View
266
Download
5
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Stroke sudah dikenal sejak dulu kala, bahkan sebelum zaman Hippocrates.
Soranus dari Ephesus (98 -138) di Eropa telah mengamati beberapa faktor yang
mempengaruhi stroke. Hippocrates adalah Bapak Kedokteran asal Yunani. Ia
mengetahui stroke 2400 tahun silam. Kala itu, belum ada istilah stroke.
Hippocrates menyebutnya dalam bahasa Yunani: apopleksi. Artinya, tertubruk
oleh pengabaian. Sampai saat ini, stroke masih merupakan salah satu penyakit
saraf yang paling banyak menarik perhatian. (Aliah A,2007) Berdasarkan definisi
dari WHO, stroke adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik
fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, selama lebih
dari 24 jam atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab lain selain
gangguan vaskuler. Gangguan sirkulasi ini dapat disebabkan oleh beberapa
patofisiologi, diantaranya thrombosis, emboli dan perdarahan. (WHO, 2013)
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan, stroke merupakan
penyebab kematian dan kecacatan utama hampir di seluruh RS di Indonesia. Satu
dari 7 kematian disebabkan oleh stroke dan dari 1.000 orang Indonesia, 8 di
antaranya pernah mengalami stroke baik ringan maupun berat. (Depkes, 2012)
Penyakit serebrovaskular merupakan masalah kesehatan utama di Amerika
Serikat dan banyak negara lainnya termasuk Indonesia. Kemajuan yang di capai
dalam bidang epidemiologi, etiologi dan patogenesis dari penyakit
serebrovaskular telah menghasilkan pendekatan baru dalam diagnosa dan
pengobatannya. Beberapa obat telah terbukti bermanfaat untuk pengobatan
penyakit serebrovaskular. Obat–obatan ini dapat dikelompokkan atas 2 kelompok
yaitu obat–obatan anti trombotik yang meliputi anti koagulan, anti platelet dan
trombolitik; serta obat yang melindungi sel saraf (nerve cell protectants) berupa
calsium channel blockers seperti nimodipine dan beberapa zat yang masih dalam
tahap eksperimental.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Terapi Anti Trombotik
Secara garis besar proses pembekuan darah berjalan melalui 3 tahap, yaitu: 1.
Aktifitas tromboplastin; 2. Pembentukan trombin dari protrombin; 3.
Pembentukan fibrin dari fibrinogen.
Dalam proses ini di butuhkan faktor–faktor pembekuan darah, yang sampai
saat ini telah dikenal 15 faktor. Proses pembekuan darah akan dihentikan oleh
sistem anti koagulan dan fibrinolitik di dalam tubuh. Faktor-faktor yang
menghentikan proses pembekuan darah adalah: 1. Larutnya faktor pembekuan
darah dalam darah yang mengalir. 2. Metabolisme bentuk aktif faktor pembekuan
darah oleh hati. 3. Mekanisme umpan balik di mana trombin menghambat
aktifitas faktor V dan VIII. 4. Adanya mekanisme anti koagulasi alami terutama
oleh antitrombin III, protein C dan S.
Penggunaan obat anti trombotik bertujuan mempengaruhi proses trombosis
atau mempengaruhi pembentukan bekuan darah (clot) intravaskular, yang
melibatkan platelet dan fibrin. Obat anti platelet bekerja mencegah perlekatan
(adesi) platelet dengan dinding pembuluh darah yang cedera atau dengan platelet
lainnya, yang merupakan langkah awal terbentuknya trombus. Obat anti koagulan
mencegah pembentukan fibrin yang merupakan bahan esensial untuk
pembentukan trombus. Obat trombolitik mempercepat degradasi fibrin dan
fibrinogen oleh plasmin sehingga membantu larutnya bekuan darah.
2.2 Anti Trombosit.
Anti trombosit (anti platelet) adalah obat yang dapat menghambat agregasi
trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang
terutama sering ditemukan pada sistem arteri. Beberapa obat yang termasuk
golongan ini adalah aspirin, sulfinpirazon, dipiridamol, dekstran, tiklopidin,
prostasiklin ( PGI-2 ). Obat anti trombosit yang telah terbukti efektifitasnya dalam
pencegahan stroke adalah :
2
Aspirin (asetosal, asam asetil-salisilat). Aspirin bekerja mengasetilasi
enzim siklooksigenase dan menghambat pembentukan enzim cyclic
endoperoxides. Aspirin juga menghambat sintesa tromboksan A-2 (TXA-2) di
dalarn trombosit, sehingga akhirnya menghambat agregasi trombosit. Aspirin
menginaktivasi enzim-enzim pada trombosit tersebut secara permanen.
