini termasuk kedalam nyanyian work
song, yaitu nyanyian yang di sajikan pada saat bekerja. Biasanya
dinyanyikan ketika berada di ladang atau di sawah untuk mengusir burung-
burung agar tidak memakan padi yang ada di sawah. Kegiatan muro
(menjaga padi) ini biasanya menggunakan alat yang disebut dengan ketter
dan gumpar yang dilambai-lambaikan ketengah sawah sambil menyanyikan
ende-ende memuro rohi.
2.5.3 Seni Tari
Masyarakat Pakpak menyebutkan istilah tari dengan istilah Tatak. Tatak
pada masyarakat pakpak erat hubungannya dengan kegiatan upacara ataupun kerja
dan juga sebagai hiburan atau pertunjukan. Tatak digunakan dalam kerja mbaik
ataupun kerja njahat. Adapun jenis gerakan yang digunakan dalam upacara tau
pun kerja adalah :
Mangera-era
Gerakan ini digunakan oleh kaum Beru untuk menyambut Kula-kula
ataupun gerakan yang digunakan oleh anak terakhir kepada anak tertua
ataupun yang muda kepada yang lebih tua.
Suyuk
Gerakan ini digunakan untuk menyambah ataupun menghormati.
Memasu-masu
Gerakan ini digunakan oleh kula-kula kepada beru yang menyimbolkan
pemberian berkat.
Mengembur
Gerakan ini digunakan untuk menyembah atau member hormat oleh beru
kepada kula-kula.
Mengeleap
Gerakan ini digunakan untuk menunjukkan bahwa kegiatan kerja sudah
berhasil dilaksnankan.
Adapun beberapa jenis tatak yang digunakan untuk hiburan atau pertunjukan
adalah sebagai berikut :
Tatak Menabi page
Tatak ini dilakukan oleh para muda-mudi di ladang dan menggambarkan
kegembiraan dari para muda-mudi. Hal ini terjadi karena pada zaman
dahulu, para muda-mudi di daerah Pakpak hanya dapat bertemu dan
berbicara lebih dekat pada saat masa panen. Tatak ini menggambarkan
tentang kegembiraan dalam memanen padi.
Tatak Mendedah
Tatak ini menggambarkan tentang bagaimana seorang ibu mengasuh
bayinya. Tatak ini hanya dilakukan oleh para perempuan.
Tatak Renggisa
Tatak ini menggambarkan tentang sepasang muda-mudi yang sedang
kasmaran atau sedang jatuh cinta satu sama lain.
Tatak Garo-garo
Tatak ini mengambarkan tentang kegembiraan muda-mudi dalam masa
panen. Tatak ini memiliki kemiripan dengan tatak menabi pange, namun
dalam tatak garo-garo, hal yang digambarkan tidak hanya dalam memanen
padi, melainkan mulai dari proses menanam sampai memanen padi
tersebut.
Tatak Memuat kopi
Tatak ini menggambarkan tentang bagaimana proses memetik kopi yang
dilaksanakan oleh para petani di daerah Pakpak.
Tatak Perampuk-ampuk
Tatak ini menggambarkan tentang keharmonisan yang terjalin antara kaum
muda-mudi yang ada dalam kebudayaan masyarakat Pakpak.
Tintoa serser
Tatak ini menggambarkan tentang bagaimana masyarakat Pakpak dalam
membuka atau memulai suatu ladang pertanian yang dalam hal inj
adalah persawahan.
Tatak Mengindangi
Tatak ini menggambarkan tentang suasana menumbuk padi pada
masyarakat Pakpak. Perlu diketahui bahwa tatak yang sifatnya hiburan
ataupun pertunjukan biasanya hanya di laksanakan oleh para kaum muda-
mudi. Serta untuk mengiringi tarian ini digunakan ensambel oning-
oningen.10
10 Skripsi Sarjana Batoan Sihotang dan wawancara kepada informan yang mengetahui tentang budaya Pakpak
BAB III KONTINUITAS DAN PERUBAHAN PENYAJIAN NYANYIAN TANGIS
BERU SI JAHE
3.1 Tangis Beru Si Jahe
Tangis beru si jahe merupakan nyanyian ratapan seorang gadis yang akan
dipinang dan dinyanyikan menjelang pernikahannya. Nyanyian ini berisikan
tentang ungkapan kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya
dengan tujuan agar anggota keluarga yang mendengarkan merasa iba dan terharu
kemudian mereka akan memberikan nasihat-nasihat dan bantuan berupa materi
kepada si gadis yang akan menikah tersebut. Nyanyian ini pada umumnya
disajikan dengan gaya repetitif dengan mengutamakan teks daripada melodi
(strofic-logogenic). Namun dalam perkembangannya beberapa tahun belakangan
ini tangis beru si jahe bukan lagi disajikan untuk upacara adat namun menjadi
salah satu bentuk hiburan dan telah difestivalkan.
Tangis beru si jahe hanya dinyanyikan oleh perempuan. Tangis beru si jahe
disajikan dan ditujukan kepada orangtua beru si jahe, kerabat terdekat dengan
cara mendatangi rumah mereka masing-masing. Selain itu, orang-orang yang
didatangi oleh beru sijahe tersebut akan memberi dia makan (nakan pengindo
tangis) dimana tinggi rendahnya status sosial adat beru si jahe tersebut ditentukan
berdasarkan banyaknya jumlah kepala ayam yang nantinya akan dibawa menuju
tempat mertuanya. Semakin banyak kepala ayam yang diterima oleh beru si jahe,
maka akan semakin tinggi pula status sosial adatnya dihadapan keluarga
suaminya.
Pada umumnya teks dari tangis beru si jahe berisikan tentang kiasan dan
perumpamaan. Seperti yang dapat dilihat dalam teks berikut di Bab VI
“Nang...mela podinken enda berumu, tah terjampa-jampa berumu mengkuso
kusoi bage manuk medemken berumu i ladang ni kalak le nang ni beruna. Bisa
saja nanti putrimu ini merasa bingung karena dia tidak tau apa yang akan dia
perbuat.” Selain teks tersebut masih banyak lagi perumpamaan yang terkandung
dalam teks nyanyian tersebut baik yang menangisi inangna (ibunya) maupun yang
menangisi puhun (pamannya).
Yang dinyanyikan pada umumnya kebalikan dari kenyataan, hal tersebut
dikarenakan si gadis merasa bahwa seolah-olah orang tuanya sudah tidak perduli
bahkan mencampakkan dia. Selain itu dia nantinya tidak bisa merasakan
kebahagiaan seperti apa yang dirasakan selama ini di lingkungan keluarganya.
Bahkan dia menuduh bahwa keluarganya menganggap dia sudah mati seperti yang
disebut dalam teks nyanyian menangisi Puhunna berikut “Nang...nggo mo
kepeken karinana memurpurken daging si melala inang ni beruna dekket bapani
berruna puhun ni turang dekket bapani bere berena. Ternyata orang tuaku
menganggap aku seperti orang sudah mati demikian halnya dengan engkau
paman.”
3.2 Deskripsi Penyajian Nyanyian Tangis Beru Si Jahe Dalam Budaya
Pakpak
Tangis beru si jahe pada masa ini digunakan untuk upacara adat
perkawinan dan dianggap sakral.
Pada dasarnya tangis beru si jahe ditujukan kepada dua hal yaitu, untuk
manusia dan untuk alam. Tangis beru si jahe yang ditujukan kepada manusia
dimulai dengan menangisi orang tuanya, kemudian menangisi Puhun (paman),
berikutnya menangisi namberru (bibi), selanjutnya menangisi rading-radingna
(rekan-rekan ataupun teman-teman terdekatnya). Kemudian beru si jahe akan
menerima petuah dan barang-barang untuk nantinya digunakan pada saat sudah
berumah tangga. Selain daripada itu beru jahe akan menerima takal manuk
(kepala ayam) dari setiap anggota keluarga yang ditangisi, dan semakin banyak
kepala ayam yang diterima maka akan semakin tinggi derajatnya dikeluarga
barunya nanti. Apabila kepala ayam itu banyak dibawa kerumah mertuanya
nantinya, hal itu menandakan bahwa mereka taat akan adat istiadat Pakpak. Waktu
yang baik untuk mengunjungi sanak saudara masa ini adalah sore hari (cibon atau
boni ari, antara pkl 15.00-18.00)
Setelah menangisi orang tuanya, si beru jahe akan berangkat menuju
rumah puhun (paman) dan sanak saudara lainnya, dia akan ditemani salah seorang
rading (teman sebaya) dan seorang Ibu tua yang memiliki marga yang sama
dengannya. Masing-masing sanak saudara diatas akan ditangisi setiap sorenya.