Penghambatan inilah yang mempakan cara kerja aspirin dalam pencegahan stroke
dan TIA (Transient Ischemic Attack). Pada endotel pembuluh darah, aspirin juga
menghambat pembentukan prostasiklin. Hal ini membantu mengurangi agregasi
trombosit pada pembuluh darah yang rusak.
Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa aspirin dapat menurunkan
resiko terjadinya stroke, infark jantung non fatal dan kematian akibat penyakit
vaskular pada pria dan wanita yang telah pernah mengalami TIA atau stroke
sebelumnya.
Farmakokinetik : Mula kerja : 20 menit -2 jam. Kadar puncak dalam plasma:
kadar salisilat dalarn plasma tidak berbanding lurus dengan besarnya dosis.
Waktu paruh: asam asetil salisilat 15-20 rnenit ; asarn salisilat 2-20 jam
tergantung besar dosis yang diberikan. Bioavailabilitas: tergantung pada dosis,
bentuk, waktu pengosongan lambung, pH lambung, obat antasida dan ukuran
partikelnya. Metabolisrne : sebagian dihidrolisa rnenjadi asarn salisilat selarna
absorbsi dan didistribusikan ke seluruh jaringan dan cairan tubuh dengan kadar
tertinggi pada plasma, hati, korteks ginjal , jantung dan paru-paru. Ekskresi :
dieliminasi oleh ginjal dalam bentuk asam salisilat dan oksidasi serta konyugasi
metabolitnya.
Farmakodinamik: Adanya makanan dalam lambung memperlambat
absorbsinya; pemberian bersama antasida dapat mengurangi iritasi lambung tetapi
meningkatkan kelarutan dan absorbsinya. Sekitar 70-90 % asam salisilat bentuk
aktif terikat pada protein plasma.
lndikasi: Menurunkan resiko TIA atau stroke berulang pada penderita yang
pernah menderita iskemi otak yang diakibatkan embolus. Menurunkan resiko
menderita stroke pada penderita resiko tinggi seperti pada penderita tibrilasi
atrium non valvular yang tidak bisa diberikan anti koagulan.
3
Kontra indikasi: hipersensitif terhadap salisilat, asma bronkial, hay fever,
polip hidung, anemi berat, riwayat gangguan pembekuan darah.
lnteraksi obat: obat anti koagulan, heparin, insulin, natrium bikarbonat,
alkohol clan, angiotensin -converting enzymes.
Efek samping: nyeri epigastrium, mual, muntah , perdarahan lambung. Tidak
dianjurkan dipakai untuk pengobatan stroke pada anak di bawah usia 12 tahun
karena resiko terjadinya sindrom Reye. Pada orang tua harus hati- hati karena
lebih sering menimbulkan efek samping kardiovaskular. Obat ini tidak dianjurkan
pada trimester terakhir kehamilan karena dapat menyebabkan gangguan pada
janin atau menimbulkan komplikasi pada saat partus. Tidak dianjurkan pula pada
wanita menyusui karena disekresi melalui air susu.
Dosis : FDA merekomendasikan dosis: oral 1300 mg/hari dibagi 2 atau 4 kali
pemberian. Sebagai anti trombosit dosis 325 mg/hari cukup efektif dan efek
sampingnya lebih sedikit. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf merekomendasikan
dosis 80-320 mg/hari untuk pencegahan sekunder stroke iskemik.
Dipiridamol. Dipiridamol menghambat ambilan dan metabolisme adenosine
oleh eretrosit dan sel endotel pembuluh darah, dengan demikian meningkatkan
kadarnya dalam plasma. Adenosine menghambat fungsi trombosit dengan
merangsang adenilat siklase dan merupakan vasodilar. Dipiridamol juga
memperberat efek anti agregasi prostasiklin. Karena dengan dosis yang diperlukan
untuk menghambat agregasi trombosit kira kira 10% pasien mengalami flushing
dan nyeri kepala, maka sering diberikan dosis dipirimadol yang lebih kecil
bersama aspirin atau antikoagulan oral. Dipiridamol sering digunakan bersama
heparin pada pasien dengan katup jantung buatan. Obat ini juga banyak digunakan
bersama aspirin pada pasien dengan TIA untuk mencegah stroke. Efek samping
yang paling sering yaitu nyeri kepala. Bioavailabilitas obat ini sangat bervariasi.
Lebih dari 90% dipiridamol terikat protein dan mengalami sirkulasi enterohepatik.