Jika jumlah sanak saudara yang ditangis 7 orang maka dibutuhkan waktu tujuh
hari untuk menangisi mereka. Hal ini memakan waktu yang lama sesuai dengan
jumlah yang akan ditangisi dan lokasi tempat tinggal dari masing-masing sanak
keluarga.
Pada masa itu mereka yang mengalami tangis beru si jahe akan berkumpul
dan melakukan tarian sebagai pertanda bahwa mereka mengalami hal yang sama
atau dengan kata lain mempunyai nasib yang sama. Setiap gerakan yang mereka
tarikan berguna untuk menenangkan diri masing-masing dan pada saat itulah satu
sama lain akan saling mencurahkan isi hati mereka. Apa yang menjadi alasan
mereka dikawinkan akan diungkapkan sambil melakukan tarian tersebut sebagai
hiburan hati (wawancara dengan Informan Tamma Br.Bancin dan Pandapotan
Solin)
Gambar No.2
Tamma Br.Bancin Penyaji tangis beru si jahe
Tamma Br. Bancin merupakan salah satu penyaji tangis beru si jahe.
Beliau juga pernah mengalami hal tersebut. Beliau merupakan mantan penyanyi
lagu daerah Pakpak, banyak lagu yang masih dihapal olehnya termasuk lagu
perjuangan dan lagu opera. Walaupun usia beliau sudah sangat tua, namun beliau
masih dapat dikatakan energik. Beliau masih sanggup menari dan karakter
vokalnya masih sangat baik.
Gambar No.3 (Dokumen Pribadi 2014)
Mencontohkan salah satu gerakan dembas (tarian Pakpak)
3.3 Deskripsi Penyajian Nyanyian Tangis Beru Si Jahe Pada Masa
Sekarang
3.3.1 Penyajian
Untuk mengungkap perubahan yang terjadi dari nyanyian tangis beru sijahe,
penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Alan P Merriam (1964:303)
yang dikemukakan dalam tulisannya tentang Music and Culture is Dynamic dalam
buku The anthropology of Music yang mengatakan “culture change begins with
the processes of innovation. Type of innovation is variation, invention, tentation,
dan culture borrowing”.
Menurut Carol R. Ember (1987 : 32), suatu kebudayaan tidaklah pernah
bersifat statis, melainkan selalu berubah. Walaupun pada kenyataan perubahan itu
bukan atas gangguan yang datangnya dari luar, suatu kebudayaan pasti akan
mengalami perubahan. Hal ini berhubungan dengan waktu, bergantinya generasi
serta perubahan dan kemajuan tingkat pengetahuan masyarakat.
Alan P Merriam mengemukakan bahwa perubahan berasal dari dalam
lingkungan kebudayaan atau internal, dan perubahan juga bisa berasal dari luar
kebudayaan atau eksternal. Perubahan secara internal meurpakan perubahan yang
timbul didalam dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri, dan juga
disebut inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang
timbul akibat pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup budaya
tersebut. Merriam menambahkan bahwa kelanjutan dan perubahan merupakan
suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang
melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori
kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi
dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi
dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (1964: 305).
Pada masa sekarang tangis beru si jahe disajikan untuk kepentingan
umum. Nyanyian ini sudah dipertunjukkan dihadapan umum bahkan sudah
berkali-kali difestivalkan. Nyanyian ini disajikan dengan berbagai cara dan
dengan persiapan yang matang. Misalnya untuk festival, para penyaji harus
mengikuti prosedur dan segala aturan yang diutarakan oleh para Juri. Mereka
harus belajar dari pelatih dan menghapal lirik demi lirik tangis beru si jahe yang
diberikan oleh pelatih untuk dipertandingkan nantinya. Proses demi proses latihan
dijalani oleh mereka yang nantinya mengikuti festival. Langkah-langkah yang
harus mereka lalui yaitu: 1) menerima syarat-syarat dan aturan-aturan yang
diajukan oleh Panitia lomba; 2) memilih dan menentukan kelompok; 3)
menetukan pelatih, persiapan selama latihan baik vokal maupun mimik/ekspresi;
4) penentuan kostum yang akan dikenakan dan properti yang digunakan pada saat
festival. Festival dan Pertunjukan nyanyian tangis beru si jahe pada masa
sekarang dilakukan di ruangan indoor maupun outdor. Seperti di gereja, di Aula
Pertemuan bahkan di lapangan luas.
Pada masa sekarang festival tangis beru si jahe disajikan pada acara ulang
tahun kabupaten, ulang tahun gereja, pesta gotilen gereja, pagelaran budaya
Pakpak, ulang tahun Organisasi. Panitia akan mengadakan lomba dan
menyediakan hadiah bagi pemenang. Menurut wawancara penulis dengan
informan yang pernah memenangkan festival tangis beru si jahe yaitu Sorti
br.Tumanggor (pernah memenangkan festival tangis beru si jahe pada tahun
2010) dan ibu br.Solin bersama ibu Munthe (juara harapan 1 festival tangis beru
si jahe dalam acara pagelaran budaya Pakpak yang tahun 2012) mereka mendapat
hadiah selain berupa uang tunai, mereka juga mendapat sertifikat, atau piagam
penghargaan dan piala sebagai hasil dari kemenangan mereka.
Gambar berikut merupakan gambar Penyaji tangis beru si jahe pada saat
mengikuti festival tangis beru si jahe dalam Penyelenggaraan Festival Budaya
Daerah di Gedung Serbaguna Kota Salak pada tahun 2012. Dengan kata lain kita
dapat melihat bahwa didalam gambar jelas kita lihat bahwa mereka berada diatas
sebuah panggung yang indah, terdapat forografer, tukang syuting, serta mereka
juga menggunakan mikrophone agar suara mereka didengar oleh orang-orang
yang hadir dalam gedung tersebut.
Tujuan tangis beru si jahe ini diangkat kembali yaitu untuk melestarikan
budaya Pakpak yang sudah punah, memperkenalkannya kembali pada masyarakat
Pakpak terutama generasi muda. Supaya masyarakat Pakpak semakin mencintai
budayanya dan menghargai adat isti adat yang ada.
Gambar No.4 (Hasil Rekonstruksi)
Juara harapan tahun 2012 (br.Solin dan br. Munthe)
Dari hasil wawancara penulis dengan informan tersebut bahkan yang
sudah pernah menjadi juri dalam festival tangis beru si jahe, Hal-hal yang dinilai
dari festival tangis beru si jahe, antara lain yaitu:
1. Penguasaan panggung
2. Kelengkapan material
3. Kostum
4. Urutan tangis yang benar
5. Durasi waktu, dalam hal ini tidak boleh melebihi dari waktu yang
ditentukan oleh panitia
6. Mimik/ekspresi
7. Logat (cengkok) yang tepat
8. Teknik vokal dan mampu mengikuti intonasi nyanyian tersebut
9. Penguasaan nyanyian, meresapi nyanyian, mengerti nyanyian
10. Kekompakan
Pelaku dari pertunjukan maupun festival tangis beru si jahe tidak hanya
mereka yang sudah tua, bahkan yang muda juga dapat menyajikan tangis ini.
Karena disajikan dalam bentuk pertujukan ataupun festival pelakunya tidak harus
yang mengalami tangis beru si jahe, namun mereka yang memiliki karakter vokal
dan mampu menyajikan tangis beru si jahe dengan baik. Hal ini dikarenakan
mereka juga memiliki pelatih dan mereka bisa belajar vokal dengan pelatih
tersebut.
Berikut merupakan contoh gambar pertujukan nyanyian tangis beru si jahe
yang diadakan di Sanggar Pelatihan musik Pakpak LP Mandiri di desa Sukaramai,
Kecamatan Kerajaan, Pakpak Bharat.
Gambar No.5 (Hasil Rekonstruksi)
Dalam hal ini penulis memilih ibu Munthe sebagai ibu (Inang ni beru si
jahe) dan ibu Solin (selaku sekdes Sukaramai) sebagai beru si jahe. Mereka
pernah mengikuti festival tangis beru si jahe dalam rangka pagelaran Budaya
Pakpak di gedung Serbaguna Kota Salak tahun 2012.