Masa paruh eliminasi bervariasi 1-12 jam.
Tiklopidin. Tiklopidin adalah inhibitor agregasi platelet yang bekerja
menghalangi ikatan antara platelet dengan fibrinogen yang diinduksi oleh ADP
4
(Adenosin Di Pospat) secara irreversibel, serta menghalangi interaksi antara
platelet yang mengikutinya. Proses ini menyebabkan penghambatan pada agregasi
platelet dan pelepasan isi granul platelet.
Penderita yang diberi Tiklopidin harus dimonitor jumlah netrofil dan
trombositnya setiap dua minggu selama 3 bulan pertama pengobatan. Netropeni
berat dapat terjadi dalam waktu 3 minggu sampai 3 bulan sejak pengobatan
dimulai. Karena waktu paruhnya panjang, maka penderita yang berhenti mendapat
Tiklopidin dalam waktu 90 hari sejak dimulai harus tetap dimonitor darah lengkap
clan hitung jenis lekositnya. Kadang-kadang dapat terjadi trombositopeni saja atau
kombinasi dengan netropeni.
Tiklopidin adalah obat pilihan pertama untuk pencegahan stroke pada wanita
yang pemah mengalami TIA serta pada pria dan wanita yang pemah mengalami
stroke non kardioembolik. Walaupun Tiklopidin telah terbukti efektif pada pria
yang pernah mengalami TIA, tetapi obat ini merupakan pilihan kedua bila tidak
ada intoleransi terhadap aspirin. Farmakokinetik :
Mula kerja: diabsorbsi cepat. Kadar puncak dalam plasma: 2 jam. Waktu
paruh : 4-5 hari. Bioavailabilitas : > 80%. Metabolisme : terutama di hati .
Ekskresi : 60% melalui urine daD 23% melalui feses
Farmakodinamik: bioavailabilitas oral meningkat 20% hila diminum setelah
makan ; pemberian bersama makan dianjurkan untuk meningkatkan toleransi
gastrointestinal. 98% terikat secara reversibel dengan protein plasma terutama
albumin dan lipoprotein.
Indikasi: Mengurangi resiko stroke trombotik pada penderita yang pemah
mengalami prekursor stroke atau pemah mengalami stroke merupakan pilihan bila
terjadi intoleransi terhadap aspirin.
Kontraindikasi: Hipersensitivitas terhadap Tiklopidin, kelainan darah
(misalnya netropeni, trombositopeni), gangguan pembekuan darah, perdarahan
patologis aktif (misalnya perdarahan lambung, perdarahan intrakranial), gangguan
fungsi hati berat.
Interaksi obat: aspirin, antasida, simetidin, digoksin, teofilin, fenobarbital,
fenitoin, propanolol, heparin, antikoagulan oral, obat tibrinolitik.
5
Efek samping : diare, mual, dispepsia, rash, nyeri gastrointestinal, netropeni,
purpura, pruritus, dizziness, anoreksia, gangguan fungsi hati. Kadang-kadang
ecchymosis, epistaksis, hematuria, perdarahan konjunktiva, perdarahan
gastrointestinal, perdarahan perioperatif, perdarahan intraserebral, urtikaria, sakit
kepala, asthenia, nyeri, tinnitus.
Hati-hati: Pada usia di bawah 18 tahun belum terbukti keamanan dan
efektifitasnya. Tidak dianjurkan pada penderita gangguan fungsi hati berat.
Penggunaan selama kehamilan hanya bila sangat dibutuhkan. Bila diberi pada
wanita menyusui harus dihentikan menyusuinya.
Dosis: Dewasa dan orang tua : 2 x 250 mg/hari diminum bersama makanan.
Tidak dianjurkan untuk usia di bawah 18 tahun. Dosis yang direkomendasikan
Perdossi adalah 250-500 mg/hari pada penderita yang tidak tahan dengan aspirin.
Klopidogrel. Obat ini sangat mirip dengan tiklopidin dan nampaknya lebih
jarang menyebabkan trobositopenia dan leucopenia dibandingkan dengan
tiklopidin, klopidrogel merupakan produg dengan mula kerja lambat. Dosis
umumnya 75mg/hari dengan atau tanpa dosis muat 300 mg (Gunawan GS et all
2007).
Klopidogrel, antagonis reseptor ADP, adalah sebuah obat yang membutuhkan
oksidasi oleh hepatic cytochrome P450 (CYP450) untuk menjadi metabolit aktif.
ADP berikatan dengan trombosit melalui reseptor P2Y1, P2Y12, dan P2X1.