Berikut merupakan beberapa perlengkapan yang dibutuhkan sebagai
gambaran dari tangis beru sijahe yang dilaksanakan pada masa menjelang tahun
60-an
Gambar No.6 (Hasil Rekonstruksi)
Nasi Putih
Nakan/nasi diberikan oleh orang tua si beru jahe yang memiliki makna
sebagai suapan terakhir si ibu kepada si beru jahe dikarenakan akan ada
perpisahan diantara mereka.
Gambar No.6 (Hasil Rekonstruksi)
Manuk tasak/ayam yang sudah dimasak
Ayam yang dimasak merupakan salah satu menu yang disajikan orangtua
kepada beru si jahe untuk dimakan. Namun yang paling dipentingkan dalam
bagian ini yaitu kepala ayam tersebut (takal manuk). Kepala ayamlah yang
nantinya akan dibawa si beru jahe ketempat keluarga barunya. Penulis
menggunakan teori semiotika untuk menganalisis gambar diatas, bahwa ada
terdapat tanda dimana kepala ayam menjadi perlambang bahwa semakin banyak
kepala ayam yang dibawa si beru jahe ketempat keluarga suaminya, maka akan
semakin tinggi pula derajat si beru jahe atau dengan kata lain keluarga dari si beru
jahe taat akan adat. Tinggi rendahnya status sosial adat beru si jahe tersebut
ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah kepala ayam yang nantinya akan
dibawa menuju tempat mertuanya. Semakin banyak kepala ayam yang diterima
oleh beru si jahe, maka akan semakin tinggi pula status sosial adatnya dihadapan
keluarga suaminya (wawancara dengan Ibu Tamma br.Bancin)
Gambar No.7 (Hasil Rekonstruksi)
Baka berisi sirih
Setelah Ibu dari beru si jahe memberikan sekepal nasi kepadanya
sebaliknya si beru jahe akan memberikan sirih kepada ibunya. Sirih yang ada
dalam baka ini akan diberikan oleh beru si jahe kepada ibu sebagai tanda bahwa
dia akan pergi dan melepas masa mudanya dan dia akan meninggalkan semua
kebiasaan dan kenangan selama masih berada di lingkungan keluarganya.
Gambar No. 8 (Hasil Rekonstruksi)
Tikar/belagen
Gambar nomor-6 Merupakan salah satu materi yang diberikan keluarga
kepada beru si jahe untuk bekal nantinya saat membina keluarga baru.
Gambar No.7 (Hasil Rekonstruksi)
Keseluruhan Perlengkapan
3.3.2 Pelaku Festival Tangis Beru Si Jahe
Pelaku festival Tangis beru si jahe:
1) Beru si jahe yaitu gadis yang akan di nikahkan dan yang menjadi
objek utama penelitian.
2) Orang tua beru si jahe
3) Keluarga puhun yaitu mereka yang memiliki kedudukan tertinggi
dalam adat Pakpak
4) Pihak namberu
5) Rading-rading yaitu teman sebaya dari beru si jahe
6) Juri, tim penilai dari festival tersebut
7) Tokoh-tokoh adat, budayawan
8) Tim audio/visual
9) Penonton
Mereka yang disebutkan diatas merupakan orang-orang yang menjadi
pelaku dalam pertunjukan/festival tangis beru si jahe.
3.3.3 Lokasi festival
Adapun yang menjadi lokasi festival tangis beru si jahe yang penulis teliti
berlokasi di desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat
berada di rumah Ibu Munte Lembaga Pelatihan Musik Pakpak (LPMP) Mandiri.
Posisi pelaku berada di bagian depan sebuah ruangan seolah-olah berada dalam
ruang pertunjukan. Mereka duduk di atas belagen/tikar putih dengan segala
perlengkapan yang sudah ditata dengan rapi. Jarak mereka dengan penonton kira-
kira 2m supaya penonton lebih bebas untuk menyaksikan penampilan mereka.
3.3.4 Jalannya festival
Festival tangis beru si jahe dilaksanakan setelah menempuh beberapa
persiapan. Mulai dari menentukan kelompok-kelompok yang dapat diajak
kerjasama, kemudian pendaftaran dan penentuan pelatih, proses latihan dan
tahapan festival.
3.4 Perubahan yang Terjadi dari Nyanyian Tangis Beru Si Jahe
Perubahan yang terjadi dalam nyanyian tangis beru si jahe adalah
perubahan konsep penyajian. Hal-hal yang berubah diantaranya adalah : penyaji
tangis (pelaku), konsep penyajian, waktu penyajian tangis, dan lain sebagainya.
Berikut merupakan penjelasan dari perubahan dan keberlanjutan dari
tangis beru si jahe.
3.4.1 Perubahan Penyajian dan Kontinuitas Tangis Beru Sijahe
Sebagaimana yang telah disebutkan di halaman 46 bahwa Alan P Merriam
mengemukakan perubahan berasal dari dalam lingkungan kebudayaan atau
internal, dan perubahan juga bisa berasal dari luar kebudayaan atau eksternal.
Perubahan secara internal meurpakan perubahan yang timbul didalam dan
dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri, dan juga disebut inovasi.
Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang timbul akibat
pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup budaya tersebut.
Merriam menambahkan bahwa kelanjutan dan perubahan merupakan suatu tema
yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam
setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori kebudayaan secara
umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi dalam kerangka
waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi dan perubahan
yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (1964: 305).
Perubahan yang terjadi dari penyajian tangis beru si jahe dimulai dari
tahun 60-an hingga sekarang. Perubahan ini didasari karena kemajuan jaman,
masuknya agama yang memberi larangan bahwa semua hal yang dianggap
menentang agama harus dihapuskan dalam hal ini agama Kristen yang dalam
pelaksanaan ibadahnya mengharuskan jemaat untuk bernyanyi secara bersama-
sama sebagai bagian dari tata peribadatannya. Namun perlu diketahui, tradisi
bernyanyi secara bersama-sama ini hanyalah terbatas dalam konteks keagamaan
saja, berikutny kemajuan pendidikan, IPTEK, serta kemajuan ekonomi.
Masyarakat Pakpak sudah banyak meninggalkan kebiasaan lama mereka dan
mengikuti perkembangan jaman.
Menjelang tahun 60-an tangis beru sijahe disajikan untuk upacara
perkawinan, sedangkan pada masa sekarang sudah berubah dan disajikan untuk
hiburan bahkan sudah difestivalkan. Tujuan diangkat kembali yaitu untuk
memperkenalkan kepada generasi masyarakat Pakpak bahwa mereka pada masa
dahulu memiliki suatu kebiasaan dalam adat perkawinan, serta untuk melestarikan
kembali budaya-budaya Pakpak yang hampir punah.
Konsep penyajian tangis beru si jahe pada masa sekarang disesuaikan
dengan urutan penyajian tangis pada masa dahulu. Awalnya si beru jahe
menangisi ibunya dan mengungkapkan semua pertanyaan dalam hatinya mengapa
dia harus dikawin paksakan. Berikutnya beru sijahe akan menemui puhun(paman)
untuk meminta kepada pamannya jika bisa acara pernikahan tersebut dibatalkan.
Kemudian dia menjumpai bibinya dan menerima nasehat-nasehat dari bibinya.
Selanjutnya yaitu menjumpai kerabat terdekatnya untuk mengungkapkan kata-
kata perpisahan. Yang berbeda yaitu para penyaji harus mengikuti prosedur dan
setiap aturan-aturan yang diajukan oleh panitia, mengatur tata rias dan pakaian,
belajar vokal dan penghayatan.
Namun pada masa sekarang, setiap peserta mengejar suatu kemenangan
yaitu hadiah-hadiah yang dijanjikan oleh panitia lomba. Setiap peserta lebih
memperhatikan penampilan daripada makna sebenarnya dari nyanyian tersebut.
3.5 Hal-hal Yang Melatar Belakangi Terjadinya Perubahan
Berikut ini merupakan beberapa hal yang melatar belakangi terjadinya
perubahan dalam nyanyian tangis beru si jahe. Selain Perubahan Yang Terjadi
Dalam masyarakat yang mengikuti bagaimana perkembangan zaman, ada juga
beberapa hal lain yang menjadi latar belakang perubahan dari penyajian tangis
beru si jahe, antara lain yaitu:
1. Masuknya Agama
Sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke wilayah Pakpak, masyarakat
setempat menganut kepercayaan yang disebut persilihi atau perbegu. Persilihi
atau perbegu ini ialah suatu kepercayaan yang meyakini bahwa alam ini berada
dibawah kuasa pengaruh roh-roh gaib atau dengan adanya Dewa-Dewa maupun
roh-roh nenek moyang yang dikultuskan (lihat, Naiborhu, 1988 : 22-26). Seluruh
urusan adat diatur oleh aturan-aturan yang dibuat pertaki.
Akan tetapi, dengan datangnya agama Kristen ke daerah ini sekitar awal
abad ke-20, secara lambat laun telah turut membawa perubahan terhadap konsep
dan kebiasaan bernyanyi yang dianut oleh masyarakat Pakpak. Hal ini sejalan
dengan ajaran agama Kristen yang dalam pelaksanaan ibadahnya mengharuskan
jemaat untuk bernyanyi secara bersama-sama sebagai bagian dari tata
peribadatannya. Namun perlu diketahui, tradisi bernyanyi secara bersama-sama
ini hanyalah terbatas dalam konteks keagamaan saja. Nyanyian-nyanyian tradisi
selain Nangan (nyanyian berceritera) dan Ende-ende mendedah (Inggris: lullaby,
nyanyian menidurkan anak) tetap saja tidak lazim disajikan di depan umum,
bahkan sampai sekarang. Walaupun beberapa kali disaksikan nyanyian-nyanyian
pribadi disajikan di depan umum atas usaha dari generasi muda Pakpak untuk
mengangkatnya ke dalam pertunjukan, kondisi nyanyian ini tetap saja seperti
semula. Masyarakat tetap merasa malu (Pakpak: mela diri) dan sungkan (Pakpak:
malang ate) apabila harus bernyanyi didengar atau di hadapan orang lain, terlebih-
lebih bersama-sama dengan orang lain baik sejenis maupun dengan lawan jenis
(Tesis Torang Naiborhu)
Pengaruh agama yang semakin kuat menjadi salah satu faktor yang
mengikis kekuatan dan pengaruh kepercayaan lama. Hal ini disesuaikan dengan
visi dan misi keagamaan dan aturan-aturan keagamaan itu sendiri. Diatas tahun
60-an, masyarakat yang masih menganut kepercayaan lama diasingkan dan
dianggap tidak mengikuti aturan pemerintahan. Mereka biasanya berdomisili di
daerah-daerah terpencil dan semakin hari semakin merosot (wawancara dengan
Bapak Pandapotan Solin).
2. Kemajuan Ekonomi
Sebelum menjelang tahun 60-an sistem perekonomian di wilayah Pakpak
Bharat masih menganut sistem perdagangan. Dengan kata lain barang ditukar
dengan barang(barter). Emas dan kain yang bagus pada masa itu belum dianggap
sangat berharga seperti sekarang ini. Pada masa sekarang, emas dan kain-kain
yang bagus memiliki harga yang sangat tinggi. Tidak sembarang orang mampu
membeli emas dan pakian mahal tersebut. Berbeda dengan jaman dahulu,
perekonomian masih sistem barter.
3. Kemajuan Pendidikan
Sebelum mengecap dunia pendidikan masyarakat Pakpak pada umumnya
masih buta huruf. Kemajuan pendidikan menjadi salah satu faktor perubahan dari
penyajian tangis beru si jahe.
4. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Berkembangnya media sosial dan pengetahuan pada masyarakat Pakpak
menjadi salah satu hal yang melatar belakangi terjadinya perubahan dalam budaya
Pakpak. Internet, handphone dan media lain menjadi pengaruh besar terhadap
terjadinya perubahan dalam budaya Pakpak. Dulunya segala sesuatu dibicarakan
dari mulut ke mulut. Namun sekarang median sosial menjadi alat yang sangat
canggih untuk membantu pekerjaan manusia. Misalnya dalam hal mengundang
sanak saudara menghadiri suatu upacara adat, dapat menggunakan Handphone
sebagai alat bantu walaupun dipisahkan jarak yang sangat jauh, tanpa harus
berkunjung kerumah-rumah sanak saudara yang akan menghadiri pesta yang akan
digelar. Kemajuan dunia telekomunikasi seperti internet juga menjadi pengaruh
besar dalam perubahan yang terjadi dalam budaya Pakpak bahkan dunia.
Informasi-informasi terbaru yang setiap detiknya berubah dapat secara cepat dan
tepat diterima/diakses.
3.6 Fungsi Tangis Beru Sijahe
Berbicara mengenai fungsi musik, Alan P Merriam mengemukakan
sepuluh fungsi musik yaitu: 1) fungsi pengungkapan emosional, 2) fungsi
pengungkapan estetika, 3) fungsi hiburan, 4) fungsi komunikasi, 5) fungsi
perlambangan, 6) fungsi reaksi jasmani, 7) fungsi yang berkaitan dengan norma
sosial, 8) fungsi pengesahan lembaga sosial, 9) fungsi kesinambungan
kebudayaan, 10) fungsi pengintegrasian masyarakat. (1964: 219-226) .
Jika dilihat dari eksistensi, perubahan penyajian dan kontinuitas dari tangis
beru sijahe, maka penulis menemukan ada delapan fungsi musik yang terdapat
pada nyanyian tangis beru sijahe. Diantaranya, Fungsi pengungkapan emosional,
Fungsi hiburan, Sarana komunikasi, Fungsi perlambangan, Fungsi reaksi jasmani,
Fungsi norma-norma sosial, kesinambungan kebudayaan., fungsi pengesahan
lembaga sosial.
3.6.1. Fungsi Pengungkapan Emosional
Bunyi yang dihasilkan oleh musik mampu mempengaruhi emosional dari
pendengarnya. Baik sedih, senang, rindu dan lain sebagainya.
Dari hasil yang penulis telah uraikan, tangis beru sijahe disajikan didepan
sanak keluarga dari beru si jahe. Sehingga semua ungkapan perasaan yang ada
dalam hatinya dapat diungkapkan dan sangat wajar untuk diselesaikan bersama.
Hal ini dapat dilihat dari ungkapan beru si jahe berikut ini
“Nang...nggom(nggo mo) ko peahen kono menuman berumu le nang ni beruna”. (Ibu...apakah engkau telah bosan mengasuh putrimu, tidakkah engkau mengingat bagaimana sakitnya melahirkan aku)
Ungkapan emosional tersebut merupakan salah satu frase teks tangis beru
si jahe yang ditujukan sigadis kepada ibunya. Karena ibunya setuju dan rela
melepaskan si beru jahe untuk ikut dan bersatu dengan keluarga suaminya yang
masih sangat asing baginya. Si beru jahe menuduh ibunya telah bosan untuk
mengasuhnya.
Hal ini tidak sepenuhnya benar, namun diakibatkan kekhawatiran dari si
beru jahe apabila dia sudah berada di lingkungan keluarganya yang baru, dia tidak
mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian seperti yang diterimanya saat berada
dilingkungan keluarganya.
3.6.2. Fungsi komunikasi
Umumnya nyanyian mengandung makna-makna yang dapat
mempengaruhi pendengar. Nyanyian juga berfungsi sebagai sarana komunikasi
kepada pendengar. Demikian halnya dengan apa yang dirasakan beru si jahe, dia
mengungkapkan isi hatinya seolha-olah mengkomunikasikan kepada yang
mendengarkan tangisnya tentang apa yang dirasakannya. Yang diungkap dalam
teks nyanyian “nggom kepe peahen kono menuman berumu le nang ni beru na.”
Demikianlah salah satu frase teks nyanyian tangis beru si jahe yang
mengatakan bahwa orang tuanya tidak lagi menyayanginya bahkan mengatakan
bahwa ibunya sudah lupa saat-saat melahirkannya serta menuduh ibunya
menelantarkannya.
Hal ini diungkapkan si beru jahe dalam bahasa teks yang dalam
keseharian tidak layak untuk diungkapkan.
Selain itu si beru jahe juga mengungkapkan keluh kesahnya kepada
pamannya (puhunna). Dalam hal ini si beru jahe menuturkan segala kesedihan
yang dirasakannya lewat syair-syair tangisannya dengan tujuan untuk
meringankan beban dan kesedihannya bahkan berharap supaya pamannya
membatalkan perkawinan tersebut.
Selain beberapa hal diatas, sebelum tahun 60-an tangisan ini juga menjadi
syarat bahwa dalam waktu dekat akan ada yang melangsungkan perkawinan.