Reseptor P2X1 tidak memainkan peranan yang penting dalam aktivasi trombosit.
Hanya sebagian kecil clopidogrel yang mengalami proses oksidasi oleh CYP450,
sebagian besar terhidrolasi oleh esterase menjadi turunan asam karboksilat yang
tidak aktif. CYP3A4 dan CYP3A5 adalah enzim-enzim yang bertanggung jawab
terhadap oksidasi cincin thiopene clopidogrel menjadi 2-oxoclopidogrel yang
selanjutnya menjadi karboksil dan grup thiol. Bentuk yang terakhir ini
membentuk jembatan disulfida dengan residu sistein ekstraseluler yang berlokasi
di reseptor ADP P2Y12 yang berada di permukaan trombosit dan menyebabkan
blokade ireversibel ADP.
Klopidogrel adalah obat penghambat antiagregasi trombosit yang memiliki
efek yang baik dan sering dipakai pada pasien dengan TIA untuk mencegah
6
terjadinya stroke. Efek dari klopidogrel ini terlihat dari hari pertama pemakaian
sampai 1 tahun pemakaiannya dalam menurunkan angka kejadian
serebrovaskular. Selain memiliki efikasi yang baik, klopidogrel juga memiliki
efek samping seperti perdarahan, ketidaknyamanan saluran cerna, diare, ruam,
Trombotic Thrombbocytopenic Purpura (TTP). Clopidogrel ternyata memiliki
efek antiagregasi trombosit yang berbeda pada setiap pasien. Pada 4-30% pasien
ditemukan resistansi clopidogrel yang mempengaruhi efek anti agregasi dari
clopidogrel.
Aktivasi dan agregasi trombosit memegang peranan penting dalam
pembetukan trombosis arteri yang menyebabkan stroke. Aterosklerosis adalah
penyebab paling sering dari penyakit arteri koroner dan penyakit serebrovaskular.
Pecahnya plak aterosklerotik dan pembentukkan thrombus memegang peranan
penting dalam perkembangan sindroma sroke. Setelah plak pecah, trombosit
memulai sebuah proses kompleks, terdiri dari adhesi, aktivasi, dan agregasi
trombosit. Hal ini menyebabkan antiagregasi sebagi terapi dalam stroke.
Pada penelitian the Clopidogrel versus Aspirin in Patients at Risk of Ischemic
Events (CAPRIE) menunjukkan bahwa clopidogrel lebih efektif dibandingkan
aspirin dalam mengurangi risiko stroke iskemik, infark miokard, dan kematian.
Jika dikombinasikan dengan aspirin, clopidogrel menjadi baku emas dalam
pencegahan subacute stent thrombosis (SAT) pada pasien PCI dan mengurangi
kejadian kardiovaskular yang merugikan pada pasien sindrom koroner akut tanpa
ST elevasi. Pada pasien dengan resistansi aspirin dapat dibantu dengan pemakaian
clopidogrel karena efek peningkatan sensitivitasnya terhadap ADP (adenosin
difosfat). Bagaimanapun, efek clopidogrel beragam pada pasien (Adiwijawa, JA
2011).
Cilostazol. Cilostazol adalah derivat quinolone yang bekerja dengan
menghambat enzym phosphodiaterase III (PDE III), meningkatkan konsentrasi
cAMP dan akibatnya adalah menghambat agregasi platelet. Obat ini juga memiliki
efek vasodilator yang menghambat proliferasi otot polos vaskular dan melindungi
dinding vaskular serta endothelium (Shinohara dkk, 2010). Cilostazol juga
menghambat lipopolisakarida yang dapat menginduksi apoptosis pada sel
7
endothelium. Berdasarkan hasil observasi cilostazol memiliki efek neuroproteksi
(Lee dkk, 2003).
Cilostazol secara cepat diabsorbsi dan mencapai puncak konsentrasi plasma
dalam waktu 2,4 jam setelah pemberian secara oral, dan kebanyakan cilostazol
berikatan dengan protein 95-98%, yang paling utama adalah albumin.
Berdasarkan studi in vitro pada sitokrom P450, cilostazol di metabolisme di hati
melalui sitokrom P450. terutama oleh 3A4 dan sebagain kecil oleh 2C19,
metabolit terutama dieksresi melalui urin. Aktivitas farmakologi cilostazol dan
metabolitnya pada gangguan ginjal ringan sampai sedang sama dengan orang
sehat, pada gangguan ginjal yang berat (creatine clearance <25ml/menit) akan
meningkatkan konsenterasi metabolitnya dan menurunkan protein binding baik
pada cilostazol maupun metabolitnya. (Yoo dkk, 2010).