Masyarakat bisa memprediksikan tanpa harus ada yang mengumumkan secara
langsung.
3.6.3. Fungsi Perlambangan
Pada masyarakat Pakpak, tangis beru si jahe merupakan perlambangan
dari hal-hal, ide-ide serta tingkah laku si beru jahe dengan orang yang
ditangisinya. Dengan menyajikan tangis, beru si jahe akan diberi makan(nakan
pengindo tangis11). Orang tua beru si jahe akan menyuguhkan makanan berupa
daging ayam yang dimasak, namun ada bagian yang tidak bisa dimakan pada
masa itu yakni kepala ayam. Kepala ayam tersebut nantinya akan dikumpulkan
dari seluruh anggota keluarga yang ditemuinya dan ditangisinya yang kemudian
akan dibawa nantinya ke rumah suaminya sebagai lambang bahwa si beru jahe,
keluarga dan kerabat-kerabatnya adalah orang yang patuh terhadap adat.ada juga
bentuk perlambangan lain yang terdapat dalam lirik tangis beru si jahe yang
menyatakan penderitaan yang akan dialami nantinya di keluarganya yang baru.
Hal ini dapat dilihat dari pernyataan: “Nang...mela podinken enda berumu, tah
terjampa-jampa berumu mengkuso kusoi bage manuk medemken berumu i ladang
ni kalak le nang ni beruna, Bisa saja nanti putrimu ini merasa bingung karena
tidak tau apa yang akan ku perbuat.
11 nakan pengindo tangis: makanan yang disuguhkan oleh orang tua beru jahe sebagai
pertanda bahwa dia akan dinikahkan dalam waktu dekat.
3.6.4. Fungsi Reaksi Jasmani
Bagian akhir dari frasa teks tangis beru si jahe umumnya selalu diakhiri
dengan isakan tangis. Hal ini diakibatkan kesedihan yang mendalam yang
dirasakan si beru jahe. Hal tersebut akan berpengaruh besar terhadap orang yang
mendengarkan, jika mereka benar-benar memahami apa yang di ungkapkan beru
jahe tersebut maka mereka juga akan ikut mengeluarkan air mata seolah-olah
mereka ikut merasakan kesedihan si beru jahe tersebut. Demikian juga terhadap
orang yang ditangisi. Mimik, ekspresi dan tangisan si beru jahe akan
mempengaruhi pendengar seolah-olah memberitahukan betapa sedihnya
perasaannya pada masa itu.
3.6.5. Fungsi norma-norma sosial
Paman memiliki kedudukan tertinggi dalam upacara adat masyarakat
Pakpak. Apabila paman membatalkan untuk menikahkan seorang keponakannya
maka tidak ada yang bisa melarang. Hal tersebut menandakan bahwa Paman
memiliki hak mutlak dalam adat.
3.6.6. Fungsi Kesinambungan Kebudayaan
Adanya festival dan pertunjukan tangis beru si jahe menjadi salah satu
wujud dari kesinambungan kebudayaan. Kelanjutan dari tangis beru si jahe ini
menjadi salah satu wacana untuk mengangkat kembali, melestarikan dan
mengenalkan seperti apa tangis beru si jahe tersebut kepada msyarakat khususnya
masyarakat Pakpak.
3.6.7. Fungsi Lembaga Sosial
Lembaga sosial (yang menyangga kebiasaan-kebiasaan adat)
dapatdisahkan oleh lagu-lagu yang ikut menyangga kebiasaan adat dan untuk
mentaati peraturan-peraturan adat (merriam)
Dalam hal ini tangis yang ditujukan kepada orang tua, paman, bibi dan
kerabat selain sebagai ungkapan perasaan juga merupakan permohonan
dukungan dari mereka melalui nasehat, materi sebagai bekal perkawinan yang
akan diberikan kepada beru si jahe tersebut. Melalui pemberian-pemberian
tersebut diatas sudah merupakan salah satu pertanda bahwa secara adat
kelompok sosial tersebut sudah memberikan pengesahan melalui apa yang
mereka berikan masing-masing kepada beru si jahe.
3.6.8. Fungsi Hiburan/ Pertunjukan
Tangis beru si jahe sudah mengalami pergeseran fungsi yang dahulunya
berfungsi sebagai upacara adat namun saat sekarang sudah dipertunjukkan di
depan umum sebagai bentuk hiburan bahkan sudah berkali-kali difestivalkan
yang mana pemenang festival mendapat hadiah dan penghargaan. Dalam hal ini
yang lebih diutamakan adalah penampilan dan keindahan dari apa yang mereka
pertunjukkan.
BAB IV
KAJIAN TEKSTUAL DAN MUSIKAL TANGIS BERU SI JAHE
4.1 Kajian Tekstual Tangis Beru Si Jahe
4.1.1 Analisis Semiotik Terhadap Teks Tangis Beru Si Jahe menangisi
inangna dan menangisi puhunna oleh Ibu Tamma Br.Bancin
Penulis menggunakan teori semiotika untuk menjelaskan tentang isi
daripada teks tangis beru si jahe. Seperti yang telah disebutkan dalam BAB I
Halaman 16, bahwa Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhu-
bungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain,
pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
Semiotika dan teori komunikasi adalah dua hal yang sangat mirip sehingga sering
disebut sebagai semiotika komunikasi. Komunikasi terjadi dengan perantaraan
tanda-tanda dengan mengemukakan sesuatu (representamen) berdasarkan makna
denotatum, designatum atau makna yang ditunjuknya. 12 Dalam melakukan
analisis semiotika, pembahasannya antara lain mencakup pada hal-hal yang
berkaitan dengan: semiotika binatang (zoosemiotics); paralinguistik
(paralinguistics); bahasa alam (natural language); komunikasi visual (visual
communication); kode-kode musik (musical codes); kode rahasia; sistim objek;
dan lain-lain.13
Sebelum menganalisis bagaimana makna dan struktur dari teks tangis beru
si jahe, penulis lebih dahulu akan menuliskan teks dari nyanyian tersebut. Berikut
12 Tesis Torang Naiborhu 13 Tesis Torang Naiborhu
merupakan isi teks yang disajikan oleh Ibu Tamma Br. Bancin menangisi inangna
yang saya terjemahkan dibantu oleh Ibu Sekdes Sukaramai Br.Solin ke dalam
bahasa Indonesia.
Penyaji tangis : Tamma Br.Bancin
Tempat Rec. : Desa Sukaramai, Pakpak Bharat
Tanggal Rec. : 25 juli 2014
Oleh : Erni Juita BN Ket : (P) Pakpak, (I) Indonesia
(P) : Nang...nggom (nggo mo) ko peahen kono menuman berumu le nang ni beruna
(I) : Ibu...apakah engkau telah bosan mengasuh putrimu, tidakkah engkau mengingat bagaimana sakitnya melahirkan aku
(P) : Nang...padan mo ko kepeken mengayak oles deba metem engket emas nggersing asa berumu i penuman numan kono inang ni beruna
(I) : Mengapa ibu hanya menginginkan kain yang mahal dan emas yang begitu banyak tanpa mengingat bagaimana sakitnya melahirkan aku
(P) : O...kepeken bage memurpurken lae mbergoh kono karinana mendahi daging simelala
(I) : O...sepertinya Ibu hanya menginginkan kemewahan itu tanpa memikirkan perasaan Putrimu. Dan menganggap bahwa aku sudah mati
(P) : Nang...padin mo kepeken inang ni beruna engket bapani beruna mengayaki oles deba metem, emas deba nggersing sa berumu i penuman numan ko inang ni beruna
(I) : Ternyata lebih bagi Bapak dan Ibu menginginkan kain yang mahal, dan emas yang banyak tanpa memikirkan bagimana perasaan putrimu ini
(P) : O...molo padinken enda tah terjampa-jampa mo berumu i ladang ni kalak le nang ni beruna
(I) : O..kalaulah aku sudah pergi kekampung yang akan kutuju, aku bagaikan seseorang yang tidak tau arah dan tujuan
(P) : Nang...mela kalak menuman berumu tah tertingkah lae nciho si cegen, tertingkah lae meletuk molo cibon berumu i ladang ni kalak le inang ni beruna
(I) : akan merasa malulah aku nantinya jika aku tidak tau tujuan mereka. Apabila nanti aku dikampung orang, aku salah tingkah dan tak tau apa yang harus kukerjakan
(P) : Nang...mela kono menuman berumu pateari sada pe pateari dua bekas berumu, ulang ko sondat mermari mangan taba berumu le nang ni beruna
(I) : Ibu..ketika aku sudah berada dikampung orang maka ingatlah putrimu ini hari demi hari
(P) : Nang...mela kalak menuman berumu tah bage pilian mencalit sora ni kalak bage renggur mesora
(I) : padahal, bagaimana perasaanmu jika putri orang lain merasakan apa yang aku rasakan ini dimana engkau mengeluarkan suara sekuat bunyi petir ketika dia tidak tau harus berbuat apa dan mengerjakan apa
(P) : Nang...mela podinken enda berumu, tah terjampa-jampa berumu mengkuso kusoi bage manuk medemken berumu i ladang ni kalak le nang ni beruna
(I) : Bisa saja nanti putrimu ini merasa bingung karena dia tidak tau apa yang akan dia perbuat
(P) : Nang...tah mengkuso kusoi mo berumu dalan mi juma, tah dalan mi lae mo berumu podinken enda ladang ni kalak inang ni beruna
(I) : karena kebingungannya maka putrimu bagaikan seseorang yang tidak tau jalan menuju ladang, dan jalan menuju sungai
(P) : Nang...menadingken page ntasak mendapatken page tuhur mo berumu menadingken si nggo ramah mendapatken lako ki tutur berumu le nang ni beruna
(I) : Ibu...aku akan meninggalkan semua kebiasaanku saat masih bersamamu dan akan menjumpai hal yang baru serta memulai kehidupan dari awal
(P) : O...mela berumu podinken enda tah bage biah merdokar mo i ladang ni kalak ibaen deba berumu le nang ni beruna
(I) : O..kalaulah aku dipaksakan menikah, apakah kamu pernah memikirkan bahwa mereka nantinya hanya menjadikanku untuk memperbanyak keturunan mereka
(P) : Nang...cemal kin ngo i bere kono berumu pateari sada pe pateari dua bekas berumu oda ko sondat mermari ko mangan tabah berumu le nang ni beruna
(I) : Ibu..ketika aku sudah berada dikampung orang maka ingatlah putrimu ini hari demi hari, ingatlah bagaimana selama ini engkau menyediakan apa yang aku perlukan.
(P) : Nang...mela podinken enda mela kalak menuman berumu tah bage renggur mencalit me sora ni kalak menergang berumu inang ni beruna
(I) : lebih baik aku tinggal saja dirumah ini daripada nantinya aku diperlakukan tidak baik dirumah orang lain
(P) : O...padin mo ko kepeken mengayaki emas deba nggersing, oles deba metem asa berumu i penuman numan ko le nang ni beruna
(I) : Mengapa ibu hanya menginginkan kain yang mahal dan emas yang begitu banyak tanpa mengingat bagaimana sakitnya melahirkan aku
(P) : Nang...menisi nisi mo berumu bage sira si kurang mbue sili sili tah menisi nisi mo berumu sili so sili bage sira si kurang mbue le nang ni beruna
(I) : dirumah yang akan aku tuju, aku akan terasing selalu karena aku belum mengenal mereka
(P) : O...tah bage biahat merdokar me sora ni kalak ndahi berumu le nang ni beruna
(I) : seperti suara harimau yang akan menerkam mangsanya lah nantinya suara mereka kepadaku jika aku tidak tau apa yang akan aku kerjakan
(P) : Nang...ipurpurken kono pe berumu i tabah berumu perosongenna sirang tanoh mate
(I) : Sama saja engkau menyuruh aku untuk bunuh diri jika aku jadi dengan pilihanmu
(P) : Nang...mela kono menuman berumu batang-batang si kurang monggal, uruk-uruk si kurang dates bekas berumu tertabah bekas berumu kabar-kabar oda ko sondat merborih lako mangan bage ntualuh kebonen ari, sora berumu mendok mangan le inang ni beruna
(I) : padahal nanti putrimu seperti salah duduk dan salah berdiri dalam mengerjakan segala pekerjaan di keluarga yang kutuju. Ingatlah putrimu ini selalu Ibu, yang memanggil-manggilmu pada saat kelaparan. (P) : O...mela kalak menuman berumu tah bage pulian cu merpari bage
renggur mencalit sora ni kalak inang ni beruna (I) : padahal, bagaimana perasaanmu jika putri orang lain merasakan apa yang
aku rasakan ini dimana engkau mengeluarkan suara sekuat bunyi petir ketika dia tidak tau harus berbuat apa dan mengerjakan apa
(P) : Nang...tah bage tertingkah lae nciho mela cibon, tertingkah lae meletuk mo beru mu le nang ni beruna
(I) : merasa malulah nantinya aku, seolah-olah aku tidak tahu ke mana arah dan tujuan hidupku.
Berikut isi teks tangis beru si jahe menangisi Puhunna
(P) : Nang...nggo mo kepeken Bapani bere berena menuman daging si melala14
(I) : Paman ternyata aku sama saja seperti orang yang sudah meninggal (P) : Nang padin mo ko kepeken bapani bere berena menuman kalak asa
beremu i penuman numan kono bapani bere berena
14 Daging si melala: merupakan perumpamaan dalam bahasa Pakpak untuk menyebutkan
seseorang yang dianggap sudah mati
(I) : Ternyata engkau Paman sama saja seperti orang lain yang sama sekali tidak memperdulikan perasaan keponakanmu
(P) : Nang mela kono menuman beremu, nggo kepe peahen kono menuman beremu bapa ni bere berena
(I) : Engkau merasa malu memiliki keponakan seperti ku, dan ternyata engkau tidak memperdulikan apa yang ku rasakan
(P) : Nang...nggo mo kepeken karinana memurpurken daging si melala inang ni beruna dekket bapani berruna puhun ni turang dekket bapani bere berena
(I) : Ternyata orang tuaku menganggap aku seperti orang sudah mati demikian halnya dengan engkau paman
(P) : Nang...bage memurpurken lae mbergoh mo ko kepeken menuman daging si melala bapa ni bere berena
(I) : Engkau seperti hanya menginginkan kemewahan tanpa tahu bagaimana perasaanku paman
(P) : Nang...karinana ke kepeken nggo peahen menuman daging si melala sa memurpurken lae mbergoh mo kepeken kene tabah daging si melala bapa ni bere berena
(I) : Semua sudah menganggap bahwa aku sudah mati dan tidak seorangpun memikirkan perasaanku paman
4.1.2 Isi Teks
Jika dilihat dari makna dan struktur teks yang tertera diatas, penulis
meyakini bahwa ada beberapa pesan yang terkandung didalamnya. Mulai dari
perpisahan:
Teks di atas menceritakan tentang bagaimana penyaji mengungkapkan isi
hatinya kepada ibu dan pamannya saat dia hendak dinikahkan. Dia menuduh
bahwa ibunya sudah tidak lagi menyayanginya, tidak lagi perduli akan
kehidupannya kedepan dan menuduh ibunya mencampakkannya. Dia merasa
khawatir jika nantinya dikeluarganya yang baru dia hanya dijadikan sebagai
pembantu, diasingkan bahkan dianggap hanya untuk memperbanyak keturunan
saja, ditelantarkan dan hanya dijadikan sebagai pembantu. Dia merasa khawatir
jika nantinya dikeluarganya yang baru dia hanya dijadikan sebagai pembantu,
diasingkan bahkan dianggap hanya untuk memperbanyak keturunan saja,
ditelantarkan dan hanya dijadikan sebagai pembantu.
Demikian halnya dengan tangis yang ditujukan kepada Paman (Puhun:
memiliki kedudukan tertinggi dalam perlakuan adat). Dia menginginkan
dukungan dari pamannya, supaya perkawinan yang telah disetujui Ayah dan
Ibunya, dapat dibatalkan oleh paman. Dia juga menuduh bahwa Pamannya sudah
tidak lagi menyayanginya bahkan tidak memikirkan tentang perasaannya.
4.1.3 Makna Teks
Penyaji dalam teks tangis beru si jahe pada umumnya menggunakan
kiasan dan perumpamaan. Ada terdapat beberapa makna yang saya lihat dari isi
teks tersebut, yaitu: Sebagai ungkapan rasa sedih dan rasa takut akan apa yang
nantinya akan dirasakan beru si jahe di kehidupan keluarganya yang baru.