Pemberian cilostazol yang direkomendasikan adalah 100 mg sebanyak dua
kali sehari atau 50 mg sebanyak dua kali sehari. Pasien biasanya respon selama
dua atau empat minggu setelah pemberian terapi (Katzung, 2003). Efek samping
yang muncul adalah nyeri kepala, dizzines dan takikardia (Furie, 2010).
Kontraindikasi pemberian cilostazol pada kondisi gagal jantung, kelainan
hemostasis atau pasien yang mengalami perdarahan seperti perdarahan lambung
dan perdarahan intrakranial (Lee dkk , 2003).
Triflusal (Grendis). Triflusal merupakan turunan dari asam salisilat yang
menghambat agregasi platelet. Sejumlah studi eksperimental dan klinis terbaru
menunjukkan bahwa triflusal merupakan pilihan yang baik dalam pengobatan dan
pencegahan iskemia otak karena memiliki efek antithrombogenic serta efek
neuroprotective. Efek antithrombogenic telah dibuktikan di klinik maupun pada
eksperimental, sedangkan efek neuroprotective yang telah ditunjukkan hanya pada
eksperimental. Obat mengganggu proses thrombogenesis dengan menghambat
sintesis tromboksan dan meningkatkan cAMP dan nitric oxide. Efek
neuroprotective adalah hasil dari efek antioksidan dan efek antiinflamasi pada
jaringan otak. Dari sudut pandang klinis triflusal sama efektifnya dengan asam
asetilsalisilat dalam mencegah stroke, tetapi memiliki efek samping yang lebih
sedikit, terutama memiliki kecenderungan yang lebih rendah untuk menyebabkan
8
perdarahan. Karena sifat farmakodinamik dan memiliki efek samping yang lebih
rendah, triflusal mungkin menjadi alternatif yang baik untuk asam asetilsalisilat
dalam pencegahan stroke. (Jose, 2006).
Dosis: Dewasa sampai usia lanjut : 600 mg/hari dalam dosis tunggal atau
terbagi atau 900 mg/hari dalam dosis tunggal atau terbagi. Kontra indikasi: Pasien
dengan riwayat tukak lambung atau tukak aktif, perdarahan, pasien dengan resiko
perdarahan, pasien lemah ginjal atau hati, hamil-menyusui,anak usia kurang dari
18 tahun. Efek samping: Dispepsia, sakit kepala, nyeri abdominal, nausea,
sembelit,muntah, kembung,anoreksia.
2.3 Antiplatelet pada stroke iskemik
Pada penulisan artikel ini mengacu kepada manajemen stroke yang ditunjukkan
oleh The Quality Standards Subcommittee (QSS) and the Therapeutics and
Technology Assessment (TTA) Subcommittee of the American Academy of
Neurology, and the Stroke Council and Science Advisory and Coordinating
Committee (SACC) of the American Heart Association.
Apakah antiplatelet mengurangi mortalitas dan morbiditas pada stroke iskemik
Sulit untuk membandingkan mortalitas dan morbiditas dari stroke karena setiap
memiliki skala hasil yang berbeda. Agen terapetik yang digunakan pada studi ini
adalah membandingkan angka mortalitas pada penderita stroke yang diterapi
dengan menggunakan anti agregasi platelet, unfractionated heparin dan low weigh
molecul heparin. Dua studi prospektif secara acak, uji coba pemberian aspirin
dalam 48 jam onset stroke dan pemberian placebo pada kelompok control (CAST,
1997).
The Chinese Acute Stroke Trial (CAST) sebuah studi acak, double-blind
dan plasebo-kontrol terhadap 21.106 pasien melakukan percobaan pemberian
aspirin pada 160 mg / hari dimulai dalam waktu 48 jam dari onset akut stroke
iskemik (Kelas I). Aspirin mengurangi tingkat kematian dini sebesar (3,3%
menjadi 3,9%; p = 0,04).
The International Stroke Trial (IST) menacak 19,436 (kelas II) pasien
dengan onset stroke 24 jam untuk pengobatan dengan aspirin 325 mg, heparin
subkutan dalam 2 rejimen dosis yang berbeda, aspirin dengan heparin, dan
9
plasebo. Studi ini menemukan bahwa terapi aspirin mengurangi risiko
kekambuhan stroke (Flores et all 2011).