Misalnya beberapa isi teks berikut yang menyatakan harapan dari beru si jahe
pada saat dia tidak bersama dengan orang tuanya “Nang...mela kono menuman
berumu pateari sada pe pateari dua bekas berumu, ulang ko sondat mermari
mangan taba berumu le nang ni beruna. Ibu..ketika aku sudah berada dikampung
orang maka ingatlah putrimu ini hari demi hari.
Berikutnya ada juga tuduhan beru si jahe terhadap orangtuanya bahwa
mereka tidak memikirkan perasaaan putrinya seperti ungkapan berikut
“Nang...padin mo kepeken inang ni beruna engket bapani beruna mengayaki oles
deba metem, emas deba nggersing sa berumu i penuman numan ko inang ni
beruna. Ternyata lebih bagi Bapak dan Ibu menginginkan kain yang mahal, dan
emas yang banyak tanpa memikirkan bagimana perasaan putrimu ini.”
Makna selanjutnya adalah harapan dan doa kepada keluarga yang akan
ditinggalkan oleh beru si jahe “Nang...cemal kin ngo i bere kono berumu pateari
sada pe pateari dua bekas berumu oda ko sondat mermari ko mangan tabah
berumu le nang ni beruna. Ibu..ketika aku sudah berada dikampung orang maka
ingatlah putrimu ini hari demi hari, ingatlah bagaimana selama ini engkau
menyediakan apa yang aku perlukan.” Dan ungkapan berikut
“Nang...menadingken page ntasak mendapatken page tuhur mo berumu
menadingken si nggo ramah mendapatken lako ki tutur berumu le nang ni beruna.
Ibu...aku akan meninggalkan semua kebiasaanku saat masih bersamamu dan akan
menjumpai hal yang baru serta memulai kehidupan dari awal.”
4.1.4 Pemilihan Teks
Dalam teks tangis beru si jahe, terdapat istilah-istilah yang digunakan
penyaji tangis dalam penyampaian kata-kata tangisannya. Dengan kata lain,
istilah itu ditujukan kepada orang-orang yang ditangisinya, seperti pada contoh
berikut ini.
Nang ni beruna sebutan untuk Ibu (Ibu dari Putrimu)
Bapa ni beruna sebutan untuk Ayah (Ayah dari Putrimu)
Bapa ni bere-berena sebutan untuk Paman (Paman dari Keponakan)
4.2 Kajian Musikal Tangis Beru Si Jahe
Penulis berpedoman pada teori yang dikemukakan oleh William P.Malm
(1977:3) yang dikenal dengan teori weighted scale. Dimana dikatakan bahwa hal-
hal yang harus diperhatikan dalam pendeskripsian melodi, adalah: tangga nada
(scale), nada dasar (pitch center), wilayah nada (range), jumlah nada (frequency of
note), jumlah interval, pola kadensa, formula melodi (melody formula), dan
kontur (contour).
Simbol Dalam Notasi
1.
Garis paranada yang memiliki lima buah garis paranada dan empat buah
spasi dengan tanda kunci G
2.
Simbol yang menyatakan freemeter
3.
Terdiri atas empat buah not 1/16 yang digabung menjadi seperempat ketuk
4.
Terdiri atas dua buah not 1/16 yang digabung menjadi seperempat ketuk
5.
Tanda istirahat (rest) ½ yang bernilai dua ketuk
6.
Tanda istirahat (rest) ¼ yang bernilai satu ketuk
7.
Tanda istirahat (rest) 1/16 yang bernilai ¼ ketuk
4.2.1 Tangga Nada (Scale)
Dalam pendeskripsian tangga nada, penulis membuat urutan-urutan dari
nada-nada yang terdapat dalam melodi nyanyian tersebut dimulai dari nada yang
terendah sampai nada yang tertinggi
4.2.3 Nada Dasar (pitch center)
Untuk menentukan nada dasar dari nyanyian tangis beru si jahe, maka
penulis berpedoman dengan pendapat yang dikemukakan Bruno Nettl dalam
bukunya “Theory and Method in Ethnomusicology” bahwa nada dasar merupakan
nada yang terdapat dibagian awal atau dibagian akhir dalam suatu
komposisi.Berdasar atas hal tersebut , maka nada dasar yang terdapat dalam
nyanyian tangis beru si jahe baik menangisi inangna maupun menangisi puhunna
adalah C.
4.2.4 Wilayah Nada (range)
Berikut merupakan wilayah nada yang diurutkan dari nada terendah
hingga nada tertinggi .
4.2.5 Jumlah Nada
Jumlah nada merupakan banyaknya nada yang dipakai dalam suatu musik
atau nyanyian. Banyaknya nada yang terdapat pada nyanyian tangis beru si jahe
dapat dilihat dari garis paranada berikut ini
Dari gambar diatas, dapat dilihat bahwa jumlah nada C sebanyak 7 buah,
sedangkan jumlah nada G sebanyak 178 buah, jumlah nada D sebanyak 10 buah,
jumlah nada Ais sebanyak 19 buah dan jumlah nada B sebanyak 2 buah
Untuk nada C
Untuk nada G
Untuk nada D
Untuk ada Ais
Untuk nada B
4.2.6 Jumlah Interval
Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain yang terdiri
dari interval naik maupun turun. Sedangkan jumlah interval merupakan
banyaknya interval yang dipakai dalam suatu musik atau nyanyian. Berikut ini
merupakan interval dari nyanyian tangis beru si jahe.
Tabel : Jumlah Interval
Interval Jumlah interval
1 P
2 Aug
4 P
5 P
6 P
3 M
164
17
2
14
2
1
4.2.7 Pola Kadensa (Cadence Patterns)
Kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi sebagai penutup
pada akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga dapat dengan sempurna
menutup melodi tersebut.
4.2.8 Formula Melodi (Melody Formula)
Formula melodi yang dibahas dalam tulisan ini terdiri atas bentuk, frasa,
dan motif. Bentuk adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu
pola melodi. Frasa adalah bagian-bagian kecil dari melodi. Sedangkan motif
adalah ide melodi sebagai dasar pembentukan melodi.
Berikut beberapa istilah untuk menganalisis bentuk, yang dikemukakan
oleh William P. Malm :
1. Repetitif yaitu bentuk nyanyian yang diulang-ulang
2. Ireratif yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang
kecil dengan kecenderungan pengulang-pengulang di dalam
keseluruhan nyanyian
3. Strofic yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks
nyanyian yang baru atau berbeda
4. Reverting yaitu bentuk yang apabila dalam nyanyian terjadi
pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi penyimpangan-
penyimpangan melodi.
5. Progressive yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan
menggunakan materi melodi yang selalu baru.
Jika dilihat dari apa yang dikemukakan Malm mengenai bentuk nyanyian,
maka penulis mengambil kesimpulan bahwa melodi dan nyanyian tangis ini
adalah repetitive yang artinya menggunakan melodi yang berulang-ulang dengan
teks yang berbeda.
4.2.8.1. Analisis Bentuk dan Frasa pada Tangis Beru Si Jahe
Secara garis besar bentuk, frasa, dan motif dalam tangis beru si
jahe adalah sebagai berikut :
1. Bentuk yang terdapat pada nyanyian tangis beru si jahe terdiri atas 25
bentuk yaitu bentuk A-A-A-B-A-A-A’-A
2. Terdapat 6 frasa dalam nyanyian ini, hal ini dapat dilihat dari partitur lagu
4.2.9. Kontur (contour)
Malm (1977: 13) membedakan beberapa jenis kontur, yakni:
1) Ascending yakni garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada
yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi
2) Descending yakni garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari
nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah.
3) Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari
nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi
ke nada yang lebih tinggi atau sebaliknya
4) Conjunct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu
nada ke nada yang lain baik naik maupun turun
5) Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang
lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih
rendah ke nada yang lebih tinggi
6) Disjunct yaitu melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada
yang lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor
maupun minor
7) Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai
batasan-batasan.
Garis kontur yang terdapat pada melodi tangis beru si jahe baik menangisi
inangna maupun menangisi puhunna adalah ascending, descending, dan
static. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Paranada garis kontur ascending
Paranada garis kontur descending
Paranada garis kontur static
4.2.10. Analisis Ritem
1. Tempo : -
2. Durasi not : 1’. 36”
3. Meter : Free meter
Tangis beru si jahe memiliki meter bebas. Dengan tidak memiliki tempo.
Nyanyian ini mengalir dan melodinya tetap sama namun teks nya yang berubah-
ubah.