Penelitian tersebut menunjukkan aspirin (160 mg atau 325 mg perhari)
sedikit mengurangi namun statistic dan signifikan mengurangi kematian dan
disabilitas ketika diberikan dalam 48 jam setelah stroke iskemik, studi analisis
kombinasi pemberian aspirin dengan unfractionated heparin, LMW heparin tidak
memperlihatkan penurunan mortalitas dari stroke ketika diberikan dalam 48 jam
dari onset akut stroke iskemik.
Apakah antiplatelet mengurangi rekurensi dari stroke. Meskipun pemberian
agen anti agregasi trombosit diberikan pada onset akut stroke iskemik tidak
mengurangi kerusakan dari neurologis, antiplatelet dapat berguna dalam
mencegah rekurensi stroke. Hasil sebuah studi dari CAST menunjukkan bahwa
aspirin menurunkan risiko stroke iskemik berulang dari 2,1% menjadi 1,6%,
namun risiko dari semua rekurensi stroke (hemoragik atau iskemik) tidak secara
signifikan berkurang. Demikian pula, IST menyatakan bahwa aspirin secara
signifikan mengurangi tingkat rekurensi stroke iskemik dari 3,9% menjadi 2,8%.
Sebaliknya heparin, unfractionated heparin dan LMW heparin, bila digunakan
dalam waktu 48 jam onset pada pasien dengan stroke iskemik akut, tidak terbukti
mengurangi tingkat rekurensi stroke (Coull BM et all 2002).
Apakah terdapat resiko perdarahan yang berhubungan dengan pemberian agen
antitrombotik Antiaggregants trombosit. Berdasarkan CAST (CAST 1007) dan
IST (IST 1997), aspirin meningkatkan risiko perdarahan sistemik dan SSP. CAST,
risiko perdarahan yang cukup besar memerlukan transfusi atau perdarahan
sistemik fatal 0,8% pada pasien yang diobati dengan aspirin vs 0,6% pada pasien
yang dirawat tidak diterapi dengan aspirin (p = 0,02). Pada IST, risiko perdarahan
yang memerlukan transfusi atau perdarahan sistemik fatal adalah 1,1% pada
pasien yang ditepai dengan aspirin dibandingkan dengan 0,6% pada pasien tidak
mendapat aspirin (p = 0.0004).
Tidak ada kasus besar yang secara simptomatik menunjukkan perdarahan
intraserebral pada hari ke 5 pengobatan dengan aspirin atau bahkan untuk 3
10
bulan dalam kelompok perlakuan dalam uji coba abciximab (Coull BM et all
2002). Kasus pemberian aspirin tunggal pada hari ke 5 pada grup the Multicenter
Acute Stroke Trial–Italy tidak dijumpai perdarahan intrakranil (Coull BM et all
2002), tingkat dari gejala perdarahan otak (3/153 (2%)), CT-scan
memverifikasikan perdarahan intraserebral (1/153 (0,7%)) dan infark hemoragik
(7%) hal ini serupa atau bahkan lebih rendah pada grup yang tidak diberi obat.
Sementara itu penggunaan unfractionated heparin (5000 U BID atau 12,500
IU BID) pada studi IST memperlihatkan peningkatan resiko perdarahan sistemik
atau perdarahan intraserbral. Perdarahan yang parah dijumpai pada penggunaan
dosis tinggi. Pada studi ini, 1,2% diberikan heparin subkutan dan mengalami
stroke hemoragik dibandingkan dengan 0.4% dari kelompok control (p < 0.0001).
Pada prinsipnya terdapat peningkatan resiko perdarahan sistemik atau perdarahan
intraserebral pada penggunaan aspirin, unfractionated heparin (IST 1997).
Apakah kombinasi antiplatelet memiliki manfaat? Inisiasi dini aspirin ditambah
dengan extended-release dipyridamole aman dan efektif dalam mencegah
disabilitas dengan pemberian inisiasi selama 7 hari setelah onset stroke, menurut
sebuah penelitian di Jerman. Penulis penelitian mencoba untuk menilai waktu
yang tepat untuk memulai pemberian dipyridamole pada stroke iskemik atau
transient ischemic attack (TIA). 46 Pasien dari stroke unit yang disajikan dengan
skor NIHSS dari 20 atau kurang secara acak untuk menerima aspirin 25 mg
ditambah extended-release dipyridamole 200 mg (awal dipyridamole rejimen) (n
= 283) atau aspirin monoterapi (100 mg sekali sehari) selama 7 hari (n = 260).
Terapi pada kedua kelompok dimulai dalam waktu 24 jam onset stroke. Setelah 2
minggu, semua pasien menerima aspirin ditambah dipyridamole sampai 90 hari.