4.2.11. Pola Melodi yang Diulang
Catatan : pola melodi yang terdapat dalam tangis beru si jahe yang menangisi
inangna maupun menangisi puhunna tersebut cenderung berulang-ulang
(repetitif). Dengan demikian penulis tidak mentranskripsikan kedua nyanyian
tersebut
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Tangis beru si jahe merupakan nyanyian ratapan seorang gadis yang akan
dipinang dan dinyanyikan menjelang pernikahannya. Tangis beru sijahe hanya
dinyanyikan oleh perempuan. Tangis beru si jahe disajikan dan ditujukan kepada
orangtua beru sijahe, kerabat terdekat dengan cara mendatangi rumah mereka
masing-masing. Selain itu, orang-orang yang didatangi oleh beru sijahe tersebut
akan memberi dia makan (nakan pengindo tangis) dimana tinggi rendahnya status
sosial adat beru sijahe tersebut ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah kepala
ayam yang nantinya akan dibawa menuju tempat mertuanya. Semakin banyak
kepala ayam yang diterima oleh beru sijahe, maka akan semakin tinggi pula status
sosial adatnya dihadapan keluarga suaminya.
Perubahan berasal dari dalam lingkungan kebudayaan atau internal, dan
perubahan juga bisa berasal dari luar kebudayaan atau eksternal. Perubahan secara
internal meurpakan perubahan yang timbul didalam dan dilakukan oleh pelaku-
pelaku kebudayaan itu sendiri, dan juga disebut inovasi. Sedangkan perubahan
eksternal merupakan perubahan yang timbul akibat pengaruh yang dilakukan oleh
orang-orang dari luar lingkup budaya tersebut. Merriam menambahkan bahwa
kelanjutan dan perubahan merupakan suatu tema yang digunakan untuk
memahami sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan.
Pada masa sekarang tangis beru si jahe disajikan untuk kepentingan
umum. Nyanyian ini sudah dipertunjukkan dihadapan umum bahkan sudah
berkali-kali difestivalkan. Nyanyian ini disajikan dengan berbagai cara dan
dengan persiapan yang matang. Misalnya untuk festival, para penyaji harus
mengikuti prosedur dan segala aturan yang diutarakan oleh para Juri.
5.2 Saran
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
sebab itu, dengan rendah hati penulis menerima saran dan kritik yang membangun
demi kesempurnaan tulisan ini. Seperti pepatah mengatakan ‘tiada gading yang
tak retak’ demikian halnya tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan.
Penulis menyarankan kepada masyarakat Pakpak khususnya generasi
muda untuk tetap mencintai budaya dan tradisi yang ada dalam masyarakat
Pakpak serta memberikan perhatian baik terhadap seni musik, vokal dan tari.
DAFTAR PUSTAKA
Berutu, Lister. 2006. Adat & Tata cara Perkawinan Masyarakat Pakpak.
Medan: Grasindo Monoratama.
Butar-Butar, Monang. Kajian Tekstual dan Musikologis Tangis Beru Sijahe
Pakpak Dairi Di Desa Silima Kuta Kecamatan Salak, Skripsi
Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara.
Dewi, Heristina. 2008. Masyarakat Kesenian Di Indonesia “Masyarakat dan
Kesenian Pakpak-Dairi”. Medan: Studia Kultura, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara.
Ginting, Novalinda Tringani. Kontinuitas Dan Perubahan Gendang Patam-
Patam Dalam Musik Tradisional Karo. Skripsi Sarjana S-1,
Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara.
Jansen H. Sinamo, DAIRI The Hidden Prosperity.2000.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka
Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id)
Koentjaraningrat. 1990. Penelitian yang bersifat deskriptif
Malm, William P. 1964. Music Culture of Pasific, the Near East and Asia.
Manik, Marliana. 2013. Analisis Fungsi Sosial, Tekstual Dan Musikal Tangis
Simate Pada Masyarakat Pakpak Di desa Siompin, Aceh Singkil.
Skripsi Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western
University Press.
Merriam, Alan P. 1964. Music and Culture is Dynamic dalam buku The
anthropology of Music. Chicago: North Western University Press.
Naiborhu, Torang, 2004.” Musik Pakpak Dairi di Sumatera Utara,” dalam
Ben Pasaribu (ed), Pluralitas Musik Etnik. Medan: Pusat
Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak. Universitas HKBP
Nommensen.
1993.
Tesis. Odong-odong: Nyanyian Ratapan Rimba Pakpak Dairi.
Analisa Tekstual dan Musikologis. Medan: Lembaga Penelitian
USU.
Nainggolan, Leonald. Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo Pada
Masyarakat Toba di Desa Gajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten
Asahan. Skripsi Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas
Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Netll, Bruno. 1964. “Theory and Method In Ethnomusicology” New York:
Free Press
Whitney. 1960. Metode Deskriptif Analitis
Saragih, Tumpal. Teknik Dasar Permainan Sarune Pakpak di Desa Sukaramai,
Kecamatan Raja, Kabupaten Pakpak Bharat. Skripsi Sarjana S-1,
Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara
Sidabutar, Bonggud. 2013. Sulim Batak Toba: Sebagai Kontinuitas dan
Perubahan. Skripsi Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi,
Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara
Sinaga, Saridin. 2009. Kajian Organologis Arbab Simalungun Buatan Bapak
Arisden Purba di Huta Manik Saribu Nagori Sait Buttu Saribu
Kecamatan P. Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Skripsi Sarjana
S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas
Sumatera Utara
Sitohang, Martahan. Perubahan dan Kontinuitas Ritual Pembuatan Taganing di
Desa Turpuk Limbong, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir.
Skripsi Sarjana S-1, Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara
Soduppangon, Dussel. 2012. Pengaruh Konsili Vatikan II Terhadap Inkulturasi
Musik Liturgi Dalam Ofisi Di Biara Ordo Kapusin Santo Fransiskus
Asisi Pematang Siantar. Skripsi Sarjana S-1, Departemen
Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Tamma Br. Bancin Umur : 79 tahun Pekerjaan : Petani Pengalaman Seni : Penyanyi Pakpak, Penyaji Tangis Beru Si Jahe Alamat : Desa Sukaramai, Kec. Kerajaan, Kabupaten
Pakpak Bharat
2. Nama : Merti Br Tumangger Umur : 61 tahun Pekerjaan : Petani Pengalaman seni : Penyaji Tangis Beru Sijahe
Alamat : Desa lae mbuturen, kecamatan kerajaan, Pakpak Bharat
3. Nama : Sorti Br. Tinambunan
Umur : 60 tahun Pekerjaan : Petani Pengalaman seni : Penyaji Tangis Beru Sijahe Alamat : Desa Kuta Tinggi, Pakpak Bharat
4. Nama : Pandapotan Solin Umur : 49 Tahun Pekerjaan : Pengukir dan pembuat alat musik Tradisional
Pakpak Pengalaman seni : Pemusik Tradisional Pakpak, Pembuat alat musik
tradisional Pakpak, Pelaku seni Alamat : Desa Sukaramai, Kec. Kerajaan, Pakpak Bharat
5. Nama : Marseti Br. Munthe Umur : 45 tahun Pekerjaan : Guru Sekolah Dasar Pengalaman Seni : Penyaji Tangis Beru Sijahe Alamat : Desa Sukaramai, Kec.Kerajaan, Pakpak Bharat
6. Nama : Romasta Uli br. Solin Umur : 45 tahun Pekerjaan : Sekretaris Desa Sukaramai Pengalaman Seni : Pelatih Tari, Penyaji Tangis Beru Sijahe Alamat : Sukaramai, Kec.Kerajaan, Pakpak Bharat
7. Nama : Mansehat Manik Umur : 56 Tahun Pekerjaan : Anggota DPRD Kab. Pakpak Bharat Pengalaman seni : Budayawan Pakpak, Pelaku seni, pemilik salah satu
museum Budaya Pakpak Alamat : Kota Salak, Pakpak Bharat
8. Nama : Era Banurea Umur : 47 Tahun Pekerjaan : Mantan Anggota DPRD Kab.Pakpak Bharat Pengalaman seni : Penari Tradisional maupun Tari Kreasi Baru
Pakpak, Pemusik Tradisional Pakpak, Budayawan Pakpak
Alamat : Desa Salak II, Pakpak Bharat
9. Nama : Mardi Boangmanalu Umur : 25 tahun Pekerjaan : petani Pengalaman seni : Pemusik Tradisional Pakpak Alamat : Aornaken, Pakpak Bharat
Recommended