Pada hari 90, 154 (56%) pasien dalam kelompok dipyridamole awal dan 133
(52%) pada kelompok aspirin ditambah dipyridamole kemudian tidak terdapat
disabilitas sama sekali atau disabilitas ringan (P = 0,45).
Agen antiplatelet lain juga di bawah evaluasi untuk digunakan dalam
presentasi akut stroke iskemik. Pada sebuah studi pilot, abciximab diberikan
dalam waktu 6 jam untuk membentuk profil keamanan. Sebuah kecenderungan
menuju hasil yang lebih baik pada 3 bulan untuk pengobatan dibandingkan
11
dengan kelompok placebo uji klinis lebih lanjut diperlukan (Flores SC et all
2011).
* Pengobatan TIA: - Clopidogrel adalah pengobatan yang disetujui NICE pilihan
untuk pencegahan sekunder pada stroke, tetapi tidak berlisensi untuk pengobatan
TIA. NICE TA 210 merekomendasikan Aspirin dan dipyridamole. Disarankan
bahwa semua pasien yang mulai 300mg Aspirin, dan bahwa pilihan yang dibuat
pada terapi antiplatelet waktu di klinik TIA, tergantung pada gejala, adanya infark
pada CT scan, tolerabilitas obat, penyakit penyerta. - Clopidogrel mungkin lebih
disukai pada pasien yang tidak dapat mentoleransi dipyridamole, orang dengan
penyakit multivascular (misalnya penyakit pembuluh darah koroner atau perifer),
mereka dengan terang-terangan infark pada otak CT. - Tidak ada bukti yang kuat
mengenai perawatan yang tepat dari pasien yang menderita TIA / Stroke
sementara pada antiplatelet terapi. Obat ini mengurangi, tetapi tidak
menghilangkan, risiko stroke yang berulang / TIA. Beberapa pasien resisten
12
terhadap efek anti-platelet dari Clopidogrel sehingga dapat mempertimbangkan
perubahan juga mempertimbangkan penyelidikan jantung mencari sumber emboli
aritmia. Terdapat bukti bahwa Aspirin awal bermanfaat untuk 1-14 hari, tetapi
tidak ada bukti untuk inisiasi segera obat antiplatelet lainnya.
13
BAB III
KESIMPULAN
Pasien dengan stroke iskemik akut dalam waktu 48 jam dari onset gejala harus
diberikan aspirin (160-325 mg / hari) untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas
dari stroke, jika dijumpai kontraindikasi pemberian seperti alergi dan perdarahan
gastrointestinal yang tak terlihat, dan pasien yang telah atau tidak bisa diterapi
dengan recombinant tissue-type plasminogen activator. Tidak terdapat referensi
yang kuat untuk merekomendasikan penggunaan agen antiplatelet lainnya pada
akut stroke iskemik.
Meskiput terdapat beberapa bukti data yang menyebutkan penggunaan
fixeddose dari subkutan heparin atau unfractionated heparin mengurangi
rekurensi dari stroke iskemik, manfaat ini juga disertai peningkatan terjadinya
perdarahan. Oleh karena itu, penggunaan heparin subkutan dan unfractionated
heparin tidak direkomendasikan untuk mengurangi resiko kematian atau
mortalitas dan morbiditas dari stroke.
Beberapa bukti lain juga merekomendasikan penggunaan kombinasi anti
agregasi trombosit pada stroke iskemik, namun belum terdapat perbedaan yang
signifikan pada kombinasi obat tersebut. Oleh karena itu aspirin dosis tunggal
direkomendasikan pada terapi stroke iskemik.
14
DAFTAR PUSTAKA
Adams HP, Davis PH, Leira EC, Chang KC, Bendixen BH, Clarke WR, et al.
Baseline NIH Stroke Scale score strongly predicts outcome after stroke: A
report of the Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment (TOAST).
Neurology. Jul 13 1999;53(1):126-31.
Adiwijawa JA. Efek dan Resistansi Clopidogrel pada Sindrom Koroner Akut.
Dalam medika jurnal kedokteran Indonesia. Edisi No 05 Vol XXXVII- 2011
Available at http://www.jurnalmedika.com/component/content/article/318-
artikel-penyegar/612-efek-danresistansi-clopidogrel-pada-sindrom-koroner-
akut.
Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. Gambaran umum tentang gangguan
peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology cetakan keenam editor
Harsono. Gadjah Mada university press, Yogyakarta. 2007. Hal: 81-115.
CAST (Chinese Acute Stroke Trial) Collaboration Group. CAST: randomized
placebo-controlled trial of early aspirin use in 20,000 patients with acute
ischaemic stroke. Lancet 1997;349:1641–1649.
Coull BM, Williams lS, Goldstein LB, Meschia JF, Heitzman D, Chaturvedi S, et
all. Anticoagulants and Antiplatelet Agents in Acute Ischemic Stroke :
Report of the Joint Stroke Guideline Development Committee of the
American Academy of Neurology and the American Stroke Association (a
Division of the American Heart Association). Journal of the American heart
association. 2002, 33:1934-1942.
Depkes RI. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2012. Available at
http://depkes.go.id.
Easton JD, Saver JL, Albers GW, Alberts MJ, Chaturvedi S, Feldmann E, et al.
Definition and evaluation of transient ischemic attack: a scientific statement
for healthcare professionals from the American Heart Association/American
Stroke Association Stroke Council; Council on Cardiovascular Surgery and
Anesthesia; Council on Cardiovascular Radiology and Intervention; Council
on Cardiovascular Nursing; and the Interdisciplinary Council on Peripheral
15
Vascular Disease. The American Academy of Neurology affirms the value
of this statement as an educational tool for neurologists. Stroke. Jun
2009;40(6):2276-93.
Flores SC, Arnold JL, Becker JU, Hills EC, Jauch EC, Kulkarni R, et all.
Ischemic Stroke in Emergency Medicine. Medscape reference drugs, disease
& procedure. Jul 2011. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1916852-overview last updar 30
september 2011.
Furie, K.L.; Kasner, S.E.; Adams, R.J.; Albers, G.W.; Bush, R.L.; Fagan, S.C. et
al. 2010. Guidelines for the Prevention Stroke in Patients With Stroke or
Transient Ischemic Attack. A Guideline for Healthcare Professionals From
the American Heart Association/American Stroke Association. 41:00-00.
Gubitz G, Sandercock P, Counsell C. Antiplatelet therapy for acute ischemic
stroke. In: The Cochrane Library, Issue 1, 2000. Oxford.
Gunawan GS, Nafrialdi SR, Elysabeth. Farmakologi Dan Terapi. Dewoto HR.
anti koagulan, antitrombotik, trombolitik dan hemostatik. Departemen
Farmkologi dan Terapetik FKUI : Jakarta. 2007;804-819.
Hector A, George A, Socrates P, Dimitrios S, George T, Panos V. Triflusal: An
Old Drug in Modern Antiplatelet Therapy. Review of Its Action, Use, Safety
and Effectiveness. Hellenic J Cardiol. 2009;50:199-207.
International Stroke Trial Collaborative Group. The International Stroke Trial
(IST): a randomized trial of aspirin, subcutaneous heparin, both, or neither
among 19,435 patients with acute ischaemic stroke. Lancet 1997;349:1569 –
1581.
Jose AG and Jose PD. Triflusal: An Antiplatelet Drug with a Neuroprotective
Effect? Cardiovascular Drug Reviews. 2006;24(1):11-24.
Katzung, B.G. 2003. Drugs Used in Disorders of Coagulation, In : Basic &
Clinical Pharmacology. McGraw-Hill. 9th ed.p.775-776.
Lee, J.H.; Kim, K.Y.; Lee, Y.K.; Park, S.Y.; Kim, C.D.; Lee, W.S. 2004.
Cilostazol Prevent Focal Cerebral Ischemic Injury by Enchancing Casien
Kinase 2 Phsoporylation and Supression of Phospatase and Tensin Homolog
16
Deleted from Chromosome 10 Phosporylation in Rats. The Journal of
Pharmacology and Experimental Theurapetics. 308:896-903.
Shinohara, Y.; Katayama, Y.; Uchiyama, S.; Yamaguchi T.; Honda, S.; Matsuoka,
K. et al. 2010. Cilostazol for prevention of secondary stroke (CSPS 2) : an
aspirin-controlled, double-blind, randomized non-inferiority trial. http :
www.thelancet.com/neurology, 11 September 2010.
Sudoyu WA, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi IV Jilid 2. Suharti C, dasar dasar hemostasis. bab
178. Departemen ilmu penyakit dalam FKUI. jakarta: 2006;749-754
Yoo, H.D.; Cho, H.Y.; Lee, Y.B. 2010. Population pharmacokinetic analysis of
cilostazol in healthy subjects with genetic polymorphisms of CYP3AS,
CYP2C19, and ABCB1. Br J Clin Pharmacol, 69:27-37.
17
Recommended